42 e-ISSN: 2656-9442
p-ISSN: 2550-0627
NIKAH SIRRI DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Asripa1 , Yulistian Hartini2, Ike Septiyanti3 Nurul Widiya Agustin4
Nikmatul Musayadah5 ,Aynaul Karomah6
Email : [email protected]
Sekolah Tinggi Agama Islam Muhammadiyah
Abstrak
Penulisan “Nikah Sirri dalam Perspektif Islam (Telaah Terhadap Kompilasi
Hukum Islam)”, untuk mengungkap berbagai masalah diantaramya: (1) Apa
pengertiam dari nikah dan nikah sirri (2) Faktor-faktor penyebab terjadinya
nikah sirri, (3) Proses pelaksanaan nikah sirri (4) Bagaimana nikah sirri dalam
perspektif Islam dan (5) Akibat-akibat yang timbul dari pernikahan sirri serta
dampaknya pada pelaku nikah sirri dan keluarganya.
Kata Kunci : Nikah, Sirri, Islam
Abstract
Writing "Sirri Marriage in Islamic Perspective (Study of Compilation of
Islamic Law)", to uncover various problems such as: (1) What is the
understanding of sirri marriage and marriage (2) Factors causing the
occurrence of Sirri marriage, (3) The process of implementing Sirri marriage
(4) How to Sirri marriage in an Islamic perspective and (5) The consequences
arising from Sirri marriage and its impact on Sirri marriages and their
families.
Keywords: Marriage, Sirri, Islam
PENDAHULUAN
Dalam sejarah sering disebutkan masalah-masalah krusial yang
berkaitan dengan ke hidupan manusia dan hubungannya dengan seksual.
Bukan hanya manusia saja bahkan seekor binatang mempunyai naluri dalam
hal seksual. Oleh sebab itu Allah manciptakan makhluknya dengan berpasang-
pasangan. Itulah yang disebut naluri makhluk, Setiap mahluk memiliki
pasangan dan selalu berusaha untuk mendapatkan pasangannya. Tiada naluri
yang lebih dalam dan kuat dorongannya melebihi naluri dorongan pertemuan
dari dua lawan jenis seperti laki-laki dan perempuan, jantan dan betina, positif
dan negatif. Seperti itu Tuhan mengatur semua agar mahlukNya dapat hidup
berpasangan.(Muhsin, 2018).
JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 01 , Maret 2020
e-ISSN: 2656-9442
p-ISSN: 2550-0627
43
Sebagai sepasang manusia yang ingin hidup harmonis maka kedua
belah pihak harus bisa bekerja sama dan salah satu bentuk perwujudan kerja
sama tersebut adalah pernikahan. Sebelum adanya pernikahan seperti yang kita
kenal saat ini sebagai bentuk perwujudan kerjasama dari pengaturan antara
seorang pria dan wanita dalam menyalurkan naluri seksualnya dapat kita
pelajari tentang adat istiadat sebelum datangnya ajaran islam. (Muhsin, 2018)
Perkawinan atau pernikahan adalah suatu ikatan lahir dan batin yang
terinstitusi dalam sebuah lembaga yang kokoh dan diakui secara agam dan
hukum (Edi Gunawan, 2013). Dalam Al-Qur’an secara normatif manusia
selalu dianjurkan untuk hidup berpasangan dengan tujuan terwujudnya
keluarga bahagia, sejahtera dan tentram (sakinah mawaddah warahmah).
Alqur’an juga menjelaskan bahwa perkawinan adalah suatu perjanjian yang
kuat. Allah berfirman dalam surah Annisa’ ayat 21 :
Artinya: “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali. Padaha sebagian
kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami isteri. Dan
mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.”
(QS. An- Nisa’ : 21)
(Undang-undang perkawinan, 2004) Perkawinan juga merupakan
sebuah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan wanita sebagai suami
isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.
Dalam Pernikahan manusia memperoleh keseimbangan hidup secara
biologis, psikologis serta secara sosial. Karenanya, pernikahan menjadi sangat
penting bagi umat manusia selain itu, dalam pernikahan juga terdapat keadilan
dan kesetaraan gender yang berdasarkan pada prinsip-prinsip yang
memberikan posisi pada laki-laki dan perempuan adalah sama sebagai hamba
Tuhan. Sebagaimana Firman Allah dalam surat an-Nahl(16): 97, al-A‟raf; (7):
172, dan surat al-A‟raf; (7): 22. (Asnawi, 2016)
Pernikahan dalam Islam termasuk dalam kategori ibadah. Pernikahan
juga sunnatullah atas seluruh ciptaan-Nya, tidak terkecuali manusia, hewan
dan tumbuh-tumbuhan (Habib Ismail and Nur Alfi Khotamin, 2017).
Aspek yang paling banyak diterapkan oleh kaum muslimin di seluruh
dunia adalah hukum perkawinan ,jika dibandingkan dengan hukum-hukum
muamalah yang lain (Anderson, 1994). Perkawinan merupakan ikatan yang
kokoh (mistaqon gholidan) dan akan syah kila telah memenuhi rukun dan
syarat pernikahan. Para ulama menyimpulkan berdasarkan al-quran dan hadist
yang masuk dalam rukun nikah antara lain yaitu kedua calon mempelai ,wali
nikah, 2 orang saksi ,ijab qobul sedangkan menurut pendapat syafi’i hanafi dan
hambali adanya saksi merupakan suatu kewajiban(Yunus, 1996).
44 e-ISSN: 2656-9442
p-ISSN: 2550-0627
Tidak adanya hubungan nasab antara suami dan istri ,tidak adanya
batasan sighot dan ijab qobul,tidak ada paksaan antara keduanya, adanya 2
orang yang bersaksi ,jelasnya keberadaan calon suami dan istri tidak sedang
menjalakan ihram, adanya mas kawin(mahar) ,sepakat dari kedua belah pihak
untuk tidak menyembunyikan akan nikah dan diantara kedua mempelai tidak
sedang menderita penyakit kronis serta adanya seoran wali merupakan syarat
sahnya menurut wahbah zuaili (Zuaili, 1989).
Berdasarkan penjelasan diatas tentang rukun dan syarat nikah maka
tidak ada penyebutan tentang pencatatan sebuah pernikahan . Adanya saksi
dianggap telah kuat untuk keabsahan sebuah perkawinan(Edi Gunawan, 2013).
Sebagai langkah awal untuk mendapatkan jaminan hukum dalam suatu
perkawinan maka dilakukan proses pencatatn pada inststansi terkait . Hal ini
tidak berlaku bagi seluruh umat yang menganut agama islam saja namun
berlaku bagi semua umat yang menganut agama Kristen, katolik , hindu, dan
budha. Dalam UU No.22 tahun 1946 jo,UU N0.32 1954 dijelaskan tentang
pencatatan nikah, talak, rujuk (penjelasan Pasal 1) .Selain itu juga dijelaskan
dalam Dalam UU No 1 tahaun 1974 dan tentang pernikahan yang terdapat di
pasal 2 ayat 2 serta diperkuat inpres RI No. 1 tahun 1991 yang berisi kompilasi
hukum di pasal 5 dan 6 (Edi Gunawan, 2013).
Pencatatan perkawinan mempunyai tujuan untuk mewujudkan
kemaslahatan bagi semua pihak yang terlinat dalam sebuah perkawinan
termasuk didalamnya anak –anak dan keluarga .Selain itu untuk menghindari
kemungkinan terburuk (Mafsadat) yaitu terhindar dari fitnah. Maslahat dan
mafsadat pencatatan perkawinan bersifat pribadi dan relatif bergantung pada
situasi dan kondisi yang bersangkutan. Dalam kaidah ushul fiqih dijelaskan
bahwa menghindari kemungkinan terburuk yang dapat menyebabkan
kerusakan harus didahulukan daripada menarik maslahat (Dar’ul Mafasid
Muqoddamun Ala Jalbil Masholih )Jadi untuk tidak mencatatkan suatu
perkawinan maka seseorang harus berfikir secara jernih untuk
mempertanggung jawabkannya untuk alasan tersebut diatas (Khoiriyah, 2017).
