MANFAAT DAN DAMPAK BURUK
TEKNOLOGI KOMUNIKASI (HANDPHONE)
MAKALAH OBSERVASI
Untuk pemenuhan tugash akhir semester satu
Mata kuliah Ilmu Sosial Dasar
Dosen pembimbing : Bu Jamilah, MA
Disusun oleh : Dedi Dawud (10320026)
Kelas : C besar
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
FAK. HUMANIORA DAN BUDAYA
JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INGGRIS
TAHUN 2010/2011
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dunia kita kini memasuki babak baru dimana dunia industri telah digantikan
oleh dunia informasi. Di era ini, informasi merupakan bagian yang sangat urjen dan
dibutuhkan oleh manusia terlebih bagi mereka para pelajar atau mahasiswa. Hal ini
dikarenakan dunia pendidikan juga mengalami kemajuan. Segala sumber informasi
sudah jarang dan bahkan hampir tidak lagi disampaikan secara tatap muka antara
dosen dengan mahasiswanya, atau dengan menempelkan informasi di papan
pengumuman, melainkan menyebarkanya melalui media - media elektronik,salah
satunya adalah Handphone disingkat HP.
Handphone bukanlah barang baru lagi bagi mahasiswa sekarang khususnya
mahasiswa UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Media yang satu ini sudah menjadi
bagian dari kehidupan mereka. Seperti bisa kita jumpai, kemanapun dan kapanpun
mahasiswa selalu menggenggam HP. Entah itu pada saat kegiatan belajar di kampus,
saat mengobrol dengan teman di warung, saat olahraga atau saat tidur. Seolah – olah
tanpa HP hidup mereka tidak sempurna. Namun disisi lain , kecenderungan atau
ketergantungan tersebut menimbulkan sebuah pertanyaan apakah HP tersebut
bermanfaat untuk para mahasiswa atau malah berdampak buruk .
Seperti kita ketahui bahwa saat ini banyak sekali kasus – kasus dikalangan
pelajar yang mana ada kaitanya dengan hanphone. Sebagai contoh, di Lampung,
Sumatera Selatan, seorang pelajar dianiaya hingga trauma oleh gurunya hanya gara –
gara handphone-nya berdering saat proses belajar – mengajar dilaksanakan
(www.javanews.com). Contoh lainya adalah Ana Mahasiswi UIN Sunan Kalijaga
Jogjakarta tewas dibunuh oleh Ferdy pacarnya hanya dikarenakan cemburu ketika
membaca isi sms handphone Ana yang berisikan kata – kata romantis dari pengirim
yang sama sekali tidak ada identitasnya (www.detiknews.com). Mungkin ini hanya
contoh kecilnya saja. Masih banyak lagi yang lainya yang tidak bisa saya paparkan
dalam tulisan ini.
Kampus kita UIN Maulana Malik Ibrahim Malang memang belum mendapati
kasus – kasus seperti diatas dan tidak pula menghendakinya. Namun perlu kita sadari
bahwa dengan adanya teknologi komunikasi, para mahasiswa dengan begitu
mudahnya melakukan hal – hal yang diinginkanya tanpa bisa dikendalikan oleh pihak
kampus. Oleh karena itu, kita benar – benar harus menaruh perhatian tersebut supaya
kemajuan teknologi komunikasi bisa bermanfaat bagi semua orang khusunya
mahasiswa UIN.
B. Rumusan Masalah
Berpijak dari latar belakang di atas, maka bisa kita rumuskan beberapa masalah
mengenai kemajuan teknologi komunikasi :
1. Apa manfaat dan dampak buruk handphone bagi mahasiswa UIN Malang ?
2. Mengapa kemajuan teknologi komunikasi bisa bermanfaat dan berdampak
buruk bagi mahasiswa UIN Malang ?
C. Tujuan Observasi
Observasi ini dilakukan sebagai pemenuhan tugas akhir kuliah semester gasal
(satu) mata kuliah Ilmu Sosial Dasar. Selain itu observasi ini juga dimaksudkan untuk
melatih mahasiswa terbiasa mengamati kehidupan sosial yang mana nantinya bisa
menjadi modal dasar mahasiswa untuk melakukan sebuah penelitian di semester
berikutnya.
D. Manfaat Penelitian
Dengan adanya pelatihan observasi, diharapkan mahasiswa bisa lebih memiliki
pandangan yang luas dan memiliki kesadaran sosial yang tinggi sehingga mereka akan
tertarik untuk terlibat lebih aktif dalam kehidupan sosial di lingkungan tempat ia
berada.
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Kerangka Teori
1. Pengertian Komunikasi
Komunikasi merupakan salah satu bagian paling pokok didalam kehidupan
sosial manusia. Karena komunikasilah manusia bisa berhubungan antara satu dengan
lainya sehingga terciptalah sebuah tatanan masyarakat. Seperti yang diterangkan oleh
Allan Jhonson dalam bukunya yang berjudul Social Communication bahwa
komunikasi artinya berhubungan atau bergaul dengan orang lain. Orang yang
menyampaikan komunikasi disebut komunikator , orang yang menerima komunikasi
disebut komunikan . Tidak selamanya kontak sosial akan menghasilkan interaksi
sosial yang baik apabila proses komunikasinya tidak berlangsung secara komunikatif .
Contoh : Pesan yang disampaikan tidak jelas , berbelit – belit , bahkan mungkin sama
sekali tidak dapat dipahami. Selain itu, komunikasi juga bisa berarti alat untuk
membangun konsep diri, aktualisasi diri, untuk kelangsungan hidup, untuk
memperoleh kebahagiaan, terhindar dari tekanan, dan ketegangan antara lain dengan
komunikasi yang menghibur, dan memupuk hubungan dengan orang lain. Dengan
komunikasi kita bekerja sama dengan anggota masyarakat (keluarga, kelompok
belajar, perguruan tinggi, RT, RW, desa, kota, dan Negara secara keseluruhan) untuk
mencapai tujuan bersama.
Orang yang tidak pernah berkomunikasi dengan manusia lain bisa dipastikan
akan “ tersesat,” karena ia tidak sempat menata dirinya dalam suatu lingkungan sosial.
Komunikasilah yang memungkinkan individu membangun suatu kerangka rujukan
dan menggunakanya sebagai panduan untuk menafsirkan situasi apapun yang ia
hadapi. Komunikasi pula yang memungkinkanya mempelajari dan menerapkan
strategi – strategi adaptif untuk mengatasi situasi problematik yang ia masuki. Tanpa
melibatkan diri dalam komunikasi, seseorang tidak akan tahu bagaimana makan,
minum, berbicara sebagai manusia dan memperlakukan manusia lain secara beradab,
karena cara- cara berperilaku tersebut harus dipelajari lewat pengasuhan keluarga dan
pergaulan dengan orang lain yang intinya adalah komunikasi.
Pada satu sisi , komunikasi merupakan mekanisme untuk mensosialisasikan
norma – norma budaya masyarakat, baik secara horizontal, dari suatu masyarakat
kepada masyarakat lainya, ataupun secara vertikal, dari suatu generasi ke generasi
berikutnya. Pada sisi lain, budaya menetapkan norma – norma ( komunikasi ) yang
dianggap sesuai untuk suatu kelompok, misalnya “ Laki – laki tidak gampang
menangis, tidak bermain boneka,” “Anak perempuan tidak bermain pistol – pistolan,
pedang – pedangan, atau mobil – mobilan,” “ Jangan makan dengan tangan kiri,” “
Jangan melawan orang tua,” “ Duduklah dengan sopan,” “ Jangan membicarakan
kebesaran dunia di dalam masjid,” dan sebagainya. Budaya ini bahkan mempengaruhi
kita setelah mati. Pengurusan orang yang meninggal apakah mayatnya dikafani atau
dalam peti mati, setelah itu apakah ada tahlilan atau tidak, juga bergantung pada
norma – norma budaya yang berlaku pada komunikasi kita.
