Transcript
Page 1: Masalah putus sekolah dan pengangguran

MASALAH PUTUS SEKOLAH DAN PENGANGGURAN- Tinjauan Sosiologi Pendidikan -

Oleh: St Wardah Hanafie Das & Abdul Halik

I.         PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah

Masyarakat global telah dilanda syndrome kronis dan akut dalam personal manusia

dalam berbagai aspek, baik ideologi, moral, cultural, paradigm, dan sebagainya. Noam

Chomsky menilai globalisasi yang tidak memprioritaskan hak-hak rakyat (masyarakat) sangat

mungkin merosot terjerembab ke dalam bentuk tirani, yang dapat bersifat oligarkis dan

oligopolistik. Globalisasi semacam itu didasarkan atas konsentrasi kekuasaan gabungan

Negara dan swasta yang secara umum tidak bertanggungjawab pada publik.1[1] Penomena ini

berdampak besar bagi order social di dalam membangun peradaban, karena ranah kapitalis

dan neoliberalis yang jadi ‘urat nadi’ dinamika sosial.

Tuntutan kontemporer menegaskan eksistensi manusia didasari oleh daya saing yang

tinggi. Tumbuhnya daya saing tinggi tentunya di backup oleh pendidikan. Senada dengan hal

tersebut, Druker yang meramalkan bahwa masyarakat modern mendatang adalah masyarakat

knowledge society, dan siapa yang akan menempati posisi penting adalah educated person.2

[2] Manusia terdidiklah yang dapat memainkan peranan penting dalam dunia global

kontemporer.

Sebagai tuntutan atas menguatnya ledakan informasi dan pengetahuan masyarakat

modern, lembaga pendidikan di masa global dalam penyelenggaraan fungsinya harus mampu

mengajarkan bagaimana dapat memperoleh informasi dan mengolah informasi kepada

peserta didik, baik mereka yang berasal dari keluarga yang berkecukupan maupun yang

papa.3[3] Dengan demikian, pemerataan dan akses pendidikan perlu ditingkatkan sehingga

fungsi dan peran pendidikan secara filosofis dapat berjalan dengan baik.

1

2

3

Page 2: Masalah putus sekolah dan pengangguran

Dalam konteks epistemologi pendidikan Islam di Indonesia, masih lebih besar

penekanan vertikalnya ketimbang horisontalnya, sehingga pembahasan materi cenderung

melangit, ideal, bermetafisika penuh, dan fokus pada dogmatisme kebenaran yang terkadang

membuat agama dan ilmu pengetahuan tidak terasa fungsinya karena tidak terlalu praksis

emansipatoris.4[4] Epistemologi pendidikan Islam telah banyak terkondisikan dan

mengadopsi epistemologi pendidikan Barat modern yang tentunya tidak sesuai dengan nilai-

nilai dasar dan semangat Islam karena penuh dengan status quo dan penindasan.

Olehnya itu, pendidikan Islam diharapkan dapat menjadi elan vital dalam memajukan

harkat dan martabat masyarakat melalui kesadaran akan pendidikan. Kesadaran masyarakat

terhadap pendidikan akan menjadi ‘embrio’ bagi eksistensi kehidupan. Namun, kini masih

banyak masyarakat justru tidak dapat mengenyam pendidikan dan ada yang sudah

mengenyam pendidikan (atau putus sekolah) tapi tidak mendapat tempat yang layak di dalam

masyarakat (menganggur).

Dalam makalah ini akan dikaji tinjauan sosiologis pendidikan mengenai putus sekolah

dan pengangguran.

B.       Rumusan Masalah

Berdasarkan pembahasan prolog tersebut di atas, maka dalam makalah ini akan

dikemukakan permasalahan yang menjadi kajian sentral, yaitu:

1. Apa yang menjadi penyebab putus sekolah dan pengangguran?

2. Bagaimana tinjauan sosiologi pendidikan terhadap putus sekolah dan pengangguran?

II.      PEMBAHASAN

A.      Penyebab Putus Sekolah dan Pengangguran

1. Penyebab Putus Sekolah

Putus sekolah dan pengangguran menjadi masalah krusial dalam kehidupan berbangsa

dan bernegara. Putus sekolah dapat terjadi akibat dari berbagai persoalan dalam aspek politik,

ekonomi, hukum, budaya, dan sebagainya. Putus sekolah masuk ke dalam seluruh ranah

4

Page 3: Masalah putus sekolah dan pengangguran

masyarakat khususnya di Indonesia telah menjadi phenomena tersendiri, dan memiliki motif

yang beragam.

Menurut Sekjen Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, kasus putus

sekolah yang paling menonjol tahun ini terjadi di tingkat SMP, yaitu 48 %. Adapun di tingkat

SD tercatat 23 %. Sedangkan prosentase jumlah putus sekolah di tingkat SMA adalah 29 %.

Kalau digabungkan kelompok usia pubertas, yaitu anak SMP dan SMA, jumlahnya mencapai

77 %. Dengan kata lain, jumlah anak usia remaja yang putus sekolah tahun ini tak kurang dari

8 juta orang.5[5] Angka statistik tersebut menunjukkan tingkat putus sekolah pada jenjang

pendidikan menengah ke bawah masih sangat tinggi, sehingga pendidikan di Indonesia belum

merata pada setiap jenjang.

Angka anak yang putus sekolah umur 8–15 tahun merupakan proporsi anak putus

sekolah pada tingkat pendidikan tertentu pada suatu waktu terhadap jumlah peserta didik

pada tingkat pendidikan tertentu pada waktu tertentu pula. Peserta didik yang putus sekolah

adalah peserta didik yang tidak melanjutkan lagi sekolahnya sebelum menamatkan tingkat

pendidikan yang sedang ia duduki.6[6] Peserta didik yang putus sekolah boleh jadi berhenti

atau tidak melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi.

Putus sekolah sering terjadi, baik di masyarakat perkotaan maupun di pedesaan, pada

masyarakat terdidik maupun yang kurang terdidik. Hal ini mendeskripsikan putus sekolah

dapat terjadi karena faktor yang bervarian. Secara makro, penyebab putus sekolah disebabkan

karena faktor ekonomi, keluarga, teman sebaya, masalah pribadi.7[7] Penyebab terjadinya

putus sekolah secara umum adalah karena terjadinya resesi ekonomi baik dalam skala makro

(bangsa) maupun dalam skala mikro (keluarga), persepsi, asumsi, dan kondisi keluarga

terhadap pendidikan, pergaulan teman sebaya khususnya pada dampak negatif, dan kondisi

anak (baik fisik maupun psikis).

