1
PARADIGMA KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN DI BALI
Oleh
Made Antara Fakultas Pertanian Universitas Udayana
Email: [email protected]
PENDAHULUAN
Pembangunan di Provinsi Bali didasarkan pada bidang ekonomi dengan titik
berat pada sektor pertanian dalam arti luas guna melanjutkan usaha-usaha
memantapkan swasembada pangan, pengembangan sektor pariwisata dengan
karakter kebudayaan Bali yang dijiwai oleh agama Hindu, serta sektor industri kecil
dan kerajinan yang berkaitan dengan sektor pertanian dan sektor pariwisata.
Kebijakan prioritas tiga sektor ini, dapat digolongkan ke dalam pertumbuhan
seimbang, yakni ada keterkaitan penawaran dan permintaan antara satu sektor
dengan sektor lainnya, atau pengembangan sektor-sektor itu dapat menciptakan
permintaan mereka sendiri. Artinya, mengembangkan sektor pariwisata di Bali akan
mampu menciptakan pasar bagi produk-produk pertanian dan industri kecil/kerajinan.
Di pihak lain, pengembangan pertanian dan industri kecil dalam waktu bersamaan
dapat menunjang pengembangan sektor pariwisata, karena hasil pembangunan
kedua sektor ini berupa produk-produk pangan dan non pangan dapat menunjang
keberlanjutan pariwisata.
Struktur perekonomian Bali mempunyai karakteristik yang unik dibandingkan
dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia. Sebagian besar aktivitas ekonomi di Bali
terkait langsung dan tidak langsung dengan pariwisata, sehingga pariwisata di Bali
berperan sebagai sektor pemimpin (Leading Sector) perekonomian Bali. Hal ini
terbukti terbukanya beragam peluang aktivitas ekonomi, semakin luasnya
kesempatan kerja, peluang peningkatan pendapatan masyarakat, luasnya jaringan
kerja pelaku usaha mulai batas-batas lokal sampai tingkat nasional, bahkan ke
tingkat internasional.
Makalah disajikan pada Seminar memperingati HUT Pemda Bali k2- 54 dan Menyongsong Tahun Emas pada Dies Natalis ke – 50 Universitas Udayana dengan tema Analisis pembangunan Bali untuk Mewujudkan Kesejahteraan Rakyat, Tangga 15 Agustus 2012 di kampus Unud Jl. PB. Sudirman Denpasar.
2
Selama periode 2003-2010, struktur perekonomian Provinsi Bali tidak banyak
mengalami pergeseran. Komposisi produksi barang dan jasa wilayah ini tidak
mengalami perubahan yang signifikan. Dukungan industri pariwisata yang sangat
besar telah menyebabkan kelompok sektor jasa-jasa (tersier) memberikan share nilai
tambah yang sangat dominan terhadap pembentukan PDRB Provinsi Bali. Pada
tahun 2003, kontribusi kelompok sektor ini telah mencapai 62,97%, mengalami
peningkatan pada tahun 2007 menjadi 64,41%, dan tahun 2010 meningkat menjadi
64,32%. Sementara itu, sektor primer turun dari 22,34% tahun 2003 menjadi 20,07%
pada tahun 2007, dan tahun 2010 menurun menjadi 20,45%. Hal ini sesuai dengan
pola umum pembangunan yang menyatakan bahwa dengan meningkatnya
pendapatan per kapita di suatu region, umumnya dibarengi dengan penurunan
kontribusi sektor primer di region tersebut atau ekonomi akan selalu bergeser ke
arah sektor sekunder dan tersier (Tabel 1).
Tabel 1 Distribusi Persentase PDRB Bali Atas Dasar Harga Berlaku
Menurut Lapangan Usaha Tahun 2003, 2007-2010
No Lapangan Usaha Persentase PDRB Provinsi Bali atas Dasar
Harga Berlaku 2003 2007 2008 2009 2010
I Sektor Primer 22,34 20,07 21,45 20,46 20,45 1 Pertanian 21,66 19,41 20,85 19,87 19,86 2 Pertambangan dan Penggalian 0,68 0,66 0,60 0,59 0,59 II Sektor Sekunder 14,7 15,41 15,14 15,41 15,23 3 Industri Pengolahan 9,11 8,98 9,75 9,95 9,95 4 Listrik, Gas, dan Air Bersih 1,57 2,00 1,52 1,56 1,55 5 Bangunan/Konstruksi 4,02 4,43 3,87 3,90 3,73 III Sektor Tersier 62,97 64,41 63,41 64,14 64,32 6 Perdagangan, Hotel, dan Restoran 28,43 28,98 31,27 31,98 32,33
7 Pengangkutan dan Komunikasi 11,20 12,33 10,96 11,27 11,24 8 Keuangan, Persewaan, dan
Jasa Perusahaan 6,59 7,34
7,38
7,26
7,08 9 Jasa-Jasa lain 16,75 15,76 13,80 13,63 13,67
J u m l a h 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 Sumber: PDRB Bali Tahun 2008 dan Data Bali Membangun 2010.
3
Sektor pariwisata telah memberi pengaruh besar terhadap perekonomian
Provinsi Bali. Pesatnya perkembangan pariwisata di provinsi ini telah menyebabkan
sektor-sektor yang mempunyai keterkaitan langsung dengan industri pariwisata, Jika
sector pariwisata dianggap diwakili oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran
(PHR), sector ini telah memberi kontribusi besar terhadap pembentukan PDRB Bali.
Pada Tabel 1 tampak bahwa selama periode 2003-2007, sektor ini rata-rata memberi
kontribusi sebesar 28,96%, dan tahun 2008-2010 kontribusinya di atas 31%.
Sektor pertanian memberi kontribusi cukup besar terhadap PDRB Bali, tetapi
kontribusinya cenderung menurun. Pada tahun 2003, kontribusi sektor ini mencapai
21,66%, terus menurun tahun 2007 kontribusinya 19,41%, dan tahun 2010
kontribusinya hanya tinggal 19,86%. Namun demikian, sektor pertanian adalah satu-
satunya sektor yang mampu bertahan pada krisis, baik krisis ekonomi nasional
1997/1998 maupun krisis ekonomi lokal karena bom Bali I dan II. Artinya walau
terjadi krisis, aktivitas produksi dan permintaan produk-produk pertanian terus terjadi,
karena manusia tidak bisa hidup tanpa pangan yang diproduksikan oleh sektor
pertanian.
Diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Otonomi
Daerah, merupakan momen penting bagi pemerintah daerah Bali dalam mengurus
rumahtangga daerahnya sendiri, terutama dalam melakukan reformasi di berbagai
bidang pembangunan, sehingga memberikan corak khusus terhadap pembangunan
di daerah Bali. Hal penting yang perlu dilakukan adalah melaksanakan perubahan
yang mendasar antara lain perlu ditumbuh-kembangkan wawasan dan ketahanan
daerah sebagai pengejawantahan dari wawasan nusantara dan ketahanan nasional.
Dalam perencanaan pembangunan Daerah Propinsi Bali perlu diperhatikan
keseimbangan dan kesatuan (entity) wilayah pembangunan ekonomi, sosial dan
budaya, lingkungan hidup, politik dan pemerintahan untuk terwujudnya
pembangunan daerah yang berkelanjutan. Pendekatan pembangunan juga perlu
mengalami perubahan yakni dari pendekatan top-dow ke pendekatan bottom-up dan
dari pendekatan terukur ke pendekatan bermakna. Berdasarkan kedua pendekatan
tersebut, maka aspek-aspek yang dominan dalam pembangunan Daerah Provinsi
Bali adalah aspek supremasi hukum, ekonomi kerakyatan, lingkungan hidup, politik
yang demokratis, pemerintahan yang profesional (good governace) dan kebudayaan
4
daerah tanpa mengurangi pentingnya aspek-aspek pembangunan lainnya (Pemprop
Bali, 2000; Pemprop Bali, 2001a; Pemprop Bali, 2001b).
Reformasi pembangunan pertanian menjadikan sektor pertanian harus
mampu dibangun menjadi sektor andalan dan sebagai mesin penggerak
perekonomian nasional. VISI pembangunan pertanian periode 2009-2014 adalah
terwujudnya pertanian Industrial unggul berkelanjutan yang berbasis sumberdaya
lokal untuk meningkatkan kemandirian pangan, nilai tambah, daya saing, ekspor dan
kesejahteraan petani (Renstra Kementan 2009-2014).
Untuk mencapai visi pembangunan pertanian tersebut, Kementerian
Pertanian mengemban MISI yang harus dilaksanakan adalah:
1) Mewujudkan sistem pertanian berkelanjutan yang efisien, berbasis iptek dan
sumberdaya lokal, serta berwawasan lingkungan melalui pendekatan sistem
agribisnis.
2) Menciptakan keseimbangan ekosistem pertanian yang mendukung keberlanjutan
peningkatan produksi dan produktivitas untuk meningkatkan kemandirian pangan.
3) Mengamankan plasma-nutfah dan meningkatkan pendayagunaannya untuk
mendukung diversifikasi dan ketahanan pangan.
4) Menjadikan petani yang kreatif, inovatif, dan mandiri serta mampu memanfaatkan
iptek dan sumberdaya lokal untuk menghasilkan produk pertanian berdaya saing
tinggi.
5) Meningkatkan produk pangan segar dan olahan yang aman, sehat, utuh dan halal
(ASUH) dikonsumsi.
6) Meningkatkan produksi dan mutu produk pertanian sebagai bahan baku industri.
7) Mewujudkan usaha pertanian yang terintegrasi secara vertikal dan horizontal
guna menumbuhkan usaha ekonomi produktif dan menciptakan lapangan kerja di
pedesaan.
8) Mengembangkan industri hilir pertanian yang terintegrasi dengan sumberdaya
lokal untuk memenuhi permintaan pasar domestik, regional dan internasional.
9) Mendorong terwujudnya sistem kemitraan usaha dan perdagangan komoditas
pertanian yang sehat, jujur dan berkeadilan.
10) Meningkatkan kualitas kinerja dan pelayanan aparatur pemerintah bidang
pertanian yang amanah dan profesional.
5
Selama dua dekade terakhir pasca pencapaian swasembada beras tahun
1984, perhatian pemerintah terhadap sektor pertanian mulai mengendor. Sektor
pertanian diposisikan hanya sebagai “pendukung” sektor lain, bukan sebagai “mesin
penggerak” pertumbuhan perekonomian nasional. Sebagai sektor pendukung, maka
sektor pertanian diposisikan sebagai: (1) Pemasok bahan kebutuhan pangan dan
bahan baku industri murah; (2) Pengendali stabilitas harga; (3) Pemasok tenaga
kerja murah; dan (4) Dianggap hanya berorientasi pada peningkatan produksi
semata, sehingga tidak tanggap terhadap kondisi dan perubahan pasar dan
keragaannya semata-mata tergantung pada teknologi dan alam. Pola pikir seperti ini
menganggap bahwa perekonomian makro maupun sektor riil lainnya tidak terkait erat
dengan keragaan sektor pertanian. Hal ini, menyebabkan melemahnya kemampuan
pertanian dalam mendukung pembangunan ekonomi. Bahkan di era otonomi daerah
(Otda), sektor pertanian semakin diabaikan oleh elit politik penguasa. Di samping
keterbatasan anggaran untuk merencanakan dan melaksanakan program-program
revitalisasi pertanian dan pemberdayaan petani, tetapi juga elit-elit politik penguasa
sibuk mengurus hal-hal yang kurang substansial. Oleh karena itu, elit-elit politik
penguasa yang memiliki kekuasaan penuh merumuskan dan mengeksekusi
program-ptogram pembangunan harus terus-menerus diingatkan memajukan
pertanian dan meningkatkan kesejahteraan petani miskin.
PERANAN DAN PERMASALAHAN PERTANIAN
Peranan Pertanian
Sektor pertanian di bali memiliki peranan penting, yaitu:
1. Penyedia bahan pangan. Sektor pertanian di Bali sebagai produsen bahan
pangan, baik nabati maupun hewani, untuk memenuhi kebutuhan pangan
penduduk Bali yang terus meningkat, tahun 2010 sebanyak 3.890.757 (Web:
BPS Bali). Mengabaikan sektor pertanian bukan saja akan berakibat kurangnya
ketersediaan pangan, tetapi juga akan terpaksa memenuhi kebutuhan pangan
melalui impor, sehingga harus membayar pangan impor terlalu mahal dan
menguras devisa negara relatif besar.
2. Penyerap tenagakerja. Di samping sebagai sektor penyerap tenaga kerja
terbesar, maka sektor pertanian juga merupakan sumber tenaga kerja bagi sektor
industri dan jasa-jasa terkait pariwisata, tanpa harus menghadapi kemerosotan
6
tingkat produksi dengan prasyarat terlebih dahulu terjadi kenaikan produktivitas
tenaga kerja di sektor pertanian. Peningkatan produktivitas di sektor pertanian
memungkinkan adanya perpindahan (migrasi) ke sektor industri (agroindustri)
maupun agribisnis tanpa kekhawatiran terjadinya kemerosotan produksi pangan.
