Skenario
Harini, 19 tahun datang ke rumah sakit dengan keluhan
nyeri perut kanan bawah disertai demam sejak seminggu
yang lalu.
Nyeri hilang timbul. Sehari yang lalu, Harini tidak
dapat melakukan aktivitasnya karena nyeri bertambah
berat.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan nyeri perut kanan
bawah, rovsing sign (+), nyeri tekan di titik Mc Burney
(+)
Hasil pemerikaan laboraturium didapatkan leukosit
20.000/ul dengan neutrofilia, LED 40ml/jam
STEP 1
(tidak ditemukan kata sulit)
STEP 2
1. Diagnosis banding dan diagnosis kerja?
2. Bagaimana cara penegakan diagnosis?
3. Etiologi dan faktor resiko diagnosis kerja?
4. Patofisiologi dan patogenesis diagnosis kerja?
5. Interpretasi hasil pemeriksaan (dari skenario)?
6. Bagaimana penatalaksaan diagnosis kerja?
7. Komplikasi diagnosis kerja?
STEP 3 & 4
Diagnosis kerja dari skenario adalah appendisitis
kronik eksaserbasi akut.
Diagnosis banding dibahas pada STEP 7.
Appendisitis
Apendisitis merupakan peradangan pada appendix vermiformis. Peradangan
akut apendiks memerlukan tindakan bedah segera untuk mencegah
komplikasi yang umumnya berbahaya.
Etiologi & Faktor Resiko
1. Obstruksi lumen merupakan penyebab utama apendisitis. Fekalit
merupakan penyebab tersering dari obstruksi apendiks.
2. Hipertrofi jaringan limfoid
3. Sisa barium dari pemeriksaan rontgen
4. Diet rendah serat. Penelitian epidemiologi menunjukkan peran
kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi
terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan meningkatkan
tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional
apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa.
5. Cacing usus termasuk ascaris.
6. Trauma tumpul atau trauma karena colonoscopy dapat mencetuskan
inflamasi pada apendiks.
7. Post operasi apendisitis juga dapat menjadi penyebab akibat adanya
trauma atau stasis fekal.
8. Parasit E. Hisolytica yang menyebabkan erosi mukosa
Frekuensi obstruksi meningkat dengan memberatnya proses inflamasi.
Fekalit ditemukan pada 40% dari kasus apendisitis akut, sekitar 65%
merupakan apendisitis gangrenous tanpa rupture dan sekitar 90% kasus
apendisitis gangrenous dengan rupture.
Patofisiologi
Appendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks
oleh hyperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena
fibrosis akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma. Obstruksi
lumen yang tertutup disebabkan oleh hambatan pada bagian
proksimalnya dan berlanjut pada peningkatan sekresi normal dari
mukosa apendiks yang distensi. Obstruksi tersebut menyebabkan mucus
yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin lama mucus
tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding appendiks
mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan
intralumen.
Kapasitas lumen apendiks normal hanya sekitar 0,1 ml. Jika sekresi
sekitar 0,5 dapat meningkatkan tekanan intalumen sekitar 60 cmH20.
Manusia merupakan salah satu dari sedikit makhluk hidup yang dapat
mengkompensasi peningkatan sekresi yang cukup tinggi sehingga
menjadi gangrene atau terjadi perforasi. Tekanan yang meningkat
tersebut akan menyebabkan apendiks mengalami hipoksia, menghambat
aliran limfe, terjadi ulserasi mukosa dan invasi bakteri. Infeksi
menyebabkan pembengkakan apendiks bertambah (edema) dan semakin
iskemik karena terjadi trombosis pembuluh darah intramural (dinding
apendiks). Pada saat inilah terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai
oleh nyeri epigastrium. Gangren dan perforasi khas dapat terjadi dalam
24-36 jam, tapi waktu tersebut dapat berbeda-beda setiap pasien karena
ditentukan banyak faktor.
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal
tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan
bakteri akan menembus dinding. Peradangan timbul meluas dan
mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri di daerah
kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut.
Bila kemudian arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks
yang diikuti dengan gangrene. Stadium ini disebut dengan apendisitis
gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi
apendisitis perforasi. Bila semua proses diatas berjalan lambat,
omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak kearah apendiks
hingga timbul suatu massa local yang disebut infiltrate apendikularis.
Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang.
Infiltrat apendikularis merupakan tahap patologi apendisitis yang
dimulai di mukosa dan melibatkan seluruh lapisan dinding apendiks
dalam waktu 24-48 jam pertama, ini merupakan usaha pertahanan tubuh
dengan membatasi proses radang dengan menutup apendiks dengan
omentum, usus halus, atau adneksa sehingga terbentuk massa
periapendikular. Didalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa
abses yang dapat mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk abses,
apendisitis akan sembuh dan massa periapendikular akan menjadi
tenang untuk selanjutnya akan mengurai diri secara lambat.
Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih
panjang, dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah
dengan daya tahan tubuh yang masih kurang memudahkan terjadinya
perforasi. Sedangkan pada orang tua perforasi mudah terjadi karena
telah ada gangguan pembuluh darah. Kecepatan rentetan peristiwa
tersebut tergantung pada virulensi mikroorganisme, daya tahan tubuh,
fibrosis pada dinding apendiks, omentum, usus yang lain, peritoneum
parietale dan juga organ lain seperti vesika urinaria, uterus tuba,
mencoba membatasi dan melokalisir proses peradangan ini.
Bila proses melokalisir ini belum selesai dan sudah terjadi perforasi
maka akan timbul peritonitis. Walaupun proses melokalisir sudah
selesai tetapi masih belum cukup kuat menahan tahanan atau tegangan
dalam cavum abdominalis, oleh karena itu penderita harus benar-benar
istirahat (bedrest). Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh
sempurna, tetapi akan membentuk jaringan parut yang menyebabkan
perlengketan dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan ini dapat
menimbulkan keluhan berulang diperut kanan bawah. Pada suatu ketika
organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan mengalami
eksaserbasi akut. Pada kehamilan, keluhan utama apendisitis adalah
nyeri perut, mual, dan muntah. Yang perlu diperhatikan ialah, pada
kehamilan trimester pertama sering juga terjadi mual dan muntah. Pada
kehamilan lanjut sekum dengan apendiks terdorong ke kraniolateral
sehingga keluhan tidak dirasakan di perut kanan bawah tetapi lebih ke
regio lumbal kanan.
Gejala Klinis
Gambaran klinis yang sering dikeluhkan oleh penderita, antara lain
1. Nyeri abdominal
Nyeri ini merupakan gejala klasik appendisitis. Mula-mula nyeri
dirasakan samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral di
daerah epigastrium atau sekitar umbilicus. Setelah beberapa jam
nyeri berpindah dan menetap di abdomen kanan bawah (titik Mc
Burney). Nyeri akan bersifat tajam dan lebih jelas letaknya sehingga
berupa nyeri somatik setempat. Bila terjadi perangsangan peritonium
biasanya penderita akan mengeluh nyeri di perut pada saat berjalan
atau batuk.
2. Mual-muntah biasanya pada fase awal.
3. Nafsu makan menurun.
4. Obstipasi dan diare pada anak-anak.
5. Demam, terjadi bila sudah ada komplikasi, bila belum ada
komplikasi biasanya tubuh belum panas. Suhu biasanya berkisar
37,5º-38,5º C
Keluhan Patologi Keluhan dan tandaPeradangan awal Kurang enak ulu hati/ daerah pusat
mungkin kolikAppendisitis mukosa Nyeri tekan kanan bawah
(rangsangan automik)Radang di seluruh ketebalan dinding
nyeri sentral pindah ke kanan bawah, mual dan muntah
Apendisitis komplet radangPeritoneum parietale appendiks
rangsangan peritoneum lokal (somatik), nyeri pada gerak aktif dan pasif, defans muskuler lokal
Radang alat/jaringan yangmenempel pada appendiks
genitalia interna, ureter, m.psoas, kantung kemih, rektum
perforasi demam sedang, takikardia,mulai toksik, leukositosis
Infiltrasi lokal tidak berhasil demam tinggi, dehidrasi,syok, toksik
Infiltrasi lokal berhasil massa perut kanan bawah, keadaan umum berangsur membaik
Abses demam remiten, keadaan umum toksik,keluhan dan tanda setempat
Pemeriksaan Fisik
Demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37,5-38,5°C. Bila suhu
lebih tinggi, mungkin sudah terjadi perforasi. Bisa terdapat perbedaan
suhu aksilar dan rektal sampai 1°C.