Kemudian menurut Ny Y. Singgih D. Gunarsa, bahwa faktor penyebab putus sekolah

adalah bersumber pada anak itu sendiri dan bersumber di luar anak, yaitu faktor keluarga dan

5

6

7

Page 4: Masalah putus sekolah dan pengangguran

sekolah.8[8] Pandangan ini senada dengan pendapat John W. Santrock, namun Y. Singgih

juga menekankan pada pihak sekolah, seperti sistem pendidikan, layanan pendidikan, biaya

pendidikan, akses pendidikan, dan sebagainya. Sekolah dapat menjadi penyebab terjadinya

putus sekolah bagi anak apabila kurang respek dengan sistem pembelajaran yang

memenjarakan, biaya pendidikan tinggi, akses pendidikan terbatas atau tidak terjangkau.

Apresiasi Wahono menilai orang tua khususnya di Indonesia rata-rata sadar akan

pentingnya pendidikan sehingga faktor ekonomi yang menjadi alasan mendasar. Penyebab

anak putus sekolah ada kaitan erat antara beban ekonomi masyarakat dan kegiatan

pendidikan, yakni karena kesulitan finansial, ujung-ujungnya adalah demi membantu

ekonomi orang tua, anak-anak terpaksa terbengkalai pendidikannya, dan bahkan mereka

putus sekolah.9[9] Keluarga yang belum beruntung secara ekonomi menjadikan anak sebagai

penopang dalam pemenuhan ekonomi keluarga, sehingga anak terpaksa membantu

keluarganya mencari nafkah dan akhirnya putus sekolah.

Tingginya angka putus sekolah membawa dampak yang sangat besar dalam

kehidupan berbangsa dan bernegara. Anak yang putus sekolah membawa keresahan sosial,

ekonomi, moral, dan masa depan. Menurut H. Sahilun A. Nasir menyatakan bahwa akibat

anak putus sekolah membawa dampak terjadinya degradasi moral, budi pekerti, patriotisme,

dan ketidakpuasan para anak, maka pada akhirnya akan mengakibatkan kerugian besar

bangsa, masyarakat, dan Negara.10[10] Pada dasarnya, anak yang putus sekolah menjadi

beban Negara dalam berbagai aspek, seperti ekonomi, degradasi kultural, moral, intelektual,

spiritual, sosial, dan sebagainya.

2. Penyebab Pengangguran

Pengangguran menjadi wacana urgen dikaji, baik dalam skala lokal maupun global.

Karena pengangguran membawa dampak yang sangat besar bagi kelangsungan hidup

masyarakat dan bangsa. Rakyat yang menganggur mengakibatkan keresahan di dalam

8

9

10

Page 5: Masalah putus sekolah dan pengangguran

masyarakat seperti beban social, psikologis, ekonomi, dan sebagainya. Seseorang dapat hidup

dengan eksis apabila dapat hidup dengan layak, aman, adil, dan sejahtera. Seseorang yang

menganggur sangat sulit menempuh hidup yang layak, aman, merasakan dan bersikap adil,

serta sejahtera.

Konteks pengangguran di Indonesia, menurut hasil survey angkatan kerja nasional

BPS (Badan Pusat Statistik) Februari 2007 tercatat pengangguran 10,5 juta jiwa (9,75%), dan

sedangkan pengangguran intelektual sebanyak 740.206 jiwa (7,02%).11[11] kemudian

keterangan yang lain menunjukkan pengangguran pada tahun 2009 sudah mencapai 10 juta

jiwa (12 %). Angkat tersebut sangat tinggi sehingga sangat rawan dalam konteks kehidupan

sosial, dan tingginya angka pengangguran menunjukkan stabilitas sosial dan ekonomi

semakin terancam.

Pengangguran merupakan suatu keadaan yang menakutkan, karena energi

sekelompok orang, yang tidak dapat disalurkan lewat pekerjaan atau kegiatan yang produktif,

kemudian mencari jalan penyaluran yang merugikan masyarakat atau malahan

membahayakan orang lain.12[12] Hal tersebut menjadi bagian yang sangat penting mencari

jalan keluar dari lingkaran pengangguran. Semakin tinggi jumlah penganggur maka semakin

berdampak besar pada pembangunan order social, seperti keresahan sosial, konflik,

kemiskinan, dan sebagainya.

Dalam konteks sosiologis, pengangguran dapat terjadi dalam berbagai bentuk, yaitu:

1.      Pengangguran Struktural (menganggur karena terjadi resesi ekonomi atau PHK).2.      Pengangguran sementara (menganggur karena pindahnya dari pekerjaan satu ke pekerjaan

lain)3.      Pengangguran tidak tetap (menganggur karena selesai kontrak dan menunggu kontrak lain)4.      Pengangguran teknologi (menganggur karena pergantian tenaga mekanik)5.      Pengangguran residu (menganggur karena tidak mau bekerja).13[13]

Pengangguran dapat menimpa masyarakat apabila terjadi resesi ekonomi secara global

dan nasional sehingga menjamur PHK karena sector ekonomi rill tidak mampu membiayai

tenaga kerja. Pengangguran juga dapat terjadi apabila job kerja dimutasi dari tempat yang

satu ke tempat yang lain, kontrak kerja selesai atau pekerjaan yang tidak kontiniu. Akselerasi

11

12

13

Page 6: Masalah putus sekolah dan pengangguran

teknologi mutakhir dapat menimbulkan pengangguran karena pekerjaan digantikan system

mekanik yang dapat menggantikan tenaga manusia. Kemudian pengangguran terjadi akibat

dari semangat kerja atau sikap malas yang menggerogoti seseorang.

Permasalahan pengangguran menjadi masalah besar, maka dibutuhkan penanganan

dan penyelesaian yang serius. Menurut Minsky, pengangguran tidak dapat diatasi tanpa

campur tangan pemerintah, dalam hal ini pasar tidak akan dengan sendirinya menyelesaikan

persoalan pengangguran serta derivasi masalah yang ditimbulkannya, seperti kemiskinan dan

ketimpangan.14[14] Olehnya itu, pemerintah dan tentunya masyarakat harus sinergis dalam

membangun sumber daya manusia yang berdaya saing tinggi. Pemerintah membuka akses

pendidikan yang seluas-luasnya, menciptakan lapangan kerja dan memberikan jaminan kerja

kepada masyarakat. Kemudian masyarakat harus menumbuhkan kesadaran yang tinggi

terhadap pendidikan, meningkatkan etos kerja dan semangat entrepreneurship.

B.       Tinjauan Sosiologi Pendidikan terhadap putus sekolah dan pengangguran

Pendidikan merupakan esensi dasar dari kehidupan manusia. Manusia dapat hidup

dengan baik apabila didukung oleh landasan pendidikan yang benar, terutama dalam era

kompetitif sekarang ini. Karena pendidikan berfungsi sebagai alat yang strategis dalam

pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM).15[15] Pendidikan menjadi motor penggerak

kelangsungan hidup layak, baik dalam konteks politik, sosial, ekonomi, maupun budaya.

