2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Distribusi dan Keragaman Jenis Lamun (Seagrass) Lamun adalah jenis tumbuhan yang sudah beradaptasi dengan lingkungan
laut (Touchhette 2007). Lamun dapat tumbuh dan berkembang di perairan tropis
dan perairan temperate (Marlin 2011). Keragaman jenis lamun lebih rendah dari
keragaman jenis tumbuhan lain dari kelompok angiospermae dan jumlah spesies
lamun kurang dari 60 spesies (Waycott et al. 2007).
Distribusi lamun dapat dikelompokan dalam beberapa zona yaitu: (1) zona
Halodule uninervis dengan kisaran distribusi sempit (narrow-leaf), (2) zona
Halophila dengan kisaran distribusi yang luas dan (3) zona Thalassia-
Cymodocea-Enhalus (Fortes 1990). Selanjutnya Short et al. (2001) dalam
Waycott et al. (2007) mengelompokkan distribusi jenis lamun berdasarkan tipe
habitat seperti pada Gambar 2 di bawah ini. Berdasarkan distribusi tiap jenis
lamun tersebut dapat ditemukan jenis lamun yang endemik di daerah tropis yaitu
Enhalus acoroides (Waycott et al. 2007).
Gambar 2 Distribusi jenis lamun berdasarkan habitat (Waycott et al. 2007)
Jumlah jenis lamun di perairan Indonesia sebanyak 12 spesies (Fortes
1994). Namun demikian dengan ditemukannya jenis baru yaitu Halophila
sulawesi saat ini jumlah spesies lamun di perairan Indonesia sebanyak 13
spesies (Kuo 2007 in Supriadi 2009). Distribusi tiap jenis lamun di perairan
Indonesia pada beberapa lokasi berdasarkan jumlah dan jenisnya antar lokasi
tidak sama. Hal ini dapat menjelaskan bahwa wilayah perairan pesisir Indonesia
memiliki kondisi lingkungan yang berbeda sebagai faktor pembatas keragaman
jenis lamun. Salah satu faktor pembatas dalam pertumbuhan dan perkembangan
lamun adalah substrat dan salinitas. Keragaman jenis lamun pada beberapa
lokasi serta kerapatan tiap jenis lamun/m2 (Tabel 1).
Payau
Pantai yang dangkal
Pantai yang dalam
12 Tabel 1 Komposisi jenis lamun dan kerapatan individu lamun/m2
.
No Jenis Lamun Selat Sunda
Teluk Banten
Teluk Jakarta
Lombok Flores
1 Enhalus acoroides 160 40-80 36-96 60-90 60-146 2 Cymodocea rotundata 38-756 690 26-1136 253-1400 220-1800
3 Cymodocea serrulata 48-1120 60-190 1056 362 115-1600
4 Hallophila ovalis 15-240 820 18-115 400-1855 100-2160
5 Halodule pinifolia - - - 7120 430-2260
6 Halodule uninervis 10-335 40-1160 604 80-160 360-5600
7 Sringodium isotifolium 630 124-3920 144-536 1160-2520 360-3740 8 Thalassia hemprichii 30-315 220-464 68-560 200-865 160-1820
9 Thalassodendron ciliatum - - - - 400-840 Sumber: Kiswara et al (1994)
Jenis lamun di lokasi lain seperti di Pulau Sabangko, Salemo dan Sagara di
Kabupaten Pangkep terdiri dari 7 jenis yaitu Enhalus acoroides, Cyamodocea
rotundata, Cyamodocea serrulata, Halodule uninervis, Holodule pinifolia,
Thalassia hemprichii dan Syringodium isotifolium (Supriadi dan Arif 2006), dan
jumlah yang sama ditemukan di Teluk Pelitajaya dan Kotania di Seram bagian
barat dengan jenis Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides, Halodule uninervis,
Halophila ovalis, Syringodium isotifolium, Cymodocea rotundata dan Cymodocea
serrulata (Supriadi 2009). Pada perairan Teluk Toli-Toli dan pulau sekitarnya di
Sulawesi Barat terdapat 8 jenis lamun yaitu Thalassia hemprichii, Enhalus
acoroides, Halodule uninervis, Halodule pinifolia, Halophila ovalis, Syringodium
isotifolium, Cymodocea rotundata dan Cymodocea serrulata (Supriadi 2010), di
Teluk Arun Lampung Selatan dapat ditemukan 4 jenis lamun yaitu Enhalus
acoroides,Thalassia hemprichii, Halodule uninervis dan Halophila ovalis
(Supratomo 2000).
2.2 Biologi Lamun Lamun adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang masuk dalam
sub kelas Monocotiledoneae. Siklus reproduksi lamun secara seksual dilakukan
di bawah air (Marlin 2011) dan struktur reproduksi lamun secara seksual terdiri
dari bunga dan buah. Selain reproduksi secara seksual lamun dapat melakukan
reproduksi secara aseksual. Struktur morfologi lamun terdiri dari akar, batang
dan daun. Fungsi dari tiap organ lamun adalah daun sebagai organ fotosintesis,
sedangkan akar serta rhizoma berfungsi sebagai jangkar untuk menempel pada
substrat dan menyerap nutrient dari lingkungan sekitar (Rutledge dan Jorge
2009). Selanjutnya dijelaskan hasil fotosintesis sebagian disimpan dalam bentuk
karbohidrat dan akan digunakan pada kondisi lingkungan yang tidak
13 menguntungkan dan kemampuan lamun untuk menyimpan karbohidrat dapat
dilihat dari pertumbuhan lamun.
Lamun terdiri dari dua famili yaitu famili Potamogetonaceae dengan ciri-ciri
morfologi seperti herba, sistem perakaran yang maju secara perlahan, bunganya
kecil, uniseluler atau hermaprodit, buahnya kecil dengan satu biji dan famili
Hydrocharitaceae dengan ciri-ciri memiliki sistem perakaran dengan ujung akar
dan susunan daun jelas, dan telah mengalami diffrensiasi antara helai daun dan
tangkai daun serta memiliki buah yang banyak dan tidak memiliki endosperm
(Fortes 1990), sedangkan Duarte (2008) in Marlin (2011) menyatakan lamun
dapat dekelompokkan menjadi 4 famili yaitu famili Posidoniaceae, famili
Zosteraceae famili Hydrocharitaceae dan famili Cyamodoceaceae. Adapun
klasifikasi jenis lamun di perairan Indonesia seperti pada Tabel 2 di bawah ini.
Tabel 2 klasifikasi jenis lamun di perairan Indonesia Devisi: Anthophita
Kelas: Angiospermae
Subkelas: Monocotyledoneae
Ordo: Helobiae
Famili : Hydrocharitaceae
Genus:Enhalus Spesies:Enhalus
acoroides Genus Halophila Spesies: Halophila
decipiens Halophila ovalis Halophila
spinulosa Halophila minor Genus: Thalassia Spesies:Thalassia
hemprichii
Famili: Potamogentonaceae
Genus: Cymodocea Spesies:
Cymodocea rotundata
Cymodocea serrulata
Genus: Haludule Spesies: Halodule
pinifolia Halodule uninervis Genus: Syringodium Spesies:
Syringodium isoetifolium
Genus: Thalassodendron
Spesies: Thalassodendron ciliatum
Sumber : Yulianda et al. (2008)
14
Jenis-jenis lamun tersebut memiliki ciri-ciri secara lengkap seperti pada
Tabel 3 di bawah ini.