Berdasarkan Sakernas 2007, dari 1.982.134 jiwa tenagakerja di Bali tahun 2007,
sektor pertanian penyerap tenagakerja terbanyak yakni sebanyak 714.091
(36,03%).
3. Sumber pendapatan. Pertanian adalah mata pencaharian sebanyak 714.091
jiwa penduduk Bali, yang berarti pertanian Bali merupakan sumber pendapatan
atau gantungan hidup sekitar sepertiga penduduk Bali. Oleh karena itu,
membangun pertanian berarti meningkatkan pendapatan penduduk Bali.
4. Sumber bahan baku industri. Industrialisasi sebagai upaya menaikkan GNP
pada tingkat pertumbuhan tinggi tidak mungkin dapat berhasil tanpa dukungan
sektor pertanian yang tangguh, sebab sektor pertanian merupakan sumber
pangan maupun bahan baku untuk sektor industri (agroindustri) maupun
agribisnis.
5. Sumber devisa. Produk-produk perkebunan dan perikanan Bali, seperti kopi,
panili, kakao, ikan kaleng, ikan tuna, ikan kerapu adalah adalah produk ekspor
yang mendatangkan devisa bagi negara. Oleh karena itu peningkatan produksi
produk-produk tersebut akan mampu meningkatkan penerimaan devisa bagi
negara. Devisa sangat berguna untuk mengimpor mesin-mesin dan bahan baku
yang tidak atau belum mampu diproduksi di dalam negeri. Selama komoditas
ekspor andalan adalah primary product, maka jelaslah bahwa sektor pertanian
merupakan sumber pemupuk devisa yang perlu tetap dijamin keberlanjutannya.
6. Sumber kapital. Para petani dan masyarakat pedesaan melalui tabungan atau
deposito dari penjualan produk-produk pertanian dapat berperan sebagai sumber
kapital yang disalurkan oleh lembaga perbankan/LPD/Koperasi ke debitor
lainnya.
7. Pelestari sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Penanaman lahan-lahan
gundul atau kritis dengan sistem terasering, baik dengan tanaman tahunan yang
berperan sebagaai hidroorologis maupun tanaman semusim, secara tidak
langsung melindungi lahan dari erosi, sehingga melestarikan sumberdaya lahan
dan air.
7
8. Pelestari akar budaya masyarakat Bali. Pertanian adalah akar budaya
masyarakat Bali dan menjadi basis budaya-budaya lainnya. Pertanian di Bali
tidak hanya menyangkut aspek sosial-ekonomi, tetapi juga menyangkut sosial-
budaya (social-culture) seperti subak dan kearifan lokal petani dalam mengelola
sumberdaya alam berupa lahan, air dan hutan. Budaya seni tari, tabuh, ukir dan
kerajinan rumahtangga lainnya bermuara pada budaya pertanian. Jika pertanian
Bali punah, maka akar budaya orang Bali akan punah, dan pariwisata Bali yang
mengandalkan pariwisata Budaya cepat atau lambat juga akan lenyap. Pertanian
adalah modal pariwisata, dan pariwisata adalah berkah masyarakat Bali.
Permasalahan Pertanian
Dalam memajukan pertanian di bali, terlebih dahulu harus dikenali masalah-
masalah yang mendera sistem pertanian, dengan subsistem usahatani, subsistem
kelembagaan, dan subsistem teknologi. Berikut ini dicoba diidentifikasi
permasalahan tersebut, antara lain:
1. Alih fungsi lahan pertanian.
Derasnya alih fungsi lahan pertanian untuk kepentingan non pertanian
(sarana jalan, perumahan, perkantoran, sarana pariwisata, industri, dll)
menyebabkan luas lahan sawah di Bali semakin menyusut, dan jika tidak disertai
dengan peningkatan produktivitas per hektar, maka produksi pangan di Bali praktis
akan menurun. Di Bali konversi lahan sawah untuk kepentingan non pertanian
(pariwisata, pemukiman, industri kecil, prasarana bisnis) saat ini sudah berada pada
titik yang sangat mengkhawatirkan. Konversi lahan sawah di Bali banyak terjadi di
Denpasar, Badung, Gianyar dan Tabanan (SarBaGiTa). Tahun 1977 luas lahan
sawah di Bali ± 98.000 ha dan tahun 1998 tinggal 87.850 ha. Ini berarti dalam kurun
waktu ± 20 tahun terjadi penyusutan lahan seluas 10.150 ha, atau 11,5 persen.
Bahkan selama lima tahun terakhir, penyusutan seluas 727 ha/tahun.
Konsekuensinya, keberadaan budaya pertanian (lembaga dan tradisi) sebagai salah
satu penarik wisatawan semakin terancam. Sedangkan untuk mempertahankan
pertanian di Bali sebagai penyedia bahan pangan dan pelestarian budaya agraris,
maka keberadaan pertanian perlu dipertahankan.
8
2. Sempitnya luas garapan petani.
Luas garapan petani yang relatif sempit rata-rata 0,5 ha dan terfragmentasi
adalah sangat sulit mengembangkan usaha pertanian bersakala ekonomi yang
berwawasan agribisnis. Untuk memecahkan masalah ini reformasi pemilikan tidak
mungkin dilakukan, tapi dapat dicoba program reformasi penggarapan. Misal
penggabungan beberapa lahan usahatani yang sempit-sempit menjadi suatu usaha
berskala ekonomi, sedangkan petani lainnya didorong bekerja di luar pertanian,
sehingga lahan pertanian menjadi lebih produktif. Manajemen perusahaan pertanian
(Corporate Farming) dapat dicoba diintroduksi ke dalam penggabungan lahan-lahan
pertanian sempit ini, sehingga pengelolaan usahatani menjadi efisien dan produktif.
3. Menyurutnya sumber air irigasi
Kerusakan dan penggundulan hutan di hulu menyebabkan sumber-sumber air
irigasi untuk pertanian semakin menyurut. Di samping itu, air irigasi yang memang
sudah menyurut disaingi (kalo tak mau dikatakan direbut) pemanfaatannya oleh
PDAM, hotel-hotel di kawasan wisata, dan industri. Akibatnya intesitas penanaman
terutama di lahan sawah berkurang, banyak sawah di perkotaan mengering,
palemahan subak menjadi hilang, sehingga subak lenyap, pada akhirnya akan
menurunkan produksi pangan
4. Mahalnya harga sarana produksi
Ketersediaan benih/bibit unggul, baik kuantitas maupun kualitas belum
memadai, dan labelisasinya belum berjalan dengan baik. Sistem distribusi pupuk
yang kurang tepat waktu, ditambah mahalnya harga pupuk, obat-obatan dan pakan
ternak/ikan, serta terbatasnya HMT.
