MAKNA TRADISI KUPATAN BAGI MASYARAKAT
DESA PACIRAN KECAMATAN PACIRAN
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh
Rizky Subagia
NIM: 1112032100053
PRODI STUDI AGAMA-AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF
HIDAYATULLAH JAKARTA
1440 H/2019
i
LEMBAR PERSETUJUAN
MAKNA TRADISI KUPATAN BAGI MASYA RAKAT DESA PACIRAN
KECAMATAN PACIRAN
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana
Agama (S.Ag)
Oleh
Rizky Subagia
NIM : 1112032100053
Di bawah Bimbingan
Prof. Dr. M. Ikhsan Tanggok, M.Si
NIP : 19651129 199403 1 002
JURUSAN STUDI AGAMA-AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
TAHUN 2019
ii
LEMBAR PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Rizky Subagia
NIM : 1112032100053
Fakultas : Ushuluddin
Jurusan/ Prodi : Studi Agama-Agama
Telp/HP : 085730449167
Judul Skripsi : Makna Tradisi Kupatan Bagi Masyarakat Desa Paciran
Kecamatan Paciran
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan Skripsi ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta.
Jakarta, 26 Juli 2019
RIZKY SUBAGIA
iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN MUNAQASYAH
Skripsi ini berjudul MAKNA TRADISI KUPATAN BAGI MASYARAKAT
DESA PACIRAN KECAMATAN PACIRAN telah diujikan dalam sidang
munaqasyah Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi ini telah
diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag) pada Prodi
Studi Agama-Agama.
Ciputat, 31 Juli 2019
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota,
Syaiful Azmi, MA
NIP: 19751019 200312 1 003
Sekretaris Merangkap Anggota,
Aktobi Gozali, MA.
NIP: 19730520 200501 1 003
Anggota,
Penguji I,
Dra. Halimah SM, MA.
NIP: 19590413 199603 2 001
Penguji II,
Dra. Marjuqoh, MA.
NIP: 19680901 199403 2 002
Pembimbing,
Prof. Dr. M. Ikhsan Tanggok, M.Si
NIP : 19651129 199403 1 002
iv
ABSTRAK
“Makna Tradisi Kupatan Bagi Masyarakat Desa Paciran Kecamatan Paciran”
Rizky Subagia
Skripsi ini akan mendeskripsikan tentang makna tradisi kupatan bagi
masyarakat Desa Paciran, Kecamatan Paciran. Kupatan adalah tradisi keagamaan yang
berhubungan dengan tradisi Islam. Tradisi ini merupakan salah satu bentuk warisan
budaya leluhur yang sampai sekarang masih dilestarikan oleh masyarakat Desa Paciran
Kabupaten Lamongan. Selain itu tradsi kupatan merupakan kegiatan sosial yang
melibatkan seluruh masyarakat dalam usaha untuk memperoleh keselamatan dan
ketentraman. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka penulis ingin mengetahui
bagaimana makna yang terkandung dalam tradisi kupatan desa paciran kabupaten
lamongan?.
Untuk menjawab pertanyaan di atas, penulis akan melakukan penelitian dengan
jenis penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan historis, dengan
menjelaskan sejarah, perkembangan dan eksistensi tradisi kupatan di Desa Paciran,
Kabupaten Lamongan. Kemudian pendekatan fenomenologi, dengan cara
mendeskripsikan fenomena-fenomena keagamaan serta realitas yang terjadi di
masyarakat Desa Paciran. Untuk menperkuat penelitian penulis mendapatkan data dari
hasil kepustakaan, serta melakukan wawancara terhadap tokoh Masyarakat, tokoh
Agama dan pejabat pemerintahan desa. Selain itu penulis juga melakukan observasi
langsung kelapangan untuk mendapatkan hasil yang maksimal.
Berdasarkan hasil analisis tentang makna yang terkandung dalam tradisi
kupatan di Desa Paciran Kabupaten Lamongan ada beberapa aspek diantaranya adalah
Aspek Spiritual, Aspek Sosial dan Aspek Ekonomi.
Kata Kunci: Makna, Tradisi Kupatan, Desa Paciran.
v
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kenikmatan iman,
islam, dan ihsan, serta kesehatan yang tidak terhingga akhirnya penulis dapat
menyelesaikan skripsi dengan judul “Makna Tradisi Kupatan Bagi Masyarakat Desa
Paciran Kabupaten Lamongan” Shalawat serta salam tidak lupa dihaturkan kepada
Nabi besar Muhammad SAW yang telah membawa manusia dari zaman kegelapan
sampai zaman terang benderang seperti ini, kelak semoga mendapatkan syafaat
darinya.
Penulis menyadari bahwa skripsi yang jauh dari kata sempurna ini tidak akan
dapat selesai tanpa adanya dukungan dari banyak pihak baik seacara materil maupun
moril. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terimakasih
kepada pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, terutama kepada
yang terhormat:
1. Prof. Dr. M. Ikhsan Tanggok, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang
memberikan arahan, motivasi, serta bimbingan kepada penulis sehingga dapat
menyelesaikan skripsi ini.
2. Dra. Marjuqoh, M.A selaku penasehat akademik yang memberikan arahan dan
persetujuan dalam penulisan skripsi ini.
3. Zaenal Muttaqin, MA yang telah banyak memberikan masukan masukan
sehingga sampai kepada judul yang ditetapkan dan diberlakukan.
4. Syaiful Azmi, M.A selaku Ketua Jurusan Studi Agama-agama dan Lisfa
Sentosa Aisyah, S.Ag., M.A selaku Sektretaris Jurusan Studi Agama-agama
vi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang selalu memberikan pelayanan kepada
mahasiswanya dengan baik.
5. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prof. Dr. Hj. Amani Lubis, MA atas
kesempatan belajar dan fasilitas yang diberikan pada Fakultas Ushuluddin.
Tidak lupa kepada Dr. Yusuf Rahman, MA selaku Dekan Fakultas Ushuluddin.
6. Seluruh dosen Fakultas Ushuluddin, para staff Akademik Fakultas Ushuluddin
khususnya Sahabat Jamil, serta para staff Perpustakaan Fakultas Ushuluddin
dan Perpustakaan Umum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
7. Ayahanda dan Ibunda tercinta Bapak Ali Usman dan Ibu Suhartining yang
telah memberikan kesempatan berjuang hingga akhir masa studi dan tidak lupa
kepada adik tercinta M. Wildan Firdaus yang memberikan dukungan sampai
saat ini dan selamanya.
8. KH. Salim Azhar, serta masyarakat desa Paciran khususnya para informan yang
telah membantu dalam menyelesaikan penelitian skripsi ini.
9. Adik sekaligus kekasih terbaik Ghania Ahsani Rahmadhani yang selalu ada dan
mensupport hingga skripsi ini bisa terselesaikan.
10. Keluarga Besar Paramuda Travel terkhusus H. Abdullah Mas’ud, Hj Margaret
Aliyatul Maimunah sebagai orang tua kedua selama di Jakarta yang selalu
mensupport hingga skripsi ini bisa terselesaikan, tak lupa untuk Hazimatul
layyinah, Whasfi Vella Sulfa.
11. Karyawan Paramuda dan Paramudaris, Yugotri Prasetyo, Erlangga, Oki Radita,
Amelia Rossa, Zizi Mubaroq, M. Zaky Mubarok, Majius Sulthoni sebagai
teman seperjuangan dalam meniti karir selama ini.
vii
12. Senior serta Mbak terbaik Zaimah Imamatul Baroroh yang telah membimbing
dan mensupport hingga bisa menyelesaikan skripsi ini.
13. Keluarga Besar NU Kota Tangsel bapak Himam Muzahir, bapak Suhud Isnadi,
bapak Asmawi yang selalu memberikan semangat untuk segera menyelesaikan
skripsi ini.
14. Keluarga Besar Wasiat Jakarta sebagai tempat pijakan pertama ketika sampai
di Jakarta.
15. Teman-teman seperjuangan Prodi Studi Agama-agama angkatan 2012,
Khususnya Hidayatulloh, Ahmad Fauzi, Jarkasih, Elvita Fatchiyatus Sa’adah
16. Teman-teman KKN Galeri yang telah memberikan warna baru dalam
kehidupan.
Tiada kata yang dapat melukiskan rasa syukur dan terima kasih atas semua yang
membantu kelancaran proses penulisan skripsi ini, semoga Allah SWT membalas
kebaikan kalian semua.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan yang
masih perlu disempurnakan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritikan yang
sifatnya membangun dari semua pihak, demi peningkatan dari skripsi ini. Akhirnya
kepada Allah SWT penulis berserah diri, semoga karya tulis ini bermanfaat bagi semua,
terutama bagi penulis sendiri. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.
Jakarta, 26 Juli 2019
Penulis
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN ........................................................................................ i
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................................ ii
LEMBAR PENGESAHAN ....................................................................................... iii
ABSTRAK .................................................................................................................. iv
KATA PENGANTAR ................................................................................................. v
DAFTAR ISI ............................................................................................................. viii
BAB I : PENDAHULUAN.......................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah .................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................................. 7
C. Tujuan Penelitian ............................................................................................. 7
D. Manfaat Penelitian ............................................................................................ 8
E. Tinjauan Pustaka ............................................................................................... 8
F. Kerangka Teori................................................................................................ 10
G. Metodologi Penetitian ..................................................................................... 14
H. Sistematika Penulisan ..................................................................................... 17
BAB II : GAMBARAN UMUM DESA PACIRAN LAMONGAN ...................... 19
A. Sejarah Desa Paciran ....................................................................................... 19
B. Kondisi Geografis ........................................................................................... 20
1. Luas Wilayah ............................................................................................ 21
2. Kesuburan Tanah ...................................................................................... 23
3. Curah Hujan dan Tinggi Tempat............................................................... 23
4. Orbitasi ...................................................................................................... 24
C. Keadaan Sosial ................................................................................................ 24
1. Kependudukan........................................................................................... 24
2. Ketenagakerjaan ........................................................................................ 26
3. Pendidikan ................................................................................................. 27
4. Agama ....................................................................................................... 28
D. Keadaan Ekonomi ........................................................................................... 30
ix
BAB III : TRADISI KUPATAN DI DESA PACIRAN KABUPATEN
LAMONGAN ............................................................................................................ 32
A. Sejarah Munculnya Kupatan ........................................................................... 32
1. Pengertian Kupatan .................................................................................. 32
2. Sejarah Munculnya Tradisi Kupatan ......................................................... 35
B. Prosesi Pelaksanaan Kupatan ......................................................................... 40
BAB IV : ANALISA TENTANG MAKNA DAN TUJUAN TRADISI KUPATAN
MASYARAKAT DESA PACIRAN KABUPATEN LAMONGAN ..................... 47
A. Makna Tradisi Kupatan ................................................................................... 47
1. Aspek Spiritual .......................................................................................... 47
2. Aspek Sosial .............................................................................................. 51
3. Aspek Ekonomi ......................................................................................... 52
B. Tujuan Tradisi Kupatan Paciran...................................................................... 53
1. Sebagai Sarana Komunikasi dan Silaturrahmi .......................................... 53
2. Sebagai Sarana Sedekah ............................................................................ 55
3. Sebagai Sarana Memuliakan Tamu ........................................................... 57
4. Sebagai Sarana Melestarikan Tradisi Leluhur ......................................... 60
C. Pandangan Masyarakat tentang Kupatan Paciran ........................................... 62
1. Tokoh Agama ........................................................................................... 62
2. Pemerintah ................................................................................................ 62
3. Masyarakat ................................................................................................ 63
BAB V : PENUTUP .................................................................................................. 65
A. Kesimpulan ..................................................................................................... 65
B. Saran ................................................................................................................ 68
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................
LAMPIRAN-LAMPIRAN ...........................................................................................
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah negara kepulauan yang terdiri dari berbagai suku, bahasa, adat
istiadat dan agama, sehingga bangsa Indonesia adalah masyarakat yang majemuk.
Keragaman tersebut adalah salah satu struktur yang membentuk pola pikir masyarakat
Indonesia baik itu masyarakat yang baru tumbuh atau berkembang. Bagi masyarakat
yang baru tumbuh corak tersebut akan mewarnai pertumbuhan mereka untuk mencari
jati diri mereka dan menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain.
Mereka harus menyesuaikan diri dengan lingkungannya untuk tumbuh dan
mempertahankan diri. Dalam hidup bermasyarakat manusia akan selalu dihadapkan
pada kelompok masyarakat lain yang mempunyai masalah-masalah ataupun
kepentingan kelompok mereka. Dalam menghadapi persoalan ini manusia
membutuhkan sarana penunjang dalam perkembangan hidupnya untuk
mempertahankan eksistensinya. Dengan kata lain pastilah manusia membutuhkan
kekuatan yang berada di luar kuasanya baik itu didalam kehidupan sosial atau
spiritualnya. Dalam hal spiritual yaitu agama adalah bagian dari struktur sosial yang
mempunyai peranan penting dalam masyarakat.
Agama mempengaruhi sikap-sikap praktis manusia terhadap berbagai aktifitas
kehidupan sehari-hari manusia. Dalam salah satu teori sosiologi yakni teori fungsional
memandang agama terkait dengan aspek pengalaman yang mentransendenkan
2
2
sejumlah peristiwa eksistensi sehari-hari yakni melibatkan kepercayaan dan tanggapan
kepada sesuatu yang berada di luar jangkauan manusia. Oleh karena itu secara
sosiologis, agama menjadi penting dalam kehidupan manusia ketika pengetahuan dan
keahlian tidak berhasil memberikan sarana untuk melakukan adaptasi atau mekanisme
yang dibutuhkan.1
Adat atau tradisi biasanya diartikan sebagai suatu ketentuan yang berlaku dalam
masyarakat tertentu, dan menjelaskan satu keseluruhan cara hidup dalam
bermasyarakat.2 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, tradisi mempunyai dua arti:
Pertama, adat kebiasaan turun temurun yang masih dijalankan masyarakat. Kedua,
penilaian atau anggapan bahwa cara-cara yang telah ada merupakan cara yang paling
baik dan benar.3 Dengan demikian, tradisi merupakan istilah generik untuk menunjuk
segala sesuatu yang hadir menyertai kekinian.4
Tradisi adalah kebiasaan yang turun temurun dalam suatu masyarakat. Tradisi
merupakan mekanisme yang dapat membantu untuk memperlancar perkembangan
pribadi anggota masyarakat, misalnya dalam membimbing anak menuju kedewasaan.
Tradisi juga penting sebagai pembimbing pergaulan bersama di dalam masyarakat.
W.S. Rendra menekankan pentingnya tradisi dengan mengatakan bahwa tanpa tradisi,
pergaulan bersama akan menjadi kacau, dan hidup manusia akan menjadi biadab.
1 Thomas F.O’Dea, Sosiologi Agama Suatu Pengantar Awal (Jakarta: PT raja Grafindo
Persada, 1995), h. 25. 2 Husni Thamrin, Orang Melayu : Agama, Kekerabatan, Prilaku Ekonomi (Lpm : Uin
Suska Riau, 2009), h. 1. 3 Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta
: Balai Pustaka 1998), h. 589. 4 Rumadi,Post-Tradisionalisme Islam, Wacana Intelektualisme Dalam Komunitas NU,
(Jakarta : Depag RI 2007), h. 9.
3
3
Namun demikian, jika tradisi mulai bersifat absolut, nilainya sebagai pembimbing akan
merosot. Jika tradisi mulai absolut bukan lagi sebagai pembimbing, melainkan
merupakan penghalang kemajuan. Oleh karena itu, tradisi yang kita terima perlu kita
renungkan kembali dan kita sesuaikan dengan zamannya.5
Tradisi (Bahasa Latin: traditio, "diteruskan") atau kebiasaan, dalam pengertian
yang paling sederhana adalah sesuatu yang telah dilakukan untuk sejak lama dan
menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya dari suatu
negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang sama. Hal yang paling mendasar dari
tradisi adalah adanya informasi yang diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis
maupun (sering kali) lisan, karena tanpa adanya ini, suatu tradisi dapat punah.
Secara terminologi perkataan tradisi mengandung suatu pengertian
tersembunyi tentang adanya kaitan antara manusia masa lalu dan masa kini. Ia
menunjuk kepada sesuatu yang diwariskan oleh masa lalu tetapi masih berwujud dan
berfungsi pada masa sekarang. Tradisi memperlihatkan bagaimana anggota masyarakat
bertingkah laku, baik dalam kehidupan yang bersifat duniawi maupun terhadap hal-hal
yang bersifat ghaib atau keagamaan.
Di dalam tradisi diatur bagaimana manusia berhubungan dengan manusia yang
lain atau satu kelompok manusia dengan kelompok manusia yang lain, bagaimana
manusia bertindak terhadap lingkungannya, dan bagaimana perilaku manusia terhadap
alam yang lain. Ia berkembang menjadi satu sistem, memiliki pola dan norma yang
5 Mardimin Johanes, Jangan Tangisi Tradisi (Yogyakarta: Kanisius, 1994), h. 12-13.
4
4
sekaligus juga mengatur penggunaan saksi dan ancaman terhadap pelanggaran dan
penyimpangan.
Pada era modern ini, masih banyak tradisi yang tetap dipertahankan secara
turun temurun dari nenek moyang hingga ke anak cucu pada suatu masyarakat.
Demikian juga yang terjadi di desa Paciran kecamatan Paciran kabupaten Lamongan.
