BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Miastenia gravis (MG) ialah penyakit kronik dengan dasar imunologi yang
ditandai dengan kelemahan otot serat lintang, berpredileksi otot-otot mata dan
otot-otot yang dipersarafi saraf kranial. Miastenia gravis termasuk penyakit
neuromuskuler dengan kelainan pada neuromuskuler junction. Gejala klinik
muncul sebagai kelemahan otot setelah beraktifitas dan pulih kembali setelah
istirahat. Yang diserang umumnya otot-otot gerak mata, kelopak mata, otot
pengunyah dan otot penelan.
MG lebih sering terjadi pada orang dewasa, namun dapat juga terjadi pada anak-
anak. Prevalensi MG adalah 33/1.000.000 penduduk, 11% terjadi pada anak-anak.
Pada laporan kali ini, kita akan membahas tentang miastenia gravis dan beberapa
penyakit kelemahan otot yang lainnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Fisiologi Neurmoscular Junction
Bagian terminal dari saraf motorik melebar pada bagian akhirnya yang disebut
terminal bulb, yang terbentang diantara celah-celah yang terdapat di sepanjang
serat saraf. Membran presinaptik (membran saraf), membran post sinaptik
(membran otot), dan celah sinaps merupakan bagian-bagian pembentuk
neuromuscular junction. Celah sinaps merupakan jarak antara membran
presinaptik dan membran post sinaptik. Lebarnya berkisar antara 20-30
nanometer dan terisi oleh suatu lamina basalis, yang merupakan lapisan tipis
dengan serat retikular seperti busa yang dapat dilalui oleh cairan ekstraselular
secara difusi. Terminal presinaptik mengandung vesikel yang didalamnya
berisi asetilkolin (ACh). Asetilkolin disintesis dalam sitoplasma di bagian
terminal, namun dengan cepat diabsorpsi ke dalam sejumlah vesikel sinaps
yang kecil, yan terdapat di bagian terminal suatu lempeng akhir motorik (motor
end plate). Bila suatu impuls saraf tiba di neuromuscular junction, sekitar 125
kantong asetilkolin akan dilepaskan dari terminal bub masuk ke dalam celah
sinaps. Bila potensial aksi menyebar ke seluruh terminal, maka akan terjadi
difusi dari ion-ion kalsium ke bagian dalam terminal. Ion-ion kalsium ini
mempunyai pengaruh tarikan terhadap vesikel asetilkolin. Beberapa vesikel
akan bersatu ke membran saraf dan mengeluarkan asetilkolinnya ke dalam
celah sinaps. Asetilkolin yang dilepaskan berdifusi sepanjang sinaps dan
berikatan dengan reseptor asetilkolin (AChRs) pada membran post sinaptik.
Secara biokimiawi keseluruhan, proses pada neuromuscular junction dianggap
berlangsung dalam 6 tahap, yaitu:
1. Sintesis asetil kolin terjadi dalam sitosol terminal saraf dengan menggunakan
enzim kolin asetiltransferase yang mengkatalisis reaksi berikut ini:
Asetil-KoA + Kolin → Asetilkolin + KoA
2. Asetilkolin kemudian diinkorporasikan/ disatukan ke dalam partikel kecil
terikat membran yang disebut vesikel sinap dan disimpan di dalam vesikel
tersebut.
3. Pelepasan asetilkolin dari vesikel ke dalam celah sinaps merupakan tahap
berikutnya. Peristiwa ini terjadi melalui eksositosis yang melibatkan fusi
vesikel dengan membran presinaptik. Dalam keadaan istirahat, kuanta
tunggal (sekitar 10.000 molekul transmitter yang mungkin sesuai dengan isi
satu vesikel sinaps) akan dilepaskan secara spontan sehingga menghasilkan
potensial endplate miniature yang kecil. Kalau sebuah akhir saraf mengalami
depolarisasi akibat transmisi sebuah impuls saraf, proses ini akan membuka
saluran Ca2+ yang sensitive terhadap voltase listrik sehingga
memungkinkan aliran masuk Ca2+ dari ruang sinaps ke terminal saraf. Ion
Ca2+ ini memerankan peranan yang esensial dalam eksositosis yang
melepaskan asitilkolin (isi kurang lebih 125 vesikel) ke dalam rongga
sinaps.
