BAB I
PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang Masalah
Dalam kesehatan nasional dicantumkan mengenai tujuan pembangunan
kesehatan yaitu tercapainya kemampuan hidup sehat bagi setiap penduduk agar
dapat mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal sebagai salah satu
unsur kesejahteraan dari tujuan nasional. Untuk mencapai derajat kesehatan
masyarakat yang optimal, salah satu upaya yang harus dilakukan adalah upaya
pencegahan dan pemberantasan penyakit, khususnyp a penyakit menular yang saat
ini merupakan masalah bagi negara - negara yang sedang berkembang termasuk
Indonesia. 1,2
Tuberkulosis Paru (TB) merupakan salah satu penyakit menular yang masih
menjadi masalah kesehatan masyarakat terutama di negara- negara berkembang.
Di Indonesia berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga Departemen
Kesehatan RI tahun 1995, didapatkan bahwa penyakit ini merupakan penyebab
kematian ketiga setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit paru lainnya,dan
penyebab kematian nomor satu dari golongan penyakit infeksi.1,2
Di Indonesia setiap tahun mencapai 583.000 orang menderiata tuberculosis
baru, bahkan jumlahnya akan terus meningkat karena setiap penderita
tuberculosis akan menularkan kepada sepuluh sampai lima belas orang
pertahun.Indonesia dengan jumlah penduduk 210 juta jiwa. 1,2
1
World Health Organization (WHO) dalam Annual Report on Global TB
Control 2003 menyatakan terdapat 22 negara dikategorikan sebagai high-burden
countries terhadap TB. Indonesia termasuk peringkat ketiga setelah India dan
China dalam menyumbang TB di dunia. Menurut WHO estimasi insidence rate
untuk pemeriksaan dahak didapatkan basil tahan asam (BTA) positif adalah 115
per 100.000. 3
Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2001 estimasi
prevalensi angka kesakitan di Indonesia sebesar 8 per 1000 penduduk berdasarkan
gejala tanpa pemeriksaan laboratorium. Berdasarkan hasil Survei Kesehatan
Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 TB menduduki ranking ketiga sebagai
penyebab kematian (9,4% dari total kematian) setelah penyakit sistem sirkulasi
dan sistem pernafasan. Hasil survei prevalensi tuberkulosis di Indonesia tahun
2004 menunjukan bahwa angka prevalensi tuberkulosis Basil Tahan Asam (BTA)
positif secara nasional 110 per 100.000 penduduk. 4
Walaupun pengobatan TB yang efektif sudah tersedia tapi sampai saat ini TB
masih menjadi problem kesehatan dunia yang utama. Pada Maret 1993 WHO
mendeklarasikan TB sebagai global helath emergency. TB dianggap sebagai
masalah kesehatan dunia yang penting karena lebih kurang 1/3 penduduk dunia
terinfeksi oleh Micobacterium tuberculosis.2
Sebagian besar dari kasus TB ini (95%) dan kematiannya (98%) terjadi di
negara-negara yang sedang berkembang. Diantara mereka 75% berada pada usia
produktif yaitu 20-49 tahun. Karena penduduk yang padat dan tingginya
2
prevalensi maka lebih dari 65% dari kasus-kasus TB yang baru dan kematian
muncul terjadi di Asia. 2
Alasan utama munculnya atau meningkatnya beban TB global ini antara lain
disebabkan : 2
1. Kemiskinan pada berbagai penduduk, tidak hanya pada negara yang sedang
berkembang tetapi juga pada penduduk perkotaan di negara maju.
2. Adanya perubahan demografik dengan meningkatnya penduduk dunia dan
perubahan dari struktur usia manusia yang hidup.
3. Perlindungan kesehatan yang tidak mencukupi pada penduduk di kelompok
rentan terutama di negara-negara miskin.
4. Tidak memadainya pendidikan mengenai TB di antara para dokter.
5. Terlantar dan kurangnya biaya untuk obat, sarana diagnostic, dan
pengawasan khusus terhadap TB dimana terjadi deteksi dan tatalaksana kasus
yang tidak adekuat.
6. Adanya epidemic HIV terutama di Afrika dan Asia.
Lingkungan hidup yang padat di wilayah perkotaan kemungkinan besar telag
mempermudah proses penularan dan berperan sekali ata peningkatan jumlah kasus
TB. Proses terjadinya infeksi oleh M. tuberculosis biasanya melalui inhalasi,
sehingga TB paru merupakan manifestasi klinis yang paling sering dibandingkan
dengan organ lainnya. Penularan penyakit ini sebagian besar melalui inhalasi basil
yang mengandung droplet nuclei, khususnya yang didapat dari pasien TB paru
dengan batuk berdarah atau berdahak yang mengandung basil tahan asam (BTA).2
3
Pemeriksaan sputum adalah penting karena dengan ditemukannya bakteri
BTA, diagnosis tuberculosis sudah dapat dipastikan. Di samping itu pemeriksaan
sputum juga dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan yang sudah
diberikan. Pemeriksaan ini mudah dan murah sehingga dapat dikerjakan di
lapangan (puskesmas). Tetapi kadang-kadang tidak mudah untuk mendapatkan
sputum, terutama pada pasien yang tidak batuk atau batuk non produktif. Dalam
hal ini dianjurkan satu hari sebelum pemeriksaan sputum, pasien dianjurkan
minum air sebanyak ± 2 liter dan diajarkan melakukan reflex batuk. Dapat juga
dengan memberiksan tambahan obat-obat mukolitik eks-pektoran atau dengan
inhalasi larutan garam hipertonik selama 20-30 menit. Bila masih sulit, sputum
dapat diperoleh dengan cara bronkoskopi diambil dengan brushing atau bronchial
washing atau BAL (broncho alveolar lavage). BTA dari sputum juga didapat
dengan cara bilasan lambung. Hal ini sering dikerjakan pada anak-anak karena
mereka sulit mengeluarkan dahaknya. Sputum yang akan diperiksa hendaknya
sesegar mungkin. 2
Bila sputum sudah didapat, kuman BTA pun kadang-kadang sulit ditemukan.
Kuman baru dapat ditemukan bila bronkus yang terlibat proses penyakit ini
terbuka ke luar, sehingga sputum yang mengandung kuman BTA mudah ke luar.
Diperkirakan di Indonesia terdapat 50% pasien BTA positif tetapi kuman dalam 1
mL sputum. 2
Untuk pewarnaan sediaan dianjurkan memakai cara Tan Thiam Hok y ang
merupakan modifikasi gabungan cara pulasan Kinyoun dan Gabbet. Cara
pemeriksaan sediaan sputum yang dilakukan adalah: 2
4
1. Pemeriksaan sediaan langsung dengan mikroskop biasa
2. Pemeriksaan sediaan langsung dengan mikroskop fluoresens (pewarnaan
khusus)
3. Pemeriksaan dengan biakan (kultur)
4. Pemeriksaan terhadap resistensi obat.
Pemeriksaan dengan mikroskop fluoroskop fluoresens sinar ultra violet
walaupun sensivitasnya tinggi sangat jarang dilakukan, karena penawaran yang
dipakai (auramin-rho-damin) dicurigai bersifat karsinogenik. 2
Pada pemeriksaan dengan biakan, setelah 4 sampai 6 minggu penanaman
sputum dalam medium biakan, koloni kuman tuberkulosis mulai tampak. Bila
setelah 8 minggu penanaman koloni tidak juga tampak, biakan dinyatakan
negative. Medium biakan yang sering dipakai yaitu Loweinstein Jensen, Kudoh
atau Ogawa. 2
Kadang-kadang dari hasil pemeriksaan mikroskopis biasa terdapat kuman
BTA (positif), tetapi pada biakan hasilnya negatif. Ini terjadi pada fenomena
death bacli atau non culturable bacilli yang disebabkan kemampuan paduan obat
anti tuberkulosis jangka pendek yang cepat mematikan kuman BTA dalam waktu
pendek.2
Pada saat ini pemeriksaan radiologi dada merupakan cara yang praktis untuk
menemukan lesi tuberkulosis. Pemeriksaan ini memang membutuhkan biaya lebih
dibandingkan pemriksaan sputum, tetapi dalam beberapa hal pemeriksaan ini
memberikan keuntungan seperti pada tuberkulosis anak-anak dan tuberculosis
5
milier. Pada kedua hal diatas diagnosis dapat diperoleh melalui pemeriksaan
radiologis dada, sedangkan pemeriksaan sputum hampir selalu negatif. 2
I. 2 Rumusan Masalah
Uraian tersebut di atas merupakan dasar pemikiran untuk merumuskan
masalah penelitian, yakni Bagaimana Hubungan Pemeriksaan Radiologi Dengan
Pemeriksaan Sputum pada Pasien Tuberkulosis Paru, Di Balai Besar Kesehatan
Paru Masyarakat, Makassar ?
1. 3 Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Memperoleh gambaran keterkaitan antara pemeriksaan radiologi dengan
pemeriksaan sputum pada pasien Tuberkulosis di Balai Besar Kesehatan Paru
Masyarakat Makassar 2011.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui frekuensi dari hasil pemeriksaan sputum BTA.
b. Mengetahui karakteristik kepositifan hasil pemeriksaan sputum BTA.
c. Mengetahui karakteristik hasil pemeriksaan radiologi toraks.
d. Mengetahui karakteristik pembacaan luas lesi dari hasil pemeriksaan
radiologi toraks positif TB Paru.
e. Mengetahui hubungan pemeriksaan sputum BTA dengan Radiologi toraks.
6
1. 5 Manfaat Penelitian
1. Bagi institusi pendidikan
Memberikan informasi dan pengembangan keilmuwan khususnya tentang
karakteristik yang mempengaruhi angka kejadian stress.
2. Bagi peneliti
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengalaman dan pengetahuan bagi
penulis tentang karakteristik yang mempengaruhi angka kejadian stress.
3. Bagi penelitian selanjutnya
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi penelitian
selanjutnya dan dapat diteruskan dengan variable penelitian yang belum
pernah diteliti.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. 1 Tinjauan Umum Tentang Tuberkulosis Paru
2.1.1 Definisi dan Etilogi Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi kronik yang disebabkan oleh
bakteri Micobacterium tuberculosis yang paling banyak dan sering menyerang
paru-paru. Bakteri ini berbentuk basil, mempunyai sifat khusus yaitu tahan
terhadap asam pada pewarnaan, Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan
Asam (BTA). M. tuberculosis cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi
dapat bertahan hidup beberapa jam ditempat yang gelap dan lembab. 3,5
Bakteri berbentuk basil ini memiliki ukuran panjang 1-4/um dan tebal 0,3-
0,6/um. Yang tergolong dalam bakteri M. tuberculose complex adalah. 1. M.
tuberculosae, 2. Varian Asian. 3. Varian African I, 4. Varian African 2, 5. M.
bovis. Pembagian tersebut berdasarkan perbedaan secara epidemiologi. 2
Sebagian besar dinding bakteri terdiri atas asam lemak (lipid), kemudian
peptidoglikan dan arabinomannan. Lipid inilah yang membuat kuman lebih tahan
asam (asam alcohol) sehingga disebut bakteri tahan asam (BTA) dan ia juga lebih
tahan terhadap gangguan kimia dan fisis. Bakteri ini dapat hidup di daerah dengan
udara kering maupun dingin (dan dapat tahan bertahun-tahun dalam lemari es).