Alfred Korzybski mengatakan bahwa kemampuan manusia berkomunikasi
menjadikan mereka “ pengikat waktu” (time – binder). Pengikatan - waktu ( time -
binding ) merujuk pada kemampuan manusia untuk mewariskan penegetahuan dari
generasi ke generasi dan dari budaya ke budaya. Manusia tidak perlu memulai setiap
pengetahuan masa lalu, mengujinya berdasarkan fakta – fakta pengikatan – waktu ini
jelas merupakan karakteristik yang membedakan manusia dengan bentuk lain
kehidupan. Dengan kemampuan tersebut, manusia mampu mengendalikan dan
mengubah lingkungan mereka.
Kita dapat memperkirakan nilai – nilai yang dianut orang – orang berdasarkan
kelompok – kelompok yang mereka masuki. Bila seseorang lama belajar di pesantren,
kita dapat memeperkirakan sikap dan perilakunya, misalnya pengetahuan agamanya
relatif luas, penampilanya sederhana, dan lebih rajin beribadah daripada rata – rata
Muslim. Kita pun dapat memperkirakan – meskipun perkiraan kita tidak selalu benar-
sifat dan tindakan politikus, pengusaha, ilmuwan, pramuka, pemusik, preman, homo-
seksual, dan sebagainya.
Sebagian kesulitan komunikasi berasal dari fakta bahwa kelompok –
kelompok budaya atau subkultur-subkultur dalam suatu budaya mempunyai perangkat
norma berlainan. Misalnya,terdapat perbedaan dalam norma – norma komunikasi
antara kaum militer dengan kaum sipil, kaum abangan dengan kaum santri, kaum
konservatif dengan kaum radikal, penduduk desa dengan penduduk kota, dan bahkan
generasi muda dengan generasi tua.
Oleh karena fakta atau rangsangan komunikasi yang sama mungkin dipersepsi
secara berbeda oleh kelompok – kelompok berbeda kultur atau subkultur,
kesalahpahaman hampir tidak dapat dihindari. Namun tak jarang orang masih
beranggapan bahwa komunikasi itu mudah. Kenyataan dilapangan, betapa banyak
orang yang gagal mendapatkan sesuatu hanya karena komunikas inya tidak difahami
atau diterima oleh orang lain. Sebagai contoh : Pada akhir sebuah sidang usulan
penelitian seorang mahasiswi Pascasarjana (S2) disebuah universitas di Bandung
memohon maaf kepada para penelaah (termasuk pembimbingnya) seraya menangis
karena dalam forum akademis itu ia diprotes seorang penelaah setelah mahasiswi
mengatakan, “Pertanyaan Bapak bagus sekali” kepada penelaah tersebut. Dalam
presentasinya mahasiswi tersebut memang berbicara dengan cara yang terkesan
informal, sehingga dianggap kurang menghormati sidang ilmiah tersebut. Dalam
kasus lain, di universitas yang sama, seorang mahasiswa S2 tidak lulus ketika tesisnya
diuji. Pasalnya, tesisnya memuat terlalu banyak kesalahan ejaan. Ini memberi kesan
bahwa kandidat tersebut sembrono dan ingin cepat lulus. Selain itu, kandidat
menunjukan kesan menggurui. Beberapa kali ia memotong pembicaraan penguji.
Cerita – cerita diatas tentu tidak ingin kita yang mengalaminya. Oleh karena
itu, mulailah dari sekarang kita belajar tentang bagaimana berkomunikasi dengan baik
dan sesuai dengan tempatnya. Bagaimana untuk melakukanya? Dalam ilmu
komunikasi khusunya komunikasi sosial, seseorang akan dikatakan telah berhasil
berkomunikasi dengan baik ketika informasi yang disampaikan bisa difahami dan
diterima oleh komunikan (penerima). Karena inti pokok dalam komunikasi
minimalnya adalah harus informatif dan persuasif. Adapun yang bisa kita jadikan
sebagai latihan agar komunikasi kita informatif dan persuasif adalah ketika kita
berada dalam ruang kelas bersama pengajar. Sering – seringlah mengajukan
pertanyaan atau menjawab pertanyaan dalam arena diskusi. Diskusi merupakan waktu
terbaik bagi kita (pelajar). Karena dalam diskusi akan terjadi komunikasi
intracommunication dan intercommunication. Yang dimaksud dengan
intracommunication atau intrakomunikasi ialah komunikasi yang terjadi pada diri
seseorang. Ia berkomunikasi dengan dirinya sebagai persiapan untuk melakukan
intercommunication dengan orang lain. Secara teoritis, pada saat seorang pelajar
melakukan intercommunication terjadilah proses yang terdiri dari tiga tahap yaitu
persepsi (perception), ideasi (ideation), dan transmisi (transmission).
Persepsi adalah penginderaan terhadap suatu kesan yang timbul dalam
lingkungannya. Penginderaan itu dipengaruhi oleh pengalaman, kebiasaan, dan
kebutuhan. Kemampuan mempersepsi antara pelajar yang satu dengan pelajar yang
lain tidak akan sama meskipun mereka sama – sama dari perguruan tinggi yang sama,
bahkan kelas yang sama. Ini ditentukan oleh sipelajar sendiri, ditentukan oleh aktifitas
komunikasi, baik sebagai komunikator maupunn sebagai komunikan. Sebagai
komunikator, umpamanya, ia sering tampil secara aktif sebagai orator, pemimpin
diskusi, ketua rapat, dan sebagainya. Sebagai komunikan, umpamanya, ia banyak
membaca buku, surat kabar, majalah, mendengarkan radio, atau menonton televise.
Pengetahuan dan pengalaman akan memperkaya benaknya dengan pembendaharaan
untuk memeperkuat daya persepsinya. Semakin sering ia melibatkan diri dalam
komunikasi, akan semakin kuat daya persepsinya.
Ideasi adalah tahap kedua dalam proses intracommunication. Seorang pelajar
dalam benaknya mengonsepsi apa yang dipersepsinya. Ini berarti bahwa dia
mengadakan seleksi dari sekian banyak pengetahuan dan pengalaman yang pernah
diperolehnya, mengadakan penataan dengan yang relevan dari hasil persepsinya tadi,
siap ditransmisikan secara verbal kepada lawan diskusinya.
Transmisi (transmission) adalah menyalurkan hasil konsepsi karya penalaran
sehingga apa yang dilontarkan dari mulutnya adalah pernyataan yang mantap,
meyakinkan, sistematis dan logis. Dengan demikian proses intercommunication
berikutnya berkat intracommunication yang selalu terlatih, ia akan mengalami
keberhasilan.
Akan tetapi, meskipun diskusi bisa kita jadikan sebagai arena lat ihan untuk
berkomunikasi dengan baik. Permasalahanya adalah, masih banyak mahasiswa yang
tidak berani untuk aktif dan respondif ketika berada dalam arena diskusi. Mereka
hanya sebatas menjadi pendengar atau penonton dua atau tiga orang yang menguasai
jalanya diskusi. Keadaan demikian sebenarnya bisa terjadi karena faktor internal
maupun eksternal. Namun yang paling sering terjadi adalah karena faktor internalnya.
Mahasiswa tersebut cenderung merasa minder ketika melihat temanya lebih bisa
berkata – kata dan berargumen. Dan mungkin juga karena memang mahasiswa
tersebut hampir tidak pernah menyampaikan argumentasinya (komunikasi) langsung
dikhalayak ramai, sehingga merasa takut.
Menurut para psikolog, kurangnya pelajar melakukan komunikasi langsung
(direct communication) entah itu dengan orang tuanya, temanya, gurunya, atau
dengan lingkunganya akan menjadikan mereka bersikap pasif. Mereka akan lebih
suka berkomunikasi melalui pihak ketiga atau dengan media – media lainya yang bisa
dijadikan sebagai penghubung komunikasi. Terlebih di zaman sekarang yang
segalanya serba canggih. Komunikasi jauh lebih banyak dilakukan didunia nirkabel
(tanpa kabel).
