i
MAKNA KONOTASI KATA AMBILAN BAHASA ARAB
DALAM BUKU MAFAHIM HIZBUT TAHRIR INDONESIA
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Adab dan Humaniora
Untuk Memenuhi Syarat Guna Meraih Gelar Sarjana Sastra (S.S.)
oleh:
IMAM ARIFIN
NIM: 1110024000006
Jurusan Tarjamah
Fakultas Adab Dan Humaniora
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
1435H / 2014M
ii
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 2 Oktober 2014
Imam Arifin
NIM: 1110024000006
iii
MAKNA KONOTASI KATA AMBILAN BAHASA ARAB
DALAM BUKU MAFAHIM HIZBUT TAHRIR INDONESIA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Sastra (S.S.)
Oleh:
Imam Arifin
NIM: 1110024000006
Pembimbing I Pembimbing II
Prof. Dr. Sukron Kamil, MA Karlina Helmanita, M.Ag.
iv
v
TERIMA KASIH
Puji syukur kepada Allah Swt yang melimpahkan rahmat dan karunia-Nya.
Karena-Nya jugalah, skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik meski agak sedikit
terlambat waktunya karena kemalasan penulis.
Salawat dan salam penulis curahkan kepada Baginda Besar Nabi
Muhammad Saw, keluarga, dan para sahabatnya. Semoga kita semua
mendapatkan syafaatnya di hari akhir. Amin ya rabb.
Selesainya skripsi bukanlah semata-mata hasil kerja keras penulis sendiri.
Penulis menyadari, skripsi ini tidak akan selesai jika tidak ada dukungan dari
almamater sebagai tempat penulis menimba ilmu. Tanpa terkecuali, penulis
berterimakasih kepada Bapak Prof. Dr. Komarudin Hidayat, selaku Rektor
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak Prof. Dr. Oman
Faturahman, M. Hum. sebagai Dekan Fakultas Adab dan Humaniora, dan Bapak
Dr.Ahmad Syaekhudin M.Ag, selaku ketua Jurusan Tarjamah pada periode 2010-
2014, dan Dr. TB Ade Asnawi, M.Ag ketua Jurusan Tarjamah periode 2014-2017.
Tidak hanya itu, penulis tentunya sangat berterima kasih kepada dosen
pembimbing skripsi, Bapak Prof. Dr. Sukron Kamil, MA, dan Bunda Karlina
Helmanita, M.Ag. yang telah bersedia meluangkan waktu di tengah kesibukannya,
untuk membimbing penulis demi selesainya skripsi ini. Selain itu, penulis
berterima kasih kepada dua penguji skripsi ini: Drs. Ahmad Syatibi, M.Ag dan Dr.
Moch Syarif Hidayatullah, M. Hum.
vi
Penulis juga berterima kasih kepada Bapak Tatam Wijaya sebagai alumnus
Tarjamah yang senantiasa memberikan motivasi yang sungguh berarti untuk
penulis. Beliau juga ikut serta membantu memberikan arahan pada penulis
sehingga proses penulisan skripsi ini terselesaikan.
Tak lupa, penulis berterima kasih kepada seluruh dosen Jurusan Tarjamah
yang telah mendidik dan mengajarkan ilmu berbagai ilmu pengetahuan bahasa,
budaya, dan terjemahan, khususnya Dr. Moch Syarif Hidayatullah, M. Hum, yang
mengajarkan seluk beluk dunia terjemah, terima kasih. Semoga amal mereka
diterima di sisi Allah Swt. Amin!
Secara khusus, penulis berterima kasih kepada orang tua tercinta, Abah
Ratmodan Mama Khopilah yang selalu mendoakan penulis. Penulis yakin mereka-
lah yang membuat pengerjaan skripsi ini menjadi lebih ringan. Terima kasih
penulis juga untuk Lek Juminah dan Lek Kusnanto, adik Aditia Soeman Prakoso
dan adik kecil Naila Salsabila, yang sudah menjadi bagian dari hidup penulis, dan
selalu memberi semangat hidup dalam sehari-hari.
Terima kasih yang amat sangat kepada keluarga Alm Raidah Binti Maud
dan Keluarga Alm H. Rifai Bin, yang selalu memberi semangat tiada henti. Aku
cinta padamu.
Serta penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Kawan-kawan Jurusan
Tarjamah 2010 atas kerjasama, kekompakan, dan kebersamaannya selama 4 tahun
kita berada dalam satu tempat menimba ilmu.
Semoga skripsi yang sederhana ini bisa bermanfaat bagi semua yang
membacanya, terutama bagi yang berminat dibidang penerjemahan, dan
vii
khususnya bagi penerjemahan buku-buku dan teks-teks islam yang fundamentalis.
Kritik dan saran, akan penulis terima dengan lapang dada.
Jakarta, 24 September 2014
Imam Arifin
viii
DAFTAR ISI
HALAMANJUDUL.................................................................................i
SURAT PERNYATAAN…………………………………….....................ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING...........................................iii
TERIMA KASIH……………………………………………....................iv
DAFTAR ISI............................................................................................vii
PEDOMAN TRANSLITERASI…………………………………………ix
ABSTRAK………………………………………………………………..xii
BAB I: PENDAHULUAN
A. LatarBelakangMasalah………………………………………...................1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah……………………………..........5
1. PembatasanMasalah............…………………………………………........5
2. PerumusanMasalah……………...........…………………………..............5
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian…………....................………….........6
D. MetodologiPenelitian………………………………………….......................6
1. SumberData…………………………....………………………....................6
2. Teknik Pengumpulan Data…….....…………………………..................7
3. Teknik Analisis Data……………………………………….......................7
E. Sistematika Penulisan………………….…………………….................7
ix
BAB II: KERANGKA TEORI
A. Teori Kata Ambilan…………………………………..................................10
1. Definisi Kata Ambilan………………………………………..................10
2. Perbedaan: Kata Ambilandan Kata Serapan……….....….....11
B. TeoriPenerjemahan……………………………………………....14
1. DefinisiPenerjemahan………………………………………...14
2. IdeologiPenerjemahanHizbut Tahrir ....................................17
C. Makna Konotatif………………………………………………....22
1. DefinisiKonotatif………………………………………….......22
2. PerbedaanDenotatifdanKonotatif…………………………...23
3. Sinonimi (Mutaradifat)………………………………………...33
BAB III: Profil dan Gambaran Umum Hizbut Tahrir
A. Profil Singkat………………………………………………........35
1. Perkembangan dan Sejarah Munculnya Hizbut Tahrir di
Indonesia……………………………………………………....35
2. Tujuan Hizbut Tahrir……………………………………….....42
3. Kegiatan Hizbut Tahrir……………………………………......43
4. StrategiDakwahisPolistis HT……………………………......44
5. Metode Dakwah Hizbut Tahrir…………………………….....46
6. Ulasan Buku Mafahim Hizbut Tahrir.....................................48
x
BAB IV: Analisis Semantik Kata Ambilan Arab dalam Buku
Mafahim Hizbut Tahrir Indonesia
A. Pengantar.........…………………………………………………….52
B. Analisis Makna Konotasi Kata Ambilan Bahasa Arab dalam Buku
Mafahim……………………………………………........................53
1. Kalimat 1.............................................................................................54
2. Kalimat 2.............................................................................................55
3. Kalimat 3.............................................................................................56
4. Kalimat 4.............................................................................................59
BAB V :Kesimpulan………………………………………………….......63
DaftarPustaka………………………………………………………........64
xi
PEDOMAN TRANSLITERASI
HurufArab Nama HurufLatin
Alif Tidakdilambangkan
Ba
B
T Ta
Tsa
Ts
Jim
J
Ha
H
Kha
Kh
Dal
D
Dzal
Dz
Ra
R
Zai
Z
Sin
S
Syin
Sy
Shad
Sh
Dhad
Dh
Tha
Tha
Zha Zh
‘ain
....‘....
Ghain
Gh
xii
Fa
F
Kaf
K
Lam
1
Mim
M
Nun
N
Wau
W
Ha
H
Hamzah
...`...
Ya
Y
â=aPanjang
î=ipanjang
û=upanjang
xiii |
ABSTRAK
Kajian ini dilakukan untuk mengetahui seberapa besar kata ambilan Arab
berpengaruh dan digunakan dalam bahasa indonesia di kelompok islam
fundamentalis. Khususnya dalam teks-teks dan buku keagamaan seperti di
dalam buku mafahi hizbut tahrir ini.
kata ambilan yang merupakan kata asing yang sering dipakai dalam
literature/buku, tetapi jika membuka kamus KBBI, kata tersebut belum ada.
Dalam literatur/buku yang menggunakan bahasa ambilan penulisannya pun
masih ditulis miring dan harus ditransliterasikan terlebih dahulu untuk
menunjukkan apakah bahasa tersebut asing atau tidak. Meski sudah dikenal
paling tidak di kalangan tertentu yang akrab dan bagian dari wacana yang
berkembang di antara mereka.
Kata ambilan Arab yang dipakai dalam buku keislaman dan tindak
tutur pemakainya menunjukkan pola keagamaan, baik pola kegaman
fundamentalis dakwahis, politis, jihadis,maupun pola/tipologi
mainstream/moderat. Selain itu, jika kata ambilan Arab yang dipakai dalam teks
dianalisis lewat teori analisis semantik sintaktikal dan konotasi teks serta sosial
budaya, pola keagamaan ormas/kelompok sosial keagamaan menjadi lebih
tampak lagi. Bahkan, lewat cara ini juga ditemukan sejumlah akar problem yang
melahirkan pola keagamaan.[]
1
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kata ambilan merupakan kata pinjaman dari bahasa lain, baik daerah maupun
asing. Biasanya masih dalam keadaan asli atau serupa dengan bahasa
asli/sumbernya. Ia diungkap dengan ditransliterasikan ke bahasa yang
terpengaruh/sasaran serta belum masuk kedalam kosakata resmi bahasa Indonesia.1
Berbeda dengan kata serapan, kata serapan adalah kata yang sudah diserap dalam
bahasa Indonesia yang dibuktikan dengan masuknya kata itu ke dalam kamus
besarbahasa Indonesia (KBBI).2
Kata ambilan yang merupakan kata asing yang sering dipakai dalam
literature/buku. Tetapi jika membuka kamus KBBI, kata tersebut belum ada. Dalam
literatur/buku yang menggunakan bahasa ambilan penulisannya pun masih ditulis
miring dan harus ditransliterasikan terlebih dahulu untuk menunjukkan apakah
bahasa tersebut asing atau tidak. Meski sudah dikenal paling tidak di kalangan
tertentu yang akrab dan bagian dari wacana yang berkembang di antara mereka.3
Kata ambilan Arab yang dipakai dalam buku keislaman dan tindak tutur
pemakainya menunjukkan pola keagamaan, baik pola keagamaan fundamentalis,
dakwahis, politis, jihadis, maupun pola/tipologi mainstream/moderat. Selain itu,
jika kata ambilan Arab yang dipakai dalam teks dianalisis melalui teorianalisis
1Sukron Kamil, dkk, Pola Keagamaan dan Bahasa: Studi Kontekstual Kata Serapan Arab
Dalam Teks-Teks Keislaman(Jakarta: UIN Jakarta,2013), h. 6 2Lihathttp://bahasakita.com/kata-serapan-arab-dalam-bahasa-indonesia. 3Sukron Kamil, dkk,Pola Keagamaan dan Bahasa: Studi Kontekstual Kata Serapan Arab
dalam Teks-Teks Keislaman(Jakarta: UIN Jakarta,2013),h. 26
2
semantik sintaktikal, konotasi teks, sosial budaya, pola keagamaan
ormas/kelompok sosial keagamaan menjadi lebih tampak lagi. Bahkan, melalui cara
ini juga ditemukan sejumlah akar problem yang melahirkan pola keagamaan
mereka.4
Lahirnya penggunaan kata ambilan Arab yang belum menjadi bahasa
Indonesia lebih menunjukkan pola keagamaan. Salah satunya di kalangan Hizbut
Tahrir Indonesia yang umumnya berasal dari kelompok dakwahis dan politis
banyak menggunakan kata ambilan Arab. Misalnya kata Daulah Islâmiyah dan
Khilâfah Islâmiyah yang merupakan dua istilah/ambilan Arab yang menjadi
gagasan sentral HTI. Karenanya, dua istilah ini yang paling banyak digunakan oleh
HTI. Daulah Islâmiyah yang berarti negara Islam dan Khilâfah Islâmiyah yang
berarti kepemimpinan Islam merupakan dua istilah yang sangat melekat dengan
HTI. Cita-cita dari perjuangan HTI adalah menjadikan NKRI sebagai Daulah
Khilâfah Islâmiyah. Pemakaian kedua istilah tersebut tidak menggunakan
padanannya dalam bahasa Indonesia, karena konsep yang terdapat dalam kedua
istilah tersebut tidak akan sama ketika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.5
Selain kata Daulat Islamiyah yang tidak ditemukan padanannya dalam bahasa
Indonesia, Kata mabda yang secara etimologis adalah ism makan dari kata
‘bada’a-yabda’u-mabdaan’ yang berartipermulaan. Secara terminologis mabda
berartipemikiranmendasar yang dibangun di atas pemikiran-pemikiran (cabang).6
Dalam padanan bahasa Indonesia, mabda memiliki padanan dengan kata ideologi.
4SukronKamil, dkk, PolaKeagamaandan Bahasa: StudiKontekstual Kata Serapan Arab
dalamTeks-TeksKeislaman,(Jakarta: UIN, 2013), h. 6 5Sukron Kamil, h. 6
6http://hizbut-tahrir.or.id//category///2009/03/28/islam-ideologis/
3
Walaupun mempunyai padanannya dalam bahasa Indonesia, HTI tetap
menggunakan kata mabda ketika menjelaskan tentang ideologi.
Pemerkayaan kosakata melalui pengambilan kata Arab atau istilah dari bahasa
lain adalah suatu keniscayaan. Tidak ada bahasa modern yang steril dari kata
ambilan. Bahasa Inggris yang merupakan bahasa terkemuka meminjam lebih dari
sepertiga dari bahasa lain. Hal demikian juga terjadi dalam bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia mengambil banyak sekali bahasa asing, seperti Sansakerta,
Arab, Belanda, Cina dan Inggris. Pengambilan kata ini karena kebutuhan pretise.
Perkembangan dan perubahan kebahasaan dapat terjadi baik dalam ranah
makna, tata bahasa, maupun kosakata. Kosakata merupakan bidang yang cepat
berkembang dan banyak mengalami perubahan. Hal ini dibuktikan dengan adanya
sejumlah pengambilan kata baru dalam pola keagamaan di Indonesia,
misalnyadalam bahasa Indonesia pada beberapa dekade terakhir, dalam kelompok
salafi dakwahis dan politis HTI. kata mabda (ideologiI), akhi (saudara), thâghût
(syetan), daulah (Negara), Qiyâdah (kepemimpinan), dan daulat (perjalanan
untuk dakwah) (harta rampasan perang).7 Kalangan yang hampir sama seperti
salafi dakwahis semisal Jama’ah Tabligh, PKS, MMI, juga melakukan hal yang
sama.
Dalam hal ini bahasa merupakan cerminan pola pikir dan pola rasa yang bisa
diteliti lewat teori kontekstual yang tercakup di dalamnya kajian atas fenomena
bahasa sintaktikal serta wacana dan juga konteks sosial budaya yang
melingkupinya, maka kajian atas pola keagamaan lewat teks-teks kebahasaan
7Taqiyuddin An-Nabhani, Mafahim Hizbut Tahrir, (Jakarta: Hizbut Tahrir Indonesia,
2001),h.10
4
dalam literatur keislaman kontemporer di Indonesia bisa dipertanggungjawabkan
secara ilmiah. Pola keagamaan fundamentalisme (salafi dakwahis dan politis),
bahkan radikalisme (salafi jihadis) bisa diteliti lewat kajian atas fenomena
kebahasaan dalam buku pedomannya atau teks-teks keislaman yang dilahirkan
oleh kelompok-kelompok Islam tersebut.
Dengan pemaparan di atas agar fokus dalam penelitian, maka penelitian ini
akan mengkaji kata ambilan Arab yang dipakai dalam buku pedoman keislaman
kontemporer Mafahim Hizbut Tahrir. hal Ini terkait dengan keunggulan bahasa
Arab dalam menampung konsep-konsep keagamaan yang dalam bahasa Indonesia
sering kali tidak ditemukan padananya. Berdasarkan pemikiran di atas penulis
membahas skripsi ini dengan judul: Makna Konotasi Kata Ambilan Bahasa
Arab dalam Buku Mafahim Hizbut Tahrir Indonesia.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah.
Untuk dapat menemukan sebuah pembahasan secara lebih mendalam, penulis
membatasi objek penelitiannya dengan menggunakan 16 kosakata kata ambilan
Bahasa Arab dari 78 kosakata yang terdapat dalam buku Mafahim Hizbut Tahrir
Indonesia. Kosakata tersebut seperti pada kata mabda (ideologi), Qabih (tercela)
Hasan (Terpuji), daulah (Negara), Qiyâdah (kepemimpinan), dandaulat
(perjalananuntukdakwah).8 Kafir Harbi, Daulat Islamiyah, Khilafah Islamiyah,
Kharaj, Daarul Kufur, Daarul Islam, kafir Mua’ahad, Inqilabi,hirjuaz-zawiyah,
hizb
8 An-Nabhani, Taqiyuddin Mafahim Hizbut Tahrir, (Jakarta: Hizbut Tahrir Indonesia,
2001),h.10
5
.
2. Perumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang dapat diurai adalah:
Bagaimana makna konotasi di balik penggunaan kata ambilan Arab dalam
buku Mafahim Hizbut Tahrir Indoneisa?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Sebagaimana rumusan yang sudah diidentifikasikan oleh penulis. Maka,
penelitian ini memiliki beberapa tujuan antara lain:
Untuk megetahui makna konotasi di balik penggunaan kata ambilan Arab
dalam Buku Mafahim Hizbut Tahrir Indonesia
D. Metodologi Penelitian
Dalam penelitian skripsi ini, penulis menggunakan metode deskriptif
kualitatif, dengan jalan mengumpulkan data yang terkait dengan masalah yang
akan diteliti berbentuk kata-kata, bukan angka-angka9 data yang penulis dapatkan
dalam hal ini merujuk sumber primer dan bahan sekunder.
Data yang diperoleh yaitu melalui, teori makna konotatif, teori konotatif
Roland Barthes, hermeneutik, dan juga akan diperkaya teori mutaradifat. teori
tersebut akan dibahas lebih dalam di (bab 2) kemudian wawancara langsung
kepada salah satu tokoh Ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) guna mempertajam
analisa yang penulis paparkan.
9 Mahsun, Metodologi Penelitian Bahasa, (Jakarta: Grafindo, 2013), h. 79
6
1. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini diambil dari buku Mafahim Hizbut Tahrir
Indonesia. Sesuai judulnya, kitab Mafahim Hizbut Tahrir Di dalam buku Mafâhim
Hizbut Tahrir’terdapat 78 kosakata yangditulis dalam bahasa Arab. Kosakata
tersebut ditulis miring sebagai tanda bahwa kosakata tersebut adalah kosakata
asing yang belum diserap ke dalam bahasa Indonesia. Akan tetapi, walaupun
belum menjadi bagian dalam bahasa Indonesia, penulisan kosakata tersebut
mengikuti bentuk kosakata bahasa Indonesia dan tidak menggunakan bentuk ejaan
dalam bahasa asalnya
Namun, di dalam buku ini tidak semua kosakata dan istilah Arab dipakai
karena alasan kebutuhan, yang jika tidak digunakan akan merusak cita rasa
makna yang dimaksud. Misalnya kata qabîh yang berarti buruk/jelek. Kata
tersebut apabila dituliskan terjemahannya dalam bahasa Indonesia tidak akan
mengurangi atau menghilangkan makna yang terkandung dalam bahasa asalnya.
