Mengenal Masyarakat Tengger
Mengenal Masyarakat Tengger
Keadaan Geografis
Luas daerah Tengger kurang lebih 40km dan utara ke selatan; 20-30 km dan timur ke barat,
di atas ketinggian antara 1000m - 3675 m. Daerah Tengger teletak pada bagian dari empat
kabupaten, yaitu : Probolinggo, Pasuruan, Malang dan Lumajang. Tipe permukaan tanahnya
bergunung-gunung dengan tebing-tebing yang curam. Kaldera Tengger adalah lautan pasir yang
terluas, terletak pada ketinggian 2300 m, dengan panjang 5-10 km. Kawah Gunung Bromo,
dengan ketinggian 2392 m, masih aktif mengeluarkan asap yang menggelembung ke angkasa. Di
sebelah selatan menjulang puncak Gunung Semeru dengan ketinggian 3676 m.
Keadaan Tanah dan Tanam-tanaman
Keadaan tanah daerah Tengger gembur seperti pasir, namun cukup subur. Tanaman keras
yang tumbuh terutama adalah agathis laranthifolia, pinus merkusii, tectona, grandis leucaena,
dan swietenia altingia excelsa, anthocepalus cadamba. Di kaki bukit paling atas ditumbuhi pohon
cemara sampai 3000 m di lereng Gunung Semeru. Tumbuhan utamanya adalah pohon-pohonan
yang tinggi, pohon elfin dan pohon cemara, sedangkan tanam-tanaman pertanian terutama adalah
kentang, kubis, ubi ketela, jagung dsb.
Jenis Hewan
Jenis hewan piaraan yang ada antara lain lembu dan kambing. Jenis binatang lainnya
adalah babi hutan (sus scrofa) rusa timur (cervus timorensis), serigala atau (muncak muntiacus),
dan berkembang pula jenis macam tutul (panthera pardus), terdapat pula species burung,
misalnya burung air.
Iklim dan Cuaca
Iklim daerah Tengger adalah hujan dan kemarau. Musim kemarau terjadi antara bulan Mei-
Oktober. Curah hujan di Sukapura sekitar 1800 mm, sedangkan musim hujan terjadi pada bulan
November-April, dengan persentase 20 hari/lebih hujan turun dalam satu bulan. Suhu udara
berubah-ubah, tergantung ketinggian, antara 3º - 18º Celsius. Selama musim hujan kelembaban
udara rata-rata 80%. Temperaturnya sepanjang hari terasa sejuk, dan pada malam hari terasa
dingin. Pada musim kemarau temperatur malam hari terasa lebih dingin daripada musim hujan.
Pada musim dingin biasanya diselimuti kabut tebal. Di daerah perkampungan, kabut mulai
menebal pada sore hari. Di daerah sekitar puncak Gunung Bromo kabut mulai menebal pada pagi
hari sebelum fajar menyingsing.
Penduduk dan Mata Pencaharian
Penduduk di sekitar Taman Nasional Bromo kurang lebih sebanyak 128.181 jiwa dengan
distribusi sebagai berikut: petani penggarap 48.625 orang (37,93%), buruh tani 10.461 orang
(8,16%), karyawan dan ABRI 1.595 orang (1,24%), pedagang 3.009 orang (2,38%),
pengrajin/industri kecil 343 orang (0,01%), dan lain-lain sekitar 64.140 orang (50,05%).
Penduduk masyarakat Tengger pada umumnya bertempat tinggal berkelompok di bukit-bukit
mendekati lahan pertanian. Mereka hidup dari bercocok tanam di ladang, dengan pengairan tadah
hujan. Pada mulanya mereka menanam jagung sebagai makanan pokok, akan tetapi saat ini
sudah berubah. Pada musim hujan mereka menanam sayuran seperti kentang, kubis, bawang, dan
wortel sebagai tanaman perdagangan. Pada penghujung akhir musim hujan mereka menanam
jagung sebagai cadangan makanan pokok.
Sejak zaman pemerintahan Majapahit, tingkat perkembangan penduduk Tengger tergolong
lambat. Sejarah perkembangan masyarakat Tengger tidak diketahui dengan jelas, kecuali secara
samar sebagai hasil penelitian Nancy (1985).
Sejarah dan Legenda
Pengertian Tengger
Ditinjau dari arti etimologisnya tengger berarti „berdiri tegak‟, diam tanpa bergerak (Jawa).
Sedangkan bila dikaitkan dengan kepercayaan yang hidup dalam masyarakatnya, Tengger
diartikan sebagai tengering budhi luhur (Jawa), Tengger berarti tanda atau ciri yang memberikan
sifat khusus pada sesuatu. Dengan kata lain tengger dapat berarti „sifat-sifat budi pekerti luhur‟.
Arti yang kedua adalah „daerah pegunungan‟, yang memang tepat dengan keadaan sebenarnya
bahwa masyarakat Tengger berada pada lereng-lereng pegunungan Tengger dan Semeru.
Arti kata tengger juga dapat dianalisis dari mitos masyarakat Tengger, tentang suami istri
sebagai cikal bakal atau yang pertama menghuni daerah itu, yaitu Roro Anteng, dan Joko Seger.
Dalam legenda, suami istri tersebut mempunyai 25 anak, yang salah satunya dikorbankan
sebagai tumbal dengan masuk ke dalam kawah Gunung Bromo yakni Kusuma demi keselamatan
saudara-saudaranya. Tengger merupakan singkatan dari kata teng dari asal kata anteng dan ger
dari kata seger. Anteng mengandung arti sifat tidak banyak tingkah, dan tidak mudah terusik.
Makna dari istilah tersebut tercermin pula pada kenyataan bahwa masyarakat Tengger
hidup sederhana, tenteram dan damai, bergotong-royong, bertoleransi tinggi, serta suka bekerja
keras. Mereka bekerja di ladang dari pagi sampai petang, bahkan sehari penuh tidak pulang ke
rumahnya, kecuali pada malam hari.
Digambarkan oleh Suprijono (1992), masyarakat Tengger adalah rakyat yang patuh pada
pimpinan (sabda pandita ratu); taat melaksanakan tradisi seperti : selamatan perayaan hari besar
dan upacara adat; selalu memakai sarung jika berada di kawasan gunung Bromo; kontak sosial
antar tetangga dilakukan secara langsung; kepercayaan kepada benda-benda gaib, tempat-tempat
keramat dan roh halus masih sangat kuat.
Sifat pergaulan masyarakat Tengger komunal, dalam arti hubungan batin antar-warga
adalah erat, dan sikap serta tindakan untuk saling menolong sesama warga dilakukan baik antar-
tetangga maupun antar-kerabatnya. Sikap tolong-menolong itu terwujud pada kegiatan bercocok
tanam, mendirikan rumah, hajat keluarga, mengatasi bencana alam, dsb.
Sejarah Masyarakat Tengger
Masyarakat Tengger memiliki sifat khas, beragama Hindu-Budha yang terpadu dengan
adat kepercayaan tradisional. Masyarakat Tengger tergolong masih bersifat tradisional, dalam
arti masih mampu mempertahankan nilai-nilai tradisionalnya. Hingga sekarang, pada umumnya
mereka hidup sangat sederhana, penuh dengan suasana kedamaian sebagai rakyat petani di
lereng-lereng pegunungan yang curam, namun secara bertahap telah ikut menikmati hasil
kemajuan teknologi modern dalam batas-batas tertentu.
Tengger pada zaman Majapahit
Sejak awal kerajaan Hindu di Indonesia Pegunungan Tengger diakui sebagai tanah suci.
Penghuninya dianggap sebagai abdi spiritual yang patuh dan disebut hulun (abdi) dari Sang
Hyang Widhi Wasa. Hal ini dapat dipelajari dari prasasti Tengger yang pertama ditemukan
berasal dari abad ke-10. Prasasti itu berangka tahun 851 Saka (929 Masehi) dan menyebutkan
bahwa sebuah desa bernama Walandit, terletak di pegunungan Tengger, adalah tempat suci
karena dihuni oleh hulun. Hal ini diperkuat pula dengan prasasti berangka tahun 1327 Saka
(1405 M) yang ditemukan di daerah Penanjakan (desa Wonokitri). Prasasti ini menyatakan
bahwa desa Walandit dihuni oleh hulun Hyang (abdi Tuhan) dan tanah di sekitarnya itu disebut
hila-hila (suci) (Hefner, 1985:26). Oleh karenanya, desa tersebut dibebaskan dari pembayaran
pajak.
Masyarakat Tengger mempunyai hubungan historis dengan agama Hindu. Hal ini tampak
pula dalam hubungan antara nama Bromo dengan dewa Brahma dalam agama Hindu. Gunung
Bromo dijadikan tempat pemujaan kepada Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai
Dewa Brahma dan digunakan sebagai tempat penyucian para arwah untuk bisa naik ke
Kahyangan. Sedangkan lautan pasir (segara wedhi) digambarkan sebagai jalan lintasan bagi
arwah manusia dalam perjalanan penyucian sebelum bisa naik ke Kahyangan.
Masyarakat Tengger mempunyai hubungan historis yang sangat erat dengan kerajaan
Majapahit. Hal ini diperkuat pula dengan adanya berbagai alat upacara agama yang berasal dari
zaman kerajaan Majapahit, yang sampai saat ini masih dipakai oleh para Pandita Tengger. Alat-
alat itu antara lain prasen „tempat air suci terbuat dari kuningan bergambar patung dari dewa dan
zodiak agama Hindu‟.
Sebagian besar prasen yang digunakan di Tengger berangka tahun Saka di antara 1243 dan
1352. Saat itu adalah masa kejayaan Kerajaan Majapahit. Kenyataan ini diperkuat pula dengan
pengakuan penduduk masyarakat Tengger yang menyatakan bahwa mereka adalah keturunan
Majapahit. Alat-alat ritual lain yang berasal dari Majapahit antara lain adalah baju antrakusuma,
sampet dsb. Demikian pula menurut naskah yang berasal dari Keraton Yogyakarta yang
berangka tahun 1814 M (Nancy), konon daerah Tengger termasuk wilayah yang dihadiahkan
kepada Gajah Mada karena jasa-jasanya kepada keraton Majapahit.
Tengger dari Abad ke-16 sampai ke-18
Keadaan daerah Tengger pada abad ke-16 sulit diketahui karena kurangnya informasi
mengenai sejarah Tengger. Dalam Serat Kandha (Nancy) diberitakan adanya seorang guru
agama yang ikut berjuang melawan musuh Majapahit. Namun, karena kegagalannya keraton-
keraton yang dulu terletak di bawah pegunungan Tengger dibongkar dan penghuninya diusir.
Pada awal abad ke-17 situasi politik di pulau Jawa berubah, dengan adanya perpindahan pusat
kekuasaan dari pesisir utara bergeser ke selatan. Sultan Agung memperluas kekuasaannya dari
Jawa Tengah ke Jawa Timur, yang akhirnya sampai pula ke daerah Tengger. Pusat kerajaan
pengikut agama Hindu yang masih di ujung timur tinggal Blambangan, mereka lewat
pegunungan Tengger dan merusahkan keraton, serta membawa sebagian orang Tengger ke
Mataram. Namun demikian rakyat daerah Tengger itu masih tetap mempertahankan identitasnya
dan melawan kekuasaan Mataram. Pada tahun 1680M, sewaktu Trunajaya gagal memberontak
melawan Mataram dan pasukan Belanda, ia lari ke timur. Kemudian ia dibantu oleh orang
Tengger. Demikian pula pada waktu Surapati melawan Mataram dan Pasukan Belanda, setelah
terdesak ia juga lari ke ujung timur, ke Pasuruan dan dibantu oleh orang-orang Tengger.
Perlawanan rakyat Tengger ini baru dapat dikuasai oleh pasukan Belanda pada tahun 1764.
Tengger pada Abad ke-19
Pada tahun-tahun terakhir abad ke-18 pejabat Belanda mulai memasuki daerah Tengger
untuk mengamati keadaan sosial ekonominya. Pada tahun 1785 didirikan sebagai pesanggrahan
di Tosari, dan di daerah ini mulai ditanam sayur-mayur dari Eropa dan Amerika. Para pengamat
Belanda itu memperhatikan tradisi Tengger, dan memperoleh gambaran bahwa daerah Tengger
bebas dari kejahatan, bebas dari candu; rakyat Tengger bersifat jujur dan lurus hati. Mereka
pemeluk agama Hindu yang memuja Brahma, Siwa dan Wisnu.
Situasi politik abad ke-19 berubah. Kekurangan penduduk di daerah Tengger dan
sekitarnya menarik para pendatang dari daerah yang mulai memadat. Para penghuni baru mulai
berdatangan dan membuka pemukiman baru. Pada saat terjadi perlawanan Diponegoro terhadap
pasukan Belanda, yang akhirnya dapat dipatahkan, sebagian sisa pasukan Diponegoro lari ke
timur dan menghuni daerah sekitar pegunungan Tengger. Sebagai akibatnya, daerah dataran
sekitar Tengger dihuni oleh pendatang baru dan menjadi terpisah dengan masyarakat Tengger
asli.
Tengger Sesudah Tahun 1945
Peran masyarakat Tengger pada waktu perang kemerdekaan sesudah proklamasi
kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 tidak jelas. Seperti diungkapkan
oleh Nancy, menjelang tahun 1945 rakyat Tengger mulai menggali lagi identitasnya dengan
mempelajari sejarah nenek moyangnya yang berasal dari daerah Majapahit. Agama yang dipeluk
pada waktu itu tidak jelas meskipun menyatakan diri beragama Budha, namun ciri-cirinya tidak
jelas. Kemudian sejak tahun 1973 mulai diadakan pembinaan keagamaan, yaitu dengan memeluk
agama Hindu Dharma.
Legenda
Asal Mula Nama Tengger
Pada zaman dahulu ada seorang putri dari Raja Brawijaya dengan permaisuri Kerajaan
Majapahit, yang cantik jelita, bernama Roro Anteng. Pada waktu itu keadaan kerajaan yang
tenteram, sejahtera dan damai, mengalami perubahan situasi memburuk. Atas nasihat dan saran
dan para pini sepuh kerajaan, Roro Anteng disuruh mencari tempat yang lebih aman, tenteram
dan damai, daripada hidup di kerajaan. Ia dengan para punggawanya pergi ke pegunungan
Tengger. Di desa Krajan ia singgah selama satu windu.
Kemudian ia melanjutkan perjalanannya ke desa Pananjakan dan menetap di desa itu serta
mulai bercocok tanam. Di tengah pegunungan dekat gunung Bromo ada seorang pendeta
bernama Resi Dadap Putih, yang berasal dari sekitar Majapahit. Ia bertemu dengan Roro Anteng
yang datang dari Majapahit dan sedang mencari ayahnya. Roro Anteng kemudian diangkat
menjadi anak oleh Rsi Dadap Putih. Keduanya hidup berbahagia.
