BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sepsis merupakan suatu kondisi kerusakan sistim imun akibat infeksi.Hal ini
merupakan masalah kesehatan dunia karena patogenesisnya yang sangat kompleks dan
pengobatannya yang sulit serta angka mortalitasnya yang tinggi meskipun selalu terjadi
perkembangan antibiotic yang baru.Sepsis terjadi di beberapa Negara dengan angka
kejadian yang tinggi, dan kejadiannnya yang terus meningkat.Berdasarkan data
Epidemiologi di Amerika Utara bahwa sepsis terjadi pada 3 kasus dari 1000 populasi
yang diartikan 75.000 penderita per tahun.Angka mortalitas sepsis mencapai 30% dan
bertambah pada usia tua 40% dan penderita syok sepsis mencapai 50 %.Meskipun selalu
terjadi perkembangan antibiotic dan terapi perawatan intensif,sepsis menimbulkan angka
kematian yang tinggi dihampir semua ICU.Sindrom sepsis mulai dari Sistemic
Inflammatory Respond Syndrome (SIRS) sampai sepsis yang berat (Disfungsi organ yang
akut) dan syok sepsis (Sepsis yang berat ditambah dengan hipotensi yang tak membaik
dengan resusitasi cairan).
Terapi utama meliputi resusitasi cauran untuk mengembalikan tekan sirkulasi
darah, terapi antibiotic, mengatasi sumber infeksi, pemberian vasopresor untuk mencegah
syok dan pengendalian kadar gula dalam darah.Sepsis akan menyebabkan terjadinya
syok, sehinggga berdampak pada kerusakan organ.Respon sepsis dapat dipicu oleh
trauma jaringan, ischemia-reperfusion injury, endokrin dan eksokrin.
Bakteri gram negative terdpat endotoksin yang disebut lipopolisakarida (LPS)
yang terletak pada lapisan terluar.Lapisan luar membrane bakteri gram negative tersusun
atas lipid bilayer, yaitu membrane sitoplasmic dalam dan luar yang dipisahkan
peptidoglikan.
Sepsis terdapat produksi mediator-mediator inflamasi atau sitokin.Makrofag
merupakan salah satu mediator seluler, makrofag memegang peranan penting dalam
pathogenesis syok sepsis.Penelitian terakhir menunjukkan bahwa LPS dapat menurunkan
kemampuan IFN-gamma atau LPS untuk memacu Inducible nitric oxide synthase (Inos)
pada kultur makrofag sehingga NO mengalami penurunan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan diatas maka dikemukakan rumusan
masalah sebagai berikut :
1. Apa definisi dari Syok Septik?
2. Apa etiologi dari Syok Septik?
3. Bagaimana manifestasi klinis dari Syok Septik?
4. Bagaimana patofisiologi dari Syok Septik?
5. Apa komplikasi dari Syok Septik?
6. Bagaimana Penatalaksanaan dari Syok Septik?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui penatalaksanaan dari syok sepsis.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui definisi dari Syok Septik?
2. Mengetahui etiologi dari Syok Septik?
3. Mengetahui manifestasi klinis dari Syok Septik?
4. Mengetahui patofisiologi dari Syok Septik?
5. Mengetahui komplikasi dari Syok Septik?
6. Mengetahui Penatalaksanaan dari Syok Septik?
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Definisi
Syok adalah kondisi kritis akibat penurunan mendadak dalam aliran darah yang
melalui tubuh.(Kamus Keperawatan).
Syok adalah suatu keadaan serius yang terjadi jika sistem kardiovaskuler (jantung
dan pembuluh darah) tidak mampu mengalirkan darah ke seluruh tubuh dalam jumlah
yang memadai. Syok biasanya berhubungan dengan tekanan darah rendah dan kematian
sel maupun jaringan.
Syok terjadi akibat berbagai keadaan yang menyebabkan berkurangnya aliran
darah, termasuk kelainan jantung (misalnya serangan jantung atau gagal jantung), volume
darah yang rendah (akibat perdarahan hebat atau dehidrasi) atau perubahan pada
pembuluh darah (misalnya karena reaksi alergi atau infeksi).
Sepsis adalah adanya SIRS (Systemic Infalammatory Respondense syndrome) di
tambah dengan adanya infeksi pada organ tertentu berdasarkan hasil biakan positif di
tempat tersebut. Definisi lain menyebutkan bahwa sepsis merupakan respons systemic
terhadap infeksi, adanya SIRS ditambah dengan infeksi yang di buktikan (proven) atau
dengan suspek infeksi secara klinis.
Berdasarkan Bone et al, SIRS adalah pasien yang memiliki dua atau lebih criteria :
Suhu >38 C atau <36
Denyut Jantung >90x/menit
Laju Respirasi >20 kali/menit atau PaCO2 <32mmHg
Hitung Leukosit >12.000/mm3 atau >10 % sel imatur/band.
Penyabab respon sistemikdihipotesiskan sebagia infeksi local yang tidak
terkontrol,sehingga menyebabkan bakterimia atau toksemia (endotoksin/eksotoksin) yang
menstimulasi reaksi inflamasi di dalam pembuluh darah atau organ lain.
Sepsis secara klinis dibagi berdasarkan beratnya kondisi, yaitu sepsis,sepsis
berat, dan syok septic.Sepsis berat adalah infeksi dengan adanya bukti kegagalan organ
akibat hipoperfusi.Syok septic adalah sepsis berat dengan hipotensi yang persisten setelah
diberikan resusitasi cairan dan menyebabkan hipoperfusi jaringan.Pada 10% -30 % kasus
syok septic didapatkan bakterimia kultur positif dengan mortalitas mencapai 40-150%.
Syok septik adalah Shock yang disebabkan infeksi yang menyebar luas yang
merupakan bentuk paling umum shock distributif.
2.2 Etiologi
Penyebab terbesar adalah bakteri gram negatif. Produk yang berperan penting
terhadap sepsis adalah lipopolisakarida (LPS), yang merupakan komponen terluar dari
bakteri gram negatif. LPS merupakan penyebab sepsis terbanyak, dapat langsung
mengaktifkan sistem imun seluler dan humoral, yang dapat menimbulkan gejala
septikemia. LPS tidak toksik, namun merangsang pengeluaran mediator inflamasi yang
bertanggung jawab terhadap sepsis. Bakteri gram positif, jamur, dan virus, dapat juga
menyebabkan sepsis dengan prosentase yang lebih sedikit. Peptidoglikan yang
merupakan komponen dinding sel dair semua kuman, dapat menyebabkan agregasi
trombosit. Eksotoksin dapat merusak integritas membran sel imun secara langsung
(Hermawan, 2007).
2.3 Patogenesis
Sepsis melibatkan berbagai mediator inflamasi termasuk berbagai sitokin. Sitokin
proinflamasi dan antiinflamasi terlibat dalam patogenesis sepsis. Termasuk sitokin
proinflamasi adalah TNF, IL-1, interferon (IFN-γ) yang membantu sel menghancurkan
mikroorganisme yang menginfeksi. Termasuk sitokin antiinflamasi adalah interleukin 1
reseptor antagonis (IL-1ra), IL-4, IL-10, yang bertugas untuk memodulasi, koordinasi
atau represi terhadap respon yang berlebihan. Apabila terjadi ketidakseimbangan kerja
sitokin proinflamasi dengan antiinflamasi, maka menimbulkan kerugian bagi tubuh.
Endotoksin dapat secara langsung dengan LPS dan bersama-sama membentuk
LPSab (Lipo Poli Sakarida antibodi). LPSab dalam serum penderita kemudian dengan
perantara reseptor CD14+ akan bereaksi dengan makrofag, dan kemudian makrofag
mengekspresikan imunomodulator. Hal ini terjadi apabila mikroba yang menginfeksi
adalah bakteri gram negatif yang mempunyai LPS pada dindingnya.
Eksotoksin, virus dan parasit yang merupakan superantigen setelah difagosit oleh
monosit atau makrofag yang berperan sebagai Antigen Presenting Cell (APC), kemudian
ditampilkan dalam APC. Antigen ini membawa muatan polipeptida spesifik yang berasal
dari Major Histocompatibility Complex (MHC). Antigen yang bermuatan pada peptida
MHC kelas II akan berikatan dengan CD4+ (limfosit Th1 dan Th2) dengan perantaraan
TCR (T cell receptor).
