MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL
ODDANG DAN MANUSIA LANGIT KARYA J. A. SONJAYA
(KAJIAN TEORI LEVI-STRAUSS)
MYTHOPOEIC FORMS IN THE NOVEL PUYA KE PUYA BY
FAISAL ODDANG AND MANUSIA LANGIT BY J.A SONJAYA
(STUDY OF LEVI-STRAUSS THEORY)
Tesis
Oleh
ZULKIFLI Nim 105 04 13 003 18
PROGRAM PASCASARJANA
MAGISTER PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2021
i
MITOPOIK DALAM NOVEL PUYA KE PUYA KARYA FAISAL
ODDANG DAN MANUSIA LANGIT KARYA J. A. SONJAYA
(KAJIAN TEORI LEVI-STRAUSS)
MYTHOPOEIC FORMS IN THE NOVEL PUYA KE PUYA BY
FAISAL ODDANG AND MANUSIA LANGIT BY J.A SONJAYA
(STUDY OF LEVI-STRAUSS THEORY
TESIS
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Magister
Program Studi
Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Disusun dan diajukan oleh
ZULKIFLI
Nomor Induk Mahasiswa: 105 04 13 003 18
Kepada
PROGRAM PASCASARJANA
MAGISTER PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2021
ii
iii
iv
v
ABSTRAK
ZILKIFLI. 2021. Mitopoik dalam Novel Puya ke Puya Karya Faisal Oddan dan Novel Manusia Langit Karya J.A Sonjaya (Kajian Teori Levi-Straus), dibimbing oleh A. Sukri Syamsuri dan Sitti Aida Azis.
Tujuan penelitian ini ialah untuk melakukan pembacaan terhadap bentuk mitopoik dalam teks novel. Lebih spesifik tujuan penelitian ini yaitu, untuk mengetahui bentuk mitopoik dalam novel Puya ke Puya karya Faisal Oddang novel Manusia Langit karya J. A. Sonjaya ditinjau dengan kajian teori Levi-Straus.
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Data penelitian ini adalah keterangan yang dijadikan objek kajian, yaitu setiap kata, kalimat atau ungkapan yang mendukung bentuk mitopoik dalam novel. Sumber data ini menggunakan novel Puya ke Puya karya Faisal Oddang dengan jumlah 215 halaman diterbitkan oleh PT. KPG (Keperpustakaan Populer Gramedia) tahun 2015, di Jakarta, dan novel Manusia Langit karya J. A. Sonjaya dengan jumlah 210 halaman diterbitkan oleh Kompas pada tahun 2010, di Jakarta. Teknik pengumpulan data penelitian yang digunakan dalam pengumpulan data dengan cara penelitian pustaka. Teknik analisis data dilakukan meliputi identifikasi data, klasifikasi data, mendeskripsi, menganalisis, dan membuat kesimpulan.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa bentuk mitopoik dalam novel Puya ke Puya karya Faisal Oddan dan novel Manusia Langit karya J.A Sonjaya terdiri atas pola-pola kebudayaan manusia yang meliputi; a) pola kepercayaan dan keyakinan, b) pola perilaku, c) pola status sosial, dan d) pola ritual adat.
Kata Kunci: Mitopoik, Novel, Puya ke Puya, Manusia Langit
vi
vii
MOTTO
“Kunci untuk mewujudkan impian bukanlah dengan fokus pada
kesuksesan tapi pada arti. Bahkan langkah kecil dan
kemenangan kecil sepanjang perjalananmu bisa memberikan
arti yang lebih hebat”.
viii
KATA PENGANTAR
Allah maha penyayang dan pengasih, demikianlah kata untuk
mewakili atas segala karunia dan nikmat-Nya. Tesis ini adalah setitik dari
sederetan berkah-Mu puji dan syukur atas nikmat-nikmat agung yang
tiada terkira yang telah diberikan kepada penulis sehingga dapat
menyelesaikan tesis ini sebagai salah satu persyaratan guna memperoleh
gelar Magister Pendidikan (M.Pd.) pada Program Studi Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia Program Pascasarjana Universitas
Muhammadiyah Makassar. Salawat dan salam yang melimpah semoga
selalu tercurah kepada Nabiullah Muhammad saw, keluarga, sahabat, dan
para pengikutnya yang istiqomah.
Setiap orang dalam berkarya selalu berusaha mempersembahkan
yang terbaik, tetapi terkadang yang terbaik itu terasa jauh dari kehidupan
seseorang. Demikian juga halnya dalam penyusunan tesis ini segala
usaha dan upaya telah dilakukan penulis untuk menyelesaikan tesis ini
dengan sebaik mungkin, namun penulis menyadari sepenuhnya bahwa
tesis ini masih sangat jauh dari sempurna dan hanya Allah dzat yang
memiliki kesempurnaan mutlak.
Secara istimewa, penulis menyampaikan sembah sujud sedalam-
dalamnya serta terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya
kepada orang tua tercinta, bapak saya Abakar dan ibu saya Hadijah yang
telah melahirkan, membesarkan, dan mendidik penulis dengan segala
curah kasih sayang dan iringan Do‟a yang terus mengalir dalam setiap
darah, keringat, dan air matanya sejak dalam kandungan hingga detik ini,
sungguh penulis tidak mampu membalasnya dengan apapun juga. Dan
ucpan terima kasih saya curahkan untuk adek-adek dan keluaga besar
saya, Nuridawati, S. Ak, Sam‟udin, Sufian dan Nursinta Rahmawati yang
ix
selalu hadir memberi dorongan dan motivasi untuk kesuksesan saya
dalam menempuh pendidikan.
Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dari berbagi pihak, tesis
ini tidak akan terselesaikan, oleh karena itu, penulis menyampaikan
penghargaan dan terima kasih kepada Rektor Universitas Muhammadiyah
Makassar, Prof. Dr. H. Ambo Asse, M.Ag. Direktur Program Pascasarjana
Universitas Muhammadiyah Makassar bapak Dr. H. Darwis Muhdina,
M.Ag, Ketua Program Studi Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia bapak Dr. Abd. Rahman Rahim,M.Hum. selaku Dosen
Pembimbing I bapak Dr. H. Andi Sukri Syamsuri, M. Hum. dan
Pembimbing II ibu Dr. Siti Aida Azis, M.Pd, yang telah meluangkan waktu,
pikiran, dan tenaganya untuk memberikan arahan, motivasi, serta
bimbingan dengan penuh kesabaran dan ketulusan kepada penulis dalam
penyelesaian tesis ini.
Penulis juga tak lupa khaturkan kata terima kasih kepada segenap
dosen Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar yang
telah memberikan ilmu pengetahuan selama menempuh perkuliahan
sampai pada penyusunan tesis ini, serta kepada staff dan karyawan pada
Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar yang telah
banyak membantu penulis dalam hal urusan administrasi. Saya ucapkan
terimah kepada pak Erwin Akib, M. Pd. Ph. D. beserta keluarga atas
dukungan dan bimbingan selama proses perkuliahan. Saya ucapkan
terima kasih kepada bapak Syekh Adi Wijaya Latief, S.Pd.,M.Pd. Tasrif
Akib, S.Pd, M.Pd, Ismail Sangkala, S,Pd, M.Pd., Wildhan Burhanuddin,
S,Pd., M. Hum., dan Muhammad Zia Ulhaq, S.Pd, M.Pd., M. Ik, atas
bimbingan dan Do‟anya saat selama proses berkuliah di Unismuh
Makassar.
Selanjutnya, terima kasih pula penulis ucapkan kepada teman-
teman saya Muhammad Dahlan, S.Pd., M.Pd., Muhammad Idham Asfar,
S.Pd., M.Pd, Syafarudidin, SPd., Suhardi Kana, S.Pd, Abdul Rahman,
S.Pd., M.Pd., selama saya kuliah di Makassar sering membantu saya,
x
rekan-rekan seperjuangan di bangku kuliah, terutama mahasiswa
Pascasarjana Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia kelas A
Angkatan 2018, atas segala dorongan, saran, dan bantuannya selama ini
kepada penulis serta seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam
penyelesaian tesis ini yang tidak sempat penulis sebutkan namanya.
Akhirnya, penulis berharap semoga amal baik semua pihak yang
turut memberikan andil dalam penyusunan tesis ini mendapat pahala dari
Allah Swt. Semoga kesalahan atau kekurangan dalam penyusunan tesis
ini, akan semakin memotivasi penulis dalam belajar. Amin yaa rabbal
alamin.
Makassar, Januari 2021
Penulis
Zulkifli
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL .......................................................................... i
HALAMAN PENEGESAHAN ..............................................................ii
HALAMAN PENERIMAAN PENGUJI................................................. iii
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS ..................................................... iv
ABSTRAK ......................................................................................... v
ABSTRACT ...................................................................................... vi
MOTTO ............................................................................................. vii
KATA PENGANTAR ......................................................................... viii
DAFTAR ISI ....................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .................................................................. 1
B. Fokus Peneletian ............................................................. 11
C. Tujuan Penelitian ............................................................. 12
D. Manfaat Penelitian ........................................................... 12
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Tinjauan Penelitian Sebelumnya ..................................... 14
B. Kajian Teori dan Konsep .................................................. 17
1. Esensi Karya Sastra .................................................. 17
2. Konsep Novel ............................................................ 21
3. Tinjauan Mitopoik ....................................................... 24
4. Teori Levi-Strauss ...................................................... 32
C. Kerangka Pikir ................................................................. 34
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian ................................................................ 37
B. Data dan Sumber Data .................................................... 38
C. Batasan Istilah ................................................................. 39
xii
D. Teknik Pengumpulan Data ............................................... 40
E. Teknik Analisis Data ......................................................... 41
F. Pengujian Keabsahan Data ............................................. 42
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian ............................................................... 45
B. Pembahasan .................................................................. 114
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan ........................................................................ 122
B. Saran ............................................................................. 124
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................... 125
RIWAYAT HIDUP
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Karya sastra adalah salah satu hasil kebudayaan manusia yang
menggambarkan keadaan hidup manusia. Gambaran kehidupan di
dalamnya, merupakan manifestasi ekspresi pengarang yang diperoleh
dalam kehidupan nyata. Kehidupan manusia dengan kompleksitas
persoalan dan kejadian sehari-hari. Kompleksitas suatu karya sastra dapat
dipelajari pada strukturnya secara intrinsik tersusun dari berbagai
peristiwa yang terjadi dalam kehidupan manusia dituangkan secara
imajiner. Dengan demikian, struktur karya satra terbentuk dari struktur
kehidupan manusia yang diserap oleh pengarang dapat difungsikan
sebagai kiritik dan pencerahan kepada masyarakat pembaca.
Karya sastra hadir sebagai wujud nyata imajinatif kreatif seorang
sastrawan dengan proses yang berbeda antara pengarang yang satu
dengan pengarang yang lain, terutama dalam penciptaan cerita fiksi.
Proses tersebut bersifat individualis artinya cara yang digunakan oleh tiap-
tiap pengarang dapat berbeda. Perbedaan itu meliputi beberapa hal di
antaranya metode, munculnya proses kreatif dan cara mengekspresikan
apa yang ada dalam diri pengarang hingga bahasa penyampaian yang
digunakan (Waluyo, 2013:68)
2
Pada hakikatnya orang-orang yang hidup pada zaman turunnya Al-
Qur‟an merupakan masyarakat yang mengetahui keistimewaan dan
keunikan serta keindahan. Sebagaimana di jelaskan pada Q.S. Al-Isra
ayat 88 menjelaskan:
كان قل لئن اجتمعت الإنس والجن على أن يأتوا بمثل هذا القرآن لا يأتون بمثله ولو
بعضهم لبعض ظهيرا
Terjemahannya:
Katakanlah: “Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan Dia, Sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain”.
Sejak awal terbentuknya sastra, Al-Qur‟an memang sudah
bersentuhan dengan tradisi kesusasteraan Arab yang sudah mapan, yaitu
sastra Jahiliyyah. Ketika interaksi itu berlangsung dan supremasi al-Qur‟an
begitu dominan, maka al-Qur‟an, dalam kapasitasnya sebagai dustur
Islam, hadir sebagai ide sentral sekaligus solusi pemecah persoalan.
Secara sederhana interaksi yang terjadi antara al-Qur‟an dan
kesusasteraan berkisar pada tiga persoalan. Pertama, persoalan yang
berhubungan dengan konsep estetika, hubungan antara karya sastra dan
filsafat keindahan dalam ruang transenden („aqidah). Kedua, rujukan yang
mengarah pada etika (akhlaq) serta kaitannya dengan hakikat sastra dan
tujuannya dalam konteks sosiologis. Ketiga, masalah perbedaan wacana
dan pendekatan terhadap ekspresi dan proses kreatif dalam konteks tafsir
hukum agama (syari‟ah).
3
Hal inipun ditegaskan dalam Q.S Al-Baqarah ayat 147 yang
berbunyi:
بك من الحق ين من تكونن فل ر ممتر ال
Terjemahannya:
“Kebenaran itu adalah Rrab-mu, sebab itu janganlah sekali kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.” (Q.S Al-Baqarah ayat 147).
Dalam ayat di tersebut di tegaskan bahwa Muhammad rasul utusan
Allah swt. Bagiamanapu dan sepandai apapun mereka menyembunyikan
kebenaran, kebenaran itu pasti datang Tuhan. Tidak ada satupun
kekuatan dalam dunia ini yang dapat menghalangi atau menyembunyikan
kebenaran itu karena itu pasti akan terungkap.
Sejalan dengan penjelasan ayat tersebut diatas, dalam Islam mitos
adalah cerita-cerita bohong mengenai suatu hal, asal usul tempat, alam,
manusia, serta mengandung arti mendalam dan diungkapkan dengan cara
gaib. Sedangkan Islam menyebutnya khurafat, yakni ajaran atau
keyakinan yang tidak mempunyai landasan kebenaran, disebut pula
takhayul.
Percaya pada khurafat dan mitos adalah cara berfikir dan berdalil
orang-orang musyrik. Mereka tidak menggunakan akal dan hati untuk
mencari dan mengamalkan kebenaran sebagaimana di jelaskan dalam Al-
Qur‟an Surat al-Mulk ayat 10 di bawah ini:
4
عير ا فى اصحب الس ا نسمع او نعقل ما كن وقالوا لو كن
Terjemahannya:
“Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu)
niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang
menyala-nyala.”
Dari ayat tersebut diatas bahwa jika kamu mendengar segala
sesuatu harus jangan langsung percaya, akan tetapi kalian harus
menelaah dal memikirkan apa yang akan terjadi, sehingga kalian tidak
terjeremus ataupun menjadi hamba Allah yang kafir yang menyakini
segala sesuatu yang bukan dari petunjuk Allah swt. Dan jika kalian lalai
dan tidak mengindahkan peringatan Allah maka kalian merepukan ummat
calon penghuni neraka, apabila kalia mendengarnya maka kalian
termasuk ummat calon penghuni surga.
Wiyatmi, 2011: 19 mengemukakan tentang fiksi memiliki fungsi
merangkum fakta sosial kebudayaan menjadi suatu kebutuhan yang sarat
nilai. Oleh karena itu, berbagai macam nilai kehidupan tersebut terefleksi
dalam hadirnya sebuah cerita mengenai peristiwa-peristiwa yang
dianggap mempunyai makna dan tingkat penalaran yang kuat disebut
sebagai mitos. Awal yang cukup sederhana dari kisah rakyat berlatarkan
kehidupan istana centris, rakyat jelata dan dunia gaib diperkenalkan oleh
sastra lisan. Hal tersebut tidak berhenti menjadi cerita rakyat saja, para
penikmat cerita merangkum cerita rakyat menjadi sastra tulis, sehingga
dapat dibaca oleh generasi berikutnya.
5
Kehadiran karya sastra memiliki peran penting dalam kehidupan
manusia. Sastra bisa menjadi bahan refleksi manusia. Sebagai karya
imajinatif, karya sastra tidak hanya menawarkan hiburan bagi
pembacanya, tetapi juga membawa pesan berupa pengukuran nilai-nilai
kehidupan. Sastra pada kenyataannya adalah interpretasi yang hidup dari
kehidupan nyata melalui gambar pengarang dari pengarang. Oleh karena
itu, mempersembahkan segala bentuk kehidupan manusia sebagai
cerminan kehidupan yang dapat menjembatani sikap dan perilaku
manusia, tafsir masyarakat yang bersangkutan sehingga dapat
menentukan aspek-aspek kehidupan yang lebih bijak. (Sumardjo, 2013:
54)
Karya sastra ditulis oleh penciptanya (penulis) untuk mengungkap
permasalahan seluruh aspek kehidupan masyarakat yang dikelola secara
bergantian. Tugas penulis tentang permasalahan kehidupan antara lain
berusaha menemukan berbagai elemen yang diekspresikan dalam
masyarakat sebagai dinamika, baik elemen yang menghambat
pemenuhan keinginan dasar individu maupun anggota kelompok/
komunitas. yang dapat menyebabkan ketimpangan sosial, atau
mencerminkan nilai-nilai yang harus dijunjung tinggi.
Rafiek (2010: 32) mengemukakan bahwa seorang sastrawan juga
berusaha untuk merefleksikan apa yang ada di dalam jiwa, apakah itu
luapan emosi putus asa, berpuas diri, protes diri terhadap cita-cita,
keinginan, nilai atau pencatatan peristiwa yang terjadi sebagai sarana
6
ekspresi kehidupan. Dengan kata lain, karya sastra berfungsi sebagai
wahana dialog dan merenungkan segala persoalan yang ada di benak
penulisnya.
Sastra sejak awal perkembangannya tidak dapat mengambil dari
aktivitas dan perspektif budaya. Sastra sebagai salah satu unsur budaya
dalam masyarakat (Faruk, 2001: 43). Dengan kemampuan komposisi
seorang pengarang, sejumlah relasi atau kontribusi sosial yang ada dalam
masyarakat dirumuskan sebagai cerminan sosial masyarakat, yang
berkontribusi pada pemikiran dan potret sosial. Pada titik ini, ada
kecenderungan karya sastra hidup bermasyarakat sebagai milik bersama.
Membaca karya sastra adalah suatu keharusan untuk memperoleh
wawasan dan pengalaman tentang kehidupan dan kehidupan. Sedangkan
(Lubis, 1997: 18), menyatakan bahwa membaca karya sastra merupakan
salah satu masukan yang diterima oleh anak manusia selama hidupnya
untuk meningkatkan kualitas hidupnya.
Sastra dapat menginspirasi perasaan, pikiran dan hati pembaca.
Dalam jumlah yang cukup banyak, karya sastra mampu mendorong
perubahan di masyarakat. Sastra melalui karya sastra menyadarkan
anggota masyarakat akan masalah yang terjadi di masyarakat dan harus
mampu mengubah masyarakat pula. Di sisi lain, sastra merupakan seni
yang menyuguhkan keindahan yang faktual dan imajinatif sehingga
mampu memberikan hiburan dan kepuasan bagi pembacanya.
7
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat mengaplikasikan
karya sastra yang lahir untuk dapat dibaca oleh masyarakat sehingga
masyarakat memahami nilai kehidupan yang terlibat. Jika hakikatnya
ditelisik, sastra bisa dijadikan alat untuk mengatur kehidupan manusia.
Sastra membuat Anda lebih sabar, bijak, dan mampu menyelamatkan
hidup dengan segala sikap positif. Dengan demikian, kesusastraan
memberikan manfaat yang sangat berharga.
Salah satu genre karya sastra yang dapat dibaca dan diserap
nilainya yaitu novel. Genre karya sastra ini berbentuk prosa naratif yang
memiliki struktur yang kompleks. Dalam novel terdapat beragam narasi
tentang kehidupan nyata, salah satunya merefleksikan dimensi sosial
budaya dan mencitrakan mitos yang secara esensial menarasikan
kehidupan pada zaman tertentu dari realitas sosial budaya suatu entitas
masyarakat.
Dinamika sosial budaya masyarakat Indonesia tumbuh bersama
berbagai mitos. Hal ini dapat ditelusuri dalam struktuk cerita novel Puya ke
puya karya Faisal Oddang dan novel Manusia Langit karya J.A Sonjaya.
Dua novel ini memiliki struktur mitos dalam teks yang dikonstruk
pengarangnya. Misalnya, pada novel Puya ke Puya karya Faisal Oddang
mencerita yang kental akan mitos-mitos kematian di Tana Toraja Provinsi
Sulawesi Selatan yang disajikan dengan setting zaman modern. Mitos di
Tana Toraja merupakan aspek yang unik dalam novel ini yang
8
mengetengahkan dinamika sosial budaya yang terakulturasi dengan
modernitas.
Novel Manusia Langit karya J.A Sonjaya juga mengeksplorasi
budaya di Pulau Nias. Aspek mitopoik yang kompleks pada novel ini dapat
ditelusuri pada suatu kepercayaan bahwa Pulau Nias merupakan tempat
turunnya manusia langit. Tidak hanya itu, struktur budaya dalam teks
novel yang berupa peninggalan nenek moyang seperti megalit dan mitos
yang terdapat di bebatuan megalitik masih tetap terjaga dan penataan
masyarakat Pulau Nias meski zaman telah berubah. Nilai-nilai luhur yang
menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Pulau Nias.
Kekayaan mitos dalam kedua novel tersebut dapat dikaji
menggunakan pendekatan mitopoik dengan teori analisis Levi-Strauss.
Logika dasar atau nalar manusia menurut Levi-Strauss, mestinya terwujud
dalam berbagai aktivitas kehidupan manusia. Nalar ini memang mengikuti
struktur tertentu dalam bekerjanya, perlu dianalisis berbagai aktivitas yang
merupakan perwujudan dari nalar tersebut. Fenomena budaya pada
dasarnya merupakan perwujudan dari nalar. Akan tetapi, tidak semua
fenomena sama mudahnya untuk dibedah. Perlu dicari fenomena budaya
yang sesuai, dan itu adalah mitos (Ahimsa Putra, 2009:75-76)
Mitos dalam pandangan Levi-Strauss tidak harus dipertentangkan
dengan sejarah atau kenyataan, karena perbedaan makna dari dua
konsep ini terasa semakin sulit dipertahankan dewasa ini. Mitos dalam
konteks strukturalisme Levi-Strauss tidak lain adalah dongeng. Dongeng
9
ialah cerita atau kisah yang lahir dari hasil imajinasi manusia, dari
khayalan manusia, walaupun unsur-unsur khayalan tersebut berasal dari
apa yang ada dalam kehidupan manusia sehari-hari. Salah satu yang
menarik bagi Levi-Strauss adalah kenyataan bahwa nalar manusia
tersebut mendapatkan tempat ekspresinya yang paling bebas dalam
dongeng. Dongeng-dongeng seringkali ditemukan mirip atau agak mirip
satu dengan yang lain (Ahimsa-Putra, 2009:75-76)
Mitos-mitos yang sering dijadikan sebagai kajian oleh Levi-Strauss
perlambangan dari bentuk kebudayaan dan antropologi sebagaian bangsa
tidak hanya terdapat di wilayah Eropa saja. Akan tetapi, mitos yang
tercipta di Indonesia juga dapat dikaji berdasarkan teori struktural Levi-
Strauss. Jajaran pulau di seluruh Indonesia telah menghadirkan
kemajemukan cerita rakyat, dongeng dan mitos.
Mitos sebagai sebuah seni, menurut pemikiran Levi-Strauss
(2005:277) bersifat dialektikalan itu melahirkan oposisi biner (binary
opposition), misalnya atas-bawah, kiri-kanan, kaya-miskin, langit-bumi,
dan air-api. Oposisi biner tersebut melahirkan suatu keharmonisan.
Keharmonisan itu tampak pada pola pikir masyarakat pemilik mitos
tersebut. Dengan demikian, ada hubungan homologis antara mitos dan
konteks sosial-budaya masyarakat.
Hubungan homologis mitos dan konteks sosial-budaya merupakan
mediasi dari masyarakat untuk mengatasi konflik (Barnauw,1682:254).
Masyarakat mencari jalan yang solutif untuk mengatasi konflik dalam
10
keadaan sosial-budaya mereka dengan cara menyalurkannya pada cerita.
Penyaluran tersebut dilakukan dalam ketidaksadaran antropologis. Karena
itu, mediasi yang dilakukan terkadang tidak disadari.
Kajian terhadap aspek mitopoik dalam novel Puya ke Puya karya
Faisal Oddang dan novel Manusia Langit karya J. A Sonjaya dapat
dilakukan dengan mengunakan pendekatan struktarisme teori Levi-
Strauss Pradopo (2002:267,269) menyarankan perlunya analisis struktural
untuk memahami karya sastra. Dengan analisis struktural, makna intrinsik
karya sastra dapat digali berdasarkan pemahaman tempat dan fungsinya
dalam keseluruhan karya sastra. Dengan kata lain, totalitas lebih penting
daripada bagian-bagiannya. Keseluruhan dan bagian-bagiannya dapat
dijelaskan dengan baik hanya dalam kaitannya dengan hubungan yang
ada di dalamnya.
Senada dengan hal tersebut, Teeuw (1983: 61) menjelaskan
bahwa karya sastra adalah suatu struktur yang tersusun dari lapisan
lapisan norma yang saling terkait. Selain itu, sastra juga merupakan
struktur yang berwujud. Oleh karena itu, menganalisis karya sastra
merupakan upaya untuk menangkap makna dan memberi makna pada
teks sastra (Culler, 1977: vii). Dengan demikian, analisis struktural menjadi
prioritas utama sebelum yang lain karena tanpa itu kebulatan makna-
makna intrinsik yang hanya dapat digali dari karya itu sendiri tidak akan
dapat ditangkap karena makna unsur-unsur karya sastra hanya dapat
11
dilakukan atas dasar pemahaman, dilihat dari tempat dan fungsi elemen
yang ada dalam karya itu sendiri secara keseluruhan, Teeuw (1983: 61)
Berdasarkan penjelasan tersebut diatas, terdapat beberapa alasan
mendasar bagi pentingnya dilakukan penelitian ini, diantaranya; 1) kedua
novel memiliki struktur mitopoik dalam teks novel yang dikontsruk
pengarangnya, 2) dari segi pendekatan kajian, mitopoik merupakan
pendekatan penelitian membongkar struktur mitos dalam teks sastra, 3)
penggunaan teori Levi-Strauss dianggap sangat cocok karena teori ini
terfokus pada pembacaan strutuktur kebudayaan, sehingga dapat
diterapkan dalam kajian novel, 4) setelah penulis melakukan observasi
awal menunjukkan bahwa penelitian terhadap teks mitos dalam sastra
menggunakan mitopoik masih sangat minim dilakukan, dan 5) penelitian
dengan pendekatan mitopoik di lingkungan Pascasarjana Universitas
Muhammadiyah Makassar juga belum pernah dilakukan oleh para peneliti.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka penulis termotivasi
melakukan penelitian dengan judul, “Mitopoik dalam Novel Puya ke Puya
Karya Faisal Oddang dan Manusia Langit Karya J. A. Sonjaya (Kajian
Teori Levi-Strauss)”
B. Fokus Penelitian
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka fokus masalah
penelitian ini yaitu, “Bagaimanakan bentuk mitopoik dalam novel Puya ke
12
Puya karya Faisal Oddang dam novel Manusia Langit karya J. A. Sonjaya
ditinjau dengan kajian teori Levi-Strauss?
Bentuk data kedua novel tersebut akan dianalisis berdasarkan
cakupan bentuk-bentuk mitopoik dan dianalisis secara antropologis.
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan menguraikan mitopoik dalam teks novel.
Lebih spesifik tujuan penelitian ini yaitu, untuk mengetahui bentuk
mitopoik dalam novel Puya ke Puya karya Faisal Oddang novel Manusia
Langit karya J. A. Sonjaya ditinjau dengan kajian teori Levi-Strauss?. Dan
bentuk data kedua novel tersebut akan dianalisis secara antropologi.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat secara teoritis dan
praktis, sebagai berikut.
1. Manfaat Teoritis
a. Dapat bermanfaat bagi pengembangan teori kajian sastra yang
dapat digunakan sebagai pengayaan bahan literasi dalam bidang
pendidikan.
b. Dapat dijadikan sebagai sumber rujukan teoritik bagi peneliti
lanjutan, sehingga memeroleh konsep baru yang akan memperkaya
wawasan dan pengetahuan dalam bidang sastra.
13
2. Manfaat Praktis
a. Dapat digunakan sebagai bahan informasi untuk menambah
wawasan pembaca tentang bentuk-bentuk mitopoik dalam novel
Puya ke Puya karya Faisal Oddang dan novel Manusia Langit karya
J. A. Sonjaya dengan menggunakan kajian teori Levi-Strauss.
b. Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan bacaan untuk menambah
pengetahuan bagi komunitas sastra memahami penerapan teori
Levi-Strauss dalam kajian teks novel.
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Penelitian Sebelumnya
Kajian mitos dalam karya sastra prosa telah banyak dilakukan oleh
penelitian-penelitian sebelumnya, diantaranya dilakukan oleh Harahap
(2009: i) dengan judul Mitologi Jawa dalam Novel-Novel Kuntowijoyo
penelitian tesis ini bertujuan untuk menganalisis dan menguraikan
mitologi, filsafat, dan representasi nilai budaya Jawa dalam novel-novel
Kuntowijoyo. Teori yang digunakan dalam penelitian ini yaitu teori
antropologi sastra dan semiotika. Metode penelitian yang digunakan
adalah metode hermeneutika. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa
unsur mitologi, filsafat, dan nilai budaya Jawa merupakan hal yang tidak
dapat dipisahkan satu sama lain, karena pada akhirnya bermuara pada
satu kesatuan yaitu kebudayaan Jawa (javanisme)
Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Gani (2016) dengan
judul Mitos dalam Babad Songennep. Disertasi ini menggunakan
pendekatan semiotik Saussurean. Data korpus dalam penelitian ini berupa
kutipan cerita dalam Songennep Babad. Setelah ditentukan maka
ditentukan tingkat fisik mitos, alam batin mitos, dan fungsi mitos dalam
Babad Songennep. Sedangkan sumber datanya adalah Babad
Songennep. Kegiatan yang dilakukan dalam analisis adalah (1) membuat
skema plot utama tiap bab Babad Songennep, (2) menulis potongan mitos
15
pada masing-masing poin plot utama, (3) menuliskan poin-poin dari setiap
poin plot, (4) menyisipkan mitem ke dalam tabel kekerabatan, (5)
membuat skema relasi mitis tiap bab, (6) menganalisis makna mitem
masing-masing bab (7) menganalisis hubungan kekerabatan, hambatan
kekerabatan, keunggulan manusia, dan kelainan manusia, (8)
menganalisis mitos-mitos dalam Babad Songennep, dan (9) menganalisis
fungsi mitos dalam Babad Songennep.
Hasil penelitian ini adalah tidak ada penjelasan tahun kejadian
pada Babad Songennep Bab I dan Bab II. Kerangka waktu tidak
menjelaskan secara tepat kapan setiap peristiwa terjadi. Tahun kejadian di
bab III. Tokoh-tokoh yang bergerak di Bab I, Bab II, dan Bab III adalah
tokoh-tokoh dari istana. Uraian tentang makna keadaan mental Babad
Songennep berisi anjuran untuk (a) menghormati dan menghormati semua
ayah, ibu, guru dan raja (bhâppa 'bhâbbhu' ghuru rato); (b) membina
keharmonisan keluarga dan kekeluargaan, serta mempersiapkan generasi
penerus yang unggul; (c) mematuhi norma yang berlaku; (d) bersedia
berkorban untuk bangsa dan negara serta setia kepada atasan; (e)
bekerja dengan serius dan mencapai; dan (f) gotong royong, keadilan,
tanggung jawab, berpihak pada kebenaran, dan pantang menyerah. Hal-
hal yang tersirat dalam mistis batin dalam Babad Songennep
mencerminkan bâburughân beccè '(nasehat yang baik) yang senantiasa
disosialisasikan dalam masyarakat Madura.
16
Muhammad Hasyim (2014) melakukan penelitian berjudul,
Kontruksi Mitos dan Ideologi dalam Iklan Komersial Televisi; Suatu
Analisis Semiologi. Penelitian ini bertujaun mengungkapkan mitos dan
ideology yang dibangun dalam iklan komersial televisi. Penelitian ini
mencoba menjelaskan bagaimana produk yang dikonsumsi dan
digunakan, bekerja secara ideologis, dengan mengamati hubungan
dinamis antara penanda dan petanda dalam teks iklan komersial televisi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa media iklan televisi komersial di
Indonesia tidak menekankan makna denotasi (manfaat produk), tetapi
menekankan tanda simbolik yang mewakili realitas simulacrum. Makna
kehidupan manusia saat ini sangat ditentukan oleh hubungan yang
dibangun antara manusia dan produk komersial, bagaimana iklan
memaknakan manusia melalui produk yang digunakan dan produk
berfungsi dari waktu ke waktu sebagai simbol identitas dan diferensiasi.
Iklan komersial bekerja sebagai simulacrum yang membuat kesan produk
dan gambar dibangun dalam pikiran manusia menjadi alami danwajar
meskipun realitas itu ambivalen.