Hal ini terjadi karna bakteri berada dalam sifat dormant. Dari sifat dormant ini,
bakteri dapat hidup kembali dan menjadikan penyakit tuberkulosis aktif kembali. 2
8
Sifat bakteri ini adalah aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa bakteri ini
lebihmenyenangi daerah yang tinggi kadar oksigennya. Dalam hal ini tekanan
oksigen pada bagian apical paru-paru lebih tinggi daripada daerah lainnya,
sehingga pada bagian apical ini merupakan tempat predileksi penyakit
tuberculosis. 2
Basil yang terinhalasi menginfeksi lobus paru atas dengan ventilasi baik dan
perfusi buruk di subpleura. Granuloma yang terbentuk dikenal sebagai fokus
Ghon yang beserta pembesarankelenjar getah bening hilus yang bermuara ke
dalam paru yang terkena disebut “kompleks primer”. keadaan tersebut terjadi
selama 3-8 minggu, dan disertai perkembangan reaksi inflamasi terhadap suntikan
protein tubercular (tuberculin) ke dalam kulit, yang dapat digunakan sebagai tes
diagnostic (tes Montoux atau Heaf). 6
Bakteri ini berpindah dari penderita yang satu ke penderita yang lain melalui
droplet yang bisa dikeluarkan saat batuk dan berbicara oleh penderita dan terhirup
melalui inhalasi oleh orang lain. Pada orang sehat, infeksi dari M. tuberculosis
jarang menimbulkan gejala jika system imunnya masih kuat menangkal bakteri-
bakteri yang akan masuk. 3
2.1.2 Patogenesis
1. Tuberkulosis Primer
Merupakan infeksi yang disebabkan oleh infeksi M. tuberculosis pada pasien
nonsensitif yaitu mereka yang sebelumnya belum pernah terinfeksi. Terdapat
respon radang ringan pada tempat infeksi. 7
9
Penularan tuberculosis paru terjadi karena bakteri dibatukkan atau
dibersinkan keluar dari menjadi droplet nuclei dalam udara sekitar. Partikel
infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung ada
tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang buruk dan kelembaban. Dalam suasana
lembab dan gelap bakteri ini dapat bertahan berhari-harisampai berbulan-bulan.
Dan bila partikel ini dihisap oleh orang sehat, ia akan menempel pada saluran
nafas atau jaringan paru. Partikel ini dapat masuk ke alveolar bila ukurannya < 5
mikrometer. Bakteri akan dihadapi pertama kali oleh neutrofi, kemudian baru oleh
makrofag.kebanyakan partikel ini akan mati atau dibersihkan oleh makrofag
keluar dari percabangan trakeobronkial bersama gerakan silia dengan sekretnya. 2
Jika bakteri menetap, ia akan menetap di jaringan paru, berkembang biak
dalam sitoplasma makrofag. Di sini, ia juga dapat terbawa masuk ke organ tubuh
lainny. Bakteri yang bersarang di jaringan paru akan membentuk sarang
tuberculosis pneumonia kecil dan disebut sarang primer atau efek primer atau
focus Ghon. Sarang primer ini dapat terjadi di setiap bagian jaringan paru. Bila
menjalar sampai ke pleura, maka terjadilah efusi pleura. 2
Dari sarang primer, akan timbul peradangan pada saluran getah bening
menuju hilus (limfangitis local), dan juga d2kuti pembesaran kelenjar getah
bening hilus (limfadenitis regional. Sarang primer linfadenitis local + linfadenitis
regional = kompleks primer (Ranke). Semua proses ini memakan waktu 3-8
minggu. Kompleks primer ini selanjutnya dapat menjadi: 2, 7
a. Sembuh sama sekali tanpa cacat. Ini yang banyak terjadi.
10
b. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotik,
kalsifikasi di hilus, keadaan ini terdapat pada lesi pneumonia yang liasnya >5
mm dan ± 10% di antaranya dapat terjadi reaktivisi lagi karena bakteri yang
dormant.
c. Berkomplikasi dan menyebar secara: a) Perkutanuitatum, yakni menyebar ke
sekitarnya. b) Secara bronkogen pada paru yang bersangkuta maupun paru di
sebelahnya. Bakteri dapat juga tertelan bersama sputum dan ludah sehingga
menyebar ke usus. c) Secara linfogen, ke organ tubuh lainnya. d) Secara
hematogen, ke organ tubuh lainnya.
Semua kejadian di atas tergolong dalam perjalanan tuberculosis primer.
2. Tuberkulosis Pasca Primer (Tuberkulosis Sekunder)
Bakteri yang dormant pada tuberculosis primer akan muncul bertahun-tahun
kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberculosis dewasa (tuberculosis post
primer = Tuberkulosis pasca primer = Tuberkulosis sekunder). Mayoritas
terinfeksi mencapai 90%. Tuberculosis sekunder terjadi karena imunitas yang
menurun seperti malnutrisi, alcohol, penyakit maligna, diabetes, AIDS, gagal
ginjal. Tuberculosis pasca primer ini dimulai dengan sarang dini yang berlokasi di
region atas paru (bagian apical-posterior lobus superior atau inferior).Invasinya
adalah ke daerah parenkim paru-paru dank e nodus hiler paru. 2
Sarang dini ini mula-mula juga berbentuk sarang pneumonia kecil. Dalam 3-
10 minggu sarang ini menjadi tuberkel yakni suatu granuloma yang terdiri dari
11
sel-sel Histiosit dan sel Datia-Langerhans (sel besar dengan banyak inti) yang
dikelilingi oleh sel-sel limfosit dan berbagai jaringan ikat. 2
TB pasca primer juga dapat berasal dari infeksi eksogen dari usia muda
menjadi TB usia tua (elderly tuberculosis). Tergantung dari jumlah kuman,
virulensinya, dan imunitas pasien, sarang dini ini dapat menjadi: 2
a. Direabsorbsi kembali dan dapat sembuh tanpa meninggalkan
cacat.
b. Sarang yang mula-mula meluas, teteapi segera menyembuh dengan serbukan
jaringan fibrosis. Ada yang membungkus diri menjadi keras, menimbulkan
perkapuran. Sarang dini yang meluas sebagai granuloma berkembang
menhancurkan jaringan ikat sekitarnya dan bagian tengahnya mengalami
nekrosis, menjadi lembek membentuk jaringan keju. Bila jaringan keju
dibatukkan keluar akan terjadilah kavitas. Kavitas ini mula-mula berdinding
tipis, lama-lama dindingnya menembal akrena infiltrasi jaringan-jaringan
fibroblast dalam jumlah besar, sehingga menjadi kabitas sklerotik (kronik).
Terjadinya perkijuan dan kavitas adalah karena hidrolisis protein lipid dan
asam nukleat loleh ensim yang diproduksi oleh makrofag, dan proses yang
berlebihan dari sitokin dengan TNF-nya. Membentuk perjijuan lain jarang
adalah cryptic disseminate TB yang terjadi pada imunodefisiensi dan usia
lanjut.
Di sini lesi sangat kecil, tetapi berisi bakteri sangat banyak. Kavitas dapat: 2
12
a. Meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonia baru. Bila isi kabitas ini
masuk dalam peredarah darah arteri, maka akan terjadi TB milier.dapat juga
masuk ke paru sebelahnya atau tertelan masuk lambung dan selanjutnya ke
usus jadi TB usus. sarang ini selanjutnya mengikuti perjalanan seperti yang
disebutkan terdahulu, bisa juga terjadi TB endobronkial dan TB endotrakeal
atau empiema bila ruptut ke pleura.
b. Memadat dan membungkus diri seningga menjadi tuberkuloma.
Tuberkuloma ini dapat mengapur dan menyembuh atau dapat aktif kembali
menjadi cari dan jadi kavitas lagi. Komplikasi kronik kavitas adalah
kolonisasi olej fungus seperti Aspergillus dan kemudian menjadi mycetoma.
c. Bersih dan menyembuh, disebut open healed cavity. Dapat juga menyembuh
dengan membungkus diri menjadi kecil. Kadang berakhir sebagai kavitas
yang terbungkus, menciut dana berbentuk seperti bintang disebut stellate
shaped.
Secara keseluruhan akan terdapat 3 macam sarang yakni: 2
a. Sarang yang sudah sembuh. Sarang bentuk ini tidak perlu pengobatan lagi.
b. Sarang aktif eksudatif. Sarang bentuk ini perlu pengibatan yang lengkap dan
sempurna.
c. Sarang yang berada antara aktif dan sembuh. Sarang bentuk ini dapat sembuh
spontan, tetapi mengingat kemungkinan terjadinya eksaserbasi kembali,
sebaiknya diberi pengibatan yang sempurna lagi.
2.1.3 Klasifikasi Tuberkulosis Paru
13
Sampai sekarang belum ada kesepakatan diantara para klinikus, ahli
radiologi, ahli patologi, mikro biologi dan ahli keseatan masyarakat tentang
keseragaman klasifikasi tuberkulosis. Dari sistem lama diketahui beberapa
klasifikasi seperti: 2
1. Pembagian secara patologis
a. Tuberkulosis primer (Childhood Tuberculosis)
b. Tuberkulosis post primer (Adult Tuberculosis)
2. Pembagian secara aktivitas radiologi tuberkulosis paru (Koch Pulmonum)
aktif, non aktif dan quiescent (bentuk aktif yang mulai menyembuh).
3. Pembagian secara radiologis (luas lesi)
a. Tuberculosis minimal. terdapat sebagaian kecil infiltrate non kavitas pada
satu paru maupun kedua paru, tetapi jumlahnya tidak melebih satu lobus
paru.
b. Moderately advanced tuberculosis. Ada kavitas dengan diameter tidak
lebih dari 4 cm.jumlah infiltrate bayangan halus tidak lebih dari satu
bagian paru. Bila bayangannya kasar tidak lebih dari sepertiga bagian
satu paru.
c. Far advanced tuberculosis. Terdapat infiltrate dan kavitas yang melebihi
keadaan pada Moderately advanced tuberculosis.
Pada tahun 1974 America Thorafic Sociaty memberikan klasifikasi baru
yang diambil berdasarkan aspek kesehatan masyarkat. 2
14
1. Kategori 0 : Tidak pernah terpajan, dan tidak terinfeksi, riwayat kontak
negatif, tes tuberkulin negatif.