4. Asetilkolin yang dilepaskan akan berdifusi dengan cepat melintasi celah
sinaps ke dalam reseptor di dalam lipatan taut (junctional fold), merupakan
bagian yang menonjol dari motor end plate yang mengandung reseptor
asetilkolin (AChR) dengan kerapatan yang tinggi dan sangat rapat dengan
terminal saraf. Jika 2 molekul asetilkolin terikat pada sebuah reseptor, maka
reseptor ini akan mengalami perubahan bentuk dengan membuka saluran
dalam reseptor yang memungkinkan aliran kation melintasi membran.
Masuknya ion Na+ akan menimbulkan depolarisasi membran otot sehingga
terbentuk potensial end plate. Keadaan ini selanjutnya akan menimbulkan
depolarisasi membran otot di dekatnya dan terjadi potensial aksi yang
ditransmisikan disepanjang serabut saraf sehingga timbul kontraksi otot.
5. Jika saluran tersebut menutup, asetilkolin akan terurai dan dihidrolisis oleh
enzim asetilkolinesterase yang mengkatalisis reaksi berikut:
Asetilkolin + H2O → Asetat + Kolin
Enzim yang penting ini terdapat dengan jumlah yang besar dalam lamina
basalis rongga sinaps
6. Kolin didaur ulang ke dalam terminal saraf melalui mekanisme transport
aktif di mana protein tersebut dapat digunakan kembali bagi sintesis
asetilkolin.
Setiap reseptor asetilkolin merupakan kompleks protein besar dengan saluran
yang akan segera terbuka setelah melekatnya asetilkolin. Kompleks ini terdiri
dari 5 protein subunit, yaitu 2 protein alfa, dan masing-masing satu protein
beta, delta, dan gamma. Melekatnya asetilkolin memungkinkan natrium dapat
bergerak secara mudah melewati saluran tersebut, sehingga akan terjadi
depolarisasi parsial dari membran post sinaptik. Peristiwa ini akan
menyebabkan suatu perubahan potensial setempat pada membran serat otot
yang disebut excitatory postsynaptic potential (potensial lempeng akhir).
Apabila pembukaan gerbang natrium telah mencukupi, maka akan terjadi
suatu potensial aksi pada membran otot yang selanjutnya menyebabkan
kontraksi otot.
B. Fisiologi Otot Lurik
Adapun mekanisme kontraksi otot adalah: (Sherwood, 2001)
- Asetilkolin yang dikeluarkan dari ujung terminal neuron motorik mengawali
potensial aksi di sel otot yang merambat ke seluruh permukaan membran.
Dan aktivitas listrik ini dibawa ke bagian tengah otot oleh tubulus T
- Penyebaran potensial aksi di tubulus T mencetuskan pelepasan simpanan
Ca2+ dari kantung-kantung lateral retikulum sarkoplasmik didekat tubulus.
- Ca2+ yang dilepaskan akan berikatan dengan troponin, sehingga kompleks
troponin-tropomiosin secara fisik tergeser ke samping, membuka tempat
pengikatan jembatan silang aktin.
