MMooddeell PPeennggeemmbbaannggaann TTaammbbaakk UUddaanngg SSeeccaarraa BBeerrkkeellaannjjuuttaann BBeerrbbaassiiss ““FFiisshheerriieess OOrrggaanniicc SSyysstteemm”” ddaann ““CClleeaann PPrroodduuccttiioonn””..
Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Makassar Kementerian Kelautan dan Perikanan
Pag
e1
MMooddeell PPeennggeemmbbaannggaann TTaammbbaakk UUddaanngg SSeeccaarraa BBeerrkkeellaannjjuuttaann
BBeerrbbaassiiss ““FFiisshheerriieess OOrrggaanniicc SSyysstteemm”” ddaann ““CClleeaann PPrroodduuccttiioonn””..
OOlleehh :: UUrriiff SSyyaarriiffuuddiinn
II.. PPEENNDDAAHHUULLUUAANN
Permintaan dunia akan produk hasil perikanan
semakin meningkat seiring dengan pertambahan jumlah
penduduk dunia yang cendrung meningkat, dan tumbuhnya
kesadaran manusia akan nilai gizi dari ikan/ seafood yang
dapat meningkatkan kesehatan, kecerdasan dan kekuatan, serta
semakin berkembangnya industri farmasi, kosmetika,
makanan dan minuman yang menggunakan bahan baku
utamanya dari ikan atau biota laut lainnya, hal ini
diindikasikan dengan perkembangan produksi dan nilai
eksport perikanan Indonesia periode tahun 1999 – 2002
mengalami kenaikan yang cukup signifikan yaitu rata-rata
4,26 % per tahun (Tabel 1), dengan negara tujuan dan
persentase volume sebagai berikut; Thailand (30,33%), Jepang
(24,28%), Uni Eropa (20,83%), RRC (10,52%), Singapura
(6,39%), USA (4,83%) dan Hongkong (2,83%).
Tabel 1. Produksi dan nilai ekspor perikanan Indonesia tahun
2001 – 2004.
Rincian Tahun Kenaik
an (%) 20011) 2002 1) 2003 1) 2004 2)
Produksi
perikanan (x 1000
ton)
4.893,0
6
5.107,3
6
5.323,3
4 5.545,15 4,26
Nilai ekspor (x
US$1000)
1,339,2
58.80
1,674,0
73.50
1,631,8
98.59
1,082,04
4.35
Fluktuat
if
Keterangan : 1) Angka diperbaiki, 2) Angka sementara,
Sumber : Warta Pasar Ikan (2005) dalam Urif Syarifudin
(2006).
Permintaan produk hasil perikanan untuk kebutuhan
dalam negeri juga semakin meningkat. Hal ini disebabkan oleh
meningkatnya laju pertumbuhan penduduk Indonesia dan
bertambahnya tingkat konsumsi ikan perkapita serta
berkembangnya industri pengolahan produk hasil sampingan
perikanan (by-product), seperti industri pengolahan tepung
ikan dan pabrik pakan ternak. Total konsumsi ikan dari
penduduk Indonesia pada tahun 2002 adalah 4.730,79 ton dan
kenaikan rata-rata tingkat konsumsi ikan pertahun adalah
2,67% maka jumlah kebutuhan produk perikanan untuk
konsumsi penduduk Indonesia pada tahun 2005 diperkirakan
mencapai 5.119,93 ton.
Tabel 2. Perkembangan konsumsi ikan di Indonesia tahun
2001 – 2004.
Rincian Tahun Kenaikan
(%) 20011) 2002 1) 2003 1) 2004 2)
Konsumsi total
(ton)
4.052,5
2
4.352,9
3
4.537,9
3
4.730,7
9 4,25
Perkapita
(kg/kap/thn) 21,22 21,69 22,27 22,86 2,67
Keterangan : 1) Angka diperbaiki, 2) Angka sementara,
Sumber : Warta Pasar Ikan (2005) dalam Urif Syarifudin
(2006).
Untuk memenuhi kebutuhan akan permintaan produk
hasil perikanan baik untuk dalam negeri dan luar negeri,
pemerintah Indonesia melalui program ‘blue revolution’ telah
menetapkan kebijakan pembangunan perikanan melalui
“Pengembangan perikanan budidaya dan pengendalian
penangkapan ikan”. Berdasarkan kebijakan tersebut, dapat
dilihat bahwa fokus pengembangan perikanan adalah pada sub
sektor perikanan budidaya khususnya kegiatan pertambakan.
Usaha pertambakan merupakan satu diantara kegiatan
ekonomi yang banyak dikerjakan oleh masyarakat pesisir di
Indonesia. Tidak seperti negara Asia lainnya, sekitar 90 %
usaha pertambakan di Indonesia dikelola oleh rakyat (petani
budidaya) dan hanya 10 % saja yang dikelola oleh
perusahaan. Ironinya, sejak awal tahun 1999 hingga saat ini
sebagian besar pengelolaan tambak, utamanya untuk budidaya
udang tidak dapat dilakukan secara optimal dan bahkan
banyak ditinggalkan karena kurang produktif akibat gagal
panen sebagai rangkaian dari serangan penyakit yang
berkepanjangan. Sebagai contoh , fenomena ini muncul di
sebahagian besar pantai utara Jawa dan sebahagian besar
Sumatra serta pesisir Sulawesi. (Wetlands Internasional-
Indonesia Program, 2009).
IIII.. TTUUJJUUAANN PPEENNUULLIISSAANN
Menurunnya produktifitas tambak udang akibat dari
gagal panen sebagai rangkaian dari serangan penyakit yang
berkepanjangan dan degradasi lingkungan merupakan isu
nasional dalam pengelolaan budidaya tambak udang di
Indonesia. Permasalahan tersebut terjadi hampir di seluruh
wilayah pesisir Indonesia. Untuk mengatasi masalah tersebut,
perlu dirancang suatu alternatif solusi yang tepat dan dapat
MMooddeell PPeennggeemmbbaannggaann TTaammbbaakk UUddaanngg SSeeccaarraa BBeerrkkeellaannjjuuttaann BBeerrbbaassiiss ““FFiisshheerriieess OOrrggaanniicc SSyysstteemm”” ddaann ““CClleeaann PPrroodduuccttiioonn””..
Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Makassar Kementerian Kelautan dan Perikanan
Pag
e2
diimplementasikan dengan mudah oleh para pengelola dan
pembudidaya tambak udang.
Sebagai bahan masukan bagi pengelola tambak
udang, maka pada makalah ini, disajikan bahasan tentang
Model Pengembangan Tambak Udang Secara
Berkelanjutan Berbasis “Organic Fisheries System” dan
“Clean Production”. Dengan pengembangan model budidaya
tambak udang yang baik dan terarah, maka sumberdaya pesisir
ini dapat terjaga kelestariaannya dan juga sekaligus dapat
memenuhi kebutuhan hidup manusia secara terus menerus
serta mensejahterakan masyarakat pesisir dan mendorong
pertumbuhan kawasan tersebut dengan sendirinya.
Selain bahan masukan bagi pengelola tambak udang,
pada bagian akhir dari makalah ini (Bab 5. Kesimpulan)
memberikan formulasi sederhana tentang Model
Pengembangan Tambak Udang Secara Berkelanjutan
Berbasis “Organic Fisheries System” dan “Clean
Production”, yang diformulasikan berdasarkan Documentary
review dan Studi literatur. Melalui formulasi sederhana yang
di sampaikan, diharapkan dapat diteleti lebih lanjut oleh para
mahasiswa maupun peneliti di bidang perikanan sehingga
tersusun formulasi yang lebih konkrit dan sempurna.
IIIIII.. MMEETTOODDEE PPEENNUULLIISSAANN
Metode penulisan makalah ini dilakukan berdasarkan
pada dua hal, yaitu pertama documentary review, dan kedua
pengalaman praktis penulis selama melakukan tugas
menyusun program pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut
di Sulawesi yang dipandu dengan kajian literatur.
Documentary review dan Studi literatur digunakan untuk
menelusuri berbagai konsep dan teori maupun berbagai
pengalaman empiris yang dicermati dan ditulis dalam berbagai
buku referensi, laporan penelitian maupun artikel jurnal.
Berbagai pokok pikiran dan fakta yang diperoleh dari
pengalaman praktis dan studi literatur disusun secara
sistematis untuk mendukung kerangka penulisan makalah ini.
Kerangka penulisan makalah Model Pengembangan
Tambak Udang Secara Berkelanjutan Berbasis “Organic
Fisheries System” dan “Clean Production”, meliputi :
BBaabb 11.. PPeennddaahhuulluuaann
BBaabb 22.. TTuujjuuaann PPeennuulliissaann
BBaabb 33.. MMeettooddee PPeennuulliissaann
BBaabb 44.. DDookkuummeennttaarryy RReevviieeww
AA.. TTeekknniikk BBuuddiiddaayyaa TTaammbbaakk UUddaanngg
BB.. IIssuu--iissuu SSttrraatteeggiiss PPeennggeelloollaaaann BBuuddiiddaayyaa TTaammbbaakk
UUddaanngg
CC.. PPrriinnssiiff PPeerriikkaannaann BBeerrkkeellaannjjuuttaann
DD.. KKoonnsseeppssii PPeerriikkaannaann OOrrggaanniikk ddaann PPrroodduukk BBeerrssiihh
BBaabb 55.. PPeemmbbaahhaassaann
AA.. IIddeennttiiffiikkaassii SSiisstteemm PPaaddaa BBuuddiiddaayyaa TTaammbbaakk UUddaanngg
BB.. MMooddeell PPeennggeemmbbaannggaann BBuuddiiddaayyaa TTaammbbaakk UUddaanngg
BBeerrbbaassiiss PPeerriikkaannaann OOrrggaanniikk ““FFiisshheerriieess OOrrggaanniicc
SSyysstteemm
11.. IInnppuutt lliinnggkkuunnggaann
22.. IInnppuutt tteerrkkoonnttrrooll
aa.. TTaattaa rruuaanngg ((zzoonnaassii)) wwiillaayyaahh ppeessiissiirr
bb.. DDeessaaiinn,, ttaattaa lleettaakk ddaann kkoonnssttrruukkssii ttaammbbaakk
cc.. PPoollaa bbuuddiiddaayyaa UUddaanngg MMooddeell CCuullttiivvaarr aanndd MMoodduullaarr
SSyysstteemm
dd.. SSeelleekkssii ddaann BBiioo--sseeccuurree BBeenniihh UUddaanngg
ee.. PPeenngggguunnaaaann PPuuppuukk OOrrggaanniikk ddaann DDiissiinnffeekkttaann
OOrrggaanniikk
ff.. SSiikkaapp ddaann KKeetteerraammppiillaann TTeennaaggaa KKeerrjjaa
gg.. BBiioorreemmiiddiiaassii LLaahhaann TTaammbbaakk
BBaabb 66.. KKeessiimmppuullaann
IIVV.. DDOOCCUUMMEENNTTAARRYY RREEVVIIEEWW
Udang merupakan jenis ikan konsumsi air payau,
badan beruas berjumlah 13 (5 ruas kepala dan 8 ruas dada) dan
seluruh tubuh ditutupi oleh kerangka luar yang disebut
eksosketelon. Teknologi pemeliharaan udang dapat dilakukan
secara tradisional, semi intensif dan intensif. Sementara pola
pemeliharaannya bisa monokultur dan polikultur. Terkait
dengan tahap budidaya, teknologi yang digunakan dan pola
pemeliharaannya maka terdapat berbagai variasi budidaya
yang dapat dipilih. Tambak udang bukanlah usaha yang
banyak menyerap tenaga kerja. Dalam 5 ha tambak hanya
diperlukan 2 orang penjaga dan 5-10 orang untuk melakukan
panen. Namun demikian tambak setidaknya menjadi sumber
penghidupan bagi ribuan keluarga Indonesia, tahun 2000,
186.485 keluarga hidup dari tambak. Angka ini merupakan
14,73% dari seluruh keluarga perikanan. Jumlah petambak
dari tahun ke tahun terus meningkat demikian juga dengan
perannya terhadap total rumah tangga perikanan. Dengan
melihat rata-rata luas tambak per keluarga dapat dilihat bahwa
peningkatan rumah tangga petambak tidak menyebabkan
terpecahnya pemilikan tambak. Pada periode 1995-2000 rata-
rata pemikilan tambak berkisar pada angka 2 ha.
AA.. TTeekknniikk BBuuddiiddaayyaa TTaammbbaakk UUddaanngg
Intensitas pemanfaatan lahan pesisir di wilayah
pesisir untuk kegiatan budidaya air payau (tambak udang
maupun ikan) tergolong cukup tinggi. memperhatikan
kharakteristik fisik dan kimiawi tanah, lahan tambak tersebut
umumnya berada pada tanah jenis alluvial dengan derajat
keasaman berkisar antara 6,2 – 7,65 dengan pH rata-rata 7,00.
Umumnya tambak tersebut dibangun di wilayah lahan pasang
surut (Zona Internidal) dan daerah tepi sungai yang masih
dipengaruhi oleh pasang surut aair laut, karena untuk
pengairannya tergantung penuh pada pergerakan air pasang
surut. Konstruksi tambak tersebut umumnya sebagaimana
konstruksi tambak ekstensif (sederhana), yaitu merupakan
MMooddeell PPeennggeemmbbaannggaann TTaammbbaakk UUddaanngg SSeeccaarraa BBeerrkkeellaannjjuuttaann BBeerrbbaassiiss ““FFiisshheerriieess OOrrggaanniicc SSyysstteemm”” ddaann ““CClleeaann PPrroodduuccttiioonn””..
Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Makassar Kementerian Kelautan dan Perikanan
Pag
e3
tambak dengan bentuk empat persegi panjang dengan saluran
keliling pada tepi pelataran (caren) dan pematang tersusun atas
bahan tanah yang dipadatkan dengan ketinggian pematang
rata-rata 1 meter dan kemiringn profil pematang 1-1,5 : 1 dan
kedalaman air rata-rata 0,5 meter (BPSPL Makassar, 2011).
Teknik budidaya tambak udang dapat dilakukan
dengan berbagai macam cara diantaranya adalah dengan cara
tradisional, semi intensif dan intensif. Menurut Anonymous
(2001) berdasarkan tingkat teknologi, budidaya udang di
Indonesia terbagi menjadi tiga metode, yaitu:
1) Tambak tradisional (ekstensif) : Tambak tradisional
tidak menggunakan kincir karena kepadatan sebar
berkisar 1 - 15 ekor/m2 luas lahan, dengan luas lahan
berkisar antara 1,0 – 10 hektar. Pakan yang diberikan
sebagian besar berasal dari sumber alami;
2) Tambak semi intensif. Padat penebaran pada tambak
semi intensif berkisar antara 15 - 30 ekor/m2, dengan
luas lahan berkisar antara 0,5 – 2,0 hektar. Peralatan
kincir dipergunakan untuk teknologi ini sebanyak 1-2
kincir per petak lahan (0,5 ha). Pakan yang diberikan
berupa pellet dengan kualitas yang baik;
3) Tambak intensif : Padat penebaran bibit pada tambak
intensif diatas 30 ekor/m2 dengan luas lahan berkisar
antara 0,25 – 1,0 hektar. dilengkapi kincir 3 buah
untuk setiap petak (0,5 ha). Pakan yang digunakan
berupa pellet yang telah teruji.
Secara histori, sampai dengan awal tahun 1960-an
areal tambak di Indonesia hanya digunakan untuk budidaya
ikan bandeng, kegiatan membudidayakan udang (terutama
udang windu P.monodon dan udang putih P.marguiensis) baru
dimulai pada awal Tahun 1970-an. Hal ini sepedendapat
dengan Poernomo, 1979, bahwa, Setelah tahun 70-an
pembudidayaan udang windu teknologi ekstensif berkembang
di Indonesia, pengenalan morofologi benur alam, teknik
merawat dan pengangkutan serta pembesarannya udang dalam
tambak (teknologi ekstensif secara mono atau polikultur
dengan bandeng) telah berlangsung di beberapa daerah di
Indonesi termasuk Sulawesi Selatan (Bulukumba, Jeneponto,
pangkep dan Pinrang) pada dekade tahun 1970-an, dimana
pendederan dan aklimatisasi benur didalam keramba jaring
apung didalam tambak atau didalam bak-bak semen didarat
berkembang pesat di daerah pertambakan yang jauh dari
sumber benur.