2. Kategori I : Terpajan tuberculosis, tapi tidak terbukti ada infeksi. Disini
riwayat kontak positif, tes tuberculin negatif.
3. Kategori II : Terinfeksi tuberculosis, tetapi tidak sakit. Tes tuberculin
positif, radiologi dan sputum negatif.
4. Kategori III : Terinfeksi tuberkulosisi dan sakit. 2
Di Indonesia klasifikasi yang banyak dipakai adalah berdasarkan kelainan
klinis, radiologis dan mikro biologis: 2
1. Tuberculosis paru
2. Bekas tuberkulosis paru
3. Tuberculosis paru tersangka, yang terbagi dalam :
a. Tuberkulosis paru tersangka yang diobati.
Disini sputum BTA negative, tetapi tanda-tanda lain positif.
b. Tuberkulosis paru tersangka tidak diobati.
Disini sputum BTA negatif dan tanda-tanda lain juga meragukan.
Dalam 2-3 bulan, TB tersangka ini sudah harus dipastikan apakah termasuk
TB paru ( aktif ) atau bekas TB paru. Dalam klasifikasi ini perlu dicantumkan: 2
1. Status bakteriologi
2. Mikroskopik sputum BTA ( langsung )
3. Biakan sputum BTA
4. Status radiologi, kelainan yang relevan untuk tuberkulosis paru
15
5. Statis kemoterapi, riwayat pengobatan dengan obat anti tuberculosis. 2
WHO 1991 berdasarkan terapi TB dalam empat kategori yakni: 2
Kategori I, ditunjukkan terhadap:
1. Kasus baru dangan sputum positif
2. Kasus baru dengan bentuk TB berat
Kategori II, ditunjukan terhadap:
1. Kasus kambuh
2. Kasus gagal dangan sputum BTA positif
Kategori III, ditujukan terhadap:
1. Kasus BTA negatif dangan kelainan paru yang tidak luas
2. Kasus TB ekstra paru selain dari yang disebut dalam kategori I
Kategori IV, ditunjukkan terhadap : TB kronik.
2.1.4 Diagnosis
Standar Internasional Untuk Pelayanan Tuberkulosis Internasional (ISTC)
adalah sebagai berikut: 7
1. Standar 1
Setiap orang dengan batuk produktif selama 2-3 minggu atau lebih yang tidak
jelas penyebabnya,harus dievaluasi untuk Tuberkulosis.
16
Sumber: Depkes RI. Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis Cetakan Ke 8
2. Standar 2
Semua pasien (dewasa, remaja, dan anak yang dapat mengeluarkan dahak)
yang diduga menderita Tuberkulosis Paru harus menjalani pemeriksaan dahak
mikroskopik minimal 2 dan sebaiknya 3 kali. Jika mungkin paling tidak satu
spesimen harus berasal dari dahak pagi hari.
3. Standar 3
Pada semua pasien (dewasa, remaja, dan anak) yang diduga menderita
tuberkulosis ekstra Paru, spesimen dari bagian tubuh yang sakit seharusnya
diambil
17
untuk pemeriksaan mikroskopik dan jika tersedia fasilitas dan sumber daya,
dilakukan pemeriksaan biakan dan histopatologi.
4. Standar 4
Semua orang dengan temuan foto thoraks diduga Tuberkulosis Paru
seharusnya menjalani pemeriksaan dahak secara mikrobiologi.
5. Standar 5
Diagnosis Tuberkulosis Paru sediaan apus dahak negatif harus didasarkan
kriteria berikut: minimal pemeriksaan dahak mikroskopik 3 kali negatif (termasuk
minimal 1 kali dahak pagi hari) temuan foto toraks sesuai Tuberkulosis dan tidak
ada respon terhadap antibiotika spektrum luas (catatan: fluorokuinolon harus
dihindari karena aktif terhadap M. Tuberculosae kompleks sehingga dapat
menyebabkan perbaikan sesaat pada penderita Tuberkulosis). Untuk pasien ini
jika tersedia fasilitas, biakan dahak seharusnya dilakukan. Pada pasien yang
diduga terinfeksi HIV evaluasi diagnostik harus ditegakan.
6. Standar 6
Diagnosis Tuberkulosis Intrathoraks (yakni paru, pleura, dan kelenjar getah
bening hilus atau mediastinum) pada anak dengan gejala namun sediaan apus
dahak negatif seharusnya didasarkan atas kelainan radiografi toraks sesuai
Tuberkulosis dan pajanan kepada kasus Tuberkulosis yang menular atau bukti
infeksi tuberkulosis (uji kulit tuberkulin positif atau Interferon Gamma Release
Assay). Untuk pasien seperti ini, bila tersedia fasilitas bahan dahak seharusnya
diambil untuk biakan (dengan cara batuk, kumbah lambung, atau induksi dahak)
18
Diagnosis TB Paru ditegakkan berdasarkan :
1. Gejala Klinik
Gejala timbul relative lambat dan oleh karenanya timbul pada saat penyakit
sudah menetap. Gejala paling awal biasanya non-spesifik, seperti malaise,
kelelehan, anoreksia, dan penurunan berat badan. Di antara gejala yang lebih
spesifik, yang paling umum adalah batuk, seringkali disertai sputum mukoid.
Gejala lain di antaranya adalah hemoptisis ringan berulang, nyeri pleura, demam
ringan atau kadang-kadang, sesak saat aktivitas. Sering kali diagnosis ditegakkan
sebelum timbul gejala karena terlihat dalam pemeriksaan rontgen toraks rutin.
Tanda-tanda juga timbul pada stadium lanjut dari penyakit dan tidak begitu
spesifik, misalnya ronki (biasanya di apeks) dan selanjutnya tanda konsolidasi,
efusi pleura, atau kavitasi. 8
Kecurigaan harus ditingkatkan pada kelompok beresiko tinggi seperti:
penghuni asrama, imigran, pasien AIDS, pasien yang mendapat pengobatan
imuno-supresi, dan pekerja beresiko tinggi (dokter dan perawat). Idealnya
diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan AAFB dalam sputum berulang dan
apus bronkus langsung atau kultur. Mungkin diperlukan 6-12 spesimen (atau
lebih). Kadang-kadang diagnosis hanya bisa ditegakkan secara radiologis di mana
dugaan aktivitas pernyakit didasarkan pada: 8
a. Perubahan corakan halus,
b. Perkembangan lesi di apeks,
c. Kavitasi, dan
d. Tes Heaf yang positif kuat.
19
Riwayat penyakit terdahulu, pernahkah pasien berkontak dengan pasien TB?
Apakah pasien mengalami imunosupresi (kortikosteroid/HIV)? Apakah pasien
pernah menjalani pemeriksaan rontgen toraks dengan hasil abnormal? Apakah
terdapat riwayat vaksinasi BCG atau tes Montoux? Adakah riwayat diagnosis TB?
9
Pernahkah pasien menjalani terapi TB? Jika ya, obat apa yang digunakan,
berapa lama terapinya, bagaimana kepatuhan pasien mengikuti terapi, dan apakah
dilakukan pengawasan terapi? 9
Riwayat keluarga dan social; Adakah riwayat TB di keluarga atau lingkungan
social? Tanyakan konsumsi alcohol, penggunaan obat intravena, dan riwayat
berpergian ke luar negeri. 9
2. Pemeriksaan Fisis
TB bisa menimbulkan tanda local pada dada, tanda sistemik, atau jika timbul
TB milier, banyak bagian tubuh yang mungkin terkena dan menimbulkan,
misalnya lesi kulit, lesi retina, osteomielitis spinal (penyakit Pott), atau TB
genitourinarius. 9
Adalah pireksia, anemia, atau ikterus? Adakah limfadenopati? Apakah pasien
tampak kurus atau malnutrisi? Adakah deviasi trakea? Cari tanda paru apical:
adalah fibrosis? Adakah efusi pleura? Adakah piuria (steril)? 9
Curigasi TB pada pasien demam kronis, penurunan berat nadan, gejala
pernafasan yang tidak dapat dijelaskanatau limfadenopati. 9
20
3. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan Sputum
Pemeriksaan sputum adalah penting karena dengan ditemukannya bakteri
BTA, diagnosis tuberculosis sudah dapat dipastikan. Di samping itu pemeriksaan
sputum juga dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan yang sudah
diberikan. Pemeriksaan ini mudah dan murah sehingga dapat dikerjakan di
lapangan (puskesmas). Tetapi kadang-kadang tidak mudah untuk mendapatkan
sputum, terutama pada pasien yang tidak batuk atau batuk non produktif. Dalam
hal ini dianjurkan satu hari sebelum pemeriksaan sputum, pasien dianjurkan
minum air sebanyak ± 2 liter dan diajarkan melakukan reflex batuk. Dapat juga
dengan memberiksan tambahan obat-obat mukolitik eks-pektoran atau dengan
inhalasi larutan garam hipertonik selama 20-30 menit. Bila masih sulit, sputum
dapat diperoleh dengan cara bronkoskopi diambil dengan brushing atau bronchial
washing atau BAL (broncho alveolar lavage). BTA dari sputum juga didapat
dengan cara bilasan lambung. Hal ini sering dikerjakan pada anak-anak karena
mereka sulit mengeluarkan dahaknya. Sputum yang akan diperiksa hendaknya
sesegar mungkin. 2
Bila sputum sudah didapat, kuman BTA pun kadang-kadang sulit ditemukan.
Kuman baru dapat ditemukan bila bronkus yang terlibat proses penyakit ini
terbuka ke luar, sehingga sputum yang mengandung kuman BTA mudah ke luar.
Diperkirakan di Indonesia terdapat 50% pasien BTA positif tetapi kuman dalam 1
mL sputum. 2
21
Kriteria sputum BTA positif adalah bila sekurang-kurangnya ditemukan 3
batang kuman BTA pada satu sediaan. Dengan kata lain diperlukan 5.000 kuman
dalam 1 mL sputum. 2
Untuk pewarnaan sediaan dianjurkan memakai cara Tan Thiam Hok y ang
merupakan modifikasi gabungan cara pulasan Kinyoun dan Gabbet. Cara
ppemeriksaan sediaan sputum yang dilakukan adalah: 2
1. Pemeriksaan sediaan langsung dengan mikroskop biasa
2. Pemeriksaan sediaan langsung dengan mikroskop fluoresens (pewarnaan
khusus)
3. Pemeriksaan dengan biakan (kultur)
4. Pemeriksaan terhadap resistensi obat.
Pemeriksaan dengan mikroskop fluoroskop fluoresens sinar ultra violet
walaupun sensivitasnya tinggi sangat jarang dilakukan, karena penawaran yang
dipakai (auramin-rho-damin) dicurigai bersifat karsinogenik. 2
Pada pemeriksaan dengan biakan, setelah 4 sampai 6 minggu penanaman
sputum dalam medium biakan, koloni kuman tuberkulosis mulai tampak. Bila
setelah 8 minggu penanaman koloni tidak juga tampak, biakan dinyatakan
negative. Medium biakan yang sering dipakai yaitu Loweinstein Jensen, Kudoh
atau Ogawa. 2
Saat ini sudah dikembangkan pemeriksaan biaka sputum BTA dengan cara
Bactec (Bactec 400 Radiometric System) di mana kuman sudah dapat dideteksi
dalam 7 sampai 10 hari. Di samping itu dengan teknik Polinerase Chain Reaction
(PCR) dapat dideteksi DNA kuman TB dalam waktu yang lebih cepat atau
22
mendeteksi M. Tuberculosae yang tidak tumbuh pada sediaan biakan. Dari hasil
biakan bisanya dilakukan juga pemeriksaan terhadap resistensi obat dan
identifikasi kuman. 2
Kadang-kadang dari hasil pemeriksaan mikroskopis biasa terdapat kuman
BTA (positif), tetapi pada biakan hasilnya negative. Ini terjadi pada fenomena
death bacli atau non culturable bacilli yang disebabkan lemampuan paduan obat
anti tuberkulosis jangka pendek yang cepat mematikan kuman BTA dalam waktu
pendek.2
Untuk pemeriksaan BTA sediaan mikroskopis biassa dan sediaan biakan,
bahan-bahan selain sputum dapat juga dimabil dari bilasan bronkus, jaringan
paru,pleura,cairan lambung, jaringan kelenjar, cairan serebrospinal, urin, dan
tinja.2
4. Pemeriksaan Darah
Pemeriksaan ini kurang mendapat perhatian, karena hasilnya kadang-kadang
meragukan, hasilnya tidak sensitif. Pada saat tuberkulosis baru mulai (aktif) akan
didapatkan jumlah leukosit yang sedikit meninggi dengan hitungan jenis
pergeseran kekiri. Jumlah limfosit masih dibawah normal. Laju endap darah mulai
meningkat. Bila penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit kembali normal dan
jumlah limfosit masih tinggi. Laju endap darah mulai turun kea rah normal lagi.2
Hasil pemeriksaan darah lain didapatkan juga : 1) Anemia ringan dengan
gambaran normokron dan normosister; 2) Gama globulin meningkat; 3) Kadar
natrium darah menurun. Pemeriksaan etrsebut di atas nilainya juga tidak spesifik.2
23
Pemeriksaan serologis yang pernah dipakai adalah reaksi Takahashi.
Pemeriksaan ini dapat menunjukkan proses tuberkulosis masih aktif atau tidak.
kriteria positif yang dipakai di Indonesia adalah titer 1/128. Pemeriksaan ini juga
kurang mendapat perhatian karena angka-angka positif palsu dan negatif palsu
masih besar. 2
Belakangan ini terdapat pemeriksaan serologis yang banyak juga dipakai
yakni Peroksidase Anti Peroksida (PAP-TB) yang oleh beberapa peneliti
mendapatkan nilai sensivitas dan sepsifisitasnya cukup tinggi (85-95%), tetapi
beberapa peneliti meragukannya karena mendapatkan angka-angka yang lebih
rendah. Sesungguhpun begitu PAP-TB ini masih dapat dipakai, tetapi kurang
bermanfaat bila digunakan sebagai sarana tunggal untuk diagnostic TB. Prinsip
dasar uji PAP-TB ini adalah menentukan adanya antibody Ig C yang spesifik
terhadap M. Tuberculosae. Sebagai antigen dipakai polimer sitoplasma
M.Tuberculin var ovis BCG yang dihancurkan secara ultrasonik dan dipisahkan
secara ultrasentrifusi. Hasil uji PAP-TB positif. Hasil positif palsu kadang-kadang
masih didapatkan pada pasien reumatik, kehamilan dan masa3 bulan revaksinasi
BCG. 2
Uji serologis terhadap TB yang hamper sama cara dan nilainya dengan uji
PAB-TB adalah uji mycodot. Di sini dipakai antigen LAM (lipoarabinomannam)
yang diletakkan pada suatu alat berbentuk sisir plastik. Sisir ini dicelupkan
kedalam serum pasien. Antibodi spesifik anti LAM dalam serum akan terdeteksi
sebagai perubahan warna pada sisir yang intensitasnya sesuai dengan jumlah
antibodi.2
24
5. Pemeriksaan Radiologi
Pada saat ini pemeriksaan radiologi dada merupakan cara yang praktis untuk
menemukan lesi tuberkulosis. Pemeriksaan ini memang membutuhkan biaya lebih
dibandingkan pemriksaan sputum, tetapi dalam beberapa hal pemeriksaan ini
memberikan keuntungan seperti pada tuberkulosis anak-anak dan tuberculosis
milier. Pada kedua hal diatas diagnosis dapat diperoleh melalui pemeriksaan
radiologis dada, sedangkan pemeriksaan sputum hampir selalu negatif. 2
Lokasi lesi tuberculosis umumnya di daerah aspek paru (segmen apical lobus
atas atau segmen apical lobus bawah), tetapi dapat juga mengenai lobus bawah
(bagian inferior) atau di daerah hilus menyerupai tumor paru (misalnya pada
tuberkulosis endobronkhial). 2
Pada awal penyakit saat lesi masih merupakan sarang-sarang pneumonia,
gambaran radiologi berupa bercak-bercak seperti awan dan dengan batas-batas
yang tidak tegas. Bila lesi sudah diliputi jaringan ikat maka bayangan terlihat
berupa bulatan dengan batas yang tegas. Lesi ini dikenal sebagai tuberkuloma. 2
Gambaran tuberculosis milier terlihat berupa bercak-bercak halus yang
umumnya tersebar merata pada seluruh lapangan paru. Gambaran radiologis lain
yang sering menyertai tuberkulosis paru adalah penebalan pleura (pleuritis), masa
cairan di bagian bawah paru (efusi pleura/empiema), bayangan hitam radio-lusen
di pinggir paru/pleura (pneumotoraks). 2
25
Pada satu foto dada sering didapatkan bermacam-macam bayangan sekaligus
(pada tuberkulosis yang sudah lanjut) seperti infiltrate, garis-garis fibrotik,
kalsifikasi, kavitas (non skelerotik/skelerotik) maupun atelektasis dan emfisema. 2
Tuberkulosis sering memberikan gambaran yang aneh-aneh terutama
gambaran radiologi, sehingga dikatakan tuberculosis is the greatest pneumonia.
Gambaran infiltrasi dan tuberkuloma sering diartikan sebagai pneumonia,
mikosis paru, karsinoma bronkus atau karsinoma metastasis. Gambaran kavitas
sering di artikan sebagai abses paru. Di samping itu perlu diingat juga faktor
kesalahan dalam membaca foto. Factor kesalahan ini mencapai 25%. Oleh sebab
itu untuk diagnostik radiologi sering dilakukan juga foto lateral, foto lordotik,
oblik, tomografi dan foto dengan proyeksi densitas keras. 2
Adanya bayangan (lesi) pada foto dada, bukanlah menunjukkan adanya
aktivitas penyakit, kecuali suatu infiltrat yang betul-betul nyata. Lesi penyakit
yang sudah non-aktif, ssering menetap selama hidup pasien. Lesi yang berupa
fibrotic, kalsifikasi, kavitas, schwarte, sering dijumpai pada orang-orang yang
sudah tua. 2
Pemeriksaan khusus yang kadang-kadang juga diperlukan adalah
bronkografi, yakni untuk melihat kerukasakan bronkus atau paru yang
disebabkakn oleh tuberculosis.pemeriksaan ini umumnya dilakukan bila pasien
akan mnjalani pembedahan paru. 2
Pemeriksaan radiologi dada yang lebih canggih dan saat ini sudah banyak
dipakai dirumah sakit rujukan adalah Computed Tomography Scanning (CT
26
Scan). Pemeriksaan ini lebih superior dibanding radiologi biasa. Perbedaan desitas
jaringan terlihat lebih jelas dan sayatan dapat dibuat transversal. 2
Pemeriksaan lain yang lebih canggih lagi adalah Magnetic Resonance
Imaging (MRI). Pemeriksaan MRI ini tidak sebaik CT Scan, tetapi dapat
mengevaluasi proses-proses dekat apeks paru, tulang belakang, perbatasan dada-
perut. Sayatan biasa dibuat transversal, sagital dan koronal. 2
6. Tes Tuberkulin
Pemeriksaan ini masih banyak dipakai untuk membantu menegakkan
diagnosis tuberkulosis terutama pada anak-anak (balita). Biasanya dipakai cara
Mantoux yakni dengan menyuntikkan 0,1 cc tuberkulin PPD (Purafield Protein
Derivative) intra kutan 5 T.U (intermediate strength). Bila ditakutkan reaksi hebat
dengan 5 T.U dapat diberiksan dulu 1 atau 2 T.U (first strength). Kadang-kadang
bila dengan 5 T.U masih memberikan hasil negative dapat diulangi dengan 250
T.U (second strength). Bila dengan 250 T.U masih memberikan hasil negative,
berarti tuberculosis dapat disingkirkan. Umumnya test Montoux dengan 5 T.U
saja sudah cukup berarti. 2
Tes tuberculin hanya dapat menyatakan apakah seseorang individu sedang
atau pernah mengalami infeksi M. tuberculosae, M. bovis, vaksinasi BCG dan
Mycobacterium pathogen lainnya. dasar tes tuberculin ini adalah reaksi alergi tipe
lambat. Pada penularan dengan kuman pathogen baik yang virulen ataupun tidak
(Mycobacterium tuberculosae atau BCG) tubuh manusia akan mengadakan reaksi
imunologi dengan dibentuknya antibody selular pada permulaan dan kemudian
27
dp2kuti oleh pembentukan antobodi humoral yang dalam perannya akan menekan
antibody seluler. 2
Bila pembentukan antibody selular cukp misalnya pada penularan dengan
kuman yang sangat virulen dan jumlah kuman sangat besar atau pada keadaan di
mana pembentukan antibody humoral amat berkurang (pada hipogama-
globulinemia), maka akan mudah terjadi penyakit sesudah penularan. 2
Setelah 48-72 jam tuberculin disuntikkan, akan timbul reaksi berupa indurasi
kemerahan yang terdiri dari infiltrate limfosit yakni reaksi persenyawaan antara
antibody selular dan antigen tuberculin. Banyak sedikitnya reaksi persenyawaan
antibody selular dan antigen tuberculin amat dipengaruhi oleh antibody humoral,
makin besar pengaruh antibody humoral, makin kecil indurasi yang ditimbulkan. 2
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, hasil tes Montoux ini dibagi dalam: 2
1. Indurasi 0-5 mm (diameternya) : Montoux negative = golongan no sensitivity.
Di sini peran antibody humoral paling menonjol.
