Daftar isi:
• Update Informasi Aspek Keamanan Obat:
1. Pembatasan Penggunaan Ketoconazole (Oral) Terkait Dengan Risiko Liver Injury
2. Pembatasan Dosis dan Kontraindikasi Diklofenak Terkait Dengan Risiko Kardiovaskular
2-3
• Safety Alert: Informasi Untuk Dokter Agomelatine dan Risiko Hepatotoksisitas 4
• Safety Alert: Informasi Untuk Dokter Reaksi Hipersensitivitas pada Penggunaan Ultravist®
(Iopromide), Urografin® (Sodium Diatrizoate dan Meglumine Diatrizoate)
5
• Safety Alert: Informasi Untuk Dokter Ibuprofen Dosis Tinggi dan Risiko Kardiovaskular 6
• Safety Alert: Informasi Untuk Dokter Kodein dan Risiko Fatal pada Anak Dengan Obstructive
Sleep Apnoea Setelah Operasi Tonsillectomy atau Adenoidectomy
7
• Data Laporan Efek Samping Obat di Indonesia Tahun 2014 8-10
• Deskripsi Kasus ESO 10
• Kegiatan Farmakovigilans: Pemberian Penghargaan Kepada RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung
Atas Partisipasi Aktif Dalam Mendukung Program Farmakovigilans di Indonesia
11
DAFTAR ISI
Volume 33, No. 1 Edisi Juni, 2015
Sejawat Profesional Kesehatan yang kami hormati,
Pada pertengahan tahun 2015 ini, kembali kami memberikan informasi-informasi keamanan terbaru yang kami harap
dapat bermanfaat bagi Sejawat Profesional Kesehatan. Informasi pertama yang kami sajikan adalah mengenai update
keamanan obat mengandung ketoconazole formulasi oral dan obat mengandung diklofenak untuk formulasi sistemik.
Rekomendasi hasil rapat untuk kedua obat tersebut adalah perubahan pada informasi produk dalam rangka kehati-hatian
penggunaan kedua obat tersebut, informasi selengkapnya dapat disimak pada halaman kedua dan ketiga buletin ini.
Selanjutnya kami menyajikan 4 safety alerts yaitu mengenai risiko hepatotoksisitas pada penggunaan antidepresan agome-
latine (Valdoxan®), reaksi hipersensitivitas pada penggunan media kontras Ultravist® (Iopromide), Urografin® (Sodium
Diatrizoate dan Meglumine Diatrizoate), risiko kardiovaskular pada penggunaan ibuprofen dosis tinggi, dan terakhir
adalah terkait adanya kasus fatal dan mengancam jiwa pada penggunaan kodein sebagai penghilang rasa nyeri setelah
operasi tonsillectomy atau adenoidectomy pada anak – anak berusia 2 - 5 tahun dengan obstructive sleep apnoea.
Kami juga menyajikan data laporan efek samping obat di Indonesia pada tahun 2014 yang secara umum meliputi trend
peningkatan pelaporan efek samping obat di Indonesia dari tahun 2010 - 2014, profil pelaporan berdasarkan jenis efek
samping dan golongan obat yang banyak menimbulkan efek samping pada tahun 2014. Secara khusus, juga diulas me-
ngenai profil pelaporan efek samping obat program AIDs, Tuberkulosis dan Malaria (ATM) dari tahun 2012-2015 dan juga
jenis-jenis efek samping yang sering dilaporkan untuk obat ATM. Beberapa kasus efek samping khususnya obat ATM juga
kami deskripsikan dalam buletin ini.
Sebagai penutup kami memberikan ulasan dan foto pemberian penghargaan kepada RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung
atas partisipasi aktif dalam mendukung program Farmakovigilans di Indonesia.
Salam
Redaksi
EDITORIAL No. ISSN: 0852-6184
2
BADAN POM RI Volume 33, No.1 , Juni 2015 | Buletin Berita MESO
Ketoconazole merupakan suatu derivat imidazole-
dioxolan sintetis yang memiliki aktivitas
antimikotik poten terhadap dermathophyte, ragi.
Ketoconazole bekerja dengan menghambat
“cytochrom P 450” jamur, dengan mengganggu
sintesa ergosterol yang merupakan komponen
penting dari membran sel jamur.
Informasi keamanan tentang ketoconazole oral
pernah dimuat pada Buletin Berita MESO Volume
31 No. 2 Edisi November 2013 lalu, yang
disebutkan bahwa berdasarkan kajian penilaian
risiko ketoconazole oral dari data yang ada oleh
Committee on Medicinal Products for Human Use
(CHMP) disimpulkan bahwa kerusakan hati (liver
injury) lebih tinggi terjadi pada penggunaan
ketoconazole oral dibandingkan dengan anti jamur
lain dan European Medicines Agency (EMA)
merekomendasikan pembekuan (suspend) izin edar
ketoconazole oral. Badan otoritas di negara lain juga
telah melakukan tindak lanjut regulatori terkait
keamanan penggunaan ketoconazole oral tersebut
seperti US-FDA Amerika dan Health Canada dengan
melakukan update informasi produk, sedangkan
TGA-Australia melakukan hampir serupa dengan
EMA, yaitu deregistration (pembatalan registrasi dan
suplai) obat yang mengandung ketoconazole oral.
Menindaklanjuti isu keamanan tersebut, Badan
POM melakukan Pengkajian Aspek Keamanan
Obat secara komprehensif terkait risiko liver injury
akibat penggunaan ketoconazole (oral) pada
tanggal 26 Maret 2015. Pengkajian dilakukan
terhadap data keamanan yang diperoleh dari 2
studi kohort yang dipublikasi di British Journal of
Clinical Pharmacology dan data lain yang relevan.
Kedua studi kohort tersebut di atas bertujuan
untuk melihat risiko liver injury akut dan faktor
risiko liver injury pada pasien yang menggunakan
obat anti jamur oral dan menyimpulkan bahwa:
• Risiko liver injury paling tinggi terjadi pada
penggunaan ketoconazole (oral) dibandingkan
anti jamur oral lain.
• Risiko liver injury meningkat pada pasien de-
ngan lama pengobatan lebih dari 1 bulan.
• Risiko liver injury meningkat pada pasien de-
ngan usia di atas 60 tahun.