Pada dekade tahun 1980-1990, usaha budidaya udang
di tambak mengalami kemajuan yang pesat dengan
produktivitas yang cukup tinggi, hal ini diindikasikan dengan
terjadinya pencetakan tambak baru dan konversi lahan
perikanan (sawah) menjadi lahan tambak, pada dekade itu,
usaha pembudidayaan udang windu banyak dikembangkan
secara intensif dengan padat modal dan sarana (kincir dan
pompa) yang memadai. Namun sejalan dengan muncul dan
mewabahnya virus ‘white spot’ pada awal dekade tahun 2000-
an, kegiatan usaha budidaya udang mulai mengalami
penurunan. Kondisi ini terus terjadi hingga akhir dekade 2000-
an. Saat ini, usaha budidaya tambak dilakukan secara
sebagian besar sederhana (ekstensif) dan hanya sedikit yang
dilakukan secara intensif, kebanyakan tambak di gunakan
untuk budidaya ikan bandeng sedangkan untuk komoditas
udang tidak dapat dilakukan secara optimal dan bahkan
banyak ditinggalkan karena kurang produktif akibat gagal
panen kalaupun ada komuditas udang yang dibudidaya hanya
bersifat ikutan dengan tambak ikan bandeng yang ada, atau
yang lebih umum dikenal dengan istilah polikultur. Aplikasi
teknologi budidaya tambak yang dilakukan oleh para
petambak, dilaksanakan mulai dari cara sederhana dengan
inputan sumberdaya dan energi yang relatif minim hingga cara
intensif dengan padat penebaran yang tinggi dan
ketergantungan terhadap inputan yang tinggi (Gambar 1).
MMooddeell PPeennggeemmbbaannggaann TTaammbbaakk UUddaanngg SSeeccaarraa BBeerrkkeellaannjjuuttaann BBeerrbbaassiiss ““FFiisshheerriieess OOrrggaanniicc SSyysstteemm”” ddaann ““CClleeaann PPrroodduuccttiioonn””..
Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Makassar Kementerian Kelautan dan Perikanan
Pag
e4
Gambar 1. Kegiatan Pembudidaya Tambak Udang dan Ikan
Bandeng
Sumber : Urif Syarifudin, 2011.
Secara lebih rinci uraian implementasi teknologi
budidaya tambak udang yang dilaksanakan oleh para
petambak di wilayah pesisir Indonesia, adalah sebagai berikut:
Persiapan tambak yang dilakukan oleh para petambak
dilakukan dengan cara pengeringan tanah dasar tambak
dengan menggunakan panas matahari dengan tujuan untuk
mempercepat penguraian bahan organik. Pengeringan tanah
dilakukan hingga tanah retak-retak (kadar air sekitar 40%).
Pengeringan tidak boleh dilakukan sampai tanah berdebu
karena proses meneralisasi bahan organik akan berhenti.
Pengeringan tambak umumnya dilakukan selama kurang
lebih 1 bulan. Selain dilakukan pengeringan, dilakukan pula
perbaikan konstruksi tambak yang meliputi ; perbaikan pintu
air, saringan, pematang dan saluran tambak. Adapun perbaikan
pematang dilakukan dengan menutup bocoran-bocoran yang
terdapat pada pematang tambak, sedangkan untuk saluran
dilakukan pembersihan dan pengangkatan lumpur. Tinggi
pematang tambak yaitu 1-1,5 m. Untuk meningkatkan
kesuburan tanah, para petambak melakukan pemupukan.
Pemupukan dilakukan dengan menggunakan pupuk organik
dan anorganik untuk menjamin ketersediaan pakan alami
untuk ikan bandeng. Adapun jenis pupuk organik yang
diberikan berupa kotoran ayam dengan dosis 25 kg, sedangkan
pupuk anorganik berupa Urea 500 kg dan TSP/SP-36 500 kg.
Setelah tambak siap, maka dilakukan pemasukan air yang
bersumber dari air laut yang terdapat disekitar wilayah
tambak. Proses pemasukan air dilakukan dengan sistem
gravitasi (pasang surut air laut) dengan kedalaman air tambak
50-80 cm. Sistem budidaya yang diterapkan yaitu polikultur
dimana ikan bandeng dipelihara bersama dengan udang windu.
Benih yang ditebar baik nener maupun benur udang windu
merupakan hasil dari pembenihan hatchery. Penebaran benih
dilakukan pada saat suhu rendah yaitu pada pagi hari dan
untuk menjaga baik benur maupun nener tidak mengalami
stress, diberikan perlakuan aklimatisasi terhadap kondisi suhu
dan salinitas air tambak. Padat tebar untuk ikan bandeng
60.000 ekor, sedangkan untuk benur udang windu 20.000
ekor. Ukuran nener yang ditebar merupakan ukuran
gelondongan (5-7 cm) dan untuk benur udang windu ukuran
PL 12 – 14. Selama masa pemeliharaan, para petambak
melakukan pengelolaan air yang meliputi pergantian air yang
dilakukan 2 kali dalam 1 bulan dan mempertahankan
kedalaman air sekitar 80 cm. Perlakuan lain adalah berupa
pemupukan susulan yang mulai dilakukan pada saat
persediaan dan pertumbuhan kelekap berkurang (sekitar 1
bulan setelah penebaran). Pemupukan dilakukan dengan Urea
dosis 50 kg/ha. Untuk memenuhi kebutuhan pakan, para
petambak mengandalkan pakan alami berupa klekap.
Sedangkan untuk meningkatkan produktivitas maka di
gunakan pakan buatan.
BB.. IIssuu--iissuu SSttrraatteeggiiss PPeennggeelloollaaaann BBuuddiiddaayyaa TTaammbbaakk UUddaanngg
Secara garis besar dalam pengelolaan budidaya
tambak udang, terdapat beberapa sistem, seperti sistem
ekologi pesisir, sistem sosial masyarakat pesisir dan sistem
produksi perikanan. Antara sistem yang satu dengan sistem
yang lain, saling berinteraksi dan memiliki keterkaitan yang
tinggi. Menurut Ambo Alla (2011), Sistem-sistem yang
terdapat dalam perikanan (termasuk di dalamnya perikanan)
mengalami perubahan seiring dengan terjadinya perubahan
waktu, dimana sistem sosial dan sistem produksi perikanan
(perikanan) akan semakin meningkat seiiring dengan
terjadinya perubahan waktu, sementara disisi lain sistem
ekologis akan semakin menurun. Penurunan sistem ekologis,
merupakan isu-isu yang sangat kompleks dalam pengelolaan
budidaya tambak udang. Kompleksitas permasalahan
pengembangan budidaya tambak udang menuntut pendekatan
penyelesaian yang bersifat integratif dan menyeluruh serta
terfokus pada pelestarian sumberdaya alam, peningkatan
kesejahteraan masyarakat petambak dan kemajuan wilayah
pesisir.
Menurut Chanratchakool et al (1995) salah satu
penyebab kegagalan budidaya udang intensif adalah
penurunan mutu lingkungan akibat tebalnya akumulasi bahan
organik yang bersumber dari : (1) sisa pakan yang tidak
termakan udang : (2) kotoran udang dan ; (3) jasad renik atau
plankton yang mati yang terjadi selama proses budidaya.
Boyd (1992) menyatakan bahan organik yang terakumulasi
akan semakin meningkat dengan bertambahnya umur
pemeliharaan. Berikut ini merupakan isu-isu yang terjadi di
dalam pengelolaan budidaya tambak udang di Indonesia,
antara lain :
Tuntutan pemenuhan kebutuhan manusia akan
produk hasil perikanan semakin meningkat dan
tekanan ekologis terhadap ekosistem pesisir semakin
tinggi, sementara disisi lain tingkat produktivitas
lingkungan semakin turun, kondisi ini terus
MMooddeell PPeennggeemmbbaannggaann TTaammbbaakk UUddaanngg SSeeccaarraa BBeerrkkeellaannjjuuttaann BBeerrbbaassiiss ““FFiisshheerriieess OOrrggaanniicc SSyysstteemm”” ddaann ““CClleeaann PPrroodduuccttiioonn””..
Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Makassar Kementerian Kelautan dan Perikanan
Pag
e5
berlangsung secara determinasi seiring dengan
perkembangan waktu.
Semakin meningkatnya ketergantungan
pembudidayaan tambak udang terhadap input
eksternal seperti penggunaan pestisida, pupuk dan
bahan-bahan kimia lainnya.
Semakin menurunya produktifitas tambak udang
akibat erosi tanah dan kehilangan (pencucian) hara
dari tanah serta kegagalan panen akibat serangan
penyakit udang.
Semakin meningkatnya pencemaran air akibat
inputan ekstenal seperti pestisida, pupuk dan bahan-
bahan kimia lain serta limbah industri dan rumah
tangga.
Semakin meningkatnya ancaman terhadap residu
bahan-bahan agro kimia terhadap kualitas lingkungan
dan keamanan pangan (food safety).
Terjadinya perubahan iklim (climate change) sebagai
akibat dari pemanasan global (global warming).
CC.. PPrriinnssiiff PPeerriikkaannaann BBeerrkkeellaannjjuuttaann
Paradigma pembangunan yang dikembangkan saat ini
baik negara maju maupun negara berkembang adalan
pembangunan berkelanjutan (sustainable). Kata sustain berasal
dari bahasa latin yaitu “sustinere” yang terdiri dari kata “sus =
from below” dan “tenere = to hold”, padanan kedua kata
tersebut diartikan “menjaga keberadaan atau memelihara atau
menyatakan dukungan jangka panjang/ permanen”. Menurut,
Ambo Alla (2011), pertanian berkelanjutan menggambarkan
sistem pertanian yang mampu mempertahankan
produktivitasnya dan manfaatnya pada masyarakat untuk
jangka waktu yang tidak terbatas. Definisi lain dari pertanian
berkelanjutan menurut American Sosiety for Agronomy
(1989), adalah “A sustainable agriculture is one that, over the
long term, enhances environmental quality and the resource
base on whichagriculture depends; providers for basic human
food and fiber needs; is economically viable; and enhances
the quality of life for farmers and society as awhole”
Banyak pendapat tentang batasan berkelanjutan, dan
satu diantaranya menurut Gips (1986) dalam Van de Fliert,
dkk. (1999) yang dimaksud dengan perikanan berkelanjutan
adalah pembangunan perikanan yang mencakup hal-hal
berikut:
1) Mantap secara ekologis, yang berarti bahwa kualitas
sumberdaya alam dipertahankan dan kemampuan
agroekosistem secara menyeluruh dari manusia, tanaman
dan hewan dipertahankan. Kedua hal ini akan terpenuhi
jika tanah dikelola dan kesehatan tanaman, hewan serta
masyarakat dipertahankan melalui proses biologis.
Sumberdaya lokal dipergunakan sedemikian rupa,
sehingga kehilangan unsur hara, biomassa dan energi
dapat ditekan serendah mungkin serta mampu mencegah
pencemaran.
2) Berlanjut secara ekonomis, yang berarti bahwa
petani mampu menghasilkan untuk pemenuhan
kebutuhan serta mendapatkan penghasilan yang
mencukupi untuk pengembalian tenaga dan biaya yang
dikeluarkan.
3) Adil, yang berarti bahwa sumberdaya dan kekuasan
didistribusikan sedemikian rupa sehingga kebutuhan
dasar semua anggota masyarakat terpenuhi dan hak-hak
mereka dalam penggunaan lahan, modal yang memadai,
bantuan teknis serta pemasaran terjamin.
4) Manusiawi, yang berarti bahwa semua bentuk
kehidupan (tanaman, hewan dan manusia) dihargai.
Martabat dasar semua mahluk hidup dihormati, dan
hubungan serta Institusi menggabungkan nilai
kemanusian yang mendasar, seperti kepercayaan,
kejujuran, harga diri, kerjasama dan rasa sayang.
Integritas budaya dan spiritualistis masyarakat dijaga dan
dipelihara.
5) Luwes, yang berarti bahwa masyarakat pedesaan
mampu menyesuaikan diri dengan perubahan kondisi
usahatani yang berlangsung terus, misalnya pertambahan
jumlah penduduk, kebijakan, permintaan pasar dan lain-
lain.
Berdasarkan definisi di atas, pertanian berkelanjutan
pada dasarnya mencakup 5 (lima) aspek yang perlu ditekankan
dalam penerapannya (Gambar 2), yaitu :
(1) Produktifitas hasil pertanian.
(2) Efisiensi dari pemanfaatan sumberdaya alam yang tidak
terbaharukan.
(3) Kualitas hidup yang baik dan cendrung meningkat.
(4) Usaha pertanian yang dikembangkan layak secara
ekonomi.
(5) Kualitas lingkungan yang senantiasa terjaga dan
meningkat.
MMooddeell PPeennggeemmbbaannggaann TTaammbbaakk UUddaanngg SSeeccaarraa BBeerrkkeellaannjjuuttaann BBeerrbbaassiiss ““FFiisshheerriieess OOrrggaanniicc SSyysstteemm”” ddaann ““CClleeaann PPrroodduuccttiioonn””..
Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Makassar Kementerian Kelautan dan Perikanan
Pag
e6
Gambar 2. Lima Aspek dalam Pertanian Berkelanjutan
Sejak akhir tahun 1980’an kajian dan diskusi untuk
merumuskan konsep pembangunan bekelanjutan yang
operasional dan diterima secara universal terus berlanjut.
Pezzy (1992) mencatat, 27 definisi konsep berkelanjutan dan
pembangunan bekelanjutan, dan tentunya masih ada banyak
lagi yang luput dari catatan tersebut.
Walau banyak variasi definisi pembangunan berkelanjutan,
termasuk pertanian berkelanjutan, yang diterima secara luas
ialah yang bertumpu pada tiga pilar: ekonomi, sosial, dan
ekologi (Munasinghe, 1993). Dengan perkataan lain, konsep
pembangunan berkelanjutan berorientasi pada tiga dimensi
keberlanjutan, yaitu pilar Triple-P (Gambar 3) :
keberlanjutan usaha ekonomi (profit),
keberlanjutan kehidupan sosial manusia (people),
keberlanjutan ekologi alam (planet),
Seiring dengan batasan di atas, maka definisi dari
perikanan berkelanjutan (sustainable agriculture) adalah
pemanfaatan sumber daya yang dapat diperbaharui (renewable
resources) dan sumberdaya tidak dapat diperbaharui
(unrenewable resources) untuk proses produksi perikanan
dengan menekan dampak negatif terhadap lingkungan
seminimal mungkin. Keberlanjutan yang dimaksud meliputi :
penggunaan sumberdaya, kualitas dan kuantitas produksi, serta
lingkungannya. Proses produksi perikanan yang berkelanjutan
akan lebih mengarah pada penggunaan produk hayati yang
ramah terhadap lingkungan (Kasumbogo Untung, 1997).
Gambar 3. Pilar Pertanian Berkelanjutan
Dimensi ekonomi berkaitan dengan konsep
maksimisasi aliran pendapatan yang dapat diperoleh dengan
setidaknya mempertahankan asset produktif yang menjadi
basis dalam memperoleh pendapatan tersebut. Indikator utama
dimensi ekonomi ini ialah tingkat efisiensi, dan daya saing,
besaran dan pertumbuhan nilai tambah (termasuk laba), dan
stabilitas ekonomi. Dimensi ekonomi menekankan aspek
pemenuhan kebutuhan ekonomi (material) manusia baik untuk
generasi sekarang maupun generasi mendatang.
Dimensi sosial adalah orientasi kerakyatan, berkaitan
dengan kebutuhan akan kesejahteraan sosial yang dicerminkan
oleh kehidupan sosial yang harmonis (termasuk tercegahnya
konflik sosial), preservasi keragaman budaya dan modal sosio-
kebudayaan, termasuk perlindungan terhadap suku minoritas.
Untuk itu, pengentasan kemiskinan, pemerataan kesempatan
berusaha dan pendapatan, partisipasi sosial politik dan
stabilitas sosial-budaya merupakan indikator-indikator penting
yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan pembangunan.
Dimensi lingkungan alam menekankan kebutuhan
akan stabilitas ekosistem alam yang mencakup sistem
kehidupan biologis dan materi alam. Termasuk dalam hal ini
ialah terpeliharanya keragaman hayati dan daya lentur biologis
(sumberdaya genetik), sumberdaya tanah, air dan agroklimat,
serta kesehatan dan kenyamanan lingkungan. Penekanan
dilakukan pada preservasi daya lentur (resilience) dan
dinamika ekosistem untuk beradaptasi terhadap perubahan,
bukan pada konservasi suatu kondisi ideal statis yang mustahil
dapat diwujudkan.