Demikian pula dengan katahasan (terpuji) ‘syarah’ yang berarti penjelasan. Jika
tiga kata ditampilkan dalam bentuk terjemahannya dalam bahasa Indonesia
sesunguhnya lebih baik.
2. Teknik Pengumpulan Data
Data berupa kosakata yang terdapat dalam buku Mafahim HTI berupa
kosakata bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Arab dicatat pada kartu.
Kemudian catatan itu dianalisis untuk menemukan bentuk-bentuk
pengambilannya yang tidak sesuai padananya dengan bahasa Arab.
7
3. Teknik Analisis Data
Data yang berupa kosakata bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Arab
dianalisis dengan mengacu pada perubahan konotasi yang terjadi pada proses
pengambilan. Analisis dilanjutkan dengan melihat perbedaan register dan makna
yang terjadi yaitu makna konotasi yang merupakan makna yang bukan sebenarnya
dan merujuk pada hal lain.Makna Konotasi tidak diketahui oleh semua orang,
dalam artian hanya digunakan oleh suatu komunitas tertentu, konotatif merupakan
makna lain yang ditambahkan pada makna denotatif tadi yang berhubungan
dengan nilai rasa dari orang atau kelompok orang yang menggunakan kata
tersebut10
E. SistematikaPenulisan
Dalam hal ini penulis akan memberikan penjelasan secara sistematika dengan
cara pandang masalah secara objektif, agar dapat dipahami secara baik. Penulisan
ini dibagi menjadi VI BAB.
BAB I, Pendahuluan: terdiri dari enam subbab yaitu; Pertama, Latar belakang
masalah; kedua pembatasan dan perumusan masalah; ketiga, tujuan dan kegunaan
penelitian; keempat metode pembahasan; kelima manfaat penelitian dan; keenam,
sistematika penulisan.
10
SalihenMoentaha,BahasadanTerjemahan; Language and Translation The New Millennium Publication,(Jakarta: Kesaint Blanc – Anggota IKAPI, 2008), h. 163
8
Pada bab selanjutnya (bab 2), peneliti menjelaskan teori kata ambilan Arab,
Distingsi: kata ambilan dan serapan, teori penerjemahan, ideology penerjemahan
ormas fundamentalis, teori makna konotasi, denotasi, dan teori mutaradifat.
Kemudian pada bab berikutnya (bab 3) penulis akan menggambarkan profil
dan Gambaran Umum Hizbut Tahrir.
Selanjutnya, pada bab inti (bab 4), peneliti akan membahas analisis
Bagaimana makna konotasi di balik penggunaan kata ambilan Arab dalam buku
Mafahim Hizbut Tahrir Indoneisa.
Pada akhirnya peneliti mengakhiri di (bab 5) penelitian ini dengan beberapa
kesimpulan dari hasil penelitian mengenai kata ambilan Arab di dalam buku
Mafahim HTI
9
BAB II
KERANGKA TEORI
A. Kata Ambilan
1. Definisi Kata Ambilan
Kata ambilan merupakan kata pinjaman dari bahasa lain, baik daerah maupun
asing. Biasanya masih dalam keadaan asli atau serupa dengan bahasa
asli/sumbernya.Ia diungkap dengan ditransliterasikan ke bahasa yang
terpengaruh/sasaran serta belum masuk kedalam kosakata resmi bahasa
Indonesia.Istilah kata ambilan, ia diambil dari bahasa asing, hanya saja tidak ada
padanannya di dalam bahasa Indonesia dan terjemahannya terlalu panjang.1
Kosakata bahasa asing yang dapat diambil menjadi istilah harus memenuhi syarat
sebagai berikut:
a. Lebih cocok karena konotasinya; misalnya oksigen lebih cocok daripada gas
asam,
b. Lebih singkat daripada terjemahan Indonesianya,
c. Memudahkan pengalihan antar bahasa karena corak keinternasionalannya
d. Dapat mempermudah tercapainya kesepakatan jika istilah Indonesia terlalu
banyak sinonimnya.
Secara garis besar, istilah dapat dibentuk dengan cara (1) mengambil
kata/gabungan kata umum dan memberinya makna atau definisi yang tetap, (2)
1Zuchridin Surya winata & Sugeng Hariyanto, Translation (Bahasa Teori& Penuntun Prakti
sMenerjemahkan), (Yogyakarta: Kanisius, 2003) h. 134
10
mengambil istilah asing dengan cara (a) mengadopsi, (b) mengadaptasi, dan (c)
menerjemahkan.2
2. Perbedaan:Kata Serapan dan Kata Ambilan
Kata serapan merupakan sebuah fenomena linguistik yang dalam kajiannya
sejajar dengan sejarah pembentukan sebuah bahasa, tidak seperti proses
pembentukan kata lainnya (derivation, composition, abreviation, dan siglaison).
Kontak antarbahasa dapat terjadi apabila antarbahasa serumpun, sehingga kontak
tersebut menimbulkan kata serapan yang bermakna.
Salah satu ciri serapan ialah serapan kata yang bermakna sama dengan kata
bahasa penyerap. Bahasa Indonesia mengalami proses penyerapan dengan ciri
sinonimi.3 Misalnya kata serapan temperaturbersinonim suhu.Seperti halnya kata-
kata dalam bahasa Arab yang diserap ke dalam bahasa Indonesia melalui berbagai
macam bahasa daerah di kepulauan Indonesia, pun bahasa Jawa dan Sunda, serta
dialek Melayu. Bahasa Betawi juga mengalami perubahan menjadi suatu wujud
baru dalam bahasa Arab klasik yang kemudian mengalami proses re-arabisasi atau
telah hilang sama sekali. Jika kata-kata tersebut dituturkan oleh pedagang Arab,
maka masuk akal apabila kata serapan Arab dalam bahasa Indonesia atau Melayu
paling tidak mengandung unsur-unsur kolokial yang penting, karena pedagang
(seperti halnya orang awam lainnya) biasanya tidak menggunakan bahasa Arab
klasik jika berkomunikasi dengan orang lain.4Bahkan mereka biasanya tidak
menguasai bahasa Arab klasik dengan baik.
2Zuchridin Suryawinata & Sugeng Hariyanto, Translation (Bahasa Teori & Penuntun Praktis
Menerjemahkan), (Yogyakarta: Kanisius, 2003) h. 134 3J.D Parera, Teori Semantik, (Jakarta:Erlangga, 2004), h. 65
4Nikolaos van Dam, lihathttp://bahasakita.com/kata-serapan-arab-dalam-bahasa-indonesia.
11
Sebagian besar kata serapan Arab tidak mengandung jejak kolokial apapun
yang bisa memberikan petunjuk daerah asal kata tersebut karena bentuknya yang
klasik. Namun Kees Versteegh yang dikutip oleh Nikolaos Van Dam (Arabic
Component Leksikon Indonesia) mengemukakan, ”Yang khususnya menarik
adalah kata-kata serapan itu memperlihatkan bersumber dari bahasa Mesir, di
mana j diucapkan sebagai g seperti dalam gamal `unta„ (Arab = jamal, Mesir =
gamal) dan kata-kata dengan pelafalan g untuk q dalam bahasa Arab seperti
dalam gamis `kemeja‟ (Arab = qamis), gereba (Arab = qirba).”5Namun tidak
seluruhnya dari Arab, hal ini juga dapat karena pengaruh Inggris
Sehubungan dengan penjelasan di atas, kata serapan Arab dalam bahasa
Indonesia dapat dibagi kedalam empat bagian yaitu: Pertama, lafal dan artinya
yang masih sesuai dengan aslinya dalam bahasa Arab.Walaupun sebagian dalam
penulisannya mengalami perubahan. Misalnya kata abad, adil, bakhil, bathil,
barakah, musyawarah, dan munkar. Kedua, lafalnya berubah namun artinya
tetapsama dengan bahasa Arab. Misalnya kataberkah, atau berkatyang merupakan
asal kata barakah; lalim dari kata zhalim; makalah dari kata maqalah; dan kata
resmi dari kata rasmiy. Ketiga, lafal dan arti berubah dari lafal dan arti semula
dalam bahasa Arab. Misalnya, keparat-- dalam bahasa Indonesia merupakan
sebuah kata makian (sepadan dengan kata sialan)—. Kemudian logat dalam
bahasa Indonesia bermakna dialek atau aksen berasal dari kata lughahyang dalam
bahasa Arab bermakna bahasa. Keempat, lafalnya sama tetapi artidalam bahasa
Indonesia berubah. Misalnya kata ahli dan kalimat. Dalam bahasa
5Nikolaos van Dam, lihathttp://bahasakita.com/kata-serapan-arab-dalam-bahasa-indonesia.
12
Indonesiakalimat bermakna rangkaian kata-kata, kemudian dalam bahasa Arab
bermakna kata.6
Berbeda dengan kata ambilan Arab. merupakan kata pinjaman dari bahasa
lain, baik daerah maupun asing. Biasanya masih dalam keadaan asli atau serupa
dengan bahasa asli/sumbernya.Ia diungkap dengan ditransliterasikan ke bahasa
yang terpengaruh/sasaran serta belum masuk kedalam kosakata resmi bahasa
Indonesia.
Untuk membedakan kata serapan dan kata ambilan, kita dapat menggunakan
KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) produk Pusat bahasa Nasional. Kata
serapan merupakan kata asing yang sudah masuk kedalam entri kamus tersebut.
Kata serapan adalah kata yang sudah diserap dalam bahasaIndonesia yang
dibuktikan dengan masuknya kata itu ke dalam kamus. Berbeda dengan kata
ambilan yang merupakan kata asing yang sering dipakai dalam literature/buku,
tetapi jika membuka kamus KBBI, kata tersebut belum ada. Dalam literatur/buku
yang menggunakan bahasa ambilan penulisannya pun masih ditulis miring dan
harus ditransliterasikan terlebih dahulu untuk menunjukkan apakah bahasa tersebut
asing atau tidak. Meski sudah dikenal paling tidak di kalangan tertentu yang akrab
dan bagian dari wacana yang berkembang di antara mereka.7
Umumnya, kata ambilan Arabyang belum menjadi bahasa Indonesialebih
menunjukkan pola keagamaannya yang lebih kuat. Seperti kelompok dakwahis
atau ormas Islam. Menurut para penganut tersebut, upaya mempertahankan sesuatu
yang asing dan tidak lazim, unik, serta kekhasan dari budaya bahasa sumber yang
tetap mempertahankan gaya, cita rasa, dan cita rasa kultural bahasa sumber
6 Sukron Kamil, Pola Keagamaan dan Bahasa: Studi Kontekstual Kata Serapan Arab dalam
Teks-Teks Keislaman(Jakarta: UIN, 2013), h. 6 dan Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_kata_serapan_dari_bahasa_Arab
7Sukron Kamil, dkk, Pola Keagamaan dan Bahasa: Studi Kontekstual Kata Serapan Arab
dalam Teks-Teks Keislaman(Jakarta: UIN Jakarta,2013), h. 26
13
merupakan suatu keutamaan8. Contohnya di kalangan dakwahis Hizbut Tahrir
Indonesia yang pada umumnya berasal dari kelompok tarbiyyah (salafi ormas
fundamentalis Islam yang banyak menggunakan kata ambilan Arab. Misalnya kata
akhi (saudara), Fikrah(konsep), Ghanimah (Harta rampasan perang), qadla
(peradilan), kharaj (Pendapatan negara dari tanah/lahan di daerah taklukan),
Inqilâbi (revolusioner), kulliyat (umum), harakah Ishlahiyah (gerakan reformasi).9
Kemudian kalangan yang hampir sama seperti Salafi Dakwahis adalah
Jama‟ah Tabligh yang juga melakukan hal serupa. Selain itu kalangan dakwahis
politis Partai Keadilan Sejahtera (PKS)juga menggunakan Kata ambilan Arab
seperti thaghut (syetan), daulah(Negara), shibghah (bentuk/ajaran), qiyâdah
(kepemimpinan). Hal ini jika dianalisis melalui analisis kontekstualakan menjadi
lebih ilmiah lagi.10
Disamping itu, kata-kata serapan atau ambilan Arab dalam pesantren juga
mempunyai peran penting, karena pesantren mengajarkan bahasa Arab dan
berperan sebagai bahasa utama. Maka dari itu banyak kata-kata yang mengalami
perubahan. Unsur bahasa Arab kolokial (bahasa sehari-hari) dalam berbagai dialek
Melayu seperti bahasa Betawi atau lainnya, pada umumnya tidak dimasukkan ke
dalam bahasa resmi Indonesia.11
8UmiKulsum, “Doubletdalam kata serapan Arab: KajianPerbedaanMaknadan Register”
Makalah Seminar NasionalPenerjemahan “RevitalisasiPeranPenerjemahan di Era Global” yang diselenggarakanoleh Program StudiTarjamahFakultasAdabdanHumaniora UIN SyarifHidayatullah Jakarta, 2013, h. 278
9Taqiyudin an-Nabhani, MafahimHizbutTahrir,(Jakarta, HizbuTahriri Indonesia, 2004), h. 10
10SukronKamil, dkk, PolaKeagamaandan Bahasa: StudiKontekstual Kata Serapan Arab
dalamTeks-TeksKeislaman (Jakarta: UIN Jakarta 2014), h. 7. 11
Nikolaos van Dam, lihathttp://bahasakita.com/kata-serapan-arab-dalam-bahasa-indonesia.
14
B. Teori Penerjemahan
1. Definisi Penerjemahan
Penerjemahan merupakan upaya mengalihkan amanat dari bahasa sumber ke
dalam bahasa target dengan cara menemukan ekuivalensi yang memiliki struktur
semantik yang sepadan. Bisa dikatakan penerjemahan merupakan dwitindak
komunikasi (dual act of communication) yang kompleks, maksudnya adalaha yang
mensyaratkan adanya dua kode yang berbeda (bahasa sumber dan bahasa target).
Ketika proses penerjemahan berlangsung, penerjemah harus terlebih dahulu
memahami rentetan kegiatan mulai dari memahami makna teks sumber sampai
mengungkapkan kembali makna tersebut dalam bahasa target.12
Lebih jelasnya
Nida dalam M. Zaka Alfarisi, mengemukakan bahwa proses penerjemahan
biasanya melewati tiga tahapan. Yaitu:
Pertama, tahapan analisis sebagai upaya memahami teks sumber melalui
telaah linguistik dan makna, memahami materi yang diterjemahkan, serta
memahami konteks budaya. Kedua, tahapan pengalihan makna atau pesan yang
termaktub dalam teks sumber. Ketiga, tahapan rekonstruksi sebagai upaya
menyusun kalimat-kalimat terjemahan sampai diperoleh hasil akhir terjemahan
dalam bahasa target.13
Selain itu, Moeliono dalam Syihabudin berpandangan bahwa pada hakikatnya
penerjemahan itu merupakan kegiatan memproduksi amanat atau pesan bahasa
sumber dengan padanan yang paling dekat dan wajar di dalam bahasa penerima,
baik dari segi arti maupun gaya. Idealnya, terjemahan tidak akan dirasakan sebagai
12
M. Zaka Al farisi,PedomanPenerjemahan Arab Indonesia, (Bandung: RemajaRosdakarya, 2011), h. 23
13SalihenMoentaha,BahasadanTerjemahan; BahasadanTerjemahan; Language and
Translation The New Millennium Publication, (Jakarta: Kesaint Blanc – Anggota IKAPI, 2008), h. 9
15
terjemahan. Namun,untuk memproduksi amanat itu, mau tidak mau diperlukan
adanya penyesuaian gramatikal dan leksikal14
.
Jelas sudah peran penerjemah sangatlah sentral dalam kegiatan penerjemahan.
Sebab, ia berperan sebagai mediator yang menjadi jembatan penghubung antara
penulis teks sumber dan pembaca teks target. Jembatan penghubung inilah yang
menghadirkan pemikiran penulis teks sumber ke dalam teks target dalam bingkai
kesepadanan. Secara teoritis, sesungguhnya mengungkapkan pemikiran orang lain
dari bahasa sumber ke dalam bahasa target itu lebih sulit daripada mengungkapkan
pemikiran sendiri. Kesulitan ini timbul karena penerjemah mengemban tanggung
jawab besar.15
Ia harus menyampaikan amanat penulis teks sumber melalui bahasa
target dengan tingkat keakuratan, kejelasan, dan kewajaran yang memadai.
Kesulitan penerjemah juga bertambah lantaran adanya perbedaan bahasa, budaya,
dan konteks sosiologi yang dimiliki penulis teks sumber dan membaca terjemahan.
Di sinilah penerjemah berupaya mengatasi kesulitan-kesulitan tersebut dengan
menggunakan metode teknik penerjemahan sesuai dengan kebutuhan saat
berlangsungnya proses penerjemahan.16
Selain itu, Hoed dalam Zaka Al Farisi mengemukakan masalah pokok dalam
penerjemahanialah sulitnya menemukan ekuivalensi atau kesepadanan. Seandainya
ekuivalensi sudah ditemukan, maka setiap unsur bahasa yang dipadankan pun
masih akanterbuka untuk melahirkan aneka penafsiran. Maka dari itu pengertian
penerjemahan yang benar sangat bergantung pada faktor di luar teks itu sendiri.
Faktor di luar teks itu antara lain pertama penulis teks yang dalam menghasilkan
14
Syihabuddin, Penerjemahan Arab-Indonesia (TeoridanPraktek) (Bandung: Humaniora, 2005), h. 10
15M. ZakaAlfarisi, PedomanPenerjemahan Arab-Indonesia(Bandung: RemajaRosdakarya.
2011), h. 25 16
M. ZakaAlfarisi, PedomanPenerjemahan Arab-Indonesia(Bandung: RemajaRosdakarya. 2011), h. 26
16
tulisannya tidak terlepas dari pengaruh pendidikan, lingkungan sosial, ideologi,
dan hal-hal lain yang memengaruhi tulisannya.Faktor kedua ialah penerjemahan
yang terikat dengan jaringan intertekstual dalam upaya mengalihkan pesan dari
bahasa sumber ke dalam bahasa target.Faktor ketiga ialah pembaca yang boleh jadi
mempunyai bermacam-macam tafsiran terhadap teks yang dibacanya.Faktor
keempatialah perbedaan kaidah yang berlaku dalam bahasa sumber dan bahasa
target.Faktor kelimaialah kebudayaan yang melatari bahasa target.Kemudian
terakhir ialah hal yang dibicarakan dalam suatu teks yang bisa dipahami secara
berbeda oleh penulis teks sumber, penerjemah, dan pembaca terjemahan.
2. Ideologi Penerjemahan Ormas Fundamentalis
Pengertian Fundamentalisme
Secara harfiah, fundamentalis berarti orang atau sekelompok orang yang taat
dan setia pada dasar-dasar ajaran agamanya. Dalam bahasa Arab, kaum
fundamentalis disebut dengan ushuli (yang berpegang pada dasar-dasar agama).
