MEMBERDAYAKAN PEMELAJAR MELALUI
INQUIRY BASED TEACHING1
Joko NurkamtoProgram Studi Pendidikan Bahasa Inggris
FKIP Universitas Sebelas Maret
1. Pendahuluan
Dilihat dari kuantitas, pembangunan pendidikan di Indonesia dapat dikatakan
berhasil. Dalam tiga dasa warsa terakhir (antara tahun 1970-an hingga 2000-an)
jumlah siswa/mahasiswa meningkat tajam. Jumlah siswa sekolah dasar (SD)
meningkat sekitar 14 juta orang (dari 13 juta menjadi 27 juta); jumlah siswa sekolah
lanjutan tingkat pertama (SLTP) meningkat sekitar 6,5 juta (dari 1,5 juta menjadi 8
juta); jumlah siswa sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) meningkat sekitar 5 juta
(dari 1 juta menjadi 6 juta); dan jumlah mahasiswa meningkat sekitar 3 juta (dari 0,5
juta menjadi 3 juta).
Namun demikian, dilihat dari kualitas, pembangunan pendidikan di
Indonesia masih memprihatinkan. Sebagai gambaran, tidak ada satu pun perguruan
tinggi (PT) Indonesia masuk dalam 500 PT terbaik dunia, sementara Amerika
Serikat memasukkan 159 buah, Inggris 42 buah, Cina 9 buah, Hongkong 5 buah,
dan Singapura 2 buah. Demikian juga, tidak ada satu pun PT Indonesia masuk dalam
deretan 100 PT terbaik Asia, sementara Jepang dominan dengan memasukkan 36
buah, Korea Selatan 9 buah, India 3 buah, dan Singapura 2 buah (Sunardi, 2004).
Pada tahun 1999 perguruan tinggi terkemuka Indonesia seperti Universitas
Indonesia (UI), Universitas Gajah Mada (UGM), dan Universitas Diponegoro
(UNDIP) masing-masing hanya menduduki peringkat 70, 67, dan 77 di antara 104
perguruan tinggi di Asia (Djagal W. Marseno, 2004).
Rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia juga tercermin dari posisi
sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang hanya menduduki peringkat 102 dari 1 Makalah yang disampaikan dalam Lokakarya Pengembangan Metode Pengajaran
Discovery and Presentation di Universitas Muhammadiyah Purwokerto, 28 – 29 April 2005.
1
174 negara. Peringkat 1, 2, dan 3 masing-masing diduduki oleh Kanada, Amerika,
dan Jepang. Singapura dan Malaisia, tetangga kita, masing-masing menduduki
peringkat 34 dan 53. Jumlah doktor Indonesia juga hanya 65 orang per satu juta
penduduk, sementara negara sekecil Israil memiliki 16.500 orang, Jepang 6.500
orang, Amerika 6.500 orang, dan Jerman 4.000 orang (Djagal W. Marseno, 2004).
Pertanyaan yang muncul adalah mengapa kualitas pendidikan di Indonesia
rendah dan bagaimana meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Sudah barang
pasti banyak faktor yang menyebabkan rendahnya kualitas pendidikan. Dalam kaitan
ini, Soedijarto (1993) menyatakan bahwa mutu pendidikan sangat ditentukan oleh
kualitas proses belajar-mengajar; dan oleh karenanya, apabila terjadi penurunan
mutu pendidikan, yang pertama kali harus dikaji adalah kualitas proses belajar-
mengajar tersebut. Hal itu karena bentuk konkret pendidikan adalah proses belajar-
mengajar.
Kualitas proses belajar-mengajar ditentukan antara lain oleh pendekatan atau
metode pengajaran yang digunakan oleh guru. Dulu -- mungkin sekarang masih --
guru sering menggunakan metode ceramah ketika mengajar; guru aktif berbicara di
depan kelas sedangkan pemelajar mendengarkan apa yang disampaikan oleh guru itu
sambil, bilamana perlu, membuat catatan. Metode yang dimikian jelas tidak
membuat pemelajar belajar secara optimal. Akhir-akhir ini dikenalkan berbagai
macam pendekatan atau metode mengajar yang mampu memberdayakan pemelajar.
Salah satu di antaranya adalah metode inquiry (inquiry-based teaching). Makalah ini
akan membahas masalah tersebut. Pembicaraan metode tersebut bersifat umum,
yang dapat diterapkan untuk berbagai mata kuliah atau bidang studi. Namun
demikian, contoh-contoh dalam pengajaran bahasa (Inggris) akan diberikan.
2. Konsep Belajar
Menurut Raka Joni (1993) belajar berarti mengubah pengetahuan dan
pemahaman secara terus menerus yang dilakukan oleh pemelajar melalui proses
pemberian makna terhadap pengalamannya. Kebermaknaan pengalaman tersebut
memiliki dua sisi, yaitu sisi intelektual dan sisi emosional. Kebermaknaan
2
intelektual dicapai melalui dua proses, yaitu proses kognisi dan proses meta-kognisi.