Problem dalam pendidikan yang ada di Indonesia adalah; bentuk pendidikan yang

bersifat Parsial, Pragmatis, dalam banyak hal justru bersifat paradox.16[16] Parsial, karena

pendidikan yang ada hanya sebatas mengembangkan intelektual dan ketrampilan dan

melupakan pendidikan akhlak dan moral. Hal tersebut menjadikan hasil dari pendidikan yang

semacam ini menumbuhkan banyak orang-orang yang trampil dan cerdas secara intelektual

namun miskin dalam peringai dan tingkah laku, sehingga banyak orang-orang pintar namun

rusak moral dan ahlaknya. Pendidikan yang demikian adalah agen untuk melayani

kepentingan dan kebutuhan hidup yang ada dalam masyarakat. Karena masyarakatnya

14

15

16

Page 7: Masalah putus sekolah dan pengangguran

industri maka yang laku adalah fakultas ekonomi, karena masyarakatnya butuh informasi dan

tehnologi maka yang laris adalah fakultas tehnik informatika dan lain sebagainya.

Bersifat Praktis dan pragmatis,17[17] hal tersebut tercermin dalam orientasi

pendidikan yang ada, yaitu lapangan kerja; dalam banyak hal sekolah didirikan dengan

konsep siap pakai, siap kerja, siap latih. Mengukur hasil pendidikan dengan ukuran yang

sederhana, berapa lama kuliah dapat diselesaikan, IPK yang dapat dicapai. Kesuksesan

sebuah lembaga pendidikan dilihat dari seberapa cepat peserta didiknya diterima di lapangan

kerja, dan seberapa besar gaji yang dapat diperolehnya. Hal demikian bertolak belakang

dengan konsep pendidikan dalam Islam. dimana dimensi terpenting dari hidup manusia yang

menjadi orientasinya, bagaimana pendidikan dapat memberikan pengaruh dalam jiwa peserta

didik untuk mengembangkan manusia menjadi semakin bertaqwa, beriman, berbudi luhur,

berpengetahuan luas, trampil dan lain sebagainya. Pendidikan yang ada di Indonesia tidak

menyentuh aspek substansi atau yang hakiki dan inti tersebut, melainkan hanya pada kisaran

kulit dan kepentingan sesaat. Hal tersebut terjadi karena pandangan yang keliru dalam

memahami hakekat, peranan dan tujuan hidup manusia di dunia.18[18]

Bersifat paradox, pendidikan sesungguhnya adalah proses peniruan, pembiasaan,

penghargaan. Namun yang terjadi adalah sebaliknya. Dalam pendidikan yang ada di

Indonesia sulit sekali menemukan seorang Pendidik yang ideal, yang menjadi sumber

inspirasi bagi anak didiknya. Seperti apa yang dikatakan oleh Muhammad Samir Al Munir

menyatakan bahwa:

“kami meletakan belahan hati dan jiwa kami di hadapan anda agar mereka mendengarkan apa kata anda. Mata mereka terikat kepada anda. Yang baik menurut mereka adalah apa yang anda perbuat dan yang buruk menurut mereka adalah apa yang anda tinggalkan. Karena itu, dalam memperbaiki mereka, yang pertama kali harus anda perbaiki adalah diri anda sendiri. Anda jaga diri anda agar senantiasa berada di dalam kebaikan…di hadapan anda ada saudara-saudara dan anak-anak kami. Mereka mendapat hidayah dengan ilmu anda. Mereka menuai buah dari benih yang anda tanam, karena itu jadilah teladan yang baik bagi mereka”19[19]

Konsep pendidikan dalam tinjauan Islam yang diharapkan adalah bagaimana peserta

didik dapat cerdas intelektual, emosional, spiritual, social, dan teknikal. Integrasi ini akan

17

18

19

Page 8: Masalah putus sekolah dan pengangguran

menjadi cerminan muslim yang dapat hidup eksis, dinamis, inovatif-kreatif, dan menjadi

rahmatan lil alamin. Proses pendidikan yang dilaksanakan harus memiliki visi misi yang

jelas, pelayanan yang tepat, dikelola secara profesional, dan berorientasi pada peserta didik

dan tuntutan zaman.

Berbagai persepsi berkembang bahwa pendidikan konteks ke-Indonesia-an cenderung

untuk mengeksploitasi anak agar mampu bersaing dengan yang lainnya demi memperoleh

pekerjaan yang ujung-ujungnya adalah “kesejahteraan di bidang ekonomi”20[20],

mendapatkan pekerjaan yang layak, menjadi orang yang kaya. Karena ukuran untuk

mendapatkan pekerjaan adalah kepemilikan Izajah, sementara Izajah isinya adalah deretan

angka yang diperoleh alumnus ketika menjawab soal ujian, maka jelaslah yang menjadi goal

terbesar dalam pendidikan kita adalah otak. Orang tua akan malu apabila nilai matematika

anaknya tiga, atau dua.

Karena itu pendidikan harus mampu menyiapkan sumber daya manusia agar tidak

sekedar menjadi manusia penerima arus informasi global, namun harus memberikan bekal

kepada manusia agar dapat mengolah, meyesuaikan dan mengembangkan apa yang diterima

melalui arus informasi itu, dengan demikian visi pendidikan adalah menciptakan manusia

yang kreatif dan produktif.21[21] Visi pendidikan inilah yang perlu digalakkan secara kontiniu

dan apabila secara konsisten visi tersebut dijalankan maka luaran pendidikan dapat

fungsional di masyarakat.

Permasalahan penting adalah adanya putus sekolah dan pengangguran, dan hal

tersebut membutuhkan solusi cepat dan tepat. Menurut H. Abu Ahmadi bahwa mengatasi

pengangguran dapat dilakukan dengan cara keseimbangan pembangunan ekonomi dan

pendidikan.22[22] Pembangunan ekonomi menjadi prioritas sehingga seluruh masyarakat

menjangkau pendidikan, mulai usia dini (PAUD), dasar (SD), menengah (SMP dan SMA)

sampai pedidikan tinggi. Masyarakat yang berpendidikan tinggi akan melahirkan luaran yang

kreatif dan dapat menopang tumbuhnya ekonomi, ekonomi yang baik akan dapat membuka

pasar kerja yang luas, dan hal inilah dapat meminimalisir putus sekolah dan pengangguran.

20

21

22

Page 9: Masalah putus sekolah dan pengangguran

Pendidikan secara formal, adalah sekolah cukup berperan dalam mencerdaskan

generasi bangsa. Kualitas pendidikan bangsa terlihat dalam kualitas sekolah dalam

menjalankan proses pendidikan. Dengan demikian fungsi sosial sekolah, adalah:

1. Sekolah selalu memandang peranan dalam beberapa fungsi di dalam menyiapkan individu untuk mencari nafkah dan ikut serta dalam struktur pekerjaan yang berkembang.

2. Sekolah menolong memperkenalkan anak kepada kebudayaan masyarakatnya dan meluaskan partisipasinya dari batas lokal ke batas nasional, dan pentingnya kemajuan teknologi.