Di antara tradisi yang masih dilaksanakan oleh masyarakat desa Paciran adalah Tradisi
Kupatan
Kupatan sendiri adalah tradisi keagamaan yang berhubungan dengan hari besar
Islam. Tradisi kupatan merupakan salah satu bentuk warisan budaya leluhur yang
sampai sekarang masih dilestarikan oleh masyarakat desa Paciran kabupaten
Lamongan, Jawa Timur. Tradisi tersebut merupakan kegiatan sosial yang melibatkan
seluruh masyarakat dalam usaha bersama untuk memperoleh keselamatan, dan
ketentraman bersama. Tradisi Kupatan di kabupaten lamongan khusunya di daerah
pesisir pantai utara di laksanakan dua kali dalam setahun. Kupatan yang pertama
dilaksanakan menjelang Ramadhan atau tepat nya dua minggu menjelang Ramadhan
tradisi ini disebut Megengan. Kupatan kedua dilaksanakan tujuh hari setelah hari raya
idul fitri, tepatnya pada tanggal 8 Syawal. Tradisi ini disebut kupatan6
Masyarakat desa Paciran terdiri dari beberapa organisasi masyarakat diantara
nya Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Front Pembela Islam (FPI), dari ketiga
ormas islam tersebut hanya dari kalangan Nahdlatul Ulama yang secara aktif
melaksanakan tradisi kupatan tersebut.
6 Wawancara dengan Abdul Hakim, Masyarakat Desa Paciran, 22 Maret 2019
5
5
Masyarakat Paciran memaknai kupatan sebagai bagian dari melestarikan
budaya yang sudah di bawa oleh sunan Drajat dan sunan Sendang bukan hanya itu saja,
tetapi berkat kegigihan beliau berdua Islam tersebar di pesisir pantai utara. Ada banyak
cara yang dilakukan oleh masyarakat Paciran untuk merayakan kupatan diantaranya
adalah membuat ketupat dan berbondong-bondong membawanya ketempat ibadah
seperti mushola dan masjid untuk di panjatkan doa oleh sesepuh desa kemudian saling
bertukar ketupat, sebisa mungkin pulang dari masjid atau mushola tidak membawa
ketupat yang sama ketika dibawa dari rumah. Siang harinya suasana kupatan semakin
menarik dengan adanya peserta arak-arakan yang mengenakan pakaian adat Jawa
dengan lakon sebagai sunan Sendang dan sunan Drajat dengan iringan musik
tradisional. Arak-arakan ketupat ini sendiri dimulai dari Terminal Angkutan Sungai
dan Pelabuhan (ASDP) melewati Goa Maharani dan berakhir di Tanjung Kodok yang
berada di dalam Wisata Bahari Lamongan.7 Arak-arakan ketupat ini merupakan tradisi
sejarah peninggalan Sunan Sendang Duwur yang merupakan murid Sunan Drajat, saat
itu Sunan Sendang Duwur memberi jamuhan kepada santri-santrinya berupa kupat dan
lepet saat silaturahmi pada saat setelah lebaran. Darisitulah tercetus tradisi kupatan
yang hingga sekarang masih terus terpelihara.
Ketupat adalah makanan khas dari bahan baku beras, dibungkus dengan
selongsong dari janur/daun kelapa yang dianyam berbentuk segi empat (diagonal),
kemudian direbus. Dalam filosofi jawa ketupat memiliki makna khusus. Ketupat atau
7 Wawancara dengan Munaji, Masyarakat Desa Paciran, 22 April 2019
6
6
kupat merupakan kependekan dari ngaku lepat dan laku papat. Ngaku lepat artinya
mengakui kesalahan. Laku papat artinya empat tindakan.
Di samping ketupat makanan lain yang ikut disajikan adalah lepet, lepet
mempunyai arti silep kang rapet. Mari kita kubur/tutup yang rapat. Jadi setelah
mengaku lepat, meminta maaf, menutup kesalahan yang sudah dimaafkan, jangan
diulang lagi, agar persaudaraan semakin erat seperti lengketnya ketan dalam lepet.
Menurut Clifford Geertz, kupatan adalah tradisi selametan kecil yang
dilaksanakan pada hari ketujuh bulan syawal. Hanya mereka yang memiliki anak kecil
dan telah meninggal saja, yang dianjurkan untuk mengadakan selametan ini. Hal ini
tentu mencakup hampir semua orang yang telah berkeluarga di Jawa, walaupun
kenyataannya selametan ini tidak sering diadakan.8 Clifford Geertz membagi Islam
Jawa dalam 2 varian yakni abangan, dan santri. Menurut dia selametan adalah tradisi
yang dilaksanakan oleh varian abangan, salah satu tradisi slametan yang dilaksanakan
oleh abangan adalah kupatan.
Budaya merupakan hasil teologis yang kemudian menjadi kebiasaan individu
dan secara alami menjadi kebiasaan masyarakat, atau budaya merupakan kebiasaan-
kebiasaan positif dan negatif di dalam suatu masyarakat yang kemudian menjadi
budaya.9
Berdasarkan penjelasan di atas maka peneliti mengunakan teori fenomenologi
dan antropologi untuk meneliti secara mendalam tentang makna dan tujuan tradisi
8 Clifford Geertz, Agama Jawa, Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa (Terj), ed.
Aswab Mahasin dan Bur Rasuanto (Jakarta, 2013), h. 105. 9 Nurcholish Madjid, Nilai-nilai Dasar Perjuangan (Jakarta: PB. HMI, 2016), h. 2.
7
7
kupatan yang terdapat pada desa Paciran tersebut. Peneliti ingin meneliti tradisi
kupatan di desa Paciran karena memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan
tradisi kupatan pada umumnya. Keunikan tradisi kupatan desa Paciran adalah dengan
adanya perayaan arak-arakan yang menyuguhkan beberapa kesenian khas kabupaten
lamongan seperti Jaran Jenggo, Musik Tongklek, Jidor dipadukan dengan fragmen
kolosal yang menceritakan sejarah nama desa Paciran dan sejarah tradisi kupatan yang
diperankan oleh remaja-remaja desa Paciran.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas fokus penulis adalah tentang makna
yang terkandung dalam tradisi kupatan desa Paciran maka dapat dihasilkan rumusan
masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana makna dan tujuan yang terkandung dalam tradisi kupatan?
2. Seperti apakah tatacara dan praktik perayaan tradisi kupatan?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Memenuhi persyaratan akhir memperoleh gelar Sarjana Strata Satu
Theologi Islam pada Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Mengetahui Makna dan Tujuan yang terkandung dalam tradisi Kupatan
3. Mengetahui tatacara dan praktik perayaan tradisi Kupatan.
8
8
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi semua kalangan baik penulis
sendiri maupun pembaca. Sehingga manfaat yang dapat diambil dari penelitian sebagai
berikut.
a. Manfaat Teoretis
Secara teoretis, hasil penelitian ini dapat memberikan tambahan ilmu,
memperluas pengetahuan, memberikan referensi lanjutan, khususnya dibidang studi
agama-agama.
b. Manfaat Praktis
Secara praktis, hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk
mengembalikan Islam kejalan yang benar.
E. Tinjauan Pustaka
Dalam melakukan penelitian, penulis mencari informasi tentang judul terkait.
Untuk itu maka perlu dikemukakan tulisan yang terkait dengan judul penelitian yang
akan dilaksanakan. Tulisan yang serupa dengan judul penelitian tersebut diantaranya
adalah:
Tradisi Bulan Ramadhan dan Kearifan Budaya Lokal Komunitas Jawa di Desa
Tanah Datar Kecamatan Rangat Barat Kabupaten Indragiri Hulu10 ditulis oleh
Yuhana membahas tentang beberapa macam tradisi kearifan lokal jawa, salah satunya
yaitu kupatan. Menurut Peneliti penelitian ini bersifat deskriptif sehingga hanya
10Yuhana, Tradisi Bulan Ramadhan dan Kearifan Budaya Lokal Komunitas Jawa di Desa
Tanah Datar Kecamatan Rangat Barat Kabupaten Indragirihulu, Jom FISIP, Vol. 3 No. 1 -
Februari 2016, 1
9
9
penjelasan inti dari tujuan msyarakat melaksanakan Kupatan untuk membangun sifat
saling tolong menolong dan gotong royong. Dalam penjelasannya sangat sedikit sekali
menjelaskan tentang tradisi kupatan karena fokus dari karya ini tidaklah hanya pada
tradisi kupatan, akan tetapi lebih tertuju kepada tradisi kearifan lokal lainnya.
Diantaranya adalah Punggahan, Selikuran, Pudunan, dan Riyoyo.
Literatur yang kedua adalah Kearifan Lokal Dalam Menjaga Lingkungan
Hidup (Studi Kasus Masyarakat Di Desa Colo Kecamatan Dawe Kabupaten Kudus11)
di tulis oleh Hendro Ari Wibowo, Wasino, dan Dewi Lisnoor Setyowati. Penelitian ini
membahas tentang beberapa tradisi kearifan lokal salah satunya tradisi kupatan. Dalam
penjelasannya tradisi kupatan adalah tradisi yang mengarah kepada sebuah peringatan
ibadah yang berhubungan dengan masyarakat. Dalam masyarakat desa Colo tardisi ini
biasa disebut dengan tradisi seribu kupat. Terdapat dimensi nilai lokal dalam kupatan,
dimana nilai lokal untuk mengatur kehidupan bersama antar warga masyarakat. Maka
setiap masyarakat memiliki aturan atau nilai-nilai lokal yang ditaati dan disepakati
bersama. Dimensi solidaritas kelompok lokal dari kupatan adalah suatu masyarakat
umumnya dipersatukan oleh ikatan komunal untuk membentuk komunitas lokal. Setiap
masyarakat mempunyai media-media untuk mengikat warganya misalnya dilakukan
melalui ritual keagamaan atau acara dan upacara adat lainnya. Masing- masing anggota
masyarakat saling memberi dan menerima sesuai dengan bidang dan fungsinya
masing-masing.
11 Hendro Ari Wibowo, Wasino & Dewi Lisnoor Setyowati, Kearifan Lokal Dalam Menjaga
Lingkungan Hidup (Studi Kasus Masyarakat Di Desa Colo Kecamatan Dawe Kabupaten Kudus)
Journal of Educational Social Studiesh JESS 1 (1) – 2012, 1.
10
10
Peranan Kupatan di Desa Colo lebih ke pesta desa yang cenderung
melestarikan budaya mereka. Dengan masyarakat desa Colo melestarikan tradisi
kupatan mereka mampu menjaga dan mengembangkan hasil hutan dan hasil bumi,
sehingga tradisi menjaga lingkungan hidup di kawasan Muria dapat terwujud.
Sedangkan tradisi Kupatan di Desa Colo mengarah kepada sebuah peringatan ibadah
yang berhubungan dengan masyarakat. Namun dalam hal ini, kupatan di Desa Colo
sudah di kemas sedemikian rupa menjadi Parade Sewu Kupat. Dalam peneletian yang
di bahas ini tentunya sangatlah berbeda dengan penelitian yang akan peneliti bahas
nantinya, yang akan peneliti bahas adalah fokus dengan satu tradisi yakni kupatan yang
menggali lebih dalam terkait tentang makna tradisi kupatan tersebut.
F. Kerangka Teori
Dalam fokus penelitian ini peneliti menggunakan teori fenomenologi karena
sangat relevan dengan tema yang akan peneliti teliti. Fenomenologi berasal dari bahasa
Yunani, Phainoai, yang berarti ‘menampak’ dan phainomenon merujuk pada ‘yang
menampak’. Istilah ini diperkenalkan oleh Johann Heirinckh. Istilah fenomenologi
apabila dilihat lebih lanjut berasal dari dua kata yakni; phenomenon yang berarti realitas
yang tampak, dan logos yang berarti ilmu. Maka fenomenologi dapat diartikan sebagai
ilmu yang berorientasi unutk mendapatan penjelasan dari realitas yang tampak. Lebih
lanjut, Kuswarno menyebutkan bahwa Fenomenologi berusaha mencari pemahaman
bagaimana manusia mengkonstruksi makna dan konsep penting dalam kerangka
intersubyektivitas (pemahaman mengenai dunia dibentuk oleh hubungan kita dengan
11
11
orang lain).12 Alfred Schutz merupakan orang pertama yang mencoba menjelaskan
bagaimana fenomenologi dapat diterapkan untuk mengembangkan wawasan ke dalam
dunia sosial. Schutz memusatkan perhatian pada cara orang memahami kesadaran orang
lain, akan tetapi ia hidup dalam aliran kesadaran diri sendiri. Perspektif yang digunakan
oleh schutz untuk memahami kesadaran itu dengan konsep intersubyektif. Yang
dimaksud dengan dunia intersubyektif ini adalah kehdupan-dunia (life-world) atau dunia
kehidupan sehari-hari.13
Dunia kehidupan sehari-hari ini membawa Schutz mempertanyakan sifat
realitas sosial para sosiolog dan siswa yang hanya peduli dengan diri mereka sendiri.
Dia mencari jawaban dalam kesadaran manusia dan pikirannya. Baginya, tidak ada
seorang pun yang membangun realitas dari pengalaman intersubjective yang mereka
lalui. Kemudian, Schutz bertanya lebih lanjut, apakah dunia sosial berarti untuk
setiap orang sebagai aktor atau bahkan berarti baginya sebagai seorang yang
mengamati tindakan orang lain?. Apa arti dunia sosial untuk aktor/subjek yang
diamati, dan apa yang dia maksud dengan tindakannya di dalamnya?. Pendekatan
semacam ini memiliki implikasi, tidak hanya untuk orang yang dipelajari, tetapi juga
untuk diri kita sendiri yang mempelajari orang lain.14 Instrument yang dijadikan alat
penyelidikan oleh Schutz adalah memeriksa kehidupan bathiniyah individu yang
12 Engkus Kuswarno, Fenomenologi; fenomena pengemis kota bandung. (Bandung: Widya
Padjadjaran, 2009), 2. 13 George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, terj Alimandan, (Jakarta:
Kencana, 2007), h. 94 14 Ajiboye, Emmanuel Olanrewaju, Social Phenomenologi of Alfred Schutz and the
Development of African Sociology, (British Journal of Arts and Social Sciences, Vol.4. No.1 2012).
12
12
direfleksikan dalam perilaku sehari-harinya.15
Schutz meletakkan manusia dalam pengalaman subjektif dalam bertindak dan
mengambil sikap dalam kehidupan sehari-hari. Dunia tersebut adalah kegiatan praktis.
Manusia mempunyai kemampuan untuk menentukan akan melakukan apapun yang
berkaitan dengan dirinya atau orang lain. Apabila ingin menganalisis unsur-unsur
kesadaran yang terarah menuju serentetan tujuan yang bertkaitan dengan proyeksi
dirinya. Jadi kehidupan sehari-hari manusia bisa dikatakan seperti proyek yang
dikerjakan oleh dirinya sendiri. Karena setiap manusia memiliki keinginan-keinginan
tertentu yang itu mereka berusaha mengejar demi tercapainya orientasi yang telah
diputuskan.16
Lebih lanjut, Schutz menyebutnya dengan konsep motif, yang oleh Schutz
dibedakan menjadi dua pemakmanaan dalam konsep motif. Pertama, In Order to
Motive, kedua, motif Because of Motive. In Order to Motive ini motif yang dijadikan
pijakan oleh sesorang untuk melakukan sesuatu yang bertujuan mencapai hasil,
sedangkan Because of Motive merupakan motif yang melihat kebelakang. Secara
sederhana bisa dikatakan pengidentifikasian masa lalu sekaligus menganalisisnya,
sampai seberapa memberikan kontribusi dalam tindakan selanjutnya.17
Teori selanjutnya adalah teori Antropologi, Antropologi sendiri secara harfiah
berasal dari bahasa Yunani, dari kata anhtropos yang berarti manusia dan logos yang
15 Tom Campbell, Tujuh Teori Sosial, Sketsa, Penilaian, dan Perbandingan, (Yogyakarta:
Kanisius, 1994), h. 233. 16 Tom Campbell, Tujuh Teori Sosial, Sketsa, Penilaian, dan Perbandingan, (Yogyakarta:
Kanisius, 1994), h. 235-237. 17 Tom Campbell, Tujuh Teori Sosial, Sketsa, Penilaian, dan Perbandingan, (Yogyakarta:
Kanisius, 1994), h. 270.
13
13
berarti ilmu. Antropologi adalah ilmu yang membahas tentang manusia.18
Antropologi berusaha untuk mengkaji sitem-sistem yang berkaitan dengan kehidupan
manusia, masyarakat, serta budayanya. Mengkaji agama dengan menggunakan
pendekatan antropologi membuahkan ilmu yang dikenal dengan istilah antropologi
agama.
Kajian agama melalui tinjauan antropologi dapat diartikan sebagai salah satu
upaya untuk memahami agama dengan melihat wujud praktik keagamaan
(tindakan/perilaku) yang tumbuh dan berkembang di masyarakat. Kajian ini
diperlukan sebab elemen-elemen agama bisa dijelaskan dengan tuntas melalui
pendekatan antropologi dan juga ilmu sosial lainnya. Artinya, dalam memahami
ajaran agama manusia dapat dijelaskan melalui bantuan ilmu antropologi, dengan
menggunakan (bantuan) teori-teori di dalamnya. Hal ini bertujuan untuk
mendeskripsikan bahwa agama mempunyai fungsi, melalui simbol-simbol atau
nilainilai yang dikandungnya dan “hadir di mana-mana”. Oleh karenanya, agama ikut
mempengaruhi, bahkan membentuk stuktur sosial, budaya, ekonomi, politik dan
kebijakan umum. Dengan pendekatan ini kajian studi agama dapat dikaji secara
komprehensif melalui pemahaman atas makna terdalam dalam kehidupan beragama di
18 Koentjaraningrat menyebutkan Antropologi atau “Ilmu tentang manusia” sebagai suatu
istilah yang pada awalnya mempunyai makna yang lain, yaitu “ilmu tentang ciri-ciri tubuh manusia”.
Dalam fase ke tiga perkembangan antropologi, istilah ini terutama mulai dipakai di Inggris dan Amerika
dengan arti yang sama seperti etnology pada awalnya. Di Inggris, istilah antropologi kemudian malahan
mendesak istilah etnology, sementara di Amerika, antropologi mendapat pengertian yang sangat luas
karena meliputi bagian-bagian fisik maupun sosial dari “ilmu tentang manusia” Di Eropa Barat dan
Eropa Tengah istilah antropologi hanya diartikan sebagai “ilmu tentang manusia dipandang dari ciri-ciri
fisiknya”, Untuk lebih jelasnya Lihat Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi. (Jakarta ; Rineka Cipta.