Faktanya bahwa keseringan seseorang berkomunikasi tanpa tatap muka (face
to face) atau komunikasi langsung, disadari ataupun tidak secara perlahan mengurangi
kepercayaan diri dan kemampuanya dalam mengolah kata ketika berbicara dihadapan
khalayak. Karena ketika kita hanya berkomunikasi melalui pihak ketiga atau media –
media komunikasi, organ vital (mulut) yang digunakan untuk berkomunikasi secara
verbal tidak berfungsi maksimal. Padahal komunikasi verbal itu amatlah penting
(tanpa menafikan komunikasi non-verbal). Orang yang sudah tidak biasa lagi
berkomunikasi secara verbal, akan mengalami kesulitan memahami simbol – simbol
atau pesan. Mengapa ? Seperti kita ketahui bahwa komunikasi verbal adalah
komunikasi yang memerlukan seluruh rangsangan wicara sebagai usaha – usaha yang
dilakukan secara sadar untuk berhubungan dengan orang lain secara lisan. Simbol
atau pesan yang disampaikan dan diterjemahkan dalam komunikasi verbal dikenal
dengan istilah bahasa verbal.
2. Perkembangan Teknologi Komunikasi
O‟Brien, 1996 dalam Kadir, (2003:8) mengatakan bahwa, perilaku manusia dan
teknologi memiliki interaksi di dalam lingkungan sosioteknologi. Dimana lingkungan
sosioteknologi ini memiliki empat komponen yaitu struktur masyarakat, sistem dan
teknologi informasi, masyarakat dan budaya, dan strategi komunikasi. Kemudian
empat komponen ini berinteraksi dalam proses sosial, satu dan lainya saling
berinteraksi dan memengaruhi dimana setiap komponen memiliki visi masing –
masing yang saling bersinergi serta menghasilkan output proses sosial sebagaimana
diharapkan oleh seluruh stakeholder sosioteknologi.
Everett M. Rogers (1986) dalam bukunya Communication Technology; The
New Media in Society, mengatakan bahwa dalam hubungan komunikasi dimasyarakat,
dikenal dengan empat era komunikasi, yaitu: era tulis, era media cetak, era media
telekomunikasi, dan era media komunikasi interaktif. Dalam era terakhir media
komunikasi ineteraktif dikenal media computer, videotext dan teletext,
teleconferencing, dan sebagainya. Sementara itu Sayling Wen (2002) dalam bukunya
Future of the Media, melihat media dalam konteks yang lebih luas, tidak saja melihat
media dalam konsep komunikasi antar-pribadi, namun juga melihat media sebagai
medium penyimpanan, selain ia melihat media sebagai medium informasi. Enam
media hubungan antarpribadi yang dimaksud oleh Wen adalah suara, grafik, teks,
musik, animasi, video. Sedangkan media penyimpanan adalah buku dan kertas,
kamera, kamera film dan proyektor, alat perekam video dan disk optical.
Berdasarkan apa yang dijelaskan oleh Rogers itulah, maka masyarakat percaya
bahwa perkembangan teknologi media berkembang dimulai dari era media tulis dan
cetak. Perkembangan media tulis telah lama dikenal masyarakat dan menjadi pertanda
permulaan peradaban sebuah bangsa. Umpamanya peradaban Mesir Kuno mulai
dikenal sejak tahun ± 600 SM, artinya mulai kira – kira 600 sebelum Masehi atau kira
–kira 2605 tahun yang lalu masyarakat Mesir Kuno mulai mengenal media tulis.
Begitu pula kebudayaan Cina sudah mulai mengenal budaya kira-kira 3505 tahun
lalu. Kesimpulanya bahwa media tulis berperan untuk menandakan sebuah
kebudayaan mulai dikenal oleh umat manusia dalam bentuk media tulis yang
tersimpan dan terarsip dalam segala bentuk.
Nurcholis Madjid dalam sebuah ceramah menjelaskan bahwa budaya menulis
angka 0 (nol) telah dikenal oleh masyarakat Indonesia sejak sebelum kerajaan
Sriwijaya yang berpusat di Palembang berkuasa. Angka nol ini ternyata menjadi
temuan spektakuler serta menjadi sumber inspirasi perkembangan kebudayaan umat
manusia. Dari angka 0 (nol) inilah juga lahir gagasan membuat roda yang dikenal
sebagai dasar perkembangan industri masyarakat dari zaman ke zaman.
Beberapa abad kemudian baru masyarakat terbiasa dengan mencetak huruf
secara manual yang dilakukan pada gelas, ornament, tembok, kayu, dan sebagainya.
Ketika Elegi Gutenberg menemukan mesin cetak pada tahun 1450 barulah muncul
sejumlah surat kabar. Teknologi mesin cetak dan era media cetak bertahan cukup
lama yaitu sekitar empat abad, baru kemudian radio telegraf ditemukan oleh Markis
Guglielmo Marconi dan ia mendirikan perusahaan telegraf tanpa kawat pada tahun
1897. Masyarakat secara terbatas mulai mengenal teknologi informasi jarak jauh.
Pada saat itu ketika masyarakat diperkenalkan dengan dunia pencitraan yang mulai
sempurna, kemudian telegraf oleh Alexander Graham Bell menjadi telepon.
Sebenarnya temuan ini tersebut adalah sebuah pertanda pertama akan lahirnya era
telekomunikasi dengan kemampuan melahirkan teknologi informasi super cepat
dimana Alexanderson (1914) menamakanya dengan radio (Bungin, 2005:24-25).
Teknologi radio ternyata tak mampu bertahan lama sebagaimana teknologi
cetak karena Fransworth kemudian pada tahun 1927 menemukan televisi, maka dunia
pencitraan materi mulai disempurnakan menjadi benar-benar sempurna. Namun
penemuan itu tidak bertahan lama, karena akhirnya teknologi telepon digital telepo n
dapat digabung dengan televisi sehingga lahirlah computer yang kemudian
berkembang amat sangat cepat.
Lahirnya era komunikasi interaktif ditandai dengan terjadinya diversifikasi
teknologi informasi dengan bergabungnya telepon, radio, komputer, dan televisi
menjadi satu dan menandai teknologi yang disebut internet.
Berkembangya era tulis seperti yang dijelaskan di atas, diikuti pula dengan
berkembangnya media komunikasi antar pribadi yang dijelaskan oleh Sayling Wen.
Begitu pula pada masa-masa masyarakat menikmati era cetak dan telekomunikasi,
disisi lain di masyarakat juga berkembang media-media penyimpanan dan ketika
masyarakat memasuki era komunikasi interaktif, masyarakat juga hidup dan
memanfaatkan medium-medium informasi sebagaimana yang dijelaskan oleh Wen
tersebut.
Sayling Wen (2002: 15-18) membagi media komunikasi menjadi tiga bagian,
yaitu :
Media Komunikasi Antarpribadi
Sayling Wen mengategorikan perkembangan awal pada media komunikasi
anatara pribadi seperti :
a. Suara. Sebelum manusia mampu menggunakan bsahasa dan teks (tulisan),
manusia berkomunikasi melalui system komunikasi non bahasa, seperti
sentuhan, aroma, kode dan gerakan visual, seperti segala jenis gerakan
tubuh; gerak – gerik tangan, ekspresi wajah, gerak-gerik badan, dan
sebagainya. Pada periode ini manusia lebih banyak mengembangkan model
komunikasi dengan suara, seperti tawa, tangis, dan teriakan. Namun
penggunaan model komunikasi dengan cara ini memiliki banyak
keterbatasan makna yang kadang tidak efektif dalam praktik komunikasi.
