MEMO KEBIJAKAN
22 JANUARI 2021
Kepada Budi G. Sadikin
Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Dari Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), LaporCOVID19 dan PUSKAPA
Perihal Memo Kebijakan Penanganan Wabah COVID-19
Tanggal 22 Januari 2021
Memo kebijakan ini dibuat agar Bapak Menteri Kesehatan dapat segera mencapai indikator keberhasilan
penanganan wabah sebagai berikut:
1. Mesin birokrasi Kementerian Kesehatan yang selama ini mandek dapat bergerak cepat, dipandu strategi nasional
yang jelas dan menjangkau hingga level Kecamatan, berdasarkan pemantauan dan evaluasi real-time.
2. Pengendalian laju transmisi yang ditandai dengan turunnya jumlah kematian dan turunnya jumlah pasien di ICU.
3. Turunnya angka kematian (excess death) akibat kematian yang dipercepat (mortality displacement).
4. Ditetapkannya kebijakan karantina wilayah setidaknya di 10 provinsi dengan jumlah kasus terbanyak atau seluruh
pulau Jawa dan Bali dengan mengacu pada Undang-undang No 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
5. Tercipta keseimbangan optimal antara respon COVID-19 dan mempertahankan pemberian layanan kesehatan
esensial di Puskesmas/klinik pratama.
6. Kapasitas RS termanfaatkan optimal – bisa dinaikkan dengan aman tanpa membuat RS jadi klaster penularan
baru
7. Adanya platform data terintegrasi, pemastian data kasus yang dilaporkan adalah angka sesungguhnya dan
menjamin transparansi disclosure data tersebut pada publik.
8. Anggaran kesehatan dari APBN tersedia dalam jumlah yang cukup dan penyalurannya melalui mekanisme Dana
Dekonsentrasi, DAK fisik/non fisik dan DAU dapat berjalan sesuai strategi/prioritas Menteri Kesehatan.
Ruang Lingkup memo kebijakan ini kami batasi dalam ranah, otoritas, rentang kendali dan jangkauan
Menteri/Kementerian Kesehatan agar Bapak Menteri Kesehatan dapat segera melakukan eksekusi.
Namun demikian, kami menyadari bahwa pengendalian wabah membutuhkan kerja bersama lintas kementerian
teknis dan kementerian koordinator. Karenanya, setelah memo kebijakan ini, kami akan mengeluarkan memo
kebijakan serupa yang ditujukan kepada kementerian/menteri terkait lainnya dengan tembusan kepada Bapak
Menteri Kesehatan.
Konteks: Penularan COVID-19 makin tidak terkendali dan Sistem Kesehatan Nasional sudah kolaps
1. Memasuki Januari 2021, secara nasional, community transmission level Indonesia memburuk (berpindah dari CT1
ke CT2). Pada periode 11-17 Januari 2021 Indonesia mencapai insiden mingguan tertinggi sejak Maret 2020
(23,7/100.000 penduduk, lebih tinggi dari minggu sebelumnya yang hanya 19,6/100.000 penduduk). Angka
ratarata kasus aktif COVID-19 harian mencapai 11.701/hari pada periode 14 sampai 20 Januari 2021.
2. 64.3% (604.274 kasus) secara kumulatif per 20 Januari 2021 berada di pulau Jawa. Keenam provinsi di Jawa
melaporkan insiden mingguan tertinggi sejak kasus pertama dilaporkan. Jakarta berada pada level CT4, diikuti
Yogyakarta (CT3), Jawa Barat dan Jawa Tengah (CT2), serta Jawa Timur dan Banten (CT1).
3. Pandemi juga meluas di luar Jawa. Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Papua Barat dan Bali berada di urutan
atas, setelah DKI Jakarta, yang melaporkan angka kasus terbanyak per satu juta penduduk.
4. Test positivity proportion melonjak tajam dan mencapai puncaknya pada 17 Januari 2021 sebesar 32,83%. Hal ini
mengindikasikan penyebaran wabah tidak terkendali dan terdeteksi.
5. RLI (Rasio Lacak Isolasi) secara nasional per 20 Januari 2021 hanya berada pada angka 1,42. Angka deteksi kasus
minimum (1/1000 populasi per minggu) hanya dicapai oleh 17 provinsi hingga Desember 2020. Namun, tidak satu
pun provinsi tersebut memiliki positive rate 5% seperti yang disyaratkan WHO sebagai tanda comprehensive
surveillance telah tercapai. Hal ini berarti, bahkan untuk DKI Jakarta yang memiliki angka test 8x lebih tinggi dari
standar WHO, jumlah test masih jauh dari memadai. Peningkatan angka tes di DKI Jakarta dipicu oleh voluntary
testing untuk memenuhi syarat perjalanan, bukan karena perbaikan penemuan dan pelacakan kasus.
