http://journalbalitbangdalampung.org P-ISSN 2354-5704 | E-ISSN 2622-190X Desember 2019
INOVASI PEMBANGUNAN – JURNAL KELITBANGAN | VOLUME 7 NO. 3 229
MENELISIK POLA PEMBAGIAN KERJA KEPALA DAERAH :
STUDI DESKRIPTIF AGENDA HARIAN GUBERNUR LAMPUNG
STUDYING THE DIVISION OF REGIONAL HEAD OF WORK:
DESCRIPTIVE STUDY OF DAILY GOVERNOR AGENDA OF
LAMPUNG
Adi Asmariadi Budi1), Dian Sera Fauzela2), dan Tabrani 3)
Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Lampung
E-mail: [email protected]
Dikirim 14 Oktober 2019; Direvisi 01 November 2019; Disetujui 27 November 2019
Abstrak: Penerapan otonomi daerah di Indonesia telah berhasil menumbuhkan kepemimpinan daerah yang
lebih berkualitas dan terdesentralisasi. Kemunculan kepala daerah-kepala daerah inovatif merupakan salah satu
indikator keberhasilan tersebut. Namun di sisi lain, kepala daerah juga dituntut untuk menerapkan pola
administrasi publik yang baik dan benar. Good Governance merupakan salah satu konsep administrasi publik
yang mulai dikenal sejak tahun 1990 hingga sekarang. Pola pembagian peran kepemimpinan seperti apakah
dalam penyelenggaraan pemerintah daerah di era otonomi? Dan juga dalam penerapan good governance dalam
kepemimpinan tersebut? Pertanyaan tersebut menghantarkan riset ini yang memiliki tujuan untuk menelisik pola
pembagian peran kepemimpinan antara Gubernur, Wakil Gubernur dan Organisasi Perangkat Daerah (OPD)
dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di era otonomi daerah. Studi deskriptif dengan pendekatan
kualitatif digunakan sebagai metode dalam penelitian ini. Agenda harian Gubernur Lampung selama durasi tiga
bulan digunakan sebagai data primer. Hasil dari penelitian adalah adanya pola pembagian peran dalam
penyelenggaraan pemerintah pada Provinsi Lampung di era otonomi daerah antara Gubernur, Wakil Gubernur
dan Organisasi Perangkat Daerah. Rincian peran masing masing adalah: (1) Gubernur berperan dalam
membangun jejaring eksekutif dalam upaya untuk membangun kinerja pemerintahannya; (2) Wakil Gubernur
berperan dalam membangun publisitas dan kepercayaan publik terhadap pemerintahannya; dan (3) Kepala OPD
berperan dalam membangun kinerja birokrasi secara profesional. Prinsip participation dan consensus orientation
dalam konsep good governance merupakan dua prinsip yang paling dominan dalam penerapan pembagian peran
tersebut.
Kata kunci: otonomi daerah, good governance, kepemimpinan daerah, pembagian peran kepemimpinan.
Abstract: The implementation of regional autonomy in Indonesia has grown more qualified and desentralized
regional leadership. The emergence of innovative regional leaders is one of indicators of that successfulness.
But in the other side, regional leader also pushed to implement public administration in good and right way.
Good governance is one of public administration concept that has been known since 1990 until now. What kind
of leadership roles division pattern in regional autonomy? And also the implementation of good governance on
that leadership? Those questions delivered this research into its research purpose to probe leadership roles
division pattern between governor, vice governor, and regional structural organization (OPD) in organizing
regional government in regional autonomy era. A descriptive study with qualitative approach was used as a
method in this research. Daily agenda of Lampung Governor in three months duration were used as primary
data. The results of this research was found that there is a pattern on leadership roles division in organizing
government in Lampung Province in regional autonomy era between governor, vice governor, and OPD. Details
of that leadership roles are: (1) Governor has a role on building executive network in an attempt of building
their government performance; (2) Vice governor has a role on building publicity and public trust on their
government; and (3) Head of OPD has a role on building bureaucracy performace professionally. The principal
of participation and consensus orientation in good governance concept are two dominant principals in
implementation of that leadership roles division..
Keywords: regional autonomy, good governance, regional leadership, leadership roles division.
[MENELISIK POLA PEMBAGIAN KERJA KEPALA DAERAH : STUDI DESKRIPTIF AGENDA HARIAN GUBERNUR LAMPUNG
BINAAN SOSIAL KEAGAMAAN LANJUT USIA DALAM MEMBANGUN KONSTRUK KESALEHAN SOSIAL]
– Adi Asmariadi Budi, Dian Sera Fauzela, dan Tabrani
230 VOLUME 7 NO. 3 | INOVASI PEMBANGUNAN – JURNAL KELITBANGAN
PENDAHULUAN
Otonomi daerah telah membangun pola
kepemimpinan daerah yang tidak terpusat
layaknya era sentralisasi. Munculnya
kepala daerah-kepala daerah inovatif di
Indonesia merupakan salah satu bukti
terbangunnya kualitas kepemimpinan
daerah di era desentralisasi. Kebijakan
pemberian otonomi daerah dan
desentralisasi merupakan salah satu
langkah yang dianggap strategis. Otonomi
daerah dianggap sebagai jawaban atas
permasalahan lokal bangsa Indonesia
berupa ancaman disintegrasi, kemiskinan,
ketidakmerataan pembangunan, rendahnya
kualitas hidup masyarakat dan masalah
pembangunan sumber daya masyarakat.
Pemberian otonomi daerah diharapkan
dapat meningkatkan efisiensi, efektivitas
dan akuntabilitas sektor publik di
Indonesia. Dengan otonomi, daerah
dituntut untuk mencari sumber
pembiayaan pembangunan yang lain tanpa
mengurangi harapan masih adanya
bantuan dan pembagian dari pemerintah
pusat dan menggunakan dana publik sesuai
dengan prioritas dan aspirasi masyarakat.
Daerah juga diharapkan mampu menarik
investor untuk mendorong pertumbuhan
ekonomi daerah serta menimbulkan efek
besar. Menurut Firman (2009) dampak
dari berjalannya otonomi daerah adalah:
- Perubahan kondisi politik dan sosio
ekonomi Negara;
- Pemerintah daerah menjadi lebih
responsif;
- Pemerintah daerah dapat
memanajemen aspirasi dan potensi
daerahnya masing-masing;
- Pelayanan publik menjadi lebih
efektif;
- Pemimpin politik menjadi lebih
dekat dengan konstituennya.
Di sisi lain, daerah otonom juga harus
memenuhi pola administrasi publik agar
sistem pemerintahan di daerah dapat
terselenggara dengan baik. Untuk dapat
melaksanakan tugas dan fungsinya,
penyelenggara Negara memerlukan proses
manajemen, sehingga lahirlah konsep-
konsep administrasi publik, mulai dari
administrasi publik model klasik, New
Public Management (NPM), hingga Good
Governance yang mulai muncul sejak
tahun 1990 (Kurniawan, 2007). Keberadaan konsep klasik ditandai dengan
adanya konsep Negara bangsa, prinsip
permasalahan moral dan kehidupan politik,
kebutuhan organisasi penegakan hukum,
adanya empat belas prinsip organisasi
Fayol sebagai dasar ilmu organisasi serta
pemisahan antara birokrasi dan politik.