1. Inspeksi
Kadang sudah terlihat waktu penderita berjalan sambil bungkuk
dan memegang perut. Penderita tampak kesakitan. Pada inspeksi
perut tidak ditemukan gambaran spesifik. Kembung sering terlihat
pada penderita dengan komplikasi perforasi. Penonjolan perut
kanan bawah bisa dilihat pada massa atau abses appendikuler.
2. Palpasi
Dengan palpasi di daerah titik Mc. Burney didapatkan tanda-tanda
peritonitis lokal yaitu:
- Nyeri tekan di Mc. Burney
- Nyeri lepas
- Defans muscular lokal. Defans muscular menunjukkan adanya
rangsangan peritoneum parietal.
Pada appendiks letak retroperitoneal, defans muscular mungkin
tidak ada, yang ada nyeri pinggang. Nyeri rangsangan peritoneum
tidak langsung :
- nyeri tekan bawah pada tekanan kiri (Rovsing)
- nyeri kanan bawah bila tekanan di sebelah kiri dilepaskan
(Blumberg)
- nyeri kanan bawah bila peritoneum bergerak seperti nafas dalam,
berjalan, batuk, mengedan.
- Appendisitis infiltrat atau adanya abses apendikuler terlihat
dengan adanya penonjolan di perut kanan bawah.
3. Auskultasi
Peristaltik usus sering normal. Peristaltik dapat hilang karena ileus
paralitik pada peritonitis generalisata akibat appendisitis perforata.
4. Pemeriksaan colok dubur akan didapatkan nyeri kuadran kanan
pada jam 9-12. Pada appendisitis pelvika akan didapatkan nyeri
terbatas sewaktu dilakukan colok dubur. Pada apendisitis pelvika
tanda perut sering meragukan, maka kunci diagnosis adalah nyeri
terbatas sewaktu dilakukan colok dubur. Colok dubur pada anak
tidak dianjurkan.
Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator merupakan pemeriksaan yang
lebih ditujukan untuk mengetahui letak apendiks. Uji psoas dilakukan
dengan rangsangan m. psoas lewat hiperekstensi atau fleksi aktif. Bila
apendiks yang meradang menempel di m. psoas, tindakan tersebut akan
menimbulkan nyeri. Uji obturator digunakan untuk melihat apakah
apendiks yang meradang kontak dengan m.obturator internus yang
merupakan dinding panggul kecil. Dengan gerakan fleksi dan
endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang, pada apendisitis
pelvika akan menimbulkan nyeri.
Psoas sign. Nyeri pada saat paha kanan pasien diekstensikan. Pasien
dimiringkan kekiri. Pemeriksa meluruskan paha kanan pasien, pada saat
itu ada hambatan pada pinggul / pangkal paha kanan. Dasar anatomi
dari tes psoas. Apendiks yang mengalami peradangan kontak dengan
otot psoas yang meregang saat dilakukan manuver (pemeriksaan).
Obturator sign. Nyeri pada rotasi kedalam secara pasif saat paha
pasien difleksikan. Pemeriksa menggerakkan tungkai bawah kelateral,
pada saat itu ada tahanan pada sisi samping dari lutut (tanda bintang),
menghasilkan rotasi femur kedalam. Dasar Anatomi dari tes obturator :
Peradangan apendiks dipelvis yang kontak denhgan otot obturator
internus yang meregang saat dilakukan manuver.
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan darah : akan didapatkan leukositosis pada
kebanyakan kasus appendicitis akut terutama pada kasus
dengan komplikasi, kreatinin protein meningkat. Pada
appendicular infiltrat, LED akan meningkat.
b. Pemeriksaan urin : untuk melihat adanya eritrosit, leukosit dan
bakteri di dalam urin. Pemeriksaan ini sangat membantu dalam
menyingkirkan diagnosis banding seperti infeksi saluran kemih
atau batu ginjal yang mempunyai gejala klinis yang hampir
sama dengan appendisitis.
2. Abdominal X-Ray
Digunakan untuk melihat adanya fecalith sebagai penyebab
appendisitis. Pemeriksaan ini dilakukan terutama pada anak-anak.