Sementara itu Kediri juga dalam keadaan kacau, sebagai akibat dari situasi politik di
Majapahit. Joko Seger, putra seorang Brahmana, mengasingkan din ke desa Keduwung sambil
mencari pamannya yang tinggal di dekat Gunung Bromo. Di desa ini Joko Seger mendapatkan
informasi dan penduduk bahwa ada sejumlah orang dan Majapahit yang menetap di Pananjakan.
Joko Seger kemudian meneruskan perjalanan sampai ke desa Pananjakan.
Pada suatu hari, sewaktu pergi mencari air, Roro Anteng bertemu dengan Joko Seger yang
minta tolong karena tersesat. Roro Anteng menolong dan mengajaknya pulang ke pondoknya.
Sesampai di rumah, Roro Anteng dituduh oleh para pini sepuhnya telah berbuat serong dengan
lelaki yang diajaknya pulang itu. Joko Seger membelanya dan mengatakan bahwa hal itu tidak
benar, sekaligus mengutarakan ingin melamar gadis itu. Lamaran itu diterima. Adapun yang
bertindak sebagai pengesah perkawinan sesuai dengan agama mereka adalah Resi Dadap Putih.
Meskipun perkawinan Joko Seger dengan Roro Anteng sudah berusia sewindu, namun
mereka belum juga dikaruniai anak. Mereka bersemedi (bertapa) selama 6 tahun dan setiap tahun
berganti arah. Pertama kali mereka bertapa dengan menghadap ke timur, kemudian ke selatan, ke
barat dan ke utara, ke bawah dan ke atas. Setelah semedi mereka ditanggapi oleh Sang Hyang
Widhi Wasa, dari puncak gunung Bromo keluar semburan cahaya yang kemudian menyusup ke
dalam jiwa Roro Anteng dan Joko Seger. Seketika ada getaran berupa wisik yang berisi
dikabulkan permohonan mereka, dengan janji bahwa anak bungsunya harus dikorbankan ke
kawah gunung Bromo. Setelah itu mereka berdua pulang ke pondoknya dan hidup dalam
keadaan aman, tenteram, damai dan sejahtera. Mereka kemudian dikaruniai putra 25 orang.
Putra sebanyak 25 orang itu memang merupakan hasil permohonan suami istri itu,
mengingat penduduk di Tengger pada saat itu sangat sedikit. Bertahun-tahun kemudian gunung
Bromo bergoncang dan mengeluarkan semburan api, sebagai isyarat bahwa sudah saatnya janji
mereka ditepati. Suami istri itu ingat akan janji mereka, namun mereka tidak rela mengorbankan
salah seorang anaknya, Putra bungsu, yang bernama R. Kusuma, disembunyikan oleh orang
tuanya di suatu tempat sekitar desa Ngadas.
Namun, semburan api itu sampai juga di tempat tersebut dan Raden R. Kusuma pun
tertarik ke kawah Gunung Bromo. Dari kawah terdengar suara yang ditujukan kepada saudara-
saudaranya supaya selalu hidup rukun. Ia rela sebagai wakil dari saudara-saudaranya dan
masyarakat setempat untuk berkorban demi kesejahteraan dan kedamaian orang tua dan saudara-
saudaranya. Ia berpesan pula bahwa setiap tanggal 14 Kasada minta upeti hasil bumi. Cerita lain
menunjukkan bahwa saudara-saudara R. Kusuma pun dianggap sebagai penjaga atau baureksa
tempat-tempat lainnya.
Demikianlah cerita rakyat tentang asal mula nama Tengger, yaitu paduan dari nama Roro
Anteng dan Joko Seger. Cerita itu juga berisi pesan teladan yang baik bagi masyarakat, agar
mereka mau dan berani berkorban demi kesejahteraan, kedamaian, dan ketenteraman hidup anak
cucu dan keturunannya serta masyarakat. Di samping itu diharapkan pula manusia harus selalu
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dongeng Terjadinya Pegunungan di Kawasan Tengger
Kecantikan dan keluhuran budi Roro Anteng terkenal luas, dianggap sebagai titisan Dewi,
sehingga banyak berdatangan orang yang ingin melamarnya. Salah seorang pelamar berwatak
raksasa (buta) bernama Kyai Bima, Dia adalah seorang penjahat ulung dan sakti. Roro Anteng
tidak dapat menolak begitu saja lamaran itu, maka ia menerimanya dengan syarat, Kyai Bima
harus membuatkan lautan di atas gunung dan selesai dalam waktu satu malam.
Kyai Bima menyanggupi persyaratan tersebut dan bekerja keras menggali tanah untuk
membuat lautan dengan menggunakan tempurung (bathok) yang bekasnya sekarang menjadi
Gunung Batok, dan lautan pasir (segara wedhi) terhampar luas di sekitar puncak Gunung Bromo.
Untuk mengairi lautan dibuatkan sumur raksasa yang saat ini bekasnya menjadi kawah Gunung
Bromo. Dengan rasa cemas Roro Anteng melihat kesaktian Kyai Bima yang hampir dapat
menyelesaikan pernyataannya. Roro Anteng mulai gelisah lalu ia berusaha menggagalkan
pekerjaan Kyai Bima dengan menumbuk jagung seolah-olah fajar sudah akan menyingsing,
meskipun sebenarnya hari masih malam.
Mendengar suara orang menumbuk jagung, ayam-ayam bersahutan seakan-akan fajar
sudah menyingsing. Mendengar kicauan burung-burung itu Kyai Bima terkejut. Disangkanya
fajar telah menyingsing, padahal pekerjaannya belum selesai. Dengan sangat menyesal Kyai
Bima meninggalkan bukit Penanjakan karena merasa tidak mampu menyelesaikan pekerjaannya
sebagai syarat pinangannya.
Tanda bekas hasil karya Kyai Bima seperti diceritakan dalam legenda itu adalah : (1)
segara wedhi, berupa hamparan pasir di bawah Gunung Bromo; (2) Gunung Batok, sebuah bukit
yang terletak di sebelah selatan Gunung Bromo, yang berbentuk seperti tempurung yang
ditengkurapkan; (3) gundukan tanah yang tersebar di daerah Tengger; yaitu : Gunung Pundak-
lembu, Gunung Ringgit, Gunung Lingga, Gunung Gendera, dan lain-lain.
Aji Saka
Pada zaman dahulu (abad pertama Masehi?), ada seorang pengembara sakti bernama Saka
ke bumi Nusantara. Ia adalah seorang anak muda yang baru saja menyelesaikan pelajaran tentang
kesusastraan di sebuah padepokan, yang dipimpin oleh seorang Resi. Ia mengembara bersama
dua orang muridnya, yaitu Dora dan Sembada.
Perjalanan mereka sangat panjang dan melalui hutan belantara. Dalam perjalanan mereka
sudah singgah di tempat-tempat suci dan keramat. Atas pengalamannya itu, mereka menjadi
sakti. Akhirnya sampailah mereka di sebuah pulau bernama Majesti. Lingkungan alam pulau itu
sangat indah dan membuat mereka terpesona. Karena perjalanan masih panjang dan bawaan
mereka cukup berharga dan jumlahnya banyak, maka Saka mengadakan undian untuk
menentukan siapa yang harus menjaga barang-barang tersebut. Yang mendapat tugas untuk
menjaga adalah Dora. Sebelum berangkat, Saka meninggalkan sebuah keris yang diberi nama
Sarutama, dengan sebuah pesan agar jangan diberikan kepada siapa pun kecuali kepada Saka.
Saka bersama Sembada meneruskan perjalanan. Akhirnya sampailah mereka di Pulau
Jawa. Di pulau ini mereka bertemu suami istri yang sudab tua dan tidak mempunyai anak. Saka
dan Sembada tinggal bersama mereka dan diangkat menjadi anak. Di Medang, tempat mereka
tinggal, ada seorang raja raksasa bernama Dewata Cengkar, yang memiliki kebiasaan buruk,
yaitu makan daging manusia setiap hari.
Pada suatu hari tibalah giliran bagi orang tua angkat Saka untuk mengirimkan seorang
korban. Oleh karena keluarga itu tidak mempunyai anak, maka sang Ibu yang menjadi korban.
Saka mendengar berita buruk itu dan ia bersedia menjadi penggantinya. Berangkatlah ia ke
Medang untuk menjadi korban, disertai doa oleh kedua orangtua angkatnya agar dapat
mengalahkan Dewata Cengkar.
Sesampai di Medang Saka diterima oleh patih dan diantar kepada Dewata Cengkar.
Melihat pemuda tampan dan cukup sehat itu, Dewata Cengkar sangat senang dan segera ingin
memakannya. Sebelum dijadikan korban Saka minta agar kedua orang tua angkatnya diberi
tanah seluas ikat kepalanya dan pemberian itu disaksikan oleh rakyatnya. Permintaan itu
dikabulkan. Maka digelarlah ikat kepala itu di atas tanah, disaksikan banyak orang. Ikat kepala
Saka digelar dengan dibuka lipatannya. Ternyata lipatan itu tidak habis-habisnya, sehingga
akhirnya sampai di tepi laut selatan. Dewata Cengkar terus tergiring oleh penggelaran ikat kepala
itu. Akhirnya sampailah ia pada sebuah tebing, dan terjatuhlah ia ke laut.
Sepeninggal Dewata Cengkar, negara Medang diperintah oleh Saka dengan gelar Aji Saka.
Rakyat merasa hidup tenteram, aman dan sejahtera. Pada suatu hari Saka ingat pada muridnya
yang menjaga keris dan barang-barang berharga miliknya di Pulau Majesti. Ia mengutus
Sembada untuk mengambil keris dan barang-barangnya itu dan Dora.
Sesampai di Pulau Majesti, Sembada bertemu dengan Dora. Mereka sangat senang dan
berbahagia, saling berpelukan untuk menyatakan rindunya. Kemudian Sembada mengatakan
bahwa kedatangannya atas utusan Saka, yang sekarang menjadi raja di Medang, untuk
mengambil keris yang dititipkan kepada Dora. Namun Dora menolak memberikannya,
sebagaimana pesan Saka bahwa tidak boleh diambil oleh siapa pun kecuali oleh Saka sendiri.
Keduanya bertengkar dan tidak ada yang mengalah untuk menyatakan kebenaran pesan yang
diterima. Terjadilah perkelahian antara keduanya untuk memperebutkan pusaka Sarutama.
Kedua saling memukul saling menusuk tanpa mempedulikan rasa sakit. Kedua sama kuat dan
sama Jayanya, tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah. Akhirnya keduanya mati
bersama. Anehnya setelah mati Dora roboh ke barat, dan Sembada roboh ke timur.
Setelah lama ditunggu dan kedua muridnya tidak datang, maka Aji Saka sendiri menuju ke
tempat Dora di Pulau Majesti. Setiba di Majesti diketahuinya bahwa kedua orang utusannya telah
meninggal dengan bekas tusukan pusaka Sarutama. Melihat kenyataan tersebut Prabu Aji Saka
tergerak hatinya untuk memperingati pengabdian kedua muridnya dengan menciptakan Aksara
Jawa, yang berbunyi: HA-NA CA-RA-KA ada utusan DA-TA SA-WA-LA: saling bertengkar
PA-DHA JA-YA-NYA : sama-sama berjaya (kuat dan sakti) MA-GA BA-THA-NGA : mereka
menjadi bangkai.
Klambi Antrakusuma
Ada dua orang, bernama mbah Tunggak dan mbah Tampa, bertapa di gua Purwana,
sebelah timur pedukuhan Baledono. Pada waktu tengah malam mereka melihat sebentuk benda
terbang di angkasa. Benda itu diikutinya dan akhirnya turun di Tunggul Wulung, kurang lebih
sejauh 1 km dari Tosari ke arah Ngadiwono. Benda itu berhasil dipegang, tetapi kemudian lepas
dan terbang kembali. Pertapa itu terus mengikutinya sampai akhirnya benda itu turun di Cemara
Gading, jurusan Kaliteja, dan dipegang kembali. Ternyata benda itu berupa klambi antakusuma.
Pada saat itu terdengar suara yang mengatakan : “aku gelem digawe, ning rumaten sing apik”
(saya boleh dipakai, tetapi peliharalah baik-baik). Namun sekarang benda itu sudah tidak ada
lagi. Konon katanya telah dijual orang-orang dukun Tosari, yang bernama Pak Kamar, kepada
orang Belanda. Dan sewaktu meninggal dunia, badan Pak Kamar hancur membusuk dalam
waktu singkat.
Selain disebut sebagai antrakusuma, benda ini kadang-kadang disebut juga sebagai
antakusuma. Istilah antakusuma dipergunakan di wilayah Kabupaten Probolinggo, seperti
Ngadas, Ngadisari, dan Sukapura. Sedangkan istilah antrakusuma dipakai di wilayah Kabupaten
Pasuruan, seperti di Tosari, Wanakitri, Sedaeng dan Ngadiwono.
Beberapa Peninggalan Nenek Moyang Tengger
Legenda
Ketiga legenda tersebut di atas oleh masyarakat Tengger dihafal, terutama oleh para dukun
sebagai pemegang dan kepala adat. Khususnya legenda tentang Roro Anteng dan Joko Seger,
selalu diceriterakan pada setiap upacara perayaan Kasada. Legenda tentang Aji Saka dikaitkan
dengan upacara Karo, sebagai contoh tentang kehidupan dan untuk manusia kembali kepada sifat
dan sikap kejujurannya, yaitu pada zaman „Satya Yoga‟. Pada waktu itu penduduk masih sangat
sedikit, sehingga hidup manusia masih serba kecukupan, makmur dan sejahtera.
Jimat Klonthongan
Jimat klonthongan merupakan benda warisan nenek moyang berisi gayung, sarak, sodar,
tumbu, cepel, sejenis pakaian nenek moyang, dan sejumlah uang logam. Setiap desa memiliki
uang logam tersebut yang digunakan dalam melaksanakan upacara Sodoran, sedangkan jimat
klonthongan itu disimpan secara bergilir.
Lontar (keropak)
Di Tengger masih terdapat lontar (keropak) sebanyak 21 ikat, berisi tulisan Jawa lama,
yang orang Tengger sendiri tidak bisa membacanya. Lontar tersebut saat ini disimpan oleh P.
Rusma di Desa Ngadirejo, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo. (Mantra purwa bhumi,
yang dipakai sebagai salah satu data dalam penelitian ini, merupakan salah satu isi dan lontar
tersebut).
Penghitungan Tahun Saka
Untuk pelaksanaan beberapa upacara penting, masyarakat Tengger menggunakan
perhitungan kalender tersendiri, yang mereka namakan Tahun Saka atau Saka Warsa.