Tabel 3 Ciri-ciri spesies lamun yang ditemukan di perairan pesisir Indonesia. Famili Spesies Diskripsi
1. Potamogetonaceae
1.1. Cymodocea rotundata
Rhizoma berbentuk silinder, jumlah daun 3-4, panjang daun 4-15 cm dan lebar 2-4 mm, pada helai daun terdapat 7 -15 tulang daun, membulat dan tumpul, tiap fragmen (node) 1- 4, bunga tidak nampak dan tumbuh di intertidal
1.2. Cymodocea serrulata
Rhizoma berbentuk silinder, rhizoma memiliki panjang 4-25 cm, dengan jumlah akar 1-3, Jumlah daun 3-5 dengan panjang 4 -16 cm dan lebar 4-6 mm dan ditemukan di daerah intertidal
1.3. Halodule pinifolia
Rhizoma memiliki diameter 1mm, daun 2-3, panjang 15 cm dan lebar tidak lebih dari 1mm. dan umumnya dijumpai di substrat berlumpur
1.4. Halodule uninervis
Tulang kurang dari 13, ujung daun seperti trisula, biasanya ditemukan pada substrat berpasir dan berlumpur atau di terumbu karang
1.5. Syringodium isoetifolium
Rhizoma antar fragmen 1-5, panjang daun 16 cm dengan lebar 1-3 mm, memiliki bunga jantan dan betina
1.6. Thalassoden dron ciliatum
Batang tumbuh tegak, jumlah daun 4-6 dan panjang 7-10 cm dan biasanya berasosiasi dengan terumbu karang
2. Hydrocharitaceae
2.1.Enhalus acoroides
Ukuran panjang lebih dari 1 meter, helai daun linier (sejajar), buah berbentuk bulat, ujung daun membulat dan tumbuh pada substrat berlumpur.
2.2.Halophila ovalis
Helai daun berbentuk bulat dan panjang antara 1- 4 cm dan lebar 0,5 – 2,0 cm, seperti semanggi dan mampu tumbuh sampai kedalaman 25 m.
2.3. Halophila spinulosa
Daun berbentuk bulat panjang, tiap kumpulan daun 10 sampai 20 pasang.
2.4.Halophila decipiens
Helai daun berbentuk oval atau elips, dengan panjang 1,0 – 2,5 cm dan lebar 5 mm dan memiliki daun yang berpasang-pasangan.
1.5.Halophila minor
Daun berbentuk bulat panjang seperti telur dan panjang 0,5 – 1,5 cm dan tumbuh substrat berpasir dan berlumpur
2.6.Thalassia hemprichii
Rhizoma tebal sampai 5 mm, pada umumnya panjang daun mencapai 40 cm dan lebar 0,4 – 1,0 cm, helai daun berbentuk pita.
Sumber : Hutomo et al. (1988), Fortes (1989), Nienhuis et al (1989) dan Ertiemeijer (1993) in Dahuri (2003).
Pertumbuhan lamun dibatasi oleh beberapa faktor lingkungan yaitu
sumber karbon, suhu, cahaya, salinitas, perpindahan air dan nutrient (Alongi
2000). Dahuri (2003) menyatakan bahwa parameter lingkungan yang dapat
mempengaruhi distribusi dan pertumbuhan lamun adalah: kecerahan,
temperatur, salinitas, substrat dan kecepatan arus. Koch dan Sven (1996)
menyatakan aktivitas fotosintesis dari macrofita laut yaitu lamun sangat
memungkinkan untuk mengembalikan keseimbangan gas CO2 di atmosfir pada
15 skala global. Namun menurut Duarko dan Amanda (2009) level cahaya tidak
menjadi faktor utama sebagai penghalang distribusi dari Halophila decipiens di
daerah intertidal dan Carlos et al (2006) menjelaskan pengurangan cahaya pada
lamun dapat berpengaruh secara tidak langsung terhadap laju pengurangan
sulfat dan berdampak pada metabolisme lamun. Adapun pengaruh dari beberapa
parameter lingkungan tersebut terhadap pertumbuhan dan perkembangan
lamun adalah sebagai berikut:
1 Salinitas Tiap jenis lamun memiliki kemampuan toleransi yang berbeda terhadap
salinitas, tetapi sebagian besar jenis lamun memiliki kisaran toleransi yang lebar
terhadap salinitas pada kisaran antara 10 – 40 0/oo. Halophila ovalis dapat hidup
pada salinitas yang rendah. Perubahan salinitas dapat menyebabkan kerusakan
lamun. Manzanera et al. (2008) menyatakan Posidonia oceanica sangat sensitif
terhadap peningkatan salinitas, dan kisaran salinitas yang pengaruhnya
signifikan terhadap struktur dan vitalitas lamun berkisar antara 38. 4 0/oo – 39. 1 0
/oo
2 Pergerakan Air Pergerakan air seperti kecepatan arus sekitar 0,5 m/detik, untuk jenis
lamun dari Turtles grass (Thalassia testudinum) dapat tumbuh secara optimal,
sedangkan laju optimal untuk fotosintesis dari Thalassia testudinum pada
kecepatan arus 0,25 cm/det dan Cymodocea nodosa laju optimal fotosintesisnya
terjadi pada kecepatan arus 0,64 cm/det (Alongi 2000)
3 Kecerahan
Lamun membutuhkan intensitas cahaya yang cukup untuk aktivitas
fotosisntesis. Kebutuhan cahaya secara umum untuk tumbuhan lamun pada
kisaran 200 µmolm-2sec-1. Pada daerah intertidal kebutuhan cahaya pada 400-
600 µmolm-2sec-1 dan di daerah subtidal pada kisaran 150 µ mol m-2sec-1 - 250
µmolm-2 sec-1 , sedangkan pada perairan yang lebih dalam kurang dari 100 µmol
m2sec-1
(Alongi 2000). Pantoja-Reyes dan Susana (2005) menyatakan cahaya
memiliki peranan yang cukup relevan dalam mengatur keseimbangan
pertumbuhan lamun baik secara horizontal dan vertikal.
16 4 Temperatur
Lamun yang tersebar secara geogrfais cukup luas dapat diindikasikan
memiliki toleransi yang luas terhadap temperatur (Dahuri 2003). Namun demikian
pada kenyataanya spesies lamun di daerah tropis memiliki toleransi yang rendah
terhadap perubahan temperatur. Kisaran temperatur yang optimal bagi spesies
lamun adalah 280C – 300
C. Temperatur dapat berpengaruh terhadap
kemampuan fotosintesis lamun dan akan menurun jika temperatur berada diluar
kisaran optimal tersebut.
5 Nutrien Produktivitas primer lamun ditentukan oleh dua parameter lingkungan
utama yaitu (1) cahaya dan (2) nutrient. Nutrien yang ketersediaannya terbatas
adalah nitrogen dan fosfat (Tomascik et al, 1997). Ketersediaan nitrogen
sebenarnya cukup banyak tetapi gas ini tidak dapat dimanfaatkan langsung oleh
mahluk hidup (Dugan 1972 in Effendi 2000). Selanjutnya dijelaskan bahwa
nitrogen baru bisa dimanfaatkan oleh mahluk hidup (tumbuhan dan hewan)
terlebih dahulu nitrogen mengalami proses fiksasi menjadi ammonia (NH3),
ammonium (NH4) dan nitrat (NO3). Nitrogen di perairan dapat berupa nitrogen
anorganik yaitu : ammonia (NH3), ammonium (NH4), nitrit (NO2) dan nitrat
(NO3
Fosfat adalah bentuk fosfor yang dimanfaatkan oleh tumbuhan.
Karakteristik fosfor berbeda dengan unsur-unsur utama lainya karena fosfor tidak
ditemukan dalam keadaan bebas. Fosfor berbentuk kompleks dengan ion besi
dan kalsium dan pada kondisi aerob bersifat tak larut serta dapat mengendap
pada sedimen sehingga tidak dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan aquatik
(Jeffries dan Mills, 1996 in Effendi 2000). Selanjutnya dijelaskan unsur fosfor di
perairan ditemukan dalam bentuk anorganik yang terlarut yaitu ortofosfat
(trisodium fosfat, disodium fosfat, monosodium fosfat dan diamonium fosfat) dan
polifosfat (sodium hexametafosfat, sodium trifolifosfat dan tetrasodium pirofosfat).
), sedangkan nitrogen organik berupa protein, asam amino dan urea
(Effendi 2000). Nitrogen yang berlebihan dapat berdampak negatif terhadap
lamun, karena dapat memicu pertumbuhan alga dan akan mengurangi cahaya
yang masuk ke lamun.