- Bagian aktin yang telah terpajan tersebut berikatan dengan jembatan silang
miosin, yang sebelumnya telah mendapat energi dari penguraian ATP
menjadi ADP + Pi +energi oleh ATPase miosin
- Pengikatan aktin dan miosin menyebabkan jembatan silang menekuk,
menghasilkan suatu gerakan mengayun kuat yang menarik filamen tipis ke
arah dalam. Pergeseran ke arah dalam dari semua filamen tipis akan
memperpendek sarkomer. Dan selama gerakan mengayun kuat tersebut, ADP
dan Pi dibebaskan dari jembatan silang
- Perlekatan ATP baru memungkinkan terlepasnya jembatan silang dan Ca2+
akan terdorong masuk kembali ke retikulum sarkoplasmik. Namun,
penguraian ATP dan pengikatan Ca2+ berulang akan mengulangi ikatan
jembatan silang ini.
C. Myasthenia Gravis
DEFINISI
Miastenia gravis merupakan sindroma klinis akibat kegagalan transmisi
neuromuskuler yang disebabkan oleh hambatan dan destruksi reseptor
asetilkolin oleh autoantibodi. Sehingga dalam hal ini, miastenia gravis
merupakan penyakit autoimun yang spesifik organ. Antibodi reseptor
asetilkolin terdapat didalam serum pada hampir semua pasien. Antibodi ini
merupakan antibodi IgG dan dapat melewati plasenta pada kehamilan.
Istilah miastenia gravis berarti kelemahan otot yang parah. Miastenia gravis
merupakan satu-satunya penyakit neuromuskular yang merupakan gabungan
antara cepatnya terjadi kelemahan otot-otot voluntar dan lambatnya pemulihan
(dapat memakan waktu 10 hingga 20 kali lebih lama dari normal). Miastenia
gravis ialah gangguan autoimun yang menyebabkan otot skelet menjadi lemah
dan lekas lelah.
Miastenia gravis adalah suatu penyakit yang bermanifestasi sebagai kelemahan
dan kelelahan otot-otot rangka akibat defisiensi reseptor asetilkolin pada
sambungan neuromuskular.
ETIOLOGI
Miastenia Gravis menyebabkan kegagalan dalam transmisi impuls saraf pada
sambungan neuromuskuler. Secara teoritis, kerusakan seperti ini dapat
diakibatkan dari reaksi autoimun atau tidak dapat berfungsinya aktivitas
neurotransmiter.
Miastenia Gravis menyerang semua usia, namun penyakit ini paling banyak
ditemukan pada usia antara 20 sampai 40 tahun. Miastenia Gravis menyerang
wanita 3 kali lebih banyak dari pria, tetapi setelah usia 40 tahun, penyakit ini
tampaknya menyerang baik pria maupun wanita secara seimbang.
Sekitar 20% bayi yang dilahirkan oleh ibu penderita Miastenia Gravis akan
memiliki miastenia tidak menetap/transient (kadang permanen). Penyakit ini
akan muncul bersamaan dengan gangguan sistem kekebalan dan gangguan
tiroid, sekitar 15% penderita miastenia gravis mengalami thymoma (tumor
yang dibentuk oleh jaringan kelenjar timus). Remisi terjadi pada 25% penderita
penyakit ini.
PATOFISIOLOGI
Dasar ketidaknormalan pada miastenia gravis adalah adanya kerusakan pada
tranmisi impuls saraf menuju sel otot karena kehilangan kemampuan atau
hilangnya reseptor normal membran postsinaps pada sambungan
neuromuscular. Penelitian memperlihatkan adanya penurunan 70% - 90%
reseptor asetilkolin pada sambungan neuromuscular setiap individu. Miastenia
gravis dipertimbangkan sebagai penyakit autoimun yang bersikap langsung
melawan reseptor asetilkolin (AChR) yang merusak tranmisi neuromuscular.
Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada
patofisiologi miastenia gravis. Observasi klinik yang mendukung hal ini
mencakup timbulnya kelainan autoimun yang terkait dengan pasien yang
menderita miastenia gravis, misalnya autoimun tiroiditis, sistemik lupus
eritematosus, arthritis rheumatoid, dan lain-lain.