Persoalan makna kadang menjadi kendala dalam komunikasi antarpribadi
karena walaupun makna diatur dalam budaya yang berkembang dalam
masyarakat, manusia saat ini, namun persoalan memaknai secara pribadi
setiap suara menjadi kendala yang sering muncul, sehingga mendorong
lahirnya bahasa, dimana bahasa mengirimkan pesan yang jauh lebih efektif
bila dibandingkan dengan hanya suara.
b. Teks. Sayling Wen (2002), mengatakan beberapa kelemahan komunikasi
dengan suara dan grafik, yaitu terutama untuk mengomunikasikan sesuatu
yang abstrak, konsep-konsep abstrak akan sulit dikomunikasikan dengan
suara dan grafik. Sementara suara sendiri mudah dilupakan sehingga pesan
tidak sepenuhnya dapat disimpan, kesulitan menyimpan suara pada waktu
ini menyebabakan mudah pesan komunikasi terdistorsi. Upaya-upaya
manusia untuk mengatasi kelemahan suara ini, maka mendorong lahirnya
teks dalam model-model komunikasi alternarif pada saat itu. Dalam sejarah,
teks pada awalnya muncul di dataran tinggi Mesopotamia di Timur Tengah,
dimana manusia mencari nafkah dengan bertani dan berternak. Pahatan di
loh- loh dari tanah liat memungkinkan para penghuni melacak gandum serta
ternak mereka. Pada mulanya benda Sumerian menyimnulasi objek-objek
nyata dengan garis-garis sederhana, membentuk semacam piktografi,
kemudian mereka menggabungkan piktografi itu untuk menggambarkan
ekspresi suatu makna sehingga membentuk ideogram. Pada waktu itu
cuneiform (cuneus = patok, forma = bentuk) dibentuk dengan menggunakan
bulu panjang untuk menyatukan loh-loh tanah liat. Kemudian akhirnya
cuneiform menjadi dasar bagi banyak bahasa Barat. Lambang tulisan paling
awal yaitu teks, digunakan untuk menghitung ternak. Kemudian beberapa
waktu berikutnya teks baru digunakan untuk mencatat ekspresi-eksprei
percakapan sehari-hari, kemudian berkembang menjadi alat berekspresi dan
berkomunikasi. Kira-kira 400 tahun kemudian memperkenalkan system
tulisan yang berbeda, yaitu hieroglyphics (tulisan nenek moyang bangsa
Mesir) dalam bahasa Yunani berarti “teks Allah.”
c. Musik. Dalam banyak budaya masyarakat, musik dapat digunakan sebagai
alat komunikasi antarpribadi, pada masyarakat Aborigin sampai saat ini
masih menggunakan musik untuk berkomunikasi. Ketika berburu, mereka
menggunakan suara-suara tabuhan, begitu juga ketika mereka panen, mereka
berkumpul dan menari dan bernyanyi. Di Jawa musik digunakan media
komunikasi untuk menyampaikan bahwa saat ini ada gangguan, ancaman,
penyakit, setan, dan bala. Bentuk alat musiknya bermacam-macam mulai
dari alat-alat sederhana sampai dengan keuntungan dan tabuhan.
d. Animasi. Adalah gambar tunggal yang dapat menyampaikan banyak makna,
yang umumnya digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan komunikasi
dari seseorang ke orang lain. Berdasarkan sejarah, animasi modern saat ini
pada mulanya dikembangkan dari permainan bayang-bayang serta lentera
ajaib Tionghoa di zaman dahulu. Dalam tradisi budaya Indonesia, seni
wayang dengan menggunakan tampilan 2 dimensi adalah juga gagasan-
gagasan awal tentang animasi modern saat ini. Beberapa bangsa di dunia; di
Eropa, Afrika dan Asia memiliki kesenian wayang, dengan demikian maka
dapat disimpulkan bahwa tradisi wayang member ilustrasi pada lahirnya
animasi modern.
e. Video. Adalah salah satu media antarpribadi yang lahir di zaman teknologi
modern. Melalui video orang dapat menyampaikan gagasan mereka kepada
orang lain. Sayling Wen memiliki alasan tersendiri untuk mengatakan video
sebagai media komunikasi antarpribadi, walaupun media ini bukan
merupakan media tradisional sebagai lahirnya model komunikasi era
berikutnya. Alasan Wen hanya melihat bahwa melalui video orang dapat
menyampaikan gagasan pribadinya kepada orang lain, begitu pula
sebaliknya.
Media Penyimpanan
a. Buku dan Kertas. Kira-kira 3000 tahun yang lalu, bangsa Tionghoa
menemukan media penyimpanan pertama yang sempurna dalam sejarah
manusia, yaitu buku. Di zaman Sumerians dan Mesir, buku dipahat pada batu
ubin besar, tanah liat, atau daun papyrus. Di awal abad pertengahan, para
imam di Eropa menulis di atas gulungan daun papyrus, kemudian lambat
laun menggunakan perkamen yang dibuat dari kulit hewan karena alesan
efisiensi dan mutu yang lebih baik. Pada tahap berikutnya ketika ditemukan
kertas sekitar 1500 tahun lalu, maka media penyimpanan dibuat dalam
bentuk buku seperti sekarang ini. Buku menjadi media penyimpanan teks dan
grafik yang paling lama umurnya, sehingga buku dan kertas menjadi
peninggalan umat manusia yang sangat penting.
b. Kamera. Gagasan awal lahirnya kamera adalah lukisan potret yang pernah
dilakukan oleh seorang pelukis istana, yaitu Wang Zhaojun. Pada waktu itu
para wanita bangsawan berlomba- lomba membayar lebih banyak kepada
Wong agar ia dapat melukis potret mereka lebih cantik dari objek lukisanya
sendiri. Orang kemudian membutuhkan sebuah teknologi yang dapat
memotret objek secara lebih objektif. Baru kemudian sekitar 150 tahun lalu
Louis Jacques Mande Daguerre dari Perancis menemukan daguerreotype,
yaitu tipe fotografi pertama yang mengekspos gambar pertama dan jelas pada
tahun 1837. Temukan spektakuler ini kemudian disempurnakan pada revolusi
industry dengan perekayasaan mekanis dan optik.
c. Kamera Film Proyektor. Pada tahun 1872 Gubernur Amerika, Leland
Stanford, meminta juru kameranya untuk memasang 12 kamera dipacuan
kudanya untuk memotret ketika seekor kuda berlari. Sang gubernur sedang
ingin memenangkan pertarungan argumentasi dengan temanya bahwa
sebenarnya kuda lari dengan empat kakinya menyentuh tanah. Maka ke-12
kamera itu disiapkan pada jarak yang sama dan secara berturut-turut
memotret kuda yang sedang berlari. Akirnya 12 kmera tdapat menghasilkan
12 gambar secara berturut-turut, dan gambar-gambar itu akhirnya dapat
membuktikan kalau memang kuda itu berlari dengan keempat kakinya
menyentuh tanah.
Gagasan untuk menciptakan kamera film proyektor lahir setelah sang juru
kamera mengatur ke-12 gambar tersebut di atas sebuah roda dan memutar
rodanya di hadapan sebuah kamera dengan lampunya. Yang terlihat ada aksi
kuda yang sedang berlari. Hal ini terjadi karena manusia memiliki persistensi
penglihatan yang menghasilkan ilusi seekor kuda sedang berlari. Setelah
melakukan pemotretan dengan 12 kamera kemudian ditingkatkan dengan 40
kamera sehingga menghasilkan urutan gambar yang lebih halus.
d. Pita Perekam Video. Pada tahun 1956, sebuah perusahaan Amerika
meluncurkan alat perekam video yang pertama didunia, yang dapat merekam
gambar pada kaset magnetis. Sony dan Philips kemudian melakukan riset-
riset pengembangan untuk mengurangi biaya kaset video sekaligus untuk
meningkatkan kualitas rekaman video. Pada tahun 1967, Sony berhasil
menciptakan sebuah alat perekam video industry, kemudian pada lima tahun
berikutnya Sony memperkenalkan seperangkat alat rekaman video berwarna.
Dan pada tahun 1972, Philips memperkenalkan sebuah alat perekam video
baru yang dilengkapi dengan pengatur arus listrik, pengatur waktu, dan dapat
dikoneksikan dengan TV.
e. Disk Optikal. Teknologi penyimpanan lainya yang berkembang dengan pesat
dengan menggunakan teknologi optikal, yaitu disk video,Video Compact Disk
(VCD), CD Foto, CD plus, CD Interaktif (CD-I), Digital Versatile Disk
(DVD). Semua teknologi ini menggunakan teknologi optikal untuk membaca
piringan logam.
Media Transmisi
Pada masyarakat tradisional media transmisi bisa berupa surat, mengirim surat
lewat hewan (burung merpati), lampu mercusuar, asap, kembang api, pos berkuda dan
baru 100 atau 200 yang lalu manusia berhasil menemukan segala jenis teknologi
transmisi.