Pada tahapan selanjutnya yaitu, New
Public Management ditandai dengan
pelayanan terhadap masyarakat yang
efektif dan efisien dan pengaplikasian ide
sektor privat pada sektor publik. Konsep
NPM memiliki beberapa prinsip dasar
yaitu: penanganan manajemen yang
profesional, keberadaan standar dan
ukuran kinerja, kompetisi dalam pelayanan
publik, penekanan pada gaya sektor privat
dan menekankan pada pentingnya sumber
daya manusia dan teknologi. Selanjutnya
konsep yang berkembang adalah Good
Governance. Good Governance menurut
Sumodiningrat (1999: 251) didefinisikan
sebagai upaya pemerintahan yang amanah
dan untuk menciptakan good governance
pemerintahan perlu melaksanakan
desentralisasi dan menyelenggarakan
pemerintahan yang bebas korupsi, kolusi
dan nepotisme (KKN). Pada pelaksanaan
good governance terdapat beberapa prinsip
yang harus dipatuhi antara lain adalah
profesionalitas, akuntabilitas, transparansi,
pelayanan prima, demokrasi, partisipasi
dan supremasi hukum. Dalam
penyelenggaraan good governance
terdapat tiga unsur yang terlibat yaitu:
pemerintah, sektor swasta dan masyarakat.
Pemerintah di sektor publik tidak lagi
menjadi aktor tunggal dalam pengambilan
kebijakan. Pemerintah membutuhkan
campur tangan swasta dan masyarakat
untuk mewujudkan kesejahteraan.
[MENELISIK POLA PEMBAGIAN KERJA KEPALA DAERAH : STUDI DESKRIPTIF AGENDA HARIAN GUBERNUR LAMPUNG
BINAAN SOSIAL KEAGAMAAN LANJUT USIA DALAM MEMBANGUN KONSTRUK KESALEHAN SOSIAL]
– Adi Asmariadi Budi, Dian Sera Fauzela, dan Tabrani
INOVASI PEMBANGUNAN – JURNAL KELITBANGAN | VOLUME 7 NO. 3 231
Keberadaan sektor publik memiliki
tujuan untuk mewujudkan masyarakat
yang sejahtera. Untuk mewujudkan tujuan
tersebut, salah satu konsep yang muncul
adalah otonomi daerah. Konsep ini berlaku
sebagai dampak berakhirnya pemerintahan
orde baru. Konsep ini mulai dijalankan
pada tahun 1999 melalui undang-undang
otonomi daerah. Dasar hukum yang
mengatur otonomi daerah adalah Undang-
Undang Nomor 25 tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Daerah dan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004.
Berdasarkan beberapa dampak otonomi
daerah diatas, kepala daerah menjadi lebih
dekat dengan masyarakat yang telah
memilihnya secara langsung dan dapat
menampung aspirasi langsung dari
masyarakat. Namun di sisi lain kepala
daerah juga harus mampu menunjukkan
kinerja pemerintahannya melalui konsep
administrasi publik secara benar dan baik.
Pola profesionalitas pemerintah daerah dan
juga pembangunan simpati masyarakat
menjadi menarik untuk ditelisik melalui
riset ini. Penyelenggaraan pemerintah
seperti apakah? Hingga pembagian peran
kepemimpinan seperti apakah di era
desentraliasi dan otonomi daerah saat ini?
Riset ini menggali tersebut.
RUMUSAN MASALAH
a. Bagaimana pola pembagian peran
kepemimpinan pemerintah daerah di
era otonomi daerah berdasar kasus di
Pemerintah Daerah Provinsi
Lampung?
b. Bagaimanakah implementasi
pemerintahan yang baik (good
governance) melalui sudut pandang
kepemimpinan daerah?
TUJUAN
Menelisik pola pembagian peran
kepemimpinan antara Gubernur, Wakil
Gubernur dan Organisasi Perangkat
Daerah dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah di era otonomi
daerah.
Ruang Lingkup
Kepemimpinan daerah yang ditelisik
dalam riset ini dilakukan melalui data
agenda kerja harian Gubernur Lampung
dalam kurun waktu Juli 2019-September
2019.
TINJAUAN PUSTAKA
(1) Birokrasi
Administrasi Publik menurut Barton
dan Chappel dalam Keban (2008:5)
dinyatakan sebagai pekerjaan yang
dilakukan pemerintah atau “the work of
government”. Pada pelaksanaan pekerjaan
yang dilakukan oleh pemerintah tersebut
harus merujuk pada birokrasi. Birokrasi
mutlak diperlukan untuk memfasilitasi
fungsi pemerintahan dan demokratisasi.
Tidak ada Negara, tidak ada pemerintah
dan tidak ada demokrasi yang berfungsi
tanpa suatu birokrasi (Friedrich, 1950:57).
Max Weber menyatakan bahwa birokrasi
merupakan sarana paling rasional untuk
pelaksanaan kontrol imperatif atas
tindakan manusia dan dapat mencapai
derajat efisiensi teknis yang tertinggi
(Weber, 1947:337). Secara ideal birokrasi
merupakan sarana paling rasional untuk
pelaksanaan kontrol imperatif atas
manusia. Birokrasi rasional karena
bersandar pada otoritas legal-rasional
yang berisikan lima prinsip dasar berikut :
(1) standardisasi dan formalisasi; (2)
pembagian kerja dan spesialisasi; (3)
hierarki otoritas; (4) profesionalisasi dan
(5) dokumentasi tertulis (Weber,
1947:332).
(1). Standardisasi dan Formalisasi
Pembahasan standardisasi menurut Max
Weber merujuk kepada standardisasi
proses kerja dan standardisasi
keterampilan pekerja sebagai metode yang
rasional untuk mengkoordinasikan dan
mengontrol aktivitas kerja. Sedangkan
formalisasi adalah tingkat sejauh mana
peraturan dan komunikasi ditulis (Robbins,
[MENELISIK POLA PEMBAGIAN KERJA KEPALA DAERAH : STUDI DESKRIPTIF AGENDA HARIAN GUBERNUR LAMPUNG
BINAAN SOSIAL KEAGAMAAN LANJUT USIA DALAM MEMBANGUN KONSTRUK KESALEHAN SOSIAL]
– Adi Asmariadi Budi, Dian Sera Fauzela, dan Tabrani
232 VOLUME 7 NO. 3 | INOVASI PEMBANGUNAN – JURNAL KELITBANGAN
1994:103). Pada organisasi pemerintah,
formalisasi ada dalam bentuk pedoman
kebijakan, keranga acuan kerja, petunjuk
teknis evaluasi dan peninjauan kembali
program (Alavi dkk, 2010:87).
