PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dewasa ini Pemerintah sedang gencar – gencarnya meningkatkan
kualitas pendidikan di Indonesia. Dengan peningkatan tersebut, maka
akan menciptakan pemuda dengan tingkat intelektualitas yang lebih tinggi.
Peningkatan pola pikir pemuda tersebut tak jarang juga akan
meningkatkan pola pikir orang yang ada di lingkungan sekitarnya
sehingga masyarakat lebih kritis dalam menyikapi segala bentuk
permasalahan. Sehingga akibatnya masyarakat lebih banyak mengkritik
dan menuntut. Di bidang kesehatan pun tak luput dari sorotan masyarakat
apa lagi menyangkut jiwa seseorang. Sedikit saja tindakan yang menurut
mereka menyimpang, maka langsung saja mereka sebut malpraktik dan
menuntut tenaga kesehatan ataupun instansi yang terkait.
Tuntutan masyarakat tersebut bisa timbul juga karena adanya
peningkatan kesadaran hak. Masyarakat tau dan selalu menuntut agar
haknya terpenuhi. Dalam hal ini, hak yang dimaksud adalah hak
mendapatkan pelayanan kesehatan. Jika ada haknya yang belum
terpenuhi, maka tak jarang masyarakat tersebut menuntut tenaga
kesehatan dan menuduh malpraktik karena merasa dirugikan haknya tidak
terpenuhi seluruhnya. Karena perkembangan pola pikir masyarakat
tersebut, sebagai tenaga kesehatan haruslah mengetahui dan mengerti
tentang hukum kesehatan yang berlaku. Dengan memahami hukum
kesehatan yang berlaku, maka tenaga kesehatan dapat menjaga diri agar
tidak melakukan tindakan yang mengarah kepada tindakan malpraktik.
Oleh karena itu, kami menyusun laporan mengenai hukum
kesehatan dan malpraktik guna menambah wawasan kita sebagai
seorang calon tenaga kesehatan yakni perawat agar sejak dini
mangetahui dan memahami tentang apa yang nantinya menjadi pegangan
kita dalam menjalankan praktik keperawatan.
B. Batasan Masalah
Batasan-batasan yang kami gunakan untuk membatasi
bahasan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
a. Hukum kesehatan serta legislasi dan registrasi dalam ranah
praktik keperawatan
b. Informed consent dan rekam medis yang digunakan dalam
praktik keperawatan
c. Malpraktik yang dapat terjadi dalam praktik keperawatan
PEMBAHASAN
1. Definisi Hukum Kesehatan
Definisi hukum kesehatan sangatlah luas. Beberapa literatur
pun memiliki sudut pandang yang berbeda tentang hukum
kesehatan. Berbagai sumber tersebut antara lain:
1. Definisi hukum kesehatan menurut Perhimpunan Hukum
Kesehatan Indonesia (PERHUKI) (1993) adalah semua ketentuan
hukum yang berhubungan langsung dengan pemeliharaan /
pelayanan kesehatan dan penerapan hak dan kewajiban baik bagi
perseorangan maupun segenap lapisan masyarakat, baik sebagai
penerima pelayanan kesehatan maupun sebagai pihak
penyelenggara pelayanan kesehatan dalam segala aspek,
organisasi, sarana, pedoman standar pelayanan medik, ilmu
pegetahuan kesehatan dan hukum serta sumber-sumber hukum
lain.
2. Definisi dari Hanafiah dan Amir (2009) menyatakan, hukum
kesehatan adalah peraturan perundang-undangan yang
menyangkut pelayanan kesehatan.
3. Bastable (1997) menyebutkan fokus hukum kesehatan adalah
perlindungan konsumen.
Dari literatur di atas, dijelaskan bahwa hukum kesehatan
menyangkut semua ketentuan hukum yang berhubungan langsung
dengan semua aspek pelayanan kesehatan baik dari sisi penerima
pelayanan kesehatan maupun penyelenggara pelayanan kesehatan.
Kemudian disebutkan bahwa hukum kesehatan sebagai peraturan
perundang-undangan. Berarti hukum kesehatan ini jelas tertulis dan
wajib dipatuhi semua komponen yang bersangkutan. Terakhir fokus
hukum kesehatan adalah perlindungan konsumen. Jadi, definisi
hukum kesehatan adalah peraturan atau ketentuan hukum
tertulis yang menyangkut semua aspek pelayanan kesehatan
baik dari sisi penerima maupun penyelenggara pelayanan
kesehatan yang wajib dipatuhi semua komponen yang
bersangkutan dan berfokus pada perlindungan konsumen.
2. Dasar Hukum Praktik Keperawatan
Menurut Priharjo (2005),praktik keperawatan di Indonesia
secara dasar menginduk pada SK Menkes No.
674/MENKES/SK/IV/2000 tanggal 14 April 2000 tentang registrasi
dan praktik keperawatan. Surat keputusan Menkes ini sebagai
regulasi praktik keperawatan sekaligus kekuatan hukum bagi tenaga
perawat dalam menjalankan praktik keperawatan secara
professional. Kemudian direvisi menjadi Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1239/MENKES/SK/XI/2001
tentang Registrasi dan Praktik Perawat. Secara umum Peraturan
Menteri Kesehatan (Permenkes) ini membahas tentang definisi
perawat, Surat Izin Perawat, Surat Izin Kerja, Surat Izin Praktik, dan
Standar Profesi. Secara terperinci, Permenkes ini menjelaskan mulai
pelaporan tentang mahasiswa keperawatan yang baru lulus, proses
pengajuan permohonan SIP, proses registrasi SIP, pembaruan SIP
untuk memperoleh SIK dan SIPP, hingga aturan dalam praktik
keperawatan
Dasar praktik keperawatan ditinjau dari negara sendiri adalah
dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009
Tentang Kesehatan
Pasal 1 ayat 16
Pelayanan kesehatan tradisional adalah pengobatan dan/atau
perawatan dengan cara dan obat yang mengacu pada
pengalaman dan keterampilan turun temurun secara empiris
yang dapat dipertanggungjawabkan dan diterapkan sesuai
dengan norma yang berlaku di masyarakat.