Transmisi media dapat dibagi menjadi tiga kategori. (a) Komunikasi, transmisi
dari orang ke orang, di mana baik pengirim maupun penerimanya adalah spesifik. (b)
Penyiaran adalah transmisi dari satu orang ke banyak orang. (c) Jaringan, yang baru
berkembang kurang dari 20 tahun, adalah transmisi dari banyak orang ke banyak
orang.
3. Dampak Teknologi pada Kebudayaan
Pernah orang mengira bahwa teknologi itu netral saja, hanya alat belaka demi
kemajuan bangsa maupun perorangan. Kini anggapan naïf itu sudah semakin
ditinggalkan. Para ahli sekarang, anatara lain tim sarjana dari Universitas Lund di
Swedia dalam Research Policy Studies mereka mengenai “Technological
Transformation of Developing Countries,” yang mencatat dua hikmah pelajaran dari
pengalaman alih teknologi di masa lampau. Pertama, hanya self reliance,
keberdikarian untuk melepaskan ketergantungan, atau sikap mengandalkan dirilah
yang merupakan the only certain path demi pemekaran kemampuan produktivitas
serta pemenuhan sendiri kebutuhan-kebutuhan negara-negara sedang berkembang.
Tapi pelajaran yang kedua, yang dalam konteks pembicaraan kita sangat penting
adalah bahwa negara-negara sedang berkembang tidak mungkin mengalami
“transformasi” teknologi yang diperlukan untuk mencapai pengembangan andal diri
dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan minimum rakyat mereka, without also
experiencing a social transformation. Dengan kata lain, menerima dan mengolah
teknologi berarti mutlak: menerima dan mengolah sikap-sikap serta struktur–struktur
ipoleksosbud yang inheren melekat pada proses berteknologi itu. Sebab, munculah
yang serba baru, yang tak terduga semula, bahkan yang mungkin lebih mendalam
metamorphosis belaka seperti ulat menjadi kupu-kupu.
Dalam pasal terdahulu kita telah mencoba mata kita untuk mehgetahui tentang
kebutuhan-kebutuhan vital mengapa kita perlu mencari teknologi alternatif. Kita telah
mencoba sedikit untuk mendalami kodrat dan proses yang bergerak dalam gejala
historis yang disebut teknologi itu, mengenai struktur teknonya, tuntutan-tuntutanya,
hubunganya yang erat dengan si manusia, watak dan kececenderunganya, hubungan
masyarakat yang berubah dalam segala-galanya karena teknologi itu, sifat intelegensi
kolektif, bahkan sentralisme yang mau tak mau seolah-olah dipaksakan oleh kodrat
teknologi, dan akhirnya bahwa sebenarnyalah justru melalui teknologi kita semakin
sadar betapa kritis situasi kita.
Memang selama ini teknologi masih melayang dalam khayangan teoritis
abstrak, sampai derajat tertentu kita masih dapat berkata bahwa teknologi itu netral-
netral saja. Namun bila teknologi sudah mengejawantah dalam proses-proses
ipoleksosbudhankam yang konkret, maka masalahnya menjadi sangat lain. Teknologi
memang punya tuntutan konkret,punya warna nyata, punya politik praktis dan
kecenderungan memihak, dan karena itu sayangnya sering fatal.
Victor C. Ferkiss mengungkapkan pernyataan yang telah umum diakui oleh
kebanyakan dari kita, bahwa cuma manusialah di seluruh planet yang terlibat secara
kultural, termasuk segi teknologinya. Namun Ferkiss tidak membenarkan anggapan
bahwa teknologi telah menjadi tujuan di dalam dirinya sendiri. Ia bersikap pragmatis:
teknologi dari pengetahuan ilmiah ada untuk menghapuskan kemiskinan yang ada,
mencegah pencemaran lingkungan, dan membuat dunia menjadi tempat yang lebih
baik untuk kehidupan menusia. Jelas bahwa sasaran itulah yang dituju oleh semua
negara berkembang , termasuk Indonesia.
Lewis Mumford berpendapat bahwa kita telah terperangkap dalam sikap
memitoskan mesin. Manusia pada hakikatnya pertama dan terutama bukan homo
faber, manusia tukang pembuat perkakas, melainkan manusia yang memberi makna
dan membuat lambang-lambang pemaknaan hidupnya. Gambaran manusia pembuat
perkakas ini telah begitu dalam masuk dalam benak manusia (Barat) sehingga perlu
dibenahi. Perlu brain-washing dalam soal ini sebab sesungguhnya, menurut
Mumford,”hanya dengan membentuk penyaluran-penyaluran budaya, manusia dapat
menggali, mengendalikan sepenuhnya, serta memanfaatkan ciri wataknya sendiri. Dan
semua itu memuncak dalam evolusi penggunaan bahasa. Dalam bahasa manusia telah
tercakup totalitas manusia itu. Manusia di atas segala-galanya merupakan hewan
pencipta, pemikir, penguasa diri, serta perencana diri.
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang sangat memperhatikan pola dan tingkah
laku khususnya dalam bidang pencarian ilmu pengetahuan dan teknologi. Mereka
masih mengkorelasikan apa yang diusahakanya dengan budaya asli dan agama.
Sedangkan manusia Barat dan imitator-imitatornya cenderung tidak suka apabila
unsur moral, etika, apalagi religiositas, dimasukan dalam petimbangan mengenai arah
dan cara kerja ilmu pengetahuan dan teknologi. Sekulerisme radikal telah membuat
ilmu pengetahuan dan teknologi terbelah dan dipisahkan dari dunia moral dan
religiositas, dengan segala hasil gemilang yang harus kita akui, tetapi juga dengan
akibat-akibat buruk yang mengerikan masa kini, yang mampu untuk memusnahkan
segala hasil peradaban kebudayaan bangsa manusia, buah sekian juta tahun evolusi.
Oleh karena itu kita renugkan kembali suatu watak dasar yang disebut
“Kebudayaan Barat”, yang secara historis menjadi rahim teknologi itu. Kita telah
melihat betapa perkembangan teknologi yang semakin maju selalu cenderung untuk
meraih sentralisasi semakin ketat.
Memanglah, pengangkatan suatu bangsa berwarga 250 juta orang tidak
mungkin tanpa pertolongan teknologi. Namun struktur, cara kerja, dan banyak perkara
dalam proses berteknologi di masa sekarang sudah kelewat kompleks. Simple
homielies about progress or the exclusive use of criteria of economic efficiency will
no longer suffice (khotbah-khotbah gampang tentang kemajuan atau penggunaan
efisiensi ekonomi selaku tolak ukur satu-satunya sudah tidak cukup lagi), demikian
pendapat Langdon Winner, ahli ilmu politik teknologi dan kualitas hidup dari
Massachusetts Institute of Technology. In the professions, you find many people
arguing that what appeared to be useful techniques and strategies haven’t work well,
for example Peter Blake’s criticism of modern architecture in “Form Follows
Rasco”. Both insiders and outsiders are beginning to ask “What are we doing here,
and why?” and drawing upon a much richer set of concerns and concepts than they
had previously. (Dalam lapangan-lapangan kejuruan, kita menemukan banyak orang
mengatakan bahwa teknik-teknik dan strategi-strategi yang tampaknya bermanfaat
ternyata tidak berjalan baik, misalnya kritik Peter Blake tentang arsitektur modern
dalam “ Bentuk Mengikuti Kegagalan”. Orang-orang dalam maupun luar, kedua-
duanya mulai bertanya,”sedang apa kita ini, dan mengapa?” Lalu mereka mengubah
suatu kerangka keterlibatan dan konsep-konsep yang jauh lebih kaya dari
sebelumnya.)
Menurut Prof. Dr. A. Baiquni, Dirjen Batan (Badan Tenaga Atom Nasional),
teknologi bukan Cuma soal benda atau mesin. Peralatan dan mesin-mesin, betapapun
kompleksnya atau sederhananya, bukanlah teknologi. Mereka adalah hasil teknologi.
Yang lebih penting dari benda-benda adalah proses atau masyarakat menyediakan
modal, manajemen, pihak-pihak yang mendesain, merencana, berproduksi,
mendistribusi, memasarkan benda-benda hasil teknologi tersebut ke dalam rangkaian
kegiatan ekonomi.