Limfosit T kemudian akan mengeluarkan substansi dari Th1 yang berfungsi
sebagai immunomodulator yaitu: IFN-γ, IL-2 dan M-CSF (Macrophage Colony
stimulating factor). Limfosit Th2 akan mengekspresikan IL-4, IL-5, IL-6, dan IL-10.
IFN-γ merangsang makrofag mengeluarkan IL-1β dan TNF-α. IFN-γ, IL-1β dan TNF-α
merupakan sitokin proinflamasi, pada sepsis terdapat peningkatan kadar IL-1β dan TNF-
α dalam serum penderita. Sitokin IL-2 dan TNF-α selain merupakan reaksi sepsis, dapat
merusakkan endotel pembuluh darah, yang mekanismenya sampai saat ini belum jelas.
IL-1β sebagai imunoregulator utama juga mempunyai efek pada sel endotel, termasuk
pembentukan prostaglandin E2 (PG-E2) dan merangsang ekspresi intercellular adhesion
molecule-1 (ICAM-1). Dengan adanya ICAM-1 menyebabkan neutrofil yang telah
tersensitisasi oleh granulocyte-macrophage colony stimulating factor (GM-CSF) akan
mudah mengadakan adhesi. Interaksi neutrofil dengan endotel terdiri dari 3 langkah,
yaitu:
a. Bergulirnya neutrofil P dan E selektin yang dikeluarkan oleh endotel dan L-
selektin neutrofil dala mengikat ligan respektif
b. Merupakan langkah yang sangat penting, adhesi dan aktivasi neutrofil yang
mengikat intergretin CD-11 atau CD-18, yang melekatkan neutrofil pada endotel
dengan molekul adhesi (ICAM) yang dihasilkan oleh endotel
c. Transmigrasi neutrofil menembus dinding endotel.
Neutrofil yang beradhesi dengan endotel akan mengeluarkan lisozyme yang
melisiskan dinding endotel, akibatnya endotel terbuka. Neutrofil juga termasuk radikal
bebas yang mempengaruhi oksigenasi pada mitokondria dan siklus GMPs, sehingga
akibatnya endotel menjadi nekrosis, dan rusak. Kerusakan endotel tersebut menyebabkan
vascular leak, sehingga menyebabkan kerusakan organ multipel. Pendapat lain yang
memperkuat pendapat tersebut bahwa kelainan organ multipel disebabkan karena
trombosis dan koagulasi dalam pembuluh darah kecil sehingga terjadi syok septik yang
berakhir dengan kematian.
Untuk mencegah terjadinya sepsis yang berkelanjutan, Th2 mengekspresikan IL-
10 sebagai sitokin antiinflamasi yang akan menghambat ekspresi IFN-γ, TNF-α dan
fungsi APC. IL-10 juga memperbaiki jaringan yang rusak akibat peradangan. Apabila IL-
10 meningkat lebih tinggi, maka kemungkinan kejadian syok septik pada sepsis dapat
dicegah. (Hermawan, 2007).
2.4 Patofisiologi Syok Septik
Endotoksin yang dilepaskan oleh mikroba akan menyebabkan proses inflamasi
yang melibatkan berbagai mediator inflamasi, yaitu sitokin, neutrofil, komplemen, NO,
dan berbagai mediator lain. Proses inflamasi pada sepsis merupakan proses homeostasis
dimana terjadi keseimbangan antara inflamasi dan antiinflamasi. Bila proses inflamasi
melebihi kemampuan homeostasis, maka terjadi proses inflamasi yang maladaptif,
sehingga terjadi berbagai proses inflamasi yang destruktif, kemudian menimbulkan
gangguan pada tingkat sesluler pada berbagai organ.
Terjadi disfungsi endotel, vasodilatasi akibat pengaruh NO yang menyebabkan
maldistribusi volume darah sehingga terjadi hipoperfusi jaringan dan syok. Pengaruh
mediator juga menyebabkan disfungsi miokard sehingga terjadi penurunan curah jantung.
Lanjutan proses inflamasi menyebabkan gangguan fungsi berbagai organ yang
dikenal sebagai disfungsi/gagal organ multipel (MODS/MOF). Proses MOF merupakan
kerusakan pada tingkat seluler (termasuk difungsi endotel), gangguan perfusi jaringan,
iskemia reperfusi, dan mikrotrombus. Berbagai faktor lain yang diperkirakan turut
berperan adalah terdapatnya faktor humoral dalam sirkulasi (myocardial depressant
substance), malnutrisi kalori protein, translokasi toksin bakteri, gangguan pada eritrosit,
dan efek samping dari terapi yang diberikan (Chen dan Pohan, 2007).
2.5 Gejala Klinis Sepsis
Tidak spesifik, biasanya didahului demam, menggigil, dan gejala konsitutif
seperti lemah, malaise, gelisah atau kebingungan. Tempat infeksi yang paling sering:
paru, tractus digestivus, tractus urinarius, kulit, jaringan lunak, dan saraf pusat. Gejala
sepsis akan menjadi lebih berat pada penderita usia lanjut, penderita diabetes, kanker,
gagal organ utama, dan pasien dengan granulositopenia.
Tanda-tanda MODS dengan terjadinya komplikasi:
Sindrom distress pernapasan pada dewasa
a. Koagulasi intravascular
b. Gagal ginjal akut
c. Perdarahan usus
d. Gagal hati
e. Disfungsi sistem saraf pusat
f. Gagal jantung
g. Kematian. (Hermawan, 2007).
2.6 Diagnosis
2.6.1 Riwayat
Menentukan apakah infeksi berasal dari komunitas atau nosokomial, dan
apakah pasien immunocompromise. Beberapa tanda terjadinya sepsis meliputi:
a. Demam atau tanda yang tidak terjelaskan disertai keganasan atau
instrumentasi
b. Hipotensi, oliguria, atau anuria
c. Takipnea atau hiperpnea, hipotermia tanpa penyebab yang jelas
d. Perdarahan
2.6.2 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik diperlukan untuk mencari lokasi dan penyebab infeksi
dan inflamasi yang terjadi, misalnya pada dugaan infeksi pelvis, dilakukan
pemeriksaan rektum, pelvis, dan genital.
2.6.3 Laboratorium
Hitung darah lengkap, dengan hitung diferensial, urinalisis, gambaran
koagulasi, urea darah, nitrogen, kreatinin, elektrolit, uji fungsi hati, kadar asam
laktat, gas darah arteri, elektrokardiogram, dan rontgen dada. Biakan darah,
sputum, urin, dan tempat lain yang terinfeksi harus dilakukan.
Temuan awal lain: Leukositosis dengan shift kiri, trombositopenia,
hiperbilirubinemia, dan proteinuria. Dapat terjadi leukopenia. Adanya
hiperventilasi menimbulkan alkalosis respiratorik. Penderita diabetes dapat
mengalami hiperglikemia. Lipida serum meningkat.
Selanjutnya, trombositopenia memburuk disertai perpanjangan waktu
trombin, penurunan fibrinogen, dan keberadaan D-dimer yang menunjukkan DIC.
Azotemia dan hiperbilirubinemia lebih dominan. Aminotransferase meningkat.
Bila otot pernapasan lelah, terjadi akumulasi laktat serum. Asidosis metabolik
terjadi setelah alkalosis respiratorik. Hiperglikemia diabetik dapat menimbulkan
ketoasidosis yang memperburuk hipotensi. (Hermawan, 2007).
2.7 Penatalaksanaan
Tiga prioritas utama dalam penatalaksanaan sepsis:
2.7.1 Stabilisasi pasien langsung
Pasien dengan sepsis berat harus dimasukkan dalam ICU. Tanda vital
pasien harus dipantau. Pertahankan curah jantung dan ventilasi yang memadai
dengan obat. Pertimbangkan dialisis untuk membantu fungsi ginjal. Pertahankan
tekanan darah arteri pada pasien hipotensif dengan obat vasoaktif, misal dopamin,
dobutamin, dan norepinefrin.
Dalam 10 tahun terakhir telah banyak didapatkan perkembangan dalam
tatalaksana sepsis, yaitu dalam hal resusitasi cairan, terapi inotropik dan
pemberian antibiotika. Namun dalam penanganan sepsis terkini diketahui
bahwa waktumemegang peranan penting dan krusial. Early Goal Directed
Therapy(EGDT) merupakan penatalaksanaan pasien dengan sepsis berat dan syok
septik, yang bertujuan memperbaiki penghantaran oksigen ke jaringan, dalam
jangka waktu tertentu.