Pasal 63 ayat (2)
Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dilakukan
dengan pengendalian, pengobatan, dan/atau perawatan.
Pasal 63 ayat (3)
Pengendalian, pengobatan, dan/atau perawatan dapat
dilakukan berdasarkan ilmu kedokteran dan ilmu keperawatan
atau cara lain yang dapat dipertanggungjawabkan kemanfaatan
dan keamanannya.
Pasal 63 ayat (4)
Pelaksanaan pengobatan dan/atau perawatan berdasarkan
ilmu kedokteran atau ilmu keperawatan hanya dapat dilakukan
oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan untuk itu.
Kemudian yang terbaru adalah dari Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor
HK.02.02/MENKES/148/1/2010 Tentang Izin Dan Penyelenggaraan
Praktik Perawat. Ketentuan umum Keputusan Menteri Kesehatan
(Kepmenkes) ini membahas tentang definisi perawat, Fasilitas
Pelayanan Kesehatan, Surat Izin Praktik Perawat (SIPP), Standar,
Surat Tanda Registrasi (STR), Obat-obat yang bisa diberikan oleh
perawat, dan Organisasi Profesi adalah Persatuan Perawat Nasional
Indonesia (PPNI). Secara terperinci, Kepmenkes ini menjelaskan hal-
hal mengenai perizinan praktik keperawatan, penyelenggaraan
praktik keperawatan, pembinaan dan pengawasan praktik
keperawatan, dan ketentuan-ketentuan lain.
3. Definisi Perawat Teregistrasi
Perawat teregistrasi memiliki pengertian yaitu perawat yang
telah melewati suatu proses administrasi di tempat perawat wajib
mendaftarkan diri pada dinas kesehatan propinsi untuk mendapatkan
surat izin perawat sebagai persyaratan untuk menjalankan pekerjaan
keperawatan dan memperoleh nomor registrasi. ( Kusnanto, 2004 ).
Pendapat lain mengartikan perawat teregistrasi adalah perawat
yang namanya telah tercantum pada badan resmi milik pemerintah,
dalam hal ini adalah dinas kesehatan propinsi, sehingga perawat
dapat melakukan praktik keperawatan di setiap tempat pelayanan
kesehatan baik praktik mandiri ataupun praktik non mandiri. ( Lisa,
2010 ).
Sedangakan PPNI sebagai organisasi profesi perawat
mengartikan perawat tergistrasi adalah perawat yang telah
diregistrasi dan secara hukum memiliki lisensi untuk melakukan
praktik keperawatan. Registrasi dan lisensi diberikan oleh lembaga
yang ditunujuk oleh pemerintah dan pemberiannya diatur oleh
peraturan perundangan. Dan perawat sendiri harus memenuhi
persyaratan-persyaratan yang ditentukan, baik persyaratan
administrasi maupun lulus uji kompetensi. ( PPNI, 2010)
Dari ketiga pendapat mengenai perawat tergistrasi dapat
disimpulkan bahwa yang dikatakan perawat tergistrasi adalah
perawat yang telah terdaftar di dinas kesehatan propinsi dan secara
hukum telah memiliki lisensi dan izin untuk melakukan praktik
keperawatan di setiap tempat pelayanan kesehatan setelah lulus uji
kompetensi dan melengkapi persyaratan administrasi.
4. Syarat Registrasi Praktik Perawat
Untuk menjadi perawat teregistrasi, seorang perawat harus
lulus pendidikan keperawatan yang diakui oleh pemerintah dan
asosiasi profesi. Saat ini ada dua kategori perawat lulusan baru,
yaitu perawat lulusan diploma III dan lulusan strata I. Kemudian
calon tersebut harus memenuhi syarat-syarat tertentu, seperti bebas
catatan kriminal, dinyatakan sehat fisik dan psikis oleh dokter yang
teregistrasi, dan lulus uji kompetensi profesi. ( PPNI, 2010).
Perawat yang teregistrasi akan memiliki SIPP dan SIK sebagai
bukti tertulis bahwa perawat tersebut memiliki kewenangan untuk
menjalankan pekerjaan keperawatan di seluruh tempat pelayanan
kesehatan di Indonesia. ( Keputusan Menteri Kesehatan no. 1239 /
Menkes/ SK /XI/ 2001 pasal 8 ayat 1,2,3).
Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi perawat
teregistrasi adalah:
a. Lulus pendidikan keperawatan yang diakui oleh pemerintah dan
asosiasi profesi. Minimal adalah lulusan diploma III.
b. Lulus uji kompetensi profesi
c. Memenuhi syarat-syarat lain yang ditentukan seperti bebas
catatan kriminal dan dinyatakan sehat secara fisik dan psikis
oleh dokter yang teregistrasi.
5. Proses Registrasi Praktek Keperawatan
6. Dasar hukum proses registrasi
Diatur dalam PERMENKES RI NOMOR HK
02.02/MENKES/148/I/2010 tentang izin dan penyelenggaraan
tentang praktek perawat pada BAB II pasal 2-7’
Diatur dalam PERMENKES RI
NO.1796/MENKES/PER/VIII/2011/ tentang Registrasi Tenaga
Kesehatan pada BAB II pasal 5-6
7. Definisi persetujuan tindakan
Persetujuan tindakan medic (PTM) adalah persetujuan yang
diberikan pasien kepada dokter setelah diberi penjelasan. ( M.Jusuf
Hanafiah & Amri Amir, 2009 )
Menurut Komalawati (1989) pengertian persetujuan tindakan
sebagai suatu kesepakatan / persetujuan pasien atas upaya medis
yang akan dilakukan dokter terhadap dirinya setelah mendapat
informasi dari dokter mengenai upaya medis yang dapat dilakukan
Proses
administrasi
Uji
kompetensi
Mendapat
STR
Pengumuman
kelulusan
LULUS
untuk menolong dirinya disertai informasi mengenai segala resiko
yang mungkin terjadi.