1996), h. 18.
14
14
masyarakat. Kemudian dapat terlihat bahwa ada korelasi antara agama dengan berbagai
elemen kehidupan manusia/masyarakat. Meski demikian, tulisan ini hanya memberi
gambaran pentingnya kajian studi agama dari sudut pandang antropologi. Teori inilah
yang akan penulis gunakan sebagai teori analisis untuk mengungkap makna dan esensi
terhadap fenomena tradisi kupatan Paciran Lamongan.
G. Metodologi Penelitian
1. Jenis penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan atau studi kasus dengan tema
Tradisi Keagamaan.
2. Jenis Data
Untuk melakukan penelitian tersebut maka penulis mengumpulkan data primer
dan sekunder yang sesuai dengan tema penelitian.
3. Sumber Data
Berdasarkan jenis data yang ditentukan sebelumnya maka dalam penelitian ini
sumber data berasal dari sumber primer dan sekunder. Sumber Primer artinya data yang
didapat dari sumber pertama, seperti wawancara kepada seseorang atau pengamat
peneliti langsung pada obyek penelitian. Sumber sekunder artinya data yang diperoleh
dari hasil penelitian orang lain yang sudah diolah menjadi data, buku, koran, majalah
dan lain-lain, atau juga pandangan, komentar orang di luar lokasi penelitian tentang
kondisi masyarakat di Desa Paciran Lamongan.
4. Tehnik Pengumpulan Data
15
15
Dalam penelitian ini ada beberapa tehnik yang akan digunakan untuk
mengumpulkan data, diataranya yaitu:
a. Tehnik Wawancara
Wawancara merupakan proses interaksi atau komunikasi secara langsung
antara pewawancara atau peneliti dengan responden. Peneliti melakukan wawancara
dengan responden ditempat penelitian yakni Desa Paciran Kabupaten Lamongan.
Dengan tehnik wawancara ini peneliti akan memperoleh data yang bersifat fakta.
Peneliti melakukan wawancara terhadap warga Desa Paciran diantaranya
beberapa perangkat desa, Pemuka agama, dan masyarakat umum yang sudah dianggap
mewakili pemikiran Masyarakt desa Paciran.
b. Tehnik Observasi
Observasi merupakan salah satu tehnik pengumpulan data yang menggunakan
pertolongan indra mata. Tehnik ini bertujuan untuk lebih mendalami situasi sosial
sebagaimana yang diperoleh lewat wawancara, mengukur kebenaran jawaban pada
wawancara dan untuk memperoleh data yang tidak bisa didapatkan dengan wawancara
atau yang lainnya.
c. Tehnik Dokumentasi
Teknik dokumentasi diakukan dengan cara mengumpulkan dokumen-dokumen
yang bisa memberikan informasi tentang judul terkait. Teknik dokumen mencakup
buku, laporan, surat-surat antar kelompok, foto dan lain sebagainya.
16
16
5. Langkah-langkah pengumpulan data
Untuk mendapatkan data yang diperlukan, penulis mengambil langkah-langkah
sebagai berikut:
a. Tempat penelitian
Lokasi penelitan ini di desa Paciran Kecamatan Paciran Kab. Lamongan.
Paciran adalah sebuah desa yang terletak di Kabupaten Lamongan bagian Pesisir pantai
utara tepatnya Kecamatan Paciran. Lokasi ini dipilih sebagai tempat penelitian dengan
pertimbangan peduduknya melaksanakan tradisi kupatan.
b. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan Bulan April – Juni 2019.
6. Pendekatan
Ada beberapa Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini, pendekatan-
pendekatan tersebut adalah sbagai berikut:
a. Pendekatan Fenomenologi
Dengan pendekatan ini peneliti dapat mengetahui fenomena-fenomena
keagamaan serta realitas-realitas yang terjadi di masyarakat.
b. Pendekatan Sosiologis
Dengan pndekatan ini peneliti bisa mengetahui hubungan sosial
kemasyarakatan antar pemeluk agama. Bagaimana mereka saling mempengaruhi
dalam hidup bermasyarakat. Dan untuk mengetahui proses sosial yang terjadi di
kalangan umat yang berbeda beragama baik di dalam acara internal kelompok maupun
antar kelompok.
17
17
c. Pendekatan Historis
Selain dua pendekatan di atas, dalam penelitian ini juga digunakan pendekatan
historis unuk mengetahui alur sejarah dan lain-lain sebagai pelengkap data penelitian.
7. Teknik analisa data
Berdasarkan jenis data yang dikumpulkan maka teknik analisa data yang akan
digunakan oleh penulis adalah analisis kualitatif.19 Penulis akan berusaha
menggabungkan data-data serta menafsirkan data untuk menjelaskan pola kerukunan
umat beragama di lokasi penelitian.
H. Sistematika Penulisan
Secara garis besar penulisan pembahasan dalam skripsi ini terdiri dari lima
bab, dengan uraian sebagai berikut:
BAB I: PENDAHULUAN
Bab ini merupakan pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, signifikasi penelitian, tinjauan pustaka,
kerangka teoritik, metodolgi penelitian dan diakhiri dengan sistematika penulisan.
BAB II: GAMBARAN UMUM TENTANG OBJEK PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan, maka pada bab ini peneliti
haruslah menguasai dahulu tentang kondisi lapangan wilayah desa tersebut,
yang nantinya memuat letak geografis, keadaan demografis, yang meliputi
keadaan penduduk, keadaan pendidikan, keadaan ekonomi, keadaan sosial, dan
keadaan keagamaan masyarakat.
19 Koentjoroningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, cet 8 (Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 1994) h. 269
18
18
BAB III PENGERTIAN, SEJARAH, DAN PELAKSANAAN KUPATAN
DESA PACIRAN
Sebelum menuju ke pembahasan lebih dalam tentunya perlu menggali data
sebanyak-banyaknya yang berkaitan dengan tradisi kupatan masyarakat Paciran,
bab ini membahas apa itu kupatan, bagaimana bentuk pelaksanaan tradisi kupatan
masyarakat desa Paciran dan siapa para pelaksananya, serta keunikan-keunikan
pada tradisi tersebut yang kemudian dilanjutkan dengan menggunakan metode
observasi kemudian metode wawancara terhadap tokoh setempat yang
berpengaruh sebagai pondasi utama, serta diikuti dengan metode dokumentasi
untuk mengkaitkan data-data yang sudah ada dengan data yang lainnya
BAB IV ANALISA TENTANG MAKNA DAN TUJUAN TRADISI
KUPATAN BAGI MASYARAKAT DESA PACIRAN KABUPATEN
LAMONGAN
Dalam bab ini merupakan isi pembahasan penelitian dimana bahan- bahan
yang sudah terkumpul pada bab sebelumnya untuk dianalisis lebih mendalam.
Diantaranya membahas tentang makna dan tujuan pelaksanaan tradisi kupatan
serta pemaknaan menurut masyarakat yang melaksanakannya. Dengan
menggunakan teori fenomenologi yang di tawarkan oleh Alfred Schutz.
BAB V PENUTUP
Bab ini adalah penutup yang berisi kesimpulan, saran-saran dan kata
penutup.
19
BAB II
GAMBARAN UMUM DESA PACIRAN KABUPATEN LAMONGAN
A. Sejarah Desa Paciran
Desa Paciran adalah salah satu desa pesisir yang terletak di kecamatan
Paciran kabupaten Lamongan. Di desa tersebut terdapat tiga dusun yaitu dusun
Penanjan, dusun Jetak, dan dusun Paciran. Kehidupan masyarakat desa Paciran
tidak bisa dipisahkan dengan letak keberadaan desanya yang bersebelahan langsung
dengan laut Jawa. Letaknya yang langsung berhadapan dengan laut membuat
sebagian besar masyarakat Paciran memilih bekerja sebagai nelayan, khususnya
penduduk dusun Jetak dan dusun Paciran. Jiwa pelaut sudah tertanam dan sangat
melekat dalam diri masyarakat setempat sehingga jumlah nelayan tidak pernah
berkurang walaupun sektor pariwisata dan sektor industri sudah mulai masuk di
desa Paciran.
Sebagai masyarakat yang tinggal di daerah pesisir, penduduk setempat
mempunyai karakteristik sosial tersendiri yang berbeda dengan masyarakat yang
tinggal di wilayah daratan. di beberapa kawasan pesisir yang relatif berkembang
pesat, struktur masyarakatnya bersifat heterogen, memiliki etos kerja tinggi,
solidaritas sosial yang kuat, serta terbuka terhadap perubahan dan interaksi sosial.
Menurut kepala desa Paciran Bapak Khusnul Khuluq, sejarah desa Paciran
bermula dengan datangnya seorang ulama yang berasal dari keturunan timur
tengah, yakni Raden Noer Rahmat. Beliau termasuk salah satu penyebar agama
Islam di daerah Pantura (pantai utara). Dalam usahanya, dia berkeinginan
mendirikan tempat untuk pengajaran dan pendidikan serta penyebaran agama Islam
(pondok pesantren). Oleh karenanya, dia berkeinginan mendirikan tempat
20
pendidikan tersebut. Mula-mula, sebuah bangunan atau surau yang terletak di
daerah Demak Bintoro hendak di pindah ke sebuah tempat yang jauh untuk
dijadikan pusat pendidikan dan pengajaran, serta penyebaran agama Islam. Dengan
izin Allah, ulama tersebut mampu memindahkan bangunan tersebut ke tempat lain.
Tetapi sayangnya, dalam proses pemindahan surau tersebut tidak berjalan lancar,
karena salah satu pintu bangunan ada yang terjatuh, dan dalam bahasa Jawa jatuh
disebut dengan cicir. Maka dari kejadian cicir inilah, muncul kata Paciran yang
kemudian dijadikan sebagai nama desa tempat jatuhnya pintu tersebut.1
B. Kondisi Geografis
Desa Paciran merupakan desa yang sekaligus menjadi kecamatan di
kabupaten Lamongan, Kecamatan Paciran merupakan salah satu bagian Kabupaten
Lamongan yang terletak di bagian Utara (Pantura) dan letaknya yang sangat srategis
juga berhadapan dengan luasnya lautan. Paciran bisa dikatakan sentra pariwisata
dari Kabupaten Lamongan, karena di daerah ini terdapat banyak obyek pariwisata.
Potensi yang dimiliki oleh kecamatan Paciran dibidang pariwisata antara lain: desa
Drajat terdapat Makam Sunan Drajat, desa Sendangduwur terdapat Makam Sunan
Nur Rochmad, desa Paciran terdapat terdapat Pantai Tanjung Kodok yang sekarang
menjadi Wisata Bahari Lamongan (WBL) dan Goa Maharani yang sekarang sudah
berubah menjadi Maharani Zoo Lamongan (Mazola), serta pemandian air hangat
Brumbun di desa Kranji.2 Desa Paciran juga di lewati oleh jalan penghubung antara
Gresik-Tuban, dengan batas desa dan kecamatan yaitu :
- Sebelah utara : Laut Jawa
1 Wawancara dengan Khusnul Khuluq, Pemerintah desa Paciran, pada 12 Juni 2019 2 Profil Desa Paciran diakses pada 26 April 2019 dari
https://www.lamongankab.go.id/portal/58-uncategorised/245-Paciran
21
- Sebelah selatan : Desa Sumur Gayam
- Sebelah timur : Desa Tunggul
- Sebelah barat : Desa Kandang Semangkon
- Sebelah Selatan : Kecamatan Solokuro
- Sebelah Timur : Kecamatan Brondong
- Sebelah Barat : Kecamatan Paciran
- Sebelah Utara : -
Gambar Peta Desa Paciran
1. Luas Wilayah
Luas wilayah Desa Paciran 633,5 Ha, yang terdiri dari pemukiman,
pertanian sawah, ladang/tegalan, perkebunan, padang rumput/gembalaan, Hutan,
bangunan (perkantoran, pertokoan, sekolah, pasar, jalan, tempat olahraga, dan
tambak)3. Dengan rincian sebagai berikut :
No Nama Wilayah Luas Wilayah
Pemukiman 65 ha/m2
1 Pejabat Pemerintah N/a ha/m2
3 Profil Desa Paciran diakses pada 26 April 2019 dari
https://www.lamongankab.go.id/portal/58-uncategorised/245-Paciran
22
2 Real Estate N/a ha/m2
3 Pemukiman Umum 65 ha/m2
Pertanian Sawah 15 ha/m2
1 Sawah Irigasi N/a ha/m2
2 Sawah ½ Teknis N/a ha/m2
3 Sawah Tada Hujan 15 ha/m2
4 Sawah Pasang Surut N/a ha/m2
Ladang/Tegalan 298,6 ha/m2
Perkebunan N/a ha/m2
Padang Rumput/Gembalaan N/a ha/m2
1 Tanaman Ternak N/a ha/m2
Hutan N/a ha/m2
Untuk Bangunan 17,10 ha/m2
1 Perkantoran 0,5 ha/m2
2 Sekolah 17 ha/m2
3 Pertokoan 0,5 ha/m2
4 Pasar 1 ha/m2
23
5 Jalan 24,4 ha/m2
Rekreasi dan Olahraga 4 ha/m2
1 Lapangan Sepak Bola 2 ha/m2
2 Lapangan Bola Volley/Basket 2 ha/m2
Perikanan Darat/Air Tawar N/a ha/m
1 Tambak N/a ha/m
2 Kolam N/a ha/m
Rawa/Waduk N/a ha/m
Sumber : Profil Desa Paciran
2. Kesuburan Tanah
Desa Paciran memiliki tingkat kesuburan tanah dengan rincian sebagai
berikut:
a. Tanah subur : 12 Ha
b. Tanah tidak subur : 476,100 Ha
c. Tanah sangat subur : 0 Ha
d. Lahan Terlantar : 5 Ha
3. Curah Hujan dan Tinggi Tempat
Desa Paciran mempunyai curah hujan 0,15 mm dengan ketinggian dari
permukaan laut 3 m, topografi atau bentang lahan untuk dataran 312,5 ha,
Perbukitan/Pegunungan : 111,5 ha.
24
4. Orbitasi
a. Jarak ke ibu kota Kecamatan : 0,5 Km
b. Lama tempuh ke ibu kota Kecamatan : 1 Menit
c. Jarak ke Kabupaten : 45 Km
d. Lama tempuh ke Kabupaten : 90 Menit
C. Keadaan Sosial
1. Kependudukan
Desa Paciran memiliki 2.827 Kepala keluarga (KK). Jumlah penduduk desa
Paciran 14.817 jiwa. Ada beberapa kelompok keluarga sejahtera penduduk desa
Paciran4 (lihat tabel 1)
Tabel 1
Prosentase Bidang Kesejahteraan Penduduk Desa Paciran
No Kelompok Kesejahteraan Jumlah
(Kepala Keluarga)
Prosentase (%)
1 Prasejahtera 1742 46,1
2 Keluarga Sejahtera I 987 26
3 Keluarga Sejahtera II 578 15,2
4 Keluarga Sejahtera III 276 7,3
5 Keluarga Sejahtera III Plus 202 5,4
Sumber : Profil Desa Paciran
Jumlah Penduduk desa Paciran berdasarkan jenis kelamin. (lihar tabel 2)
4 Dokumen Profil Desa Paciran
25
Tabel 2
No Jenis Kelamin Jumlah Penduduk
1 Laki-laki 7038 orang
2 Perempuan 7779 orang
Sumber : Profil Desa Paciran
Dari jumlah penduduk tersebut, desa Paciran terbagi dalam tiga dusun yaitu
: (lihat tabel 3)
Tabel 3
Nama-Nama Dusun Yang Ada di Desa Paciran
No Nama Dusun Nama Desa Nama Kecamatan
1 Paciran Paciran Paciran
2 Penanjan Paciran Paciran
3 Jetak Paciran Paciran
Sumber : Profil Desa Paciran
Dari ketiga dusun tersebut, desa Paciran terdiri dari 11 rukun warga (RW)
dan 51 rukun tetangga (RT). Desa Paciran termasuk daerah yang padat
penduduknnya. Keadaan topografi yang mayoritas daratan sangat cocok di jadikan
lahan pertanian dan usaha tambak. Tidak hanya itu, desa Paciran terletak di kawasan
jalur pantai utara (pantura). Pantai yang ada di sepanjang kecamatan Paciran,
dimanfaatkan oleh masyarakat Paciran untuk mencari nafkah sebagai nelayan.