Sejak tahun 1960, telah didemonstrasikan bagaimana autoantibodi pada serum
penderita miastenia gravis secara langsung melawan konstituen pada otot. Hal
inilah yang memegang peranan penting pada melemahnya otot penderita
dengan miatenia gravis. Tidak diragukan lagi, bahwa antibody pada reseptor
nikotinik asetilkolin merupakan penyebab utama kelemahan otot pasien dengan
miastenia gravis. Autoantibodi terhadap asetilkolin reseptor (anti-AChRs),
telah dideteksi pada serum 90% pasien yang menderita acquired myasthenia
gravis generalisata.
Mekanisme pasti tentang hilangnya toleransi imunologik terhadap reseptor
asetilkolin pada penderita miastenia gravis belum sepenuhnya dapat
dimengerti. Miastenia gravis dapat dikatakan sebagai “penyakit terkait sel B”,
dimana antibodi yang merupakan produk dari sel B justru melawan reseptor
asetilkolin. Peranan sel T pada patogenesis miastenia gravis mulai semakin
menonjol. Timus merupakan organ sentral terhadap imunitas yang terkait
dengan sel T. Abnormalitas pada timus seperti hiperplasia timus atau thymoma,
biasanya muncul lebih awal pada pasien dengan gejala miastenik.
Pada pasien miastenia gravis, antibodi IgG dikomposisikan dalam berbagai
subklas yang berbeda, dimana satu antibodi secara langsung melawan area
imunogenik utama pada subunit alfa. Subunit alfa juga merupakan binding site
dari asetilkolin. Ikatan antibodi reseptor asetilkolin pada reseptor asetilkolin
akan mengakibatkan terhalangnya transmisi neuromuskular melalui beberapa
cara, antara lain : ikatan silang reseptor asetilkolin terhadap antibodi anti-
reseptor asetilkolin dan mengurangi jumlah reseptor asetilkolin pada
neuromuscular junction dengan cara menghancurkan sambungan ikatan pada
membran post sinaptik, sehingga mengurangi area permukaan yang dapat
digunakan untuk insersi reseptor-reseptor asetilkolin yang baru disintesis.
MANIFESTASI KLINIS
Miastenia gravis diduga merupakan gangguan otoimun yang merusak fungsi
reseptor asetilkolin dan mengurangi efisiensi hubungan neuromuskular.
Keadaan ini sering bermanifestasi sebagai penyakit yang berkembang progresif
lambat. Tetapi penyakit ini dapat tetap terlokalisir pada sekelompok otot
tertentu saja.
Gambaran klinis miastenia gravis sangat jelas yaitu dari kelemahan local yang
ringan sampai pada kelemahan tubuh menyeluruh yang fatal. Kira-kira 33%
hanya terdapat gejala kelainan okular disertai kelemahan otot-otot lainnya.
Kelemahan ekstremitas tanpa disertai gejala kelainan okular jarang ditemukan
dan terdapat kira-kira 20% penderita didapati kesulitan mengunyah dan
menelan.
Pada 90% penderita, gejala awal berupa gangguan otot-otot okular yang
menimbulkan ptosis dan diplopia. Mula timbul dengan ptosis unilateral atau
bilateral. Setelah beberapa minggu sampai bulan, ptosis dapat dilengkapi
dengan diplopia (paralysis ocular). Kelumpuhan-kelumpuhan bulbar itu timbul
setiap hari menjelang sore atau malam. Pada pagi hari orang sakit tidak
diganggu oleh kelumpuhan apapun. Tetapi lama kelamaan kelumpuhan bulbar
dapat bangkit juga pada pagi hari sehingga boleh dikatakan sepanjang hari
orang sakit tidak terbebas dari kesulitan penglihatan. Pada pemeriksaan dapat
ditemukan ptosis unilateral atau bilateral, salah satu otot okular paretik, paresis
N III interna (reaksi pupil).Diagnosis dapat ditegakkan dengan memperhatikan
otot-otot levator palpebra kelopak mata. Walaupun otot levator palpebra jelas
lumpuh pada miastenia gravis, namun adakalanya masih bisa bergerak normal.