Telah diketahui bahwa perfusi jaringan yang buruk pada keadaan sepsis
berat dan syok septik menyebabkan terjadinya global tissue hypoxia dan berbagai
konsekuensi yang menyertainya, dan hal tersebut berhubungan dengan tingginya
angka mortalitas. EGDT mulai berkembang di tahun 2001 setelah penelitian
Rivers dkk menemukan bahwa penatalaksanaan yang agresif dalam jangka waktu
6 jam, dengan tujuan mencapai target-target tertentu di unit gawat darurat pada
pasien sepsis berat dan syok septik ternyata berhasil mengurangi mortalitas
hingga 16,5% dibandingkan dengan kelompok yang mendapat terapi standar
dengan mortalitas mencapai 46,5%. EGDT kini telah banyak diterapkan di
berbagai rumah sakit, sebagai bentuk implementasi Surviving Sepsis Campaign.
Namun, dalam pelaksanaannya, seringkali masih menemui kendala akibat kurang
mendukungnya sumber daya, sarana dan prasarana yang tersedia. Agar EGDT
dapat dilakukan dengan terorganisasi maka klinisi harus memiliki pemahaman
tentang patofisiologi sepsis, teori yang mendasari EGDT, serta memiliki
keterampilan dan penguasaan prosedur medis dan teknis yang akan dilakukan
dalam penanganan pasien dengan sepsis berat dan syok septik. Berikut ini akan
dibahas mengenai teori yang mendasari EGDT, prinsip EGDT, serta aplikasinya
di rumah sakit.
Algoritme berbasis waktu ini dalam 1 jam pertama bertujuan untuk
mengembalikan dan mempertahankan denyut jantung ke nilai normal, mencapai
waktu pengisian kapiler < 2 detik, serta menormalkan tekanan darah. Dukungan
oksigenasi dan ventilasi diberikan sesuai dengan indikasi. Target-target
berikutnya diharapkan tercapai dalam waktu 6 jam di unit perawatan intensif.
1. Kerangka waktu: Nol sampai dengan 5 menit pertama
Dalam lima menit pertama, klinisi harus dapat mengidenfikasi
pasien dengan sepsis berat dan syok septik. Identifikasi dini sangat
berhubungan dengan menurunnya morbiditas dan mortalitas kasus sepsis
berat dan syok septik. Dalam waktu lima menit pertama ini pula secara
simultan dilakukan manajeman jalan nafas (airway) dan pernafasan
(breathing), serta pemasangan akses intravena (circulation).
a) Identifikasi dini pasien dengan sepsis berat dan syok septik
Trias demam, takikardi, dan vasodilatasi umum ditemukan pada anak
dengan tanda-tanda infeksi. Syok septik harus menjadi pertimbangan
diagnosis bila trias di atas ditemukan, disertai dengan perubahan status
mental yang bermanifestasi sebagai iritabilitas, bingung, mengantuk,
hingga penurunan kesadaran yang lebih dalam. Sepsis berat dan syok septik
diketahui berhubungan dengan hipoksia jaringan yang luas. Hipoksia pada
susunan saraf pusat akan menyebabkan gangguan berupa penurunan
kesadaran.
Selain itu, klinisi juga harus dapat mengidentifikasi tanda-tanda
gangguan perfusi jaringan yang disebabkan oleh disfungsi kardiovaskuler
pada sepsis. Syok septik dibedakan ke dalam 2 jenis, yaitu warm
shock dan cold shock. Warm shock ditandai dengan curah jantung yang
tinggi, kulit yang hangat dan kering, serta bounding pulse. Sedangkan cold
shock ditandai oleh curah jantung yang rendah, kulit lembab dan dingin,
serta nadi yang lemah. Stadium awal syok septik dapat dikenali dengan
ditemukannya takikardia, bounding pulse, serta gangguan kesadaran.
Produksi urin kurang dari 1 mL/kgbb/jam. Pada stadium yang lebih lanjut,
dapat ditemukan waktu pemanjangan kapiler, dan pada stadium akhir
ditandai dengan hipotensi.
b) Mempertahankan jalan nafas dan pemberian terapi oksigen
Manajemen jalan nafas dan pernafasan dapat dilakukan dengan
mengacu padaPediatric Advanced Life Support (PALS), di antaranya
dengan memposisikan kepala, serta pemberian terapi oksigen.
c) Memasang akses intravaskular
Penelitian yang dilakukan oleh Kanter dkk (1986) mendapatkan bahwa
usaha pemasangan akses intravena perifer pada pasien dengan sakit kritis
memerlukan waktu rata-rata 4 menit 30 detik, tercepat 40 detik. American
Heart Association bersama dengan American Academy of Pediatrics dalam
PALS merekomendasikan untuk situasi darurat, pemasangan akses
intravena harus terpasang dalam waktu 5 menit. Bila dalam jangka waktu
tersebut belum berhasil, maka dilakukan pemasangan akses
intraoseus. Setelah terpasang akses intravena segera diambil sampel darah
untuk pemeriksaan penunjang.
2. Kerangka waktu: 5 sampai dengan 15 menit berikutnya
Pada segmen 5 menit hingga 15 menit berikut ini, dilakukan
resusitasi cairan hingga didapatkan perbaikan perfusi jaringan, dengan
pemantauan terhadap tanda-tandaoverload cairan.
Secara simultan pula dilakukan koreksi kelainan metabolik
seperti hipoglikemi/hiperglikemi, serta koreksi kelainan elektrolit yang
mungkin ditemukan, dan pemberian antibiotik empiris spektrum luas.
a. Resusitasi cairan pada sepsis berat dan syok septik
Volume cairan resusitasi
Pake yang Pak qodir.... slide EBV/F
Penelitian pendahuluan telah dilakukan pada hewan percobaan
dengan sepsis berat, didapatkan bahwa resusitasi cairan hingga 60
mL/kgbb ternyata berhasil memperbaiki curah jantung, penghantaran
oksigen serta stabilitas hemodinamik. Dari penelitian Han dkk (2003)
pada pasien dengan sepsis berat dan syok septik, didapatkan pula
bahwa kelompok non-survivor menerima volume cairan resusitasi
lebih sedikit (20 mL/kgbb) dan kecenderungan dilanjutkan dengan
terapi inotropik.
Mengenai volume cairan resusitasi yang diberikan, Carcillo
dkk (1991) melaporkan penelitian mengenai resusitasi cairan pada
pasien pediatrik dengan syok septik yang diberikan dalam 1 jam
pertama, pemberian cairan resusitasi secara cepat dengan volume di
atas 40 mL/kgbb (rata-rata 69 + 19 mL/kgbb) berhubungan
denganoutcome (survival) yang lebih baik. Pemberian cairan secara
cepat juga tidak berhubungan dengan kejadian Acute Respiratory
Distress Syndrome (ARDS).
Rekomendasi dari Surviving Sepsis Campaign 2008 yaitu
resusitasi cairan inisial diawali dengan pemberian cairan kristaloid
bolus 20 mL/kgbb selama 5-10 menit, dititrasi dengan pemantauan
klinis terhadap curah jantung, dalam hal ini meliputi denyut jantung,
produksi urin, waktu pengisian kapiler, dan derajat kesadaran.
Biasanya defisit cairan cukup besar sehingga awal resusitasi
memerlukan volume cairan 40-60 mL/kgbb,1 namun dapat mencapai
hingga 200 mL/kgbbPemantauan terhadap tanda-tanda overload cairan
yaitu dengan memperhatikan adanya onset baru usaha nafas pasien,
ditemukannya rales pada pemeriksaan fisis paru, atau bertambahnya
berat badan lebih dari 10%. Untuk mengatasinya diberikan diuretik.
Tindakan lain untuk mengatasi overloadcairan yaitu dengan dialisis
peritoneal bila didapatkan oliguria, atau continuous renal replacement
therapy (CRRT) bila diperlukan.
Untuk pemeriksaan secara bed-site, dari penelitian Pamba dan
Maitland (2004) didapatkan bahwa pemanjangan waktu pengisian
kapiler > 3 detik merupakan faktor prognostik perlunya resusitasi
cairan, sehingga cukup prediktif digunakan sebagai alat untuk menilai
adekuatnya terapi cairan yang diberikan pada pasien dengan sepsis
berat dan syok septik.