Perhitungan Tahun Saka di Indonesia jatuh pada tanggal 1 (sepisan) sasih kedhasa (bulan
ke sepuluh), yaitu sehari setelah bulan tilem (bulan mati), tepatnya pada bulan Maret dalam
Tahun Masehi (Supriyono, 1992). Cara menghitungnya dengan rumus : tiap bulan berlangsung
30 hari, sehingga dalam 12 bulan terdapat 360 hari. Sedangkan untuk wuku dan hari pasaran
tertentu dianggap sebagai wuku atau hari tumbuk, sehingga ada dua tanggal yang harus disatukan
dan akan terjadi pengurangan jumlah hari pada tiap tahunnya. Untuk melengkapi atau
menyempurnakannya diadakan perhitungan kembali setiap lima tahun, atau satu windu tahun
wuku. Pada waktu itu ada bulan yang ditiadakan, digunakan untuk mengadakan perayaan Unan-
unan, yang kemudian tanggal dan bulan seterusnya digunakan untuk memulai bulan berikutnya,
yaitu bulan Dhesta atau bulan ke-sebelas.
Agama, Adat dan Kepercayaan
Agama dan Kepercayaan
Seperti penjelasan sebelumnya, sebelum tahun 1973 masih belum jelas agama yang dianut
masyarakat Tengger, kecuali mereka secara patuh melaksanakan berbagai upacara adat, antara
lain: “Upacara Kasada, Karo, Entas-entas, Unan-unan, dan beberapa upacara lainnya yang
bersifat tradisional. Mereka masih belum melaksanakan ibadah agama sebagaimana ditentukan
oleh agama-agama besar. Sejak tahun 1973 pembinaan agama mulai dilaksanakan.
Menurut kepercayaan dari Parisada Jawa Timur, masyarakat Tengger digolongkan
pemeluk agama Budha Mahayana dengan surat keputusan No. 00/PHB Jatim/Kept/III/73,
tanggal 6 Maret 1973. Namun demikian, ditilik dari cara ibadah dan upacara keagamaannya,
agama tersebut kurang menunjukkan tanda sifat ke-Budha-annya, kecuali pada setiap mantra
yang dimulai dengan kata Hong, yang biasanya dipakai oleh masyarakat Tengger sebagai
berikut:
“Abdi dalem sangep sumpah pandamelan ingkang kapasrahaken, lan andadosaken apisir,
nindakaken penimbangan ingkang kalayan leres, pendamelan-pendamelan ingkang katekakaken
miturut dateng agami BUDA sarana lisan, inggih punika damel jawab ingkang leres, tampia bra
utami boten, kenging dhateng sepinten kemawon”.
Upacara adat yang dilaksanakan menunjukkan adanya salah satu upacara agama Hindu,
yaitu Galungan. Di samping itu sejumlah mantra yang biasa diucapkan pada setiap upacara adat
banyak mengandung ajaran agama Hindu. Akhirnya, oleh pembina keagamaan, ditetapkan
bahwa masyarakat Tengger beragama Hindu.
Adat kepercayaan masyarakat Tengger tercermin pada cerita rakyat di kalangan
masyarakat itu, berupa legenda yang berkaitan dengan Gunung Bromo dan Semeru. Kedua
tempat mi dianggap sebagai tempat suci dalam melaksanakan upacara keagamaan. Tempat suci
yang utama adalah pada Segara Wedhi (lautan pasir). Di samping itu, ada beberapa tempat di
bawah pohon-pohon besar yang biasa untuk tempat sesajen. Segara Wedhi digunakan untuk
upacara besar Kasada tiap tahun sekali.
Daerah Tengger dianggap sebagai tempat suci. Hal ini dikuatkan dengan ditemukannya
prasasti Tengger dari awal abad ke-10. Prasasti itu terbuat dari batu dan bertahun Saka 851
(tahun 929 Masehi), serta menyebutkan bahwa sebuah desa bernama Walandit, terletak di
pegunungan Tengger, adalah tempat suci karena dihuni oleh hulun hyang atau abdi dewa-dewi
agama Hindu (Nancy).
Tempat ibadah yang utama ialah di sanggar pamujan, atau di rumah mereka sendiri. Baru
setelah ada pembinaan, tuntunan oleh Parisada, maka didirikan pura tempat pemujaan, seperti
halnya di Bali. Pura itu sampai sekarang masih dalam pengembangan, dan masih memerlukan
waktu lama untuk menyempurnakannya (di Wonokitri 1991).
Agama masyarakat Tengger sebenarnya dianggap cenderung kepada agama Budha
Mahayana, meskipun bila ditinjau dari cara beribadah dan kepercayaannya lebih merupakan
perpaduan antara agama Hindu, Budha dan kepercayaan tradisional. Untuk tetap mempersatukan
masyarakat Tengger, pada tahun 1973 oleh para sesepuhnya diadakan musyawarah di balai desa
Ngadisari (Probolinggo). Pada kesempatan itu mereka menetapkan diri memeluk agama Hindu
dan secara khusus melestarikan ucapan Hong, seperti terdapat pada setiap permulaan mantra
tradisionalnya, sebagai permulaan salam. Salam khusus yang disetujui berbunyi Hong ulun
basuki langgeng yang berarti: “Semoga Tuhan tetap memberikan keselamatan atau kemakmuran
yang kekal abadi kepada kita”.
Pada dasarnya mereka menyembah pada Tuhan Yang Maha Esa yang diberi nama Sang
Hyang Widhi Wasa. Sebelum diadakan pembinaan agama, masyarakat Tengger menamakan
Tuhan dengan sebutan Gusti, atau Gusti Ingkang Maha Agung.
Secara resmi sejak tahun 1973 masuklah agama Hindu Dharma di wilayah Tengger, dan
salam agama Hindu Om swasti astu. Dewasa ini telah diajarkan keimanan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa seperti tersebut berikut ini, yaitu : Panca Sradha.
1) Percaya kepada Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan pencipta alam.
2) Percaya adanya Atma (n) yaitu roh leluhur atau rohnya sendiri.
3) Percaya adanya karmapala, yaitu hukum sebab-akibat. Kepercayaan pada karma pala ini
merupakan inti ajaran agama Hindu maupun agama Budha, bahwa semua perbuatan manusia itu
pasti terikat pada hukum sebab-akibat. Setiap perbuatan pasti ada ak
ibatnya, yang akan dialami oleh manusia baik sekarang maupun pada hidup yang akan datang.
4) Percaya pada punarbawa (reinkarnasi). Kepercayaan ini adalah dan agama Hindu dan Budha,
bahwa manusia itu terikat pada hukum hidup berkali-kali sesuai dengandharma hidup
sebelumnya.
5) Percaya pada moksa (sirna), yaitu bahwa apabila manusia telah mencapai moksa tidak akan
terikat kembali pada punarbawa. Mereka akan berada pada tempat kedamaian abadi.
Peranan Dukun
Dukun merupakan pimpinan masyarakat yang berperan memimpin upacara keagamaan.
Kedudukan dukun lebih tinggi daripada modin dalam agama Islam, namun lebih rendah dari
pedanda dalam masyarakat Bali. Di Tengger dahulu ada 36 orang dukun. Satu di antaranya
menjadi kepala dukun pandita yang memberi arahan serta petunjuk atau nasihat bagi para dukun
lainnya.
Dukun dipilih melalui musyawarah desa, diseleksi melalui ujian, serta diangkat oleh
pemerintah. Dukun berfungsi memimpin upacara keagamaan dan dibantu oleh legen. Pada waktu
memimpin upacara keagamaan, dukun mengenakan baju antrakusuma atau rasukan dukun
dengan ikat kepala dan selempang, serta dilengkapi dengan alat-alat upacara seperti : prasen,
genta, dan talam.
Syarat menjadi dukun antara lain adalah : (1) berkemampuan, tekun, mampu menggali
legenda, memiliki kedalaman ilmu, dan bertempat tinggal dekat dengan lokasi; (2) disetujui oleh
masyarakat melalui musyawarah; dan (3) diangkat oleh pemerintah.
Untuk memperkuat karisma dan wibawa, seorang dukun diwajibkan menjalankan laku
tertentu. Pada setiap bulan ketujuh dukun diharuskan melakukan mutih, yaitu selama satu bulan
tidak makan garam, gula, dan tidak kumpul dengan istri. Kerja sehari-hari tetap dilaksanakan,
hanya dibatasi waktunya supaya tidak terlalu lelah. Laku mutih ini diibaratkan sebagai pengasah
kemampuan batiniah yang bersifat spiritual. Diibaratkan seperti pisau, untuk menjadi tajam harus
diasah. Laku mutih ini bukan untuk setiap orang, dalam arti bahwa orang-orang yang bukan
dukun tidak harus melakukannya.
Untuk dapat menjadi dukun diharuskan menguasai adat dan mantra-mantra yang dibaca
atau diucapkan pada berbagai upacara adat. Pada umumnya dipandang bahwa seseorang bisa
menjadi dukun setelah mencapai umur 40 tahun dan menguasai adat serta berbagai mantranya.
Mantra-mantra tersebut dulu diwariskan secara lisan, akan tetapi sekarang di samping lisan
diusahakan melalui tulisan,
Upacara Adat dan Perayaan
Dalam melaksanakan adat masyarakat di Tengger ada beberapa upacara penting seperti
tersebut di bawah ini.
(1) Upacara adat
i. Kasada
Kasada merupakan hari penting untuk memperingati kemenangan Dharma melawan
Adharma. Upacara perayaan ini dilakukan pada tanggal 14 dan 15 bulan purnama, pada bulan
keduabelas (kasada). Penyelenggaraannya di lautan pasir, sisi utara kaki Gunung Batok, dan
upacara pengorbanannya di tepi kawah puncak Bromo. Perayaan ini merupakan hari raya
Tengger. Perayaan dimulai sejak sore hari hingga pagi harinya pada bulan purnama.
Di tempat upacara dilengkapi bambu berbentuk setelah lingkaran (melengkung) yang
dihiasai 30 macam buah-buahan dan kue, yang disebut ongkek sebagai sesajen. Sesajen itu
nantinya ditenggelamkan sebagai korban di kawah gunung Bromo. Bahan untuk membuat
ongkek diambil dan desa yang selama satu tahun tidak ada warganya yang meninggal dunia.
Setelah diberi mantra, ongkek itu ditenggelamkan oleh dukun dengan melemparkannya ke kawah
Bromo. Upacara ini hampir sama dengan upacara nglabuh pada masyarakat Jawa lainnya.
Upacara ini dilakukan dengan mengucapkan mantra atau doa yang dipimpin oleh dukun, sebagai
puji syukur kepada Sang Hyang Widhi Wasa, atas berkat dan kasih sayangnya kepada umat
manusia.
Upacara Kasada digunakan pula untuk mewisuda calon dukun baru. Upacara ini disebut
diksa widhi. Di samping itu, ada pula acara penyucian umat yang disebut upacara palukatan.
ii. Karo
Upacara Karo merupakan upacara yang bertujuan untuk kembali kepada kesucian, disebut
juga satya yoga. Hal ini atas dasar anggapan, bahwa pada zaman satya yoga masyarakat masih
bersifat sangat sederhana dan berpegang pada kebenaran, jujur serta suci. Upacara ini dikaitkan
pula dengan cerita Aji Saka dengan Dora dan Sembada memasuki tanah Jawa, dan
menghancurkan keangkara-murkaan. Dengan upacara Karo ini diharapkan manusia menjadi suci
atau bersih dan segala dosa dan kesalahannya.
Hari raya Karo merupakan hari raya terbesar bagi masyarakat Tengger sesudah Kasada.
Untuk tahun 1992, upacara Karo jatuh pada tanggal 23 Januari. Upacara pembukaannya
dipustakan di desa Wanakitri, Kecamatan Puspo, Kabupaten Pasuruan. Pada hari raya Karo itu
masyarakat Tengger memperingati Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan) yang telah menciptakan
dua jenis makhluk manusia (Karo), laki-laki dan perempuan sebagai leluhurnya. Bagi
masyarakat Tengger peringatan hari raya Karo itu dikaitkan dengan leluhur mereka, yaitu Roro
Anteng dan Joko Seger.
Upacara Karo di Tengger berlangsung selama 12 hari, ditambah 2 hari untuk pembukaan
dan penutupan yang dilaksanakan secara serentak. Pada upacara Karo ini juga dilakukan sesajen
atau selamatan bersama, disertai pembacaan mantra yang dipimpin oleh dukun. Di samping itu
juga dilaksanakan persembahan sesajen di rumah masing-masing. Pada hari raja Karo itu digelar
tari tradisional sodoran dan permainan ojung. Pada dasarnya tari sodoran bersifat ritual, yang
dikaitkan dengan upacara keagamaan.
Hari raya Karo dilaksanakan juga untuk saling berkunjung antar warga masarakat. Hari
pertama dimulai dengan kunjungan warga masyarakat desa kepada kepala desa sebagai sesepuh
desa. Pada hari-hari berikutnya kepala desa berkunjung kepada seluruh warganya dan rumah ke
rumah. Dengan demikian, pelaksanaan peringatan hari raya Karo memakan waktu cukup lama.
iii. Entas-entas
Upacara Entas-entas secara khusus dilaksanakan untuk menyucikan atman (roh) orang
yang telah meninggal dunia, yaitu pada hari yang ke-1000. Akan tetapi, pelaksanaannya sering
diadakan sebelüm hari ke-1000 untuk meringkas upacara-upacara kematian itu.
Upacara Entas-entas dimaksudkan untuk menyucikan atman orang yang telah meninggal dunia
agar dapat masuk surga. Biayanya cukup mahal oleh karena disertai dengan menyembelih kerbau
jantan sebagai korban kepada Sang Hyang Widhi Wasa.
Pemotongan kerbau didahului dengan pembacaan mantra cukup panjang dan dalam waktu
yang cukup lama pula, kurang lebih 2 jam. Sebagian daging kerbau tersebut boleh dimakan dan
sebagian lagi untuk pelaksanaan korban.
Adapun mantra yang dibacakan, dalam bahasa Jawa Kuna, adalah seperti tersebut di bawah
ini:“O, purwabumi kamulan Paduka Bhattari Uma mijil saking limun limunira Hyang Bhattara
Guru; Mulaning ana Bhattari minaka somah bhattara; Magya sira bhattara, mayoga sira Bhattari,
mijil ta sira dewata Panca resi, sapta resi; Kosika, Sang Garga, Maitri, Kurusya, Sang Pratanjala‟
(Nancy; 1985).
Di beberapa daerah, mantra ini telah digunakan dengan bahasa Jawa baru, meskipun terjadi
perubahan ucapan atau istilahnya (bdk, antara mantra yang digunakan di Ngadiwono dengan di
Ngadas, Malang - lihat lampiran), namun maknanya masih tetap sejiwa.