Menurut PERMENKES no. 585 tahun 1989. PTM adalah
persetujuan yang diberikan pasien atau keluarga atas dasar
penjelasan tindakan medic yang akan dilakukan terhadap pasien
tersebut.(pasal 1)
Jadi PTM dapat disimpulkan adalah persetujuan yang diberikan
pasien atau keluarga dimana pasien memiliki hak untuk menentukan
pengobatan atau tindakan medic apa yang akan dilaluinya atas
dasar penjelasan yang disampaikan tenaga medis.
8. Urgency persetujuan tindakan
Menurut Permenkes No. 290 (2008) pentingnya persetujuan
tindakan adalah memberikan perlindungan kepada klien terhadap
tindakan dokter yang sebenarnya tidak diperlukan dan secara medik
tidak ada dasar pembenarannya atas apa yang dilakukan tanpa
sepengetahuan pasiennya, memberi perlindungan hukum kepada
dokter terhadap suatu kegagalan yang negatif karena prosedur
medik modern bukan tanpa resiko. Menurt Nusye KI Jayanti (2009 )
persetujuan tindakan dapat menjadi perlindungan terhadap tenaga
kesehatan akan terjadinya akibat yang tidak terduga serta dianggap
merugikan pihak lain.
Persetujuan tindakan medic ini penting karena tidak semua
pemikiran dan pertimbangan dokter akan sama dengan apa yang
diinginkan atau diterima Pasien dan keluarganya. Hal seperti ini
biasanya terjadi karena dokter umumnya melihat pasien hanya dari
segi medisnya saja, sedangkan pasien mungkin lebih melihat dan
mempertimbangkan dari segi lain yang seperti keuangan , agama,
psikis, dan pertimbangan keluarga. Persetujuan tindakan pun sangat
penting karena merupakan salah satu bukti untuk melindungi tenaga
kesehatan jika terjadi hal yang tidak diinginkan atau resiko setelah
mendapat penanganan secara medis.
9. Indikasi Tindakan Perawatan yang Memerlukan Persetujuan
Tindakan (Inform Consent)
Tindakan perawatan yang memerlukan persetujuan tindakan
(informed concent) adalah semua tindakan medis yang menyangkut
kepentingan klien. Jadi,apapun tindakan medis yang akan diberikan
kepada klien harus mendapatkan persetujuan dari kliennya.
Sebelumnya, perawat terlebih dahulu menjelaskan kepada klien dan
keluarga mengenai tindakan yang akan diberikan. Baik itu berupa
tindakan operatif maupun tindakan invasif.
10. Pemberi Persetujuan Tindakan
Yang berhak memberikan persetujuan tindakan (informed
concent) adalah klien sendiri. Kalaupun kondisi klien tidak
mendukung/memungkinkan, harus melibatkan keluarga dalam
memperoleh persetujuan. Apabila dari klien, klien harus sudah
dewasa (diatas 21 tahun) dan bermental sehat. Sedangkan untuk
klien di bawah 21 tahun dan klien dengan gangguan jiwa
yang,memberi persetujuan adalah orangtua/wali/keluarga terdekat.
Untuk klien yang sedang dalam keadaan tidak sadar/pingsan dan
tidak didampingi oleh keluarga terdekat serta dalam keadaan gawat
darurat yang memerlukan tindakan medis segera, tidak diperlukan
persetujuan dari siapapun (pasal II bab IV Permenkes No. 585)
11. Penundaan dan Penolakan Persetujuan Tindakan
Tidak selamanya tindakan medis yang diberikan tenaga
kesehatan selalu diterima baik oleh klien/keluarga. Adakalanya
klien/keluarga menunda atau bahkan menolahk tindakan yang akan
diberikan. Dalam hal seperti ini, tenaga medis harus memahami
bahwa klien/keluarga berhak memberikan/menolak persetujuan
tindakan. Tidak ada hak untuk memaksa klien ataupun keluarganya
meskipun penolakan/penundaan tersebut bisa berakibat fatal bahkan
kematian.
Bila tenaga medis gagal mendapatkan persetujuan tindakan
dari klien ataupun keluarga,sebaiknya meminta klien/keluarga
menandatangani surat pernyataan yang berisi penolakan terhadap
tindakan yang akan diberikan untuk keamanan dikemudian hari. Jadi
apabila terjadi sesuatu dibelakang hari,tidak menjadi tanggung jawab
tenaga medis maupun rumah sakit yang bersangkutan.
12. Definisi Rekam Medis
Rekam medis adalah berkas yang berisi catatan dan dokumen
antara lain identitas pasien, hasil pemeriksaan, pengobatan yang
telah diberikan, serta tindakan dan pelayanan yang telah diberikan
kepada klien (Permenkes no. 269/MENKES/PER/III/2008).
Definisi lain menyebutkan rekam medis adalah rekaman dalam
bentuk tulisan atau gambaran aktivitas pelayanan yang diberikan
oleh pemberi pelayanan medis / kesehatan kepada seorang pasien
(IDI 2005).
Sedangkan menurut Hanafiah dan Amir (2009), rekam medis
adalah kumpulan keterangan tentang identitas, hasil anamnesis,
pemeriksaan dan catatan segala kegiatan para pelayan kesehatan
atas pasien dari waktu ke waktu.
Dari beberapa definisi tersebut, bisa disimpulkan rekam medis
adalah kumpulan data-data/dokumen /bukti tertulis tentang diri
pasien/ klien yang meliputi kondisi maupun terapi / pengobatan yang
telah diberikan.
13. Tujuan dan Standar Rekam Medis
Tujuan Rekam Medis adalah untuk menunjang tercapainya
tertib administrasi dalam rangka upaya peningkatan pelayanan
kesehatan . Tanpa didukung suatu sistem pengelolaan rekam medis
yang baik dan benar , maka tertib administrasi tidak akan berhasil
Standar informasi dalam Berkas Rekam Medis Rekam medis
terdiri dari dua bagain, yaitu identitas dan pemeriksaan klinik.
Pemeriksaan klinik mengisahkan secara kronologis kegiatan
pelayanan medis yang diterima pasien selama berada di rumah
sakit.