Namun, pengertian fundamentalis yang secara harfiah posistif, yaitu konsisten
dengan ajaran dasar agama, kemudian mengalami konotasi negatif. Dalam Kamus
besar bahasa Indonesia (KBBI), fundamentalisme diartikan dengan paham atau
gerakan keagamaan yang bersifat kolot atau reaksioner, yang selalu merasa perlu
kembali pada ajaran agama yang asli seperti tersurat dalam kitab suci, yang
sebagiannya cenderung memperjuangkan keyakinannya secara radikal. Kamus
webster menjelaskan kata fundamentalis dengan menunjuk pada dua arti: yaitu (1)
gerakan Protestanisme pada abad ke-20 yang menekankan penafsiran pada Alkitab
secara literal (harfiah) sebagai sesuatu yang mendasar bagi hidup dan pengajaran
17
kristen. (2) sesuatu gerakan atau sikap yang menekankan ketelitian dan ketaatan
secara harfiah terhadap sejumlah prinsip dasar.17
Olivier Roy membedakan antara fundamentalisme Islam tradisional dan
modern. Fundamentalisme tradisional („ulama) dicirikan oleh kuatnya peran ulama
atau oligarki klerikal (clerical oligarchy) dalam membuat penafsiran terhadap
Islam, terutama Shi‟ah. Islam Shî„ah memberikan otoritas sangat besar kepada
„ulama untuk menafsirkan doktrin agama. Tafsir mereka pun bersifat absolut.
Akibatnya, kebebasan intelektual untuk menafsirkan teks-teks agama menjadi
sangat sempit dan terbatas. Dapat dinyatakan bahwa salah satu faktor yang
mendukung berkembangnya fundamentalisme (tradisional) adalah kuatnya otoritas
„ulama, termasuk dalam hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan sosial dan
politik. Dalam hal ini, tampak adanya kemiripan antara fundamentalisme di satu
pihak dan tradisionalisme di pihak lain.18
Fundamentalisme tradisional menganggap „ulama dan penguasa politik
merupakan dua entitas yang terpisah; masalah agama berada di tangan kaum
klerikal, sementara negara berada di tangan figur sekular -presiden, raja.
Karenanya, tidak ada teokrasi dalam Islam, kecuali dalam kasus wilâyat al-faqîh di
Iran.
Sedangkan fundamentalisme modern atau neo-fundamentalisme dicirikan
oleh orientasi yang kuat kepada politik dengan menjadikan Islam sebagai ideologi.
Islam tidak dipahami sebagai agama yang memuat doktrin tentang ritual, tetapi
ditafsirkan sebagai ideologi yang diperhadapkan dengan ideologi modern seperti
kapitalisme, liberalisme atau sosialisme. Roy mengidentifikasi Islamisme sebagai
17
Sukron Kamil, Islam dan Politik di Indonesia Terkini, (Jakarta: PSIA UIN Jakarta),h. 164 18
Ahmad Nur Fuad, Interrelasi Fundamentalisme dan Orientasi Ideologi Gerakan Islam Kontemporer, (Surabaya: Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya), h. 19
18
bentuk lebih mutakhir dari neo-fundamentalisme. Fundamentalisme Islam modern
tidak dipimpin oleh ulama (kecuali di Iran), tetapi oleh “intelektual sekular” yang
secaraterbuka mengklaim sebagai pemikir religius.Mereka berpendapat bahwa
karena semua pengetahuan itu bersifat ilahi dan religius; maka ahli kimia, teknik,
insinyur, ekonomi, ahli hukum adalah ulama.12 Jadi, terdapat semacam anti-
clericalism di kalangan fundamentalisme Islam modern, meskipun
fundamentalisme dalam wajahnya yang lain juga dicirikan oleh adanya oligarki
klerikal seperti disebut terdahulu.
Fundamentalisme Islam adalah respons terhadap tantangan dan akibat yang
ditimbulkan oleh modernisasi, dan bertujuan untuk menawarkan ideologi Islam
terhadap dunia sekular- modern. Islam dijadikan sebagai alternatif pengganti
ideologi modern, seperti liberalisme, Marxisme dan nasionalisme. Karena
fundamentalisme bukanlah gerakan keagamaan per se, tetapi lebih dari itu adalah
gerakan politik yang memperjuangkan suatu sistem kenegaraan yang didasarkan
pada Islam (shari„>ah), dapat dipahami mengapa kebanyakan pemimpin
fundamentalis adalah kaum intelektual tanpa pendidikan sistematik dalam studi
Islam. Dengan ungkapan lain, mereka bukanlah teolog, tetapi pemikir sosial dan
aktifis politik.19
Ini sangat tampak terutama dalam tradisi fundamentalisme Sunni.
Meskipun dalam faktanya fundamentalisme Islam modern merupakan
kelompok minoritas di dunia Islam, mereka menikmati dan memainkan peranan
politik yang signifikan di banyak negara Muslim. Namun demikian, aktifitas
mereka tidak diorganisasikan dari satu pusat, sehingga tidak jarang program,
strategi dan taktik mereka berbeda dari satu negara ke negara lain. Dalam hal ini,
fundamentalisme dicirikan oleh proliferasi kepemimpinan dan polycentrisme.
19
Ahmad Nur Fuad, Interrelasi Fundamentalisme dan Orientasi Ideologi Gerakan Islam Kontemporer,(Surabaya: Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya), h. 3-4
19
Namun, keragaman ini tidak menghilangkan adanya beberapa agenda, tema dan
kebijakan bersama yang didukung oleh kaum fundamentalis Islam modern. Bagi
fundamentalis Islam modern, negara Islam adalah negara ideologis yang
domainnya mencakup seluruh kehidupan manusia. Negara Islam mengontrol relasi
sosial, politik, ekonomi dan kultural, dan negara harus didasarkan pada hukum
atau shari„at Islam (ideologi Islam).
Meskipun kaum fundamentalis meyakini sifat religius mereka,
fundamentalisme sesungguhnya bukanlah sebuah pilihan untuk menjadi religius,
melainkan sebagai corak pemikiran yang menyimpang dari arus utama
(mainstream), anti-modernisme, anti-rasionalisme, anti-intelektualisme dan
karakter-karakter lain yang memiliki konotasi negatif. Dalam politik,
fundamentalisme dipandang sebagai ancaman bagi demokrasi, liberalisme dan
pluralisme.20
Meski begitu, gerakan kaum fundamentalis kontemporer, termasuk di
dalamnya fundamentalisme Islam, ada beberapa ciri fundamentalisme yang bisa
dijadikan ukuran, yaitu: (1) cenderung menafsirkan teks-teks keagamaan secara
kaku, literalis (tekstual), absolut, dan dogmatis; (2) cenderung memonopoli
kebenaran atas tafsir agama (menganggap dirinya sebagai pemegang otoritas tafsir
agama yang paling absah). Akibatnya, mereka menganggap dirinya sebagai orang
yang benar-benar percaya terhadap agama, sementara di luarnya tidak percaya atau
percaya setengah hati; agresif dalam merekrut anggota; represif, dan berupaya
mengeliminir kelompok-kelompok non-Muslim; (3) meyakini kesatuan agama dan
negara, di mana agama harus mengatur negara; (4) terutama di dunia Timur,
memiliki pandangan yang stigmatis terhadap Barat (baik sebagai ide seperti
20
Ahmad Nur Fuad, Interrelasi Fundamentalisme danOrientasi Ideologi Gerakan Islam Kontemporer, (Surabaya: Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya) h. 19
20
pluralisme maupun sosial, khususnya politik), di mana Barat dipandang sebagai
monster imperialis yang sewaktu-waktu mengancam akidah dan eksistensi mereka;
(5) mendeklarasikan perang terhadap paham dan tindakan sekuler, yang karena itu
program utamanya antara lain kontrol seksual; dan terakhir (6) sebagiannya
cenderung radikal (menggunakan cara-cara kekerasan) dalam memperjuangkan
nilai-nilai yang diyakininya, khususnya dalam berhadapan dengan modernitas dan
sekularitas yang dinilainya menyimpang dan merusak keimanan.21
Diantara beragam corak gerakan keagamaan (khususnya Islam) yang
berkembang di Indonesia. Di Indonesia, yang termasuk fundamentalisme Islam
dakwahis adalah Jamaah Tabligh, sedangkan fundamentalisme Islam politis adalah
kelompok Islam seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Majelis Mujahidin
Indonesia (MMI), Adapun yang termasuk fundamentalis jihadis di Indonesia
adalah NII (Negara Islam Indonesia).
Jamaah Tablig ini adalah merupakan organisasi dakwah Islam yang menitik
beratkan kajiannya pada usaha menyebarkan benih-benih keislaman, sehingga ia
tidak memiliki sistem organisasi yang kuat dan bagus sebagaimana organisasi-
organisasi masyarakat lainnya. Dengan demikian, Jamaah Tablig bisa dijadikan
sebagai salah satu model dalam berdakwah dan dapat diterapkan dalam berbagai
kesempatan dan kepentingan.22
Hizbut Tahrir sebagai ormas alternatif dari ormas mainstream yang dalam
riset ini dikategorikan fundamentalis/salafi politis, diantara yang membedakan HTI
dengan kelompok Islam mainstream adalah dalam menafsirkan al-Qur‟an.HTI
mendahulukan penafsiran secara harfiah dibandingkan penafsiran secara
21
Sukron Kamil, Islam dan Politik di Indonesia Terkini, (Jakarta: PSIA UIN Jakarta),h. 166 22
Sukron Kamil, dkk, Pola Keagamaan dan Bahasa: Studi Kontekstual Kata Serapan Arab dalam Teks-Teks Keislaman, (Jakarta: UIN Jakarta, 2013), h. 36
21
kontekstual. Namun, ini bukan berarti HTI mengharamkan sama sekali
penafsirkan secara kontekstual, karena mereka menyadari persoalan dalam
kehidupan terus berkembang. Sementara turunnya nash/teks al-Quran dan sunah
sudah berhenti. Untuk dapat menjawab persoalan hidup yang terus berkembang
itulah, diperlukan penafsiran secara kontekstual.
NII Jihadis bagi kelompok fundamentalis seperti Darul NII, ada keyakinan
bahwa agama harus menyatu dengan Negara, dimana Negara diatur atas dasar-
dasar agama. Konsep ini didasarkan pada kepentingan kehidupan manusia untuk
mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
C. Makna Konotasi
1. Definisi Konotatif
Makna konotasi (evaluasi) ialah makna tambahan terhadap makna dasarnya
yang berupa nilai rasa atau gambar tertentu.Sebuah kata disebut mempunyai
makna konotatif apabila kata itu mempunyai “nilai rasa”, baik positif maupun
negatif. Jika tidak memiliki nilai rasa maka dikatakan tidak memiliki konotasi,
tetapi dapat juga disebut berkonotasi netral. Positif dan negatifnya nilai rasa
sebuah kata seringkali juga terjadi sebagai akibat digunakannya referen kata itu
sebagai sebuah perlambang. Jika digunakan sebagai lambang sesuatu yang positif
maka akan bernilai rasa yang positif; dan jika digunakan sebagai lambang sesuatu
yang negatif maka akan bernilai rasa negatif.
Misalnya, burung garuda karena dijadikan lambang negara republik Indonesia
maka menjadi bernilai rasa positif sedangkan makna konotasi yang bernilai rasa
negatif seperti buaya yang dijadikan lambang kejahatan. Padahal binatang buaya
22
itu sendiri tidak tahu menahu kalau dunia manusia Indonesia menjadikan mereka
lambang yang tidak baik.23
Makna konotasi sebuah kata dapat berbeda dari satu kelompok masyarakat
yang satu dengan kelompok masyarakat yang lain, sesuai dengan pandangan hidup
dan norma-norma penilaian kelompok masyarakat tersebut. Misalnya kata babi, di
daerah-daerah yang penduduknya mayoritas beragama islam, memiliki konotasi
negatif karena binatang tersebut menurut hukum islam adalah haram dan najis.
Sedangkan di daerah-daerah yang penduduknya mayoritas bukan islam seperti di
pulau Bali atau pedalama Irian Jaya, kata babi tidak berkonotasi negatif.
Makna konotatif dapat juga berubah dari waktu ke waktu. Misalnya kata
ceramah dulu kata ini berkonotasi negatif karena berarti “cerewet” tetapi sekarang
konotasinya positif. Sebaliknya kata perempuan dulu sebelum zaman Jepang
berkonotasi netral, tetapi kini berkonotasi negatif.
Contoh kata bermakna konotasi:
A. Pandangan mataku melayang kearahnya, kutatap dia setajam silet
B. Desir angin yang menyapa wajahku, tak dapat menyembunyikan
kegelisahanku.
Konotasi dapat dibedakan atas dua macam, yaitu konotasi positif dan konotasi
negatif. Konotasi positif mengandung nilai rasa lebih tinggi, baik, halus, sopan,
dan menenangkan. Konotasi negatif mengandung nilai rasa rendah, jelek, kasar,
kotor, dan tidak sopan
23
Chris Barker, Cultural Studies,TeoridanPraktik, (Jogjakarta: KreasiWacana, 2009), h. 94-93.
23
Contoh:Konotasi positif Konotasi negatif, suami istri laki bini, tunanetra buta,
pria laki-laki. kata-kata yang bermakna konotatif biasanya digunakan dalam karya
sastra.24
2. Perbedaan Konotatif dan Denotatif
Menurut Barthes, jika bahasa lebih banyak di produksi dan dipahami dalam
taraf denotasi maka karya sastra terutama puisi lebih banyak taraf konotasinya.
System tanda primer atau denotasi digunakan untuk berkomunikasi, berfikir, dan
menginterpretasikan segala sesuatu termasuk bahasa itu sendiri. Sedangkan system
tanda sekunder atau konotasi merupakan pemanfaatan bahasa oleh sastrawan untuk
merumuskan piikirannya dalam bentuk tanda bahasa secara artistic. Jika arti
bahasa ditentukan oleh konvensi masyarakat, maka arti karya sastra selain
ditentukan oleh konvensi masyarakat juga konvensi arti sastra itu sendiri. Dalam
penciptaan sastra, sastrawan pertama kali diikat oleh arti bahasa, kemudian
diolahnya menjadi sastra, sehingga acapkali tidak sama lagi dengan arti di luar
karya sastra. Dalam bahasa Inggris arti bahasa disebut dengan meaning, sedang arti
karya sastra disebut significance (meaning of meaning), dalam bahasa lain, makna
sastra ditentukan oleh konvensi tambahan (konotasi) atau semiotika tingkat kedua,
meskipun tidak lepas sama sekali dari arti bahasanya atau semiotic tingkat
pertama. Dalam bahasa Winfried North, semiotika tingkat pertama disebut cortex
(tingkat struktur makna permukaan) dan semiotic tingkat kedua disebut dengan
nucleus (struktur makna dalam).
24
Kushartanti,PesonaBahasa, LangkahAwalMemahamiLinguistik,(Jakarta, GramediaPustakaUtama, 2004,), h. 123
24
Sebagaimana bahasa, karya sastra juga merupakan tindak komunikasi yang
melibatkan berbagai komponen. Hanya saja, jika dalam tindak komunikasi bahasa,
yang dominan terlibat hanya tiga: yaitu komunikator, komuniken, dan komunike,
maka dalam tindak komunikasi sastra, menurut pendekatan semiotic, yang terlibat
di dalamnya banyak. Paling tidak ada delapan komponen: pencipta, karya sastra,
pembaca, kenyataan atau semesta, system bahasa, konvensi sastra, variasi bentuk
karya sastra dan nilai keindahan25
Selain itu, Piliang,26
menjelaskan bahwa denotasi adalah tingkat pertandaan
yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, atau antara tanda dan
rujukannya pada realitas, yang menghasilkan makna yang eksplisit, langsung dan
pasti. Makna denotasi (denotative meaning), dalam hal ini adalah makna pada apa
yang tampak. Misalnya, foto wajah Soeharto berarti wajah Soeharto
sesungguhnya.Denotasi adalah tanda yang penandaannya mempunyai tingkat
konvensi atau kesepakatan yang tinggi.Sedangkan konotasi adalah tingkat
penandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, yang di
dalamnya beroperasi sebuah makna yang tidak eksplisit, tidak langsung dan tidak
pasti (artinya terbuka terhadap berbagai kemungkinan).Ia menciptakan makna lapis
kedua, yang terbentuk ketika penanda dikaitkan dengan berbagai aspek psikologis,
seperti perasaan, emosi atau keyakinan. Misalnya, tanda “bunga” mengkonotasikan
“kasih sayang”.Konotasi dapat menghasilkan makna lapis kedua yang bersifat
implisit, tersembunyi, yang disebut makna konotatif (conotative meaning).
Selanjutnya, Chris Barker menjelaskan bahwa denotasi adalah level makna
deskriptif dan literal yang secara tampak dimiliki oleh semua anggota kebudayaan.
25Sukron Kamil, Najib Mahfuz Sastra, Islam dan Politik,(Jakarta: Dian Rakyat, 2013), h. 108-
109
26Chris Barker, Cultural Studies,TeoridanPraktik, (Jogjakarta: KreasiWacana, 2009), h. 94-95.
25
Pada level kedua, yaitu konotasi, makna terbentuk dengan mengaitkan penanda
dengan aspek-aspek kultural yang lebih luas; keyakinan, sikap, kerangka kerja, dan
ideologi suatu formasi sosial.Makna sebuah tanda dapat dikatakan berlipat ganda
jika makna tunggal tersebut disarati dengan makna yang berlapis-lapis. Ketika
konotasi dinaturalkan sebagai sesuatu yang hegemonik, artinya diterima sebagai
sesuatu yang normal dan alami, maka ia bertindak sebagai mitos, yaitu konstruksi
kultural dan tampak sebagai kebenaran universal yang telah ada sebelumnya dan
melekat pada nalar awam.27
Konotasi yang mantap dapat berkembang menjadi mitos, yaitu makna
tersembunyi yang secara sadar disepakati oleh komunitas.Mitos yang mantap dapat
berkembang menjadi sebuah ideologi, yaitu sesuatu yang mendasari pemikiran
sebuah komunitas sehingga secara tidak sadar pandangan mereka dipengaruhi oleh
ideologi tersebut.28
Menurut Barthes, pada tingkat denotasi bahasa menghadirkan
konvensi atau kode-kode sosial yang bersifat eksplisit, yakni kode-kode yang
makna tandanya segera naik ke permukaan berdasarkan relasi penanda dan
petandanya. Sebaliknya, pada tingkat konotasi bahasa menghadirkan kode-kode
yang makna tandanya bersifat implisit, yaitu sistem kode yang tandanya bermuatan
makna-makna tersembunyi.Makna tersembunyi ini adalah makna yang menurut
Barthes, merupakan kawasan dari ideologi atau mitologi.29
Bagi Barthes, mitos
merupakan sistem semiologis urutan kedua atau metabahasa. Mitos adalah bahasa
kedua yang berbicara tentang bahasa tingkat pertama (penanda dan petanda) yang
membentuk makna denotatif menjadi penanda pada urutan kedua pada makna
mitologis konotatif.
27Chris Barker, Cultural Studies TeoridanPraktik, (Jogjakarta: KreasiWacana, 2009), h. 74.
28
Chris Barker, h.109
29Chris Barker, h. 94
26
Kemudian Barker mengungkapkan, mitos menjadikan pandangan dunia
tertentu tampak tak terbantahkan karena alamiah atau ditakdirkan Tuhan.Mitos
bertugas memberikan justifikasi ilmiah kepada maksud-maksud historis, dan
menjadikan berbagai peristiwa yang tak terduga tampak abadi.30
Makna dan
terjemahan mempunyai hubungan yang sangat erat.
Menurut Newmark dalam Suryawinata, menerjemahkan berarti memindahkan
makna dari serangkaian atau satu unit linguistic dari satu bahasa ke bahasa yang
lain. Yang perlu dicermati adalah di dalam sebuah wacana terdapat lebih dari satu
macam makna.Suryawinata mengemukakan ada lima macam makna yaitu, makna
leksikal, gramatikal, tekstual, kontekstual, atau situasional, dan makna
sosiokultural. Leksikal adalah butir linguistik yang terdapat di dalam kamus.