Beberapa Alat Upacara dan Perangkat Sesajen
1. Alat-alat Upacara
Dalam pelaksanaan upacara Entas-entas, dukun mengenakan pakaian khusus dan
menggunakan beberapa alat upacara. Pakaian khusus itu adalah:
a. Baju antrakusuma, sehelai kain baju tanpa jahitan, yang diperoleh sebagai warisan dari
nenek moyangnya. Baju ini disimpan pada klanthongan sebuah tanduk yang disimpan di atas
loteng (sanggar agung); di samping itu dipakai juga ikat kepala dan selempang.
b. . Prasen, berasal dari kata rasi atau praci (Skt) yang berarti zodiak. Prasen ini berupa
mangkuk bergambar binatang dan zodiak. Beberapa prasen yang dimiliki oleh para dukun
berangka tahun Saka: 1249, 1251, 1253, 1261; dan pada dua prasen lainnya terdapat tanda
tahun Saka 1275. Tanda tahun ini menunjukkan masa berkuasanya pemerintahan Tribhuwana
Tunggadewi di Majapahit. Hal ini memperkuat anggapan bahwa penduduk Tengger berasal
dari kerajaari Majapahit.
c. Tali sampet, terbuat dari kain batik, atau kain berwarna kuning yang dipakai oleh pandhita
Tengger.
d. Genta, keropak dan prapen, sebagai pelengkap upacara.
2. Sesajen untuk Upacara Karo
Sesajen pada upacara Karo sebagai banten dinamakan kayopan agung yang terdiri dari 3
nyiru/tampah berisi 9 buah tumpeng kecil beserta lauk-pauk: sate isi perut hewan, sayur kara,
juadah ketan putih dan ketan hitam, conthong berisi apem, pisang, seikat pisang gubahan, daun
sirih, kapur dan sepotong pinang (jambe ayu). Perangkat upacara lain adalah sedekah
praskayopan, yaitu sedekah yang terdiri dari setumpuk daun sirih (suruh agung) dan takir berisi
pinang dan bunga. Disamping itu ditaruh pula srembu, sebuah pincuk kecil berisi umbi, talas dan
kacang yang direbus dan diberi kelapa parut. Di atas praskayopan diletakkan beberapa helai kain.
Semua sesajen itu kemudian dinaikkan ke atas loteng bersama jimat klanthongan.
Pembacaan mantra dilakukan oleh dukun tertua, dengan permohonan agar desa dan penduduknya
dikaruniai keselamatan. Pada malam hariinya dibunyikan gamelan, dan diteruskan dengan
permainan teka-teki dan sodoran. Permainan ini ditutup dengan doa oleh dukun. Sedekah
diturunkan dari loteng dan dibagi-bagikan uang logam yang akan dipakai - sebagai jimat bagi
siapa yang memilikinya. Barang siapa mendapat uang logam tersebut harus mengganti dengan
mata uang yang lain, disimpan dalam klonthong untuk upacara Karo tahun depan. Setetah
upacara Karo selesai, dilanjutkan dengan sedekah Karo, yaitu penduduk menghidangkan kue-kue
bagi tamu-tamu yang datang mengunjunginya.
3. Upacara Lain
a. Upacara Unan-unan
Upacara Unan-unan dilaksanakan setiap 5 tahun sekali. Untuk menentukan tahun
digunakan cara hitungan khusus dari adat Tengger. Mereka juga menggunakan 12 bulan untuk
tiap tahun, yang tiap bulan terdiri dan 30/31 hari. Umur tiap bulannya dihitung secara
tradisional. Pada tanggal dan bulan tertentu terdapat tanggal yang digabungkan karena adanya
mecak, yaitu tumbuknya dua tanggal.
Catatan : Di Tengger masing-masing bulan dalam satu tahun dihitung mempunyai 30 hari.
Dalam setiap tahun akan terdapat selisih 5 atau 6 hari. Setiap lima tahun sekali diadakan
penyesuaian perhitungan jumlah hari. Pada periode lima tahunan, oleh karena setiap bulan
terdapat selisih 5 atau 6 hari, maka jumlah sisa adalah 25 atau 26 hari.
Jumlah hari tersebut dimasukkan pada hitungan bulan dhesta (bulan kesebelas), tidak
termasuk bulan tersebut dan bulan sebelumnya. Dengan habisnya jumlah hari barulah
perhitungan memasuki bulan dhesta. Masyarakat Tengger kemudian kembali pada
perhitungan hari, bulan, dan tahun dengan jumlah hari untuk setiap bulan dihirung 30 hari.
Keterangan : Kelima warna tersebut di atas tidak dapat dipisahkan dengan kiblat. Falsafah
hidup mereka beranggapan bahwa timur adalah terbitnya matahari, yang melambangkan
permulaan hidup (wetan: ”wiwitan itu permulaan”); dengan warna putih yang berarti
kesucian, kebersihan, ataupun belum ada tulisannya. Selatan atau kidul melambangkan ibu
sebagai sarana kelahiran manusia dengan warna merah sebagai lambang darah atau keturunan
(kidul diartikan pula didudul dan ”didorong”). Barat atau kulon diartikan kelonan
(berpelukan, tidur bersama) antara ibu dan bapak; jadi barat diartikán „bapak‟. Utara atau lor
diartikan dengan lahir. Sedangkan tengah dianggap manca-warna atau bentuk yang terjadi.
4. Kata-kata Mutiara (sesanti)
Ada beberapa kata sesanti sebagai acuan pembentukan sikap, dan biasanya sangat
berpengaruh terhadap ciri kepribadian manusia. Antara lain adalah seperti tersebut di bawah ini:
a. Dalam adat ada japa mantra dalam agama ada puja mantra.
b. Tat twam asi artinya aku adalah engkau dan engkau adalah aku;
c. Kalau masih mentah sama adil, kaiau sudah masaic tidak ada harga;
d.Titi luri artinya meneruskan adat istiadat nenek moyang;
e.Mikul dhuwur mendhem jero artinya menghormati orang tua;
f.Yen wis ana pasar ilang kumandharige, yen wis ana kedhung ilang banyune, yen wis donya iki
diarani sagodhong kelor iku wis katene ana rejane jaman, artinya apabila pasar sudah kehilangan
gemanya, apabila kedhung kehilangan airnya, apabila dunia tinggal selebar daun kelor, itu
pertanda kesejahteraan sudah mendatang.
g.Genten kuwat artinya saling membantu.
5. Konsep tentang Manusia
a. Sifat Umum
Di dalam kehidupan sehari-hari orang Tengger mempunyai kebiasaan hidup sederhana,
rajin dan damai. Mereka adalah petani. Ladang mereka di lereng-lereng gunung dan puncak-
puncak berbatu. Alat pertanian yang mereka pakai sangat sederhana, terdiri dari cangkul
linggis, dan semacamnya. Hasil pertaniannya itu terutama adalah jagung, kopi, kentang,
kubis, bawang prei, padi gogo dsb. Kebanyakan mereka bertempat tinggal jauh dari
ladangnya, sehingga harus membuat gubuh-gubuk sederhana di ladangnya untuk berteduh
sementara waktu siang hari. Mereka bekerja sangat rajin dan pagi hingga petang hari di
ladangnya.
Pada umumnya masyarakat Tengger hidup sangat sederhana dan hemat. Kelebihan
penjualan hasil ladang ditabung untuk perbaikan rumah serta keperluan memenuhi kebutuhan
rumah tangga lainnya.
Kehidupan masyarakat Tengger sangat dekat dengan keagamaan dan adat- istiadat yang
telah diwariskan oleh nenek moyangnya secara turun-temurun. Seperti telah dijelaskan pada
uraian tentang agama dan kepercayaan, isi ajaran yang dianut sangat dekat dengan agama
Hindu bercampur Budha dan adat istiadat setempat.
Dukun berperan penting dalam melaksanakan upacara keagamaan. Dukun berperan dalam
segala pelaksanaan adat, baik mengenai perkawinan, kematian atau kegiatan-kegiatan lainnya.
Dukun sebagai tempat bertanya untuk mengatasi kesulitan ataupun berbagai masalah
kehidupan.
Kehidupan pada masyarakat Tengger penuh dengan kedamaian dan kondisi masyarakatnya
sangat aman. Segala masalah dapat diselesaikan dengan mudah atas peranan orang yang
berpengaruh pada masyarakat tersebut dengan sistem musyawarah. Pelanggaran yang
dilakukan cukup diselesaikan oleh lurah dan biasanya mereka patuh. Apabila cara ini tidak
juga menolong, maka si pelaku pelanggaran itu cukup disatru (tidak diajak bicara) oleh
seluruh penduduk. Mereka juga sangat patuh dengan segala peraturan pemerintah yang ada,
seperti kewajiban membayak pajak, kerja bakti dan sebagainya.
Bahasa daerah yang digunakan adalah bahasa Jawa yang masih berbau Jawa Kuno. Mereka
menggunakan dua tingkatan bahasa yaitu ngoko, bahasa sehari-hari terhadap sesamanya, dan
krama untuk komunikasi terhadap orang yang lebih tua atau orang tua yang dihormati. Pada
masyarakat Tengger tidak terdapat adanya perbedaan kasta, dalam arti mereka berkedudukan
sama.
6. Konsep tentang Manusia
Asal-Usul Manusia
Ajaran tentang asal-usul manusia adalah seperti terdapat pada mantra purwa bhumi.
Sedangkan tugas manusia di dunia ini dapat dipelajari melalui cara masyarakat Tengger
memberi makna kepada aksara Jawa yang mereka kembangkan. Adapun makna yang
dimaksudkan adalah seperti tersebut dibawah ini.
h.n.c.r.k : hingsun nitahake cipta, rasa karsa,
d,t,s,w,l : dumadi tetesing sarira wadi laksana,
p, dh, j, y, ny : panca dhawuh jagad yekti nyawiji,
m, g, b, th, ng : marmane gantia binuka thukul ngakasa.
Apabila diartikan secara harfiah kurang lebih sebagai berikut: “Tuhan Yang Maha Esa
menciptakan cahaya, rasa dan kehendak pada manusia, (manusia) dijadikan melalui badan
gaib untuk melaksanakan lima perintah di dunia dengan kesungguhan hati (menyatu dalam
dharma), agar saling terbuka tumbuh (berkembang) penuh kebebasan (ngakasa „menuju alam
bebas angkasa‟)”.
Pada hakikatnya manusia adalah ciptaan Tuhan, yang dilahirkan dan tidak ada menjadi
ada atau dari alam gaib, untuk mengemban tugas di dunia ini melaksanakan lima perintah-Nya
dengan menyatukan diri pada tugasnya, agar di dunia ini tumbuh keterbukaan dan
perkembangan menuju kesempurnaan.
Masih ada lagi tafsiran tentang aksara Jawa yang dikaitkan dengan cerita tentang Aji
Saka, yaitu bahwa ada utusan, yang keduanya saling bertengkar (berebut kebenaran).
Keduanya sama kuatnya (sama-sama berjaya), yang akhirnya keduanya mengalami nasib
yang sama, yaitu menjadi mayat. Hal ini mengandung makna bahwa baik-buruk, senang-
susah, sehat-sakit, adalah ada pada manusia dan tak dapat dihindari. Kesempurnaan hidup
manusia apabila dapat menyeimbangkan kedua hal itu.
Hubungan Badan dan Roh
Masyarakat Tengger beranggapan bahwa badan manusia itu hanya merupakan
pembungkus sukma (roh). Sukma adalah badan halus yang bersifat abadi. Jika orang
meninggal, badannya pulang ke pertiwi (bumi), sedangkan sukmanya terbebas dari
mengalami suatu proses penyucian di dalam neraka, dan selama itu mereka mengembara tidak
mempunyai tempat berhenti. Cahaya, api dan air dari arah timur akan melenyapkan semua
kejahatan yang dialami sukma sewaktu berada di dalam badan.
Masyarakat Tengger percaya bahwa neraka itu terdiri dari beberapa bagian. Bagian
terakhir ialah bagian timur yang disebut juga kawah candradimuka, yang akan menyucikan
sukma sehingga menjadi bersih dan suci serta masuk surga. Hal ini terjadi pada hari ke-1000
sesudah kematian dan melalui upacara Entas-entas.
Hubungan Antar-manusia
Sesuai dengan ajaran yang hidup di masyarakat Tengger seperti terkandung dalam
ungkapan tat twam asi yang berarti „aku adalah engkau dan engkau adalah aku‟, terdapat
ajaran tentang sikap hidup dengan sesanti panca setia, yaitu:
i. setya budaya artinya, taat, tekun, mandiri;
ii. setya wacana artinya setia pada ucapan;
iii. setya semàya artinya setia padajanji;
iv. setya laksana artinya patuh, tuhu, taat;
v. setya mitra artinya setia kawan.
Ajaran tentang kesetiaan berpengaruh besar terhadap perilaku masyarakat Tengger. Hal
ini tampak pada sifat taat, tekun bekerja, toleransi tinggi, gotong-royong, serta rasa tanggung
jawab. Penelitian terhadap masyarakat Tosari umpamanya menunjukkan bahwa pada
umumnya mereka bekerja di ladangnya dari jam 6 pagi sampai jam 6 sore setiap hari secara
tekun. Sikap gotong-royongnya terlihat pula pada waktu mendirikan pendopo agung di Tosari,
adalah sebagai hasil jerih payah rakyat membuat jalan sepanjang 15 km dari Tosari menuju
Bromo (tahun 1971-1976). Demikian pula tanggung jawab mereka terhadap lingkungan sosial
tercermin pada kesadaran rakyat untuk ikut serta menjaga keamanan, maupun ketertiban lalu-
lintas jalan.
Sifat lain yang positif adalah kemampuan menyesuaikan diri terhadap perkembangan,
yaitu kesediaan mereka untuk menerima orang asing atau orang lain, meskipun mereka tetap
pada sikap yang sesuai dengan identitasnya sebagai orang Tengger.
Mungkin sekali ajaran tentang tat twam asi telah mewarnai adanya sikap genten kuat atau
saling menolong untuk menjadi kuat.
Hubungan antara pria dan wanita tercermin pada sikap bahwa pria adalah sebagai
pengayom bagi wanita, yaitu ngayomi, ngayani, ngayemi, artinya memberikan perlindungan,
memberikan nafkah, serta menciptakan suasana tenteram dan damai.
Sikap dan Pandangan Hidup
(1) Pandangan tentang Perilaku
Sikap dan pandangan hidup orang Tengger tercermin pada harapannya, yaitu waras
(sehat), wareg (kenyang), wastra (memiliki pakaian, sandang), wisma (memiliki rumah,
tempat tinggal), dan widya (menguasai ilmu dan teknologi, berpengetahuan dan terampil).
Mereka mengembangkan pandangan hidup yang disebut kawruh buda (pengetahuan tentang
watak), yaitu:
i. prasaja berarti jujur, tidak dibuat-buat apa adanya;
ii. prayoga berarti senantiasa bersikap bijaksana;
iii. pranata berarti senantiasa patuh pada raja, berarti pimpinan atau pemerintah;
iv. prasetya berarti setya;
v. prayitna berarti waspada.