Jenis cairan resusitasi
Pemilihan jenis cairan pada resusitasi sepsis berat dan syok
septik bersifat liberal. Secara umum, cairan isotonis cukup efektif,
aman, dan efektif dibandingkan dengan koloid, sehingga disarankan
sebagai cairan lini pertama pada resusitasi. Penelitian di India yang
dilakukan oleh Upadhyay (2005) mendapatkan tidak adanya
perbedaanoutcome pasien syok septik yang diresusitasi dengan cairan
kristaloid dibandingkan dengan koloid. Namun hal yang berlawanan
didapatkan dari penelitian Schierhout dan Roberts, bahwa resusitasi
dengan cairan koloid dapat menyebabkan efek samping berupa
gangguan hemostasis. Pada saat ini penelitian klinis banyak dilakukan
untuk mengetahui kegunaan penggunaan cairan hipertonis dalam
resusitasi sepsis berat dan syok septik.
b. Koreksi hipoglikemia
Hipoglikemia dapat menyertai suatu sepsis dan menimbulkan
gangguan kesadaran. Keadaan ini dapat dikoreksi dengan pemberian
Dextrose-10% pada cairan rumatan dengan kecepatan 8 mg/kg/menit
pada neonatus, 5 mg/kgbb/menit pada anak, dan 2 mg/kgbb/menit pada
remaja. Bila disertai dengan kegagalan fungsi hati, penderita mungkin
membutuhkan kecepatan infus glukosa yang lebih tinggi, dapat mencapai
16 mg/kgbb/menit. Hiperglikemia dapat pula menyertai keadaan sepsis,
yang didefinisikan sebagai kadar glukosa sewaktu > 140 mg/dL.
Penatalaksanaan hiperglikemia dapat dengan menggunakan cairan
Dextrose-5% dan dapat dikombinasikan dengan terapi insulin.
Direkomendasikan untuk mempertahankan kadar glukosa > 80 dan <150
mg/dL. Insulin reguler yang digunakan dalam bentuk bolus atau infus
kontinu. Dosis yang diberikan yaitu 0,025 U/kgbb/kali atau 0,025 – 0,1
U/kgbb/jam (2,5 U/kgbb dalam 50 mL Albumin 4% dengan kecepatan 0,5
– 2 mL/jam); selanjutnya 1 U/10 gram dextrose.
c. Koreksi hipokalsemia
Kadar konsentrasi kalsium berbeda sesuai dengan usia, berkisar 8,5
–10,5 mg/dL untuk kalsium total dan 4,0 – 5,0 g/dL ion kalsium dalam
darah. Hipokalsemia dapat menyebabkan gangguan kontraktilitas dan
irama jantung, selain juga menyebabkan hipotensi serta kelainan
neuromuskuler lainnya. Koreksi hipokalsemia dapat diberikan peroral atau
intravena. Pasien dengan hipokalsemia simptomatik dapat diberikan bolus
kalsium glukonas 100-200 mg/kgbb dalam waktu 10-20 menit. Infus
kontinu kalsium glukonas sebagai alternatif diberikan dengan dosis awal
10-30 mg/kgbb/jam, selanjutnya dititrasi sesuai dengan hasil pengukuran
serum kalsium selanjutnya.
d. Pemberian terapi antibiotik
Terapi antibiotik merupakan terapi utama dalam sepsis (gambar 5),
dengan penggunaan antibiotik empiris berspektrum luas di awal terapi.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pemberian antibiotik cepat dan
sesuai berhasil menurunkan morbiditas dan mortalitas pasien dengan
sepsis. Namun harus dipertimbangkan juga bahwa penggunaan antibiotik
spektrum luas dapat menyebabkan peningkatan resistensi mikroorganisme.
Pemberian antibiotik tidak ditunda, dan faktor waktu memegang
peranan penting. Dari penelitian Houck dkk, pemberian antibiotika dalam
4 jam pertama berhubungan dengan menurunnya mortalitas hingga 6,8%
sejak pasien datang ke rumah sakit, dan menurunkan mortalitas hingga
11,6% dalam 30 hari perawatan, selain itu juga membantu mengurangi
lama perawatan di rumah sakit hingga 42%. Dalam SSC 2008,
direkomendasikan pemberian antibiotik dalam 1 jam pertama setelah
dilakukan pengambilan kultur. Durasi terapi antibiotik yang dianjurkan
yaitu 7-10 hari, dan kemudian disesuaikan dengan hasil kultur. Namun
pada pasien dengan neutropenia, durasi terapi antibiotik dapat
diperpanjang hingga 14 hari. Keputusan untuk menghentikan pemberian
antibiotik bergantung pada penilaian klinis. Terapi kombinasi antimikroba
dilaporkan lebih baik dibandingkan dengan monoterapi, sebagaimana
dilaporkan dari penelitian Micek dkk. Terapi awal antibiotik sangat kritis
bagi pasien dengan sepsis, seperti halnya pasien dewasa.
3. Kerangka waktu: 15 menit sampai 60 menit berikutnya
Dalam waktu 15 menit pertama, ditentukan apakah suatu syok septik
responsif atau refrakter terhadap terapi cairan. Syok dinyatakan refrakter
terhadap cairan bila belum menunjukkan perbaikan hemodinamika setelah
mendapat terapi cairan hingga 40 mL/kgbb. Langkah selanjutnya pada pasien
dengan syok septik yang refrakter terhadap terapi cairan yaitu dengan secara
simultan melakukan pemasangan akses vena sentral, memulai terapi inotropik
dan vasopresor serta melakukan pemantauan tekanan arterial.
Namun berbeda dengan populasi dewasa, pemasangan akses vena
sentral pada anak menjadi suatu isu karena kesulitan dalam pelaksanaannya.
Pemasangan vena sentral pada pasien pediatrik tidak familier, dalam prosedur
pemasangannya yang cukup sulit sehingga melampaui kerangka waktu (time-
frame) yang diharapkan pada EGDT khususnya di unit
emergensi. Penatalaksanaan dalam kerangka waktu 15 menit hingga 60 menit
berikutnya dijelaskan sebagai berikut:
a. Memulai pemberian inotropik dan vasopresor
Hipotensi yang menetap meskipun telah dilakukan resusitasi cairan
optimal merupakan ciri dari syok septik, yang terjadi akibat gangguan
kontraktilitas miokardium selain juga terdapat gangguan pada resistensi
vaskuler sistemik. Akibat gangguan di atas, maka diperlukan pemberian
vasopresor dan terapi inotropik untuk memperbaiki tekanan darah serta
mempertahankan penghantaran oksigen ke jaringan. Dalam
penatalaksanaan sepsis, harus dilakukan usaha secepat mungkin untuk
mengembalikan hemodinamika. Oleh karena itu, vasopresor diberikan
segera setelah resusitasi cairan optimal diberikan. Pemberian vasoaktif
direkomendasikan bila syok tidak teratasi dengan resusitasi cairan sampai
dengan 40 mL/kgbb. Jenis obat yang digunakan yaitu katekolamin dan
derivat sintetisnya, meliputi dopamin, dobutamin, epinefrin, norepinefrin.
Dopamin disarankan sebagai pilihan terapi pertama untuk pasien
pediatrik dengan hipotensi yang refrakter terhadap resusitasi cairan, atau
pada keadaan cold shock.Dopamin dan norepinefrin diketahui berfungsi
meningkatkan tekanan darah dan curah jantung. Dopamin lebih poten
dibandingkan norepinefrin, dan lebih sering menyebabkan
takikardia. Pada dosis rendah, dopamin menyebabkan vasodilatasi
sirkulasi renal dan mesenterika. Pada dosis 2-10 mikrogram/kgbb/menit,
dopamin memiliki efek inotropik positif dan kronotropik positif,
sedangkan pada dosis yang lebih tinggi menyebabkan vasokonstriksi
perifer. Penelitian Levy dkk menemukan bahwa populasi pasien syok
septik yang resisten dengan terapi dopamin meningkatkan risiko
mortalitas. Bila syok refrakter terhadap terapi dopamin, maka diberikan
epinefrin. Epinefrin diberikan dengan dosis 0.05- 0.3 mcg/kgbb/menit.
