BAB V
PEMBAHASAN
5.1. Input Pada Pelaksanaan Program Stop BABS di Wilayah Kerja Puskesmas Sooko
Input merupakan komponen atau unsur program yang diperlukan, termasuk metode,
peralatan, anggaran, sumber daya manusia, dan sistem kebijakan nasional terkait.
5.1.1. Sumber daya manusia
Sumber daya manusia dalam pelaksanaan program sudah sesuai dengan pedoman
yaitu pemegang program dengan latar belakang pendidikan sanitasi, namun hanya
terdiri dari 2 orang. Seharusnya, tim fasilitator terdiri dari 5 orang yang telah
mengikuti pelatihan dan terdapat ahli sanitasi yaitu pemegang program itu sendiri.
Dan sebaiknya juga mengikutsertakan pemegang program promosi kesehatan dan juga
gizi. Dalam hal ini, tim sanitasi puskesmas Sooko bekerjasama dengan bidan-bidan
desa setempat.
5.1.2. Anggaran
Anggaran untuk pelasanaan program CLTS di wilayah kerja Puskesmas Sooo belum
tersedia anggaran khusus tiap tahunnya. Sumber pembiayaan utama untuk
pelaksanaan tingkat kecamatan dan masyarakat seharusnya berasal dari APBD dan
masyarakat sendiri. Sedangkan sumber pembiayaan altenatif bisa diperoleh dari donor
dan Lembaga Swadaya Masyarakat(LSM). Anggaran yang berasal dari masyarakat
juga tidak ada karena kondisi ekonomi dari masyarakat rata-rata memiliki kondisi
ekonomi yang rendah. Program CLTS memang program non subsidi namun dalam
pelaksanaannya tetap membutuhkan dana. Tidak adanya anggaran dikarenakan
program ini kemungkinan besar belum menjadi prioritas utama di bidang kesehatan.
5.1.3. Sistem Kebijakan Operasional
Sistem kebijakan operasional merupakan aturan tertulis yang digunakan sebagai
acuan dalam pelaksanaan program stop BABS. Adapun dokumen-dokumen yang
digunakan sebagai acuan antara lain:
Dokumen Millenium Development Goals (MDGs) 2015
Dokumen Strategi Nasional Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (Permenkes
RI Nmor 852/MENKES/SK/IX/2008)
Dokumen kebijakan Nasional AMPL-BM
Dokumen Pedoman Pemantauan dan Evaluasi
Dokumen Pedoman Pengelolaan pengetahuan
Dokumen Pedoman Teknis Program STBM
Petugas sanitarian minimal harus mempunyai tiga dokumen dari beberapa dokumen di
atas, yaitu Dokumen Pedoman Pengelolaan Pengetahuan, Dokumen Pedoman
Pemantauan dan Evaluasi, dan Dokumen Kebijakan Nasional AMPL-BM serta dapat
pula Dokumen Strategi Nasional Sanitasi Total Berbasis Masyarakat. Karena
dokumen tersebut merupakan standar minimal yang harus dilakukan dalam
pelaksanaan program mulai dari standar perencanaan, teknis pemicuan, hingga
standar minimum mempertahankan desa yang sudah CLTS/ STBM. Di Puskesmas
Sooko sendiri dokumen sudah mengacu dari ketiga dokumen di atas.
5.1.4. Metode
Metode yang digunakan adalah pemicuan. Pemicuan lebih dikenal dengan metode
Participatory Rural Appraisal (PRA). PRA merupakan metode yang membutuhkan
partisipasi keluarga secara aktif dengan pengetahuan yang mereka miliki dan
diharapkan dapat menganalisa dan membuat perencanaan tentang bagaimana
menangani kondisi mereka. Masyarakat harus lebih aktif dan fasilitator hanya sebagai
perantara. Namun, partisipasi masyarakat dalam membuat perencanaan masih kurang
karena mereka berpikir bahwa pembangunan jamban akan dilaksanakan sepenuhnya
oleh pemerintah. Selain itu juga adanya kendala dari segi ekonomi dan rasa butuh
akan jamban yang masih kurang karena mereka menganggap jamban bukanlah
kebutuhan utama.