5. Pasca panen belum baik
Tingkat kehilangan hasil masih tinggi antara 10-15%. Adanya fluktuasi harga
hasil pertanian yang sangat tajam. Produksi yang sangat tergantung pada
iklim/musim, penanganan sortasi dan paking belum dilaksanakan dengan baik. Ini
mengindikasikan bahwa pelaksanaan pasca panen di pertanian pada umumnya
belum baik.
9
6. Keterampilan petani rendah dan kelembagaan petani lemah
Jumlah penduduk/petani terus bertambah, sedangkan kemampuan pertanian
untuk menyerapnya sangat terbatas, sehingga kondisi ini menimbulkan kantong-
kantong kemiskinnan baru. Kemampuan petani sangat lemah/rendah dalam hal
penguasaan tenologi, penerapan sapta usahatani belum sepenuhnya dilaksanakan
sesuai dengan anjuran. Posisi tawar petani yang lemah terutama dalam hal
penjualan produk, terutama menembus swalayan di perkotaan dan hotel-hotel di
kawasan pariwisata.
Keberadaan KUD belum mampu mengakomodasikan seluruh kepentingan
petani yang sangat beragam jenisnya mulai dari sarana produksi pertanian,
peternakan, perikanan, dan penjualan atau penampungan hasil produksinya.
Keberadaan Subak sudah mengalami perubahan sosial-ekonominya, seperti
kegiatan gotong-royong menurun, pelanggran pola tanam, sistem bagi air yang
mengarah ke teknis dan sebagainya. Belum lagi bicara soal sumber daya manusia
pertanian yang lemah, kurangnya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi
pertanian, sistem pemasaran yang tak menjamin insentif yang layak bagi petani,
manajemen pembangunan pertanian antara pusat dan daerah yang belum
terkoordinasi, sehingga program revitalisasi pertanian yang dicanangkan di pusat
tidak terdengar gaungnya sampai ke kabupaten.
7. Serangan hama dan penyakit
Serangan hama dan penyakit masih menjadi masalah dalam usaha
peningkatan produksi pertanian, seperti CVPD yang sampai saat ini belum
ditemukan penanggulangannya, penyakit jembrana, ND dan lain-lain. Pemakaian
pestisida/insektisida yang berlebihan di sentra-sentra pengembangan sayuran
sangat mengkhawatirkan mencemari lingkungan, yang pada akhirnya akan
terakumulasi di tubuh manusia melalui konsumsi pangan sayuran dan konsumsi air
minum tercemar.
8. Ketimpangan harga-harga input-output pertanian
Harga-harga sarana produksi (input) untuk proses produksi terus merangkak
naik seperti harga pupuk, pestisida, bibit, benih, dsb, sedangkan harga produk
(output) petani tetap, bahkan menurun ketika musim panen raya, menyebabkan rasio
10
harga input-output pertanian (Nilai Tukar Petani, NTP) semakin timpang. Jika NTP
petani sebagai indikator kesejahteraan petani relatif konstan, maka kesejahteraan
petani selama 10 tahun terakhir relative tidak banyak mengalami perubahan.
9. Produk pertanian lokal kurang kompetitif
Produk-produk pertanian lokal kalah bersaing dengan produk pertanian impor.
Produk-produk pertanian impor menyerbu pasar-pasar dalam negeri, baik pasar
tradisional maupun pasar swalayan, sehingga petani kurang bergairah
mengusahakan produk-produk lokal sejenis, akibatnya produktivitas dan pendapatan
petani juga menurun. Padahal, Propinsi Bali yang mayoritas penduduk memeluk
Agama Hindu merupakan pasar yang sangat strategis bagi komoditi pertanian.
Kebutuhan upacara seperti janur dan buah-buahan di Provinsi ini sangat besar jika
dibandingkan dengan daerah lainnya. Namun demikian, kurang jelinya petani dalam
membaca kemauan pasar dan pergeseran gaya hidup penduduk, telah membuat
buah impor menjadi primadona di Bali. Misal anggur Buleleng kalah bersaing dengan
anggur impor. Salak Bali mulai terdesak oleh salak Pondoh yang tersedia setiap
saat.
10. Kurangnya integrasi vertikal yang kuat dalam sistem komoditas
Kurangnya integrasi ini disebabkan oleh ketimpangan pembagian rasio nilai
tambah dengan biaya yang dikeluarkan oleh para pelaku dalam suatu sistem
komoditas. Secara umum produsen pertanian menerima bagian yang paling kecil.
Kondisi ini yang membuat para petani kurang terpacu untuk menumbuhkan
pertaniannya. Di samping itu, masih kurangnya integrasi horizontal yang kuat dan
saling menunjang antara sistem komoditas dengan sistem komoditas yang lain.
Misalnya agroindustri penghasil jus markisa hanya bergerak dalam komoditas
tersebut, sehingga bila terjadi kekurangan pasokan bahan baku, maka kapasitas
optimal pabrik tidak dapat terpenuhi. Padahal, jika ada integrasi horizontal yang kuat,
maka di samping komoditas markisa sebagai produksi, juga dikembangkan nenas
atau mangga sebagai pendamping komplementer.
11
11. Kurangnya dukungan teknologi industri pertanian
Kurangnya dukungan teknologi industri pertanian menyebabkan petani atau
kelompoktani berproduksi dengan kualitas yang rendah. Misalnya kurangnya
teknologi dalam pemetikan dan mengolahan kakao ditingkat petani, membuat
kualitas kakao masih kalah dibandingkan dengan beberapa negara lain.
12. Akses lembaga keuangan rendah
Petani yang berlatang pendidikan rendah dan tidak memiliki sertifikat lahan
sebagai agunan sangat sulit mengakses lembaga-lembaga keuangan. Akhirnya
petani berpaling kepada rentenir sebagai alternatif memperoleh pembiayaan dalam
proses produksi. Di Indonesia belum ada Bank Pertanian, walau sudah dimasukan
ke dalam udang-undang pertanian, yang khususnya menyediakan pembiayaan
pertanian. Sangat berbeda dengan di Thailand, yang khusus memiliki Bank
Pertanian dengan nama Bank of Agriculture and Agricultural Cooperation (BAAC),
memberikan pinjaman kepada petani dengan tingkat bunga relatif rendah.
13. Petani terjepit oleh kenaikan NJOP dan larangan penjualan lahan
Kenaikan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) lahan-lahan petani di sekitar
perkotaan menyebabkan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang harus
dibayar petani, mencapai dua sampai tiga kali lipat. Penghasilan petani dari lahan
sawah yang sempit tidak mampu membayat PBB yang mengelami kenaikan drastis.