Rekam medis akan berguna nilainya bagi unsur administratif,
hukum, keuangan, riset, edukasi, dan pendokumentasian, apabila
memenuhi unsur akreditasi, yaitu rekam medis memiliki:
1. Identitas dan formulir persetujuan-persetujuan,
2. Riwayat penyakit pasien secara lengkap,
3. Laporan pemeriksaan fisik
4. Instruksi diagnostik dan teraupetik dengan tanda tangan dan
nama terang tenaga kesehatan yang berwenang. Intruksi per
telepon dapat diterima oleh perawat dan dicatat tetapi dalam
waktu 24 jam instruksi tersebut harus segera ditandatangani oleh
dokter yang bertanggungjawab.
5. Observasi, segala laporan observasi termasuk laporan
konsultasi.
6. Laporan tindakan dan penemuan, termasuk yang berasal dari
penunjang medik, yaitu laboratorium, radiologi, laporan operasi
serta tanda tangan pasien, dokter, dan sebagainya. Untuk
laporan operasi harus memuat informasi lengkap mengenai
penemuan, cara operasi, benda yang dikeluarkan dan diagnosis
pasca bedah.
14. Kepemilikan Rekam Medis.
1) Milik rumah sakit atau tenaga kesehatan:
a. Sebagai penaggungjawab integritas dan kesinambungan
pelayanan.
b. Sebagai tanda bukti rumah sakit terhadap segala upaya
dalam penyembuhan pasien
c. Rumah sakit memegang berkas rekam medis asli. Direktur
RS bertanggungjawab atas:
a) Hilangnya, rusak, atau pemalsuan rekam medis
b) Penggunaan oleh badan atau orang yang tidak berhak
2) Milik pasien, pasien memiliki hak legal maupun moral atas isi
rekam medis.Rekam medis adalah milik pasien yang harus
dijaga kerahasiaannya.
3) “Milik umum”, pihak ketiga boleh memiliki (asuransi,
pengadilan, dsb)
15. Hak Akses Rekam Medis.
Pada dasarnya yang berhak mengakses untuk membuat rekam
medis adalah tim pemberi pelayanan kesehatan yang secara
langsung berhubungan dengan klien. Isi rekam medis berhak untuk
diketahui oleh klien, atau tenaga hokum jika untuk kepentingan
hokum, serta kepala konsulen. Permintaan pemaparan untuk
kepentingan pengadilan hanya dilakukan jika permintaan tersebut
ditunjukan kepada kepala rumah sakit. Dokter yang bertagung jawab
terhadap klien berhak memberi pemaparan isi dari rekam medis
tersebut. Akan tetapi ketika dokter yang bersangkutan berhalangan,
maka dokter lain yang telah diberi kuasa oleh dokter yang
bertanggung jawab, dapat mengambil alih peran dalam member
pemaparan isi rekam medis. (Rano I S, 2009)
Rekam medis harus dijaga kerahasiannya oleh tim kesehatan,
Karena data tersebut merupakan data penting bagi klien maupun
bagi tim kesehatan. Dan telah menjadi prosedur pihak rumah sakit
untuk menjaga kerahasiaan rekam medis milik pasien. Ini dilakukan
agar tidak ada pihak yang tidak berwenang merubah data pasien.
Pada pasal 10 PerMenKes no. 749a menyatakan bahwa berkas
rekam medis itu merupakan milik sarana pelayanan kesehatan, yang
harus disimpan sekurang- kurangnya untuk jangka waktu 5 tahun
terhitung sejak tanggal terakhir pasien berobat. Biasanya pada
kebijakn rumah sakit berkas yang telah lebih dari 5 tahun akan
dimusnahkan dengan cara dibakar. Dan ketika klien rawat inap telah
ditanyatakan untuk dapat pulang maka pihak rumah sakit harus
memberikan foto copi dari rekam medis tersebut. (Ferryal Basbeth,
2011)
16. Implikasi Hukum Pelanggaran Standart Rekam Medis
Sanksi pelanggaran yang dapat dijatuhakan atas pelanggaran
tentang tidak tersedianya fasilitas rekam medis menurut PerMenKes
rekam medis pasal 17 adalah sanksi administrative. Pada pasal 79
UU No.29/ 2004 mengancam sanksi pidana kurungan paling lama 1
tahun atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,- bagi setiap dokter
atau dokter gigi yang dengan sengaja tidak memasang papan nama,
tidak membuat rekam medis dan tidak memmnuhi kewajiban.
Sementara itu ancaman pidana atas dibukanya rahasia jabatan
ditentukan dalam pasal 322 ayat (1) KUHP yang menyatakan barang
siapa dengan sengaja membuka suatu rahasia yang wajib disimpan
karena jabatan atau pekerjaannya baik yang sekarang maupun yang
dahulu, dipidana dengan pidana penjara paling lama Sembilan bulan
atau denda paling banyak Rp. 600.000,-.
Pelanggaran atas ketentuan rekam medis dipandang dari sudut
hukum pidana diatur dalam pasal 79 huruf b UU Praktek Kedokteran,
yaitu diancam sanksi pidana kurungan paling lama 1 tahun atau
denda paling banyak Rp. 50.000.000,-. Selain itu pelanggaran atas
tidak tersedianya rekam medis dapat juga berupa pencabutan izin
praktek. (Wahjuningati E, 2011)
17. Implikasi Hukum Pelanggaran Standar Rekam Medis
Tidak tersedianya rekam medis dapat berakibat pada hokum
administrasi, hukum perdata maupun hukum pidana. Menurut Pasal
17 Permenkes Rekam Medis, bahwa tidak tersedianya rekam medis
pada sarana pelayanan kesehatan dipandang sebagai pelanggaran
di bidang administrasi, oleh karena itu sanksi yang dijatuhkan berupa
sanksi administratif, yaitu berupa teguran lisan sampai pencabutan
surat ijin.