Tetapi pada tahap lanjut kelumpuhan otot okular kedua belah sisi akan
melengkapi ptosis miastenia gravis. Bila penyakit hanya terbatas pada otot-otot
mata saja, maka perjalanan penyakitnya sangat ringan dan tidak akan
menyebabkan kematian.
Miastenia gravis juga menyerang otot-otot wajah, laring, dan faring. Pada
pemeriksaan dapat ditemukan paresis N VII bilateral atau unilateral yang
bersifat LMN, kelemahan otot pengunyah, paresis palatum mol/arkus
faringeus/uvula/otot-otot farings dan lidah. Keadaan ini dapat menyebabkan
regurgitasi melalui hidung jika pasien mencoba menelan, menimbulkan suara
yang abnormal, atau suara nasal, dan pasien tidak mampu menutup mulut yang
dinamakan sebagai tanda rahang yang menggantung
. Kelemahan otot non-bulbar umumnya dijumpai pada tahap yang
lanjut sekali. Yang pertama terkena adalah otot-otot leher, sehingga kepala
harus ditegakkan dengan tangan. Kemudian otot-otot anggota gerak berikut
otot-otot interkostal. Atrofi otot ringan dapat ditemukan pada permulaan, tetapi
selanjutnya tidak lebih memburuk lagi. Terserangnya otot-otot pernapasan
terlihat dari adanya batuk yang lemah, dan akhirnya dapat berupa serangan
dispnea dan pasien tidak mampu lagi membersihkan lendir.
Klasifikasi myasthenia gravis yaitu :
1. Myasthenia okuler (I)
2. Myasthenia umum (II)
a. Myasthenia umum derajat ringan (II A): progesivitasnya lambat, tidak
terjadi krisis, dan respon terhadap obat baik.
b. Myasthenia umum derajat sedang (II B) : terjadi kelemahan pada otot
skeletal dan bulber, tidak terjadi krisis, tetapi respon terhadap obat kurang
memuaskan.
3. Myasthenia fulminasi akut (III) : gejala memberat dengan sangat cepat,
terjadi krisis pernafasan, respon terhadap obat sangat buruk, sering
ditemukan adanya timoma, mortalitas tinggi.
4. Myasthenia berat yang sedang berkembang lamban (IV) : klinis seperti
golongan III, tetapi memerlukan waktu lebih dari dua tahun untuk beralih
dari golongan I atau II.
DIAGNOSIS
Diagnosis klinis miastenia gravis dapat dipastikan dengan uji terapeutik, EMG,
dan uji serologik.
a. Endrofonium (Tensilon) test, yaitu tes dengan pemberian obat
antikolinesterase kerja singkat yang menghasilkan perbaiakn segera pada
kelemahan otot bila diberikan secara intravena.
b. Uji Kinin, merupakan uji dimana diberikan 3 tablet kinina masing-masing
200 mg. 3 jam kemudian diberikan 3 tablet lagi (masing-masing 200 mg per
tablet). Pada miastenia gravis, gejala seperti ptosis, strabismus, dan lain-lain
akan bertambah berat. Untuk uji ini, sebaiknya disiapkan juga injeksi
prostigmin, agar gejala-gejala miastenik tidak bertambah berat.
c. EMG (Elektromiografi), alat tes uji dengan mempelajari aktivitas listrik yang
timbul pada otot sewaktu istirahat dan sewaktu kontraksi. Pada penderita
miastenia gravis terlihat penurunan progresif amplitudo potensial aksi otot
ketika pasien melakukan kontraksi volunter berulang.
d. Pemeriksaan serum untuk antibodi reseptor asetilkolin, merupakan uji yang
sangat baik karena bersifat spesifik terdapat pada 80% pasien miastenia
gravis. Uji yang positif bersifat diagnostik untuk penyakit miastenia gravis.