Pada keadaan warm shock, diberikan titrasi norepinefrin.
Norepinefrin pada dosis 1-20 mikrogram/menit baik untuk meningkatkan
MAP, resistensi vaskuler sistemik, penghantaran oksigen
jaringan. Dobutamin dapat digunakan sebagai agen inotropik pada pasien
dengan curah jantung yang rendah, diberikan dengan dosis 2,5–20
mikrogram/kgbb/menit.
b. Mempertahankan jalan nafas
Dilakukan penilaian terhadap usaha nafas pasien dan komplians
paru. Keputusan untuk melakukan intubasi bergantung pada penilaian
klinis usaha nafas pasien, adanya hipoventilasi, atau akibat penurunan
kesadaran. Intubasi dipertimbangkan pada pasien dengan syok refrakter
disertai dengan tanda gagal nafas, penurunan kesadaran, serta untuk
pemantauan hemodinamik invasif. Selain itu, ventilasi mekanik juga dapat
membantu mekanika sirkulasi. Diketahui bahwa sekitar 40% curah
jantung diperlukan untuk mendukung fungsi pernafasan, sehingga
ventilasi mekanik berguna untuk menurunkan beban kerja paru-paru.
tekanan intratorakal juga berperan menurunkan afterload ventrikel kiri,
sehingga dapat membantu pasien dengan curah jantung rendah dan
resistensi vaskuler perifer yang tinggi.
Disarankan penggunaan ketamin dan atropin sebagai agen sedasi-
intubasi pada pasien dengan syok septik. Ketamin bekerja dengan cara
menghambat transkripsifactor-kappa B dan mengurangi produksi
Interleukin-6 di sistemik, namun mempertahankan fungsi adrenal,
sehingga mempertahankan stabilitas fungsi kardiovaskuler. Ketamin untuk
fungsi sedasi diberikan dengan dosis 1-2 mg/kgbb i.v. Ketamin juga dapat
berfungsi sebagai infus analgesia dan atau sedasi untuk mempertahankan
stabilitas fungsi kardiovaskuler pada saat dilakukan pemasangan ventilasi
mekanik.
Pada pasien dengan gagal nafas dan memerlukan ventilator,
prinsip lung-protective therapy perlu diterapkan sebagaimana pada pasien
dewasa. Pasien dengan Acute Lung Injury/Acute Respiratory Distress
Syndrome ditargetkan mendapat volume tidal 6 mL/kgbb dan plateau
pressure < cm H2O hypercapnia meminimalkan plateau pressure dan
volume tidal.Positive End Expiratory Pressure (PEEP) juga diterapkan
untuk mencegah kolaps alveolar di akhir ekspirasi. Posisi prone pada
suatu penelitian multisenter didapatkan berguna untuk memperbaiki
hipoksemia.
4. Kerangka waktu: 6 jam berikutnya di Unit Perawatan Intensif
Bila ditemukan keadaan syok yang resisten dengan terapi katekolamin,
maka penatalaksanaan selanjutnya yaitu dengan pemberian hidrokortison.
Hidrokortison diberikan pula pada pasien yang diduga atau terbukti disertai
dengan insufisiensi adrenal. Pasien berisiko mengalami insufisiensi adrenal
yaitu pasien dengan syok septik, sebelumnya menerima terapi steroid untuk
penyakit kronis, dan anak dengan abnormalitas adrenal atau hipofisis. Bila
jelas faktor risikonya, maka disarankan pemberian hidrokortison secara
intermiten atau infus kontinu dengan dosis mulai 1-2 mg/kgbb/hari, dititrasi
hingga 50 mg/kgbb/hari.
Keadaan insufisiensi adrenal ini dinyatakan bila kadar kortisol basal <
18 µg/dL kadar puncak ACTH-stimulated cortisol < 18 µg/dL. Pemberian
hidrokortison jangka panjang (6 mg/kgbb/hari selama 7 hari) telah dilaporkan
pada pasien dewasa, namun pada pasien masih menjadi kontroversi. Penelitian
berupa pemberian hidrokortison intermiten dengan dosis 3 mg/kgbb/hari
selama 7 hari pada bayi dengan syok septik resisten katekolamin didapatkan
bahwa kebutuhan pemberian terapi dopamin dapat dikurangi, namun tidak
memperbaiki angka mortalitas. Penelitian multisenter di Eropa oleh
CORTICUS (Corticosteroid Therapy of Septic Shock) pada 499 pasien dengan
syok septik, membandingkan kelompok yang diberikan terapi hidrokortison
dosis rendah dan kelompok dengan plasebo selama 5 hari. Dari penelitian ini
didapatkan tidak ada perbedaan mortalitas di antara kedua kelompok.
Penggunaan steroid juga berpotensi terhadap kejadian kandidiasis
diseminata. Kortikosteroid dapat bermanfaat pada stadium awal dari sepsis.
Sebagai alternatif bila tidak tersedia hidrokortison maka dapat diberikan
metilprednisolon 30 mg/kgbb/dosis intravena atau deksametason 3
mg/kgbb/dosis intravena. Pemberiannya dapat diulang 4 jam kemudian,
namun bila tidak memberikan respon maka pemberiannya dihentikan. Namun
demikian, masih diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai efikasi terapi
kortikosteroid pada sepsis di populasi pediatrik.
Pasien dengan syok resisten katekolamin dapat memberikan tampilan
klinis curah jantung rendah/resistensi vaskuler sistemik tinggi, curah jantung
tinggi/resistensi vaskuler sistemik rendah, atau curah jantung rendah dengan
resistensi vaskuler sistemik rendah. Oleh karena itu, pemantauan
hemodinamik dapat dilakukan dengan pemasangan kateter vena sentral, serta
monitoring kontinu tekanan arterial. Dilakukan pemantauan CVP dengan
target mencapai MAP-CVP dan ScvO2 > 70%. Untuk mempertahankan
saturasi tersebut juga dilakukan dengan mempertahankan kadar Hb > 10 g/dL.
Saturasi vena sentral (ScvO2) akan memberikan informasi keseimbangan
antara kebutuhan dan pemenuhan oksigenasi di jaringan, yang dilaporkan
berhasil mengurangi mortalitas hingga 40% dibandingkan pada pasien yang
tidak dilakukan pemantauan ScvO2. Flow ScvO2 juga bergunauntuk
memperkirakan aliran darah dari otak. Nilai > 40 mL/kgbb/menit
berhubungan denganoutcome neurologis yang lebih baik dan juga survival
pasien.
Dengan pemasangan vena sentral, dapat dilakukan pemantauan
terhadap keberhasilan penatalaksanaan syok, khususnya pada keadaan syok
yang refrakter, yaitu karena titrasi cairan, inotropik, dan vasopresor ataupun
vasodilator dilakukan dengan memerhatikan parameter-parameter di atas.
a. Cold shock dengan tekanan darah normal
Pada keadaan cold shock, dilakukan titrasi cairan dan pemberian
epinefrin, untuk mencapai ScvO2 > 70%, dengan mempertahankan kadar
hemoglobin > 10 g/dL. Bila kadar ScvO2 masih di bawah 70%,
kemungkinan didapatkan syok dengan Cardiac Index yang rendah,
tekanan darah normal, dengan resistensi vaskuler sistemik yang tinggi. Hal
ini serupa dengan anak yang mengalami syok kardiogenik, yang dalam
penatalaksanaannya bertujuan untuk mengurangi afterload untuk
memperbaiki aliran darah dengan berkurangnya afterload ventrikel,
sehingga akan dapat meningkatkan pengosongan ventrikel. Oleh karena
itu, nitroprusside atau nitrogliserin menjadi vasodilator lini pertama pada
syok resisten epinefrin dengan tekanan darah normal. Vasodilator
diberikan dengan sebelumnya dilakukan loading cairan terlebih dahulu.