Ortofosfat adalah bentuk fosfor yang dimanfaatkan langsung oleh
tumbuhan aquatik, sedangkan polifosfat harus mengalami perubahan dulu,
menjadi bentuk ortofosfat sebelum dimanfaatkan sebagai sumber fosfor. Fosfat
17 anorganik setelah masuk ke tumbuhan seperti fitoplankton mengalami perubahan
menjadi organofosfat yaitu fosfat yang berikatan dengan ferri (Fe2(PO4
) tidak
larut dan mengendap di dasar perairan. Pada saat terjadi anaerob, ion besi
valensi tiga (ferri) mengalami reduksi menjadi ion besi bervalensi dua (ferro) yang
bersifat larut dan melepaskan fosfat ke perairan, sehingga meningkatkan
keberadaan fosfat di perairan (Broun, 1987 in Effendi 2000).
6 Substrat Lamun dapat tumbuh dan berkembang pada beberapa macam tipe
substrat yaitu mulai dari yang berlumpur sampai sedimen dasar yang terdiri dari
endapan lumpur halus sebesar 40 %. Substrat memiliki peran yang cukup
penting terutama sebagai: (1) pelindung dari pengaruh arus air laut dan (2)
tempat pengolahan dan pemasok nutrient (Dahuru 2003). Selanjutnya dijelaskan
kedalaman sedimen yang cukup merupakan kebutuhan utama untuk
pertumbuhan dan perkembangan habitat lamun.
2.3 Peran Ekologi Padang Lamun
Lamun sampai saat ini terus menjadi perhatian yang menarik untuk
kegiatan penelitian, terutama dari aspek reproduksi, fisiologi, anatomi serta
proses evolusinya. Aspek ekologi seperti asosiasi lamun dengan fauna dan
keterkaitan fungsi lamun dengan ekosistem lain masih menjadi objek penelitian
yang sangat penting untuk pengelolaan keberlanjutan lamun dan biota
asosiasinya. Beberapa jenis biota yang berasosiasi dengan lamun adalah
miofauna (nematoda dan polychaeta), makro fauna (bivalvia dan amphipoda),
kelompok motil epifauna dari mikrofauna seperti protozoa dan makrofauna
seperti gastropoda dan echinodermata (Tomascik et.al 1997).
Lamun memiliki peran sebagai tempat pemeliharaan (nursery) ikan yang
masih muda (juvenil) dan memiliki pengaruh secara signifikan terhadap
kepadatan ikan di terumbu karang (Nienhuis et al. 2002). Oleh karena itu
kehilangan habitat yang bervegetasi lamun di suatu wilayah pesisir dapat
berdampak pada penurunan kepadatan (abundance) dan kekayaan (richnes)
organisme (Gillanders and Bloomfield 2005). Parameter lamun yang memiliki
peran cukup penting terhadap keanekaragaman jenis ikan adalah penutupan
lamun (Nemeth dan Jered 2007). Adapun jenis ikan yang sering ditemukan di
padang lamun adalah famili Apogonidae, Blenniidae, Centriscidae, Gerreidae,
Gobiidae, Labridae, Lethrinidae, Lutjanidae, Monacanthidae, Scaridae,
18 Scorpaenidae, Siganidae, Syngnathidae dan Teraponidae (Ohman et al. 2002).
Selanjutnya dijalaskan bahwa jenis ikan yang memilih lamun sebagai habitat
dapat dikelompokkan berdasarkan: (1) kelompok ikan yang tinggal secara
permanen, (2) kelompok ikan yang tinggal secara temporal, (3) kelompok ikan
yang datang secara reguler seperti ikan karang yang migrasi secara harian
(diurnally) dan (4) kelompok ikan yang datang secara sekali-kali. Tomascik et al
(2007) menggambarkan keragaman jenis fauna yang tinggal di padang lamun
(Tabel 4).
Tabel 4 Kelompok fauna yang tinggal di ekosistem padang lamun. No. Fauna Kelompok taksa 1 Infauna Mikrofauna Protozoa dan bakteri
Miofauna Herpacticoid copepods, ostracods, nematodes dan polychaetes
Makrofauna Polichaets, bivalvia, amphipods, holothutoid dan phoronoids
2
Motil epifauna Mikrofauna Protozoa Miofauna Hepacticoids copepods, ostracods, rotifera
dan nematodes Makrofauna Amphipods, isopods, decapods, polichaetes,
gastropods, echinoderms dan nemerteans 3 Sesil efifauna Hydroids, bivalvia, bryozoans, sponges,
ascidians dan polychaetes 4 Epibentik fauna Ikan, decapods dan cephalopods
Sumber : Tomascik et al. (1997)
Jenis ikan yang berasosiasi dengan lamun dapat dikelompokkan menjadi
empat kelompok yaitu: (1) penghuni penuh yaitu yang memijah dan
menghabiskan masa hidupnya di padang Iamun seperti Apogon
margaritophorus, (2) penghuni yang menghabiskan hidupnya di padang lamun
selama masa juvenil hingga siklus dewasa tetapi memijah di luar padang lamun
seperti Halichoeres leparensis, Paramia quinquelineata, Monacanthus
tomentosus, M. hajam, Hemiglyphidodon plagiumetopon dan Sygnathoides
biaculeatus, (3) penghuni yang hanya pada tahap juvenil seperti Siganus
canaliculatus, S. Virgatus, S.chrysospilos, Lethrinus spp. Scarus spp. Abudefduf
spp. Monacanthus mylli dan Muloides samoensis dan (4) penghuni berkala atau
transit yaitu untuk berlindung dan mencari makan (Tomascik at al. 1997).
Keanekaragaman dan kelimpahan jenis ikan di padang lamun didukung
oleh heterogenitas habitat, ketersediaan makanan, peningkatan ruang hidup dan
perlindungan dari predator (Dolar 1991). Pilditch et al. (2004) menyatakan habitat
yang memiliki vegetasi lamun memiliki hubungan yang signifikan dengan
kepadatan dan komposisi makroinvertebrata seperti di esturia New Zealand dan
fauna herbivor yang memiliki ketergantungan cukup besar terhadap lamun
19 adalah sea urchin (Tripneustes gratilla), ikan, penyu hijau (Chelonia midas) dan
dugong (Dugong dugong) (Richmond, 2002, Eklof et. al, 2008 in Lyimo et al.
2009). Zieman et al. (1984) dan Mattila dan Cristoffer (1999) menjelaskan
secara lebih spesifik peran lamun terhadap ikan yaitu sebagai tempat berlindung
dari predator, sedangkan Asmus et al. (2005) menjelaskan peran lamun sebagai
habitat juvenil pada zona pasang surut. Selanjutnya Jones et al. (2006)
menyatakan selain faktor kerapatan, ukuran penutupan dan besarnya
fragmentasi habitat berperan dalam mendukung kelimpahan juvenil ikan. Namun
demikian ketersediaan makan di padang lamun merupakan indikator utama
perpindahan ikan dari ekosistem lain ke padang lamun (Horinouchi 2007).
Asosiasi lamun dengan epifit dapat menambah ketersediaan makanan di padang
lamun dan memiliki korelasi yang positif untuk peningkatan populasi herbivora
(Heck Jr dan Paul 1999).
Jenis makanan ikan di padang lamun adalah krustasea, amphipoda,
brachyura, stomatopoda, copepoda, polychaeta dan gastropoda (Peristiwady,
1994 in Kiswara, 1999). Belt et al. (2007) menemukan jenis ikan omnivora yang
memiliki kelimpahan paling tinggi dan termasuk ikan pemakan invertebrata di
Wakatobi. Selain karena faktor makanan ikan bermigrasi ke padang lamun dapat
disebabkan oleh struktur habitat (Jones et al 2006). Perpindahan ikan dari
mangrove dan rawa (saltmarsh) ke padang lamun karena faktor struktur habitat
lamun yang sangat mendukung sebagai tempat ikan mencari makanan dan
berlindung dari predator (Mattila dan Bostrom 1999). Selain struktur habitat
faktor waktu memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap ikan yang
bermigrasi ke padang lamun. Griffiths (2001) menjelaskan ikan yang tertangkap
pada malam hari lebih baik untuk digunakan dalam penilaian keanekaragaman
ikan, karena dapat merepresentasikan struktur komunitas ikan yang lebih
mendekati kebenaran. Selanjutnya Bell et. al (2007) menjelaskan jenis ikan
omnivora lebih dominan pada siang hari dan diganti dengan ikan pemakan
invertebrata pada malam hari.
Peran lamun terhadap ikan dijelaskan oleh Weinstein et al. (2001) yaitu
lamun memiliki kontribusi sebagai tempat pemeliharaan ikan lebih dari 30 %,
mangrove antara 5 – 10 %, dataran pasang surut (tidal flat) 5 %, rawa 25 – 30 %,
terumbu karang 25 % dan dasar perairan yang berlumpur lebih kecil dari 5 %.
Uraian fungsi lamun terhadap ikan seperti yang disebutkan di atas dapat
merupakan indikator ekologi dari peran lamun terhadap ikan. Padang lamun
20 selain berperan sebagai habitat ikan dan biota lain, lamun memiliki peran penting
dalam menjaga keseimbangan sistem ekologi di wilayah pesisir. Dalam hal ini
Bengen (2004) menjelaskan fungsi lamun di wilayah perairan pesisir adalah: (1)
produsen detritus dan zat hara, (2) mengikat sedimen dan menstabilkan substrat
yang lunak dengan sistem perakaran yang padat dan saling menyilang, (3)
sebagai tempat ikan mencari makan dan berlindung dari sengatan matahari.
Lamun dapat memproduksi bahan bahan organik dalam bentuk detritus.
Biomassa lamun dalam bentuk detritus yang disumbangkan ke perairan sekitar
sebesar 10% - 20% (Tomascik et al. 1997). Proses pemanfaatan lamun oleh
organisme laut melalui rantai makanan yaitu rantai makanan detritus dan rantai
makanan herbivora (Engeman et al 2008). Contoh model rantai makanan di
padang lamun seperti pada Gambar 3.
Gambar 3 Rantai makanan pada lamun dari jenis Enhalus acoroides (Tomascik et
al.1997) Lamun memiliki peran tidak saja terhadap ikan dan biota laut tetapi
memiliki peran yang cukup penting terhadap lingkungan. Mekanisme peran
lamun tersebut seperti pada Tabel 5 di bawah ini.
Tabel 5 Nilai ekologi dan mekanisme peran lamun. No Nilai Ekologi Diskripsi 1 Stabilitas sedimen dan pesisir Canopy lamun sebagai penyangga
perpindahan air dan rihizoma-akar dapat mengikat sediment
2 Menjaga kualitas air Canopy lamun, epifit dan alga berperan seperti semak belukar (scrub) sebagai atau menahan nutrient yang masuk melalui sungai atau run-off
3 Produktivitas primer untuk ekosistem pesisir
Produksi karbon organik dan oksigen
4 Pemeliharaan (nursery) ikan Berlindung, makanan, dan mendukung jaring makanan
Sumber : Thom dan Long (2001)
21 2. 4 Ancaman Kerusakan Lamun
Kerusakan lamun selain disebabkan oleh perahu nelayan, sebagian besar
lamun yang hilang dari perairan pesisir akibat aktivitas pembangunan (Davis dan
Fyfe 2007). Indikator untuk menilai kerusakan lamun adalah komposisi biota laut
yang berasosiasi dengan lamun, kerapatan, penutupan, biomassa dan luas areal
lamun. Kerusakan lamun pada skala tertentu dapat menjadi dasar untuk
mengembalikan fungsi lamun melalui program konservasi dan restorasi (de Jong
et al. 2009).
Saat ini ancaman terhadap kerusakan lamun tidak saja berasal dari
aktivitas antropogenik, juga dari perubahan iklim global yang dapat berdampak
pada naiknya permukaan air laut dan peningkatan suhu air laut yang akan
berpengaruh negatif terhadap lamun (Schultz 2008). Selanjutnya Neckles dan
Frederick (1999) menjelaskan dampak perubahan iklim global terhadap lamun
adalah: (1) perubahan suhu dapat mengubah laju pertumbuhan dan fungsi
fisiologi yang lain dari tumbuhan lamun, (2) naiknya permukaan air laut akan
menyebabkan bertambahnya kedalaman perairan dan berpengaruh terhadap
perubahan pergerakan air yang dapat berdampak pada berkurangnya jumlah
cahaya yang sampai kelamun.
Selain yang telah disebutkan di atas tekanan yang cukup potensial dan
dapat menyebabkan hilangnya lamun adalah sedimentasi, masuknya spesies
baru, panangkapan ikan, aquakultur, overgrazing dan alga blooming (William et
al. 2006). Contoh kerusakan lamun akibat sedimentasi adalah di Taman Nasional
Tuanku Abdul Rahman Sabah Malaisia (Coles et al. 2008) dan contoh lain yang
menyebabkan kerusakan lamun di wilayah tropis seperti pada (Tabel 6).
Tabel 6 Sebuah sintesis dari luas areal lamun yang hilang dan sumber kerusakan lamun.
Mekanisme utama penyebab hilangnya lamun Areal yang hilang (km2
Lingkungan (Environmental) )/tahun
Secara biologi
< 1,0 Pendaratan kapal, polusi herbivora 1, 0 - 100 Eutrofikasi, perahu dan
sedimentasi herbivora
> 100 Hidrologi dan resuspensi sedimen
Tidak ada data
Sumber : William et al. (2006)
Selanjutnya Engeman et al. (2008) menyatakan aktivitas perahu memiliki
dampak negatif terhadap lamun di Teluk Florida dengan luas areal lamun yang
rusak dari tahun 1994 sampai dengan tahun 1997 sebesar 27,1 ha dan antara
22 tahun 1997 sampai tahun 2005 sebesar 10,8 ha/tahun, Virnstein dan Lori (2004)
menyatakan di Utara Indian River Lagoon Florida, kerusakan lamun dari tahun
1996 sampai tahun 1997 lebih dari 100 ha yang disebabkan oleh melimpahnya
makroalga dan tingkat kekeruhan air yang meningkat. Dahuri (2003)
menyebutkan bahwa ancaman ekosistem padang lamun saat ini dapat berasal
dari: (1) sedimentasi, (2) eutrofikasi, (3) over eksploitasi sumberdaya ekosistem
padang lamun, (4) penggunaan alat dan bahan yang dapat merusak habitat dan
(5) degradasi fisik habitat lingkungan laut sebagai akibat dari suatu pengerukan.
Oleh karena itu dalam mendesain model kerusakan lamun dapat dilakukan
melalui dua proses yaitu: (1) lokalisasi gangguan yang bersumber dari jangkar,
bom dan peralatan yang tidak ramah lingkungan dan (2) identifikasi sumber
kerusakan yang berasal dari proses sedimentasi dan faktor antopogenik lainnya
(Schultz 2008). Namun demikian kemampuan pulih (recovery) lamun dapat
menjadi dasar dalam mengestimasi biaya untuk program restorasi (Karlin et al
2008).
2.5 Konservasi Lamun Pengelolaan sumberdaya alam hayati di wilayah pesisir dan laut dimulai
dari pemahaman tentang aktivitas manusia yang berpengaruh terhadap
komunitas biota laut dan ekosistemnya. Pada sistem ekologi di wilayah pesisir
ada tiga ekosistem yang sering terkena dampak aktivitas manusia yaitu terumbu
karang, mangrove dan padang lamun. Namun demikian menurut Coles et al
((2008) lamun sampai saat ini masih kurang mendapat perhatian dalam aspek
perlindungan baik dari kalangan ilmuan, pemerintah dan masyarakat, sedangkan
lamun memiliki fungsi sebagai perangkap sedimen melalui sistem
pertumbuhannya dan memperlambat energi gelombang serta arus yang sampai
ke pantai.
Pengelolaan sumberdaya di wilayah pesisir berkaitan dengan dinamika
pembangunan dapat dilakukan dengan pendekatan konservasi melalui
mekanisme top down dan bottom up (Dearden et al. 2005). Selanjutnya strategi
pengelolaan yang dibutuhkan adalah meningkatkan kesadaran semua pihak
tentang nilai konservasi lingkungan. Selanjutnya Satria (2009) menyebutkan
instrumen penting yang dapat digunakan dalam konservasi sumberdaya laut
yaitu: (1) instrumen ekonomi yaitu kompensasi bagi masyarakat yang tergantung
pada nilai sumberdaya yang ada di areal konservasi, (2) instrumen hukum, (3)
23 instrumen politik yaitu berupa gerakan politik hijau untuk peduli terhadap isu-isu
lingkungan, (4) instrumen pendidikan dan (5) instrumen teknis yang meliputi
pengembangan teknologi ramah lingkungan.
Perlindungan ekosistem padang lamun bertujuan untuk melestarikan lamun
dan biota asosiasinya. Perlindungan padang lamun dapat meningkatkan
biomassa ikan di suatu wilayah perairan laut (Castro et al. 2001). Peningkatan
biomassa ikan dengan pendekatan konservasi ekosistem telah dilakukan melalui
penataan ruang di wilayah pesisir dengan sistem zonasi (DKP 2008). Grumbine
(1994) menjelaskan evaluasi status konservasi melalui program monitoring dapat
menjadi dasar dalam mengoptimalkan pengelolaan kawasan konservasi. Sukses
pengelolaan dapat dimulai dari pemahaman tentang perubahan kondisi
lingkungan secara spatial dan temporal yang memiliki pengaruh signifikan pada
pertumbuhan dan kesehatan lamun (Davis dan Fyfe 2007).
Konsep pengelolaan dengan pendekatan konservasi ekosistem sebagai
salah satu strategi pengelolaan bertujuan untuk menjamin kesinambungan
persediaan dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas
keanekaragaman hayati dan nilainya (UU No. 5 Tahun 1990). Sedangkan World
Conservation Strategy mendefinisikan konservasi adalah sebagai manajemen
dalam penggunaan biosfer oleh manusia dan dapat memberi manfaat yang
besar untuk keberlanjutan (sustainability) bagi generasi sekarang dan dapat
melakukan pemeliharaan untuk kebutuhan generasi yang akan datang (Gilpin
1996).
Konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah upaya
perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
serta ekosistemnya untuk menjamin keberadaan, ketersediaan dan
kesinambungan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil dengan tetap
memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya (UU No 37
Tahun 2007). International Union for the Conservation of Nature and Natural
Resources (IUCN) mendefinisikan konservasi atau area perlindungan laut adalah
suatu wilayah perairan pasang surut bersama badan air di bawahnya dan terkait
dengan flora-fauna dan penampakan sejarah serta budaya dilindungi secara
hukum atau cara lain yang efektif untuk melindungi sebagian atau seluruh
lingkungan di sekitarnya (Pet-Soede et al. 2007). Definisi konservasi di atas
makna yang cukup ensensial adalah nilai keberlanjutan dalam pemanfaatan yang
bertujuan untuk tetap menjaga kelestarian, agar dapat digunakan oleh generasi
24 sekarang dan generasi akan datang. Konsep konservasi sebenarnya diawali oleh
krisis keanekaragaman hayati yang telah didiskusikan oleh para ahli ekologi
sejak tahun 30 an dan 40 an. Saat ini konservasi bukan saja bagian dari kajian
akademik, tetapi sudah dibicarakan sebagai suatu kebijakan khususnya dalam
perencanaan pengelolaan pesisir secara terpadu atau Integrated Coastal Zone
Management (Haes at al 1996). Selanjutnya dijelaskan hal mendasar yang
menjadi fokus dalam konservasi ekosistem adalah perlindungan habitat dapat
diintegrasikan dalam proses perencanaan serta legalisasi sebagai panduan
dalam pelaksanaan pengelolaan.
Indonesia memiliki perhatian yang cukup besar dalam perlindungan
keanekaragaman hayati dan ekosistemnya, hal ini dapat dilihat dari peraturan
yang berhubungan secara langsung dengan perlindungan keanekaragaman
hayati seperti UU No 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati
dan Ekosistemnya, UU No 32 tahun 2009 tentang Pengetolaan Lingkungan
Hidup, UU No 31 tahun 2004 tentang Perikanan, UU No 32 tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah, UU No 37 tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil, peraturan pemerintah yaitu PP No.60 tahun 2007 yang
mengatur secara detil tentang penyelenggaraan Konservasi Sumberdaya Ikan
(DKP 2008).
Penerapan konsep konservasi untuk keberlanjutan sumnberdaya ikan dan
ekosistemnya dilaksanakan dalam bentuk kawasan konservasi perairan yang
bertujuan untuk: (1) perlindungan sistem penyangga kehidupan, (2) pengawetan
keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya dan (3)
pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya (DKP
2008). Selanjutnya Thom et al. (2001) menjelaskan pemilihan indikator dalam
desain konservasi secara konseptual adalah merupakan faktor kunci untuk
memahami perubahan pada struktur dan fungsi ekosistem. Selanjutnya
dijelaskan indikator dari kriteria yang telah dipilih dapat menjadi alat yang efektif
untuk melakukan monitoring dan evaluasi keberlanjutan kawasan konservasi.
Pada perspektif global perlindungan keanekaragaman hayati dan
ekosistem dilaksankan dengan pendekatan Marine Protected Area (MPA). Ehler
et al (2004) menjelaskan tentang perinsip dasar dari MPA adalah:
(a). Memperkuat keterkaitan antara MPA melalui: (1) konektivitas antara MPA
dengan sekitar wilayah pesisir dan laut, (2) menyediakan pengetahuan dan
informasi yang baik dan (3) manfaat dan kegunaan,
25 (b) Menyusun dan mengembangkan model kebijakan MPA dalam kerangka kerja
secara lebih luas untuk diintegrasikan di dalam pengelolaan terpadu wilayah
pesisir dan laut melalui: (1) mengintegrasikan penguatan secara vertikal dan
horizontal, (2) MPA menjadi bagian dari pengelolaan terpadu wilayah pesisir
dan laut dan (3) perencanaan partisipatif untuk desain MPA
(c). Mengembangkan pelaksanaan MPA melalui peningkatan kebijakan dan
manajemen melalui: (1) peningkatan kapasitas dan sumber daya, (2)
penilaian terhadap efektifitas dari pengelolaan dan (3) jaringan kerja
(networks) dari MPA
Konservasi melalui pendekatan MPA yang telah berhasail sebagai alat
dalam pengelolaaan sumberdaya pesisir dan laut secara terpadu adalah:
(1). MPA di Laut Merah Mesir yang cukup efektif sebagai alat untuk pengelolaan
pesisir dan Laut secara terpadu.
(2). Florida Keys National Marine Sanctuary (FKNMS), manajemen MPA dapat
menyediakan informasi dan pengetahuan yang cukup baik bagi masyarakat,
di Tanzania, melalui partisipasi masyarakat dan pendekatan terpadu sukses
dalam meningkatkan kapasitas dan manfaat dari MPA,
(3). Filipina manajemen MPA berhasil dengan pendekatan penguatan hubungan
vertikal dan horizontal antar stakeholder melalui inisiatif pengelolaan pesisir
secara luas dan MPA dapat sebagai alat untuk pengelolaan pesisir terpadu.
MPA dilihat dari bentuknya terdiri dari: (1) wilayah tertutup (closed areas)
adalah wilayah yang tertutup untuk pengambilan ikan, dimana tujuannya adalah
untuk menjamin keberlanjutan sumberdaya ikan, (2) wilayah penelitian dan
monitoring adalah suatu wilayah yang dilindungi untuk dikelola sebagai daerah
penelitian atau evaluasi kondisi lingkungan dan laboratorium alam, (3) wilayah
laut yang sensitif, (4) Taman Nasional Laut, (5) perlindungan laut secara regional
atau ekosistem yang besar dan (6) pengelolaan terpadu (Agardy 1997).
Selanjutnya IUCN in Wescott et al. (2008) membagi kategori MPA dalam
beberapa bentuk yaitu:
1. Strict Nature Reserve ((Ia) yaitu perlindungan suatu kawasan dan sebagian
besar dikelola untuk kepentingan ilmu pengetahuan.
2. Wilderness area (Ib) adalah mengelola suatu kawasan utama untuk
perlindungan, (II) National Park atau Taman Nasional adalah untuk konservasi
ekosistem dan rekreasi, (III) Natural Monumen adalah untuk mengelola suatu
kawasan untuk konservasi alam yang memiliki keistimewaan, (IV) Manajemen
26
habitat dan spesies adalah perlindungan suatu kawasan untuk konservasi
melalui pengelolaan yang diintervensi, (V) Protected Landscape/Seascape
adalah perlindungan dengan pengelolaan utama untuk konservasi landscape
dan rekreasi dan (VI) Managed Resources Protected Area adalah
perlindungan untuk pengelolaan keberlanjutan penggunaan dari sumberdaya
alam dan ekosistemnya.
Konservasi sebagai strategi perlindungan habitat untuk menjamin
keberlanjutan fungsi secara ekologi (Frid et al. 2006). Dalam hal ini Gladstone
(2007) menyebutkan tentang kriteria-kriteria yang diperlukan dalam desain MPA
yaitu: (1) keterwakilan (representativeness), (2) kekayaan spesies (richness
species), (3) nilai ancaman dari spesies, (4) tingkat konektivitas, (5) tidak dapat
diganti (irrepaceability) dan (6) ukuran populasi. Esensi dari definisi konservasi
serta bentuk dan tujuan perlindungan yang telah disebutkan di atas sesuai
dengan Peraturan Pemerintah No 60 tahun 2007 tentang Konservasi
Sumberdaya Ikan, pelaksanaan konservasi perairan dapat dilakukan dalam
bentuk: (1) Taman Nasional Perairan, (2) Suaka Alam Perairan, (3) Taman
Wisata Perairan dan (4) Suaka perikanan, sedangkan sistem pengelolaannya
menggunakan pendekatan zonasi yang meliputi : (1) zona inti, (2) zona
perikanan berkelanjutan. (3) zona pemanfaatan dan (4) zona lainnya.
Konservasi Sumberdaya Ikan (KSDI) adalah: (1) menjaga kelestarian
ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil, (2) melindungi alur migrasi ikan dan
biota lain, (3) melindungi habitat dan biota laut, dan (4) melindungi situs budaya
tradisional (DKP 2008). Selanjutnya Jelbart et al. (2008) menyebutkan tentang
luas areal untuk perencanaan perlindungan areal pesisir dan laut, khusus untuk
areal yang tidak di manfaatkan secara langsung (no-take sanctuary zone) adalah
10 – 30 %. Beberapa hal yang cukup penting tentang keberadaan padang lamun
untuk keberlanjutan sumberdaya ikan seperti yang dinyatakan oleh Hal et al.
(2001) menyebutkan asosiasi ikan dengan padang lamun pada beberapa ukuran
merupakan informasi yang cukup penting untuk desain program restorasi lamun
dan Castro et al (2001) menjelaskan desain zonasi pemanfaatan padang lamun
dapat membantu dalam membuat keputusan tentang strategi monitoring dan
evaluasi terhadap keberlanjutan padang lamun dan biota lainnya.
Morfologi lamun yang dapat dijadikan indikator perubahan kondisi
lingkungan secara ekologi adalah: lebar daun, panjang daun, jumlah daun,
biomassa, kepadatan dan Leaf Area Index (Durako and John 2004). Kelimpahan
27 lamun dan kondisi lingkungan seperti topografi, nutrient dan komposisi sedimen
dapat menjadi dasar dalam investigasi interaksi antar spesies pada skala
temporal di padang lamun daerah tropis (Izumi dan Mashiro 2000).
Indikator ekologi dari struktur dan komposisi ekosistem dapat digunakan
untuk melakukan monitoring dan penilaian pada areal konservasi (Beyeler dan
Dale 2001). Selanjutnya kepadatan, panjang daun dan pencemaran daun (leaf
fouling) dapat digunakan untuk melihat kemampuan lamun untuk pulih dari suatu
kondisi lingkungan (Davis dan Fyfe 2007). Adapun indikator ekologi dalam
desaian konservasi lamun seperti pada Tabel 7 di bawah ini.
Tabel 7 Indikator ekologi dalam desain konservasi.
Struktur Proses Indikator
Organisme Pencemaran lingkungan, mutagenesis Jumlah parasit dan, kelainan bentuk secara fisik
Spesies Batas penyebaran dan kepunahan Ukuran dan jumlah populasi Populasi Perubahan kelimpahan atau kepunahan Umur atau ukuran struktur
penyebaran Ekosistem Kompetisi dan aliran energi Kekayaan spesies,
keanekaragaman dan jumlah tingkat tropik
Landscape Gangguan dan suksesi Fragmentasi, distribusi secara spatial dari komunitas dan habitat
Sumber : Karr (1981) in Beyeler dan Dale (2001)
Indikator ekologi di atas dalam desain konservasi memiliki keterkaitan
dengan luas areal sebagai sasaran konservasi. Dalam hal ini Bohnsack (2002) in
Possingham et al. (2005) menyebutkan areal perlindungan untuk konservasi
keanekaragaman hayati minimal 30 %, sedangkan untuk pengelolaan perikanan
dalam menjaga stok ikan antara 20 % – 30 %.
Seleksi areal konservasi selain berhubungan dengan penetapan batas dan
luas areal, masalah lain yang cukup penting adalah proses ekologi sebagai faktor
kunci untuk mencapai sasaran konservasi. Adapun fungsi-fungsi ekologi
tersebut adalah: (1) siklus energi dan elemen dan karbon, nitrogen, fosfor dan
sulfur, (2) siklus silikon, (3) siklus kalsium karbonat, (4) ekspor dan suplai
makanan, (5) produktivitas, (6) ketentuan dan perlindungan habitat, (7) pola
secara temporal dan kemantapan populasi (variabilitas population), resistensi
dan resilience kommunitas, (8) suplai dan ekspor propagule, (9) imigrasi dan
emigrasi ikan dewasa dan (10) modifikasi dan proses secara fisika (Bremner et
al. 2008).
28
Selanjutnya Possingham et al. (2005) menjelaskan pada kondisi fungsi-
fungsi ekologi tersebut belum teridentifikasi penetapan kawasan konservasi
dapat dilakukan melalui negosiasi dengan stakeholders. Pada suatu areal
konservasi yang telah ditetapkan permasalahan utamanya adalah pada strategi
pencegahan gangguan dari masyarakat (Bianchi et al. 2009). Oleh karena itu
dalam desain konservasi seperti konservasi padang lamun dapat dilakukan
melalui dua pendekatan yaitu: (1) melalui undang-undang atau peraturan
(prescriptive) dan (2) konsensus bersama atau kombinasi keduanya (Larkum et
al. 2006). Selanjutnya Wescott dan Fitzssimons (2008) menyebutkan desain
kawasan konservasi dapat dilakukan melalui: (1) klasifikasi sistem perlindungan
secara komprehensif, dan melakukan kuantifikasi secara rasional dan akurat
pada komponen-komponen yang esensial, (2) pendekatan pengelolaan melalui
sistem zonasi dan (3) strategi pengelolaan isu-isu kebijakan yang bersifat
emergensi. Selain faktor-faktor biologi, ekologi yang dijadikan dasar dalam
desain konservasi di wilayah pesisir, peran masyarakat lokal merupakan bagian
yang menentukan untuk mencapai tujuan konservasi. Hal ini dinyatakan oleh
Few (2009) yang menyatakan partisipasi tidak dapat disederhanakan dalam
desain konservasi, sebab partisipasi itu memiliki kekuatan dalam relasinya
dengan kawasan perlindungan.
Penilaian respon masyarakat terhadap areal konservasi telah dilkukan oleh
Minnis dan Stoffie (2007). Hasil penilaian tersebut menunjukkan ada perbedaan
respon masyarakat terhadap keberadaan kawasan konservasi yang dipengaruhi
oleh: (1) perwakilan masyarakat yang diikutkan dalam proses, (b) resiliensi
masyarakat yang berkurang dalam mendukung proses adaptasi mereka secara
tradisional untuk nilai sosial dan lingkungan alamnya dan (c) identitas
masyarakat yang menghalangi dan melindungi akses ke wilayah pesisir dan laut.
Selanjutnya dari hasil penilaian tersebut dapat disusun permasalahan sosial dan
ekonomi masyarakat untuk desain model konservasi meliputi: (1) dampak
terhadap perikanan, (2) partisipasi masyarakat dan (3) potensi manfaat yang
dapat diterima oleh masyarakat sekitar.
Areal konservasi padang lamun di Selat Kepulauan Torres dilakukan oleh
masyarakat yang dikenal sebagai “seagrass-watch” (Coles et al 2008). Hal
penting yang perlu diperhatikan dalam proses pelibatan masyarakat adalah: (1)
indentifikasi kebutuhan dan komunikasi yang wajar dalam pertemuan, (2)
pengembangan konsep, (3) implementasi yang meliputi program pengelolaan
29 dan (4) mengkomunikasikan hasil analisis. Hal ini sesuai dengan yang
dinyatakan oleh Dahuri (2003) yang menyatakan upaya meningkatkan kesadaran
dan partisipasi masyarakat dapat dilakukan melalui: (1) meningkatkan dan
mengoptimalkan kerjasama dan koordinasi, (2) desiminasi manajemen, (3)
memperbaiki kualitas dan kuantitas pekerja yang terlibat dalam pengelolaan, (4)
keterlibatan publik, (5) mendukung komunitas lokal, (6) mengembangkan metode
alternatif dalam penangkapan ikan.
Masyarakat lokal memiliki pengetahuan yang cukup memadai tentang areal
konservasi dan pengetahuan tersebut disebut sebagai pengetahuan ekologi
masyarakat lokal (Simms et al. 2009). Selanjutnya dijelaskan pengetahuan
ekologi masyarakat memiliki keterkaitan dengan ahli dibidang konservasi yang
dapat saling memperkuat dalam merumuskan kebijakan pengelolaan seperti
pada Gambar 4 di bawah ini.
Gambar 4 Peranan pengetahuan ekologi masayarakat dalam pengelolaan.
Dimensi pengetahuan lokal tidak saja berhubungan dengan tindakan
konservasi tetapi juga dengan sistem kelembagaan (Tabel 8).
Tabel 8 Dimensi kelembagaan untuk konservasi SDA pesisir dan laut
No Faktor Atribut Data dan informasi
1 Asal usul lembaga Proses pembentukan dan sifat lembaga
1. Sejarah pembentukan lembaga
2. Inisiatif pembentukan 3. Dasar pembentukan 4. Tujuan pembentukan
2 Keberadaan lembaga Batas kewenagan dan aturan main
1. Identifikasi anggota 2. Proses rekruitmen 3. Bentuk-bentuk aturan
(penangkapan dan non penangkapan)
3 Manajemen konflik Manajemen konflik 1. Kemampuan pemimpin atau anggota kelompok dalam menyelesaikan konflik yang terjadi di masyarakat
2. Mekanisme atau prosedur penyelesian konflik
Sumber : Priyatna et al. (2007)
Ilmuwan Pengetahuan ekologi masyarakat lokal
Informasi untuk membuat kebijakan pengelolaan
30
Kriteria sosial dan ekonomi untuk menyeleksi kawasan konservasi terdiri
dari beberapa indikator seperti pada Tabel 9.
Tabel 9 Kriteria sosial dan ekonomi untuk menyeleksi kawasan konservasi untuk perlindugan laut.
No Indikator Kriteria 1 Ekonomi Jumlah nelayan yang tergantung pada wilayah (area) dan nilai
wisatanya Kontribusi dari perlindungan untuk meningkatkan dan pemeliharaan nilai ekonomi
2 Sosial Kenyamanan, memelihara metode penangkapan secara tradisional, nilai rekreasi, pendidikan, nilai keindahan dan nilai warisan
3 Ilmu Pengetahuan
Jumlah ahli yang mempersiapkan konsep, pengaturan survey dan monitoring, nilai pendidikan serta kegiatan penelitian
4 Kelayakan dan kegunaan
Dapat diterima secara sosial dan politik, mudah diakses untuk pendidikan dan wisata, cocok dengan keadaan wilayah, kenyamanan dalam manajemen dan dapat dilaksanakan
Sumber : Houde et al.(2001)
Selanjutnya dilihat dari keragaman stakeholder yang memanfaatkan
sumberdaya di wilayah pesisir memiliki perbedaan dalam tujuan dan Ehler et al.
(2004) menjelaskan secara detil perbedaan interes antara dua komunitas
masyarakat yaitu antara masyarakat lokal dengan masyarakat industri wisata
pada suatu kawasan konservasi laut seperti pada Tabel 10.
Tabel 10 Perbedaan interes antara masyarakat lokal dan masyarakat industri wisata dalam konservasi
Daerah
perlindungan Masyarakat lokal Industri wisata
Konservasi biodiversity
Fungsi utama : in situ konservasi biodiversity
Memelihara (maintanance) fungsi secara ekologi
Preservasi (pengawetan) sumberdaya alam sebagai basis komoditas dari industri
Preservasi budaya
Pengetahuan lokal untuk konservasi dan keberlanjutan biodiversity
Memelihara(maintenance) dalam keterpaduan sosial dan matapencaharian
Preservasi (pengawetan) sebagai komoditas yang ditawarkan untuk wisata
Pendapatan Pendapatan yang diinvestasikan di dalam konservasi
Sebagai sumber pendapatan masyarakat lokal
Pendapatan untuk industri
Sumber : Ehler et al. (2004)
31 2.6 Pengelolaan Perikanan Berbasis Ekosistem
Salah satu masalah dalam pengelolaan adalah memeberikan memberikan
makna keberlanjutan seperti pada keberlanjutan nasib perikanan tangkap.
Dalam hal ini keberlanjutan tersebut dapat dilihat dari beberapa aspek yaitu: (1)
keberlanjutan ekologi, (2) keberlanjutan ekonomi, (3) keberlanjutan sosial dan
(4) keberlanjutan teknologi dan etika (Fauzi, 2001 in Susilo 2005). Secara
konseptual desain keberlanjutan perikanan tangkap yang berbasis konservasi
ekosistem dapat dilakukan melalui beberapa tahap yaitu melalui: identipikasi
jenis alat tangkap, tekanan terhadap lingkungan, status perikanan tangkap serta
dampak perikanan tangkap dan respon dari dampak tersebut. Dari permasalahan
tersebut dapat diupayakan strategi pengelolaan sebagai respon dari kegiatan
perikanan tangkap dan prosesnya secara konseptual seperti pada Gambar 5
(Brito et al. 2009).