Kompleks pengorganisasian teknologi yang lebih luas yang ditujukan Baiquni
tadi diberi nama Technostructure oleh John Kennet Galbraith, professor ekonomi dari
Harvard. Technostructure bukan hanya gugusan besar sekian proses teknologis saja,
mulai dari ilham gagasan pertama sampai dengan pemasaran hasil-hasil teknologi itu,
semacam wadah atau wahana pasif belaka, melainkan merupakan sesuatu yang
berperangai penguasa, menjadi tuan, dan yang menentukan das Wollen und Laufen
sang Manusia.
Pengalihan atau impor teknologi ternyata bukan sekedar masalah mengalihkan
teknologi belaka. Bersamanya juga berarti mengimpor sebuah kebudayaan baru yang
datang bersama teknologi tersebut. Maka jika masyarakat Indonesia telah bergaul
dengan teknologi tersebut, secara tidak disadari ia tengah diatur kebudayaan baru.
Oleh karena itu ahli sejarah komunikasi sosial dari Kanada, Marshall McLuhan dalam
bukunya, The Global Theatre, memperingatkan bahwa kita sedang memasuki zaman
yang sama sekali lain pearadigma-paradigmanya. Justru karena kita melihat betapa
teknologi mendekati kesempurnaan, kita harus waspada sebab there is an old saying
in the business world: If it works it must be absolute.
Kerangka paradigma asas-asas konsep serta realitas faktual teknologi seperti
yang kita kenal sekarang juga akan tenggelam. Pengamat-pengamat di negara-negara
industri tinggi sendiri, yang paling tajam melihat ke depan, telah serius berdiskusi
tentang zaman purna-industri, tentang filsafat pengembangan ilmu, teknologi, dan
seluruh struktur teknik yang serba baru dan yang mudah-mudahan lebih baik dari
yang sudah berlaku selama tiga abad terakhir ini.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian : Observasi
B . Lokasi Penelitian : Kampus UIN Maliki Malang
C . Waktu Penelitian : Pagi, Siang, dan Malam
D . Sumber Data : Hasil Observasi, Angket dan Wawancara.
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Pembahasan
Mengamati kompleksnya kehidupan mahasiswa UIN Maliki tenyata cukup
menarik. Banyak hal-hal tidak terduga yang bisa saya temui. Mulai dari kegiatan
mahasiswa di ruang kelas dengan kehidupan sosialnya yang serba menuntut
mahasiswa untuk mau berfikir, berkonsentrasi, berargumen, berkompetisi, dan
bertanya jawab. Lalu kegiatan mahasiswa di perpustakaan dengan kehidupan
sosialnya yang serba tenang, bersahabat dengan buku-buku, dan fokus mencari bahan
atau tambahan referensi yang dibutuhkan. Kemudian kegiatan mahasiswa di masjid
dengan suasana serba religius dimana setiap mahasiswa berlepas sejenak dari hiru-
pikuk kegiatan perkuliahanya untuk menenangkan pikiran dengan bertunduk dan
berdzikir dihadapan Pencipta. Selanjutnya kegiatan mahasiswa di tempat seminar
dengan kehidupan sosialnya yang mengajak mahasiswa untuk terus menjadi generasi-
generasi penuh karya. Kegiatan mahasiswa di kantin dengan suasana santai sambil
menikmati makanan dan bercengkrama dengan teman. Kegiatan mahasiswa di taman
dengan kehidupan sosialnya yang beragam, ada yang berkabung dengan tema asmara,
persahabatan, pendidikan, politik, dan sebagainya. Terakhir kegiatan mahasiswa di
asrama dengan kehidupan sosialnya yang mengajarkan mahasiswa untuk hidup rukun,
sederhana, saling menghargai, saling menjaga hak dan kewajiban, bertanggung jawab,
disiplin dan pandai dalam memenej waktu untuk belajar ataupun untuk beristirahat.
Namun yang menjadi perhatian saya di sini bukan pada kompleksnya kegiatan
atau kehidupan sosial mahasiswa, melainkan pada sesuatu yang selalu ada padanya.
Sesuatu itu bersifat melekat yang seakan sudah tidak dapat dipisahkan lagi dari
mereka. Apakah sesuatu itu ? Dengan tanpa ragu jawabanya adalah Handphone
disingkat HP ,sebuah alat komunikasi modern.
Bila kita perhatikan dengan seksama, ternyata hampir semua mahasiswa UIN
Maliki Malang ini memiliki HP. Dan hampir setiap saat mereka selalu membawanya.
Dari bangun tidur sampai tidur lagi, benda tersebut tak bisa jauh dari pemiliknya. Dari
sini lalu saya pun beranggapan bahwa HP bukanlah barang mewah lagi. Ia juga sudah
bukan sesuatu yang dianggap kebutuhan tersier atau sekunder tapi kebutuhan primer.
Nilainya sama dengan kebutuhan pangan. Anggapan saya terbukti benar. Ketika saya
melakukan wawancara pada beberapa mahasiswa dengan menanyakan seberapa
pentingnya HP untuk mereka, lalu mereka pun dengan enteng menjawab bahwa HP
itu sama pentingnya dengan membeli kebutuhan untuk mengisi perut kita. Bahkan ada
beberapa yang menjawab lebih ekstrim dengan menyatakan bahwa lapar itu lebih baik
daripada tidak memiliki HP. Sungguh di luar perkiraan kita. Teori mengatakan bahwa
manusia akan berubah pola dan pikirnya sesuai dengan apa yang menjadi
kepentinganya. Ketika mahasiswa sering berinteraksi atau berhubungan dengan
teknologi, maka secara otomatis kebutuhan akan teknologi tersebut semakin
menggantikan kebutuhannya terhadap kebutuhan yang lain.
Nilai yang sama antara teknologi dengan kebutuhan pangan memang
sepatutnya bisa kita hindari. Karena itu merupakan pelanggaran terhadap fitrah
manusia dimana kebutuhan untuk mengisi perut yang lapar ditanggalkan akibat
adanya teknologi sebagai kebutuhan utama baru. Akan tetapi, upaya tersebut tidaklah
mudah dilakukan karena kita tahu bahwa perkembangan teknologi komunikasi begitu
cepat bahkan lebih cepat dari lari seekor kuda sekalipun. Seperti kita ketahui bahwa
hanya dalam waktu sekitar 80 tahun sejak ditemukanya alat telekomunikasi yang
hanya bisa dipakai untuk berbicara saja kini telah bermetamorfosis menjadi alat
komunikasi super canggih dengan dilengkapi berbagai fitur seperti pesan teks SMS,
pesan gambar MMS, penangkap siaran radio, perekam video, kamera, 3G dan video
call, internet, aplikasi dan game java , e-book, MP3, dan Bluetooth. Dengan
kecanggihan tersebut tentu amat mustahil orang tidak terbius untuk memiliki HP.
Pengaruh teknologi HP yang begitu kuat selain menggeser hirarki kebutuhan
pangan menjadi nomor dua ternyata HP menggeser sedikit demi sedikit kebudayaan
mahasiswa UIN Maliki Malang. Berdasarkan survey dan data statistik dari observasi
terhadap mahasiswa di lapangan, saya mendapati kebanyakan mahasiswa lebih sibuk
bermain dengan HP ketimbang dengan kegiatan seperti mengaji, sobahul lughoh,
belajar kelompok, olahraga, mengunjungi teman-teman yang lumayan jauh dari
kampus, dan sebagainya. “Konon dulu,” kata mahasiswa alumni UIN, “ketika jarang
yang memiliki HP, setiap pagi mereka pasti mengaji, sobahul lughoh pun serius
sambil mencatat, coba sekarang kebanyakan sekedar guyonan dan jarang ada yang
mencatat”. “Bagaimana mencatat, yang dibawa adalah HP bukan buku catatan”.