3. Sekolah menciptakan individualitas4. Sekolah berhubungan dengan pekerjaan-pekerjaan lain, menyelesaikan mensinyalir

elit-elit yang akan membawa tanggungjawab yang terberat baik lokal maupun nasional.

5. Sekolah direncanakan untuk mengabdikan dan memperbaiki sistem pendidikan itu sendiri untuk melindungi hal-hal yang telah ada dan memperkenalkan sistim intelektual baru.23[23]

Sekolah menyiapkan peserta didik untuk hidup eksis dalam dunia kerja dan

fungsional dalam masyarakat, mengembangkan kebudayaan dan partisipasi social,

menciptakan individu yang berdaya saing tinggi, melahirkan manusia yang berani dan mau

bertanggungjawab, dan memiliki kepekaan dan kepedulian yang tinggi terhadap pendidikan

dan sains.

Apabila sekolah sebagai satuan pendidikan dapat berperan dengan maksimal dalam

kehidupan masyarakat, maka masyarakat dapat tercerdaskan dan terangkat harkat dan

martabatnya. Namun, kini masih banyak masyarakat yang putus sekolah yang tentunya

menjadi hambatan dalam ‘pengikisan’ pengangguran dan pembangunan ekonomi. Hal

tersebut di antara dampak negatif yang ditimbulkan bagi anak yang putus sekolah adalah:

1. Menambah jumlah pengangguran.2. Kerugian bagi masa depan anak, orang tua dan masyarakat, serta bangsa3. Menjadi beban orang tua, dan4. Menambah kemungkinan terjadinya kenakalan anak dan tidak kejahatan dalam

kehidupan sosial masyarakat.24[24]

Dampak negatif bagi terjadinya putus sekolah adalah membuka ‘krang’

pengangguran, putus sekolah menutup masa depan yang cerah, orang tua, masyarakat, dan

23

24

Page 10: Masalah putus sekolah dan pengangguran

bangsa, putus sekolah menjadi beban semua pihak, baik ekonomi, social, moral, spiritual,

intelektual, dan sebagainya.

Secara empiris telah terjadi kekurang-sepadanan antara supply (persediaan) dan

demand (permintaan) keluaran pendidikan. Dalam arti lain, adanya kekurangcocokan

kebutuhan dan penyediaan tenaga kerja, dimana friksi profil lulusan merupakan akibat

langsung dari perencanaan pendidikan yang tidak berorentasi pada realitas yang terjadi dalam

masyarakat. Pendidikan dilaksanakan sebagai bagian parsial, terpisah dari konstelasi

masyarakat yang terus berubah. Pendidikan diposisikan sebagai mesin ilmu pengetahuan dan

teknologi, cenderung lepas dari konteks kebutuhan masyarakat secara utuh.

Phenomena dalam budaya kapitalis yang menuntut masyarakat hidup kompetitif,

siapa yang unggul dialah yang eksis, dan yang tidak unggul justru ‘tertindas’. Kebudayaan

kapitalis secara alamiah mengarah pada pengutukan secara moral orang yang gagal

menghasilkan kekayaan atau kemakmuran.25[25] Tuntutan hidup harus keratif dan inovatif,

etos kerja yang tinggi, visioner, dan seterusnya harus selalu dikembangkan karena akibat dari

globalisasi, budaya kapitalisme merasuk ke dalam ‘urat nadi’ kehidupan masyarakat

Indonesia.

Di sisi lain, upaya ideologis yang berjuang untuk menunjukkan kehormatan orang

miskin mengurangi perhatian terhadap dasar struktural kemiskinan yang lebih penting, seperti

rendahnya upah minimum, rendahnya tingkat pengorganisasian serikat buruh, dan

merosotnya jumlah pekerjaan tanpa keterampilan di industri berat.26[26] Melihat korporasi

berperan besar dalam konstelasi ekonomi, maka pihak tenaga kerja sering dirugikan karena

biasanya terjadi benturan kepentingan, yaitu industri berkepentingan untung, dan pihak

tenaga kerja berkepentingan kelayakan kemanusiaan.

Hal-hal tersebut dapat dilihat dari berbagai friksi, antara lain friksi tingkat pendidikan,

friksi kompetensi, dan friksi substansi.

1. Friksi tingkat pendidikan ditandai oleh kekurangsesuaian antara kebutuhan, terhadap

lulusan suatu tingkat pendidikan tertentu, dengan persediaannya. Friksi ini

25

26

Page 11: Masalah putus sekolah dan pengangguran

menyebabkan ketidakseimbangan dalam bursa kerja dan menyebabkan menumpuknya

lulusan program pendidikan pada tingkat tertentu, namun justru kekurangan pada

segmen yang lainnya. Mengenai hal itu dapat dilihat dimana kebutuhan tenaga kerja

dengan kualifikasi tamat SD, tamat SLTP, dan tamat SLKTP sejauh ini masih

mengalami kekurangan. Khusus untuk SLKTP, kenyataan itu sangat ironis, mengingat

hampir dua dasa warsa terakhir lembaga pendidikan yang menghasilkan lulusan

dengan kualifikasi ini, SMEP, ST, SKKP dan sejenisnya, malah telah ditutup.

Kenyataan tersebut sama sekali tidak menapik keberhasilan pembangunan

pendidikan, sehingga tingkat pendidikan masyarakat lebih meningkat. Namun,

masalahnya terletak pada perencanaan pendidikan yang tidak melihat pendidikan

sebagai wacana yang dipenuhi oleh disparitas, baik pada tataran input, proses,

maupun output.

2. Friksi kompetensi sebagai akibat lemahnya perencanaan penetapan bidang keilmuan.

Polarisasi yang tajam antara program pendidikan eksak dan non-eksak menyebabkan

lulusan dengan kompetensi tertentu lebih banyak menganggur ketimbang pada

program kompetensi lainnya. Penjurusan yang kaku serta sikap arogansi keilmuan

telah membawa lulusan suatu lembaga pendidikan terpojok pada satu sisi yang

"gelap" tanpa memiliki pilihan yang lain.

3. Friksi substansi sebagai akibat terjadinya konsep pendidikan yang sasarannya kurang

link and match dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Materi yang disajikan di

sekolah masih belum menyentuh secara utuh dengan tuntutan dunia luar.

Untuk kepentingan itu, maka disarankan berbagai pemikiran untuk pemecahan

masalah pengangguran terdidik antara lain sebagai berikut:

1. Melaksanakan reorientasi lembaga pendidikan, reorientasi itu menyangkut, a)

reorentasi pendekatan, b) reorentasi program, dan c) reorentasi kelembagaan.