Dan titer antibodi yang tinggi tidak berhubungan dengan beratnya penyakit.
(Chandrasoma dan Taylor, 2005)
TERAPI
Walaupun belum ada penelitian tentang strategi pengobatan yang pasti, tetapi
miastenia gravis merupakan kelainan neurologik yang paling dapat diobati.
Antikolinesterase (asetilkolinesterase inhibitor) dan terapi imunomudulasi
merupakan penatalaksanaan utama pada miastenia gravis. Antikolinesterase
biasanya digunakan pada miastenia gravis yang ringan. Sedangkan pada pasien
dengn miastenia gravis generalisata, perlu dilakukan terapi imunomudulasi
yang rutin.
Terapi imunosupresif dan imunomodulasi yang dikombainasikan dengan
pemberian antibiotik dan penunjang ventilasi, mampu menghambat terjadinya
mortalitas dan menurunkan morbiditas pada penderita miastenia gravis.
Pengobatan ini dapat digolongkan menjadi terapi yang dapat memulihkan
kekuatan otot secara cepat dan terapi yang memiliki omset lebih lambat tetapi
memiliki efek yang lebih lama sehingga dapat mencegah terjadinya
kekambuhan.
1. Antikolinesterase
Dapat diberikan piridostigmin 30-120 mg per oral tiap 3 jam atau neostigmin
bromida 15-45 mg per oral tiap 3 jam. Piridostigmin biasanya bereaksi secara
lambat. Terapi kombinasi tidak menunjukkan hasil yang menyolok. Apabila
diperlukan, neostigmin metilsulfat dapat diberikan secara subkutan atau
intramuskularis (15 mg per oral setara dengan 1 mg subkutan/intramuskularis),
didahului dengan pemberian atropin 0,5-1,0 mg. Neostigmin dapat
menginaktifkan atau menghancurkan kolinesterase sehingga asetilkolin tidak
segera dihancurkan. Akibatnya aktifitas otot dapat dipulihkan mendekati
normal, sedikitnya 80-90% dari kekuatan dan daya tahan semula. Pemberian
antikolinesterase akan sangat bermanfaat pada miastenia gravis golongan IIA
dan IIB. Efek samping pemberian antikolinesterase disebabkan oleh stimulasi
parasimpatis,termasuk konstriksi pupil, kolik, diare, salivasi berkebihan,
berkeringat, lakrimasi, dan sekresi bronkial berlebihan. Efek samping gastro
intestinal (efek samping muskarinik) berupa kram atau diare dapat diatasi
dengan pemberian propantelin bromida atau atropin. Penting sekali bagi
pasien-pasien untuk menyadari bahwa gejala-gejala ini merupakan tanda terlalu
banyak obat yang diminum, sehingga dosis berikutnya harus dikurangi untuk
menghindari krisis kolinergik. Karena neostigmin cenderung paling mudah
menimbulkan efek muskarinik, maka obat ini dapat diberikan lebih dulu agar
pasien mengerti bagaimana sesungguhnya efek smping tersebut.
2. Steroid
Di antara preparat steroid, prednisolon paling sesuai untuk miastenia gravis,
dan diberikan sekali sehari secara selang-seling (alternate days) untuk
menghindari efek samping. Dosis awalnya harus kecil (10 mg) dan dinaikkan
secara bertahap (5-10 mg/minggu) untuk menghindari eksaserbasi sebagaimana
halnya apabila obat dimulai dengan dosis tinggi. Peningkatan dosis sampai
gejala-gejala terkontrol atau dosis mencapai 120 mg secara selang-seling. Pada
kasus yang berat, prednisolon dapat diberikan dengan dosis awal yang tinggi,
setiap hari, dengan memperhatikan efek samping yang mungkin ada. Hal ini
untuk dapat segera memperoleh perbaikan klinis. Disarankan agar diberi
tambahan preparat kalium. Apabila sudah ada perbaikan klinis maka dosis
diturunkan secara perlahan-lahan (5 mg/bulan) dengan tujuan memperoleh
dosis minimal yang efektif. Perubahan pemberian prednisolon secara
mendadak harus dihindari.