Tambahnya lagi bahwa sebenarnya mahasiswa UIN ini sering mengadakan belajar
kelompok, tapi sekarang budaya itu telah digantikan dengan belajar HP-an. Di mana-
mana yang di kerjakan adalah menelepon, SMS-an, MP3-an, Foto-foto, Game-an,
Internetan (sebagai dunia sejuta ilmu sehingga mungkin yang menjadi faktor utama
hilangnya budaya belajar kelompok), atau FB-an. “Dulu juga mahasiswa UIN sering
berkunjung bareng ke rumah teman yang rumahnya lumayan jauh dari kampus untuk
silaturahmi. Tapi sejak adanya HP, kita sudah tidak lagi melakukanya. Kita cukup
ngobrol atau kirim pesan melalui HP.” Kata Mas Alik alumni UIN jurusan Bahasa
dan Sastra Arab.
Pernyataan-pernyataan di atas mungkin tidak bisa menjadi sebuah kebenaran
mutlak karena hanya beberapa mahasiswa saja yang mengalaminya. Masih perlu
pembuktian khusus untuk memastikan kebenaran pernyataan tersebut. Kemudian saya
pun mencoba menelaah kembali dengan cara menyebarkan angket ke 30 mahasiswa
UIN Maliki Malang semester satu sampai semester delapan. Angket tersebut salah
satunya memuat pernyataan “saya lebih banyak menghabiskan waktu dengan teman di
telepon atau SMS.” Hasilnya dari 30 mahasiswa yang mengisi angket tersebut 20
orang menyatakan sangat setuju, 2 orang setuju dan 8 orang ne tral. Ini artinya
kehidupan mahasiswa benar-benar banyak bergerak di dunia gelombang (HP).
Mungkin timbul pertanyaan apa hubunganya pernyataan dalam angket dengan
hilangnya budaya belajar kelompok. Kita kembali ke teori mengenai apa itu
komunikasi. Komunikasi seperti yang sudah dipaparkan di lembar sebelumnya yang
dijelaskan oleh Allan Jhonson adalah berhubungan dan bergaul. Lalu kita hubungkan
dengan teori Sayling Wen yang menerangkan media komunikasi (HP) sebagai media
transmisi. Dari kombinasi dua teori ini kita dapat menyimpulkan bahwa HP
melakukan peran untuk menghubungkan pergaulan antar mahasiswa UIN Maliki
sehingga berdampak pada rendahnya frekuensi interaksi mahasiwa di dunia yang
sebenarnya. Dengan demikian maka tidaklah heran jika kegiatan belajar kelompok
sudah ditinggalkan. Mahasiswa bisa melakukanya melalui seluler. HP bahkan bisa
menjadi media transmisi informasi yang sangat cepat. Kita tinggal surf di internet atau
kita bisa chat dengan teman untuk bertanya sesuatu.
Jika dulu buku adalah sumber informasi yang sangat penting, sekarang ketika
HP yang dilengkapi berbagai fitur yang juga mendukung proses akademik ternyata
juga berhasil menggeser kedudukan buku sebagai satu-satunya sumber informasi
untuk pendidikan. Padahal buku dan kertas digunakan sebagai media penyimpanan
informasi kira-kira sudah 3000 tahun yang lalu oleh bangsa Tionghoa. Sedangkan HP
hanya dalam waktu kurang dari satu abad baru dikenal oleh masyarakat. Akan tetapi,
kita tidak mempermasalahkan menomor satukan apa „buku atau HP‟ sebagai sumber
informasi yang mendukung kegiatan akademik mahasiswa. Yang menjadi fokus
pembahasan adalah sejauh mana para mahasiswa menggunakan HP dalam proses
belajar. Ketika saya memperhatikan mahasiswa dengan HP-nya, yang saya dapati
adalah mereka menggunakanya sekedar untuk meng-up-date status di situs jejaring
seperti Facebook dan Twitter atau mereka menggunakanya hanya sekedar untuk main
games, mendengarkan musik MP3 atau untuk nonton video-video yang tidak ada
hubunganya dengan pendidikan. Kemudian saya iseng bertanya kepada seorang
mahasiswa yang memang telah menjadi perhatian saya,“ Seberapa sering anda meng-
up-date status di Facebook atau Twitter ?” Dia menjawab, “Saya meng-up-date
status di Facebook tiga sampai lima kali dalam sehari.” “Tapi ka lau waktu luang bisa
tiga sampai sepuluh kali sehari.” Saya bertanya lagi, “ Seberapa sering anda
mengunjungi situs-situs yang berbau pendidikan?” “Mungkin satu atau dua kali
dalam sehari. Itu juga kalau saya ada tugas perkuliahan atau mencari bahan refe rensi
untuk presentasi di kelas.” Jawab mahasiswa tersebut.
Informasi dari wawancara tersebut memberikan saya sedikit gambaran
mengenai keberadaan HP bersama mahasiswa. Tapi saya masih perlu data pendukung
tambahan sebagai pembuktian. Dengan inisiatif lain, siang hari saya duduk-duduk
santai di kantin sambil mendengarkan percakapan mahasiswa yang sedang makan
atau sekedar ngumpul sambil ngopi. Sempat saya mendengar percakapan tiga
mahasiswa. Mereka asyik membicarakan mengenai Facebook. Katanya salah seorang
dari mereka, “ Hampir setiap malam saya chat sama pacarku di FB pake HP. Soalnya
HP-ku ini ada aplikasinya disamping karena laptop saya susah wifi-an.” Terus saya
berfikir kapan dia belajarnya sementara saat pagi ada kuliah, siang nongkrong di
kantin dan malam FB-an. Memang tidak arif bila saya menghukuminya langsung
seperti itu. Bisa saja dia FB-an hanya beberapa menit saja, selanjutnya dia belajar.
Akan tetapi, bisa kita logikakan. Mahasiswa yang suka ngobrol waktu siang hari pasti
akan lebih suka untuk bersantai saat malam hari. Mengapa demikian ? Karena setelah
seharian mereka kuliah atau banyak menghabiskan waktu dengan teman, malam
harinya mereka pasti akan merasa lelah, malas untuk berfikir, atau inginya cepat tidur.
Apalagi kalau FB-an itu telah menjadi rutinitas, maka kemungkinan besar mahasiswa
akan kecanduan dan merasa gatal jika sehari tidak up-date status.
Gambar seorang mahasiswa yang
sedang sibuk SMS-an sama
temanya pada saat
PKPBA.
Keadaan ini tentu saja sangat berdampak pada kualitas akademik para
mahasiswa. Waktu yang seharusnya dipakai untuk belajar dibuang percuma. Terlebih
ketika berada di ruang kelas. Faktanya semua mahasiswa
yang memiliki HP, berdasarkan pengamatan rutin yang saya
lakukan, pasti tidak lupa untuk membawa HP ke kelas dan
HP tetap dalam keadaan aktif. Meskipun ada dosen yang
sedang mengajar, mahasiswa tetap disibukan dengan HP.
Seperti bisa anda lihat pada gambar disamping.
Bagaimana mungkin dia akan berkonsentrasi dengan
pelajarannya, jika yang dia pikirkan adalah balas pesan
temanya ? Maka dari sini kita bisa mengambil dugaan
sementara bahwa HP memiliki pengaruh pada kegiatan
belajar mahasiswa UIN Maliki Malang.
Memang membahas mengenai dampak yang ditimbulkan HP memerlukan
pengkajian mendalam serta membutuhkan data dari berbagai sumber terpercaya.
Bukan hanya data yang didapat dari pengamatan sendiri. Namun tidak ada salahnya
juga jika kita membuka wacana ini sebagai proses pembelajaran penelitian.
Kembali ke pembahasan mengenai HP. Selain yang telah dipaparkan di atas,
pengaruh HP juga menjalar pada kebiasaan mahasiswa ketika mereka makan. Sering
saya jumpai beberapa mahasiswa UIN Maliki Malang meletakan HP di sampingnya
atau sambil telponan pada waktu mereka asyik menikmati makanan. Disini mungkin
tidak ada satu hal yang bisa disebut dengan masalah. Tapi bila kita mau berfikir kritis,
kita akan menemukan sebuah kebudayaan yang sangat berlainan dengan kebudayaan
masyarakat Indonesia pada umumnya.