Contoh kata handyang terdapat di dalam kamus longman berikut: the moveable
parts at the of the arms, including the fingers.31
Makna gramatikal adalah makna
yang diperoleh dari bentukan, susunan atau urutan kata dalam frase atau
kalimat.Lebih jelasnya makna tersebut dihasilkan oleh imbuhan atau makna yang
ditimbulkan oleh susunan antara satu kata dengan kata yang lainnya yang
menyusun kalimat.Perhatikan perbedaan makna dari beberapa pasang kata atau
kalimat ini, menidurkan, meniduri, dan tertidur.32
Sedangkan makna tekstual adalah
makna suatu kata yang ditentukan oleh hubungannya dengan kata-kata lain di
dalam suatu kalimat, makna kontekstual atau makna situasional adalah makna
yang timbul dari situasi atau konteks di mana frasa, kalimat, atau ungkapan
tersebut dipakai.33
Sebuah ungkapan good morning bisa mempunyai makna yang
30 Chris Barker,Culturalh. 75
31
ZuchridinSuryawinata, Translation, BahasaTeoridanPenuntunPraktisMenerjemahkan, (Yogyakarta, Kanisius, 2003), h. 118
32Kushartanti,PesonaBahasa, LangkahAwalMemahamiLinguistik,(Jakarta,
GramediaPustakaUtama, 2004,), h. 124
33J.D Parera, TeoriSemantik, (Jakarta: Erlangga, 2004,) h. 227
27
berbeda meskipun sama-sama diucapkan oleh seseorang atasan kepada pegawainya
kalau waktunya berbeda good morning berarti sapaan yang ramah jika diucapkan
oleh seorang atasan kepada seorang pegawainya yang datang lebih dahulu,
mungkin sebelum pegawai-pegawai yang lain datang.Good Morning berarti sebuah
teguran yang sinis bila diucapkan oleh atasan yang sama beberapa menit kemudian
kepada seorang pegawai lain yang datang terlambat, dan yang terakhir adalah
makna sosiokulural makna kata yang sesuai dengan faktor-faktor budaya
masyarakat pemakai bahasa itu.34
Makna dan terjemahan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan proses
pengambilan kata (kata ambilan) dalam menentukan bahasa sasaran. Pembahasan
tentang kata ambilan harus dihubungkan dengan makna konotasi dan denotasi,
konotasi mempunyai hak hidup yang sama dengan denotasi. Bahasa sebagai sarana
komunikasi bermakna tidak dapat melaksanakan fungsinya secara lengkap tanpa
adanya makna konotasi.Suatu studi yang lengkap tentang makna kata bukan hanya
berurusan dengan makna denotasi, tetapi juga harus berurusan pula dengan makna
konotasi.Bahasa yang hidup dan berkembang adalah bahasa yang memiliki makna
denotasi dan makna konotasi. Komunikasi antarsesama manusia akan lebih hidup
dan bermakna apabila dengan kehidupan dan penghidupan makna konotasi.
Berbahasa tanpa memanfaatkan konotasi seperti berbahasa tanpa garam, kecuali
berbahasa ilmu pengetahuan dan teknologi.35
Hubungan antara denotasi dan konotasi terletak pada notasi atau rujukannya.
Keduanya mempunyai notasi yang sama, tetapi yang satu menggunakan imbuhan
de-, dan yang satu menggunakan imbuhanko-. Imbuhan de berarti tetap dan wajar
34SugengHariyanto, Translation,
BahasaTeoridanPenuntunPraktisMenerjemahkan,(Yogyakarta:Kanisius, 2004), h. 98
35J. D. Parera,TeoriSemantik,(Jakarta, Erlangga, 2004), h. 97
28
sebagai mana adanya dan imbuhan ko- berarti “bersama dengan yang lain, ada
tambahan yang lain” terhadap notasi yang bersangkutan. Jadi denotatif adalah
makna asli, makna asal atau makna sebenarnya yang dimiliki oleh sebuah leksem.
Makna denotatif ini sebenarnya sama dengan makna leksikal. Umpamanya, kata
babi bermakna denotatif yaitu sejenis binatang yang biasa diternakan untuk
dimanfaatkan dagingnya.Kata kurus bermakna denotatif yaitu keadaan tubuh
seseorang yang lebih kecil dari ukuran yang normal.
Jika makna denotatif mengacu pada makna asli atau makna sebenarnya dari
sebuah kata atau leksem, maka makna konotatif merupakan makna lain yang
ditambahkan pada makna denotatif tadi yang berhubungan dengan nilai rasa dari
orang atau kelompok orang yang menggunakan kata tersebut. Umpamanya kata
babi. Pada contoh diatas, orang yang beragama Islam atau didalam masyarakat
Islam mempunyai konotasi negatif, ada rasa perasaan tidak enak bila mendengar
kata itu.36
Berdasarkan uraian singkat di atas, kiranya makna denotasi lebih mudah
dicatat dan direkam oleh para semantikus, khususnya para penyusun kamus
leksikograf.Makna denotasi pula yang pertama kali dimasukkan dalam kamus
bahasa.Oleh karena itu makna denotasi dapat dikatakan sebagai makna kamus atau
makna yang sesuai dengan definisi dalam kamus.
Harimurti dalam buku Mansoer Pateda berpendapat “aspek makna sebuah
atau sekelompok kata yang didasarkan atas perasaan atau pikiran yang timbul atau
ditimbulkan pada pembicara (penulis) dan pendengar (pembaca).” Dengan kata
lain, makna konotatif merupakan makna leksikal, yakni makna yang ditentukan
36
ZaenalArifin, CermatBerbahas Indonesia, Jakarta, (Jakarta: AkademikaPressindo, h. 25-27
29
oleh stilistis fungsional dan nuansa ekspresi pengungkapan bahasa.37
Misalnya,
kata amplop bermakna sampul yang berfungsi sebagai tempat menyimpansurat
yang akan disampaikan kepada orang lain, kantor, instansi, jabatan lain. Dalam hal
ini kata amplop ini merupakan makna denotasi. Tetapi pada kalimat “Berilah ia
amplop agar urusanmu segera selesai,” maka kata amplop tersebut bermakna
konotatif, yakni berilah ia uang.38
Sehubungan dengan contoh di atas konotasi
terdapat diantara makna kata-kata yang bersinonim dan konotasi pun dapat muncul
pada sebuah kata.
Terdapat makna kata-kata tertentu yang berbeda konotasi antara pribadi,
antarkelompok masyarakat, antaretnis, antargenerasi.Oleh karena itu, telaah
tentang konotasi terdapat pada sebuah makna harus dilakukan secara historis dan
deskriptif.Menelaah secara historis dan deskriptif bukanlah dua telaah yang berdiri
sendiri, satu mata rantai yang bergerak dari satu ujung ke ujung lain, kadang-
kadang masih berdekatan dan kadang-kadang perkembangan makna itu sudah
menjalani satu masa yang panjang sepanjang masa makna itu dipergunakan oleh
masyarakat pemakainya.39
Dalam masa yang singkat makna kata akan tetap atau tidak berubah, akan
tetapi dalam kurun waktu yang lama ada kemungkinan makna kata tersebut
mengalami perubahan ataupun pergeseran maknanya. Perubahan makna adalah
gejala pergantian rujukan dari simbol bunyi yang sama. Dalam perubahan makna
terjadi perubahan pada rujukan yang berbeda dengan rujukan awal.Sebagai contoh
37
SalihenMoentaha, BahasadanTerjemahan; Language and Translation The New Millennium Publication,(Jakarta: KesaintBlanc – Anggota IKAPI, 2008), h. 163
38R MansoerPateda,Semantikleksikal, (Jakarta, RinekaCipta), h. 112
39
J. D. Parera, TeoriSemantik,(Jakarta, Erlangga- Anggota IKAPI, 2008), h. 98
30
adalah kata dalam bahasa Arab khayat (kehidupan).40Kata tersebut jika dalam
bahasa Indonesia menjadi hayati yang berarti hidup; kehidupan; nyawa.
Secara sinkronis, makna sebuah kata atau leksem mungkin tidak akan
berubah, tetapi secara diakronis ada kemungkinan berubah. Apalagi jika kata atau
leksem tersebut merupakan kata serapan, yakni kata yang diserap dari bahasa lain.
Perubahan itu sendiri muncul karena proses integrasi yang meliputi; (1)
Percampuradukan penggunaan kata-kata asing dengan kata baru; (2) Kata lama
terhapus oleh kata pinjaman; (3) Isi yang terkandung tercampur aduk antara kata
lama dengan kata pinjaman untuk tujuan khusus.41Suatu bahasa menyerap kata dari
bahasa lain karena didorong kebutuhan untuk mengungkapkan suatu konsep,
barang, atau tempat.
Di samping itu, menggunakan atau meminjam kata-kata yang sudah jadi lebih
mudah daripada membuat atau menciptakan kata-kata baru.Faktor penyebab
perbedaan atau perubahan makna meliputi hal-hal selain faktor kebahasaan, yakni
faktor kesejarahan, faktor sosial, faktor psikologis, dan faktor ormas tertentu yang
meliputi emotif, leksem tabu, dan faktor pengaruh bahasa asing, serta kebutuhan
kata.42
Fenomena linguistik yang benar-benar tidak teratur dan tidak
sistematis.Perubahan makna tidak terjadi pada semua kosakata, melainkan hanya
terjadi pada sejumlah kata saja. Perubahan atau pergeseran makna terjadi karena
berbagai sebab, antara lain karena perkembangan ilmu dan teknologi,
perkembangan sosial budaya, perkembangan bidang pemakaian, dan asosiasi.43
40J.D.Parera, TeoriSemantik, (Jakarta: Erlangga. 2004), h. 145
41
TadkiroatunMusfiroh, PerbedaanMakna Kata-Kata bahasa Indonesia SerapanBahasa Arab Dari MaknaSumbernya,(FBS UniversitasNegeri Yogyakarta 2004), h. 45
42Kushartati, dkk, PesonaBahasa; langkahAwalMemahamiLinguistik,(Jakarta:
PenerbitGarmediaPustakaUtama, 2005) h. 67
43Abdul Chaer, LinguistikUmum, (Jakarta: Rineka Cipta,2007), h. 89
31
Missal keberadaan dua bentuk yang memiliki makna sama tetapi bentuk
berbeda disebabkan adanya perbedaan pemakaian. Salah satu bentuk merupakan
ragam resmi atau baku, sedangkan bentuk lain adalah ragam tidak resmi/baku atau
cakupan.44
Contohnya kata jemaat dan jamaah yang berasal dari bentuk yang sama dalam
bahasa Arab jama‟ah(جماعة).Dalam bahasa Indonesia kedua kata tersebut
bermakna umat suatu agama. Kata jemaat digunakan oleh umat kristiani,
sedangkan kata jamaah digunakan oleh umat Islam. Contoh kata tersebut
tercantum dalam KBBI edisi keempat: Jamaah dan Jemaat.
Kata jamaah dan jemaat berasal dari satu kosakata bahasa Arab yaitu
jama‟ah. Kata tersebut diserap menjadi dua kosakata yang berbeda. Dalam KBBI,
kata jamaah berarti sekolompok/sehimpunan orang. Tidak ada perbedaan antara
arti jamaah dan jemaat.Dalam kata tersebut yang membedakan adalah penggunaan
kedua kata.Kata jamaah digunakan dalam agama Islam, sedangkan jemaat
digunakan oleh umat kristiani.
Selain itu, pada pasangan kata lain yang berbeda ranah, yaitu kata Allah dan
Allah.Kata pertama berada di ranah agama Islam dan kata kedua dalam agama
Kristiani.Dalam ranah pertama kata Allah dilafalkan dengan konsonan /I/ rangkap
yang dibaca tebal hampir berbunyi /alloh/. Dalam ranah Kristiani kata
Allahdilafalkan /alah/ kedua kata tersebut berbeda dalam pelafalan, tetapi sama
etimonya dan maknanya.
Setiap kata asing yang masuk ke dalam bahasa asing lain selalu mengalami
salah satu dari dua hal. Pertama, kata tersebut tetap dalam satu bentuk asalnya atau
44UmiKulsum, “Doubletdalam kata serapan Arab: KajianPerbedaanMaknadan Register”
Makalah Seminar NasionalPenerjemahan “RevitalisasiPeranPenerjemahan di Era Global” yang diselenggarakanoleh Program StudiTarjamahFakultasAdabdanHumaniora UIN SyarifHidayatullah Jakarta, 2013, h. 304, 305
32
tidak mengalami adaptasi yang signifikan.Kedua, kata asing tersebut mengalami
adaptasi atau penyesuaian bentuk sesuai dengan bahasa sasarannya. Adaptasi
bentuk atau tidaknya sangat berkaitan dengan waktu pungutnya kata tertentu
kedalam bahasa Indonesia pada waktu yang berbeda.45
Misalnya seperti kata fatwa dan petuah yang berasal dari bentuk yang sama,
kedua kata tersebut diserap ke dalam bahasa Indonesia dalam waktu yang berbeda.
Kata fatwa lebih awal di serap daripada petuah.Hal tersebut diketahui dari bentuk
makna yang tetap namun tidak berubah.Kata yang mengungkapkan konsep agamis
seperti fatwa, umumnya sangat dipelihara sehingga makna dan bentuk tidak
berubah.46 Berbeda dengan petuah yang artinya adalah „nasihat‟, „wejangan‟,
meskipun dapat juga berarti fatwa, tetapi kata petuah bentuknya berubah sesuai
dengan sistem fonetik bahasa Indonesia.
3. Sinonimi (Mutaradifat)
Secara etimologi sinonim berasal dari bahasa yunani kuno, yaitu syn yang
berarti „dengan‟ dan onoma yang berarti „nama‟, maka secara harfiah kata sinonim
berarti berarti „nama‟ lain untuk benda atau hal yang sama‟47
dengan kata lain
sinonim adalah hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan makna
antara satu satuan dengan ujaran dengan satuan ujaran yang lainnya.48
Misalnya,
antara kata saya dengan kata aku, kata hamil dengan frase duduk perut.
45
UmiKulsum, “Doubletdalam kata serapan Arab: KajianPerbedaanMaknadan Register Makalah Seminar NasionalPenerjemahan “RevitalisasiPeranPenerjemahan di Era Global” yang diselenggarakanoleh Program StudiTarjamahFakultasAdabdanHumaniora UIN SyarifHidayatullah Jakarta, 2013, h. 306
46Ibid, h. 307
47J.D Parera Teori Semantik, (Jakarta: Erlangga, 2004), h.36
48 Abdul Chaer Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, (Jakarta: Rinerka Cipta, 1995). Cet, ke-
5 h. 82
33
Dalam bahasa Arab sinonim disebut Al-taraduf. Kata sinonim dalam bahasa
Indonesia adalah kata yang yang bentuknya berbeda, tetapi megandung satu makna
atau hampir sama. Oleh sebab itu, setiap pemakai bahasa harus tahu bagaimana
menggunakan kata-kata sinonim itu karena ada kata sinonim yang dapat saja saling
menggantikan (bersubstitusi), tetapi ada juga yang tidak. Ada yang dapat
bersubstitusi dalam kalimat tertentu, namun dalam kalimat lain tidak dapat
bersubstitusi. Karena ketidaktahuan pemakaian kata secara tepat.49
Kata-kata
tersebut mempunyai kesamaan yang makna, namun tetap memperlihatkan
perbedaan dalam hal pemakaian. Contoh kata orang dengan kata manusia
i. Tumpukan pakaian itu dari jauh nampak seperti orang
ii. Tumpukan pakaian itu dari jauh nampak seperti manusia
Kalimat pertama dan kedua sinonim, karena orang dapat mengganti manusia.
Namun kata orang dalam kalimat berikut tidak dapat digantikan dengan kata
manusia, seperti pada;
iii. Tuan Imam orang asing
iv. Tuan Imam manusia asing
Kalimat pertama tidak sama dengan kalimat kedua. Kalimat tersebut menunjukan
perbedaan semestaan sehingga jelas bahwa orang asing bukan sinonim dari
manusia asing.50
Dalam hal ini, untuk mendefisinikan sinonim, ada tiga batasan yang dapat
dikemukakan, pertama; kata-kata dengan acuan ekstra linguistik yang sama,
misalnya kata mati dan mampus, kedua; kata-kata yang mengandung makna sama,
misalnya kata, memberitahukan dan kata menyampaikan, ketiga; kata-kata yang
49
J.S Badudu, Inilah Bahasa Indonesia Yang Benar II, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama 1994), cet. Ke-5, h. 72
50Fatimah Djajasudarma, Semantik, Pengantar Arah Ilmu Makna 1, (Bandung: Refika
Aditama, 1999), cet. Ke-2, h. 38-39
34
dapat disubtitusikan dalam konteks yang sama, misalnya “kami berusaha agar
pembangunan masjid berjalan terus”51
Dalam pola keagamaan, perbedaan sudut pandang kebahasaan ini memicu
perbedaan pandangan dalam memahami agama. Perbedaan yang paling menonjol
adalah pola pemahaman yang dilakukan oleh kelompok Islam fundamentalis dan
kelompok politis dakwahis. (kelompok yang di anggap mewakili pihak memahami
Islam dari teks-teks keagamaan secara harfiah).52
Begitupun sebaliknya kelompok
Islam Liberal mencoba memahami ajaran agama dari sisi lain teks untuk dapat
mencapai makna kontekstual teks-teks keagamaan. Meskipun begitu kedua
pemikiran tersebut memiliki keyakinan yang sama dalam kebenaran teks ayat-ayat
suci Alquran.53
Dalam hal ini posisi kebahasaan menunjukan pola keagamaan yang
fundamentalisme atau setia dengan keagamaanya.
51
Mansoer Pateda, Semantik Leksikal, (Jakarta; Rinerka Cipta, 2001), cet. Ke-2, h. 222-223 52
Mujibarahman, Menakar Fenomena Fundamentalisme Islam, Jurnal Tashwirul Afkar. Edisi no. 13,tahun 2003, (Jakarta; Lak Pes dam, 2003), h. 39
53Moch Mansyur Kurniawan, Pedoman Bagi Penerjemah: Arab Indonesia-Indonesia Arab,
(Jakarta: Moyo Segoro Agung 2002), h. 20
35
BAB III
PROFIL HIZBUT TAHRIR DAN GAMBARAN UMUM HIZBUT TAHRIR
A. Profil Singkat
1. Perkembangan dan Sejarah Munculnya Hizbut Tahrir di Indonesia
Hizbut Tahrir berdiri pada tahun 1953 di Al-Quds (Baitul Maqdis), Palestina.
Gerakan yang menitik beratkan perjuangan membangkitkan umat di seluruh dunia
untuk mengembalikan kehidupan Islam melalui tegaknya kembali Khilafah
Islamiyah ini dipelopori oleh Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani, seorang ulama
alumni Al-Azhar Mesir, dan pernah menjadi hakim di Mahkamah Syariah di
Palestina. Hizbut Tahrir kini telah berkembang ke seluruh negara Arab di Timur
Tengah, termasuk di Afrika seperti Mesir, Libya, Sudan dan Aljazair. Juga ke
Turki, Inggris, Perancis, Jerman, Austria, Belanda, dan negara-negara Eropah
lainnya hingga ke Amerika Serikat, Rusia, Uzbekistan, Tajikistan, Kirgistan,
Pakistan, Malaysia, Indonesia, dan Australia.1
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) merupakan organisasi Islam yang menjadi
bagian dari Hizbut Tahrir yang berkembang di sejumlah Negara Arab dan
merupakan gerakan Islam yang bercorak transnasional yang berpusat di
Yerussalem dan Yordania.TransmisiHizbut Tahrir sebagai gerakan ke
1Haedar Nashir, Gerakan Islam Syariat (Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia),
Jakarta:PSAP (Pusat Studi Agama dan Peradaban) Muhammadiyah, 2007,Cet I, h.388
36
Indonesia terjadi pertama kali pada tahun 1982-1983 melalui M.Mustofa dan
Abdurrahman al Baghdadi.