Berdasarkan hasil observasi terhadap beberapa penelitian
terdahulu diatas, belum ditemukan penelitian tesis maupun disertasi yang
mengkaji karya sastra, khususnya novel, yang menggunakan pendekatan
mitopoik. Disinilah letak urgensi mitopoik dengan menggunakan kajian
Levis-strauss dalam penelitian ini, dengan pertimbangan lain pula bahwa
pendekatan mitopoik dalam karya sastra juga belum pernah digunakan
17
dalam penelitian-penelitian dilingkungan Universitas Muhammadiyah
Makassar, khusus pada program Magister bahasa dan sastra Indonesia.
B. Kajian Teori dan Konsep
1. Esensi Karya Sastra
Sastra merupakan salah satu instrumen yang menjadi indikator
capaian suatu peradaban umat manusia. Sebagai suatu kegiatan kreatif
dan menjadi sebuah cabang seni, sastra telah berkembangan dalam
berbagai bentuk genre. Luxemburg (Purba, 2010: 3) mengemukakan
sastra ialah salah satu karya seni yang muncul dari permintaan atau fiksi
penulisnya. Sastra adalah otonom, kenapa karya sastra di katakana
karena karya sastra memiliki pandangannya sendiri dibandingkan dengan
struktur kehidupan lainnya.
Wellek (2014: 4) menjelaskan sastra sebagai suatu kegiatan kreatif,
sebuah seni. Kehidupan dalam karya sastra yaitu hidup yang diwarnai
oleh sikap pengarang, latar belakang moral, keyakinan, dan lainya.
Sedangkan karya sastra mengandung kebenaran yang telah membuktikan
keyakinan indrawi dan kebenaran dari kehidupan sehari-hari.
Burnet (Semi, 1988: 20) mengemukakan bahwa sastra sama
dengan karya seni lainnya, hampir setiap perubahan memegang peran
penting karena dapat menggambarkan nilai-nilai kemanusiaan yang
berfungsi sebagai alat tradisional suatu bangsa dalam arti yang positif,
baik saat ini maupun yang akan datang.
18
Sastra merupakan refleksivitas masalah sebagai manusia hasil
refleksi penulis terhadap kehidupan manusia dan sekitarnya. Sastra
merupakan alat untuk menyampaikan ajaran, nasehat, atau agama
(Rampan, 1984: 14). Realitas pengarang yaitu bahan mentah. Agar
menjadi sebuah karya sastra masih perlu diolah dalam mimpi
pengarangnya. Tidak hanya mengolah dari segi cara penyampaiannya,
tetapi juga memberikan nilai yang lebih tinggi. Oleh karena itu, seorang
pengarang menciptakan sebuah karya sastra tidak hanya untuk
menggambarkan apa yang disaksikan dalam kehidupan, kemudian
menuangkannya ke dalam karyanya, akan tetapi pengarang mempunyai
tugas yang lebih berat, karena pengarang harus menyumbang dan
membidik serta memberikan tafsir tentang alam dan kehidupan.
Sumardjo dan Saini (2013: 3-4) mengemukakan bahwa Sastra ialah
ungkapan pribadi berupa pengalaman, pikiran, perasaan, gagasan,
keyakinan, keyakinan berupa gambaran konkrit yang menimbulkan daya
tarik terhadap alat bahasa. Sehingga memiliki unsur-unsur berupa pikiran,
pengalaman, gagasan, perasaan, semangat, keyakinan, ekspresi atau
ekspresi, bentuk dan bahasa. Ini dikuatkan oleh opini.
Pendapat tersebut menunjukkan bahwa sastra menjadi
representasi ungkapan pribadi manusia yang merekam pengalaman
secara empiris. Dengan demikian, sastra tidak bisa hanya dipandang
sebagai artefak atau benda mati semata. Pendapat tersebut memiliki
benang merah dengan apa yang dikemukakan oleh Saryono (2013: 16-
19
17) bahawa sastra bukan sekedar artefak, melainkan sastra adalah tokoh
pinjaman. Sebagai tokoh hidup dalam sastra yang berkembang dinamis,
tokoh lain seperti politik, bisnis, seni dan budaya. Bisa menjadi literatur
dengan cara yang benar, karena sastra yang baik ialah karya sastra yang
ditulis dengan kejujuran, hak, keikhlasan, kearifan dan keluhuran. Sastra
yang baik dapat mengenali orang, membangunkan mereka dan menuntun
mereka kembali ke jalan yang benar, menuntun mereka di jalan
kebenaran, memberikan kehidupan pada tugas-tugas.
sastra bukan sekedar artefak (barang mati), tetapi sastra
merupakan sosok yang hidup. Sebagai sosok yang hidup, sastra
berkembang dengan dinamis menyertai sosok-sosok lainnya, seperti
politik, ekonomi, kesenian, dan kebudayaan. Sastra dianggap mampu
menjadi pemandu menuju jalan kebenaran karena sastra yang baik
adalah sastra yang ditulis dengan penuh kejujuran, kebeningan,
kesungguhan, kearifan, dan keluhuran nurani manusia. Sastra yang baik
tersebut mampu mengingatkan, menyadarkan, dan mengembalikan
manusia ke jalan yang semestinya, yaitu jalan kebenaran dalam usaha
menunaikan tugas-tugas kehidupannya.
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa karya
sastra merupakan pengalaman manusia yang menggambarkan realitas
sosial masyarakat. Sugihastuti (2007: 81-82) menjelaskan bahwa karya
sastra merupakan media yang digunakan oleh pengarang untuk
menyampaikan gagasan-gagasan danpengalamannya. Sebagai media,
20
peran karya sastra sebagai media untuk menghubungkan pikiran-pikiran
pengarang untuk disampaikan kepada pembaca. Selain itu, karya sastra
juga dapat merefleksikan pandangan pengarang terhadap berbagai
masalah yang diamati di lingkungannya. Realitas sosial yang dihadirkan
melalui teks kepada pembaca merupakan gambaran tentang berbagai
fenomena sosial yang pernah terjadi di masyarakat dan dihadirkan
kembali oleh pengarang dalam bentuk dan cara yang berbeda. Selain itu,
karya sastra dapat menghibur, menambah pengetahuan dan memperkaya
wawasan pembacanya dengan cara yang unik, yaitu menuliskannya
dalam bentuk naratif. Sehingga pesan disampaikan kepada pembaca
tanpa berkesan mengguruinya.
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa
sastra terbangun dari pemikiran dan imajinasi manusia yang melahirkan
bentuk-bentuk karya sastra yang merekam pengalaman dan pemikiran,
ide dan perasaan, semangat dan keyakinan dalam bentuk teks dengan
menggunakan bahasa sebagai instrumen penceritaan. Sastra sangat
memiliki nilai tinggi bagi kehidupan karena bermanfaat sebagai alat untuk
meningkatkan kepekaan terhadap nilai kehidupan dan kearifan yang
terdapat di lungkungan masyarakat.
Karya sastra dengan demikian, dapat pula membentuk sikap hidup
dan pematangan mentalitas individual. Hal ini dibangun melalui citra
setiap karakter di dalam karya sastra. Pembaca akan dapat membentuk
dirinya melalui karekter-karakter tokoh yang ada di dalam karya sastra
21
serta mampu memahami realitas sosial yang ditampilkan dalam
keseluruhan struktur karya sastra.
2. Konsep Novel
Novel berasal dari bahasa itali, novella berarti suatu barang baru
yang kecil, dapat diartikan cerita pendek dalam prosa, Abrams (Purba,
2010: 3). Adhar (1997: 9) mengemukakan bahwa novel merupakan suatu
bentuk karya sastra yang dapat dijadikan sebagai sarana untuk
menyampaikan ide atau gagasan pengarang. Sejalan dengan pendepat
tersebut, Wellek dan Austin (2014: 182-183) mengemukakan novel adalah
gambaran dari kehidupan dan perilakunya sehingga terjadi perubahan
jalan hidup baru baginya.
Sedangkan novel secara etimologi berasal dari bahasa latin yaitu
novellus yang diambil dari kata novles berarti baru. Secara istilah, novel
ialah salah satu jenis karya sastra diartikan sebagai penggunaan bahasa
yang indah dan memberikan rasa seni pada pembacanya. Sebagaimana
telah dikemukana Sumardjo (1994: 3) bahwa novel (sastra) ialah
ungkapan imajinasi individu manusia yang berdasarkan pengalaman,
perasaan, pemikiran, ide, semangat, keyakinan, kepercayaan berupa
gambar konkrit yang membangkitkan daya tarik alat bahasa.
Novel dapat dipahami sebagai salah satu karya sastra berbentuk
naratif, serta berkesinambungan yan ditandai adanya aksi dan reaski tiap
tokoh, khusunya tokoh antagonis dan tokoh pratagonis. Semi (1988: 36)
mengemukakan novel adalah salah satu bentuk narasi yang bersifat
22
bercerita, yang di ceritakan yaitu sosok manusia dengan semua
kemungkinan yang ada di dalamnya. Olehnya itu, ciri utama yang
membedakan naratif (termasuk fiksi atau novel) dan deskripsi adalah aksi-
aksi, atau aktor.
.Pendapat tersbut menjabarkan tentang Novel tersebut memuat
cerita tentang kehidupan seorang tokoh yang diciptakan secara fiktif,
namun dinyatakan sebagai sesuatu yang nyata. Yang nyata dalam hal ini,
adalah berita yang peduli dengan fakta sebenarnya, tetapi nyata dalam
arti kebenaran yang dapat diterima secara logis, hubungan antara
peristiwa dan peristiwa lain dalam cerita itu sendiri, dan merupakan alat
untuk memberikan informasi bagi penggemar sastra. . Novel juga
dimaknai sebagai karangan proses panjang yang berisi rangkaian cerita
kehidupan seseorang dengan orang-orang disekitarnya dengan karakter
dan sifat tingkah lakunya masing-masing. (Depdikbud, 1993: 694)
Berdasarkan penjelasan beberapa pendapat tersebut, Dapat
disimpulkan bahwa novel merupakan cerita yang berupa proses yang
menghadirkan lebih dari sekedar objek yang didasarkan pada suatu
struktur tertentu. Oleh karena itu, sangat penting untuk mempelajari dan
mempelajari novel untuk mendapatkan pengetahuan tentang apa yang
ungkapkan penulis.
Novel dalam arti luas adalah cerita yang berbentuk proses yang
kompleks. Besar kecilnya area disini dapat diartikan sebagai cerita dengan
plot (plot). Namun, kompleks, suasananya beragam, dan latar cerita yang
23
bervariasi. Namun luas disini juga mutlak, mungkin lingkungan tersebut
hanya salah satu dari fiksi, misalnya hanya satu karakter dan setting.
Sumardjo (1994: 16) merumuskan novel tersebut terdiri dari tiga
jenis, yaitu novel roman, novel petualangan, dan novel fantasi. Pertama,
novel roman melibatkan peran tokoh perempuan dan laki-laki secara
seimbang, dan terkadang peran perempuan lebih dominan. Kedua, novel
petualangan hanya didominasi oleh laki-laki, karena karakter laki-laki
sendiri banyak melibatkan masalah laki-laki yang tidak ada hubungannya
dengan perempuan, dan Ketiga, novel fantasi menceritakan tentang hal-
hal tidak logis yang tidak sesuai dengan kondisi kehidupan manusia. Jenis
novel ini menekankan pada gagasan, konsep, dan gagasan penulis yang
hanya bisa jelas jika diceritakan dalam bentuk cerita yang fantastis, artinya
mereka mengalami hukum empiris dan hukum pengalaman sehari-hari.
Klasifikasi yang disebutkan di atas hanyalah klasifikasi utama,
sehingga dalam prakteknya terdapat ketiga jenis novel tersebut dalam
sebuah novel. Khususnya, Muchtar Lubis (Tarigan 1985: 166) membagi
novel atas beberapa bagian sebagai berikut.
a) novel avontur berpusat pada karakter utama atau pahlawan wanita,
yang merupakan hambatan untuk mencapai suatu tujuan.
b) Novel psikologis perhatian tidak ditampilkan dalam petualangan fisik
atau spiritual, ia lebih diutamakan daripada keseluruhan
pemeriksaan semua pikiran para pelaku.
24
c) Novel detektif, kecuali digunakan untuk meragukan pikiran pembaca,
menunjukkan jalan penyesalan cerita. Untuk mengungkap rahasia
sebuah kejahatan, tentunya dibutuhkan bukti-bukti agar bisa
menangkap si pembunuh.
d) Novel sosial dan politik aktor pria dan wanita yang dibenamkan
dalam masyarakat sebagai pendukung jalan cerita
e) Novel kolektif tidak hanya memuat cerita tetapi mengedepankan
cerita komunitas sebagai satu kesatuan, gabungan dari sudut
pandang antrologi dan sosiologis.
f) Novel sejarah hanyalah kenangan indah untuk dokumen,
menceritakan kisah kepahlawanan seorang gadis yang keluarganya
menjadi korban revolusi.
g) Novel pengalaman batin keluarga diejek oleh pembaca tentang
kegelisahan, baik berupa kecemasan sosial, kegelisahan batin, dan
keresahan rumah tangga. Jenis-jenis novel tersebut secara umum
dapat dikaji menggunakan berbagai metodologi dalam kajian sastra.
Kajian mitopoik dapat diterapkan untuk mengetahui nilai-nilai
mitologis di dalam jenis-jenis novel terbut untuk mengkonstruk
perspektif tentang dimensi mitos yang adalam dalam struktur novel.
3. Tinjauan Mitopoik
Ratna (2011: 110) mengemukakan mitopoik merupakan salah satu
istilah yang sangat sulit didefinisikan sebab istilah tersebut digunakan
dalam berbagai bidang ilmu, secara etimologis mythopoic berasal dari
25
myth. Mitos dalam pengertian tradisional memiliki kesejajaran dengan
fabel dan legenda. Pendekatan mitopoik dianggap paling pluralis sebab
memasukan hampir semua unsur kebudayaan, seperti: sejarah,
sosiologis, psikologis, agama, filsafat, dan kesenian. Cara penelitian ini
sudah dimulai sejak lama, sebelum lahirnya pendekatan objektif dengan
teori strukturalisme.
Wallek dan Warren (2014: 222) mengemukakan bahwa mitos
adalah istilah yang populer dalam kritiks modern. Istilah ini mengacu dan
meliputi wilayah makna penting yang masuk dalam bidang agama,
antropologi, sosiologis, dan seni rupa. Beberapa bidang ilmu yang
dianggap berlawanan dengannya adalah “Sejarah”, “Ilmu Pengetahuan”,
dan kebenaran.
Mitos adalah narasi cerita yang dikontraskan dengan wacana
dialektis, eksposisi. Mitos bersifat irasional dan intuitif, bukan uraian
filosofis yang sistematis, Aristoteles (Wellek dan Austin, 2014: 222). Levi-
Strauss (Ratna, 2004: 113) mengemukakan bahwa ada tiga jenis mitos
yan bekerja yaitu:
a. Mitos selalu ada di lingkungannya dengan mitos lain, fenomena lain
di masyarakat,
b. Walaupun begitu, mitos-mitos tersebut tetap mempertahankan
identitasnya masing-masing, dan
26
c. Sebagai sistem bahasa, baik sebagai kualitas individu maupun
transindividual, mitos mengalahkan kualitas kebahasaan, mitos
sebagai wacana.
Menurut Bascom (Rafiek, 2010: 56) fungsi mitos ada 4, yaitu; a)
sebagai sistem proyeksi yaitu sebagai alat pencerminan angan-angan
suatu kolektif; b) sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga
kebudayaan; c) Sebagai alat pendidikan anak; dan d) dan sebagai alat
pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat selalu dipatuhi
oleh anggota kolektifnya.
Mitopoik secara leksikal berarti cerita tentang para dewa, dan
makhluk lainnya, yang didalamnya terdapat berbagai tafsir, bahkan yang
supranatural. Mite biasanya dibedakan dengan dongeng, cerita tentang
binatang, legenda, cerita tentang asal usul. Noth (Ratna, 2011: 110)
mengatakan bahwa mitos berarti kata, ucapan, cerita tentang dewa-dewa.
Tetapi alam perkembangan mitos diartikan sebagai wacana fiksional,
dipertentangkan dengan logos, wacana rasional. Pada zaman Yunani
Kuno, mitos dianggap sebagai cerita naratif itu sendiri, sebagai plot. Mitos
adalah prinsip, struktura dalam sastra memungkinkan hubungan antara
cerita dan makna.
Menurut Levi-Strauss (Ratna, 2004: 74) mengemukankan bahwa
mite-mite pada hakikatnya terdiri dari pengisahan cerita, mite-mite
tersebut menghubungkan urutan kejadian yang kepentingannya terletak
pada kejadian-kejadian itu sendiri dalam detail yang menyertainya. Jadi
27
mite-mite tersebut selalu terbuka untuk diungkapkan ulang dan khususnya
menyadarkan diri pada terjemahan. Dengan kata lain, mite bisa dikisahkan
ulang dalam kata-kata yang lain, bisa diparafrasekan dan dipadatkan,
diperluas dan dielaborasikan.
Ahli-ahli antropologi meneliti fungsi magis semi primitive, Thomson
(Wellek dan Austin Warren, 2014: 120) mencoba mengaitkan tragedi
Yunani dengan kepercayaan dan ritual, serta dengan revolusi sosial pada
zaman Aeerschlus. Menurut sejarahnya, mitos mengikuti dan berkaitan
erat dengan ritual. Mitos adalah bagian ritual yang diucapkan, cerita yang
diperagakan oleh ritual.
Ritual dilakukan oleh pemuka-pemuka agama untuk
menghindarkan bahaya atau mendatangkan keselamatan dalam suatu
masyarakat. Ritual merupakan acara yang selalu dan tiap kali diperlukan,
misalnya berkaitan dengan panen, kesuburan inisisasi anak muda ke
dalam kebudayaan masyarakat dan upacara kematian. Tetapi dalam
pengertian yang lebih luas, mitos berarti cerita-cerita anonim mengenai
asal mula mula alam semesta dan nasib serta tujuan hidup.
Penjelasan-penjelasan yang diberikan oleh masyarakat kepada
anak-anak mereka mengenai dunia, tingkah laku manusia, cerita alam,
dan tujuan hidup manusia. Penjelasan-penjelasan ini bersifat mendidik.
Untuk bidang ilmu sastra, motif-motif mitos yang penting adalah cerita
atau gambar yang ditampilkan, unsur mitos yang bersifat sosial
merupakan perwujudan simbolis dari hal-hal yang ideal dalam adegna-
28
adegan yang nyata, sifatnya menyiratkan ramalan, rencana, dan unsur
mistiknya.
Pemikiran moderen biasanya berpusat pada salah satu unsur
mitos, kemudian menyerempet unsur atau motif lainnya. Georges (Wellek
dan Austin Warren, 2014: 223) menganggap “demostrasi umum” semua
buruh dunia, sebagai suatu “mitos”. Maksudnya, hal itu mungkin tidak
akan pernah terjadi, tetapi harus digambarkan debagai motivasi dan
dorongan bagi kaum buruh.
Mitos banyak dibahas di bidang agama, namun dibedakan dengan
masalah yang tidak berupa tindakan. Sebagai basis dasar kebudayaan,
perubahan pandangan yang cukup mendasar terjadi dalam setengah
abad terakhir, di mana para sarjana barat mulai melihat mitos dari sudut
pandang yang berbeda.
Pada abad ke-19 masyarakat hanya mengaitkannya dengan ciri-ciri
fabel dan legenda yaitu cerita-cerita yang didominasi oleh fiksi, fantasi dan
senantiasa memperhatikan kehidupan masa lalu masyarakat purba.
Namun, seiring perkembangan zaman mitos kini hidup dan dianggap
sebagai sesuatu yang saklar dan dijadikan sebagai bagian dari budaya
suatu daerah tertentu.
Diantara gejala kebudayaan yang paling sulit dipahami adalah
mitos dan religi. Meskipun demikian, mitos menyediakan keberagaman
metafora bagi para ilmuwan dan para penulis. Melalui mitos kemudian
bertindak. Di satu pihak, mitos bukan irasional melainkan suprasional atau
29
supranatular sehingga misteri berfungsi untuk melengkapi rasio,
menggabungkann antara teori dan aktivitas kreatif. Tidak ada gejala alam
yang tidak memerlukan interpretasi mistis. Sifatnya konseptual sekaligus
perceptual. Di pihak lain, menurut Malionowski (Ratna, 2011: 114)
mengatakan bahwa adanya mitos memperkuat tradisi, serta bisa dijadikan
sebagai bahan proses pembelajaran baik itu dari segi budaya ataupun
agama.
Dalam kaitanya dengan mitos, tak bisa dipungkiri bahwa agama
dalam sebuah karya sastra merupakan salah satu problem yang tidak bisa
terlepas dari karya sastra. Sebagai salah satu gendre sastra, novel hadir
dalam suasana lingkungan sosial yang sangat kompleks tentunya karya
sastra tersebut membawa pesan religius atau agama yang merupakan
representasi dari kehidupan sosial pengarang.
Manusia yang memiliki keterbatasan kemampuan, kesadaran, dan
pengakuan akan keterbatasannya menjadikan keyakinan bahwa ada
sesuatu yang luar biasa di luar dirinya, sesuatu yang luar biasa pasti
berasal dari sumber yang luar biasa pula. Dan ada berbagai sumber yang
luar biasa menurut bahasa manusia itu sendiri, seperti Tuhan atau Dewa.
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat dikemukakan bahwa mitos
juga tidak bisa dipisahkan dalam objek kajian agama. Konteks agama
merupakan problem penting yang ingin disampaikan pengarang sebagai
salah satu amanat untuk menambah khasana konsepsi epistemologi
30
pembaca tentang hubungan manusia dan lingkungannya, manusia dan
individunya serta manusia dengan penciptnya.
Selain unsur religi (agama), karya sastra juga erat kaitannya
dengan budaya dalam kajian budaya (culture study). Sastra merupakan
representasi budaya sehingga keberadaannya sangat sulit dipisahkan
satu sama lain. Sebagaimana diketehui, bahwa pada zaman yang modern
seperti sekarang ini mitos telah hidup dan menjadi bagian sesuatu
kebudayaan daerah tertentu. Mitos tentang karma pahala bagi masyarakat
Bali, sebab akibat yang logis bagi kehidupan manusia secara universal
menyebabkan perubahan tingkahlaku. Di satu pihak, bagi mereka yang
memerloleh kebahagiaan, masuk ke dalam kerajaan surga diakhir
hayatnya, maka cenderung berbuat baik. Dipihak lain, jauh lebih banyak di
antara kita yang bersifat mengabaikan, bahkan tidak memercayainya
sama sekali.
Budaya pada hakikatnya dapat dibagun dalam dua bagian;
pertama, budaya yang bisa dilihat, disentuh atau dicicipi dengan
menggunakan panca indera; dan kedua, itu adalah akumulasi
pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat, dan tradisi
lain, yang merupakan hasil nalar manusia. Budaya adalah keseluruhan
yang kompleks, yang berisi pengetahuan, kepercayaan, seni, moral,
hukum, adat istiadat, kemampuan lain yang diperoleh seseorang sebagai
anggota masyarakat.
31
Kebudayaan juga dapat diartikan sebagai sesuatu yang akan
mempengaruhi tingkat pengetahuan dan memasukkan gagasan atau
sistem yang ada dalam benak manusia, sehingga dalam kehidupan
sehari-hari kebudayaan bersifat abstrak. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa dengan mempelajari mitos akan diperoleh
gambaran/model untuk bertindak yang selanjutnya berfungsi untuk
memberikan makna dan nilai bagi kehidupan. Dengan kalimat lain, mitos
selalu dikaitakan dengan realitas, secara kosmogonis masyarakat selalu
ingin membuktikannya.
Memahami mitos bukan semata-mata untuk memahami sejarah
masa lampau tetapi yang jauh lebih penting justru memahami kategori
masa kini. Mitos tentang kelahiran, demikian juga sebaliknya kematian
adalah benar sebab kelahiran dan kematian benar-benar terjadi. Dikaitkan
dengan makna, teladan dan nilai-nilai secara keseluruhan yang dihasilkan
pada dasarnya kehadiran mitos kadang memberikan nilai positif terhadap
keseluruhan tingkahlaku individu di dalam masyarakat.
Berdasarkan pemaparan teori dan konsep di atas, maka penelitian
ini menggunakan pendekatan Levis-Strauss untuk mengetahui bentuk
mitopoik dengan objek penelitian novel Puya ke Puya karya Faisal
Oddang dan novel Manusia Langit karya J. A Sonjaya. Penerapan
pendekatan mitopoik ditunjang dengan penggunaan teori Levis-Strauss
dalam penelitian ini akan membongkar keragaman teks novel tersebut.
32
4. Teori Levis-Strauss
Claude Levi-Strauss merupakan seorang strkturalis dari Perancis.
Tokoh ini dikenal sebagai seorang antropolog dengan gaya pemikiran
sktrukturalisme dalam dunia filsafat dan sastra. Lixian (2013: 163) Claude
Levi-Strauss terkenal sebagai seorang ahli antropologi strukturalisme.
Meskipun strukturalisme tidak dibangun oleh Levi- Strauss, tetapi teori
strukturalisme yang dikembangkannya sampai puncak. Metode
strukturalisme sudah dianggap sebagai metode ilmiah yang banyak
digunakan dalam analisis mitos, karya sastra, musik, bahasa, sistem
kekerabatan, totemisme, klasifikasi primitif, topeng, dan fenomena-
fenomena sosial-kebudayaan lain.
Levi-Strauss menggunakan analisis strukturalnya terhadap karya
sastra kalis berjudul Oedipus Clompex. Pemikiran Levi-Strauss yang
bersifat struktural ini tidak bisa dipisahkan dari pemikiran metodologi
linguistik struktural. Pandangan dalam metodologi linguistik struktural
berpengaruh besar terhadap pemikiran Levi-Strauss yang kemudian
melihat budaya sebagai suatu sistem simbolik dengan sistem konfigurasi
perlambangan. Oleh karena itu, dalam memahami suatu sistem budaya
harus dipahami sebagai perangkat struktur yang terbangun sebagau suatu
relasi yang saling berkaitan.
Toforov (Yanti, 2019: 312) mengemukakan bahwa hampir sama
dengan teori yang dikemukakan dalam teori sastra, karena memang
berpijak pada dasar yang sama yaitu linguistik, Levi-Strauss
33
mengemukakan bahwa objek dari ilmu-ilmu struktural adalah hal-hal yang
memperlihatkan sifat-sifat suatu sistem, yaitu semua kesatuan yang salah
satu unsurnya tidak dapat diubah tanpa mengubah semua unsur-unsur
lain.
Perhatian teori Levi-Strauss terfokus pada aspek pola-pola formal
dan bagaimana berbagai unsur simbol terstruktur secara logis membentuk
sistem secara keseluruhan dalam sebuah struktur. Teeuw (1984: 135)
mengemukakan bahwa dalam ilmu sastra, kajian struktural bermaksud
untuk membongkar dan memaparkan secara cermat, detail, teliti dan
keterkaitan yang dalam serta jalinan semua elemen dan aspek karya
sastra yang bersama-sama menghasilkan makna yang holistik.
Lévi-Strauss (Prakoso, 2016: 17-18) mengemukakan bahwa mitos
tersusun dari satuan-satuan yang disebut mytheme (mythemes) atau
gross constituent unit. Setiap mytheme akan terdiri atas satu relasi yang
bukan merupakan relasi terisolasi, melainkan satu bundel relasi. Satu
bundel relasi adalah relasi-relasi dalam satu kolom yang akan
menghasilkan makna jika menetapkan satu bundel relasi dan
mengkombinasikannya. Dengan kata lain, bila substansi mitos adalah
cerita, satuan-satuan yang membentuknya adalah bukan sebagaimana
yang terdapat dalam bahasa. Satuan-satuan mitos tersebut tidak dapat
ditemukan dalam fonem, morfem, ataupun semem, tetapi pada tataran
yang lebih tinggi lagi sehingga untuk mengidentifikasinya dan mengisolasi
mytheme yang ada sebaiknya dicari dalam tataran kalimat.
34
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka penelitian ini akan
menggunakan pendekatan teori Levi-Stratuss sebagai metodologi analisis
novel “Puya ke Puya’ karya Faisal Oddang dan novel “Manusia Langit”
karya J. A. Sonjaya. Analisis akan dilakukan secara teliti untuk memahami
bentuk yang terkandung dalam struktur cerita kedua novel.
C. Kerangka Pikir
Berdasarkan uraian pada kajian pustka di atas, selanjutnya bagian
ini akan menjelaskan beberapa hal yang penulis gunakan sebagai dasar
pemikiran selanjutnya. Landasan berpikir yang dimaksud akan
mengarahkan penulis untuk mencari data dan informasi penelitian ini guna
memecahkan masalah yang telah diuraikan untuk itu, akan diuraikan
secara rinci dasar pemikiran yang dijadikan pedoman dalam penelitian ini.
Karya sastra bentuk prosa pada awalya prosa tidak hanya di
bangun dari unsur instrinsik, tema, plot, penokohan, sudut pandang, serta
gaya bahasa. Melaikan karya sastra juga dibangun oleh unsur ekstrinsik;
yaitu agama, budaya, dan pendidikan. Unsur ini yang merupakan motivasi
sehingg berbentuklah sebuah karya sastra yang berbentuk prosa.
Salah satu bentuk karya sastra seperti novel “Puya ke Puya’ karya
Faisal Oddang dan novel “Manusia Langit” karya J. A. Sonjaya yaitu salah
satu proses kegiatan kreatif yang berdasar dalam pemikiran penulis
(pengarang) itu sendiri. Novel di tuliskan oleh pengarang bukan sekedar
menceritkan penjalanan dan kisah hidup, akan tetapi mengkaji kenyataan
35
hidup, terutama pandangan masyarakat dalam mengaitkan mitos
kehidupan sosial.
Levi-Strauss adalah ahli antropologi berkebangsaan Prancis. Di
masa mudanya dia lebih banyak membaca buku-buku hukum dan filsafat
karena pada tahun 1927 Levi-Strauss masuk Fakultas Hukum Paris dan
pada saatyang sama juga belajar filsafat di Universitas Sorbonne. Levi-
Strauss mengikuti persiapan untuk ujian agregation dalam filsafat, yang
merupakan salah satu gelar tertinggi di Prancis. Paradigma strukturalisme
yang dirintis oleh Levi-Strauss diaplikasikan ke berbagai karya-karya
monumental Levi-Strauss berupa tertalogi, mengenai mitos-mitos orang
india di benua Amerika yang dianalisis struktural.
Levis-strauss dalam kajian mitopoik yang digunakan dalam
penelitian ini meliputi seluruh aspek kebudayaan dalam teks novel yang
dikaji dalam novel Puya ke Puya karya Faisal Oddang dan novel Manusia
Langit Karya J. A Sonjaya.
36
Bagan Kerangka Pikir
Bentuk Mitopoik
Karya Sastra
Novel Puya ke Puya Novel Manusia Langit
Antropologis
Hasil
Pola Kepercayaan dan Keyakinan
Pola Perilaku Pola Status Sosial
Pola Ritual Adat.
Temuan
Teori Levi-Strauss
37
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode penelitian dapat diartikan sebagai suatu cara untuk
memahami objek yang menjadi sasaran penelitian. Karena karya sastra
memiliki karakteristik tersendiri, penggunaan metode tentu berbeda.
Metode dalam studi sastra memiliki ukuran keilmiahan tersendiri yang
ditentukan oleh karakteristiknya sebagai suatu sistem. Karena itulah,
metode penelitian memiliki peran besar atas berhasil tidaknya sebuah
penelitian. Metode adalah suatu cara kerja untuk mencapai tujuan
(Satoto,1993: 9, Soeratno, 1994: 19).
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka prosedur dalam
menyelesaikan dan penyusanan penelitian sebagai berikut:
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Oleh karena
itu dalam pelaksanaannya dirancang berdasarkan prinsip metode
deskriptif kualitatif yaitu mengumpulkan, mengolah, mereduksi,
menganalisis dan menyajikan data secara obyektif atau sesuai dengan
fakta di lapangan untuk memperoleh data. Lebih lanjut, Moleong
mencirikan penelitian kualitatif sebagai berikut: pengaturan alam, teori
dasar, deskripsi, lebih menekankan pada proses, adanya 'batas' yang
38
ditentukan oleh 'fokus', adanya kriteria khusus untuk validitas data, desain
alami, dan hasil penelitian yang dinegosiasikan. dan disepakati bersama.
Sedangkan penelitian kualitatif memiliki kriteria pengembangan induktif
yaitu konsep berdasarkan data yang ada, mengikuti desain penelitian
yang fleksibel sesuai konteks. Desain yang dimaksud tidak kaku sehingga
memberikan kesempatan untuk beradaptasi dengan konteks yang ada
(Pradopo, 1996: 122; Moleong, 1990: 102).
Pengambilan penilitian kualitatif dalam tulisan ini, Pemilihan
penelitian kualitatif dalam tulisan ini, berdasarkan pada sasaran dan
tujuan yang ingin dicapai peneliti. Jenis penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library reseach) dengan
menggunakan teori intertekstual, yaitu menjaring dan mendeskriptifkan
bentuk mitopoik yang ada dalam novel Puya ke Puya karya Faisal
Oddang dan Manusia Langit karya J. A. Sonjaya ditinjau dengan kajian
teori Levi-Strauss dan dianalisis secara antropologis.