Atas dasar kelima pandangan hidup tersebut, masyarakat Tengger mengembangkan sikap
kepribadian tertentu sesuai dengan kondisi dan perkembangan yang ada. Antara lain
mengembangkan sikap seperti kelima pandangan hidup tersebut, di samping dikembangkan
pula sikap lain sebagai perwujudannya.
Mereka mengembangkan sikap rasa malu dalam arti positif, yaitu rasa malu apabila tidak
ikut serta dalam kegiatan sosial. Begitu mendalamnya rasa malu itu, sehingga pernah ada
kasus (di Tosari) seorang warga masyarakat yang bunuh diri hanya karena tidak ikut serta
dalam kegiatan gotong-royong.
Sikap toleransi mereka tercermin pada kenyataan bahwa mereka dapat bergaul dengan
orang beragama lain, ataupun kedatangan orang beragama lain. Dalam keagamaan mereka
tetap setia kepada agama yang telah dimiliki namun toleransi tetap tinggi, sebab mereka lebih
berorientasi pada tujuan, bukan pada cara mencapai tujuan. Pada dasarnya manusia itu
bertujuan satu, yaitu mencapai Tuhan, meskipun jalannya beraneka warna. Sikap toleransi itu
tampak pula dalam hal perkawinan, yaitu sikap orang tua yang memberikan kebebasan bagi
para putra-putrinya untuk memilih calon istri atau suaminya. Pada dasarnya perkawinan
bersifat bebas. Mereka tetap dapat menerima apabila anak-anaknya ada yang berumah tangga
dengan wanita atau pria yang berlainan agama sekalipun. Namun dalam hal melaksanakan
adat, pada umumnya para generasi muda masih tetap melakukannya sesuai dengan adat
kebiasaan orang tuanya.
Sikap hidup masyarakat Tengger yang penting adalah tata tentrem (tidak banyak risiko),
aja jowal-jawil (jangan suka mengganggu orang lain), kerja keras, dan tetap mempertahankan
tanah milik secara turun-temurun. Sikap terhadap kerja adalah positif dengan titi luri-nya,
yaitu meneruskan sikap nenek moyangnya sebagai penghormatan kepada leluhur.
Sikap terhadap hasil kerja bukanlah semata-mata hidup untuk mengumpulkan harta demi
kepentingan pribadi, akan tetapi untuk menolong sesamanya. Dengan demikian, dalam
masyarakat Tengger tidak pernah terjadi kelaparan. Untuk mencapai keberhasilan dalam
hidup semata-marta diutamakan pada hasil kerja sendiri, dan mereka menjauhkan diri dari
sikap nyadhang (menengadahkan telapak tangan ke atas).
Masyarakat Tengger mengharapkan generasi mudanya mampu mandiri seperti ksatria
Tengger yang bersikap tat twam asi. Orang tua tidak ingin mempunyai anak yang memalukan,
dengan harapan agar anak mampu untuk mikul dhuwur mendhem jero, yaitu memuliakan
orangtuanya.
Sikap mereka terhadap perubahan cukup baik, terbukti mereka dapat menerima pengaruh
model pakaian, dan teknologi, serta perubahan lain yang berkaitan dengan cara mereka
mengharapkan masa depan yang lebih baik dan berkeyakinan akan datangnya kejayaan dan
kesejahteraan masyarakatnya.
Keterangan : Kelima warna tersebut di atas tidak dapat dipisahkari dengan kiblat. Falsafah
hidup mereka beranggapan bahwa timur adalah terbitnya matahari, yang melambangkan
permulaan hidup (wetan:‟ wiwitan itu permulaan‟); dengan warna putih yang berarti kesucian,
kebersihan, ataupun belum ada tulisannya. Selatan atau kidul melambangkan ibu sebagai
sarana kelahiran manusia dengan warna merah sebagai lambang. darah atau keturunan (kidul
diartikan pula didudul dan didorong‟). Barat atau kulon diartikan kelonan (berpelukan, tidur
bersama) antara ibu dan bapak; jadi barat diartikan „bapak‟. Utara atau lor diartikan dengan
lahir. Sedangkan tengah dianggap manca-warna atau bentuk yang terjadi.
7. Kata-kata Mutiara (sesanti)
Ada beberapa kata ,esanti sebagai acuan pembentukan sikap, dan biasanya sangat
berpengaruh terhadap ciri kepribadian manusia. Antara lain adalah seperti tersebut di bawah ini :
a. Dalam adat ada japa mantra dalam agama ada puja mantra.
b. Tat Twam Asi artinya aku adalah engkau dan engkau adalah aku;
c. Kalau masih rnentah sama adil, kalau sudah masak tidak ada harga;
d. Titi luri artinya meneruskan adat istiadat nenek moyang;
e. Mikul dhuwur mendhem jero artinya menghormati orang tua;
f. Yen wis ana pasar ilang kumandha; ige, yen wis ana kedhung ilang banyune, yen wis
donya iki diarani sagodhong kebor iku wis katene ana rejane jaman, artinya apabila pasar
sudah kehilangan gemanya, apabila kedhung kehilangan airnya, apabila dunia tinggal
selebar daun kelor, itu pertanda kesejahteraan sudah mendatang.
g. Genten kuwat artinya saling membantu.
8. Konsep tentang Manusia
a. Sifat Umum
Di dalam kehidupan sehari-hari orang Tengger mempunyai kebiasaan hidup
sederhana, rajin dan damai. Mereka adalah petani.
Ladang mereka di lereng-lereng gunung dan puncak-puncak berbatu. Alat pertanian
yang mereka pakai sangat sederhana, terdiri dan cangkul linggis, dan semacamnya. Hasil
pertaniannya itu terutama adalah jagung, kopi, kentang, kubis, prei, padi gogo dsb.
Kebanyakan mereka bertempat tinggal jauh dari ladangnya, sehingga harus membuat
gubuh-gubuk sederhana di ladangnya untuk berteduh sementara waktu siang hari. Mereka
bekerja sangat rajin dari pagi hingga petang hari di ladangnya.
Pada umumnya masyarakat Tengger hidup sangat sederhana dan hemat. Kelebihan
penjualan hasil ladang ditabung untuk perbaikan rumah serta keperluan memenuhi
kebutuhan rumah tangga lainnya. Kehidupan masyarakat Tengger sangat dekat dengan
keagamaan dan adat istiadat yang telah diwariskan dari nenek moyangnya secara turun-
temurun. Seperti telah dijelaskan pada uraian tentang agama dan kepercayaan isi ajaran
yang dianut sangat dekat dengan agama Hindu bercampur Budha dan adat istiadat
setempat.
Dukun berperan penting dalam melaksanakan upacara keagamaan. Dukun berperan
dalam segala pelaksanaan adat, baik mengenai perkawinan, kematian atau kegiatan-
kegiatan lainnya. Dukun sebagai tempat bertanya untuk mengatasi kesulitan ataupun
berbagai masalah kehidupan.
Kehidupan pada masyarakat Tengger penuh dengan kedamaian dan kondisi
masyarakatnya sangat aman. Segala masalah dapat diselesaikan dengan mudah atas
peranan orang yang berpengaruh pada masyarakat tersebut dengan sistem musyawarah.
Pelanggaran yang dilakukan cukup disclesaikan oleh lurah dan iasanya mereka patuh.
Apabila cara ini tidak juga menolong, maka si pelaku pelanggaran itu cukup disatru (tidak
diajak bicara) oleh seluruh penduduk. Mereka juga sangat patuh dengan segala peraturan
pemerintah yang ada, seperti kewajiban membayak pajak, kerja bakti dan sebagainya.
Bahasa daerah yang digunakan adalah bahasa Jawa yang rnasih berbati Jawa Kuno.
Mereka menggunakan dua tingkatan bahasa yaitu ngoko, bahasa sehari-hari terhadap
sesamanya, dan krama untuk komunikasi terhadap orang yang lebih tua atau orang tua
yang dihormati. Pada masyarakat Tengger tidak terdapat adanya perbedaan kasta, dalam
arti mereka berkedudukan sama.
b. Asal-Usul Manusia
Ajaran tentang asal usul manusia adalah seperti terdapat pada mantra purwa bhumi.
Sedangkan tugas manusia di dunia ini dapat dipelajari melalui cara masyarakat Tengger
memberi makna kepada aksara Jawa yang mereka kembangkan. Adapun makna yang
dimaksudkan adalah seperti tersebut di bawah ini :
h.n.c.r.k : hingsun nitahake cipta rasa karsa;
d,t,s,w,l : dumadi tetesing sarira wadi laksana,
p,dh,j,y, ny : panca dhawah jagad yekti nyawiji;
m, g, b, th, ng : marmane gantia binuka thukul ngakasa.
Apabila diartikan secara harfiah kurang lebih sebagai berikut:
“Tuhan Yang Maha Esa menciptakan cahaya, rasa dan kehendak pada manusia,
(manusia) dijadikan melalui badan gaib untuk melaksanakan lima perintah di dunia
dengan kesungguhan hati (menyatu dalam dharma), agar saling terbuka tumbuh
(berkembang) penuh kebebasan (ngakasa menuju alam bebas angkasa).”
Pada hakikatnya manusia adalah ciptaan Tuhan, yang dilahirkan dari tidak ada
menjadi ada atau dari alam gaib, untuk mengemban tugas di dunia ini melaksanakan lima
perintah-Nya dengan menyatukan diri pada tugasnya, agar di dunia ini tumbuh
keterbukaan dan perkembangan menuju kesempurnaan.
Masih ada lagi tafsiran tentang aksara Jawa yang dikaitkan dengan cerita tentang Aji
Saka, yaitu bahwa ada utusan, yang keduanya saling bertengkar (berebut kebenaran).
Keduanya sama kuatnya (sama-sama berjaya), yang akhirnya keduanya mengalami nasib
yang sama, yaitu menjadi mayat. Hal ini mengandung makna bahwa. baik-buruk, senang-
susah, sehat-sakit, adalah ada pada manusia dan tak dapat dihindari. Kesempurnaan hidup
manusia apabila dapat menyeimbangkan kedua hal itu.
c. Hubungan Badan dan Roh
Masyarakat Tengger beranggapan bahwa badan manusia itu hanya merupakan
pembungkus sukrna (roh). Sukma adalah badan halus yang bersifat abadi. Jika orang
meninggal, badannya pulang ke perthiwi (bumi), sedangkan sukmanya terbebas dari
mengalami suatu proses penyucian di dalam neraka, dan selama itu mereka mengembara
tidak mempunyai tempat berhenti. Cahaya, api dan air dari arah timur akan melenyapkan
semua kejahatan yang dialami sukma sewaktu berada di dalam badan.
Masyarakat Tengger percaya bahwa neraka itu terdiri dari beberapa bagian. Bagian
terakhir ialah bagian timur yang disebut juga kawah candradimuka, yang akan
menyucikan sukma sehingga menjadi bersih dan suci serta masuk surga. Hal ini terjadi
pada hari ke-l000 sesudah kematian dan melalui upacara Entas-entas.
d. Hubungan Antar-manusia
Sesuai dengan ajaran yang hidup di masyarakat Tengger seperti terkandung dalam
ungkapan tat twam asi yang berarti „aku adalah engkau dan engkau adalah aku‟, terdapat
ajaran tentang sikap hidup dengan sesanti panca setia, yaitu:
setya budaya artinya, taat, tekun, mandiri;
setya wacana artinya setia pada ucapan;
setya semaya artinya setia pada janji;
setya laksana artinya patuh, tuhu, taat;
setya mitra artinya setia kawan.
Ajaran tentang kesetiaan berpengarüh besar terhadap perilaku masyarakat Tengger.
Hal ini tampak pada sifat taat, tekun bekerja, toleransi tinggi, gotong royong, serta rasa
tanggung jawab. Penelitian terhadap masyarakat Tosari umpamanya menunjukkan bahwa
pada umumnya mereka bekerja di ladangnya dari jam 06.00 pagi sampai jam 06.00
(18.00) sore setiap hari secara tekun. Sikap gotong royongnya terlihat pula pada waktu
mendirikan pendopo agung di Tosari, adalah sebagai hasil jerih payah rakyat membuat
jalan sepanjang 15 km dari Tosari menuju Bromo (tahun 1971-1976).
Demikian pula tanggung jawab mereka terhadap lingkungan sosial tercermin pada
kesadaran rakyat untuk ikut serta menjaga keamanan, maupun ketertiban lalu lintas jalan.
Sifat lain yang positif adalah kemampuan menyesuaikan diri terhadap
perkembangan, yaitu kesediaan mereka untuk menerima orang asing atau orang lain,
meskipun mereka tetap pada sikap yang sesuai dengan identitas sebagai orang Tengger.
Mungkin sekali ajaran tentang tat twam asi telah mewarnai adanya sikap genten kuat
atau saling menolong untuk menjadi kuat.
Hubungan antara pria dan wanita tercermin pada sikap bahwa pria adalah sebagai
pengayom bagi wanita, yaitu ngayomi, ngayani, ngayemi, artinya memberikan
perlindungan, memberikan nafkah, serta menciptakan suasana tenteram dan damai.
e. Sikap dan Pandangan Hidup
Pandangan tentang Perilaku
Sikap dan pandangan hidup orang Tengger tercermin pada harapannya, yaitu waras
(sehat), wareg (kenyang), wastra (memiliki pakaian, sandang), wisma (memiliki rumah,
tempat tinggal), dan widya (menguasai ilmu dan teknologi, berpengetahuan dan
terampil).
Mereka mengembangkan pandangan hidup yang disebut kawruh buda (pengetahuan
tentang watak), yaitu:
prasaja berarti jujur, tidak dibuat-buat apa adanya;
prayoga berarti senantiasa bersikap bijaksana;
pranata berarti senantiasa patuh pada raja, berarti pimpinan atau pemerintah;
prasetya berarti setya;
prayitna berarti waspada.
Atas dasar kelima pandangan hidup tersebut, masyarakat Tengger mengembangkan
sikap kepribadian tertentu sesuai dengan kondisi dan perkembangan yang ada. Antara lain
mengembangkan sikap seperti kelima pandangan hidup tersebut, di samping
dikembangkan pula sikap lain sebagai perwujudannya.
Mereka mengembangkan sikap rasa malu dalam arti positif, yaitu „rasa malu apabila
tidak ikut serta dalam kegiatan sosial‟. Begitu mendalamnya rasa malu itu, sehingga
pernah ada kasus (di Tosari) seorang warga masyarakat yang bunuh diri hanya karena
tidak ikut serta dalam kegiatan gotong royong.
Sikap toleransi mereka tercermin pada kenyataan bahwa mereka dapat bergaul
dengan orang beragama lain, ataupun kedatangan orang beragama lain. Dalam
keagamaan mereka tetap setia kepada agama yang telah dimiliki namun toleransi tetap
tinggi, sebab mereka lebih berorientasi pada tujuan, bukan pada cara mencapai tujuan.