Hizbut Tahrir masuk ke Indonesia pada tahun 1980-an dengan merintis
dakwah di kampus-kampus besar di seluruh Indonesia. Pada era 1990-an ide-ide
dakwah Hizbut Tahrir merambah ke masyarakat, melalui berbagai aktivitas
dakwah di masjid, perkantoran, perusahaan, dan perumahan. Hizbut Tahrir adalah
sebuah partai politik yang berideologi Islam. Politik merupakan kegiatannya, dan
Islam adalah ideologinya. Hizbut Tahrir bergerak di tengah-tengah umat, dan
bersama-sama mereka berjuang untuk menjadikan Islam sebagai permasalahan
utamanya, serta membimbing mereka untuk mendirikan kembali sistem Khilafah
dan menegakkan hukum yang diturunkan Allah dalam realitas kehidupan.2 Namun
karena kurikulum yang diberlakukan di sekolah-sekolah dimana ia mengajar
dipengaruhi oleh pendidikan Barat, maka selanjutnya ia memutuskan untuk
menjadi seorang hakim. Menurut pandangannya, bahwa sistem pengadilan
Palestina masih berakar dari tradisi hukum Islam. Oleh sebab itulah, ia segera
memutuskan untuk beralih profesi dari seorang guru menjadi seorang hakim.
Ia diangkat menjadi seorang hakim pertama di Bissan, Taberrias dan Haifa,
tempat kelahirannya. Jabatan sebagai hakim terus ia pegang sampai terjadinya
pendudukan Israel atas Palestina pada 1948. Dan saat itulah ia akhirnya berpindah
ke Yordania. Kemudian tahun 1951, ia mengundurkandiri dari semua jabatan
2Lihat: http://hizbut-tahrir.or.id/category/seputar-khilafah.org
37
formal yang dipegang. Dengan perjuangannya, akhirnya tahun 1952 Hizbut
Tahrir didirikan secara resmi di al Quds Palestina3
Gerakan Hizbut Tahrir di Indonesia pada tahun 2000-an secara terbuka
mengumumkan keberadaannya di tengah publikSecara terbuka, munculnya
organisasi ini dalam konteks Indonesia kemudian dikenal dengan nama Hizbut
Tahrir Indonesia (HTI).4 Namun keberadaannya hanya bisa diketahui melalui
juru bicaranya, terbitan-terbitan resminya5 dan lain sebagainya. Pada tanggal 5
Maret 2004, HTI meluncurkan buku Partai Politik Islam yang disusun oleh
HTI serta situs(www.hizbut-tahrir.or.id) bersamaan dengan Seminar Khilafah
yang diselenggarakan HTI dan Majelis Taklim Dharmala.6Dan pada tahun 2007
HT mengadakan konferensi besar tentang penegakan Khilafah di Indonesia,
sekitar 100.000 orang hadir.7Para tokoh HTI mayoritas berlatarbelakang
aktifis gerakan keagamaan di kampus-kampus. Terbukti, salah satu pimpinan
pusat HTI. Muhammad al Khattat adalah alumni sivitas akademika IPB
Bandung. Saat ini, HTI dipimpin oleh Rokhmat Es. Labib.8
Dalam lingkup nasional, Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesiatetap dipegang
oleh Ismail Yusanto sedangkan untuk wilayah Jateng dipimpin oleh Abdullah HT.
Hizbut Tahrir Indonesia sejak awal memang didesain sebagai organisasi politik.
3Jamhari, Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Gerakan di Indonesia, (Jakarta:Grafindo
Persada,2004,CetI,h.165.
4Umi Sumbulah,Konfigurasi Fundamentalisme Islam,(Malang:UIN Malang Press) h. 96
5Salah satu media resminya adalah jurnal Khilafah, majalah al-Wa’ie baik yangditulis
oleh ideologimaupun para aktifis Hizbut Tahrir Indonesia maupun aktifis HTInternasional
6Dalam majalah Al Waie,Kaleidoskop Aktivitas Politik dan Dakwah Hizbut TahrirIndonesia
(HTI),oleh redaksi AlWaie
7HizbutTahrirIndonesia,Manifesto Hizbut Tahrir untuk Indonesia (Indonesia, Khilafah, dan
Penyatuan Kembali Dunia Islam),(Jakarta:HTI Press,2009), h. 72
8HizbutTahrirIndonesia h. 72
38
Tetapi,berbeda dengan organisasi politik yang dikenal selama ini, HTI tidak
mendaftarkan diri secara formal sebagai parpol yang ikut dalam pemilihan umum
(pemilu). Dengan kata lain, HTI merupakanpartai politik yang bergerak di luar
parlemen.9HTI merupakan partai politik meskipun tidak secara resmi
mendaftarkan ke Departemen Kehakiman. HTI sebagai partai politik, memiliki
tiga karakteristik10
yaitu pertama; secara ideologis partai ini berdasarkan Islam
yang digunakan sebagai cara pandang dalam melakukan penilaian terhadap
berbagai hal. Kedua; ruang geraknya bersifat transnasional karena HTI adalah
bagian dari Hizbut Tahrir Internasional yang mempunyai perwakilan di berbagai
Negara, dan ketiga; aktifitas HTIbersifat ekstra parlementer.Prinsip dakwah
HTI didasarkan padapandangan-pandangan idelogis sebagai berikut11
:Pertama,
HTI mengemban dakwah dalam rangka memenuhi seruan Allah. Salah satu hal
penting yang merupakan seruan Allah adalah terwujudnya sistem khilafah dan
diterapkannya hukum-hukum Allah di muka bumi.
Kedua, HTI dalam dakwahnya selalu berpedoman pada basis hukum-
hukum syara‟ sebagai asas bagi keseluruhan tindakan dan aktifitasnya.
Karenanya, HTI bertekad kuat untuk bersikap terus terang, berani, tegas, serta
menentang setiap hal yang bertentangan dengan Islam. Lebih lanjut HTI tidak
mau berkompromi dengan para penguasa yang tidak menerapkan hukum Islam.
9Jamhari, Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Gerakan di Indonesia, (Jakarta:Grafindo
Persada,2004),CetI,h. 180 10
EndangTurmudidanRizaSihbudi, Islam danRadikalisme di Indonesia, (Jakarta:LIPI Press, 2005), h. 265-267
11 Umi Sumbulah.Konfigurasi Fundamentalisme Islam.(Malang:UIN Malang Press h), 130
39
Ketiga, HTI berjuang untuk menerapkan Islam secara sempurna yang
meliputi seluruh hukum syara‟.Bagi Hizbut Tahrir, pelembagaan syariat Islam
dalam kehidupan Negara bahkan melekat dengan tujuannya yaitu “untuk
membangun kembali Daulah Khilafah Islamiyah di muka bumi, sehingga urusan
pemerintahan dapat dijalankan sesuai dengan apa yang diturunkan
Allah.”
Hizbut Tahrir merupakan organisasi kemasyarakatan, bukan organisasi
kerohanian (seperti tarekat), bukan lembaga ilmiah (seperti lembaga studi agama
atau badan penelitian), bukan lembaga pendidikan (akademis), dan bukan pula
lembaga sosial (yang bergerak di bidang sosial kemasyarakatan). Ide-ide Islam
menjadi jiwa, inti, dan sekaligus rahasia kelangsungan kelompoknya.12
Hizbut Tahrir didirikan dalam rangka memenuhi seruan Allah Swt
:“(Dan) hendaklah ada di antara kalian segolongan umat (jamaah) yang menyeru
kepada kebaikan (mengajak memilih kebaikan, yaitu memeluk Islam),
memerintahkan kepada yang ma‟ruf dan melarang dari yang munkar. Merekalah
orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran: 104)13
Ayat al Quran tersebut bukan sekedar seruan dari Allah tetapi merupakan
qarinah (indikasi)14
yang bersifat kewajiban untuk amar ma‟ruf nahi munkar
melalui suatu jama‟ah/kelompok yang dibentuk.Dan jamaah yang dimaksud
menurut paham Hizbut Tahrir harus berbentuk partai politik dankegiatan amar
12
Haedar Nashir, Gerakan Islam Syariat (Reproduksi Salafiyah Ideologisdi Indonesia),(Jakarta:PSAP {Pusat Studi Agama dan Peradaban} Muhammadiyah,2007),Cet I, h 389
13DepartemenAgamaRI,Alqur’andanTerjemahannya,(Bandung:Syaamil
CiptaMedia,2005),h.63 14
Haedar Nashir, Gerakan IslamSyariat (Reproduksi Salafiyah Ideologis diIndonesia),(Jakarta:PSAP {Pusat Studi Agama dan Peradaban} Muhammadiyah), 2007,Cet I, h. 406– 407
40
ma‟ruf nahi munkar itu dalam bentuk aktifitas politik daripartai yang telah
dibentuk.
Hizbut Tahrir selanjutnya disebut HT, secara etimologisHizbut Tahrir
berarti Partai Pembebasan. Hizbut Tahrir15
didirikan oleh Syaikh Taqiyuddin
al Nabhani (1909- 1979)pada tahun 1952 di Quds, Palestina.
Setelah an-Nabhani meninggal pada 20 Desember 1977 di Beirut,
kepemimpinan Hizbut Tahrir digantikan oleh Syaikh Abdul Qadir Zallum. Pada
saat kepemimpinannya, Hizbut Tahrir berkembang semakin pesat. Ia menyerukan
kepada para anggotanya untuk menyebar ke seluruh penjuru dunia.
Sepeninggal pemimpin keduanya pada tahun 2003 M/1424 H,
kepemimpinanHizbut Tahrir digantikan oleh Syaikh Atha Abu Rusythah secara
internasional.16
Abu Rusythah merupakan seorang insinyur, ahli elektro. Ia
merupakan salah satu aktivis Hizbut Tahrir sejak masih muda. Ia pernah menjadi
juru bicara Hizbut Tahrir di Yordania. Sekarang ialah sebagai top leader dalam
struktur kepemimpinan organisasi transnasional tersebut.
Organisasi ini diakui oleh pendirinya dan sekaligus para aktivisnya bukan
sebagai organisasi sosial keagamaan tetapi sebagai partai politik. Hizbut Tahrir
dinyatakan sebagai partai politik yang berideologi Islam. Ia mengusung ide yang
bertujuan mengembalikan supremasi Islam pada abadpertengahan dalam bentuk
15Umi Sumbulah. Konfigurasi Fundamentalisme Islam.(Malang:UIN Malang Press), 2009,
Cet I, h. 96.
16Hizbut Tahrir Indonesia, Manifesto Hizbut Tahrir untuk Indonesia(Indonesia, Khilafah, dan
Penyatuan Kembali Dunia Islam),(Jakarta:HTI Press,2009), h.72.
41
mendirikan pemerintahan Islam (KhilafahIslamiyah) dan penegakan syariat
Islam secara internasional di seluruh dunia.
Hizbut Tahrir didirikan dengan membawa tujuan untuk membebaskan
umat manusia dari dominasi paham, pemikiran, sistem hukum, dan Negara
kufur menjadi paham Negara Islamdengan menerapkan syariah Islam secara
kaffah dan mengembandakwah ke seluruh penjuru dunia. Tujuan ini tidak lain
berarti membawa umat Islam kembali pada kehidupan Islam di dalam Darul
Islam, yakni Negara Islam dan masyarakat Islam, sehingga seluruh persoalan
kehidupan umat diaturdengan syariah Islam dalam sebuah Daulah
Khilafah.17
Dalam kitab MafahimTaqiyuddin an Nabhani menjelaskan:
“Hizbut Tahrirmenyerukan Islam kepada seluruh lapisan masyarakat,
agar mereka terikat dan mengambil mafahim (ide-ide) dan systemIslam.
HizbutTahrir memandang mereka dengan pandangan Islam, walaupun
mereka terdiri dari berbagai suku dan madzhab. HizbutTahrir melakukan
interaksi perjuangan bersama- sama umat untuk meraih apa yang dicita-
citakannya. Hizbut Tahrir menentang penjajahan dalam segala bentuk dan
istilahnya, untuk membebaskan umat dari qiyadah fikriyahpenjajah, dan
mencabut akar-akarnya; baik aspek budaya, politik, militer, ekonomi, dan
sebagainya dari tanah negeri kaum Muslim. Hizbut Tahrir berjuang
mengubah mafahim (ide-ide) yang telah tercemari oleh penjajah, yang
membatasi Islam hanya pada aspek ibadah dan akhlak semata.”18
Adapun landasan pemikiran HT adalah Kitabullah (al Qur‟an alKarim)
dan Sunnah Rasulullah, serta Ijma‟ dan Qiyas dengan prinsip bahwa semua
17
HizbutTahrirIndonesia,Manifesto HizbutTahriruntuk Indonesia (Indonesia, Khilafah, danPenyatuanKembaliDunia Islam),(Jakarta:HTI Press,2009), h 67-68.
18Taqiyuddin an-Nabhani, Mafahim Hizbut
Tahrir,(Jakarta:HizbutTahrirIndonesia,2001),h.128.
42
ide, pendapat, dan hukum hanya bersumber dari Islam dan tidak satupun berasal
atau dipengaruhi oleh sesuatu yang tidak bersumber dari Islam.19
Hizbut Tahrir bermaksud membangkitkan kembali umat Islam dari
kemerosotan yang amat parah, membebaskan umat dari ide-ide, sistem
perundang-undangan, dan hukum-hukum kufur, serta membebaskan mereka dari
cengkeraman dominasi dan pengaruh negara-negara kafir. Hizbut Tahrir
bermaksud juga membangun kembali Daulah Khilafah Islamiyah di muka bumi,
sehingga hukum yang diturunkan Allah Swt dapat diberlakukan kembali.
2. Tujuan Hizbut Tahrir
Hizbut Tahrir bertujuan melanjutkan kehidupan Islam dan mengemban
dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. Tujuan ini berarti mengajak kaum
muslimin kembali hidup secara Islami dalam Darul Islam dan masyarakat Islam.
Di mana seluruh kegiatan kehidupannya diatur sesuai dengan hukum-hukum
syara‟. Pandangan hidup yang akan menjadi pedoman adalah halal dan haram, di
bawah naungan Daulah Islamiyah, yaitu Daulah Khilafah, yang dipimpin oleh
seorang Khalifah yang diangkat dan dibai‟at oleh kaum muslimin untuk didengar
dan ditaati agar menjalankan pemerintahan berdasarkan Kitabullah dan Sunnah
Rasul-Nya, serta mengemban risalah Islam ke seluruh penjuru dunia dengan
dakwah dan jihad. Di samping itu Hizbut Tahrir bertujuan membangkitkan
kembali umat Islam dengan kebangkitan yang benar, melalui pola pikir yang
19
Taqiyuddin an-Nabhani, Peraturan Hidup dalam Islam Terjemahan Nizham al-Islam,(Jakarta:HTI Press, 2007), h. 142.
43
cemerlang. Hizbut Tahrir berusaha untuk mengembalikan posisi umat ke masa
kejayaan dan keemasannya seperti dulu, di mana umat akan mengambil alih
kendali negara-negara dan bangsa-bangsa di dunia ini. Dan negara Khilafah akan
kembali menjadi negara nomor satu di dunia—sebagaimana yang terjadi pada
masa silam—yakni memimpin dunia sesuai dengan hukum-hukum Islam.Hizbut
Tahrir bertujuan pula untuk menyampaikan hidayah (petunjuk syari‟at) bagi umat
manusia, memimpin umat Islam untuk menentang kekufuran beserta segala ide
dan peraturan kufur, sehingga Islam dapat menyelimuti bumi.
3. Kegiatan Hizbut Tahrir
Kegiatan Hizbut Tahrir adalah mengemban dakwah Islam untuk mengubah
kondisi masyarakat yang rusak menjadi masyarakat Islam. Hal ini dilakukan
dengan mengubah ide-ide rusak yang ada menjadi ide-ide Islam, sehingga ide-ide
ini menjadi opini umum di tengah masyarakat serta menjadi persepsi bagi mereka.
Selanjutnya persepsi ini akan mendorong mereka untuk merealisasikan dan
menerapkannya sesuai dengan tuntutan Islam. Juga dengan mengubah perasaan
yang dimiliki anggota masyarakat menjadi perasaan Islam—yakni ridla terhadap
apa yang diridlai Allah, marah dan benci terhadap apa yang dimurkai dan dibenci
oleh Allah—serta mengubah hubungan/interaksi yang ada dalam masyarakat
menjadi hubungan/interaksi yang Islami, yang berjalan sesuai dengan hukum-
hukum dan pemecahan- pemecahan Islam.20
20
Lihat:http://hizbut-tahrir.or.id/category/seputar-khilafah/
44
Hizbut Tahrir telah muncul dan berkembang, kemudian menyebarluaskan
aktivfitas dakwahnya di negeri-negeri Arab, maupun sebagian besar negeri-negeri
Islam lainnya.
4. Strategi Dakwahis Polistis Hizbut Tahrir
Seluruh kegiatan yang dilakukan Hizbut Tahrir bersifat politik. Maksudnya
adalah bahwa Hizbut Tahrir memperhatikan urusan-urusan masyarakat sesuai
dengan hukum-hukum serta pemecahannya secara syar‟i. Karena yang dimaksud
politik adalah mengurus dan memelihara urusan-urusan masyarakat sesuai dengan
hukum-hukum Islam dan pemecahan-pemecahannya.
Kegiatan-kegiatan yang bersifat politik ini tampak jelas dalam aktifitasnya
dalam mendidik dan membina umat dengan tsaqafah Islam, meleburnya dengan
Islam, membebaskannya dari akidah-akidah yang rusak, pemikiran-pemikiran
yang salah, serta persepsi-persepsi yang keliru, sekaligus membebaskannya dari
pengaruh ide-ide dan pandangan-pandangan kufur.
Kegiatan politik ini tampak juga dalam aspek pertarungan pemikiran (ash
shiro‟ul fikri) dan dalam perjuangan politiknya (al kifahus siyasi). Pertarungan
pemikiran terlihat dalam penentangannya terhadap ide-ide dan aturan-aturan
kufur. Hal itu tampak pula dalam penentangannya terhadap ide-ide yang salah,
akidah-akidah yang rusak, atau persepsi-persepsi yang keliru, dengan cara
45
menjelaskan kerusakannya, menampakkan kekeliruannya, dan menjelaskan
ketentuan hukum Islam dalam masalah tersebut.21
Adapun perjuangan politiknya, terlihat dari penentangannya terhadap kaum
kafir imperialis untuk memerdekakan umat dari belenggu dominasinya,
membebaskan umat dari cengkeraman pengaruhnya, serta mencabut akar-akarnya
yang berupa pemikiran, kebudayaan, politik, ekonomi, maupun militer dari
seluruh negeri-negeri Islam.
Perjuangan politik ini juga tampak jelas dalam kegiatannya menentang para
penguasa, mengungkap pengkhianatan dan persekongkolan mereka terhadap
umat, melancarkan kritik, kontrol, dan koreksi terhadap mereka serta berusaha
menggantinya tatkala mereka mengabaikan hak-hak umat, tidak menjalankan
kewajibannya terhadap umat, melalaikan salah satu urusan umat, atau menyalahi
hukum-hukum Islam.
Seluruh kegiatan politik itu dilakukan tanpa menggunakan cara-cara
kekerasan (fisik/senjata) (laa madiyah) sesuai dengan jejak dakwah yang
dicontohkan Rasulullah saw.Jadi kegiatan Hizbut Tahrir secara keseluruhan
adalah kegiatan yang bersifat politik, baik sebelum maupun sesudah proses
penerimaan pemerintahan (melalui umat).