Ketiga dimensi tersebut saling mempengaruhi
sehingga ketiganya harus diperhatikan secara berimbang.
Sistem sosial yang stabil dan sehat serta
sumberdaya alam dan lingkungan merupakan basis untuk
kegiatan ekonomi, sementara kesejahteraan ekonomi
MMooddeell PPeennggeemmbbaannggaann TTaammbbaakk UUddaanngg SSeeccaarraa BBeerrkkeellaannjjuuttaann BBeerrbbaassiiss ““FFiisshheerriieess OOrrggaanniicc SSyysstteemm”” ddaann ““CClleeaann PPrroodduuccttiioonn””..
Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Makassar Kementerian Kelautan dan Perikanan
Pag
e7
merupakan prasyarat untuk terpeliharanya stabilitas sosial-
budaya maupun kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan
hidup. Sistem sosial yang tidak stabil atau sakit (misalnya
terjadinya konflik sosial dan prevalensi kemiskinan) akan
cenderung menimbulkan tindakan yang merusak kelestarian
sumberdaya alam dan merusak kesehatan lingkungan,
sementara ancaman kelestarian sumberdaya alam dan
lingkungan (misalnya kelangkaan tanah dan air) dapat
mendorong terjadinya kekacauan dan penyakit sosial.
Untuk mengevaluasi tingkat keberhasilan konsep
pembangunan berkelanjutan, maka salah satu aspek yang
harus diperhatikan adalah aspek lingkungan. Sedang untuk
menilai dan mengevaluasi kondisi suatu lingkungan, maka ada
tiga landasan utama yang dijadikan dasar yaitu:
1) Produktivitas lingkungan
2) Kelestarian keanekaragaman hayati
3) Kemantapan hubungan ekologis
Menurut Natsir Nessa (2011), ada 4 (empat) indikator
utama dari kegiatan usaha perikanan yang dilaksanakan secara
berkelanjutan, yaitu :
(1) Hasil berkelanjutan pada produk untuk konsumsi
manusia maupun kebutuhan lain.
(2) Terpeliharanya biodiversitas perikanan.
(3) Terbentuknya sistem proteksi terhadap pencemaran dan
degradasi habitat/ ekosistem pesisir dan laut.
(4) Berkelanjutan pada kondisi sosial ekonomi
masyarakatyang cendrung membaik.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka ada beberapa
batasan tentang ciri-ciri kegiatan pertanian berkelanjutan,
yaitu menurut Bouma (1997) :
(1) Terproteksi secara ekologi,
(2) Diterima secara sosial,
(3) Produktif secara ekonomi,
(4) Berkelanjutan secara ekonomi, dan
(5) Efektif mengurangi resiko.
Sedangkan Tiwany, at al (1999), menjabarkan bahwa ada
empat ciri hal pada suatu kegiatan pertanian yang dilakukan
secara berkelanjutan, yaitu :
(1) Memelihara sumberdaya dasar, seperti lahan,
(2) Ketergantungan terhadap input luar rendah,
(3) Menguntungkan secara ekonomi jangka panjang, dan
(4) Diterima oleh petani.
DD.. KKoonnsseeppssii PPeerriikkaannaann OOrrggaanniikk ddaann PPrroodduukk BBeerrssiihh
Meningkatnya dampak kerusakan lingkungan pesisir
akibat praktek pembudidayaan tambak secara intensif bahkan
cendrung super intensif dengan high eksternal input (input luar
yang tinggi) seperti penggunaan saponin, brestan, antibiotik,
pupuk anorganik dan pakan buatan, membawa kesadaran baru
bagi segenap pihak yang berkepentingan dengan
pengembangan perikanan baik petambak, pakar di bidang
perikanan, pelaku ekonomi, masyarakat umum serta
pengambil kebijakan baik lokal maupun kebijakan negara
untuk kembali menyusun strategi baru dalam menanggulangi
dampak negatif, meskipun masih terdapat keragaman pada
tingkat kesadaran. Salah satu wujud kesadaran tersebut adalah
munculnya perencanaan mina-ekosistem yang kembali pada
sistem perikanan organik dan produk bersih.
Definisi dari sistem perikanan organik dapat
didekatkan dengan Perikanan organik yang merupakan hukum
pengembalian (low of return) yang berarti suatu sistem yang
berusaha untuk mengembalikan semua jenis bahan organik ke
dalam tanah baik dalam bentuk residu dan limbah pertanaman
maupun ternak yang selanjutnya bertujuan memberi makanan
pada tanaman (Sutanto, 2002). Perikanan organik (organic
farming, oraganic system atau organic agriculture) adalah
sistem perikanan yang menggunakan sarana produksi yang
berasal dari mahkluk hidup, bukan produksi pabrik atau
bahan-bahan mineral (Mugnisjah, 2001).
Berdasarkan prinsip utama tersebut, maka
pengembangan sistem perikanan organik diarahkan pada tujuan
utama yaitu : a) Mengurangi dampak negatif pada lahan baik
fisik kimia dan biologi, sehingga produktisifitas lahan tambak
meningkat dan stabil, b) Mengurangi resistensi dan persistensi
hama penyakit akibat penggunaan bahan-bahan kimia,
sehingga penekanannya lebih mengarah pada pengendalian
hayati, c) Meningkatnya kesehatan lingkungan ekosistem
pesisir sehingga kesehatan masyarakat dan petambak juga
meningkat, d) Mengurangi ketergantungan petambak terhadap
masukan berupa sarana produksi dari luar, sehingga
pemanfaatan sumberdaya lokal semakin meningkat, e)
Mewujudkan kedaulatan petambak dalam menentukan
rencana-rencana strategi dan pengambilan keputusan sehingga
ketimpangan sosial dan ekonomi dapat teratasi.
Pada pendekatan teknis, sistem perikanan organik
memberikan penekanan pada prinsip daur ulang hara,
konservasi air dan interaksi antara tanaman dalam pemenuhan
siklus hara serta pengendalian hama dan penyakit serta gulma
dalam model integrated farming system. Prinsip daur ulang
hara pada perikanan organik didasarkan pada upaya
mengurangi kehilangan hara melalui panen (biomassa dan hasil
ekonomi), dengan cara mengembalikan sebagian biomassa ke
dalam tanah, setelah hasil ekonomi di panen. Pada penggunaan
hara yang bersumber dari bahan-bahan anorganik (pupuk
kimia), maka proses daur ulang hara tidak terjadi karena
sumber utama hara adalah bentuk anorganik yang berasal dari
luar agroekosistem . Sedangkan sumber hara dari bahan
organik (biomassa tanaman, kotoran hewan dan limbah
organik), setelah diberikan ke dalam tanah dalam bentuk
MMooddeell PPeennggeemmbbaannggaann TTaammbbaakk UUddaanngg SSeeccaarraa BBeerrkkeellaannjjuuttaann BBeerrbbaassiiss ““FFiisshheerriieess OOrrggaanniicc SSyysstteemm”” ddaann ““CClleeaann PPrroodduuccttiioonn””..
Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Makassar Kementerian Kelautan dan Perikanan
Pag
e8
organik, selanjutnya akan mengalami proses peruraian menjadi
bentuk anorganik. Sumber utama hara organic berasal dari
petak usahatani, sedangkan sumber hara anorganik berasal dari
luar petak tambak. Sumber-sumber bahan organik yang berasal
dari dalam lingkungan tambak, dalam hubungannya dengan
kebutuhan hara tanah dapat disebut pupuk organik. Hingga
saat ini perkembangan penggunaan bahan organik sebagai
sumber pupuk organik semakin meningkat seiring dengan
peningkatan degradasi lahan terutama didaerah tropis.
Sedangkan “Produksi Bersih” merupakan salah satu
sistem pengelolaan lingkungan yang dilaksanakan secara
sukarela (Voluntary) sebab penerapannya bersifat tidak
wajib. Konsep Produksi Bersih merupakan pemikiran baru
untuk lebih meningkatkan kualitas lingkungan dengan lebih
bersifat proaktif. Produksi Bersih merupakan istilah yang
digunakan untuk menjelaskan pendekatan secara konseptual
dan operasional terhadap proses produksi dan jasa, dengan
meminimumkan dampak terhadap lingkungan dan manusia
dari keseluruhan daur hidup produknya.
Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
(Bapedal, 1995) mendefinisikan Produksi Bersih sebagai
suatu strategi pengelolaan lingkungan yang preventif dan
diterapkan secara terus-menerus pada proses produksi,
serta daur hidup produk dan jasa untuk meningkatkan eko-
efisiensi dengan tujuan mengurangi risiko terhadap manusia
dan lingkungan.
Strategi Produksi Bersih mempunyai arti yang
sangat luas karena di dalamnya termasuk upaya pencegahan
pencemaran dan perusakan lingkungan melalui pilihan jenis
proses yang akrab lingkungan, minimisasi limbah, analisis
daur hidup produk, dan teknologi bersih. Pencegahan
pencemaran dan perusakan lingkungan adalah strategi yang
perlu diprioritaskan dalam upaya mewujudkan industri dan
jasa yang berwawasan lingkungan, namun bukanlah
merupakan satu satunya strategi yang harus diterapkan.
Strategi lain seperti program daur ulang, pengolahan dan
pembuangan limbah tetap diperlukan, sehingga dapat saling
melengkapi satu dengan lainnya (Bratasida, 1997).
Strategi untuk menghilangkan limbah atau
mengurangi limbah sebelum terjadi (preventive strategy), lebih
baik daripada strategi pengolahan limbah atau pembuangan
limbah yang telah ditimbulkan (treatment strategy). Kombinasi
kedua strategi tersebut sesuai dengan skala prioritas
pelaksanaan Produksi Bersih adalah sebagai berikut
(Overcash, 1986) :
Eliminasi : Strategi ini dimasukkan sebagai metode
pengurangan limbah secara total. Bila perlu tidak
mengeluarkan limbah sama sekali (zero discharge).
Mengurangi sumber limbah : Strategi pengurangan
limbah yang terbaik adalah strategi yang menjaga
agar limbah tidak terbentuk pada tahap awal.
Pencegahan limbah mungkin memerlukan beberapa
perubahan penting dalam proses produksi, tetapi
dapat meningkatkan efisiensi ekonomi yang besar dan
menekan pencemaran lingkungan.
Daur Ulang : Jika timbulnya limbah tidak dapat
dihindarkan dalam suatu proses, maka harus dicari
strategi-strategi untuk meminimumkan limbah
tersebut sampai batas tertinggi yang mungkin dilaku-
kan, seperti misalnya daur ulang (recycle) dan/atau
penggunaan kembali (reuse). Jika limbah tidak dapat
dicegah atau diminimumkan melalui penggunaan
kembali atau daur ulang, strategi-strategi yang
mengurangi volume atau kadar racunnya melalui
pengolahan limbah dapat dilakukan. Walaupun
strategi ini kadang-kadang dapat mengurangi jumlah
limbah, tetapi tidak sama efektifnya dengan
mencegah limbah di tahap awal.
Pengolahan Limbah : Strategi yang terpaksa
dilakukan mengingat pada proses perancangan
produksi perusahaan belum mengantisipasi adanya
teknologi baru yang sudah bebas limbah. Artinya
limbah memang sudah terjadi dan ada dalam sistem
produksinya, namun kualitas dan kuantitas limbah
yang ada dikendalikan agar tidak melebihi baku mutu
yang disyaratkan.
Pembuangan Limbah : Strategi terakhir yang perlu
dipertimbangkan adalah metode-metode pembuangan
alternatif. Pembuangan limbah yang tepat merupakan
suatu komponen penting dari keseluruhan program
manajemen lingkungan, meskipun ini adalah teknik
yang paling tidak efektif.
Remediasi : Strategi penggunaan kembali bahan-
bahan yang terbuang bersama limbah. Hal ini
dilakukan untuk mengurangi kadar racun dan
kuantitas limbah yang ada.
VV.. PPEEMMBBAAHHAASSAANN
AA.. IIddeennttiiffiikkaassii SSiisstteemm PPaaddaa BBuuddiiddaayyaa TTaammbbaakk UUddaanngg
Pengembangan sistem budidaya tambak udang udang
berbasis organik dan produksi bersih, memerlukan suatu
instrument analisis yang mampu mengakomodasi perubahan
yang cepat, salah satunya dengan menggunakan analisis
kesesuaian lahan untuk kawasan pertambakan; analisis
potensi, tingkat teknologi budidaya dan pola usahatani
tambak; dan analisis pengembangan pertambakan, sehingga
diperoleh pola usahatani dan teknologi budidaya tambak yang
tepat pada lokasi yang sesuai untuk kawasan pertambakan
dengan pengelolaan yang baik dan berwawasan lingkungan.
Pada umumnya budidaya tambak udang dapat diusahakan
secara sistem organik karena pada mulanya komuditas udang
dapat tumbuh secara alami, tanpa memerlukan inputan
MMooddeell PPeennggeemmbbaannggaann TTaammbbaakk UUddaanngg SSeeccaarraa BBeerrkkeellaannjjuuttaann BBeerrbbaassiiss ““FFiisshheerriieess OOrrggaanniicc SSyysstteemm”” ddaann ““CClleeaann PPrroodduuccttiioonn””..
Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Makassar Kementerian Kelautan dan Perikanan
Pag
e9
eksternal seperti; pupuk, pestisida, pakan buatan dan agro
kimia lainnya (lihat Poernomo, 1979).
Untuk mengembangkan model budidaya tambak
udang selain instrument analisis di atas, diperlukan pula metode
pendekatan sistem yang merupakan salah satu cara penyelesaian
persoalan yang dimulai dengan dilakukannya identifikasi
terhadap adanya sejumlah kebutuhan-kebutuhan, sehingga dapat
menghasilkan suatu operasi dari sistem yang dianggap efektif
(Eriyatno, 2003).
Menurut Eriyatno (2003), dalam melakukan
pendekatan terhadap suatu sistem produksi perikanan, umumnya
ditandai oleh dua hal, yaitu:
1) Mencari semua faktor penting yang ada untuk
mendapatkan solusi yang baik untuk menyelesaikan
masalah.
2) Dibuat suatu model kuantitatif untuk membantu
keputusan rasional.
Pengkajian dalam pendekatan sistem produksi
perikanan seyogyanya memenuhi tiga karakteristik, yaitu: (a).
kompleks, dimana interaksi antar elemen cukup rumit; (b).
dinamis, dalam arti faktor yang terlibat ada yang berubah
menurut waktu dan ada pendugaan ke masa depan. (c)
probabilistik, yaitu diperlukannya fungsi peluang dalam
inferensi kesimpulan maupun rekomendasi (Eriyatno, 2003).
Prosedur pengembangan model budidaya tambak
udang secara berkelanjutan berbasis “fisheries organic system”
dan “clean production” yang di sajikan dalam makalah ini,
meliputi tahapan – tahapan sebagai berikut : analisis
kebutuhan, formulasi permasalahan, identifikasi sistem,
pemodelan sistem, verifikasi model dan implementasi model.
Pada uraian sebelumnya, telah dijelaskan bahwa kebutuhan
komoditas udang semakin meningkat baik dari segi kualitas
maupun kuantitas, sedangkan disisi lain masih banyak masalah
yang menghambat untuk pemenuhan kebutuhan tersebut.
Bahasan selanjutnya akan membahas identifikasi terhadap
variabel-variabel yang terlibat dalam proses produksi budidaya
tambak udang, kemudian ditentukan hubungan yang logis
antar variabel tersebut. Dari hubungan itu dapat ditentukan
apakah hubungannya bersifat positif atau negatif. Dengan
demikian dapat dibangun hubungan umpan balik (causal loop)
untuk semua variabel. Identifikasi sistem produksi budidaya
tambak udang kemudian diilustrasikan dalam diagram lingkar
sebab-akibat lalu diinterpretasikan untuk membangun konsep
kotak gelap (black box) diagram input-output. Diagram input-
output merepresentasikan input lingkungan, input terkendali
dan tak terkendali, output dikehendaki dan tak dikehendaki,
serta manajemen pengendalian.
Menurut Natsir Nessa (2011), ada 3 (tiga) komponen
utama dalam kegiatan perikanan sebagai suatu sistem, yaitu;
sistem lingkungan, sistem pengelolaan dan sistem manusia.
Jika ketiga komponen utama tersebut dikembangkan dalam
sistem produksi tambak udang, maka ilustrasi kegiatan
budidaya tambak udang sebagai suatu sistem adalah
sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 4.