Pelanggaran atas ketentuan rekam medis dipandang dari sudut
hukum pidana diatur dalam Pasal79 huruf b UU Praktek Kedokteran,
yaitu diancam sanksi pidana kurungan paling mala 1 (satu) tahun
atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (Lima puluh juta rupiah).
Pasal 79 huruf b UU Praktek Kedokteran ditentukan sebagai delik
biasa. Konsekuensi yuridis dari delik biasa dalam hukum pidana,
tanpa adanya pengaduan dari pihak-pihak yang dirugikan seperti
ditentukan dalam undang-undang, maka terhadap tenaga medis
yang tidak menyediakan fasilitas rekam medis dapat dituntut menurut
hukum pidana. Dengan demikian, pembuatan rekam medis oleh
tenaga medis bersifat wajib.
Sanksi pidana berupa pidana kurungan paling lama satu tahun
atau denda sejumlah lima puluh juta rupiah terhadap pelaku
pelanggaran rekam medis “cukup” berat. Ketentuan hukum pidana
yang bersifat imperatif dan kejam dapat menjadi “bumerang” bagi
tenaga medis. Mengingat sifat pelanggaran atas penyediaan fasilitas
rekam medis yang “cenderung” di bidang administrasi (dalam
pelayanan kesehatan), seyogyanya ditinjau ulang ketentuan pidana
atas pelaku pelanggarannya. Minimal, kalaupun ketentuan tersebut
dinyatakan sebagai perbuatan pelanggarnya di bidang pidana,
perumusan ketentuan tersebut dinyatakan sebagai delik aduan,
sehingga sepanjang tidak ada pihak-pihak yang dirugikan dengan
tidak tersedianya, rekam medis, maka terhadap tenaga medis tidak
dapat dilakukan penuntutan. (Dahlan, 2001)
18. Definisi Malpraktek
Malpraktek merupakan istilah yang sangat umum sifatnya dan
tidak selalu berkonotasi yuridis. Secara harfiah “mal” mempunyai arti
salah, sedangkan “praktek” mempunyai arti pelaksanaan atau
tindakan, sehingga malpraktek berarti pelaksanaan atau tindakan
yang salah. Meskipun arti harfiahnya demikian namun kebanyakan
istilah tersebut dipergunakan untuk menyatakan adanya tindakan
yang salah dalam rangka pelaksanaan suatu profesi. Sedangkan
definisi malpraktek profesi kesehatan adalah kesalahan atau ketidak
telitian dari seorang dokter atau tenaga keperawatan untuk
mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam
mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap
pasien atau orang yang terluka menurut ukuran di lingkungan yang
sama.
Malpraktek dapat terjadi karena suatu tindakan yang disengaja
(intentional) seperti pada misconduct tertentu, tindakan kelalaian
(negligence), ataupun suatu kekurang-mahiran/ketidakkompetenan
yang tidak beralasan.
Sebenarnya malpraktek dengan kelalaian merupakan suatu
istilah yang berbeda. Malpraktek bisa diartikan sebagai praktek yang
salah atau tidak sesuai dengan standart profesi atau standart
preosedur operasional yang dapat merugikan klien, sedangkan
kelalaian adalah tidak melakukan sesuatu yang seharusnya
dilakukan, atau melakukan sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan
oleh orang yang se-kualifikasi pada situasi dan kondisi yang identik.
Dari berbagai definisi malpraktik diatas dan dari kandungan
hukum yang berlaku di indonesia dapat ditarik kesimpulan bahwa
pegangan pokok untuk membuktikan malpraktik yakni dengan
adanya kesalahan tindakan profesional yang dilakukan oleh seorang
tenaga kesehatan yang tidak sesuai dengan prosedur ketika
melakukan perawatan medik dan ada pihak lain yang dirugikan atas
tindakan tersebut.
Perawat dikatakan melakukan malpraktek jika :
1. Perawat kurang menguasai iptek keperawatan yang
sudah berlaku umum di kalangan profesi keperawatan
2. Memberikan pelayanan keperawatan di bawah standar
profesi (tidak lege artis)
3. Melakukan kelalaian yang berat atau memberikan
pelayanan dengan tidak hati-hati
4. Melakukan tindakan medik yang bertentangan dengan
hukum
Dalam kehidupan sehari-hari malpraktek tidak hanya digunakan
untuk kesalahan professional dari tenaga kesehatan saja, namun
juga pada profesi lain seperti insinyur, pengacara, akuntan, dokter
gigi, dokter hewan. Malpraktek mungkin merupakan hasil dari
kebodohan, neglet atau kurangnya keterampilan atau kesetiaan
dalam pelaksanaan tugas profesional, kesalahan disengaja, atau
praktek ilegal atau tidak etis (Kamus Coughlin tentang Hukum).
19. Malpraktek Keperawatan dari Tinjauan Hukum
Untuk malpraktek dari tinjauan hukum dibagi menjadi 3 kategori
sesuai hukum yang dilanggar :
1. Criminal malpractice
Perbuatan seseorang dapat dimasuk kan dalam kategori
criminal malpractice manakala perbuatan tersebut memenuhi
rumusan delik pidana yakni : Perbuatan tersebut (positive act
maupun negative act) merupakan perbuatan tercela. Dilakukan
dengan sikap batin yang salah yang berupa kesengajaan,
kecerobohan atau kealpaan. Criminal malpractice yang bersifat
sengaja (intensional) misalnya melakukan euthanasia (pasal 344
KUHP), membuka rahasia jabatan (pasal 332 KUHP), membuat
surat keterangan palsu (pasal 263 KUHP), melakukan aborsi
tanpa indikasi medis pasal 299 KUHP).
Criminal malpractice yang bersifat ceroboh misalnya
melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien informed
consent. Criminal malpractice yang bersifat lalai misalnya kurang
hati-hati mengakibat kan luka,cacat atau meninggalnya pasien,
ketinggalan klem dalam perut pasien saat melakukan operasi.
Pertanggung jawaban didepan hukum pada criminal malpractice
adalah bersifat individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat
dialihkan kepada orang lain atau kepada rumah sakit/sarana
kesehatan.
2. Civil malpractice
Seorang tenaga kesehatan akan disebut melakukan civil
malpractice apabila tidak melaksanakan kewajiban atau tidak
memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati
(ingkar janji).Tindakan tenaga kesehatan yang dapat
dikategorikan civil malpractice antara lain: Tidak melakukan apa
yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan, Melakukan apa
yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat
melakukannya, Melakukan apa yang menurut kesepakatannya
wajib dilakukan tetapi tidak sempurna, Melakukan apa yang
menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.
Pertanggung jawaban civil malpractice dapat bersifat individual
atau korporasi dan dapat pula dialihkan pihak lain berdasarkan
principle of vicarius liability. Dengan prinsip ini maka rumah
sakit/sarana kesehatan dapat bertanggung gugat atas kesalahan
yang dilakukan karyawannya (tenaga kesehatan) selama tenaga
kesehatan tersebut dalam rangka melaksanakan tugas
kewajibannya.
3. Administrative malpractice
Tenaga kesehatan dikatakan telah melakukan
administrative malpractice manakala tenaga perawatan tersebut
telah melanggar hukum administrasi. Perlu diketahui bahwa
dalam melakukan police power, pemerintah mempunyai
kewenangan menerbitkan berbagai ketentuan di bidang
kesehatan, misalnya tentang persyaratan bagi tenaga perawatan
untuk menjalankan profesinya (Surat Ijin Kerja, Surat Ijin
Praktek), batas kewenangan serta kewajiban tenaga perawatan.
Apabila aturan tersebut dilanggar maka tenaga kesehatan yang
bersangkutan dapat dipersalahkan melanggar hukum
administrasi.
20. Pembuktian Tindakan Malpraktek
Dalam kasus atau gugatan adanya civil malpractice
pembuktianya dapat dilakukan dengan dua cara yakni :
1. Cara langsung
Oleh Taylor membuktikan adanya kelalaian memakai tolok ukur
adanya 4 D yakni :
a. Duty (kewajiban)
Dalam hubungan perjanjian tenaga perawatan dengan
pasien, tenaga perawatan haruslah bertindak berdasarkan
1) Adanya indikasi medis
2) Bertindak secara hati-hati dan teliti
3) Bekerja sesuai standar profesi
4) Sudah ada informed consent.
b.Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban)
Jika seorang tenaga perawatan melakukan asuhan
keperawatan menyimpang dari apa yang seharusnya atau
tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut
standard profesinya, maka tenaga perawatan tersebut dapat
dipersalahkan.
c. Direct Causation (penyebab langsung)
d. Damage (kerugian)
Tenaga perawatan untuk dapat dipersalahkan haruslah ada
hubungan kausal (langsung) antara penyebab (causal) dan
kerugian (damage) yang diderita oleh karenanya dan tidak
ada peristiwa atau tindakan sela diantaranya., dan hal ini
haruslah dibuktikan dengan jelas. Hasil (outcome) negatif
tidak dapat sebagai dasar menyalahkan tenaga perawatan.
Sebagai adagium dalam ilmu pengetahuan hukum, maka
pembuktiannya adanya kesalahan dibebankan/harus
diberikan oleh si penggugat (pasien).
2. Cara tidak langsung
Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah
bagi pasien, yakni dengan mengajukan fakta-fakta yang diderita
olehnya sebagai hasil layanan perawatan (doktrin res ipsa
loquitur). Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-
fakta yang ada memenuhi kriteria:
a. Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila tenaga perawatan
tidak lalai
b. Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab
tenaga perawatan
c. Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan
perkataan lain tidak adacontributory negligence gugatan
pasien .
21. Upaya Pencegahan dan Upaya Menghadapi Tuntutan Malpraktek
Dengan adanya malpraktik dalam pelayanan kesehatan, maka
perawat haruslah berhati – hati agar tidak melakukannya. Untuk itu,
perlu adanya pencegahan malpraktik oleh perawat atau pun tenaga
kesehatan yang lain. Pencegahan malpraktik tersebut dapat
dilakukan dengan :
1. Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan
upayanya, karena perjanjian berbentuk daya upaya bukan
perjanjian akan berhasil.
2. Sebelum melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed
consent.
3. Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis.
4. Apabila terjadi keragu – raguan, konsultasikan kepada senior
atau dokter.
5. Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan
memperhatikan segala kebutuhannya.
6. Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan
masyarakat sekitarnya.
7. Menjalin hubungan yang baik dengan teman sejawat.
8. Terus meningkatkan pengetahuan dan kompetensi yang dimiliki.
Jika perawat dituntut melakukan malpraktik, maka mau tidak
mau perawat tersebut haruslah menghadapinya. Dan upaya yang
bisa dilakukan untuk menghadapi tuntutan tersebut adalah :
1. Informal defence
Dengan mengajukan bukti untuk menyangkal bahwa tuduhan
yang diajukan berdasar atau tidak menunjuk pada doktrin –
doktrin yang ada.
2. Formal / legal defence
Melakukan pembelaan dengan mengajukan atau menunjuk
pada doktrin – doktrin hukum, yaitu dengan menyangkal
tuntutan dengan cara menolak unsur – unsur
pertanggungjawaban atau melakukan pembelaan untuk
membebaskan diri dari pertanggungjawaban, dengan
mengajukan bukti bahwa yang dilakukan adalah pengaruh daya
paksa.
Dalam hal ini, sebaiknya perawat menggunakan jasa
penasehat hukum, sehingga yang sifatnya teknis pembelaan dapat
diserahkan kepadanya. (Kasiman, 2008)
RINGKASAN
Hukum kesehatan adalah semua ketentuan hukum yang
berhubungan langsung dengan pemeliharaan/pelayanan kesehatan dan
penerapannya. Di dalamnya mengatur tentang hak dan kewajiban baik
bagi perseorangan maupun segenap lapisan masyarakat, baik penerima
pelayanan kesehatan maupun sebagai pihak penyelenggara pelayanan
kesehatan dalam segala aspek( organisasi,sarana, pedoman standar
pelayanan medic, ilmu pengetahuan dan hukum.