Kegiatan Hizbut Tahrir bukan di bidang pendidikan, karena ia bukanlah
madrasah (sekolah). Begitu pula seruannya tidak hanya bersifat nasihat-nasihat
dan petunjuk-petunjuk. Kegiatan Hizbut Tahrir bersifat politik, (yaitu) dengan
21
Lihat:http://hizbut-tahrir.or.id/category/seputar-khilafah/
46
cara mengemukakan ide-ide (konsep-konsep) Islam beserta hukum-hukumnya
untuk dilaksanakan, diemban, dan diwujudkan dalam kenyataan hidup dan
pemerintahan.
Hizbut Tahrir mengemban dakwah Islam agar Islam dapat diterapkan dalam
kehidupan dan agar Aqidah Islamiyah menjadi dasar negara, dasar konstitusi dan
undang-undang. Karena Aqidah Islamiyah adalah aqidah aqliyah (aqidah yang
menjadi dasar pemikiran) dan aqidah siyasiyah (aqidah yang menjadi dasar
politik) yang melahirkan aturan untuk memecahkan problematika manusia secara
keseluruhan, baik di bidang politik, ekonomi, budaya, sosial, dan lain-lain.
5. Metode Dakwah Hizbut Tahrir
Metode yang ditempuh Hizbut Tahrir dalam mengemban dakwah adalah
hukum-hukum syara‟, yang diambil dari thariqah (metode) dakwah Rasulullah
saw, sebab thariqah itu wajib diikuti. Sebagaimana firman Allah Swt:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi
kalian, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan kedatangan Hari
Kiamat, dan dia banyak menyebut Allah (dengan membaca dzikir dan mengingat
Allah).” (QS. Al Ahzab : 21)
“Katakanlah: „Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya
Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (QS. Ali Imran : 31)
“Apa saja yang dibawa Rasul untuk kalian, maka ambilah. Dan apa saja yang
dilarangnya bagi kalian, maka tinggalkanlah.” (QS. Al Hasyr : 7)
Dan banyak lagi ayat lain yang menunjukkan wajibnya mengikuti
perjalanan dakwah Rasulullah saw, menjadikan beliau suri teladan, dan
mengambil ketentuan hukum dari beliau.
47
Berhubung kaum muslimin saat ini hidup di Darul Kufur—karena
diterapkan atas mereka hukum-hukum kufur yang tidak diturunkan Allah Swt—
maka keadaan negeri mereka serupa dengan Makkah ketika Rasulullah saw diutus
(menyampaikan risalah Islam). Untuk itu fase Makkah wajib dijadikan sebagai
tempat berpijak dalam mengemban dakwah dan meneladani Rasulullah saw.22
Dengan mendalami sirah Rasulullah saw di Makkah hingga beliau berhasil
mendirikan Daulah Islamiyah di Madinah, akan tampak jelas beliau menjalani
dakwahnya dengan beberapa tahapan yang sangat jelas ciri-cirinya. Beliau
melakukan kegiatan-kegiatan tertentu yang tampak dengan nyata tujuan-
tujuannya. Dari sirah Rasulullah saw inilah Hizbut Tahrir mengambil metode
dakwah dan tahapan-tahapannya, beserta kegiatan-kegiatan yang harus
dilakukannya pada seluruh tahapan ini, karena Hizbut Tahrir mensuriteladani
kegiatan-kegiatan yang dilakukan Rasululah saw dalam seluruh tahapan
perjalanan dakwahnya.
B. Ulasan Buku Mafahim Hizbut Tahrir
Sesuai judulnya, kitab Mafahim Hizbut Tahrir (selanjutnya disingkat
Mafahim) ini bermaksud mengenalkan dan menjelaskan berbagai pemahaman
(Mafahim) keislaman yang diadopsi Hizbut Tahrir (HT).
Kitab Mafahim ini pada dasarnya ingin menjawab 3 (tiga) pertanyaan
strategis menyangkut Hizbut Tahrir dan ide-idenya. Pertama, apa latar belakang
22
Lihat;http://hizbut-tahrir.or.id/category/seputar-khilafah//
48
munculnya HT di tengah kancah berbagai gerakan Islam di Dunia Islam? Kedua,
mengapa Hizbut Tahrir perlu mengadopsi berbagai pemahaman (mafahim)
keislaman yang khas baginya? Ketiga, apa saja pemahaman-pemahaman Islam
yang telah diadopsi HT guna membangkitkan umat Islam?
Latar Belakang Eksistensi HT
Bagian awal kitab Mafahim (hal. 1-13) menjelaskan latar belakang lahirnya
HT. HT muncul dalam realitas dimaksudkan untuk menjadi gerakan alternatif
setelah gagalnya berbagai gerakan Islam untuk membangkitkan umat dari
kemerosotannya.Dalam kitab Mafahim diuraikan tiga sebab utama kegagalannya
(hal. 4), yaitu:
Pertama, adanya ketidakjelasan fikrah (pemikiran) Islami di benak para
aktivisnya. Misalnya, fikrah mereka campur aduk antara pemikiran Islami dan
filsafat Yunani. Kedua, adanya ketidakjelasan thariqah (metode) Islami untuk
menerapkan fikrahnya. Misalnya, ingin menegakkan syariah dalam kehidupan
masyarakat tapi thariqahnya non-politis (tanpa Daulah Islamiyah) seperti
mendirikan pesantren, sekolah, dan sebagainya. Ketiga, tidak adanya ikatan solid
antara fikrah dan thariqahnya sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan.
Misalnya, mengkaji hukum fikrah seperti hukum nikah, tapi melalaikan hukum
thariqah untuk menerapkan hukum nikah itu, yaitu hukum-hukum Khilafah. Ingat,
wali hakim dalam nikah itu seharusnya adalah khalifah atau yang mewakilinya.
Karena tiga sebab utama itu, dan sebab-sebab lainnya yang memperburuk
keadaan umat di abad ke-19 dan ke-20 M (hal. 6-13), gagallah upaya berbagai
49
gerakan Islam untuk membangkitkan umat Islam. Benar bahwa gerakan-gerakan
tersebut telah meninggalkan pengaruh sampai batas tertentu, namun semuanya
tidak berhasil membangkitkan umat atau mencegah umat agar tidak terus
mengalami kemerosotan.
Berdasarkan kenyataan inilah, HT lahir dari rahim umat untuk menjadi
gerakan alternatif setelah kegagalan berbagai gerakan Islam untuk
mmembangkitkan umat dari kemerosotannya sejak abad ke-18 M.
Hizbut Tahrir dan Mafahim
Mengapa HT perlu mengadopsi berbagai pemahaman (mafahim)
keislaman yang khas baginya? Sebab kemerosotan itu tiada lain terjadi karena
benak umat mengalami kelemahan yang luar biasa (al-dha‟f asy-syadid) dalam
memahami Islam (hal. 3). Padahal, sebagaimana sudah dimaklumi, perilaku
manusia (suluk al-insan) itu dipengaruhi oleh pemahamannya. Kelemahan dalam
memahami Islam, dengan sendirinya, akan membuat sikap dan perilaku umat
menjadi lemah pula dalam menjalani kehidupan, yaitu merosot dari kondisinya
yang seharusnya. Umat Islam akhirnya hidup terjajah oleh negara-negara penjajah
yang kafir dalam sistem kehidupan sekuler.
Kelemahan pemahaman itu terjadi sejak lama, yaitu sejak abad ke-2 H
hingga detik ini, baik karena faktor internal maupun faktor eksternal. Faktor-
faktor ini yang menonjol adalah :
50
(1) Transfer filsafat India, Persia, dan Yunani pada abad ke-2 H ke tubuh umat
Islam dan adanya upaya untuk mencari titik temunya dengan Islam, padahal
sebenarnya terdapat kontradiksi tajam antara Islam dan filsafat;
(2) Adanya manipulasi berbagai pemikiran dan hukum Islam oleh orang-orang
yang dengki terhadap Islam;
(3) Adanya pengabaian bahasa Arab yang sesungguhnya mutlak perlunya untuk
memahami dan mengamalkan Islam, termasuk untuk berijtihad guna mengatasi
masalah-masalah baru. Ini terjadi pada abad ke-7 H.
(4) Adanya invasi misionaris, kemudian invasi budaya dan politik dari negara-
negara Barat yang kafir sejak abad ke-17 M (Abdul Qadim Zallum, Hizbut Tahrir,
hal. 13).
Dampak berbagai faktor yang mengaburkan di atas, membuat benak kaum
muslimin bagaikan bejana yang penuh dengan aneka macam air yang campur
aduk, antara yang suci dan najis. Dalam benak umat ada pemahaman tauhid, tapi
mungkin tercampur paham tashawwuf wihdatul wujud dari Ibn Al-„Arabi (w. 638
H/1240 M), yang aslinya adalah filsafat emanasi dari Neoplatonisme Yunani.
Dalam benak umat ada pemahaman iman kepada al-Qur`an, tapi mungkin
mereka hanya mampu membacanya dan tak mampu mengistinbath hukum darinya
karena mereka mengabaikan bahasa Arab.
Dalam benak umat ada pemahaman wajibnya menerapkan syariah, tapi
mungkin itu bercampur aduk dengan paham sekularisme, demokrasi,
nasionalisme, dan liberalisme (kebebasan) dari Barat yang justru melemahkan
51
atau memusnahkan syariah. Atau mungkin bercampur dengan konsep yang
mengatakan bolehnya perubahan hukum Islam disesuaikan waktu dan tempat.
kalau pemahaman diumpamakan air, berarti benak umat telah terisi dengan
campuran antara air yang suci dan menyucikan (pemahaman sahih) dengan air
yang suci tapi tidak menyucikan (pemahaman lemah) dan dengan air yang terkena
najis (pemahaman batil). Dengan pemahaman yang amburadul dan kacau balau
seperti ini, wajar jika umat Islam mengalami kemunduran yang drastis.
Maka dari itu, HT melihat adanya keharusan untuk memperbarui
pemahaman umat Islam itu guna membangkitkan kembali umat dari
kemerosotannya. Caranya ialah dengan mengadopsi sejumlah pemahaman Islam
yang murni, yang bebas dari unsur-unsur yang mengaburkan atau mengotorinya.
Pemahaman Islam yang murni ini bagaikan air yang suci lagi menyucikan.
Menyifati berbagai pemahaman mengenai hukum dan pemikiran Islam
yang diadopsi HT itu, Taqiyuddin an-Nabhani berkata,"Ini adalah berbagai
pendapat, pemikiran, dan hukum yang Islami, bukan yang lain. Tidak ada di
dalamnya sesuatu pun yang tidak Islami dan tidak terpengaruh pula oleh segala
sesuatu yang tidak Islami. Sebaliknya ia adalah Islami semata, tidak bersandar
kecuali kepada pokok-pokok ajaran Islam dan nash-nashnya." (Taqiyuddin An-
Nabhani, Mafahim, hal. 14).
Apa Saja Mafahim HT
Lalu, pemahaman Islami apa saja yang diadopsi HT dalam kitab ini?
Sebelum dijelaskan, perlu dipahami bahwa berbagai pemahaman HT ini benar-
52
benar bernuansa tajdid yang amat kuat. Inilah kiranya ciri khas dan keunggulan
kitab Mafahim ini.
Jadi selalu ada upaya korektif terhadap pemikiran kontemporer yang batil
atau lemah dan pada saat yang sama ada tawaran pemikiran sahih yang lebih
unggul sebagai alternatifnya. Misalnya, HT telah menjelaskan bahwa hukum
Islam tidak berubah sesuai waktu dan tempat (hal. 42). Sebenarnya ini adalah
koreksi terhadap pemahaman batil yang salah kaprah pada waktu, yaitu adanya
"kaidah fiqih" berbunyi Laa yunkaru taghayyurul ahkaam bi-taghayyur az-zamaan
wa al-makaan (Tidak dapat diingkari adanya perubahan hukum sesuai perubahan
waktu dan tempat). Kaidah ini termuat dalam kodifikasi undang-undang negara
Khilafah Utsmaniyah bernama Majallah al-Ahkam al-„Adliyah (terbit tahun
1869).
Pada saat yang sama, HT memberi tawaran pemahaman baru yang benar,
bahwa yang berubah sebenarnya adalah urf (adat), bukan hukum Islamnya itu
sendiri. Sedangkan perubahan urf, tidak dapat mempengaruh status hukum, sebab
urf bukan dalil hukum dan bukan pula illat hukum. Bahkan urf itu sendiri benar
salahnya harus kembali distandarisasi dengan hukum syara‟(hal. 42-43).
Adapun pemahaman-pemahaman Islami yang dijelaskan HT dalam kitab
Mafahim ini, berfokus pada 3 (tiga) pemahaman, yaitu pemahaman yang terkait
dengan : (1) Aqidah Islam, (2) Syariah Islam, (3) Dakwah Islam. Berikut sekilas
uraiannya masing-masing.
53
Aqidah Islam
Pembahasan Aqidah Islam nampak ketika Hizbut Tahrir meletakkan
Aqidah Islam sebagai jawaban terhadap Al-„Uqdatul Kubra (Masalah-Masalah
Besar Manusia) yang menyangkut manusia, alam semesta, dan kehidupan. Aqidah
Islam menjelaskan bahwa sebelum adanya manusia, alam semesta, dan kehidupan,
telah ada lebih dulu Allh SWT sebagai al-Khaliq bagi ketiganya. Aqidah Islam
juga menjelaskan bahwa setelah tiadanya manusia, alam semesta, dan kehidupan
nanti, akan ada Hari Kiamat yang sekaligus juga Hari Perhitungan (Yaumul
Hisab). Karena itu, manusia wajib menjalani kehidupan dunia ini sesuai perintah-
perintah Allah dan larangan-larangan-Nya. Sebab Allah sajalah yang
menciptakannya dan memberinya sejumlah perintah Allah dan larangan; dan pada
Hari Kiamat nanti manusia akan dihisab mengenai keterikatannya dengan segala
perintah dan larangan Allah itu (hal. 14-15).
Namun, sebagaimana kitab Nizham al-Islam, Aqidah Islam yang
diterangkan HT ini lalu dikaitkan dengan pemikiran kontemporer, tidak
diasingkan atau dijauhkan darinya. Maka, pembahasan Aqidah Islam ini segera
saja dilanjutkan dengan pembahasan integrasi aspek material dan spiritual (mazjul
maadah bi ar-ruh) (hal. 16-23).
Nampak jelas HT di sini berusaha keras memerangi aqidah ideologi
Kapitalisme, yakni sekularisme, atau fashlul maadah „an ar-ruh. Artinya,
memisahkan aspek material (perbuatan manusia) dengan aspek spiritual
(kesadaran manusia dalam beragama). Dalam realitasnya, aqidah sekularisme lalu
menghasilkan pemisahan agama dari negara, seperti yang terjadi saat ini.
54
Pembahasan ini kemudian dilanjutkan dengan bahasan Qadha`-Qadar (hal.
24-26) dan bahasan sifat perbuatan manusia (konsep khair-syar dan hasan-qabih)
(hal.26-30), serta bahasan nilai (qimah) perbuatan manusia sebagai tujuan
perbuatan manusia yang mencakup nilai akhlaq, kemanusiaan, materi, dan
spiritual (hal. 30-34).
Syariah Islam
Pembahasan Syariah Islam dalam kitab Mafahim ini intinya, syariah itu
ada untuk diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat, bukan untuk kenikmatan
berpikir seperti filsafat. Maka harus ada formalisasi syariah dalam wadah Darul
Islam (hal. 35-36; 52-56).
Selain itu, kitab Mafahim ini juga menjelaskan pemahaman HT seputar
syariah. Misalnya bahwa hukum-hukum mengenai ibadah, makanan, minuman,
dan akhlaq tidak didasarkan pada illat (alasan hukum), tapi didasarkan pada nash
semata. (hal. 36 dst). Contoh lainnya adalah bahasan dalil-dalil syar‟i, ijtihad dan
taqlid yang penting untuk dipahami (hal. 46-49).
HT juga meluruskan banyak kesalahpahaman umat mengenai syariah.
Misalnya, kesalahpahaman mengenai prinsip kelayakan syariah untuk setiap
waktu dan tempat. Maknanya bukanlah syariah itu dapat berubah dan
menyesuaikan diri pada segala waktu dan tempat, melainkan syariah dapat
memberikan jawaban masalah manusia di setiap waktu dan tempat (hal. 43).
HT juga meluruskan kesalahpahaman umat yang memisahkan hukum
fikrah dan thariqah sebagaimana sudah dicontohkan di atas (hal. 52-60).
55
Dakwah Islam
Pembahasan dakwah Islam di sini dimaksudkan untuk menjelaskan
metode mencapai kekuasaan untuk melanjutkan kehidupan Islam dan mengemban
dakwah Islam ke seluruh dunia. (hal. 62-68).
Dijelaskan juga perbedaan dakwah kepada Islam dan dakwah untuk
melanjutkan kehidupan Islam. Yang pertama, dijalankan oleh Daulah Islamiyah
melalui penerapan Islam secara nyata, mengacu kepada dakwah Rasulullah SAW
di Madinah.. Sedang yang kedua, dijalankan oleh kelompok dakwah melalui jalan
dakwah mengacu kepada aktivitas Rasulullah SAW di Makkah (hal. 72-76).
Pada bagian akhir (hal. 79-83) dijelaskan bahwa masyarakat di Dunia
Islam sebenarnya masih terjajah oleh negara-negara kafir baik dalam aspek
politik, ekonomi, budaya, maupun militer. Karena itu, HT berjuang untuk
membebaskan negeri-negeri Islam dari penjajahan dalam segala bentuknya,
hingga berhasil melanjutkan kehidupan Islam dengan mendirikan Khilafah yang
akan mengemban risalah Islam ke seluruh dunia dengan jalan jihad fi sabilillah.
56
BAB IV
ANALISIS SEMANTIK KATA AMBILAN ARAB
DALAM BUKU MÂFAHIM HIZBUT TAHRIR
A. Pengantar
Menurut para aktivis HTI, bahasa Arab bagi seorang Muslim merupakan Din
(agama). Bahasa Arab tidak bisa dipisahkan dengan Islam, karena untuk
memahami Islam tidak mungkin bisa tanpa menggunakan bahasa Arab. Bahasa
Arab tidak boleh dan tidak bisa dipisahkan dengan bahasa keagamaan, karena
untuk memahami al-Quran dan Assunnah harus menggunakan bahasa Arab.1
Karenanya, dalam kesehariaannya, HTI cukup banyak menggunakan kata ambilan
Arab, khususnya untuk istilah-istilah syar‟i yang tidak ditemukanpadanannya
yang pas dalam bahasa Indonesia. Bahkan, sebagian kata ambilan Arab yang
digunakan HTI adalah kata ambilan Arab yang dalam bahasa Indonesia terdapat
padanannya.2
Dalam buku Mafâhim Hizbut Tahrir terdapat 78 kosakata yang ditulis dalam
bahasa Arab. Kosakata tersebut ditulis miring guna sebagai tanda bahwa
kosakata tersebut adalah kosakata asing yang belum diserap ke dalam bahasa
Indonesia. Akan tetapi, walaupun belum menjadi bagian dalam bahasa Indonesia,
penulisan kosakata tersebut mengikuti bentuk kosakata bahasa Indonesia dan tidak
menggunakan bentuk ejaan dalam bahasa asalnya.
1Sukron Kamil, dkk, Pola Keagamaan dan Bahasa: Studi Kontekstual Kata Serapan Arab
dalam Teks-Teks Keislaman,(Jakarta: UIN Jakarta, 2013), h. 70, dan hasil wawancara langsung dengan Junaidi Fahir seorang aktivis Hizbut tahrir dari Bekasi Timur.