Maka menurut penulis para calon mempelai melakukan pencatatan
perkawinan walaupun tidak berpengaruh terhadap sahnya suatu perkawinan.
Pernikahan yang dilakukan menurut syariat islam dan tanpa dilakukan
pencacatan ke KUA maka pernikahan tersebut dikategorikan sebagai
pernikahan sirri . Secara agama permnikahan tersebut sah , namus secara
hukum Indonesia pernikahan tersebut belum sah karena belum dicatat di KUA
dan status hukum anak-anak yang dilahirkan hasil dari pernikahan sirri sama
dengan statusnya dengan anak yang dilahirkan di luar nikah yang hanya
memiliki hubungan hukum dengan pihak ibu. Hal ini tertuang dalam UU
perkawinan pasal 43 Ayat 1 disebutkan, “Anak yang dilahirkan di luar
JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 01 , Maret 2020
e-ISSN: 2656-9442
p-ISSN: 2550-0627
45
perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga
ibunya”(Undang-undang perkawinan, 2004). Otomatis secara hukum Negara
anak yang dilahirkan dari pernikahan sirri tidak mempunyai tidak mempunyai
hukum dengan ayahnya.
Polemik yang berkembang saat ini diakalangan masyarakat tentang
nikah sirri adalah ada sebagian masyarakat yang pro dan juga tidak sedikit
yang kontra terhadap praktek nikah sirri tersebut . Masyarakat yang kontra
menganggap nikah sirri banyak merugikan perempuan dan anak-anak yang
dilahirkan (Hadi, 2018).
Kemudian muncul beberapa alasan tentang tentang dilakukannya nkah
sirri meskipun banyak resiko yang akan dihadapi,utamanya dikalangan
masyarkat yang berekonomi lemah dan awan tentang hukum. Dari aspek
ekonomi prosedur pernikahan sirri yang praktis dan tidak dipungut biaya
menjadi alasan kuat dilaksanakannya pernikahan sirri . Sedangkan dari aspek
agama nikah sirii dapat menghindarkan diri dari melakukan dosa dan terjebak
dalam perbuatan maksiat yang mengakibatkan ketenangan bathin bagi
seseorang yang melakukan pernikahan sirri (Edi Gunawan, 2013).
PEMBAHASAN
Pengertian Nikah Dan Nikah Sirri
Nikah adalah bentuk mashdar dari kata “Nakaha-yankihu-nikah” ( نكح
)”dan “berkumpul (الوطء) ”yang asal mula artinya adalah “bersetubuh (ينكح نكاح
1. Pendapat ini sama dengan (Ahmad Warsun Munawwir, 1984)(الجمع
beberapa pendapat ulama Fiqh, yang memberikan arti dasar kata “Nikah”
dengan makna yang sama dan menambahkannya dengan makna “memasukkan
dipakai dalam pengertian bersetubuh” (الدخو)ل ((al-Imam Taqiyuddin bin Abu
Bakaral-Imam Muhammad Bin Isma’il Kahlani al- Shan’ani, n.d.). Dalam
tinjauan Ulama Tafsir disebutkan bahwa di dalam al-Quran terdapat dua kata
kunci yang menunjukkan konsep pernikahan, yaitu zawwaja ( وجز ) dan kata
derivasinya berjumlah lebih kurang dalam 20 ayat dan nakaha (نكح) dan kata
dalam konteks pembicaraan ini adalah ikatan (aqad ) perkawinan(Raghib al-
Isfahaniy, 2007). Lebih jauh dalam al-Qur’an, istilah perkawinan yang biasa
disebut dengan نكاح dan ميثاق (perjanjian) (surat al-Nisa’ ; 3 dan al-Nur ; 32
dengan kata misaq dalam surat al-Nisa’ ; 21). (Musfir al-Jahrani, 1994) dan
ada pula yang mengartikan dengan arti sebenarnya bahwa nikah berarti
.dham”(menghimpit), atau “menindih”. (Ali Ahmad al-Jurjani, 1975)“ضام
Dalam pemakaian bahasa sehari-hari perkataan “nikah” lebih banyak dipakai
dalam arti kiasan dari pada arti yang sebenarnya.
Dalam masalah perkawinan, para ahli fiqh mengartikan nikah menurut
arti kiasan. Mereka berbeda pendapat tentang arti kiasan yang mereka pakai.
46 e-ISSN: 2656-9442
p-ISSN: 2550-0627
Abu Hanifah memakai arti “setubuh”, sedang al-Syafi’i memakai arti
“mengadakan perjanjian perikatan”(Abd. Al-Rahman al-Jazairi, 1969).
Ditinjau dari segi adanya kepastian hukum dan pemakaian perkataan “nikah”
di dalam al-Qur’an dan Hadis-hadis Nabi, maka “nikah” dengan arti
“perjanjian perikatan” lebih tepat dan banyak dipakai dari pada “nikah” dengan
arti “setubuh” (Kamal Muchtar, 1996).
Ada dua kemungkinan arti kata na-ka-ha itu namun dimana antara dua
kemungkinan tersebut yang mengandung makna sebenarnya terdapat
perbedaan pendapat di antara ulama. Golongan Syafiiyah berpendapat bahwa
kata nikah itu berarti akad dalam arti yang sebenarnya (hakiki) bisa juga
dimakani hubungan kelamin dalam arti yang tidak sebenarnya (majazi)(Amir,
2006).
Para Ahli fiqih dalam masalah perkawinan mengartikan nikah sebagai
arti kiasan dan pendapat mereka berbeda tentang arti kiasan yang dipakai.
Sedangkan menurut golongan hanafiah nikah memiliki 2 makna yaitu
makna hakiki dan makna majazi. Menurut makna hakiki Nikah adalah
bersetubuh ,sedangkan menurut makna majazi nikah adalah yang
menjadikannya halal berhubungan antara laki-laki dan perempuan. Para Ulama
seperti Abu Qasim Al-Zajjad, Imam Yahya, Ibnu Hazm dan sebagian ulama
Hanafiyah antara bersetubuh dan akad memiliki makna yang sama . Adapun
ulama Ahli fiqih memaknai nikah yaitu akad yang diatur oleh agama untuk
memeberikan hak penuh kepada laki-laki untuk memilih wanita yang
dicintainya. (Husen, 2003).
Muhammad Abu Zahrah dalam kitabnya al-ahwal al-syakhsiyyah,
mendefinisikan nikah sebagai akad yang menghasilkan ketentuan berupa
halalnya melakukan hubungan anatara laik-lai dan perempuan ,saling taolong
menolong dan memiliki hak dan kewajiban yang sama. (Zahrah, 2018).
Imam Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitabnya Kifayat al Akhyar juga
mendefinisikan nikah sebagai al wat’ yaitu akad yang terdiri dari rukun dan
syarat antara hubungan laki-laki dan perempuan(Taqiyyuddin, 2016).
Seorang ahli fiqih wahbah azzuhaili mendifinisikan nikah adalah akad
yang telah ditetapkan oleh islam agar seorang laki-laki dan seorang perempuan
dapat berhubungan layaknya suami istri sesuai dengan norma-norma dalam
agama islam (Zuaili, 1989).
Abû Zahrah di dalam kitabnya al-Ahwãl al-Syakhsiyyah,
mendefinisikan nikah sebagai akad yang menimbulkan akibat hukum berupa
halalnya melakukan persetubuhan antara laki-laki dengan perempuan, saling
tolong menolong serta menimbulkan hak dan kewajiban(Zahrah, 2018)
JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 01 , Maret 2020
e-ISSN: 2656-9442
p-ISSN: 2550-0627
47
Dari definisi diatas sudah jelas bahwa laki-laki berhak atas segala
sesuatu yang dimiliki oleh perempuan baik secara fisik dan mental (Muhsin,
2018).