Gambar 4. Kegiatan budidaya tambak udang sebagai suatu
sistem
Sumber : Modifikasi dari Natsir Nessa (2011)
Gambar 5. Diagram sebab-akibat (Causal Loop) Sistem
Pengembangan Budidaya Udang.
MMooddeell PPeennggeemmbbaannggaann TTaammbbaakk UUddaanngg SSeeccaarraa BBeerrkkeellaannjjuuttaann BBeerrbbaassiiss ““FFiisshheerriieess OOrrggaanniicc SSyysstteemm”” ddaann ““CClleeaann PPrroodduuccttiioonn””..
Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Makassar Kementerian Kelautan dan Perikanan
Pag
e10
Ketiga sistem utama dalam budidaya tambak udang
(Gambar 4), diuraikan menjadi sub-sub sistem yang lebih kecil
lagi dan sub-sub sistem tersebut memiliki faktor pengaruh
yang kuat terhadap sistem utama pembentuk kegiatan
budidaya tambak udang. Pada sistem lingkungan, kegiatan
budidaya udang akan sangat dipengaruhi oleh kegiatan yang
berada di pesisir maupun di laut, kualitas lahan budidaya
tambak udang dipengaruhi oleh kualitas perairan (laut sebagai
sumber air payau) dan kualitas tanah/tambak yang berada di
dataran estuarin. Pada sistem pengelolaan, selain ditentukan
oleh pola budidaya dan teknik budidaya yang
diimplementasikan, pengelolaan budidaya tambak udang juga
dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah terhadap pengelolaan
lingkungan dan pengawasan serta pengendalian lingkungan
pesisir. sedangkan pada sistem sumberdaya manusia, kegiatan
budidaya tambak ditentukan oleh perilaku petambak dalam
berbudidaya udang, pengetahuan dan keterampilan serta
keperdulian petambak akan kelestarian lingkungan.
Selanjutnya setelah dilakukan identifikasi terhadap
sistem pada kegiatan budidaya tambak udang, maka dapat
dibangun suatu konstruksi logis tentang variabel-variabel yang
terdapat dalam sistem tersebut. Variabel-variabel yang terlibat,
kemudian ditentukan hubungan yang logis antar variabel yang
satu dengan variabel yang lain. Dari hubungan itu dapat
ditentukan apakah hubungannya bersifat positif atau negatif.
Dengan demikian dapat dibangun hubungan umpan balik
(causal loop) untuk semua variabel (Gambar 5).
Berdasarkan diagram alur sebab akibat (Causal
Loop) terlihat bahwa kegiatan budidaya tambak udang
terutama pada pertumbuhan dan kelangsungan hidup udang
dipengaruhi oleh; Zonasi (tata ruang) wilayah tambak; Desain
dan tata letak/konstruksi tambak; Pola budidaya tambak .
Selain itu pendapatan dan jumlah penduduk serta kebutuhan
by product berpengaruh positip terhadap permintaan akan
produk udang. Kendala yang dihadapi pada pengembangan
sistem budidaya tambak udang berbasis ‘sistem perikanan
organik’ adalah hama dan penyakit yang menyebabkan
pertumbuhan udang tidak normal bahkan hingga gagal panen.
Kesemua variabel dalam diagram causal-loop tersebut
(Gambar 5) memiliki keterkaitan antar variabel, hal ini
menuntut kita untuk tidak dapat dengan mudah
mengimplementasikan model yang akan dikembangkan secara
parsial, untuk itu faktor kunci utama penerapan model ini
adalah keterpaduaan dan holistik.
BB.. MMooddeell PPeennggeemmbbaannggaann BBuuddiiddaayyaa TTaammbbaakk UUddaanngg
BBeerrbbaassiiss PPeerriikkaannaann OOrrggaanniikk ““FFiisshheerriieess OOrrggaanniicc SSyysstteemm””..
Hasil identifikasi sistem diagram alur sebab-akibat
(Gambar 5), kemudian diinterpretasikan untuk membangun
konsep kotak gelap (black box) diagram input-output. Menurut
Sadelie (2003), diagram input-output merepresentasikan input
lingkungan, input terkontrol dan tak terkontrol, output
diinginkan dan tak diinginkan serta manajemen pengendalian.
Input terkontrol merupakan peubah endogen yang ditentukan
oleh fungsi dari sistem. Input yang terkontrol menurut
Eriyatno (2003), dapat divariasikan selama operasi untuk
menghasilkan perilaku sistem yang sesuai dengan yang
diharapkan. Lebih lanjut dikemukakan bahwa peubah output
juga terdiri atas dua golongan yaitu output yang dikehendaki
dan output yang tidak dikehendaki. Output yang dikehendaki
biasanya dihasilkan dari adanya pemenuhan kebutuhan yang
ditentukan secara spesifik pada waktu analisa kebutuhan.
Sedangkan output tidak dikehendaki merupakan hasil
sampingan atau dampak yang ditimbulkan bersama-sama
dengan output yang dikehendaki (Gambar 6).
Gambar 6. Diagram Kotak Hitam (Black box diagram)
Pengembangan Budidaya Tambak Udang Secara
Berkelanjutan Berbasis “Fisheries Organic
System” dan “Clean Production”.
Penyusunan model dari sistem pengembangan
budidaya tambak udang berbasis sistem perikanan organik dan
produk bersih “Fisheries Organic System” dan “Clean
Production”, dapat diidentifikasikan input yang
mempengaruhi sistem serta output sebagai hasil transformasi
dari input yang diberikan sebagai berikut :
1. INPUT LINGKUNGAN
Input lingkungan yang mempengaruhi sistem adalah
iklim, kebijakan pemerintah dan budaya (kultur). Umumnya,
daerah yang digunakan untuk budidaya tambak udang windu
MMooddeell PPeennggeemmbbaannggaann TTaammbbaakk UUddaanngg SSeeccaarraa BBeerrkkeellaannjjuuttaann BBeerrbbaassiiss ““FFiisshheerriieess OOrrggaanniicc SSyysstteemm”” ddaann ““CClleeaann PPrroodduuccttiioonn””..
Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Makassar Kementerian Kelautan dan Perikanan
Pag
e11
berupa lahan intertidal aluviamarin dan terletak pada daerah-
daerah pesisir sehingga menyulitkan dalam pengelolaan lahan
tambak terutama transportasi dan konservasi lahan serta
tingginya tekanan pada wilayah pesisir. disamping itu
kebijakan tentang pengelolaan wilayah pesisir oleh pemerintah
belum sepenuhnya diterapkan dengan baik, meskipun regulasi
tentang pengelolaan wilayah pesisir telah ditetapkan melalui
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
2. INPUT YANG TERKONTROL (CONTROLLED
INPUT)
a) Tata ruang (zonasi) wilayah pesisir.
Isu degradasi lingkungan dan penurunan produktifitas
tambak udang disebabkan karena pemanfaatan sumberdaya
pesisir yang tidak memenuhi kaidah-kaidah pembangunan
yang berkelanjutan secara signifikan mempengaruhi
ekosistemnya. Kegiatan pembangunan yang ada di kawasan
ini akan dapat mempengaruhi produktivitas sumberdaya akibat
proses produksi dan residu, dimana pemanfaatan yang
beraneka ragam dari sumberdaya pesisir kerap menimbulkan
konflik yang dapat berdampak timbal balik. Oleh karena itu
pemanfaatan sumberdaya pesisir untuk tujuan pembangunan
secara terus menerus akan dapat berhasil jika dikelola secara
terpadu (Integrated Coastal Zone Management, ICZM).
Pengalaman membuktikan bahwa pengelolaan atau
pemanfaatan kawasan pesisir secara sektoral tidaklah efektif
(Dahuri et. al 1996; Brown 1997; Cicin-Sain and Knecht
1998; Kay and Alder 1999). Sebagai instrument dalam
pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu maka perlu diatur
tata ruang (zonasi) di kawasan tersebut.
Tata ruang wilayah pesisir memiliki interaksi yang
sangat kuat dengan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut,
artinya pengelolaan kawasan tambak yang baik sangat
ditentukan dengan tata ruang pesisir yang baik. Penataan
ruang wilayah pesisir memiliki keterkaitan dengan
pengelolaan sumberdaya air dan pengelolaan sumberdaya
manusia. Selain itu juga penataan ruang pesisir merupakan
bagian yang tidak dapat dipisahkan secara spasial dengan
pengelolaan sumberdaya pedesaan yang memberikan
kontribusi bahan baku dan kawasan produksi dan juga
terhadap pengelolaan sumberdaya perkotaan sebagai tempat
pemasran produk hasil pertanian/perikanan serta penyediaan
jasa penunjang kegiatan produksi. Untuk itu dalam penataan
ruang pesisir hendaknya memperhatikan konservasi dan
pengelolaan ekosistem.
Pola hubungan antara pengelolaan sumberdaya
pesisir dengan tata ruang pesisir dapat dilihat pada gambar
berikut.
Gambar 7. Pola hubungan anatara pengelolaan sumberdaya
pesisir dengan pengembangan wilayah (tata
ruang) pesisir.
Sumber : Ambo Alla, 2011
Hakikat dari Tata Ruang (Zonasi) Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana yang diamanahkan dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007
adalah rencana yang menentukan arah penggunaan
sumberdaya tiap-tiap satuan perencanaan disertai dengan
penetapan struktur ruang dan pola ruang pada kawasan
perencanaan yang memuat kegiatan yang boleh dilakukan dan
tidak boleh dilakukan serta kegiatan yang hanya dapat
dilakukan setelah memperoleh izin. Tata Ruang (Zonasi)
sebagai bentuk rekayasa teknis dalam pemanfaatan ruang,
maka dalam mengelompokkan suatu kawasan pesisir dan
pulau-pulau kecil ke dalam zona-zona dan sub-sub zona harus
dilakukan sesuai dengan kondisi fisik, potensi, daya dukung
dan daya tampung serta fungsinya, sehingga tujuan penentuan
zonasi untuk mengoptimalkan fungsi ekologi dan ekonomi
dari ekosistem suatu kawasan dapat dicapai yang pada
akhirnya pengelolaan dan pemanfaatan kawasan pesisir dan
pulau-pulau kecil dapat dilakukan secara serasi, optimal dan
berkelanjutan.
Penataan ruang di kawasan pesisir dan laut adalah
suatu upaya untuk memanfaatkan ruang secara harmoni dan
optimal dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi,
mensejahterakan rakyat dan melindungi ekosistem laut dan
pesisir. Proses penataan ruang yang baik seyogyanya dapat
mengakomodasi seluruh aspek yang terkait yaitu aspek fisik,
MMooddeell PPeennggeemmbbaannggaann TTaammbbaakk UUddaanngg SSeeccaarraa BBeerrkkeellaannjjuuttaann BBeerrbbaassiiss ““FFiisshheerriieess OOrrggaanniicc SSyysstteemm”” ddaann ““CClleeaann PPrroodduuccttiioonn””..
Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Makassar Kementerian Kelautan dan Perikanan
Pag
e12
ekonomi, sosial budaya serta aspek politik yang ada. Hal ini
merupakan suatu proses yang cukup kompleks, karena akan
mengintegrasikan seluruh aspek tersebut secara harmoni.
Tujuan Penyusunan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir,
sesuai dengan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, adalah
untuk mencegah dan mengatasi konflik pemanfaatan
sumberdaya pesisir, laut dan pulau-pulau kecil dan untuk
memadukan pemanfaatan jangka panjang, pembangunan dan
pengelolaan sumberdaya di dalam wilayah rencana. Adapun
Tujuan khususnya adalah sebagai berikut :
a. Mengalokasikan ruang wilayah pesisir ke dalam
pemanfaatan yang sesuai dengan peruntukannya dan
kegiatan yang saling mendukung serta memisahkannya
dari kegiatan yang bersifat bertentangan.
b. Membagi kawasan menjadi zona dan sub-zona
pemanfaatan yang terbatas sesuai dengan prioritas
pembangunan di kawasan tersebut.
c. Menyusun zona dan sub-zona potensi sumber daya,
daya dukung ekosistem, fungsi pemanfaatan, fungsi
lindung, dan fungsi pertahanan dan keamanan.
d. Mengoptimalkan pemanfaatan ruang dalam berusaha
dan pengembangan investasi melalui mekanisme
perizinan dan pemberian Hak Pengusahaan Perairan
Pesisir (HP3)
Salah satu tahapan analisis dalam proses penataan
ruang wilayah pesisir dan laut adalah analisis kebutuhan ruang
untuk suatu jangka waktu tertentu. Oleh karena itu analisis ini
merupakan suatu proses yang cukup penting sehingga perlu
dilakukan secara lebih efisien dan efektif untuk menghasilkan
suatu perencanaan wilayah pesisir dan laut yang optimal.
Proses analisis kebutuhan ruang untuk suatu jangka waktu
tertentu merupakan suatu langkah yang diperlukan dalam
tahapan penyusunan suatu rencana tata ruang/ rencana zonasi.
Perhitungan ini bertujuan untuk mengetahui sejauh
mana arahan-arahan kegiatan di wilayah studi dapat
diakomodasikan sampai suatu jangka waktu tertentu. Hal ini
terkait erat dengan daya dukung suatu wilayah (carrying
capacity), karena idealnya pertumbuhan wilayah harus dapat
dibatasi, sehingga dampak-dampak negatif dari kegiatan
pembangunan dapat terdeliniasi secara optimal.
Proses penataan ruang juga ditujukan untuk
memisahkan kegiatan yang saling bertentangan antara dampak
kegiatan yang satu dengan kegiatan yang lainnya, sehingga
konflik yang meungkin timbul akibat pemanfaatan wilayah
pesisir dapat diminimasi sekecil mungkin. Penataan ruang
pesisir akan sangat sejalan dengan konsep pembangunan
berkelanjutan ketika kaidah-kaidah yang terdapat didalam
penataan ruang pesisir (kaidah keseimbangan ekosistem dan
ekonomi serta keseimbangan sosial masyarakat) dapat
diimplementasikan dengan baik. Metodologi penyusunan
rencana tata ruang wilayah pesisir dan laut, ditunjukkan dalam
diagram berikut.
Gambar 8. Metodologi penyusunan rencana tata ruang pesisir
dan laut.
Dalam melakukan penyusunan rencana zonasi wilayah
pesisir dan laut dibutuhkan beberapa pendekatan umum yang
menjadi dasar dalam penyusunan rencana zonasi wilayah
pesisir dan laut. Berdasarkan pada pemahaman dan
pengetahuan tentang karaktersitik sumberdaya pesisir, laut dan
pulau-pulau kecil, serta tujuan penyusunan rencana zonasi
wilayah pesisir dan laut dengan kharakteristik ekobiologis
yang unik, maka pendekatan umum yang akan digunakan
dalam melaksanakan kegiatan penyusunan rencana zonasi
wilayah pesisir dan laut adalah sebagai berikut :
1) Pendekatan keterpaduan dan keberlanjutan
(integrated and sustainable approach) :
Wilayah pesisir dan laut merupakan tatanan
ekosistem yang memiliki hubungan sangat erat dengan
daerah lahan atas (upland) baik melalui aliran air
sungai, air permukaan (run off) maupun air tanah
(ground water), dan dengan aktivitas manusia.
Keterkaitan tersebut menyebabkan terbentuknya
kompleksitas dan kerentanan di wilayah pesisir. Secara
konseptual, hubungan tersebut dapat digambarkan
dalam keterkaitan antara lingkungan darat (bumi),
MMooddeell PPeennggeemmbbaannggaann TTaammbbaakk UUddaanngg SSeeccaarraa BBeerrkkeellaannjjuuttaann BBeerrbbaassiiss ““FFiisshheerriieess OOrrggaanniicc SSyysstteemm”” ddaann ““CClleeaann PPrroodduuccttiioonn””..
Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Makassar Kementerian Kelautan dan Perikanan
Pag
e13
lingkungan laut, dan aktivitas manusia, seperti
disajikan pada gambar berikut.
Gambar 9. Keterkaitan antara faktor lingkungan darat, laut dan
aktivitas manusia
Penataan ruang wilayah pesisir terpadu dinyatakan sebagai
proses penyusunan arahan pemanfaatan sumberdaya pesisir
dan lautan serta ruang dengan mengindahkan aspek konservasi
dan keberlanjutannya. Adapun konteks keterpaduan meliputi
dimensi sektor, ekologis, hirarki pemerintahan, antar
bangsa/negara, dan disiplin ilmu (Cicin-Sain and Knecht,
1998; Kay and Alder, 1999).