2Sukron Kamil, h. 70
57
B. Analisis Makna Konotasi Kata Ambilan Bahasa Arab dalam Buku
Mafahim
Di dalam Buku Mafahim Hizbut Tahrir ini, tidak semua kosakata dan
istilah Arab dipakai karena alasan kebutuhan, yang jika tidak digunakan akan
merusak cita rasa makna yang dimaksud. Misalnya kata qabîh yang berarti
buruk/tercela. Kata tersebut apabila dituliskan terjemahannya dalam bahasa
Indonesia tidak akan mengurangi atau menghilangkan makna yang terkandung
dalam bahasa asalnya. Demikian pula dengan kata hasan (terpuji) „syarah‟ yang
berarti penjelasan. Jika tiga kata ditampilkan dalam bentuk terjemahannya dalam
bahasa Indonesia sesunguhnya lebih baik.
Agaknya, di Hizbut Tahrir Indonesia ada semacam cara pandang bahwa
menggunakan kata ambilan Arab lebih memperlihatkanIslaminya. Di sini pula
problem keislaman Hizbut Tahrir yang kurang berwawasan ke-Indoensia-an,
tidak seperti para elite Muslim periode awal di Indonesia atauIslam mainstream,
Dan ini terjadi, karena pola pikir serba wahyu-nya yang diterjemahkan secara
harfiah yang berorientasi pada Islam dalam segi bentuk (luar), bukan substansi,
seperti terjadi juga di Jamaah Tabligh.Tentu saja harus dimaklumi dalam
penggunaan kosakata yang tidak ada padanannya dalam bahasa Indonesia, seperti
pada kata „kharaj‟ yang berarti pendapatan negara dari tanah/lahan daerah
taklukan. Sesuai dengan kaidah pembentukan istilah asing ke dalam bahasa
Indonesia, sebuah istilah asing yang akan diambil harus lebih ringkas, jika
dibandingkan dengan terjemahan Indonesianya. Dengan demikian kata
„kharaj‟ boleh ditampilkan dalam bentuk bahasa asalnya. Kosakata kharaj bisa
masuk ke dalam bahasa Indonesia menjadi salah satu istilah dalam agama Islam.
58
Tentunya proses penyerapannya mengikuti kaidah yang sudah ditetapkan dalam
bahasa Indonesia.3
Dalam kesehariaannya, HizbutTahrir Indonesia cukup banyak menggunakan
kata ambilan Arab,yang tidak ditemukan padanannya yang sesuai dalam bahasa
Indonesia. Bahkan, sebagian kata ambilan Arab yang digunakan Hizbut Tahrir
Indonesia adalah kata ambilan Arab yang dalam bahasa Indonesia terdapat
padanannya. Seperti contoh teks terjemahan di bawah ini yang berisi sikap
manusia terhadap non muslim dan tafsir (QS, Albaqarah {2}: 216) yang
diambil dari buku terjemahan Mâfahim Hizbut Tahrîr karya Taqiyuddinan-
Nabhan:
Teks Pertama
ولرلك كان قتل المحازب . وكىوه خيسا اوشّسا اوما جاء مه وصف خازج عىه
.وقتل المىاطه او المعاهد اوالمستأمه شّسا خيسا4
“Adanya sifat baik atau buruk pada pembunuhan, tidak lain karena terdapatnya
unsur luar. Karena itu, membunuhkafir harbiadalah baik, sedangkan membunuh
warga Negara (yang menjadi warganegara Daulah Islamiyah), atau yang
negaranya mengadakan perjanjian dengan pemerintahan Islam (kafir
mu‟ahad)atau membunuh orang yang meminta perlindungan, adalah buruk.”5
3 Sukron Kamil, dkk, Pola Keagamaan dan Bahasa: Studi Kontekstual Kata Serapan Arab
dalam Teks-Teks Keislaman,(Jakarta: UIN Jakarta, 2013), h. 82 12م(، ص: 1002،) جاكستا ، حزب التحسيس إودوويسيا مفاهيم حزب التحسيس . الإلمام تقي الديه الىبهاوي،4
5Taqiyuddin an-Nabhan, Mafâhim Hizbut Tahrîr,(Jakarta: Hizbut Tahrir Indonesiah,
2001), h. 42
59
Pada teks di atas, terdapat 3 kata ambilan Arab dari 43 kata yang dipakai
dalam teks. Ini berarti 5% kata yang dipakai dalam teks adalah kata ambilan
Arab. Teks yang berisi persoalan sosial, apalagi sosial politik, memang kata
ambilan Arab-nya cenderung lebih sedikit ketimbang teks ibadah. Namun, dalam
teks di atas terdapat 3 kata ambilan Arab yang takdikenal/popular di kalangan
Islam mainstream, kosakata tersebut ditulis miring sebagai tanda bahwa
kosakata tersebut adalah kosakata asing yang belum diserap ke dalam bahasa
Indonesia. Akan tetapi, walaupun belum menjadi bagian dalam bahasa Indonesia,
penulisan kosakata tersebut mengikuti bentuk kosakata bahasa Indonesia dan
tidak menggunakan bentuk ejaan dalam bahasa asalnya, dan memiliki makna
secara konotasi tersendiri, misal kafir harbi. Dalam bahasa Arab, kāfir (bahasa
Arab: كافس kāfir; Jamakكّفاز kuffār) secara harfiah berarti orang yang
menyembunyikanatau mengingkari kebenaran. Dalam terminologi kultural kata
ini digunakan dalam agama Islam untuk merujuk kepada orang-orang yang
mengingkari nikmat Allah (sebagai lawan dari kata syakir, yang berarti orang
yang bersyukur).
Teks tersebut jika dianalisis melalui konotasi sosial (pandangan sosial
keagamaaan HTI). Makna Kafir Harbi ialah semua orang kafir yang tidak masuk
dalam perlindungan umat Islam, dan Daulat Islamiyah yang berarti Negara
Islam. Namun, kalangan Hizbut Tahrir Daulat Islamiyah mempunyai makna
kedua yaitu Khilafah Islam. Jika hizbut tahrir menerjemahkan kafir harbi secara
harfiah dan daulat islamiyah, maka cita rasa terjemahan pada teks di atas akan
kabur.
60
Teks Kedua
باعتباز ذاتها والىظسة العميقت المستىيسة ألعمال اإلوسان تسي اوها مادة فقط
, وكىوها مادة ال تىصف بالحسه اوالقبح لراتها. مجسدة عه كل مالبساتها واعتبازاتها
.واعتبازاث آتيت مه غيسها, واوما تىصف برلك مه قبل مالبساث خازجت عىها6
“Pandangan yang teliti, mendalam dan cemerlang terhadap perbuatan manusia
menunjukkan bahwa perbuatan manusia dilihat dari sisi zatnya, tanpa dilihat lagi
faktor-faktor dan pertimbangan lain adalah materi belaka. Keberadaanya sebagai
materi berarti tidak terpuji (hasan) atau tercela (qabih) karena zatnya, melainkan
didapat dari faktor-faktor luar atau pertimbangan-pertimbangan lain.” Tafsir
menurut pandangan HTI (QS, Albaqarah {2}: 216)7
Pada teks di atas terdapat 2 kata ambilan Arab dari 49 kata yang dipakai
diluar morfem terikat dan angka. Hal ini berarti ada 5 persen kata ambilan Arab
secara keseluruhan teks. Dalam teks ini juga terlihat ada kata ambilan Arab yang
dalam bahasa Indonesia terdapat padanannya. Misalnya kata terpuji (hasan) dan
tercela (qabih).
Kata hasan secara harfiah baik, dan qabih berarti jelek. Namun cara pandang
Hizbut Tahrir memiliki makna konotasi tersendiri yaitu Hasan (terpuji) dan qabih
(tercela).
Teks berikut yang terkait dengan persoalan sosial, dalam buku Mafâhim juga
memperlihatkan hal yang sama:
6
12م(، ص: 1002،) جاكستا ، حزب التحسيس إودوويسيا مفاهيم حزب التحسيس الىبهاوي،. الإلمام تقي الديه
7Taqiyuddin an-Nabhan, h. 46
61
Teks Ketiga
8
“Padahal seharusnya, masyarakatlah yang harus diubah agar sesuai dengan
Islam, bukan sebaliknya. Jadi, bukan dengan membuat interpretasi baru
mengenai Islam agar sesuai dengan keadaan masyarakat. Cara pemahaman
seperti ini tidak dapat dibenarkan. Alasannya, karena yang menjadi masalah
adalah bahwa di sana terdapat satu masyarakat yang rusak dan hendak
diperbaiki dengan suatu mabda(ideologi). Mabda ini harus diterapkan sesuai
dengan apa yang dikandung oleh mabda itu sendiri, kemudian mengubah
masyarakat seluruhnya secara inqilabi(revolusioner) berdasarkan mabda
tersebut. Dengan kata lain, adalah suatu keharusan bagi para aktivis
pembaharuan untuk menerapkan hukum-hukum Islam sesuai dengan makna
ajaran yang sebenarnya, tanpa memperhatikan keadaan masyarakat, waktu,
maupun tempat.”9
Pada teks di atas, terdapat 5 kata ambilan Arab dari 104 kata yang dipakai
dalam teks. Hal ini berarti 5% kata yang dipakai dalam teks adalah kata ambilan
Arab. Sebagaimana dalam ormas Islam lain, teks yang berisi persoalan sosial,
8
2م(، ص: 1002،) جاكستا ، حزب التحسيس إودوويسيا مفاهيم حزب التحسيس . الإلمام تقي الديه الىبهاوي،
9Taqiyuddin an-Nabhan, h. 11-12
62
apalagi sosial politik, memang kata ambilan Arab-nya cenderung lebih sedikit
ketimbang teks ibadah. Namun, dalam teks buku HTI ini terdapat banyak
kata ambilan Arab yang tak dikenal/popular di kalangan Islam mainstream,
yaitu mabda yang disebut lebih dari sekali dan kata inqilâbi. Ini menujukkan di
kalangan fundamentalsi Islam, paling tidak dalam teks buku yang dirujuk terkait
persoalan sosial politik, lebih banyak kata ambilan Arab.Artinya, ada hubungan
antara banyaknya kata ambilan Arab dengan pola keagamaan.Paling tidak, kata
ambilan Arab dalam teks sosial politik. Ini juga bisa dikatakan bahwa semakin
banyak kata ambilan Arab, terutama dalam teks sosial politik di buku keislaman
ormas Islam, makin cenderung fundamentalis. Paling tidak, kata ambilan Arab
yang dipakai ormas Islam menunjukkan sisi fundamentalis atau tidaknya ormas
Islam.
Teks di atas jika dianalisis lewat analisis mutaradifat (hubungan kata
ambilan Arab dalam membentuk kalimat yang sama tetapi memiliki makna
yang berbeda dan hubungan antar kalimat) dan juga analisis konotasi sosial
(pandangan sosial keagamaaan HTI). Makna mutaradifat dan konotasi teks di
atas memperlihatkan agenda utama HTI mengenai Islamic state dengan sistem
khilâfah-nya. Hal ini paling tampak pada penggalan teks di atas yang berbunyi:
“Adalah suatu keharusan bagi para aktivis pembaharuan untuk menerapkan
hukum-hukum Islam sesuai dengan makna ajaran yang sebenarnya, tanpa
memperhatikan keadaan masyarakat, waktu, maupun tempat”.10
10
Taqiyuddin an-Nabhani, MafâhimHizbutTahrîr,h. 11-12
63
Keterbelengguan HTI oleh QS.5: 44,45,47 dan pemahaman harfiah atas
praktik sejarah Islam dalam penggalan teks ini sangat terlihat.11
Mereka bersikap
literal/skriptural dalam memahami kata yahkum (menghukum) dalam QS5:44
“Dan barangsiapa yang tidak menghukum menurut apa yang diturunkan Allah,
maka mereka itulah orang kafir”
QS 5: 45“Dan barangsiapa yang tidak menghukum menurut apa yang
diturunkan Allah, maka mereka itulah orang zalim”12
QS 5: 47 “Dan barangsiapa yang tidak menghukum menurut apa yang
diturunkan Allah, maka mereka itulah orang fasik”.13
Mereka memaknai ayat ini bahwa siapa yang “memutuskan” perkara atau
“memerintah” tidak dengan hukum yang diwahyukan Allah, adalah kafir,
dalam arti keluar dari Islam. Pembacaan ini sama dengan pembacaan Sayyid
Quthb.HTI tampaknya tidak mengenal/menolak penafsiran dari ulama semisal
Syeikh Nawawi yang memandang pengakuan terhadap hukum Islam hanya
dalam hati saja bisa dinilai cukup,karena misalnya ketidak mungkinan
diberlakukannya dalam konteks negara Indonesia yang nation state berdasarkan
Pancasila yang rakyatnya beragam. Mereka juga tampaknya terpaku oleh
literalitas QS.16: 89 “Dan kami turunkan Kitab (Al-quran) kepadamu untuk
menjelaskan segala sesuatu, sebagai petunjuk, serta rahmat dan kabar
gembira bagi orang yang berserah diri (muslim).14
yang mengungkap
kesempurnaan Qur‟an telah memuat segala hal serta bacaan literal terhadap
11
Sukron Kamil, dkk, Pola Keagamaan dan Bahasa: Studi Kontekstual Kata Serapan Arab dalam Teks-Teks Keislaman,(Jakarta: UIN Jakarta, 2013), h. 72
12 AlquranDepartemenAgamaRI,AlqurandanTerjemahannya, (Jakarta:Darus Sunah,2007),h. 116
13 AlquranDepartemenAgamaRI,h. 117 14 AlquranDepartemenAgamaRI,h. 278
64
QS.2:208 “wahai orang-orang yang beriman! Masuklah islam secara
keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkaah setan. Sungguh.Ia
musuh yang nyata bagimu”15
yang mengajak umat Islam untuk masuk ke dalam
Islam secarak âffah (menyeluruh). Padahal, dalam persoalan sosial, yang
dimaksud ajaran Islam telah memuat segala hal adalah memuat prinsip-prinsip
saja seperti dikatakan Qamaruddin Khan.
Teks selanjutkan menjelaskan tentang dakwahwahis politik HTI, yang
berpegang teguh untuk mendirikan sebuah Negara Islam atau yang biasa disebut
oleh Hizbut Tahrir Daulat Islamiyah.
Teks keempat
15 AlquranDepartemenAgamaRI,h. 33
65
26
Adapun dakwah untuk melanjutkan kehidupan Islam wajib diemban oleh
kutlah, bukan individu. Dakwah untuk melanjutkan kehidupan Islam ditujukan
kepada masyarakat yang individu-individunya mayoritas muslim, tetapi menerapkan
hukum selain Islam. Masyarakat yang demikian ini digolongkan dalammasyarakat
tidak Islami, sehingga layak disebut Dârul Kufur. Dakwah di tengah-tengah
masyarakat seperti ini dilakukan dalam rangka mendirikan Dâulah Islam yang akan
menerapkan Islam di tengah-tengah masyarakat seperti ini dilakukan dala rangka
mendirikan Dâulah Islamyang akan menerapkan Islam di tengah-tengah masyarakat
tersebut, serta mengemban dakwah kepada masyarakat lainnya (non-Islam). Ini
dilakukan apabila tidak ada Dâulah Islam.Apabila di dunia ada Dâulah Islam yang
menerapkan Islam secara sempurna, maka dakwah dilakukan untuk menggabungkan
berbagai wilayah menjadi wilayahDâulah Islam, lalu diterapkan Islam di dalamnya,
serta dijadikan bagian Dâulah Islamiyah yang mengemban dakwah dakwah Islam,
sehingga menjadi masyarakat Islam. Dengan demikian wilayah tersebut layak
disebut Dârul Islam.Hal ini karena seseorang muslim tidak diperbolehkan hidup di
Dârul Kufur, bahkan wajib baginya bila negara tepmat dia tinggal yang semula
Dârul Islamtelahmenjadi darul Kufur, maka wajib berjuang untuk mengubahnya
menjadi Dârul Islam,17
26 27م(، ص: 1002،) جاكستا ، حزب التحسيس إودوويسيا مفاهيم حزب التحسيس . الإلمام تقي الديه الىبهاوي،
17 Taqiyuddin an-Nabhan, MafâhimHizbutTahrîr,h. 123
66
28
Mengemban dakwah Islam dan berjuang secara politik di tengah-tengah
masyarakat, mengahruskan sebuah hizb menentukan wilayah gerakannya. Hizbut
Tahrir menganggap bahwa masyarakat di seluruh dunia Islam adalah masyarakat
yang satu. Karena masalah yang di hadapai sama, yaitu kembalinya Islam di tengah-
tengah umat. Masyarkat di negeri-negeri Islam sekarang berada pada keadaan politik
yang paling buruk, karena negara-negara Barat, walaupin pemerintahanya tampak
seakan-akan berdiri sendiri. Mereka tunduk di bawah Qiyâdah Fikriyah demokrasi
kapitalis, dengan ketundukan yang membabi-buta. Sistem demokrasi diterapkan di
tengah-tengah masyarakat, baik dalam aspek pemerintahan maupun politik. Dalam
bidang ekonomi diterapkan ekonomi kapitalis, sedangkan di bidang militer
28
80-27م(، ص: 1002،) جاكستا ، حزب التحسيس إودوويسيا مفاهيم حزب التحسيس . الإلمام تقي الديه الىبهاوي،
67
bergantung pada negara asing (Barat)19
Mengemban dakwah secara benar dilakukan dengan melawan bahaya
kepemimpinan berfikir Barat. Karena itu dijadikan hirju az-zawiyahdalam
perjuangan politik. Perjuangan politik mengharuskan tidak adanya permintaan
bantuan kepada negara-negara asing maupun, dalam bentuk dan jenis apapun.
Berdasarkan 2 teks di atas terdapat 15 kata ambilan Arab yang kosakatanya
tersebut dicetak miring untuk menunjukan bahwa kata tersebut belum masuk ke
dalam entri Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), dan teks di atas menunjukan
HTI bersifat dakwahis politis, dan teks tersebut cenderung diterjemahkan secara
kaku, literalis (tekstual), absolut, dan dogmatis, dan memiliki makna konotasi
cara pandang sendiri atau yang biasa disebut Rolan Barthes, menciptakan makna
lapis kedua. Teks di atas Hizbut tahrir meyakini kesatuan agama dan negara, di
mana agama harus mengatur negara, sehingga memiliki pandangan yang
stigmatis terhadap Barat (baik sebagai ide seperti pluralisme maupun sosial,
khususnya politik), di mana Barat dipandang sebagai monster imperialis yang
sewaktu-waktu mengancam akidah dan eksistensi mereka.20
Berdasarkan teks di
atas karena pemahaman literal inilah HTI ingin mengubah secara damai sistem
sosial politik dan budaya yang saat ini berlaku dan menolak hingga ke akarnya.
Secara pemikiran, HTI bersifat radikal, dalam arti menolak hingga keakar sistem
politik yang berlaku, meski tidak secara tindakan. Dalam pandangan HTI, negara
Indonesia adalah negara kafir dan demokrasi adalah haram, menurut HTI, negara
ini tidak harus diperangi, tetapi didakwahi. Karena Indonesia tidak menerapkan
19Taqiyuddin an-Nabhani, MafâhimHizbutTahrîr,h. 133-134
20Sukron Kamil, Islam dan Politik di Indonesia Terkini, (Jakarta: PSIA UIN Jakarta),h. 166
68
syari‟at maka Negara ini dalam pandangan anggota HTI Negara kafir secara
sistem politik. Bagi HTI, syari‟at yang dijelaskan dalam al-Qur‟an secara qath‟i
(pasti, jelas, tidak samar) tidak memerlukan pendekatan akal dan tafsir lagi.
Teks di atas Hizbut Tahrir menerjemahkan Kutlah, tidak diterjemahkan secara
secara harfiah namun secara konotasi yang berarti (Kelompok Muslim).Dan
Menurut Hizbut Tahrir jika kelompok muslim tidak menerapkan hukum selain
Islam,maka yang demikian ini digolongkan dalam masyarakat tidak Islami, sehingga
layak disebut Dârul Kufur. Dârul Kufur, secara harfiah yang berarti Negara kafir,
Hizbut Tahrir menerjemahkan Daarul kufur secara konotasi yaitu Negara/kelompok
yang tidak menerapkan hukum Islam.