Reorientasi pendekatan, khususnya dalam memodifikasi pendekatan dari kuantitatif

menjadi kuantitatif-kualitatif. Dalam arti pendekatan pemerataan harus diimbangi secara

proporsional dengan perhatian terhadap mutu proses dan hasil pendidikan. Dengan demikian,

Page 12: Masalah putus sekolah dan pengangguran

secara bertahap mutu lulusan dapat lebih diterima dunia kerja dan secara absolut mampu

mengimbangi laju dinamika dunia kerja.

Konsekwensi dari pada itu, pendidikan harus dilihat sebagai upaya rasional. Dalam

arti lain pendidikan harus dilihat sebagai proses investasi bukan lagi proses konsumtif.

Sehingga pesan-pesan dan kepentingan yang berada di luar kepentingan pendidikan harus

mulai dihapus. Dan campur tangan, dari pihak manapun, yang kurang proporsional dengan

upaya peningkatan kualitas program pendidikan sebaiknya dihindari.

Pendidik harus dihargai sebagai perkerjaan profesional yang memiliki hak untuk

memanfaatkan "bargaining position" nya secara bermartabat. Karena dengan kesadaran

profesional seperti itu, Pendidik secara lebih aktif dapat memberikan kontribusinya terhadap

perbaikan kualitas proses pembelajaran.

Reorentasi program, memberdayakan program "link and match" melalui "cooperative

education" dan "dual system" dalam kurikulum. Untuk itu perlu peningkatan kemampuan

dalam pembobotan kurikulum, mutu tenaga pengajar, dan kepedulian dunia kerja. Lembaga

pendidikan merupakan sub sistem dari sistem sosial pembangunan, oleh itu keberadaan dan

eksistensinya tidak lepas dari sub sistem lainnya. Dengan demikian sharing ide maupun

aktivitas lainnya yang bernuansa sinergi dengan komponen lain hendaknya harus merupakan

bagian tak terpisahkan dari program perbaikan sinambung (countinues improvement)

program pembelajaran. Pengabaian dari fakta tersebut hanya menciptakan "menara gading"

yang tidak memiliki manfaat yang berarti bagi perbaikan kesejahteraan masyarakat secara

umum, khususnya bagi penciptaan kesiapan lulusan untuk berkiprah dalam dunia kerja.

Reorentasi kelembagaan, perlu mengkaji ulang keberadaan lembaga pendidikan yang

memiliki tingkat kejenuhan untuk lulusannya di lapangan kerja. Konversi IKIP ke dalam

Universitas merupakan langkah kongkrit yang perlu terus dilaksanakan secara konsisten,

konversi itu berimplikasi pada menurunnya jumlah penawaran tenaga pengajar yang secara

langsung akan menyebabkan meningkatnya penghargaan dan harkat hidup tenaga pendidik.

Kebijaksanaan konversi ini pun dapat dilakukan untuk lembaga pendidikan lainnya terutama

pada bidang keilmuan yang sudah jenuh.

Page 13: Masalah putus sekolah dan pengangguran

2. Investasi sosial (peningkatan anggaran pendidikan) sebagai perangsang investasi

individual. Untuk mengatasi kebocoran devisa akibat larinya dana pendidikan

masyarakat berpenghasilan tinggi ke luar negeri, perlu diupayakan pendirian sekolah

unggulan baik yang dibiayai oleh swasta maupun pemerintah. Untuk itu perlu

seperangkat kebijakan guna lebih memperlancar program tersebut, di antaranya: (a)

regulasi pengelolaan pendidikan, dan (b) meningkatkan investasi pemerintah lewat

peningkatan anggaran pendidikan.

3. sebagai salah satu alternatif untuk memperluas kesempatan kerja bagi tenaga kerja

terdidik perlu diperluas kesempatan berkembangnya sektor informal. Daya serap

sektor ini cukup besar dan memiliki kemampuan yang tak terbatas. Pelita IV 56% TK

terserap di sektor ini sementara sektor formal terutama bidang jasa memiliki

kemampuan serap yang sangat terbatas. Berbagai kebijaksanaan untuk memberi

peluang berkembang sektor informal harus terus diupayakan dengan tidak

mengurangi usaha penanganan ekses negatif dari berkembangnya sektor ini.

Banyak alternatif kebijakan yang dapat dikembangkan untuk mengoperasionalkan ide

gerakan untuk menghadapi persoalan ketenagakerjaan tersebut di atas. Beberapa di antara

adalah sebagai beriikut:

1.      Perluasan kesempatan berusaha yang sebanyak-banyaknya didukung oleh berbagai fasilitas

kredit UMKM, perpajakan, serta bimbingan produksi dan pemasaran di bidang-bidang

pertanian dan perkebunan, nelayan, inudstri kecil dan menengah, serta perdagangan.

2.      Pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan dengan pola gotong royong disertai dukungan

regulasi sistim administrasi keuangan yang menunjang, tertuama untuk mendukung

peningkatan kemampuan transportasi darat, baik dengan mobil maupun kereta api.

3.      Penerapan jadwal kerja industri dan perkantoran secara bergiliran, 2, 3, atau 4 shift guna

membagi kesempatan kerja secara merata dengan tetap menjaga dan meningkatkan

produktifitas kerja dan usaha.

4.      Pengerahan dan penempatan tenaga kerja Indonesia terlatih keluar negeri secara terkendali

dan besar-besaran.

Page 14: Masalah putus sekolah dan pengangguran

5.      Peningkatan penyelenggaraan pelatihan kerja dan pendidikan/pelatihan kembali (remedial

education and remedial training) untuk para sarjana, dan penyelenggaraan program sarjana

masuk desa.

Pemerintah telah berupaya menekan angka putus sekolah dan pengangguran, namun

aksentuasinya lebih pada aspek ekonomi. Tetapi, apabila ditinjau dari pendidikan, maka putus

sekolah dan pengangguran diakibatkan oleh kesadaran etis dan social masyarakat dalam

mengikuti pendidikan khususnya pendidikan formal. Pemerintah membangun image sekolah

yang alumninya siap kerja justru melahirkan ketidak proforsionalan lembaga pendidikan.

Revitalisasi pendidikan menengah kejuruan (SMK) dan politeknik serta peningkatan

relevansi kurikulum dan program belajar mengajar yang lebih sesuai dengan kebutuhan pasar

tenaga kerja.27[27] SMK inilah menjadi salah satu tawaran pemerintah kepada masyarakat

untuk mengurangi pengangguran dan kebangkrutan ekonomi masyarakat.

27

Page 15: Masalah putus sekolah dan pengangguran

III.   PENUTUP/KESIMPULAN

A.      Penyebab terjadinya putus sekolah di masyarakat adalah masalah ekonomi, kondisi anak,

sekolah, dan keluarga. Kemudian penyebab terjadinya pengangguran karena terjadi resesi

ekonomi, rendahnya SDM, akselerasi teknologi, dan sebagainya.

B.       Pendidikan sangat penting dalam membangun order social yang berkeadaban. Peradaban

dapat tumbuh apabila masyarakat hidup dengan aman, adil, dan sejahtera. Keamanan,

keadilan, dan kesejahteraan dalam terwujud di dalam masyarakat apabila terdidik dan

bekerja. Masalah putus sekolah dan pengangguran menjadi ‘embrio’ keresahan sosial dan

Negara. Putus sekolah dan pengangguran kebanyakan disebabkan oleh factor ekonomi, dan

pembangunan ekonomi dapat dilakukan dengan dukungan SDM unggul, dan penciptaan

SDM unggul dapat dilakukan dengan pendidikan, khususnya pendidikan di sekolah.

Page 16: Masalah putus sekolah dan pengangguran

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, H. Abu, Sosiologi Pendidikan, (Cet. II, Jakarta: Rineka Cipta, 2007)

Asshiddiqie, Jimly, Dampak Krisis Global, Problem, dan Tantangan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Keluar Negeri, makalah disampaikan dalam Lokakarya Sistem Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia dalam rangka Evaluasi atas Undang-Undang No. 39 Tahun 2004 yang diselenggarakan oleh Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Jakarta, 15 Desember 2008.

Bean, Reynold, Membantu Anak agar Berhasil di Sekolah, (Cet. I, Jakarta: Bina Rupa Aksara, 1995)

Buchori, Muchtar, Transformasi Pendidikan, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995)

Danes, Simon, dan P. Hardono Hadi, Masalah-masalah moral sosial aktual dalam perspektif iman Kristen, (Yogyakarta: Kanisius, 2000)

Daud, Wan Mohd Nor Wan, “Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas” terjemahan dari Bhs Enggris “The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib Al-Attas” terbitan ISTAC 1998, (Cet.I, Bandung: Mizan, 2003)

Gunarsa, Ny. Y. Singgih D., Psikologi Membimbing, (Cet. 9, Jakarta: PT. Gunung Mulia, 2000)

Howard, Rhoda E., Human Raights and the Search for Community, diterjemahkan oleh Nugraha Katjasungkana dengan judul “HAM–Penjelajahan Dalih Relativisme Budaya”, (Cet. I, Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti, 2000)

Karim, Muhammad, Pendidikan Kritis Transformatif, (Cet. I, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2009)

Katz, Michael B., The Undeserving Poor: From the War on Poverty to the War on Welfare, (New York: Pantheon Books, 1989)

Kleden, Ignas, Masyarakat dan Negara: Sebuah Persoalan, (Yogyakarta: Penerbit Agromedia Pustaka, 2004)

Manurung, Robert., 12 Juta Anak Indonesia Putus Sekolah, diposting dalam http://ayomerdeka.wordpress.com/09/05/2009

Mastuhu, Pendidikan Indonesia Menyongsong “Indonesia Baru” Pasca Orde Baru, dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan GEMA Fakultas Tarbiyah IAIN Jakarta, Edisi 1, Jakarta

Munir, Mahmud Samir Al-, al-mu’alim arrabbany, terjemahan Uqinu Attaqi dengan judul “Guru Teladan di bawah Bimbangan Allah”, (Cet. I, Jakarta: Gema Insani, 2003)

Nasir, H. Sahilun A., Peranan Pendidikan Agama Terhadap Pemecahan Problem Remaja, (Cet. I, Jakarta: Kalam Mulia, 1999)

Nata, Abuddin, Paradigma Pendidikan Islam Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Grasindo, 2001)

“Pengangguran Intelektual di Indonesia Meningkat”, Media Indonesia, Kolom 4-5, Edisi Jum’at, 15 Pebruari 2008

Prasetyantoko, A., Bencana Finansial: Stabilitas Sebagai Barang Publik, (Jakarta: Penerbit Kompas, 2008)

Purba, Jonny, (Penyunting), Pengelolaan Lingkungan Sosial, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005)

Page 17: Masalah putus sekolah dan pengangguran

Rahardjo, M. Dawam, (Ed.), Keluar dari Kemelut Pendidikan-Menjawab Tantangan Kualitas Sumber Daya Manusia Abad 21, ( Jakarta : Intermasa, 1997 )

Rais, Mohammad Amien, Agenda-Mendesak Bangsa: Selamatkan Indonesia! (Cet. III, Yogyakarta: PPSK Press, 2008)

Santrock, John W., Adolescence: Perkembangan Remaja, Terjemahan, Edisi 6, (Surabaya: Erlangga, t.th.)

Suprayogo, Imam, Pendidikan Berpradigma Al-Qur’an, Pergulatan Membangun Tradisi dan Aksi Pendidikan Islam, (Cet I, Malang: UIN Malang, 2004)

Wahono, Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya, (Cet. 3, Jakarta: Rineka Cipta, 1995)

28[1] Lihat penjelasan lebih lanjut Mohammad Amien Rais, Agenda-Mendesak Bangsa: Selamatkan Indonesia! (Cet. III, Yogyakarta: PPSK Press, 2008), h. 22.

29[2] Mastuhu, Pendidikan Indonesia Menyongsong “Indonesia Baru” Pasca Orde Baru, dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan GEMA Fakultas Tarbiyah IAIN Jakarta, Edisi 1, Jakarta, h. 8.

30[3] Muchtar Buchori, Transformasi Pendidikan, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), h. 27.

31[4] Muhammad Karim, Pendidikan Kritis Transformatif, (Cet. I, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2009), h. 71.

32[5] Robert Manurung, 12 Juta Anak Indonesia Putus Sekolah, diposting dalam http://ayomerdeka.wordpress.com/09/05/2009

33[6] Jonny Purba (Penyunting), Pengelolaan Lingkungan Sosial, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), h. 134

34[7] John W. Santrock, Adolescence: Perkembangan Remaja, Terjemahan, Edisi 6, (Surabaya: Erlangga, t.th.), h. 264

35[8] Ny. Y. Singgih D. Gunarsa, Psikologi Membimbing, (Cet. 9, Jakarta: PT. Gunung Mulia, 2000), h. 113.

36[9] Wahono, Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya, (Cet. 3, Jakarta: Rineka Cipta, 1995), h. 109.

37[10] H. Sahilun A. Nasir, Peranan Pendidikan Agama Terhadap Pemecahan Problem Remaja, (Cet. I, Jakarta: Kalam Mulia, 1999), h. 5.

28

29

30

31

32

33

34

35

36

Page 18: Masalah putus sekolah dan pengangguran

38[11] “Pengangguran Intelektual di Indonesia Meningkat”, Media Indonesia, Kolom 4-5, Edisi Jum’at, 15 Pebruari 2008, h. 8.

39[12] Ignas Kleden, Masyarakat dan Negara: Sebuah Persoalan, (Yogyakarta: Penerbit Agromedia Pustaka, 2004), h. 37

40[13] Simon Danes dan P. Hardono Hadi, Masalah-masalah moral sosial aktual dalam perspektif iman Kristen, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), h. 117

41[14] A. Prasetyantoko, Bencana Finansial: Stabilitas Sebagai Barang Publik, (Jakarta: Penerbit Kompas, 2008), h. 103

42[15] M. Dawam Rahardjo (Ed.), Keluar dari Kemelut Pendidikan-Menjawab Tantangan Kualitas Sumber Daya Manusia Abad 21, ( Jakarta : Intermasa, 1997 ), h. 27.

43[16] Imam Suprayogo, Pendidikan Berpradigma Al-Qur’an, Pergulatan Membangun Tradisi dan Aksi Pendidikan Islam, (Cet. I, Malang: UIN Malang, 2004), h. 12

44[17] Ibid, h. 1445[18] Wan Mohd Nor Wan Daud, “Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M.

Naquib Al-Attas” terjemahan dari Bhs Enggris “The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib Al-Attas” terbitan ISTAC 1998, (Cet.I, Bandung: Mizan, 2003), h. 163

46[19] Mahmud Samir Al-Munir, al-mu’alim arrabbany, terjemahan Uqinu Attaqi dengan judul “Guru Teladan dibawah Bimbangan Allah”, (Cet. I, Jakarta: Gema Insani, 2003), h. 15 - 16

47[20] Imam Suprayogo, op.cit., h. 1348[21] Abuddin Nata, Paradigma Pendidikan Islam Kapita Selekta Pendidikan Islam,

(Jakarta: PT Grasindo, 2001), h. 8349[22] H. Abu Ahmadi, Sosiologi Pendidikan, (Cet. II, Jakarta: Rineka Cipta, 2007), h.

14350[23] Ibid., h. 145.

37

38

39

40

41

42

43

44

45

46

47

48

49

Page 19: Masalah putus sekolah dan pengangguran

51[24] Reynold Bean, Membantu Anak agar Berhasil di Sekolah, (Cet. I, Jakarta: Bina Rupa Aksara, 1995), h. 99.

52[25] Michael B. Katz, The Undeserving Poor: From the War on Poverty to the War on Welfare, (New York: Pantheon Books, 1989), h. 9.

53[26] Rhoda E. Howard, Human Raights and the Search for Community, diterjemahkan oleh Nugraha Katjasungkana dengan judul “HAM – Penjelajahan Dalih Relativisme Budaya”, (Cet. I, Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti, 2000), h. 265.

54[27] Jimly Asshiddiqie, Dampak Krisis Global, Problem, dan Tantangan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Keluar Negeri, makalah disampaikan dalam Lokakarya Sistem Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia dalam rangka Evaluasi atas Undang-Undang No. 39 Tahun 2004 yang diselenggarakan oleh Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Jakarta, 15 Desember 2008, h. 3

BAB I

                                                        PENDAHULUAN

1.                 LATAR BELAKANG  MASALAH

Indonesia termasuk negara berkembang. Dengan ini pendidikan di Indonesia juga

masih kurang. Mengapa bisa dikatakan masih kurang ?. karena masih  banyak anak yang

tidak melanjutkan sekolah alias putus sekolah.

Putus sekolah bukan merupakan salah satu permasalahan pendidikan yang tak pernah

berakhir. Masalah ini telah berakar dan sulit untuk dipecahkan penyebabnya, tidak hanya

karena kondisi ekonomi, tetapi ada juga yang disebabkan oleh kekacauan dalam keluarga,

dan lain-lain. Hal ini juga dialami oleh beberapa anak di Kecamatan Sampung Kabupaten

Ponorogo. Oleh karena itu penulis ingin mengetahui dan meneliti lebih jauh tentang sebab-

sebab anak putus sekolah. Disini penulis menggunakan hasil wawancara yang dilakukan

tanggal 12 November 2011. Yang saya teliti berinisial “A” (laki-laki) dan “L” (perempuan).

2.                 RUMUSAN MASALAH

1.      Apa yang dimaksud dengan anak putus sekolah ?

50

51

52

53

54

Page 20: Masalah putus sekolah dan pengangguran

2.      faktor apa yang mennyebabkan anak putus sekolah ?

3.      Kegiatan sehari-hari yang dilakukan anak putus sekolah ?

3.                 TUJUAN

Dengan tersusunnya makalah ini diharap mahasiswa mampu memahami tentang

1.      Mengerti apa yang dimaksud dengan anak putus sekolah.

2.      Mengetahui faktor apa yang mennyebabkan anak putus sekolah.

3.      Kegiatan sehari-hari yang dilakukan anak putus sekolah.

BAB II

              PEMBAHASAN

A.               Pengertian Pendidikan,  Anak,  Putus Sekolah

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan

proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk

memilikin kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak

mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (UU No.

20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional). Menurut Ki Hajar Dewantara,

Pendidikan adalah segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar sebagai manusia

dan sebagai anggota masyarakat dapatlah  mendapat keselamatan dan kebahagiaan yang

setinggi-tinnginya (Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa, 1962). Menurut John Dewey,

Pendidikan adalah tuntutan terhadap proses pertumbuhan dan proses sosialisasi anak. Dalam

proses pe5rtumbuhan ini anak mengembangkan dirinya ke tingkat yang makin lama makin

sempurna, sesuai dengan teori evolusi Darwin (Soemadi Tj. 1981: 24)

 Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya

melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya, (Undang-Undang Perlindungan

Anak No. 23 Tahun 2002).  anak adalah pribadi yang masih bersih dan peka terhadap

rangsangan-rangsangan yang berasal dari lingkungan, (Menurut John Locke (dalam Gunarsa,

1986). menurut Augustinus (dalam Suryabrata, 1987), yang dipandang sebagai peletak dasar

permulaan psikologi anak, mengatakan bahwa anak tidaklah sama dengan orang dewasa,

anak mempunyai kecenderungan untuk menyimpang dari hukum dan ketertiban yang

Page 21: Masalah putus sekolah dan pengangguran

disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan dan pengertian terhadap realita kehidupan, anak-

anak lebih mudah belajar dengan contoh-contoh yang diterimanya dari aturan-aturan yang

bersifat memaksa. Sehingga dapat di simpulkan bahwa anak adalah manusia yang belum

dewasa yang umumnya berumur di bawah 18 tahun dan masih rentan terhadap kesalahan

sehingga perlu pengawasan dari manusia dewasa.

            Sekolah adalah bangunan atau lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat

menerima dan memberi pelajaran menurut tingkatan yang ada menurut kamus besar bahasa

indonesia.

Anak putus sekolah adalah keadaan dimana anak mengalami keterlantaran karena

sikap dan perlakuan orang tua yang tidak memberikan perhatian yang layak terhadap proses

tumbuh kembang anak tanpa memperhatikan hak – hak anak untuk mendapatkan pendidikan

yang layak.

            Undang – Undang nomor 4 tahun 1979, anak terlantar diartikan sebagai anak yang

orang tuanya karena suatu sebab, tidak mampu memenuhi kebutuhan anak sehingga anak

menjadi terlantar.