B. Data dan Sumber Data
1. Data
Data dalam penelitian ini ialah keterangan yang di jadikan sebagai
objek kajian, yaitu setiap kata, kalimat, dan ungkapan-ungkapan yang
mendukung bentuk mitopoik dalam novel Puya ke Puya karya Faisal
Oddang dan novel Manusia Langit karya J. A. Sonjaya. ditinjau dari kajian
39
teori Levi-Strauss. Data yang dimaksud adalah a) pola kepercayaan dan
keyakinan, b) pola perilaku, c) pola status sosial, dan d) pola ritual adat.
2. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini yaitu novel Puya ke Puya karya
Faisal Oddang dengan jumlah 215 halaman diterbitkan oleh PT. KPG
(Keperpustakaan Populer Gramedia) tahun 2015, di Jakarta, dan novel
Manusia Langit karya J. A. Sonjaya dengan jumlah 210 halaman
diterbitkan oleh Kompas pada tahun 2010, di Jakarta. Penentuan dua
novel tersebut sebagai sumber data berdasarkan pertimbangan; 1) kedua
novel tersebut mengandung unsur mitos dalam struktur novel yang ditulis
oleh pengarangnya; 2) dari segi pertimbangan kepengarang, kedua novel
merepresentasikan eksistensi pengarang yang hidup di dua lingkungan
yang berbeda. Faisal Oddan hidup di lingkungan Bugis-Makassar-Toraja
dan tentunya mewarnai karya yang dituliskannya. Sedangkan J.A Sonjaya
lahir di lingkungan kultur Jawa Barat. Dan, 3) kedua novel belum dikaji
menggunakan pendekatan teori Levi-Strauss untuk mengetahui bentuk
mitopoik yang terkandung dalam kedua novel.
C. Batasan Istilah
Definisi istilah hakikatnya, yaitu definisi istilah dalam bentuk yang
dapat diukur, lebih lugas dan tidak menimbulkan bias atau
membingungkan. Penelitian bebas merumuskan, menentukan definisi
istilah sesuai dengan tujuan penelitiannya, dan tataran teori dari fokus
40
yang ditelitinya. Untuk menghindari salah tafsiran dalam penelitian ini,
maka fokus definisi istilah yang akan dibahas yaitu:
1. Pola kepercayaan dan keyakinan adalah pola sikap manusia terhadap
dunia lain yang bersifat metafisik atau alam non materil.
2. Pola perilaku adalah tindakan manusia yang dipengaruhi oleh adat,
emosi, nilai, etika, kekuasaan yang berlaku di lingkungan manusia
hidup.
3. Pola status sosial adalah posisi seseorang dalam suatu kelompok
sosial masyarakat yang meliputi adanya derajat hak dan kewajiban.
4. Pola ritual adat adalah ciri tradisi masyarakat tradisional yang memiliki
nilai yang relevan untuk menjawab kebutuhan masyarakat
penganutnya seperti pemakaman dan acara-acara pernikahan.
D. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti dalam
mengumpulkan data yaitu dengan cara penelitian pustaka:
1. Membaca berulang-ulang novel Puya ke Puya karya Faisal Oddang
dan novel Manusia Langit karya J. A. Sonjaya.
2. Mencatat data yang termasuk bentuk mitopoik ke dalam tabel korpus
data.
3. Mengklafikasikan data yang termasuk bentuk mitopoik dalam teks
novel Puya ke Puya karya Faisal Oddang dan novel Manusia Langit
karya J. A. Sonjaya.
41
4. Menyusun pola-pola mitopoik dalam teks novel berdasarkan
pendekatan kajian yang digunakan
E. Teknik Analisis Data
Analisis data dilakukan sejak awal peneliti mengumpulkan data,
dilanjutkan mereduksi data, kemudian menyajikan data, selanjutnya
melakukan penafsiran data, penarikan simpulan. Jika dianggap kurang,
dilakukan pengumpulan ulang, mereduksi ulang, dan menafsir ulang,
sampai pada tahap menarik simpulan. Demikian , dilakukan secara ulang-
ulang.
Analisis data dilakukan sejak awal penelitian mengumpulkan data,
dan mengelaborasikan pandangan Ricouer, menggunakan menggunakan
metode fenomenologi dengan teknik: (1) analisis domain yaitu, membaca
data secara berulang-ulang dan teliti sehingga diperoleh data yang benar-
benar mengandung nilai dan fungsi yang disebut tahap reduksi data yang
meliputi proses pemilihan, penyederhanaan, pengabstrakan, (2) analisis
taksonomi, yaitu mengidentifikasikan dan mengklasifikasikan data secara
utuh menurut masing-masing kategori, (3) analisis komponensial, yaitu
penyajian, penafsiran, penganalisisan semua data khusus yang
berkenaan dengan komponen-komponen tersebut; (4) penarikan
kesibukan; dan (5) verifikasi atau triagulasi dengan pakar yaitu menguji
kebenaran interpretasi dan kecocokan dengan data (Azis Aida 2011; 89-
90 dalam Spradley, Miles dan Humbermas).
42
F. Pengujian Keabsahan Data
Berkaitan dengan proses analisis, Krippendorf (1993: 224),
mengemukakan bahwa dalam analisis data terdapat kemungkinan
terjadinya penafsiran yang berbeda, sehingga dibutuhkan diskusi dan
penilaian hasil analisis data dari beberapa pakar yang berkompeten, agar
temuan penelitian dapat dipertanggungjawabkan keabsahan atau
kevalidasiannya.
Untuk menentukan keabsahan hasil analisis data, dilakukan
pengujian keabsahan data dengan cara triagulasi pada tahap analisis.
Triangulasi yang digunakan adalah triangulasi penyidik yaitu teknik yang
yang memanfaatkan penelitian atau pengamat yang memiliki kemampuan
yang memadai dalam menganalisis data untuk keperluan pengecekan
kevalidan pembahasan. Triangulasi dilakukan dengan cara memeriksa
kembali keabsahan data yang diperoleh dalam kegiatan identifikasi,
klasifikasi, analisis, interpretasi, dan deskripsi.
Berdasarkan kriteria dan pertimbangan diatas di tetapkan
Triangulator sebagai validator yang dipilih dalam penelitian ini, yaitu:
1. Dr. Muhammad Akhir, M.Pd.
Muhammad Akhir merupakan salah satu dosen tetap Universitas
Muhammadiyah Makassar yang mengajar pada program studi
pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Adapun riwayat studi beliau,
pendidikan S1 di Universitas Muhammadiyah Makassar, pendidikan S2
di Universitas Negeri Makassar, dan pendidikan S3 di Universitas
43
Negeri Makassar. Validator ini sangat aktif dalam menulis dan meneliti,
jurnal-jurnal beliau dapat di temukan di google scolar antara lain: a)
Interferensi Bahasa Bugis dalam Penggunaan Bahasa Indonesia Lisan
Mahasiswa Jurusa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP
Unismuh Makassar, padan tahun 2017, b) Menamamkan Pendidikan
Karakter Melalui Strategi Belajar Membaca Di Sekolah, padan tahun
2017, c) Integrasi Pendidikan Karakter Dalam Meningkatkan
Keterampilan Menulis Mahasiswa Di Perguruan Tinggi pada tahun
2018, d) Tindak Tutur Ilokusi Sebagai Media Penyampaian Pesan
Sosial Pada Iklan Layanan Masyarakat, tahun 2019, dan e)
Pembelakaran Bahasa Indonesia dengan Teknik Permainan Kelompok
Siswa Kelas V dI SDN 110 Lagoari di Kabupaten Wajo, tahun 2020
serta masih banyak lagi jurnal-jurnal beliau yang terpablis di google
scolar, sedangkan
2. Dr. Anzar, M.Pd.
Anzar juga salah satu dosen tetap Universitas Muhammadiyah
Makassar yang mengajar pada program studi pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia. Adapun riwayat studi beliau, pendidikan S1 di
Universitas Negeri Makassar, pendidikan S2 di Universitas Negeri
Makassar, dan pendidikan S3 di Universitas Negeri Makassar. Validator
ini sangat aktif dalam menulis dan meneliti, jurnal-jurnal beliau dapat di
temukan di google scolar antara lain: a). Keefektifan Model Problem
Based Introduction (PBI) dalam Menulis Karangan Argumentasi di
44
SMA, tahun 2013, b) Kajian Keterampilan Menulis Kata Turunan Siswa
Kelas IX SMP Negeri 1 Liukang Kabupaten Pangkep, tahun 2016, c)
Research Material Development of Drama Appreciation Based on Local
Wisdom on Student in Indonesian Literature and Language Education
Program at Muhammadiyyah University, tahun 2018.
Berdasarkan hasil diskusi, analisis, koreksi, dan pengamat serta
saran dari kedua validator diatas mengenasi data yang di kutip dalam
kedua novel yang menjadi data dalam penyelasai studi pada program
Magister pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Data yang di ambil
peneliti telah sesuai dengan fokus yang menjadi objek yang diteliti dan
data yang ditemukan peniliti sudah layak digunakan dalam penyusanan
tesis. Data ini, kemudian di deskripsikan sesuai acuan penelitian
deskripritif kualitatif.
45
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Mitopoik merupakan salah satu pendekatan dalam kajian sastra
yang dipandang sangat beragam karena manjangkau semua unsur dari
kebudayaan manusia meliputi sejarah, sosiologi, kepercayaan. Dengan
demikian, dapat dipahami bahwa mitopoik merupakan pendakatan yang
melakukan pembacaan terhadap nili dari konstruksi bangunan
kebudayaan manusia dalam berbagai karya sastra, terutama novel.
Novel Puya ke Puya karya Faisal Oddang dan Manusia Langit
karya J.A Sonjaya merupakan salah satu novel yang terbangun dari
struktur kebudayaan manusia Toraja dan pulau Nias. Tana Toraja dan
pulau Nias merupakan salah satu daerah yang memiliki kekayaan budaya
yang termanifestasi melalui ragam ritual. Dalam cerita vabel mitos banyak
dituturkan bahwa moyang orang Toraja dan kehidupan Masyarakat pulau
Nias merupakan sosok yang turun langsung dari surga melalui tangga.
Dalam konteks cerita ini, tangga tidak hanya sebagai jalan turun ke bumi
namun menjadi instrumen yang memiliki fungsi sebagai medium
komunikasi kepada Puang Matua yang dikonstruk sebagai satu-satunya
Tuhan.
46
Mitopoik di lingkungan masyarakat Toraja dan pulau Nias sangat
dinamis karena terwariskan secara turun-temurun dan menemukan
berbagai bentuk ekspresi kebudayaan dari masyarakat pemiliknya. Inti
utama kebudayaan masyarakat Toraja terletak pada Aluk Todolo yang
merupakan struktur kepercayaan warisan nenek moyak Toraja berkaitan
dengan berbagai aturan hidup dan ritual. Novel Puya ke Puya dan
Manusia Langit merefleksikan nilai luhur Aluk orang Toraja dan
masyarakat pulau Nias yang dapat dibaca sebagai bentuk mitopoik yang
terkandung di dalam kedua novel. Lebih lanjut bentuk mitopoik dalam
kedua novel ini diuraikan sebagai berikut.
1. Pola Kepercayaan dan Keyakinan
Kedua novel ini merefleksikan pola kepercayaan masyarakat
Toraja dan pulau Nias terhadap “mayat yang sakit” dan “roh”sebelum
dilakukan upacara pemakaman melalui acara rambu solo. Hal ini
dapat dilihat pada kutipan teks novel sebagai berikut.
“Dulu kampung ini hanya akan ramai jika ada kematian yang dirayakan. Ketika ada mayat “sakit” yang diarak. Iya, sakit. Kau mengerti juga, bukan? Bagi orang Toraja, sebelum rambu solo, semua mayat masih sakit. Selayaknya mereka yang sakit, kerabat akan tetap mengajak bicara. Memberi mereka makan, rokok, serta sirih. Kini, disekitar rumah Rante Ralla, Kampung Kete‟, kau akan temuakan keramaian hampir setiap hari. Orang-orang asing menyelusup mirip kutu dalam rambut yang tidak pernah dicuci.” (Oddang, 2015: 6)
Kutipan teks novel di atas menunjukkan bahwa mayat yang
disemayamkan dipercayai dalam kondisi sakit sebelum dilakukannya
rambu solo. Mayat yang sakit dalam budaya masyarakat Toraja diarak
47
dalam suatu prosesi ritual yang disebut upacara Ma‟nene yang
dilakukan sebagai suatu rangkaian mengganti pakaian mayat leluhur.
Dalam sistem budaya masyarakat Toraja, prosesi ritual ini dilakukan
setiap tiga tahun sekali sebelum masa panen, karena dipercayai jika
tidak dilakukan pada masa sebelum panen akan berdampak secara
ekologis yakni kerusakan tanaman dan munculnya banyak hama
seperti tikus dan ulat secara mendadak. Deskripsi mayat yang sakit
juga dapat dilihat pada kutipan teks novel sebagai berikut.
“Aku tidak menjawab. Ia memang bertanya tanpa mengharapkan jawaban. Kendati pun di Toraja mayat sepertiku yang belum diupacarakan masih dianggap sakit, tentu Tina cukup berpikir bahwa aku tidak bisa apa-apa selain terbaring dan mendengar ceritanya. Tetapi seandainya saja aku telah diupacarakan, dan beruntung aku menjelma dewa, To Membali Puang, tentu aku akan mengijabah doa-doanya, atau paling tidak mengantar doanya ke Tuhan, ke Puang Matua.” (Oddang, 2015: 53)
Proses arakan mayat yang sakit tersebut dapat dipahami secara
antropoligis telah melalui sejarah panjang sehingga pola kepercayaan
ini terwariskan melalui sebuah peristiwa penting dalam masyarakat
Toraja. Banyak dituturkan bahwa ritual ini tidak bisa dilepaskan dari
sejarah seorang Pong Rumasek, seorang pemburu yang berburu di
hutan Balla dan menemukan jasad manusia yang meninggal dengan
mengenaskan. Pong Rumasek kemudian membawa jasad ini dan
dikenakan pakaian kemudian dikuburkan di tempat aman.
Pong kemudian mendapatkan banyak berkah setelah
pemakaman ini diantaranya mendapatkan buruan dengan mudah saat
berburu di hutan karena Pong selalu bertemu dengan arwah manusia
48
yang dimakamkannya tersebut menjadi penuntun dan penunjuk jalan.
Dari peristiwa ini melahirkan kepercayaan yang teguh pada diri Pong
bahwa jasad manusia haruslah dirawat dan diberikan penghormatan
yang layak meskipun setiap bagian jasad ini telah hancur. Dari sini
lahirlah semacam amanah ritual mengarak mayat dengan berbagai
tahapan memenuhi kebutuhan jasad leluhur.
Keyakinan manusia juga merupakan salah satu tema penting
yang membangun novel Puya ke Puya karya Faisal Oddang.
Keyakinan ini dapat dilihat pada penggambaran dunia lain sesudah
kematian seperti perjalanan menuju surga melalui tokoh utama novel.
Setiap orang Toraja yang meninggal akan melakukan serangkaian
penantian dalam persemayaman (sebelum upacara rambu solo)
hingga melakukan perjalanan ke surga menggunakan tedong
(kerbau). Penggambaran berkaitan dengan pola keyakinan dalam teks
novel ini dapat disimak pada kutipan data sebagai berikut.
“Jalan ke surga hanya mampu ditempuh dengan kerbau. Kerbau belang adalah sebaik-baiknya kerbau bagi tuhan. Kami penganut aluk todolo percaya itu. Termasuk kelurga Ralla. Kerbau untuk perayaan kematian tak melulu harus te ong onga yang banyak lurik di badannya, belang, dan ratusan juta rupiah harganya itu. Selain nilai relegius, nilai gengsi menyembelih kerbau belang juga diutamakan. Padahal masih ada kerbau pudu yang berwarna hitam biasa. Atau kerbau bulan yang mirip kulit Si Jangkung Beruban. Namun jenis itu ditabukan dalam upacara adat. Pada akhirnya, semua akan kembali memilih kerbau belang, jika uag cukup. Selain untuk membuat Tuhan senang, juga agar dibicarakan tamu. Dijunjung, dan ya, demi kehormatan keluarga besar. Kau mengerti? Jangan mengangguk saja! (Oddang, 2015: 14-15)
49
Kutipan teks novel tersebut menunjukkan bahwa pola keyakinan
dalam masyarakat Toraja menjadikan surga sebagai tempat yang
dituju setelah kematian. Untuk menuju ke surga, bagi penganut aluk
todolo hanya mampu ditempuh dengan menggunakan kerbau, dan
diantara kerbau yang paling tinggi di mata tuhan adalah kerbau
belang. Pemotongan kerbau lain juga bisa digunakan seperti kerbau
pudu dan kerbau bulan. Meskipun demikian, lebih banyak bangsawan
yang memilih kerbau belang untuk membuat tuhan menang dan
sebagai gengsi jika acara selesai banyak dibicarakan oleh para tamu.
Hal ini seperti tergambar pada perdebatan keluarga Ralla dalam
memutuskan kerbau belang sebagai kerbau yang akan dipotong
dalam acara rambu solo.
Rambu solo merupakan proses kunci pembebasan roh kerabat
yang sudah meninggal. Seperti terefleksi dalam teks novel Puya ke
Puya bahwa proses perjalanan ke surga merupakan sutu dambaan
menjelma menjadi to membali puang atau dewa yang tinggal di surga.
Fase perjalana roh ini dikemukakan oleh tokoh utama dalam novel
yang sesungguhnya oleh pengarang novel menggunakan roh yang
bercerita kepada pembaca. Hal ini dapat dilihat pada kutipan teks
novel sebagai berikut.
“Dulu aku, pernah berharap untuk menjadi To Mem ali puang
menjadi dewa, ketika kelak tiba di surga. Aku ingin, bahkan sampai saat ini aku asih diam-diam memeram keinginan itu. Soal rohku yang kini masih tergantung antara langit dan bumi, menjadi bombo karena belum diupacarakan, biarlah menjadi
50
tanggunganku sendiri, biarlah kuderitakan sendiri.” (Oddang, 2015: 32)
…………………………………………………………………………. “Sekalian lagi, dengan sangat berat meninggalkan beban, aku
tetap berharap kerabat mengupacarakanku dengan sempurna sehingga aku menjelma dewa To Membali Puang. Semoga kelak cucu-cucuku bisa kubantu keinginannya serta doa-doa-nya, cucu-cucuku yang masih hidup di dunia.” (Oddang, 2015: 33)
Kutipan teks novel tersebut menunjukkan bahwa proses
pemakaman melalui upacara rambu solo merupakan unsur penting
yang dapat membuat roh menjelma menjadi dewa. Jika hal ini bisa
dicapai maka anak cucu yang mengupacarakan akan dengan muda
terijabah doanya oleh roh yang menjelma menjadi dewa di surga
tersebut. Dengan demikian, dapat disimpulkan prosesi pemakaman
tersebut mengandung keyakinan perjalana ke alama setelah kematian
yakni menuju surga. Sesampainya di surga, kerabat yang telah wafat
yang sudah mendapatkan prosesi pemakaman melalaui upacara adat
diyakini menjelma menjadi dewa. Jika tidak makan roh kerabat yang
mati, seperti pada penuturan tokoh dalam novel, akan terjebak antara
langit dan bumi menjadi bombo.
Pola kepercayaan juga ditemukan dalam novel Manusia Langit
merefleksikan kepercayaan terhadap adanya kegaiban yakni
eksistensi roh. Pola semacam ini dapat ditemukan dalam banyak
struktur kebudayaan di Indonesia, termasuk pada masyarakat Toraja
yang telah dibahasa terdahulu. Data tentang adanyanya roh pada
51
suatu tempat tertentu yang dikeramatkan ini dapat disimak pada
kutipan teks novel sebagai berikut.
“Orang ini berkata bahwa mereka akan membicarakan izin nanti dengan Tuan Mbowo Laiya. Tapi, kata dia, jika Bang Mahendra ingin mengetahui sejarah Banuaha, pulang saja. Pak Nai Laiya bisa berbicara dengan roh, termasuk bertanya tentang sejarah Banuaha. Jangan repot-repot mencari, katanya. "
“Benar?‟ “Lau, aina ba nomo yaitu, “kata pria itu. “Bagaimana cara saya berkomunikasi dengan leluhur?” Pak Nai Laiya kelihatannya mengerti pertanyaanku. Ia
melirik pada Sayani sebagai tanda meminta terjemahkan. Sayani menjawab dalam Bahasa Nias. Terjadilah obrolan yang tak ku mengerti. Aku berusaha memahami dari bahasa tubuhnya. Kecurigaan belum hilang dari mata dan cara Pak Nai bicara.
“Kata Pak Nai Laiya, Bang Mahendra bias bicara pada leluhur melalui odu zatua, patung orang tua, di rumah Pak Nai Laiya,” Sayani menerjemahkan. “Roh orang hebat itu bias dipanggil, tapi harus upacara dulu” (Sonjaya, 2010: 5-6).
Kepercayaan terhadap roh penunggu suatu tempat tertentu
muncul seiring pertumbuhan budaya manusia jaman dahulu. Nias
merupakan salah satu wilayah dengan akar kepercayaan animisme
sebelum masuknya agama Kristen. Roh dianggap memiliki kesaktian
dalam masyarakat sebagaimana dapat dilihat pada kutipan novel,
sebagai berikut.
“Benarkah yang dikatakannya?” tanyaku kepada Sayani. “Bila
benar aku bisa bicara dengan roh, aku akan jadi arkeolog hebat, tidak perlu susah-suah lagi menggali, tinggal tanya saja kepada mereka apa yang terjadi serratus atau seribu tahun lalu. Roh kan hebat, sakti.” (Sonjaya, 2010: 6)
52
Roh-roh tersebut akan menempati pohon-pohon, gunung-
gunung, atau tempat-tempat tertentu yang telah dipersiapkan. Tempat
berdiamnya roh itu kemudian akan disembah dan dijadikan tempat
keramat bagi masyarakat. Roh orang yang telah wafat dianggap
sebagai pelindung yang kuat bagi masyarakat untuk menangkal
pengaruh negatif dan sihir-sihir dari kelompok masyarakat lain. Roh
tersebut hanya dapat dibangkitkan oleh seorang ahli kunci yang dipilih
oleh masyarakat sebagai pembimbing bagi roh-roh tersebut. Cara
mendatangkan roh dilakukan dengan diiringi nyanyian, tarian, puji-
pujian, dan berbagai sajian-sajian. Didatangkannya roh orang yang
telah wafat dilakukan sebagai bentuk perlindungan dan pencarian
berkah bagi mereka yang masih hidup.
Kepercayaan terhadap roh tersebut melahirkan semacam tradisi
yang secara antropologis bida dipahami sebagai penemuan laku hidup
masyarakat Nias yakni dilakukannya upaca pemukulan gong dan
gendang pada saat pembangunan fondasi rumah untuk menjauhkan
dari roh-roh jahat. Hal ini dapat dilihat pada kutipan teks novel sebagai
berikut.
“Dahulu, pada saat membuat fondasi rumah diadakan upacara
pemukulan gong dan gendang untuk mengusir roh-roh jahat di sekitar tanah yang hendak dibangun rumah. Ketika rumah selesai dibangun, sebelum ditempati, masih harus diadakan beberapa kali upacara, mengundang puluhan lelaki masuk ke dalam rumah untuk menguji kekuatan rumah dengan menari hewa-hewa. Setelah itu mereka harus dijamu makan dengan menyembelih puluhan ekor babi.” (Sonjaya, 2010: 12-13).
53
Kutipan teks novel tersebut menunjukkan bahwa dahulu karena
kepercayaan terhadap roh-roh jahat mendorong masyarakat Nias,
khususnya di Banuaha melakukan upaya pemukulan gong dan
gendang. Proses ini mengiringi pembangunan rumah baru, bahkan
jika rumah sudah selesai dibangun masih harus dilakukan upacara
dengan mengudang para lelaki masuk ke dalam rumah menguji
kekuatan rumah dengan tarian hewa-hewa. Setelah itu para penari
harus dijamu dengan penyembelihan puluhan ekor babi.
Aspek kepercayaan lainnya yang terdapat pada novel ini yaitu
percaya adanya Sirao. Kisah lain, seperti Sirao, dikatakan sebagai
anak hasil perkawinan dua penjuru langit, dan proses perkawinannya
seperti perkawinan manusia. Hal tersebut diceritakan oleh sosok Ama
Budi kepada sosok Mahendra. Seperti yang tertera pada kutipan di
bawah ini.
“Dalam satu hoho asal kejadian manusia Nias disebutkan bahwa Sirao, leluur Nias, diturunkan ke bumi dari langit, dari tete holi ana’a. Sirao adalah anak daris hasil perkawinan dua angina di langit. Proses perkawinan dan kehamilan angina tersebut diceritakan secara jelas layaknya perkawinan dan kehamilan manusia.” (Sonjaya, 2010: 110-111)
Berdasarkan kutipan tersebut, suku Nias dianggap berasal dari
langit. Namun, dari versi lain cerita, suku Nias dianggap berasal dari
sebatang pohon kehidupan bernama Sigaru Tora'a. Kutipan di atas
tidak masuk akal secara rasional untuk disebut mitos. Mitos menurut
Barthes (Rafiek, 2012: 103-105) dapat hidup dalam suasana aksi
54
revolusioner dengan membayangkan sesuatu. Mitos apa pun dengan
beberapa derajat generalisasi pada dasarnya ambigu, karena itu
mewakili kemanusiaan. Mitos juga merupakan sistem komunikasi
karena mitos adalah pesan. Mitos dapat tumbuh dan berkembang
dalam karya sastra sesuai dengan kreativitas pengarangnya.
Novel Manusia Langit, menggambarkan budaya atau kultur
secara umum, juga menggambarkan religius masyarakat Nias yang
berbeda dengan masyarakat lainnya. Religius adalah cara pandang
seseorang terhadap agamanya dan bagaimana orang tersebut
menggunakan keyakinan atau agamanya dalam kehidupan sehari-
hari.
Masyarakat Nias masih memegang teguh ajaran atau aliran
animisme. Animisme adalah kepercayaan pada roh dan roh yang
merupakan prinsip kepercayaan agama yang pertama kali muncul di
antara manusia primitif. Animisme meyakini bahwa setiap benda di
Bumi (seperti daerah tertentu, gua, pohon atau batu besar) yang
memiliki jiwa dan harus dihormati agar tidak mengganggu manusia,
bahkan dapat membantu mengusir roh jahat dalam kehidupan sehari-
hari. Di Nias digambarkan bahwa masyarakatnya masih mempercayai
hal-hal gaib. Seperti yang tertera pada kutipan di bawah ini.
“Sudah pulang rupanya kalian?” sapa Ama Budi. “lekas mandi
keburu malam, nanti kena tesafo di sungai!” “baik Ama!”aku sangat merinding mendengar kata tesafo.
Aku pernah melihat tetangga Ama Budi yang kesurupan roh
55
halusbeberapa hari yang lalu. Mengerikan sekali” (Sonjaya, 2010:14)
Tesafo adalah penyakit yang disebabkan oleh makhluk halus,
menurut kepercayaan masyarakat Nias. Biasanya seseorang yang
terkena Tesafo akan langsung memberikan salip di keningnya
menggunakan bahan dapur yaitu kunyit atau arang. Menurut
masyarakat Nias, Tesafo adalah makhuk halus yang belum bisa
tenang. Artinya jika seseorang meninggal dunia, belum dilaksanakan
ritual, maka jiwanya akan resah. Salah satu ritual khusus setelah
kematian di Nias adalah doa setelah empat hari kematian. Roh
almarhum diundang dan diberi makan untuk terakhir kalinya. Diyakini
bahwa selama empat hari setelah kematian roh-roh tersebut masih
berada di dalam atau di sekitar rumah. Pada hari upacara atau ritual
kematian, tidak boleh ada orang di tengah jalan, apalagi di depan
pintu rumah karena bisa terkena Tesafo Roh akan diperlakukan
secara khusus dengan menyembelih babi. dan setelah empat hari,
semangat itu siap untuk meninggalkan segalanya di dunia dan
kembali ke Lowalani. Dan jika seseorang yang terkena tesafo tidak
segera tertolong, atau sudah terlambat, akan berakhir dengan
kematian. Selain tesafo, masyarakat Nias juga mempercayai arwah
nenek moyang yang masih hidup dan bisa memberikan perlindungan
kepada keturunannya. Ini dinyatakan dalam kutipan di bawah ini.
“Bapak ini bilang, soal izin nanti akan mereka bicarakan lagi
dengan Pak Mbὅwὅ Laiya. Tapi, katanya jika Bang Mahendra
56
ingin tahu sejarah Banuaha, datang saja kerumahnya. Pak Nai Laiya bisa mengundang roh leluhur datang kerumahnya. Bang Mahendra bisa bicara dengan roh itu, termasuk bertanya tentang sejarah Banuaha. Tidak usah repot-repot menggali katanya”(Sonjaya, 2010: 5)
Kutipan tersebut jelas menjelaskan masyarakat Nias masih
menyakini hal-hal yang gaib. Sikap dan karakter masyarakat Nias
masih patuh atau taat untuk menjalankan ajaran agama (animisme).
Masyarakat Nias masih menyembah dan meminta sesuatu pada zat
(patung orangtua0. Patung ini bisa berkomunikasi layaknya seperti
manusia.
“Kata Pak Nai Laiya, Bang Mahendra bisa bicara pada leluhur
melalui adu zatua, patung orang tua, di rumah pak Nai Laiya” (Sonjaya, 2010: 6)
Selain itu, masyarakat Nias juga mempercayai Lowalani yang
dianggap sebagai penguasa bumi dan langit untuk keselamatan. Hal
tersebut diungkapkan dalam kutipan berikut.
“Pada saat yang menegangkan itu, nenek ingat untuk berdoa
pada Lowalani, penguasa bumi dan langit, agar aku yang baru saja di lahir dilancarkan jalan napasnya. Lowalani ternyata menjawab permohonan nenek dalam bentuk petir yang sambar menyambar dilangit. Tidak lama berselang, aku pun bisa mengeluarkan tangisan pertama. Suaraku membehana di sekitar ladang seperti bunyi kentungan yang memangil para tetangga di gubuk-gubuk yang berdekatan. Beberapa perempuan dewasa dan gadis datang menghampiri gubuk kamiyang beralaskan tanah itu” (Sonjaya, 2010: 18)
Lowalani dianggap yang sangat dekat dengan leluhur dan yang
paling menakutkan bahkan menyebut namanya harus hati-hati agar
57
tidak sembarangan, jika sembarangan ia akan kena hukuman yang
mengerikan. Ini dinyatakan dalam kutipan di bawah ini.
“Tadi aku menyebut leluhurku, Lowalani, tidak boleh itu, tidak boleh sembarangan menyebut namanya. Harusnya aku membaca doa dan memotong ayam dulu sebelum menyebutnamanya. Dia yang di langit sana bisa marah,”ujar Ama Budi. Angin berembus kencang di dalam ruangan kala Ama Budi menyebut kembali nama Lowalani. Sayani mengusap kuduknya sambil melirik kanan-kiri. Ia tampak ketakutan.“tidak apa-apa,”kata Ama Budi berusaha menenangkan anaknya. “dia sudah pergi” (Sonjaya, 2010: 19)
Apa yang dilakukan Ama Budi untuk menyebut nama
Lowalani tidak di sengaja, seperti yang dikatakannya pada Mahendra
dan Sayani. Namu Lowalani marah, jadi sasaran kutukan adalah Bu
Sayani, yaitu ibunda dari Sayani meninggal akibat kesalahan Ama
Budi yang secara tidak sengaja menelpon Lowalani tanpa berdoa dan
berkurban lebih dulu. Kematian ibu Sayani berkaitan dengan teks di
bawah ini.
“Aku melihat Ama Budi tengah termenung. Ia sama sekali tak menangis menghadapi istrinya terbujur kaku. Sayani dan Ina Berna yang menangis paling keras.aku memeluk Ama Budi erat, merasa sangat menyesal dan takut. Lagi-lagi, ini gara-gara aku yang memancing Ama Budi menyebut nama leluhur tanpa syarat adat. Ama Budi pasti berpikit seperti itu” (Sonjaya, 2010: 113)
Menurut mitologi Nias, alam dan segala isinya ialah ciptaan
Lowalani. Langit yang dia ciptakan memiliki sembilan lapis. Setelah
selesai menciptakan semua itu, ia kemudian menciptakan pohon
kehidupan bernama Tora'a. Pohon itu kemudian menghasilkan dua
buah, yang setelah mengerami seekor laba-laba emas, yang juga
58
merupakan ciptaan Lowalangi, menetaskan sepasang dewa pertama
di alam semesta ini. Mereka diberi nama Tuhamora'aangi
Tuhamoraana'a yang berjenis kelamin laki-laki dan Burutiraoangi
Burutiraoana'a adalah perempuan. Keturunan pasangan dewa
pertama ini kemudian mendiami sembilan lapisan langit. Untuk
menciptakan sesuatu, Lowalani menggunakan udara berbagai warna
sebagai bahan. Dia mengaduk warna dengan tongkat sihir yang
disebut sihai.