5.1.5. Waktu
Dinas kesehatan Kabupaten Mojokerto sendiri menyatakan bahwa ditargetkan
terdapat 2 desa yang tercapai tiap tahunnya. Namun pelaksanaan di wilayah kerja
Puskesmas Sooko belum ada desa yang mencapai kondisi ODF.
5.2. Proses Pelaksanaan Program CLTS di Dusun Karang Kedawang bulan Mei-20
Juni 2015
5.2.1. Perencanaan
Berdasarkan hasil penelitian, program ini dapat berjalan dengan maksimal apabila
tedapat peran yang nyata dari pemerintah desa, dalam hal ini mendampingi
masyarakat maupun motivasi. Di desa ini nampaknya para pemangku kepentingan
belum begitu berkomitmen dalam pelaksanaan program ini. Hal ini dapat disebabkan
karena BABS belum menjadi prioritas masalah.
Kerjasama lintas sektor diperlukan karena program-program mereka langsung
bersentuhan dengan masyarakat yang notabene memiliki beragam masalah, sehingga
dalam penangannya pun harus multidimensi dari berbagai institusi yang terkait.
5.2.2. Pemicuan
Pelaksanaan pemicuan di beberapa desa telah dilakukan oleh petugas Puskesmas
Sooko sesuai pedoman yang ada. Pemicuan dimulai dari pengantar pertemuan,
pencairan suasana, identifikasi istilah-istilah yang terkait sanitasi, pemetaan sanitasi,
transect walk, perhitungan alur kontaminasi, diskusi dampak, dan menyusun rencana
program sanitasi di akhir pemicuan.
5.2.3. Paska Pemicuan
Di beberapa desa yang telah diberi pemicuan oleh petugas setelah pelaksanaan
dilakukan monitoring oleh kader-kader setempat, namun tetap dipantau oleh petugas
dari Puskesmas Sooko. Pemantuan dilakukan 1 minggu paska pemicuan. Dalam hal
ini peran serta masyarakat juga masih kurang. Karena kebanyakan memiliki
kesibukannya tersendiri dan tidak menganggap bahwa program ini merupakan
program yang bermanfaat bagi dirinya maupun lingkungan sekitar. Mereka memiliki
pola pikir bahwa program ini bukan bagian dari tanggung jawab mereka melainkan
tanggung jawab pemegang program.
5.3. Hasil Cakupan Pada Pelaksanaan Program CLTS di Dusun Karang Kedawang
Mei- 20 Juni 2015
Berdasarkan Dinas Kesehatan Mojokerto target keberhasilan dalam program CLTS
terdiri dari pemakaian air bersih 85%, kepemilikan air bersih 67%, kepemilikan rumah sehat
85%, kepemilikan jamban 72%, Open defecation free (ODF) 24%, kepemilikan pembuangan
limbah 85%, dan kepemilikan tempat sampah 85%.
Tabel 5.1.Data dasar kepemilikan jamban, tempat sampah, dan tempat pembuangan
limbah Januari-Desember 2014
Desa Jumlah Keluarga Keluarga memiliki
jamban
Keluarga
memiliki
tempat
sampah
Keluarga
memiliki
tempat
pembuangan
limbah
Sooko 2964 2548 1556 2705
Japan 2381 2060 851 2084
Jampirogo 877 652 375 592
Brangkal 1106 882 720 846
Kedung Maling 1720 1442 875 1442
Sambiroto 990 763 768 785
Wringinrejo 778 618 332 612
Gemekan 1138 829 238 365
Ngingas
Rembyong
1099 623 473 624
Tempuran 716 605 414 572
Karang
Kedawang
949 438 338 810
Modongan 1549 957 485 1127
Mojoranu 812 368 171 637
Klinterejo 705 591 201 629
Blimbingsari 1057 732 583 801
TOTAL 18.841 14.058 8.356 14.631
Total persen 74,61 44,35 77,66
Dari tabel Data dasar kepemilikan jamban, tempat sampah, dan tempat pembuangan
limbah Januari-Desember 2014 didapatkan rerata target kepemilikan jamban dari 15 desa
tersebut adalah 74,61% (45.32% - 86.52%). Hasil ini sudah melebihi target yang ditetapkan
oleh Dinas Kesehatan Mojokerto yaitu sebesar 72% . Namun terdapat perbedaan rentang
yang jauh antara nilai pencapaian tertinggi dan terendah. Rerata kepemilikan tempat sampah
sebesar 44,35% (20.91% - 77,58%) belum mencapai target yang ditetapkan yaitu sebesar
85%. Rerata kepemilikan pembuangan limbah di 15 desa juga belum mencapai target. Rerata
sebesar 77,66% (32.07% - 91.26%) sedangkan target pencapaian sebesar 85%.