Proses kognisi mengacu pada terasimilasikannya isi pengalaman ke dalam struktur
kognitif yang telah ada atau termodifikasinya struktur kognitif untuk
mengakomodasikan isi pengalaman yang baru. Proses asimilasi kognitif terjadi
apabila struktur kognitif yang telah ada mampu menampung isi pengalaman yang
baru, sedangkan struktur akomodasi terjadi apabila isi pengalaman yang baru tidak
dapat ditampung dalam struktur kognitif yang telah ada. Sementara itu, proses meta-
kognisi mengacu pada kesadaran pemelajar atas proses kognisi yang sedang
dilakukannya serta kemampuannya mengendalikan proses kognisinya itu. Dengan
kata lain, di samping menangkap pesan kegiatan belajar yang tengah dihayatinya,
pemelajar juga membentuk kemampuan untuk belajar (learning how to learn).
Sisi emosional dari kebermaknaan pengalaman mengacu pada rasa memiliki
pengalaman itu oleh pemelajar. Hal ini ditandai oleh kesadaran pemelajar bahwa isi
pengalaman tersebut penting baginya, baik pada saat ia mengalaminya maupun
untuk waktu-waktu yang akan datang. Penghayatan terhadap pentingnya isi
pengalaman tersebut akan memotivasi pemelajar melakukan aktivitas yang
merupakan bagian dari pengalaman belajarnya itu. Inilah yang dimaksud dengan
motivasi intrinsik. Motivasi semacam itu menjadi landasan bagi terbentuknya
kemampuan serta kebiasaan belajar secara mandiri (self-directed learning) (Raka
Joni, 1993).
Dalam konteks pembelajaran bahasa, belajar bahasa berarti belajar
menggunakan bahasa itu untuk berkomunikasi, yaitu saling tukar pesan (message)
antara dua orang atau lebih. Satu orang berperan sebagai pengirim pesan dan yang
lain berperan sebagai penerima pesan. Pesan tersebut dapat berbentuk pertanyaan,
informasi, pujian, perintah, sapaan, dan lain-lainnya. Dengan demikian, belajar
berbahasa berarti belajar bertanya, memberi informasi, memuji, memerintah,
menyapa, dan lain-lain dalam bahasa target (Widdowson, 1987). Pandangan tersebut
berbeda dengan pandangan yang dikemukakan oleh Kaum Strukturalis bahwa
mempelajari bahasa berarti mempelajari kaidah atau sistem bahasa yang antara lain
3
mencakup struktur kata, struktur kalimat, kosakata, makna kata/kalimat, ejaan, dan
lafal (Nunan, 1997).
Pandangan senada dikemukakan oleh Jane Willis (1996), yang mengatakan
bahwa dalam mempelajari bahasa (terutama bahasa asing) yang terpenting adalah
menggunakan bahasa itu. Dia menunjuk orang-orang yang sering bepergian ke luar
negeri, orang-orang yang bekerja di luar negeri, atau orang-orang yang menjalin
kerja sama dengan penutur asli bahasa target sebagai contoh. Mereka
memperlihatkan kemampuan komunikatif yang memadai meskipun mereka tidak
pernah secara formal mempelajari kaidah bahasa target tersebut di sekolah. Mereka
memiliki kemampuan komunikatif yang cukup baik karena mereka memiliki
motivasi yang tinggi untuk dapat berkomunukasi dengan menggunakan bahasa
target, menerima pajanan (exposure) yang cukup memadai, dan memiliki
kesempatan untuk menggunakan bahasa target tersebut. Menurutnya tanpa
pengajaran formal pemelajaran dapat berlangsung karena pengajaran bukan satu-
satunya fungsi pemelajaran.
Penggunaan bahasa sebagaimana dimaksud di atas dapat berbentuk
menyimak, berbicara, membaca, atau menulis. Keempat keterampilan berbahasa
tersebut berkaitan satu sama lain. Menyimak berkaitan dengan berbicara karena
keduanya menggunakan media lisan; sedangkan membaca berkaitan dengan menulis
karena keduanya menggunakan media visual. Sementara itu, menyimak
berhubungan dengan membaca karena keduanya merupakan keterampilan reseptif;
sedangkan berbicara berhubungan dengan menulis karena keduanya merupakan
keterampilan produktif (Widdowson, 1983). Dalam prakteknya keempat
keterampilan berbahasa tersebut tidak digunakan satu per satu secara terpisah tetapi
digunakan secara simultan dan terpadu. Kegiatan berbicara, misalnya,
mengimplikasikan perlunya kegiatan menyimak; demikian juga, kegiatan menulis
mengimplikasikan perlunya kegiatan membaca (Brown, 2000)
3. Konsep Mengajar
4
Menurut Raka Joni (1993) mengajar adalah menggugah dan membantu
terjadinya gejala belajar di kalangan pemelajar. Pendapat senada dikemukakan oleh
Brown (2000), yang mengatakan bahwa mengajar adalah memberikan bimbingan
dan fasilitas yang memungkinkan pemelajar dapat belajar. Sementara itu, Bowden
dan Ference (1998) mengatakan bahwa mengajar bukan berarti mentransfer
pengetahuan kepada pemelajar, tetapi membantu pemelajar mengembangkan
pengetahuan mereka. Tugas guru adalah merancang kesempatan belajar yang
mampu menghadapkan pemelajar pada pelbagai persoalan yang menuntut mereka
mengidentifikasi dan memanipulasi variabel-variabel kritis untuk dapat mencapai
hasil yang diharapkan.