Sonjaya dengan jelas menggambarkan kehidupan masyarakat
Nias yang masih menganut animisme. Status sosial dalam kehidupan
masyarakat Nias sangat religius menurut agamanya. Setiap orang tua
yang meninggal dibuatkan patung untuk dipajang di rumah adat.
Diasumsikan bahwa arwah orang tuanya masih tinggal di dalam
patung tersebut. Sehingga jika anak mempunyai keinginan atau
keinginan, minta saja bantuan dari patung orang tuanya agar
keinginannya terkabul, namun dengan membawa sesaji.
Bentuk penghormatan terhadap leluhur ini diwujudkan dalam
lambang patung bernama Adu Zatua. Patung ini diletakkan di dalam
rumah pada bingkai dinding atau pada bagian sekeliling tiang
penyangga utama. Penghormatan terhadap leluhur juga ditemukan
dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Nias yang masih menyebut
kata leluhur jika mengalami musibah atau mendapat tuah. Penyebutan
leluhur menunjukkan bahwa leluhur yang dianggap berada di dunia
59
lain masih memiliki hubungan yang erat dengan keturunannya di dunia
nyata. Ungkapan dalam bentuk rasa syukur dengan jelas
menunjukkan bahwa nenek moyang dianggap dapat mempengaruhi
kehidupan keturunannya. Untuk menjaga agar kepercayaan pada
leluhur tetap dalam sistem, maka tatanan masyarakat dalam suatu
kesatuan keluarga sangat penting dalam kaitannya dengan
kepercayaan pada leluhur. Contohnya adalah garis keturunan pada
keturunan hoho nenek moyang orang Nias, terlihat jelas adanya garis
keturunan awal orang Nias yang kemudian menghasilkan keturunan
sampai sekarang. Tapi Anda harus berhati-hati dengan roh jahat
pemakan bayi. Ini dinyatakan dalam kutipan di bawah ini.
“…karena sering hilang dimakan roh halus itulah, populasi
belada akhirnya tidak banyak dan tidak berkembang, bahkan punah. Anak-anak bayi mereka seringhilang di makan roh jahat. Cerita itumasih hidup hingga sekarang. Banyak orang kita sekarang yang masih memercayai roh pemakan bayi itu” (Sonjaya, 2010: 20)
Masyarakat Nias sangat percaya akan adanya alam lain (alam
tak terlihat). Roh yang tinggal di alam lain dapat memengaruhi
kehidupan orang yang masih hidup. Ada lapisan surga yang memiliki
struktur yang sangat erat kaitannya dengan ritual yang dilakukan
dalam upaya mencapai taraf sosial tertentu.
Selain Adu Zatwa, Lowalani, ada juga pohon tertentu yang
dianggap sakral dan memiliki kekuatan supranatural untuk disembah,
jika menginginkan sesuatu harus memberikan sesaji terlebih dahulu
60
kepada pohon tersebut agar sesuatu bisa berhasil. Dalam novel
Manusia Langit, tokoh-tokoh agama masyarakat Nias digambarkan
melalui sikap dan perilaku yang masih percaya pada hal-hal
supranatural, dan arwah nenek moyang, patung orang tua yang dapat
menolong dan menolong jika memiliki keinginan atau keinginan. Jika
dilihat dari sudut pandang Islam cenderung syirik. Namun jika dilihat
dari sudut pandang seni sastra sangat menarik.
2. Pola Perilaku
Novel Puya ke Puya memanifestasikan perilaku masyarakat
Toraja dalam pemakaman khususnya pemakaman bagi anak balita.
Jika ditelusuri, pemakaman anak balita di Toraja terbilang sangatlah
unik dan memiliki ciri khas tersendiri secara antropologis dilakukan
pada pepohonan tertentu. Hal ini dapat disimak pada kutipan teks
novel sebagai berikut.
… Sejak tujuh belas tahun yang lalu, aku dirawat oleh ibu yang baru, sebelum akhirnya aku menuju puya-menuju surga. Begitu kata ibu yang baru. Ibu Pohon. Katanya lagi, aku tinggal menunggu taubuhku dihancurkan batang pohon, menyatu bersama getahnya yang kami susui, menyatu dengan ranting, menjadi daun, lalu kering, lalu jatuh kembali ke tanah, kembali ke asal, dan kembali ke surga. Aku sudah mau bertemu Ambe di alam arwah ini. Kata Ibu Pohon, kalau Ambe sudah di-rambu solo, kami sudah bisa bertemu. Tapi Ibu Pohon juga bilang, Ambe menyisahkan beban buat keluargaku. Terutama buat kakakku, Allu Ralla. Tongkonan kami ramai di hari kematian Ambe. Aku dan Ambe sama, sama-sama menunggu tiba di surga. Bedanya, untuk sampai ke surga Ambe harus diupacarakan, dipotongkan puluhan kerbau dan ratusan babi. Hal itu tidak mudah, tetapi demi derajat dan adat, sebagai keturunan bangsawan tana-bulaan-Ambe harus melakukannya, lagi-lagi itu kata Ibu Pohon. Setiap malam, ia bercerita kepada anak-anaknya tentang keluarga yang
61
ditinggalkan anak-anak itu. Ibu pohon mengatakan, apalagi sebagai penualaan tetua, pemimpin tongkongan di kete kesu Ambe harus bikin mewah acaranya...” (Oddang, 2015: 11-112)
Kutipan teks novel di atas menunjukkan narasi tentang tokoh
cerita yang dirawat oleh ibu baru atau ibu pohon. Dapat dipahami
bahwa sudut pandang narator yang berkisah pada teks tersebut
adalah roh anak balita yang dalam fase perjalanan pascakematiannya
menuju surga. Pohon bagi pemakaman anak balita dalam struktur
masyarakat Toraja adalah pengganti rahim.
Pohon Tarra dalam kutipan teks tersbut dapatlah ditelsurui dalam
kehidupan nyata. Pada konteks ini, pengarang menggunakan benda-
benda di dunia nyata untuk membangun dunia fiksi yang dibangun
dalam novel. Pohon Tarra secara khusus merupakan Passiliran bayi
dapat diamati di Desa Kambira dan Sarapung. Ada pohon besar yang
dinamakan pohon Tarra yang tinggi menjulang. Pada batang pohon
inilah dibuat lubang pemakaman bagi anak bayi yang belum tumbuh
gigi, penutup setiap lubang pemakaman pada batang pohon
menggunakan segel ijuk dari pohon enau. Penggambaran pohon tarra
dapat disimak pada kutipan data sebagai berikut.
“Bisakah kau bayangkan sebatang pohon besar? Daun rimbun.
Batangnya penuh pahatan kotak-kotak yang ditutupi ijuk. Setiap pagi, hampir saban hari, getah putih menguncur dari pohon itu. Jika bisa, baiklah, berarti tak susah kau mengerti hidup Maria Ralla di dalamnya. Makam pohon itu, disebut makam passiliran. Makam yang dibuat pada batang pohon tarra. Tidak bakalan cukup jika kau melingkarkan lengan dibatangnya. Bayangkan besarnya. Kau bisa ajak teman kau. Seorang lagi. Atau dua orang. Barangkali masih tidak cukup. Di dalam pohon itu ada
62
dunia. Ada kehidupan. Begitulah orang Toraja percaya. (Oddang, 2015: 42)
Pola perilaku pemakaman anak bayi ini didasari oleh
kepercayaan bahwa cara pemakaman tersebut bisa menyelamatkan
bayi lainnya yang lahir dari takdir kematian. Pada sisi lain, getah
pohon tarra yang melimpah dianggap sebagai pengganti air asi ibu.
Posisi lubang makam pada batang pohon juga mencerminkan kasta di
lingkungan masyarakat Toraja. Semakin tinggi lubang makam pada
batang pohon semakin tinggi kasta bayi yang dimakamkan.
Pola perilaku juga ditemukan dalam novel Manusia Langit. Teks
novel tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Nias memiliki perilaku
kekerasan “memenggal kepala”. Hal ini berkaitan dengan pola hidup
masyarakat Nias di pedalaman yang keras.Hal ini dapat disimak pada
kutipan teks novel sebagai berikut.
“Tenang saja, Bang, tidak boleh ada rasa takut kalau kita
benar!” Sayani mengepalkan tangannya. “Lagi pula sekarang penggal-penggal kepala sudah jarang, sudah gereja. Pendeta melarang kami penggal-penggal kepala lagi. Jadi sekarang ada hukum adat dan hukum gereja yang mengatur kami, juga hukum pemerintah. Orang yang membunuh karena dendam tidak akan pernah sampai ke surga, tidak akan pernah sampai ke langit.” (Sonjaya, 2010: 7-8)
Kutipan teks novel di atas menunjukkan bahwa jika masyarakat
Nias dahulu memiliki tradisi bebruru kepala (memenggal kepala)
manusia. Hal ini terjadi jauh sebelum adanya hukum adat dan hukum
gereja serta hukum negara yang menjadi kontrol ketat bagi
63
masyarakat Nias sehingga mulai meninggalkan tradisi ini. Teks novel
tersebut tidak bisa dilepaskan dari sejarah masyarakat Nias itu sendiri
di mana terdapat legenda Awuwukha sang manusia perkasa.
Dalam mitologi Nias, gelar Awuwukha diberikan kepada orang
kuat, perkasa, dan sakti. Banyaknya kepala manusia yang dipenggal
oleh kerabatnya. Dan Awuwukha adalah emali alias jagal terbaik di
masanya. Awuwukha berubah menjadi tukang daging besar karena
ibu dan 7 saudara kandungnya dibakar hidup-hidup di rumahnya oleh
sekelompok orang dari desa lain. Penjajah juga mewarisi lumbung
padi Laimba, seseorang yang belutnya dipuja di desa.
Awuwukha yang datang terlambat dan melihat dengan mata
kepala sendiri bahwa korban telah dibakar bersama keluarganya,
sangat marah. Ia juga melakukan kekerasan terhadap mereka yang
melakukan tindakan tersebut. Beberapa hari kemudian, Awuwukha
pulang. Langkahnya kembali tenang dan mantap, dengan wajah yang
memberikan kesan puas. Ia memanggul karung yang ternyata berisi
pecahan puluhan kepala manusia, kepala orang yang bepergian dan
membunuh keluarganya, serta mempermalukan penduduk desa.
Sejak itu, mangai binu atau perburuan kepala dimulai tepat
karena apa yang dilakukan Awuwukha ternyata adalah. Semakin
banyak musuh karena ingin menyimpan dendam. Namun, Awuwukha
tidak terkalahkan sampai menutup mata terhadap usia. Nama
64
Awuwukha menjadi legenda, sekaligus diabadikan sebagai gelar yang
diberikan kepada orang-orang seperti dia.
Masyarakat Banuaha yang digambarkan dalam novel memiliki
satu kebiasaan unik dalam memperlakukan tamu mereka. Hal
tersebut ialah menyodorkan atau menyiapkan tuak untuk diminum.
Kebiasaan ini unik karena bagi sebagian orang yang tidak biasa
meminum tuak mungkin saja dianggap kurang etis. Namun, tuak
yang disiapkan bagi tamu yang datang merupakan simbol
penghormatan dan penghargaan bagi tamu tersebut. Tuak sudah
menjadi minuman yang rutin dikonsumsi oleh laki-laki di Banuaha
karena selain mudah didapat, tuak dianggap sebagai cara jitu untuk
menjalin persahabatan dan keakraban di antara mereka. Itulah
sebabnya, tuak dianggap media atau wahana untuk menyampaikan
salam penghormatan orang Banuaha bagi tamu yang datang.
Walaupun demikian, tuak bukanlah sajian umum bagi semua
tamu. Tuak hanya diberikan kepada tamu laki-laki yang oleh orang
Banuaha sudah dianggap sebagai bagian dari mereka. Artinya, tamu
yang baru datang tidak serta-merta disediakan tuak untuk diminum.
Tuak hanya disajikan kepada tamu (dalam artian orang luar Nias)
yang sudah menetap dalam waktu yang relatif lama sehingga sudah
dianggap sebagai bagian dari orang Banuaha. Dalam Hal itu,
meminum tuak bersama menjadi simbol bahwa tamu tersebut
bukanlah orang asing lagi bagi warga setempat, melainkan sudah
65
dianggap sebagai warga mereka. Dengan begitu, tamu tersebut tidak
perlu merasa risih atau sungkan berada di Banuaha, karena sudah
dianggap sebagai “orang dalam”.
“Kenapa tidak dimulai sekarang?!” ajaknya serius. “Kami sangat senang dengan niat baik Bang Mahendra,” lanjutnya sambil menyodorkan gelas dan sejeriken tuak.
“Ambil, Nak Hendra,” kata Ama Budi. “Itu satu kehormatan bagi kamu.” (Sonjaya, 2010:81)
Mahendra sudah hampir setahun berada di Banuaha. Ia
kemudian memutuskan untuk mengabdikan dirinya sebagai guru
relawan yang akan mengajar di Banuaha. Ketika bertemua dan
menyampaikan maksudnya kepada kepala sekolah, ia disodorkan
segelas tuak. Hal itu dianggap sebagai penghargaan orang Banuaha
kepada tamunya. Tidak hanya ketika berada di rumah kepala
sekolah, Mahendra rutin disajikan tuak ketika berada di sekolah yang
dikirim oleh teman dan tetangganya. Unik, atau bahkan dianggap
kurang tepat oleh sebagian orang dari luar Banuaha, namun itulah
budaya, itulah kebiasaan mereka. Tuak sudah menjadi wujud
ekspresi orang Banuaha dalam menghormati dan menghargai
tamunya. Tuak merupakan simbol kearaban di antara masyarakat
Banuaha.
Masyarakat suku Nias di Banuaha menjunjung tinggi nilai-nilai
kekeluargaan. Hal itulah yang menjadikan mereka selalu kompak dan
hidup rukun. Tidak hanya kepada sesama masyarakat Banuaha.
Orang luar Nias pun dapat dianggap menjadi bagian keluarga
66
mereka jika sudah tinggal lama di Banuaha, dan berperilaku baik
sesuai tatanan budaya yang berlaku dalam masyarakat. Pada
awalnya, orang luar yang datang di Nias diperlakukan layaknya
seorang tamu pada umumnya. Disambut, dijamu, bahkan diberikan
pelayan terbaik, karena tamu bagi masyarakat Nias memiliki posisi
yang sangat tinggi, yaitu seperti raja. Tatkala tamu tersebut sudah
menetap lama di Banuaha, maka ia sudah dianggap seperti
masyarakat asli di sana. Hal itu tidak lantas menjadikannya sebagai
orang yang tidak dihormati lagi. Ia tetap dihormati, dihargai, namun
sudah dalam konteks yang berbeda. Jika pada saat baru datang ia
dihormati sebagai seorang tamu, setelah menetap lama di Banuaha
ia tetap dihormati, namun dalam posisinya sebagai anggota
masyarakat atau bahkan anggota keluarga tertentu. Tidak ada lagi
sekat di antara satu dengan yang lain. Hal tersebut dapat dilihat pada
data berikut ini.
““Baiklah kalau begitu, tapi tolong tutup dulu pintu, aku sudah
mulai merasa kedinginan, maklum sudah tua,” Ama Budi menunjuk pintu atap rumbia. Aku merasa senang mendapat perintah seperti itu karena itu salah satu tanda bahwa aku sudah diterima di keluarga Ama Budi. Jika masih menganggap aku sebagai tamu, mana mungkin orang Banuaha akan memberi perintah kepada tamunya seperti itu. Bagi orang Banuaha, tamu benar-benar didudukkan sebagai raja yang harus dihormati. Jelas, aku tidak mau didudukkan sebagai raja. Hal itu akan membuatku rikuh saja” (Sonjaya, 2010: 16)
Tokoh Mahendra merupakan pendatang di Banuaha. Pada awal
kedatangannya, ia diperlakukan dengan baik sebagai tamu oleh
67
masyarakat Banuaha. Setelah lama tinggal di Banuaha, ia tetap
mendapat perlakuan yang baik, namun ia sudah dianggap sebagai
bagian dari keluarga Ama Budi. Bagi Mahendra yang tidak ingin
selalu diperlakukan seperti raja, dan ia ingin hidup lebih dekat
dengan masyarakat Banuaha, perlakuan seperti ini sangat
diharapkannya. Salah satunya adalah perlakuan Ama Budi yang
menyuruhnya menutup pintu rumahnya. Mahendra diperlakukan
layaknya anak atau kerabat Ama Budi lainnya. Tidak ada lagi sekat di
antara mereka. Hal itu menandakan bahwa Mahendra sudah
dianggap sebagai bagian dari keluarga Ama Budi.
Perilaku masyarakat dalam novel Manusia Langit sangat
menjunjung tinggi harga diri. Bagi masyarakat suku Nias, harga diri
dan wibawa menjadi salah satu tolok ukur status sosial seseorang.
Orang Nias menyebutnya lakhőmi dan sumange (harga diri dan
wibawa). Untuk mendapatkan lakhőmi dan sumange, seseorang
diwajibkan untuk menggelar pesta adat yang tidak kecil biayanya.
Dalam novel disebutkan.
“Ya, seperti itulah,” jawab Ama Budi. “Orang yang bisa
menyelenggarakan pesta dan memberi makan orang banyak disebut lakhőmi dan sumange.”
“Apa artinya, Ama?” “Artinya harga diri dan berwibawa.” “Adat sudah menggariskan bahwa mereka yang sudah
menjalankan adat, menjalankan pesta-pesta, yang didengar ucapannya di kampung” (Sonjaya, 2010:101)
68
Semakin besar pesta yang digelar, semakin banyak harta yang
dikorbankan, semakin tinggi pula harga diri dan wibawa seseorang
baik dalam tatanan sosial maupun adat. Jika lakhőmi dan sumange
telah disandang oleh seseorang, maka ia akan semakin dihormati
dan disegani. Dalam tatanan sosial orang yang telah mencapai
lakhőmi dan sumange, memiliki status yang lebih tinggi daripada
orang lain. Sementara dalam tatanan budaya orang yang telah
mencapai lakhőmi dan sumange menjadi salah seorang pengambil
keputusan adat, yang setiap kata-kata dan perintahnya harus ditaati.
Jika pada kelompok masyarakat lain, tingkat sosial seseorang
ditentukan oleh posisi atau kedudukannya di masyarakat, di Nias
tidak demikian. Kedudukan yang tinggi dalam masyarakat, misalnya
sebagai kepala desa, belum menjadikan seseorang dihormati dan
dipatuhi kata-katanya. Ia harus menggelar upacara adat dan pesta
besar untuk menyempurnakan harga diri dan wibawanya di
masyarakat.
Agar kata-katanya didengar dan dipatuhi, seseorang harus
menggelar pesta tertinggi yang disebut mangowasa. Dengan begitu,
ia sudah bisa dikatakan menyandang lakhőmi dan sumange, artinya
harga diri dan wibawa tertinggi. Hal itu seperti yang dialami oleh
tokoh Ama Budi sebagaimana digambarkan dalam novel Manusia
Langit. Ama Budi yang terpilih menjadi kepala desa tidak serta merta
didengar kata-katanya. Agar bisa didengar kata-katanya, ia
69
diharuskan menyelenggarakan pesta. Ia harus memotong 30 ekor
babi untuk mengukuhkan kedudukannya sebagai kepala desa.
Namun, semua itu tidak cukup. Ia masih harus menggelar
mangowasa atau pesta tertinggi yang biayanya sangat besar
sehingga membebaninya. Butuh ratusan ekor babi, puluhan gram
emas, dan berkarung-karung beras untuk melaksanakan pesta siang
dan malam tersebut. Sejak saat itu, Ama Budi menjadi orang yang
paling dihormati dan didengar kata-katanya. Belum ada yang mampu
melaksanakan pesta mangowasa setelah dia.
“Memang mereka minta apa?” “Mangowasa, pesta tertinggi, tapi itu sangat berat.”
“Ama melakukannya?”
“Ya, demi adat, aku melakukannya, tapi butuh tiga tahun
sejak menjadi kepala desa untuk bisa menyelenggarakannya.
Ratusan ekor babi dan puluhan gram emas dikorbankan,
berkarung-karung beras direlakan untuk menjamu khalayak
yang datang ke pesta tujuh hari tujuh malam” (Sonjaya,
2010:101)
Status lakhőmi dan sumange yang disandang oleh seseorang
harus dibayar mahal dengan pengorbanan harta benda. Bahkan, jika
harta sendiri tidak cukup, ia harus meminjam kepada keluarga dan
berhutang kepada orang lain untuk mencukupkan seluruh biaya
pesta. Tidak ada pengembalian uang atau harta benda bagi orang
70
yang telah menggelar mangowasa. Imbalannya hanya akan
diterimanya ketika ada orang lain yang berpesta. Ia akan
mendapatkan bagian daging babi paling banyak, mendapat bagian
kepala babi, sebagai wujud penghormatan baginya.
Mengorbankan harta benda dan memotong ratusan babi, pada
hakikatnya merupakan simbol pertaruhan jati diri di antara
masyarakat Nias. Mengorbankan harta benda dan memotong babi
berarti mengangkat harga diri dan wibawa. Tidak hanya harga diri
dan wibawa pribadi orang tersebut, namun hal itu berarti juga
mengangkat harga diri dan wibawa seluruh keluarganya. Satu orang
yang berkorban, seluruh keluarga dan keturunanya menjadi orang-
orang yang dihormati dan disegani. Itulah prinsip penyelenggaraan
pesta mangowasa pada masyarakat Nias.
“Pesta adat adalah salah satu cara orang Banuaha menghargai
diri sendiri dan berbagi dengan sesama. Kamu tidak akan dapat menghargai dan mencintai orang lain bila kamu sendiri tidak bisa menghargai dan mencintai diri sendiri. Itu menjadi prinsip orang Banuaha” (Sonjaya, 2010: 103)
Pesta adat sebagai salah satu aspek kebudayaan suku Nias
mengandung makna yang mendalam bagi masyarakat setempat.
Dengan menggelar pesta adat, berarti seseorang telah menghargai
diri sendiri dan yang tidak kalah pentingnya adalah memupuk nilai-
nilai kebersamaan di antara masyarakat Nias. Pesta yang digelar
memang menghabiskan banyak biaya, namun di balik pesta adat
71
tersebut tali silaturahmi semakin erat dan kebersamaan pun semakin
kokoh. Bagi masyarakat Banuaha, pesta adat sama artinya dengan
syukuran untuk berbagi kepada sesama sehingga antara orang yang
memiliki kelebihan dan orang-orang yang kekurangan dapat bersatu.
Masyarakat suku Nias sebagai salah satu wilayah dengan
komunitas etnis yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai budaya
lokalnya, selalu mengutamakan musyawarah dan mufakat dalam
sidang adat untuk menyelesaikan suatu permasalahan atau untuk
mengambil suatu keputusan. Lebih-lebih lagi jika permasalahan atau
keputusan itu berhubungan dengan kelangsungan hidup orang
banyak, dan berkaitan dengan pelanggaran etika sesuai ukuran
norma dan hukum adat masyarakat setempat. Segala keputusan
diserahkan kepada para tetua atau para pemangku adat yang
dipercaya menjadi representasi suara masyarakatnya. Apapun yang
telah diputuskan oleh para pemangku adat dalam sidang adat
menjadi sesuatu yang tetap, harus ditaati, dan harus dilaksanakan.
Salah satu contoh aturan adat di Nias sebagaimana terdapat
dalam novel Manusia Langit yang telah disepakati dan ditetapkan
oleh para pemangku adat adalah aturan batas pekerjaan laki-laki dan
perempuan dalam sebuah rumah tangga. Salah satu ketentuan yang
ditetapkan adalah laki-laki tidak bisa mengerjakan tugas-tugas rumah
tangga. Semuanya diserahkan kepada perempuan. Akibatnya, jika
ada seorang suami yang ditinggal mati istrinya, maka ia harus segera
72
menikah kembali dengan perempuan lain sehingga ada yang
mengurus dan mengerjakan tugas-tugas rumah tangga. Dalam
lingkungan adat Nias, tabu seorang laki-laki mengerjakan tugas-
tugas rumah tangga. Padahal, untuk menikahi seorang perempuan
sangatlah besar biayanya. Meskipun berat untuk dilaksanakan,
namun karena aturan tersebut telah menjadi kesepakatan dan telah
ditetapkan sebagai aturan atau hukum adat, tetap harus dipatuhi dan
dilaksanakan.
“Sudah ada aturan yang tegas tentang pembagian pekerjaan
laki-laki dan perempuan. Untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu, mereka tidak bisa bertukar, hanya boleh saling membantu, tidak seperti di kota yang mana batas pekerjaan laki-laki dan perempuan sudah tidak ada lagi. Ama Budi termasuk salah satu yang membuat dan menyepakati aturan tak tertulis itu karena ucapan-ucapan tokoh adat menjadi hukum setelah dibicarakan di dadaoma ono zalawa, tempat para tetua adat berupa kursi-kursi batu yang ditata melingkar dengan meja batu di tengahnya. Di situlah semua aturan adat diputuskan dan situ pula harga diri dipertaruhkan. Kini perkataanya, aturannya, telah menjerat dirinya sendiri” (Sonjaya, 2010: 123)
Contoh lain pengambilan keputusan secara musyawarah adat
dalam novel Manusia Langit adalah pemberian hukuman atau denda
kepada seseorang atau beberapa orang yang dianggap melanggar
aturan atau hukum adat yang telah berlaku di Banuaha. Orang-orang
yang dianggap melanggar atauran akan dibawa ke tempat
persidangan adat. Dengan dihadiri para tokoh adat dan disaksikan
oleh seluruh masyarakat, sidang ada dilaksanakan secara terbuka
sehingga tidak ada kesan main hakim sendiri dan keberpihakan.
73
“Baiklah, sekarang sudah jelas, Mahendra dan Sayani wajib
membayar babi kepada keluarga Laiya, jumlahnya nanti kita bicarakan antarkeluarga saja!” kata Ama Budi mengambil keputusan.
“Tidak, Ama, harus diputuskan sekarang!” sanggah Amoli. “Kami minta sepuluh ekor babi dan penggalian di ladang kami dihentikan!”
Sebelum aku menjawab, seorang pria angkat tangan minta bicara. “Karena kalian empat orang, adilnya babinya empat ekor, kenap minta sepuluh?”
“Baiklah, demi adat, demi harga diri kami, aku setuju!” Ucap Amoli. (Sonjaya, 2010:77)
Dalam persidangan adat di kalangan masyarakat Banuaha,
perbedaan pendapat merupakan hal yang biasa. Setiap orang dapat
memberikan saran, kritik, dan masukan untuk menjadi bahan
pertimbangan oleh para tokoh adat dalam mengambil keputusan.
Namun pada akhirnya, keputusan para tokoh adatlah yang menjadi
pegangan. Setelah diputuskan, semuanya harus menerima sebagai
komitmen bersama demi menjunjung tinggi hukum adat. Jika ada
yang menentang keputusan tersebut, maka pihak-pihak tersebut
akan mendapat sanksi sosial karena dianggap tidak mau mematuhi
aturan adat yang telah dijalankan sejak dahulu.
3. Pola Status Sosial
Konstruksi teks novel Puya ke Puya dan Manusia Langit juga
menunjukkan penggambaran terhadap strata sosial masyarakat
Toraja dan pulau Nias. Penggambaran ini dilakukan dengan
pendekatan sosiologis karena menggambarkan masyarakat Toraja
74
dan pulau Nias dalam teks novel sebagaimana pada realitasnya yang
dilakukan dengan menganggkat satu kasus seperti pola pemakaman
dan seluruh prosesinya untuk menunjukkan pola posisi sosial tertentu
pada masyarakat Toraja dan pulau Nias. Hal ini dapat dilihat pada
kutipan teks novel:
“Harus kerbau belang. Kerabat Ralla sepakat. Tidak boleh setengah-setengah. Tidak ada yang mau masuk ke surga juga hanya setengah. Tidak ada yang mau pujian tamu hanya setengah.” (Oddang, 2015: 14-15)
………………………………………………… “Waktunya tiba, kami melingkar di tengah tongkonan. Mayat
Ambe kaku di dalam peti mati, diluar lingkaran kerabat yang segera memulai rapat. Bagaimana saya seharusnya? Hanya Indo barangkali yang mendukung. Sementara itu, saudara-saudara Ambe, ponakannya, dan kerabat yang lain pasti etap menuntut memewahkan kematian Ambe demi gengsi dan demi tidak tercorengnya nama keluarga Ralla.” (Oddang, 2015: 17)
Pelaksanaan pemakaman di lingkungan masyarakat Toraja
merupakan produk budaya yang kian berkembang menjadi persaingan
citra atau gensi yang menandai status sosial tertentu. Kutipan teks
novel tersebut menunjukkan narasi tentang keluarga Ralla yang
berupaya memewahkan pemakaman untuk mencapai surga sekaligus
mencari popularitas di mata tamu yang menghadiri pemakaman Ambe
(data 4). Proses pemakaman juga dimaksudkan untuk tidak
mencoreng keluarga besar Ralla. Dengan demikian, dapat dipahami
bahwa konstruksi budaya pemakaman masyarakat Toraja dalam novel
merupakan pola yang menggambarkan posisi sosial tertentu yang
menunjukkan kasta atau kebangsawanan dalam lingkungan
75
masyarakat Toraja. Hal ini dapat disimak pada kutipan teks novel
sebagai berikut.
“Kau paham, pasti. Jika ada rambu solo, wajah kerabat akan
tercoreng. Gengsi kelurga Ralla akan jatuh mirip buah ranum yang meninpa bebatuan. Akan remuk harga diri mereka. Ya, akan remuk oleh tiga penyataan masyarakat: (1) Wah, bangsawan kok pelit; (2) Dasar mereka tak tahu berterima kasih kepada mayat kerabatnya; (3) Keluarga itu memang malas bekerja sama cari uang, makanya tak ada upacara. (Oddang, 2015: 33)
Kutipan teks novel di atas menunjukkan perdebatan dalam suatu
acara pertemuan keluarga untuk membahasa persiapan pemakaman
Ambe. Proses pemakaman dengan sendirinya menjadi pertaruhan
menjaga gengsi keluarga dan harga diri untuk menghindari persepsi
masyarakat lainnya sehingga tidak dipandang pelit, menjadi rasa
terima kasih kepada mayat kerabat, sekaligus menjadi ukuran etos
kerja. Keluarga yang ulet bekerja dapat merancang upacara
pemakaman dengan sangat meriah.
Masyarakat suku Nias khususnya yang ada di Banuaha tidak
mengenal kasta. Namun, dalam konteks sosial masyarakat Banuaha
mengenal tingkatan atau lapis sosial yang menyebabkan seseorang
atau sekelompok orang menjadi dihormati atau dihargai. Seperti yang
dideskripsikan di dalam novel Manusia Langit, ada tiga kelompok
sosial yang memiliki status atau kedudukan yang sangat dihargai dan
dihormati di antara masyarakat lainnya. Yaitu, orang yang telah
menjalankan adat atau pesta adat, orang-orang dari keluarga atau
76
marga tertentu, dan kedudukan sebagai guru. Ketiga status ini
menjadi sangat dihormati dan dihargai sehingga kata-kata mereka
sangat didengar, bahkan ditakuti oleh sebagian orang.
Pertama, status orang yang telah menjalankan adat atau pesta
adat. Orang kaya dan banyak harta tidaklah menjadi ukuran
seseorang atau sebuah keluarga menjadi sangat dihormati dan
dihargai di Banuaha, selama mereka belum menggelar pesta adat.
Walaupun hidup pas-pasan, namun mampu menggelar pesta adat,
akan menjadi orang yang lebih dihormati dan didengar kata-katanya.
Yang dimaksud dengan pesta adat adalah menggelar upacara adat
dengan memberikan makan masyarakat sekitar. Pesta adat tertinggi
di Banuaha disebut mangowasa. Pesta adat tersebut dimaksudkan
untuk mengukuhkan posisi atau kedudukan seseorang, baik dalam
konteks sosial maupun budaya. Untuk menyelenggarakan pesta adat
tentu tidak sedikit jumlah biaya yang harus dikeluarkan. Dibutuhkan
ratusan ekor babi, puluhan gram emas, dan berkarung-karung beras.
Pestanya pun sampai berhari-hari digelar.
Tidak hanya bermodalkan kaya, namun harus berani
mengorbankan kekayaan tersebut untuk menggelar pesta adat yang
menelan banyak biaya. Akibatnya, tidak sedikit orang di Banuaha
yang menggelar pesta adat mangowasa, namun karena keterbatasan
biaya harus meminjam kepada kerabat dan berhutang kepada orang
lain, agar dapat menggelar pesta tersebut. Memang terasa sangat
77
berat, namun demi status sosial dan kedudukan dalam adat yang
tinggi, menjadikan seseorang rela melakukannya. Apabila seseorang
telah berhasil menggelar pesta adat, sejak saat itu ia menjadi orang
yang sangat dihormati dan disegani. Setiap kata-katanya menjadi
petuah. Setiap perbuatannya selalu menjadi sorotan dan panutan.
Bahkan, semua anggota keluargannya pun menjadi orang-orang
yang dihormati.
Tokoh Ama Budi merupakan contoh orang di Banuaha yang
telah melaksanakan pesta adat mangowasa. Sebelum melaksanakan
pesta adat tersebut, Ama Budi berkedudukan sebagai kepala desa.