6. Sistem informasi pusat-daerah dan antar-layanan kesehatan tidak terhubung. Data Kawal COVID-19 menyebut
selisih jumlah kasus yang dilaporkan oleh Kementerian Kesehatan dan Pemerintah Daerah membesar. Per 17
Januari 2021, jumlah kasus berbeda 4,93% dengan selisih terbanyak di Jawa Tengah (40.246 kasus) dan Jawa
Barat (14.847 kasus). Jumlah meninggal dunia berbeda 18,4% dengan selisih terbanyak di Jateng (3.791) & Jabar
(1.856).
7. Menteri Kesehatan tidak dapat memantau kapasitas layanan kesehatan secara real-time melalui
http://sirs.yankes.kemkes.go.id/, dan tidak ada satupun Pemerintah Provinsi yang mengisi kekosongan informasi
ini kecuali DKI Jakarta (http://eis.dinkes.jakarta.go.id/eis/).
8. Layanan kesehatan sudah kolaps. Di beberapa daerah keterisian tempat tidur, ICU, dan ruang isolasi per 2 Januari
2021 sudah melebihi 70%: DKI Jakarta (84,74%), Banten (84,52%), DI Yogyakarta (83,36%), Jawa Barat (79,77%),
Sulawesi Barat (79,31%), Jawa Timur (78,41%), Jawa Tengah (76,27%), Sulawesi Selatan (72,40%), Sulawesi
Tengah (70,59%).
9. Puncak jumlah kasus yang membutuhkan perawatan RS di Jakarta terjadi sejak 31 Desember 2020. Dalam periode
11-17 Januari 2021, hospitalization rate di DKI Jakarta berada pada angka 88.3%. Sejak akhir Desember-19 Januari
2021, LaporCovid19 mendapatkan total 39 laporan kasus pasien, terutama di Jabodetabek, yang ditolak rumah
sakit karena penuh, pasien yang meninggal di perjalanan, serta meninggal di rumah karena ditolak rumah sakit.
10. Data LaporCovid-19 hingga 19 Januari 2021 mencatat jumlah tenaga kesehatan yang meninggal karena Covid-19
mencapai 643 orang.
Dalam situasi dengan tingkat kegawatan sangat tinggi seperti ini, hal yang harus dicegah untuk terjadi adalah:
1. Mesin birokrasi Kementerian Kesehatan bergerak kalah cepat dari wabah dan tidak dipandu arah strategi yang
jelas. Akar masalahnya ada dua:
● Pada sisi penemuan dan pelacakan kasus, (a) Permenkes hanya menginstruksikan pemeriksaan ke kontak erat
bergejala; (2) Kapasitas RT-PCR stagnan di angka 40.000-an/hari untuk pasien, padahal angka pemeriksaan
untuk spesimen pernah mencapai angka 60.000-an/hari; dan (c) rasio lacak-isolasi terus turun karena
kapasitas tracer untuk melacak tidak bisa mengimbangi angka lonjakan kasus.
● Pada sisi peningkatan kapasitas layanan, (a) Oxygen capacity’ survey – yang menilai distribusi dan kapasitas
pengolahan oksigen, dan (b) Dasbor Essential Supplies Forecasting Tool (ESFT) serta (c) Surge Planning Support
Tool (ADAPTT) – yang menilai kemampuan sistem pelayanan kesehatan untuk secara cepat menambah
kapasitas melebihi dari kondisi pelayanan normal untuk memenuhi kebutuhan pelayanan medis yang
meningkat – tidak kunjung selesai dikerjakan sejak April 2020. Hal
ini menyebabkan kebijakan untuk meningkatkan kapasitas layanan dipandu oleh permintaan ad hoc dari
daerah bukan prediksi kebutuhan yang mempertimbangkan kurva epidemiologi wabah.
2. Layanan kesehatan kolaps lebih dalam, alur triase, dan rujukan pasien berantakan. Puskesmas/klinik pratama
beralih sepenuhnya ke layanan COVID-19 dan mengorbankan layanan esensial. Rumah sakit menutup pintu untuk
menerima pasien di semua kelas perawatan (mulai dari isolasi hingga ICU), baik untuk pasien COVID-19 maupun
non-COVID-19. Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT) terbukti tidak bisa mengatur arus traffic
pasien. Sistem ini juga tidak bisa diandalkan masyarakat untuk memandu arah perjalanan untuk mengakses
layanan di tengah kondisi kegawatdaruratan.
3. Data yang tersedia untuk publik tidak mencerminkan keadaan yang sesungguhnya karena tidak adanya
transparansi pelaporan data antara daerah-pusat-publik. Hal ini telah memicu rasa aman palsu. Akibatnya,
Pemerintah menjadi abai melakukan 3T, rakyat abai melakukan 3M.