Nitrogliserin pada dosis 10-60 µg/menit dapat membantu
menurunkan afterload.5Vasodilator yang termasuk di dalamnya yaitu
Milrinone, yang pemberiannya dipertimbangkan bila masih didapatkan
curah jantung yang rendah. Milrinone (Primacor®) diberikan dengan dosis
50 mcg/kg i.v. bolus selama 15 menit, dilanjutkan dengan infus kontinu
0,5 – 0,75 mcg/kgbb/menit dan dititrasi hingga tercapai efek yang
diinginkan.
b. Cold shock dengan tekanan darah rendah
Pada keadaan ini didapatkan syok dengan Cardiac Index yang
rendah, tekanan darah yang rendah, serta resistensi vaskuler perifer
yangrendah pula. Untuk penatalaksanaan selanjutnya yaitu dilakukan
titrasi cairan dan epinefrin untuk meningkatkan tekanan darah diastolik
dan meningkatkan resistensi vaskuler perifer. Bila tekanan darah yang
adekuat sudah tercapai, maka untuk memperbaiki Cardiac Index dan
mencapai ScvO2 > 70% dapat diberikan dobutamin, selain itu kadar Hb
juga dipertahankan > 10 g/dL. Bila pasien masih hipotensi, pertimbangkan
pemberian norepinefrin. Bila ScvO2 masih di bawah 70%, pertimbangkan
dobutamin, milrinone, enoximone atau levosimendan. Levosimendan
bekerja dengan cara meningkatkan sensitivitas kalsium dari aparatus
kontraktil miokardium, juga berfungsi seperti halnya type III PDE
inhibitor-activity lain. Enoximone juga merupakan type III PDE
inhibitor yang lebih selektif dan menjaga cadangan c-AMP yang
diproduksi β-1 aktivator reseptor sel miokardium, sehingga dapat
memperbaiki performa jantung dengan lebih sedikit efek hipotensi.
c. Warm shock dengan tekanan darah rendah
Pada keadaan ini didapatkan syok dengan Cardiax Index tinggi,
dan resistensi perifer yang rendah. Maka penatalaksanaan selanjutnya
yaitu dengan pemberian titrasi cairan dan norepinefrin, untuk
mempertahankan ScvO2 > 70%. Bila masih didapatkan hipotensi,
pertimbangkan vasopresin, terlipresin, atau angiotensin untuk
memperbaiki tekanan darah; namun perlu diperhatikan pula bahwa obat-
obat vasokonstriktor di atas dapat menyebabkan berkurangnya curah
jantung, sehingga dalam penggunaan obat tersebut direkomendasikan
dengan pemantauan curah jantung dan ScvO2. Bila ScvO2 masih di bawah
70% pertimbangkan untuk pemberian epinefrin dosis rendah. Vasopresin
(Vasopressin®, Pitressin®) diberikan dalam infus kontinu mulai dari 0.5
mili-unit/kgbb/jam, dosis dinaikkan tiap 30 menit sesuai kebutuhan hingga
maksimal 10 mili-unit/kgbb/jam (0.01 U/kgbb/jam).
d. Syok resisten katekolamin yang persisten
Bila pasien masih belum responsif dengan terapi yang diberikan di
atas, maka dikatakan sebagai syok resisten katekolamin yang persisten.
Untuk itu perlu disingkirkan dan diperbaiki berbagai keadaan yang
berkontribusi terhadap syok refrakter terapi cairan dan katekolamin, di
antaranya yaitu adanya efusi perikardial, pneumotoraks, peningkatan
tekanan intraabdomen lebih dari 12 mmHg. Pertimbangkan pula
kemungkinan adanya perdarahan, keadaan imunosupresi, ketidaksesuaian
kontrol pengendalian infeksi (misalnya jenis dan dosis antibiotik yang
diberikan belum memadai). Pada saat ini, dipertimbangkan untuk
memandu titrasi cairan, inotropik, vasopresor, vasodilator dan terapi
hormonal dengan pemasangan akses arteri pulmonalis, PICCO (pulse
cardiac output), atauFemoral Arterial Thermodilution (FATD) Cathether,
dan atau ultrasonografi doppler untuk memantau curah jantung. Kateter
arteri pulmonalis dapat mengukur tekanan penutupan arteri pulmonaris
sehingga dapat mengidentifikasi disfungsi ventrikel kiri, serta dapat
digunakan untuk menentukan kontribusi relatif fungsi ventrikel kanan dan
kiri. PICCO berguna untuk memperkirakan volume akhir diastolik
keseluruhan ruang jantung serta mengukur cairan paru ekstravaskuler,
sehingga dapat membantu penilaian apakah preload sudah adekuat atau
belum. Monitoring non-invasif seperti penggunaan pulse oxymetri,
saturasi oksigen vena per-kutan, dan lainnya masih dalam tahap evaluasi.
Tujuan terapi pada saat ini yaitu mencapai dan mempertahankan Cardiac
Index 3.3 – 6 L/menit/m2.
Extracorporeal membrane oxygenation (ECMO) merupakan
salah satu alternatif terapi yang perlu dipertimbangkan, telah dilakukan
secara terbatas pada syok yang refrakter dan atau keadaan gagal nafas
yang tidak bisa ditangani dengan terapi konvensional. ECMO telah
dilakukan pada pasien dengan syok septik, namun pengaruhnya sendiri
masih belum jelas. Penelitian yang menganalisis 12 pasien sepsis dengan
ECMO, 8 orang di antaranya bertahan hidup dan pada follow uprentang 4
bulan hingga 4 tahun, didapatkan bahwa rata-rata setelah 1 tahun mereka
dapat menjalani kehidupan dengan normal.
e. Monitoring hemodinamik dan pencapaian target-target
terapeutik
Tujuan akhir resusitasi syok septik yaitu tercapainya normalisasi
denyut jantung, waktu pengisian kapiler < 2 detik, ekstremitas yang
hangat, produksi urin yang cukup (> 1mL/kgbb/jam), skala kesadaran
yang normal, serta kadar glukosa dan kalsium yang normal. Tujuan akhir
lainnya yang juga digunakan pada populasi dewasa yaitu berkurangnya
kadar laktat serum serta defisit basa, ScvO2 >70% atau SvO2 > 65%, CVP
8-12 mmHg atau dengan metode lainnya untuk menilai fungsi pengisian
jantung, yaitu mencapai dan mempertahankan Cardiac Index 3,3 – 6
L/menit/m2. Target pencapaian ScvO2 > 70%, didukung pula dengan
transfusi PRC bila hematokrit kurang dari 30%, maupun dengan
pemberian inotropik. Untuk pemberian transfusi, sebuah penelitian
multisenter terandomisasi mendapatkan bahwa batas ambang transfusi Hb
7 g/dL dibandingkan dengan ambang batas Hb 9,5 g/dL, ternyata
memberikan outcome yang sama. Namun, dalam rangka memperbaiki
penghantaran oksigen ke jaringan, Hb dipertahankan di atas 10 g/dL.
Target-target di atas diharapkan tercapai dalam 6 jam sejak pasien
masuk unit gawat darurat maupun pada tempat perawatan intensif,
ternyata berhasil menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat sepsis,
sepsis berat, dan syok septik.
Implementasi EGDT di Rumah Sakit
EGDT merepresentasikan penatalaksanaan kegawatdaruratan yang
terbukti memperbaiki prognosis pasien dengan sepsis berat dan syok
septik. Namun pelaksanaannya kadang masih belum sesuai dengan
protokol yang ada, dengan latar belakang bervariasi. Pada saat ini,
berbagai kendala yang ditemukan dalam implementasi EGDT yaitu
kurangnya pemahaman tentang patofisiologi sepsis, teori yang mendasari
EGDT, serta kurangnya keterampilan maupun penguasaan prosedur medis
dan teknis yang dilakukan dalam penanganan pasien dengan sepsis berat
dan syok septik. Selain itu, model rumah sakit, sarana serta prasarana yang
ada juga berperan terhadap keberhasilan implementasi EGDT. Agar
implementasinya konsisten dan terorganisir, diperlukan suatu model
protokol yang disesuaikan dengan sumber daya manusia, sarana dan
prasarana penunjang di rumah sakit tersebut. Implementasinya di rumah
sakit dikatakan dapat mereduksi biaya-biaya hingga 23,4%. Efektivitas
biaya ini dapat tercapai bila EGDT dilakukan mulai di unit gawat darurat
atau ruang perawatan intensif dengan respon tim yang cepat.
Untuk implementasi EGDT secara optimal, maka diperlukan
dukungan mutlak institusi dalam hal penyediaan sarana dan prasarana.
Klinisi juga diharapkan meningkatkan keterampilan dalam prosedur
tindakan yang diperlukan dalam implementasi EGDT.