2. Indurasi 6-9 mm : hasil meragukan = golongan low grade sensitivity. Di sini
peran antibody humoral masih sangat menonjol
3. Indurasi 10-15 mm : Montoux positif = golongan normal sensitivity.
4. Indurasi lebih dari 15 mm: Montoux positif kuat golongan hypersensitivity. Di
sini peran antibody selular paling menonjol.
Biasanya hampir seluruh pasien tuberklosis memberikan reaksi Montoux
positif (99,8%). Kelemahan tes ini juga terdapat positif palsu yakni pada
28
pemberian BCG atau terinfeksi denga Mycobacterium lain. Negative palsu lebih
banyak ditemui dari pada positif palsu. 2
Hal-hal yang memberikan reaksi tuberculin berkurang (negatif palsu) yakni: 2
a. Pasien yang baru 2-10 minggu terpajan tuberculosis
b. Anergi, penyakit sistemik berat (Sarkoidosis, LE)
c. Penyakit eksantematous dengan panas yang akut: morbili, cacar air,
poliomyelitis.
d. Reaksi hipersensitivitas menurun pada penyakit limforetikuler (Hodgkin)
e. Pemberian kortikosteroid yang lama, pemberian obat-obat imunosupresi
lainnya.
f. Usia tua, malnutrisi, uremia, penyakit keganasan. 2
2.1.5 Penatalaksanaan
Terdapat 2 macam sifat/aktivitas obat terhadap tuberculosis yakni: 2
1. Aktivitas Bakterisid
Di sini obat bersifat membunuh kuman-kuman yang sedang tumbuh
(metabolismenya masih aktif). Aktivitas bakterisid biasanya diukur dari kecepatan
obat tersebut membunuh atau melenyapkan kuman sehingga pada pembiakan akan
didapatkan hasil yang negatif.
2. Aktivitas sterilisasi
Di sini obat bersifat membunuh kuman-kuman yang pertumbuhannya lambat
(metabolism kurang aktif). Aktivitas sterilisasi diukur dari angka kekambuhan
setelah pengobatan dihentikan.
29
Obat-obatan TB dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis resimen, yaitu obat
lapis pertama dan lapis kedua. Kedua lapisan ini diarahkan ke pencegahan
pertumbuhan basil, pengurangan basil dormant dan pencegahan terjadinya
resistensi. Obat-obatan lapis pertama terdiri dari Isoniazid (INH), Rifampisin,
Pyrazinamide,, Ethambutol, dan Streptomycin. Obat-obat lapis kedua mencakup
Rifabutin, Ethionamide, Cycloserine, Para-Amino Salicylic acid, Clofazimine,
Aminoglycosides di luar Streptomycin, dan Quinolones. 2
Isoniazid (INH) mempunyai kemampuan bakterisidal TB yang terkuat.
Mekanisme kerjanya adalah menghambat cell-wall biosynthesis pathway. INH
dianggap sebagai obat yang aman: Efek samping utamanya antara lain Hepatitis
dan neuropati perifer karena interfensi fungsi biologi vitamin B6 atau piridoksin.2
Rifampisin juga merupakan obat anti TB yang ampuh, dia menghambat
polymerase DNA-dependen ribonucleic acid (RNA) M. tuberculosae. Efek
sampingnya antara lain hepatitis, flu-like syndrome’s dan trombositopeni. 2
Pirinizamide merupakan obat bakterisidal untuk organism intraselular dan
agen antituberkulos ketiga yang cukup ampuh. Pinizamid hanya diberikan untuk 2
bulan pertama pengobatan. Efek samping yang sering ditimbulkan adalah
hepatotoksisitas dan hiperurisemia. 2
Etambutol satu-satunya obat lapis pertama yang mempunyai efek
bakteriostatis, tetapi bila dikombinasikan dengan INH dan Rifampisin terbukti
bisa mencegah terjadinya resisten obat. 2
30
Streptomisin merupakan salah satu obat antituberkulos pertama yang
ditemukan. Streptomisin ini suatu antibiotic golongan aminoglikosida yang harus
diberikan secara parenteral dan bekerja mencegah pertumbuhan organism
ekstraselular. Kekurangan obat ini adalah efek samping toksik pada saraf cranial
kedelapan yang dapat menyebabkan disfungsi vestibular dan/atau hilangnya
pendengaran. 2
Obat yang aman diberikan pada perempuan hamil adalah INH, rifampisin, dan
etambutol. Obat lapisan keda dicadangkan untuk pengobatan kasus-kasus resisten
multi-obat. 2
Pengobatan TB memerlukan waktu sekurang-kurang 6 bulan agar dapat
mencegah perkembangan resistensi obat. Oleh karena itu, WHO telah menerapkan
fungsi strategi DOTS dimana terdapat petugas kesehatan tambahan yang
berfungsi secara ketat mengawasi pasien minum obat untuk memastikan
kepatuhannya. 2
1. Panduan Obat
Untuk mencegah kuman yang resisten, terapi tuberculosis dilakukan dengan
memakai paduan obat, sedikitnya diberikan 2 macam obat yang bersifat
bakterisid. 2
Dengan memakai paduan obat ini, kemungkinan resistensi awal dapat
diabaikan karena: 2
1. Jarang ditemukan resistensi terhadap 2 macam obat atau lebih.
2. Pola resistensi yang terbanyak ditemukan ialah terhadap INH.
31
Tetapi belakangan ini di beberapa negara banyak terdapat resistensi terhadap
lebih dari satu obat (multi drugs resistance) terutama terhadap INH dan
Rifampisin. Jenis obat yang dipakai: 2
1. Obat primer (obat antituberkulosis tingakt satu): ISoniazid, Rifampisin,
Pirazinamide, Streptomisin, Etambutol.
2. Obat sekunder (obat antituberkulosis tingkat dua): Kanamisin, PAS (Para
Amino Salicylic acid), Tiasetazon, Etionamid, Protionamid, Sikloserin,
Viomisin, Kapreomisin, Amikasin, Oflokasisin, Siprofloksasin, Norfloksasin,
Levofkloksasin, Klofazimin.
32
2. Metode DOTS
Tabel Metode DOTS
Kategori Pasien TBResimen Pengobatan*
Fase Awal Fase Lanjutan
1 TBP sputum BTA positif baru. 2 SHRZ (EHRZ) 6 HE
Bentuk TBP berat, 2 SHRZ (EHRZ) 4 HR
TB ekstra-paru (berat), 2 SHRZ (EHRZ) 4 H3R3
TBP BTA-negatif .
2
Relaps 2 SHZE/ 1 HRZE 5 H3R3E3
Kegagalan pengobatan 2 SHZE/ 1 HRZE H HRE
Kembali ke default
6 HE3 TBP sputum BTA-negatif 2 HRZ atau 2 H3R3Z3
TB ekstra-paru 2 HRZ atau 2 H3R3Z3 2 HR/4H
(menengah berat 2 HRZ atau 2 H3R3Z3 2 H3R3/4H
4 Kasus kronis (masih BTA- Tidak dapat diaplikasikan
positif setelah pengobatan (mempertimbangkan menggunakan
ulang yang disupervisi) obat-obatan barisan kedua)
Singkatan: TB= TB; TBP=Tuberkulosis paru; S= Streptomisin; H=Isoniazid; R=Rifampisin;Z= Pirazinamide;
E= Etambutol.
Membaca resimen, misalnya 2 SHRZ (EHRZ) / 4 H3R3 menunjukkan sebuah resimen untuk 2 bulan di antara
obat-obatan etambutol, isoniazid, rifampisin dan pirazinamide yang diberikan setiap hari yang d2kuti dengan
4 bulan isoniazide dan rifampisin yang diberikan tiap hari atau 3 kali seminggu.
Sumber: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 2
a. Kategori 1
33
Pasien tuberculosis paru (TBP) dengan sputum BTA positif dan kasus baru,
TBP lainnya dalam keadaan TB berat, seperti meningitis tuberculosis, miliaris,
perikarditis, peritonitis, pleuritis masif, atau bilateral, spondilitis dengan gangguan
neurologic, sputum BTA negative tetapi kelainan paru luas, tuberculosis usu dan
saluran kemih. Pengobatan fase inisial resimennya terdiri dari 2 HRZS (E), setiap
hari selama 2 bulan obat H, R, Z, dan S atau E. sputum BTA awal yang positif
setelah 2 bulan diharapkan menjadi negative, dan kemudian dilanjutkan ke fase
lanjutan 4HR atau 4H3R3 atau 6HE. Apabila sputum BTA masih tetap positif
setelah 2 bulan, fase intensif diperpanjang dengan 4 minggu lagi, tanpa melihat
apakah sputum sudah negative atau tidak. 2
b. Kategori 2
Pasien kasus kambuh atau gagal dengah sputum BTA positif. Pengobatan
fase inisial terdiri dari 2HRZES/1GRZE, yaitu R dengan H, Z, E setiap hari
selama 3 bulan, ditambah dengan S selama 2 bulan pertama. Apabila sputum BTA
menhadi negative, fase lanjutan bisa segera dimulai. Apabila sputum BTA masih
positif pada minggu ke-12, fase inisial dengan 4 obat dilanjutkan 1 bulan lagi.
Bila akhir bulan ke-4 sputum BTA masih positif, semua obat dihentikan selama 2-
3 hari dan dilakukan kultur sputum untuk uji kepekaan. Obat dilanjutkan memakai
resimen fase lanjutan, yaitu 5H3R3E3 atau 5HRE.2
c. Kategori 3
Pasien TBP dengan sputum BTA negative tetapi kelainan paru tidak luas dan
34
kasus ekstra pulmonal (selain dari kategori I). Pengobatan dengan inisial terdiri
dari 2HRZ atau 2 H3R3E3Z3, yang diteruskan dengan fase lanjutan 2HR atau
H3R3. 2
d. Kategori 4
Tuberculosis kronik. Pada pasien ini mungkin mengalami resistensi ganda,
sputumnya harus dikultur dan uji kepekaan obat. Untuk seumur hidup diberi H
saja (WHO) atau sesuai rekomendasi WHO untuk pengobatan TB resistensi ganda
(multidrugs resistant tuberculosis (MDR-TB). 2
Kortikosteroid diberikan untuk tuberculosis yang mengenai sisem saraf pusar
(meningitis) dan perikarditis namun tidak dianjurkan untuk diberikan sebagai
tambahan terapi pada tuberculosis jenis lainnya. 2
Pengobatan tuberkulosis pada pasien dengan HIV positif pada dasarnya tidak
berbeda dengan pengobatan pada pasien HIV negative. Hal yang perlu
diperhatikan adalah Rifampisin tidak diberikan pada pasien HIV positif yang
menggunakan obat protease inhibitor (kecuali obat ritoavir) atau oobat non
nucleoside reserve transcriptase inhibitor/NNRTI (kecuali obat efavirenz). Untuk
mengatasinya dengan menggunakan rifabutin sebagai pengganti rifampisin.