4. Kekebalan imunitas gagal tercapai. Ambang batas perlindungan yang memadai dalam komunitas bergantung
pada kecepatan penyebaran virus. Jika Kementerian Kesehatan membiarkan virus ini bersirkulasi dengan laju
transmisi saat ini, virus memiliki lingkungan yang mendukung untuk bermutasi. Ada kemungkinan besar, jika
mutasi benar terjadi, vaksin yang telah dipesan oleh Pemerintah Indonesia tidak bisa melawan varian SARS-CoV2
yang baru.
5. Infeksi nosokomial di RS dan Puskesmas naik. Tingginya tingkat hunian tempat tidur (BOR), kepadatan pasien
berlebih, tenaga kesehatan yang kelelahan telah memicu infeksi antar tenaga kesehatan, nakes-pasien, atau
pasien-pasien. Rumah Sakit dan Puskesmas, yang seharusnya menjadi tempat yang aman, justru menjadi klaster
penularan baru yang membahayakan keselamatan tenaga kesehatan dan pasien.
6. Langkah Kementerian Kesehatan terkunci anggaran yang makin menipis dan kaku. APBN sudah terlanjur
dialokasikan untuk membeli vaksin dan biaya layanan RS, sementara Kementerian Kesehatan membutuhkan
tambahan anggaran untuk meningkatkan kapasitas test-trace-isolate. Anggaran juga sudah terbuang percuma
untuk mendanai PSBB yang tidak efektif. Sementara, kebutuhan pemberlakuan Karantina Kesehatan
menimbulkan konsekuensi alokasi anggaran bantuan sosial yang berbiaya besar.
Rekomendasi langkah-langkah strategis yang segera harus diambil/dikerjakan oleh Bapak Menteri Kesehatan
adalah:
1. Harus segera tersedia dokumen strategi penanganan dan pengendalian wabah yang mencakup tingkat
nasionalkomunitas. Tanpa strategi, kebijakan yang keluar bersifat impulsif dan reaktif dan kehilangan
kemampuan untuk bisa antisipatif serta sensitif terhadap dinamika kegawatan kasus.
2. Menginstruksikan karantina wilayah di provinsi dengan jumlah kasus terbanyak dan tingkat ketersediaan tempat
tidur RS paling minimal.
3. Gerakkan birokrasi (Kementerian Kesehatan, Dinas Kesehatan Provinsi, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota) dan
pastikan komunikasi Menteri Kesehatan – Gubernur berjalan lancar dan terus menerus
4. Perketat supervisi dan sistem pemantauan dan evaluasi capaian secara realtime. Target capaian (KPI) perlu
diturunkan (cascade) ke bawah hingga level kecamatan.
5. Tingkatkan kapasitas layanan kesehatan oleh Pemerintah Pusat dan Daerah. Lebih aman memperbanyak RS
khusus Covid-19 dibanding menginstruksikan peningkatan kapasitas TT RS di semua RS tanpa zoning yang
memadai. Puskesmas Perawatan berstandar PONED Sebagian dapat dipergunakan untuk merawat kasus sedang
di level Kecamatan. Fasilitas Isolasi level kecamatan harus segera tersedia.
6. Kementerian Kesehatan dapat menawarkan izin praktik sementara di fasilitas isolasi (bukan untuk memberi
intervensi medis) pada mahasiswa kedokteran dan keperawatan tahun terakhir serta tenaga kesehatan yang saat
ini bekerja dalam ranah non-klinis, seizin Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia. Untuk peningkatan kapasitas tenaga
kesehatan juga dapat dilakukan, kebijakan untuk task shifting dan task-sharing dari tenaga kesehatan dengan
kompetensi tinggi untuk penanganan COVID-19 (PDPI, PERKI, PAPDI, PERDATIN, IDAI) ke tenaga kesehatan
dengan kompetensi lainnya, dengan rekomendasi Organisasi Profesi.
7. Bekerjasama dengan Satgas, khususnya komponen BNPB yang memiliki infrastruktur hingga ke tingkat daerah
yang bisa digerakkan secara cepat untuk meningkatkan kapasitas perawatan dan isolasi sementara, juga
penyaluran bantuan.
8. Libatkan kelompok masyarakat sipil secara bermakna, sebagai mitra dari perencanaan, implementasi hingga
evaluasi; sekaligus kontrol eksternal implementasi di lapangan untuk mendorong terciptanya akuntabilitas sosial.
Aktifasi sistem pelaporan dari warga agar Menteri Kesehatan mendapat laporan kondisi nyata dan berimbang
melalui jejaring dan platform masyarakat sipil. Ka mi meyakini semua langkah tersebut akan berhasil karena:
Agar butir-butir rekomendasi di atas dapat dioperasionalisasikan, Bapak Menteri Kesehatan segera mengambil
langkah berikut:
1. Menulis laporan kegawatdaruratan kepada Presiden RI cc Sekretaris Negara, Menko PMK, Seskab dan Menlu
untuk merekomendasikan penetapan karantina wilayah dan memohon dukungan mitigasi dampak karantina
wilayah pada Menteri Keuangan, Menteri Sosial, Menteri Dalam Negeri, Menteri Tenaga Kerja dan Menteri
Perindustrian dan Perdagangan.