Sedangkan Nikah Sirri menjadi topik menarik untuk dibicarakan,
bukan karena nikah sirri dilakukan secara sembunyi dan menuai kontroversi
,melainkan karena nikah sirri tersebut sudah menjadi hal yang biasa dilakukan
dikalangan pejabat,selebriti,praktisi politik ,tokoh agama maupun rakyat biasa.
Bahkan realitanya nikah sirri di masyarakat Indonesia mengakibatkan banyak
masalah yang cukup rumit , mulaidarai masalah ekonomi, social, budaya,
hukum dan pendidikan. (Muhsin, 2018).
Dalam bahasa arab nikah sirri disebut nikāh al-sirr yaitu pernikahan
yang dilakukan secara rahasia, tanpa publikasi atau tanpa walîmah(Munawwir,
1973). Dilihat dari kata-kata sirri itu berarti “sembunyi-sembunyi” atau
“tidakterbuka”. Jadi nikah sirri berarti nikah sesuai dengan ketentuan agama
Islam, tetapi tidak dicatat di dalam pencatatan administrasi pemerintah (KUA)
atau nikah sesuai dengan ketentuan agama Islam dan dicatat oleh pencatat
nikah, tetapi tidak dipublikasikan dalam bentuk walimah(M. Thahir Maloko,
2015).
Nikah Sirri dibagi menjadi tiga macam yaitu : 1) Nikah tanpa wali yaitu
nikah yang dilakukan tanpa hadirnya seorang wali keluarga daro salah satu
pihak baik dari pihak laki-laki maupun perempuan. 2) Nikah dibawah tangan
yaitu nikah yang dilakukan sesuai dengan rukun dan syarat dalam agama islam
tetapi tidak tercatat dalam PPN. 3) Nikah tanpa walimah yaitu mikah yang
sudah tercatat namun tidak ada perayaaan suatu apapun(Zuhri, 2018).
Dari ketiga pengertian tersebut dapat didefinisikan bahwa nikah sirri
adalah nikah yang dilangsungkan sesuai dengan ketentuan dalam agama islam
, tetapi ,asih bersifat kekeluargaan dan belum tercatat dalam pegawai
pencatatan nikah (PPN) sehingga tidak mendapatkan akat nikah. Masyarakat
juga sering menyebutnya dengan nikah modin, Nikah kyai atau nikah secara
agama (Muhsin, 2018).
Ditinjau dari segi social nikah sirri dibagi menjadi dua bentuk Yaitu :
1) Pernikahan yang berlangsung secara rahasia antara laki-laki dan perempuan
tanpa kehadiran wali dan saksi sehingga pernikahan ini tidak sah karena tidak
memenuhi syarat dan rukun nikah. 2) Pernikahan yang berlangsug secara
rahasia dengan rukun dan syarat nikah yang lengkap seperti ijab qobul wali
dan saksi(Arsal, 2012).
Faktor-faktor Penyebab Nikah Sirri
Nikah sirri dilakukan pada umumnya karena ada sesuatu yang
dirahasiakan , atau karena mengandung suatu masalah. Oleh karena nikah sirri
48 e-ISSN: 2656-9442
p-ISSN: 2550-0627
mengandung masalah, maka masalah itu akan berakibat menimpa pada orang
yang bersangkutan , termasuk anak-anak yang dilahirkan dari pernikahan sirri
(Widiastuti, 2008).
Bermacam alasan yang melatarbelakangi seseorang melakukan nikah
sirri. Ada yang menikah karena terbentur ekonomi, sebab sebagian pemua
tidak menanggung biaya pesta, menyiapkan rumah milik dab harta gono gini,
maka mereka memilih menikah dengan cara misyar yang penting halal, hal ini
terjadi sebagian besar di Negara arab. Ada juga yang tidak mampu
mengeluarkan dana untuk mendaftarkan diri ke KUA yang dianggapnya begitu
mahal. Atau malah secara finansial pasangan ini cukup untuk membiayai,
namun karena khawatir pernikahannya tersebar luas akhirnya mengurungkan
niatnya untuk mendaftar secara resmi ke KUA atau catatan sipil. Hal ini untuk
menghilangkan jejak dan bebas dari tuntutan hukum dan hukuman
administrasi dari atasan, terutama untuk perkawinan kedya dan seterusnya
(bagi pegawai dan TNI) (M. Thahir Maloko, 2015)
Adapun faktor-faktor penyebab terjadinya nikah sirri di kalangan
masyarakat yaitu (Adillah, 2011):
Pertama, faktor ekonomi, sebagian masyarakat yang memiliki
ekonomi menengah kebawah tidak mampu membayar biaya administrasi
pencatatan nikah yang mahal , sehingga mendorong masyarakat untuk nikah
Sirri.
Adanya kebiasaan yang terjadi di masyarakat, bahwa seorang
mempelai laki-laki selain ada kewajiban membayar mahar, juga harus
menanggung biaya pesta perkawinan yang cukup besar (meskipun hal ini
terjadi menurut adat kebiasaan), di daerah jawa tengah selain mahar ada juga
biaya untuk serah-serahan (pemberian biaya untuk penyelenggaraan
pernikahan), alasan ini pula yang menjadi penyebab laki-laki yang
ekonominya belum mapan lebih memilih menikah dengan cara diam-
diam,yang penting halal alias ada saksi tanpa harus melakukan pesta pada
pernikahan pada umumnya.
Kedua, faktor belum cukup umur, sebagian besar orang tua merasa jika
anak perempuannya sudah menikah , maka beban keluarga menjadi berkurang
meskipun usia anak mereka masih dibawah umur.
Ketiga, faktor ikatan suatu lembaga tertentu, sebagian besar seatu
lembaga tertentu tidak mengidzinkan menikah selama waktu tertentu sesuai
dengan perjanjian yang telah disepakati.
Keempat, Faktor persepsi yang salah, masih bnyak masyarakat yang
beranggapan bahwa nikah sirri sah menurut agama ,sedangkan pencatatan
hanyalah bagian dari tertib administrasi. Menurut UU 1 tahun 1974 tenteng
pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) tentang perkawinan yang menyatakan bahwa
JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 01 , Maret 2020
e-ISSN: 2656-9442
p-ISSN: 2550-0627
49
perkawinan dikatakan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agama dan kepercayaannya itu dan tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku (Rofiq, 2000).
Kelima, Faktor kenakalan remaja, kenakalan remaja merupakan kasus
yang hampir dialami oleh sebagian besar remaja. Hal ini terjadi karena
hilangnya norma-norma dan nilai agama pada remaja saat ini. Sehingga budaya
apacaran pun menjadi wajib hukumnya,bahkan sampai mengakibatkan hamil
di luar nikah. Kehamilan ini merupakan aib bagi keluarga sehingga oragtuanya
harus menikahkan anaknya secara sirri dengan laki-laki yang menghamilinya
dengan alasan menyelamatkan nama baik keluarga.
Keenam, Faktor kurangnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat
tentang pernikahan, masyarakat Indonesia yang mayoritas berpendidikan
rendah tetap beranggapan bahwa pernikahan yang dicatat sama saja . sehingga
sebagian besar dari mereka lebih memilih nikah sirri , hal ini karena nikah sirri
lebih mudah dan tidak perlu mengurus administrasi-adminstrasi tertentu.
Sedangkan dalam undang-undang pernikahan dikatakan bahwa “Tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan yang berlaku (Pasal 2 ayat (1) Undang-
undang nomor 1 tahun 1974). Bagi mereka yang melakukan perkawinan
menurut agama Islam, pencatatan dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA).