Rifabutin dapat diberikan bersamaan dengan protease inhibitor (kecuali obat
saquinavir) dan NNRTI (kecuali obat delavirdin) dengan penyesuaian dosis.
Sebaiknya tatalaksana tuberculosis pada pasien HIV dilakukan oleh ahlinya. 10
35
Pengobatan tuberkulosis pada anak-anak tidak mengikutsertakan etambutol
(kecuali terjadi resistensi INH atau anak tersebut menunjukkan gejala tuberkulosis
dewasa seperti infiltrate pada lobus atas dan kavitas). 10
Pemberian obat pada fase lanjutan akan diperpanjang menjadi 7 bulan (total
pengobatan 9 bulan) jika tidak diberikan pirazinamide pada fase inisial. 10
Pengobatan berdasarkan gejala klinis saja mungkin diberikan dan respons
terhadap terapi spesifik dalam 2 minggu dianggap sebagai bukti diagnosis. 10
3. Dosis Obat
Nama ObatDosis Harian Dosis Berkala 3x
SemingguBB < 50 kg BB > 50 kg
Isoniazid 300 mg 400 mg 600 mg
Rifampisin 450 mg 600 mg 600 mg
Pirazinamide 1000 mg 2.000 mg 2-3 g
Streptomisin 750 mg 1000 mg 1000 mg
Etambutol
Etionamide
750 mg 1000 mg 1-1,5 g
500 mg 750 mg
PAS 99 10 g
Sumber: Tjandra YA, Sudijanto, Carmelia B, Asik S. 2007. Pedoman Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis vol.2. Jakarta: Departemen Kesehatan pp.3-28
4. Evaluasi Pengobatan
a. Klinis
Biasanya pasien dikontrol 1 minggu pertama, selanjutnya setiap 2 minggu
selama tahap intensif dan seterusnya sekali sebulan sampai akhir pengobatan.
Secara klinis hendaknya terdapat perbaikan sampai akhir pengobatan. Secara
36
klinis hendaknya terdapat perbaikan keluhan-keluhan pasien seperti batuk-batuk
berkurang, batuk darah hilang, nafsu makan bertambah, berat badan meningkat. 2
b. Bakteriologis
Biasanya setelah 2-3 minggu pengobatan sputum BTA mulai menjadi
negative. Pemeriksaan control sputum BTA dilakukan sekali sebulan. WHO
(1991) menganjurkan control sputum BTA langsung dilakukan pada akhir bulan
ke-2, 4, dan 6. Pada yang memakai paduan obat 8 bulan sputum BTA diperiksa
pada akhir bulan ke-2, 5, dan 8. Biakan BTA dilakukan pada permulaan, akhir
bulan ke-2 dan akhir pengobatannya. Pemeriksaan resistensi dilakukan pada
pasien baru yang BTA-nya masih positif setelah tahap intensif pada awal terapi
bagi pasien yang mendapatkan pengobatan ulang (retreatment). Bila sudah
negative, sputum BTA sebaiknya tetap diperiksa sedikitnya sampai 3 kali berutut-
turut. Sputum BTA sebaiknya tetap diperiksa untuk control pada kasus-kasus
yang dianggap selesai pengobatan/sembuh. Sewaktu-waktu mungkin terjadi silent
bacterial sheeding, yaitu terdapat sputum BTA positif tanpa disertai keluhan-
keluhan tuberculosis yang relevan pada kasus-kasus yang memperoleh
kesembuhan. Bila ini terjadi yakni BTA positif pada 3 kali pemeriksaan biakan (3
bulan), berarti pasien mulai kambuh lagi. 2
c. Radiologis
Evaluasi radiologis juga diperlukan untuk melihat kemajuan terapi. Beberapa
ahli kedokteran menyatakan evaluasis radiologis ini sebenarnya kurang begitu
berperan dalam evaluasi penyakitnya. Bila fasilitas memungkinkan foto control
dapat dibuat pada akhir pengobatan sebagai dokumentasi untuk perbandingan bila
37
nanti timbul kasus kambuh. Jika keluhan pasien tetap tidak berkurang (misalnya
tetap batuk-batuk), dengan pemeriksaan radiologis daoat dilihat keadaan
tuberculosis parunya atau adakah penyakit lain yang menyertainya. Karena
perubahan gambaran radiologis tidak secepat perubahan bakteriologis, evaluasi
foto dada dilakuakan setiap 3 bulan sekali. Bila secara bakteriologis ada perbaikan
tetapi klinis dan radiologis tidak, harus dicurigai penyakit lain di samping
tuberculosis paru. Bila secara klinis, bakteriologis tetap tidak ada perbaikan
padahal pasien sudah diobati dengan dosis yang adekuat serta teratur, perlu
dipikirkan adanya gangguan imunologis pada pasien tersebut, antara lain AIDS. 2
e. Kegagalan Pengobatan
Sebab dari kegagalan pengobatan: 2
1. Obat :
a. Paduan obat tidak adekuat
b. Dosis tidak cukup.
c. Minum obat tidak teratur/tidak sesuai dengan petunjuk
d. Jangka pengobatan kurang lama dari semestinya
e. Terjadi resistensi obat
2. Drop Out:
a. Kekurangan biaya pengobatan
b. Merasa sudah sembuh
c. Malas berobat/kurang motivasi
3. Penyakit:
a. Lesi paru yang sakit terlalu luas/sakit berat
38
b. Penyakit lain yang menyertai tuberculosis, seperti diabetes mellitus,
alkolisrae.
c. Adanya gangguan imunologis
f. Pasien Kambuh
Pasien kambuh adalah pasien yang telah menjalani pengobatan secara teratur
dan adekuat sesuai dengan rencana, tetapi dalam control ulangan ternyata sputum
BTA kembali positif baik secara mikroskopik langsung ataupun secara biakan. 2
Umumnya kekambuhan terjadi pada tahun pertama setelah pengobatan
selesai, dan sebagian besar kumannya masih sensitif terhadap obat-obatan yang
dipergunakan semuala. Penanggulan tehadap pasien kambuh ini adalah: 2
1. Berikan pengobatan yang sama dengan pengobatan pertama.
2. Lakukan pemeriksaan bakteriologis optimal yakni pemeriksaan sputum BTA
mikroskopis langsung 3 kali, biakan, dan resistensi.
3. Evaluasi secara radiologis luasnya kelainan paru
4. Identifikasi adakah penyakit lain yang memberatkan tuberculosis seperti
diabetes mellitus, alkoholisme, atau pemberian kortikosteroid yang lama.
5. Sesuaikan obat-obatan dengan hasil tes kepekaan/resistensi
6. Nilai kembali obat-obat dengan hasil pengobatan secara klinis, radiologis,
dan bakteriologis tiap-tiap bulan.
39
2. 2 Kerangka Teori
Penyakit tuberkulosis paru (TB Paru) merupakan masalah kesehatan
masyarakat yang penting di dunia. Pada tahun 1992 World Health Organization
(WHO) telah mencanangkan TB Paru sebagai Global Emergency. Laporan WHO
tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru TB paru pada tahun
2002, dimana 3,9 juta adalah kasus basil tahan asam (BTA) positif. 11
Indonesia menempati urutan ke 3 di dunia untuk jumlah kasus TB paru
setelah India dan China. Di Indonesia TB adalah pembunuh nomor satu diantara
penyakit menular dan merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit
jantung dan penyakit pernapasan aku pada seluruh kalangan usia. 11
Menurut Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2004, prevalensi
TB nasional berdasarkan hasil pemeriksaan BTA positif adalah 148,5 per 100.000
penduduk dan berdasarkan pemeriksaan BTA adalah 175 per 100.000 penduduk,
sedangkan berdasarkan biakan Micobacterium Tuberculosis 185,7 per 100.000
penduduk. 12
Diagnosa TB ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan bakteriologi,
radiologi, dan pemeriksaan penunjang lainnya. Pemeriksaan kultur atau biakan
dahak merupakan metode baku emas (gold standart). Namun, pemeriksaan kultur
memerlukan waktu lebih lama dan mahal. Pemeriksaan 3 spesimen (SPS) dahak
secara mikroskopis nilainya identik dengan pemeriksaan dahak secara kultur atau
biakan. Dan secara mikroskopis hasil pemeriksaan dinyakatan positif apabila
40
Sputum
TB Paru
sedikitnya dua dari tiga spesimen Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS) BTA hasilnya
positif.13
Interpretasi pemeriksaan mikroskopis dapat dibaca dengan menggunakan
spkala International Union Againts Tuberculosis and Lungs Desease (IUATLD)
atau dengan skala Brnkhorst (BR) (PDPI,2002). Pembacaan hasil dilakukan
dengan sediaan yang telah diwarnai, dapat dengan metode Tan Thiam Hok, Ziehl
Neelsen, dan Fluorokorm. 14
Pemeriksaan foto thorax merupakan cara yang paling praktis untuk
menemukan lesi tuberculosis. Luasnya proses yang tampak pada foto toraks
dinyatakan sebagai minimal, moderate advanced, dan far advanced. 15
Maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana hubungan tingkat
kepositifan BTA dengan gambaran luas lesi radiologi toraks pada penderita TB
Paru yang diperiksa di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat, Makassar.
2. 3 Kerangka Konsep
Berdasarkan landasan teori di atas, kerangka konsep penelitian adalah
sebagai berikut :
Keterangan:
41
Radiologi
= Variabel Dependen = Variabel Independen
2. 4 Definisi Operasional dan Kriteria Objektif
1. Penderita Tuberkulosis Paru
Yang dimaksud dengan penderita TB Paru adalah penderita yang dirawat di
rumah sakit ataupun dirawat jalan dan didiagnosis TB paru oleh dokter
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang yaitu,
pemeriksaan BTA sputum dan foto radiologi di Balai Besar Kesehatan Paru
Masyarakat Makassar selama periode tahun 2011.
Pembagian secara patologis
a. Tuberkulosis primer (Childhood Tuberculosis)
Merupakan infeksi yang disebabkan oleh infeksi M. tuberculosis pada pasien
nonsensitif yaitu mereka yang sebelumnya belum pernah terinfeksi.
b. Tuberkulosis post primer (Adult Tuberculosis)
Bakteri yang dormant pada tuberculosis primer akan muncul bertahun-tahun
kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberculosis dewasa (tuberculosis
post primer = Tuberkulosis pasca primer = Tuberkulosis sekunder
2. Pemeriksaan Sputum
Pemekriksaan sputum adalah merupakan pemeriksaan penunjang pada
diagnose TB paru dengan ditemukanya kuman BTA. Kriteria sputum BTA
positif adalah bila ditemukanya sekurang-kurangya 3 batang kuman BTA pada
42
satu sediaan dan sedikitnya dua dari tiga kali pemekrisaan specimen BTA hasilnya
nyatakan positif .