Namun, kedudukannya tersebut tidak serta-merta menjadikan kata-
katanya didengar oleh masyarakat. Nanti setelah ia menggelar pesta
adat mangowasa, kedudukannya sebagai kepala desa menjadi lebih
kuat, sehingga setiap kata-katanya didengar oleh masyarakat.
Demikianlah ketentuan adat istiadat masyarakat suku Nias di
Banuaha. Berikut data cerita di dalam novel.
“Adat sudah menggariskan bahwa mereka yang sudah
menjalankan adat, menjalankan pesta-pesta, yang didengar ucapannya di kampung.” (Sonjaya, 2010: 101)
Kedua, kedudukan seorang guru. Guru menjadi sosok yang
sangat dihormati dan disegani dalam konteks sosial masyarakat Nias
di Banuaha. Selain jumlahnya yang sangat terbatas, guru juga
dianggap sebagai figur yang dapat diteladani perbuatan dan kata-
78
katanya. Sosok guru menjadi sangat langka karena untuk menjadi
seorang guru tentu harus membekali diri dengan ilmu pengetahuan
yang tinggi sehingga ia mampu mendidik anak-anaknya. Selain itu,
tugas seorang guru yang memberikan pencerahan dan pendidikan
kepada orang lain menjadikannya sebagai figur yang sangat
disegani.
Dalam novel Manusia Langit dicontohkan tingginya kedudukan
seorang guru. Tokoh Amőli yang menuntut denda 10 ekor babi
kepada Mahendra dan Sayani karena dianggap telah berbuat
kesalahan, tidak dapat berbuat apa-apa ketika tokoh Ama Firma
mengusulkan denda empat ekor babi saja sesuai jumlah mereka.
Ama Firma merupakan guru senior di Banuaha. Posisinya sebagai
guru sangat dihormati dan disegani karena setiap pemikirannya
dianggap sangat berwibawa dan bijak sehingga apa pun yang
diusulkan selalu didengarkan.
“Tantangan dari Ama Firma tampaknya membuat Amőli tak
berkutik. Posisi guru sangat dihormati di kampung itu, apalagi Amőli bekas murid Ama Firma. Semua yang sekolah dikampung itu pasti pernah brhadapan dengan Ama Firma karena ia guru senior” (Sonjaya, 2010: 78)
Kasus lain terjadi pada tokoh Mahendra yang telah mendapat
sanksi denda karena dianggap telah melanggar aturan adat di
Banuaha. Selanjutnya ia disarankan menjadi guru relawan di
Banuaha. Usulan tersebut langsung diterimanya dengan harapan
79
status sosialnya akan kembali baik setelah menjadi guru. Dengan
menjadi guru, status sosial seseorang akan meningkat karena profesi
guru merupakan profesi yang sangat dihormati di Banuaha.
“Aku tersenyum. Kenapa ini tak terpikir sebelumnya? Orang tua
yang sangat bijak itu sangat memahami apa yang ada dalam pikiranku. Aku merasa saran Ama Budi untuk mengajar di SMP sebagai peluang yang baik untuk menjamin kembali hubungan dengan masyarakat karena profesi guru sangat dihormati di kampung.” (Sonjaya, 2010: 81)
Ketiga, marga-marga tertentu. Masyarakat suku Nias di
Banuaha menghormati keluarga-keluarga yang memiliki marga
tertentu. Contohnya marga Hia seperti digambarkan dalam novel
Manusia Langit. Marga Hia menjadi salah satu keluarga yang
dihormati di Nias. Marga Hia dianggap sebagai marga tertua di Nias.
Menghormati marga Hia samahalnya dengan menghormati leluhur
mereka. Demikian pula sebaliknya, tidak menghormati keluarga Hia
berarti tidak menghormati leluhur.
Dalam novel Manusia Langit digambarkan tokoh Sayani yang
merupakan keturunan marga Hia dihormati oleh para lelaki di
Banuaha. Pada saat itu, tokoh Mahendra akan dikeroyok oleh para
pemabuk. Ketika Sayani datang membantu, para pemabuk tersebut
tidak jadi mengeroyok Mahendra. Mereka kelihatan hormat kepada
Sayani karena menghargai posisinya sebagai salah satu anggota
keluarga yang bermarga Hia. Hal tersebut dapat dilihat pada data
novel berikut ini.
80
“Kenapa para pemabuk itu kelihatan hormat kepadamu dan tak berani lagi kepadaku.”
“Karena aku orang Banuaha dari keluarga Hia. Marga Hia sangat dihormati karena dianggap yang tertua di Nias.” (Sonjaya, 2010:73)
Tidak hanya Sayani yang dihormati karena merupakan anggota
keluarga yang memiliki pertalian darah dengan keluarga Hia lainnya.
Mahendra yang merupakan pendatang di Banuaha menjadi orang
yang dihargai. Selain statusnya sebagai tamu, ia pun tinggal di rumah
Ama Budi yang notabenenya merupakan keluarga bermarga Hia.
Mahendra dihormati karena ia berada di dalam lingkungan keluarga
Hia yang dihormati. Bahkan, oleh para tetangga Ama Budi, Mahendra
sudah dianggap sebagai bagian dari keluarga Hia.
Kian hari hubunganku dengan Ama Budi kian dekat.
Kedekatanku dengannya melebihi Ama Budi dengan Sayani, anak
kandungnya. Apalagi Sayani sering tidak di rumah sejak kepergian
ibunya. Semua kerabat dan tetangga saya lambat laun mulai
mengenali saya sebagai anak Ama Budi. Jadi, saya mulai
mendapatkan embel-embel di belakang nama saya. Mahendra Hia.
Kedengarannya bagus.
“Aku sangat senang menyandang nama itu. Baru kali ini aku
merasa benar-benar dianggap ada. Aku pun merasa tidak keberatan ketika Ama Budi mengusulkan untuk menyelenggarakan pesta. Aku menyambut ide itu karena aku masih punya sedikit tabungan. Lalu disiarkanlah kabar jika keluarga Ama Budi Hia hendak menyelenggarakan pesta
81
pengukuhan anak angkatnya, Mahendra Hia” (Sonjaya, , 2010:126)
Begitulah sistem kekerabatan yang berlaku di Banuaha. Ikatan
persaudaraan dan kekeluargaan tidak hanya diakui dengan pertalian
darah di antara mereka. Jika ada orang lain yang memiliki kedekatan
dengan keluarga mereka, dan orang tersebut sudah dipercaya serta
telah memiliki kedekatan emosional dengan keluarga tersebut, maka
orang tersebut dapat diangkat sebagai anggota keluarga baru.
Tidak hanya nama orang tersebut yang mengalami
penambahan marga di belakangnya, namun semua status yang
menempel pada keluarga inti pemilik marga tersebut akan menjadi
hak dari orang tersebut. Akan tetapi, pengangkatan anggota keluarga
baru tidak hanya dilisankan atau sekadar diketahui oleh semua
anggota keluarga dan masyarakat sekitar. Pengangkatan anggota
keluarga baru harus dikukuhkan secara adat dengan cara
menyelenggarakan pesta. Pesta adat tersebut harus dihadiri oleh
semua anggota keluarga inti. Jika ada anggota keluarga inti yang
tidak hadir atau belum bisa hadir karena alasan yang jelas, maka
pesta tersebut belum bisa dilaksanakan.
Hal tersebut di atas dimaksudkan agar seluruh anggota
keluarga inti, terutama yang ditandai dengan penggunaan marga,
dapat menilai secara langsung tabiat atau karakter orang yang
diangkat sebagai anggota keluarga baru. Jika semua anggota
82
keluarga inti tersebut sudah setuju dan sepakat dengan
pengangkatan anggota keluarga baru tersebut, barulah pengukuhan
adat dilakukan. Sebaliknya, jika ada anggota keluarga yang kurang
sepakat bahkan menolak pengangkatan tersebut berdasarkan
penilainnya, maka pengangkatan tersebut harus ditunda untuk
mencapai kesepakatan, bahkan mungkin dibatalkan karena tidak ada
kesepakatan bulat dalam keluarga inti.
Sebagai salah satu kelompok budaya yang hingga saat ini
masih kokoh dengan berbagai pola kebudayaannya, masyarakat
suku Nias diikat oleh seperangkat aturan yang terus dijaga dan
dilaksanakan secara konsisten oleh masyarakat setempat. Salah
satunya adalah aturan tentang hubungan laki-laki dan perempuan
yang belum menikah. Walaupun perempuan di Nias memiliki tugas
dominan dalam melaksanakan berbagai urusan keluarga, tidak
berarti bahwa perempuan harus diperlakukan semena-mena.
Sebaliknya, perempuan di Nias sangat dilindungi dengan aturan-
aturan peradatan yang ketat. Bahkan, perlindungan terhadap
perempuan menjadi salah satu ukuran harga diri laki-laki di
Banuaha. Falsafah “Jatuh harga diri kita jika tidak bisa melindungi
perempuan” menjadi prinsip hidup laki-laki di Banuaha.
Perlindungan terhadap harkat dan martabat perempuan lebih
ketat bagi perempuan yang masih gadis atau belum menikah.
Jangankan menyentuh atau memperkosa, memandang perempuan
83
saja dengan nafsu birahi, akan dikenai denda sesuai ketentuan
sidang adat setempat. Itulah sebabnya, menikahi gadis Nias
membutuhkan biaya yang sangat besar untuk menggugurkan semua
aturan peradatan yang mengikatnya.
“Kalau di sini justru laki-laki yang harus melindungi perempuan, bukan sebaliknya; jatuh harga diri kita jika tidak bisa melindungi perempuan.” (Sonjaya, 2010: 67)
Kuatnya hukum adat yang mengatur hubungan perempuan
dan laki-laki di Nias memberikan dampak positif. Terutama
terhindarnya kasus-kasus perselingkuhan, pemerkosaan, serta
hubungan gelap antara laki-laki dan perempuan yang belum menikah,
sebagaimana yang marak terjadi di kota-kota besar. Dalam sistem
peradatan suku Nias, hukum-hukum adat masih kental dan masih
terus berlaku. Hukum-hukum adat ibarat “teropong” yang
senantiasa memantau dan mengawasi setiap tingkah laku
anggota masyarakatnya. Dengan begitu, masyarakat di suku Nias
selalu merasa terlindungi dari hal-hal negatif serta merasa terus
diawasi oleh aturan-aturan yang sudah menjadi kesepakatan
bersama.
“Tapi,” Sayani mengingatkan, “Jika Abang menatap buah dada
itu dengan tatapan birahi, Abang akan kena denda.” “Tentu, Sayani, aku tahu itu,” aku memotong. “Itulah
hebatnya di sini, orang Banuaha mempunyai kontrol sosial yang kuat yang mengalahkan hukum positif di kota. Di sana banyak sekali perselingkuhan dan perkosaan, sedangkan di sini tidak ada. Bukankah begitu?” (Sonjaya, 2010: 92) ………………………………………………………………………
84
“Begitulah di sini, Bang, perilaku kita saling dicermati oleh sesama. Jika ada yang melanggar, maka orang lain, terutama dari marga yang berbeda, akan melaporkannya ke tetua adat. Begitulah keteraturan dibangun di Banuaha. Tidak tertulis, tapi kekuatannya sungguh luar bisaa.” (Sonjaya, ML, 2010:93)
Jika terjadi perselingkuhan, pemerkosaan, hingga hubungan
gelap antara laki-laki dan perempuan yang belum menikah,
maka hukum adat akan ditegakkan. Konsekuensinya pun tidak
ringan. Mulai dari hukuman denda hingga hukuman mati. Itulah
yang berlaku di suku Nias. Hukuman berat seperti ini dianggap
sangat mujarab untuk melindungi harkat dan martabat perempuan
di Nias. Hukuman yang diberikan mampu memberikan efek jera bagi
orang-orang yang melanggar aturan.
“Iya, Bang Hendra ini aneh juga, masa belum nikah kok sudah
begituan sama Kak Yasmin,” komentar Sayani polos. “Jika di sini ada yang seperti itu, keduanya sudah mati. Si perempuan akan dihanyutkan ke sungai dan si lelaki akan dipenggal kepalanya di tengah kampung.” (Sonjaya, ML, 2010:70)
Hubungan laki-laki dan perempuan dalam tatanan peradatan
suku Nias harus dikukuhkan dalam upacara perkawinan. Seorang
laki-laki yang menyukai seorang perempuan dianjurkan untuk
segera menghubungi pihak keluarga perempuan untuk
melamarnya. Prosesi lamaran dan pernikahan nanti akan
dibicarakan, disepakati, dan dilaksanakan sesuai dengan tata
upacara adat pernikahan suku Nias. Apabila terjadi hubungan
85
spesial antara laki-laki dan perempuan tanpa sepengatahuan atau
tanpa restu orang tua, dipastikan akan terjadi perselisihan bahkan
perang antara dua keluarga mereka. Hal itu seperti yang digambarkan
oleh J.A. Sonjaya dalam novel Manusia Langit. Mahendra yang
menyukai Saita bermaksud membantunya yang harus mengangkat
beras dari pasar di kecamatan hingga ke Banuaha. Maksud baik
Mahendra tersebut justru dinilai melanggar adat Nias yang melarang
laki-laki berjalan bersama perempuan yang belum dinikahinya. Hal
tersebut lebih diperparah lagi dengan tindakan Mahendra yang
sempat mencium Saita ketika sedang menyeberangi sungai. Hal
tersebut memicu amarah dari pihak keluarga Saita. Tabu bagi
orang Nias melihat sepasang laki-laki dan perempuan yang belum
diikat dengan pernikahan untuk berjalan bersama, apalagi sampai
mencium. Apalagi Saita sudah dilamar oleh pemuda lain. Mahendra
pun dihukum denda oleh pihak keluarga Saita.
Aku dianggap sudah melanggar dua pasal. Pertama, aku
mencium Saita. Kedua, aku telah berjalan berduaan dengan anak gadis tanpa ikatan apa pun. Aneh bukan? Setelah membantu mengangkat beras bukannya mendapat tanda terima kasih, malah disuruh membayar denda. Anak-anak babi yang baru saja aku beli untuk pesta pengukuhan namaku kelak terpaksa harus aku ikhlaskan untuk membayar denda itu. Tapi, bukan itu yang membuat aku sakit hati. Aku merasa terpukul ketika mengetahui Saita akan menjadi milik lelaki lain (Sonjaya, 2010:160)
Hukum adat di Nias tidak mengenal pernikahan yang bubar
atau berpisah karena perceraian. Hubungan pernikahan harus abadi.
86
Perpisahan hanya akan terjadi jika ada di antara keduanya yang
meninggal dunia. Ketika seorang suami ditinggal mati istrinya,
maka diwajibkan laki-laki tersebut menikah kembali. Hal itu
dimaksudkan agar ada yang mengurus rumah tangga. Sesuai adat
di Nias, perempuanlah yang mengerjakan segala urusan rumah
tangga. Tabu jika ada laki-laki dewasa yang harus mengerjakan
sendiri segala urusan rumah tangga. Terlebih lagi jika laki-laki
tersebut menduduki posisi adat yang tinggi di kalangan masyarakat
Nias. Tidak pantas seorang pemangku adat harus hidup sendiri dan
mengerjakan semua urusan keluarganya.
Kasus ini pernah terjadi pada tokoh Ama Budi seperti
digambarkan dalam novel Manusia Langit. Ama Budi merupakan
salah seorang tokoh adat yang memiliki kedudukan tinggi dalam
tatanan peradatan Nias. Ketika istrinya meninggal dunia, ia harus
mengerjakan semua urusan rumah tangga sendiri. Pada prinsipnya
Ama Budi merasa mampu mengerjakan semua itu, namun aturan
adat tidak membolehkan hal tersebut. Dia harus menikahi seorang
perempuan untuk mengerjakan semua itu. Namun, di sisi lain ia
terbebani dengan besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk
melamar seorang perempuan di Banuaha. Karena sudah menjadi
sebuah kesepakatan, Ama Budi pun harus menjalankan aturan
adat tersebut, meskipun dengan berat hati karena harus
mengorbankan banyak harta dan biaya.
87
“Kepergian Ina Budi sangat memukul pendiriannya. Seorang lelaki di Banuaha dengan status tinggi, seperti Ama Budi, tidak mungkin mengerjakan pekerjaan rumah seperti mencuci, memasak, dan membersihkan rumah. Ama Budi bukannya tidak mau dan tidak bisa mengerjakan itu, tetapi statusnya telah membelenggu dirinya untuk turut pada aturan yang telah disepakati dalam masyarakatnya. Sudah ada aturan yang tegas tentang pembagian pekerjaan laki- laki dan perempuan. Untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu, mereka tidak bisa bertukar, hanya boleh saling membantu, tidak seperti di kota yang mana batas pekerjaan laki-laki dan perempuan sudah tidak ada lagi. Ama Budi termasuk salah satu yang membuat dan menyepakati aturan tak tertulis itu karena ucapan-ucapan tokoh adat menjadi hukum setelah dibicarakan di dadaoma ono zalawa, tempat para tetua adat berupa kursi-kursi batu yang ditata melingkar dengan meja batu di tengahnya. Di situlah semua aturan adat diputuskan dan situ pula harga diri dipertaruhkan. Kini perkataanya, aturannya, telah menjerat dirinya sendiri” (Sonjaya, 2010: 123)
Satu lagi hukum adat yang berlaku di Nias, yaitu tidak boleh
perempuan memiliki suami dua. Ini mungkin umum ditemukan di
mana pun. Namun, keteguhan orang-orang Nias dalam menjalankan
aturan adatlah yang menjadikan mereka berbeda dari kelompok
masyarakat lain. Mereka konsisten dalam menjalankan aturan atau
hukum adat yang telah mereka sepakati bersama. Perempuan yang
sudah dilamar dan dinikahi seorang laki-laki, berarti perempuan
tersebut sudah dibeli. Segala hak dan kewajiban perempuan
seutuhnya menjadi milik laki-laki sebagai suaminya. Jika ada laki-laki
lain yang mencoba mengganggu perempuan yang sudah menjadi
istri orang lain, maka akan terjadi perang keluarga yang sampai
menelan korban jiwa.
88
“Benar, dulu aku sangat berharap bisa memiliki Saita, tapi sekarang Saita sudah resmi menjadi milik orang lain. Tak ada dalam hukumnya orang Banuaha bercerai. Tak ada pula ceritanya perempuan Banuaha memiliki dua suami.” (Sonjaya, 2010:183)
Semua hukum adat di suku Nias yang mengatur hubungan laki-
laki dan perempuan merupakan mekanisme kontrol yang mampu
mengendalikan pola tingkah laku masyarakat setempat. Jika aturan-
aturan seperti ini diberlakukan pula pada masyarakat-masyarakat di
perkotaan, niscaya kasus-kasus perselingkuhan, pemerkosaan,
maupun hubungan gelap tanpa status perkawinan, akan berkurang
bahkan nilang. Dengan aturan yang mengikat seperti ini, setiap
anggota masyarakat akan merasa selalu terawasi dan terlindungi.
Tidak aka ada saling mengganggu, saling mencurigai. Yang ada
hanyalah saling menjaga, saling menghormati satu dengan yang lain.
Dengan begitu, tatanan kehidupan sosial di dalam kelompok
masyarakat menjadi lebih baik, aman, nyaman, tenteram, dan
sejahtera karena semuanya berpegang teguh pada aturan yang
sudah menjadi kesepakatan bersama.
4. Pola Ritual Adat
Adat istiadat dapat dipahami sebagai berbagai aturan atau tata
krama kelakuan hidup yang dihormati dan dipatuhi oleh masyarakat
pemiliknya. Adat istiadat diwariskan secara turun-temurun yang
memiliki fungsi mengatur masyarakat untuk mencapai ketertiban
sosial. Adat istiadat juga tentunya menjadi ciri mendasar suatu entitas
89
suku bangsa di Indonesia, termasuk pada masyarakat Toraja dan
pulau Nias.
Pola adat istiadat ini dapat diidentifikasi dalam teks novel melalui
setiap tokoh yang menekankan pentingnya mengetahui adat seperti
Aluk dan Rambu Tuka. Hal ini dapat disimak pada kutipan novel
dibawah ini.
“Kau seharusnya mengerti aluk di usia kau yang sekarang,
Allu,” Indo mengucapkan dengan bergumam. Saya tahu ia tidak ingin didengarkan oleh Ambe. Saya belum paham, adat macam apa yang saya tidak mengerti.
“Soal pernikahan, Allu. Soal pernikahan dan soal pemakaman, sungguh tongkonan, tidak baik digelar am u tuka upacara kesenangan macam kesedihan. Itu jika masih ada mayat di dalam ditongkonan. Dan tentu kau tahu sendiri, ambemu bahkan belum diputuskan rencana pemakamannya.” (Oddang, 2015: 99)
Aluk dalam kutipan teks novel tersebut di atas merujuk pada
dasar kepercayaan Aluk Todolo yang dianut oleh masyarakat Toraja.
Tradisi ini merupakan asas kepercayaan kepa To Membali Puang.
Sedangkan rambu tuka merupakan upacara adat yang lebih
menekankan pada ucapan syukur. Di upacara ini, tidak akan
ditemukan kesedihan atau pun ratapan tangis. Hanya anda
kegembiraan dan suka cita. Upacara ini biasanya diadakan di acara-
acara seperti pernikahan, syukur atas hasil panen, atau peresmian
rumah Tongkonan. Di acara ini, semua rumpun keluarga akan
berkumpul dan sekaligus menjadi ajang mempererat hubungan antar
keluarga.
90
Pola adat istiadat selanjutnya yang dapat dicermati dalam novel
ini yaitu pada aspek pelaksanaan rambu solo sebagai penyempurnaan
kematian orang yang meninggal. Hal ini dapat disimak pada kutipan
teks novel sebagai berikut.
Saya akan mengupacarakan Ambe dengan rambu solo paling sempurna. Demi kesalahan-kesalahan yang saya lakukan, saya ingin Ambe masuk ke puya lau menjadi To Membali Puang. Tidak ada lagi tingkatan arwah yang lebih tinggi daripada itu. Diam-diam, tanpa ada yang tahu saya menyetujui penjualan tanah warisan kami kepada paka soso. Saya sebagi kepala keluarga , jadi saya berhak dan memiliki keleluasaan untuk menentukan semuanya. Jika sedikit saja Indo mengerti dan sedikit saja ia membersihkan kepalanya dari kata masa lalu dan warisan yang harus dijaga, saya yakin Indo akan memahami niat baik saya. Indo tidak akan menolak lagi. Saya percaya hal itu.” (Oddang, 2015: 120)
Rambu Solo merupakan upacara kematian yang melekat pada
nilai-nilai adat istiadat yang masih ada di Toraja. Sebuah kepercayaan
menjelaskan asal usul Aluk dari langit. Oleh karena itu, bisa disebut
Tuhan dan semua orang Toraja tunduk pada Aluk. Budaya kematian
Rambu Solo disebut juga Aluk Rampe Matampu yang artinya
dilaksanakan pada sore hari.
Upacara Rambu Solo yang dilaksanakan oleh bangsawan
biasanya sangat mewah, bahkan bisa dilakukan dalam waktu yang
lama. Ketika yang meninggal adalah keluarga bangsawan, keluarga
besar akan memberikan upacara yang sempurna. Nyatanya, rakyat
jelata tidak bisa melakukan upacara seperti bangsawan. Ini karena
mereka tidak mampu melaksanakan materi untuk melaksanakannya
91
seperti bangsawan. Selain itu, mereka tidak diperbolehkan melakukan
upacara bak bangsawan menurut etika budaya di Toraja. Hal ini terkait
dengan tingkatan strata sosial di Tana Toraja. Beberapa tahapan dari
prosesi pemakaman ini juga diuraikan oleh pengarang novel Puya ke
Puya melalui tokoh utama novel sebagai berikut.
Pertama, pelaksanaan mappassulu‟. Proses ini merupakan
pemberitahuan kepada warga bahawa rambu solo akan digelar dalam
waktu dekat. Hal ini dapat disimak pada kutipan teks novel sebagai
berikut.
“Hari ini diadakan mappassulu‟, sebuah acara sebagai pencanangan bahwa keluarga akan mengadakan rambu solo. Begitulah cara yang kami tempuh yang sekaligus untuk mengabari warga setempat bahwa kami akan menggelar acara besar dalam waktu dekat. Saya akan membiayai acara ini. Sedikit nyeri juga dada saya merogoh saku untuk Ambe. Saya bukan hitung-hitungan. Bukan itu, saya hanya merasa apa yang saya lakukan ini tidak sempurna menyenangkan Ambe. Tetapi uang yang untuk membeli empat puluh babi yang dagingnya kemudian kami bagikan itu bukanlah uang seperti biasanya. Saya mendaptka karena pekerjaan yang sama sekali tak seorangpun membenarkannya. Saya mencuri mayat-mayat bayi di makam passiliran. Saya melakukannya demi Ambe juga, tetapi pastilah jika saya katakan hal ini, tidak ada yang akan mengerti. Tetapi saja hal ini dianggap kesalahan. Tidak akan ada yang mengerti, termasuk Indo. Karena itu, rahasia ini kupendam dan kuperam sendiri.” (Oddang, 2015: 123)
Kutipan teks tersebut menunjukkan proses mappassulu’ setelah
seluruh keluarga Allu bersepakat melaksanakan rambu solo. Proses ini
menjadi yang paling pertama dilakukan dengan memberitahukan warga
sehingga terbangun semacam kerjasama menuju hari pelaksanaan
92
prosesi rambu solo yang telah direncanakan dengan berbagai persediaan
ritual.
Kedua, mang iu’ atu. Jika dicermati dalam realitasnya merupakan
proses gotong-royong masyarakat melaksanakan rambu solo.
Penggambaran mang iu’ atu ini dapat disimak pada kutipan novel
sebagai berikut.
“Mang iu’ atu pasti mendatangka banyak warga yang
membantu; batu menhir setinggi tiga meter yang ditemukan oleh Leba Ralla sepupu satu kali saya dari paman marthen akan ditarik bersama-sama. Leba menemukannya dipuncak gunung. Jadi bisa dibayangkan betapa susahnya membawa batu itu ke ante lapangan tempat pusat acara rambu solo. Butuh banyak tenaga, dan tenaga-tenaga itu patutlah dibayar dengan daging kerbau. Lihatlah, begitulah adat membuat rasa pamrih, begitulah adat secara halus menanamkan paham tidak ada yang gratis di dunia ini. Bahkan tenaga harus dibayar dimasyarakat tradisioanal yang masih jauh dari individualisme masyarakat kota.” (Oddang, 2015: 136)
Mangriu 'batu merupakan kegiatan gotong royong laki-laki untuk
mengangkat batu menhir dari atas bukit. Batu itu dibawa dan diletakkan di
tengah lapangan. Nantinya akan dijadikan tempat mengikat kerbau yang
akan disembelih pada tanda tunggal saat rambu solo.
Ketiga, proses ma’popengkaloa. Dalam novel Puya ke Puya
dideskripsikan bahwa proses ini dilakukan kepada Rante Ralla atau
bagian lain teks novel juga disebut oleh tokoh utama novel dengan
sebutan Ambe Ralla. Refleksi proses ini dalam novel dapat disimak pada
kutipan teks sebagai berikut.
93
“Orang-orang menyebutkan ini sebagai ma’popengkaloa. Jenazahku disemayamakan tiga hari tiga malam di dalam lumbung sebelum diadakan uapacara ma’pasonglo dan menaikkan jenazahku ke keranda jenazah yang telah dihiasi macam-macam ukiran dan berbentuk miniatur tongkonan saringan namanya. Sebagi mantan ketua adat, aku tahu pasti semua rangkaian upacara yang bakal ranut dan tidak aka dibiarkan luput satu pun oleh Marthen. Setelah di atas saringan jenazahku aku akan ditandu keliling lokasi upacara.” (Oddang, 2015: 137).
Kutipan teks novel di atas menjelaskan bahwa proses
ma’popengkaloa merupakan tahapan penurunan mayat ke lumbung dalam
rangka persemayaman selama tiga hari sebelum diadakan yang namanya
proses ma’pasonglo. Proses ini umumnya dikenal dengan proses
mengarak mayat yang telah dibungkus menuju persemayaman. Tujuan
utama dari ma’pasonglo ialah menaikkan mayat ke dalam kerandan yang
telah terhiasi dengan bermacam-macam ukiran dan berbentuk miniatur
tongkonan, saringan namanya.
Proses keempat yang digambarkan dalam novel yaitu mappasilaga
tedong. Hal ini dapat dilihat pada kutipan teks novel sebagai berikut.
“Sebelum mantanu tedong, di antara kerbua-kerbau yang akan
dibantai itu ada beberapa yang diadu dalam rangkaian upacara mappasilaga tedong. Acara ini bersifat hiburan, dan semasa hidupnya aku tidak sekalipun melewatkannya. Selain mengakrabkan, acara itu juga bisa jadi ajang berjudi, dan aku sangat suka. Bayangkan jika kerbau unggulan menang, pasti akan dapat pujian. Dan, beruntung aku adalah ketua adat. Ketika kerbau andalanku kalah, tak ada yang berani menghujat. Orang lain pasti akan diolok sampai tuntas.” (Oddang, 2015:172)
94
Mappasilaga tedong yang berisi rangkaian acara hiburan di hari sakit
setelah proses resepsi dilengkapi dengan pertunjukan maapasilaga
tedong yang artinya adu kerbau. Saat upacara Rambu Solo, kegiatan ini
yang paling ditunggu-tunggu. Oleh karena itu, penonton sangat antusias
dengan hal ini. Adu kerbau ini digunakan sebagai sarana hiburan.
Maapasilaga tedong dilakukan oleh seorang ahli bernama Pa'tingoro,
yaitu seseorang yang memiliki keahlian khusus dalam menebas kerbau.
Kerbau itu roboh dalam satu gerakan. Setelah itu darah yang mengalir
dari tubuh kerbau akan ditampung dalam wadah untuk dimasak. Lalu ada
warga yang siap mengambil darah kerbau tersebut. Selanjutnya darah
kerbau akan makan dan makan bersama. Setelah itu rangkaian acara
selanjutnya yang dilakukan adalah Mantunu Tedong.
Pola adat selalu terkait dengan makna sosial bersama, yaitu
berbagai cara memahami dunia. Makna dalam budaya dibangun melalui
tanda, terutama tanda bahasa. Kajian budaya menilai bahwa bahasa
dicari oleh media untuk pesan makna dan pengetahuan tentang objek
yang ada di luar bahasa, tetapi merupakan bagian utama dari makna dan
pengetahuan tersebut.
Bahasa memberi makna pada objek dan praktik sosial yang disajikan
sehingga orang dapat menjawabnya dalam konteks yang menyusun
bahasa tersebut. Proses menghasilkan makna adalah praktik makna
(tanda). Memahami budaya berarti mengeksploitasi bagaimana makna
dihasilkan oleh suatu sistem dalam bahasa sebagai sistem tanda.
95
Hubungan makna dengan tradisi kematian Rambu Solo terletak pada
pandangan masyarakat Toraja. Mereka berpendapat bahwa setiap orang
yang meninggal karena tidak setuju telah meninggal sebelum upacara
Rambu Solo yang diadakan oleh pihak keluarga. Makna dalam tradisi
Rambu Solo bagi masyarakat adalah kesepakatan bersama. Tradisi ini
tetap dijaga dan dijalankan karena kepercayaan yang dianut. Mereka
memiliki keyakinan bahwa seseorang yang telah meninggal,
Pola ritual adat juga tergambar begitu menonjol dalam novel
Manusia Langit. Dulu, bagi masyarakat Nias, rumah merupakan hal yang
berharga karena tidak hanya didirikan untuk tempat tinggal. Pendirian
rumah bagi masyarakat Nias dulunya digunakan juga untuk menunjukkan
status sosial pemiliknya. Dalam pendiriannya, sebuah rumah adat juga
harus mengikuti beberapa tahapan upacara, seperti yang terlihat dalam
kutipan berikut ini.
“Dalam satu hoho asal kejadian manusia Nias disebutkan
bahwa Sirao, leluur Nias “Selain kayu-kayu besar sudah tak ada lagi di hutan, membangun rumah adat sangatlah berat bagi kami sekarang. Harus pesta-pesta, mulai dari menyiapkan kayu, membangun, hingga meresmikan rumah. Biaya pesta jauh lebih banyak daripada bahan untuk membuat rumah, apalagi untuk golongan bangsawan seperti kami. Mendirikan rumah adat memerlukan waktu bertahun-tahun sebab harus melalui berbagai tahapan upacara.” (Sonjaya, 2010: 12)
………………………………………………………………………… “Dahulu, pada saat membuat fondasi rumah diadakan upacara
pemukulan gong dan gendang untuk mengusir roh-roh jahat di sekitar tanah yang hendak dibangun rumah. Ketika rumah selesai dibangun, sebelum ditempati, masih harus diadakan beberapa kali upacara, mengundang puluhan lelaki masuk ke dalam rumah untuk menguji kekuatan rumah dengan menari
96
hewa-hewa. Setelah itu mereka harus dijamu makanan dengan menyembelih puluhan ekor babi.” (Sonjaya, 2010: 13)
Tahapan-tahapan upacara yang dilakukan dalam pendirian
sebuah rumah adat ini kemudian dijelaskan lebih lanjut oleh Sayani,
seperti yang tergambar dalam kutipan novel di atas. Seperti yang
dijelaskan sebelumnya, sistem religi yang dianut masyarakat Nias
menunjukkan adanya kepercayaan terhadap roh-roh halus. Dari
kutipan di atas terlihat bahwa pemukulan gong dan gendang dalam
tahapan upacara dimaksudkan agar orang yang tinggal di dalam
rumah tersebut nantinya terbebas dari gangguangangguan roh-roh
jahat. Selain itu, adanya penyembelihan babi dapat dilihat sebagai
sarana untuk memperlihatkan kemakmuran si pemilik rumah tersebut.