3. Azatioprin
Azatioprin merupakan suatu obat imunosupresif, juga memberikan hasil yang
baik, efek sampingnya sedikit jika dibandingkan dengan steroid dan terutama
berupa gangguan saluran cerna,peningkatan enzim hati, dan leukopenia. Obat
ini diberikan dengan dosis 2,5 mg/kg BB selama 8 minggu pertama. Setiap
minggu harus dilakukan pemeriksaan darah lengkap dan fungsi hati. Sesudah
itu pemeriksaan laboratorium dikerjakan setiap bulan sekali. Pemberian
prednisolon bersama-sama dengan azatioprin sangat dianjurkan.
4. Timektomi
Pada penderita tertentu perlu dilakukan timektomi. Perawatan pasca operasi
dan kontrol jalan napas harus benar-benar diperhatikan. Melemahnya penderita
beberapa hari pasca operasi dan tidak bermanfaatnya pemberian
antikolinesterase sering kali merupakan tanda adanya infeksi paru-paru. Hal ini
harus segera diatasi dengan fisioterapi dan antibiotik.
5. Plasmaferesis
Tiap hari dilakukan penggantian plasma sebanyak 3-8 kali dengan dosis 50
ml/kg BB. Cara ini akan memberikan perbaikan yang jelas dalam waktu
singkat. Plasmaferesis bila dikombinasikan dengan pemberian obat
imusupresan akan sangat bermanfaat bagi kasus yang berat. Namun demikian
belum ada bukti yang jelas bahwa terapi demikian ini dapat memberi hasil yang
baik sehingga penderita mampu hidup atau tinggal di rumah. Plasmaferesis
mungkin efektif padakrisi miastenik karena kemampuannya untuk membuang
antibodi pada reseptor asetilkolin, tetapi tidak bermanfaat pada penanganan
kasus kronik.
KOMPLIKASI
1) Gagal nafas
2) Disfagia
3) Krisis miastenik
4) Krisis cholinergic
5) Komplikasi sekunder dari terapi obat
PROGNOSIS
- Tanpa pengobatan angka kematian MG 25-31%
- MG yang mendapat pengobatan, angka kematian 4%
- 40% hanya gejala okuler
BAB III
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
Burns, Dennis K. Vinay Kumar. 2007. Sistem Muskuloskeletal, Dalam :
Stanley L.Robbins, Vinay Kumar, Ramzi S. Cotran. Buku Ajar Patologi
Robbins. Edisi 7. Volume 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedoketeran EGC
Chandrasoma, Parakrama, Clive R.Taylor. 2005. Ringkasan Patologi Anatomi.
Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
Howard, J.F. 2008. Myasthenia Gravis, a Summary.
http://www.ninds.nih.gov/disorders/myasthenia gravis/detail_myasthenia
gravis.htm diakses tanggal 2 Mei 2013
Mardjono, M., 2003, Neurologi Klinis Dasar 9th ed., hal 55,149,348, Dian
Rakyat, Jakarta
Medicastore. 2011 Miastenia Gravis (Myasthenia Gravis)
http://medicastore.com/penyakit/328/Miastenia_Gravis_Myasthenia_Gravi
s.html diakses tanggal 1 Mei 2013
Murray, Robert K. 2003. Biokimia Harper. Edisi 25. Jakarta: EGC,
NINDS Myasthenia Gravis Fact Sheet, 2003.
http://www.ninds.nih.gov/health_and_medical/pubs/myastheniagravis.htm
diakses tanggal 2 Mei 2013
Sherwood, Lauralee. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 2.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC