Beragam antibiotika yang telah beredar di masyarakat dengan fungsinya
masing-masing memiliki mekanisme kerja yang berbeda, terutama yang
diakibatkan oleh bakteri maupun jamur. Antibiotik adalah senyawa kimia khas
yang dihasilkan oleh organisme hidup, termasuk turunan senyawa dan struktur
analognya yang dibuat secara sintetik, dan dalam kadar rendah mampu
menghambat proses penting dalam kehidupan satu spesies atau lebih
mikroorganisme. Obat antibakteri telah banyak dikembangkan secara luas,
berbeda dengan obat antijamur yang masih terbatas dalam hal manfaat klinis.
Alasan untuk perbedaan ini adalah adanya hubungan yang erat antara jamur
dengan inang mamalianya. Banyak proses biokimia yang menyediakan sasaran
berguna untuk obat antibakteri tidak terdapat dalam jamur, dan proses yang
menjadi sasaran juga dimiliki oleh inang mamalia.
Antibiotika untuk jamur/bakteri juga beragam mekanisme kerja molekuler
yang terjadi sehingga dapat menghambat dan mematikan sel jamur/bakteri.
Adapun mekanisme tersebut adalah 1) Gangguan pada membran sel, 2)
Penghambatan biosintesis ergosterol dalam sel jamur, 3) Penghambatan sintesis
protein jamur, dan 4) Penghambatan mitosis jamur.
Flucytosine (5-fluorocytosine) adalah primidin sintetis yang telah
mengalami fluorinasi. Flusitosin masuk ke dalam sel jamur dengan bantuan
sitosin deaminase dan dalam sitoplasma akan bergabung dengan RNA setelah
mengalami deaminasi menjadi 5-Fluorourasil. Sintesis protein sel jamur
terganggu akibat penghambatan langsung sintesis DNA oleh metabolit
fluorourasil.
Senyawa antibiotika flucytosine digunakan untuk mengobati infeksi jamur
yang umum ke jantung, paru-paru, darah, saluran kemih, dan sistem saraf.
Senyawa ini mampu menggangu struktur molekuler sel melalui penghambatan
sintesis protein dan DNA sel, sehingga fungsi fisiologis sel terganggu,
metabolisme sel terhenti bahkan mati.
DNA dan sintesis protein secara historis telah menjadi target yang sulit
untuk pengembangan terapi menggunakan obat antifungi. Baik jamur dan
mamalia memiliki kesamaan dalam replikasi DNA dan translasi RNA. Namun,
kemajuan dalam bidang biologi molekular dan fungsional genomik mulai
menyorot perbedaan penting antara sel mamalia dan jamur yang dapat
dimanfaatkan untuk pengembangan terapi anti jamur baru. Untuk saat ini, hanya
satu kelas agen di klinis menggunakan target sintesis DNA / RNA yaitu golongan
antimetabolit misalnya flucytosine atau 5-fluorocytosine (5-FC). Flusitosin
awalnya dikembangkan di tahun 1950 sebagai agen antineoplastik
potensial. Meskipun tidak efektif terhadap tumor itu kemudian ditemukan
memiliki aktivitas anti jamur.
Gambar mekanisme paparan flucytosine terhadap sel eukariotik
Senyawa ini tidak memiliki kapasitas antijamur intrinsik, tetapi setelah
diserap oleh sel jamur rentan, senyawa akan dikonversi menjadi 5-fluorouracil
(5-FU), yang kemudian dikonversi menjadi metabolit yang menghambat RNA dan
sintesis DNA jamur. Molekul kecil 5-fluorocytosine (5-FC) ini diangkut ke dalam
sel melalui proses permease sitosin yang kemudian terikat pada enzim spesifik
dan dikonversi/dilepaskan kembali dalam sitoplasma melalui reaksi deaminase
sitosin membentuk 5-fluorouracil (5-FU) yang merupakan sebuah pirimidin anti-
metabolit digunakan sebagai kemoterapi untuk berbagai jenis kanker. Senyawa 5-
FU ini akan mempengaruhi sel melalui dua jalur.
Skema reaksi mekanisme pengaruh flucytosine terhadap sel eukariotik
Jalur pertama adalah inhibisi sintesis protein/terganggunya translasi RNA,
dimana diawali dari senyawa 5-FU mengalami tiga kali proses fosforilasi yaitu
membentuk 5-fluorouridine monophosphate (FUMP) yang kemudian membentuk
5-fluorouridine diphosphate (FUDP) dan 5-fluorouridine triphosphate (FUTP).
FUTP ini kemudian masuk ke dalam RNA yaitu menggantikan molekul urasil
yang akan menyebabkan terjadinya kesalahan pengkodean (miscoding) dan
sintesis protein akan terhenti. Proses sintesis protein yang terhenti akan
mengakibatkan sel berhenti bekerja/statis dan lama-kelamaan akan mati.
Jalur kedua adalah melalui proses inhibisi sintesis DNA/terganggunya
replikasi DNA. Proses ini dimulai dengan proses fosforilasi 5-FU menjadi 5-
fluorodeoxyuridine (FdUMP) yang akan berubah membentuk deoxynukleosida
menjadi (deoxyuridine monophosphate (dUMP) dan deoxthymidine
monophosphate (dTMP), yang menghambat sintesis DNA dengan menghalangi
fungsi enzim kunci dalam replikasi DNA akibat inhibisi/penggantian molekul
timidin pada sintetase-timidilat. Flusitosin dapat diubah menjadi 5-FU oleh
bakteri yang berada di saluran gastrointenstinal. Tidak mengherankan, efek
samping yang paling umum dilihat dengan flusitosin mirip dengan kemoterapi 5-
FU (diare, mual dan muntah, penekanan sumsum tulang), tetapi pada intensitas
sedikit. Proses replikasi DNA yang gagal mengakibatkan sel tidak dapat
berkembang sehingga akan mati.
Senyawa flucytosine memiliki pengaruh yang spesifik pada DNA dan
RNA sehingga sel eukariotik yang terkena paparan antibiotik ini akan mengalami
kondisi statis, terhambat karena protein yang diperlukan untuk kelangsungan
hidupnya tidak terbentuk/gagal, yang pada akhirnya akan mati.