Sedangkan lebih spesifik lagi, ada hukum-hukum yang mengatur
taip-tiap bidang profeis kesehatan, termasuk di dalamnya profesi
keperawatan. Dasar hukum yang mengatur mengenai praktik
keperawatan antara lain Peraturan pemerintah RI nomor 32 tahun 1996
sebagai pelaksanaan UU no 23 tahun 1992 yang membahas tentang
siapa saja yang disebut tenaga kesehatan, kewajiban dan hak tenaga
kesehatan ; Permenkes RI no. HK 02.02/Menkes/148/I/2010 tentang izin
dan praktik penyelenggaraan praktik perawat ; Keputusan menkes RI no
1239/ Menkes/ SK/XI/2001 tentang registrasi dan praktik perawat.
Perawat adalah salah satu dari sekian banyak pekerjaan profesi
yang ada di Indonesia. Setiap pekerjaan profesi pasti memiliki standar
yang mengatur setiap pekerja profesionalnya, begitu juga dengan
perawat. Untuk membuat mutu pelayanan keperawatan yang memenuhi
standar, maka diadakanlah registrasi dan lisensi bagi perawat di
Indonesia. Perawat yang telah mendapatkan registrasi disebut perawat
teregistrasi. Pengertian dari perawat teregistrasi sendiri adalah perawat
yang telah terdaftar di dinas kesehatan propinsi dan secara hukum telah
memiliki lisensi dan izin untuk melakukan praktik keperawatan di setiap
tempat pelayanan kesehatan setelah lulus uji kompetensi dan melengkapi
persyaratan administrasi. Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh calon
perawat teregistrasi antara lain : lulus pendidikan keperawatan di tempat
yang diakui pemerintah minimal DIII, lulus uji kompetensi, dan memenuhi
syarat-syarat administrasi lainnya yang telah ditentukan.
Proses menjadi perawat teregistrasi adalah sebagai berikut :
perawat lulus dari pendidikan keperawatan dan pihak institusi
mengirimkan surat kepada kepala dinkes propinsi yg menyatakan bahwa
yang bersangkutan telah lulus. Kemudian dinkes menerbitkan nomor
registrasi dan SIP. Saat ini telah di uji cobakan uji kompetensi
keperawatan sebagai persyaratan mendapatkan SIP.
Hukum yang mendasari proses registrasi keperawatan adalah :
Kepmenkes no.1239/Menkes/SK/XI/2001 dan peraturan menkes no. HK
02.02/Menkes/ 148/ I/2010 tentang izin penyelenggaraan praktik
keperawatan.
Setiap tenaga kesehatan yang akan melakukan tindakan harus
melakukan informed consent terlebih dahulu. Informed consent adalah
persetujuaan baik berupa pernyataan tertulis atau pun lisan terhadap
tindakan yang akan diberikan oleh tenaga kesehatan. Pemberi
persetujuan adalah pasien atau pihak-pihak lain yang sah. Urgensi dari
dilakukannya informed consent adalah untuk menghindari penipuan atau
pemaksaan yang mungkin saja dilakukan oleh tenaga kesehatan,
menghormati hak otonomi perorangan dan sebagai alat perlindungan
hukum bagi pemberi layanan kesehatan dan penerima layanan
kesehatan.
Tindakan-tindakan yang memerlukan informed consent adalah
semua tindakan keperawatan, mulai dari tindakan diagnose, pemeriksaan
fisik, dan tindakan yang bertujuan untuk terapi. Tidak semua orang dapat
memberikan persetujuan tindakan. Pihak-pihak yang dapat memberikan
persetujuan adalah : pasien yang sehat secara psikis dan telah berusia 21
tahun atau telah menikah, orang tua, saudara kandung, wali, dan induk
semang dapat memberikan persetujuan tindakan medis pada pasien yang
berusia di bawah 21 tahun atau dalam keadaan gangguan jiwa.
Sedangkan bagi pasien yang tidak sadarkan diri, dalam keadaan darurat,
dan tidak ada yang mengantarkan maka tidak perlu dilakukan informed
consent sebelum melakukan tindakan, namun informed consent wajib
diberitahukan saat pasien dinilai dalam kondisi yang sudah bisa menerima
informasi yang akan diberikan.
Pasien memiliki hak untuk menerima, menolak, ataupun menunda
suatu tindakan dan pihak tenaga kesehatan sendiri tidak diperkenankan
untuk memaksakan tindakan yang akan diberikan. Untuk pasien yang
menolak tindakan, maka tenaga kesehatan harus berusaha meyakinkan
pasien dan memberikan laternatif-alternatif lain yang dapat dilakukan. Bila
pasien tetap menolak maka pasien diharuskan untuk mengisi informed
refusal. Setelah mengisi informed refusal tenaga kesehatan tidak
bertanggung jawab terhadap apa yang terjadi pada pasien.
Di dalam dunia pelayanan kesehatan dikenal adanya rekam medis.
Rekam medis adalah suatu berkas yang berisikan identitas pasien,
pemeriksaan, pengobatan dan pelayanan kesehatan lain yang diterima
oleh pasien. Tujuan dilakukannya rekam medis adalah untuk bukti tertulis
tindakan apa saja yang telah dilakukan sehingga dapat digunakan sebagai
alat perlindungan hukum, menyediakan data-data yang dapat digunakan
dalam penelitian, dan sebagai alat untuk mengoreksi pelayanan
kesehatan di temapat penyedia layanan kesehatan. Rekam medis sendiri
juga memiliki standart antara lain : harus ditulis segera setelah tindakan
diberikan, ditulis dengan tangan, pembetulan dilakukan tanpa
menggunakan tipe-X melainkan dengan pencoretan setelah dibenarkan
harus dibubuhi tanda tangan pihak yang membenarkan, rekam medis
bersifat rahasia, disimpan menurut aturan yang berlaku, dan diisi sesuai
dengan aturan yang telah ditetapkan dalam peraturan perundangan.