Gambar 5 Krangka konseptual dalam desain areal konservasi yang berhubungan dengan perikanan tangkap
Sektor Perikanan
Tipe alat tangkap
Habitat, spesies dan sosial ekonomi
Perubahan dalam populasi Perubahan stuktur habitat secara spatial Perubahan yang berhubungan dengan sosial ekonomi masyarakat
Monitoring Penelitian Pendidikan Perbaikan aktivitas
Pembatasan Zonasi
Perencanaan Pengelolaan
Areal Konservasi laut
32
Kebijakan pengelolaan perikanan tangkap dalam rangka mengembalikan
stok sumberdaya ikan dapat dilakukan melalui: (1) pergeseran kebijakan
pengelolaan perikanan dari pengelolaan yang berorientasi pada perluasan usaha
menuju pada pengelolaan yang berkelanjutan, (2) pengelolaan perikanan
memahami bahwa prinsip “sumberdaya tidak akan pernah habis” sudah tidak
berlaku, (3) pemindahan usaha penangkapan dari satu tempat ketempat lain
sebagai sumber kolapsnya perikanan setempat dan (4) pengelolaan perikanan
berdasarkan pendekatan ekosistem, kawasan konservasi laut memainkan
peranan penting (Pet-Soede et al. 2007). Selanjutnya Dahuri (2003) menjelaskan
pengelolaan perikanan berbasis ekosistem dan berbasis masyarakat mengalami
banyak hambatan baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan yang
disebabkan oleh : (1) data dan informasi yang tidak akurat, (2) kemiskinan, (3)
kesadaran yang masih rendah, (4) upaya eksploitasi lebih tinggi dari upaya
konservasi, (5) kelembagaan, (6) tingkat pendidikan yang masih rendah dan (7)
pertumbuhan penduduk yang masih tinggi.
Peningkatan kesadaran masyarakat dalam pengelolaan perikanan berbasis
ekosistem dapat dilakukan melalui pengenalan atau sosialisasi terhadap jasa dan
fungsi ekosistem di wilayah pesisir dan laut. Fungsi dan jasa ekosistem yang
dimaksud seperti pada Tabel 11. Axmacher et al. (2009) menjelaskan tantangan
dalam pengelolaan perikanan berkelanjutan adalah pertumbuhan populasi
penduduk yang tinggi, pembangunan ekonomi yang cepat serta partisipasi
masyarakat yang masih rendah. Oleh karena itu dalam pengelolaan perikanan
perlu mengintegrasikan hak masyarakat seperti yang dilakukan di Swedia (Waldo
and Brady 2009).
Pendekatan ekosistem telah terbukti dapat meningkatan biomassa ikan
dalam ukuran ikan dan komposisi spesies (Robert dan Hawkins 2001 in Pet-
Soede et al. 2007). Hal ini disebabkan karena pendekatan ekosistem secara
konseptual memelihara integritas ekologi secara integral melalui: (1)
pemeliharaan populasi dan representasi ekosistem, (2) meminimalkan ancaman
utama terhadap sumberdaya alam, (3) melindungi potensi yang potensial dari
ekosistem serta spesies dan (4) mengakomodasi kebutuhan beberapa kelompok
kunci seperti ilmuan, pemerintah, maneger dan masyarakat (Grumbine 1994).
Pendekatan ekosistem adalah sebuah strategi untuk pengelolaan terpadu
dengan tujuan untuk meningkatkan keseimbangan pada tiga obyek yaitu: (1)
konservasi, (2) keberlanjutan penggunaan dan (3) manfaat yang diambil dari nilai
33 kegunaan (Ehler et al, 2004). Selanjutnya dijelaskan keberhasilan pendekatan ini
dapat dilakukan melalui: (1) meningkatkan peran masyarakat lokal dan (2)
mengenal secara signifikan batas wilayah dan sumberdaya alam atau
biodiversity serta masyarakat.
Tabel 11 Klasifikasi fungsi dan jasa ekosistem
No Jasa ekosistem Fungsi ekosistem Contoh
1 Tempat perlindungan (refugia)
Habitat untuk tinggal dan transit dari populasi atau spesies
Ekisistem mangrove, padang lamun dan terumbu karang
2 Biologi (biological control)
Mengatur dinamika trofik dari populasi atau spesies
Kontrol dari predator terhadap mangsa(prey) dari keystone spesies, pengurangan herbivora oleh top predator
3 Produksi makanan (food production)
Tempat produksi primer kotor yang dapat diekstrak sebagai makanan
Produksi ikan dari ekosistem pesisir dan ekosistem lain
4 Regulasi gas (gas regulation)
Pengaturan komposisi kimia di atmosfir
Keseimbangan CO2 dan O
5
2
Regulasi iklim (climate regulation)
Regulasi temperatur global, presipitasi (presipitation) dan proses biologi lainnya baik ditingkat lokal maupun global
Regulasi gas rumah kaca
6 Sumber genetik (genetic resources)
Menghasilkan materi biologi yang langka
Bahan kesehatan, gen resistensi
7 Rekreasi(recreation) Menyediakan peluang untuk aktivitas rekreasi
Eco-tourism, berenang dan aktivitas olah raga yang lain
8 Budaya(culture) Menyediakan peluang untuk tidak digunakan sebagai tempat komersial
Pendidikan, astetik, spiritual dan nilai ilmiah (scientific) dari ekosistem
Sumber : Belt et al. (1997)
Sejalan dengan konsep perbaikan sistem pengelolaan perikanan yang
berkelanjutan (sustainable) Sakurai et al. (2008) menjelaskan pengelolaan
perikanan adalah strategi memelihara spesies-spesies utama melalui metode
monitoring dan evaluasi terhadap fungsi dan struktur ekosistem. Konsep
pengelolaan perikanan dari konsep co-management telah dikembangkan menjadi
ekosistem management (Sakuri et al. 2008). Manajemen ekosistem tujuannya
adalah memelihara integritas fungsi ekologi melalui pemeliharaan populasi
34 ekosistem dan proses ekologi serta tetap mengakomodasi kebutuhan
masyarakat (Grumbine 1994). Oleh karena itu dalam pengelolaan perikanan
berkelanjutan sasarannya adalah: (1) jumlah maksimum tenaga kerja yang
dapat terserap, (2) pemeliharaan habitat, (3) maximum sustainable yield (MSY),
(4) konservasi terhadap stok ikan dan lingkungannya, (5) pertukaran generasi,
(6) efisiensi ekonomi dan (7) kesamaan hak secara sosial (Charles 2001).
Lalwani et al. (2004) menjelaskan tentang unsur-unsur utama dalam pengelolaan
seperti Tabel 12 di bawah ini.
Tabel 12 Faktor sukses dalam Integrated Coastal Management (ICM)
No. Faktor Sub Faktor 1 Pelaksanaan bersama (co-operation) Kolaborasi (collaboration) 2 Komprehensif (comprehensiveness) Keterwakilan (representative) 3 Konsisten (consistensy) Harmonisasi (harmonization) 4 Pendidikan (education) Latihan (training) 5 Dukungan pemerintah (govermment
backing) Dukungan politik (political support) dan kesadaran masyarakat (public awareness)
6 Isu-isu secara institusional (institutional issues)
Kapasitas pemerintah
7 Keahlian (inventiveness) Pembaharuan (innovation) 8 Partisipasi (partipation) Pluralisme (pluralism) 9 Praktis (practical) Pelaksanaan (implementation) 10 Keberlanjutan (sustainability) Konservasi dan pemeliharaan
(maintenance) Sumber : Lalwani et al. (2004)
Pengelolaan berbasis ekosistem tidak dapat dipisahkan dengan
masyarakat lokal. Hal ini dapat dilihat pada Pengelolaan Taman Wisata Alam
Laut Gili Indah yang memadukan antara kearifan lokal (awig-awig) dengan
kelestarian sumberdaya alam (Sano et al. 2006). Konsep di dalam awig-awig
tersebut memuat tentang: (1) batas aktivitas dari nelayan tradisional, wisata dan
budidaya rumput laut dan (2) sanksi. Pengelolaan lingkungan berbasis kearifan
lokal di Pulau Lombok selain awiq-awiq ada juga “sawen” seperti di Lombok
Utara (Satria 2006 in Baird et al. 2007). Sawen sebagai kearifan lokal
masyarakat Lombok Utara memiliki ciri yaitu: (1) ada pembagian kewenangan
pengelolaan untuk hutan, pertanian dan laut yang dipimpin oleh tokoh yang
disebut “mangku”, (2) struktur sawen terdapat aspek kognitif yang
menggambarkan pengetahuan ekologi masyarakat lokal dan prinsip-prinsip
pengelolaan sumberdaya alam dan aspek regulator yang menggambarkan
tentang prilaku (codes of conduct) serta norma yang berisikan pandangan
tentang dunia dan sistem kepercayaan.