Update Informasi Aspek Keamanan Obat:
Pembatasan Penggunaan Ketoconazole (Oral) Terkait Dengan
Risiko Liver Injury
Berdasarkan kesimpulan dari hasil pengkajian
direkomendasikan untuk melakukan perbaikan
penandaan/informasi produk dengan pembatasan
indikasi dan lama penggunaan serta penambahan
boxed warnings untuk semua produk obat yang
mengandung ketoconazole (oral) untuk
meminimalkan risiko liver Injury. Pada saat ini
Badan POM sedang melakukan update informasi
keamanan tersebut dan selanjutnya akan meminta
Industri Farmasi untuk memperbaiki informasi
produknya dalam rangka meminimalkan risiko efek
samping tersebut.
Sebagai informasi, produk inovator ketocozole oral
yaitu Nizoral® tablet sudah tidak beredar di
Indonesia karena pemilik ijin edar telah
mengembalikan nomor izin edar secara sukarela
(voluntary) kepada Badan POM, namun produk obat
copy ketoconazole (oral) masih beredar. (rd)
Daftar Pustaka:
1. Garcia Rodriguez et. all. A cohort study on the risk of
acute liver injury among users of ketoconazole and other
antifungal drugs. Br J Clin Pharmacol 1999, 48: 847-852.
2. Wei Yu Kao, et al. Risk of oral antifungal agent-induced
liver injury in Taiwanese. British Journal of Clinical Phar-
macology. 2013, 77:1 (180-189).
3. EMA. Suspension of Marketing authorizations for oral
Ketoconazole. 11 October 2013.
4. US FDA. Drug safety Communication: FDA limits usage
of Nizoral (ketoconazole) Oral Tablets Due to Potentially 5. Health Canada. Ketoconazole-Risk of Potentially Fatal Liver
Toxicity-for Public. 19 Juni 2013.
6. TGA. Oral Ketoconazole (Nizoral) 200 mg tablets. 10 Ok-
tober 2013.
7. HSA. Safety Advisory on Oral Ketoconazole. 29 Agustus
2014.
8. Data Badan POM RI
Sudahkah Sejawat
Kesehatan
berpartisipasi
melaporkan efek
samping obat?
3
BADAN POM RI
Diklofenak merupakan kelompok non-steroid yang
bersifat anti-reumatik, anti-inflamasi, analgesik dan
antipiretik dengan mekanisme kerja menghambat bio-
sistesis prostaglandin. Diklofenak terdapat dalam
bentuk garam natrium dan kalium. Di Indonesia, di-
klofenak beredar dalam bentuk sediaan sistemik
(tablet, kapsul, suppositoria, dan injeksi) dan topikal
dalam berbagai nama dagang dan generik.
Pada Buletin Berita MESO Volume 31 No. 1 Edisi
Juni 2013 lalu, telah dimuat informasi keamanan
tentang penggunaan obat anti inflamasi non steroid
(AINS), disampaikan bahwa berdasarkan kajian awal
European Medicines Agency (EMA) dari data
(farmakovigilans) yang diperoleh sejak tahun 2005
khususnya untuk diklofenak diperoleh hasil yang
menunjukkan sedikit peningkatan risiko heart attack,
stroke dan thromboembolic event lain yang lebih tinggi
pada penggunaan diklofenak dibandingkan
penggunaan AINS non-selektif lainnya dan risiko
sebanding dengan AINS selektif COX-2 inhibitor.
EMA terus melakukan penilaian lebih lanjut
keamanan obat AINS yang dilakukan oleh
Pharmacovigilance Risk Assessment Committe (PRAC)
dan pada tanggal 14 Juni 2013 PRAC menyimpulkan
bahwa:
• Manfaat penggunaan diklofenak masih lebih besar
dibandingkan dengan risikonya, namun PRAC
merekomendasikan agar peringatan pada
penggunaan inhibitor COX—2 untuk
meminimalkan risiko arterial thromboembolic juga
diterapkan pada diklofenak.
• Efek diklofenak pada jantung dan sistem peredaran
darah ketika diberikan secara sistemik (seperti
kapsul, tablet dan injeksi) menyerupai inhibitor
COX-2 khususnya bila digunakan pada dosis tinggi
(150 mg per hari) dan dalam jangka lama.
Rekomendasi PRAC telah disetujui European
Commission (EC) pada tanggal 25 September 2013.
Terkait isu keamanan diklofenak tersebut, beberapa
badan otoritas di negara lain seperti MHRA-Inggris,
TGA (Therapeutic Goods Administration)-Australia, dan
Health Canada-Canada telah melakukan tindak lanjut
regulatori berupa update informasi produk.
Badan POM juga telah menindaklanjuti isu keamanan
tersebut dengan melaksanakan Rapat Pengkajian
Aspek Keamanan Obat secara komprehensif dengan
melibatkan Tim Ahli, terkait peningkatan risiko
kardiovaskular pada penggunaan diklofenak dalam
bentuk sediaan sistemik pada tanggal 26 Maret 2015.
Pengkajian dilakukan terhadap data keamanan yang
diperoleh dari studi PLoS yang dipublikasikan pada
tahun 2013. Studi tersebut bertujuan untuk melihat
tingkat keamanan penggunaan obat AINS terkait
risiko kardiovaskular. Selain itu kajian keamanan
dilakukan terhadap data yang diperoleh dari badan
otoritas negara lain, studi lainnya, laporan ESO dan
data lain yang relevan. Dalam rapat pembahasan
pengkajian di atas disimpulkan bahwa:
• Diklofenak (formulasi sistemik) meningkatkan
risiko kardiovaskular secara konsisten dan
risikonya sebanding dengan rofecoxib yang
diketahui memiliki toksisitas terhadap jantung.
• Diklofenak dan rofecoxib terkait dengan
peningkatan risiko cardiovascular death dan coronary
death pada pasien yang pernah mengalami miocard
infark (MI) sebelumnya. Diklofenak memiliki
hubungan dose dependent relationship terkait dengan
risiko kardiovaskular.
Berdasarkan kesimpulan dari hasil pengkajian
direkomendasikan untuk melakukan perbaikan
penandaan/informasi produk pada bagian posologi
dan kontraindikasi pada produk obat yang
mengandung diklofenak (formulasi sistemik) . Badan
POM saat ini sedang melakukan update informasi
keamanan tersebut dan selanjutnya akan meminta
industri farmasi pemilik izin edar produk yang
mengandung diklofenak sistemik untuk
memperbaiki informasi produknya, sebagai langkah
untuk meminimalkan risiko efek samping tersebut.