3. USG
Bila hasil pemeriksaan fisik meragukan, dapat dilakukan
pemeriksaan USG, terutama pada wanita, juga bila dicurigai
adanya abses. Dengan USG dapat dipakai untuk menyingkirkan
diagnosis banding seperti kehamilan ektopik, adnecitis dan
sebagainya.
4. Barium enema
Suatu pemeriksaan x-ray dengan memasukkan barium ke colon
melalui anus. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan komplikasi-
komplikasi dari appendisitis pada jaringan sekitarnya dan juga
untuk menyingkirkan diagnosis banding. Appendicogram memiliki
sensitivitas dan tingkat akurasi yang tinggi sebagai metode
diagnostik untuk menegakkan diagnosis appendisitis khronis.
Dimana akan tampak pelebaran/penebalan dinding mukosa
appendiks, disertai penyempitan lumen hingga sumbatan usus oleh
fekalit.
5. CT-scan
Dapat menunjukkan tanda-tanda dari appendisitis. Selain itu juga
dapat menunjukkan komplikasi dari appendisitis seperti bila terjadi
abses.
6. Laparoscopi
Suatu tindakan dengan menggunakan kamera fiberoptic yang
dimasukan dalam abdomen, appendiks dapat divisualisasikan
secara langsung. Tehnik ini dilakukan di bawah pengaruh anestesi
umum. Bila pada saat melakukan tindakan ini didapatkan
peradangan pada appendiks maka pada saat itu juga dapat langsung
dilakukan pengangkatan appendiks.
7. Histopatologi
Pemeriksaan histopatologi adalah standar emas (gold standard)
untuk diagnosis appendisitis akut. Ada beberapa perbedaan
pendapat mengenai gambaran histopatologi appendisitis akut.
Perbedaan ini didasarkan pada kenyataan bahwa belum adanya
kriteria gambaran histopatologi appendisitis akut secara universal
dan tidak ada gambaran histopatologi apendisitis akut pada orang
yang tidak dilakukan operasi. Riber et al, pernah meneliti variasi
diagnosis histopatologi appendisitis akut. Hasilnya adlah perlu
adanya komunikasi antara ahli patologi dan antara ahli patologi
dengan ahli bedahnya.
Definisi histopatologi apendisitis akut:
1. Sel granulosit pada mukosa dengan ulserasi fokal atau difus di
lapisan epitel.
2. Abses pada kripte dengan sel granulosit dilapisan epitel.
3. Sel granulosit dalam lumen appendiks dengan infiltrasi ke
dalam lapisan epitel.
4. Sel granulosit diatas lapisan serosa appendiks dengan abses
apendikuler dengan atau tanpa terlibatnya lapisan mukusa.
5. Sel granulosit pada lapisan serosa atau muskuler tanpa abses
mukosa dan keterlibatan lapisan mukosa, bukan apendisitis
akut tetapi periapendisitis.
Sistem skor Alvarado
Diagnosis appendisitis akut pada anak tidak mudah ditegakkan hanya
berdasarkan gambaran klinis, hal ini disebabkan sulitnya komunikasi
antara anak, orang tua dan dokter. Anak belum mampu untuk
mendiskripsikan keluhan yang dialami, suatu hal yang relatif lebih
mudah pada umur dewasa. Keadaan ini menghasilkan angka
appendiktomi negatif sebesar 20% dan angka perforasi sebesar 20-30%.
Salah satu upaya meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan medis
ialah membuat diagnosis yang tepat. Telah banyak dikemukakan cara
untuk menurunkan insidensi apendiktomi negatif, salah satunya adalah
dengan instrumen skor Alvarado. Skor Alvarado adalah sistem skoring
sederhana yang bisa dilakukan dengan mudah, cepat dan kurang invasif.
Alfredo Alvarado tahun 1986 membuat sistem skor yang didasarkan
pada tiga gejala , tiga tanda dan dua temuan laboratorium. Klasifikasi
ini berdasarkan pada temuan pra operasi dan untuk menilai derajat
keparahan apendisitis.