Pendapat para ahli tentang mengajar di atas mengandung dua implikasi
utama. Pertama, sebagai pengajar guru berperan hanya sebagai orang yang
membantu pemelajar belajar. Bantuan tersebut berbentuk pemberian motivasi dan
bimbingan belajar serta penyediaan fasilitas belajar. Pemberian motivasi berkenaan
dengan upaya mendorong pemelajar untuk belajar, baik melalui penyadaran
(motivasi intrinsik) maupun melalui sistem ganjaran dan hukuman (motivasi
ekstrinsik). Pemberian bimbingan mengacu pada pemberian arah agar pemelajar
dapat belajar secara benar. Ini dapat dilakukan antara lain dengan menjelaskan
tujuan pelajaran, menjelaskan hakikat tugas (tasks) yang mereka kerjakan, dan
menjelaskan strategi pengerjaan tugas tersebut. Penyediaan fasilitas belajar
berkenaan dengan upaya guru mempermudah terjadinya kegiatan belajar. Ini
mencakup kegiatan yang luas seperti merancang kesempatan belajar, menciptakan
kondisi yang kondusif bagi terjadinya pemelajaran, dan menyediakan sarana belajar
(Richards dan Rodgers, 2001).
Kedua, yang bertanggung jawab atas terjadinya kegiatan belajar adalah
pemelajar. Meskipun guru aktif mengajar, proses pemelajaran tidak terjadi apabila
pemelajar tidak mau belajar. Di sini pemelajar menjadi subjek pemelajaran yang
aktif dan mandiri (autonomous learner). Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Cotteral dan Crabbe (1992) terhadap pemelajar bahasa menunjukkan bahwa
pemelajar yang mandiri adalah pemelajar yang (1) merencanakan dan
5
mengorganisasi sendiri pengalaman belajarnya, (2) mengetahui bidang-bidang yang
menjadi fokus pemelajaran, (3) memantau sendiri kemajuan belajarnya, (4) mencari
kesempatan untuk berlatih, (5) memiliki antusiasme terhadap bahasa dan belajar
bahasa, dan (6) memiliki kepercayaan diri untuk menggunakan bahasa dan mencari
bantuan apabila diperlukan.
Uraian tentang konsep mengajar di atas menyanggah pandangan tradisional
yang mengatakan bahwa mengajar adalah menyalurkan pengetahuan kepada
pemelajar. Pemelajar dianggap tabung kosong yang siap diisi oleh guru. Pemelajar
duduk dengan tenang di bangku yang ditata berjajar sambil mendengarkan
keterangan guru, sedangkan guru sibuk di depan kelas menyampaikan materi
pelajaran. Konsep mengajar mutakhir sebagaimana diuraian di atas juga
mengakibatkan berubahnya peran guru, dari sebagai sumber informasi tunggal
menjadi fasilitator pemelajaran.
Dalam konteks pembelajaran bahasa, mengajar bahasa berarti membantu
pemelajar belajar bahasa. Guru membantu siswa belajar menggunakan bahasa target
agar siswa memiliki kemampuan komunikatif yang memadai. Dengan kata lain,
tujuan pembelajaran bahasa adalah mengembangkan kemampuan komunikatif
siswa. Menurut Hymes (1987) kemampuan komunikatif mengacu pada tidak saja
pengetahuan tentang kaidah-kaidah kebahasaan (tacit knowledge) untuk
mengkonstruksi kalimat-kalimat yang gramatikal, tetapi juga kemampuan
menggunakan (ability to use) kalimat-kalimat itu untuk memahami dan/atau
mengungkapkan makna. Kedua hal tersebut terkait dengan empat parameter, yaitu
kegramatikalan (grammaticality), kelayakan (feasibility), kesesuaian dengan konteks
(appropriacy), dan kemungkinan yang terjadi dalam sistem komunikasi (accepted
usage).
parameter Hymes tersebut mempunyai cakupan yang luas karena dalam
kemampuan komunikatif tidak hanya bahasa yang gramatikal yang harus
diperhatikan, tetapi juga bahasa yang sesuai dengan kemampuan psikologis
pembicara-pendengar, bahasa yang sesuai dengan konteks pembicaraan, dan bahasa
6
yang benar-benar digunakan dalam masyarakat meskipun kadang-kadang tidak
sesuai dengan kaidah kebahasaan.
Menurut Allwright (1987), apabila kemampuan berkomunikasi dianggap
sebagai tujuan akhir pembelajaran bahasa, maka kemampuan tersebut hendaknya
tidak hanya dipandang sebagai hasil (product) tetapi juga sebagai proses.
Implikasinya adalah bahwa kemampuan berkomunikasi harus diajarkan.
Menurutnya dengan diajarkannya kemampuan berkomunikasi maka akan tercakup
pula kemampuan linguistik karena kemampuan linguistik merupakan bagian dari
kemampuan berkomunikasi; tetapi dengan diajarkannya kemampuan linguistik
secara komprehensif maka sebagian besar elemen pembentuk kemampuan
berkomunikasi tidak akan tersentuh. Itulah sebabnya, mengajarkan sistem dan
kaidah-kaidah bahasa secara intensif tidak dapat menjamin terbentuknya
kemampuan berkomunikasi.