(2) Pembagian Kerja dan Spesialisasi
Pembagian kerja didefinisikan sebagai
perincian tugas-tugas ke dalam
komponen–komponen sederhana yang
dapat dilaksanakan berdasarkan suatu
basis yang berulang-ulang (Robbins &
Barnwell, 2002:36-37). Spesialisasi
memungkinkan pekerja menjadi ahli di
bidangnya, meskipun pekerjaannya
mungkin hanya satu bagian kecil dari
keseluruhan organisasi (Rosenbloom &
Kravchuk, 2005 :17). Max Weber
mengadopsi prinsip pembagian kerja dan
spesialisasi ke dalam tipe ideal birokrasi.
Dalam birokrasi pembagian kerja mengacu
pada era jurisdiksi resmi dari pejabat.
Pembagian kerja merupakan kontras dari
tugas-tugas yang samar dan tidak
sistematis dalam sistem-sistem patrimonial.
Pada konsep administrasi publik klasik
pembagian kerja dan spesialisasi memiliki
peranan yang penting sebagai salah satu
prinsip administrasi.
(3). Hierarki otoritas
Max Weber (1947:333) menyatakan
bahwa anggota organisasi mentaati otoritas
pejabat hanyalah dalam kapasitasnya
sebagai anggota organisasi dan yang
dipatuhinya semata-mata adalah hukum.
(4). Profesionalisasi
Profesionalisasi adalah pengembangan
tipe dan level pengetahuan dan
keterampilan yang diperlukan untuk
perilaku professional (Yates, 2009:88-90).
(5). Dokumentasi Tertulis
Dokumentasi tertulis yang ada secara
terus-menerus dibutuhkan dalam
mendukung keberadaan birokrasi.
Dokumen tertulis menurut Tompkins
(2005:52) adalah pencatatan keputusan-
keputusan administratif dalam tulisan
tulisan yang membantu operasional.
Pada kenyataannya, konsep birokrasi
Max Weber di Indonesia baru sebatas
sketsa semata dan belum berada pada
tahap pengaplikasian secara menyeluruh di
organisasi pemerintah. Sehingga butuh
upaya dari segala pihak untuk melakukan
sinergitas dalam menciptakan birokrasi
yang baik dan bermuara pada
kesejahteraan masyarakat.
(6). Good Governance
Good Governance didefinisikan oleh
Sumodiningrat (1999: 251) sebagai upaya
pemerintahan yang amanah dan untuk
menciptakan good governance
pemerintahan perlu melaksanakan
desentralisasi dan menyelenggarakan
pemerintahan yang bebas korupsi, kolusi
dan nepotisme (KKN). Dalam upaya
pelaksanaan good governance, UNDP
sebagaimana telah dikutip Lembaga
Administrasi Negara (2000 :7)
mengajukan prinsip-prinsip good
governance sebagai berikut:
a. Participation
Setiap warga negara memiliki hak suara
dalam membuat keputusan baik langsung
maupun secara tidak langsung. Partisipasi
seperti ini dibangun atas dasar kebebasan
bersosialisasi dan berbicara.
b. Rule of Law
Kerangka hukum harus adil dan
dilaksanakan tanpa memandang setiap
perbedaan yang ada terutama hal-hal yang
menyangkut hak asasi manusia.
c. Transparancy
Transparansi dibangun berdasarkan
kebebasan arus informasi. Arus informasi
dapat diterima langsung oleh mereka yang
membutuhkan, tetapi juga dapat diawasi
perkembangannya.
d. Responsiveness
Lembaga-lembaga harus memiliki sifat
yang mau memberikan pelayanan yang
terbaik.
[MENELISIK POLA PEMBAGIAN KERJA KEPALA DAERAH : STUDI DESKRIPTIF AGENDA HARIAN GUBERNUR LAMPUNG
BINAAN SOSIAL KEAGAMAAN LANJUT USIA DALAM MEMBANGUN KONSTRUK KESALEHAN SOSIAL]
– Adi Asmariadi Budi, Dian Sera Fauzela, dan Tabrani
INOVASI PEMBANGUNAN – JURNAL KELITBANGAN | VOLUME 7 NO. 3 233
e. Consensus Orientation
Good governance mampu menjadi titik
temu antara perbedaan-perbedaan yang ada
dalam hal kebijakan-kebijakan dan
prosedur-prosedur.
f. Equity
Semua warga negara baik perempuan
ataupun laki-laki memiliki kesempatan
yang sama dalam meningkatkan
kesejahteraan.
g. Effectiveness and Efficiency
Proses-proses yang terjadi di lembaga-
lembaga sebaiknya menghasilkan output
yang sesuai.
h. Accountability
Para pembuat keputusan baik
pemerintah, sektor swasta dan masyarakat
dapat mempertanggungjawabkan hasil
keputusan kepada masyarakat.
i. Strategic Vision
Pemimpin publik harus memiliki
pandangan ke depan mengenai good
governance dalam menunjang proses
pembangunan.
Dalam penyelenggaraan Good
Governance terdapat tiga unsur yang
terlibat yaitu: pemerintah, sektor swasta
dan masyarakat.
Semua unsur yang terlibat dalam good
governance merupakan pilar utama good
governance yang memiliki tujuan untuk
mencapai kesejahteraan masyarakat
(Sedarmayanti, 2009:280).
(7). Desentralisasi dan Otonomi Daerah
Desentralisasi adalah penyerahan
kewenangan dari pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah untuk mengurusi
urusan rumah tangga sendiri berdasarkan
prakarsa dan aspirasi dari rakyatnya dalam
kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Dengan adanya desentralisasi
maka muncullah otonomi bagi suatu
pemerintah daerah. Desentralisasi
sebenarnya adalah istilah dalam
keorganisasian yang secara sederhana
didefinisikan sebagai penyerahan
kewenangan (Haris, 2007:4). Menurut
Josef Riwo Kaho (1997:12), tujuan
desentralisasi adalah: (a) mengurangi
bertumpuknya pekerjaan di Pusat
Pemerintahan, (b) dalam menghadapi
masalah yang amat mendesak yang
membutuhkan tindakan yang cepat, daerah
tidak perlu menunggu instruksi lagi dari
Pemerintah Pusat, (c) dapat mengurangi
birokrasi dalam arti yang buruk karena
setiap keputusan dapat segera
dilaksanakan, (d) dalam sistem
desentralisasi, dapat diadakan pembedaan
dan pengkhususan yang berguna bagi
kepentingan tertentu. Khususnya
desentralisasi teritorial, dapat lebih mudah
menyesuaikan diri kepada kebutuhan dan
kebutuhan khusus daerah, (e) mengurangi
kemungkinan kesewenang-wenangan dari
Pemerintah Pusat, (f) dari segi psikologis,
desentralisasi dapat lebih memberikan
kepuasan bagi daerah-daerah karena
sifatnya yang lebih langsung.