Di dalam Manusia Langit juga disebutkan bahwa pada zaman dahulu,
bukan hanya babi yang disembelih, kepala seorang budak juga ikut
dikorbankan dalam upacara pembangunan rumah adat tersebut. Hal
tersebut terlihat dari kutipan berikut.
“Dulu, yang disembelih bukan hanya babi, juga seorang budak
yang digulingkan dari bubungan atap yang sangat tinggi hingga jatuh ke bawah, lalu disembelih. Kepala budah itu kemudian disimpan di atas pole rumah.” (Sonjaya, 2010: 13)
Penyembelihan kepala budak maupun babi dilakukan untuk
menunjukkan harga diri dan kedudukan pemilik rumah dalam
masyarakat maupun dalam kedudukannya di depan leluhur. Namun,
seperti yang sudah dijelaskan, pembangunan rumah adat saat ini
97
sudah tidak serumit itu karena terhalang oleh fasilitas dan masuknya
agama dalam kehidupan mereka. Pada masa sekarang, masyarakat
tidak dengan mudah dapat mengumpulkan pulihan bahkan ratusan
ekor babi untuk dikorbankan. Hal inilah yang membuat syarat-syarat
pembangunan rumah adat di Banuaha saat ini sudah jauh lebih
mudah.
Penggambaran upacara pendirian rumah adat yang
digambarkan dalam Manusia Langit memiliki perbedaan dengan
tahapan upacara pendirian rumah adat. Apabila seseorang mendirikan
rumah, maka ia harus membayar adat yang disebut fanara nomo
(pendirian rumah) berupa satu ekor babi, pada saat memberikan atap
rumah juga membayar adat yang disebut fanouomo (pengatap rumah)
berupa seekor babi, dan pada saat rumah telah selesai, maka kembali
ada pembayaran adat yang disebut famaheu nomo (keselamatan
rumah yang telah selesai) berupa enam ekor babi dengan berat
masing-masing babi lebih kecil daripada babi yang dipakai membayar
adat sebelumnya. Jadi, dalam pembuatan rumah adat tradisional ada
tiga tingkat kegiatan yang harus dibayar sebagai hutang adat.
Perbedaan antara pengambaran tata upacara adat pendirian
rumah adat yang terdapat dalam Manusia Langit dengan tata upacara
adat pendirian rumah adat yang terdapat dalam buku Legitimasi
Kekuasaan Pada Budaya Nias adalah pada jumlah tahapan serta
jumlah babi yang disembelih. Di dalam Manusia Langit, tahapan
98
upacara pembuatan rumah hanya ada dua, yaitu ketika pembuatan
fondasi rumah dan ketika pengujian kekuatan rumah. Jumlah babi
yang dikorbankan untuk menjamu tamu mencapai puluhan babi.
Semua tahapan upacara tersebut berbeda dengan apa yang dituliskan
dalam Legitimasi Kekuasaan Pada Budaya Nias. Di dalam buku
tersebut, tahapan pembangunan rumah adat terdiri dari tahap
pendirian rumah, pengatapan rumah, dan keselamatan rumah yang
sudah selesai. Jumlah babi yang dikorbankan juga tertulis sebanyak
delapan ekor babi.
Selain upacara pendirian rumah, novel ini juga mengangkat pola
pengangkatan pemimpin adat masyarakat Banuaha Nias. Dalam novel
Manusia Langit ini, tokoh Ama Budi digambarkan sebagai salah satu
orang yang memiliki pengaruh penting di Banuaha. Ama Budi
mendapatkan posisi tinggi dalam masyarakat karena sebelumnya
telah melakukan upacara owasa atau mangowasa. Owasa atau
mangowasa adalah pesta yang dilakukan untuk mengukuhkan posisi
Ama Budi sebagai seorang kepala desa dan juga sebagai tetua adat
di Banuaha. Sebelum melakukan owasa atau mangowasa, Ama Budi
telah terlebih dahulu melaksanakan upacara pemotongan babi seperti
terlihat dari kutipan berikut ini.
“Adat sudah menggariskan bahwa hanya mereka yang sudah
menjalankan adat, menjalankan pesta-pesta, yang didengar ucapannya di kampung.”
“Begitulah,” jawab Ama Budi lirih. “Keluarga dan kerabatku akhirnya mendorong aku buntuk membuat pesta. Aku
99
memotong 30 ekor babi untuk mengukuhkan statusku sebagai kepala desa. Tapi, tetap saja suaraku tak didengar.” (Sonjaya, 2010: 101)
Kutipan tersebut menunjukkan bahwa sebagai seorang kepada
desa yang telah mengukuhkan dirinya melalui pesta atau upacara
pengukuhan sebagai kepala desa, kedudukan atau statusnya masih
belum dihargai oleh masyarakat.
“Menjadi kepala desa tak berarti membuat seseorang dihargai
di kampung; tetap saja yang dihargai adalah mereka para tetua marga dan adat,” tutur Ama Budi. “Belum lagi para tetua marga dan tetua adat itu banyak yang iri kepadaku.” (Sonjaya, 2010: 101)
Para tetua marga dan tetua adat banyak yang iri kepada Ama
Budi karena Ama Budi berhasil menjadi seorang kepala desa. Banyak
di antara mereka yang tidak bisa menjadi seorang kepala desa karena
tidak bisa membaca. Ama Budi berhasil terpilih menjadi kepala desa di
Banuaha karena memenuhi persyaratan bisa baca tulis dari
pemerintah, seperti yang digambarkan dalam kutipan berikut ini.
“Karena hanya aku yang bisa baca tulis,” jawab Ama Budi
dengan tegas. “Waktu itu ada pemerintah, salah satu syarat menjadi
kepala desa harus bisa baca tulis. Karena syarat itu, bayak tetua marga dan adat yang tidak bisa menjadi kepala desa.” (Sonjaya, 2010: 100)
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, meskipun berhasil
menjadi kepala desa, Ama Budi masih belum dihormati seutuhnya
100
oleh masyarakat di sana. Ama Budi menjadi kepala desa sejak tahun
1982 hingga tahun 1992. Pada tiga tahun pertama menjadi kepala
desa, ia masih juga belum didengar oleh masyarakat. Oleh karena itu,
setelah tahun ketiga menjabat sebagai kepala desa, Ama Budi
kemudian melaksanakan upacara adat atau pesta tertinggi untuk
mejadi tetua adat. Pesta atau upacara adat tertinggi ini dimakan
owasa atau mangowasa. Pelaksanaan mangowasa digambarkan
dalam kutipan berikut ini.
“Ya, demi adat, aku melakukannya, tapi butuh tiga tahun sejak
menjadi kepala desa untuk bisa menyelenggarakannya. Ratusan ekor babi dan puluhan gram emas dikorbankan, berkarung-karung beras direlakan untuk menjamu khalayak yang datang ke pesta selama tujuh hari tujuh malam.” (Sonjaya, 2010: 101)
Dari kutipan di atas, terlihat bahwa untuk melaksanakan sebuah
upacara atau pesta tertinggi agar bisa dihargai dalam masyarakat,
Ama Budi banyak mengorbankan harta bendanya. Semua itu
dilakukan agar bisa mendapatkan penghargaan dan penghormatan
dari masyarakat, seperti yang digambarkan melalui perkataan Ama
Budi berikut ini.
“Pesta adat adalah salah satu cara orang Banuaha menghargai
diri sendiri dan berbagi dengan sesama. Kamu tidak akan dapat menghargai dan mencintai orang lain bila kamu sendiri tidak bisa menghargai dan mencintai diri sendiri. Itu menjadi prinsip orang Banuaha.” (Sonjaya, 2010: 103)
101
Kutipan di atas menunjukkan bahwa untuk menghargai diri
sendiri dan menghargai masyarakat, seorang Ama Budi
mengorbankan harta yang ia punya. Namun, pengorbanan Ama Budi
ini tidak sia-sia. Dengan melakukan upacara adat atau pesta adat ini,
Ama Budi menjadi sangat dihargai di Banuaha. Hingga saat ini belum
ada lagi orang Banuaha yang bisa mengadakan pesta owasa atau
mangowasa sebesar yang diadakan Ama Budi.
Sikap dan kritikan pengarang kembali muncul pada
penggambaran upacara pemilihan pemimpin adat ini. Melalui tokoh
Mahendra, pemerolehan gelar pemimpin adat di Nias disamakan
dengan proses pemerolehan gelar sarjana di universitas, seperti yang
tergambar dari kutipan ini.
“Seperti masyarakat di sini yang dibagi menjadi tingkat-tingkat dan bergelar-gelar, di sana pun ada jabatan-jabatan, ada gelar-gelar.”
……………. “Ya, seperti ritual adat di sini, Ama!” Aku sedikit enggan
menceritakan ritual wisuda yang dirasa membebani sebagian besar mahasiswa yang telah menyelesaikan pendidikan di universitas. Untuk keperluan wisuda, seorang mahasiswa diwajibkan membayar dua ratus ribu hingga lima ratus ribu rupiah kepada universitas…” (Sonjaya, 2010: 105-106)
Kutipan data di atas menunjukkan bahwa perbandingan yang
digambarkan melalui tokoh Mahendra bisa dianggap sebagai sebuah
kritikan dari pengarang. Seperti pemunculan sikap dan kritik
pengarang yang terlihat pada bagian-bagian sebelumnya, sebagai
seseorang yang bekerja dalam lingkungan kampus, melalui kisah
102
dalam cerita inilah kritikan-kritikan pengarang terhadap lingkungan
kampus bisa tersampaikan. Sama halnya dengan apa yang
digambarkan dalam Manusia Langit, pelaksanaan upacara atau pesta
pengukuhan pemimpin adat owasa ini juga dilakukan sebagai proses
pemberian gelar adat kepada seseorang dengan hak-hak
istimewanya. Ddalam adat masyarakat Banuaha, semua perkataan
orang yang telah melaksanakan pesta owasa adalah hukum yang
tidak bisa disanggah atau dilanggar.
Penggambaran pesta owasa dalam Manusia Langit sama
dengan penjelasan pesta owasa yang dijelaskan Sonjaya dalam buku
hasil penelitiannya di Nias. Pesta owasa digambarkan melalui kutipan
berikut.
“Batu telah menjadi bagian dari kehidupan orang-orang Banuaha. Hamper semua siklus hidup orang Banuaha terkait dengan batu. Ketika bayi lahir, didirikanlah menhir di depan rumah sebagai tanda. Untuk mengukuhkan batu peringatan itu, 8-12 ekor babi dikorbankan.
Ketika sang bayi bisa berjalan untuk pertama kali, harus diselenggarakan upacara menginjak batu pertama. Ketika bayi menjadi anak, ia harus disunat dengan membiarkan darahnya menetes diatas batu di halaman rumah sebagai tanda bahwa hidupnya telah menyatu dengan batu dan bumi.
Ketika anak sudah dewasa dan menikah, ia harus berlomba untuk menyelenggarakan pesta owasa, yakni pesta terbesar untuk orang Nias. Pada pesta ini yang bersangkutan akan dikukuhkan di atas batu dengan gelar yang disesuaikan dengan kekayaan dan keahliannya.
Ketika sakit dan akan meninggal, ai harus menyeleng-garakan pesta fatome dengan memotong beberapa ekor babi dan mengambil batu dari gunung untuk didirikan saat ia meninggal kelak. Ketika ia meninggal dan tulang-tulangnya siap dikubru sebelum menhir didirikan sebagai penanda bahwa ia sesengguhnya masih hidup di menhir tersebut.” (Sonjaya, 2010: 95-96)
103
Kisah pesta yang dilaksanakan oleh Ama Watilina Hia terlihat
memiliki kesamaan dengan pesta owasa yang dilaksanakan Ama
Budi. Owasa dalam kedua buku ini merupakan upacara yang
dilakukan untuk mengukuhkan posisi dalam masyarakat setelah
terpilih menjadi kepala desa. Tahun pelaksanaan upacara owasa juga
sama, yaitu pada tahun 1984. Sampai saat ini, belum ada orang lain
yang sanggup melaksanakan owasa lebih besar bahkan sebesar yang
dilakukan Ama Watilina Hia. Hal yang dialami Ama Watilina Hia ini
sama dengan apa yang dialami tokoh Ama Budi dalam Manusia
Langit. Hal yang sama juga diungkapkan dalam Legitimasi Kekuasaan
dalam Budaya Nias.
Upacara owasa merupakan sebutan untuk upacara peningkatan
status sosial bagi masyarakat Nias bagian utara sedangkan bagi
masyarakat Nias bagian selatan, upacara ini dinamai faulu. Upacara
owasa/faulu ini juga dikatakan sebagai pesta besar yang memerlukan
biaya yang besar sehingga tidak semua masyarakat Nias mampu
untuk melakukannya. Melihat penggambaran dari beberapa sumber,
terlihat bahwa upacara owasa ini memang upacara besar hingga tidak
banyak masyarakat yang bisa melaksanakannya.
Pola ritual adat juga dapat ditemukan melalui penggambaran
upacara kelahiran setiap anak di lingkungan masyarakat Banuaha.
Pada bagian awal cerita, Ama Budi sempat bercerita tentang proses
104
kelahirannya dulu. Proses kelahiran yang diceritakan oleh Ama Budi
digambarkan sangat terkait dengan bantuan roh leluhur yang dinamai
Lowalani oleh masyarakat. Ama Budi bercerita bahwa saat dilahirkan,
inang dari Ama Budi sedang berada di sebuah gubuk di tengah
ladang. Saat inang Ama Budi melahirkan inilah kemudian inang Ama
Budi meminta tolong kepada roh leluhur agar memudahkan jalan
napas Ama Budi. Penggambaran ini terlihat dari kutipan berikut ini.
“Pada saat yang menegangkan itu, nenek ingat untuk berdoa pada , penguasa bumi dan langit, agar aku yang baru saja lahir dilancarkan jalan napasnya. Lowalani ternyata menjawab permohonan nenek dalam bentuk petir yang sambar-menyambar di langit. Tidak lama berselang, aku pun bisa mengeluarkan tangisan pertama. Suaraku membahana di sekitar ladang seperti bunyi kentungan yang memanggil para tetangga di gubuk-gubunk yang berdekatan. Beberapa perempuan dan gadis dewasa datang menghampiri gubuk kami yang beralaskan tanah itu.” (Sonjaya, 2010: 18)
Kutipan di atas menunjukkan bahwa dalam proses kelahiran,
peranan dari Lowalani sebagai roh leluhur sangatlah penting. Untuk
itu, doa yang ditujukan kepada Lowalani perlu dipanjatkan agar bayi
yang dilahirkan selamat serta dijauhkan dari roh-roh jahat. Setelah
berlangsungnya proses kelahiran, perlu diadakan beberapa tahapan
dalam upacara kelahiran. Dalam novel Manusia Langit ini, tahapan
dalam upacara kelahiran masyarakat Nias tergambar pada bab “Air
dan Batu”. Pada bab ini, terdapat cerita mengenai hubungan antara
batu-batu peninggalan masa megalitikum dengan siklus hidup
masyarakat Banuaha. Salah satu siklus hidup yang digambarkan
105
adalah upacara kelahiran, seperti yang terlihat dalam kutipan berikut
ini.
“Batu telah menjadi bagian dari kehidupan orang-orang
Banuaha. Hamper semua siklus hidup orang Banuaha terkait dengan batu. Ketika bayi lahir, didirikanlah menhir di depan rumah sebagai tanda. Untuk mengukuhkan batu peringatan itu, 8-12 ekor babi dikorbankan.” (Sonjaya, 2010: 96)
Pendirian menhir sebagai tanda adanya kelahiran juga
menunjukkan adanya penghormatan terhadap leluhur karena batu
bagi masyarakat Banuaha dianggap sebagai tempat bersemayamnya
roh leluhur. Setelah pendirian menhir saat bayi dilahirkan, tahapan
upacara kelahiran di Banuaha yang tergambar dalam Manusia Langit
berlanjut kepada upacara menginjak batu, disunat, dan akhirnya
melakukan upacara owasa saat beranjak dewasa. Tahapan upacara
tersebut terlihat dari kutipan berikut ini.
“Ketika sang bayi bisa berjalan untuk pertama kali, harus
diselenggarakan upacara menginjak batu pertama. Ketika bayi menjadi anak, ia harus disunat dengan membiarkan darahnya menetes pada batu di halaman rumah sebagai tanda bahwa hidupnya telah meyatu dengan batu dan bumi.”
“Ketika si anak sudah dewasa dan menikah, ia harus berlomba untuk menyelenggarakanpesta owasa, yakni pesta terbesar untuk orang Nias. Pada pesta ini yang bersangkutan akan dukukuhkan di atas batu dengan gelar yang disesuaikan dengan kekayaan dan keahliannya.” (Sonjaya, 2010: 96)
Penggambaran tahapan upacara kelahiran di atas menunjukkan
bahwa dalam setiap perkembangan anak tersebut, perlu dilakukan
upacara-upacara sebagai ungkapan rasa syukur terhadap roh-roh
106
leluhur mereka. Dengan melakukan dan mengikuti berbagai tahapan
upacara ini, diharapkan nantinya sang anak akan tumbuh di bawah
lindungan roh leluhur mereka.
Pola ritual adat selanjutnya dapat dibaca pada penggambaran
tentang upacara pernikahan. Pernikahan merupakan saran penting
bagi masyarakat Banuaha melangsungkan keturunan dan membentuk
hubungan kekerabatan secara sosial. Penggambaran berkaitan
dengan hal ini dapat disimak pada kutipan teks novel, sebagai berikut.
“Saat dewasa, setiap masyarakat Nias akan melangsungkan
pernikahan. Pernikahan sebagai salah satu siklus hidup manusia pertama kali digambarkan di dalam novel Manusia Langit pada saat Mahendra bertanya kepada Sayani mengapa sampai sekarang Sayani belum menikah. Saat ditanya seperti itu, Sayani hanya menjawab “Aku belum punya harta yang cukup untuk membayar mas kawin.” (Sonjaya, 2010: 68)
Besarnya mas kawin yang digunakan untuk melamar calon istri
di Banuaha kemudian digambarkan kembali saat setelah sepeninggal
Ina Budi, Ama Budi menikah lagi dengan seorang gadis gunung.
Pernikahan bagi masyarakat Banuaha dalam novel Manusia Langit
merupakan sebuah ikatan kekerabatan yang harus dijaga
kekuatannya dengan membayarkan mas kawin yang tinggi untuk
pihak perempuannya. Penggambaran yang menunjukkan bahwa
pernikahan adalah sebuah ikatan kekerabatan terlihat dari kutipan di
bawah ini.
“Simpul kekerabatan adalah pernikahan. Mas kawin yang tinggi
untuk perempuan adalah salah satu aturan yang sengaja
107
diciptakan untuk menjaga agar simpul itu tidak kendur dan lepas. Mas kawin yang harus dibayarkan seorang lelaki jika ingin menikah tentu saja tidak akan mungkin dipenuhi si lelaki seorang diri. Pekerjaannya sebagai petani tidak akan pernah cukup untuk mengadakan babi, emas, dan uang sebanyak itu. Utang itu harus dibayar jika kerabat dan saudaranya menyelenggarakan pesta.” (Sonjaya, 2010: 124)
Sulitnya mengumpulkan kekayaan untuk keperluan mas kawin
inilah yang membuat orang-orang seperti Sayani dan Ama Budi
mengalami keraguan untuk menikah dengan perempuan di Banuaha
untuk waktu dekat. Tidak hanya melalui peristiwa yang di alami tokoh-
tokoh dari Nias, upacara pernikahan juga terkait dengan apa yang di
alami tokoh Mahendra. Mahendra yang merupakan orang dari luar
Banuaha akhirnya jatuh cinta kepada Saita, perempuan dari Banuaha.
Saat itulah penjelasan mengenai syarat-syarat dan pelaksanaan
upacara pernikahan digambarkan.
“Di Banuaha perempuan itu dibeli. Di sini ada istilah őni niha,
kita harus memberikan sejumlah harta kepada pihak perempuan.”
“Pembelian perempuan bisa dilakukan sejak perempuan itumasih kecil dengan membayar 2/3-nya dulu,” jelas Ama Budi. “Itu kami sebut solayairaono atau kawin gantung.”
“Hah, usia berapa?” “Setelah dibayar 2/3-nya, anak perempuan itu dibawa ke
rumah pihak lakilaki, yang kelak jika sudah dewasa akan dikawin.” (Sonjaya, 2010: 140)
Berdasarkan kutipan di atas, terlihat bahwa dalam masyarakat
Banuaha, terjadi sistem kontrak. Kontrak ini dimaksudkan untuk
mengikat hubungan dengan calon pengantin perempuan hingga
108
pembayaran lunas dan bisa dinikahkan. Perhitungan pembelian
perempuan yang dinamakan őni niha juga dijelaskan oleh Ama Budi
kepada Mahendra. Perhitungan őni niha dilakukan menggunakan
pucuk daun kelapa yang sudah mengering sebagai pengganti babi
yang akan dikeluarkan. Biaya pertama yang harus dikeluarkan adalah
biaya pertunangan yang dinamakan bobojiraha. Biaya pertunangan
yang harus diberikan kepada orang tua perempuan adalah enam batu
atau 6x5 alisi babi, kira-kira 12 ekor babi berukuran tanggung. Alisi
adalah ukuran untuk babi, berupa rotan yang dilingkarkan pada bahu
babi. Selain babi, orang tua perempuan juga mendapatkan gari/
alőja’a (emas) sebanyak 60 ketip.
Biaya pertunangan ini, di dalamnya tidak hanya orang tua
perempuan yang mendapatkan penghargaan. Anak laki-laki pertama,
nenek, kakek, orang-orang kampung, perantara dalam pernikahan,
saudara perempuan, paman dan nenek dari pihak perempuan, bahkan
istri kedua ayah dari pihak perempuan juga diberi penghargaan. Bőli
niha untuk mereka digambarkan dalam Manusia Langit.
Perhitungan mas kawin menunjukkan bahwa perempuan di
Banuaha dihargai sangat tinggi. Selain membayar perempuan dan
seluruh anggota keluarganya, proses ketika mengunjungi rumah
perempuan dan biaya kain yang dipakai oleh perempuan juga harus
dibayar oleh pihak laki-laki. Penjelasan panjang lebar yang diberikan
Ama Budi kepada Mahendra ini membuat Mahendra memikirkan
109
harga yang harus ia bayar jika ingin menikah dengan Saita. Hasil
perhitungannya menunjukkan bahwa untuk menikahi Saita, ia harus
membayar 56 ekor babi, 10 paung emas, dan 300 kg beras. Syarat ini
menjadi sulit karena Mahendra bukanlah orang Banuaha sehingga
akan sulit mendapatkan pinjaman babi dari masyarakat Banuaha
lainnya.
Setelah menjelaskan upacara pertunangan, upacara pernikahan
dalam masyarakat Banuaha digambarkan ketika Saita, perempuan
yang disukai Mahendra akhirnya dinikahkan dengan Arafősi. Proses
pernikahan Saita dalam Manusia Langit dimulai dengan arak-arakan
pengantin laki-laki saat menunju rumah Saita yang diiringi dengan
suara gong bertalu-talu. Sesampainya di rumah pengantin
perempuan, diadakan kembali pembicaraan adat yang dilakukan
dengan berbalas pantun sambil diselingi dengan tarian famolaya (tari
elang). Setelah pembicaraan yang berlangsung selama 1-2 jam itu
selesai, Saita dikeluarkan dari rumah untuk selanjutnya dibawa ke
rumah pengantin laki-laki, seperti yang terlihat dalam kutipan berikut
ini.
“Setelah pembicaraan antarpihak selesai, Saita diekeluarkan
dari rumah. Ia mengenakan pakaian adat dengan dominasi warna merah, kuning, dan hitam. Sebuah mahkota emas bertengger di kepalanya; mahkota yang diperolehnya secara turun-temurun dari para leluhur. Saita tampak begitu cantik. Ia berjalan dipapah para kerabat perempuan untuk dipertemukan dengan pengantin laki-laki yang telah menunggunya di halaman.” (Sonjaya, 2010: 160-161)
………………..………………………………………………….
110
“Liriknya itu berisi minta sumbangan kepada hadirin, baik dalam bentuk uang maupun barang. Hadirin banyak yang memberi, mulai dari seribu rupiah hingga sepuluh ribu rupiah. Setiap orang yang hadir di situ yang dipanggil namanya dalam nyanyian harus maju ke depan sambil menari dan memberikan sumbangan.” (Sonjaya, 2010: 162)
Setelah sampai di luar, muda-mudi lainnya menyambut dengan
tarian maena dan nyanyian-nyanyian. Tari maena yang ditampilkan ini
memiliki lirik yang unik. Lirik dalam lagu yang mengiringi tari maena ini
menunjukkan bahwa tarian tersebut dilakukan untuk meminta
sumbangan dari para tamu yang datang. Sumbangan yang diberikan
melalui tarian maena ini merupakan sumbangan awal sebelum
sumbangan yang sesungguhnya diberikan saat pesta di rumah
pengantin laki-laki diadakan. Setelah diberi faotu atau pengarahan dan
pesan terakhir, Saita dibawa ke rumah pengantin laki-laki. Ketika
sampai di rumah pengantin laki-laki, Saita kemudian disambut oleh
keluarga laki-laki tersebut dengan pemotongan babi untuk dijadikan
korban dalam upacara pernikahan tersebut. Kejadian ini terlihat dari
kutipan beikut.
“Di halaman, suara babi sudah makin banyak yang
dipersembahkan oleh kerabat pengantin laki-laki yang datang untuk mengucapkan selamat. Babibabi itu ditarik ke lapangan penjagalan. Setiap keluarga berhak menjagal satu babi. Keluarga yang paling terhormat mendapat bagian untuk mengeksekusi babi yang paling besar. Binatang malang itu ditarik oleh lima orang. Tanpa sepengetahuannya, sebilah ono nekhe menghunjam tepat pada jantungnya yang tersembunyi dibalik ketiak kaki depan. Darah menyembur dari luka itu, juga dari mulu disertai lolongan menyayat hati. Si babi tertatih-tatih sebentar, lalu menggelepar. Satu telah mati, giliran babi lainnya
111
menyusul ditarik ke arena. Babi kedua dan seterusnya tampak panik, mungkin karena sudah mencium bau darah dan ancaman kematian. Tepat! Mereka pun akhirnya mati, menjadi korban upacara perkawinan.” (Sonjaya, 2010: 164)
Pemotongan babi seperti yang digambarkan dalam Manusia
Langit tersebut selain untuk menjamu tamu pada pesta pernikahan,
digunakan untuk menunjukkan status sosial setiap kerabat. Semakin
tinggi derajat dan statusnya dalam masyarakat, maka akan semakin
besar ukuran babi yang akan dipotong oleh keluarga tersebut. Konflik
yang muncul pada upacara pernikahan Saita dalam Manusia Langit ini
mungkin membuat bagian upacara mengunjungi orang tua menjadi
tidak memungkinkan untuk masuk ke dalam cerita.
Upacara kematian juga merupakan serangkaian ritual yang tidak
bisa dipisahkan dari masyarakat Banuaha. Upacara kematian
merupakan upacara terakhir dalam siklus hidup seseorang. Dalam
novel Manusia Langit ini upacara kematian digambarkan ketika Ina
Budi, ibu dari Sayani meninggal dunia. Pada awalnya, Ama Budi dan
Sayani mempercayai meninggalnya Ina Budi diakibatkan serangan
tesafo.
Sayani yang tidak menerima kematian mendadak ibunya mulai
menyalahkan Mahendra karena telah mengajak ayahnya berbincang
mengenai leluhur tanpa melakukan upacara sebelumnya. Ama Budi
yang pada awalnya mengatakan Ina Budi terkena tesafo kemudian
menenangkan Sayani dan menjelaskan bahwa meninggalnya Ina Budi
112
bukan karena tesafo melainkan karena gangguan pernapasan.
Upacara kematian yang dilaksanakan saat kematian Ina Budi sudah
terpengaruh oleh masuknya agama Kristen di Banuaha. Jenazah Ina
Budi dimasukkan ke dalam peti mati dan dikubur dengan tata cara
pemakaman dalam agama Kristen.
Saat pemakaman, Bang Budi, kakak dari Sayani bercerita bahwa
dulu cara pemakaman masyarakat Banuaha tidak seperti itu. Jenazah
dari orang yang meninggal didiamkan hingga membusuk dan tinggal
tengkorak. Tengkorak itu nantinya akan diletakkan di dalam bekhu
atau menhir. Upacara kematian yang dulu dijalankan oleh masyarakat
Banuaha ini digambarkan dalam kutipan berikut ini.
“Aku sebenarnya enggan membicarakan perihal ini. Rasanya
tidak pas dalam suasana berkabung seperti ini itu. Tapi, Bang Budi meneruskan penjelasannya. “Waktu dulu, jika ada orang yang meninggal, kami meletakkan jenazahnya di depan rumah, di atas dipan dari bamboo. Kami biarkan selama berbulan-bulan hingga dagingnya luruh. Setelah tinggal tulang-belulang, maka kami menaruh tengkoraknya di atas piring dan meletakannya di bawah awina.”
“Ya, di situlah kuburan kami dulu, di depan rumah,” jawab Bang Budi. “Setelah kami siap dengan puluhan babi, kami membuat patung dari kayu dam memuat upacara memanggil roh si mati agar mau sesekali kembali pada patung itu, saat kami membutuhkan bantuan mereka.” (Sonjaya, 2010: 118-119)
Awina yang disebut dalam kutipan tersebut adalah dolmen atau
meja yang terbuat dari batu yang biasanya terdapat di depan rumah
warga Banuaha. Keberadaan awina ini digunakan masyarakat
Banuaha sebagai wadah kubur atau wadah tempat menaruh
113
tengkorak jenazah. Sementara itu, dalam upacara kematian.
Disiapkan pula puluhan babi serta sebuah patung kayu untuk
menghormati orang yang sudah mati itu.
Roh orang yang sudah mati dalam masyarakat Banuaha
dianggap memiliki posisi yang lebih tinggi dan memiliki peranan dalam
kehidupan. Untuk itulah mereka meletakkan tengkoraknya di atas
bekhu dan di bawah awina. Selain itu, masyarakatnya juga membuat
patung dari kayu sebagai penghormatan kepada roh orang yang
sudah meninggal tersebut seperti yang terlihat dari kutipan di atas,
dengan membuat patung, diharapkan roh orang yang sudah
meninggal itu sewaktu-waktu dapat datang untuk membantu
masyarakat.
Bila melihat perbandingan upacara kematian yang digambarkan
dalam Manusia Langit dengan upacara kematian dalam dua buku
sumber lain yang telah disebutkan di atas, terlihat adanya sebuah
perbedaan. Ada sebuah bagian dari upacara kematian yang tidak
tergambar dalam Manusia Langit, yaitu bagian peletakkan kepala hasil
perburuan di antara tengkorak orang yang sudah mati. Dalam setiap
upacara adat yang berlaku dalam masyarakat Banuaha di dalam novel
Manusia Langit, terlihat bahwa pemotongan babi selalu ada sebagai
simbol yang menunjukkan status sosial orang yang
menyelenggarakan upacara adat. Namun, tidak hanya itu, babi
merupakan hewan yang terkait dengan leluhur mereka. Dengan
114
demikian, Penggunaan babi dalam setiap upacara adat Nias
dimaksudkan untuk menggantikan “babi” atau manusia untuk
dipersembahkan kepada dewa mereka.
B. Pembahasan
Novel Puya ke Puya karya Faisal Oddang bercerita tentang
kepercayaan masyarakat Toraja, namun kerabat yang meninggal tidak
diberi tanda tunggal, sehingga arwah tidak akan diterima di surga.
Upacara kematian di Toraja membutuhkan biaya, karena mereka harus
membeli puluhan kerbau dan ratusan babi. Jumlah dan ragamnya tidak
terkalahkan dengan asal muasal kasta. Hewan-hewan itu akan
menyambut kerabat yang datang untuk berduka cita. Semua kerabat dari
jauh akan terjadi. Secara meyakinkan, roh hewan yang disembelih akan
menemani roh manusia ke surga.
Perbedaan kasta sosial sangat terlihat pada tradisi yang
dinarasikan melalui novel. Mulai dari bentuk upacara pemakaman hingga
peletakan jenazah di kuburan. Karena Allu berasal dari kasta tinggi yang
telah datang sebelum upacara harus sempurna, maka jenazah Rante
harus dikuburkan di atas tebing. Zona ini akan membuat arwah tiba di
puya atau surga lebih cepat.