5. Pengajaran yang Efektif
Pengajaran yang efektif adalah pengajaran yang mampu melahirkan proses
belajar yang berkualitas, yaitu suatu proses belajar yang melibatkan partisipasi dan
penghayatan pemelajar secara intensif. Makin intensif partisipasi dan penghayatan
pemelajar terhadap pengalaman belajarnya, makin tinggilah kualitas proses belajar
yang dimaksud (Soedijarto, 1993).
Tingkat partisipasi dan penghayatan pemelajar yang tinggi dalam kegiatan belajar-
mengajar dapat dicapai apabila mereka memiliki kesempatan untuk secara langsung
(1) melakukan berbagai bentuk pengkajian untuk memperoleh pengetahuan dan
pemahaman, (2) berlatih berbagai keterampilan kognitif, personal-sosial, dan
psikomotorik, baik yang terbentuk sebagai efek langsung pengajaran maupun
sebagai dampak pengiring pelaksanaan berbagai kegiatan belajar yang memiliki
sasaran pembentukan utama lain, dan (3) menghayati berbagai peristiwa sarat nilai
baik secara pasif dalam bentuk pengamatan dan pengkajian maupun secara aktif
melalui keterlibatan langsung di dalam berbagai kegiatan serta peristiwa sarat nilai
(Raka Joni, 1993). Kegiatan belajar-mengajar yang sebagian besar waktunya
7
digunakan oleh pemelajar untuk mendengarkan dan mencatat penjelasan guru jelas
bukan merupakan kegiatan belajar-mengajar yang berkualitas.
Tingkat partisipasi pemelajar dalam proses belajar banyak ditentukan oleh
upaya guru sebagai pemimpin kelas dalam mendinamisasikan mereka. Hal itu
tergantung antara lain pada metode mengajar yang digunakan. Yang dimaksud
metode mengajar dalam hubungan ini meliputi pendekatan, rancangan, dan prosedur
pengajaran. Pendekatan pengajaran berkenaan dengan hakikat materi pelajaran dan
teori belajar. Rancangan pengajaran berkenaan dengan aspek-aspek seperti tujuan
pengajaran, model kurikulum, jenis dan prosedur kegiatan belajar-mengajar (KBM),
jenis dan fungsi materi pelajaran dalam KBM, peran pemelajar dalam KBM, dan
peran guru dalam KBM. Sementara itu, prosedur pengajaran berkenaan dengan
teknik-teknik yang digunakan guru dalam pengajaran di dalam kelas. Ketiga unsur
metode di atas berhubungan secara hierarkhis. Pendekatan mendasari rancangan dan
rancangan mendasari prosedur pengajaran. Dengan demikian, implementasi teknik-
teknik pengajaran di dalam kelas harus sejalan dengan rancangan dan pendekatan
pengajaran yang digunakan (Richards dan Rodgers, 2001).
Pada masa lampau pengajaran banyak dilakukan dengan metode ceramah.
Guru menjelaskan suatu konsep dan pemelajar mendengarkan sambil mencatat
penjelasan guru tersebut. Penerapan metode ceramah dalam pengajaran
menghasilkan corak belajar-mengajar yang menempatkan guru sebagai satu-satunya
sumber informasi di kelas itu dan menempatkan pemelajar sebagai pihak yang
menerima informasi tersebut tanpa memperoleh kesempatan untuk mengkritisi
informasi yang diterimanya itu. Cara mengajar yang demikian jelas tidak sejalan
dengan konsep mengajar sebagaiamana telah diuraikan di atas.
Dalam dua dasawarsa terakhir ini telah dikembangkan suatu metode
pengajaran yang mengarah pada keterampilan proses, yaitu suatu metode yang
memungkinkan pemelajar belajar bagaimana mempelajari sesuatu (meta-kognisi).
Yang menjadi penekanan adalah proses belajar tentang suatu konsep atau kejadian
di lingkungan sekitarnya. Untuk itu diperlukan pemilihan konsep atau keterampilan
yang dianggap penting berdasarkan kriteria tertentu sesuai dengan karakteristik
8
bidang yang dikaji. Alasan yang melandasi dikenalkannya metode tersebut adalah
bahwa hal itu merupakan cara yang khas dalam menghadapi pengalaman yang
berkaitan dengan semua segi kehidupan. Keterampilan proses tersebut membantu
pemelajar membentuk dan mengembangkan konsep secara wajar dan sekaligus
memberi kemungkinan untuk menemukan sendiri konsep tersebut. Hal itu pada
gilirannya memberikan sumbangan bagi perkembangan mental mereka dalam
mengaktualisasikan diri. Di samping itu, dengan keterampilan itu pemelajar
dibekali dengan peranti untuk memahami dan mengembangkan konsep yang saat ini
belum diketahuinya, serta dibantu memahami konsep abstrak yang apabila hanya
diceritakan kepada mereka belum tentu menarik perhatian mereka untuk
menguasainya (Semiawan, 1991).
Penggunaan pendekatan proses dalam pengajaran dapat memberikan
sumbangan nyata kepada upaya pencapaian tujuan pendidikan yang utuh.