Pada dasarnya manusia itu bertujuan satu, yaitu mencapai Tuhan, meskipun jalannya
beraneka warna. Sikap toleransi itu tampak pula dalam hal perkawinan, yaitu sikap orang
tua yang memberikan kebebasan bagi para putraputrinya untuk memilih calon istri atau
suaminya. Pada dasarnya perkawinan bersifat bebas.
Mereka tetap dapat menerima apabila anak-anaknya ada yang berumah tangga
dengan wanita atau pria yang berlainan agama sekalipun. Namun dalam hal
melaksanakan adat, pada umumnya para generasi muda masih tetap melakukannya sesuai
dengan adat kebiasaan orang tuanya.
Sikap hidup masyarakat Tengger yang penting adalah tata tentrem (tidak banyak
risiko), aja jowal-jawil (jangan suka mengganggu orang lain), kerja keras, dan tetap
mempertahankan tanah milik cara turun-temurun. Sikap terhadap kerja adalah positif
dengan titi luri-nya, yaitu meneruskan sikap nenek moyangnya sebagai penghormatan
kepada leluhur.
Sikap terhadap hasil kerja bukanlah semata-rnata hidup untuk mengumpulkan harta
demi kepentingan pribadi, akan tetapi untuk menolong sesamanya. Dengan demikian,
dalam masyarakat Tengger tidak pernah terjadi kelaparan. Untuk mencapai keberhasilan
dalam hidup semata-marta diutamakan pada hasil kerja sendiri, dan mereka menjauhkan
diri dari sikap nyadhong (menengadahkan telapak tangan ke atas).
Masyarakat Tengger mengharapkan generasi mudanya mampu mandiri seperti
ksatria Tengger yang bersikap tat twam asi. Orang tua tidak ingin mempunyai anak yang
memalukan, dengan harapan agar anak mampu untuk mikul dhuwur mendhem jero, yaitu
memuliakan orangtuanya.
Sikap mereka terhadap perubahan cukup baik, terbukti mereka dapat menerima pengaruh
model pakaian, dan teknologi, serta perubahan lain yang berkaitan dengan cara. Mereka
mengharapkan masa depan yang lebih baik dan berkeyakinan akan datangnya kejayaan
dan kesejahteraan masyarakatnya.
9. Siklus Hidup
Ada 3 (tiga) tahap penting siklus kehidupan menurut pandangan masyarakat Tengger, yakni:
a. Umur 0 sampal 21 (wanita) atau 27 (pria), dengan lambang bramacari yaitu masa yang
tepat untuk pendidikan;
b. Usia 21 (wanita) atau 27 (pria) sampai 60 tahun lambing griasta, masa yang tepat untuk
membangun rumah dan mandiri;
c. 60 tahun ke atas, dengan lambang biksuka, membangun diri sebagai manusia usia lanjut
untuk lebih mementingkan masa akhir hidupnya.
Pada masa griasta ada ungkapan yang berbunyi kalau masih mentah sama adil, kalau sudah
masak tidak ada harga, yang bermaksud hendaklah manusia itu pada waktu mudanya bersikap
adil dan masa dewasa menyiapkan dirinya untuk masa tuanya dan hari akhirnya.
10. Pertunangan dan Perkawinan
Pada umumnya masyarakat Tengger mempunyai pendirian yang cukup bermoral atas
perkawinan. Poligami dan perceraian boleh dikatakan tidak pernah terjadi. Perkawinan di
bawah umur juga jarang terjadi. Dalam pertunangan (pacangan), lamaran dilakukan oleh
orangtua pria. Sebelumnya didahului dengan pertemuan antara kedua calon, atas dasar rasa
senang kedua belah pihak.
Apabila kedua belah pihak telah sepakat, maka orangtua pihak wanita (sebagai calon)
berkunjung ke orangtua pihak pria untuk menanyakan persetujuannya atau notok.
Selanjutnya apabila orangtua pihak pria telah menyetujui, diteruskan dengan kunjungan dari
pihak orangtua pria untuk menyampaikan ikatan (peningset) dan menentukan hari
perkawinan yang disetujui oleh kedua belah pihak. Sesudah itu barulah upacara perkawinan
dilakukan.
Sebelum acara perkawinan biasanya telah dimintakan nasihat kepada dukun mengenai
kapan sebaiknya hari perkawinan itu dilaksanakan. Dukun akan memberikan saran
(menetapkan) hari yang baik dan tepat, „papan‟ tempat pelaksanaan perkawinan, dan
sebagainya. Setelah hari untuk upacara perkawinan ditentukan, maka diawali selamatan
kecil (dengan sajian bubur merah dan bubur putih).
Sebagai kelengkapan upacara perkawinan, maka pasangan pengantin diarak (upacara
ngarak) keliling, diikuti oleh empat gadis dan empat jejaka dengan diiringi gamelan. Pada
upacara perkawinan pengantin wanita memberikan hadiah bokor tembaga berisi sirih
lengkap dengan tembakau, rokok dan lain, sedangkan pengantin pria memberikan hadiah
berupa sebuah keranjang berisi buah-buahan, beras dan mas kawin.
Pada upacara asrah pengantin, masing-masing pihak diwakili oleh seorang utusan. Para
wakil mengadakan pembicaraan mengenai kewajiban dalam perkawinan dengan disaksikan
oleh seoran dukun. Pada upacara pernikahan dibuatkan petra (petara: boneka sebagai tempat
roh nenek moyang) supaya roh nenek moyangnya bisa hadir menyaksikan.
11. Hak Waris
Pada dasarnya masyarakat Tengger mempertahankan hak waris tanah untuk anak
keturunan mereka saja. Apabila ada keluarga yang terpaksa menjual hak tanah, diusahakan
untuk dibeli oleh keluarga yang terdekat. Pewarisan kepada anak-turunannya ditentukan
oleh kerelaan pihak orang tua, bukan atas dasar aturan ketat yang dibakukan.
a. Kesenian dan Tata Rumah
Kesenian
Kesenian merupakan bagian dari kebudayaan manusia. Hasil kesenian daerah, sebagai
unsur dari kebudayaan dan adat istiadat masyarakat Tengger, dapat dikelompokkan menjadi
tiga, yakni seni panggung, seni musik dan seni tari. Di samping itu dapat pula
dikelompokkan menjadi kesenian tradisional dan modern. Kesenian tradisional dapat
dikelompokkan menjadi keseniän tradisional yang berasal dari masyarakat Tengger sendiri
dan yang berasal dari luar daerah Tengger.
Seni tari yang tradisional dan yang bersifat ash hanya ada dua, yaitu tari ujung dan tari
sodoran. Kedua jenis tarian ini dilaksanakan pada upacara adat, yaitu pada waktu pembuatan
jimat klonthong dan bertepatan dengan upacara Karo. Khusus untuk Desa Wonokitri dan
Desa Sedhaeng, sebelum tari Ujung digelarkan, terlebih dahulu dilaksanakan dandosan
berupa sesajen sedekah pangonan.
Yang pertama, tari sodoran merupakan kesenian tradisional Tengger yang mengandung
nilai keagamaan. Penarinya empat orang dan saling berhadapan, dimulai dengan jarak
berjauhan dan terus bergerak mendekati lawannya. Mereka menari dengan diiringi bunyi
gamelan. Penari menunjukkan jarinya dalam gaya tariannya. Penunjukan telunjuk itu
sebagai lambang purusan dan pradazza, yang bermakna sebab pertama dan alam semesta
yang bersifat abadi.
Yang kedua, tari ujung merupakan suatu kçsenian yang merakyat Kesenian ini sening
dinamakan kesenian tiban. Biasanya tarian ml dimainkan setiap hari raya Karo, setelah
- nyadran dan sebelum mulihe ping pitu „ dalam rangkaian upacara Karo. Tari ujung
menunjukkan makna lambang persahabatan, yaitu rasa bersatu dan merasakan suka-duka
bersama. Pada tarian ini penari saling memukul bergantian dengan rotan berukuran kurang
lebih satu meter.
Seni tari lain yang sekarang banyakjuga disenangi oleh masyarakat Tengger antara lain
adalah ludruk, kethoprak dan lain-lain yang berasal dan luar masyarakat Tengger. Kesenian
ini sewaktu-waktu dapat dipanggungkan apabila diperlukan.
Seni musik yang masih bersifat tradisional dan berasal dan masyarakat engger sendiri
adalah seni karawitan. Namun sekarang masyarakat ini juga menyenangi antara lain seni
terbang gelipung, dan seni hadrah, sedangkan seni modern yang telah masuk adalah
keroncong, band, dan orkes melayu.
Seni tari atau jenis kesenian yang memusatkan kepada gerakan, yang berasal dan luar
masyarakat Tengger namun saat ini mulai digemari, antara lain adalah pencak silat dan
akrobatik. Jenis kesenian ini banyak peminatnya danbisa diterima dengan baik. (Sebagai
catatan, seni wayang kulit untuk daerah Tosari hanya dimainkan untuk ruwatan, sedangkari
di Desa Ngadisari sama sekali tidak diperkenankan untuk dimainkan).
b. Tata Rumah
Rumah penduduk Tengger dibangun di atas tanah, yang sedapat mungkin dipilih pada
daerah datar, dekat air, atau kalau terpaksa dipilih tanah yang dapat dibuat teras, dan jauh
dan gangguan angiñ. Runah-rumah letaknya berdekatan atau menggerombol pada suatu
tempat yang dapat dimasuki dan berbagaf jurusany yang dihubungkan dengan jalan sempit
atau gak lebar antara satu desa dengan desa lain. Desa induk yang disebut Jcrajan biasa-nya
terletak di tengah dengan jaringan jalan-jalan yang menghubungkan dengan desa lain.
Pembangunan sebuah rumah selalu diawali dengan selamatan, demikiah pula apabila
bangunan telah selesai (rampung) diadakan selamatan lagi. Pada setiap bangunan yang
sedang dikejakan selalu terdapat sesajen, yang digantungkan pada tiang-tiang, berupa
makanan, ketupat, lepet, pisang raja dan lain-lain. Bangunan rumah orang Tengger biasanya
luas sebab pada umumnya dihuni oleh beberapa keluarga bersama-sama, Ada kebiasaan
bahwa seorang pria yang baru saja kawin akan tinggal bersama mertuanya.
Tiang dan dinding rumahnya terbuat dan kayu dan atapnya terbuat dan bambu yang dibelah.
Setelah bahan itu sulit diperoleh, dewasa ini masyarakat telah mengubah kebiasaan itu
dengan menggunakan atap dan seng, papan atau genteng.
Alat rumah tangga tradisional yang hingga sekarang pada umumnya masih tetap ada
adalah baiai-balai, semacam dipanyang ditaruh di depan rumah. Di dalam ruangan rumah itu
disediakan pula tungku perapian (pra pen) yang terbuat dan batu atau semen. Perapian ini
kurang lebih panjangnya 1/4 dari panjang ruangan yang ada. Di dekat perapian terdapat
ruang duduk yang meliputi kurang lebih separuh dan seluruh ruangan. Apabila seorang tamu
drtenima dan dipersilakan duduk di tempat ini menunjukkan bahwa tamu tersebut diterima
dengan hormat.
Selain digunakan untuk penghangat tubuh bagi penghuni rumah, perapian juga
dimanfaatkan untuk mengeringkan jagung, atau bahan makan lainnya yang memerlukan
pengawetan dan ditaruh di atas paga. Dekat tempat perapian itu terdapat pula alat-alat dapur,
lesung, dan tangga. Halaman rumah mereka pada umumnya sempit (kecil) dan tidak
ditanami pohon-pohonan. Di halaman itu pula terdapat sigiran, tempat untuk
menggantungkan jagung yang belum dikupas. Selain itu, sigiran dimanfaatkan untuk
menyimpan jagung, sehingga juga berfungsi sebagai lumbung untuk menyimpan sampai
panen mendatang.
12. Tengger sebagai Daerah Penyangga Taman Nasional Bromo-Tengger Semeru
Lokasi Taman Nasional Bromo terletak di pertemuan empat kabupaten, yaitu
Probolinggo, Pasuruan, Malang, dan Lumajang. Daerah tersebut dihuni oleh masyarakat
Tengger yang memiliki tradisi dan budaya khas, sebagai peninggalan nenek moyang sejak
zaman Majapahit. Gunung Bromo merupakan gunung berapi, yang terus-menerus
mengepulkan asap pada bagian tengah kalderanya. Gunung tersebut dikelilingi olëh laut pasir
(segara wedhi), serta dikelilingi oleh pegunungan dengan jurang-jurang yang terjal.
Ketinggian Gunung Bromo adalah 2392 m, Di sebelah selatannya berdiri gunung
vulkanik Semeru yang masih aktif, dengan ketinggian 3676 m. Secara legendaris kedua
gunung tersebut mempunyai kaitan, seperti telah dilukiskan dalam legenda pada uraian
terdahulu. Di sekitar Gunung Biomo dan sebagian wilayah Gunung Semeru inilah masyarakat
Tengger bermukim.
Ditinjau secara sosial-budaya, masyarakat Tengger memiliki sifat khas tradisi dan
budaya, yang secara historis merupakan peninggalan nenek moyang dan zaman Majapahit,
dan sampai saat ini mampu bertahan. Sejak ditetapkan pada tahun 1982 sebagai daerah
penyangga Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru, Tengger selalu dikunjungi oleh banyak
wisatawan dan dalam dan luar negeri. Di samping itu sejak tahun 1973 dengan ditetapkannya
masyarakat Tengger sebagai pemeluk agama Hindu, maka mulai diadakan pembinaan intensif
tentang keagamaan, namun masyarakat Tengger tampaknya belumbanyak terpengaruh oleh
nilainilai budaya yang lain.
Beberapa gejala yang tampak antara lain adalah, dengan adanya sentuhan langsung
pembangunan yang terprogram dan datangnya para wisatawan yang berkunjung ke daerah
Tengger in mereka mulai memanfaatkan kesempatan itu, antara lain dengan menyewakan
rumah mereka untuk penginapan, menyewakan kuda-yang semua sebagai alat angkut hasil
pertanian-untuk alat transportasi para wisatawan yang memerlukan. Meskipun telah banyak
bergaul dengan para pendatang, namun sikap keaslian mereka masih tampak jelas dalam
memperlakukan para wisatawan, yaitu sikap ramah, jujur dan gotong royong.
13. Tengger sebagai Daerah Penyangga Taman Nasional
Pengembangan suatu masyarakat berarti akan mengubah menjadi sesuatu yang lain, atau
tetap mempertahankan keberadaannya dengan mengembangkan kemampuan dan kondisi
masyarakat untuk mampu mandiri serta menjadi lebih bermanfaat dan lebih sempurna.