26
2. Ketenagakerjaan
Mata pencaharian di desa Paciran bermacam-macam, mulai dari berprofesi
sebagai petani, pedagang, pegawai, TNI, guru hingga dokter. Untuk mengetahui
mata pencaharian penduduk desa Paciran. (lihat tabel 4)
No Mata Pencaharian Jumlah Orang Prosentase (%)
1 Buruh Tani 4.688 25
2 Dokter/Bidan 12 2,3
3 Pedagang/Wiraswata/Pengusaha 271 6
4 Pengrajin 472 8
5 PNS 204 6
6 TNI/POLRI 21 2
7 Penjahit 19 1
8 Montir 7 0,4
9 Supir 67 4
10 Karyawan Swasta 592 11
11 Kontraktor 2 0,3
12 Tukang Kayu 482 8
13 Tukang Batu 592 11
27
14 Guru Swasta 998 15
Sumber : Profil Desa Paciran
3. Pendidikan
Pendidikan merupakan suatu proses di dalam menemukan perubahan, baik
dalam diri, maupun komunitas. Maka dari itu, pendidikan adalah merupakan
elemen yang sangat signifikan dalam menjalani kehidupan. Karena dari sepanjang
perjalanan manusia pendidikan merupakan barometer untuk mencapai nilai-nilai
kehidupan. Tingkat pendidikan desa Paciran dapat kita lihat di bawah ini. (lihat
tabel 5)
Tabel 5
Jumlah Tingkat pendidikan di Desa Paciran
No Keterangan Jumlah
1 Penduduk Usia 10 tahun ke atas yang buta
huruf
0 orang
2 Penduduk tidak tamat SD/sederajat 387 orang
3 Penduduk tamat SD/sederajat 4.362 orang
4 Penduduk tamat SLTP/sederajat 4.105 orang
5 Penduduk tamat SLTA/sederajat 2.907 orang
6 Penduduk tamat D1 93 orang
7 Penduduk tamat D2 85 orang
28
8 Penduduk tamat D3 68 orang
9 Penduduk tamat S1 817 orang
10 Penduduk tamat S2 36
11 Penduduk tamat S3 2
Sumber : Profil Desa Paciran
Dilihat dari pendidikan masyarakat desa Paciran memiliki pendidikan
ditingkat SD, SLTP, SLTA, dan perguruan tinggi. Sekolah dasar terletak di dusun
Paciran yaitu SDN 1 Paciran. Sedangkan sekolah menengah pertama (SMP) antara
lain SMP Karangasem dan SMP modern. Sekolah menengah atas (SMA) antara lain
SMA Muhammadiyah karangasem, SMA Mazroatul Ulum, MA modern, MA
Mazroatul ulum, MA Muhammadiyah Karangasem, SMK Muhammadiyah
karangasem. Sedangkan perguruan tinggi antara lain STIT/STIE Muhammadiyah
Paciran dan STAIM Paciran. Hal ini menandakan bahwa masyarakat desa Paciran
tidak lagi memiliki pemikiran yang primitif dan selalu berfikir untuk maju.
4. Agama
Dilihat dari aspek agama, masyarakat Paciran yang berjumlah 14817 orang
seluruhnya beragama Islam. Itu artinya 100% masyarakat Paciran menganut agama
Islam. Di Paciran terdapat Masjid, Musholla dan Taman Pendidikan Al Quran
(TPQ).
Daerah pesisir pantai utara pulau jawa yang merupakan sejarah panjang
dalam perkembangan agama Islam ditanah jawa ini dimana kawasan tersebut
sebagai salah satu basis para walisongo dalam mensyiarkan agama Islam pada
29
waktu itu sehingga dalam perkembangannya banyak bermunculan pondok
pesantren baru dan modern.
Pondok pesantren yang terdapat di kecamatan Paciran jumlahnya sangat
banyak tidak terkecuali di desa Paciran. Di kawasan Paciran sendiri terdapat lima
Pondok Pesantren (PONPES) antara lain:
1. Pondok Pesantren Karangasem
2. Pondok Pesantren Modern Muhammadiyah,
3. Pondok Pesantren Mazro’atul Ulum,
4. Pondok Pesantren Manarul Quran dan
5. Pondok Pesantren Al Ibrahimi.5
Pesantren merupakan tempat di mana anak-anak muda dan dewasa belajar
lebih mendalam dan lebih lanjut ilmu agama Islam yang diajarkan secara sistematis,
langsung dari dalam bahasa arab serta berdasarkan pembacaan kitab-kitab klasik
karangan ulama besar. Mereka yang berhasil dalam belajarnya, memang kemudian
diharapkan menjadi kyai, ulama, muballigh, setidaknya guru agama dan ilmu
agama.6
Pesantren memiliki karakteristik tersendiri yang khas yang hingga saat ini
menunjukkan kemampuannya yang cemerlang melewati berbagai episode zaman
dengan kemajemukan masalah yang dihadapinya. Bahkan dalam perjalanan
sejarahnya, Ia telah memberikan andil yang sangat besar dalam ikut serta
mencerdaskan kehidupan Bangsa dan memberikan pencerahan terhadap
masyarakat serta dapat menghasilkan komunitas intelektual.
5 Dokumen profil desa/kelurahan.
6 Dawam Rahardjo, Pesantren Dan Pembaharuan, (Jakarta : LP3ES, 1985), h. 2.
30
Dari jumlah penduduk yang seluruhnya beragama Islam, di desa Paciran
terdapat berbagai organisasi Islam seperti Muhammadiyah, Nahdhotul Ulama’
(NU), dan Fron Pembela Islam (FPI). Masyarakat Paciran sangat teguh dalam
memegang faham yang dianutnya namun tetap satu idiologi dan bertauhid. Walau
terdiri dari berbagai faham namun kerukunan tetap terjaga, sehingga banyak
pondok yang berdiri di desa Paciran di samping sekolah-sekolah yang bertaraf
tinggi.
Pembangunan pondok pesantren juga banyak didirikan karena keprihatinan
para tokoh agama terhadap nasib pendidikan dan perkembangan kehidupan
keagamaan.
D. Keadaan Ekonomi
Masyarakat desa Paciran memiliki banyak mata pencaharian. Selain
berprofesi sebagai petani dan nelayan, ada beberapa mata pencaharian yang lain
seperti disektor jasa atau perdagangan sebanyak 1.041 orang dan pekerja disektor
industri sebanyak 27 orang. Dari sekian banyak mata pencaharian tersebut, rata-rata
masyarakat Paciran bermata pencaharian sebagai petani dan peternak. Dalam
bidang pertanian untuk hasil tanaman dan luas lahan yang digunakan adalah sebagai
berikut : (lihat tabel 1)
Tabel 1
Sumber Daya Alam Bidang Pertanian
No Komoditi Luas Lahan
1 Kacang Tanah 117 ha
2 Jagung 210 ha
31
3 Ubi Kayu 70 ha
4 Mangga 20 ha
5 Sawo 0,5 ha
6 Pisang 3 ha
Sumber : Profil Desa Paciran
Dalam bidang Peternakan macam-macam hewan dan jumlah hewan yang
ada adalah sebagai berikut : (lihat tabel 2)
Tabel 2
Sumber Daya Alam Bidang Peternakan
No Hewan Jumlah
1 Kambing 1469 ekor
2 Domba 1276 ekor
3 Ayam Buras 4091 ekor
4 Ayam Ras 1800 ekor
Sumber : Profil Desa Paciran
32
BAB III
TRADISI KUPATAN DI DESA PACIRAN KABUPATEN LAMONGAN
A. Sejarah Munculnya Kupatan
1. Pengertian Tradisi Kupatan
Dalam tradisi Jawa, hari raya pasca Ramadlan atau biasa di sebut dengan
sebutan Bhada atau Riyaya itu ada dua macam. Bhada lebaran dan bhada kupat. Kata
Bhada di ambil dari bahasa Arab “ba’da” yang artinya sudah. Sedangkan riyaya
berasal dari bahasa Indonesia “ria” yang artinya riang gembira atau suka cita.
Selanjtnya kata lebaran berasal dari akar kata lebar yang berarti selesai. Maksud kata
lebar di sini adalah sudah selesainyanya pelaksanaan ibadah puasa dan memasuki bulan
Syawwal/Idul Fithri. Relevansinya, hari ini di sebut “riyaya” karena umat Islam merasa
bersuka cita sebagai ekspresi kegembiraan mereka lantaran menyandang predikat
kembali ke fitrah/asal kesucian.1
Adapun dalam bahasa Jawa, kupat berasal dari kata “papat” atau empat, dan
juga bentuknya yang “persegi empat”. Hal ini adalah simbol yang hendak mengarahkan
kepada esensi rukun ajaran agama Islam yang keempat, yaitu puasa bulan Ramadhan.
Kupat dalam bahasa Jawa juga konon merupakan kependekan dari kalimat ngaku lepat
yang berarti “mengakui kesalahan”. Karena itu, saling berbagi dan memberi kupat di
hari raya lebaran idul fitri dan lebaran ketupat adalah simbol atas pengakuan kesalahan
dan kekurangan diri masing-masing terhadap Allah, terhadap keluarga, dan juga
1 Diakses pada 11 Juni 2019 https://www.nu.or.id/post/read/39434/lebaran-ketupat-dan-tradisi-
masyarakat-jawa
33
terhadap sesama.2 Sedangkan Kupat merupakan bentuk jamak dari kafi, yaitu kuffat
yang berarti cukup, jelasnya cukup akan pengharapan hidup ini setelah berpuasa satu
bulan di bulan Ramadhan3
Menurut KH. Salim Azhar tokoh masyarakat desa Paciran mengatakan bahwa
kupat berasal dari bahasa arab Huffat, yang sesuai dengan hadis Nabi SAW.
حفت الجنة بالمكاره وحفت النار بالشهوات
“Surga itu diliputi perkara-perkara yang dibenci (oleh jiwa) dan neraka itu
diliputi perkara-perkara yang disukai syahwat.”(HR. Muslim)
Dengan mengambil kata huffat dari hadist tersebut, KH. Salim menjelaskan
lebih lanjut bahwa lebaran ketupan mempunyai nasehat filosofi yang sangat penting.
Yakni, dimana setelah melakukan puasa Ramadhan selama satu bulan penuh,
hendaknya tetap berhati-hati menjaga diri dari kesenangan nafsu yang menyesatkan
dan tetap istiqomah dalam menghiasi diri dengan sifat-sifat yang terpuji. 4
Ketupat adalah simbolisasi makna permohonan ampun dan maaf yang
berhubungan dengan hak-hak Allah (habl min Allâh) dan juga hak-hak manusia (habl
min al-nâs). Karena itulah, keberadaan kupat banyak dijumpai saat hari raya lebaran
yang merupakan hari raya kembali pensucian diri dan momen saling memaaf-maafkan
antar sesama. Ketupat seolah-olah manifestasi dari ungkapan do’a yang lazim
dipanjatkan saat hari raya Idul Fitri, yaitu “kullu ‘âm wa nahnu ilâ Allâh wa al-hasanât
aqrab. Taqabbalallâhu minnâ wa minkum” (semoga setiap tahun kita semakin dekat
2 Komaruddin Amin dan M. Arskal Salim GP, Ensiklopedi Islam Nusantara edisi budaya
(Jakarta:Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Kementrian Agama RI, 2018), h. 213. 3 Diakses pada 29 Agustus 2012 https://www.nu.or.id/post/read/39477/kupatan 4 Wawancara dengan KH Salim Azhar, Tokoh Masyarakat desa Paciran, 25 November 2018.
34
dengan Allah dan kebaikan-kebaikan. Semoga Allah memaafkan kita semua dan
menerima amal kita).
Kupat juga merupakan kependekan dari “laku papat” atau “empat tindakan”
yang merupakan etape stasiun spiritual” (al-maqâmât al-rûhiyyah al-arba’ah), yaitu :
a. Tindakan pertama adalah “lebaran”, yang berasal dari kata lebar (usai atau
selesai). Di sini, lebaran menandakan sudah usai dan berakhirnya waktu
menjalankan ibadah puasa selama sebulan penuh di bulan Ramadhan.
b. Tindakan kedua adalah “luberan”, yang berasal dari kata luber (meluap atau
melimpah). Dalam hal ini luberan diartikan sebagai ajakan untuk saling
berbagi limpahan rizki dengan berzakat dan bersedekah untuk kaum miskin
dan mereka yang berhak menerimanya.
c. Tindakan ketiga adalah “leburan”, yang berasal dari kata lebur (melebur atau
menghilangkan). Artinya mengakui kesalahan, memohon maaf dan memberi
maaf. Manusia dituntut untuk saling memaafkan antar satu sama lain. Dengan
demikian, dosa-dosa dan kesalahan pun menjadi lebur.
d. Adapun tindakan yang keempat adalah “laburan”, yang berasal dari kata labur,
atau kapur untuk memutihkan dinding rumah dan menjernihkan air. Dalam hal
ini, leburan memaksudkan agar manusia selalu menjaga kesucian lahir dan
batinnya.5
Dilihat dari sisi kuliner, ketupat merupakan makanan khas Indonesia yang
terbuat dari beras dan dibungkus dengan selongsong yang berbahan dari janur/daun
5 Komaruddin Amin dan M. Arskal Salim GP, Ensiklopedi Islam Nusantara edisi budaya
(Jakarta:Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Kementrian Agama RI, 2018), h. 213.
35
kelapa yang dianyam berbentuk segi empat (diagonal), kemudian direbus. Pada
umumnya kupat dihidangkan oleh umat muslim tepat di hari ke delapan lebaran Idul
Fitri yang biasa di sebut dengan “KUPATAN” atau “RIYAYA KUPAT”.6
Dibungkusnya ketupat dengan daun kelapa muda yang dianyam juga memiliki
nilai filosofi tersendiri. Dalam bahasa Jawa, daun kelapa muda pembungkus ketupat
dikenal juga dengan nama janur. Kata janur berasal dari bahasa Arab, yaitu jâ’a nûr,
yang atinya “telah datang seberkas cahaya terang”. Filosofi makna yang tersimpan di
balik janur sebagai bungkus kupat adalah bahwa manusia senantiasa mengharapkan
datangnya cahaya petunjuk dari Allah SWT. yang maha memberikan petunjuk dan
membimbing mereka pada jalan kebenaran yang diridhai oleh-Nya. Janur7 juga
merupakan sebuah simbolisasi atas harapan yang dipanjatkan umat Islam dan
manifestasi atas do’a yang termaktub dalam surat al-Fâtihah; “ihdinâ-s shirâth-al
mustaqîm. Shirât-alladzîn-a an’amta ‘alaihim ghair-il maghdhûbi ‘alaihim wa lâdh-
dhâllîn” (tunjukilah kami jalan yang lurus yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau
beri nikmat kepadanya, bukan jalan mereka yang dimurkai, dan bukan pula jalan
mereka yang sesat).8
2. Sejarah Munculnya Tradisi Kupatan
Tradisi adalah kebiasaan yang turun temurun dalam suatu masyarakat. Tradisi
juga merupakan mekanisme yang dapat membantu untuk memperlancar perkembangan
6 Wawancara dengan Munaji, Masyarakat desa Paciran, pada 22 April 2019. 7 Menurut kamus besar Bahasa Indonesia janur adalah daun kelapa muda yang berwarna
kuning. 8 Komaruddin Amin dan M. Arskal Salim GP, Ensiklopedi Islam Nusantara edisi budaya,h.
214.
36
pribadi anggota masyarakat, misalnya dalam membimbing anak menuju kedewasaan.
Tradisi juga penting sebagai pembimbing pergaulan bersama di dalam masyarakat.
W.S. Rendra menekankan pentingnya sebuah tradisi dengan mengatakan bahwa, tanpa
tradisi pergaulan bersama akan menjadi kacau, dan hidup manusia akan menjadi
biadab. Namun demikian, jika tradisi mulai bersifat absolut, nilainya sebagai
pembimbing akan merosot. Jika tradisi mulai absolut bukan lagi sebagai pembimbing,
melainkan merupakan penghalang kemajuan. Oleh karena itu, tradisi yang kita terima
perlu kita renungkan kembali dan kita sesuaikan dengan zamannya.9
Sedangkan tradisi menurut Bahasa Indonesia adalah adat kebiasaan turun-
temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan dalam masyarakat penilaian atau
anggapan bahwa cara-cara yang telah ada merupakan yang paling baik dan benar.10
Menurut Bahasa Latin, Tradisi disebut traditio yang bermakna diteruskan atau
kebiasaan, dalam pengertian yang paling sederhana adalah sesuatu yang telah
dilakukan untuk sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok
masyarakat, biasanya dari suatu negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang sama.
Hal yang paling mendasar dari tradisi adalah adanya informasi yang diteruskan dari
generasi ke generasi baik tertulis maupun (sering kali) lisan, karena tanpa adanya ini,
suatu tradisi dapat punah.
Secara terminologi perkataan tradisi mengandung suatu pengertian
tersembunyi tentang adanya kaitan antara manusia masa lalu dan masa kini. Ia
menunjuk kepada sesuatu yang diwariskan oleh masa lalu tetapi masih berwujud dan
9 Mardimin Johanes, Jangan Tangisi Tradisi (Yogyakarta: Kanisius, 1994), h. 12-13. 10 Kamus Besar Bahasa Indonesia, lihat: https://kbbi.web.id/tradisi.
37
berfungsi pada masa sekarang. Tradisi memperlihatkan bagaimana anggota masyarakat
bertingkah laku, baik dalam kehidupan yang bersifat duniawi maupun terhadap hal-hal
yang bersifat ghaib atau keagamaan.11
Di dalam tradisi diatur bagaimana manusia berhubungan dengan manusia yang
lain atau satu kelompok manusia dengan kelompok manusia yang lain, bagaimana
manusia bertindak terhadap lingkungannya, dan bagaimana perilaku manusia terhadap
alam yang lain. Ia berkembang menjadi satu sistem, memiliki pola dan norma yang
sekaligus juga mengatur penggunaan saksi dan ancaman terhadap pelanggaran dan
penyimpangan.
Pada era modern ini, masih banyak tradisi yang tetap dipertahankan secara
turun temurun dari nenek moyang hingga ke anak cucu pada suatu masyarakat.
Demikian juga yang terjadi di desa Paciran kecamatan Paciran kabupaten Lamongan. .
Di antara tradisi yang masih dilaksanakan oleh masyarakat desa Paciran adalah Tradisi
Kupatan.
Kupatan merupakan salah satu bentuk budaya leluhur yang sampai sekarang
masih tetap dilaksanakan oleh masyarakat desa Paciran Kabupaten Lamongan, pada
hakikatnya pelaksanaan tradisi ini adalah semata-mata melestarikan budaya leluhur
karena dalam pelaksanaan tradisi kupatan berdampak positif bagi kehidupan
masyarakat, sehingga masyarakat dari generasi kegenerasi masih melaksanakan,
menjaga serta melestarikan tradisi kupatan ini.12
11 Siti Rodliyah, Pandangan Masyarakat Terhadap Tradisi Nglangkahi Pasangan Sapi Dalam
Prosesi Perkawinan di Desa Kepuh Kecamatan Papar Kabupaten Kediri (skripsi: UIN Malang 2010) ,
h.56 12 Wawancara dengan KH Salim Azhar, Tokoh Masyarakat desa Paciran, pada 25 April 2019.