2.7.2 Darah harus cepat dibersihkan dari mikroorganisme
Perlu segera perawatan empirik dengan antimikrobial, yang jika diberikan
secara dini dapat menurunkan perkembangan syok dan angka mortalitas. Setelah
sampel didapatkan dari pasien, diperlukan regimen antimikrobial dengan
spektrum aktivitas luas. Bila telah ditemukan penyebab pasti, maka antimikrobial
diganti sesuai dengan agen penyebab sepsis tersebut (Hermawan, 2007).
Sebelum ada hasil kultur darah, diberikan kombinasi antibiotik yang kuat,
misalnya antara golongan penisilin/penicillinase—resistant penicillin dengan
gentamisin.
2.7.3 Pemberian antibiotik
1) Golongan penicillin
Procain penicillin 50.000 IU/kgBB/hari im, dibagi dua dosis
Ampicillin 4-6 x 1 gram/hari iv selama 7-10 hari
2) Golongan penicillinase—resistant penicillin
Kloksasilin (Cloxacillin Orbenin) 4×1 gram/hari iv selama 7-10 hari
sering dikombinasikan dengan ampisilin), dalam hal ini masing-masing
dosis obat diturunkan setengahnya, atau menggunakan preparat kombinasi
yang sudah ada (Ampiclox 4 x 1 gram/hari iv).
Metisilin 4-6 x 1 gram/hari iv selama 7-14 hari.
3) Gentamycin
Garamycin, 5 mg/kgBB/hari dibagi tiga dosis im selama 7 hari, hati-hati terhadap
efek nefrotoksiknya.
BAB III
TINJAUAN KASUS
3.1 Contoh KasusSeorang laki-laki usia 73 tahun,BB : 60 kg masuk Instalasi Gawat Darurat Rumah
Sakit Cipto Mangunkusumo dirujuk dari rumah sakit (RS) swasta dengan syok septik
akibat bronkopneumonia. Pasien sempat dirawat di ruang rawat intermediate selama 3
hari. Keluhan utama saat masuk RS swasta adalah pasien lemas dan tidak nafsu makan
sejak seminggu sebelumnya. Keluhan lain adalah mual tapi tidak muntah, intake
makanan hanya separuh biasanya. Demam, batuk ada, tidak berdahak. Kadang-kadang
merasa sesak.Tidur dengan posisi setengah duduk.
Pasien mempunyai riwayat diabetes mellitus sejak 10 tahun, berobat teratur.
Riwayat penyakit jantung koroner pasca pemasangan Stent Percutaneous Coronary
Interventasi (PCI) tahun 2007 dan 2010. Aktivitas sehari-hari sudah terbatas.
Hasil pemeriksaan penunjang yang dilakukan di RS swasta adalah pemeriksaan
darah perifer kadar Hb 17,9 g/dL Ht 52%, Leukosit 24.800/uL, Trombosit 314.000/uL,
Ureum/kreatinin 176 mg/dL/2,5 mg/dL, creatinine clearance test hitung 16,9 ml/menit
GDS 189 mg/dL, SGOT/SGPT 3328 U/L/1913 U/L, asam urat 15,9 mg/dL, Na/K/Cl
133/4,7/97 mmol/L, PT 14,9 (11,7)/aPTT 171 (31,9), Fibrinogen/D-dimer 353,5/300,
AGD: pH 7,4, PaCO2 :26,2, PO2 : 146 ,HCO-3 : 16,1 BE/-7,6 Sat O2/99%, CKMB: 92
Troponin T <100. Hasil pemeriksaan toraks adalah kardiomegali dengan infiltrat dikedua
lapang paru, sedangkan pemeriksaan echokardiografi tampak disfungsi ventrikel kiri,
hipertensi pulmonal, global hipokinetik, hasil pemeriksaan urinalisa albuminuria (3+),
bilirubin (+), eritrosit penuh, granula kasar (+), bakteri (+), yeast (+).
TTV : Tekanan darah 80/50 mmHg ,RR : 28x/mnit ,Nadi : 110x/mnit, Suhu : 40
C.Klien terlihat cianosis,GCS 3-3-3,CRT 3
3.2 Penatalaksanaan
3.2.1 Di UGDPada kasus di atas masalah yang ditegakkan adalah septik syok yang disebabkan
oleh pneumonia (HAP) dan ISK pada pasien dengan komorbitas gagal jantung kronik dan
diabetes mellitus yang oleh sebab sepsis menjadi acute decompensated Heart Failure
(ADHF) (edema paru) disertai penurunan fungsi ginjal (AKI F atau AKIN stage 2) yang
kini dikenal sebagai suatu sindrom kardiorenal. Sementara tata laksana syok septik
berdasarkan Surviving Sepsis Campaign adalah menjalankan 3 pilar sepsis yakni
resusitasi (Protocol Rivers), antibiotik yang adekuat dan source control
Implementasi EGDT dalam tatalaksana sepsis berat dan syok septic pada kasus
diatas :
Implementasi EGDT di unit gawat darurat dan unit perawatan intensif dalam tatalaksana
sepsis berat dan syok septik diajukan dalam alur berikut: Dalam waktu lima menit
pertama ini pula secara simultan dilakukan manajeman A-B-C
a) Airway (Jalan Nafas)
Membuka jalan nafas pasien baik menggunakan metode langsung /
Tounge Blade method maupun metode tak langsung / Up Sliding method.Dengan
menggunakan Endotracheal Tube (ETT), Nasopharingeal Airway,LMA,ataupun
tekhnik bedah sesuai kondisi klien.
b) Breathing (Nafas)
Pemberian Hantaran Oksigen dan Konsumsi Oksigen Hantaran dan konsumsi
oksigen bisa diperoleh dari arteri pulmonal.
Hantaran Oksigen (ml/menit) cardiac output (L/menit) x konsetrrasi
hemoglobin (g/dL) x 1,34 (konsentrasi hemoglobin).
Terdapat kekurangan pada consensus dalam menggunakan hantaran
oksigen atau konsumsi oksigen sebagai indicator untuk pedoman pemberian terapi
cairan pada sepsis. Penurunan saturasi oksigen darah vena campuran (SvO2)
dapat merefleksikan reduksi dalam cardiac output dan hantaran oksigen. Jika
SvO2 kurang dari 50% sangat memungkinkan telah terjadi penurunan perfisi.
Menambah cardiac output atau pemberian packet red blood cells (PRC) sangat
diperlukan untuk meningkatkan hantaran oksigen. Namun,pasien sepsis kadang
memperlihatkan peningkatan SvO2. Hal ini terjadi karena peningkatan aliran
darah kejaringan yang aktif secara non-metabolik. Pada kenyataanya,jika aliran
darah ini kejaringan lebuh besar dari aliran darah ke jaringan yang aktif, maka
SvO2 akan lebih tinggi dari kadar normalnya.
c) Circulation (Sirkulasi)
1. Resusitasi cairan dengan perhitungan :
Kaji output urin ,tekanan arteri rata-rata atau MAP dan denyut jantung dipilih
sebagai pegangan untuk terapi cairan.
Diketahui : TD 80/50mmHg MAP (S2D) /3
(80 100) /3
60 mmHg (kategoti Syok)
Kebutuhan cairan
Volume Darah Efektif(Effective Blood Volume/Flow)
a. ♂ 70 – 75 cc/kgBB
b. ♀ 60 – 65 cc/kgBB
25 % EBV/F hilang à syok.
RL – Na+ 131 meq/L------ 1 fles = 65 meq
Penyelesaian :
a) Jumlah kehilangan cairan Syok 25% dari EBV/F
Kebutuhan cairan klien dengan BB = 60 x 70
= 4200 cc
Darah hilang 25% = 25
100 x 4200 = 1050cc
b) Cairan yang dimasukan
Kebutuhan Natrium dengan BB 60 kg :
Na = 3 x 60 = 180 sampai 5 x 60 = 300 Keb. Natrium px = 180
300 meg/24 jam
RL = 4 flash = 4 x 65 = 4200 cc
Faktor tetesan : Otsuka : 4200 x15
24 x60 =
63001440
= 44 tpm
Cairan resusitasi terus di evaluasi hingga kondisi klien stabil.Jika belum stabil .