Dalam novel tersebut diceritakan bahwa, karena upacaranya
membutuhkan biaya yang tidak sedikit, maka setiap jenazah yang belum
bertelur akan dianggap masih hidup, melainkan sebagai manusia yang
115
sakit. Keluarga akan memperlakukan mereka sebagaimana mereka
seharusnya hidup, memberi makan, minum, termasuk berbicara dengan
mereka, dan sebagainya. Kerabat juga datang berkunjung. Penelitian
terhadap novel Puya ke Puya menemukan perbedaan antara penguburan
jenazah dewasa dan jenazah bayi. Jika jenazah orang dewasa harus
melalui upacara kematian adat, kadang harus menunggu untuk
dibacakan, kemudian dikuburkan di dinding gua, maka jenazah bayi
tersebut tidak diperingati. Jenazah bayi akan dibuat kuburan persegi kecil
(selama jenazah cukup dimasuki) di pohon besar khusus untuk
penguburan bayi, dan lubang pohon akan ditutup ijuk. Tubuh bayi akan
ditinggalkan di pohon.
Sesuai dengan uraian mengenai Identitas, bahwa suatu budaya
dapat memiliki corak yang khas, antara lain memiliki unsur budaya fisik,
kelembagaan dengan pola sosial khusus, dan warga budaya yang
menganut tema budaya khusus. Berikut ini adalah hasil pengelompokan
corak budaya khas yang tergambar dalam novel Puya ke Puya karya
Faisal Oddang.
Antropologis menjadi ciri khas dalam membentuk gaya budaya.
Dalam novel terdapat berbagai istilah yang menjadi simbol fisik suatu
budaya yang berbeda dengan budaya lainnya. Beberapa penggambaran
dari unsur fisik yang mewakili antropologis fisik dalam novel Puya ke Puya
meloputi; penggambaran Tongkonan, kain khas Toraja, pohon Tarra,
ballo, dondi, tau-tau, dan lantang.
116
Tongkonan adalah rumah adat masyarakat Toraja. Bagian atapnya
berbicara tentang bahtera perahu yang terdiri dari susunan bambu, di
bagian depan terdapat deretan tanduk kerbau, bagian dalamnya
digunakan sebagai kamar tidur dan dapur. Tongkonan terdiri dari
Tongkonan utama dan Lumbung. Tongkonan sebagai tempat tinggal,
sedangkan lumbung adalah tempat menyimpan padi dan berfungsi pada
saat upacara adat. Tongkonan biasanya diturunkan dari generasi ke
generasi, sehingga dijaga ketat oleh keluarga.
Kain ini ditenun oleh ibu-ibu. Pola kainnya seperti lurik, dengan
beberapa helai benang berwarna emas. Biasanya kain khas Toraja ini
digunakan dalam upacara adat. Selain itu kain ini juga diperjualbelikan
sebagai oleh-oleh bagi wisatawan yang berkunjung ke Toraja. Seperti
yang digambarkan dalam novel, bahwa seorang ibu menenun kain dan
menjualnya.
Tarra adalah nama pohon besar. Diameternya mencapai tiga depa
orang dewasa atau lebih. Pohon tarra dimanfaatkan masyarakat sebagai
tempat menguburkan bayi. Sedangkan ballo merupakan wine khas Toraja
yang memabukkan. Biasanya di event-event besar tuan rumah akan
selalu menyediakannya. Selain itu, Ballo disediakan sebagai tempat
jamuan makan, sekaligus sebagai alat bantu bagi seseorang yang lebih
akrab saat bercengkerama sambil minum. Dan pria biasanya tidak setuju
jika ditawari minuman Ballo.
117
Dondi adalah puisi Toraja. Puisi ini biasanya dibawakan oleh
masyarakat. Menyanyi sajak tidak harus selalu dalam Anugerah, tapi bisa
setiap hari seperti kebanyakan orang menyanyi. Sedangkan tau-tau
adalah miniatur mayat yang dibuat dari kayu berukir. Sebisa mungkin
miniatur itu dibuat dengan wajah mirip orang yang sudah meninggal. Nanti
Tau-tau akan disimpan sebagai bentuk penghormatan terhadap jenazah.
Selain itu, menggambarkan lantang atau balai-balai yang didirikan
sementara pada saat diadakannya upacara adat, misalnya pada saat
Rambu Solo '. Aula tersebut terbuat dari bambu dan ditutup dengan kain
yang berfungsi sebagai hunian sementara bagi tamu yang datang dari
jauh. Sementara
Novel Manusia Langit karya J. A. Sonjaya merupakan salah satu
novel etnografi antropologis yang ada dalam dunia sastra Indonesia.
Dengan mengangkat tulisan etnografis maka novel ini merupakan novel
yang memiliki tema kebudayaan sehingga dalam novel ini banyak
dimunculkan berbagai macam bentuk kebudayaan yang antara lain adalah
kebudayaan Nias, Yogyakarta dan Arab. Bukan hanya sekedar
kebudayaan asli yang dimunculkan dalam novel ini tetapi juga
memunculkan kebudayaan baru yang masuk dalam budaya suatu daerah.
Pertama, kebudayaan yang terdapat di Nias. Dalam novel ini
kebudayaan Nias yang dimunculkan antara lain adalah kebudayaan dalam
pengambilan keputusan yang dilakukan di dadaoma ono zalawa.
Dadaoma ono zalawa adalah tempat berkumpul para tetua adat untuk
118
mengambil keputusan yang terdapat batubatu besar yang ditata rapi yang
setiap batu merupakan tempat duduk para tetua adat. Kebudayaan
pengangkatan tetua adat, tetua adat merupakan bentuk harga diri yang
tinggi dalam masyarakat Nias karena status tetua adat merupakan hal
yang penting maka untuk menjadi tetua adat ada pengorbanan yang
besar. Dalam budaya Nias pengangkatan tetua adat harus melalui
upacara mangowasa, pesta tertinggi dalam Masyarakat Banuaha Nias.
Mangowasa adalah pesta yang dilakukan selama tujuh hari tujuh malam
dengan memberi makan seluruh.
Masyarakat yang datang dalam pesta, dalam pesta tersbut harus
mengorbakan ratusan ekor babi dan bergram-gram emas. Kebudayaan
tentang adat pernikahan, upacara pernikahan dalam masyarakat Nias
merupakan sesuatu yang mahal karena seorang wanita di Nias yang akan
dinikahi harus dibeli dari orang tuanya atau disebut boli niha. Kebudayaan
tentang aturan adat yang terdapat di Nias, peraturan adat Nias tidak
berbentuk tertulis tetapi sangat mengikat masyarakatnya.
Setiap kesalahan ada denda yang diputuskan secara mufakat oleh
tetua adat. Selain kebudayaan asli dalam novel ini digambarkan juga
kebudayaan yang sudah mendapat pengaruh dari luar, antara lain adalah
adat penguburan jenazah yang dilakukan seperti adat penguburan
jenasah yang ada di Jawa. Hal tersebut terjadi karena pengaruh
masuknya agama kedalam kebudayaan Nias, cara penguburan jenasah
seperti adat Jawa merupakan ajaran dari gereja. Kemudian adat luar yang
119
lain yang masuk dalam kebudayaan Nias adalah tergantikannya tuak
sebagai minuman tradisional oleh minuman alkohol kemasan yang
diproduksi pabrik seperti merk topi miring.
Kedua, kebudayaan Yogyakarta yang digambarkan oleh J. A.
Sonjaya lewat latar belakang tokoh utama Mahendra. Dalam novel ini
kebudayaan Yogyakarta yang ditampilkan oleh pengarang adalah
kebudayaan Yogyakarta yang sudah termasuki oleh kebudayaan dari luar,
antara lain adalah permainan biliard. Biliard merupakan permainan
ketangkasan yang berasal dari eropa, biasanya permainan biliard identik
dengan dunia malam karena didalam novel ini dilukiskan sebuah tempat
biliard yang berisi dengan kebebasan dunia anak muda. Kemudian, selain
biliard digambarkan juga perbedaan tempat kos zaman dahulu dengan
zaman modern. Di dalam novel ini tempat kos modern digambarkan
tentang kebebasan penghuni kos untuk keluar masuk kos dan juga
kebebasan membawa lawan jenis untuk masuk ke dalam kamar kos.
Bertolak belakang dengan gambaran kos modern, kos tradisional yang
digambarkan dalam novel ini sangat penuh dengan keterikatan peraturan-
peraturan masyarakat.
Tentang harga diri, tingkat harga diri di Yogyakarta dinilai dari
status pekerjaan yang dimiliki, seperti Mahendra yang seorang dosen
merupakan memiliki status sosial atau harga diri yang tinggi dan saat
Mahendra melakukan kesalahan dengan menghamili mahasiswinya di luar
nikah maka harga dirinya tercoreng.
120
Novel ini juga mengeksplorasi keragaman budaya yang ada di
Indonesia yang secara antropologis terdiri dari beragam suku bangsa.
Dalam novel ini beberapa kebudayaan yang ditampilkan oleh J. A.
Sonjaya antara lain adalah kebudayaan Nias, Yogyakarta dan
kebudayaan Arab keturunan. Dari perbedaanperbedaan kebudayaan yang
ada dalam novel Manusia Langit ini J. A. Sonjaya menampilkan konflik
yang dikarenakan perbedaan-perbedaan kebudayaan tersebut.
Perbedaan kebudayaan yang lain yang ditunjukan oleh J. A.
Sonjaya dalam novel Manusia Langit adalah perbedaan budaya yang ada
di Nias dan Yogyakarta. Perbedaan-perbedaan budaya Nias dan
Yogyakarta yang ditunjukan dalam novel ini antara lain adalah tingkat
harga diri yang ada dan peraturan masyarakat yang ada di Nias dan
Yogyakarta. Di Nias tingkat harga diri seseorang dilihat dari pesta yang
pernah dilakukan biasanya seorang tetua adat akan memiliki harga diri
yang tinggi apabila sudah melakukan upacara Mangowasa berbeda
dengan cara pandang masyarakat Yogyakarta yang melihat harga diri dari
status pekerjaan yang dimiliki seseorang. Peraturan masyarakat di Nias
tidak tertulis tetapi sangat mengikat warga masyaraknya dan sangat
dipatuhi, berbeda dengan peraturan yang ada di Yogyakarta yang tertulis
namun tidak terlalu mengikat masyarakatnya, bahkan sering terjadi
pelanggaran-pelanggaran.
Berdasarkan uraian pembahasan data penelitian yang telah
diuraikan, dapat dirumuskan kesimpulan bahwa secara antropologis
121
kedeua novel Puya ke Puya karya Faisal Oddang dan Manusia Langit
karya J.A Sonjaya tersusun dari bentuk mitopoik. Dalam struktur mitopoik
ini ditemukan pola-pola kebudayaan manusia yang secara khusus
menetap di Banuaha, Nias. Pola-pola kebudayaan ini meliputi; a) pola
kepercayaan dan keyakinan, b) pola perilaku, c) pola status sosial, dan d)
pola ritual adat.
122
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan hasil analisis data di atas, dapat diuraikan simpulan
berikut.
Novel Puya ke Puya karya Faisal Oddang terkonstruk dari berbagai
unsur fisik antropologis. Unsur fisik ini meliputi penggambaran tentang
antropobudaya masyarakat Toraja meliputi; penggambaran pohon tarra,
kerbau dan babi sebagai hewan sesaji, ballo, kain khas toraja, lantang,
aluk, rambu solo, passiliran, to balu, tana bulaan, penuluan, dondi, puya,
to M Kembali Puang, bambu, Puang Matua, to raija, rambu tuka, tau-tau,
mangriu 'batu, gudang, mangriu' batu, hingga pa'tingoro. Adapun bentuk
mitopoik dalam novel Puya ke Puya karya Faisal Oddang.
Novel Manusia Langit merupakan sebuah novel yang memuat
beberapa sisi kehidupan masyarakat Banuaha sebagai bagian dari
masyarakat Nias. Sistem religi yang merupakan dasar masyarakat dalam
melakukan aktivitas terlihat dari adanya penggambaran keyakinan yang
dijalankan oleh masyarakatnya. Di dalam novel ini, adanya keyakinan
dapat dilihat dari kepercayaan masyarakat Banuaha terhadap leluhur dan
asal-usul leluhur mereka, kepercayaan terhadap roh-roh halus,
kepercayaan terhadap tradisi dan mitos-mitos yang berlaku dalam
masyarakat, serta pelaksanaan upacara-upacara adat.
123
Masyarakat Banuaha yang digambarkan dalam Manusia Langit ini
memiliki kepercayaan bahwa leluhur mereka yang disebut Lowalani
merupakan manusia yang diturunkan dari langit. Oleh karena itu, leluhur
mereka ini disebut sebagai “Manusia Langit”. Untuk menghormati leluhur,
masyarakat Banuaha dalam Manusia Langit ini mendirikan bekhu atau
menhir sebagai tempat penghormatan. Dalam menyebut nama leluhur,
masyarakat Banuaha juga mengikuti aturan-aturan yang sudah disepakati
dalam adat karena jika melanggar, hal buruk akan terjadi pada diri
mereka. Selain kepercayaan terhadap leluhur, masyarakat Banuaha
dalam Manusia Langit ini juga mempercayai adanya roh-roh halus dalam
kehidupan mereka, seperti roh pemakan bayi dan tesafo. Roh pemakan
bayi dipercaya sebagai roh yang suka memakan bayi-bayi masyarakat
Banuaha setelah dilahirkan.
Meskipun berita roh pemakan bayi ini sudah berkembang dalam
masyarakat Nias di dalam novel, pada akhirnya ditemukan kenyataan
bahwa roh pemakan bayi tersebut hanyalah mitos yang diciptakan oleh
masyarakatnya sendiri sebagai pembelaan atas tindak kejahatan yang
mereka lakukan. Sama seperti dalam kepercayaan mereka terhadap
leluhur, penyebutan leluhur dengan sembarangan menjadi salah satu
penyebab seseorang terserang tesafo. Hasil pembahasan menunjukkan
bahwa struktur mitopoik ini ditemukan pola-pola kebudayaan manusia
yang secara khusus menetap di Banuaha, Nias.
124
Berdasarkan hasil analisis ditemukan bahwa bentuk mitopoik dalam
novel Puya ke Puya karya Faisal Oddan dan Manusia Langit karya J.A
Sonjaya terdiri atas pola-pola kebudayaan manusia yang meliputi; 1) pola
kepercayaan dan keyakinan, 2) pola perilaku, 3) pola status sosial, dan 4)
pola ritual adat.
B. Saran
Berdasarkan simpulan di atas, maka penulis merumuskan
beberapa saran sebagai berikut:
1. Kajian tentang mitopoik masih, khususnya dengan menggunakan
objek kajian teks novel, masih harus dilakukan untuk memperkaya
khasan kajian keilmuan sastra Indonesia. Minimnya literatur tentang
mitopoik yang respresentatif falam kajian novel sangat mendorong
bidang kajian ini menjadi prioritas pengembangan penelitian.
2. Novel Puya ke Puya Karya Faisal Oddang dan Manusia Langit karya J.
A. Sonjaya merupakan novel Indonesia yang kaya dengan nilai-nilai
antropologi budaya masyarakat Nusantara, sehingga dapat menjadi
bahan bacaan alternatif yang menghibur dan mencerahkan di tengah
pandemik Covid-19.
125
DAFTAR PUSTAKA
Adhar, Al-Fisal. 1997. Penokohan dalam Novel Harimau-Harimau. Karya ZMuhtar Lubis, Tesis. Ujung Pandang: Unismuh.
Ahimsam-putra, 2009: Strukturalisme Levi-Strauss: Mitos dan Karya Sastra. Yogyakarta: Galang Printika
Azis Aida, S. 2011. Etika dan Kepemimpinan dalam Novel-Novel Karya Pramoedya Ananta Toer. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya.
Barnauw, V.1989. Etnology.Illinois: Dorsey Press.
Depdikbud. 1993. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balao Pustaka.
Faruk. 2001. Sastra dalam Masyarakat Modern. Jakarta: Gema Press
Gani. 2016. Mitos dalam Babad Songennep. Malang: Tesis. Universitas Negeri Malang. Diakses 20 Februari 2020.
Harahap, 2009: Mitologi Jawa dalam Novel-Novel Kuntowijoyo: Sumetera: Tesis: Universitas Sumatera Utara. Diakses 20 Februari 2020.
Hasyim, Muhammad. 2014. Kontruksi Mitos dan Ideologi dalam Iklan Komersial Televisi; Suatu Analisis Semiologi. Disertasi. Makassar: Unhas.
Krippendorf, Klaus. 1993. Analisis Isi. Pengantar Teori dan Metodologi. Terjemahan oleh Farid Wajdi. 1993. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Levi-Strauss, Claude. 1971. Myth and Meaning : Cracking the Code of Culture. Amazon : Amerika Serikat.
Lixian, Xiao. 2013. Analisis Struktural Novel Hong Lou Meng. Jurnal Humaniora Volume 25 No. 2 Juni 2013. Di akses 20 Februari 2020
Lubis, Mukhtar. 1997. Sastra dan Kehidupan. Jakarta: Indah Press
MOLEONG, Lexy J. 1990. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Akses online
126
http://kin.perpusnas.go.id/DisplayData.aspx?pId=7619&pRegionCode=UN11MAR&pClientId=112
Purba, Antilan. 2010. Sastra Indonesia Kontemporer. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1996. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, danPenerapannya. Jakarta: Pustaka Pelajar
_______________.2009 Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan
Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Prakoso, Teguh. 2016. “Pemaknaan Novel Bekisar Merah dan Belantik dengan Teori Strukturalisme Lévi-Strauss dan Hermeneutika Geertz”. Tesis. Program Studi Ilmu Sastra Jurusan Ilmu-Ilmu Humaniora Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.
Rampan. 1984. Teori Sastra, Kajian Teori dan Praktik. Bandung: PT. Refike Aditama.
Rafiek, Muhammad. 2010. Teori Sastra Kajian Teori dan Praktik. Bandung: PT. Refike Aditama.
Ratna, Nyoman Kutha. 2011. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
_______________2014. Antopologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Saryono, Djoko. 2013. Dasar Apresiasi Sastra.Yogyakarta: Elmatera Publishing.
Satoto, Sudiro. 1993: Metode Penelitian Sastra. Surakarta: UNS Press
Semi, M. Atar. 1988. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.
_______________2013. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.
Soeratno, Siti Chamamah. 1994. “Penelitian Sastra Tinjauan Tentang Teori dan Metode Sebuah Pengantar dalam Teori Sastra 1994”. Jobrohim (penyaji) Yogyakarta: Masyarakat Poitika dan IKIP Muhammadiyah
Sugihastuti. 2007. Teori Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
127
Sumardjo, Jakob dan Saini. 2013. Pengantar Novel Indonesia. Jakarta: Karya Unipress.
Sumardjo, Jakob. 2013. Memahami Kesusastraan. Bandung: Alumni.
Tarigan, Henri Guntur. 1985. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.
Teeuw, A. 1983. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Wellek, Rene dan Weren, Austin. 2014. Teori Kesusastraan. (Diterjemahkan oleh Mellany Budianto). Jakarta: Gramedia.
Waluyo, Herman J. 1994. Pengkajian Cerita Fiksi. UNS. Surakarta.
Wiyatmi. 2011. Psikologi Sastra Teori dan Aplikasinya. Yogyakarta:
Kanwa Publisher.
Yanti Kh, Neneng. Analisis Strukturalisme Levi-Strauss terhadap Kisah
Pedagang dan Jin dalam Dongeng Seribu Satu Malam. Jurnal
Adabiyyāt, Vol. 8, No. 2, Desember 2009
RIWAYAT HIDUP
Zulkifli, lahir 17 Februari 1991 di langgentu Desa O‟o
Kecamatan. Donggo Kabupaten Bima Nusa Tenggara Barat.
Penulis anak pertama dari lima bersaudara dari pasangan
Abakar dan Hadijah.
Latar belakang pendidikan, penulis Mengenyam pendidikan
Sekolah Dasar SDN Kala langgentu masuk tahun 1998,
tamat pada tahun 2003, selanjutnya penulis melanjutkan
studi ke jejang menengah pertama /SLTP Negeri 1 Donggo.
Kab. Bima tahun 2003, tamat tahun 2006. Pada tahun yang sama penulis
melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 1 Donggo, tahun 2006 dan tamat pada
tahun 2009. Pada tahun 2010 penulis melanjutkan pendidikan Strata Satu (S1) di
Universitas Muhammadiyah Makassar pada program studi pendidikan bahasa
dan sastra Indonesia dan alhamdulillah selesai pada tahun 2014.
Berkat, Doa, wejangan, dukungan, dan suport kedua orangtua, keluarga,
sahabat dan seganap civitas akademika Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
tempat saya mengabdikan diri dan menuntut ilmu untuk terus proses. Alhamdillah
pada tahun 2018 penulis studi pada Program Pascasarjana Universitas
Muhammadiyah Makassar program studi Magister pendidikan bahasa dan sastra
Indonesia. Kesadaran akan pentingnya pendidikan bagi generasi bangsa
memotivasi penulis untuk mengambil program Magister Pendidikan dengan satu
harapan kelak dapat menjadi pendidik profesional. Selain kuliah, penulis juga
banyak bergerak dalam dunia organisasi baik internal maupun eksternal.
Diantaranya, Ketua bidang Depertemen Pengembangan Organisasi FKKMDB
(Forum Komunikasi Keluarga Besar Mahasiswa Donggo Bima) priode 2011-
2002. Anggota bidang Depertemen Pengembangan Organisasi HMJ Bahasa dan
sastra Indonesia priode 2011-2002, Wakil Ketua Umum HMJ Bahasa dan sastra
Indonesia priode 2012-2013, Pembina FKKMD (Forum Komunikasi Keluarga
Mahasiswa Donggo Bima) tahun 2016-sekarang, Pembina KKBED (Kerukunan
Keluarga Besar Etnis Donggo) Sul-Sel 2017-2021, Tahun 2021, penulis berhasil
menyelesaikan program Magister di Universitas Muhammadiyah Makassar,
dengan judul Tesis Mitopoik dalam Novel Puya ke Puya Karya Faisal Oddang
dan Manusia Langit Karya J. A. Sonjaya.
Lampiran 1
Deskripsi Data Terpilih
No Fokus Penelitian
Data Terpilih Sumber
1. Pola Kepercayaa
n da Keyakinan
(1) Dulu kampung ini hanya akan ramai jika ada kematian yang dirayakan. Ketika ada mayat “sakit” yang diarak. Iya, sakit. Kau mengerti juga, bukan? Bagi orang Toraja, sebelum rambu solo, semua mayat masih sakit. Selayaknya mereka yang sakit, kerabat akan tetap mengajak bicara. Memberi mereka makan, rokok, serta sirih. Kini, disekitar rumah Rante Ralla, Kampung Kete‟, kau akan temuakan keramaian hampir setiap hari. Orang-orang asing menyelusup mirip kutu dalam rambut yang tidak pernah dicuci.” (2) Aku tidak menjawab. Ia memang bertanya tanpa mengharapkan jawaban. Kendati pun di Toraja mayat sepertiku yang belum diupacarakan masih dianggap sakit, tentu Tina cukup berpikir bahwa aku tidak bisa apa-apa selain terbaring dan mendengar ceritanya. Tetapi seandainya saja aku telah diupacarakan, dan beruntung aku menjelma dewa, To Membali Puang, tentu aku akan mengijabah doa-doanya, atau paling tidak mengantar doanya ke Tuhan, ke Puang Matua.” (3) “Bapak ini bilang, soal izin nanti akan mereka bicarakan lagi dengan Pak Mbowo Laiya. Tapi, katanya, jika Bang Mahendra ingin tahu sejarah Banuaha, datang saja ke rumahnya. Pak Nai Laiya bisa bicara dengan roh itu, termasuk bertanya tentang sejarah Banuaha. Tidak usah repot-repot menggali, katanya.” “Benar?‟ “Lau, aina ba nomo yaitu, “kata pria itu. “Bagaimana cara saya berkomunikasi dengan leluhur?” Pak Nai Laiya kelihatannya mengerti
Puya ke
Puya 2015: 6
Puya ke Puya
2015: 53
Manusia Langit
2010: 5-6
pertanyaanku. Ia melirik pada Sayani sebagai tanda meminta terjemahkan. Sayani menjawab dalam Bahasa Nias. Terjadilah obrolan yang tak ku mengerti. Aku berusaha memahami dari bahasa tubuhnya. Kecurigaan belum hilang dari mata dan cara Pak Nai bicara. “Kata Pak Nai Laiya, Bang Mahendra bias bicara pada leluhur melalui odu zatua, patung orang tua, di rumah Pak Nai Laiya,” Sayani menerjemahkan. “Roh orang hebat itu bias dipanggil, tapi harus upacara dulu. (4) “Benarkah yang dikatakannya?” tanyaku kepada Sayani. “Bila benar aku bisa bicara dengan roh, aku akan jadi arkeolog hebat, tidak perlu susah-suah lagi menggali, tinggal tanya saja kepada mereka apa yang terjadi serratus atau seribu tahun lalu. Roh kan hebat, sakti.” (5) “Dahulu, pada saat membuat fondasi rumah diadakan upacara pemukulan gong dan gendang untuk mengusir roh-roh jahat di sekitar tanah yang hendak dibangun rumah. Ketika rumah selesai dibangun, sebelum ditempati, masih harus diadakan beberapa kali upacara, mengundang puluhan lelaki masuk ke dalam rumah untuk menguji kekuatan rumah dengan menari hewa-hewa. Setelah itu mereka harus dijamu makan dengan menyembelih puluhan ekor babi.” (6) “Dalam satu hoho asal kejadian manusia Nias disebutkan bahwa Sirao, leluur Nias, diturunkan ke bumi dari langit, dari tete holi ana’a. Sirao adalah anak daris hasil perkawinan dua angina di langit. Proses perkawinan dan kehamilan angina tersebut diceritakan secara jelas layaknya perkawinan dan kehamilan manusia. (7) “Sudah pulang rupanya kalian?” sapa Ama Budi. “lekas mandi keburu malam, nanti kena tesafo di sungai!” “baik Ama!”aku sangat merinding mendengar kata
Manusia Langit
2010: 6
Manusia Langit
2010:12-13
Manusia Langit
2010:110-111
Manusia Langit
tesafo. Aku pernah melihat tetangga Ama Budi yang kesurupan roh halusbeberapa hari yang lalu. Mengerikan sekali” (8) “Bapak ini bilang, soal izin nanti akan mereka bicarakan lagi dengan Pak Mbὅwὅ Laiya. Tapi, katanya jika Bang Mahendra ingin tahu sejarah Banuaha, datang saja kerumahnya. Pak Nai Laiya bisa mengundang roh leluhur datang kerumahnya. Bang Mahendra bisa bicara dengan roh itu, termasuk bertanya tentang sejarah Banuaha. Tidak usah repot-repot menggali katanya” (9) “Kata Pak Nai Laiya, Bang Mahendra bisa bicara pada leluhur melalui adu zatua, patung orang tua, di rumah pak Nai Laiya” (10) “Pada saat yang menegangkan itu, nenek ingat untuk berdoa pada Lowalani, penguasa bumi dan langit, agar aku yang baru saja di lahir dilancarkan jalan napasnya. Lowalani ternyata menjawab permohonan nenek dalam bentuk petir yang sambar menyambar dilangit. Tidak lama berselang, aku pun bisa mengeluarkan tangisan pertama. Suaraku membehana di sekitar ladang seperti bunyi kentungan yang memangil para tetangga di gubuk-gubuk yang berdekatan. Beberapa perempuan dewasa dan gadis datang menghampiri gubuk kamiyang beralaskan tanah itu” (11) “Tadi aku menyebut leluhurku, Lowalani, tidak boleh itu, tidak boleh sembarangan menyebut namanya. Harusnya aku membaca doa dan memotong ayam dulu sebelum menyebutnamanya. Dia yang di langit sana bisa marah,”ujar Ama Budi. Angin berembus kencang di dalam ruangan kala Ama Budi menyebut kembali nama Lowalani. Sayani mengusap kuduknya sambil melirik kanan-kiri. Ia tampak ketakutan.“tidak apa-apa,”kata Ama Budi
2010:4
Manusia Langit
2010: 5
Manusia Langit
2010: 6
Manusia Langit
2010:18
Manusia Langit 2010:
19
berusaha menenangkan anaknya. “dia sudah pergi” (12) “Aku melihat Ama Budi tengah termenung. Ia sama sekali tak menangis menghadapi istrinya terbujur kaku. Sayani dan Ina Berna yang menangis paling keras.aku memeluk Ama Budi erat, merasa sangat menyesal dan takut. Lagi-lagi, ini gara-gara aku yang memancing Ama Budi menyebut nama leluhur tanpa syarat adat. Ama Budi pasti berpikit seperti itu” (13) “…karena sering hilang dimakan roh halus itulah, populasi belada akhirnya tidak banyak dan tidak berkembang, bahkan punah. Anak-anak bayi mereka seringhilang di makan roh jahat. Cerita itumasih hidup hingga sekarang. Banyak orang kita sekarang yang masih memercayai roh pemakan bayi itu” 14) Jalan ke surga hanya mampu ditempuh dengan kerbau. Kerbau belang adalah sebaik-baiknya kerbau bagi tuhan. Kami penganut aluk todolo percaya itu. Termasuk kelurga Ralla. Kerbau untuk perayaan kematian tak melulu harus tedong bonga yang banyak lurik di badannya, belang, dan ratusan juta rupiah harganya itu. Selain nilai relegius, nilai gengsi menyembelih kerbau belang juga diutamakan. Padahal masih ada kerbau pudu yang berwarna hitam biasa. Atau kerbau bulan yang mirip kulit Si Jangkung Beruban. Namun jenis itu ditabukan dalam upacara adat. Pada akhirnya, semua akan kembali memilih kerbau belang, jika uag cukup. Selain untuk membuat Tuhan senang, juga agar dibicarakan tamu. Dijunjung, dan ya, demi kehormatan keluarga besar. Kau mengerti? Jangan mengangguk saja! (15) “Dulu aku, pernah berharap untuk menjadi To Membali puang menjadi dewa, ketika kelak tiba di surga. Aku ingin, bahkan sampai saat ini aku asih diam-diam memeram keinginan itu. Soal rohku
Manusia Langit
2010: 113
Manusia Langit 2010:
20
Puya ke Puya
2015: 14-15
Puya ke Puya
yang kini masih tergantung antara langit dan bumi, menjadi bombo karena belum diupacarakan, biarlah menjadi tanggunganku sendiri, biarlah kuderitakan sendiri.” (26) “Sekalian lagi, dengan sangat berat meninggalkan beban, aku tetap berharap kerabat mengupacarakanku dengan sempurna sehingga aku menjelma dewa To Membali Puang. Semoga kelak cucu-cucuku bisa kubantu keinginannya serta doa-doa-nya, cucu-cucuku yang masih hidup di dunia.”
2015: 32
Puya ke Puya
2015: 33
2 Pola Perilaku
(16) … Sejak tujuh belas tahun yang lalu, aku dirawat oleh ibu yang baru, sebelum akhirnya aku menuju puya-menuju surga. Begitu kata ibu yang baru. Ibu Pohon. Katanya lagi, aku tinggal menunggu taubuhku dihancurkan batang pohon, menyatu bersama getahnya yang kami susui, menyatu dengan ranting, menjadi daun, lalu kering, lalu jatuh kembali ke tanah, kembali ke asal, dan kembali ke surga. Aku sudah mau bertemu Ambe di alam arwah ini. Kata Ibu Pohon, kalau Ambe sudah di-rambu solo, kami sudah bisa bertemu. Tapi Ibu Pohon juga bilang, Ambe menyisahkan beban buat keluargaku. Terutama buat kakakku, Allu Ralla. Tongkonan kami ramai di hari kematian Ambe. Aku dan Ambe sama, sama-sama menunggu tiba di surga. Bedanya, untuk sampai ke surga Ambe harus diupacarakan, dipotongkan puluhan kerbau dan ratusan babi. Hal itu tidak mudah, tetapi demi derajat dan adat, sebagai keturunan bangsawan tana-bulaan-Ambe harus melakukannya, lagi-lagi itu kata Ibu Pohon. Setiap malam, ia bercerita kepada anak-anaknya tentang keluarga yang ditinggalkan anak-anak itu. Ibu pohon mengatakan, apalagi sebagai penualaan tetua, pemimpin tongkongan di kete kesu Ambe harus bikin mewah acaranya...” (17) “Bisakah kau bayangkan sebatang pohon besar? Daun rimbun. Batangnya penuh pahatan kotak-kotak yang ditutupi ijuk. Setiap pagi, hampir saban
Puya ke Puya
2015: 11-12
hari, getah putih menguncur dari pohon itu. Jika bisa, baiklah, berarti tak susah kau mengerti hidup Maria Ralla di dalamnya. Makam pohon itu, disebut makam passiliran. Makam yang dibuat pada batang pohon tarra. Tidak bakalan cukup jika kau melingkarkan lengan dibatangnya. Bayangkan besarnya. Kau bisa ajak teman kau. Seorang lagi. Atau dua orang. Barangkali masih tidak cukup. Di dalam pohon itu ada dunia. Ada kehidupan. Begitulah orang Toraja percaya. (18) “Tenang saja, Bang, tidak boleh ada rasa takut kalau kita benar!” Sayani mengepalkan tangannya. “Lagi pula sekarang penggal-penggal kepala sudah jarang, sudah gereja. Pendeta melarang kami penggal-penggal kepala lagi. Jadi sekarang ada hukum adat dan hukum gereja yang mengatur kami, juga hukum pemerintah. Orang yang membunuh karena dendam tidak akan pernah sampai ke surga, tidak akan pernah sampai ke langit.” (19) “Kenapa tidak dimulai sekarang?!” ajaknya serius. “Kami sangat senang dengan niat baik Bang Mahendra,” lanjutnya sambil menyodorkan gelas dan sejeriken tuak.