38
Tradisi Kutupatan menurut sejarah telah berlangsung sejak abad ke 15 di
kerajaan Islam Demak Bintoro. Tradisi ini diyakini berasal dari Sunan Kalijaga, salah
satu dari kesembilan wali (wali songo) yang termashur sebagai penyebar agama Islam
di tanah Nusantara.13
Di desa Paciran sendiri konon tradisi kupatan dimulai sejak zaman Sunan
Sendang duwur. beliau adalah seorang tokoh yang turut berperan dalam menyebarkan
agama Islam di pulau jawa khususnya di daerah Paciran dan sekitarnya, nama asli
beliau adalah Raden Noer Rahman yang merupakan putra dari Abdul Qohar bin Malik
Bin Sultan Abu Yazid yang berasal dari Bahgdad, menurut pendapat KH Salim Azhar
tokoh agama desa Paciran, awal mula tradisi Kupatan di praktekan oleh beliau dalam
rangka untuk menjamu tamu-tamu dan santri beliau seusai menjalankan puasa syawal
selama enam hari.14
Dahulu tradisi Kupatan ini tidak dirayakan secara besar-besaran hanya dalam
lingkup keluarga, namun seiring berjalannya waktu tradisi kupatan berkembang
menjadi tradisi dilingkup masyarakat kecil, tidak lagi hanya di rumah namun ketika
tanggal 8 syawal setelah menjalankan puasa syawal selama 6 hari, masyarakat kerap
membawa ketupat ke mushola-mushola dan masjid-masjid untuk didoakan secara
bersama-sama kemudian setelahnya ketupat tersebut dibagikan kepada masyarakat.
Awal pelestarian tradisi Kupatan sempat mengalami pro dan kontra. Ada yang
beranggapan perayaan Kupatan itu tidak boleh. Karena urusan Agama itu tidak boleh
13 Diakses pada 01-07-2017 https://www.beritamerdekaonline.com/2017/07/01/lebaran-
ketupat-warga-adakan-doa-bersama/. 14 Wawancara dengan KH Salim Azhar, tokoh Agama desa Paciran, 25 April 2019.
39
dicampurkan dengan urusan budaya. Namun pendapat dari ulama yang lain
mengatakan tidak apa-apa untuk melakukannya. Karena di dalam tradisi Kupatan
mengandung nilai-nilai kearifan dan ibadah kepada Tuhan yang Maha Esa.15
Seiring pergeseran zaman tradisi perayaan ketupat sudah tidak lagi menjadi
kebiasan yang dilakukan oleh masyarakat lingkup kecil, namun tradisi tersebut telah
meluas ke masyarakat luar, dan dikokohkan oleh masyarakat desa Paciran sebagai
perayaan besar tahunan. Perayaaan tersebut tetap berlangsung hingga saat ini, dan
dengan kreatifitas masyarakat perayan tersebut semakin berkembang dari tahun ke
tahun. Masyarakat berusaha menjadikan perayaan kupatan semakin dikenal generasi
selanjutnya dengan mengemas kegitaan tersebut agar terlihat lebih menarik dan
dinikmati semua kalangan tanpa mengurangi atau menodai nilai kerifan kupatan yang
diajarkan oleh Raden Noer Rahman.16
Sejak sepuluh tahun terakhir tradisi perayaan kupatan di desa Paciran dijadikan
momen perayaan hari besar yang dirayakan setiap tahunnya. Dimana ketupat sudah
tidak lagi di bawa ke musshola-mushola namun ketupat dibentuk semenarik mungkin
dan disusun menjadi gunungan yang kemudian di arak dari Terminal ASDP melewati
Goa Maharani dan berakhir di Tanjung Kodok. Menurut masyarakat setempat arak-
arakan tersebut bermaksud memperingati napak tilas Sunan Sendang yang dianggap
sebagai pencetus tradisi kupatan di daerah Paciran Kabupaten Lamongan.17
15 Wawancara dengan Munaji, Masyarakat Desa Paciran, pada 22 November 2018 16 Wawancara dengan KH Salim Azhar, Tokoh Agama desa Paciran, pada 25 April 2019
17 Wawancara dengan, Khusnul khuluq, Pemerintah desa Paciran, pada 12 Juni 2019
40
3. Prosesi Pelaksanaan Perayaan Tradisi Kupatan
Seperti yang telah dijelaskan, masyarakat desa Paciran seluruhnya menganut
agama Islam, sehingga kegiatan masyarakat sehari-hari mengacu pada nilai ajaran
Islam yaitu al-Qur’an dan Hadist. Masyarakat desa Paciran juga masih kental akan
tradisi-tradisi warisan dari nenek moyang, yang dianggap sakral dan harus dilestarikan
oleh budaya-budaya yang ada tersebut. Adapun beberapa macam tradisi yang
dilakukan masyarakat desa Paciran seperti : Mauludan, Isra’ Mi’raj, Rajaban dan
Kupatan.
Tradisi kupatan dilaksanakan oleh seluruh warga desa Paciran, dari anak-anak,
remaja sampai orang tua, mereka ada yang terlibat langsung dalam prosesi dan ada juga
sebagai peserta yang ikut memeriahkan tradisi tersebut. Keterlibatan anak-anak tidak
hanya sebagai penggembira saja, tetapi secara tidak langsung anak-anak diperkenalkan
dengan tradisi yang sudah ada sejak dulu yakni kupatan.
Dalam melaksanakan tradisi kupatan ada beberapa tahapan yang terbagi
menjadi tiga yaitu:
a. Persiapan
Pada Tahap persiapan masyarakat membuat ketupat yang dibungkus dengan
janur dan disusun dalam berbagai bentuk dan ukuran. Di samping persiapan membuat
ketupat sebagian masyarakat ada yang bertugas untuk membuat hiasan-hiasan
tambahan guna menyemarakkan perayaan dan arak-arakan kupatan. Setelah semua
bahan sudah siap kemudian kupat dan lepet serta bahan yang lain di susun menjadi
gunungan-gunungan ketupat untuk nantinya di doakan dan diperebutkan saat perayaan
tradisi kupatan.
41
b. Waktu dan Tempat Perayaan
Waktu perayaan kupatan biasanya dilakukan 7 hari setelah Hari Raya Idul Fitri,
karena merupakan perwujudan rasa syukur setelah mengerjakan puasa satu bulan
penuh dan disempurnakan dengan puasa sunah enam hari di bulan syawal.
Sebagaimana dikatakan oleh kyai Salim Azhar tokoh agama desa Paciran Sebagai
berikut:
"Bahwa setelah masyarakat mengerjakan puasa Ramadlan satu bulan penuh,
mereka menyempurnakan dengan puasa syawal enam hari, kemudian ditutup dengan
perayaan kupatan", Beliau juga mengutarakan acuan dengan hadits Nabi yang
diriwayatkan oleh Muslim, dari Abi Ayyub Al-Anshari, bahwasanya Rosulullah Saw,
telah bersabda, yang artinya "Barang siapa puasa Ramadlan kemudian ia sempurnakan
dengan puasa enam dari pada bulan syawal, pahalanya seperti puasa setahun penuh",18
Sedangkan tempat pelaksanaan kupatan biasanya adalah tempat-tempat yang
dahulu pernah digunakan Sunan Sendang dan Sunan Drajat dalam menimba ilmu
secara natural sebagai bentuk napak tilas perjuangan, seperti : Goa, Pesisir Pantai,
Lereng Gunung, makam dan tempat-tempat lain yang dianggap keramat.
Tempat-tempat tersebut di atas masih dianggap mempunyai nilai-nilai keramat
sebagai petilasan atau bekas tempat menimba ilmu dengan berbagai cara misalnya
duduk bersila.
Adapun tempat yang digunakan untuk prosesi perayaan tradisi kupatan antara
lain:
18 Wawancara dengan KH Salim Azhar, Tokoh Agama Desa Paciran, 25 April 2019
42
1. Goa
Goa yang biasanya digunakan untuk perayaan tradisi kupatan desa Paciran
adalah goa maharani yang terletak tidak jauh dari pusat pemerintahan desa Paciran, goa
maharani merupakan petilasan Sunan Sendang dan juga tempat keramat yang sekarang
menjadi tempat wisata desa Paciran.
2. Pesisir Pantai
Pantai yang digunakan dalam perayaan tradisi kupatan ini adalah tanjung
kodok. Pantai ini terkenal unik dengan adanya batu besar yang berbentuk menyerupai
hewan kodok, yang menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat desa Paciran. Selain
itu, pantai sendiri merupakan sumber kehidupan masyarakat nelayan desa Paciran, dan
pemberian sedekah untuk alam dalam suatu perayaan kupatan di pantai bertujuan untuk
memohon kepada yang maha kuasa agar memberikan keselamatan dan hasil tangkapan
ikan yang melimpah, serta dijauhkan dari segala macam bencana baik berupa angin
barat (angin kencang) maupun air pasang.
Pesisir pantai tanjung kodok dipilih sebagai salah satu tempat perayaan tradisi
kupatan karena, di tanjung kodok inilah Sunan Drajat dan Sunan Sendang pertama kali
singgah dan memulai menyebarkan agama Islam di desa Paciran dan sekitarnya.
Sebagai bentuk napak tilas perjuangan yang telah dilakukan oleh Sunan Sendang dan
Sunan Drajat sehingga Islam di desa Paciran dan sekitarnya bisa tersebar.
3. Tempat Ibadah
Tempat ibadah yang digunakan adalah masjid-masjid dan mushola yang ada di
desa Paciran, masjid dan mushola merupakan tempat berkumpulnya orang-orang
muslim guna melaksanakan rukun Islam yang ke dua, juga sebagai tempat
43
berkumpulnya masyarakat desa Paciran untuk melaksanakan perayaan keagamaan
sehingga silaturrahmi tetap terjalin diantara masyarakat.
4. Makam atau kuburan
Kuburan yang di ziarahi oleh masyarakat Paciran sebagai salah satu tempat
perayaan tradisi kupatan adalah makam Sunan Sendang dan Sunan Drajat yang dikenal
sebagai penyebar ajaran agama Islam di wilayah pesisir pantai utara. Juga sebagai
pencetus adanya tradisi kupatan yang sampai sekarang masih dilaksanakan.
Sedangkan makna yang diambil dari ziarah makam Sunan Sendang dan Sunan
Drajat adalah mencari keberkahan dari para waliyullah yang sudah berjasa dalam
penyebaran agama Islam di desa Paciran dan sekitarnya, di samping itu agar senantiasa
ingat bahwa kematian adalah hal yang pasti akan terjadi pada setiap manusia.
Sedangkan untuk lokasi arak-arakannya sendiri di mulai dari terminal ASDP
berjalan melewati Goa Maharani dan berakhir di pesisir pantai Tanjung Kodok Paciran.
c. Pelaksanaan
Pelaksanaan Tradisi kupatan dimulai sejak malam harinya, masyarakat
berbondong-bondong membawa sebagian ketupat ke tempat-tempat ibadah untuk
berdoa bersama dan saling bertukar ketupat dengan tetangga kemudian masing-masing
pulang kerumah dengan membawa ketupat yang sudah ditukar dengan yang lain. Ada
juga yang malam harinya ziarah makam Sunan Sendang dan Sunan Drajat untuk
memanjatkan do’a seraya membaca yasin dan tahlil. Mereka berkeyakinan dengan
berziarah ke makam seorang yang dianggap wali akan mendapatkan berkah. Kemudian
pada pagi harinya dimulailah perayaan besar tradisi Kupatan. Biasanya acara dimulai
44
dengan pembukaan yang dibuka oleh pemerintah setempat dan pemuka agama
kemudian setelahnya adegan arak-arakan dimulai.
Arak-arakan sendiri mempunyai makna meluapkan kegembiraan atas
terlaksananya tradisi kupatan, arak-arakan boleh dibilang rangkaian acara dalam tradisi
kupatan yang paling meriah karena menampakkan kepada publik dan melibatkan
partisipasi banyak orang.19 Ketupat yang sudah dihias menjadi gunungan-gunungan
diarak mulai dari Terminal ASDP berjalan melewati Goa Maharani dan berakhir di
pesisir Tanjung Kodok. Sesampainya di Tanjung kodok arak-arakan ketupat disambut
dengan parade perahu hias yang menjadikan perayaan tradisi kupatan di desa Paciran
semakin ramai. Dalam perayaan kupatan di desa Paciran juga terdapat sebuah
pertunjukan drama, drama tersebut menceritakan tentang “Madeke Masjid sendang
Agung” pembuatan Masjid Agung Sendang Dhuwur sebagai tonggak awal
berlangsungnya tradisi kupatan di pantura desa Paciran. Drama diawali kirab
kedatangan rombongan Sunan Sendang dan Sunan Drajat dari dua arah yang berbeda.
Setiap rombongan beranggotakan kelompok musik kendang tanjidor. Sejumlah
perempuan membawa ketupat, lepet, dan buah-buahan.
Kedua rombongan bertemu di Pantai Tanjung Kodok. Selanjutnya adegan
berlanjut dengan menunggu kedatangan kapal yang membawa utusan Mbok Rondo
Mantingan dari Jawa Tengah. Rombongan Mbok Rondo Mantingan membawa bahan
bangunan berupa kayu, yang akan digunakan untuk membangun Masjid Agung
Sendang Dhuwur. Dalam adegan ini juga digambarkan rombongan ini diserang
19 Wawancara dengan Khusnul Khuluq, pemerintah desa Paciran, pada 12 Juni 2019.
45
perompak. Namun, perompak bisa dikalahkan dengan bantuan Sunan Sendang dan
Sunan Drajat sehingga para perompak masuk Islam.
Setelah pertunjukan drama selesai gunungan ketupat akan dipanjatkan do’a
oleh pemuka agama kemudian gunungan ketupat diperebutkan oleh ratusan masyarakat
yang menginginkan keberkahan dari gunungan ketupat tersebut. Acaara diakhiri
dengan kenduri ketupat, yakni makan beramai-ramai ketupat dengan berbagai sayur
dan olahan sayur oleh seluruh masyarakat yang hadir dalam acara perayaan tradisi
kupatan secara gratis.
Hasil observasi penulis terdapat juga beberapa kesenian asli lamongan yang
ikut menyemarakkan perayaan kupatan diantaranya tongklek, jaran jenggo dan jedor.
Tongklek adalah tradisi membangunkan warga untuk mempersiapkan makan sahur saat
bulan ramadhan dengan suara kentongan dari bambu. Biasanya warga melakukan
dengan cara bergerombol, ramai-ramai keliling kampung, secara bersama-sama
mereka memukul alat tradisional kentongan sehingga muncul suara Tong dan Klek.
Sedangkan kesenian jaran jenggo adalah seni kuda yang dilatih njenggo,yang berarti
mengangguk-anggkan kepala sambil menari/berjoget menurut panduan seorang
pawang yang disesuaikan dengan irama musik. Kesenian Jaran Jenggo di Solokuro
Kabupaten Lamongan. Jaran Jenggo sendiri memiliki makna jaran goyang atau kuda
goyang.
Terdapat pula macam-macam perlombaan yang di selenggarakan oleh panitia
diantaranya adalah, lomba cipta ketupat yang di ikuti oleh ibu-ibu yang terdiri dari
empat sampai lima orang dalam satu kelompok nya, dalam perlombaan tersebut yang
46
dilombakan adalah keunikan dalam menghias makanan ketupat dan yang pasti cita rasa
nya. Lomba lainnya adalah perahu hias, keterangan dari panitia kenapa perahu hias,
karena mayoritas penduduk desa Paciran bekerja sebagai seorang nelayan, dalam
perlombaan ini diikuti oleh sepuluh perahu hias yang sudah dihias sedemikian rupa
sehingga turut serta menyemarakkan perayaan kupatan.
47
BAB IV
ANALISA TENTANG MAKNA DAN TUJUAN TRADISI KUPATAN BAGI
MASYARAKAT DESA PACIRAN KABUPATEN LAMONGAN
A. Makna Tradisi Kupatan
Ada beberapa aspek yang terkandung dalam makna tradisi kupatan. Makna tradisi
kupatan sangat berpengaruh dalam kehidupan orang yang menjalankan tradisi tersebut,
adapun beberapa aspek tersebut adalah sebagai berikut:
1. Aspek Spirirtual
Beberapa dampak secara spiritual yang yang menjadikan masyarakat desa Paciran
lebih semangat dalam menjalankan hal-hal yang terkait dengan keagamaan diantaranya
adalah
a. Saling Bermaaf Memaafan
Makna yang paling terlihat ketika perayaan tradisi kupatan dari aspek spiritual
adalah saling bermaaf-maafan, makna ini diambil dari arti kata Kupat dalam Bahasa
jawa, yang berarti ngaku lepat atau mengakui kesalahan dengan cara saling bermaaf-
maafan yang biasa dipraktekkan oleh masyrakat desa Paciran dengan Sungkeman.
Dampak positifnya dari makna ini adalah masyarakat yang biasanya enggan untuk
bermaaf-maafan dengan tetangga menjadi lebih semangat untuk melaksanakannya.
Seperti yang dikatakan oleh Munaji masyarakat desa Paciran bahwa,
“masyarakat desa Paciran ketika kupatan berlangsung semuanya pada guyub rukun dan
48
keluar rumah masing-masing untuk sungkeman serta saling bermaaf-maafan dengan
tetangga dan orang terdekatnya.”1
Dikuatkan juga oleh zaky masyarakat desa Paciran, “hanya ketika lebaran idul
fitri dan lebaran ketupat jalanan desa diramaikan oleh masyarakat guna saling
sungkeman dan bermaaf-maafan. Sangat berbeda sekali dengan hari-hari biasa di luar
perayaan tradisi kupatan dan lebaran idul fitri masyarakat enggan untuk guyub rukun
ramai-ramai keluar rumah untuk saling sapa dan bermaaf-maafan satu dengan
lainnya.”2
Dalam al-Qur’an surat Ali Imran ayat 134 yang artinya “(yaitu) orang yang
berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan
amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang
berbuat kebaikan.” (QS Ali Imran: 134) ayat tersebut menerangkan bahwa pentingnya
saling bermaaf-maafan kepada sesama manusia karena Allah tidak akan menerima
permintaan maaf hambanya jika orang yang disakitinya belum memberikan maaf atas
kesalahan yang diperbuat.