Penataan ruang wilayah pesisir secara terpadu penting
dilakukan mengingat banyaknya kegiatan-kegiatan yang dapat
diimplementasikan, sehingga perlu dirumuskan suatu konsep
penataan ruang (strategic plan) serta berbagai pilihan objek
pembangunan yang serasi. Dalam konteks ini maka
keterpaduan pengelolaan wilayah pesisir sekurangnya
mengandung 3 dimensi : sektoral, bidang ilmu dan keterkaitan
ekologis. Keterpaduan secara sektoral di wilayah pesisir
berarti diperlukan adanya suatu kooordinasi tugas, wewenang,
dan tanggung jawab antar sektor atau instansi (horizontal
integration); dan antar tingkat pemerintahan dari mulai tingkat
desa, kecamatan, kabupaten, propinsi sampai pemerintah pusat
(vertical integration). Sedangkan keterpaduan sudut pandang
keilmuan mensyaratkan bahwa dalam pengelolaan wilayah
pesisir hendaknya dilaksanakan atas dasar interdisiplin ilmu
(interdisciplinary approaches), yang melibatkan bidang ilmu
ekonomi, ekologi, teknik, sosiologi, hukum, dan lainnya yang
relevan. Hal ini wajar dilakukan mengingat wilayah pesisir
pada dasarnya terdiri dari sistem sosial dan sistem alam yang
terjalin secara kompleks dan dinamis. Wilayah pesisir yang
tersusun dari berbagai macam ekosistem itu satu sama lain
saling terkait dan tidak berdiri sendiri. Perubahan atau
kerusakan yang menimpa suatu ekosistem akan menimpa pula
ekosistem lainnya. Selain itu wilayah pesisir, juga dipengaruhi
oleh kegiatan manusia maupun proses-proses alamiah yang
terdapat di kawasan sekitarnya dan lahan atas (upland areas)
maupun laut lepas (oceans). Kondisi empiris di wilayah pesisir
ini mensyaratkan bahwa pengelolaan wilayah pesisir dan
lautan secara terpadu harus memperhatikan segenap
keterkaitan ekologis (ecological linkages) yang dapat
mempengaruhi suatu wilayah pesisir. Nuansa keterpaduan
tersebut perlu diterapkan sejak tahap perencanaan sampai
evaluasi
Pendekatan ini berorientasi pada proses evaluasi konsistensi
keberadaan jenis data pada karakteristik lingkungan yang
mempengaruhi keberadaan data tersebut berdasarkan pada
pemahaman antara keterkaitan antara satu komponen data
dengan lainnya. Untuk itu, sebelum penyusunan rencana
zonasi wilayah pesisir dan laut, terlebih dahulu diperlukan
pengenalan awal tentang kondisi lokasi pesisir dan laut yang
akan diamati. Pengenalan awal kondisi lokasi penyusunan
rencana zonasi dapat memberikan pemahaman tentang jenis
potensi sumberdaya yang ada dan mungkin ada di lokasi.
Salah satu cara mengetahui keberadaan potensi sumberdaya
tersebut secara awal adalah dengan melihat keterkaitan antara
karakteristik geofisik dengan ekosistem, serta antara
karakteristik sosial budaya masyarakat dengan pola
pemanfataan sumberdaya yang ada.
Dari sisi pemanfaatan ruang, pengenalan awal ini akan
membantu memberikan informasi tentang pola dan distribusi
penggunaan lahan dalam segala bentuknya, seperti
permukiman, pertambakan, dan budidaya laut. Dengan cara
pandang terintegrasi dan holiostik ini dalam melakukan
pengambilan data dan analisis, maka diharapkan semua
komponen sumberdaya yang ada di lokasi kegiatan dapat
dimasukkan sebagai komponen yang perlu dikumpulkan
datanya. Terkait dengan pendekatan keterpaduan dan
keberlanjutan dalam penyusunan rencana zonasi wilayah
pesisir dan laut, maka strategi yang nantinya akan
diimplementasikan dalam rangka pencapaian kegiatan tersebut
adalah sebagai berikut :
1) Mengidentifikasi secermat mungkin terhadap
penggunaan ruang pesisir dan laut di wilayah
perencanaan serta prediksi kebutuhan ruang.
2) Mengidentifikasi kharakteristik sumberdaya pesisir dan
laut di wilayah perencanaan, cakupan identifasi
diantaranya meliputi sifat-sifat fisis, kimiawi dan biologi
lingkungan pesisir dan laut di wilayah perencanaan serta
keamanan dan keselamatan mahluk hidup di dalam
ekosistem tersebut.
3) Mengidentifikasi kebijakan pemerintah yang terkait
dengan pengelolaan wilayah pesisir dan laut.
4) Rekomendasi yang diusulkan dalam studi penyusunan
rencana zonasi wilayah pesisir dan laut hendaknya
didasari atas bukti ilmiah terbaik dengan penuh kehati-
SUMBERDAYA
PESISIR DAN
LAUT
WILAYAH
PESISIR DAN
LAUT
Lingkun
gan
Darat
Lingkung
an Laut
Aktifitas
Manusi
a
MMooddeell PPeennggeemmbbaannggaann TTaammbbaakk UUddaanngg SSeeccaarraa BBeerrkkeellaannjjuuttaann BBeerrbbaassiiss ““FFiisshheerriieess OOrrggaanniicc SSyysstteemm”” ddaann ““CClleeaann PPrroodduuccttiioonn””..
Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Makassar Kementerian Kelautan dan Perikanan
Pag
e14
hatian agar pendayagunaan sumberdaya pesisir dan laut
dilakukan secara seimbang dengan daya dukung
lingkungan tersebut.
2) Pendekatan keterwakilan
Pendekatan keterwakilan Populasi dan lokasi berarti bahwa
setiap populasi dalam suatu lokasi, dan setiap spot dalam
lokasi yang diamati memiliki wakil dalam data studi. Dengan
demikian, dapat dipastikan bahwa proses analisis benar-benar
telah mewakili keseluruhan populasi serta lokasi yang diteliti.
Pendekatan ini cukup sejalan dengan pendekatan yang
pertama, dimana keduanya beorientasi pada kelengkapan data
yang akan dikumpulkan. Meskipun demikian, fokus
pendekatan ini lebih berorientasi pada proses analisis, dimana
keterwakilan data dan lokasi akan mempengaruhi hasil-hasil
dalam proses analisis nantinya, terutama pada data-data yang
pengolahannya menggunakan teknik statistik.
3) Pendekatan Partisipatif (Participative approach)
Perencanaan dilaksanakan dengan melibatkan pemangku
kepentingan baik sebagai pemanfaat ruang maupun pihak-
pihak lain yang terkena dampak negatif dan positif dari
pelaksanaan ruang itu sendiri. Pelibatan para pemangku
kepentingan mulai dari sejak awal sampai perumusan rencana
yang diwujudkan dalam bentuk pertemuan konsultasu, diskusi,
focus group discussion dan seminar/workshop.
4) Pendekatan Ekonomi (Economic approach)
Pertumbuhan ekonomi sering didefinisikan sebagai
pertumbuhan agregatif dari sektor dalam perekonomian,
dengan melihat perubahan indikatornya. Sedangkan,
perkembangan ekonomi lebih luas cakupannya dari sekadar
pertumbuhan ekonomi mengingat pada perkembangan
ekonomi, yang diamati tidak hanya perubahan indikator
agregatif sektor perekonomian, tetapi juga mengamati apakah
terjadi pergeseran struktur perekonomian. Pada wilayah/
daerah yang masih tradisional, umumnya struktur
perekonomian sangat didominasi oleh sektor primer.
Perkembangan ekonomi suatu wilayah/daerah dapat dilihat
apabila terjadinya perubahan struktural sektor
agraris/tradisional menuju sektor industri/modern, dalam arti
terjadi perubahan/penurunan dominasi sektor
primer/tradisional, di pihak lain terjadi perubahan/peningkatan
dominasi sektor sekunder dan tersier.
Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi sebagai salah satu
pendekatan perencanaan pembangunan terbukti tidak
selamanya sesuai untuk diterapkan. Struktur perkonomian
wilayah yang baik adalah terjadinya keseimbangan
pertumbuhan antarasektor agraris/ tradisional dan sektor
industri/ modern. Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi
juga harus diimbangi oleh pemberdayaan ekonomi rakyat,
sehingga diharapkan terjadi persaingan yang sehat antara para
pelaku ekonomi di suatu wilayah. Sehubungan dengan
pendekatan ekonomi, maka langkah-langkah yang akan
ditempuh dalam penyusunan rencana zonasi wilayah pesisir
dan laut, adalah sebagai berikut :
Pertama, mengenali karakteristik kegiatan ekonomi saat ini
dan potensi sumberdaya alam yang dapat
menunjang kegiatan ekonomi pesisir dan laut di
masa datang. Dari sini, selanjutnya dapat
dirumuskan sektor/subsektor potensial yang dapat
dijadikan sektor/subsektor unggulan di wilayah
dikaitkan dengan tujuan dan sasaran pertumbuhan
ekonomi wilayah kota, serta sasaran pertumbuhan
ekonomi regional wilayah pesisir dan laut .
Kedua, mengenali faktor-faktor eksternal yang dapat
dimanfaatkan sebagai peluang untuk meningkatkan
kinerja pertumbuhan ekonomi wilayah pesisir dan
laut . Faktor eksternal tersebut tidak hanya dilihat
dalam konteks antar wilayah dalam skala regional
dan Provinsi Sulawesi Barat saja, tetapi juga
antarkawasan ekonomi dalam skala yang lebih luas,
yaitu ekonomi nasional bahkan internasional.
Ketiga, mengenali perkembangan ekonomi dan pasar
komoditas akan memudahkan penyusunan lebih
lanjut tentang skenario dan agenda pengembangan
wilayah pesisir dan laut dalam merespons dan
mengantisipasi serta menyelaraskan kesiapan
kawasan yang direncanakan dalam menghadapi
fenomena tersebut.
5) Pendekatan Sosial dan Budaya (Social and culture
approach)
Pendekatan ini memandang wilayah perencanaan sebagai satu
kesatuan ruang sosial (social space) dengan masyarakatnya
yang beragam serta mempunyai budaya dan tata nilai (norm
and value) tersendiri. Masyarakat yang tinggal di wilayah
pesisir pantai, di sepanjang aliran sungai maupun di sekitar
hutan masing-masing memiliki ciri-ciri dan tata nilai
tradisional yang unik. Dalam rangka penataan ruang dan
pembangunan wilayah, corak ragam budaya dan tata nilai ini
harus ditempatkan sebagai satu variabel penting. Nilai-nilai
tradisional yang positif perlu diakomodasikan untuk
merangsang peran serta masyarakat yang lebih besar dalam
pembangunan daerahnya. Sedangkan, nilai-nilai pembangunan
perlu diupayakan agar tidak berbenturan dengan nilai-nilai
tradisional, sehingga tidak menghalangi kinerja
pengembangan wilayah. Oleh sebab itu, dalam penyusunan
rencana zonasi wilayah pesisir dan laut ini, khususnya dalam
arahan pengembangan kawasan pemanfaatan umum dan
MMooddeell PPeennggeemmbbaannggaann TTaammbbaakk UUddaanngg SSeeccaarraa BBeerrkkeellaannjjuuttaann BBeerrbbaassiiss ““FFiisshheerriieess OOrrggaanniicc SSyysstteemm”” ddaann ““CClleeaann PPrroodduuccttiioonn””..
Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Makassar Kementerian Kelautan dan Perikanan
Pag
e15
pengelolaan kawasan konservasi, akan dicermati karaktersitik
budaya dan nilai-nilai tersebut.
Diharapkan melalui pendekatan ini akan dapat dihindari
kemungkinan terjadinya benturan sosial dan keterasingan
kelompok masyarakat tertentu dari derap kegiatan
pembangunan, serta segregasi keruangan yang dapat
berdampak negatif terhadap kinerja pertumbuhan wilayah dan
juga pada perkembangan kehidupan masyarakat.
6) Pendekatan Partisipatif (Participative approach)
Pendekatan ini dimaksudkan untuk memberi kesempatan
seluas-luasnya kepada masyarakat untuk berperan serta dalam
kegiatan penataan ruang. Dalam undang-undang antara lain
UU No. 26 Tahun 2007, UU No. 27 Tahun 2007, PP No. 69
Tahun 1996 serta Permendagri No. 9 Tahun 1999,
dikemukakan bahwa masyarakat perlu dilibatkan secara aktif
dalam keseluruhan kegiatan penataan ruang, mulai dari
kegiatan perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang hingga
pengendalian pemanfaatan ruang.
Oleh sebab itu, dalam penyusunan rencana zonasi wilayah
pesisir dan laut ini harus dilakukan secara terbuka sehingga
memungkinkan masyarakat untuk melaksanakan haknya,
yakni memberikan masukan berupa informasi, data,
tanggapan, dan saran-saran serta keberatan. Dengan demikian,
diharapkan bahwa hasl pekerjaan yang tersusun akan lebih
responsif, aspiratif dan akomodatif (mewadahi) berbagai
kepentingan seluruh lapisan masyarakat, sehingga nantinya
lebih mudah dioperasionalkan.
Selanjutnya, diharapkan pula hasil pekerjaan yang tersusun ini
dapat dimasyarakatkan (sosialisasi) secara terbuka dan
transparan melaui media cetak, media elektronik dan forum
pertemuan, agar semua lapisan masyarakat mempunyai akses
yang sama terhadap informasi rencana tata ruang dan peluang-
peluang pembangunan yang terkandung di dalam rencana tata
ruang tersebut.
Melalui pendekatan peran serta masyarakat tersebut juga akan
diupayakan agar arahan kawasan fungsional dan program-
program pembangunan perikanan di WP3K yang dirumuskan
dalam rencana zonasi wilayah pesisir dan laut ini dapat
mencerminkan adanya peluang-peluang masyarakat
(khususnya masyarakat bermodal kecil dan menengah) untuk
berperan serta dalam kegiatan investasi dan atau menikmati
nilai tambah ruang yang diakibatkan oleh suatu kegiatan
penataan ruang.
7) Pendekatan Mitigasi Bencana.
Wilayah pesisir merupakan wilayah yang rawan terhadap
bahaya tsunami, bajir dan rob. Untuk itu, pendekatan penataan
ruang kawasan pesisir dan laut tersebut akan berorientasi pada
mitigasi bencana ( terutama terhadap bencana tsunami), hal ini
hendaknya menjadi perhatian serius bagi segenap pemangku
kebijakan yang dilandasi oleh pendekatan ini guna untuk
keamanan dan keselamatan masyarakat pesisir dan laut. Pada
pasal 56, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007
mengamanatkan bahwa, dalam penyusunan rencana
pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan pulau-
pulau kecil terpadu, pemerintah dan/atau pemerintah daerah
wajib memasukkan dan melaksanakan bagian yang memuat
mitigasi bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau keci
sesuai dengan jenis, tingkat, dan wilayah. Untuk itu, upaya
yang perlu mendapat perhatian dalam rangka penyusunan
rencana zonasi wilayah pesisir dan laut adalah dalam arahan
peruntukan lahan terutama lahan pemukiman dan rencana tata
letak infra struktur (site plan).
Selanjutnya dalam undang-undang lingkungan hidup
menyatakan bahwa 200 meter dari garis pantai haruslah
ditetapkan sebagai jalur hijau. Tersirat dalam undang-undang,
keputusan presiden dan keputusan menteri bahwa jalur hijau di
wilayah pesisir dan laut sebagai kawasan konservasi sangat
penting dan berperan sebagai penyanggaa (buffer) antara
wilayah daratan dan lautan. Akan tetapi bagi wilayah pesisir
dan laut atau wilayah kabupaten yang teridentifikasi rawan
bencana (terutama tsunami) maka kaidah jarak sebagaimana
yang dimaksud dalam undang-undang tersebut perlu dicermati
secara seksama, karena faktor utama yang sangat penting dan
perlu dipertimbangkan bukan saja jarak dari pantai ke arah
daratan, tetapi faktor ketinggian suatu wilayah dari permukaan
laut.
Berikut ini disajikan contoh peta hasil penyusunan
rencana tata ruang wilayah pesisir dan laut yang disusun
berdasarkan metodologi dan pendekatan sebagaimana yang
diuraikan di atas.
MMooddeell PPeennggeemmbbaannggaann TTaammbbaakk UUddaanngg SSeeccaarraa BBeerrkkeellaannjjuuttaann BBeerrbbaassiiss ““FFiisshheerriieess OOrrggaanniicc SSyysstteemm”” ddaann ““CClleeaann PPrroodduuccttiioonn””..
Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Makassar Kementerian Kelautan dan Perikanan
Pag
e16
Gambar 10. Contoh penataan ruang wilayah pesisir secara terpadu dan berkelanjutan.
Sumber : Rencana Zonasi Kabupaten Pangkep 2011.
Gambar 11. Ilustrasi penataan ruang wilayah pesisir secara terpadu dan berkelanjutan.
Sumber : Rencana Zonasi Kabupaten Pangkep 2011.
MMooddeell PPeennggeemmbbaannggaann TTaammbbaakk UUddaanngg SSeeccaarraa BBeerrkkeellaannjjuuttaann BBeerrbbaassiiss ““FFiisshheerriieess OOrrggaanniicc SSyysstteemm”” ddaann ““CClleeaann PPrroodduuccttiioonn””..
Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Makassar Kementerian Kelautan dan Perikanan
Pag
e17
Ilustrasi di atas menggambarkan suatu penataan ruang
wilayah pesisir (kawasan pertambakan) dengan
memperhatikan keseimbangan aspek ekonomis dan ekologis
melalui penentuan kawasan budidaya tambak yang sesuai
dengan daya dukung dan daya tampung (Gambar 10).
Sedangkan ilustrasi (Gambar 11) memberikan contoh suatu
kawasan budidaya tambak yang dirancang dengan
memperhatikan aspek ketepaduan dan harmonissi lingkungan
sehingga pengelolaan sumberdaya lingkungan dapat dilakukan
lebih efisien.
Selain itu, penentuan kawasan budidaya tambak yang
baik akan mengurangi ketergantungan suatu usaha budidaya
terhadap input eksternal dan akan lebih meningkatkan efisiensi
terhadap penggunaan energi yang tidak terbaharui, sebagai
contoh ; penentuan kawasan tambak pada daerah estuarin
dimana pengaruh pasang surut air laut masih terjadi di
kawasan tersebut, akan meningkatkan efisiensi unit usaha
tambak terhadap penggunaan energi listrik atau energi bahan
bakar penggerak pompa air, karena proses pendistribusian air
dari saluran primer ke saluran sekunder maupun ke unit-unit
petakan kolam tambak masih dapat dilakukan secara alamiah
melalui proses grafitasi atau energi pasang surut. Untuk itu,
sebagai bahan pertimbangan utama bagi para perencana
pengembangan wilayah pesisir dalam melakukan penataan
ruang pesisir direkomendasikan agar memperhatikan
kharakteristik kesesuaian lahan baik secara biologi, kimiawi
dan fisikawi lingkungan juga mempertimbangkan efisiensi
kawasan.
b) Desain, tata letak dan konstruksi tambak.
Kegiatan usaha budidaya tambak udang merupakan
proses produksi yang memerlukan kendali dan
keberhasilannya akan sangat tergantung pada faktor teknis
maupun non teknis, seperti perencanaan rekayasa dan rancang
bangun tambak sangat penting dalam mata rantai kegiatan
budidaya tambak udang (Ahmad Mustafa, 2008). Dengan
demikian, perencanaan tambak harus diarahkan pada
kemampuan untuk menciptakan kondisi yang sesuai dengan
keadaan alami yang dituntut oleh organisme aquatik yang
dibudidayakan.
Rekayasa tambak yang mencakup desain, tata letak
dan konstruksi tambak adalah salah satu faktor yang dominan
dalam menentukan keberhasilan budidaya udang. Oleh karena
itu, rekayasa tambak terkait erat dengan barbagai faktor dari
sistem pengembangan budidaya tambak udang berbasis
“Fisheries Organic System”, hal ini sejalan dengan Boyd
(1999), bahwa rekayasa tambak yang baik dapat digunakan
untuk mengatasi keterbatasan lahan dan mencegah atau
mengurangi dampak negatif sosial dan lingkungan.
Desain petakan tambak udang membutuhkan
pertimbangan yang seksama agar tambak dapat berfungfi
secara efisien dan layak secara ekonomis (Bose et al, 1991).
Tujuan daripada desain tambak yang baik adalah untuk
mengefektifkan pengolahan limbah, disamping memudahkan
pengelolaan air dan pemanenan udang (Chanratchakool et al,
1995). Secara umum desain, tata letak dan konstruksi tambak
harus memperhatikan 2 (dua) aspek penting, yaitu :
i. Harus menjamin tercapainya
produktifitas yang maksimum dan
pemgelolaan dan operasional anfaatan
lahan yang optimal dengan biaya
pengelolaan dan operasional yang
minimum.
ii. Memperhatikan kelestarian lingkungan
untuk menjamin keberlanjutan usaha dan
meminimalkan dampak negatif (limbah
buangan) untuk lingkungan sekitarnya
termasuk konflik sosial.
Pada konteks pengembangan tambak udang secara
berkelanjutan berbasis organik ini, maka desain tambak yang
disarankan untuk dikembangkan adalah tambak-tambak yang
memiliki bentuk petakan tambak persegi panjang, bujur
sangkar atau segi banyak dengan sisi terpanjang sejajar dengan
arah angin, hal ini sependapat dengan Jesmond (2005), yang
mengemukakan bahwa sisi terpanjang untuk tambak sebaiknya
sejajar dengan arah angin dominan, hal ini dimaksudkan
untuk membantu sirkulasi air (meningkatkan oksigen terlarut)
dan meminimalkan fluktuasi suhu yang terjadi pada saat
musim kemarau. Peningkatan oksigen terlarut dan fluktuasi
suhu yang minimal akan sangat berpengaruh terhadap
kelangsungan hidup udang. Selain itu juga akan meminimasi
penggunaan energi listrik atau energi bahan bakar yang
dibutuhkan untuk penggerak kincir tambak, dengan demikian
usaha budidaya tambak yang diselenggarakan akan
meminimasi penggunaan energi atau sumberdaya alam yang
tidak terbaharukan, yang pada akhirnya akan memperkical
biaya operasi dan tercapainya efisiensi produksi sebagaimana
yang diharapkan dalam konsep perikanan berkelanjutan.
Selain mempertimbangkan desain tambak
berdasarkan faktor kondisi alam, maka tambak berbasis
organik hendaknya dirancang dengan desain yang
memperhatikan aspek lingkungan dan berwasasan lingkungan.
Konsep desain tambak berwawasan lingkungan
mengakomodir keperluan remediasi dan resirkulasi media
budidaya tambak secara alamiah dan ramah lingkungan. Pada
desain tambak ini, diterapkan sistem kolam biofilter pada
saluran pemasukan primer (primary inlet) dan saluran
pengeluaran primer (primary outlet) yang diletakkan secara
terpisah. Pada saluran tersebut ditanami oleh mangrove yang
berfungsi sebagai bio filter.
MMooddeell PPeennggeemmbbaannggaann TTaammbbaakk UUddaanngg SSeeccaarraa BBeerrkkeellaannjjuuttaann BBeerrbbaassiiss ““FFiisshheerriieess OOrrggaanniicc SSyysstteemm”” ddaann ““CClleeaann PPrroodduuccttiioonn””..
Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Makassar Kementerian Kelautan dan Perikanan
Pag
e18
Untuk lebih meningkatkan kualitas air sebelum
dimasukkan ke dalam petak/kolam budidaya maka pada desain
tambak organik berwasasan lingkungan dapat diterapkan
kolam penampungan treatment alamiah, yaitu suatu kolam
yang dirancang untuk meningkatkan kualitas bio-fisik air
tambak secara alamiah melalui sistem filtrasi biologi dan
organik seperti kerang-kerangan atau rumput laut Gracillaria
yang ditempatkan pada kolam penampungan (reservoar pond).
Setelah media budidaya tersebut di saring secara alamiah pada
kolam bio-filter, selanjutnya air dari kolam penampungan ini
dialirkan ke kolam-kolam budidaya udang (Gambar 12).
Konsep ini dapat dikembangkan secara massal
dengan melibatkan banyak pembudidaya udang dalam suatu
kawasan budidaya. Hasil sampingan dari kolam bio-filter,
seperti ikan maupun komoditas non budidaya tersebut dapat
dimanfaatkan untuk meningkatkan pendapatan kelompok
petambak.
Selain menjamin tersedianya sumber air yang
berkualitas baik, konsep pengembangan budidaya tambak
udang dengan pola ini juga akan meminimasi terjadinya
kontaminasi limbah organik hasil sisa pakan atau bahan-bahan
residual lainnya melalui pemisahan antara saluran pemasukan
air dan pengeluaran air serta pengelolaan sistem pengairan
pada hamparan tambak tersebut. Untuk lebih meningkatkan
kualitas sumber air tambak, maka pada perairan laut pesisir
tambak dapat dimanfaatkan untuk keperluan budidaya rumput
laut Euchema cottonii, karena hasil penelitian yang telah
dilakukan oleh beberapa ahli, mengindikasikan bahwa rumput
laut Euchema cottonii yang dibudidayakan pada perairan laut
pesisir selain memberikan dampak terhadap kualitas air juga
dapat berfungsi sebagai bio-filter air laut.
Keberhasilan penerapan model tambak dengan desain
yang dirancang berwawasan lingkungan, akan sangat
bergantung pada koordinasi dan keterpaduan lingkungan,
karena model ini memerlukan pengaturan sistem irigasi yang
terpadu dan mampu mengakomodir kepentingan pembudidaya
tambak yang berada dalam suatu hamparan serta melibatkan
banyak pemilik tambak yang berbeda.
Oleh karenanya, untuk mendorong keberhasilan dari
penerapan desain tambak berwawasan lingkungan perlu
dialokasikan suatu areal pertambakan (zona tambak) yang
sesuai dengan daya dukung dan daya tampung serta
memisahkannya dari kegiatan yang bertentangan melalui
pengaturan tataruang wilayah pesisir.
MMooddeell PPeennggeemmbbaannggaann TTaammbbaakk UUddaanngg SSeeccaarraa BBeerrkkeellaannjjuuttaann BBeerrbbaassiiss ““FFiisshheerriieess OOrrggaanniicc SSyysstteemm”” ddaann ““CClleeaann PPrroodduuccttiioonn””..
Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Makassar Kementerian Kelautan dan Perikanan
Pag
e19
MODEL TAMBAK BERWAWASAN LINGKUNGAN
A B
NOTES :A. TOP VIEW
B. ISOMETRIK VIEW
1. SEA 9. ORGANIC BIO-FILTER POND2. RIVER 10. TRANSITION POND3. MANGROVE 11. NURSERY POND4. PRIMERY INLET 12. GROWTH POND
5. SECONDARY INLET 13. BACK YARD/MINI HATCHERY6. PRIMARY OUTLET7. SECONDARY OUTLET8. RESERVOAR POND DESIGN BY URIF SYARIFUDIN
MODEL TAMBAK BERWAWASAN LINGKUNGAN
1. SEA 9. ORGANIC BIO-FILTER POND2. RIVER 10. TRANSITION POND3. MANGROVE 11. NURSERY POND4. PRIMERY INLET 12. GROWTH POND
5. SECONDARY INLET 13. BACK YARD/HATCHERY6. PRIMARY OUTLET7. SECONDARY OUTLE 8. RESERVOAR POND
design@Urif_2012
Gambar 12. Desain Tambak Berwawasan Lingkungan Pada Model Pengembangan Tambak Udang Secara Berkelanjutan dan Berbasis
Sistem Perikanan Organik.
MMooddeell PPeennggeemmbbaannggaann TTaammbbaakk UUddaanngg SSeeccaarraa BBeerrkkeellaannjjuuttaann BBeerrbbaassiiss ““FFiisshheerriieess OOrrggaanniicc SSyysstteemm”” ddaann ““CClleeaann PPrroodduuccttiioonn””..
Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Makassar Kementerian Kelautan dan Perikanan
Pag
e20
c) Pola budidaya Udang Model Cultivar and
Modular System.
Pengalaman telah membuktikan bahwa penerapan
pola budidaya udang yang secara terus menerus sepanjang
tahun dengan sistem intensif, telah memberikan tekanan yang
tinggi terhadap lingkungan pesisir, sebagai klimaksnya
terjadinya degradasi lingkungan dan kegagalan dalam
berbudidaya. Untuk itu dalam model pengembangan tambak
udang secara berkelanjutan berbasis perikanan organik dan
produk bersih disajikan rancangan pola budidaya udang windu
sistem cultivar dan sistim modular. Pola budidaya udang
dengan sitem modular pada dasarnya adalah membudidayakan
udang dengan cara memisahkan atau menjarangkan tingkat
kepadatan udang pada setiap tingkatan perkembangan atau
pertumbuhannya lalu mengelompokkan udang yang
dibudidayakan berdasarkan ukurannya. Pola budidaya udang
dengan sistem modular dapat pula disebut dengan sistem
progress, karena pembudidaya/petambak melakukan
pemindahan udang dari kolam yang satu ke kolam yang lain
pada setiap tahapan pertumbuhan udang. Konsepsi dasar yang
menjadi bahan pertimbangan dalam pemilihan pola budidaya
udang sistem modular adalah mengingat sifat udang yang
merupakan kanibalisme, dengan dasar pertimbangan tersebut
diharapkan tingkat survival rate (SR) dan berat rata-rata udang
mencapai hasil yang maksimal, hal ini sesuai dengan Evron, et
al (2002), bahwa udang yang dibudidayakan dengan cara
penjarangan selama masa pemeliharaan 90-100 hari, dapat
mencapai SR > 80% dengan berat berkisat antara 25–30
gram/ekor (Size 33 – 40).
Batasan sistem modular adalah budidaya
udang/ikan dengan cara pindah dan pindah, sehingga satu
diantara syaratnya benih yang akan dibesarkan harus dalam
bentuk tokolan. Sistem ini sudah lama dikenal di masyarakat
utamanya di Pangkep, Pinrang dan Luwu yang kenyataannya
cukup eksis (ISPIKANI SULSEL, 2010). Manfaat dari sistem
ini adalah meminimalkan resiko karena daya adaptasi benih
lebih tinggi, memperpendek usia pemeliharaan, ukuran udang
relatif lebih besar sehingga berdasarkan pendekatan usahatani
marjin yang diperoleh akan lebih besar. Sebagai ilustrasi pada
Tabel 3 akan dikemukakan kasus yang memperbandingkan
usaha pertambakan dengan sistem tebar langsung dan
modular.
Tabel 3. Penampilan usaha pertambakan sistem non- modular
dan modular.
KOMPONEN NON-MODULAR MODULAR
Luas Petakan 1,20 Ha 1,20 Ha
Padat Tebar 4 ekor/m2 (48.000
ekor)
4 ekor/m2 (48.000
ekor)
Ukuran Benih PL 15 ( 0,014 PL 40 ( 0,258
g/ekor) g/ekor)
Lama
pemeliharaan
110 hari 85 hari
Volume Panen 709 kg (44
ekor/kg)
1.077 kg ( 36
ekor/kg)
Sintasan 65 % ( 31.200
ekor)
81 % (38.800
ekor)
FCR 1,25 0,975
Biaya Produksi/kg Rp 23.000 Rp 20.500
Harga udang/kg Rp 51.000 Rp 62.000
Marjin/kg Rp 28.000 Rp 41.500
Sumber : Hasanuddin, 2000
Sistem cultivar yang dimaksud adalah pola budidaya
tambak dengan mengkobinasikan pola pemeliharaan
komoditas perikanan yang dibudidayakan dengan tetap
memperhatikan kesesuaian dan daya dukung lahan serta
kesesuaian iklim, sehingga terjadi variasi komoditas dalam
satu wadah kolam budidaya. Melalui penerapan model
budidaya secara cultivar diharapkan dapat mengendalikan
hama dan penyakit dengan cara memutus siklus hama dan
penyakit yang kemungkinan menyerang suatu komoditas.
Secara umum Pola tanam, musim tanam dan
penyiapan benih merupakan kegiatan yang simultan. Konsep
yang umum dianut di Sulawesi Selatan disampaikan sebagai
berikut: PERTAMA : UDANG – UDANG
KEDUA : UDANG – BANDENG – UDANG
KETIGA : UDANG – UDANG – BANDENG
Berdasarkan analisis terhadap beberapa literatur yang
ada, maka pola tanam yang ditawarkan adalah UDANG –
BANDENG – UDANG, dengan pemeliharaan komoditas
udang pada musim tanam I adalah dimulai september sampai
desember, kemudian dilanjutkan dengan musim tanam II
yaitu pemelihraan ikan bandeng atau ikan lain yang memiliki
nilai ekonomis (seperti ikan nila) pada bulan januari sampai
pertengahan maret. Musim tanam III, pemeliharaan
komoditas udang adalah bulan mei sampai pertengahan juli
atau agustus.