Namun di lain pihak ketika petani ingin menjual lahannya, dihadang oleh larangan
penjualan atau pemindah-tanganan lahan karena jalur hijau, bahkan ke depan akan
diberlakukan undang-undang perlindungan lahan pertanian berkelanjutan. Ini
sungguh-sungguh dilemma bagi petani gurem di perkotaan, di satu pihak
penghasilan dari lahan yang relatif rendah tidak mampu membayar PBB yang naik,
sedangkan di lain pihak jika lahan dijual tidak boleh karena berada di jalur hijau, atau
dilarang oleh undang-undang perlindungan lahan pertanian berkelanjutan.
14. Kerja di pertanian semakin kurang menarik
Resultante dari semua masalah yang diuraikan sebelum menyebabkan
kesejahteraan petani relatif rendah dan hidup penuh kesederhanaan. Apalagi
belakangan ini muncul stigma pertanian adalah kotor, kerja keras, kemiskinan dan
12
keterbelakangan, sehingga semakin kurang menarik bagi kaum muda. ini
konsekuensi kebijakan elit politik yang memarjinalkan sektor pertanian. Tugas
pemerintah sekarang adalah memajukan pertanian Bali menjadi bergengsi, sehingga
menarik kaum muda bekerja di pertanian ketika generasi petani sekarang telah tiada.
Jika ini tidak dilakukan, maka 10-15 tahun ke depan lahan-lahan pertanian tidak ada
yang mengerjakan.
PARADIGAM PEMBANGUNAN PERTANIAN
Di satu pihak peranan pertanian sangat penting sebagai bahan pangan,
sumber lapangan kerja, sumber pendapatan, sumber bahan baku industri, sumber
devisa, sumber capital, pelestari sumberdaya alam dan lingk hidup, dan pelestaria
akar budaya masyarakat bali, dan di lain pihak dihadapkan dengan permasalahan
seperti derasnya alih fungsi lahan, sempitnya luas garapan petani, menyurutnya
sumber air irigasi, semakin mahalnya sarana produksi, pasca panen belum baik,
kelembagaan petani masih lemah, serangan hama dan penyakit, ketimpangan
harga-harga input-output pertanian, kurangnya integrasi vertikal yang kuat dalam
sistem komoditas, kurangnya dukungan teknologi industri pertanian, akses lembaga
keuangan rendah, petani terjepit oleh kenaikan NJOP dan larangan penjualan lahan,
dan kerja di pertanian semakin kurang menarik bagi generasi muda bali, maka para
elit politik penguasa di bali, baik di provinsi maupun di kabupaten harus
berkomitment tinggi “MERPERTAHANKAN PERTANIAN DI BALI”, dengan
menerapkan paradigma (model atau pola pikir atau kebijakan umum) pembangunan
pertanian, antara lain:
1) Tingkatkan keberpihakan pemerintah daerah pada pertanian
Keberpihakan pemerintah pada pertanian dicerminkan oleh alokasi anggaran
untuk sektor pertanian dalam APBD, memberikan pendampingan secara
berkelanjutan, dan program-program pemberdayaan yang bersifat ekonomi dan non
ekonomi. Jumlah anggaran yang dialokasikan untuk pertanian dalam APBD, tidak
hanya berdasarkan jumlah penduduk, tetapi juga harus mencerminkan urgensi
sektor pertanian, yang kini sedang terpinggirkan. Sektor pertanian memerlukan
subsidi, promisi dan proteksi untuk meminimalkan penyakit sektor pertanian yakni
resiko dan ketidak-pastian.
13
Pendampingan secara berkelanjutan pada petani (sektor pertanian) oleh para
sarjana yang baru lulus perlu dilakukan, dengan syarat sebelum diterima sebagai
tenaga pendamping perlu diuji idealismenya terhadap pembangunan pertanian. Perlu
ada pendampingan pada petani dalam berusahatani di lahan sempit, yang menjadi
penyebab utama rendahnya kesejahteraan petani.
Memberdayakan petani yang lahannya sempit (petani gurem) diperlukan
program-program pemberdayaan yang bersifat ekonomi, meliputi subsidi sarana
produksi (bibit, pupuk, pestisida), perbaikan harga produk-produk pertanian, dan
pemberian kredit kepada petani dengan bunga ringan bertujuan agar produk yang
dihasilkan petani menjadi kompetitif. Misal, pemerintah Jepang membeli produk
beras petani sampai empat kali harga dunia, kemudian menjualnya kembali ke
masyarakat dengan harga normal. Ini dilakukan agar petani tetap tertarik bekerja di
pertanian. Pemberian kredit dengan bunga ringan yang dilakukan oleh Pemerintah
Thailad menyebabkan produk-produk agribisnis Thailand sangat kompetitif di pasar
internasiona.
Perbaikan sistem kelembagaan, meliputi kelembagaan ekonomi, yaitu
pendirian dan pembenahan koperasi (KUD dan koperasi pertanian), perbankan dan
pasar bagi komoditi pertanian. Kelembagaan sosial, yaitu pembentukan dan
penyempurnaan kelompok-kelompok tani atau revitalisasi subak sebagai wahana
tukar-menukar informasi dan teknologi pertanian bagi para petani.
Investasi dalam sumberdaya manusia (human resources), meliputi pendidikan
dan pelatihan guna meningkatkan pengetahuan dan keterampilan petani dan aparat
pemerintah bidang pertanian. Melalui penterapan program ini dalam
mengembangkan pertanian Bali, maka diharapkan pertanian Bali menjadi maju,
modern, dan lestari, sehingga mampu menyediakan kesejahteraan yang layak bagi
petaninya.
2) Harmonikan dan sinergikan pertanian dan pariwisata
Hasil kajian Antara (1999) terhadap perekonomian Bali dengan model makro
regional Social Accountung Matrix (SAM) menemukan bahwa pariwisata dalam
bentuk pengeluaran wisatawan (tourist expenditure) memiliki efek terhadap
perekonomian Bali utamanya terhadap pendapatan faktor produksi, pendapatan
rumahtangga dan permintaan output sektor-sektor produksi yang ditunjukkan oleh
14
efek pengganda (multiplier effect) dan efek menyebar (spread effect). Ini menyiratkan
bahwa sektor pariwisata memiliki keterkaitan erat dengan sektor-sektor produksi
yaitu pertanian, industri kerajinan dan jasa-jasa. Artinya perkembangan pariwisata
Bali yang ditandai oleh peningkatan kunjungan wisatawan akan berpengaruh positip
terhadap perkembangan sektor pertanian dan industri kecil, karena pariwisata
merupakan pasar produk-produk dan penyerap kelebihan tenagakerja kedua sektor
tsb.