Cara pengambilan dahak 3 kali (SPS):
a. Sewaktu / spot (dahak sewaktu saat kunjungan
b. Pagi ( keesokan harinya )
c. Sewaktu / spot (saat mengantarkan dahak pagi)
Interpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan ialah bila: 16
a. 3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negatif : BTA Positif
b. 1 kali positif, 2 kali negatif ulang BTA 3 kali kecuali bila ada fasilitas foto
toraks
c. Bila 1 kali positif , 2 kali negatif : BTA positif
d. Bila 3 kali negatif : BTA negatif
3. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi merupakan salah satu pemeriksaan penunjang pada
diagnosa TB paru dengan melihat gambaran spesifik pada paru penderita seperti
infiltrasi lesi awal pada area paru atas, simpanan kalsium lesi sembuh primer atau
efusi cairan.
Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif: 16
a. Bayangan berawan / nodular di segmen apical dan posterior lobus dan
segmen superior lobus bawah.
b. Kaviti terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau
nodular.
c. Bayangan bercak milier
43
d. Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang).
Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat
dinyatakan sebagai berikut: 16
a. Lesi minimal (minimal lesion), bila proses tuberculosis paru mengenai
sebagian kecil dari satu atau dua paru dengan luas tidak lebih dari volume
paru yang teletak di atas conrosternal junction dari iga ke 2 dan prosesus
spinosus dari vertebra torakalasi IV atau korpus vertebra torakalis V dan
tidak dijumpai kavitas.
b. Lesi sedang (moderately advanced lesion), bila proses penyakit lebih luas
dari lesi minimal dan dapat menyebar dengan densitas sedang, tetapi luas
proses tidak boleh lebih luas dari satu paru atau jumlah dari seluruh proses
yang paling banyak seluas satu paru, atau bila proses tuberculosis tadi
mempunyai densitas lebih padat, maka proses tersebut tidak boleh lebih dari
sepertiga dari satu paru dan proses ini dapat/ tidak disertai kavitas. Bila
disertai kavitas maka luas (diameter) semua kavitas tidak boleh lebih dari 4
cm.
c. Lesi luas (far advanced), kelainan lebih luas dari lesi sedang.
2.6 Hipotesa
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka hipotesis dalam penelitian ini
sebagai berikut:
1. H0
44
Tidak ada hubungan antara hasil pemeriksaan sputum BTA dengan
pemeriksaan radiologi pada pasien yang terdiagnosis TB Paru.
2. Ha
Ada hubungan antara pemeriksaan sputum BTA dengan pemeriksaan
radiologi pada pasien yang terdiagnosis TB Paru.
BAB III
METODE PENELITIAN
3. 1 Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitik dengan pendekatan cross
sectional untuk mengetahui bagaimana hubungan antara pemeriksaan sputum
BTA dan pemeriksaan foto radiologi toraks pada pasien yang terdiagnosis TB
Paru.
3. 2 Waktu dan Tempat Penelitian
Waktu penelitian adalah selama maksimal 3 bulan terhitung mulai bulan
February – Mei 2012.
3. 3 Populasi Dan Sampel
3.3.1 Populasi
45
Populasi adalah semua penderita baru TB paru yang berobat Rumah Sakit
Paru Makassar Tahun 2011 yang tercatat di rekam medic di Balai Besar
Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM), Makassar.
3.3.2 Sampel
Sampel merupakan bagian dari populasi yang ingin diteliti. Jenis dan sumber data
yang akan dikumpulkan adalah data sekunder yang ada di Balai Besar Kesehatan
Paru Masyarakat, Makassar, yang diambil secara simple random sampling.
1. Tekhnik Pengambilan Sampel
Estimasi besar sampel ditentukan dengan rumus sampel sebagai berikut:
n = N
1 + n x ( D2 )
Dimana n = Besar sampel
N = Besar populasi
D = Tingkat kepercayaan/ketepatan
n = N
1 + n x ( D2 )
= 8585
1 + 8585 x (0,1)2
= 8585
1 + 85,85
= 8585
86,85
46
= 98,8 = 99 orang
2. Kriteria Seleksi
a. Kriteria Inklusi
- Pasien yang memiliki data rekam medik dari dua pemeriksaan penunjang
TB paru, yaitu pemeriksaan Sputum BTA dan pemeriksaan Radiologi.
- Penderita TB paru BTA positif, yaitu sekurang-kurangnya 2 dari 3
spesimen dahak Sewaktu Pagi Sewaktu (SPS) hasilnya BTA positif.
- Pasien TB paru BTA negatif
- Foto rontgen dada menunjukkan gambaran tuberculosis aktif.
- Foto rontgen dada negatif.
b. Kriteria Ekslusi
- Pasien yang hanya memiliki salah satu data hasil pemeriksaan, baik
hanya radiologi saja atapun hanya sputum BTA saja.
- Pasien yang memiliki rekam medik dengan hasil pemeriksaan sputum
BTA negatif dan foto rontgen radiologi toraks negatif TB paru.
3. 4 Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan data sekunder pasien untuk dicatat hasil
pemeriksaan BTA yang telah dilakukan dan foto toraks untuk dibaca oleh
spesialis radiologi dan kemudian dicatat derajat luas lesinya.
3. 5 Pengolahan dan Penyajian Data
a. Pengolahan Data
47
Analisa data yang digunakan yaitu analisa data secara univariat untuk
mentukan persetase dari masing-masing sub variable dan analisa data bivariat
untuk mengetahui ada tidaknya hubungan tingkat kepositifan BTA dengan
gambaran luas lesi radiologi toraks pada penderita TB paru.
b. Penyajian Data
Data yang telah diolah dan dianalisis disajikan dalam bentuk tabel
distribusi frekuensi disertai dengan penjelasan.
3. 6 Analisis Data
Data dianalisis dengan menggunakan uji statistic Chi-square test (x2)
menggunakan program Statistical Packages for the Social Science (SPSS) versi
18.
48
BAB IV
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4. 1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
1. Keadaan umum
Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Makassar dulunya bernama Balai
Pengobatan Punyakit Paru-paru (BP4) berlokasi di Jl. Andi Pangeran Pettarani
No.43.
2. Visi
Menjadikan Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Makassar sebagai Pusat
Kesehatan Paru terbaik di Kawasan Timur Indonesia.
3. Misi
a. Mendorong menjadi pusat rujukan wilayah Indonesia Timur dan
meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap keberadaan institusi.
49
b. Menciptakan situasi yang kondusif bagi terlaksananya kegiatan
pelayanan dan sebagai sarana pendidikan yang bermutu, merata kepada
semua stakeholder.
c. Meningkatkan kemampuan profesional SDM guna meningatkan mutu
pelayanan.
d. Mengembangkan pemanfaatan ilmu pengetahuan melalui riset dan
kerjasama perguruan tinggi dan institusi pendidikan kesehatan.
e. Menggalang kemitraan dengan pihak swasta, organisasi profesional,
ORNOP, dan organisasi kemasyarakatan yang lain.
4. Struktur Kepengurusan BBPKM Makassar
BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5. 1 Hasil Penelitian
Penelitian yang dilakukan adalah penelitian tentang Hubungan Pemeriksaan
Sputum BTA dengan Foto Toraks Pada Penderita TB Paru di Balai Besar
Kesehatan Paru Masyarakat, Makassar. Sampel dalam penelitian berjumlah 99
orang yang seluruhnya memenuhi criteria sampel dan telah didiagnosis TB paru.
Hasil yang didapat dari 99 sampel yang telah melakukan pemeriksaan dahak
Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS) seperti terlihat pada tabel 5.1.
50
Kepala BBPKM Makassar
dr. Sriwati Palaguna Sp.A, MARS
Tabel 5.1
Karakteristik Hasil Pemeriksaan Sputum BTA
BTA Frekuensi Persentase
Negatif 69 69.69
Positif 30 29.7
Total 99 100.0
Sumber: Data Sekunder Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat, Makassar 2011
Tabel 5.1 menunjukkan dari 99 sampel yang terdiagnosa TB paru didapatkan
69 (69.69%) sampel dengan hasil negatif berdasarkan pemeriksaan sputum BTA,
dan 30 (29.7%) positif berdasarkan pemeriksaan sputum BTA.
Tabel 5.2
Karakteristik Kepositifan Hasil Pemeriksaan Sputum BTA Pada Penderita TB
Paru
BTA Frekuensi Persentase Persentase Kumulatif
BTA + 1 23 82.14 23.2
BTA + 2 7 25 30.3
BTA + 3 0 0 0
Negatif 69 69.7 100.0
Total 99 100.0
Sumber: Data Sekunder Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat, Makassar 2011
51
Tabel 5.2 menunjukkan 23 sampel (82.14%) dengan BTA positif 1, 7 sampel
(25%) memiliki hasil positif 2, tidak ada sampel dengan hasil BTA positif 3, dan
69 sampel (69.7%) hasilnya negatif.
Tabel 5.3
Karakteristik Pembacaan Luas Lesi Hasil Pemeriksaan Radiologi Toraks Positif
TB Paru
Frekuensi Persentase Persentase Kumulatif
Minimal Lesi 19 20.65 37.4
Moderately Advanced 36 39.1 73.7
Far Advanced 37 40.21 92.9
Negatif 7 7.1 100.0
Total 99 100.0
Sumber: Data Sekunder Pasien Tuberkulosis Paru, Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat.
Makassar 2011
Tabel 5.3 menunjukkan bahwa dari 99 sampel yang diteliti, 92 sampel
(92.9%) dengan hasil pemeriksaan radiologi toraks positif, dan 7 sampel (7.1%)
dengan hasil pemeriksaan radiologi toraks negatif TB paru.
Dari 92 sampel yang memiliki hasil pemeriksaan radiologi toraks positif
dijumpai kelaianan luas lesi moderately advanced 36 (39.1%) sampel, sedangkan
untuk minimal lesi 19 (20.65%) sampel, dan far advanced 37 (40.21%) sampel.
Tabel 5.4
Hubungan Pemeriksaan Sputum BTA dengan Radiologi
BTA Total
52
BTA +1 BTA +2 Negatif
Radiologi Far advanced Count 10 1 23 34
Expected Count 7.9 2.4 23.7 34.0
Moderate advanced Count 6 3 39 48
Expected Count 11.2 3.4 33.5 48.0
Minimal lession Count 3 0 7 10
Expected Count 2.3 .7 7.0 10.0
Negatif Count 4 3 0 7
Expected Count 1.6 .5 4.9 7.0
Total Count 23 7 69 99
Expected Count 23.0 7.0 69.0 99.0
Sumber: Data Sekunder Pasien Tuberkulosis Paru, Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat.