Sedang bagi yang beragama Katholik, Katholik, Kristen, Budha, Hindu,
pencatatan itu dilakukan di Kantor Catatan Sipil (KCS)”.
Ketujuh, faktor sosial. Faktor sosial, yaitu masyarakat sudah terlanjur
memberikan stigma negatif kepada setiap orang (laki-laki) yang menikah lebih
dari satu (berpoligami), maka untuk menghindari stigma negatif tersebut,
seseorang tidak mencatatkan pernikah- annya kepada lembaga resmi.
Kedelapan, sulitnya aturan berpoligami. Untuk dilakukannya
pernikahan yang kedua, ke- tiga dan seterusnya (poligami) ada beberapa syarat
yang harus dipenuhi, sesuai dengan syarat poligami yang dijelaskan dalam
Pasal 5 Undang-undang No 1 tahun 1974 yaitu harus mendapat izin dan
persetujuan dari istri sebelumnya. Hal ini diharapkan dapat memperkecil
dilakukannya poligami bagi laki-laki yang telah menikah tanpa alasan tertentu.
Dan karena sulit untuk mendapatkan ijin dari istri, maka akhirnya suami
melakukan nikah secara diam- diam atau nikah sirri(Susetyo, 2007).
Kesembilan, masih adanya masyarakat yang melakukan nikah sirri
karena tidak ada yang mau mengambil tindakan yang tegas. Dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 45 menyatakan:
(1) Kecuali apabila ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku, maka:
50 e-ISSN: 2656-9442
p-ISSN: 2550-0627
a) Barang siapa yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 3, 10
ayat (3), 40 Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hukuman denda
setinggi-tingginya Rp. 7.500 (tujuh ribu lima ratus rupiah);
b) Pegawai Pencatat yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 6,
7, 8, 9, 10 ayat (1), 11, 13, 44 Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan
hukuman kurungan selama lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-
tingginya Rp. 7.500 (tujuh ribu lima ratus rupiah).
(2) Tindak pidana yang dimaksud dalam ayat (1) di atas merupakan
pelanggaran.
Pegawai Pencatat Nikah atau aparat penegak hukum mestinya
memberikan sanksi secara tegas terhadap pelaku nikah sirri yang tidak
bertanggung jawab dan mengabaikan kewajibannya, hal ini untuk membuat
jera pelaku, meskipun sanksi yang ada cukup ringan(Adillah, 2011).
Pelaku nikah sirri yang tidak bertanggung jawab dan mengabaikan
kewajibannya yang diproses secara hukum, akan memberikan gambaran atau
contoh bahwa nikah sirri itu berdampak buruk baik terhadap suami, isteri
maupun anak-anaknya. Sebaliknya bila tidak diambil tindakan hukum, maka
masyarakat menganggap tidak masalah melakukan nikah sirri dan masyarakat
akan terus dan banyak yang tetap melakukan nikah sirri(Adillah, 2011).
Pelaksanaan Nikah Sirri
Sebagaimana layaknya pernikahan pada umumnya, nikah sirri
dilaksanakan sesuai dengan prosesi pernikahan Islam, yaitu ada calon
mempelai, wali, saksi, ijab qabul, dan mahar. Adapun yang membedakan
adalah pernikahan itu tidak tercatat di KUA. Dengan demikian, proses
pernikahan mereka tidak dilakukan pencatatan dan pengawasan oleh PPN,
tetapi cukup dinikahkan dengan orang yang dianggap memahami agama Islam
atau ditokohkan, seperti kiai. Pendapat yang muncul selama ini bahwa kiai
sangat berperan dalam proses pernikahan sirri(M. Thahir Maloko, 2015).
Sementara itu, pada umumnya pelaksanaan nikah sirri yang dilakukan
kebanyakan orang berlangsung di rumah, namun ada yang mendatangi tempat
tinggal kiai. Seperti halnya walimah yang dilaksanakan pada upacara
pernikahan, acara pernikahan sirri ini juga dihadiri oleh para undangan yang
rata-rata berjumlah 10 sampai dengan 20 orang yang terdiri dari lingkungan
keluarga, baik dari pihak pengantin laki-laki maupun pengantin perempuan
dan tetangga yang berada di dekat rumah(Setiawati, 2005)
Pernikahan resmi tampaknya berbeda dengan konsep nikah sirri yang
menyebutkan bahwa nikah sirri adalah nikah rahasia atau tersembunyi. Hal ini
menunjukkan bahwa pernikahan sirri bukan menjadi rahasia lagi karena
mereka juga melakukan walimah yang pada dasarnya adalah pengumuman
JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 01 , Maret 2020
e-ISSN: 2656-9442
p-ISSN: 2550-0627
51
tentang pernikahan yang dilakukan. Ini artinya masyarakat secara umum
mengakui keberadaan orang-orang yang melakukan nikah sirri tanpa harus
mempertanyakan keabsahan pernikahan itu(M. Thahir Maloko, 2015).
Untuk sahnya pernikahan sirri ini pelaksanaannya seperti lazimnya
pernikahan dalam agama Islam, maka diharuskan adanya seorang wali yang
boleh menikahkan seorang perempuan dengan seorang laki-laki. Pada waktu
pernikahan dilangsungkan sebagian besar subjek menjadikan ayahnya sendiri
sebagai wali nikah, tetapi ada pula yang menggunakan saudara kandung.
Pernikahan selain harus ada wali, syarat lain yang harus terpenuhi dalam
pernikahan yaitu adanya saksi. Saksi yang hadir dalam pelaksanaan nikah sirri
selain dua orang laki-laki juga ada subjek yang menghadirkan dua orang
perempuan atau satu orang laki-laki(M. Thahir Maloko, 2015).
Persyaratan lain sebagai salah satu syarat sahnya pernikahan adalah
ijab qabul atau akad nikah. Syahar dalam tulisannya menyatakan bahwa para
mazhab meletakkan ijab qabul sebagai syarat mutlak pertama dari perkawinan.
Ijab qabul dilakukan antara wali mempelai perempuan dengan mempelai laki-
laki. Ijab qabul dalam nikah sirri dilaksanakan sama halnya jika mereka
menikah didepan penghulu, perbedaannya hanya tidak ada pencatatan(M.
Thahir Maloko, 2015).
Berbeda dengan pernikahan yang dilakukan dengan pencatatan ,dimana
proses ijab qobul diucapkan pula sighot taklik suami kepada istri ,yaitu sebagai
berikut : Apabila saya meninggalkan istri saya 2 tahun secara berturut-turut
atau, saya tidak memberi nafkah wajib keapadanya 3 bulan lamanya atau, saya
menyakiti badan jasmani istri saya atau, saya membiarkan (tidak
memperdulikan ) istri saya 6 bulan lamamya . kemudian istri saya itu tidak
ridho dan mengadukan haknya kepada pengadilan agama atau petugas yang
memberinya hak untuk mengurus pengaduan itu dan pengaduannya
dibenarkan serta diterima oleh pengadilan atau petugas tersebut dan istri saya
membayar uang Rp.10.000 (Sepuluh ribu Rupiah)sebagai iwad atau pengganti
kepada saya, maka jatuhlah talak saya satu kepadanya (M. Thahir Maloko,
2015)
Jika memperhatikan proses sighat ta’lik dalam peraturan agama
Islam,kelihatannya hal itu tidak dilakukan oleh orang-orang yang melakukan
nikah sirri. Meskipun tidak wajib dan syarat sahnya pernikahan, sighat ta‟lik
dapat memberikan kepastian kepada perempuan karena pada intinya hal
tersebut merupakan janji seorang suami kepada istrinya, sehingga jika
diucapkan didepan orang banyak akan lebih baik(Setiawati, 2005).