Menurut Departemen Pendidikan di Amerika Serikat (MC Millen Kaufman, dan

Whitener, 1996) mendefinisikan bahwa anak putus sekolah adalah murid yang tidak dapat

menyelesaikan program belajarnya sebelum waktunya selesai atau murid yang tidak tamat

menyelesaikan program belajarnya.  Anak putus sekolah (drop out) adalah anak yang karena

suatu hal tidak mampu menamatkan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar maupun

menengah secara formal (Depag RI, 2003:4)

B.               FAKTOR PENYEBAB ANAK PUTUS SEKOLAH

Sesuai dengan hasil wawancara yang pernah saya lakukan, ada beberapa faktor  yang

menyebabkan anak putus sekolah yaitu :

a.       Kondisi ekonomi keluarga

b.      Pengaruh teman yang sudah tidak sekolah

c.       Sering membolos

d.      Kurangnya minat untuk meraih pendidikan/ mengenyam pendidikan dari anak didik itu

sendiri

Disamping itu ada faktor internal dan faktor eksternal

    Faktor internal :

Page 22: Masalah putus sekolah dan pengangguran

a)      Dari dalam diri anak putus sekolah disebabkan malas untuk pergi sekolah karena

merasa minder, tidak dapat bersosialisasi dengan lingkungan sekolahnya, sering

dicemoohkan karena tidak mampu membayar kewajiban  biaya sekola.ak dipengaruhi oleh

berbagai faktor

b)      Karena pengaruh teman sehingga ikut-ikutan diajak bermain seperti play stasion sampai

akhirnya sering membolos dan tidak naik kelas , prestasi di sekolah menurun dan malu pergi

kembali ke sekolah.

c)      Anak yang kena sanksi karena mangkir sekolah sehingga kena Droup Out.

    Faktor Eksternal

a)      Keadaan status ekonomi keluarga.

b)      Kurang Perhatian orang tua

c)      Hubungan orang tua kurang harmonis

Selain Permasalahan diatas ada factor penting dalam keluarga yang bisa

mengakibatkan anak  putus sekolah yaitu :

1)    Keadaan ekonomi keluarga.

2)      Latar belakang pendidikan ayah dan ibu.

3)      Status ayah dalam masyarakat dan dalam pekerjaan.

4)      Hubungan sosial psikologis antara orang tua dan antara anak dengan orang   tua.

5)      Aspirasi orang tua tentang pendidikan anak, serta perhatiannya terhadap    kegiatan

belajar anak.

6)      Besarnya keluarga serta orang – orang yang berperan dalam keluarga.

C.           KEGIATAN SEHARI-HARI

Dari hasil wawancara antara si “A” dan “L” memiliki kegiatan yang berbeda. Si “A”

menghabiskan hari-harinya untuk bermain, berangkat sore pulang pagi. Biasanya dia bermain

balap motor dengan temannya.

            Sedangkan si “L” menghabiskan hari-harinya untuk menjaga warung kecil yang

dibuatkan dari orang tuanya.

            Selain contoh diatas kegiatan sehari-hari yang dilakukan oleh anak yang putus

sekolah adalah menjadi pemulung, mengamen, mencuri dll.

D.                USAHA MENGATASI ANAK PUTUS SEKOLAH

Page 23: Masalah putus sekolah dan pengangguran

 Dalam mengatasi terjadinya anak putus sekolah harus adanya berbagai usaha

pencegahannya sejak dini, baik yang dilakukan oleh orang tua, sekolah (pemerintah) maupun

oleh masyarakat. Sehingga anak putus sekolah dapat dibatasi sekecil mungkin.

Usaha-usaha untuk mengatasi terjadinya anak putus sekolah di antaranya dapat di tempuh

dengan cara:

1. Membangkitkan kesadaran orang tua akan pentingnya pendidikan anak

2. Memberikan dorongan dan bantuan kepada anak dalam belajar

3. Mengadakan pengawasan terhadap di rumah serta memberikan motivasi kepada anak

sehingga anak rajin dalam belajar dan tidak membuat si anak bosan dalam

mengerjakan pekerjaan rumah yang diberikan di sekolah.

4. Tidak membiarkan anak bekerja mencari uang dalam masa belajar.

5. Tidak memanjakan anak dengan memberikan uang jajan yang terlalu banyak.

BAB III

PENUTUP

A.     Kesimpulan

Anak putus sekolah adalah keadaan dimana anak mengalami keterlantaran karena

sikap dan perlakuan orang tua yang tidak memberikan perhatian yang layak terhadap proses

tumbuh kembang anak tanpa memperhatikan hak – hak anak untuk mendapatkan pendidikan

yang layak

Pendidikan merupakan hak yang sangat fundamental bagi anak. Hak wajib dipenuhi

dengan kerjasama paling tidak dari orang tua siswa, lembaga pendidikan dan pemerintah.

Pendidikan akan mampu terealisasi jika semua komponen yaitu orang tua, lembaga

masyarakat, pendidikan dan pemerintah bersedia menunjang jalannya pendidikan

Page 24: Masalah putus sekolah dan pengangguran

Akibat yang disebabkan anak putus sekolah adalah kenakalan remaja, tawuran, kebut-

kebutan di jalan raya , minum – minuman  dan  perkelahian, akibat lainnya juga adalah

perasaan minder dan rendah diri.

B.     Saran

Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu kami dari penyusun berharap

agar pembaca dapat memanfaatkan makalah ini dengan baik.

Segala kritikan maupun saran dari pembaca akan kami terima dengan lapang dada

untuk menambah wawasan serta perbaikan penyusunan yang lebih baik lagi.

DAFTAR PUSTAKA

a.     ayomerdeka.wordpress.com/.../12-juta-anak-indonesia-putus-sekolah/

edukasi.kompas.com/.../.banyak.anak.putus.sekolah.karena.bekerja  (diakses pada tanggal 16

maret 2013, pukul 16.30)

b.      http://ras-eko.blogspot.com/2012/12/pengertian-anak.html( My Campus,pendidikan) (diakses

pada tanggal 16 maret 2013, pukul 16.30)

c.       http://www.andragogi.com/document/psikologi_pendidikan.htm (diakses pada tanggal 16

maret 2013, pukul 16.30)

d.      http://skripsigratis83.blogspot.com/2012/09/strategi-penanggulangan-anak-putus.html

(diakses pada tanggal 16 maret 2013, pukul 16.30)

e.       Roesminingsih, MV dan Lamijan Hadi Susarno. 2011. Teori dan Praktek Pendidikan. FIP

UNESA

f.       http://jasapembuatanweb.co.id/artikel-ilmiah/usaha-usaha-mengatasi-terjadinya-anak-putus-

sekolah  (diakses pada tanggal 10 Mei 2013, pukul 19.30)

Page 25: Masalah putus sekolah dan pengangguran

LAMPIRAN


Recommended