Teks di atas terdapat kosakata hizb yang tulis miring menandakan kata tersebut
belum masuk ke entri Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Menurut Hizbut
Tahrir hizb di atas diartikan partai pembebasan.Dan Qiyâdah Fikriyah di artikan
kepemimpinan berpikir.hirju az-zawiyah di artikan sudut pandang perspektif.
Kosakata tersebut tidak memilikipadanan yang pas di dalam bahasa Indonesia.
Namun secara konotasi, arti kosakata tersebut adalah cara pandang ia agar terlihat
secara agamis. Dan hal ini menunjukan pola fikir Kelompok Hizbut Tahrir.
Selain temuan atas kajian teks, temuan hasil wawancara memperlihatkan
bahwa kata ambilan Arab juga banyak ditemukan dalam peristiwa tutur dan
konotasi dikalangan tersebut. Seperti khilâfah islâmiyyah, harakah, mabda,
manhaj, daulat islamiyah, jihad, halaqah, mabit, Iqamtul Ad-din.
Manhaj,21
secara etimologi Kata manhaj sering digunakan aktivis HTI,
khususnya dalam bahasa tulisan. Manhaj artinya jalan atau metode. Manhaj yang
21Taqiyuddin an-Nabhan, Mafâhim Hizbut Tahrîr, h. 11
69
benar adalah jalan hidup yang lurus dan terang dalam beragama menurut
pemahaman para Shahabat. Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan Hafiz hahullah
menjelaskan perbedaan antara „aqidah dan manhaj. Menurutnya, “Manhaj
lebih umum daripada „aqîdah. Manhaj diterapkan dalam „aqîdah, sulûk
tasawuf), akhlak, muamalah (interaksi sosial), dan dalam semua kehidupan
seorang Muslim. Setiap langkah yang dilakukan seorang Muslim dikatakan
manhaj. Adapun yang dimaksud dengan „aqîdah adalah pokok iman, makna
dua kalimat syahadat, dan konsekuensinya.22
Mabda, Mabda secara etimologis adalah mashdar mimi dari kata„bada‟a-
yabda‟u-mabdaan‟ yang berarti permulaan. Secara terminologis mabda berarti
pemikiran mendasar yang dibangun di atas pemikiran-pemikiran (cabang). Dalam
padanan bahasa Indonesia, mabda memiliki padanan dengan kata ideologi.
Walaupun mempunyai padanannya dalam bahasa Indonesia, HTI tetap menggunakan kata
mabda ketika menjelaskan tentang ideologi.23
Jihâd, Jihad adalah aktivitas memerangi pihak manapun yang berdiri
menentang dakwah Islam, baik yang menyerang Islam lebih dahulu. Dengan kata
lain, jihad adalah menyingkirkan segala bentuk rintangan yang menghambat
dakwah Islam. Jihad juga memiliki makna seruan dan dakwah kepada Islam serta
berperang demi tegaknya dakwah, yaitu jihad fî sabîlillah.
Halaqah secara bahasa bermakna lingkaran. Istilah ini biasa dipakai untuk
menyebut majelis-majelis kajian di Masjid Nabi. Sekarang, apa yang dilakukan
di Masjid Nabi itu berusaha dihidupkan lagi. Forum-forum kajian keislaman
dalam bentuk kelompok-kelompok kecilpun diadakan, dan disebut dengan
22
Sukron Kamil, dkk, Pola Keagamaan dan Bahasa: Studi Kontekstual Kata Serapan Arab dalam Teks-Teks Keislaman,(Jakarta: UIN Jakarta, 2013), h. 77
23http://hizbut-tahrir.or.id//category///2009/03/28/islam-ideologis/
70
halaqah. Disamping meniru majelis-majelis kajian di Masjid Nabi, forum-forum
ini juga diilhami oleh forum pembinaan intensif yang dahulu dilakukan oleh
Nabi saw di rumah sahabat Arqam bin Abil Arqam. Dengan forum intensif inilah
Nabi telah berhasil mencetak para as-sabiqûnal Awwalûn (orang-orang pertama
masuk Islam) yang kemudian senantiasa mendampingi Nabi dalam dakwah.24
Halaqah Kata halaqah tidak asing lagi bagi kalangan aktivis HTI. Metode
ini dianggap cukup efektif, karena pembinaan langsung kepada para anggota
dalam jumlah kecil. Halaqah yang berarti lingkaran, lama kelamaan mengalami
pergeseran makna, menjadi pengajian dalam kelompok kecil.
Daulat Islamiyah secara etimologi daulat (Negara) Islâmiyah(berasal dari
islam, atau berdasarkan norma-norma islam)secara sinonimi sama dengan Daulat
Islamiyah, namun dalam pandangan HTI berbeda. Terkonotasikan radikal
fundamental.
Dâulah Islâmiyah dan Khilâfah Islâmiyah merupakan dua istilah/ambilan
Arab yang menjadi gagasan sentral HTI. Karenanya, dua istilah ini yang paling
banyak digunakan oleh HTI. Daulah Islâmiyah yang berarti negara Islam dan
Khilâfah Islâmiyah yang berarti kepemimpinan Islam merupakan dua istilah yang
sangat melekat dengan HTI.25
Cita-cita dari perjuangan HTI adalah menjadikan
NKRI sebagai Daulah Khilâfah Islâmiyah. Pemakaian kedua istilah tersebut
tidak menggunakan padanannya dalam bahasa Indonesia, karena konsep yang
terdapat dalam kedua istilah tersebut tidak akan sama ketika diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia.
24
Sukron Kamil, dkk, Pola Keagamaan dan Bahasa: Studi Kontekstual Kata Serapan Arab dalam Teks-Teks Keislaman,(Jakarta: UIN Jakarta, 2013), h. 77
25Taqiyuddin an-Nabhan, Mafâhim Hizbut Tahrîr, h. 42
71
Kata Harakah secara etimologi bahasa Arab berarti bergerak. Istilah
tersebut kemudian menjadi populer di kalangan HTI dengan arti “sekelompok
orang atau suatu gerakan yang mempunyai suatu target tertentu dan mereka
berusaha bergerak serta berupaya untuk mencapainya. Dikalangan aktivis HTI,
harakah merupakan satu kegiatan yang rutin mereka laksanakan dalam rangka
mencapai tujuan melanjutkan kehidupan Islam dan mengemban dakwah Islam
keseluruh penjuru dunia. Tujuan harakah berarti mengajak kaum Muslimin
kembali hidup secara Islami dalam Darul Islam (Negeri Islam) dan masyarakat
Islam.26
Harakah Kata harakah sudah menjadi ciri khas dari aktivitas HTI.
Keberterimaan kata tersebut menjadikannya tidak diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia, baik dalam percakapan lisan maupun tulisan. Ketika diterjemahkan
menjadi gerakan, maka konsep konotasi harakah yang dimaksud dalam aktivitas
HTI menjadi kabur.27
Dari analisis di atas, bisa disimpulkan bahwa penggunaan kata ambilan
Arab dalam tindak tutur dan wacana di kalangan anggota HTI bukan saja menjadi
identitas mereka, melainkan juga, karena jika digunakan penerjemahannya tidak
mewakili makna yang dikehendaki. Penggunaan istilah-istilah tersebut
dimaksudkan supaya pesan yang terdapat di dalamnya tidak keluar dari maksud
yang dikehendaki oleh HTI sebagai sebuah gerakan yang bertujuan pada tegaknya
daulah khilâfah Islâmiyyah.
26
Hasil wawancara dengan Ridlo, korlap, HTI di wilayah Jawa Tengah, pada 4 september 2014
27 Hasil wawancara dengan Ridlo, aktivis HTI di wilayah Jawa Tengah, pada 4 september
2014
72
Yang lebih penting lagi, sebagaimana analisis atas teks di dalam sub HTI di
atas, HTI jauh lebih banyak menggunakan kata ambilan Arab yang tidak
dikenal/popular di kalangan Islam mainstream. Semua kata ambilan Arab di atas
menunjukkan bahwa betapa kata atau bahasa menunjukan pola pikir, termasuk
pola keagamaan.28
Mabit Secara bahasa berarti bermalam.Istilah ini sangat terkenal kita dapati
pada salah satu rangkaian ibadah haji, yaitu bermalam di Mina.Dalam terminologi
dakwah dan pendidikan, mabit adalah salah satu sarana pendidikan untuk
membina ruhiyah, melembutkan hati, membersihkan jiwa, dan membiasakan fisik
untuk beribadah (khususnya shalat tahajud, dzikir, tadabbur (merenung), dan
tafakur (berfikir).
28
Sukron Kamil, dkk, Pola Keagamaan dan Bahasa: Studi Kontekstual Kata Serapan Arab dalam Teks-Teks Keislaman,(Jakarta: UIN Jakarta, 2013), h. 82
73
No Sumber Makna Halaman
74
1 Fikrah Konsep 9
2 Musytarak Ganda 38
3 Gharizah Naluri 73
4 Tharîqah Metode/Penerapan 9
5 Ghazwu ats-tsaqâfi Invasi budaya 8
6 Qiyas Analogi 70
7 Ghanîmah Harta Rampasan Perang 10
8 Mabda Ideologi 11
9 Inqilâbi Revolusioner 11
10 Kulliyyat Umum 12
11 Harakah Pergerakan 14
12 Ishlahiyah Reformasi 14
13 Jihad fi sabililla Perang di jalan Allah 9
14 Tafaqquh fiddîn Mempelajari hukum Islam 18
15 Qiyâdah fikriyyah
Kepemimpinan umat yang
didasarkan pada
pemikiran
25
16 Al-mustanîr Cemerlang 25
17 Al-amîq Mendalam 25
18 Al-fikrul amîq Pemikiran yang
mendalam 25
19 Al-fikrul mustanîr Pemeikiran yang
cemerlang 25
20 Yaumul hisâb Hari perhitungan 27
75
21 Sirrul hayât Rahasia Hidup//nyawa 28
22 Lughawi Bahasa yang khusus 37
23 Qath‟i Pasti 12
24 Nizhâmul wujûd Sunnatullah/hukum alam 40
25 Musayyar Dikendalikan 40
26 Mukhayyar Diberi pilihan 40
27 Kâfir harbi Orang yang memerangi
muslim 42
28 Kâfir mu‟âhid Orang yang benar-benar
kafir 42
29 Hasan Terpuji 46
30 Mâfahim Ide-ide 140
31 Azali Tidak berawal/berakhir 27
32 Hadlârah Peradaban 58
33 Hirju az-Zawiyah Sudut pandang perspektif 136
34 Urf Tradisi 72
35 Hizb Partai 132
36 Maslahat Manfaat 70
37 Syarah Penjelasan 89
38 Kutlah Kelompok 123
39 Qadla Peradilan
49 Syakhsiyah Kepribadian 130
50 Tafa‟ul Berinteraksi 126
76
51 Dha‟if Lemah 118
52 At-tabi‟atul Ketentuan-ketentuan 107
53 Qabîh Tercela 48
54 Tabanni Adopsi 93
55 Bayyinât Pembuktian 92
56 Huqûq Saksi 92
57 Uqûbat Sanksi/pidana 92
58 Aqliyah Pola pikir 58
59 Dalalah Penunjukan 70
60 Syarr Buruk 42
61 Amaliyah Praktis 126
62 Istinbath Pengambilan 70
63 Muttabi‟ Pengikut 88
64 Khair Baik 42
65 Muqallid Hasil ijtihad para muqalid 87
66 Musayithirin Menundukan 81
67 Millah Dasar 84
68 Mafsadat Kerugian 70
69 Syar‟i Pembuat hukum Allah 76
70 Qimatul amal Nilai perbuatan 51
71 Mu‟âwin Pembantu 76
72 Hadharah Peradaban 137
77
73 Dârul Islâm Naungan orang-orang
Islam 58
74 Dârul Kufur Tempat orang kafir 58
75 Nafsiah Pola sikap 59
76 Syakhsiyah, Kepribadian 59
77 Daulah Islamiyah Negara Islam 123
78 Kharaj Pendapatan Negara tanah 10
77
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kata ambilan Bahasa Arab yang merupakan kata asing yang sering dipakai dalam
literature/buku-buku Hizbut Tahrir, jika membuka kamus KBBI, kata tersebut belum
ada. Dalam literatur/bukuyang menggunakan bahasa ambilan penulisannya pun masih
ditulis miring dan harus ditransliterasikan terlebih dahulu untuk menunjukkan apakah
bahasa tersebut asing atau tidak. Meski sudah dikenal paling tidak di kalangan
tertentu yang akrab dan bagian dari wacana yang berkembang di antara mereka.
Selain itu, Makna konotasi penggunaan kata ambilan bahasa Arab di dalam buku
Mafahim Hizbut Tahrir ini menjadikan identitas mereka, selain itu kata ambilan
Bahasa Arab juga memperlihatkan pola pikir/keagamaan kelompok sosial keagamaan
Hizbut Tahrir, dan juga ideologi mereka.
Dari analisis di atas, bisa disimpulkan bahwa penggunaan kata ambilan Arab
dalam tindak tutur dan wacana di kalangan anggota HTI bukan saja menjadi identitas
mereka, melainkan juga, karena jika digunakan penerjemahannya tidak mewakili
makna yang dikehendaki. Penggunaan istilah-istilah tersebut dimaksudkan supaya
pesan yang terdapat di dalamnya tidak keluar dari maksud yang dikehendaki oleh
HTI sebagai sebuah gerakan yang bertujuan pada tegaknya Daulah Khilâfah
Islâmiyyah.
78
Yang lebih penting lagi, sebagaimana analisis di dalam teks, HTI jauh lebih
banyak menggunakan kata ambilan Arab yang tidak dikenal/popular di kalangan
Islam mainstream. Semua kata ambilan Arab menunjukkan bahwa kata atau bahasa
menunjukan pola pikir, termasuk pola keagamaan.
79
DAFTAR PUSTAKA
Alfarisi, M. Zaka.Pedoman Penerjemahan Arab-Indonesia; Bandung: Remaja
Rosdakarya. 2011
Aminuddin.Semantik, Pengantar Studi tentang makna, Sinar Baru Algensindo
Arifin,Zaenal Cermat Berbahas Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo, 2004
an-Nabhani,Taqiyudin.Mafahim Hizbut Tahrir, Jakarta, Hizbut Tahriri Indonesia,
2001
an-Nabhani,Taqiyuddin.Peraturan Hidup dalam Islam terjemahan Nizham al-
Islam, Jakarta:HTI Press, 2007
Badudu, J.S. Inilah Bahasa Indonesia Yang Benar IIJakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 1994
Binder, Leonard. Islamic Liberalism Chicago: The University of Chicago Press, 1988
Barker,Chris.Cultural Studies,Teori dan Praktik, Jogjakarta: Kreasi Wacana, 2009
Barthes,Roland Mitologi, Jogjakarta: Kreasi wacana, 2009
Chaer, Abdul.Linguistik UmumJakarta: Rineka Cipta, 2008
Departemen Agama RI.Alqur’an dan Terjemahannya Bandung: Syaamil Cipta
Media, 2005
Fuad, Ahmad Nur.Interrelasi Fundamentalisme Dan Orientasi Ideologi Gerakan
Islam KontemporerSurabaya: Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya
Fatimah Djajasudarma.Semantik: Pengantar Arah Ilmu Makna 1, Bandung: Refika
Aditama, 1999
Hariyanto,Sugeng.Translation, Bahasa Teori dan Penuntun Praktis Menerjemahkan,
Yogyakarta, Kanisius, 2008
80
Hizbut Tahrir Indonesia.Manifesto Hizbut Tahrir untuk Indonesia, Khilafah, dan
Penyatuan Kembali Dunia IslamJakarta:HTI Press
Ismail, Ahmad Satori, Sebab-Sebab Pengkhianatan Dalam Menerjemah, Makalah
Seminar Nasional Penerjemahan “Revitalisasi Peran Penerjemahan di Era
Global”yang diselenggarakan oleh Program Studi Tarjamah Fakultas Adab
dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Jahroni, JamhariJajang. Gerakan Salafi Gerakan di IndonesiaJakarta:Grafindo,
2010
Kushartanti.Pesona Bahasa, Langkah Awal Memahami LinguistikJakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2011
Kushartati, dkk. Pesona Bahasa; langkah Awal Memahami LinguistikJakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2011
Kurniawan,Moch Mansyur.Pedoman Bagi Penerjemah: Arab Indonesia-Indonesia
Arab, Jakarta: Moyo Segoro Agung 2002
Kamil,Sukron dkk.Pola Keagamaan Dan Bahasa: Studi Kontekstual Kata Serapan
Arab Dalam Teks-Teks Keislaman,Jakarta: UIN Jakarta, 2013
Kulsum,Umi.Doubletdalam kata serapan Arab: Kajian Perbedaan Makna dan
Register” Makalah Seminar Nasional Penerjemahan “Revitalisasi Peran
Penerjemahan di Era Global” yang diselenggarakan oleh Program Studi
Tarjamah Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2013
Kamil,Sukron.Islam dan Politik di Indonesia Terkini, Jakarta: Psia UIN Jakarta 2010)
81
Moleong, Ley. Metodologi Penelitian KualitatifBandung: Remaja Rosda Karya, 2009
Mahsun, Metodologi Penelitian BahasaJakarta: Grafindo, 2008
Mujibarahman.Menakar Fenomena Fundamentalisme Islam, Jurnal Tashwirul Afkar.
Edisi no. 13, tahun 2003, Jakarta; Lak Pes dam, 2003
Musfiroh, Tadkiroatun. “Perbedaan Makna Kata-Kata bahasa Indonesia Serapan
Bahasa Arab Dari Makna Sumbernya” FBS Universitas Negeri Yogyakarta
2004.
Moentaha, Salihen.Bahasa dan Terjemahan; Bahasa dan Terjemahan; Language and
Translation The New Millennium Publication,Jakarta: Kesaint Blanc –
Anggota IKAPI, 2008
Nashir, Haedar. GerakanIslam Syariat Reproduksi Salafiyah Ideologis di
Indonesia, Jakarta:PSAPMuhammadiyah
Parera, J.D. Teori Semantik, Jakarta:Erlangga, 2004
Pateda,R Mansoer.Semantik leksikal, Jakarta, Rineka Cipta 2004
Rahman, Fazlur.IslamSecond EditionChicago: The University of Chicago Press,1979
Rahmat, M Imdadun.Arus Baru Islam Radikal (Transmisi Revivalisme Islam Timur
TengahkeIndonesia),Jakarta:Erlangga, 2001
Syihabuddin, Penerjemahan Arab-Indonesia (Teori dan Praktek); Bandung:
Humaniora, 2005
Suryawinata,Zuchridin Translation, Bahasa Teori dan Penuntun Praktis
Menerjemahkan, Yogyakarta: Kanisius, 2001
Sumbulah, Umi. Konfigurasi Fundamentalisme Islam. Malang:UIN Malang Press,
82
2001
Turmudi, Endang, danRiza Sihbudi.Islam dan Radikalisme di Indonesia Jakarta:LIPI
Press
Website
http://bahasakita.com/kata-serapan-arab-dalam-bahasa-indonesia.
http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_kata_serapan_dari_bahasa_Arab
http://www.al-khilafah.org//category//seputar-khliafah.org
http://hizbut-tahrir.org//category//seputar-khilafah.org
http://hizbut-tahrir.or.id/category/islamideologis,com
Media Cetak
Majalah Al Waie, Kaleidoskop Aktivitas Politik dan Dakwah Hizbut TahrirIndonesia
(HTI),oleh redaksi AlWaie.