Makassar 2011
Tabel 5.4 menunjukkan dari analisis data terhadap 99 sampel penderita TB
paru, didapatkan hasil 69 sampel dengan BTA negatif dengan kelainan radiologi
minimal lesi sebanyak 7 sampel, moderately advanced 39 sampel, dan far
advanced sebanyak 23 sampel.
Pada BTA +2 dengan 7 sampel didapatkan radiologi negatif 3 (21.73%)
sampel, minimal lesi 0 sampel, moderately advanced 3 (3.4%) sampel, dan far
advanced 1 (2.4%) sampel.
Pada BTA +1 dengan 23 sampel didapatkan negatif pada foto radiologi toraks
4 (1.6%) sampel, minimal lesion 3 sampel (2.3%), moderately advanced 6
(11.2%), far advanced 10 (7.9%) sampel.
Berdasarkan data uji statisktik analisis chi-square dengan alternative uji
Kolmogorov-Smirnov didapatkan nilai Significancy 0.750, artinya p > 0.05
artinya hipotesis null diterima yang berarti tidak terdapat hubungan bermakna
53
antara hasil pemeriksaan sputum BTA dengan pemeriksaan radiologi toraks pada
penderita TB paru di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat, Makassar.
Tabel 5.5
Uji Chi-Square Untuk Hipotesis Komparatif
Value dfAsymp. Sig.
(2-sided)
Pearson Chi-Square 26.671a 6 .000
Likelihood Ratio 24.981 6 .000
Linear-by-Linear Association 3.816 1 .051
N of Valid Cases 99
a. 7 cells (58,3%) have expected count less than 5. The minimum expected count is ,49 .
Tabel 2x3 ini tidak layak untuk diuji dengan uji Chi-Square karena terdapat 7
sel (58,3%) yang nilai expected-nya kurang dari lima (Tabel 4). Karena tidak
memenuhi syarat uji Chi-Square, maka uji yang dipakai adalah uji alternatifnya,
yaitu uji Kolmogorov-Smirnov.
Tabel 5.6
Uji Kolmogorov-Smirnov
Radiologi
Most Extreme Differences Absolute .292
Positive .292
Negative .000
Kolmogorov-Smirnov Z .676
Asymp. Sig. (2-tailed) .750
a. Grouping Variable: BTA
54
Tabel 5.6 di atas menunjukkan hasil uji Kolmogrov-Smirnov, dimana nilai
Significancy menunjukkan 0.750. Oleh karena p > 0.05, maka dapat diambil
kesimpulan bahwa “tidak ada hubungan antara hasil pemeriksaan radiologi
dengan hasil pemeriksaan BTA sputum pada pasien tuberculosis”.
5. 2 Pembahasan
5.2.1 Karakteristik Hasil Pemeriksaan Sputum BTA Dan Karakteristik
Kepositifan Hasil Pemeriksaan Sputum BTA Pada Penderita TB Paru
Diagnosa TB ditegakkan dengan ditemukannya BTA pada pemeriksaan
dahak, dengan perwarna Ziehl Neelsen BTA dapat dilihat di bawah mikroskop
sebagai kuman berwarna merah dengan latar belakang biru, berbentuk batang
ramping, dapat terlihat bersendiri, berbentuk V atau berkelompok. 17
Untuk pemeriksaan sputum BTA di bawah mikroskop dibutuhkan kuman
Micobacterium Tuberculosis jumlahnya paling sedikit 5.000 kuman dalam satu
milliliter dahak. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologi ini dapat berasal dari
dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung,
kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage / BAL), urin, feces, dan jaringan
biopsy (termasuk biopsy jarum halus/BJH). 18
Tabel 5.2 menunjukkan 82.14% dengan BTA positif 1, 25% memiliki hasil
positif 2, tidak ada sampel dengan hasil BTA positif 3, dan 69 sampel 69.7%
hasilnya negatif.
Untuk mendapatkan sputum yang baik dalam pemeriksaan terdapat metode
khusus untuk mengeluarkan secret yaitu salah satunya dengan cara batuk efektif.
55
Tekhnik batuk efektif merupakan tindakan yang dilakukan untuk memberisihkan
sekresi dari saluran nafas. Tujuan dari batuk efektif adalah untuk meningkatkan
ekpansi paru, mobilisasi sekresi dan mencegah efek samping dari retensi sekresi
seperti pneumonia, atelektasis dan demam.18
5.2.2 Karakteristik Pembacaan Luas Lesi Pemeriksaan Radiologi Toraks
Positif TB Paru
Hasil pemeriksaan radiologi yang telah dilakukan pada 99 sampel dengan
diagnose TB paru yaitu 92.92% dengan hasil positif dan 7.07% dengan hasil
negatif.
Hasil baca foto toraks pada pemeriksaan radiologi yang telah dilakukan pada
92 sampel yang positif TB paru secara radiologis yaitu lesi moderately advanced
(39.1%), far advanced (40.21%), dan untuk minimal lesi (20.65%).
Tanda radiologis khusus dan spesifik TB paru post primer adalah gambaran
adanya kavitas yang ditemukan pada 20-45% pasien. Kavitas ini menandakan
adanya proses aktif infeksi TB paru yang nantinya akan sembuh membentuk lesi
fibrotik. 19
Menurut data dari evidence based guide book, hanya 5% pasien TB paru
reaktif yang mempunyai foto toraks normal, sisanya abnormal. Sensitivitas dan
spesifisitas foto toraks dalam mendiagnosis TB yaitu 85% dan 83% apabila
ditemukan lesi apical, kavitas dan gambaran retikulonodular. 19
5.2.3 Hubungan Pemeriksaan Sputum BTA Dengan Pemeriksaan Radiologi
Toraks Pada Pasien Tuberkulosis Paru
56
Dalam penelitian ini memperlihatkan TB paru dengan hasil sputum negatif
juga didapatkan lesi luas secara radiologis. Pada lesi radiologi yang telah
mencapai stadium Far advanced didapatkan 23 pasien dengan hasil pemeriksaan
sputum BTA negatif, pada Moderately advanced didapatkan 39 pasien dengan
hasil pemeriksaan sputum BTA negatif.
Secara teori apabila dijumpai lesi luas secara radiologis seharusnya sputum
BTA positif dan berpotensi menular. 20
Penemuan BTA dalam sputum mempunyai arti yang sangat penting dalam
menegakkan diagnosis TB paru. Namun tidak mudah untuk menemukan BTA
tersebut. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi hasil dari pemeriksaan
mikroskopis BTA, diantaranya adalah terlalu sedikit kuman, akibat dari
pengambilan sputum yang tidak adekuat, cara dan metode pemeriksaan yang tidak
adekuat, dan pengaruh pengobatan dengan pemberian obat anti tuberkulosis
(OAT). 20
Pada penelitian mengenai Efektifitas Batuk Efektif Dalam Pengeluaran
Sputum Untuk Penemuan BTA Pada Pasien TB Paru Di Ruang Rawat Inap RS.
Mardi Rahayu Kudus oleh Chrisanthus Wahyu Pranowo dikemukakan volume
sputum dari 30 responden, sebanyak 20 responden (66.66%) tidak dapat
mengeluarkan sputum dan hanya mengeluarkan ludah. 21
Dalam penelitian Pranowo (2006) menyatakan bahwa penting untuk
mendapatkan sputum yang benar, untuk itu diperlukan upaya untuk mendapatkan
sputum dengan ara melakukan batuk efektif. Tujuan batuk efektif adalah untuk
57
meningkatkan ekspansi paru, mobilisasi sekresi seperti pneumonia, atelektasis
paru, dan demam. Dengan batuk efektif penderita TB paru tidak harus
mengeluarkan banyak tenaga untuk mengeluarkan secret. Hasil dari penelitian
tersebut menunjukkan adanya efektivitas batuk efektif dalam pengeluaran sputum
untuk penemuan BTA untuk mendapatkan sputum yang benar pada penderita TB
paru. 20
Kuman BTA yang didapat dari pemeriksaan sputum, kemungkinan besar
dengan gambaran radiologi lesi paru terbuka. Namun, kelainan radiologi yang
ditemukan pada tuberculosis mirip dengan yang disebabkan oleh penyakit lain,
misalnya yang disebabkan oleh jamur, karsinoma bronkogenik primer, yang
memiliki predileksi khusus bagian lobus atas.21
Pada penelitian ini juga pada penelitian ini didapatkan 4 pasien dengan hasil
sputum BTA +1 dan 3 pasien dengan sputum BTA +2 yang mana semuanya
memiliki hasil pemeriksaan radiologi negatif (dengan diagnosis pneumonia dan
bronchopneumonia).
Pola radiologis pneumonia berupa gambaran air bronkhogram misalnya oleh
Streptococcus pneumonia. Bentuk lesi berupa kavitasi dengan air-fluid level
sugestif untuk abses paru, infeksi anaerob, gram negatif atau amiloidosis.
Pembentukan kista terdapat pada pneumonia nekrotikans / supurativa, abses, dan
fibrosis akibat terjadinya nekrosis jaringan paru oleh kuman S. aureus, K.
pneumonia, dan kuman-kuman anaerob (Streptococcus anaerob, Bacteriodes,
Fusobacterium). 2
58
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6. 1 Kesimpulan
Dari hasil pembahasan yang telah diuraikan dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1. Frekuensi hasil pemeriksaan sputum BTA di Balai Besar Kesehatan Paru
Masyarakat Makassar Tahun 2011 mayoritas dengan hasil negatif.
2. Karakteristik kepositifan hasil pemeriksaan sputum BTA di Balai Besar
Kesehatan Paru Masyarakat Tahun 2011 adalah dengan hasil BTA +1.
3. Frekuensi dari hasil pemeriksaan radiologi toraks di Balai Besar Kesehatan
Paru Masyarakat Tahun 2011 mayoritas dengan radiologi positif.
59
4. Karakteristik pembacaan luas lesi dari hasil pemeriksaan radiologi toraks
positif TB di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat tahun 2011 adalah
dalam kategori Far Advanced.
5. Hasil penelitian tentang Hubungan pemeriksaan sputum BTA dengan
radiologi toraks di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Makassar Tahun
2011 adalah tidak berhubungan.
6. 2 Saran
1. Masyarakat memiliki pemahaman yang cukup tentang faktor-faktor resiko
dari tuberkulosis paru dalam kehidupan sehari-hari.
2. Untuk mempercepat pengobatan, menghindari berlanjutnya penyakit ke
stadium yang lebih lanjut, serta menghindari komplikasi, masyarakat harus
lebih cepat dan sigap melakukan pemeriksaan tuberkulosis paru jika
menyadari adanya gejala klinis yang berhubungan dengan tuberkulosis paru.
3. Masyarakat lebih mengetahui bagaimana tata cara pengambilan sputum yang
adekuat, demi menghindari hasil pemeriksaan sputum BTA negatif palsu.
60