(rd)
Daftar Pustaka:
1. Mc Gettigan P and henry D. PloS Med. Use of Non Ster-
oidal Anti-inflammatory Drugs that Elevate cardiovascular
Risk: An Examination of Sales and Essential Medicines List
in Low-, Middle-, and High-Income Countries. 2013. Vol 10
(2): e100138.
2. EMA. Assessment Report for Diklofenak Containing Me-
dicinal Products (Systemic Formulations). 25 September
2013.
3. MHRA. Drug safety Update: Diclofenac: new contraindica-
tions and warnings after a Europewide review of cardiovas-
cular safety. 11 Juni 2013.
4. TGA Safety Advisory: Non-steroidal anti-inflammatory
drugs and diclofenac reviews. 7 Oktober 2013.
5. Data Badan POM RI
Update Informasi Aspek Keamanan Obat:
Pembatasan Dosis dan Kontraindikasi Diklofenak
Terkait Dengan Risiko Kardiovaskular
Volume 33, No.1 , Juni 2015 | Buletin Berita MESO
4
BADAN POM RI Volume 33, No.1, Juni 2015 | Buletin Berita MESO
Agomelatine (Valdoxan®) adalah obat antidepresan
yang telah disetujui beredar di Indonesia sejak tahun
2010 dengan indikasi pengobatan depresi mayor
pada orang dewasa.
Pada tanggal 26 September 2014, EMA (European
Medicines Agency) telah selesai melakukan kajian ke-
amanan terhadap produk obat mengandung agome-
latine dan menyimpulkan bahwa manfaat yang
diperoleh masih lebih besar dibandingkan risikonya.
EMA juga merekomendasikan tindakan lebih lanjut
yang harus dilakukan untuk meminimalkan risiko
toksisitas liver. Peringatan dalam informasi produk
juga akan diperkuat dengan menekankan bahwa tes
fungsi liver harus dilakukan pada pasien sebelum
memulai pengobatan dan juga secara teratur selama
pengobatan. Jika hasil tes menunjukkan kerusakan
liver (peningkatan enzim liver transaminase dalam
darah menjadi lebih dari 3 kali batas normal atas),
dokter sebaiknya tidak memulai terapi mengguna-
kan agomelatine atau menghentikan terapi pada
mereka yang sudah/sedang meminum obat ini.
Terkait hal tersebut di atas kepada profesional kese-
hatan direkomendasikan hal-hal sebagai berikut:
− Tes fungsi liver dasar sebaiknya dilakukan pada
semua pasien dan sebaiknya obat ini jangan
digunakan pada pasien yang diketahui level
transaminasenya lebih dari 3x batas normal atas.
− Fungsi liver harus dipantau secara teratur selama
pengobatan pada minggu ke 3, 6, 12, 24 dan se-
cara teratur setelahnya.
− Pengobatan harus segera dihentikan jika terjadi
peningkatan serum transaminase lebih dari 3x
batas normal atas, atau jika pasien menunjukkan
tanda dan gejala kerusakan liver potensial.
− Pasien sebaiknya diberikan informasi mengenai
gejala kerusakan liver potensial dan pentingnya
memonitor fungsi liver, selain itu juga pasien se-
baiknya disarankan untuk segera menghentikan
penggunaan agomelatine dan mencari perto-
longan medis apabila timbul gejala kerusakan li-
ver.
Badan POM RI menyampaikan informasi ini kepada
profesional kesehatan untuk meningkatkan kehati-
hatian dan sebagai pertimbangan dalam peresepan
produk obat mengandung agomelatine.
Badan POM RI sebagai Pusat MESO/
Farmakovigilans Nasional menghimbau agar
profesional kesehatan melaporkan apabila ditemui
adanya ESO dengan menggunakan Form–Kuning
MESO atau dapat melaporkan secara online melalui
subsite http://e-meso.pom.go.id ke Badan POM RI.
Data laporan ESO tersebut sangat dibutuhkan untuk
mengawal keamanan produk yang beredar di
Indonesia, sehingga dapat dilakukan evaluasi, dan
diberikan informasi keamanan obat kepada pasien
berdasarkan data populasi di Indonesia.
Badan POM RI akan secara terus menerus
melakukan pemantauan aspek keamanan obat,
dalam rangka memberikan perlindungan yang
optimal kepada masyarakat, dan sebagai upaya
jaminan keamanan produk obat yang beredar di
Indonesia. (wl)
Daftar Pustaka:
1. EMA. EMA confirms positive benefit-risk for antidepres-
sant Valdoxan/Thymanax (agomelatine). 26 September
2014.
2. MHRA. Drug Safety Update: Agomelatine (Valdoxan/
Thymanax): risk of dose-related hepatotoxicity and liver A1
failure – updated warnings and monitoring guidance. 3
Oktober 2012
3. MHRA. Direct Healthcare Professional Communication on
the risk of hepatotoxicity with agomelatine (Valdoxan). 10
Oktober 2012.
4. MHRA. Agomelatine (Valdoxan): monitor liver function
and do not use in people with high transaminase levels (> 3x
ULN) or ≥ 75 years. 14 Oktober 2013.
5. Data Badan POM RI
Safety Alert
Informasi Untuk Dokter
Agomelatine dan Risiko Hepatotoksisitas
Medicines are supposed to save lives
Dying from a disease is sometimes unavoidable;
Dying from a medicine is unacceptable.
( Lepakhin V. Geneva 2005 )
5
Volume 33, No.1 Juni 2015 | Buletin Berita MESO BADAN POM RI
Safety Alert
Informasi Untuk Dokter
Reaksi Hipersensitivitas pada Penggunaan Ultravist® (Iopromide),
Urografin® (Sodium Diatrizoate dan Meglumine Diatrizoate)
Otoritas kesehatan Mesir baru–
baru ini menginstruksikan
Bayer untuk mendistribusikan
Informasi Untuk Dokter (DDL)
produk Ultravist® (Iopromide),
Urografin® (Sodium Diatrizo-
ate dan Meglumine Diatrizo-
ate) kepada profesional kese-
hatan karena ada laporan kasus hipersensitivitas
yang fatal. DDL bertujuan untuk memperingatkan
kembali tentang reaksi hipersensitivitas dan pena-
nganan bila terjadi reaksi hipersensitivitas.
Tidak ada isu terkait kualitas dan informasi produk
di Mesir, reaksi hipersensitivitas dan manifestasinya
juga telah tercantum pada informasi produk.
Berikut rekomendasi kepada profesional kesehatan
terkait risiko reaksi hipersensitivitas pada peng-
gunaan media kontras:
− Uji sensitivitas dengan menggunakan media kon-
tras dosis kecil tidak disarankan karena tidak
memiliki nilai prediktif. Lebih jauh lagi, uji sensi-
tivitas itu sendiri kadang – kadang mengarah
pada reaksi hipersensitivitas yang serius dan
bahkan fatal.
− Sebelum media kontras diinjeksikan, pasien agar
ditanya terlebih dahulu tentang riwayat alergi
(seperti alergi makanan laut, demam, gatal-gatal),
sensitivitas terhadap iodine atau media radio-
grafis dan asma bronkial. Kejadian efek samping
terhadap media kontras dilaporkan lebih tinggi
pada pasien dengan kondisi tersebut di atas dan
dapat dipertimbangkan pramedikasi dengan
menggunakan glukokortikoid. Walaupun
demikian, media kontras dan prophylactic agents
seharusnya tidak diberikan secara bersamaan.
− Reaksi hipersensitivitas dapat semakin membu-
ruk pada pasien yang mendapat pengobatan be-
tablocker terutama dengan adanya asma bronkial.
Pasien yang mengalami reaksi tersebut ketika
menggunakan betablocker dapat menjadi resisten
terhadap efek pengobatan beta agonist.
− Jika terjadi reaksi hipersensitivitas, pemberian
media kontras harus segera dihentikan. Terlepas
dari jumlah dan cara pemberian, gejala alergi ri-
ngan yang terjadi dapat merupakan tanda awal
reaksi anafilaksis serius yang membutuhkan pe-
ngobatan. Dengan alasan ini, media kontras yang
mengandung Iodium hanya dapat digunakan di
lingkungan medis dimana tersedia fasilitas untuk
penanganan kondisi darurat / emergency, misalnya
tersedia peralatan dan obat-obatan yang diperlu-
kan, dokter dengan pengalaman medis yang me-
madai, serta didampingi staf medis yang terlatih,
sehingga memungkinkan untuk melakukan tin-
dakan darurat / emergency kepada pasien untuk
menangani reaksi serius, dan mempertahankan
akses langsung terhadap obat dan surgical kit yang
diperlukan. Pasien harus diobservasi selama
kurang lebih ½ jam setelah pemberian dihentikan
karena berdasarkan pengalaman sebagian besar
kejadian serius terjadi pada periode waktu ini.
Pramedikasi
Dilakukan dengan menggunakan kortikosteroid
tunggal atau kombinasi dengan antihistamin pada
pasien dengan riwayat reaksi hipersensitivitas se-
dang atau berat terhadap media kontras.
Media kontras Ultravist telah beredar di Indonesia
sejak tahun 1993 dan Urografin sejak tahun 1994. In-
formasi mengenai reaksi hipersensitivitas dan
penanganannya telah tercantum pada informasi pro-
duk.
Badan POM sebagai Pusat MESO / Farmakovigilans
Nasional telah menerima sebuah laporan ESO loss of
consciousness yang fatal. Sehubungan dengan hal
tersebut, diperingatkan kembali agar sejawat kese-
hatan mempertimbangan kejadian reaksi hipersensi-
tivitas untuk keamanan pasien. Bila sejawat mene-
mukan ESO tersebut, kami menghimbau agar segera
melaporkan ke Badan POM RI dengan
menggunakan Form-Kuning MESO atau melakukan
pelaporan secara online (http://e-meso.pom.go.id).
Dengan adanya data laporan ESO yang mencukupi,
memungkinkan Badan POM untuk melakukan
kajian keamanan produk ini sesuai dengan kondisi
penggunaan dan berbasis populasi Indonesia. (wl)
Daftar Pustaka:
1. WHO Pharmaceuticals Newsletter No. 1 tahun 2015.
2. Data Badan POM RI
6
BADAN POM RI
Ibuprofen adalah golongan obat antiinflamasi non-
steroid (NSAID) yang bekerja dengan menghambat
enzim cyclooxygenase. Di Indonesia, produk obat me-
ngandung ibuprofen beredar dalam berbagai nama
dagang dan generik dengan berbagai kekuatan. Ibu-
profen 200 mg digunakan untuk meringankan nyeri
ringan sampai sedang, ibuprofen 400 mg digunakan
untuk meringankan gejala – gejala rematik tulang,
sendi dan non sendi, meringankan gejala – gejala aki-
bat trauma otot dan tulang/sendi, meringankan nyeri
ringan sampai sedang, dan ibuprofen 600 mg diguna-
kan untuk pengobatan gejala – gejala Rheumatoid Ar-
thritis, Osteoarthritis dan Juvenile Rheumatoid Arthritis.
Pada tanggal 13 April 2015 diinformasikan bahwa
European Medicines Agency-Pharmacovigilance Risk As-
sessment Committee (EMA-PRAC) telah menyelesaikan
review risiko kardiovaskular pada penggunaan ibu-
profen oral dosis tinggi (2400 mg per hari atau lebih)
dan PRAC menyimpulkan:
− Manfaat ibuprofen masih lebih besar dibandingkan
dengan risikonya namun PRAC tetap mere-
komendasikan dilakukan update saran penggunaan
ibuprofen dosis tinggi untuk meminimalkan risiko
kardiovaskular.
− Penggunaan ibuprofen hingga dosis 1200 mg per
hari tidak menunjukkan peningkatan risiko kar-
diovaskular.
− Ibuprofen dosis tinggi tidak boleh diberikan pada
pasien yang mengalami kondisi jantung dan pere-
daran darah yang serius, seperti gagal jantung,
penyakit jantung, masalah peredaran darah, atau
pada pasien dengan riwayat serangan jantung atau
stroke.
Dokter harus menilai faktor risiko pasien terkait de-
ngan kondisi jantung dan peredaran darah sebelum
memulai terapi jangka panjang menggunakan ibupro-
fen, khususnya bila diperlukan dosis tinggi. Faktor
risiko untuk kondisi ini meliputi merokok, tekanan
darah tinggi, diabetes, dan kolesterol darah yang
tinggi.
Pada tanggal 22 Mei 2015, EMA menyampaikan
bahwa Coordination Group for Mutual Recognition and
Decentralised Procedures – Human (CMDh) telah me-
nyetujui berdasarkan konsensus, update saran peng-
gunaan ibuprofen dosis tinggi dan perubahan infor-
masi produk mengandung ibuprofen dosis tinggi
tersebut akan dilaksanakan oleh negara - negara ang-
gota EMA sesuai dengan jadwal yang disetujui.
Informasi Untuk Dokter mengenai dimulainya review
oleh EMA telah disampaikan kepada rekan sejawat
kesehatan dan telah di upload di subsite http://e-
meso.pom.go.id .
Pada tanggal 23 April 2015 Health Canada juga meng-
informasikan Summary Safety Review ibuprofen oral
dosis tinggi dengan kesimpulan yang sama seperti
yang disampaikan EMA. Health Canada melakukan
tindak lanjut berupa update informasi produk ibupro-
fen dosis tinggi sebagai berikut:
− Ibuprofen oral dosis tinggi (2400 mg per hari atau
lebih) telah diketahui berhubungan dengan pening-
katan risiko serangan jantung dan stroke, khusus-
nya pada pasien yang memiliki riwayat atau faktor
risiko untuk penyakit jantung atau stroke.
− Risiko ini meningkat seiring dengan peningkatan
dosis dan durasi penggunaan.
− Ibuprofen oral dosis 2400 mg per hari tidak boleh
digunakan pada pasien dengan ischemic heart
disease, cerebrovascular disease, congestive heart failure
atau pasien dengan faktor risiko penyakit jantung.
Pada saat ini Badan POM sedang melakukan update
informasi produk dengan menambahkan informasi
penggunaan ibuprofen dosis tinggi (2400 mg per hari
atau lebih) untuk meminimalkan risiko kardiovasku-
lar sesuai dengan informasi yang disampaikan oleh
EMA. Badan POM RI menyampaikan informasi ini
kepada profesi kesehatan untuk meningkatkan kehati
-hatian dan sebagai pertimbangan dalam peresepan
produk obat mengandung ibuprofen, khususnya
dosis tinggi. Badan POM RI sebagai Pusat MESO/
Farmakovigilans Nasional menghimbau agar profe-
sional kesehatan melaporkan apabila ditemui adanya
ESO dengan menggunakan Form–Kuning MESO atau
dapat melaporkan secara online melalui subsite http://e
-meso.pom.go.id ke Badan POM RI. (wl)
Daftar Pustaka:
1. EMA. European Medicines Agency starts review of ibupro-
fen medicines. 13 Juni 2014.
2. EMA. PRAC recommends updating advice on use of high-
dose ibuprofen. 13 April 2015
3. Health Canada. Summary Safety review – Prescription
Oral Ibuprofen (Non Steroidal Antiinflamatory Drug) – Risk
of Serious Heart and Stroke Adverse Event at High Doses. 23
April 2015.
4. Data Badan POM RI
Volume 33, No.1 Juni 2015
Safety Alert
Informasi Untuk Dokter
Ibuprofen Dosis Tinggi dan Risiko Kardiovaskular
| Buletin Berita MESO
7
Volume 33 No.1, Juni 2015 | Buletin Berita MESO BADAN POM RI
Pada publikasi Pediatric Journal tanggal 9 April 2012
yang berjudul “More Codeine Fatalities after
Tonsillectomy in North America Children” dilaporkan
terjadi 2 kasus fatal dan 1 kasus yang mengancam
jiwa pada penggunaan kodein sebagai penghilang
rasa nyeri setelah operasi tonsillectomy atau
adenoidectomy pada anak – anak berusia 2 - 5 tahun
dengan obstructive sleep apnoea. Dua anak yang
meninggal memiliki genetik ultra-rapid metabolizers.
Kodein dimetabolisme menjadi morfin di liver oleh
enzim sitokrom P4502D6 (CYP2D6). Terdapat
variasi genetik enzim sitokrom P4502D6 (CYP2D6)
yang dikenal dengan ultra-rapid metabolizers
(CYP2D6 UM). Orang dengan ultra-rapid metabolizers
dapat meningkatkan metabolisme kodein menjadi
morfin dibanding normal walaupun menerima
kodein pada range dosis terapi. Kadar morfin yang
tinggi dalam darah ini dapat menimbulkan depresi
pernapasan bahkan kematian.
Terkait masalah keamanan tersebut, US FDA telah
melakukan kajian keamanan penggunaan kodein
dan pada tanggal 20 Februari 2013 memperingatkan
bahwa kodein sebagai penghilang rasa nyeri
dikontraindikasikan pada anak dengan obstructive
sleep apnoea setelah operasi tonsillectomy atau
adenoidectomy.
Pada bulan Juni 2013 EMA (Uni Eropa) juga
menyampaikan hasil kajian keamanan penggunaan
kodein sebagai penghilang rasa nyeri pada anak –
anak dan untuk meminimalkan risiko hanya
diberikan pada anak – anak bila diperoleh manfaat
lebih besar dari risikonya dan merekomendasikan:
• Kodein hanya digunakan untuk mengobati nyeri
moderat akut (short lived) pada anak – anak yang
berusia 12 tahun atau lebih, dan hanya jika tidak
dapat diobati menggunakan analgetik lainnya
seperti parasetamol atau ibuprofen, karena ada-
nya risiko depresi pernapasan pada penggunaan
kodein.
• Kodein sebaiknya tidak digunakan sama sekali
pada anak – anak (usia di bawah 18 tahun) de-
ngan obstructive sleep apnoea yang menjalani ope-
rasi pengangkatan amandel atau adenoid karena
pasien ini rentan mengalami masalah perna-
pasan.
• Informasi untuk pasien sebaiknya berisi peringat-
an bahwa anak – anak dengan kondisi terkait
dengan masalah pernapasan sebaiknya tidak
menggunakan kodein.
Selain itu, karena risiko efek
samping kodein juga dapat
terjadi pada orang dewasa,
maka kodein sebaiknya ti-
dak digunakan pada pasien
ultra-rapid metabolizers (usia
berapapun) dan juga ibu menyusui karena kodein
dapat masuk ke bayi melalui air susu ibu.
Hingga saat ini Badan POM RI sebagai Pusat MESO/
Farmakovigilans Nasional belum pernah menerima
laporan kasus efek samping berupa depresi
pernapasan yang mengancam jiwa atau kematian
pada anak – anak dengan obstructive sleep apnoea
akibat penggunaan kodein setelah operasi
tonsillectomy atau adenoidectomy.
Badan POM RI menyampaikan informasi ini kepada
profesi kesehatan untuk meningkatkan kehati-hatian
dan sebagai pertimbangan dalam peresepan kodein.
Badan POM RI sebagai Pusat MESO/
Farmakovigilans Nasional menghimbau agar
profesional kesehatan melaporkan ESO dengan
menggunakan Form–Kuning MESO atau dapat
melaporkan secara online melalui subsite http://e-
meso.pom.go.id ke Badan POM RI sehingga dengan
adanya data yang mencukupi, keamanan produk
yang beredar di Indonesia dapat di evaluasi, dan
dapat diberikan informasi obat kepada pasien
berdasarkan data populasi di Indonesia. (wl)
Daftar Pustaka:
1. Pediatric Journal. More Codeine Fatalities after
Tonsillectomy in North America Children. 9 April 2012.
2. US FDA. FDA Drug Safety Communication: Safety review
update of codeine use in children; new Boxed Warning and
Contraindication on use after tonsillectomy and/or adenoi-
dectomy. 20 Februari 2013.
3. EMA. PRAC recommends restricting the use of codeine
when used for pain relief in children. 14 Juni 2013.
4. EMA. Restrictions on use of codeine for pain relief in chil-
dren – CMDh endorses PRAC recommendation. 28 Juni
2013.
5. Data Badan POM RI
Safety Alert
Informasi Untuk Dokter
Kodein dan Risiko Fatal pada Anak Dengan Obstructive Sleep Apnoea
8
Volume 33, No.1, Juni 2015 | Buletin Berita MESO BADAN POM RI
Trend Pelaporan Efek Samping Obat (ESO) di Indonesia Tahun 2010 - 2014
Dalam lingkup pengawasan obat pasca pemasaran, pemantauan aspek keamanan obat merupakan kegiatan
yang strategis dalam rangka menjamin keamanan obat (ensuring drug safety). Kegiatan ini pada gilirannya
berdampak terhadap jaminan keamanan pasien (ensuring patient safety) sebagai pengguna akhir obat.
Pelaporan ESO yang diterima oleh Badan POM hingga saat ini berasal dari Tenaga Kesehatan (Nakes) dan
Industri Farmasi (IF) dengan jumlah laporan yang cenderung meningkat setiap tahunnya. Jumlah laporan
yang telah diterima dari tahun 2010 hingga 2014 dapat dilihat pada grafik di bawah ini.
Dari grafik di samping terlihat bahwa
jumlah laporan ESO dari tenaga
kesehatan (Nakes) dan Industri
Farmasi (IF) setiap tahun mengalami
kenaikan yang signifikan (2010–2014).
Hal ini disebabkan karena sejak
diterbitkannya Peraturan Kepala
Badan POM RI Nomor
HK.03.1.23.12.11.10690 tahun 2011
tentang Penerapan Farmakovigilans
Bagi Industri Farmasi, kegiatan
Farmakovigilans semakin banyak
diselenggarakan seperti Workshop
Program Farmakovigilans kepada
tenaga kesehatan di Rumah Sakit,
Sosialisasi Pedoman Teknis
Farmakovigilans dan Tools bagi Industri Farmasi, Program Farmakovigilans untuk Obat Program AIDS,
Tuberkulosis, Malaria (ATM) serta Training Farmakovigilans untuk Industri Farmasi.
Profil Pelaporan Efek Samping Obat Tahun 2014
Hingga saat ini Badan POM telah menerima laporan ESO dari Tenaga Kesehatan (Nakes) dan Industri farmasi
(IF). Laporan dari Nakes tahun 2014 sejumlah 345 dan 1871 laporan local report dari IF, dari laporan tersebut
dapat dilihat grafik profil 10 besar jenis ESO yang dilaporkan serta profil golongan obat yang diduga
menimbulkan ESO pada tahun 2014 di bawah ini.
Data Laporan Efek Samping Obat di Indonesia
Tahun 2014
Grafik 10 Besar Jenis Efek Samping Obat Yang dilaporkan
Tahun 2014 Grafik 10 Besar Golongan Obat Yang Diduga
Menimbulkan ESO dari Tenaga Kesehatan Tahun 2014
Trend Pelaporan ESO 2010-2014
9
Volume 33, No. 1, Juni 2015 | Buletin Berita MESO BADAN POM RI
Berdasarkan grafik tersebut, laporan ESO yang diterima oleh Badan POM tampak sangat bervariasi, namun
ESO yang sering dilaporkan pada tahun 2014 adalah Rash (kulit merah-merah dan gatal, bentol-bentol) 52%,
Nausea (mual) 9%, Stevens-Johnson Syndrome 8%. Sisanya adalah Rash Maculopapular 7%, Vomiting 5%, Pruritus
5%, Dizzines 4%, Palpitation 4%, Oedema Periorbital 3% dan Pain 3%. Sepuluh (10) golongan obat yang paling
sering dilaporkan ke Badan POM selama tahun 2014 yang diduga menimbulkan Efek Samping Obat (ESO)
adalah Antibiotic (21%), Anti TB Agents (16%), Nonsteroid Anti Inflammatory Drugs (NSAIDS) (16%), Analgesic
(non opoid) & Antipyretics (13%), Vitamin (7%), Cough & Cold Preparations (6%), Analgesic (opoid) (4%),
Antiemetics (3%) dan Corticosteroid hormones (3%).
Dari grafik disamping menunjukkan bahwa
golongan obat yang diduga menimbulkan ESO
dari Industri Farmasi selama tahun 2014 sebagian
besar masuk ke dalam golongan Anticancer (69%),
kemudian Antivirals (11%) selanjutnya Antiobesity
Agent (7%), Antikoagulants, Antiplatelet &
Fibrinolytics (7%) serta Agents Affecting Bone
Metabolism/ Suportive care therapy (6%). (rs)
Direktorat Pengawasan Distribusi Produk Terapetik dan PKRT Badan POM RI sebagai pusat MESO/
Farmakovigilans Nasional melakukan evaluasi terhadap jumlah laporan Efek Samping Obat AIDS,
Tuberkulosis, dan Malaria (ATM) dengan melihat jumlah laporan Efek Samping Obat Program ATM sebelum
dan sesudah diselenggarakan Training Pedoman Penyelenggaraan Farmakovigilans Obat Program ATM pada
tanggal 3-5 November 2014. Jumlah laporan obat ATM sebelum dan sesudah training dapat dilihat pada tabel
berikut ini :
Grafik Golongan Obat Yang Diduga
Menimbulkan ESO dari Industri Farmasi Tahun
2014
PROFIL LAPORAN EFEK SAMPING OBAT PROGRAM AIDS, TUBERKULOSIS DAN MALARIA
Obat
Jumlah Laporan Efek
Samping Obat ATM
Sebelum Training
Jumlah Laporan Efek
Samping Obat ATM Setelah
Training
Tahun 2012 Tahun 2013 Tahun 2014 Januari-Maret 2015
AIDS 6 26 12 6
Tuberkulosis 15 5 55 47
Malaria 1 7 0 0
Total 22 38 67 53
Data Laporan Efek Samping Obat di Indonesia
Tahun 2014
10
Volume 33, No.1, Juni 2015 | Buletin Berita MESO
Data Laporan Efek Samping Obat di Indonesia Tahun 2014
BADAN POM RI
Deskripsi 2 (Dua) Kasus Efek Samping Obat ATM
Kasus 1:
Seorang pasien wanita usia 45 tahun dengan berat
badan 65 kg, pada tanggal 19 Oktober 2013 dila-
porkan mengalami efek samping obat berupa erupsi
makulopapular/DRESS (Drugs Reactions with Eosino-
philis and Systemic Symptoms) setelah sebulan mene-
rima pengobatan Isoniazid, Rifam-pisin, Pirazina-
mid, dan Ethambutol untuk pengo-batan TB paru
kategori 1. Obat yang dicurigai sebagai penyebab
ESO adalah Isoniazid, Rifampisin, Pirazinamid, dan
Ethambutol. Setelah pemberian obat dihentikan dan
diberi Metil Prednisolon 62,5 mg per hari dan Ceti-
rizin 10 mg sehari sekali, untuk mengatasi efek
samping obat, kondisi pasien membaik, meskipun
belum sempurna. Pasien tersebut tidak mempunyai
riwayat alergi. Hasil evaluasi Tim Pengkaji MESO
menyimpulkan hubungan kausal antara obat yang
dicurigai dengan manifestasi ESO adalah certain.
Kasus 2:
Seorang pasien laki- laki berusia 25 tahun pada tang-
gal 3 Desember 2013 dilaporkan mengalami efek
samping obat berupa Stevens-Johnson Syndrome sete-
lah dua bulan menerima pengobatan Isoniazid, Ri-
fampisin, Pirazinamid, dan Ethambutol untuk pe-
ngobatan TB paru kategori 1 yaitu pada tanggal 1
September 2013 sampai dengan 30 November 2013.
Obat yang dicurigai sebagai penyebab ESO adalah
Isoniazid, Rifampisin, Pirazinamid, dan Ethambutol.
Pada tanggal 12 Desember 2013 dilaporkan pasien
sembuh. Pasien tersebut tidak mempunyai riwayat
alergi. Hasil evaluasi Tim Pengkaji MESO menyim-
pulkan hubungan kausal antara yang dicurigai de-
ngan manifestasi ESO adalah possible. (sc)
Sumber: Data Badan POM RI
TREND LAPORAN EFEK SAMPING OBAT PROGRAM AIDS, TUBERKULOSIS DAN MALARIA (ATM)
Dari grafik Trend Laporan Efek Samping Obat ATM
pada tahun 2012-Maret 2015 disamping ini dapat kita
simpulkan bahwa Training Pedoman Penyelenggaraan
Farmakovigilans Obat Program ATM pada tahun 2014
memberikan kontribusi yang signifikan terhadap
pelaporan Obat Program ATM.
Adapun jenis efek samping obat ATM yang dilaporkan
pada tahun 2014 untuk Obat Tuberkulosis adalah ma-
kula eritema; erupsi makulopapular; rash sebanyak 17
laporan; Stevens-Johnson Syndrome sebanyak 3 laporan;
gangguan pendengaran sebanyak 8 laporan; konjung-
tiva anemis, sklera ikterus, kardiomegali, ronkhi halus
sebanyak 1 laporan; kaku otot, depresi berat, gejala
psikotik mood, hipokalemia sebanyak 3 laporan; insom-
nia, anemia sebanyak 1 laporan; sesak nafas sebanyak 1
laporan; pusing, mual, muntah sebanyak 21 laporan.
Sedangkan untuk Obat AIDS adalah rash;
morbiliformir, makula eritema; drug eruption sebanyak
13 laporan. Data efek samping tersebut dapat dilihat
pada grafik efek samping obat ATM di samping ini.
Sumber: Data Badan POM RI
Trend Laporan ESO Obat ATM Januari 2012—Maret 2015
11
BADAN POM RI
Volume 33, No.1, Juni 2015 | Buletin Berita MESO
Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM)
mempunyai tanggung jawab dalam menjamin obat
dan makanan yang beredar aman, bermanfaat dan
bermutu. Hal ini sejalan dengan visi Badan POM
yaitu Obat dan Makanan aman, meningkatkan
kesehatan masyarakat dan daya saing bangsa.
Untuk meningkatkan kesehatan masyarakat, Badan
POM secara terus-menerus melakukan pengawasan
obat baik sejak pre-market hingga post-market. Pe-
ngawasan post-market antara lain dilakukan dengan
pemantauan aspek keamanan dalam rangka mendu-
kung terjaminnya keselamatan pasien (patient safety).
Pemantauan aspek keamanan obat dilakukan de-
ngan pemantauan dan pelaporan efek samping obat
(ESO), oleh Industri Farmasi sebagai pemegang izin
edar suatu produk dan juga tenaga kesehatan seba-
gai petugas kesehatan yang secara langsung ber-
hubungan dengan pasien.
Untuk meningkatkan awareness petugas kesehatan
dalam melakukan pemantauan dan pelaporan ESO,
Badan POM terus berupaya melakukan sosialisasi
atau workshop kepada petugas kesehatan. Selain itu
Badan POM telah mengembangkan aplikasi pela-
poran ESO secara online melalui subsite http://e-
meso.pom.go.id. Pada subsite tersebut juga terdapat
informasi keamanan obat dan beberapa kegiatan
yang dilakukan oleh Direktorat Pengawasan Distri-
busi Produk Terapetik dan PKRT khususnya Subdit
Surveilan dan Analisis Risiko Produk Terapetik dan
PKRT, yang menangani program farmakovigilans di
Indonesia.
Atas upaya yang dilakukan tersebut, telah diperoleh
peningkatan laporan ESO dari tenaga kesehatan.