Rekam medis dimiliki oleh pihak tempat penyelenggaraan
pelayanan kesehatan sedangkan isinya adalah milik pasien. Pasien dapat
hanya dapat memiliki ringkasan isi dari rekam medis miliknya yang dibuat
oleh dokter. Sedangkan pihak yang dapat mengakses rekam medis
adalah pasien yang memiliki kepentingan atau pihak-pihak dari asien yang
sah secara hukum untuk mengakses rekam medis, pihak rumah sakit,
pihak-pihak yang telah mendapatkan izin untuk mengambil data dari
rekam medis yang akan digunakan sebagai bahan penelitian, dan tenaga
kesehatan lain yang terkait. Perlu diketahui bahwa catatan atau
dokumentasi keperawatan merupakan bagian dari rekam medis dan dapat
memberikan data-data kondisi pasien dilihat dari sisi keperawatan.
Peraturan perundang-undangan juga mengatur tentang stabdat
rekam medis. Bagi siapa saja yang melanggar akan dikenakan sanksi.
Sanksi yang diberikan berupa sanksi teguran baik secara lisan maupun
tulisan, sanksi kode etik hingga pencabutan izin praktik.
Mal praktik adalah istilah yang sering didengar dalam pelayanan
kesehatan. Mal praktik adalah praktik professional yang tidak memenuhi
standar yang bisa diterima sehingga membahayakan. Mal praktik sendiri
meliputi perilaku yang tidak etis, kelalaian, pelecehan dan perbuatan
kriminal. Dari segi hukum mal praktik dapat ditinjau dari tiga sisi yaitu
criminal malpraktik, civil malpraktik, dan administrative mal praktik.
Pembuktian terhadap tindakan malparaktik dapat dilakukan melalui 2 cara
yaitu cara langsung dan tidak langsung. Dengan cara angsung yang
dibuat tolak ukur adalah kewajiban, penyimpangan kewajiban, kerugian
dan penyebab langsung. Sedangkan secara tidak langsung yaitu cara
pembuktian dengan pasien menunjukkan fakta-fakta kerugian yang
dideritanya yang fakta tersebut mengarah perbuatan malpraktik.
Untuk mencegah terjadinya tindakan malpraktik yang harus
dilakukan adalah : tidak menjanjikan kesembuhan pada pasien, selalu
melakukan informed consent sebelum melakukan tindakan, membuat
rekam medis, bila terjadi keragu-raguan tanyakan pada senior atau dokter,
memperlakukan pasien secara manusiawi, dan menjalin hubungan
komunikasi yang baik dengan pasien. Sedangkan upaya yang dapat
dilakukan oleh tenaga kesehatan saat menghadapi tuntutan malpraktik
adalah melakukan informal defense, yaitu dengan mengajukan bukti yang
dapat menyangkal terjadinya malpraktik dan dengan melakukan formal
defense yaitu dengan mengajukan bukti-bukti yang menguatkan dan sah
secara hukum untuk melawan tuntutan di jalur hukum.
REFERENSI PUSTAKA
Achadiat, C.M. 2004. Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran Dalam
Tantangan Zaman. Jakarta : EGC
Bastable, Susan B. 2002. Perawat Sebagai Pendidik. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Carpenito, Lynda Juall. 2009. Diagnosis keperawatan : Aplikasi pada
praktik Klinis. Jakarta : EGC.
Cucan. 2012 .Rekam Medis. (online)
http://cucan2010.wordpress.com/category/rekam-medis/
(diakses 27 Mei 2012)
Ferryal, Basbeth. 2011. Rekam medis. (online)
http://medicalrecord.webs.com/kepemilikanrekammedis.htm
(diakses 24 Mei 2012).
Gondodiputro, Sharon. 2010. Rekam Medis dan Sistem Informasi
Kesehatan (online) http://jerykesmas.wordpress.com/ (diakses
27 Mei 2012)
Hanafiah, M. Jusuf dan Amir, Amri. 2009. Etika Kedokteran dan Hukum
Kesehatan Edisi 4. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Jayanti, Nusye KI. 2009. Penyelesaian Hukum dalam Malpraktik
Kedokteran. Jakarta : Penerbit Pustaka Yestisia.
Kasiman. 2008. Malpraktik Hukum Perawatan, (Modul). Magelang: Balai
Pelatihan Kesehatan Salaman.
Kusnanto. 2004. Pengantar Profesi dan Praktik Keperawatan Profesional.
Jakarta : EGC.
PPNI. 2010. Pernyataan PPNI Mengenai Perawat Teregistrasi (online)
www.inna-ppni.or.id (diakses tanggal 26 Mei 2012)
Priharjo, Robert. 2008. Konsep & Perspektif Praktik Keperawatan
Profesional. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Rano I S. 2009. Rekam medis. (online) http://www.ilunifk83.com/t257-
rekam-medis (diakses 24 Mei 2012).
Sharpe, C.C. 1999. Nursing Malpractice: Liability and Risk Management.
Westport: Greenwood Publishing Group, Inc.
Wahjuningati, Edi.2011. Rekam Medis dan Aspek Hukumnya. (online)
http://sap.ubhara.ac.id/wp-content/uploads/2012/01/rekam-
medis.pdf (diakses 25 Mei 2012).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
585/Men.Kes/PER/IX/1989 Tentang Persetujuan Tindakan
Medis.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1239/MENKES/SK/XI/2001 tentang Registrasi dan Praktik
Perawat.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
290/MENKES/PER/III/2008 Tentang Persetujuan Tindakan
Kedokteran.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1796/MENKES/PER/VIII/2011 Tentang Registrasi Tenaga
Kesehatan.
Keputusan Meteri Kesahatan Republik Indonesia Nomor 1239/ Menkes/
SK/XI/ 2001 Tentang Registrasi dan Praktik Perawat
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
HK.02.02/MENKES/148/1/2010 Tentang Izin Dan
Penyelenggaraan Praktik Perawat.
SK Menkes No. 674/MENKES/SK/IV/2000 tanggal 14 April 2000 Tentang
Registrasi Dan Praktik Keperawatan.