Presentase kepemilikan tempat sampah ditargetkan mencapai 85%. Dari tabel Data dasar
kepemilikan jamban, tempat sampah, dan tempat pembuangan limbah Januari-Desember
2014 didapatkan bahwa 15 desa tersebut belum mencapai target kepemilikan tempat sampah.
Desa Sambiroto (77,58%) memiliki presentase tertinggi namun tetap belum mencapai target.
Target kepemilikan pembuangan limbah sebesar 85% berhasil dicapai oleh Desa Sooko
(91.26%), Japan (87.53%), Karang Kedawang (85.35%), dan Klinterejo (89.22%).
Pencapaian terendah berada di Desa Gemekan sebesar 32.07%.
Dari tabel Data dasar kepemilikan jamban, tempat sampah, dan tempat pembuangan
limbah Januari-Desember 2014 didapatkan hasil presentase kepemilikan jamban, tempat
sampah, dan pembuangan limbah dari 15 desa di Kecamatan Sooko. Desa dengan presetase
kepemilikan jamban tertinggi adalah Desa Japan (86,52%). Terdapat lima desa yang belum
mencapai target kepemilikan jamban, yaitu Desa Ngingas Rembyong (56,69%), Desa Karang
Kedawang (46,15%), Desa Modongan (61.78%), Desa Mojoranu (45,32%), dan Desa
Blimbingsari (69.25%).
Desa Karang Kedawang merupakan salah satu dari lima desa yang tidak mencapai target
kepemilikan Jamban. Pada mini proyek ini dilakukan pemicuan di salah satu dusun, yaitu
Dusun Karang Kedawang. Pada tabel Data Pemicuan di Dusun Karang Kedawang Periode
Mei-20 Juni 2015 terdapat 292 KK yang yang belum memiliki jamban, setelah pemicuan
terdapat 19 pembuatan jamban baru. Namun peningkatan tersebut hanya sebesar 0,04%.
Desa Keluarga Punya Jamban Persen
kepemilikan
Karang kedawang 949 438 46,15
Dusun Karang
Kedawang
468 176 37,60
Tabel 5.2.Resume kepemilikan jamban di Desa Karang Kedawang
Tabel 5.3.Data Pemicuan di Dusun Karang Kedawang Periode Mei- 20 Juni 2015
Jumlah
keluarga
Sudah punya
jamban
Belum punya
jamban
Yang dipicu Yang
membangun
jamban
468 176 292 292 19
Jumlah keluarga Sudah punya
jamban
% Jamban baru Peningkatan
%
468 176 37,60 19 0,04
5.4. Penyebab Tidak Berhasilnya Program CLTS di Dusun Karang Kedawang Mei-20
Juni 2015
Berdasarkan identifikasi penyebab masalah, diperoleh faktor penyebab belum
berhasilnya program yaitu antara lain meliputi faktor lingkungan, sumber daya manusia,
metode, dan anggaran.
1. Lingkungan
Faktor manusia meliputi komite/kader yang belum cukup aktif dan kurangnya
stakeholder dikarenakan kesadaran akan lingkungan yang kurang. Tidak adanya
kesadaran lingkungan menyebabkan perilaku buang air besar sembarangan. Perilaku
ini dapat dipengaruhi antara lain karena tingkat sosial ekonomi yang rendah,
pengetahuan di bidang kesehatan lingkungan yang kurang, dan kebiasaan buruk dalam
pembuangan tinja yang diturunkan dari generasi ke generasi. Sedangkan dari segi
lingkungan fisik terkait dengan suplai air bersih. Rumah tangga yang terletak dari
fasilitas sumber air biasanya enggan membangun jamban. Mereka biasanya lebih
senang menggunakan sungai terdekat.