Gejala dan tanda: Skor
Nyeri berpindah 1
Anoreksia 1
Mual-muntah 1
Nyeri fossa iliaka kanan 2
Nyeri lepas 1
Suhu > 37,30C 1
Leukosit > 10x103/L 2
Neutrofil > 75% 1
Total skor 10
Keterangan Alavarado score :
Dinyatakan appendicitis akut bila > 7 point
Modified Alvarado score tanpa observasi dari hematogram:
1 – 4 dipertimbangkan appendicitis akut
5 – 6 possible appendicitis tidak perlu operasi
7 – 9 appendicitis akut perlu pembedahan
Penanganan berdasarkan skor Alvarado :
1 – 4 : observasi
5 – 6 : antibiotic
7 – 10 : operasi dini
Diagnosis Banding
1. Gastroenteritis
Pada gastroenteritis, mual-muntah dan diare mendahului rasa sakit.
Sakit perut lebih ringan dan tidak berbatas tegas. Hiperperistaltik
sering ditemukan. Panas dan leukositosis kurang menonjol
dibandingkan dengan appendisitis.
2. Limfadenitis mesenterica
Biasanya didahului oleh enteritis atau gastroenteritis. Ditandai
dengan nyeri perut yang samar-samar terutama disebelah kanan, dan
disertai dengan perasaan mual-muntah.
3. Ileitis akut
Berkaitan dengan diare dan sering kali riwayat kronis, tetapi tidak
jarang anorexia, mual, muntah. Jika ditemukan pada laparotomi,
appendiktomi insidental diindikasikan utntuk menghilangkan gejala
yang membingungkan.
4. DHF
Pada penyakit ini pemeriksaan darah terdapat trombositopeni,
leukopeni, rumple leed (+), hematokrit meningkat.
5. Peradangan pelvis
Tuba fallopi kanan dan ovarium terletak dekat appendiks. Radang
kedua organ ini sering bersamaan sehingga disebut salpingo-
ooforitis atau adnecitis. Untuk menegakkan diagnosis penyakit ini
didapatkan riwayat kontak sexual. Suhu biasanya lebih tinggi
daripada appendisitis dan nyeri perut bagian bawah lebih difus.
Biasanya disertai dengan keputihan. Pada colok vaginal jika uterus
diayunkan maka akan terasa nyeri.
6. Kehamilan ektopik
Ada riwayat terhambat menstruasi dengan keluhan yang tidak
menentu. Jika terjadi ruptur tuba atau abortus di luar rahim dengan
perdarahan akan timbul nyeri yang mendadak difus di daerah pelvis
dan mungkin akan terjadi syok hipovolemik. Pada pemeriksaan
colok vagina didapatkan nyeri dan penonjolan di cavum Douglas,
dan pada kuldosentesis akan didapatkan darah.
7. Diverticulitis
Meskipun diverculitis biasanya terletak di perut bagian kiri, tetapi
dapat juga terjadi di sebelah kanan. Jika terjadi peradangan dan
ruptur pada diverticulum gejala klinis akan sukar dibedakan dengan
gejala-gejala appendisitis.
8. Batu ureter atau batu ginjal
Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut menjalar ke inguinal
kanan merupakan gambaran yang khas. Hematuria sering ditemukan.
Foto polos abdomen atau urografi intravena dapat memastikan
penyakit tersebut.
Penatalaksanaan
1. Appendiktomi
Cito : akut, abses & perforasi
Elektif : kronik
Bila diagnosis klinis sudah jelas maka tindakan paling tepat adalah
apendektomi dan merupakan satu-satunya pilihan yang terbaik.
Penundaan apendektomi sambil memberikan antibiotik dapat
mengakibatkan abses atau perforasi. Insidensi appendiks normal
yang dilakukan pembedahan sekitar 20%. Pada appendisitis akut
tanpa komplikasi tidak banyak masalah. Perjalanan patologis
penyakit dimulai pada saat apendiks menjadi dilindungi oleh
omentum dan gulungan usus halus didekatnya. Mula-mula, massa
yang terbentuk tersusun atas campuran membingungkan bangunan-
bangunan ini dan jaringan granulasi dan biasanya dapat segera
dirasakan secara klinis. Jika peradangan pada apendiks tidak dapat
mengatasi rintangan-rintangan sehingga penderita terus mengalami
peritonitis umum, massa tadi menjadi terisi nanah, semula dalam
jumlah sedikit, tetapi segera menjadi abses yang jelas batasnya.
Massa apendiks terjadi bila terjadi apendisitis gangrenosa atau
mikroperforasi ditutupi atau dibungkus oleh omentum dan atau lekuk usus
halus. Pada massa periapendikular yang pendidingannya belum sempurna,
dapat terjadi penyebaran pus keseluruh rongga peritoneum jika perforasi
diikuti peritonitis purulenta generalisata. Oleh karena itu, massa
periapendikular yang masih bebas disarankan segera dioperasi untuk
mencegah penyulit tersebut. Selain itu, operasi lebih mudah. Pada anak,
dipersiapkan untuk operasi dalam waktu 2-3 hari saja. Pasien dewasa
dengan massa periapendikular yang terpancang dengan pendindingan
sempurna, dianjurkan untuk dirawat dahulu dan diberi antibiotik sambil
diawasi suhu tubuh, ukuran massa, serta luasnya peritonitis. Bila sudah tidak
ada demam, massa periapendikular hilang, dan leukosit normal, penderita
boleh pulang dan apendiktomi elektif dapat dikerjakan 2-3 bulan kemudian
agar perdarahan akibat perlengketan dapat ditekan sekecil mungkin. Bila
terjadi perforasi, akan terbentuk abses apendiks. Hal ini ditandai dengan
kenaikan suhu dan frekuensi nadi, bertambahnya nyeri, dan teraba
pembengkakan massa, serta bertambahnya angka leukosit.
Massa apendiks dengan proses radang yang masih aktif sebaiknya dilakukan
tindakan pembedahan segera setelah pasien dipersiapkan, karena dikuatirkan
akan terjadi abses apendiks dan peritonitis umum. Persiapan dan
pembedahan harus dilakukan sebaikbaiknya mengingat penyulit infeksi luka
lebih tinggi daripada pembedahan pada apendisitis sederhana tanpa
perforasi. Pada periapendikular infiltrat, dilarang keras membuka perut,
tindakan bedah apabila dilakukan akan lebih sulit dan perdarahan lebih
banyak, lebih-lebih bila massa apendiks telah terbentuk lebih dari satu
minggu sejak serangan sakit perut. Pembedahan dilakukan segera bila dalam
perawatan terjadi abses dengan atau pun tanpa peritonitis umum.
Terapi sementara untuk 8-12 minggu adalah konservatif saja. Pada anak
kecil, wanita hamil, dan penderita usia lanjut, jika secara konservatif tidak
membaik atau berkembang menjadi abses, dianjurkan operasi secepatnya.
Bila pada waktu membuka perut terdapat periapendikular infiltrat maka luka
operasi ditutup lagi, apendiks dibiarkan saja. Terapi konservatif pada
periapendikular infiltrat :
1. Total bed rest posisi fawler agar pus terkumpul di cavum douglassi.
2. Diet lunak bubur saring
3. Antibiotika parenteral dalam dosis tinggi, antibiotik kombinasi yang aktif
terhadap kuman aerob dan anaerob. Baru setelah keadaan tenang, yaitu
sekitar 6-8 minggu kemudian, dilakukan apendiktomi. Kalau sudah terjadi
abses, dianjurkan drainase saja dan apendiktomi dikerjakan setelah 6-8
minggu kemudian. Jika ternyata tidak ada keluhan atau gejala apapun, dan
pemeriksaan jasmani dan laboratorium tidak menunjukkan tanda radang
atau abses, dapat dipertimbangkan membatalakan tindakan bedah.
Analgesik diberikan hanya kalau perlu saja. Observasi suhu dan nadi
Biasanya 48 jam gejala akan mereda. Bila gejala menghebat, tandanya
terjadi perforasi maka harus dipertimbangkan appendiktomy. Batas dari
massa hendaknya diberi tanda (demografi) setiap hari. Biasanya pada hari
ke5-7 massa mulai mengecil dan terlokalisir. Bila massa tidak juga
mengecil, tandanya telah terbentuk abses dan massa harus segera dibuka dan
didrainase.
Komplikasi
1. Perforasi pada apendiks, sekum, dan lekuk usus halus.
Tanda-tanda terjadinya suatu perforasi adalah :
a. nyeri lokal pada fossa iliaka kanan berganti menjadi nyeri
abdomen menyeluruh
b. Suhu tubuh naik tinggi sekali
c. Nadi semakin cepat
d. Defance Muskular yang menyeluruh
e. Bising usus berkurang
f. Perut distended
Akibat lebih jauh dari peritonitis generalisata adalah terbentuknya :
1. Pelvic Abscess
2. Subphrenic absess
3. Intra peritoneal abses lokal
Prognosis
Dengan diagnosis yang akurat serta pembedahan tingkat mortalitas dan
morbiditas penyakit ini sangat kecil. Keterlambatan diagnosis akan
meningkatkan morbiditas dan mortalitas bila terjadi komplikasi.
Serangan berulang dapat terjadi bila appendiks tidak diangkat.
STEP 7
1. Diagnosis banding
a. Keracunan makanan
b. Intoleransi makanan
c. Alergi makanan
d. Malabsorpsi makanan
e. Ileus paralitik
f. Divertukulum mekel
g. Perdarahan GI
Keracunan MakananKeracunan makanan adalah suatu keadaan peradangan akut pada selaput
lendir lambung atau usus kecil. Keracunan makanan sangat umum terjadi
dan terkadang menimbulkan masalah serius hingga mengancam hidup
penderitanya. Banyak sekali penyebab keracunan makanan, yang paling
umum adalah karena infeksi bakteri seperti Campylobacter, Salmonella,
Shigella, Escherichia coli (E. coli), Listeria, dan Botulisme.
Penyebab keracunan makanan
Berikut adalah beberapa organisme yang dapat meracuni makanan :
a. Keracunan oleh Bakteria
Penyebabnya dari keracunan ini adalah campyolobacterosis oleh bakteri
campylobacter seperti E.Coli , Vibro Cholera, Yersenia enterocolitica,
Lysteria monocytogenes, Shigella Sp, Salmonella dan Staphylococcus
Auereus . Biasanya terdapat pada ayam mentah, daging dan susu.
b. Keracunan oleh Virus
Hepatitis A, disebabkan oleh virus pada kerang dan siput yang menempel
pada sayuran mentah yang tidak dicuci sempurna. Norwalkvirus,
disebabkan oleh virus norwalk. Terdapat pada kerang dan siput yang
tercemar kotoran manusia
c. Keracunan oleh Protozoa
Giardiasis, disebabkan oleh Giardia Lambia, terdapat pada usus dan
pencernaan manusia, seringnya karena tidak mencuci tangan sebelum
makan. Amebiasis, disebabkan oleh Entamoeba hystolitica.
d. Penyebab Keracunan lain
Dapat disebabkan oleh cendawan beracun dan juga buah dan sayur yang
terlengketi racun serangga. Keracunan makanan juga bisa disebabkan
karena mengonsumsi alkohol secara berlebihan, alergi terhadap suatu
bahan makanan tertentu yang mungkin menyehatkan bagi orang lain
namun tidak bagi dirinya, dan racun atau bahan kimia tertentu. Sebagian
racun dapat menyebabkan keracunan dalam waktu yang jauh lebih
singkat. Dalam kasus ini, muntah menjadi gejala utama.
Seseorang dicurigai menderita keracunan, bila :
1. Sakit mendadak.
2. Gejala tak sesuai dengan keadaan patologik tertentu.
3. Gejala berkembang dengan cepat karena dosis besar.
4. Anamnese menunjukkan kearah keracunan, terutama kasus percobaan
bunuh diri, pembunuhan atau kecelakaan.
5. Keracunan kronis dicurigai bila digunakannya obat dalam waktu lama
atau lingkungan pekerjaan yang berhubungan dengan zat kimia.
Gejala Keracunan Makanan
Keracunan makanan biasanya dimulai dengan perasan mual, kejang dan
nyeri di perut secara tiba-tiba, perut kembung terutama di bagian bawah
yang diikuti dengan muntah-muntah, diare, dan perasaan lemah. Mungkin
juga muncul perasaan terbakar pada anus, dan tinja yang dikeluarkan
mengandung darah atau semacam lendir. Bila sudah dalam kondisi seperti
ini, si penderita akan kekurangan cairan dan akhirnya syok, hingga asidosis
(terlalu banyak asam pada cairan tubuh).
Dalam dua sampai empat jam setelah memakan makanan yang sudah
terkontaminasi bakteri, penderita akan merasakan kejang perut yang hebat,
diikuti perasaan mual, muntah-muntah, dan diare, sering juga terjadi
kelemahan dan syok yang hebat. Meskipun begitu, pada umumnya serangan
ini akan berakhir dalam beberapa jam diikuti dengan kesembuhan
sempurna.
Prinsip Penatalaksanaan :
1. Mengatasi penyebab terjadinya keracunan
2. Mengatasi masuknya zat racun ke dalam tubuh, atau menjadikan
racun yaang telah masuk ke dalam tubuh menjadi hilang
(dieliminasi) dari dalam tubuh.
3. Mengatasi efek yang ditimbukan oleh racun
Penatalaksanaan
Keracunan makanan dapat ditangani dengan cara :
a. Jangan makan makanan padat saat masih mual atau muntah tapi
minum banyak cairan.
b. Minum cairan dengan sedikit dan sering untuk menjaga tubuh agar
tetap rehidrasi. Dapat juga diberikan susu yang dicampur dengan
telur mentah.
c. Hindari alkohol, kafein, atau minuman manis.
d. Obat Rumah untuk mengobati mual atau diare seperti teh dengan
jeruk nipis dan jahe dapat digunakan untuk mengurangi gejala.
Tidak ada obat herbal makanan terbukti keracunan. Konsultasikan
dengan praktisi kesehatan sebelum mengkonsumsi obat keracunan
makanan alami.
e. Setelah berhasil mentoleransi cairan, makan harus mulai perlahan-
lahan, ketika mual dan muntah telah berhenti. Makanan biasa yang
mudah pada perut harus dimulai dalam jumlah kecil. Awalnya
mempertimbangkan makan nasi, gandum, roti, kentang, sereal
rendah gula, daging, dan ayam (tidak digoreng). Susu dapat
diberikan secara aman, meskipun beberapa orang mungkin
mengalami masalah pada perut karena laktosa intoleransi.
f. Sebagian besar keracunan makanan tidak memerlukan penggunaan
obatobatan untuk menghentikan diare, tetapi mereka umumnya aman
jika digunakan sesuai petunjuk. Hal ini tidak dianjurkan bahwa obat-
obat ini digunakan untuk mengobati anak-anak. Jika ada pertanyaan
atau kekhawatiran, selalu periksa dengan dokter
g. Penggantian cairan yang hilang. Cairan dan elektrolit - mineral
seperti natrium, kalium dan kalsium yang menjaga keseimbangan
cairan dalam tubuh. Terutama yang mengalami diare resisten. Anak-
anak dan orang dewasa yang sangat membutuhkan pengobatan
dehidrasi di rumah sakit, di mana mereka dapat menerima garam dan
cairan melalui vena (intravena), bukan melalui mulut. Hidrasi
intravena memberikan tubuh dengan air dan nutrisi penting jauh
lebih cepat daripada larutan oral lakukan.
h. Antibiotik dapat diresepkan jika memiliki beberapa jenis keracunan
makanan bakteri dan gejala yang berat. Keracunan makanan
disebabkan oleh kebutuhan listeria untuk diobati dengan antibiotik
intravena di rumah sakit. Dan pengobatan cepat dimulai, lebih baik.
Selama kehamilan, pengobatan antibiotik yang cepat dapat
membantu menjaga infeksi dari mempengaruhi bayi.
Penderita keracunan makanan harus dibawa ke dokter jika:
Gejala bertambah parah dan tidak berkurang dalam satu hari.
Demam 38° C atau lebih.
Terdapat gejala dehidrasi berat.
Penderita adalah bayi.
Keracunan terjadi secara massal.
Mencegah Keracunan Makanan
Makanan dapat terkontaminasi selama tahap pembuatan, pengolahan dan
penyajian. Untuk mencegah keracunan makanan, yang harus dilakukan
adalah:
Masak daging, unggas, telur, sosis dan ikan secara matang.
Cuci tangan dengan benar sebelum dan setelah menyiapkan
makanan.
Hindari menggunakan alat masak atau wadah untuk kelas makanan
berbeda, seperti mengiris daging lalu mengiris tahu tanpa pisau
dicuci terlebih dahulu.
Cuci tangan dengan baik setelah memegang hewan.
Jangan mengonsumsi susu yang belum di pasteurisasi.
Selalu perhatikan keterangan kadaluarsa pada makanan.
Recommended