Implikasi dari temuan ini bahwasanya para pengambil kebijakan di Bali harus
mengharmonikan dan mensinergikan perkembangan tiga sektor yakni pariwisata,
pertanian, dan industri kerajinan. Hindarilah mengembangkan satu sektor dengan
mengorbankan atau meniadakan sektor lain. Misalnya, mengembangkan pariwisata
tanpa memperdulikan eksistensi sektor pertanian atau sebaliknya mengembangkan
sektor pertanian dengan meniadakan sektor pariwisata, padahal kedua sektor ini
sama-sama penting dan terkait erat. Pariwisata adalah berkah bagi masyarakat Bali
yang daerahnya miskin sumberdaya alam, sedang pertanian adalah aset (budaya
dan ekonomi) bagi pariwisata Bali. Jika pertanian hancur dan punah, maka
wisatawan tidak tertarik lagi berkunjung ke Bali, dan industri kerajinan juga akan
hancur karena pasarnya hilang, pada akhirnya masyarakat Bali secara keseluruhan
akan menderita. Bukti konkrit hal ini adalah dampak bom Legian tahun 2002 dan
bom Jimbaran 2005 terhadap akivitas sektor riil dalam perekonomian Bali.
3) PHR utamakan untuk mamajukan pertanian
Ketiga sektor utama perekonomian Bali memang sudah dibangun secara
simultan, atau dengan kata lain pertanian sudah menjadi basis pembangunan
ekonomi sejak Orde Baru sampai kini. Namun kondisi dan kebijakan sosial, ekonomi,
politik dan keterbatasan wilayah fisik Bali menyebabkan kemajuan pertanian relatif
tertinggal dibandingkan kemajuan dua sektor lainnya. Jika masyarakat yang bekerja
pada dua sektor pariwisata dan industri semakin makmur seiring semakin jayanya
pariwisata, maka masyarakat yang bekerja di sektor pertanian semakin terkubur.
Tampaknya pariwisata Bali pasca bom Jimbaran dan Kuta 1 Oktober 2005
mulai menggeliat. Pemulihan pariwisata tidak hanya berdampak terhadap
perekonomian mikro di sektor riil dan makro regional Bali, tetapi juga berdampak
terhadap beberapa Pemkab (SarBaGi) yang PAD-nya sebagian bersumber PHR.
15
Misal, kabupaten Badung sekitar 60 persen PAD-nya bersumber dari PHR, maka
pariwisata yang menggeliat sangat diperlukan. Makin meningkat kunjungan
wisatawan, penerimaan pemerintah kabupaten dari pariwisata dalam bentuk PHR
makin besar.
Namun perlu diingat bahwa pariwisata sebagai industri jasa tunduk pada
hukum life cycle of tourism, yakni ditemukan (discovery), berkembang (development),
dan akhirnya menurun (decline) karena berbagai hal, sehingga tidak menarik lagi
dikunjungi wisatawan. Ketika pariwisata Bali sedang jaya yang menghasilkan
pendapatan bagi pemerintah kabupaten, semestinya pendapatan ini digunakan
semaksimal mungkin membangkitkan pertanian Bali yang sedang sekarat agar
pertanian Bali menjadi modern, baik melalui teknologi baru maupun peningkatan
SDM petani. Strategi ini untuk mengantisipasi kemungkinan hukum siklus hidup
menimpa pariwisata Bali (mudah-mudahan tidak), ketika pariwisata Bali mengalami
kemunduran akan dapat dikompensasi oleh kemajuan pertanian. Juga ada ungkapan
pariwisata menghancurkan pariwisata (tourisn destroy tourism). Jika hal ini terjadi
berarti wisatawan tidak tertarik lagi mengunjungi Bali, mungkin karena merasa tidak
memperoleh yang diharapkan sejak dari negerinya, yakni kenyamanan, ketentraman,
keasrian, keunikan dan keramah-tamahan. Sedang yang mereka jumpai adalah
kemacetan di mana-mana, kriminalitas, polusi udara dan air, serta sikap-sikap
masyarakat Bali yang semakin komersial dan hilangnya keramahtamahan yang
sebelumnya dibangga-banggakan. Karenanya para elit politik pengambil kebijakan di
Bali, baik di tingkat provinsi maupun di kabupaten, harus mengambil strategi “sedia
payung sebelum hujan”. Artinya membangun pertanian Bali menjadi maju dan
modern, untuk mengantisipasi jika kelak terjadi kemunduran pariwisata.
4) Implementasikan prinsip-prinsip agribisnis
Agribisnis merupakan cara baru melihat pertanian. Dulu pertanian dilihat
secara sektoral, sekarang harus dilihat secara intersektoral. Dulu pertanian
dilihat secara subsistem, sekarang harus dilihat secara sistem. Dulu pertanian
berorientasi produksi, maka sekarang pertanian harus berorientasi bisnis. Apabila
agribisnis usahatani dianggap sebagai subsistem, maka ia tidak terlepas dari
kegiatan atau subsistem agribisnis non usahatani seperti subsistem pengolahan
(agroindustri hulu dan hilir), subsistem pemasaran input-output dan subsistem
16
lembaga penunjang. Jadi agribisnis hanya cara baru melihat pertanian, dan
semestinya inilah visi ke depan elit politik pengambil kebijakan dalam membangun
pertanian di Bali.
Pengembangan sektor agribisnis dapat menyerap tenaga kerja dalam jumlah
yang besar, sehingga diharapkan dapat mengeliminasi dampak sosial yang
ditimbulkan oleh pengangguran. Lagi pula, mengingat sebagian besar jumlah
penduduk Bali bermata pencaharian sebagai petani dan tinggal di pedesaan, dengan
mengembangkan agribisnis akan mempercepatan pertumbuhan ekonomi rakyat,
sehingga pembangunan tidak saja terjadi di perkotaan akan tetapi juga di pedesaan.
Agar dapat mempercepat pemerataan pembangunan, maka diperlukan suatu strategi
pembangunan daerah yang berpotensi untuk mengembangkan produk-produk
agribisnis yang bersumber pada sumberdaya domestik (domestic resource).