Seperti yang sudah dijelaskan diatas,
bahwa desentralisasi berhubungan dengan
otonomi daerah. Menurut Haris (2007:4),
otonomi daerah merupakan “Kewenangan
suatu daerah untuk menyusun, mengatur,
dan mengurus daerahnya sendiri tanpa ada
campur tangan serta bantuan dari
pemerintah pusat untuk meningkatkan
daya guna dan hasil guna penyelenggaraan
pemerintah dalam rangka pelayanan
terhadap terhadap masyarakat dan
pelaksanaan pembangunan sesuai dengan
peraturan perundang –undangan”.
Pemerintah Republik Indonesia
mengakomodir keberadaan otonomi
daerah melalui keberadaan Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah yang menyebutkan
bahwa otonomi daerah adalah hak,
wewenang dan kewajiban daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Sumodiningrat (1999:255) mengemukakan
bahwa hakikat otonomi adalah meletakkan
landasan pembangunan yang tumbuh
[MENELISIK POLA PEMBAGIAN KERJA KEPALA DAERAH : STUDI DESKRIPTIF AGENDA HARIAN GUBERNUR LAMPUNG
BINAAN SOSIAL KEAGAMAAN LANJUT USIA DALAM MEMBANGUN KONSTRUK KESALEHAN SOSIAL]
– Adi Asmariadi Budi, Dian Sera Fauzela, dan Tabrani
234 VOLUME 7 NO. 3 | INOVASI PEMBANGUNAN – JURNAL KELITBANGAN
berkembang dari rakyat, diselenggarakan
secara sadar dan mandiri oleh rakyat. Isu
otonomi daerah diharapkan mampu
mewujudkan kesejahteraan masyarakat
dan mengembangkan paradigma
pembangunan manusia yang menempatkan
masyarakat sebagai pelaku pembangunan.
Penyandingan antara pembagian peran
penyelenggaraan pemerintahan dalam
birokrasi, proses partisipasi dalam good
governance, hingga pola kepemimpinan
dalam pemerintahan terdesentralisasi
merupakan titik posisi dimana riset ini
berdiri. Penelisikan pembagian peran
dalam kepemimpinan daerah dan juga
penerapan good governance pada pola
kepemimpinan daerah menjadi celah
dalam peninjauan pustaka dan juga dasar
dari pelaksanaan riset ini.
METODE PENELITIAN
Untuk memperoleh hasil penelitian
yang akurat mengenai Menelisik Pola
Pembagian Peran Kerja Daerah: Studi
Deskriptif Agenda Harian Gubernur
Lampung, maka diuraikan metodologi
penelitian sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah jenis penelitian
kualitatif. Menurut Bogdan dan Biklen
(1992:21-22) penelitian kualitatif adalah
salah satu prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa
ucapan atau tulisan dan perilaku orang-
orang yang diamati. Pendekatan kualitatif
diharapkan mampu menghasilkan uraian
yang mendalam tentang ucapan, tulisan
dan atau perilaku yang dapat diamati dari
suatu individu, kelompok, masyarakat, dan
atau organisasi tertentu dalam suatu
konteks tertentu yang dikaji dari sudut
pandang yang utuh, komprehensif dan
holistik. Penelitian kualitatif bertujuan
untuk mendapatkan pemahaman yang
sifatnya umum terhadap kenyataan sosial
dan perspektif partisipan. Pemahaman
tersebut tidak ditentukan lebih dahulu,
tetapi didapat setelah melakukan analisis
terhadap kenyataan sosial yang menjadi
fokus penelitian. Studi deskriptif dilakukan
dengan tujuan untuk mendapatkan
deskripsi akurat dari manusia, kejadian
ataupun situasi (Saunders & Lewis, 2012).
Kualitatif deskriptif merupakan metode
yang dapat digunakan untuk memahami
secara komprehensif kejadian harian dari
suatu sampel riset yang dianalisis
(Magilvy & Thomas, 2009).
2. Waktu dan Lokasi
Pemerintah Daerah Provinsi Lampung
merupakan lokasi dimana penelitian ini
dilaksanakan yang dilakukan pada
September hingga November 2019.
3. Sumber Data
Menurut Arikunto (2002 :133)
penelitian kualitatif memiliki sumber data
utama yang bersumber dari kata-kata dan
tindakan, selebihnya adalah data tambahan
yang bersumber dokumen dan lain-lain.
Pada penelitian ini sumber data yang
digunakan adalah data primer berupa
agenda kerja harian Gubernur Lampung
mulai dari Juli 2019- September 2019
dengan triangulasi data menggunakan
media sosial Gubernur, Wakil Gubernur
dan Humas Provinsi Lampung.
Agenda harian Gubernur Lampung
merupakan data primer yang digunakan
dalam penelitian ini untuk menelisik
pembagian peran kerja antara Gubernur,
Wakil Gubernur, dan Organisasi Perangkat
Daerah (OPD) yang berada di bawahnya.
Agenda Harian Gubernur Lampung
tersebut bersumber dari Biro Humas dan
Protokol Provinsi Lampung yang
disebarkan melalui Bagian Protokol. Data
agenda harian tersebut dalam penelitian ini
diambil mulai dari bulan Juli 2019 hingga
September 2019, atau selama 3 bulan
kepemimpinan. Agenda harian tersebut
berupa tabel dalam satu halaman dengan
kop Pemerintah Daerah Provinsi dan
dilegalkan oleh Kepala Bagian Protokol
dan Kepala Biro Humas dan Protokol.
Tabel dalam agenda harian tersebut
[MENELISIK POLA PEMBAGIAN KERJA KEPALA DAERAH : STUDI DESKRIPTIF AGENDA HARIAN GUBERNUR LAMPUNG
BINAAN SOSIAL KEAGAMAAN LANJUT USIA DALAM MEMBANGUN KONSTRUK KESALEHAN SOSIAL]
– Adi Asmariadi Budi, Dian Sera Fauzela, dan Tabrani
INOVASI PEMBANGUNAN – JURNAL KELITBANGAN | VOLUME 7 NO. 3 235
terdapat beberapa kolom yang diantaranya
berisi: nomor, jam, acara, tempat, pakaian,
dan keterangan. Pada kolom keterangan
diisi dengan jabatan pejabat yang
bertanggungjawab atau menghadiri acara
tersebut.
Proses validasi dilakukan melalui
metode triangulasi dengan menggunakan
data sekunder berupa sosial media kepala
daerah, dalam hal ini Gubernur dan Wakil
Gubernur Lampung. Informasi-informasi
yang dipublikasikan oleh Gubernur dan
Wakil Gubernur disesuaikan dengan
agenda harian, sehingga proses triangulasi
dapat terwujud.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Data agenda harian Gubernur Lampung
dalam periode waktu kepemimpinan
selama tiga bulan yang diambil sebagai
sampel dalam penelitian kualitatif
deskriptif ini menjadi data utama riset.
Proses analisis dilakukan dengan
menggunakan pengolah data Microsoft
Excel. Data-data inti dalam agenda harian
Gubernur Lampung dikumpulkan dan
direkapitulasi dalam elemen-elemen data
diantaranya: tanggal, tema/topik acara,
lokasi acara, pejabat utama, jenis acara,
hadirin acara (audience1, audience2, dan
audience3).