Oleh karena itu, syariat secara prinsip mengajarkan bahwa seseorang yang
memohon maaf atas kesalahnnya kepada orang lain agar terlebih dahulu menyesali
perbuatannya, bertekad untuk tidak mengulanginya lagi, serta memohon maaf sambil
mengembalikan hak yang pernah diambilnya. Kalau berupa materi, maka materinya
1 Wawancara dengan Munaji, Masyarakat desa Paciran, pada 22 April 2019 2 Wawancara dengan Zaky, Masyarakat desa Paciran, pada 12 Juni 2019
49
dikembalikan, dan kalau bukan materi, maka kesalahan yang dilakukan itu dijelaskan
kepada yang dimohonkan maafnya.3
Kupat juga kepanjangan dari laku papat berarti al-Qur’an, hadits, ijma’ dan
qiyas yang merupakan sumber hukum islam.4 Di samping itu ada yang memberikan
makna berbeda dari laku papat yaitu sebagai empat tindakan meliputi lebaran, luberan,
leburan, dan laburan.5 Makna saling mengakui kesalahan ditunjukkan dengan
bersalam-salaman dan saling bermaaf-maafan setelah melaksanakan puasa Ramadhan
dan puasa syawal.
b. Mendatangkan Cahaya
Dampak selanjutnya dari segi spriritual adalah mendatangkan cahaya atau
mendatangkan ketenangan dan keberkahan, yang diambil dari arti kata Janur,
Kepanjangan dari Ja’a Nur yang artinya “telah datang seberkas cahaya terang”.
Filosofi makna yang tersimpan di balik “janur” sebagai bungkus “kupat” adalah bahwa
manusia senantiasa mengharapkan datangnya cahaya petunjuk dari Allah yang
memberikan petunjuk dan membimbing mereka pada jalan kebenaran yang diridhai
oleh-Nya, bukan pada jalan yang tidak disukai oleh-Nya.6 Janur sendiri adalah pupus
dari daun kelapa atau daun kelapa yang masih muda, daun yang dipakai untuk
membungkus lepet.7
3 Diakses pada Sabtu 24 Juni 2017 https://www.nu.or.id/post/read/79180/perihal-maaf-
memaafkan 4 Wawancara dengan KH. Salim Azhar, Tokoh agama desa Paciran, pada 25 April 2019 5 Komaruddin Amin dan M. Arskal Salim GP, Ensiklopedi Islam Nusantara edisi budaya
(Jakarta:Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Kementrian Agama RI, 2018), h. 213. 6 Komaruddin Amin dan M. Arskal Salim GP, Ensiklopedi Islam Nusantara edisi budaya
(Jakarta:Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Kementrian Agama RI, 2018), h. 213. 7 Kamus besar Bahasa Indonesia, lihat: https://kbbi.web.id/janur
50
Dengan adanya kegiatan perayaan tradisi kupatan berdampak juga pada segi
beragama, yang sebelumnya ketika hari-hari biasa enggan untuk melaksanakan sholat
berjamaah di masjid-masjid tetapi dengan adanya tradisi ini masyarakat menjadi lebih
semangat dalam menjalankan sholat berjamaah di masjid-masjid dan mushola, terbukti
dengan jumlah jamaah yang bertambah ketika menjelang perayaan tradisi kupatan. Di
samping itu sebagian besar masyarakat juga ikut menjalankan puasa Sunnah selama
enam hari dibulan syawal yang sudah di contohkan oleh para leluhur dan tokoh
masyarakat setempat sebelum perayaan tradisi kupatan dilaksanakan.
Mendatangkan cahaya yang dimaksudkan adalah ketika kita telah
melaksanakan ibadah puasa selama bulan Ramadhan dan disempurnakan dengan puasa
enam hari bulan syawal, dari situ masyarakat yang melaksanakan tradisi kupatan
berharap mendapatkan cahaya atau petunjuk dari Allah atas yang sudah dikerjakan
selama bulan Ramadhan dan bulan syawal.
c. Menutup Aib Orang Lain
Dampak yang terakhir dari spiritual adalah pandai-pandai dalam menjaga aib
orang lain yang di ambil dari arti kata Lepet, kepanjangan dari silep seng rapet artinya
jika mengetahui kesalahan orang lain hendaknya jangan di kabarkan kepada yang lain
nya, pandai-pandailah menutupi kesalahan orang lain. Lepet sendiri adalah makanan
khas jawa yang selalu ada ketika perayaan tradisi kupatan.8
Dalam sebuah hadits Nabi bersabda yang artinya “Tidaklah seseorang
menutupi aib orang lain di dunia, melainkan Allah akan menutupi aibnya di hari
8 Wawancara dengan KH. Salim Azhar, Tokoh Agama desa Paciran, pada 25 April 2019
51
kiamat kelak.” (HR Muslim).9 Dari hadits tersebut sudah sangat jelas bahwa kita
dianjurkan untuk menjaga aib kepada sesama manusia.
Fakta dilapangan ketika sedang berkumpul dengan banyak orang yang harus
dijaga adalah aib orang lain, karena kedatangannya mengikuti acara perayaan tradisi
kupatan adalah saling bermaaaf maafan bukan saling membuka aib orang lain.
2. Aspek Sosial
Adapun dampak yang dirasakan oleh masyarakat desa Paciran dalam aspek
sosial dengan adanya perayaan tradisi kupatan adalah sebagai berikut :
a. Gotong Royong
Makna gotong royong sebagai yang paling terlihat dalam aspek sosial ketika
perayaan tradisi kupatan, makna gotong royong diambil dari makna Rontar atau
Lontar, daun siwalan yang dipakai untuk membungkus ketupat, daun ini sangat
istimewa dari bentuknya yang panjang dan sangat kuat serta mengeluarkan bau yang
sedap. Daun rontar ditata rapi dengan model anyaman, selang seling kadang di atas
dan kadang dibawah, serta saling menguatkan satu sama lainnya. Makna yang
terkadung adalah dalam menjalani kehidupan manusia sering kali berada pada posisi
yang berubah-ubah, kadang di atas dan kadang juga di bawah, tetapi antara satu dengan
yang lainnya harus tetap saling gotong royong dan menguatkan.10
Dengan adanya perayaan tradisi kupatan yang dilaksanakan setiap setahun
sekali ini sangat berdampak kepada kebersamaan warga dalam rangka gotong royong
9 Diakses pada 10 Agustus 2016 https://www.republika.co.id/berita/dunia
islam/fatwa/16/08/10/obooky313-membuka-aib-pasangan-apa-hukumnya. 10 Wawancara dengan KH. Salim Azhar, Tokoh Agama desa Paciran, pada 25 April 2019
52
menyiapkan acara kupatan dari persiapan hingga pelaksanaan dilapangan, bukan hanya
dari kalangan bapak-bapak saja, tetapi semua kalangan seperti, ibu-ibu, remaja sampai
anak-anak ikut andil dan bersama-sama untuk mensukseskan acara perayaan tradisi
kupatan terserbut.
Bapak-bapak sibuk mempersiapkan matrial untuk gunungan ketupat dan
mengatur suSunan acara pelaksanaan perayaan tradisi kupatan sedangkan ibu-ibu sibuk
mempersiapkan ketupat dan makanan yang lain seperti, lepet, buah-buahan, sayur-
sayuran dan lain-lain sebagai hiasan untuk gunungan ketupat. Untuk anak-anak dan
remaja mereka sibuk dengan berlatih drama kolosal yang akan dipersembahkan dalam
acara perayaan tradisi kupatan.
2. Aspek Ekonomi
Dalam aspek Ekonomi tradisi kupatan sangat berdampak pada para masyarakat
desa Paciran yang bermata pencaharian sebagai penjual daun lontar maupun daun janur
yang digunakan sebagai bahan utama membuat ketupat dan lepet. Dua bahan pokok ini
ketika menjelang pelaksanaan tradisi kupatan mengalami kenaikan harga disamping
permintaan banyak dan stok barang terbatas yang menjadikan barang tersebut
mengalami kenaikan harga.
Bukan hanya itu ketika perayaan tradisi kupatan berlangsung juga mempunyai
dampak ekonomi yang sangat besar dibuktikan dengan banyaknya para penjual
dadakan yang membuka lapak nya di pinggir-pinggir jalan yang digunakan sebagai rute
perayaan arak-arakan gunungan ketupat guna menjajakan barang dagangannya kepada
para peserta arak-arakan dan pengunjung yang sengaja datang untuk melihat meriahnya
perayaan tradisi kupatan desa Paciran.
53
Salah satu informan mengatakan ”kalau tidak ada perayaan tradisi kupatan
seperti ini ya saya tidak jualan, biasanya saya jualan hanya di rumah saja itupun
hasilnya tidak seberapa tetapi ketika ada perayaan tradisi kupatan seperti ini saya bisa
mendapatkan hasil lebih banyak dari biasanya.”11
3. Tujuan Tradisi Kupatan
Ada beberapa tujuan dilaksanakannya tradisi kupatan diantaranya adalah:
1. Sebagai Sarana Komunikasi Dan Silaturrahmi
Silaturahmi menjadi hal yang sangat diutamakan oleh masyarakat desa Paciran
melalui praktik kupatan. Melalui tradisi inilah silaturahmi antara warga, santri, dan
Kyai terjalin lebih kuat. Sebagaimana ditekankan dalam hadist nabi yang artinya
“Barangsiapa ingin dibentangkan pintu rizki untuknya dan dipanjangkan ajalnya
hendaknya ia menyambung tali silaturrahmi.(HR.Bukhori)”, dengan tujuan
mendapatkan banyak manfaat, sebagaimana diakui oleh Ismunawan bahwa “Acara ini
adalah adat yang baik, adat yang Islami, warga semangat menjalankan agar mendapat
barokah.”12 Dengan kata lain, melalui tradisi kupatan inilah diyakini akan tercipta
ukhuwah Islamiyah yang semakin kuat.
Kata silaturahmi terbentuk dari dua kosa kata; silahun dan ar-rahm. Shilah
artinya hubungan dan ar-rahm artinya kasih sayang, persaudaraan atau rahmat Allah
ta’ala. Ada yang suka menyebut silaturrohim atau silaturrahmi pada dasarnya
mengandung maksud yang sama. Silaturahmi adalah hubungan persaudaraan yang
11 Wawancara dengan fariha, pedagang desa Paciran, pada 12 Juni 2019. 12 Wawancara dengan Ismunawan, pejabat pemerintahan kabupaten Lamongan, pada 12 Juni
2019.
54
terikat atas dasar kebersamaan, persaudaraan, saling mengasihi, melindungi, sehingga
rahmat Allah menyertai ditengah ikatan persaudaraan itu.13
Ibn al Mandzur mengutip pendapat Ibn al Atsir mengatakan bahwa silaturrahmi
adalah istilah lain dari berbuat baik, menyayangi, mengasihi dan memperhatikan
keadaan kaum kerabat. Silaturahmi bukan sekedar kunjung mengunjung, akan tetapi
yang lebih penting adalah upaya seseorang yang bersilaturrahmi untuk menanamkan
dan menumbuhkan rasa persaudaraan yang mendalam sehingga dapat saling
mengetahui, memahami dan tolong menolong antar sesama tanpa membedakan
kedudukan, jabatan ataupun kekayaan.14 Dengan demikian, silaturahmi berarti
menghubungkan tali persaudaraan merupakan salah satu pesan moral yang dapat
menumbuhkan kepedulian dan kepekaan terhadap orang lain.
Selain itu bapak Munaji mengatakan bahwa “Orang yang saling bersilaturahmi
itu akan dipanjangkan umurnya oleh Gusti Allah”.15 Bahkan ajaran Islam sendiri
memberikan catatan akan pentingnya menjaga tali silaturahmi, dan memberikan
penegasan (ancaman) bagi siapa saja yang memutuskan tali silaturahmi kepada
sesamanya.16
Pendapat tersebut di kuatkan oleh bapak Ismunawan, ia mengatakan bahwa
“spirit yang dibawa oleh masyarakat desa Paciran adalah spirit silaturrahmi seperti
13 Fatihuddin, Dahsyatnya Silaturohmi, hal. 13. 14 Abu Bakar, “Shilaturrahmi Dalam Sunnah Nabawiyah”, Dialogia, 3 (Juli-Desember, 2005),
hal. 29. 15 Wawancara dengan Munaji, Tokoh Masyarakat desa Paciran, pada 22 April 2019 16 Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlak (Jakarta: LPPI, 2007), hal. 189-190.
55
yang sudah dicontohkan oleh para sesepuh terdahulu tentang betapa pentingnya
silaturrahmi untuk menjaga persatuan dan kesatuan antar masyarakat desa”.17
Dari observasi penulis melihat bahwa makna silaturrahmi yang terkandung
dalam perayaan tradisi kupatan desa Paciran kabupaten Lamongan benar-benar di
aplikasikan, dengan bukti banyaknya masyarakat desa Paciran yang berbondong-
bondong untuk ikut serta meramaikan perayaan kupatan tersebut. Bukan hanya dari
kalangan dewasa saja, tetapi anak-anak dan remaja pun ikut serta dan berbaur menjadi
satu. Dengan adanya perayaan tradisi kupatan ini bisa menyatukan seluruh elemen
masyarakat desa Paciran sehingga silaturrahim dan komunikasi antar warga tetap
terjaga.
2. Sebagai Sarana Sedekah
Makna yang melekat dari tradisi kupatan adalah berbagi dengan sesama yang di
kuatkan dengan salah satu dari wejangan kanjeng Sunan Drajat yaitu “menehono
mangan marang wong kang luweh” yang artinya berilah makan kepada orang yang
lapar. Wejangan tersebut bisa dirujuk sebagai dasar bagi masyarakat desa Paciran
dalam mempraktikkan tradisi open house saat acara kupatan. Sehingga, meski tamu
yang berkunjung ke rumahnya sangat banyak, tidak lantas membuat mereka terbebani.
Justru, semakin banyak tamu yang berkunjung ke rumah mereka untuk menikmati
hidangan kupat, diyakini akan semakin banyak pula berkah yang mereka dapatkan.
Sebagaimana diakui oleh Mustaqimah, “Kita masyarakat Paciran ikhlas memberikan
17 Wawancara dengan Ismunawan, pemerintah Kabupaten Lamongan, 12 Juni 2019
56
hidangan kupat kepada para tamu. Kalau kita memberi ke orang lain insyaalloh rejeki
kita bisa makin banyak”.18
Sedekah berasal dari kata bahasa Arab yaitu صدقة yang berarti suatu pemberian
yang diberikan oleh seorang kepada orang lain secara spontan dan sukarela tanpa
dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu. Juga berarti suatu pemberian yang diberikan
oleh seseorang sebagai kebajikan yang mengharap ridho Allah SWT dan pahala
semata. Sedekah secara bahasa berasal dari huruf ق ,د ,ص serta dari unsur al-Sidq yang
berarti benar atau jujur, artinya sedekah adalah membenarkan sesuatu. Sedekah
menunjukkan kebenaran penghambaan seseorang kepada Allah SWT.19
Dalam tradisi Kupatan di desa Paciran, wejangan tentang sedekah terwujud
dalam bentuk praktik open house. Masyarakat mempraktikkan wejangan tersebut
dalam bentuk hidangan ketupat yang mereka berikan kepada siapapun yang berkunjung
ke rumahnya. Meski ada juga dari warga desa Paciran tidak mengetahui bahwa yang
mereka praktikkan sejalan dengan wejangan kanjeng Sunan Drajat, tetapi mereka
meyakini bahwa yang mereka lakukan adalah sesuai dengan yang sudah di syari’atkan
oleh agama.
Dari observasi yang dilakukan oleh penulis melihat bahwa semangat
masyarakat desa Paciran dalam rangka bersedekah dengan cara menyiapkan hidangan
berupa ketupat, lepet dan berbagai macam buah-buahan adalah bentuk rasa syukur
mereka karena sudah diberi kenikmatan berupa kesempatan untuk bisa menjalankan
18 Wawancara dengan Mustaqimah, masyarakat desa Paciran, 13 Juni 2019 19 Taufiq Ridha, Perbedaan Ziwaf (Jakarta: Tabung Wakaf Indonesia, tt), Hal. 01
57
puasa selama enam hari pada bulan syawal dan ditutup dengan perayaan tradisi
kupatan.
3. Sebagai Sarana Memuliakan Tamu
Realitas bahwa masyarakat desa Paciran sangat antusias dalam menyambut dan
memuliakan para tamu yang datang ke rumahnya saat pelaksanaan tradisi kupatan,
didasari adanya keyakinan itu terkait dengan pemahaman mereka tentang konsep
sedekah.
Memuliakan tamu, mereka wujudkan dalam bentuk sambutan hangat, serta
senantiasa menampakkan kerelaan dan rasa senang atas pelayanan yang diberikan.