Sektor agribisnis harus mampu dibangun menjadi sektor andalan dan
penggerak perekonomian pedesaan, sehingga program pemberdayaan ekonomi
rakyat dapat berjalan dengan baik, sesuai dengan rencana dan sasaran yang ingin
dicapai, yaitu meningkatkan kesejahteraan petani dan keluarganya serta lapisan
masyarakat bawah (Solahudin, 1998). Pengembangan agribisnis di daerah-daerah
memiliki dampak langsung terhadap peningkatan Disposible Income penduduk
Indonesia di mana sekitar 80 persen masih bekerja di sektor agribisnis, selanjutnya
akan meningkatkan konsumsi dan tabungan masyarakat. Peningkatan nilai konsumsi
merupakan cerminan peningkatan kesejahteraan masyarakat (Gumbira-Sa’id, 2001).
Pertanian dalam arti luas adalah salah satu dari tiga ujung tombak
pembangunan ekonomi daerah Bali umumnya dan kabupaten-kabupaten di Bali
khususnya. Dalam rangka mewujudkan visi, misi dan tujuan pembangunan
pertanian yang berwawasan agribisnis, dituntut adanya keterkaitan erat antara sektor
pertanian dengan sektor-sektor lain dalam sebuah sistem agribisnis. Artinya, jika
ingin mengembangkan atau memajukan sub-sistem produksi, harus disertai pula
dengan pengembangan atau dukungan sub-sistem lainnya, seperti sub-sistem
pemasaran, sub-sistem penyediaan masukan (agroindustri hulu), subsistem
pengolahan (agroindustri hilir) dan sub-sistem lembaga penunjang seperti lembaga
keuangan, sarana dan prasarana perhubungan dan komunikasi.
Agribisnis mengandung pengertian adanya keterkaitan vertikal antar
subsistem dan keterkaitan horizontal dengan subsistem lain di luar pertanian,
17
seperti jasa-jasa (finansial dan perbankan, koperasi, transportasi, perdagangan,
pendidikan dan lain-lain). Keterkaitan luas ini sudah disadari sejak dahulu oleh
ekonom pasca-revoluasi industri, sehingga mereka menekankan arti strategis
penempatan pertanian (dan pedesaan) sebagai bisnis inti (core business) pada
tahap pembangunan sebelum lepas landas terutama dalam kaitannya dengan
proses industrialisasi (Antara, 2009).
Di negara-negara sedang berkembang termasuk di Indonesia dan Bali, tujuan
pembangunan pertanian adalah meningkatkan pendapatan petani gurem, yaitu
petani berlahan sempit (penguasaan lahan < 0,5 ha), yang pada dirinya melekat
banyak kelemahan, antara lain: lemah pengetahuan dan keterampilan, lemah modal,
lemah teknologi, lemah akses kredit dan kurangnya perhatian pemerintah terhadap
mereka. Semua kelemahan-kelemahan ini menyebabkan usaha mereka sulit
berkembang dan belum mampu menghasilkan pendapatan yang layak bagi mereka.
5) Rumuskan program mencintai pertanian
Pemerintah pusat dan daerah harus merumuskan berbagai program sosial,
ekonomi, dan teknologi agar petani di pedesaan tetap mencintai sektor pertanian
dan mncintai profesinya sebagai petani, dan menarik kaum muda untuk bekerja di
sektor pertanian. Kebijakan pemerintah pusat melalui Kemendikbud melalui program
pemberian beasiswa Bidik-Misi kepada calon-calon mahasiswa yang berminat
melanjutkan kuliah di Fakultas Pertanian yang tahun-tahun sebelumnya peminatnya
menurun drastis patut disambut positif. Dengan cara ini dihadapkan akan ada
penerus pemikir pertanian di masa depan. Namun, perlu juga ada program insentif
untuk menarik minat generasi muda bekerja di pertanian.
6) Pertahankan areal sawah dan air irigasi dengan sistem subaknya
Di Bali konversi lahan sawah untuk kepentingan non pertanian (pariwisata,
pemukiman, industri kecil, prasarana bisnis) saat ini sudah berada pada titik yang
sangat mengkhawatirkan. Konversi lahan sawah di Bali banyak terjadi di Denpasar,
Badung, Gianyar dan Tabanan (SarBaGiTa). Tahun 1977 luas lahan sawah di Bali ±
98.000 ha dan tahun 1998, menjadi 87.850 ha, ini berarti dalam kurun waktu ± 20
tahun terjadi penyusutan lahan seluas 10.150 ha, atau 11,5%, bahkan selama lima
tahun terakhir, penyusutan seluas 727 ha/tahun. Konsekuensinya, keberadaan
18
budaya pertanian (lembaga dan tradisi) sebagai salah satu penarik wisatawan
semakin terancam, sedangkan untuk mempertahankan pertanian di Bali sebagai
penyedia bahan pangan dan pelestarian budaya agraris, maka keberadaan pertanian
perlu dipertahankan. Oleh karena itu, luas lahan sawah dengan sistem subaknya
harus dipertahankan jika ingin mempertahankan eksistensi manusia di bali. Bahkan
perlu segera ditetapkan kawasan ”Subak-Abadi” di Bali, dengan memberikan
berbagai insentif kepada anggota subak (petani). Hal ini untuk kepentingan
pariwisata (agrowisata subak), kesejahteraan petani, ilmu pengetahuan (wahana
belajar kearifan lokal), dan warisan budaya.
Dalam rangka melestarikan sumber air dan saluran irigasi di subak, pihak
Badan Pertanahan Nasional (BPN) dalam memproses pembuatan akte tanah perlu
memperhatikan eksistensi saluran tersier dan kuarter di areal tanah yang diproses,
sehingga saluran tersebut tetap eksis. Dengan demikian sistem irigasi di kawasan
subak akan tetap eksis walau ada jual-beli lahan sawah di bagian hulu.
7) Pengutamaan konsumsi dan fanatisme produk lokal
Pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten perlu membuat perda atau
peraturan lain apapun jenisnya agar pelaku-pelaku industri pariwisata
mengutamakan konsumsi produk-produk pertanian lokal untuk wisatawan yang
menginap di hotelnya. Jika ini dapat dilakukan, maka petani lokal akan menjadi
bergairah berproduksi. Misal, salak lokal sangat murah, hanya Rp 4.000 per kg
ketika musim panen, kalah bersaing dengan salak pondoh dari provinsi lain. Perlu
ada gerakan pengembangkan fanatisme terhadap produk pertanian lokal, dalam
bentuk gerakan politik, sosial dan ekonomi, yakni berupa Gerakan Cinta Produk
Pertanian Lokal (GCPPL).