Salah satu rumah sakit (RS) yang berpartisipasi aktif
dalam pelaporan efek samping obat (ESO) untuk
mendukung program farmakovigilans di Indonesia
adalah RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung. Pada
tanggal 3 Februari 2015 yang lalu, Badan POM me-
ngundang RSUP Dr. Hasan Sadikin untuk mem-
peroleh penghargaaan sebagai bentuk apresiasi
Badan POM atas partisipasi aktif RSUP Dr. Hasan
Sadikin tersebut. Penerimaan penghargaan oleh dr.
Ayi Djembarsari, MARS sebagai Direktur Utama
RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung.
Pemberian penghargaan tersebut merupakan per-
tama kalinya dilakukan dan ke depan pemberian
penghargaan akan terus dilakukan kepada stakehol-
der yang secara konsisten mendukung dan berpar-
tisipasi aktif dalam farmakovigilans.
Kami sangat berharap peran aktif seluruh tenaga
kesehatan semakin meningkat dalam pemantauan
dan pelaporan ESO, karena partisipasi aktif dari
sejawat tenaga kesehatan akan sangat membantu
Badan POM untuk mengetahui profil keamanan obat
beredar dan sebagai pertimbangan dalam
mengambil keputusan tindak lanjut regulatori
terhadap suatu obat demi jaminan keamanan pasien.
(mda)
Kegiatan Farmakovigilans:
Pemberian Penghargaan Kepada RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung
Atas Partisipasi Aktif Dalam Mendukung Program Farmakovigilans di Indonesia
12
Setiap kejadian yang dicurigai sebagai efek samping akibat obat perlu dilaporkan,
baik obat yang digunakan dalam praktik klinik sehari-hari, termasuk obat program,
vaksin, dan obat baru. Laporan tidak harus didasarkan atas kepastian seratus per-
sen adanya hubungan kausal antara efek samping dengan obat. Bila Saudara mene-
mukan reaksi yang masih diragukan hubungannya dengan obat yang digunakan,
adalah lebih baik dilaporkan daripada tidak sama sekali.
Setiap laporan ESO yang diterima dievaluasi oleh Badan POM RI sebagai Pusat
MESO /Farmakovigilans Nasional untuk menentukan hubungan kausal produk
obat yang dicurigai dengan efek samping yang dilaporkan, menggunakan kriteria
yang telah ditetapkan.
Indonesia telah tercatat sebagai negara anggota dalam kegiatan WHO-UMC
Collaborating Centre for International Drug Monitoring. Untuk itu laporan ESO di
Indonesia yang diterima oleh Pusat MESO/Farmakovigilans Nasional dari
Saudara, akan dikirim ke “Pusat Monitoring Efek Samping Obat
Internasional” (WHO-UMC Collaborating Centre), di Uppsala, Swedia. Data ESO
dari seluruh dunia yang dikirimkan termasuk dari Indonesia, selanjutnya akan
masuk dalam data base Pusat MESO/Farmakovigilans Internasional. Drug
Regulatory Authorities (DRAs) dari negara-negara anggota saling bertukar
menukar informasi berkaitan drug safety melalui portal Vigimed pada website
WHO-UMC.
Laporan ESO yang telah dievaluasi, akan di umpan-balikan ke Sejawat dalam
bentuk deskripsi trend laporan tiap tahunnya. Apabila ada signal dari hasil
evaluasi laporan ESO, hal ini akan menjadi input bagi proses risk-benefit assessment
dan dapat dilakukan pengkajian lebih lanjut secara komprehensif, dan dapat
diambil langkah tindak lanjut regulatori yang tepat. Pusat MESO/
Farmakovigilans Nasional sangat mengharapkan dan menghargai peran aktif
dalam kegiatan MESO dengan cara mengirimkan laporan efek samping obat yang
Saudara jumpai.
BADAN POM RI
ETIKA DALAM
FARMAKOVIGILANS
DEWAN REDAKSI BULETIN BERITA
Drs. Tengku Bahdar Johan Hamid,
Apt, M..Pharm.; Drs.Arustiyono,
Apt.; MPH; Dra. Nurma Hidayati,
M.Epid; Dr. Suharti K.S., SpFK;
Prof.Dr. Armen Muchtar, SpFK;
Prof.Dr. Hedi Rosmiati, SpFK; Dr.
Nafrialdi, SpPD, SpFK; Siti Asfijah
Abdoellah, SSi, Apt, MMedSc; Dra.
Warta Br. Ginting, Apt; Megrina Dian
Agustin, SSi., Apt; Rahma Dewi
Handari, SSi, Apt; Reni Setiawaty,
S.KM., M.Epid; Suci Yunita Sari,
S.Farm., Apt.; Wilia Indarwanti,
S.Farm.,Apt.; Rufni; Sugianto.
ALAMAT REDAKSI BULETIN BERITA
Pusat MESO/Farmakovigilans Nasional
Direktorat Pengawasan Distribusi Produk Terapetik & PKRT
Badan Pengawas Obat dan Makanan RI
Jl. Percetakan Negara No. 23 Kotak Pos No. 143 JAKARTA 10560
Telp : (021) 4245459; 4244755 ext. 111,
(021) 4244691 ext. 1072
Fax : (021) 4243605; 42883485
e-mail :
Subsite:
http://e-meso.pom.go.id
APA YANG PERLU DILAPORKAN ?
• Setiap reaksi efek samping yang dicurigai akibat obat. Terutama efek samping yang selama ini tidak pernah/belum pernah dihubungkan dengan obat yang bersangkutan .
• Setiap reaksi efek samping yang dicurigai akibat interaksi obat.
• Setiap reaksi efek samping serius yang:
♣ Menyebabkan kematian
♣ Mengancam jiwa
♣ Kecacatan permanen
♣ Memerlukan perawatan di rumah sakit
♣ Perpanjangan waktu perawatan di rumah sakit
♣ Kelainan kongenital dan atau kejadian/medis lainnya.
• Setiap reaksi ketergantungan
Sebagai contoh klasik adalah yang berkaitan dengan obat golongan opiat;
walaupun demikian berbagai obat lain dapat menimbulkan reaksi
ketergantungan fisik dan atau psikis
• Lack of efficacy (obat dicurigai tidak berfungsi)/sub-standar/palsu
APA PERANAN LAPORAN EFEK SAMPING OBAT (ESO)
REAKSI-REAKSI APA YANG SEYOGYANYA DILAPORKAN ?
Jika kita mengetahui sesuatu
yang dapat membahayakan
kesehatan orang lain yang tidak
mengetahuinya, dan kita tidak
memberitahukannya adalah
tidak etis.
(To know something that is harmful
to another person, who does not
know, and not telling, is unethical)