Tabel 1. Model tabel untuk proses
rekapitulasi data Tgl T
ema/t
opik
acara
P
eja
bat
uta
ma
J
enis
Acara
Au
di
enc
e 1
A
udi
e
nce 2
A
udien
ce 3
1
Juli
2019
A
udien
si
KPK
W
aki
l
Gu
ber
nur
M
eneri
ma
kunju
ngan
Pej
abat
eksekuti
f
O
PD
intern
al
-
…
.
…
.
…
.
…
.
…
.
…
.
…
.
Berikut adalah penjelasan tentang
elemen-elemen data dalam kolom tersebut:
- Tanggal merupakan tanggal
dimana agenda acara akan
dilaksanakan;
- Tema/topik acara merupakan
informasi tentang acara yang
dihadiri oleh pejabat utama;
- Pejabat utama diklasifikasikan
dalam tiga pejabat utama yaitu
Gubernur, Wakil Gubernur, dan
Kepala OPD;
- Jenis acara merupakan tema acara
yang dikategorikan ke dalam
beberapa kategori, berdasar
rekapitulasi dihasilkan tujuh
kategori jenis acara yaitu:
menerima kunjungan, menghadiri
undangan, rapat/koordinasi, acara
rutin, pelantikan, kesepakatan, dan
kampanye/sosialisasi;
- Hadirin acara merupakan peserta
acara dalam acara yang dihadiri
oleh pejabat utama, hadirin acara
dibagi ke dalam 3 jenis hadirin
yaitu: audience1 sebagai hadirin
utama, dan audience2 & audience3
sebagai hadirin pendamping.
Proses validasi dilakukan melalui
metode triangulasi media sosial para
pejabat utama, yaitu Gubernur Lampung,
Wakil Gubernur Lampung, dan OPD.
Media sosial Instagram digunakan dalam
penelitian ini, dan setiap pejabat utama
dalam riset ini memiliki Instagramnya
masing-masing. Untuk OPD, Instagram
dikelola oleh Sekretariatnya masing-
masing. Berdasarkan penelusuran media
sosial tersebut, data-data yang tercatat
dalam Agenda Harian Gubernur Lampung
dapat tervalidasi.
Proses selanjutnya setelah rekapitulasi
data agenda harian Gubernur Lampung
dilakukan adalah analisis deskriptif
terhadap pola pembagian peran antara
Gubernur, Wakil Gubernur, dan Kepala
[MENELISIK POLA PEMBAGIAN KERJA KEPALA DAERAH : STUDI DESKRIPTIF AGENDA HARIAN GUBERNUR LAMPUNG
BINAAN SOSIAL KEAGAMAAN LANJUT USIA DALAM MEMBANGUN KONSTRUK KESALEHAN SOSIAL]
– Adi Asmariadi Budi, Dian Sera Fauzela, dan Tabrani
236 VOLUME 7 NO. 3 | INOVASI PEMBANGUNAN – JURNAL KELITBANGAN
OPD. Proses analisis dilakukan melalui
dua jenis analisis yaitu dengan melihat
pola jenis acara dan pola hadirin (audience)
acara yang hadir dalam acara yang dihadiri
oleh pejabat utama. Analisis pertama
adalah analisis jenis acara digunakan untuk
mengetahui kegiatan apa saja yang
dilakukan oleh para pejabat utama, dan
membandingkan pembagian kerja diantara
mereka. Analisis kedua adalah analisis
hadirin (audience) yang hadir yang
digunakan untuk mengetahui dan
membandingkan jenis-jenis audience yang
hadir pada acara pejabat utama.
Analisis Jenis Acara
Tiap-tiap pejabat utama dalam
melaksanakan agenda harian memiliki
prioritas acaranya masing-masing, seperti
menerima kunjungan ataupun melakukan
rapat/koordinasi. Dalam durasi waktu
pengambilan data ini, prioritas agenda
harian tiap pejabat utama dijumlahkan dan
diurutkan dalam sebuah grafik dengan
tujuan untuk mengetahui pola dominasi
jenis acara yang dihadiri oleh tiap pejabat
utama.
Berdasar pada hasil penelusuran dan
klasifikasi data, terdapat tujuh klasifikasi
jenis acara yang dihadiri atau dilaksanakan
oleh pejabat utama. Klasifikasi jenis acara
dimaksud diantaranya:
1. Menerima kunjungan, contoh:
Menerima audiensi Kepala Kanwil
Ditjen Perbendaharaan Provinsi
Lampung;
2. Menghadiri undangan, contoh:
Memberi sambutan acara
konferensi PMII Lampung;
3. Rapat/koordinasi, contoh: Rapat
pelaksanaan pelatihan guru PAUD;
4. Acara rutin, contoh: senam
bersama;
5. Pelantikan, contoh: Pelantikan
pejabat fungsional;
6. Kesepakatan, contoh:
Penandatanganan MoU kerjasama;
7. dan kampanye/sosialisasi, contoh:
Acara gerakan menanam
mangrove.
Gambar 1. Rekapitulasi jenis acara
yang dihadiri atau dilaksanakan oleh
Gubernur Lampung
Gambar 2. Rekapitulasi jenis acara
yang dihadiri atau dilaksanakan oleh
Wakil Gubernur Lampung
45
33
25
4 3 2 2
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
Jum
lah
Aca
ra
Agenda Harian Gubernur
37
30
18
31 1 0
0
5
10
15
20
25
30
35
40
Jum
lah
Aca
ra
Agenda Harian Wakil Gubernur
[MENELISIK POLA PEMBAGIAN KERJA KEPALA DAERAH : STUDI DESKRIPTIF AGENDA HARIAN GUBERNUR LAMPUNG
BINAAN SOSIAL KEAGAMAAN LANJUT USIA DALAM MEMBANGUN KONSTRUK KESALEHAN SOSIAL]
– Adi Asmariadi Budi, Dian Sera Fauzela, dan Tabrani
INOVASI PEMBANGUNAN – JURNAL KELITBANGAN | VOLUME 7 NO. 3 237
Gambar 3. Rekapitulasi jenis acara
yang dihadiri atau dilaksanakan oleh
Kepala OPD
Gambar 1 sampai Gambar 3
menunjukkan hasil analisis urutan jenis
acara dimulai dari acara yang paling sering
dihadiri. Berdasar pada analisis grafik,
setiap pejabat utama memiliki pola agenda
jenis acara dominannya masing-masing.
Berikut adalah urutan tiga jenis acara
teratas dari masing-masing pejabat utama:
1. Gubernur:
- Menerima kunjungan
- Menghadiri undangan
- Rapat/koordinasi
2. Wakil Gubernur:
- Menghadiri undangan
- Menerima kunjungan
- Rapat/koordinasi
3. Kepala OPD:
- Menghadiri undangan
- Rapat/koordinasi
- Menerima kunjungan.