8) Pengembangan unit ekonomi pada setiap subak
Untuk operasional subak, setiap tahun pemerintah provinsi dan kabupaten
memberikan bantuan opersional kepada subak-subak di bali, baik untuk subak basah
(sawah) maupun subak kering (abian). Bantuan pemerintah ini sering dirasakan
kurang mencukupi oleh subak. Agar subak mampu berswadana, maka perlu
dibangun koperasi pertanian pada setiap subak, seperti halnya pembangunan LPD
pada setiap desa pakraman. Pada prinsipnya subak harus ditransformasi, sesuai
19
dengan perkembangban lingkungan sekitarnya. Subak tidak boleh ditinggal dan mati.
(Windia, 2006). Selanjutnya, melalui wadah koperasi, maka dilakukan revitalisasi
subak, sehingga subak bisa mandiri. Anggota subak dididik membuat input yang
diperlukan dari bahan baku d isekitarnya, seperti membuat kompos, mampu
menerapkan teknologi budi-daya yang terus berkembang, mampu menangani pasca
panen secara baik, sehingga kehilangan hasil ketika panen bisa diminimalisasi, dan
memasarkan hasil bersama-sama melalui koperasi, dll. Perlu dibangun kerjasama
(dengan fasilitasi Pemda), antara Koperasi Tani (Koptan) dengan Koperasi
Karyawan (Kopkar) hotel untuk memperlancar pemasaran hasil produk pertanian ke
hotel-hotel.
9) Manfaatkan lahan tidur untuk produksi pangan
Sampai saat ini belum terdata berapa lahan tidur (sleeping land) di bali. Tetapi
yang jelas lahan tidur bertebaran di seluruh kabupaten di Bali, yang tidak
dimanfaatkan untuk berproduksi. Jika lahan tidur ini dimanfaatkan untuk produksi
pangan, maka akan dapat menunjang ketahanan pangan di bali. Oleh karena itu
perlu ada kebijakan pemerintah provinsi atau kebupaten untuk memanfaatkan lahan
tidur di Bali untuk memproduksi pangan, baik dalam bentuk pinjam-pakai atau bagi
hasil antara pemilik dan penggarap yang difasilitasi oleh pemerintah daerah. Secara
mikro akan dapat meningkatkan pendapatan petani penggarap yang menganggur
atau kurang lahan garapan, dan secara makro akan berdampak pada peningkatan
produksi pangan regional dan nasional.
10) Pembentukan lembaga komisi irigasi
Adanya konflik-konflik pemanfaatan air antar subak, antar petani, dan bahkan
antar sektor seperti pertanian dan PDAM dan Pariwisata, maka mendesak dan perlu
segera dibentuk lembaga Komisi Irigasi (Komir) dan Dewan Sumberdaya Air (Dewan
Air), sebagai amanat dari UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air. Dengan
demikian lembaga subak akan terlindungi dari intervensi pihak-pihak luar yang
memerlukan air.
20
11) Laksanakan Perda RTRW disertai sanksi hukumnya
Perda nomor 16 tahun tahun 2009 tentang RTRW yang menimbulkan
polemik antara beberapa pihak, terutama antara pemerintah provinsi dan beberapa
pemerintah kabupaten, dan antara investor pariwisata dan pemerintah provinsi,
maka janganlah membuat pemerintah provinsi surut untuk melaksanakannya. Perda
RTRW yang sudah melalui kajian akademik dan pelaksanaannya memperoleh
dukungan dari tokoh-tokoh masyarakat, tokoh agama dan interlektual, bahkan sudah
disosialisasikan sampai ke tingkat kabupaten/kota, maka pemerintah provinsi harus
melaksanakan dan menegakannya, dan pelanggarnya harus ditindak tegas jika
terbukti melanggar Perda. Pemberlakuan perda ini bertujuan untuk melestarikan
keberadaan Bali dan penghuninya.
P E N U T U P
1. Pertanian Bali perlu dibangkitkan dari kemunduran atau kebangkrutan, dan
sekaligus menyelamatkan pulau Bali dari kehancuran karena kehidupan manusia-
manusia di Bali sangat tergantung pada pertanian.
2. Banyak kebijakan dan program pertanian pada on-farm dan off-farm sudah
diterapkan oleh pemerintah, hanya belum mampu mensejahterakan semua
petani. Masalahnya di mana? Apakah gerakan masih bersifat sporadis, atau
apa?,
3. Elit-elit politik penguasa di bali harus memiliki komitment kuat “mempertahankan
pertanian di bali, dengan mengharmonikan dan mensinergikan pertanian dan
pariwisata”, karena pertanian adalah asset atau modal pariwisata, sedangkan
pariwisata adalah berkah bagi bali yang tidak memiliki sumberdaya alam tambang
dan hutan.
21
DAFTAR PUSTAKA
Antara, M.2000. Dampak Pengeluaran Pemerintah, dan Wisatawan serta Investasi Swasta Terhadap Kinerja Perekonomian Bali. Dalam Jurnal Ekonomi dan Keuangan Indonesia (EKI), Volume XLVIII No. 3 Tahun 2000. Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta. Hal, 253-273.
Antara. M. 2009. Pertanian Bangkit atau Bangkrut. Penerbit Arti Fondation, Denpasar, Bali.
Arifin, B. 2009. Babak baru Kebijakan Subsisdi Pupuk. Dalam Kompas, Senin 14 September 2009. Penerbit PT. Gramedia, Jakarta,
PDRB Bali 2008. Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Bali 2003-2008. Kerjasama Bappeda Provinsi Bali dengan Badan Statistik Provinsi Bali.
Gumbira-Sa’id. 2001. ‘Visi Global Agribisnis Berkelanjutan: Antisipasi Jangka Panjang Terhadap Krisis Ekonomi’. Majalah Agrimedia, No. 2 Vol. 4 Jnuii 2001.
Pemrop Bali. 2000. ‘Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 10 tahun 2000 Tentang Pola Dasar Pembangunan Daerah Propinsi Bali Tahun 2000-2005’. Pemerintah Propinsi Bali.
Pemprop Bali. 2001a. ‘Keputusan Gubernur Bali Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Program Pembangunan Daerah (PROPEDA) Propinsi Bali Tahun 2001-2005. Pemerintah Propinsi Bali.
Pemprop Bali. 2001b. ‘Rancangan Peraturan Daerah Propinsi Bali No. ? Tahun 2001 Tentang Rencana Strategis (Renstra) Propinsi Bali Tahun 2002-2005. Pemerintah Propinsi Bali.
Solahudin, S. 1998. ‘Kebijakan Pembangunan Pertanian Pasca Orde Baru’. Dalam Majalah Usahawan Indonesia, No. 10 (Oktober), Tahun XXVII.
Windia, Wayan. 2006. Transformasi Sistem Irigasi Subak Yang Berlandaskan Tri Hita Karana, Penerbit Bali Post, Denpasar.
Recommended