Disarankan pada musim tanam I padat penebaran
benih udang lebih tinggi daripada musim tanam II, hal ini
mempertimbangkan pertama bahwa persiapan lahan lebih
baik dan kedua yang tidak kalah pentingnya suplay udang ke
pasar Internasional antara bulan januari hingga juni akan
berkurang, karena beberapa negara penghasil udang di bagian
utara Indonesia seperti Thailand, China, Vietnam dan lain-lain
antar bulan Nopember – Februari tidak beroperasi karena
musim dingin. Dengan demikian apabila momentum ini
dimanfaatkan dengan baik, maka marjin yang diperoleh akan
lebih besar karena harga pembelian udang di pasar
Internasional akan meningkat.
MMooddeell PPeennggeemmbbaannggaann TTaammbbaakk UUddaanngg SSeeccaarraa BBeerrkkeellaannjjuuttaann BBeerrbbaassiiss ““FFiisshheerriieess OOrrggaanniicc SSyysstteemm”” ddaann ““CClleeaann PPrroodduuccttiioonn””..
Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Makassar Kementerian Kelautan dan Perikanan
Pag
e21
Tabel 4. Pola pergiliran komoditas perikanan dalam
budidaya tambak udang berwawasan
lingkungan.
POLA
TANA
M
KOMO
DITAS
MUSIM TANAM
I
MUSIM TANAM
II
MUSIM
TANAM III
Se
pt
O
kt
N
o
v
D
es
J
a
n
P
e
b
M
ar
A
p
r
M
ei
J
u
n
J
u
l
A
gs
UDAN
G
IKAN
BANDE
NG
UDAN
G
Pertimbangan logis merekomendir pola tanam
UDANG – BANDENG – UDANG antara lain adalah
pemutusan siklus penyakit dan perbaikan lingkungan internal
sebelum musim tanam II. Sedangkan musim tanam I
didasarkan atas pertimbangan bahwa antara bulan juli dan
september salinitas ekstrim, pasut kecil dan fluktuasi
temperatur alam ekstrim (di malam hari dingin dan siang hari
panas). Konsekwensi logis dari pola tanam II (UDANG –
BANDENG – UDANG) maka dua bulan sebelum waktu tebar,
maka proses pentokolan benih (udang atau ikan) sudah harus
dimulai. Disarankan umur tokolan benih udang antara 20 - 30
hari, sedangkan benih ikan minimal 60 hari.
d) Seleksi dan Bio-secure Benih Udang.
Benih merupakan elemen akuainput yang
mempunyai peran paling besar terhadap kesuksesan budidaya,
sehingga proses standarisasi produk harus diberi perhatian
perioritas. Oleh karena proses standarisasi dan pengawasan
belum dapat dilakukan secara baik, maka acuan dalam
memilih dan menangani benih adalah sebagai berikut.
(1) Pilih Benih Bermutu
Pada saat ini benih udang windu telah berhasil
diproduksi secara massal oleh sejumlah pembenihan
melalui pembenihan skala parsial yang dikenal dengan
sebutan Bacyard hatchery ataupun pembenihan udang
skala lengkap dengan mutu benih yang sangat variatif.
Benih yang diproduksi oleh pembenihan umumnya PL 10
–12 ada yang langsung ditebar di tambak dan ada yang
melalui proses pentokolan selama 7 hari hingga 14 hari
sebelum dibesarkan di tambak.
Secara ilmiah mutu benih akan ditentukan oleh
tiga variabel yaitu induk (variasi genetik, kesehatan dan
ukuran), lingkungan media produksi dan metode atau
teknologi produksi yang ketiga variabel ini harus
diimplementasikan secara bersama. Mutu benih akan
diwujudkan dengan penampilan fisik dan biosecurity .
Penampilan fisik dapat dilakukan dengan cara visual atau
kasat mata, dan bantuan mikroskop. Sedangkan
biosecurity dapat dideteksi dengan metode agar dan
bantuan alat PCR untuk mendeteksi virus dan bakteri.
Secara visual atau kasat mata mutu benih itu akan terlihat
dalam wujud atau penampilan sebagai berikut ( Fegan et
al, 1993 ) sebagai berikut:
Keseragaman ; Ukuran benih yang seragam
memberi indikasi yang baik karena dapat
terhindar dari kanibalisme dalam proses
transportasi, pentokolan maupun pembesaran.
Juga akan mempengaruhi kesaragaman dalam
pertumbuhan. Ukuran benih yang tidak seragam
menandakan pertumbuhan yang tidak normal.
Penampilan warna ; Penampilan warna benih
udang windu yang berbeda terjadi karena
pengaruh kondisi tempat pemeliharaan dan jenis
maupun kualitas pakan yang diberikan. benih
dengan penampilan warna coklat kehitaman atau
bening transparant memberi indikasi bermutu
baik, sedangkan benih yang berpenampilan
waqrna merah atau merah mudah memberi indiksi
bahwa benih tersebut dalam kondisi stress,
terinfeksi penyakit atau kekurangan gizi.
Sirip ekor (Uropoda) ; Benih yang baik sirip ekor
mengembang seperti kipas, semakin sempurna
perkembanganya adalah semakin baik, setidak-
tidaknya sirip ekor membuka tiga. Bila dalam
kondisi tertutup benih masih rawan untuk ditebar
langsung.
Antena pertama (sungut pendek) ; Antena yang
sering membuka dan menutup secara rapat dan
berada pada keadaan lebih sering menutup
memberi indikasi mutu benih yang baik.
Sedangkan apabila berbentuk hurup V merupakan
indikasi benur yang terserang infeksi bakteri.
Aktifitas Renang ; Jika diberikan stimulan dari
luar berupa kejuatan atau cahaya, maka benih
yang sehat akan memberi respon antara lain
meloncat atau aktif berenang. Pada kondisi air
yang diputar dan menimbulkan arus, benih yang
sehat akan melawat arus sedangkan yang tidak
sehat akan mengikuti arus dan apabila istirahat
badannya melangkung dan karapasnya mengkerut.
Daya adaptasi ; Menurut Atjo, 2001 bahwa benih
yang sehat akan memiliki daya adapatasi yang
tinggi. Bila dimasukkan kedalam wadah berisi air
dengan dinding berwarna hitam atau putih maka
penampilan warna benih dengan cepat
MMooddeell PPeennggeemmbbaannggaann TTaammbbaakk UUddaanngg SSeeccaarraa BBeerrkkeellaannjjuuttaann BBeerrbbaassiiss ““FFiisshheerriieess OOrrggaanniicc SSyysstteemm”” ddaann ““CClleeaann PPrroodduuccttiioonn””..
Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Makassar Kementerian Kelautan dan Perikanan
Pag
e22
menyesuaikan dengan warna dinding wadah.
Semakin cepat proses penyesuaian itu memberi
indikasi mutu benih semakin baik.
Ukuran ; Bentuk tubuh yang lancip dan
berukuran panjang minimal 12 mm memberi
indiksi bahwa benih tersebut baik dan biasanya
memiliki pertumbuhan yang cepat. Penampilan
fisik tidak cukup hanya diamati dengan kasat
mata, tetapi sangat dianjurkan untuk dilanjutkan
dengan pengamatan menggunakan mikroskop
terhadap bagian tertentu dari anggota tubuh benih
antara lain: hepatopankreas menyangkut isi perut,
kromotophore, otot punggung, perbandingan otot
ekor dan usus, perubahan bentuk dan penempelan.
(2) Biosecurity
Biosecurity adalah tingkat infeksi benih oleh
patogen penyebab penyakit (virus, bakteri, protozoa,
jamur). Semakin tinggi nilai biosecuritynya maka
mutu benih akan semakin baik. Sebaliknya apabila
benih memiliki biosecurity yang rendah. Hanya saja
permasalahan untuk melihat biosecurity adalah
disamping biayanya mahal juga diperlukan sejumlah
peralatan. Skrening benih yang menggunakan
formalin bertujuan antara lain:
Menguji ketahanan benih sebelum
ditokolkan atau di tebar langsung untuk
dibesarkan
Memperoleh atau menseleksi benih yang
memiliki daya tahan lebih tinggi sebelum
ditokolkan atau di tebar langsung untuk
dibesarkan
Prosedur Pengujian Ketahanan Benih :
Isi wadah dengan air laut sesuai dengan
salinitas pembenihan sebanyak 1 liter
Larutkan formalin ke dalamnya sehingga
konsentrasi 500 ppm (0,5 cc/L)
Masukan sampel benih bermutu baik sesuai
kriteria pengamatan visual sebanyak 100
ekor.
Aduk dan lakukan pengamatan selama 15
menit berapa jumlah benih yang mati.
Hasil pengamatan yang menunjukkan jumlah
benur yang hidup > 90 % memberi indikasi
benih tergolong baik.
Prosedur Menseleksi Benih :
Pelaksanaan skrening benih idealnya
dilakukan oleh pengusaha pembenihan atau
pentokolan sebelum benih itu diserahkan ke
pengguna, karena memiliki peralatan atau fasilitas
untuk melakukan kegiatan tersebut. Disamping itu
merupakan satu diantara tahapan dalam penerapan
sertifikasi benih. Adapun prosedur pelaksanaan
skrening adalah sebagai berikut (Anonim, 2000
dalam Atjo 2001)
Kepadatan awal di wadah perlakuan
biasanya fiber kerucut adalah 100.000 ekor
PL/100 L air laut (1000 ekor PL/L air laut),
aerasi kuat.
Turunkan kepadatan dengan menambahkan
air laut menjadi 200 L, sehingga kepadatan
menjadi 100.000 ekor PL/200 L (500 ekor
PL/L air laut), aerasi kuat selama 25 – 30
menit.
Tambahkan formalin sebanyak 40 cc,
sehingga konsentrasinya menjadi 200 ppm
(40 cc formalin/200 L air laut) diamkan
selama 30 menit, dan saat itu aerasi
dimatikan.
Selanjutnya air di dalam wadah diputar.
Udang yang sakit atau lemah ataupun mati
akan terkumpul didasar bak kerucut, dan
udang yang sehat tetap berenang. Udang
sakit, lemah atau mati disiphon atau
dikeluarkan dari wadah.
Encerkan kembali air tersebut sehingga
pengaruh formalin semakin berkurang dan
diareasi kembali.
Pada saat perlakuan biasanya terjadi
molting, dan untuk itu benih dibiarkan hingga kondisi
membaik kembali. Hasil pengkajian menunjukkan
bahwa benih yang diskrening sebanyak 2 kali yaitu
pada saat akan ditokolkan (PL10-12) dan pada saat
akan ditebar di tambak (PL 27-30) memberikan hasil
yang lebih baik dibandingkan dengan skrening 1 kali
(Mangampa, 2001 dalam Atjo 2001).
e) Penggunaan Pupuk Organik dan Disinfektan
Organik
Pemberian pupuk organik dapat berasal dari
proses pengolahan limbah atau dari sumber bahan
organik. Bahan-bahan yang digunakan antara lain kompos
kotoran ternak, sisa-sisa tanaman dan pupuk hijau, jerami
dan mulsa lainnya, urine ternak, kompos yang terbuat dari
bahan-bahan organik. Pemberian pestisida organik
dilakukan jika secara manual hama tidak dapat diatasi.
Bahan pembuatan pestisida organik berasal dari bahan
organik (pupuk kandang).
MMooddeell PPeennggeemmbbaannggaann TTaammbbaakk UUddaanngg SSeeccaarraa BBeerrkkeellaannjjuuttaann BBeerrbbaassiiss ““FFiisshheerriieess OOrrggaanniicc SSyysstteemm”” ddaann ““CClleeaann PPrroodduuccttiioonn””..
Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Makassar Kementerian Kelautan dan Perikanan
Pag
e23
Keberadaan hama dalam budidaya tambak udang
sangat mempengaruhi keberhasilan budidaya tambak
udang. Ikan-ikan liar yang merupakan salah satu hama
dalam budidaya tambak udang dapat menggangu
kebutuhan oksigen bagi udang yang dibudidayakan, selain
itu keberadaan hama tersebut selain kompetitor oksigen
juga kompetitor terhadap pakan yang diberikan kedalam
media budidaya (tambak). Untuk pemberantasan hama,
seperti ikan-ikan liar pada model pengembangan tambak
secara berkelanjutan berbasis perikanan organik dan
produk bersih ini, direkomendasikan menggunakan
disinfektan organik yang bersifat non-residual seperti
penggunaan saponin, dimana saponin selain terbukti
mampu membasmi ikan-ikan liar juga dapat menyuburkan
unsur hara tanah tambak, hal ini diindikasikan umumnya
1 – 2 minggu setelah pemberian saponin pada tambak
akan meningkatkan kuantitas plankton diatom.
Penggunaan desinfektant an organik yang
bersifat residual seperti brestan atau bahan kimia
berbahaya lainnya sangat direkomendasikan untuk tidak
diterapkan dalam konsep budidaya tambak udang
berwawasan lingkungan.
f) Sikap dan Keterampilan Tenaga Kerja
Sektor pertanian (termasuk didalamnya
perikanan) terbukti telah memberikan kontribusi yang
besar terhadap penerimaan Produk Domestik Bruto dan
telah menyerap tenaga kerja yang besar bagi bangsa
Indonesia. Berdasarkan data yang dihimpun oleh Ambo
alla (2011), sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan
perikanan telah menyerap tenaga kerja hingga 41,2 % dari
total angkatan kerja dan kontribusi produk domestik brutu
sebesar 14,5 % dari seluruh jenis langan usaha.
Tabel 5. Kontribusi sektor pertanian, peternakan,
kehutanan dan perikanan terhadap
produk domestik bruto dan penyerapan
tenaga kerja di Indonesia.
LAPANGAN USAHA
PERAN PDB
(%)
PERAN
PEKERJA (%)
2004 2009 2004 2009
Pertanian, Peternakan,
kehutanan dan Perikanan
14,9 14,5 43,3 41,2
Pertambangan dan penggalian 9,7 9,4 1,1 1,1
Industri pengolahan 28,4 28,1 11,8 12,1
Listrik, gas, dan air bersih 0,7 0,7 0,2 0,2
Konstruksi 5,8 5,9 4,8 4,4
Perdagangan, hotel, dan
restoran
16,4 16,8 20,4 20,9
Pengangkutan dan komunikasi 5,8 6,2 5,8 5,7
Keuangan, real estat, dan jasa 9,1 9,2 1,2 1,4
perusahaan
Jasa-jasa 9,2 9,2 11,2 13,0
PDB 100 100 100 100
Jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan pada
pengembangan tambak udang berbasis sistem perikanan
organik cukup besar, terlebih pada pengendalian hama
dan penyakit yang masih dilakukan secara manual.
Penggunaaan pestisida alami membutuhkan tenaga kerja
karena pestisida ini masih sedikit jenisnya ada di pasaran.
Selain jumlah tenaga kerja, faktor sikap dan keterampilan
petambak perlu diperhatikan.
Upaya nyata yang dapat dilakukan adalah dengan
menggalakkan dan menerapkan cara berbudidaya udang
yang baik pada dempond-dempond tambak milik
pemerintah atau lembaga lainnya dengan harapan terjadi
proses transformasi pada petambak-petambak tradisional
mengenai cara berbudidaya udang yang baik dan ramah
lingkungan. Selain itu juga upaya nyata yang dapat
dilakukan oleh pemerintah maupun stake holder lain
dalam rangka merubah perilaku petambak dari cara
berbudidaya udang yang biasa menjadi cara berbudidaya
udang yang baik dan berwawasan lingkungan adalah
melalui upaya penyuluhan, penyediaan pusat informasi
dan pelatihan atau magang bagi pembudidaya udang
(petambak).
g) Bioremidiasi Lahan Tambak.
Budidaya udang pola intensif merupakan usaha
untuk meningkatkan produksi udang dengan cepat yang
dicirikan oleh padat penebaran tinggi, pola tanam secara
terus menerus dan penggunaan pakan buatan dalam
jumlah besar. Dampak negatif budidaya udang intensif
adalah penurunan mutu lingkungan habitat udang akibat
akumulasi bahan organik pada dasar tambak. Budidaya
udang pola intensif dicirikan oleh padat tebar benih tinggi
(> 20 ekor/m2) sehingga diperlukan pemberian pakan
yang intensif. Sebagai konsekwensi penerapan teknologi
tersebut adalah akumulasi sisa pakan dan eksresi udang,
serta senyawaan lainnya di dasar tambak yang menjadi
penyebab utama kegagalan budidaya udang pola intensif.