Sikap ramah terhadap tamu jauh lebih berkesan di hati mereka. Melayani tamu
dengan berbagai macam hidangan ketupat itulah yang mereka maknai sebagai sikap
memuliakan tamu. Bahkan mereka mempersilahkan siapapun yang lewat di depan
rumahnya untuk menikmati hidangan yang sudah disiapkan, sampai ada pula
sebagian dari mereka yang tidak segan untuk ‘merayu’ para tamunya supaya mau
menambah makanan yang sudah dihabiskan. Biasanya mereka mengatakan dengan
istilah “monggo, ditanduk kupatipun” (silahkan ditambah ketupatnya). Masyarakat
desa Paciran menganggap, siapapun yang melintasi rumah, bahkan jalan raya Paciran
sebagai tamu mereka, tanpa memandang asal, bahkan agamanya. Masyarakat non-
muslim pun turut berkunjung ke rumah-rumah warga.20 Di sinilah terlihat wujud
nyata dari praktik memuliakan tamu. Tanpa mengenal istilah tamu khusus, warga
mana, dan agamanya apa. Dengan kata lain, tradisi ini mendorong orang untuk lebih
20 Observasi penulis, pada 12 Juni 2019
58
mengedepankan prinsip kearifan lokal, tidak hanya menunjukkan wajah dan orientasi
agama, tetapi juga berwajah dan berorientasi sosial. Sebagaimana terjadi dalam
praktik tradisi lokal masyarakat di Jawa yang sudah mengalami akulturasi dengan
budaya Islam.21 Sekat agama dan status sosial melebur menjadi satu, ke dalam prinsip
menghormati dan memuliakan tamu.
Tuan rumah wajib memberikan pelayanan berupa makanan sesuai dengan
kemampuan, tanpa ada unsur paksaan. Masyarakat pun tidak pernah merasa terbebani
dengan adanya tradisi ini. Bahkan atas keinginan sendiri, mereka menabung jauh-
jauh hari sebelum diselenggarakannya acara tersebut, dengan tujuan agar saat tiba
hari raya kupatan mereka bisa memberikan jamuan terbaik kepada para tamunya.
Sebaliknya, orang yang bertamu pun harus senantiasa memperlihatkan akhlak yang
baik, agar orang yang menerimanya pun senang untuk melayani. Meskipun tamu
tersebut tidak dikenal sebelumnya oleh sang pemilik rumah sekalipun. Hal terpenting
bagi warga desa Paciran adalah memberikan sambutan yang hangat kepada siapapun.
Ada sebuah filosofi jawa yang berbunyi “Gupuh Aruh Rengkuh Rengkuh
Lungguh Suguh”22 adapun makna yang dari filosofi itu adalah yang pertama Gupuh
secara harfiah artinya tergesa gesa atau tergopoh gopoh. Makna yang luas dari gupuh
ini adalah perasaan gembira ketika menyambut kehadiran tamu. Arti lainnya adalah
ketika menerima kehadiran tamu tuan rumah hendaknya bersikap ramah, hangat dan
21 M Aly Haedar, “Pergeseran Pemaknaan Ritual ‘Merti Dusun’; Studi Atas Ritual Warga
Dusun Celengan, Tuntang, Semarang,” Al-A’raf: Jurnal Pemikiran Islam dan Filsafat XIII, no. 1 (2016),
hal. 1–23. 22 Diakses Pada 13 April 2016 http://pakuspedia.blogspot.com/2016/04/aruh-gupuh-rengkuh-
lungguh-suguh.html
59
antusias saat menyambut kehadirannya. Seorang tuan rumah harus rela meninggalkan
kegiatannya dan harus bisa menekan amarah dalam hatinya. Misalnya berusaha
menyembunyikan raut wajah yang tadinya cemberut menjadi lebih berseri-seri atau
yang semula berpakaian seadanya menjadi lebih rapi.
Makna kedua adalah Aruh yang berarti menyapa. Maksud dari aruh ini adalah
membuka diri melalui percakapan agar seseorang yang diajak bicara tidak merasa
canggung dan bisa bertukar fikiran secara terbuka. Mari kita lestarikan khazanah
budaya agar tetap terjaga sepanjang masa. Makna selanjutnya adalah Rengkuh berarti
dengan lapang dada menerima kehadiran tamu, meskipun hal itu tidak kita harapkan.
Ibarat kata legowo (menerima dengan penuh kesadaran), hal ini wajib dilakukan oleh
tuan rumah kepada tamu yang datang.
Makna yang keempat adalah Lungguh berarti mempersilahkan seseorang untuk
segera masuk kelingkungan tempat kita untuk segera duduk. Dalam budaya kita,
tamu tidak akan duduk sebelum dipersilahkan untuk duduk, istilahnya belum
"dimanggakne". Biasanya sambil mempersilahkan duduk tuan rumah memberi
sambutan basa-basi sebagai bumbu penyedap agar suasana menjadi lebih gayeng atau
semarak misalnya : wah kok masih awet muda saja ataupun njanur gunung (tumben
jauh-jauh datang kesini) dan menanyakan kabar, hal semacam ini adalah sebuah
pembukaan sehingga seseorang yang datang bisa merasa nyaman sebelum masuk
kedalam suasana percakapan yang lebih serius.
Makna yang terakhir adalah Suguh berarti memberi suguhan atau memberikan
hidangan. Hidangan ini bisa sekadarnya ataupun hidangan besar. Dalam budaya
Suguh ini ada sedikit penekanan bagi tuan rumah untuk berkorban secara finansial
60
dengan sedikit “memaksakan diri” demi menghormati tamu. Bagi seseorang yang
sedang berkunjung pun juga harus bisa menyikapi suguh ini, jika belum dipersilahkan
mencicipi hidangan maka jangan pernah serta merta mengambil makanan yang
disuguhkan, tamu harus sabar menunggu hingga tuan rumah mempersilahkan untuk
mencicipi hidangan dan tamu pun harus rela untuk sedikit mencicipi hidangan
meskipun tidak merasa lapar semua demi sebuah penghormatan.
Hadis Nabi Muhammad SAW, yang diriwayatkan oleh Malik, al Bukhori,
Muslim, Abu Dawud, At Tirmidzi, Ibn Majah yang artinya : “Barangsiapa yang
beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia memuliakan tamunya,
masa bertamu yang dibolehkan adalah satu hari dan satu malam, dan penjamuan
tamu itu tiga hari, maka selebihnya adalah sedekah, dan tidak halal bagi tamu untuk
menginap disisinya hingga menyebabkan tuan rumah berdosa (karena melakukan
ghibah dan lain-lain).”23 dari hadis tersebut bisa diambil kesimpulan bahwa tradisi
memuliakan tamu yang dilakukan oleh masyarakat desa Paciran ketika perayaan
tradisi kupatan adalah baik dan sesuai dengan yang di ajarkan oleh Rosulullah.
4. Sebagai sarana merawat tradisi leluhur
Seperti yang sudah disampaikan dalam bab sebelumnya bahwa tradisi kupatan
adalah tradisi yang turun temurun dari dulu hingga sekarang, Tradisi kupatan ini
merupakan tradisi sejarah peninggalan Sunan Sendang Duwur. Ia adalah murid dari
Sunan Drajat, pada waktu itu Sunan Sendang Duwur memberi jamuan kepada santri-
23 Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani. Shohih At-Targhib Wa Tarhib.(Jakarta:Pustaka
Sahifa, 2008). hal.76
61
santrinya berupa kupat dan lepet ketika silaturahmi setelah lebaran. Darisitulah tercetus
tradisi kupatan yang hingga sekarang masih terus terpelihara.
Masyarakat Paciran memaknai kupatan sebagai bagian dari merawat tradisi
yang sudah di bawa oleh Sunan Drajat dan Sunan Sendang bukan hanya itu saja, tetapi
berkat kegigihan beliau berdua Islam tersebar di pesisir pantai utara. Ada banyak cara
yang dilakukan oleh masyarakat Paciran untuk merayakan kupatan diantaranya adalah
membuat ketupat dan berbondong” membawanya ketempat ibadah seperti mushola dan
masjid untuk di panjatkan doa oleh sesepuh desa kemudian saling bertukar ketupat,
sebisa mungkin pulang dari masjid atau mushola tidak membawa ketupat yang sama
ketika dibawa dari rumah. Siang harinya suasana kupatan semakin menarik dengan
adanya peserta arak-arakan yang mengenakan pakaian adat Jawa dengan lakon sebagai
Sunan Sendang dan Sunan Drajat dengan iringan musik tradisional. Di samping itu
terdapat pula kesenian-kesenian khas kabupaten Lamongan diantaranya musik
tongklek, jaran jenggo, dan tanjidor Arak-arakan ketupat ini sendiri dimulai dari Goa
Maharani hingga menuju Tanjung Kodok yang berada di dalam Wisata Bahari
Lamongan.24
Seiring berjalannya waktu pemerintah desa Paciran ikut andil dalam rangka
perayaan kupatan tersebut. Yang sebelumnya murni di pegang oleh masyarakat tanpa
ada andil dari pemerintah setempat. Sehingga semakin tahun semakin semarak
perayaan tradisi kupatan desa Paciran. Menjadi daya Tarik juga bagi masyarakat di luar
desa Paciran untuk ikut dalam kemeriahan perayaan tradisi kupatan tersebut.
24 Wawancara dengan Munaji, Masyarakat desa Paciran, Pada 22 April 2019
62
4. Pandangan Masyarakat Tentang Tradisi Kupatan
a. Tokoh Agama
Dalam wawancara yang penulis lakukan kepada KH Salim Azhar, penulis
menanyakan pertanyaan terkait pandangan terhadap perayaan tradisi kupatan desa
Paciran kabupaten Lamongan, beliau mengatakan:
“Tradisi kupatan di desa Paciran ini sudah sejak lama di lakukan oleh
masyarakat dan memiliki filosofi yang cukup tinggi yakni sebagai simbol
permohonan maaf antar umat beragama Islam setelah menjalani bermasyarakat
selama setahun, kemudian ditandai dengan saling bermaaf-maafaan seperti
melekat pada istilah kupat yakni ngaku lepat atau mengaku salah. Jadi tidak ada
salahnya untuk tetap dilestarikan sebagai bentUk merawat tradisi yang sudah
ada.”25
Dalam melaksanakan tradisi kupatan ini tidak ada suatu keharusan bagi
masyarakat untuk melakukan, tetapi dalam prakteknya kebanyakan masyarakat selalu
ikut serta dalam memeriahkan tradisi kupatan di desa Paciran. Karena sebagai bentuk
rasa syukur atas nikmat dan karunia yang telah diberikan oleh Allah serta sebagai
bentuk saling maaf memaafkan antar sesama masyarakat.
b. Pemerintahan
Wawancara yang penulis lakukan selanjutnya di tujukan kepada masyarakat
desa, salah satunya yaitu Bapak Ismunawan:
”Tradisi kupatan yang sudah ada ini harus tetap dilestarikan karena tradisi ini
adalah tradisi yang baik, tradisi yang Islami, warga semangat menjalankan agar
mendapat barokah. Kami juga selaku pemerintah setempat akan terus
mensupport pelaksanaan tradisi kupatan ini sehingga bisa menjadi daya tarik
25Wawancara dengan KH Salim Azhar, Tokoh agama desa Paciran, pada 12 Juni 2019
63
bagi masyarakat yang lainnya untuk ikut serta dalam melestarikan tradisi
leluhur kita.”26
Dalam perayaan tradisi kupatan di desa Paciran tiga tahun terakhir pemerintah
setempat juga ikut andil guna menambah meriahnya acara yang sebelumnya murni
dilakukan oleh masyarakat mulai dari persiapan, pengumpulan dana hingga
pelaksanaan semuanya di laksanakan langsung oleh masyarakat.
Pernyataan di atas diperkuat oleh bapak Khusnul Khuluq selaku kepala desa
Paciran, ia mengatakan:
“Tradisi kupatan ini menjadi fokus kerja pemerintah untuk mengembangkan
sisi pariwisata, sehingga dengan adanya tradisi perayaan kupatan ini bisa
menarik minat wisatawan untuk bisa melihat, meramaikan serta mencicipi
berbagai masakan khas perayaan kupatan.”27
c. Masyarakat
Wawancara yang penulis lakukan selanjutnya di tujukan kepada masyarakat
desa, salah satunya yaitu Bapak Munaji:
“selaku masyarakat desa Paciran sangat senang dengan adanya perayaan tradisi
kupatan, di samping saya bisa bersilaturrahmi dengan tetangga dekat dan
tetangga jauh yang bisajadi ketika hari biasa tidak pernah ketemu ketika
perayaan kupatan jadi kita bisa bertemu dan saling maaf memaafkan. Tradisi
kupatan ini tidak ada paksaan untuk mengikuti tetapi masyarakat memang ingin
menghargai dan merawat tradisi yang penuh akan makna yang terkandung
didalamnya.”28
Dari responden lain mengatakan bahwa :
26 Wawancara dengan Ismunawan, Pemerintah kabupaten Lamongan, pada 12 Juni 2019 27 Wawancara dengan, Khusnul khuluq, Pemerintah desa Paciran, pada 12 Juni 2019 28 Wawancara dengan Munaji, masyarakat desa Paciran, pada 22 April 2019
64
“Tradisi kupatan yang dilakukan setahun sekali ini sangat di nantikan karena
menyajikan banyaknya kesenian dan makanan-makanan khas yang bisa di
santap secara gratis, selain itu kupatan yang di tunggu-tunggu adalah royokan
gunungan ketupat (berebut gunungan ketupat) yang diyakini membawa
keberkahan bagi yang mendapatkannya.”29
Dari dua keterangan informan bisa diambil kesimpulan bahwa masyarakat
sendiri sangat menanti-nanti tradisi kupatan ini, di samping mencari keberkahan
dengan memperebutkan gunungan ketupat, juga bisa saling maaf memaafkan serta
bersilaturrahim antar sesama warga.
29 Wawancara dengan Zaky, Masyarakat desa Paciran, pada 12 Juni 2019
65
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian mengenai makna dan tujuan tradisi kupatan bagi
masyarakat desa Paciran kabupaten lamongan, maka penulis menyimpulkan bahwa
penelitian ini dibagi menjadi beberapa kesimpulan diantaranya sebagai berikut:
Penulis membagi beberapa aspek makna tradisi kupatan diantaranya adalah:
1. Aspek Spiritual
Aspek pertama adalah secara spiritual dengan bertambah semangat masyarakat
desa Paciran dalam menjalankan ibadah seperti sholat berjamaah di masjid dan
musholla kemudian puasa enam hari dibulan syawal, bukan hanya saja tetapi semangat
untuj silaturrahmi dan saling bermaaf-maafan juga bertambah dengan dibuktikan
banyak nya masyarakat yang keluar rumah untuk mengunjungi sanak saudara dan
tetangga guna silaturrahmi dan saling bermaaf-maafan.
2. Aspek Sosial
Aspek yang kedua adalah dari segi sosial kemasyarakatan makna yang sangat
terlihat adalah semangat masyarakat dalam rangka gotong royong untuk
mempersiapkan perayaan tradisi kupatan mulai dari persiapan materi hingga persiapan
pelaksanaa tradisi tersebut. Semua dilaksanakan oleh masyarakat desa Paciran dari
anak-anak, remaja, hingga dewasa semua ikut serta dalam mensukseskan acara
perayaan tradisi kupatan.
66
3. Aspek Ekonomi
Aspek yang terakhir adalah dari segi ekonomi sangat terlihat sekali perbedaan
antara ketika adanya perayaan tradisi kupatan dan tidak, yang paling diuntugkan adalah
para penjual bahan pokok untuk membuat ketupat dan lepet yakni daun janur dan
lontar. Para penjual tersebut meraup penghasilan yang lebih banyak dari hari-hari biasa.
Bukan hanya penjual daun lontar dan janur tetapi bagi para penjual jajanan juga
mengalami peningkatan penjualan ketika perayaan tradisi kupatan berlangsung dengan
bukti banyaknya para pedagang dadakan yang membuka lapak dagangannya di
seppanjang jalan rute perayaan tradisi kupatan dilaksanakan.
Sedangkan tujuan dilaksanakannya tradisi kupatan adalah:
1. Sebagai Sarana Komunikasi dan silaturrahmi
Pada perayaan tradisi kupatan ini komunikasi dan silaturrahim masyarakat desa
Paciran Kabupaten Lamongan benar-benar terjalin, hal ini ditunjukkan dengan
banyaknya masyarakat yang hadir meramaikan perayaan tradisi kupatan tersebut,
bukan hanya dari kalangan dewasa saja, tetapi anak-anak dan remaja juga ikut serta
merayakan tradisi kupatan. Sebagaimana pengertian kupat dalam filosofi jawa yang
mempunyai arti ngaku lepat (mengakui kesalahan) bahwa pelaksanaan tradisi kupatan
juga sebagai sarana untuk saling maaf memaafkan.
2. Sebagai Sarana Sedekah
Tradisi kupatan juga mempunyai makna sebagai sarana untuk bersedekah, hal ini
ditunjukkan dengan semangat masyarakat desa Paciran dalam menyiapkan
hidangan berupa ketupat, lepet dan aneka buah-buahan sebagai wujud rasa syukur
67
mereka karena sudah diberikan kenikmatan berpuasa selama enam hari pada bulan
syawwal.
3. Sebagai Sarana Memuliakan Tamu
Selanjutnya dalam tradisi kupatan, masyarakat desa Paciran memberikan jamuan
yang sudah disediakan oleh tuan rumah kepada setiap tamu yang berkunjung.
Meskipun tamu tersebut tidak dikenal sebelumnya oleh tuan, ia akan disambut
dengan dan diterima dengan baik.
4. Sebagai Sarana Merawat Tradisi Leluhur
Sebagaimana yang sudah dideskripsikan bahwa tradisi kupatan adalah tradisi yang
turun temurun dari dulu hingga sekarang, Tradisi kupatan ini merupakan tradisi
sejarah peninggalan Sunan Sendang Duwur. Ia adalah murid dari Sunan Drajat,
pada waktu itu Sunan Sendang Duwur memberi jamuan kepada santri-santrinya
berupa kupat dan lepet ketika silaturahmi setelah lebaran. Darisitulah tercetus
tradisi kupatan yang hingga sekarang masih terus terpelihara.