Sesungguhnya mereka sadar bahwa pernikahan sirri yang dilakukan
tidak mempunyai kekuatan secara hukum karena tidak tercatat. Maka karena
itu mereka membuat surat keterangan yang menyatakan bahwa telah terjadi
52 e-ISSN: 2656-9442
p-ISSN: 2550-0627
pernikahan antara A dengan B. Walaupun orang-orang yang berpendidikan
menyadari bahwa posisi mereka lemah, mereka tetep berusaha memaksa pihak
suami, wali nikah dan saksi untuk menandatangani surat keterangan
tersebut(M. Thahir Maloko, 2015).
Syarat lain yang termasuk kewajiban adalah memberikan mahar kepada
pengantin perempuan oleh pengantin laki-laki. Pemberian tersebut sudah
disetujui oleh kedua pihak mengenai maskawin yang akan diberikan dan harus
diberikan dengan ikhlas. Dari ayat ini sudah jelas mengenai kewajiban suami
memberikan maskawin kepada calon istrinya. Apabila pernikahan tanpa
mahar, maka termasuk hutang suami jika tidak atau belum dilunasi dan
merupakan kewajiban istri untuk menagih, jika terjadi perceraian atau
suaminya meninggal dunia dan menjadi harta peninggalan suami yang
dipotong lebih dahulu sebelum dibagi-bagikan kepada ahli warisnya termasuk
istri itu sendiri sebagai jandanya(M. Thahir Maloko, 2015).
Menurut Ramayulis pemberian mahar tersebut untuk menghalalkan
hubungan badan antara kedua pasangan suami istri. Jika hutang mahar yang
belum pernah ia lunasi dan selama berkumpul sebagai suami istri hubungan
tersebut dihukumi haram(Ramayulis, 2001). Pernikahan merupakan bentuk
perjanjian antara laki-laki dan perempuan, yang mengakibatkan adanya hak
dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan. Hak dan kewajiban yang
melibatkan suami istri harus dilandasi kesamaan, keseimbangan dan keadilan
antara keduanya(M. Thahir Maloko, 2015). Ramayulis lebih lanjut membagi
hak dan kewajiban suami istri menjadi dua hal(Ramayulis, 2001):
a) Nafkah
Seorang suami mempunyai kewajiban untuk memberikan nafkah kepada
istri dan anak-anaknya. Akan tetapi kebanyakan dari pernikahan sirri ini
seorang istri tidak mendapat nafkah secara normal seperti rumah tangga
umumnya dari suami mereka, bahkan tidak jarang mereka tidak diberi
nafkah sepersenpun. Namun jika suami membelikan sesuatu terkadang ia
meminta dua buah dengan maksud satu untuk dirinya dan satu lagi untuk
istrinya.
b) Relasi Gender suami istri dalam nikah sirri
Pernikahan pada dasarnya untuk membentuk sistem persaudaraan dan
kekeluargaan yang didalamnya terkandung unsur pertemanan, keakraban
dan kebersamaan diantara mereka. Menurut Ramayulis persahabatan,
kebersamaan dan keakraban ini dibangun dengan cara yang baik, bisa
diterima dengan akal sehat dan tidak bertentangan dengan norma agama
Pertemanan, keakraban dan kebersamaan dapat dibangun oleh sebuah
keluarga jika dihiasi dengan mawaddah (cinta kasih) dan rahmah (kasih
sayang) antara suami dan istri dalam sebuah keluarga yang sakinah. Akan
JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 01 , Maret 2020
e-ISSN: 2656-9442
p-ISSN: 2550-0627
53
tetapi tidak jarang keluarga dibangun seperti berdiri diatas api karena
didalamnya tidak terdapat cinta kasih dan kasih sayang, tetapi lebih banyak
diisi dengan pertengkaran dan tidak adanya rasa saling percaya satu sama
lain.
Nikah Sirri Dalam Perspektif Hukum Islam
Nikah sirri secara agama Islam hukumnya sah atau legal dan dihalalkan
apabila syarat dan rukun nikahnya terpenuhi pada saat nikah sirri dilakukan.
Rukun nikah yaitu: (1) Adanya kedua mempelai, (2) Adanya wali, (3) Adanya
saksi nikah, (4) Adanya mahar atau maskawin, (5) Adanya ijab kabul atau
akad(M. Thahir Maloko, 2015).
Nikah sirri dikatakan sah menurut hukum Islam nikah sirri sah apabila
(ada wali, saksi, ijab qabul dan mahar).Di dalam kompilasi hukum Islam Pasal
2 Ayat 1 ini, dijelaskan bahwasannya sebuah pernikahan adalah sah apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya. Ini berarti bahwa jika
suatu pernikahan telah memenuhi syarat dan rukun nikah atau ijab kabul telah
dilaksanakan (bagi umat Islam), maka pernikahan tersebut dikatakan sah
terutama di mata agama Islam dan kepercayaan masyarakat. Akan tetapi
sahnya pernikahan di mata agama Islam perlu disahkan lagi oleh negara, yang
dalam hal ini ketentuannya terdapat pada Pasal 2 Ayat 2 UU Perkawinan,
tentang pencatatan perkawinan. Bagi mereka yang melakukan pernikahan
menurut agama Islam pencatatan dilakukan di KUA untuk memperoleh Akta
Nikah sebagai bukti dari adanya pernikahan tersebut. (pasal 7 ayat 1 Kompilasi
Hukum Islam (KHI) "perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah
yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah")(Ramulyo, 2006).
Mengenai pencatatan perkawinan, dijelaskan pada Bab II Pasal 2 PP
No. 9 tahun 1975 tentang pencatatan perkawinan. Bagi mereka yang
melakukan pernikahan menurut agama Islam, pencatatan dilakukan di KUA.
Setiap orang yang akan melaksanakan pernikahan memberitahukan secara
lisan atau tertulis mengenai rencana perkawinannya kepada pegawai pencatat
di tempat perkawinan akan dilaksanakan, paling lambat 10 hari kerja sebelum
perkawinan dilangsungkan. Kemudian pegawai pencatat melakukan penelitian
apakah syarat-syarat pernikahan telah dipenuhi dan apakah tidak ada hal yang
menghalangi pernikahan tersebut. Lalu setelah dipenuhinya tata cara dan
syarat-syarat pemberitahuan serta tidak ditemukan suatu halangan untuk
perkawinan, pegawai pencatat mengumumkan dan menandatangani
pengumuman tentang pemberitahuan kehendak melaksanakan pernikahan
dengan cara menempel surat pengumuman pada suatu tempat yang sudah
ditentukan dan mudah dibaca oleh umum(M. Thahir Maloko, 2015).
54 e-ISSN: 2656-9442
p-ISSN: 2550-0627
Menurut pandangan kedua madzhab yakni mahzab Hanafi dan
Hambali suatu pernikahan memenuhi syarat dan rukunnya maka sah menurut
agama Islam walaupun pernikahan itu adalah pernikahan sirri(M. Thahir
Maloko, 2015). Sedangkan menurut Kiyai Hosen Muhammad seorang
komisioner komnas perempuan menyatakan pernikahan laki-laki dewasa
dengan perempuan secara sirri merupakan pernikahan yang dilarang karena
pernikahan tersebut dapat merugikan seorang perempuan, sedangkan Islam
justru melindungi perempuan bukan malah merugikannya(Farid, 1999).
Nikah sirri sangat merugikan kaum wanita, diantara kerugian bagi
wanita, Bila terjadi perceraian, istri tidak dapat menuntut haknya ke
pengadilan, begitu juga dengan anak yang dilahirkannya, Bila suami
meninggalkannya, maka dia bebas tanpa harus mempertanggungjawabkannya,
karena tidak adanya catatan yang sah dalam pengadilan agama, Resiko
kekerasan dalam keluarga sangat besar dan suami tidak bisa dituntut secara
materi atau finansial, karena tidak adanya hukum yang mengaturnya.