2. Melaksanakan konferensi pers bersama dipimpin oleh Presiden RI yang disiarkan serentak di seluruh kanal berita
untuk menginformasikan kepada publik langkah-langkah strategis yang akan diambil oleh Pemerintah.
3. Melakukan dan segera meluncurkan revisi panduan ke-6 yang berisi:
a. Memperluas kriteria tes untuk semua kontak erat, bukan hanya bagi yang bergejala saja
b. Menetapkan tes antigen sebagai alat diagnostik (bukan sebagai alat skrining) untuk menetapkan kasus positif
covid secara definitif (sesuai rekomendasi WHO pada tanggal 11 September 2020).
c. Menambahkan definisi kasus terkonfirmasi, yaitu (1) seseorang dengan hasil tes Ag-RDT positif, yang juga
memenuhi kriteria kasus suspek atau probable; dan (2) orang tanpa gejala dengan hasil tes Ag-RDT positif
yang merupakan kontak dari kasus yang mungkin atau dikonfirmasi juga dianggap sebagai kasus yang
terkonfirmasi (sesuai dengan rekomendasi WHO tanggal 16 Desember 2020).
4. Selain itu untuk penambahan kapasitas tenaga kesehatan, meminta Konsil Kedokteran dan OP untuk
memfasilitasi pemberlakuan kebijakan izin praktik sementara, task shifting dan task-sharing, serta continuing
professional education untuk COVID-19.
5. Menginstruksikan kepada Pusat Data Kementerian Kesehatan dan Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan
untuk memperbaharui data http://sirs.yankes.kemkes.go.id/, membuka akses https://sisrute.kemkes.go.id/
untuk publik, dan meminta Kementerian Dalam Negeri dan APPSI untuk memfasilitasi Provinsi untuk mereplikasi
sistem informasi layaknya http://eis.dinkes.jakarta.go.id/eis/.
6. Memerintahkan survei seroprevalensi skala besar di seluruh Kab/Kota yang masuk kategori community
transmission. Survei ini akan berguna untuk memetakan seberapa besar infeksi dalam suatu populasi. Hal ini
dibutuhkan agar Kementerian Kesehatan dapat memperkirakan laju transmisi wabah secara cepat, menghitung
ulang ketersediaan ruangan, ketersediaan tenaga kesehatan yang kompeten dan terlatih, ketercukupan suplai
fasilitas serta kesiapan sistem manajemen dalam merespon lonjakan kasus. Melalui survey ini Menteri Kesehatan
juga dapat mengetahui area-area mana yang dapat/perlu didahulukan untuk prioritas tes, dan nantinya,
pemberian vaksinasi. Bila sero-prevalence survey tersedia, karantina wilayah harus diberlakukan segera untuk
seluruh daerah berzonasi merah, sembari meninjau ulang kurva epidemiologi di daerah berzonasi kuning atau
hijau.
7. Meminta technical assistance dari WHO untuk membantu Kementerian Kesehatan melaksanakan butir
rekomendasi di atas dengan dukungan evidence, best-practices/benchmark global dan data/metrik yang tepat,
dan meninjau ulang prioritas bantuan dari mitra pembangunan lainnya jika dibutuhkan.
CISDI, LaporCOVID-19, dan PUSKAPA berkomitmen membantu Kementerian Kesehatan untuk menjalankan
langkah-langkah di atas dengan:
1. Memberikan daily/weekly briefing mengenai situasi di lapangan yang diolah dari laporan yang dimiliki oleh
LaporCOVID-19 serta kajian dan riset yang dilakukan oleh CISDI dan PUSKAPA. Kegawatdaruratan yang
disampaikan oleh Menteri Kesehatan kepada Presiden RI.
2. Membantu pelatihan tenaga kesehatan di 27 Puskesmas (dan segera 100 puskesmas) jejaring CISDI mengenai
revisi Panduan 6
3. Bersama dengan Kementerian Kesehatan dan Satgas COVID-19 membantu penyusunan SOP testing, tracing, dan
isolasi di tingkat komunitas.
4. Melaporkan data dan hasil kegiatan survei seroprevalensi CISDI di Kecamatan Tanjung Priok sebagai basis
kalkulasi kebijakan berbasis risiko
5. Bersama-sama organisasi masyarakat sipil lainnya menyusun dan menyampaikan memo kebijakan kepada
Kementerian/Lembaga terkait untuk mitigasi dampak dari karantina wilayah