Hasil urutan tiga teratas tersebut
menunjukkan pola bahwa Gubernur lebih
dominan dalam acara menerima kunjungan,
sehingga dalam hal ini Gubernur lebih
banyak berperan secara in house (tuan
rumah) sebagai representasi utama dari
pemerintah daerah dalam pelayanan publik.
Wakil Gubernur dari hasil riset diketahui
lebih dominan dalam acara menghadiri
undangan, sehingga dapat dikatakan
bahwa Wakil Gubernur berperan dalam
kegiatan-kegiatan yang bersifat keluar (out
house activity). Kegiatan kepala OPD
berdasar grafik lebih dominan pada
kegiatan menghadiri rapat. Namun
berdasar pada penelusuran data, kepala
OPD paling banyak menghadiri rapat yang
diselenggarakan oleh OP (Organisasi
Perangkat) eksternal. Kondisi tersebut
dalam analisis ini dapat dikategorikan
sebagai rapat/koordinasi dengan OP
eksternal. Hal ini bersesuaian dengan
urutan kedua agenda acara kepala OPD
yaitu rapat/koordinasi. Sehingga dapat
dikatakan bahwa kepala OPD lebih
dominan dalam acara rapat/koordinasi.
Rangkuman yang didapat dari hasil
analisis jenis acara didapatkan pola
pembagian peran kepala daerah, yaitu
Gubernur berperan sebagai representasi
pemerintah daerah di dalam (in house
government) dan Wakil Gubernur sebagai
representasi pemerintah daerah di luar (out
house government). Sedangkan para
kepala OPD berperan sebagai koordinator
pemerintahan melalui kegiatan-kegiatan
yang lebih spesifik atau teknis.
Analisis Hadirin (audience) yang Hadir
Jenis audience yang hadir dalam
kegiatan-kegiatan pejabat utama dianalisis
secara deskriptif melalui data agenda
harian Gubernur untuk mengetahui pola
dan jenis audience yang hadir bersama
pejabat utama. Hasil rekapitulasi
didapatkan 11 klasifikasi jenis audience,
diantaranya:
1. Pejabat eksekutif: pejabat dari
sektor eksekutif di luar Pemerintah
Provinsi Lampung
2. OPD internal: OPD di bawah
Pemerintah Provinsi Lampung
3. OP eksternal: OP selain atau di luar
Pemerintah Provinsi Lampung
4. Swasta/BUMN/BUMD:
perusahaan swasta atau perusahaan
milik Negara/daerah
116
102
36
126 2 1
0
20
40
60
80
100
120
140
Jum
lah
Aca
raAgenda Harian Kepala OPD
[MENELISIK POLA PEMBAGIAN KERJA KEPALA DAERAH : STUDI DESKRIPTIF AGENDA HARIAN GUBERNUR LAMPUNG
BINAAN SOSIAL KEAGAMAAN LANJUT USIA DALAM MEMBANGUN KONSTRUK KESALEHAN SOSIAL]
– Adi Asmariadi Budi, Dian Sera Fauzela, dan Tabrani
238 VOLUME 7 NO. 3 | INOVASI PEMBANGUNAN – JURNAL KELITBANGAN
5. Legislatif: institusi legislatif/dewan
perwakilan rakyat
6. Masyarakat: masyarakat/publik
7. Organisasi masyarakat: organisasi
masyarakat/lembaga swadaya
masyarakat/organisasi profesi
8. Pegawai: pegawai di lingkungan
Pemerintah Provinsi Lampung
9. Akademisi: akademisi di perguruan
tinggi atau lembaga penelitian
10. Pers: wartawan, redaktur, dll.
11. Siswa/Mahasiswa: pelajar sekolah
atau mahasiswa perguruan tinggi.
Audience yang digunakan dalam
analisis data riset ini adalah audience1
yaitu sebagai hadirin utama. Hal itu
dilakukan karena hadirin utama duduk
sebagai orang yang berkepentingan secara
langsung terhadap acara yang dihadirinya
dan juga dihadiri oleh pejabat utama.
Gambar 4. Peserta/audience acara
Gubernur
Gambar 5. Peserta/audience acara
Wakil Gubernur
Gambar 6. Peserta/audience acara
Kepala OPD
Tiap pejabat utama ternyata memiliki
pola audience yang berbeda-beda. Berikut
adalah urutan tiga terbesar audience tiap
pejabat utama:
1. Gubernur:
- Pejabat eksekutif
- OPD internal
- Swasta/BUMN/BUMD
2. Wakil Gubernur:
- OPD internal
- Organisasi masyarakat
- Masyarakat
3. Kepala OPD:
- OPD internal
- OP eksternal
- Masyarakat.
28
22
15 15
9 86
4 3 31
0
5
10
15
20
25
30
Jum
lah
Aca
ra
AudienceAcara Gubernur
21
18
1311 11
5 4 42 1 1
0
5
10
15
20
25
Jum
lah
Aca
ra
AudienceAcara Wakil Gubernur
76 73
24 2318 15 13 12 9 8
3
0
10
20
30
40
50
60
70
80
Jum
lah
Aca
ra
AudienceAcara Kepala OPD
[MENELISIK POLA PEMBAGIAN KERJA KEPALA DAERAH : STUDI DESKRIPTIF AGENDA HARIAN GUBERNUR LAMPUNG
BINAAN SOSIAL KEAGAMAAN LANJUT USIA DALAM MEMBANGUN KONSTRUK KESALEHAN SOSIAL]
– Adi Asmariadi Budi, Dian Sera Fauzela, dan Tabrani
INOVASI PEMBANGUNAN – JURNAL KELITBANGAN | VOLUME 7 NO. 3 239
Hasil urutan tersebut memperlihatkan
pola yang menarik dari audience tiap
pejabat utama. Audience acara Gubernur
lebih dominan para pejabat eksekutif,
dengan agenda yang paling sering adalah
menerima kunjungan. Hal ini dapat
dianalisis bahwa Gubernur lebih banyak
menerima kunjungan dari para pejabat
eksekutif. Audience Wakil Gubernur dan
juga kepala OPD berdasar pada urutan
teratas adalah OPD internal. Namun
berdasar pada analisis jenis acara yang
dihadiri antara Wakil Gubernur dengan
OPD internal dan juga Kepala OPD
dengan OPD internal, acara yang yang
paling dominan dan sering dilaksanakan
adalah rapat/koordinasi, hal itu pun juga
dilakukan oleh Gubernur. Maka berkaitan
dengan hal tersebut, audience OPD
internal dapat dihilangkan dalam proses
analisis ini dengan tujuan untuk
mendapatkan perbedaan peran mendasar
diantara ketiga pejabat utama. Setelah
proses penghilangan OPD internal dari
urutan audience, maka akan terlihat bahwa
audience dominan dari Wakil Gubernur
adalah organisasi masyarakat, dan
audience dominan dari kepala OPD adalah
OP eksternal.