Pernikahan sirri sebenarnya bertentangan dengan filosofi Islam yaitu:
1. Dalam islam pernikahan merupakan sebuah perjanjian yang kokoh (Q.s
Annisak 19 : 21 . Dan juga di sunnah oleh sabda nabi SAW.
Artinya : Dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Perbuatan halal yang paling
dibenci Allah ialah cerai." Riwayat Abu Dawud dan Ibnu Majah. Hadits
shahih menurut Hakim. Abu Hatim lebih menilainya hadits mursal.
2. Dalam islam seorang istri berposisi sebagai pakaian suami begitupun
sebaliknya maka dari itu suami istri harus mempunyai posisi yang sejajar
dan semitra dalam hukum islam “ Maqosid Assyari’ah” (konsep yang
menekankan tujuan penetapan hukum islam dalam upaya memilihara
kemaslahatan hidup manusia dengan makhluk mendatangkan kemaslahatan
dan menghindari dari bahaya)konsep nikah sirri bertentangan dengan
maslahat permen(Samin, 2008). Anak dari hasil nikah sirri tidak akan
mendapatkan perlindungan hukum maka dari itu pernikahan hendaklah
diumumkan seperti yang dianjurkan dalam syariat islam ,sebagai mana
sabda nabi :
Artinya: “bersabda Rasulullah SAW: umumkan perkawinan ini dan
jadikanlah akad nikah itu di masjid, serta pukullah rebana "
Bukan saja untuk menampakkan kegembiraan terjadinya hubungan
pernikahan antara laki-laki dan wanita itu, melainkan juga untuk menjadi
saksi sehingga dapat mempertanggung jawabkan sekian banyak isu negatif
yang boleh jadi muncul dikalangan masyarakat, atau penganiayaan yang
dapat terjadi atas salah satu pasangan. Saksi dalam pernikahan minimal dua
JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 01 , Maret 2020
e-ISSN: 2656-9442
p-ISSN: 2550-0627
55
orang, memang ulama berbeda pendapat tentang fungsi saksi apakah
kehadiran mereka syarat bagi kesempurnaan pernikahan, yang minimal
harus ada sebelum bercampurnya pasangan suami istri, ataukah syarat
sahnya nikah, yang demikian kedua orang tersebut harus menyaksikan
pelaksanaan akad nikah. Namun, semua ulama sepakat untuk tidak
membenarkan nikah sirri (rahasia)(M. Thahir Maloko, 2015).
Dampak Positif dan Negatif Pernikahan Sirri Terhadap Perempuan
(Istri), dan Anak-anak Secara Hukum
Nikah sirri memiliki dampak yang sangat besar baik dari segi istri
,suami dan anak dari sisi positif maupun negatif. Akan tetapi dari sekian
banyaknya kasus pernikahan sirri yang terjadi adalah dampak negatifnya.
Yang mana dampak negative tersebut banyak dialami para istri dan anak-
anaknya daripada yang dialami suami (Adillah, 2011).
Dibawah ini akan dijelaskan beberapa dampak pernikahan sirri baik
dari segi positifnya ataupun negatifnya bagi seorang istri dan anak-anaknya.
Adapun dampak nikah sirri bagi wanita dan anak-anaknya telah diurauikan
secara terperinci sebagai berikut. (Adillah, 2011) :
Pertama, dapat menutupi hak-hak individu. Dengan melakukan nikah
sirri dapat menutupi kepentinga-kepentingan pihak-pihak yang
melatarbelakangi terjadinya pernikahan tersebut. Dan nikah sirri biasanya
dilakukan sebagi upaya menutpi aib dalam keluarganya agar masyarakat tidak
mengetahui atas apa yang melatarbelakangi pernikahan tersebut. Seperti
halanya hamil di luar nikah.
Demikian pula nikah sirri dilakukan karena adanya ikatan dinas atau
masih sekolah misalnya karena sudah terikat perjanjian kerja. Sementara itu
ada suatu hal yang mengharuskan seseorang untuk menikah akhirnya mereka
melakukan nikah sirri. Begitu juga dengan yang masih di bangku sekolah nikah
sirri dilakukan hanya untuk mengikat mempelai dan keluarganya ketika salah
satu dari calon mempelai melanjutkan studinya di luar negeri.
Kedua, tidak ada kehawatiran melakukan perzinahan. Salah satu alasan
terjadinya nikah sirri adalah agar tidak ada kehawatiran melakukan perzinahan,
baik yang terjadi dikalangan remaja yang masih sekolah maupun kalangan
orang dewasa (laki-laki yang sudah memiliki istri). Nikah sirri sering dianggap
solusi terbaik dari pada terjerumus pada sebuah dosa besar atau perzinahan.
Perkembangan zaman yang terjadi saat ini dikalangan remaja terutama
para mahasiswa yang ikut bergabung dalam kelompok-kelompok pengajian.
Apabila terdapat sepasang remaja yang memiliki perasaan suka sama suka atau
merasa cocok satu sama lain maka mereka akan melakukan nikah sirri (tidak
tercatat di KUA) daripada mereka harus terjerumus dalam senuah perzinahan.
56 e-ISSN: 2656-9442
p-ISSN: 2550-0627
Hal ini dilakukan disebabkan berbagai alasan diantaranya adalah apabila
mereka meminta restu terhadap orang tuanya hawatir orang tuanya tidak
merestuinya karena masih berda dalam masa belajar atau sekolah, mengingat
mereka masih bergantung pada orang tuanya atas kebutuhan mereka maka
keterbatasan ekonomi juga menjadi alasan mereka untuk melakukan nikah sirri
tanpa sepengetahuan orang tuanya. Dan alasan yang paling pokok diantara dua
alasan tersebut ialah takut terjadinya perzinahan atau berbuat dosa. Dengan
demikian maka nikah sirri dilakukan untuk mnghilangkan kehawatiran dari
masing-masing pihak dan mereka merasa pernikahan yang telah dilakukan
tidak melanggar syariat agama islam.
Dampak negatif dalam nikah sirri sering terjadi terhadap seorang istri
anaknya. Apabila suami tidak bertanggung jawab sedangkan bagi laki-laki
(suami) hampir hampir tidak dampak yang merugikan, justru yang terjadi
menguntungkan bagi laki-laki. Jadi misalkan seorang suami ingin lepas dari
tanggung jawabnya atau mengaku single maka seorag istri tidak ada hak
menuntut pada pengadilan agama karena pernikahan mereka tidak sah secara
hukum resmi. Adapun dampak negatif yang terjadi pada seorang istri adalah
sebagi berikut (Adillah, 2011):
Pertama, tidak diakui sebagai istri karena pernikahan yang dilakukan
tidak dianggap sah dan perempuan yang hanya menikah sirri tidak memiliki
surat nikah. Sehingga apabila suami tidak bertanggung jawab atas kewajiban
dan hak –haknya tidak dapat digugat di pengadilan agama karena di mata
Negara nikah sirri dianggap tidak sah jika belum dicatat oleh Kantor Urusan
Agama (KUA) atau Kantor Catatan Sipil (KCS) meskipun pernikahan tersebut
dilakukan sesuai dengan agama dan kepercayaan mereka.
Kedua, Hak dan kewajiban terabaikan .Disini pelaku nikah sirri dimana
seorang suami yang melakukan pernikahan sirri tersebut sering mengabaikan
hak dan tanggung jawabnya, terutama tanggung jawab terhadap sang istri yang
telah dinikahinya secara sirri karena tidak adanya bukti pernikahan berupa
surat nikah sebagai bukti yang sah.
Ketiga, seorang istri dari pernikahn sirri tidak dapat menuntut nafkah
dari suami yang tidak bertanggung jawab dengan nafkah ini , selain itu ketika
bercerai atau sang suami telah meninggal , sang istri juga tidak dapat menuntut
harta warisan dikarenakan tidak adanya bukti pernikahan seprti buku nikah.