Penetapan BromoTengger-Semeru menjadi taman nasional bermakna bahwa kondisi yang
telah ada akan dilindungi dan dikembangkan agar lebih semarak dan menarik. Tengger
sebagai daerah penyangga juga bermakna bahwa budaya masyarakat Tengger perlu
dilestarikan dan dikembangkan menjadi lebih sempurna, terutama adat istiadat dan nilai-nilai
budayanya yang relevan dengan kemajuan zaman, dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai
luhur Pancasila sebagai filsafat bangsa dan negara. Dengan masuknya para wisatawan ke
daerah Tengger, tidak mustahil akan terjadi pergeseran nilainilai instrumental, namun apabila
terus diadakan pembinaan sikap mental dengan tetap berpegang kepada nilai tradisional yang
relevan, maka pergeseran nilai-nilai instrumental itu akan tetap dapat dicegah dan sekaligus
dapat dipertahankan sifat keasliannya.
Hubungan antara masyarakat Tengger dengan taman nasional sangat erat karena daerah
Bromo-Tengger-Semeru sebagian besar dihuni oleh masyarakat Tengger. Apabila kondisi
alamnya akan dikembangkan menjadi taman nasional maka masyarakat sekitarnya pun
dituntut urituk mampu menyelamatkan, memelihara dan ikut mengembangkannya. Apabila
masyarakat Tengger tidak diberi kesempatan untuk mengambil keuntungan dan taman
nasional itu, tidak mustahil akan terjadi sikapmasa bodoh terhadapnya, tidak ikut menjaga
ataupun menyelamatkannya. Masyarakat Tengger sebagai penyangga, sudah tentu berperan
besar untuk menjaga kelestarian taman nasional. Demi kelestarian taman nasional itu,
masyarakat Tengger diharapkan merasa ikut memiliki (handarbeni), membina (hamengkoni)
dan sekaligus dapat memanfaatkannya.
Di sekeliling taman nasional itu akan dikembangkan berbagai macam tumbuhan
penyangga sebagai daerah buffer zone untuk melestarikan alam dan keindahannya, yang
kondisinya perlu dijaga oleh masyarakat lingkungannya. Hal itu akan berhasil apabila
lingkungan alamnya:
mampu menyediakan berbagai kebutuhan dasar masyarakat sekitarnya, baik untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari maupun memberikan kepuasan dan kesenangan
yang lain;
dapat terselamatkan dari berbagai gangguan yang berasal dari manusia, binatang,
ataupun gangguan lainnya;
mampu mengembangkan sikap masyarakat untuk mencintai alam dan taman nasional;
mampu melindungi manusia dan daerah pertanian sekitarnya dari gangguan binatang
yang datang dari daerah penyangga itu sendiri.
mampu meningkatkan kondisi sosial-ekonomi masyarakat sekitarnya, termasuk
masyarakat Tengger, dan kesadaran akan pentingnya taman nasional itu;
mampu menumbuhkan dan mengembangkan organisasi swadaya masyarakat dalam
kaitannya dengan usaha-usaha pelestarian sumber daya alam dan lingkungannya;
mampu membina eksistensi adat dan budaya masyarakat Tengger yang dapat
memberikan konsumsi penyemarakan wisatawan yang datang untuk menikmati
keindahan taman nasional itu.
Untuk mengembangkan buffer zone ini, ada suatu masaah yang perlu dipecahkan dengan
penuh kebijaksanaan. Misalnya desa Ngadas yang terletak di daerah buffer zone. Masalahnya
antara lain adalah apakah desa ini harus dipindahkan, atau dibiarkan tetap berada di daerah
buffer zone. Apabila masyarakat itu dipindahkan akan terjadi kesulitan di mana akan
ditempatkan, dan apabila tetap berada di daerah buffer sone, bagaimana pengelolaannya?
Untuk memecahkan masalah ini diperlukan penelitian dan pertimbangan untung ruginya.
14. Sejarah Masyarakat Tengger
Masyarakat Tengger pada umumnya beranggapan bahwa mereka adalah pewaris adat
istiadat tradisional Majapahit. Pernyataan ini dibenarnya oleh Prof. Nancy, sesuai dengan
hasil penelitiannya tentang Masyarakat Tengger dalam Sejarah Nasional indonesia (1985),
yang secara kronologis menerangkan asal kejadi an masyarakat Tengger itu. (Hal ini secara
khusus sudah dibahas dalam Bab 2).
Kajian sejarah menunjukkan bahwa adat masyarakat Tengger tidak menganut adanya
perbedaan kasta karena memang tidak terdapat pemimpin agama yang kuat. Sebelum adanya
pembinaan agama Hindu, dalam masyarakat Tengger tidak terdapat pedanda atau pendeta dan
resi. Pada waktu itu hanya terdapat ketua adat (dukun) yang berpengaruh. Hal ini pula yang
mungkin menyebabkan hilangnya identitas masyarakat dan kondisi terancamnya kehidupan
spiritual serta pelaksanaan upacara adat pada akhir abad ke-19, seperti diungkapkan oleh
Nancy. Baru setelah tahun 1945, masyarakat Tengger berkesempatan mengggali sejarah
spiritual mereka secara mendalam.
Berdasarkan kenyataan sejarah tersebut, maka pembinaan cara hidup dengan nilai
spiritual yang mereka miliki dan dianut dewasa ini adalah sebagai dasar pembinaannya. Nilai-
nilai spiritual zaman. Majapahit perlu digali sebagai dasar pembinaan dalam bidang
keagamaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada beberapa aspek positif yang dapat
dipertahankan dan dikembangkan, antara lain sikap toleransi yang kuat untuk hidup
berdampingan dengan masyarakat yang berlainan agama. Sikap gotong royong dan rukun
yang telah dimiliki digunakan sebagai dasar pembinaan sikap berbangsa yang besar dan
bersatu berdasarkan Pancasila sebagai dasar pembinaan kesadaran nasional. Masih banyak
lagi nilai dan sikap hidup positif yang sekarang ini dimiliki oleh masyarakat Tengger yang
perlu dibina dan dikembangkan sesuai dengan perkembangan zaman modern.
15. Sosial-Budaya Masyarakat Tengger
Dewasa ini Ditinjau dan sudut alam lingkungan masyarakat Tengger yang terdiri dan
daerah perbukitan yang terjal, puncak-puncak pegunungan yang cukup tinggi, dan secara fisik
masih menunjukkan kesuburan tanahnya, masyarakat Tengger semestmnya terdiri atas kaum
petani. Namun sesuai dengan catatan, bahwa penduduk yang dikategorikan sebagai petani
penggarap hanya 37,93% dan buruh tani 8,16%, maka sekitar 54% penduduk tengger bukan
tergolong petani. Oleh karena itu, perlu ada pemikiran yang bersungguh-sungguh untuk
membangun masyarakat Tengger sebagai masyarakat penyangga taman nasional. Untuk
pengembangannya diperlukan penyediaan lapangan kerja, dengan mencari berbagai alternatif
yang sesuai dengan kemampuan dan kondisi masyarakat, sehingga tidak akan mengganggu
kelangsungan hidup taman nasional itu sendiri.
Sebagian besar tanah daerah Tengger yang berbukit dan berjurang terjal saat ini telah
dijamah dan dihuni oleh kaum petani untuk usaha pertanian. Hal ini menunjukkan bahwa
apabila pertumbuhan penduduk tidak bisa dikendalikan dalam waktu yang relatif singkat,
seluruh tanah yang tersedia akan dimanfaatkan untuk pertanian, apabila tidak ada usaha lain
yang lebih menguntungkan.
Suatu alternatif telah ditetapkan, yaitu Tengger sebagai daerah penyangga taman
nasional, maka perlu dipikirkan kondisi yang bagaimanakah yang tepat bagi masyarakat
Tengger, sehingga mampu menciptakan kondisi yang menguntungkan? Jawabannya perlu
digali dan kemampuan dan kondisi yang dalam masyarakat Tengger sendiri.
a. Bidang Keagamaan
Hasil penelitian rnenunjukkan bahwa sebelurn tahun 1973, masyarakat Tengger masih
menganut kepercayaart yang bersifat tradisional dengan melakukan berbagai upacara, antara
lain Kusada, Karo, Entas-entas, Unan-unan, perkawinan, kematian, pendirian rumah, dan
sebagainya. Berbagai upacara itu pada hakikatnya adalah untuk memohon keselamatan dunia
dan akhirat kepada Tuhan Yang Maha Esa. Keselamatan di dunia termasuk kelangsungan
hidup dalam rumah tangga dan perkawinan, bertetangga, menempati rumah, keberhasilan
dalam bertani, pembersihan dari dosa, dan sebagainya. Sedangkan keselamatan akhirat
berkaitan dengan terbebasnya dari kesengsaraan negara untuk dapat masuk surga atau moksa.
Isi mantra yang diucapkan dalam berbagai upacara adat menunjukkan bahwa pada
dasarnya masyarakat Tengger masih kuat dalam melaksanakan ibadah berdasarkan agama
Hindu, meskipun pada waktu itu tidak ada pendeta, pedanda resi, ataupun biksu. Upacara-
upacara adat dipimpin oleh pada dukun sebagai kepala adat. Meskipun mantra yang
diucapkan diawali dengan kata Hong, namun sangat jelas isinya cenderung bersifat agama
Hindu. Terlebih-lebih dengan digunakannya Gunung Bromo sebagai arah beribadah, seperti
telah diuraikan dalam legenda bahwa Bromo identik dengan pengertian Dewa Brahma yang
merupakan manifestasi dari sifat Tuhan sesuai dengan ajaran agama Hindu.
Anggapan bahwa masyarakat Tengger sebelum dibina dan dinyatakan sebagai pemeluk
agama Hindu adalah pemeluk Agama buda tidak sepenuhnya salah. Hal ini dikuatkan oleh
hasil penelitian Nancy atas mantra yang sering digunakan dalam upacara-upacara. Namun dari
hasil penelitian itu pun ditegaskan bahwa pengertian buda bukanlah Budha sebagai agama,
melainkan istilah yang biasanya dipakai oleh masyarakat Jawa untuk menyebut agama
sebelum Islam. Pada zaman kekuasaan Majapahit diakui adanya dua agama, yaitu Budha dan
Hindu. Pada abad ke-14, setelah masuknya Islam, istilah buda digunakan untuk menyebut
mereka yang belum menganut agama Islam. Sebagai perbandingan, para pujangga Yogyakarta
pada abad yang sama juga menggunakan istilah buda bagi mereka yang masih menganut
tradisi lama (Majapahit).
Pada tahun 1973 setelah diadakan pembinaan agama oleh pemerintah, dengan
ditetapkannya agama Hindu sebagai dasar pembinaan masyarakat Tengger, maka rakyat
Tengger telah terbiasa melaksanakan ibadah agama Hindu Dharma seperti yang
dikembangkan di Bali. Sampai saat ini telah dibangun beberapa pura di Kecamatan Tosari dan
Kecamatan Sinduro, sedangkan daerah lain masih menggunakan sanggar sebagai tempat
beribadah.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa toleransi masyarakat Tengger terhadap
pemeluk agama lain cukup tinggi. Mereka tetap mampu mempertahankan tradisi lamanya
dalam melaksanakan ibadah, meskipun masyarakat sekitarnya telah memeluk agama lain dan
mengubah tradisinya. Sikap hidup berdampingan dengan penganut agama lain dapat dikaji
dari sesantinya: geblag lor dan geblag kidul, sebagai pernyataan bahwa masyarakat bagian
utara Tengger telah memeluk agama islam, sedangkan sebelum tahun 1973 masyarakat
Tengger tetap dengan tradisinya. Atas dasar kenyataan ini, maka pengungkapan nilai-nilai
yang terkandung dalam tradisi itu perlu terus dilakukan serta hasilnya dikembangkan sesuai
dengan alam modern.
b. Upacara Adat
Upacara adat yang bersifat umum dan besar adalah Kasada, Karo dan Unan-unan.
Upacara Kasada dan Karo dilaksanakan setahun sekali, yaitu pada bulan ke-12 dan ke-2
menurut penanggalan Tengger, sedangkan upacara Unan-unan dilaksanakan setiap lima tahun
sekali, satu windu tahun wuku.
1) Upacara Kasada
U[acara Kasada dilakukan di kaki Gunung Bromo di lembah lautan pasir pada bulan ke
12. Setelah berdoa tengah malam, upacara ini diakhiri dengan menyajikan korban ke kawah
Gunung Bromo sebagaimana dipesankan oleh leluhurnya, Raden Kusumaputra Rara Anteng
dan Jaka Seger. Korban itu berupa buah-buahan dan hasil bumi lainnya demi keselamatan
masyarakat dan anak-cucu masyarakat Tengger.
Upacara Kasada, selain untuk persembahan dan penyajian korban di Gunung Bromo, juga
digunakan untuk penyumpahan dan pelantikan dukun baru. Di samping itu bisa juga diadakan
pelantikan para pejabat pemerintahan atau orang terhormat lainnya yang diangkat oleh
masyarakat Tengger sebagai pinisepuh.
Upacara Kasada dianggap sebagai saat yang tepat untuk memamerkan objek wisata
Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru, karena dapat menarik perhatian orang dari berbagai
daerah dan mancanegara untuk berkunjung menyaksikan upacara adat di Tengger. Dengan
demikian, sekaligus dapat menunjukkan keindahan Bromo dan alam sekitarnya kepada para
pengunjung.
Upacara Karo dilaksanakan di rumah atau juga secara terpusat di kepala Desa/adat. Pada
bulan ke-2 atau Karo. Pada upacara ini diutamakan para rakyat saling berkunjung, dan kepala
adat perlu mengunjungi setiap rumah tangga para warganya. Pada upacara yang bersifat
umum, dimulai dengan tari ujung dan tari sebagai rangkaian upacara, di samping itu
dikeluarkan juga jimat klonthong sebagai penyempurnaan upacara
Upacara karo itu dapat pula dimanfaatkan untuk menarik para wisatawan yang ingin
mengetahui sifat khas adat Tengger karena upacara ini tidak ditemukan di lain tempat, juga di
Bali sebagai pusat agama Hindu Dharma di Indonesia.
2) Upacara Unan-unan juga bersifat khas.
Tujuan utama upacara ini untuk bersih desa dalam arti luas. Pengertian bersih bukan
semata-mata bersifat fisik, melainkan lebih bersifat ritual spiritual yaitu suatu permohonan
kepada Tuhan Yang Maha Esa, akan keselamatan dan kesejahteraan masyarakat pada
umumnya di Tengger. Oleh karena upacara ini juga bersifat masal, maka dapat pula
dimanfaatkan untuk memberikan daya tarik di bidang pariwisata. (Catatan secara empirik
upacara ini belum diteliti dengan lengkap).