Pembagian peran penyelenggaraan
pemerintah antar pejabat utama berdasar
pada analisis jenis acara dan analisis
audience dapat disimpulkan sebagai
berikut:
- Gubernur berperan dalam
membangun kinerja pemerintah
dengan menjalin keeratan
hubungan antar pejabat eksekutif di
luar pemerintahannya;
- Wakil Gubernur berperan dalam
membangun kepercayaan
pemerintah melalui kerja-kerja
yang dilakukan diantara organisasi
masyarakat yang merupakan
representasi dari sektor publik.
Publisitas ini dapat dikaitkan pula
dengan kerja politik dalam
membangun suara dari masyarakat;
- Kepala OPD berperan dalam
membangun kinerja birokrasi
profesional, hal ini terlihat melalui
jalinan kerja dengan OP eksternal
yang merupakan instansi/lembaga
lain diluar Pemerintah Provinsi
Lampung sebagai rekan kerja
dalam penyelenggaraan
pemerintahan.
Berdasarkan hasil analisis yang
dilakukan terhadap jenis acara dan hadirin
yang telah dilakukan, terlihat bahwasanya
konsep birokrasi tetap menjadi kebutuhan
dalam memfasilitasi fungsi pemerintah.
Prinsip dasar birokrasi yang sampai saat
ini tetap harus dipakai adalah standardisasi
dan formalisasi, pembagian kerja, hierarki
otoritas serta dokumentasi tertulis.
Prinsip standardisasi dan formalisasi
menjadi hal yang penting mengingat
semua kegiatan yang dilaksanakan oleh
Gubernur, Wakil Gubernur dan Kepala
OPD merupakan representasi dari
pemerintah daerah. Standardisasi
menurut Max Weber merujuk kepada
standardisasi proses kerja dan metode
rasional yang digunakan untuk mengontrol
aktivitas kerja. Keberadaan standardisasi
menjadi penting mengingat setiap kegiatan
yang dilaksanakan oleh Gubernur, Wakil
Gubernur dan Kepala OPD, dalam hal ini
merujuk pada jenis acara dan hadirin yang
menghadiri. Prinsip birokrasi selanjutnya
yang harus dilakukan adalah pembagian
kerja. Pembagian kerja didefinisikan
sebagai perincian tugas-tugas ke dalam
komponen-komponen sederhana yang
dapat dilaksanakan secara berulang-ulang.
Pada analisis yang telah dilakukan yaitu
analisis jenis acara dan analisis hadirin
yang telah dilakukan. Pembagian kerja
berupa merincikan tugas-tugas dalam
komponen-komponen yang lebih kecil.
Upaya tersebut menjadi mutlak mengingat
[MENELISIK POLA PEMBAGIAN KERJA KEPALA DAERAH : STUDI DESKRIPTIF AGENDA HARIAN GUBERNUR LAMPUNG
BINAAN SOSIAL KEAGAMAAN LANJUT USIA DALAM MEMBANGUN KONSTRUK KESALEHAN SOSIAL]
– Adi Asmariadi Budi, Dian Sera Fauzela, dan Tabrani
240 VOLUME 7 NO. 3 | INOVASI PEMBANGUNAN – JURNAL KELITBANGAN
banyaknya acara yang harus dihadiri oleh
Gubernur, Wakil Gubernur dan Kepala
OPD serta banyaknya jenis audience yang
harus bertemu dengan Gubernur, Wakil
Gubernur dan Kepala OPD. Pembagian
kerja menjadi hal yang wajib untuk
meningkatkan efektivitas dan efisiensi
pekerjaan.
Selanjutnya kegiatan yang dihadiri oleh
Gubernur, Wakil Gubernur dan Kepala
OPD akan menghasilkan setiap output
kegiatan yang terdokumentasi secara baik
dalam dokumen tertulis. Dokumentasi
tertulis didefinisikan menjadi pencatatan
keputusan-keputusan administratif dalam
tulisan-tulisan yang membantu operasional
(Tompkins, 2005:52). Dokumentasi
tertulis harus ada secara terus-menerus
untuk mendukung keberadaan birokrasi.
Dokumen tertulis tersebut pada akhirnya
akan bermuara pada keputusan-keputusan
administratif yang diambil untuk
mendukung pembangunan daerah dan
kesejahteraan masyarakat. Keputusan-
keputusan administratif yang telah
diputuskan akan mengalami formalisasi
dalam bentuk pedoman kebijakan ataupun
petunjuk teknis evaluasi. Banyaknya
kegiatan yang dilaksanakan oleh Gubernur,
Wakil Gubernur dan Kepala OPD
menuntut adanya hierarki otoritas.
Hierarki otoritas yang paling ditaati oleh
anggota organisasi adalah hukum.
Berdasarkan analisis jenis acara dan
audien yang hadir pada setiap kegiatan
yang dilakukan oleh Gubernur, Wakil
Gubernur dan Kepala OPD, upaya
pelaksanaan otonomi daerah telah
dilakukan di Provinsi Lampung. Otonomi
daerah sendiri didefinisikan sebagai
peletakan landasan pembangunan yang
tumbuh berkembang dari rakyat,
diselenggarakan secara sadar dan mandiri
oleh rakyat (Sumodiningrat, 1999:255).
Untuk mencapai tujuan tersebut, pelibatan
rakyat menjadi hal yang mutlak dilakukan.
Pelibatan rakyat diwujudkan dalam bentuk
banyaknya audiensi yang dilakukan oleh
Wakil Gubernur dan Kepala OPD.
Audiensi yang dilakukan untuk
menampung semua aspirasi dari
masyarakat secara umum, melihat semua
potensi yang dimiliki daerah dari sudut
pandang swasta dan masyarakat serta
menyiapkan strategi meningkatkan
kemampuan daerah. Hal ini akan mampu
mengembangkan kemampuan SDM lokal
di Provinsi Lampung dan pada akhirnya
menciptakan kesejahteraan masyarakat.
Masyarakat sebagai unsur yang terlibat
dalam pembangunan merupakan bagian
yang berusaha untuk dirangkul oleh Wakil
Gubernur dan Kepala OPD berdasarkan
hasil analisis jenis acara dan hadirin yang
dilaksanakan dalam kurun waktu 3 bulan.
Hal ini ditunjukkan melalui audiensi dan
banyaknya kegiatan kunjungan ke luar
yang dilakukan olh Wakil Gubernur dan
Kepala OPD, Sedangkan Gubernur lebih
banyak berhubungan dengan unsur
pemerintah dan menerima kunjungan dari
luar baik dari sektor swasta atau
pemerintah lainnya.
Sinergitas antara Gubernur, Wakil
Gubernur dan Kepala OPD dalam
merangkul semua unsur dalam
penyelenggaran pemerintah yaitu : unsur
pemerintah, swasta dan masyarakat akan
menciptakan pemerintahan yang
demokratis. Tujuan akhir yang ingin
dicapai adalah pemerintahan yang baik
(good governance). Pada prakteknya
diharapkan setiap kebijakan yang diambil
oleh oleh pemerintah adalah kebijakan
yang memiliki nilai dengan konsep
pengelolaan organisasi sektor publik yang
berdasar pada ekonomi, efisiensi dan
efektifitas.