2. Metode
Kerjasama lintas sektor dan monitoring evaluasi belum berhasil karena individu
program, masyarakat, dan pokja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (AMPL)
belum berjalan maksimal. Dinas kesehatan melakukan upaya merubah perilaku
masyarakat dan dengan bantuan pokja AMPL bekerja sama dalam membangun
jamban untuk membantu masyarakat yang kurang mampu. Monitoring dilakukan oleh
dinas kesehatan, petugas sanitarian Puskesmas, dan masyarakat itu sendiri. Dinas
kesehatan dan petugas sanitarian telah melakukan monitoring dan evaluasi.
Sedangkan masyarakat tidak melaksanakan monitoring dengan cukup baik. Peran
petugas sanitarian dari puskesmas dan Dinkes adalah mengontrol jalannya paska
pemicuan. Namun hal ini juga harus didukung dengan peran aktif dari masyarakat
dalam melakukan monitoring.
3. Anggaran
Kondisi masyrakat yang kurang secara ekonomi dan tidak adanya stakeholder yang
menunjukan ketertarikan dan kepedulian akan program ini menyebabkan sulit
terwujudnya pembangunan jamban. Kurangnya ketertarikan ini kemungkinan besar
disebabkan karena program ini belum menjadi prioritas masalah di wilayah Karang
Kedawang serta dari segi ekonomi masyarakat yang tidak begitu baik.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. KESIMPULAN
1. Pelaksanaan program CLTS di Dusun Karang Kedawang belum berhasil.
2. Pada identifikasi faktor input ditemukan bahwa tidak adanya anggaran khusus,
sehingga petugas tidak dapat menjalankan monitoring dengan baik.
3. Pada proses pelaksanaan ditemukan bahwa advokasi kepada kepala desa, dusun
maupun tokoh masyarakat belum berhasil. Selain itu, juga tidak ada kerjasama lintas
sektor.
4. Hasil pelaksanaan program di Karang Kedawang sebesar 37,6 % dimana tidak
mencapai target (72%). Peningkatan sebelum dan sesudah pemicuan hanya 0.04%
dan belum ada desa yang mencapai kondisi ODF.
5. Faktor penyebab belum berhasilnya program antara lain anggaran, lingkungan, dan
metode.
6.2. SARAN
6.2.1.Bagi Puskesmas
1. Pelaksanaan program hendaknya difokuskan pada satu desa hingga mencapai kondisi
ODF. Setelah tercapai kondisi ODF, desa tersebut dapat dijadikan sebagai Desa
Percontohan Kesehatan Lingkungan (DPKL) sehingga dapat menjadi motivasi bagi
desa lain untuk mencapai kondisi ODF.
2. Hendaknya ada peningkatan koordinasi dengan kepala desa atau tokoh masyarakat
dalam penggalangan anggaran baik dari Anggaran Dana Desa (ADD), swadaya,
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), maupun bantuan dari swasta.
3. Mendirikan forum peduli kesehatan. Pada forum tersebut merupakan wadah untuk
menampung saran dari berbagai pihak mengenai program CLTS, membantu
menggalang dana dan lain sebagainya.
6.2.2.Bagi Dinas Kesehatan
1. Sebaiknya dinas kesehatan Kabupaten Mojokerto lebih mengupayakan agar anggaran
untuk program CLTS lebih diutamakan mengingat permasalahan yang ditimbulkan
akibat BABS berbahaya bagi kesehatan masyarakat.
2. Upaya advokasi pada lintas sektor lebih ditingkatkan lagi melalui seminar bersama
sektor yang terkait. Dalam seminar disampaikan hasil dan hambatan dari pelaksanaan
program STBM di Kabupaten Mojokerto serta menyampaikan bahwa program saling
berkaitan dengan sektor lain yaitu dalam pemasaran sanitasi atau pembangunan sarana
jamban.