3) Upacara-upacara lain bersifat individual, sehingga sedikit kemungkinan untuk dijadikan
objek kepariwisataan. Di samping itu terdapat pula upacara Galungan, yang ada karena
masuknya agama Hindu Dharma Bali.
4) Mantra
Beberapa mantra yang dibaca setiap upacara tradisional sudah dicatat oleh salah seorang
dukun, yaitu Dukun Sujai, dan ditulis dengan huruf Jawa., Namun hingga sekarang masih ada
dua mantra besar yang penting masih belum terdokumentasikan, yaitu mantra purwa bhumi
dan mandhalagiri. Sebenarnya di Tengger masih terdapat 21 lontar yang disimpan dan
dikeramatkan oleh penduduk, yang salah satu di antaranya berisi mantra purwa bhumi.
Apakah isinya sama dengan mantra purwa bhumi yang dihafal oleh pewaris, masih belum
diketahui. Di masyarakat Tengger terdapat pewaris mantra yang sampai saat ini masih hafal
isi dan ucapan mantra purwa bhumi dan mandhalagiri, yang perlu dilestarikan, apabila daerah
Tengger akan digunakan sebagai daerah penyangga taman nasional dan sekaligus sebagai
daerah wisata adat atau budaya tradisional. Dengan mempelajari isi berbagai mantra yang
terdapat di daerah Tengger, dapat diketahui isi kejiwaan dan pandangan hidup masyarakat
Tengger. Dengan cara demikian akan lebih memudahkan membina can mengem bangka
masyarakat Tengger, sehingga mampu hidup di tengah perkembangan dunia yang cepat
berubah di alam globalsiasi.
5) Makna Simbolik Beberapa Alat Upacara
Setiap pelaksanaan upacara disertai dengan berbagai sesajen dan peralatannya. Apabila
dikaji lebih mendalam, berbagai sesajen dan peralatan itu secara simbolik mempunyai makna
tertentu.
Makna simbolik ini akan sangat berguna sebagai alat pendidikan dan pewarisan nilai-
nilai kepada masyarakat dan generasi. Sebagai contoh, pada sesajen sering terdapat empat
atau lima macam warna makanan, antara lain juadah putih diartikan sebagai Sang Hyang
Iswara yang berkedudukan di timur, melambangkan kelahiran ataupun sifat kesucian waktu
manusia dilahirkan. Juga diartikan sebagai penglihatan (paninggal). Timur diartikan sebagai
„permulaan‟ atau wiwitan atau wetan (Jw); juadah merah sebagai lambang Sang Hyang
Bromo yang berkedudukan di selatan, yang diartikan pula sebagai pendengaran. Demikian
pula jenis-jenis makanan dan warna lainnya, semuanya diberi makna simbolik.
Dengan demikian, berlangsungnya setiap upacara adat merupakan kesempatan baik untuk
menyampaikan makna yang terkandung dalam setiap alat upacara ataupun sesajen. Apabila
arti lambang tersebut sungguh-sungguh dipahami dan dihayati akan berguna bagi manusia
untuk membentuk dirinya sendiri.
16. Konsep Tentang Manusia
Seperti halnya masyarakat tradisional lainnya, masyarakat Tengger mempercayai adanya
dualisme hubungan antara jiwa dan raga, antara sukma dan badan. Sukma atau roh manusia
bersifat langgeng, berasal dan alam baka datang ke dunia fana, dan akan kembali ke alam
baka lagi. Di samping itu dipercayai pula bahwa hubungan antara roh dan badan adalah
terpisah, seperti hubungan antara burung dengan sangkarnya.
Konsep tentang manusia bagi masyarakat tengger dapat dipelajari dan berbagai sumber
antara lain dan mantra kata-kata sesanti, legenda dan tafsir mereka terhadap lambang-lambang
tertentu. Beberapa mantra memang hanya dikuasai oleh para dukun atau orang yang dituakan
oleh masyarakat Tengger, misalnya mantra purwa bhumi dan mandhalagiri, mantra ini dihafal
juga oleh para dukun yang berkedudukan sebagai kepala adat dan jumlahnya sangat terbatas.
Mereka adalah orangorang terkemuka yang dipandang berpengaruh dan dapat menerangkan
segala sesuatu yang berkenaan dengan konsep hidup. Jadi, mereka berpengaruh atas
lingkungannya, sebagai panutan atau sebagai sumber pengetahuan tentang hidup.
Mantra purwa bhumi berisi kejadian alam, termasuk kejadian manusia, yang mengandung
ajaran bahwa manusia (Tengger) diwajibkan melaksanakan pemujaan melalui berbagai
upacara, antara lain Galungan, Penawangan, Kasada, dan Kepitu, bulan purnama, dan bulan
tilem. Apabila pemujaan itu dilakukan, maka manusia akan dibebaskan dan dosa-dosanya.
Demikian pula dan beberapa mantra lain dapat dipelajari mengenai ajaran hidup dan konsep
tentang manusia.
Dan legenda dengan cerita Aji Saka, dapat dipelajari konsep tentang manusia, terutama
dengan penafsirannya terhadap aksara jawaha-na-ca-ra-ka, yang menggambarkan bahwa
manusia adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Manusia memiliki cipta, rasa dan karsa
sebagai alat kejiwaan, sehingga mampu mengembangkan din sebagai pribadi manudiri, yang
wajib melaksanakan lima tugas hidup untuk tumbuh menjadi manusia sempurna.
Kelima tugas hidup itu belum begitu jelas, namun bisa dikaitkan dengan panca sradha maupun
panca setya, yaitu kepercayaan akan adanya lima hakikat keimanan dan lima kesetiaan dalam
melaksanakan hidup di dunia ini.
Di samping penafsiran tersebut, secara harfiah pun aksara Jawa mengandung arti ada (dua
orang) utusan, yang saling bertengkar (dan berkelahi), keduanya sama ampuhnya, dan
akhirnya mati bersama. Dalam legenda kedua utusan itu dinamakan dora dan sem1da, yang
berarti dusta dan konsekuen. Dan rangkaian katakatanya dapat diartikan bahwa pada dasarnya
dalam din manusia ada dua sifat yang saling bertentangan, namun keduanya sama pentingnya.
Atau dapat pula diartikan adanya dua utusan Tuhan, yang masing-mäsing membawa
kebenaran sesuai dengan kondisi atau zamannya. Dalam hal ini masyarakat Tengger dapat
memahami adanya agama lain (Islam) yang dipeluk oleh masyarakat tetangganya (dengan
istilah geblag lor dan geblog kidul).
Tafsiran terhadap makna ha-naca-ra-ka dapat diartikan sebagai pertentangan kedua
utusan yang saling mempertahankan kebenanari masingmasing, atau bahwa keduanya tidak
dapat dipisahkan, sama teguhnya dalam memegang perinah, dan sama jayanya dalam
memperjuangkan kebenaran, namun hal itu ternyata mengakibatkan kehancuran. Jadi, dalam
mempertahankan kebenaran yang penting adalah marmane gun tya binuka thukul ngakasa,
yang artinya saling terbuka tumbuh bebas, atau menyempurna.
Sesanti (kata-kata mutiara) yang mereka gunakan juga sangat berperan sebagai acuan
sikap hidup. Kenyataan itu adalah tercermin pada lima kawruh buda, yaitu prasaja, prayogya,
pranata, prasetya, prayitna, yang bermakna :jujur, bijaksana, patuh pada pimpinan, setia, dan
waspada. Di samping itu tercermin pula pada panca setia, yaitu setya budaya, setya wacana,
setya semaya, setya laksana, dan setya mitra. Ungkapan itu bermakna orang hidup hendaklah
bersikap taat, tekun, mandiri setia pada ucapan (janji), patuh, dan setia kawan. Ajaran tersebut
tampak masih melekat pada sikap dan perilaku masyarakat Tengger dalam kehidupan sehari-
hari.
Dan konsep tentang manusia dan konsep hidup tersebut, dapatlah diambil hikmahnya untuk
pengembangan masyarakat Tengger, antara lain tentang:
(1) Penghormatan terhadap orang tua dan nenek moyang; kelanggengan roh manusia yang
meskipun telah berada didalam baka, namun tetap harus diusahakan kesucian dan
kesempurnaannya; roh-roh nenek moyang dimohonkan ampunan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
hal ini mengandung nilai penghormatan kepada nenek moyang.
(2) Membentuk identitas kepribadian yang utuh dan baik; dalam hidup di dunia ini hendaklah
jujur, tidak dibuat-buat, dan ada adariya; bijaksana dalam setiap tindakan; patuh kepada negara
dalam arti berkesadaran nasional yang tinggi; loyal dan waspada.
(3) memiliki sikap sosialitas yang tinggi; dalam hubungan sosialnya hendaklah sadar akan
kemampuan pribadi, taat dan tekun bekerja; konsekuen dan menepati janji, patuh dan setia
kawan.
Di samping berbagai sikap pribadi dan sikap sosial yang pada dasarnya masih dimiliki oleh
masyarakat Tengger, masih tampak jelas pula sikap toleransi yang tinggi, gotong royong
masyarakat, tekun dan kerja keras, ramah terhadap para pendatang. Berbagai sikap tersebut perlu
dioertahankan dan dikembangkan sesuai dengan kemajuan zaman.
17. Kesenian dan Tata Rumah Tangga
Kesenian asli yang berupa seni tan dan seni suara sangat erat dengan pelaksanaan upacara
adat. Ada dua macam seni tan yaitu tan ujung dan tan sodoran, yang keduanya diiringi dengan
seni karawitan. Kedua seni tan tersebut sangat erat dengan pelaksanaan upacara adat, terutama
upacara perayaan Karo. Sebagai contoh, tan sodoran menggambarkan kejaian manusia yang
berasal dan purusa dan pradama. Upacara Karo sendiri merupakan perayaan untuk
memperingati kejadian manusia dan diharapkan manusia kembali kepada kemurnian dan
kesuciannya, yaitu pada zaman satya Yoga, suatu zaman di mana kejujuran‟ atau ke-satya-an
manusia dijunjung tinggi.
Demikian pula tan ujung dilakukan pada waktu upacara Karo sebagai hiburan, sesudah
nyadran dan sebelum mulihe ping pitu. Tari sodoran dilakukan pada pembukaan rangkaian
upacara, sedangkan tari ujung dilakukan menjelang akhir rangkaian upacara. Rangkaian
upacara diakhiri dengan tarian hiburan yang menunjukkan bahwa persahabatan itu selalu
bersatu, suka-duka dirasakan bersama. Dalam tarian itu ditunjukkan teijadinya rasa sakit
karena pukulan pada bagian badan tertentu yang boleh dipukul.
Kedua tarian diiringi dengan gamelan karawitan. Irama lagu yang digunakan untuk
mengiringi telah ditentukan, yang semuanya mengandung arti simbolik. Jenis alat tabuh
(gamelan) mempunyai arti tersendiri, demikian pula irama lagu yang dikumandangkan juga
melambangkan sesuatu maksud.
18. Perubahan Nilai
Perubahan nilai tidak terlepas dari pemahaman terhadap arti nilai itu sendiri. Nilai sangat
erat hubungannya dengan pandangan manusia terhadap segala sesuatu sebagai objek
pengenalnya, serta kaitannya dengan arti dan makna bagi manusia sebagai subjek yang
menghendaki objek pengenalan tersebut. Objek yang dikenal oleh subjek adalah sebagai
pengetahuan dan subjek terhadap objek tersebut. Pengetahuan tersebut akan bernilai bagi
subjek, baik sebagai nilai yang dikehendaki ataupun yang tidak dikehendaki. Secara teoritis
arti dan makna pengetahuan dan nilai itu dapat dibedakan, akan tetapi kenyataannya nilai
melekat pada diri pengetahuan. Jadi dalam arti luas, pengetahuan itu sebagai nilai, dan nilai
itu melekat pada diri pengetahuan.
Pengetahuan datangnya dan objek yang dikenal oleh subjek melalui proses pengenalan,
yang merupakan gambaran tentang objek yang dikenalnya. Jadi pengetahuan pada dasarnya
bersifat objektif. Pengetahuan akan benar apabila cocok atau sesuai dengan objeknya. Kriteria
pengetahuan adalah tentang kebenarannya.
Sebaliknya, nilai adalah harta tentang sesuatu jika dihubungkan dengan kepentingan dan
kebutuhan manusia. Jadi nilai itu lebih bersifat subjektif karena keberadaannya bergantung
pada pandangan manusia terhadap sesuatu bagi kepentingan dan kebutuhan manusia. Sesuatu
adalah bernilai apabila berharga bagi manusia sebagai subjek. Sebagai ukuran tentang nilai
adalah baik-buruk, atau dalam arti luas adalah kebaikan. Sesuatu akan dikatakan bernilai
positif apabila dikehendaki dan memberikan manfaat dalam arti memberi kebaikan bagi
subjek.
Hubungan antara pengetahuan dengan nilai adalah bahwa pengetahuan yang dimiliki
subjek merupakan nilai-nilai, baik yang dikehendaki ataupun yang ditolaknya. Diterima atau
ditolaknya sesuatu sebagai yang bernilai bagi seseorang sangat bergantung pada pengetahuan
dan penilaiannya terhadap sesuatu itu. Atas dasar kenyataan itu, maka jelaslah bahwa antara
pengetahuan dan nilai terkait erat, yang secara teoritis dapat dipisahkan dalam memahaminya,
akan tetapi secara praktis nilai terletak pada pengetahuan itu sendiri. Hubungan antara
keduanya adalah sangat erat dan timbal balik. Pengetahuan timbul karena adanya kemampuan
subjek (manusia) untuk mengenal objek, dan nilai itu terjadi karena adanya pengetahuan yang
dinilai untuk dimilikinya. Dengan pengetahuan itu subjek dapat mengembangkan diri menjadi
seperti sesuatu yang dikehendakinya.
Nilai-nilai ada yang bersifat universal, ada pula yang bersifat partikular. Nilai universal
bersifat abstrak umum, sedangkan yang partikular bersifat konkret instrumental. Nilai-nilai
instrumental inilah yang dapat berubah sesuai dengan waktu dan kondisi, sedangkan yang
abstrak-umum-universal adalah tetap tak berubah. Sebagai contoh nilai keadilan bersifat
abstrak-umum-universal, sedangkan bentuk konkretnya yang bersifat instrumental dapat
berubah, umpamanya adil diartikan sama rata dan sama rasa. Dalam kenyataan apakah mereka
yang bekerja Lebih intensif akan mendapatkan bagian yang sama dengan mereka yang
bekerjanya kurang intensif, meskipun dalam kurun waktu yang sama? Apabila keduanya
disamakan, apakah itu adil? Permasalahan seperti inilah yang sering menjadi perbedaan
pendapat. Dengan kata lain, apabila telah memasuki nilai-nilai instrumental sering terjadi
berbagai perbedaan pendapat karena kurang jelasnya kriteria yang digunakan.