“Ambil, Nak Hendra,” kata Ama Budi. “Itu satu kehormatan bagi kamu.” (20) ““Baiklah kalau begitu, tapi tolong tutup dulu pintu, aku sudah mulai merasa kedinginan, maklum sudah tua,” Ama Budi menunjuk pintu atap rumbia. Aku merasa senang mendapat perintah seperti itu karena itu salah satu tanda bahwa aku sudah diterima di keluarga Ama Budi. Jika masih menganggap aku sebagai tamu, mana mungkin orang Banuaha akan memberi perintah kepada tamunya seperti itu. Bagi orang Banuaha, tamu benar-benar didudukkan sebagai raja yang harus dihormati. Jelas, aku tidak mau didudukkan sebagai raja. Hal itu akan membuatku rikuh saja” (21)
Puya ke Puya
2015: 42
Manusia Langit
2010: 7-8
Manusia Langit
2010: 81
Manusia Langit
2010: 16
“Ya, seperti itulah,” jawab Ama Budi. “Orang yang bisa menyelenggarakan pesta dan memberi makan orang banyak disebut lakhőmi dan sumange.”
“Apa artinya, Ama?” “Artinya harga diri dan berwibawa.” “Adat sudah menggariskan bahwa mereka
yang sudah menjalankan adat, menjalankan pesta-pesta, yang didengar ucapannya di kampung” (22) Memang mereka minta apa?”
“Mangowasa, pesta tertinggi, tapi itu sangat berat.”
“Ama melakukannya?” “Ya, demi adat, aku melakukannya, tapi
butuh tiga tahun sejak menjadi kepala desa untuk bisa menyelenggarakannya. Ratusan ekor babi dan puluhan gram emas dikorbankan, berkarung-karung beras direlakan untuk menjamu khalayak yang datang ke pesta tujuh hari tujuh malam” (23) “Pesta adat adalah salah satu cara orang Banuaha menghargai diri sendiri dan berbagi dengan sesama. Kamu tidak akan dapat menghargai dan mencintai orang lain bila kamu sendiri tidak bisa menghargai dan mencintai diri sendiri. Itu menjadi prinsip orang Banuaha” (24) “Sudah ada aturan yang tegas tentang pembagian pekerjaan laki-laki dan perempuan. Untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu, mereka tidak bisa bertukar, hanya boleh saling membantu, tidak seperti di kota yang mana batas pekerjaan laki-laki dan perempuan sudah tidak ada lagi. Ama Budi termasuk salah satu yang membuat dan menyepakati aturan tak tertulis itu karena ucapan-ucapan tokoh adat menjadi hukum setelah dibicarakan di dadaoma ono zalawa, tempat para tetua adat berupa kursi-kursi batu yang ditata melingkar dengan meja batu di tengahnya. Di situlah semua aturan adat diputuskan dan situ
Manusia Langit
2010:101
Manusia Langit
2010: 101
Manusia Langit
2010: 103
Manusia Langit
2010: 123
pula harga diri dipertaruhkan. Kini perkataanya, aturannya, telah menjerat dirinya sendiri” (25) “Baiklah, sekarang sudah jelas, Mahendra dan Sayani wajib membayar babi kepada keluarga Laiya, jumlahnya nanti kita bicarakan antarkeluarga saja!” kata Ama Budi mengambil keputusan. “Tidak, Ama, harus diputuskan sekarang!” sanggah Amoli. “Kami minta sepuluh ekor babi dan penggalian di ladang kami dihentikan!” Sebelum aku menjawab, seorang pria angkat tangan minta bicara. “Karena kalian empat orang, adilnya babinya empat ekor, kenap minta sepuluh?” “Baiklah, demi adat, demi harga diri kami, aku setuju!” Ucap Amoli.
Manusia Langit
2010:77
3 Pola Status Sosial
(26) “Harus kerbau belang. Kerabat Ralla sepakat. Tidak boleh setengah-setengah. Tidak ada yang mau masuk ke surga juga hanya setengah. Tidak ada yang mau pujian tamu hanya setengah.” (27) “Waktunya tiba, kami melingkar di tengah tongkonan. Mayat Ambe kaku di dalam peti mati, diluar lingkaran kerabat yang segera memulai rapat. Bagaimana saya seharusnya? Hanya Indo barangkali yang mendukung. Sementara itu, saudara-saudara Ambe, ponakannya, dan kerabat yang lain pasti etap menuntut memewahkan kematian Ambe demi gengsi dan demi tidak tercorengnya nama keluarga Ralla.” (28) “Kau paham, pasti. Jika ada rambu solo, wajah kerabat akan tercoreng. Gengsi kelurga Ralla akan jatuh mirip buah ranum yang meninpa bebatuan. Akan remuk harga diri mereka. Ya, akan remuk oleh tiga penyataan masyarakat: (1) Wah, bangsawan kok pelit; (2) Dasar mereka tak tahu berterima kasih kepada mayat kerabatnya; (3) Keluarga itu memang malas bekerja sama cari uang, makanya tak ada upacara.
Puya ke Puya
2015: 14-15
Puya ke Puya
2015: 17
Puya ke Puya
2015: 33
(29) “Adat sudah menggariskan bahwa mereka yang sudah menjalankan adat, menjalankan pesta-pesta, yang didengar ucapannya di kampung.” (Manusia Langit, 2010: 101) (30) “Tantangan dari Ama Firma tampaknya membuat Amőli tak berkutik. Posisi guru sangat dihormati di kampung itu, apalagi Amőli bekas murid Ama Firma. Semua yang sekolah dikampung itu pasti pernah brhadapan dengan Ama Firma karena ia guru senior” (31) “Aku tersenyum. Kenapa ini tak terpikir sebelumnya? Orang tua yang sangat bijak itu sangat memahami apa yang ada dalam pikiranku. Aku merasa saran Ama Budi untuk mengajar di SMP sebagai peluang yang baik untuk menjamin kembali hubungan dengan masyarakat karena profesi guru sangat dihormati di kampung.” (32) “Kenapa para pemabuk itu kelihatan hormat kepadamu dan tak berani lagi kepadaku.” “Karena aku orang Banuaha dari keluarga Hia. Marga Hia sangat dihormati karena dianggap yang tertua di Nias.” (33) “Aku sangat senang menyandang nama itu. Baru kali ini aku merasa benar-benar dianggap ada. Aku pun merasa tidak keberatan ketika Ama Budi mengusulkan untuk menyelenggarakan pesta. Aku menyambut ide itu karena aku masih punya sedikit tabungan. Lalu disiarkanlah kabar jika keluarga Ama Budi Hia hendak menyelenggarakan pesta pengukuhan anak angkatnya, Mahendra Hia”
Manusia Langit
2010: 101
Manusia Langit
2010: 78
Manusia Langit
2010: 81
Manusia Langit
2010: 73
Manusia Langit
2010: 126
4 Pola Ritual Adat
(34) “Kau seharusnya mengerti aluk di usia kau yang
sekarang, Allu,” Indo mengucapkan dengan bergumam. Saya tahu ia tidak ingin didengarkan oleh Ambe. Saya belum paham, adat macam apa yang saya tidak mengerti. “Soal pernikahan, Allu. Soal pernikahan dan soal pemakaman, sungguh tongkonan, tidak baik digelar rambu tuka upacara kesenangan macam kesedihan. Itu jika masih ada mayat di dalam ditongkonan. Dan tentu kau tahu sendiri, ambemu bahkan belum diputuskan rencana pemakamannya.” (35) Saya akan mengupacarakan Ambe dengan rambu solo paling sempurna. Demi kesalahan-kesalahan yang saya lakukan, saya ingin Ambe masuk ke puya lau menjadi To Membali Puang. Tidak ada lagi tingkatan arwah yang lebih tinggi daripada itu. Diam-diam, tanpa ada yang tahu saya menyetujui penjualan tanah warisan kami kepada paka soso. Saya sebagi kepala keluarga , jadi saya berhak dan memiliki keleluasaan untuk menentukan semuanya. Jika sedikit saja Indo mengerti dan sedikit saja ia membersihkan kepalanya dari kata masa lalu dan warisan yang harus dijaga, saya yakin Indo akan memahami niat baik saya. Indo tidak akan menolak lagi. Saya percaya hal itu.” (36) “Hari ini diadakan mappassulu‟, sebuah acara sebagai pencanangan bahwa keluarga akan mengadakan rambu solo. Begitulah cara yang kami tempuh yang sekaligus untuk mengabari warga setempat bahwa kami akan menggelar acara besar dalam waktu dekat. Saya akan membiayai acara ini. Sedikit nyeri juga dada saya merogoh saku untuk Ambe. Saya bukan hitung-hitungan. Bukan itu, saya hanya merasa apa yang saya lakukan ini tidak sempurna menyenangkan Ambe. Tetapi uang yang untuk membeli empat puluh babi yang dagingnya kemudian kami bagikan itu bukanlah uang seperti biasanya. Saya mendaptka karena pekerjaan yang sama sekali tak seorangpun membenarkannya. Saya mencuri mayat-mayat bayi di makam passiliran. Saya
Puya ke Puya
2015: 99
Puya ke Puya
2015: 120
Puya ke Puya
2015: 123
melakukannya demi Ambe juga, tetapi pastilah jika saya katakan hal ini, tidak ada yang akan mengerti. Tetapi saja hal ini dianggap kesalahan. Tidak akan ada yang mengerti, termasuk Indo. Karena itu, rahasia ini kupendam dan kuperam sendiri.” (37) “Mang iu’ atu pasti mendatangka banyak warga yang membantu; batu menhir setinggi tiga meter yang ditemukan oleh Leba Ralla sepupu satu kali saya dari paman marthen akan ditarik bersama-sama. Leba menemukannya dipuncak gunung. Jadi bisa dibayangkan betapa susahnya membawa batu itu ke ante lapangan tempat pusat acara rambu solo. Butuh banyak tenaga, dan tenaga-tenaga itu patutlah dibayar dengan daging kerbau. Lihatlah, begitulah adat membuat rasa pamrih, begitulah adat secara halus menanamkan paham tidak ada yang gratis di dunia ini. Bahkan tenaga harus dibayar dimasyarakat tradisioanal yang masih jauh dari individualisme masyarakat kota.” (38) “Orang-orang menyebutkan ini sebagai ma’popengkaloa. Jenazahku disemayamakan tiga hari tiga malam di dalam lumbung sebelum diadakan uapacara ma’pasonglo dan menaikkan jenazahku ke keranda jenazah yang telah dihiasi macam-macam ukiran dan berbentuk miniatur tongkonan saringan namanya. Sebagi mantan ketua adat, aku tahu pasti semua rangkaian upacara yang bakal ranut dan tidak aka dibiarkan luput satu pun oleh Marthen. Setelah di atas saringan jenazahku aku akan ditandu keliling lokasi upacara.” (39) “Sebelum mantanu tedong, di antara kerbua-kerbau yang akan dibantai itu ada beberapa yang diadu dalam rangkaian upacara mappasilaga tedong. Acara ini bersifat hiburan, dan semasa hidupnya aku tidak sekalipun melewatkannya. Selain mengakrabkan, acara itu juga bisa jadi ajang berjudi, dan aku sangat suka. Bayangkan
Puya ke Puya
2015: 136
Puya ke Puya
2015: 137
jika kerbau unggulan menang, pasti akan dapat pujian. Dan, beruntung aku adalah ketua adat. Ketika kerbau andalanku kalah, tak ada yang berani menghujat. Orang lain pasti akan diolok sampai tuntas.” (40) Dalam satu hoho asal kejadian manusia Nias disebutkan bahwa Sirao, leluur Nias “Selain kayu-kayu besar sudah tak ada lagi di hutan, membangun rumah adat sangatlah berat bagi kami sekarang. Harus pesta-pesta, mulai dari menyiapkan kayu, membangun, hingga meresmikan rumah. Biaya pesta jauh lebih banyak daripada bahan untuk membuat rumah, apalagi untuk golongan bangsawan seperti kami. Mendirikan rumah adat memerlukan waktu bertahun-tahun sebab harus melalui berbagai tahapan upacara.” (41) “Dahulu, pada saat membuat fondasi rumah diadakan upacara pemukulan gong dan gendang untuk mengusir roh-roh jahat di sekitar tanah yang hendak dibangun rumah. Ketika rumah selesai dibangun, sebelum ditempati, masih harus diadakan beberapa kali upacara, mengundang puluhan lelaki masuk ke dalam rumah untuk menguji kekuatan rumah dengan menari hewa-hewa. Setelah itu mereka harus dijamu makanan dengan menyembelih puluhan ekor babi.” (42) “Dulu, yang disembelih bukan hanya babi, juga seorang budak yang digulingkan dari bubungan atap yang sangat tinggi hingga jatuh ke bawah, lalu disembelih. Kepala budah itu kemudian disimpan di atas pole rumah.” (43) “Adat sudah menggariskan bahwa hanya mereka yang sudah menjalankan adat, menjalankan pesta-pesta, yang didengar ucapannya di kampung.” “Begitulah,” jawab Ama Budi lirih. “Keluarga dan
Puya ke Puya
2015: 172
Manusia Langit
2015: 12
Manusia Langit
2015: 13
Manusia Langit
2015: 13
kerabatku akhirnya mendorong aku buntuk membuat pesta. Aku memotong 30 ekor babi untuk mengukuhkan statusku sebagai kepala desa. Tapi, tetap saja suaraku tak didengar.” (44) “Menjadi kepala desa tak berarti membuat seseorang dihargai di kampung; tetap saja yang dihargai adalah mereka para tetua marga dan adat,” tutur Ama Budi. “Belum lagi para tetua marga dan tetua adat itu banyak yang iri kepadaku.” (45) “Karena hanya aku yang bisa baca tulis,” jawab Ama Budi dengan tegas. “Waktu itu ada pemerintah, salah satu syarat menjadi kepala desa harus bisa baca tulis. Karena syarat itu, bayak tetua marga dan adat yang tidak bisa menjadi kepala desa.” (46) “Ya, demi adat, aku melakukannya, tapi butuh tiga tahun sejak menjadi kepala desa untuk bisa menyelenggarakannya. Ratusan ekor babi dan puluhan gram emas dikorbankan, berkarung-karung beras direlakan untuk menjamu khalayak yang datang ke pesta selama tujuh hari tujuh malam.” (47) “Pesta adat adalah salah satu cara orang Banuaha menghargai diri sendiri dan berbagi dengan sesama. Kamu tidak akan dapat menghargai dan mencintai orang lain bila kamu sendiri tidak bisa menghargai dan mencintai diri sendiri. Itu menjadi prinsip orang Banuaha.” (48) Seperti masyarakat di sini yang dibagi menjadi tingkat-tingkat dan bergelar-gelar, di sana pun ada jabatan-jabatan, ada gelar-gelar.” … “Ya, seperti ritual adat di sini, Ama!” Aku sedikit enggan menceritakan ritual wisuda yang dirasa
Manuisa Langit
2015: 101
Manusia Langit
2015:101
Manusia Langit
2010: 100
Manusia Langit
2010: 101
Manusia Langit
2010: 103
Manusia Langit
2010: 105-
membebani sebagian besar mahasiswa yang telah menyelesaikan pendidikan di universitas. Untuk keperluan wisuda, seorang mahasiswa diwajibkan membayar dua ratus ribu hingga lima ratus ribu rupiah kepada universitas…” (49) Batu telah menjadi bagian dari kehidupan orang-orang Banuaha. Hamper semua siklus hidup orang Banuaha terkait dengan batu. Ketika bayi lahir, didirikanlah menhir di depan rumah sebagai tanda. Untuk mengukuhkan batu peringatan itu, 8-12 ekor babi dikorbankan. Ketika sang bayi bisa berjalan untuk pertama kali, harus diselenggarakan upacara menginjak batu pertama. Ketika bayi menjadi anak, ia harus disunat dengan membiarkan darahnya menetes diatas batu di halaman rumah sebagai tanda bahwa hidupnya telah menyatu dengan batu dan bumi. Ketika anak sudah dewasa dan menikah, ia harus berlomba untuk menyelenggarakan pesta owasa, yakni pesta terbesar untuk orang Nias. Pada pesta ini yang bersangkutan akan dikukuhkan di atas batu dengan gelar yang disesuaikan dengan kekayaan dan keahliannya. Ketika sakit dan akan meninggal, ai harus menyelenggarakan pesta fatome dengan memotong beberapa ekor babi dan mengambil batu dari gunung untuk didirikan saat ia meninggal kelak. Ketika ia meninggal dan tulang-tulangnya siap dikubru sebelum menhir didirikan sebagai penanda bahwa ia sesengguhnya masih hidup di menhir tersebut.” (50) “Pada saat yang menegangkan itu, nenek ingat untuk berdoa pada , penguasa bumi dan langit, agar aku yang baru saja lahir dilancarkan jalan napasnya. Lowalani ternyata menjawab permohonan nenek dalam bentuk petir yang sambar-menyambar di langit. Tidak lama berselang, aku pun bisa mengeluarkan tangisan pertama. Suaraku membahana di sekitar ladang seperti bunyi kentungan yang memanggil para
106
Manusia Langit
2010: 95-96
Manusia Langit
tetangga di gubuk-gubunk yang berdekatan. Beberapa perempuan dan gadis dewasa datang menghampiri gubuk kami yang beralaskan tanah itu.” (51) Batu telah menjadi bagian dari kehidupan orang-orang Banuaha. Hamper semua siklus hidup orang Banuaha terkait dengan batu. Ketika bayi lahir, didirikanlah menhir di depan rumah sebagai tanda. Untuk mengukuhkan batu peringatan itu, 8-12 ekor babi dikorbankan.” (52) “Ketika sang bayi bisa berjalan untuk pertama kali, harus diselenggarakan upacara menginjak batu pertama. Ketika bayi menjadi anak, ia harus disunat dengan membiarkan darahnya menetes pada batu di halaman rumah sebagai tanda bahwa hidupnya telah meyatu dengan batu dan bumi.” “Ketika si anak sudah dewasa dan menikah, ia harus berlomba untuk menyelenggarakanpesta owasa, yakni pesta terbesar untuk orang Nias. Pada pesta ini yang bersangkutan akan dukukuhkan di atas batu dengan gelar yang disesuaikan dengan kekayaan dan keahliannya.” (53) “Saat dewasa, setiap masyarakat Nias akan melangsungkan pernikahan. Pernikahan sebagai salah satu siklus hidup manusia pertama kali digambarkan di dalam novel Manusia Langit pada saat Mahendra bertanya kepada Sayani mengapa sampai sekarang Sayani belum menikah. Saat ditanya seperti itu, Sayani hanya menjawab “Aku belum punya harta yang cukup untuk membayar mas kawin.” (54) “Simpul kekerabatan adalah pernikahan. Mas kawin yang tinggi untuk perempuan adalah salah satu aturan yang sengaja diciptakan untuk menjaga agar simpul itu tidak kendur dan lepas. Mas kawin yang harus dibayarkan seorang lelaki jika ingin menikah tentu saja tidak akan mungkin
2010: 18
Manusia Langit
2010: 96
Manusia Langit
2010: 96
Manusia Langit
2010: 68
dipenuhi si lelaki seorang diri. Pekerjaannya sebagai petani tidak akan pernah cukup untuk mengadakan babi, emas, dan uang sebanyak itu. Utang itu harus dibayar jika kerabat dan saudaranya menyelenggarakan pesta.” (55) “Di Banuaha perempuan itu dibeli. Di sini ada istilah bőni niha, kita harus memberikan sejumlah harta kepada pihak perempuan.” “Pembelian perempuan bisa dilakukan sejak perempuan itumasih kecil dengan membayar 2/3-nya dulu,” jelas Ama Budi. “Itu kami sebut solayairaono atau kawin gantung.” “Hah, usia berapa?” “Setelah dibayar 2/3-nya, anak perempuan itu dibawa ke rumah pihak lakilaki, yang kelak jika sudah dewasa akan dikawin.” (56) “Setelah pembicaraan antarpihak selesai, Saita diekeluarkan dari rumah. Ia mengenakan pakaian adat dengan dominasi warna merah, kuning, dan hitam. Sebuah mahkota emas bertengger di kepalanya; mahkota yang diperolehnya secara turun-temurun dari para leluhur. Saita tampak begitu cantik. Ia berjalan dipapah para kerabat perempuan untuk dipertemukan dengan pengantin laki-laki yang telah menunggunya di halaman.” (57) “Liriknya itu berisi minta sumbangan kepada hadirin, baik dalam bentuk uang maupun barang. Hadirin banyak yang memberi, mulai dari seribu rupiah hingga sepuluh ribu rupiah. Setiap orang yang hadir di situ yang dipanggil namanya dalam nyanyian harus maju ke depan sambil menari dan memberikan sumbangan.” (58) (“Di halaman, suara babi sudah makin banyak yang dipersembahkan oleh kerabat pengantin laki-laki yang datang untuk mengucapkan selamat. Babibabi itu ditarik ke lapangan
Manusia Langit
2010: 124
Manusia Langit
2010: 140
Manusia Langit
2010: 160-161
Manusia Langit
2010: 162
penjagalan. Setiap keluarga berhak menjagal satu babi. Keluarga yang paling terhormat mendapat bagian untuk mengeksekusi babi yang paling besar. Binatang malang itu ditarik oleh lima orang. Tanpa sepengetahuannya, sebilah ono nekhe menghunjam tepat pada jantungnya yang tersembunyi dibalik ketiak kaki depan. Darah menyembur dari luka itu, juga dari mulu disertai lolongan menyayat hati. Si babi tertatih-tatih sebentar, lalu menggelepar. Satu telah mati, giliran babi lainnya menyusul ditarik ke arena. Babi kedua dan seterusnya tampak panik, mungkin karena sudah mencium bau darah dan ancaman kematian. Tepat! Mereka pun akhirnya mati, menjadi korban upacara perkawinan.” (59) “Aku sebenarnya enggan membicarakan perihal ini. Rasanya tidak pas dalam suasana berkabung seperti ini itu. Tapi, Bang Budi meneruskan penjelasannya. “Waktu dulu, jika ada orang yang meninggal, kami meletakkan jenazahnya di depan rumah, di atas dipan dari bamboo. Kami biarkan selama berbulan-bulan hingga dagingnya luruh. Setelah tinggal tulang-belulang, maka kami menaruh tengkoraknya di atas piring dan meletakannya di bawah awina.” “Ya, di situlah kuburan kami dulu, di depan rumah,” jawab Bang Budi. “Setelah kami siap dengan puluhan babi, kami membuat patung dari kayu dam memuat upacara memanggil roh si mati agar mau sesekali kembali pada patung itu, saat kami membutuhkan bantuan mereka.”
Manusia Langit
2010: 104
Manusia Langit
2010: 118-119
Lampiran 2
Lembar Pengesahan Validator
Lampiran 3
Surat keterenga Penelitian
Lampiran 4
Sinopsis Novel
Puya ke Puya Karya Faisal Oddang
Puya ke Puya adalah salah satu buktinya.
Sebuah novel yang sarat dengan kisah seputar
adat Toraja, dan mengantarkannya sebagai
pemenang ke-IV dalam sayembara novel DKJ
2014.
Dikisahkan, kematian Rante Ralla, sang ketua
adat Kampung Kete‟ di tanah Toraja,
memerlukan biaya sangat besar untuk upacara
mengantarkan mayat (rambu solo) ke alam tempat menemui Tuhan
(puya). Ketua adat harus diupacarakan besar-besaran, dipotongkan
puluhan kerbau dan ratusan ekor babi demi derajat.
Konflik bermula saat Allu Ralla, putra satu-satunya menolak
mengadakan upacara, dan menyarankan agar ayahnya dimakamkan di
Makassar. Allu Ralla hanya memiliki tabungan untuk membiayai
pemakaman sederhana. Tidak cukup untuk mengupacarakan bangsawan
sekelas ayahnya). Bagi Allu, kebudayaan adalah produk manusia, dan
relevansi dengan zaman sangatlah penting. Jika sudah tak relevan, tidak
perlu dipertahankan. Rencana itu ditentang keluarga besar sehingga
mayat Rante Ralla tak kunjung diupacarakan.
Konflik lain muncul dengan masuknya perusahaan tambang di
Tanah Toraja. Pengusaha hendak membeli tanah warisan milik Rante
Ralla karena dianggap menghalangi akses menuju lokasi tambang (hal.
40). Pihak perusahaan bahkan telah membujuk Rante Ralla sejak dia
masih hidup namun bersikukuh tak akan menjualnya.
Sepeninggal Rante Ralla, pihak perusahaan berusaha membujuk
keluarganya. Salah satu anggota keluarga, yaitu Paman Marthen
menyetujuinya dengan alasan uang penjualan akan digunakan untuk
membiayai upacara rambu solo. Namun Allu Ralla menolaknya dengan
tegas.
Tak kehilangan akal, pihak perusahaan tambang yang
bersekongkol dengan kepala desa, memasang siasat dengan menyuruh
Malena, anak kepala desa untuk merayu Allu Ralla. Malena adalah wanita
yang dicintai Allu Ralla sejak lama. Malena mengajak Allu Ralla menikah.
Permintaan itu disambut gembira oleh Allu Ralla, yang kemudian
mengabarkan kepada ibunya Tina Ralla. Namun sang ibu melarang Allu
menggelar rambu tuka, atau upacara kesenangan semacam pernikahan.
Pemakaman Rante Ralla harus diselesaikan terlebih dulu.
Tak ada jalan lain bagi Allu Ralla, selain berusaha mengumpulkan
uang untuk membiayai pemakaman ayahnya dan pernikahannya nanti.
Allu Ralla kemudian menyetujui permintaan pengusaha tambang untuk
mencuri mayat bayi dengan imbalan puluhan juta rupiah. Di Toraja, bayi
yang meninggal tidak langsung dikuburkan, melainkan disimpan dalam
makam pada batang pohon, atau disebut passiliran. Saat galian tambang
runtuh dan memakan korban, masyarakat setempat percaya bahwa untuk
menghentikannya adalah dengan menguburkan mayat bayi di pusat
tambang. Bayi dianggap makhluk suci, sehingga bisa membuat tanah
menjadi suci dan mencegah kemarahan penunggu lahan.
Allu Ralla diam-diam juga menjual tanah warisan kepada pihak
tambang. Rasa bersalah karena telah menelantarkan mayat ayahnya,
akhirnya membuat Allu Ralla berniat menebusnya dengan menggelar
upacara yang paling sempurna. Dia akan mengadakan rapasan sundun
atau tingkat pemakaman tertinggi.
Rapat keluarga digelar. Persiapan rambu solo segera dilaksanakan.
Namun tepat pada hari upacara, pihak perusahaan tambang datang
dengan alat berat untuk meratakan tanah. Secara hukum, pihak keluarga
Rante Ralla akan kalah jika tidak mengizinkan. Keluarga pun menggelar
rapat. Tina Ralla akhirnya membeberkan rahasia yang selama ini ia
simpan, bahwa penyebab kematian Rante Ralla karena diracun orang-
orang tambang.
Terbongkarnya rahasia menyulut kemarahan keluarga juga
sebagian besar warga Kampung Kete‟. Mereka kemudian beramai-ramai
membakar lokasi penambangan. Situasi menjadi kacau. Konflik terbuka
antara warga Kampung Kete‟ dengan pihak tambang pun tak
terhindarkan.
Dengan cara bertutur yang unik dan keragaman perspektif, novel ini
mampu mengangkat persoalan lokal berlatar budaya Toraja pada dimensi
yang lebih luas. Pergantian Puya pencerita antara tokoh yang hidup
maupun yang sudah mati secara lancar menjadi salah satu poin plus.
Novel ini membuka wawasan pembaca bahwa keteguhan terhadap tradisi
juga perlu dicermati agar tidak menimbulkan pergesekan dengan
kehidupan sosial dan modernisasi.
Manusia Langit
Karya J. A. Sonjaya
MAHENDRA, seorang arkeolog muda, berusaha
melepaskan diri dari kungkungan peradaban
kampus. Ia kabur ke Banuaha, sebuah kampung
di pedalaman Pulau Nias, yang diyakini penduduk
aslinya sebagai tempat turunnya manusia dari
langit. Di sana ia banyak belajar soal persamaan
dan perbedaan antara dua dunia: dunia kampus
di Yogyakarta dan dunia orang Nias di Banuaha.
Persamaan dan perbadaan yang menyangkut prinsip hidup-mati, harga
diri, pesta, juga soal... perempuan.
Bagaimana kegundahan hati Mahendra saat jatuh cinta pada Saita,
gadis Nias yang ternyata sudah dibeli pemuda kampung tetangga?
Bagaimana kelanjutan nasib Yasmin, gadis asal Lombok, mahasiswinya di
Yogyakarta? Bagaimana pula Mahendra akhirnya sampai pada kesadaran
diri sebagai manusia langit?.
Novel yang membawa kita menyelamai kultur Nias yang eksotik
sekaligus hanyut dalam dunia kampus yang penuh romantika. Sebuah
kisah cinta yang mengharukan dengan latar beragam budaya yang
berbeda.
Lampiran 5
BIOGRAFI PENULIS
1. FAISAL ODDANG PENULIS NOVEL PUYA ke PUYA
Faisal Oddang (lahir di Wajo, 18 September 1994; umur 26
tahun), adalah penulis asal Sulawesi Selatan. Ia menulis puisi, cerpen,
dan novel. Sebagian besar karya yang ditulisnya bertema tentang
tradisi dan adat istiadat di Sulawesi. Karya-karya dari alumni jurusan
Sastra Indonesia di Universitas Hasanuddin ini pernah mendapatkan
beberapa penghargaan, di antaranya Penghargaan Cerpen terbaik
Kompas tahun 2014 atas cerpennya berjudul Di Tubuh Tarra dalam
Rahim Pohon. Pada tahun yang sama, ia juga mendapatkan
penghargaan ASEAN Young Writers Award 2014 dari pemerintah
Thailand. Novelnya berjudul Puya ke Puya menjadi pemenang ke-4
dalam Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta dan pada tahun
2015 dipilih sebagai novel terbaik oleh majalah Tempo dan menobatkan
Faisal Oddang sebagai Tokoh Seni Tempo 2015 di bidang prosa. Pada
tahun 2016, Faisal mengikuti residensi penulis di Belanda dengan
dukungan Komite Buku Nasional. Selain itu, ia juga diundang
menghadiri International Writing Program 2018 di Iowa City (Amerika
Serikat), dan pada tahun yang sama menerima Robert Bosch Stiftung
and Literariches Colloquium Berlin Grants 2018.
Karya-karya Faisal Oddang yang lain adalah Rain & Tears
(Novel, 2014), Pertanyaan Kepada Kenangan (Novel, 2016), Manurung
(Puisi 2017)--finalis Kusala Sastra Khatulistiwa 2018 kategori puisi,
Perkabungan Untuk CInta (Kumpulan Puisi, 2017), dan Tiba Sebelum
Berangkat (Novel 2018)--finalis Kusala Sastra Khatulistiwa 2018
kategori prosa. Faisal Oddang juga kerap diundang dalam festival-
festival sastra, seperti: Ubud Writers and Readers Festival 2014,
Salihara International Literary Biennalle 2015, dan Makassar
International Writers Festival 2015, Festival Sastra Banggai 2018,
Rainy Day Literary Festival 2018, Borobudur Writers and Cultural
Festival 2018 dan Iowa Book Festival 2018.
2. JAJANG AGUS SONJAYA PENULIS NOVEL MANUSIA LANGIT.
Jajang Agus Sonjaya (lahir Kuningan, 25 juni 1974), lulusan
SDN 2 Purwawinangun, SMP Negeri 1 Kuningan, dan SMA Negeri 2
Kuningan. Jajang mendirikan Mangrove Action Project Indonesia, yang
sekarang berganti nama menjadi Blue Forests, bersama Ben di tahun
2004. Minat Jajang terhadap pelestarian lingkungan sudah terlihat sejak
masih di SMA dengan mengikuti organisasi pecinta lingkungan. Lulus
S1 dari Jurusan Arkeologi di Universitas Gadjah Mada (UGM) dan
meraih gelar Magister di universitas yang sama, Jajang lalu bekerja
sebagai dosen dan peneliti di UGM.
Jajang terlibat di banyak proyek penelitian, pelatihan, dan
pengembangan masyarakat di berbagai wilayah Indonesia. Dia juga
membuat berbagai artikel yang telah dipublikasikan di media nasional,
tujuh film dokumenter, dan lima buku di antaranya: Pergulatan Dayak
dan Indonesia (Galang, 2005), Melacak Batu Menguak Mitos (Kanisius,
2008), Zanj (Kepel, 2009), Manusia Langit (Kompas-Gramedia, 2010),
dan Manajemen Pelatihan (Kanisius, 2013). Selain aktif sebagai
Advisor di Blue Forests, Jajang juga merintis sebuah unit usaha
konstruksi bambu sebagai bahan yang ramah lingkungan.
Lampiran 6
Hasil Turnitin