KESIMPULAN
Pola pembagian peran penyelenggaraan
pemerintahan yang dilakukan melalui studi
deskriptif pada kasus Pemerintah Provinsi
Lampung menghasilkan beberapa temuan
menarik dalam penyelenggaraan
pemerintah di era otonomi daerah. Agenda
[MENELISIK POLA PEMBAGIAN KERJA KEPALA DAERAH : STUDI DESKRIPTIF AGENDA HARIAN GUBERNUR LAMPUNG
BINAAN SOSIAL KEAGAMAAN LANJUT USIA DALAM MEMBANGUN KONSTRUK KESALEHAN SOSIAL]
– Adi Asmariadi Budi, Dian Sera Fauzela, dan Tabrani
INOVASI PEMBANGUNAN – JURNAL KELITBANGAN | VOLUME 7 NO. 3 241
Harian Gubernur Lampung sebagai data
primer dalam riset ini memberikan
pembagian peran yang terpola berdasar
pada hasil rekapitulasi data selama durasi
waktu tiga bulan agenda harian.
Menurut studi deskriptif, peran
kepemimpinan terbagi dalam tiga
pembagian peran utama yaitu antara
Gubernur, Wakil Gubernur dan Kepala
OPD. Hasil analisis data, setiap unsur
kepemimpinan daerah tersebut memiliki
pola peran kepemimpinan yang dapat
ditemukan sebagai berikut:
1. Gubernur berperan dalam
membangun jejaring eksekutif
dalam upaya untuk membangun
kinerja pemerintahannya;
2. Wakil Gubernur berperan dalam
membangun publisitas dan
kepercayaan publik terhadap
pemerintahannya; dan
3. Kepala OPD berperan dalam
membangun kinerja birokrasi
secara profesional.
Pada strategi mewujudkan
penyelenggaraan pemerintahan yang baik
(good governance), dilakukan upaya
pembagian peran Gubernur, Wakil
Gubernur dan Kepala OPD. Masing-
masing peran saling bersinergi untuk
merangkul tiga unsur yang menopang
penyelenggaraan yaitu: pemerintah, swasta
dan masyarakat. Sinergitas ketiga unsur
tersebut menjadi penting dalam
mengambil kebijakan pemerintah.
Sehingga apabila dikaitkan dengan
penerapan good governance dalam pola
pembagian peran kepemimpinan tersebut,
maka prinsip participation dan consensus
orientation merupakan dua prinsip yang
paling dominan dalam penerapan
pembagian peran tersebut. Pembangunan
kepercayaan publik merupakan bagian dari
participation dan pembangunan jaringan
sinergi merupakan bagian dari consensus
orientation.
DAFTAR PUSTAKA
Alavi, M.M., Almashaqba., Z.M.S., Al-
Qeed, M.A.N., 2010. The Classical
Theory Organisation and it’s
Relevance. International Research
Journal of Finance and Economics.
Issue 41.87.
Arikunto, S. 2002. Prosedur Penelitian,
Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta.
PT. Rineka Jaya. 133.
Bogdan, R dan S. Biklen. 1992.
Qualitative Ressearch for
Education. Boston. MA: Allyn and
Bacon. 21 -22.
Firman, T. 2009. Local Government
Proliferation In Indonesia :
Toward A Fragmentation of
Regional Development. Review of
urban & regional development
studies, 21(2/3), 143-157
Friedrich, Carl J. 1950. Constitutional
Government and Democracy. Ginn
and Company. Boston. U.S.A. 57.
Kaho, J.R. 1997. Prospek Otonomi Daerah
di Negara Republik Indonesia.
Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.
12
Keban, Yeremias T. 2008. Enam Dimensi
Strategis Administrasi Publik
(Konsep, Teori, dan Isu).
Yogyakarta: Gava Media. 5.
Kurniawan, T. (2007). Pergeseran Paradigma Administrasi Publik : dari Perilaku Model Klasik dan NPM ke Good Governance. Jurnal Ilmu Negara, 7, 52-70.
Lembaga Administrasi Negara. 2000.
Akuntabilitas dan Good
Governance. Jakarta. Lembaga
Administrasi Negara dan Badan
Pengawas Keuangan. 5-7
Magilvy, J. K., & Thomas, E. (2009). A
first qualitative project: Qualitative
descriptive design for novice
Researchers: Scientific inquiry.
[MENELISIK POLA PEMBAGIAN KERJA KEPALA DAERAH : STUDI DESKRIPTIF AGENDA HARIAN GUBERNUR LAMPUNG
BINAAN SOSIAL KEAGAMAAN LANJUT USIA DALAM MEMBANGUN KONSTRUK KESALEHAN SOSIAL]
– Adi Asmariadi Budi, Dian Sera Fauzela, dan Tabrani
242 VOLUME 7 NO. 3 | INOVASI PEMBANGUNAN – JURNAL KELITBANGAN
Journal for Specialists in Pediatric
Nursing, 14(4), 298–300.
https://doi.org/10.1111/j.1744-
6155.2009.00212.x
Robbins, S.P., 1994. Teori Organisasi :
Struktur, Desain & Aplikasi.
Jakarta. Penerbit Arcan.103.
Robbins, S.P., & Barnwell N. 2002.
Organisation Theory : Concepts
and Cases. Fourth Edition
Australia : Pearson Education
Australia Pty Ltd. 36-37.
Rosenbloom, D.H and Robert S. Kravchuk.
2005. Public Administration :
Understanding Management,
Politics and Law in the Public
Sector. Boston. Mc Graw Hill. 17
Saunders, M., & Lewis, P. (2012). IN
BUSINESS & An Essential Guide
to Planning Your Project. Trans-
Atlanti.
Sedarmayanti, 2009. Reformasi
Administrasi Publik, Refomasi
Birokrasi, dan Kepemimpinan
Masa Depan (Mewujudkan
Pelayanan Prima dan
Kepemerintahan yang Baik).
Bandung. Refika Aditama. 280.
Sumodiningrat, Gunawan. 1999.
Pemberdayaan Masyarakat & JPS.
Jakarta. PT. Gramedia Pustaka
Utama. p. 251
Tompkins, Jonathan R., 2005.
Organization Theory and Public
Management. Belmont: Thomson
Wadsworth.52.
Weber, Max. 1947. From Max Weber :
Essays in Sociology. Edited by H.H.
Gerth and C. Wright Mills. New
York. Oxford: Oxford University
Press.332.
Yates, Shirley M. 2009. Professional
Competencies : Perspectives dan
Challenges for the Tertiary Sector,
in International Perspectives on
Competence in the Workplace :
Implication for Research, Policy
and Practice. Edited by Christine
R. Velde. London: Springer
Science Business Media B.V., 87-
100.
Haris, Samsudin. 2007. Desentralisasi dan
Otonomi Daerah. Jakarta. LIPPI pres.
52