(Ahmadi, 2008).
Keempat, tidak tertulis atau tidak ada pengakuan hukum atas status
pernikahan antar kedua belah pihak (Suami dan istri). Jadi istri tidak dapat
emnuntut sang suami yang tidak bertanggung jawab . Dalam pernikahan sirri
inipun sering terjadi kekerasan fisik dari sang suami terhadap istri.
JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 01 , Maret 2020
e-ISSN: 2656-9442
p-ISSN: 2550-0627
57
Kelima, menyulitkan untuk mengetahui identitas seseorang
,dikarenakan status pernikahn sirri tidak jelas di mata hukum serta tidak
tertulis. Bahkan terkadang status pernikahan sirri ini juga merupakan
pernikaha yang sengaja untuk ditutup-tutupi . Oleh sebab itu status seseorang
yang telah menikah atau tidak pun sulit untuk diketahui.
Keenam, pernikahan sirrijuga menimbulkan keresahan , karena tidak
adanaya bukti pernikahan seperti akta nikah yang menjadi bukti pernikahn
antara suami istri yang telah menikah.
Ketujuh, adanya sanksi social dari masyarakat sekitar.Walaupun tidak
ada sanksi secara hukum, namun para pelaku nikah sirri sering difitnah karena
tidak sedikit dari masyarakat yang menganggap pelaku nikah sirri tersebut
melakukan pernikahan hanya karena ingin menutup aib. Hal ini menimbulkan
prasangka yang tdak baik dari masyarakat.
Kedelapan, seorang istri yang telah melakukan nikah sirri akan sulit
bersosialisasi dengan masyarakat. Mereka yang melakukan nikah sirri dengan
status yang tidak tertulis secara hukum, sering dianggap telah melakukan
perbuatan tidak senonoh karena telah berani tinggal dengan pasangan yang
tidak jelas status hukum pernikahannya .
Kesembilan, pada kasus pernikahan sirri ini juga dapat menyulitkan
masyarakat untuk membantu jika kelak ada permasalahan antar dua belah
pihak. Hal ini dikarenakan sebagian masyarakat tidak mengetahui status
mereka. Apakah telah menikah atau belum menikah. Disini masyarakat
kesulitan untuk memberikan kesaksian apabila terjadi seseuatu dalam keluarga
si pelaku nikah sirri tersebut.
Kesepuluh, menimbulkan kecurigaan terhadap pelaku nikah sirri.
Sebagian orang beranggapan bahwa mereka yang melakukan pernikahan sirri
juga melakukan poligami. Tidak sedikit dari suami yang ingin memiliki dua
istri melakukan nikah sirri.Demi menutupi pernikahn pertama maupun
pernikahan keduanya. Meskipun hal tersebut belum terbukti kebenarannya.
Bukan hanya terhadap kaum perempuan (Istri) fenomena nikah sirri
juga menimbulkan damapak negatif terhadap anak-anak dari hasil pernikhan
sirri itu sendiri. Adapun beberapa dampak negatif diantaranya sebagai berikut
; (Adillah, 2011).
Pertama, dikarenakan status nikah sirri tidak memiliki pengakuan
secara hukum,maka begitulah status anak yang telah dilahirkan. Status anak
tidak jelas dimata hukum dikarenakan sang anak terlahir dari status pernikahan
yang statusnya tidak sah di mata hukum karena itu anak hanya diakui sebagai
anak seorang ibu dan keluarga ibu. Tanpa ada status yang jelas dari seorang
ayah serta keluarga.
58 e-ISSN: 2656-9442
p-ISSN: 2550-0627
Apabila sang anak ingin membuat akta kelahiran maka anak hanya
memiliki status anak dari seorang ibu .
Kedua, anak dari hasil pernikahan sirri juga tidak memiliki ha katas
nafkah dan warisan dari sang ayah. Sang anak juga tidak dapat menuntut
apapun (nafkah dan warisan), apabila sang ayah tidak bertanggung jawab
menafkahi anak dan istrinya.
Fenomena nikah sirri tersebut sangat merugikan anak dari hasil nikah
sirri di kemudian hari. Sang anak tidak bisa memiliki akta kelahiran yang status
ayahnya tidak jelas secara hukum.
Ketiga, Anak dari nikah sirri juga terancam kehiduopan sosial di
masyaralat. Mereka sering menjadi korban perdagangan anak. Tidak sedikit
dari mereka yang terlantar dan kurang terurus dari segi ekonomi maupun
pendidikan.
Adanya hubungan nikah sirri ini sangat merugikan bagi beberapa pihak
diantaranya perempuan dan anak-anak . Fenomena ini juga memicu maraknya
pasangan yang hidup bersama di luar perkawinan dengan status yang jelas (M.
Thahir Maloko, 2015)
Adapun pentingnya pencatatan perkawinan begitu pula KTP atau SIM
. Hal tersebut merupakan tanggung jawab Negara. Yang dimana pembiayaan
harus disesuaikan dengan ekonomi masyarakatnya. Bukan haynya
pembiayaan, prosedur yang tidak menyulitkan masyarakat dapat mendorong
masyarakat mematuhi hukum Negara saat ini. Seperti wajib memiliki KTP,
SIM, serta memiliki Akta nikah (pernikahan yang tercatat). Seperti telah
dianjurkan oleh nabi Muhammad SAW untuk mendorong ummatnya untuk
menyebarluaskan atau mengabarkan pernikahannya dengan
menyelenggarakan walimah ursy . Walaupun anjuran penyelenggaraan
walimah itu tidak wajib. Hal ini bertujuan untuk mencegah timbulnya fitnah,
dapat mempermudah masyarakat memberikan kesaksian jika ada
kemungkinan terjadi permasalahan dalam keluarga , selain itu pernikahan
secara sah dalam status hukum juga mempermudah untuk mengetahui status
pernikahn seseorang (M. Thahir Maloko, 2015).
Salah satu dampak negatif dari nikah sirri adalah mudah ditinggalkan
dan tidak jarang juga menjadi pemicu poligami. Pernikahan nikah sirri
menimbulkan banyak kekhawatiran bagi yang menjalaninya hal itu disebabkan
karena mereka tidak mempunyai kekuatan di mata hukum (Farid, 1999).
PENUTUP
Adapun faktor yang memicu terjadinya pernikahan sirri antara lain
faktor ekonomi,proses administrasi yang terlalu sulit serta begitu banyak ,tidak
memiliki persetujuan dari anggota keluarga terutama dari istri pertama jika ini
JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 01 , Maret 2020
e-ISSN: 2656-9442
p-ISSN: 2550-0627
59
memang merupakan pernikahan yang kedua . Tidak jarang pula mereka yang
melakukan nikah sirri merupakan pasangan usia di bawah umur. Seperti layaknya perbikahan pada umumnya , begitu juga dengan
pernikahan sirri , dilaksanakan sesuai dengan prosesi pernikahan islam ,
adanya calon mempelai,adanya wali dan saksi sebagai begitu juga mahar.
Adapaun yang membedakan hanya pernikahan sirri tidak tercatat di KUA.
Tidak ada proses pencatatan dan pengawasan dari PPN . Akan tetapi nikah sirri
hanya cukup dengan adanya orang-orang seperti kiyai yang paham masalah
agama.
Walupun nikah sirri tidak sah di mata hukum , nikah sirri dianggap sah
di mata agama begitu pula dalam agama islam. Hal ini diperbolehkan apabila
syarat serta rukun nikahnya terpenuhi. Hal ini tercantum dalam kompilasi
hukum islam pasal 2 ayat 1 yang telah menjelaskan bahwa perkawinan
dikatakan sah apabila telah dilaksanakan sesuai dengan hukum-hukum yang
ditetapkan oleh agama.