2. Pemantauan klinis terhadap curah jantung dalam hal ini meliputi :
a. denyut jantung
b. produksi urin
c. waktu pengisian kapiler (CRT)
d. derajat kesadaran
3. Pemantauan terhadap tanda-tanda overload :
a. memperhatikan adanya onset baru hepatomegali
b. bertambahnya usaha nafas pasien
c. ditemukannya rales pada pemeriksaan fisis paru
d. bertambahnya berat badan lebih dari 10%.
e. Untuk mengatasinya dapat diterapkan penatalaksanaan ADHF.
4. Secara singkat tatalaksana ADHF pada fungsi ginjal yang terganggu adalah:
a. Diuretik sebagai terapi utama (88%).
b. Antagonis mineralokortikoid (spironolakton).
c. Hormon natriuretik: nesiritide (memberikan efek vasodilatasi).
d. Vasodilator: mengurangi bendungan & memperbaiki CI
e. Inotropik: kontroversi, hanya pada keadaan hipotensi dapat digunakan
f. Akuaretik/antagonis reseptor V26.
g. Antagonis reseptor adenosine A1: vasokonstriksi arteriol aferen sehingga
renal blood flow berkurang.
h. Ultrafiltrasi: mengatur balans cairan.
i. Levosimen dan yang cara kerjanya dengan terikat troponin C jantung
sehingga stabilisasi ikatan dengan kalsium yang dapat memperbaiki
kontraktilitas miokard.
Terapi farmakologis :
Terapi yang diberikan adalah furosemide 20mg/jam, dobutamin 10
ug/kg/mnt, norepinefrin 1 ug/kg/mnt, amiodaron 300 mg/6jam, insulin
(lantus 1x14 U dan actrapid 3x6 U), ascardia, enoxiparine 1x0,4 mg dan
meropenem 1x1 g.
3.2.2 Di ICUPemeriksaan fisik pada saat masuk Intensive Care Unit (ICU);
pasien tampak sesak, posisi setengah duduk. Kesadaran apatis, tekanan
darah 106/58 mmHg, frekwensi nadi 100 x/menit (dengan topangan noradrenalin
0,8 ug/kg/menit dan dobutamin 10 ug/kg/menit melalui vena perifer). Pernapasan
spontan dengan sungkup muka O2 8 l/menit, frekwensi napas 20-30x/menit.
Saturasi 96-100%. Suhu afebris, ekstremitas dingin dan pitting edema pada
tungkai. Pemeriksaan dada: bunyi jantung I-II normal, suara tambahan sulit
dinilai, terdapat ronki kasar di kedua lapang paru. Pemeriksaan abdomen dalam
batas normal
Diagnosis masuk ICU adalah septik syok akibat pneumonia (Hospital
Aqcuired Pneumia/HAP) dan infeksi saluran kemih(ISK), dengan gagal jantung
dan edema paru serta AKI F atau AKIN stage 2 g cardiorenal syndrome.
Pengelolaan pasien ini adalah segera dilakukan resusitasi cairan, pemberian
antibiotik empirik untuk mengatasi infeksi serta pengelolaan gagal jantung dan
edema paru.
Pemeriksaan USG (pre scanning) vena cava inferior dilakukan untuk
melihat indeks kolapsibilitas, sekaligus dilakukan pemasangan kateter vena sentral
dan kateter hemodialisis serta arteri line untuk pemantauan hemodinamik,
terutama untuk menilai delivery oksigen (DO2), curah jantung (cardiac output =
CO) dan isi sekuncup (stroke volume = SV) serta tahanan vaskuler sistemik
(systemic vascular Resistance = SVR).
Pemantauan hemodinamik dengan menggunakan alat Vigileo, dihitung
SVR ternyata rendah (sesuai syok septik) serta dilakukan fluid challenge test
menggunakan stroke volume sebagai target. Dilakukan loading kristaloid tiap
200ml untuk menilai kenaikan SV. Oleh karena pasien tampak bertambah sesak
napas karena overload cairan, dan meskipun pasien sudah mendapatkan terapi
diuretik (furosemide sampai dosis 20mg/jam), tetapi urin 3 jam pertama di ICU
hanya 50ml, maka diputuskan untuk melakukan Renal Replacement Therapy
(RRT), yaitu CVVHDF direncanakan dengan: resep fluid removal: 50ml/jam,
replacement: 1000ml/jam, dialisat: 1000ml/jam Continous RRT dimulai sejak hari
pertama selama 48 jam. Cairan yang dikeluarkan lebih dari 4000ml dalam 48 jam.
Sehingga dari balans +1150ml di hari pertama (belum termasuk balans pasien
selama di RS swasta sebelumnya) menjadi +250ml di hari ketiga.Dengan produksi
urin di hari ketiga > 1ml/kg/jam. Dengan CRRT ketergantungan akan dosis
norepinefrin (NE) tampak sangat jauh berkurang. Sebelumnya MAP
dipertahankan diatas 70mmHg dengan dosis NE 0,8-1ug/kg/menit tetapi setelah
program CRRT dosis NE adalah 0,1ug/kg/menit untuk mempertahankan MAP
yang sama. Parameter hemodinamik seperti CO, CI dan SV tampak membaik
walaupun pada hari ke VII, VIII, IX terlihat sedikit menurun kembali.
Selama RRT, tetap diberikan cairan kristaloid rumatan 20ml/jam dan
albumin 20% 100ml sebagai volume ekspander dan untuk menarik cairan di
jaringan yang edema. Antibiotik empirik tetap diberikan dengan terapi dosis.
Adanya HAP dan ISK dengan kemungkinan kuman multiresistens maka
digunakan terapi antibiotik meropenem 3x1 g dan amikasin 1x1 g.
Infeksi yang menyebabkan syok pada pasien ini diduga pneumonia yang
didapatkan dari RS swasta dan juga infeksi saluran kemih yang dibuktikan dengan
hasil urinalis ditemukan bakteri dan jamur. Pada hari kesembilan, keluar hasil
kultur sputum yakni candida albicans sehingga pemberian anti fungal.
BAB IV
PENUTUP4.1 Kesimpulan
Sindrom kardiorenal terjadi pada pasien yang mengalamai sepsis berat dan syok
septik. Patogenesis terjadinya CRS dipengaruhi oleh berbagai faktor yang mempengaruhi
baik fungsi jantung dan atau ginjal, termasuk keadaan syok yang dihubungkan dengan
hipoperfusi ginjal, vasodilatasi pembuluh darah sistemik maupun intrarenal, reaksi
inflamasi jaringan, disfungsi endotel dan terjadinya gangguan permeabilitas vaskular.
Pada kasus sepsis berat dan syok sepsis keberhasilan terapi terletak pada
penatalaksanaan yang adekwat dan implementasi dari 3 pilar sepsis yakni resusitasi
cairan sedini mungkin dapat mencapai target hemodinamik, pemberian antibiotik yang
tepat dan adekwat serta source control yang baik.
4.2 Saran
Daftar IsiBAB I............................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN...........................................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.............................................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................................................2
1.3 Tujuan..........................................................................................................................................2
1.3.1 Tujuan Umum......................................................................................................................2
1.3.2 Tujuan Khusus......................................................................................................................2
BAB II...........................................................................................................................................................3
TINJAUAN TEORI..........................................................................................................................................3
2.1 Definisi.........................................................................................................................................3
2.2 Etiologi.........................................................................................................................................4
2.3 Patogenesis..................................................................................................................................4
2.4 Patofisiologi Syok Septik..............................................................................................................6
2.5 Gejala Klinis Sepsis.......................................................................................................................6
2.6 Diagnosis......................................................................................................................................7
2.6.1 Riwayat................................................................................................................................7
2.6.2 Pemeriksaan Fisik.................................................................................................................7
2.6.3 Laboratorium.......................................................................................................................7
2.7 Penatalaksanaan..........................................................................................................................8
2.7.1 Stabilisasi pasien langsung...................................................................................................8
2.7.2 Darah harus cepat dibersihkan dari mikroorganisme........................................................22
2.7.3 Pemberian antibiotik..........................................................................................................22
BAB III........................................................................................................................................................24
TINJAUAN KASUS.......................................................................................................................................24
3.1 Contoh Kasus.............................................................................................................................24
3.2 Penatalaksanaan........................................................................................................................25
3.2.1 Di UGD...................................................................................................................................25
3.2.2 Di ICU.....................................................................................................................................28
BAB IV........................................................................................................................................................30
PENUTUP...................................................................................................................................................30
4.1 Kesimpulan....................................................................................................................................30
4.2 Saran..............................................................................................................................................30