Sebagaimana diketahui, menurut wawasan kependidikan, setiap episode belajar-
mengajar hendaknya sekaligus merupakan perwujudan pendidikan. Artinya, selain
menyampaikan pesan khusus yang merupakan bagian dari bahan ajar yang sedang
dikaji, seorang guru harus secara sadar dan sistematis memanfaatkan setiap
momentum dalam episode belajar-mengajar tersebut sebagai sarana menyampaikan
pesan pendidikan. Sumbangan yang dimaksud adalah (1) hasil langsung pengajaran
dan (2) dampak pengiring, yaitu sasaran pembentukan yang terwujud secara tidak
langsung sebagai akibat dari keterlibatan pemelajar di dalam akumulasi pengalaman
dan penghayatan yang dirancang untuk tujuan utama lainnya (Raka Joni, 1992).
Sebagai ilustrasi, guru yang mengajarkan topik erosi dalam pelajaran Ilmu
Pengetahuan Alam (IPA) dengan metode discovery learning bukan saja menjadikan
pemelajar memahami konsep erosi, tetapi juga menjadikan mereka orang yang
mandiri dan kreatif. Dalam konteks ini, pemahaman pemelajar terhadap konsep
erosi merupakan hasil langsung pengajaran, sedangkan sikap mandiri dan kreatif
merupakan dampak pengiring digunakannya metode discovery learning tersebut.
9
6. Inquiry Based Teaching (IBT)
Dari bagian akhir uraian di atas tampak jelas bahwa pembelajaran yang
berdasarkan discovery/inquiry jauh lebih baik dibandingkan dengan cara-cara lama.
Dalam bagian ini akan dibahas lebih lanjut konsep metode pengajaran tersebut.
Pembahasan tersebut meliputi (a) pengertian, (b) manfaat, (3) tahapan, (4) tipe, dan
(5) contoh aplikasi dalam pembelajaran bahasa.
a. Pengertian IBT
Inquiry adalah kata yang memiliki banyak makna bagi banyak orang dalam
berbagai konteks yang berbeda. Dalam bidang sains, inquiry berarti seni atau ilmu
bertanya tentang alam dan menemukan jawaban atas pertanyaan tersebut. Inquiry
dilakukan melalui langkah-langkah seperti observasi dan pengukuran, hipotesis,
interpretasi, dan penyusunan teori. Inquiry memerlukan eksperimentasi, refleksi, dan
pengenalan terhadap kekuatan dan kelemahan metode yang digunakan (Hebrank,
2000). Pendapat senada dikemukakan oleh Budnitz (2003), yang mengatakan bahwa
inquiry berarti mengajukan pertanyaan yang dapat dijawab melalui justifikasi dan
verifikasi.
Dalam bidang pembelajaraan, dikenal pendekatan pemelajaran yang disebut
Inquiry-Based Learning (IBL) dan pendekatan pengajaran yang disebut Inquiry-
Based Teaching (IBT). IBL adalah cara memperoleh pengetahuan melalui proses
inquiry (Hebrank, 2000). Sementara itu, IBT adalah sebuah pendekatan pengajaran
yang memandatkan guru untuk menciptakan situasi yang memposisikan pemelajar
sebagai ilmuwan. Pemelajar mengambil inisiatif untuk mempertanyakan suatu
fenomena, mengajukan hipotesis, melakukan observasi di lapangan, menganalisis
data, dan menarik simpulan, serta menjelaskan temuannya itu kepada orang lain.
Jawaban yang diharapkan atas pertanyaan tersebut tidak bersifat tunggal tetapi
jamak. Yang penting adalah bahwa dalam mencari jawaban, pemelajar bekerja
dengan menggunakan standar tertentu yang jelas sehingga hasilnya dapat
dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, dimungkinkan pemelajar
10
mengintegrasikan dan mensinergikan berbagai disiplin ilmu dan/atau metode yang
berbeda (Budnitz, 2003).
b. Manfaat IBT
IBT bermanfaat bagi pemelajar karena beberapa alasan sebagai berikut: (1)
materi pelajaran yang dipelajari terkait dengan pengalaman sehari-hari pemelajar,
yang kadangkala menimbulkan keingintahuan mereka; (2) IBT dapat membuat
pemelajar aktif karena IBT meminimalisir metode ceramah; (3) IBT dapat
mengakomodasi perbedaan perkembangan pemelajar; (4) metode penilaian pada
IBT memungkinkan pemelajar memperlihatkan kompetensi dengan berbagai cara;
(5) IBT dapat mensinergikan berbagai mata pelajaran dan metode mengajar/belajar
yang berbeda; (6) IBT dapat mengembangkan kompetensi komunikasi pemelajar
karena mereka harus menyampaikan temuannya dengan cara yang mudah dipahami;
(7) IBT dapat mengembangkan berpikir kritis pemelajar; dan (8) akhirnya, IBT
dapat membuat pemelajar lebih mandiri (Hebrank, 2000).
Bagi guru, IBT dapat menciptakan kesempatan untuk mempelajari
bagaimana pikiran pemelajar bekerja. Pemahaman tersebut dapat digunakan untuk
menciptakan situasi belajar dan memfasilitasi mereka dalam memperoleh
pengetahuan. Ketika menerapkan IBT guru dapat mengetahui : (1) kapan
memberikan dorongan, (2) petunjuk apa yang dapat diberikan kepada setiap
pemelajar, (3) apa yang tidak perlu diberikan kepada pemelajar, (4) bagaimana
membaca perilaku pemelajar ketika mereka sedang bekerja, (5) bagaimana
membantu pemelajar berkolaborasi dalam memecahkan masalah secara bersama-
sama, (6) kapa pengamatan, hipotesis, atau eksperimen bermakna bagi pemelajar,
(7) bagaimana mentolelir ambiguitas, (8) bagaimana memanfaatkan kesalahan
(mistakes) secara konstruktif, dan (9) bagaimana membimbing pemelajar secara
tepat (Budnitz, 2003).
Pembelajaran dengan pendekatan IBT juga dapat memberikan intake lebih
baik. Magnesen (dalam Deporter, Reardon, dan Singer-Nourie, 2000) memberikan
klasifikasi prosentase retensi pengetahuan berdasarkan metode belajar yang
11
digunakan: 10% dari dari yang dibaca, 20% dari yang didengar, 30% dari yang
dilihat, 50% dari yang dilihat dan didengar, 70% dari yang dikataakan, dan 90% dari
yang dikatakan dan dilakukan. Menurut hemat saya, IBT sangat erat kaitannya
dengan yang terakhir karena pemelajar harus melakukan inquiry dan
menyampaikannya kepada orang lain, baik guru maupun koleganya.
c. Tahap-Tahap dalam IBT
Barman dan Kotar (1989) memberikan tahap-tahap inquiry dalam IBT
sebagai berikut: eksplorasi, pengenalan konsep, dan aplikasi konsep. Pada tahap
eksplorasi, pemelajar bebas menemukan dan memanipulasi materi pelajaran.
Pengajaran tentang konsep belum diberikan; oleh karena itu, pemelajar bebas
bereksplorasi dan mengajukan pertanyaan dan/atau gagasan. Pemelajar, baik secara
individu maupun dalam kelompok, melakukan observasi dan mencatat data. Guru
berperan sebagai fasilitator – mengamati, mengajukan pertanyaan, dan memberikan
saran. Tahap ini disebut tahap penemuan terbimbing (oleh guru).
Pada tahap pengenalan konsep, pemelajar, di bawah bimbingan guru,
mengorganisasikan data yang telah dikumpulkan dan mencari pola yang muncul.
Selanjutnya, mereka saling menyampaikan dan membandingkan temuannya dengan
teman atau kelompok lain. Pada tahap ini guru dapat memberikan tambahan
informasi yang berupa referensi atau sumber-sumber lain yang relevan. Selanjutnya
pemelajar dapat melanjutkan pencariannya atau melakukan penguatan atas
temuannya itu dengan cara membaca referensi tersebut dan mengkomunikasikannya
kepada guru atau teman lain.
Pada tahap aplikasi konsep, pemelajar diberi permasalahan yang harus
mereka pecahkan dengan menggunakan informasi yang diperoleh melalui penemuan
di lapangan dan membaca referensi. Pada tahap ini biasanya guru memberi aktifitas
tambahan yang dapat memberi penguatan hasil belajar sebelumnya.
12
d. Tipe-Tipe IBT
Ada tiga tipe kegiatan pembelajaran yang dapat dijalankan dengan IBT:
kegiatan rasional, kegiatan eksperimental, dan kegiatan penemuan (discovery). Pada
kegiatan rasional, generalisasi dibuat melalui pemberian pertanyaan dan penguatan
oleh guru. Langkahnya adalah: (1) Guru mengajukan pertanyaan atau memberikan
permasalahan; (2) Guru memberikan referensi; dan (3) Pemelajar, melalui
pertanyaan, diarahkan ke jawaban yang benar.
Pada kegiatan eksperimental, pemelajar menguji validitas suatu hipotesis.
Langkahnya adalah: (1) Guru mengajukan persoalan; (2) Pemelajar mengajukan
sejumlah variabel dan cara-cara untuk menguji efek setiap variabel; (3) Pemelajar
dan guru merencanakan eksperimen; dan (4) Pemelajar melakukan eksperimen:
mengumpulkan data, menganalisis data, dan menarik simpulan.
Pada kegiatan penemuan (discovery), pemelajar mengeksplorasi konsep
secara langsung. Kegiatan ini meliputi tiga tahap: tahap belajar, inquiry terbimbing,
dan inquiry mandiri. Pada tahap belajar, generalisasi dibuat melalui eksplorasi.
Langkahnya adalah: (1) Guru memberikan materi untuk eksplorasi, (2) Pemelajar
menggunakan materi di bawah bimbingan guru; dan (3) Guru membantu
menyimpulkan atas konsensus kelompok. Pada tahab inquiry terbimbing, pemelajar
dibimbing melakukan eksplorasi. Langkahnya adalah: (1) Guru memberikan
persoalah dan memberikan referensi; (2) Pemelajar diberi kebebasan untuk
bereksplorasi; (3) Pemelajar menguji hipotesis dan membuat simpulan sementara;
dan (4) Guru membantu membuat simpulan berdasarkan konsensus kelompok. Pada
tahap inquiry mandiri, pemelajar diberi kebebasan total untuk bereksplorasi.
Langkahnya adalah: (1) Guru memberikan materi eksplorasi; (2) Guru memberi
petunjuk hanya dalam kaitannya dengan kesalamatan dan peralatan kerja; dan (3)
Pemelajar melakukan eksplorasi berdasarkan kemampuan mereka sendiri.
e. IBT dalam Pengajaran Bahasa
Dalam pengajaran bahasa, IBT juga sering digunakan. Pada masa
pemberlakukan Pendekatan Komunikatif, guru mengajarkan gramatika dengan
13
teknik EGRA: Exposure, Generalization, Reinforcement, dan Application. Pada
tahap exposure, guru memberikan teks dengan ciri-ciri tertentu (kalimat pasif,
misalnya) untuk dicermati oleh pemelajar. Pada tahap generalization, guru meminta
pemelajar untuk menemukan pola teks yang diamati itu. Pada tahap reinforcement,
guru memberi penguatan tentang apa yang telah ditemukan oleh pemelajar sehingga
mereka menjadi mantap. Penguatan dapat berupa informasi tambahan untuk
memperkaya wawasan pemelajar. Pada tahap application, pemelajar menerapkan
pola atau rumus yang telah ditemukan itu untuk memahami dan/atau menyusun teks
baru.
7. Menuju Pemelajaran Mandiri
Dari uraian pada butir nomor 5 (Pengajaran yang Efektif) dapat dipahami
bahwa PBM yang berkualitas adalah PBM yang mampu membuat pemelajar belajar
secara efektif; dan uraian pada butir nomor 6 (Inquiry-Based Teaching)
mengisyaratkan bahwa pemelajaran yang efektif cenderung bersifat mandiri. Dalam
kaitan ini, Benson (2001) mengatakan bahwa kemandirian (autonomy) merupakan
prasyarat atau prakondisi pemelajaran yang efektif. Oleh karena itu, dalam bagian
ini akan dibahas secara singkat konsep belajar mandiri, yang tampaknya menjadi
kecenderungan (trend) di masa yang akan datang.
Menurut Benson (2001: 47) kemandirian dalam belajar berarti “the capacity
to take control of one’s own learning”. Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa
kemandirian dalam belajar mengacu pada kemampuan seseorang untuk melakukan
pengaturan terhadap kegiatan belajarnya sendiri. Pengaturan belajar dalam hal ini
dapat mengambil berbagai bentuk. Dengan kata lain, kemandirian merupakan
kemampuan multidimensional yang termanifestasikan dalam berbagai bentuk untuk
orang-orang yang berbeda, bahkan untuk orang yang sama tetapi dalam konteks atau
pada waktu yang berbeda.
Menurut Holec (1981), “mengatur” dalam konteks ini berarti memiliki dan
memikul tanggungjawab atas semua keputusan dalam kaitannya dengan aspek-aspek
belajar. Aspek belajar yang dimaksud meliputi: (1) penentuan tujuan belajar, (2)
14
penetapan materi ajar, (3) pemilihan metode dan teknik belajar, (4) penentuan
waktu, tempat, irama belajar, dll., dan (5) penilaian hasil belajar. Dengan demikian,
pemelajar yang mandiri mampu mengelola kegiatan belajarnya sendiri yang meliputi
semua aspek di atas.
Satu hal yang perlu ditegaskan di sini adalah bahwa belajar mandiri tidak
sama dengan belajar sendirian atau belajar tanpa guru. Pemelajar yang mandiri
memiliki kebebasan penuh untuk menentukan tujuan belajarnya, materi belajar,
setting belajar, dan metode belajar, serta menentukan pihak-pihak yang dapat diajak
berinteraksi dalam rangka mencapai tujuannya itu. Dengan demikian, belajar
mandiri juga memiliki dimensi dan konsekuensi sosial. Hal lain adalah bahwa
kemandirian dalam belajar tidak bersifat “hitam-putih” melainkan lebih bersifat
hierarkhis. Kita tidak akan mengatakan bahwa seseorang mandiri atau tidak mandiri
dalam belajarnya; alih-alih, kita mengatakan bahwa tingkat kemandirian orang itu
tinggi atau rendah (Benson, 2001).
Secara historis gagasan belajar mandiri dalam bidang pendidikan atau
pembelajaran bahasa muncul dan berkembang pada awal tahun 1970-an. Namun
demikian, kemandirian belajar di luar bidang bahasa sudah ada sejak lama.
Berkenaan konsep belajar-mengajar, Galileo (dalam Benson, 2001: 23), yang hidup
antara tahun 1564 dan 1642, mengatakan, “You cannot teach a man anything; you
can only help him find it within himself”. Demikian pula Rousseau (1712 –1778)
(dalam Benson, 2001: 24) dengan pernyatannya yang antara lain berbunyi:
Make your pupil attend to the phenomena of nature, and you will soon arouse his curiosity. But to nourish this curiosity, be in no hurry to satisfy it. Suggest problems but leave the solving of them to him. Whatever he knows, he should know not because you have told him, but because he has grasped it himself. Do not teach him science: let him discover it. If ever you substitute authority for reason in his mind, he will stop reasoning and become the victim of other people’s opinion...
Dua kutipan di atas cukup menunjukkan pada kita bahwa gagasan tentang belajar
mandiri sudah lama berkembang, dan barangkali kita dapat berspekulasi bahwa para
15
ilmuwan besar di masa lalu dapat berkembang karena tingkat kemandirian mereka
dalam belajar sangat tinggi.