Adapun tatacara dan praktik tradisi kupatan desa Paciran dimulai sejak malam hari,
dengan melaksanakan doa bersama di tempat-tempat ibadah sambil membawa ketupat
yang sudah disiapkan dari rumah masing-masing. Pada pagi harinya pelaksanaan
tradisi kupatan dilanjutkan dengan arak-arakan yang menjadi rangkaian acara paling
ramai dan meriah dalam setiap perayaan tradisi kupatan. Arak-arakan dimulai dari
terminal ASDP berjalan melewati Goa Maharani dan berakhir di Pesisir Pantai Tanjung
Kodok. Ada beberapa perlombaan dan pertunjukan diantaranya adalah lomba cipta
ketupat dan lomba perahu hias. Sedangkan untuk pertunjukannya adalah fragmen
kolosal yang berjudul “Madeke Masjid Sendang Duwur” yang artinya berdirinya
68
masjid sendang duwur. Perayaan tradisi kupatan ditutup dengan doa dan dilanjutkan
memperebutkan gunungan ketupat.
b. Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini penulis berharap besar kepada pemerintah
kabupaten Lamongan agar tradisi ini bisa di perkenalkan ke masyarakat luas, supaya
tidak hanya masyarakat desa Paciran yang melaksanakan tradisi serupa. Karena tradisi
ini merupakan warisan luhur dan memiliki nilai budaya yang harus dilestarikan,
dirawat serta diperkenalkan kepada generasi muda. Bagi pengembangan ilmiah,
sebaiknya penelitian ini digunakan untuk menambah khazanah keilmuan.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Bakar, “Shilaturrahmi Dalam Sunnah Nabawiyah”, Dialogia, 3, 2005
Ajiboye, Emmanuel Olanrewaju, Social Phenomenologi of Alfred Schutz and the
Development of African Sociology, British Journal of Arts and Social Sciences,
2012
Clifford Geertz, Agama Jawa, Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa
(Terj), ed. Aswab Mahasin dan Bur Rasuanto Jakarta, 2013
Dawam Rahardjo, Pesantren Dan Pembaharuan, Jakarta : LP3ES, 1985
Dokumen Profil Desa Paciran
Engkus Kuswarno, Fenomenologi; fenomena pengemis kota bandung. Bandung:
Widya Padjadjaran, 2009
Fatihuddin, Dahsyatnya Silaturohmi, Delta Prima Press 2010
George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, terj Alimandan,
Jakarta: Kencana, 2007
Husni Thamrin, Orang Melayu : Agama, Kekerabatan, Prilaku Ekonomi Lpm : Uin
Suska Riau, 2009
Hendro Ari Wibowo, Wasino & Dewi Lisnoor Setyowati, Kearifan Lokal Dalam
Menjaga Lingkungan Hidup (Studi Kasus Masyarakat Di Desa Colo
Kecamatan Dawe Kabupaten Kudus Journal of Educational Social Studiesh
JESS 1 (1) – 2012
Koentjoroningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, cet 8 Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 1994
Komaruddin Amin dan M. Arskal Salim GP, Ensiklopedi Islam Nusantara edisi
budaya Jakarta:Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Kementrian
Agama RI, 2018
Kamus besar Bahasa Indonesia, lihat: https://kbbi.web.id/janur
Mardimin Johanes, Jangan Tangisi Tradisi Yogyakarta: Kanisius, 1994
Nurcholish Madjid, Nilai-nilai Dasar Perjuangan Jakarta: PB. HMI, 2016
M Aly Haedar, “Pergeseran Pemaknaan Ritual ‘Merti Dusun’; Studi Atas Ritual Warga
Dusun Celengan, Tuntang, Semarang,” Al-A’raf: Jurnal Pemikiran Islam dan
Filsafat XIII, no. 1 2016
NU Online, 2008, Lebaran Ketupat, dari Mana Tradisi ini Berasal? diakses pada 29
November 2018 http://www.nu.or.id/post/read/14238/lebaran-ketupat-dari-
mana-tradisi-ini-berasal
NU Online, Lebaran Ketupat dan Tradisi Masyarakat Jawa, diakses pada 11 Juni 2019
https://www.nu.or.id/post/read/39434/lebaran-ketupat-dan-tradisi-masyarakat-
jawa
NU Online, Kupatan, Diakses pada 29 Agustus 2012
https://www.nu.or.id/post/read/39477/kupatan
“Profil Desa Paciran” di akses pada 26 April 2019 dari
https://www.lamongankab.go.id/portal/58-uncategorised/245-paciran
Rumadi, Post-Tradisionalisme Islam, Wacana Intelektualisme Dalam Komunitas NU,
Jakarta : Depag RI 2007
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani. Shohih At-Targhib Wa
Tarhib.Jakarta:Pustaka Sahifa, 2008
Thomas F.O’Dea, Sosiologi Agama Suatu Pengantar Awal Jakarta: PT raja Grafindo
Persada, 1995
Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia Jakarta
: Balai Pustaka 1998
Tom Campbell, Tujuh Teori Sosial, Sketsa, Penilaian, dan Perbandingan, Yogyakarta:
Kanisius, 1994
Taufiq Ridha, Perbedaan Ziwaf Jakarta: Tabung Wakaf Indonesia, tt
Yuhana, Tradisi Bulan Ramadhan dan Kearifan Budaya Lokal Komunitas Jawa di Desa
Tanah Datar Kecamatan Rangat Barat Kabupaten Indragirihulu, Jom FISIP,
Vol. 3 No. 1 - Februari 2016,
Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlak Jakarta: LPPI, 2007
Wawancara:
Wawancara dengan KH Salim Azhar, Tokoh Masyarakat desa Paciran, pada 25 April
2019
Wawancara dengan Abdul Hakim, Desa Paciran, 22 Maret 2019
Wawancara dengan Munaji, Desa Paciran, 22 April 2019
Wawancara dengan Ismunawan, pemerintah kabupaten Lamongan, pada 12 Juni 2019
Wawancara dengan Mustaqimah, masyarakat desa Paciran, 13 Juni 2019
Wawancara dengan, Khusnul khuluq, Pemerintah desa Paciran, pada 12 Juni 2019
Wawancara dengan Zaky, Masyarakat desa Paciran, pada 12 Juni 2019
Lampiran II
1. Wawancara dengan Bapak Hakim, tokoh masyarakat desa Paciran, 22
Maret 2019
Pertanyaan:
A. Kapan dilaksanakannya tradisi kupatan di desa Paciran Lamongan ?
Kupatan sendiri adalah tradisi keagamaan yang berhubungan dengan
hari besar Islam. Tradisi kupatan merupakan salah satu bentuk warisan budaya
leluhur yang sampai sekarang masih dilestarikan oleh masyarakat desa Paciran
kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Tradisi tersebut merupakan kegiatan sosial
yang melibatkan seluruh masyarakat dalam usaha bersama untuk memperoleh
keselamatan, dan ketentraman bersama. Tradisi Kupatan di kabupaten
lamongan khusunya di daerah pesisir pantai utara di laksanakan 2 kali dalam
setahun. Kupatan yang pertama dilaksanakan menjelang Ramadhan atau tepat
nya 2 minggu menjelang Ramadhan tradisi ini disebut Megengan. Kupatan
kedua dilaksanakan 7 hari setelah hari raya idul fitri, tepatnya pada tanggal 8
Syawal.
B. Dimana lokasi pelaksanaan tradisi kupatan?
Pelaksanaan kupatan dilaksanakan di pesisir pantai tanjung kodok, yang
biasanya dimulai dari terminal ASDP (Angkutan Sungai dan Pelabuhan)
kemudian melewati goa Maharani dan berakhir di tanjung kodok paciran
lamongan
2. Wawancara dengan Bapak Munaji, Tokoh Masyarakat desa Paciran, 22
Maret 2019
Pertanyaan:
A. Bagaimana rangkaian acara tradisi kupatan?
Ada banyak cara yang dilakukan oleh masyarakat paciran untuk
merayakan kupatan diantaranya adalah membuat ketupat dan berbondong”
membawanya ketempat ibadah seperti mushola dan masjid untuk di panjatkan
doa oleh sesepuh desa kemudian saling bertukar ketupat, sebisa mungkin
pulang dari masjid atau mushola tidak membawa ketupat yang sama ketika
dibawa dari rumah. Siang harinya suasana kupatan semakin menarik dengan
adanya peserta arak-arakan yang mengenakan pakaian adat Jawa dengan lakon
sebagai sunan Sendang dan sunan Drajat dengan iringan musik tradisional.
Arak-arakan ketupat ini sendiri dimulai dari terminal ASDP kemudian
melewati Goa Maharani hingga menuju titik akhir Tanjung Kodok yang berada
di dalam Wisata Bahari Lamongan.
B. Bagaimana Pandangan tentang kupatan?
Selaku masyarakat desa Paciran sangat senang dengan adanya perayaan
tradisi kupatan, di samping saya bisa bersilaturrahmi dengan tetangga dekat dan
tetangga jauh yang bisa jadi ketika hari biasa tidak pernah ketemu ketika
perayaan kupatan jadi kita bisa bertemu dan saling maaf memaafkan. Tradisi
kupatan ini tidak ada paksaan untuk mengikuti tetapi masyarakat memang ingin
menghargai dan merawat tradisi yang penuh akan makna yang terkandung
didalamnya.
C. Apa tujuan dilaksanakannya tradisi kupatan
Kupatan sebagai bagian dari merawat tradisi yang sudah di bawa oleh
Sunan Drajat dan Sunan Sendang bukan hanya itu saja, tetapi berkat kegigihan
beliau berdua Islam tersebar di pesisir pantai utara. Ada banyak cara yang
dilakukan oleh masyarakat Paciran untuk merayakan kupatan diantaranya
adalah membuat ketupat dan berbondong” membawanya ketempat ibadah
seperti mushola dan masjid untuk di panjatkan doa oleh sesepuh desa kemudian
saling bertukar ketupat, sebisa mungkin pulang dari masjid atau mushola tidak
membawa ketupat yang sama ketika dibawa dari rumah. Siang harinya suasana
kupatan semakin menarik dengan adanya peserta arak-arakan yang
mengenakan pakaian adat Jawa dengan lakon sebagai Sunan Sendang dan
Sunan Drajat dengan iringan musik tradisional. Di samping itu terdapat pula
kesenian-kesenian khas kabupaten Lamongan diantaranya musik tongklek,
jaran jenggo, dan tanjidor Arak-arakan ketupat ini sendiri dimulai dari Goa
Maharani hingga menuju Tanjung Kodok yang berada di dalam Wisata Bahari
Lamongan.
3. Wawancara dengan KH Salim Azhar, Tokoh Agama, desa Paciran, 22
Maret 2019
Pertanyaan :
A. Kapan tradisi kupatan ini dilaksanakan?
Waktu perayaan kupatan biasanya dilakukan 7 hari setelah Hari Raya
Idul Fitri, karena merupakan perwujudan rasa syukur setelah mengerjakan
puasa satu bulan penuh dan disempurnakan dengan puasa sunah enam hari di
bulan syawal.
Bahwa setelah masyarakat mengerjakan puasa Ramadlan satu bulan
penuh, mereka menyempurnakan dengan puasa syawal enam hari, kemudian
ditutup dengan perayaan kupatan", Beliau juga mengutarakan acuan dengan
hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Muslim, dari Abi Ayyub Al-Anshari,
bahwasanya Rosulullah Saw, telah bersabda, yang artinya "Barang siapa puasa
Ramadlan kemudian ia sempurnakan dengan puasa enam dari pada bulan
syawal, pahalanya seperti puasa setahun penuh".
B. Dimana lokasi pelaksanaan tradisi kupatan?
Tempat pelaksanaan kupatan biasanya adalah tempat-tempat yang
dahulu pernah digunakan Sunan Sendang dan Sunan Drajat dalam menimba
ilmu secara natural sebagai bentuk napak tilas perjuangan, seperti : Goa, Pesisir
Pantai, Lereng Gunung, makam dan tempat-tempat lain yang dianggap
keramat. Tempat-tempat tersebut di atas masih dianggap mempunyai nilai-nilai
keramat sebagai petilasan atau bekas tempat menimba ilmu dengan berbagai
cara misalnya duduk bersila.
C. Apa Pengertian dari kupat ?
kupat berasal dari bahasa arab Huffat, yang sesuai dengan hadis Nabi SAW.
حفت الجنة بالمكاره وحفت النار بالشهوات
“Surga itu diliputi perkara-perkara yang dibenci (oleh jiwa) dan neraka itu
diliputi perkara-perkara yang disukai syahwat.”(HR. Muslim) Dengan
mengambil kata huffat dari hadist tersebut, bahwa lebaran ketupan mempunyai
nasehat filosofi yang sangat penting. Yakni, dimana setelah melakukan puasa
Ramadhan selama satu bulan penuh, hendaknya tetap berhati-hati menjaga diri
dari kesenangan nafsu yang menyesatkan dan tetap istiqomah dalam menghiasi
diri dengan sifat-sifat yang terpuji.
D. Bagaimana sejarah tradisi kupatan di desa Paciran?
Di desa Paciran sendiri konon tradisi kupatan dimulai sejak zaman
Sunan Sendang duwur. beliau adalah seorang tokoh yang turut berperan dalam
menyebarkan agama Islam di pulau jawa khususnya di daerah Paciran dan
sekitarnya, nama asli beliau adalah Raden Noer Rahman yang merupakan putra
dari Abdul Qohar bin Malik Bin Sultan Abu Yazid yang berasal dari Bahgdad,
menurut pendapat KH Salim Azhar tokoh agama desa Paciran, awal mula
tradisi Kupatan di praktekan oleh beliau dalam rangka untuk menjamu tamu-
tamu dan santri beliau seusai menjalankan puasa syawal selama enam hari.
Dahulu tradisi Kupatan ini tidak dirayakan secara besar-besaran hanya
dalam lingkup keluarga, namun seiring berjalannya waktu tradisi kupatan
berkembang menjadi tradisi dilingkup masyarakat kecil, tidak lagi hanya di
rumah namun ketika tanggal 8 syawal setelah menjalankan puasa syawal
selama 6 hari, masyarakat kerap membawa ketupat ke mushola-mushola dan
masjid-masjid untuk didoakan secara bersama-sama kemudian setelahnya
ketupat tersebut dibagikan kepada masyarakat.
Awal pelestarian tradisi Kupatan sempat mengalami pro dan kontra.
Ada yang beranggapan perayaan Kupatan itu tidak boleh. Karena urusan
Agama itu tidak boleh dicampurkan dengan urusan budaya. Namun pendapat
dari ulama yang lain mengatakan tidak apa-apa untuk melakukannya. Karena
di dalam tradisi Kupatan mengandung nilai-nilai kearifan dan ibadah kepada
Tuhan yang Maha Esa.
Seiring pergeseran zaman tradisi perayaan ketupat sudah tidak lagi
menjadi kebiasan yang dilakukan oleh masyarakat lingkup kecil, namun tradisi
tersebut telah meluas ke masyarakat luar, dan dikokohkan oleh masyarakat desa
Paciran sebagai perayaan besar tahunan. Perayaaan tersebut tetap berlangsung
hingga saat ini, dan dengan kreatifitas masyarakat perayan tersebut semakin
berkembang dari tahun ke tahun. Masyarakat berusaha menjadikan perayaan
kupatan semakin dikenal generasi selanjutnya dengan mengemas kegitaan
tersebut agar terlihat lebih menarik dan dinikmati semua kalangan tanpa
mengurangi atau menodai nilai kerifan kupatan yang diajarkan oleh Raden
Noer Rahman.
E. Apa Tujuan dilaksanakannya kupatan?
Kupatan merupakan salah satu bentuk budaya leluhur yang sampai
sekarang masih tetap dilaksanakan oleh masyarakat desa Paciran Kabupaten
Lamongan, pada hakikatnya pelaksanaan tradisi ini adalah semata-mata
melestarikan budaya leluhur karena dalam pelaksanaan tradisi kupatan
berdampak positif bagi kehidupan masyarakat, sehingga masyarakat dari
generasi kegenerasi masih melaksanakan, menjaga serta melestarikan tradisi
kupatan ini.
4. Wawancara dengan Ismunawan, Pejabat Pemerintah Kabupaten
Lamongan, 12 Juni 2019
Pertanyaan:
a. Bagaimana Pandangan bapak tentang tradisi kupatan?
Tradisi kupatan yang sudah ada ini harus tetap dilestarikan karena
tradisi ini adalah tradisi yang baik, tradisi yang Islami, warga semangat
menjalankan agar mendapat barokah. Kami juga selaku pemerintah setempat
akan terus mensupport pelaksanaan tradisi kupatan ini sehingga bisa menjadi
daya tarik bagi masyarakat yang lainnya untuk ikut serta dalam melestarikan
tradisi leluhur kita.
b. Apa Tujuan dilaksanakannya tradisi kupatan?
Acara ini adalah adat yang baik, adat yang Islami, warga semangat
menjalankan agar mendapat barokah. Dengan kata lain, melalui tradisi kupatan
inilah diyakini akan tercipta ukhuwah Islamiyah yang semakin kuat. spirit yang
dibawa oleh masyarakat desa Paciran adalah spirit silaturrahmi seperti yang
sudah dicontohkan oleh para sesepuh terdahulu tentang betapa pentingnya
silaturrahmi untuk menjaga persatuan dan kesatuan antar masyarakat desa.
5. Wawancara dengan Zaky, Masyarakat desa Paciran, 12 Juni 2018
Pertanyaan:
a. Bagaimana Pandangan bapak tentang tradisi kupatan?
Tradisi kupatan yang dilakukan setahun sekali ini sangat di nantikan
karena menyajikan banyaknya kesenian dan makanan-makanan khas yang bisa
di santap secara gratis, selain itu kupatan yang di tunggu-tunggu adalah royokan
gunungan ketupat (berebut gunungan ketupat) yang diyakini membawa
keberkahan bagi yang mendapatkannya.
Lampiran III
Foto Kesenian Tongklek Foto Kesenian Tanjidor
Foto Pertunjukan Fragmen Kolosal Pemeran Sunan Sendang dan Sunan Drajat
Foto arak-arakan gunungan ketupat Foto kesenian jaran jenggo