Saat makan menurut aturan budaya masyarakat Indonesia kita dilarang untuk
melakukan hal-hal diluar kegiatan makan. Jangankan ngobrol, sendok dan piring saja
tidak boleh mengeluarkan suara. Artinya budaya makan adalah dengan suasana tanpa
suara berisik. Disini kita boleh saja mengatakan bahwa aturan itu hanya berlaku di
masa lampau dan tidak berlaku lagi untuk masa kini. Ya, kita bisa berkata demikian.
Namun, kita juga harus ingat bahwa ketika satu budaya asli Indonesia kita
tenggelamkan, maka tidak menutup kemungkinan budaya-budaya yang lain juga ikut
ditenggelamkan. Misalnya seperti budaya tunjuk jalan. Dulu ketika ada yang bertanya
mengenai alamat, maka kita akan menunjukanya dengan mengarahkan jari jempol kita
ke arah yang dimaksud. Sedangkan di masa sekarang orang biasanya menunjukan
jalan hanya dengan ucapan saja atau jika menunuk tidak lagi dengan jari jempol.
Budaya itu sudah jarang lagi kita jumpai atau bahkan sudah menedekati kepunahan.
. Lebih ironi lagi, HP ternyata menyita
waktu mahasiswa untuk mengerjakan kegiatan
pagi yang sangat bermanfaat untuk kesehatan
seperti senam atau jalan-jalan pagi. Kita tahu
bahwa di kampus UIN Maliki ini ada kegiatan
rutin yang dilaksanakan setiap pagi yaitu senam
sebelum melaksanakan shobahul lughoh.
Kegiatan ini dimaksudkan agar semua
mahasiswa khususnyaa mahasiswa baru sehat,
penuh semangat dan selalu tampak ceria. Karena ada HP yang menyibuka n
mahasiswa, akhirnya manfaat dari kegiatan ini kurang bisa didapatkan. Lihat saja
pada gambar di samping ini. Ada yang sambil berdiri dan ada yang sambil jongkok.
Keduanya sama-sama sibuk dengan HP.
Fakta-fakta di atas mungkin sedikit bisa menyadarkan mahasiswa betapa HP
telah menjadi sebuah ketergantungan. Mahasiswa tanpa dirasa telah diperbudak oleh
benda elektronik ini. Apabila terus dibiarkan demikian maka lambat laun mahasiswa
UIN Maliki Malang pasti akan mendapat dampak buruk yang lebih besar lagi dari apa
yang bisa saya paparkan disini.
Mungkin timbul dalam pemikiran bahwa lebih baik saya tidak punya HP jika
banyak menimbulkan dampak buruk. Menurutku cukup direnungkan saja karena HP
ternyata bisa memberikan banyak manfaat terhadap kehidupan kita khususnya bagi
kegiatan kita di kampus UIN Maliki Malang. Di bawah ini akan dijabarkan beberapa
manfaat dari HP jika kita benar menggunakanya:
1. Memberikan akses kemudahan yang mahasiswa dalam menjalin silaturahmi.
Berdasarkan dari apa yang telah saya observe baik langsung dan tidak
langsung, banyak mahasiswa setuju bahwa HP digunakan untuk
menyambungkan tali silaturahmi dan mengembangkan jaringan sosialnya.
Gambar mahasiswa yang sibuk
dengan HP-nya saat senam pagi.
2. HP menjadi alternative bagi mahasiswa yang memiliki rasa canggung dalam
berkomunikasi dengan orang tua maupun dosen .
3. HP bisa dijadikan tempat mencatat sesuatu apabila lupa membawa buku
catatan atau jika ada hal-hal mendadak yang perlu untuk dicatat dan
kebetulan hanya ada HP.
4. HP bisa menjadi sumber informasi selain dari buku. Berbagai fitur yang ada
pada HP seperti internet, video, kamera, MP3 dan radio bisa menjadi
fasilitas kita untuk menyimpan data-data penting yang ada hubunganya
dengan pendidikan.
5. Komunikasi dengan orang tua tidak terputus, artinya setiap hari kita bisa
memberikan kabar apapun kepada mereka.
Demikianlah beberapa manfaat yang bisa saya tarik dari hasil pengamatan
saya di lapangan. Kemungkinan masih banyak lagi yang lainya jika kita mau
meninjau atau meneliti lebih jauh. Keterbatasan data dan waktulah yang menjadi
aspek kurangnya informasi yang bisa saya berikan kepada publik.
BAB V
A. KESIMPULAN
Handphone dibuat oleh manusia pada dasarnya adalah untuk memberikan
kemudahan dalam berkomunikasi baik jarak dekat ataupun jarak jauh. Dulu saat
manusia belum menemukan HP, terdapat banyak kesulitan di dalam komunikasi
sosial. Antara lainya adalah keterbatasan ruang dan waktu. Misalnya sekitar 500 tahun
SM pada masa Raja Persia Darius, komunikasi jarak jauh dilakukan dengan cara
menempatkan prajuritnya di setiap puncak bukit lalu saling berteriak satu sama lain,
sehingga suara biasa terdengar sampai jarak bermil-mil. Meski demikian, komunikasi
dengan cara ini membutuhkan waktu yang relatif lama. Untuk berkomunikasi dengan
jarak 450 mil dibutuhkan waktu lebih dari 2 hari agar pesan yang diteriakan tadi
sampai di tujuan. Sekarang kita bandingkan dengan HP. Hanya beberapa detik dan
tanpa harus naik ke perbukitan lalu berteriak pesan bisa langsung terkirim dan
diterima oleh komunikan walaupun jarak si pengirim dengan si penerima ribuan mil.
Penemuan alat komunikasi super canggih ini tentunya patut kita syukuri dengan
cara memanfaatkan sebaik-baiknya bagi keberlangsungan kehidupan kita. Mahasiswa
yang sedang menempuh pendidikanya bisa menggunakan HP sebagai sarana mencari
informasi- informasi penting baik yang berhubungan dengan yang digeluti saat ini atau
selainya. Mahasiswa juga bisa memanfaatkan HP sebagai media penyambung
silaturahmi kepada orang tua, dosen, dan teman.
Adapun dampak buruk yang bisa diakibatkan dari adanya HP adalah kegiatan
mahasiswa bisa saja lebih disibukan oleh bermain-main dengan HP terutama aplikasi
dan games-nya dibanding disibukan dengan belajar, bekerja, berolahraga, atau
melakukan hal-hal yang lebih bermanfaat. HP bisa juga memberikan peluang kepada
mahasiswa untuk melakuka kejahatan seperti meneror atau menyebarkan isu- isu
bohong ke masyarakat. Namun semua itu kembali lagi kepada diri pribadi karena pada
hakikatnya teknologi dibuat adalah sebagai upaya untuk memberi kemudahan kepada
manusia dalam melakukan segala aktifitasnya bukan untuk mendidik manusia menjadi
buruk.
B. SARAN
Kepada semua mahasiswa yang memiliki HP, diharapkan untuk
menggunakanya secara bijaksana. Gunakanlah untuk mendukung proses belajar di
kampus UIN ini. Manfaatkan fitur-fitur seperti aplikasi internet untuk mencari
informasi selain dari buku, kamera untuk mengambil gambar-gambar kejadian yang
memiliki pesan berarti, video untuk merekam kegiatan-kegiatan menarik atau untuk
melihat film-film ejukasi, dan manfaatkan layanan SMS dan Telepon untuk
membangun komunikasi sosial di masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Soekanto, Soerjono, 1982. Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada.
Mulyana, Deddy, 2007. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, Bandung : PT
Remaja Rosdakarya Offset.
Effendy, Onong Uchjana, 2005. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, Bandung:
PT Remaja Rosdakarya Offset.
Bungin, Burhan, 2008. Sosiologi Komunikasi, Teori, Paradigma, dan Diskursus
Teknologi Komunikasi di Masyarakat, Jakarta : Kencana.
Mangunwijaya, 1999. Pasca Indonesia Pasca Einstein, Esei-esei Tentang
Kebudayaan Indonesia Abad ke-21, Yogyakarta : KANISIUS.
Rogers, Everett M. Communication Technology; The New Media in Society,
London : The Free Press Collier Macmillan Publisher.
Soelaeman, Munandar, 2009. Ilmu Sosial Dasar, Teori dan Konsep Ilmu Sosial,
Bandung: PT Refika Aditama.