Akumulasi bahan organik dalam jumlah yang
tidak sesuai dengan daya dukung lahan berdampak negatif
karena akan meningkatkan laju penurunan oksigen dalam
air (oxygen depletion rate) dan meningkatkan kebutuhan
oksigen di sedimen dasar (sedimen oxygen demand) serta
menurunkan reduksi potensial ketingkat reduksi
(anaerob) yang akan menghasilkan senyawa yang bersifat
toksik terhadap udang seperti NH3, CH4 dan H2S yang
menciptakan lingkungan habitat yang tidak sesuai bagi
MMooddeell PPeennggeemmbbaannggaann TTaammbbaakk UUddaanngg SSeeccaarraa BBeerrkkeellaannjjuuttaann BBeerrbbaassiiss ““FFiisshheerriieess OOrrggaanniicc SSyysstteemm”” ddaann ““CClleeaann PPrroodduuccttiioonn””..
Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Makassar Kementerian Kelautan dan Perikanan
Pag
e24
udang (Boyd, 1992 ; Monoarfa, 1997). Akibatnya nafsu
makan udang berkurang, udang mudah terserang penyakit
dan lebih parah lagi menyebabkan kematian udang.
Untuk menanggulangi masalah tersebut perlu
diketahui karakteristik tanah dasar tambak udang intensif
dan faktor-faktor yang mempengaruhinya sebagai dasar
penyusunan strategi pengelolaan residu bahan organik
secara biologis melalui pemanfaatan bakteri pengurai atau
yang lebih umum dikenal dengan istilah teknologi bio-
remidiasi. Pengembangan teknologi bioremediasi yaitu
penambahan bakteri pengurai kedalam tambak udang
intensif untuk mempercepat proses dekomposisi bahan
organik berkembang pesat dan telah banyak dilakukan,
namun efektifitas penggunaan bahan tersebut masih
dipertanyakan karena beberapa aplikasinya memberikan
hasil yang sangat bervariasi.
Penggunaan bakteri dalam bio-remidiasi tambak
terbukti mampu menurunkan kandungan bahan organik
dalam lahan tambak, lihat Monoarfa, et al (2010), bahwa
kandungan bahan organik total awal penelitian adalah
20,68 %. Hasil pengukuran kandungan bahan organik
total pada perlakuan sedimen tanpa penambahan isolat
bakteri dengan genangan air dan aerasi pada akhir
penelitian 17,53 % dengan persentase penurunan bahan
organik 15,23 %, sedang pada perlakuan sedimen dengan
penambahan isolat bakteri Pseudomanas pseudomallei
dengan genangan air dan aerasi kandungan bahan organik
pada akhir penelitian menurun menjadi 8,40 % dengan
persentase penurunan bahan organik 59,38 %. Tingginya
penurunan kandungan bahan organik total pada perlakuan
pemberian bakteri dibandingkan tanpa pemberian bakteri
menunjukkan bahwa bakteri Pseudomanas pseudomallei
mempunyai kemampuan dalam menguraikan bahan
organik tanah. Sedang rendahnya persentase penurunan
kandungan bahan organik total pada perlakuan tanpa
bakteri karena tidak terdapat bakteri yang berfungsi untuk
mendegradasi bahan organik.
VVII.. KKEESSIIMMPPUULLAANN
Pengembangan model tambak udang secara
berkelanjutan berbasis “fisheries organic system” dan “clean
production” yang di sajikan dalam makalah secara umum
dipengaruhi oleh input tidak terkontrol dan input
terkontrol.input tidak terkontrol, meliputi; (1) Air, (2) Hama
penyakit, dan (3) Tingkat permintaan. Sedangkan input
terkontrol meluputi ; (1) Tata ruang (Zonasi) pesisir, (2)
Desain dan konstruksi tambak, (3) Pupuk dan pestisida
organik, (4) Benih udang, (5) Pola budidaya tambak, (6)
Tenaga Kerja, (7) Limbah organik, (3) Remidiasi /Persiapan
Tambak (Tabel 6).
Tabel 6. Variabel dalam Pengembangan model tambak udang
secara berkelanjutan berbasis “fisheries organic
system” dan “clean production”.
KLASIFIKASI
INPUT JENIS-JENIS INPUT VARIABEL
CONTROLABLE SUMBERDAYA AIR X1 : SDY_AIR
HAMA PENYAKIT X2 : HMA_PKT
UN-
CONTROLABLE
TATA RUANG X3 : TTR_PSR
DESAIN DAN
KONSTRUKSI TAMBAK
X4 : DSN_KTK
PUPUK ORGANIK DAN
PESTISIDA
X5 : PPK_ORN
STANDARISASI DAN
BIO-SECURE BENUR
X6 : BIO_BEN
POLA BUDIDAYA
TAMBAK
X7 : PLA_BDY
TENAGA KERJA X8 : TNG_KER
LIMBAH ORGANIK X9 : LIM_ORN
REMIDIASI TAMBAK X10 : RMD_TBK
Penggambaran variabel-variabel tersebut dalam blok
diagram Pengembangan model tambak udang secara
berkelanjutan berbasis “fisheries organic system” dan “clean
production” adalah sebagai berikut (Gambar 13).
MMooddeell PPeennggeemmbbaannggaann TTaammbbaakk UUddaanngg SSeeccaarraa BBeerrkkeellaannjjuuttaann BBeerrbbaassiiss ““FFiisshheerriieess OOrrggaanniicc SSyysstteemm”” ddaann ““CClleeaann PPrroodduuccttiioonn””..
Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Makassar Kementerian Kelautan dan Perikanan
Pag
e25
Gambar 13. Model Hipotesa Pengembangan Tambak Udang Secara Berkelanjutan Berbasis “fisheries organic system” dan “clean
production” Sumber : Analisis Urif Syarifudin, 2011.
Secara matematis Model Hipotesa Pengembangan
Tambak Udang Secara Berkelanjutan Berbasis “fisheries
organic system” dan “clean production” yang dibangun
berdasarkan hipotesa penulis adalah sebagai berikut :
YY == AAii11FF11 ++ AAii22 FF22 ++ AAii33FF
++....................++AAiimmFFmm ++ VViiUUii
FFii == WWii11XX11 ++ WWii22 XX22
++............................................................++WWiikkXXkk
Dimana:
Y = keberhasilan pengembangan model tambak
secara berkelanjutan berbasis
“fisheries organic system” dan “clean
production” (variabel laten atau tak terukur)
Aij = koefisien regresi ganda yang distandarisasi dari
variabel (i) pada common
factor j.
F = common factor.
Ui = faktor unik untuk variabel ke-i
Vi = koefisien regresi ganda yang distandarisasi dari
variabel (i) pada faktor
unik variabel ke-i.
m = jumlah common factor.
Fi = estimator faktor ke-i
Wi = bobot/koefisien nilai faktor
Xi = variabel ke-i
k = jumlah variabel
Berdasarkan formulasi tersebut, maka “common
factor” dalam penerapan model pengembangan tambak udang
secara berkelanjutan berbasis “fisheries organic system” dan
“clean production”, adalah hasil penjumlahan (sigma) dari
MMooddeell PPeennggeemmbbaannggaann TTaammbbaakk UUddaanngg SSeeccaarraa BBeerrkkeellaannjjuuttaann BBeerrbbaassiiss ““FFiisshheerriieess OOrrggaanniicc SSyysstteemm”” ddaann ““CClleeaann PPrroodduuccttiioonn””..
Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Makassar Kementerian Kelautan dan Perikanan
Pag
e26
perkalian antara bobot/koefisien nilai masing-masing faktor
dengan faktor-faktor sebagaimana yang dijelaskan dalam
model hipotesa yang dibangun oleh penulis (Gambar 9), yaitu
sebagai berikut; sumberdaya air, hama penyakit, tata ruang
pesisir, desain konstruksi tambak, pupuk dan pestisida,
standarisasi dan bio-secure benur, pola budidaya tambak,
tenaga kerja dan penangan limbah organik.
Formulasi model pengembangan tambak udang
secara berkelanjutan berbasis “fisheries organic system” dan
“clean production” yang disajikan oleh penulis merupakan
salah satu alternatif hipotesis yang dibangun berdasarkan
konsepsi teoritis dalam menciptakan kondisi budidaya tambak
udang yang dapat dilekukan secara terus menerus memberikan
manfaat kepada manusia dengan tetap menjaga dan
mempertahankan kualitas lingkungan.
Daftar Pustaka
Atmomarsono, 2000. Teknologi Budidaya Udang
Berkelanjutan. Balai Penelitian Perikanan
Pantai Maros. Makalah pada Konferensi
Nasional II Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan
Lautan Indonesia. Makassar 15-17 Mei 2000.
Alfredo A. C, Alves sefter T. L, 2000. Respon of Cassava
to Water Deficit : Leaf Area Growth and
Abscisic Acid. Crop Sci. 40 : 131-137 p.
Atjo, H. 2001. Teknik Penanganan Benih dan Pentokolan
Udang Windup P. Monodon Disampaikan pada
Pelatihan Petani Tambak program PARUL-
UNDP, di Loka Takalar.
Atjo,H. 2000. Perbaikan Mutu Benih Udang Windu, Penaeus
monodon Farb. CV Dewi Windu. Barru
Sulawesi Selatan.
Atmomarsono, M , Mun Imah Madeali, Arifuddin Tompo,
Nurhidayah, dan Muliani 2001. Pencegahan
Penyakit Udang. Balai Penelitian Perikanan
Pantai Maros.
Bapedal, 1995. National Commitment to Implement a
Clearner Production Strategy in Indonesia.
Bapedal, Jakarta.
Bratasida, L. 1997. Kebijakan Nasional tentang Produksi
Bersih. Bapedal, Jakarta.
Boyd, C.E. 1995. Pengaturan Aerasi Tambak. Primadona.
Edisi November. Jakarta. Hal. 7-12.
Boyd, C.E. 1992. Shrimp Pond Bottom Soil and Sediment
Management. p 166-181. in Wayban, J.
(Editor): Proceedings of the Special Session on
Shrimp Farming. World Aquaculture Society,
Baton Rouge, L.A., U.S.A.
Buchanan, R.E. and N.E. Gibbons, 1974. Bergey’s Manual of
Determinative Bacteriology. 8th Ed. The
Williams and Wilkins Company, Baltimore.
Budiardi, T. 1998. Evaluasi Akumulasi Bahan Organik,
Penyifonan dan Produksi Udang Windu pada
Budidaya Intensif. Thesis S2. Program
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Campbell, ME. & WM. Glenn. 1982. Profit from Pollution
Prevention. Pollution Probbe Foundation,
Toronto.
Chanratchakool, P., J.F. Turnbull, S.F. Smith and C.
Limsuwan. 1995. Health Management in
Shrimp Ponds. Second Edition. Aquatic
Animal Health Research Institute. Department
of Fisheries. Kasetsart University Campus
Jutujakin, Bangkok 110 pp.
Djajadiningrat, ST. 2001. Untuk Generasi Masa Depan
Pemikiran, Tantangan dan Permasalahan
Lingkungan. Studio Tekno Ekonomi ITB,
Bandung.
Feenstra G, 2000. What is Sustainable Agriculture ?
Concept Themes, Farming and Natural Resources,
Plant Production Practices, Animal Production
Practices, teh Economic, Sosial and Political
Context. Sustainable Agriculture Research And
Education Program, University Of California. 1-8
p.
Fegan, D. F., A. Nietes, T. Flegel, S. Rossuwan, M.
Waiyakarutta. 1993. The Development of A
Method for Determining The Quality of
Penaeus monondon Farb. Poster Presented at
Fish Health Section. Asian Fisheries Society
Conferences, Oktober 1993.
Hanafi, A. 1986. Evaluation of Brackishwater Fishpond
Productivity in Bulacan Province. Thesis S2.
Submitted to the Faculty of the Graduate School
University of the Philippines at Los Banos. 145
p.
Imran, Z. 2001. Aplikasi Model Untuk Penentuan
Luas Tambak Lestari. Tugas Individu mata
kuliah Analisis Sistem dan Permodelan.
MMooddeell PPeennggeemmbbaannggaann TTaammbbaakk UUddaanngg SSeeccaarraa BBeerrkkeellaannjjuuttaann BBeerrbbaassiiss ““FFiisshheerriieess OOrrggaanniicc SSyysstteemm”” ddaann ““CClleeaann PPrroodduuccttiioonn””..
Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Makassar Kementerian Kelautan dan Perikanan
Pag
e27
Program Study Sumberdaya Pesisir dan Lautan.
Fakultas Pascasarjana. IPB.
Katerji N, Van Hoorn J. W, Hamdy A, Karam F, Mastorilli
M, 1994. Effect of Salinity on Emergence and
Water Stress and Early Seedling Growth of
Sunflower and Maize. Agriculture Water
Management 26 : 81-91 p.
Kline R, Nanoy E. L, Sulisman V, Wolf R, 1980. Getting
the Most from Your Garden. Radole Press,
Emmans, Pennsylvania. 101-149 p.
Monoarfa, W. 1997. Tinjauan Akumulasi Bahan Organik
pada Dasar Tambak Budidaya Udang Intensif.
Kumpulan Abstrak Simposium Perikanan
Indonesia II. Hotel Sahid Makassar.
Ujungpandang, 2-3 Desember 1997.
Monoarfa, W. 1998. Studi Intensitas Redoks Potensial
Tanah Tambak Budidaya Udang Intensif.
Lembaga Penelitian Universitas Hasanuddin.
Ujungpandang.
Murdiyarso, Daniel. 2003. CDM : Mekanisme Pembangunan
Bersih. Penerbit Buku Kompas, Jakarta.
Mugnisjah W. Q, 2001. Ekofisiologi Tanaman Tropika.
Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian
Bogor. 104 hal.
Overcash, MR. 1986. Techniques for Industrial Pollution
Prevention. Lewis Publishers, New York.
Purnomo E, Sulasman S, Hasegawa T, Mashidoko Y, Osaki
M, 2003. Budidaya Padi Lokal Petani Banjar :
Sebuah Sistem LISA di Lahan Pasang Surut
Kalimantan Selatan . Center Tropical Acid Soil
Studies, Basic Secience Laboratory Universitas
Lambung Mangkurat. Hal 1-8.
Qiwei H, Xing Z. Y , Xinghui L, 2001. Effets Of Organic
Fertilizer on Tea Yild and Quality.
Proceedings: The Fifth IFOAM-ASIA
Scientific Converence, Oct 31-Nov 4, 2001,
Hangzhou, China. 134-137 p.
Reijntjes, D., Bertus, H., dan Waters,B. 1992. Farming for
the Future. (Edisi Indonesia 1999). Kanasius.
Yokyakarta.
Reddy D. N, 2001. Organic Farming In India: Poised for
Growth in the New Millennium. Proceedings :
The Fifth IFOAM–ASIA Scientific
Conference, October 31- November 4, 2001,
Hangzhou, China. 20-25 p.
Reijntjes C, Haverkort, Bayer W, 1999. Pertanian Masa
Depan : Pengantar Untuk Pertanian
Berkelanjutan dengan Input Luar Rendah.
Kanisius, Yogyakarta. 270 hal.
Skoog, D.A. 1985. Principles of Instrumental Analisys.
Third Ed. Saunders Collage Publishing,
Philadelphia, pp. 225-227.
Stevenson, F.J. 1982. Humus Chemistry, Genesis,
Composition, Reaction. A Wiley-Interscience
Publication John Wiley and Sons’s. New York,
Chichester, Brisbane, Toronto, Singapore. 443
p.
Sutanto R, 2002. Pertanian Organik : Menuju Pertanian
Alternatif dan Berkelanjutan. Kanisius
Yogyakarta. Hal. 19-31.
Wangsit St, Supriyana D, 2003. Belajar dari Petani :
Kumpulan Pengalaman Bertani Organik.
SPTN-HPS-Lesman-Mitra Tani, didukung
Oleh Oxfam GB-VSO/SPARK-CRS. Hal. 20-
27.
Wenyan H, Yunwen X, Qiang L, 2001. Effect of Mulching
and Organic Fertilizer on Soil Fertility and the
Yield and Quality of Tea In an Organik
Conversion Tea Field. Proceedings: The Fifth
IFOAM-ASIA Scientific Converence, Oct 31-
Nov 4, 2001, Hongzhou, China. 124-129 p.
William D. D. Winslow M. D, 2001. An Assesment of
Technology Development from the Green
Revolution To Today. International Crops
Research Institute for The Semiarid Tropics
(ICRISAT) India. 1-9 p.