Derajad kemandirian dalam belajar dapat ditingkatkan. Benson (2001)
mengusulkan enam pendekatan pengembangan kemandirian belajar, yaitu: (1)
resource-based approaches, yang menekankan penggunaan sumber-sumber belajar;
(2) technology-based approaches, yang menekankan penggunaan teknologi
pendidikan; (3) learner-based approaches, yang menekankan pengembangan
keterampilan belajar mandiri; (4) teacher-based approaches, yang menekankan
peran guru dan pendidikan guru; (5) classroom-based approach, yang menekankan
pentingnya pengaturan kegiatan di dalam kelas; dan (6) curriculum-based approach,
yang menekankan pentingnya pengaturan isi kurikulum. Dalam prakteknya, keenam
pendekatan di atas digunakan secara terpadu.
8. Penutup
Sebagai guru atau dosen, kita menjadi ujung tombak kegiatan pendidikan,
khususnya pendidikan sekolah, karena kitalah yang memimpin kegiatan belajar-
mengajar. Sebagaimana diketahui, inti pendidikan adalah proses belajar-mengajar.
Oleh karena itu, apabila kualitas pendidikan menurun, hal pertama yang harus
dilakukan adalah melihat kualitas kegiatan belajar-mengajar di dalam kelas. Corak
kegiatan belajar-mengajar di dalam kelas, dalam banyak hal, ditentukan oleh
pendekatan pengajaran yang digunakan oleh guru. Pendekatan pengajaran yang baik
adalah pendekatan yang mampu membuat pemelajar belajar secara efektif. Di antara
sekian banyak pendekatan yang dikenalkan oleh para pakar pendidikan adalah
inquiry-based teaching (IBT). Dengan IBT pemelajar diberdayakan untuk secara
aktif mencari dan membentuk sendiri pengetahuannya. Prakondisi untuk mencapai
tataran itu adalah belajar mandiri (autonomous learning).
16
REFERENSI
Allwright, Richards . (1987). “Language Learning through Practice,” The Communicative Approach to Language Teaching, (ed). C.J. Brumfit dan K. Johnson, 167-182. Oxford: Oxford University Press.
Barman and Kotar. (1989). “Inquiry Based Learning”. http://www.usoe.k12.ut.us/ curr/science/core/6th/TRB6/inquiry.htm
Benson, Phil. (2001). Teaching and Researching Autonomy in Language Learning. Harlow, England: Longman.
Bowden, John dan Ference, Marton. (1998). The university of learning: Beyond quality and competence in higher education. London: Kogan Page. http://www.unca. edu/et/br110698.html.
Brown, H. Douglas. (2000). Principles of language learning and teaching. Englewood Cliffs, NJ.: Prentice Hall Regents.
Budnitz, Norman. (2003). “What do We Mean by Inquiry?” <http://www.biology. duke.edu/cibl/inquiry/what_is_inquiry.htm>
Cotteral, Sara dan Crabbe, David. (1992). “Fostering autonomy in the language classroom: Implications for teacher education,” Guidelines, vol. 14 No. 2 Desember. Singapura: SEAMEO Regional Language Centre.
Djagal W. Marseno. (2004). Aplikasi Konsep Mutu Pendidikan Tinggi. Makalah yang disampaikan dalam Lokakarya Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi di UGM Yogyakarta.
Hebrank, Mary. (2000). “Why Inquiry-Based Teaching and Learning in the Middle School Science Classroom?” <http://www.biology.duke.edu/cibl/inquiry/ why_is_inquiry.htm>
Holec. H. (1981). Autonomy in Foreign Language Learning. Oxford: Pergamon.Hymes, D.H. (1987). “On Communicative Competence,” The Communicative
Approach in Language Teaching (ed.) C.J. Brumfit dan K. Johnson, 5-26. Oxford: Oxford University Press.
Nunan, David. (1991). The Learner-Centred Curriculum. Cambridge: Cambridge University Press.
17
Raka Joni, T. (1992). Pokok-pokok pikiran mengenai pendidikan guru. Jakarta: Konsorsium Ilmu Pendidikan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
_______________.(1993). “Pendekatan cara belajar siswa aktif: Acuan konseptual peningkatan mutu kegiatan belajar-mengajar.” Dalam Conny R. Semiawan dan T. Raka Joni (Eds.). Pendekatan pembelajaran: Acuan konseptual pengelolaan kegiatan belajar-mengajar di sekolah. Jakarta: Konsorsium Ilmu Pendidikan, Ditjen Dikti, Depdikbud.
Richards, Jack C. dan Rodgers, Theodore S. (2001). Approaches and methods in language teaching. Cambridge: Cambridge University Press.
Semiawan, Conny R. (1991). “Strategi pembelajaran yang efektif dan efisien.” Dalam Conny R. Semiawan dan Soedijarto (Eds.). Mencari strategi pengembangan pendidikan nasional menjelang abad XXI. Jakarta: Grasindo.
Soedijarto. (1993). Memantapkan sistem pendidikan nasional. Jakarta: Gramedia Widiarsa Indonesia.
Sunardi. (2004). “Baku Mutu dalam Penjaminan Mutu di Perguruan Tinggi”. Makalah yang disampaikan dalam Lolakarya Penjaminan Mutu Pendidikan di Tawangmangu, 3 Juli 2004.
Widdowson, H.G. (1983). Teaching Language as Communication. Oxford: Oxford University Press.
______________. (1987). “The teaching of English as Communication,” The Communicative Approach to Language Teaching, (ed). C.J. Brumfit dan K. Johnson. Oxford: Oxford University Press.
Willis, Jane. (1996). A Framework for Task-Based Learning. England: Longman.
18