Fenomena pernikahan sirri menimbulkan beberapa dampak
diantaranya dampak positif dan dampak negatif. Adapun dampak positif
adalah menghindarkan seseorang dari perbuatan zina. Sedangkan dampak
posiif pada sang anak tidak ada. Selain itu pernikahan sirri juga memberikan
dampak negatif terhadapa perempuan dan anak dari hubungan nikah sirri.
Bagi seorang perempuan yag melakukan nikah sirri banyak menemui
dampak negatif seperti tidak diakui sebab tiak memiliki status yang sah di mata
hukum (tidak tercatat), tidak memilikinhak harta warisan juga nafkah dari sang
suami, mudah ditinggalkan serta sulit bersosialisasi di masyarakat. Hal ini juga
dapat menimbulkan fitnah.
Selain bagi sang istri anak yang dilahirkan juga mendapatkan dampak
buruk (negatif) seperti anak hanya memiliki status perdata dari sang ibu dan
keluarganya. Seperti sang istri yang tidak berhak atas nafkah serta warisan
begitu pula dengan anak-anak juga tidak berhak atas nafkah dan warisan dari
ayah. Kesulitan saat memasuki sekolah juga dihadapi sang anak , sebab saat
akan masuk pada jenjang pendidikan anak harus memiliki akta kelahiran. Anak
yang dihasilkan dari perhubungan nikah sirri juga rentan menjadi korban
eksploitasi.
DAFTAR PUSTAKA
Abd. Al-Rahman al-Jazairi. (1969). al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-’Arba’ah.
Mesir: al-Maktabah al- Tijariyyah.
Adillah, S. U. (2011). Analisis Hukum Terhadap Faktor-Faktor Yang
Melatarbelakangi Terjadinya Nikah Sirri Dan Dampaknya Terhadap
Perempuan (Istri) Dan Anak-Anak. Jurnal Dinamika Hukum, 11(Edsus).
60 e-ISSN: 2656-9442
p-ISSN: 2550-0627
https://doi.org/10.20884/1.jdh.2011.11.edsus.267
Ahmad Warsun Munawwir. (1984). , Kamus al-Munawwir Arab - Indonesia
Terlengkap. Yogyakarta: Pustaka Progressif.
Ahmadi, W. (2008). Hak dan Kewajiban Wanita Dalam keluarga Menurut
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Jurnal
Hukum Pro Justitia, 26(4), 371–390.
al-Imam Taqiyuddin bin Abu Bakaral-Imam Muhammad Bin Isma’il Kahlani
al- Shan’ani, S. al-S. (n.d.). Beirut, tt, Juz II, hlm. 36. , Maktabah
Dahlan. Bandung: Kifayat al-Akhyar, Dar al-Fikr.
Ali Ahmad al-Jurjani. (1975). Hikmah al-Tasyre’ wa Falsafatuhu. Beirut:
Dar al-Fikri.
Amir, S. (2006). Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, antara Fiqh
Munakaht dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: Prenada Media
Group.
Anderson. (1994). Hukum Islam di Dunia Modern. Yogyakarta: Tiara
Wacana.
Arsal, T. (2012). Nikah Sirri dalam Tinjauan Demografi. Jurnal Sosiologi
Pedesaan, 6(2), 160.
Asnawi, H. S. (2016). Tinjauan Kritis Terhadap Hak-Hak Perempuan Dalam
UU. No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan: Upaya Menegakkan
Keadilan Dan Perlindungan HAM Perspektif Filsafat Hukum Islam.
Jurnal Mahkamah, 1(1), 48. Retrieved from
http://journal.iaimnumetrolampung.ac.id/index.php/jm/article/view/27
Edi Gunawan. (2013). NIKAH SIRI DAN AKIBAT HUKUMNYA
MENURUT UU PERKAWINAN. Jurnal Ilmiah Al-Syir,Ah, 3(2).
Farid, M. (1999). 150 Masalah Nikah Keluarga. Jakarta: Gema Insani Pers.
Habib Ismail and Nur Alfi Khotamin. (2017). Faktor dan Dampak
Perkawinan Dalam Masa Iddah (Studi Kasus di Kecamatan Trimurjo
Lampung Tengah). Jurnal Mahkamah, 2(1), 137.
Hadi, M. F. K. (2018). Konsepsi Hukum Nikah Siri di Indonesia : Upaya
Sinkronisasi antara Living Laws dengan Positive Laws. 1(1), 18–40.
Husen, I. (2003). Fiqh Perbandingan Masalah Pernikahan. Jakarta: Pustaka
Firdaus.
Kamal Muchtar. (1996). Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan.
Jakarta: Bulan Bintang.
Khoiriyah, R. (2017). ASPEK HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN
DAN ANAK DALAM NIKAH SIRI. SAWWA, 12(3), 397–408.
M. Thahir Maloko. (2015). Nikah Sirri Perspektif Hukum Islam.
Sipakalebbi’, Vol 1(Vol 1, No 3 (2015)),
http://moraref.kemenag.go.id/documents/article/974. Retrieved from
JURNAL IMTIYAZ Vol 4 No 01 , Maret 2020
e-ISSN: 2656-9442
p-ISSN: 2550-0627
61
http://moraref.kemenag.go.id/documents/article/97406410605933316
Muhsin, I. (2018). PERNIKAHAN SIRRI : Antara Cita dan Realita.
Yogyakarta: TRUSSMEDIA GRAFIKA.
Mukhtar, N. (2012). Mengurai Nikah Sirri Dalam Islam. Al Manahij, VI, 257.
Munawwir, A. W. (1973). Al Munawwir. Yogyakarta: Unit Pengadaan Buku-
buku Ilmiah Keagamaan PP Al-Munawwir.
Musfir al-Jahrani. (1994). Poligami Dalam Berbagai Persepsi. jakarta: Gema
Insani Pers.
Raghib al-Isfahaniy. (2007). Mu’jam al-Mufradat li al-Alfazh al-Qur’an al-
Karim. Beirut: Dar al-Fikr.
Ramayulis. (2001). Perlukah Pemberian Mahar Terhadap Calon Isteri.
Jakarta: Lentera Hati.
Ramulyo, M. I. (2006). Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum
Acara Peradilan Agama dan Zakat. Jakarta: Sinar Grafika.
Rofiq, A. (2000). Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Samin, S. (2008). Pidana Islam Dalam Politik Hukum Indonesia. Jakarta:
Kholam Pulishing.
Setiawati, E. (2005). Nikah Siri Tersesat Di jalan Yang Benar. Jawa Barat:
Eja Insani.
Susetyo, H. (2007). Revisi Undang-Undang Perkawinan. Jurnal Lex
Jurnalica, 4(2), 73.
Taqiyyuddin. (2016). Kifayat al Akhyar. Bandung: Al-Maarif.
Undang-undang perkawinan. (2004). Yogyakarta: Pustaka Widyatama.
Widiastuti. (2008). Beberapa Faktor Penyebab Pasangan Suami Isteri
Melakukan Pernikahan di Bawah Tangan. Jurnal Eksplorasi, XX(1), 78–
89.
WJS. Poerwadarminta. (1985). , Kamus Umum Bahasa Indonesia,. jakarta:
Pustaka Panjimas.
Yunus, M. (1996). Hukum Perkawinan Dalam Islam Menurut Mazhab
Syafi’I, Hanafi, Maliki dan Hanbali. jakarta: Hidakarya Agung.
Zahrah, M. A. (2018). al-ahwal al-syakhsiyyah. Qohira: Dar al-Fikr.
Zuaili, W. (1989). All-Fiqh al-Islam wa adillatuhu. Beirut: Dar al-Fikr.
Zuhri, S. (2018). Sanksi Pidana Bagi Pelaku Nikah Sirri dan Kumpul Kebo.
Semarang: Bima Sakti.