PEMERIKSAAN FESES PADA MANUSIA
Oleh :
1. Amazonia Dhita Ristanti (G1B007036)
2. Subekhan (G1B007038)
Rombongan : 1 (Satu)
Asisten : Dwi Ratna Sari (B1J005085)
LAPORAN PRAKTIKUM PARASITOLOGI
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU - ILMU KESEHATAN
JURUSAN KESEHATAN MASYARAKAT
PURWOKERTO
2008
LEMBAR PENGESAHAN
Oleh : Amazonia Dhita R (G1B007036)
Subekhan (G1B007038)
Laporan praktikum ini dibuat untuk memenuhi persyaratan mengikuti
responsi praktikum Parasitologi Jurusan Kesehatan Masyarakat Universitas
Jenderal Soedirman.
Purwokerto, Juni 2008
Mengetahui dan Menyetujui
Dwi Ratna SariB1J005085
KATA PENGANTAR
Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Karena
atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya, akhirnya Penulis mampu
menyelesaikan Laporan Praktikum Parasitologi yang berjudul ” Pemeriksaan
Feses Pada Manusia”.
Laporan Praktikum Parasitologi ini disusun dalam rangka untuk memenuhi
persyaratan mengikuti responsi dan untuk melaporkan hasil praktikum yang
Penulis lakukan untuk mata kuliah Parasitologi pada Jurusan Kesehatan
Masyarakat Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.
Dalam penyusunan laporan ini, penulis tidak lupa untuk mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Allah SWT atas berkat dan rahmat-Nya sehingga penulisan karya
ilmiah ini dapat terselesaikan.
2. Ibu Drs. Siti Subadrah AZ, SU selaku dosen mata kuliah Parasitologi
Universitas Jenderal Soedirman.
3. Ibu dr. Tutik Ida Rosanti, M.Kes selaku dosen mata kuliah Parasitologi
Universitas Jenderal Soedirman.
4. Kedua orang tua yang telah memberi dukungan baik moral dan
materiil.
5. Teman-teman dan pihak lain yang telah membantu dalam penyelesaian
penulisan laporan ini.
Penulis menyadari dalam penulisan Laporan Praktikum ini masih banyak
kekurangan dan kelemahannya serta masih jauh dari kesempurnaan di dalamnya.
Maka dari itu Penulis mohon maaf atas kesalahan dan kekurangan yang ada.
Akhir kata, atas perhatian pembaca, Penulis ucapkan terima kasih.
Purwokerto, Juni 2008
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di Indonesia masih banyak penyakit yang merupakan masalah kesehatan,
salah satu diantaranya ialah cacing perut yang ditularkan melalui tanah. Cacingan
ini dapat mengakibatkan menurunnya kondisi kesehatan, gizi, kecerdasan dan
produktifitas penderitanya sehingga secara ekonomi banyak menyebabkan
kerugian, karena menyebabkan kehilangan karbohidrat dan protein serta
kehilangan darah, sehingga menurunkan kualitas sumber daya manusia.
Prevalensi Cacingan di Indonesia pada umumnya masih sangat tinggi, terutama
pada golongan penduduk yang kurang mampu mempunyai risiko tinggi terjangkit
penyakit ini.
Dalam rangka menuju Indonesia Sehat 2010, Pembangunan Kesehatan
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan nasional,
pembangunan tersebut mempunyai tujuan untuk mewujudkan manusia yang sehat,
produktif dan mempunyai daya saing yang tinggi. Salah satu cirri bangsa yang
maju adalah bangsa yang mempunyai derajat kesehatan yang tinggi dengan mutu
kehidupan yang berkualitas.
Sesuai dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan,
pada Pasal 3 dinyatakan bahwa : Setiap orang berkewajiban untuk ikut serta
dalam memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan perorangan, keluarga dan
lingkungannya. Sedangkan pada Pasal 8 dinyatakan bahwa: Pemerintah bertugas
menggerakkan peran serta masyarakat dalam menyelenggarakan pembiayaan
kesehatan, dengan memperhatikan fungsi sosial sehingga pelayanan kesehatan
bagi masyarakat yang kurang mampu tetap terjamin.
Sejalan dengan berlakunya desentralisasi sebagaimana tercantum dalam
Undang-Undang no. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah; Undang-Undang
No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah; dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan
Pusat, Propinsi, Kabupaten/Kota sebagai daerah Otonom. Maka berbagai kegiatan
telah dilaksanakan seperti Pencanangan program pemberantasan cacingan pada
anak dilakukan oleh Menteri Kesehatan Prof. DR. Sujudi di Medan pada tanggal
12 Juni 1995. Kerjasama upaya pemberantasan Cacingan merupakan salah satu
program Departemen Kesehatan, dalam rangka mendorong masyarakat untuk
menjadi pelaku utama dalam pemberantasan cacingan di daerahnya masing-
masing.
Deklarasi Bali menjelaskan lagi bahwa program pemberantasan Cacingan
menghasilkan perbaikan besar baik bagi kesehatan perorangan maupun kesehatan
masyarakat. Setiap negara berkembang harus memberikan perhatian yang tinggi
terhadap program pemberantasan penyakit Cacingan. Mengingat bahwa Cacingan
merupakan salah satu penyakit yang berbasis lingkungan maka perhatian terhadap
sanitasi lingkungan perlu ditingkatkan. Oleh karena itu di samping hal-hal
tersebut diatas maka perlu disusun suatu Pedoman Nasional yang dalam
pelaksanaannya melibatkan berbagai sektor, guna memudahkan daerah dalam
membuat perencanaan operasional.
B. Tujuan
Tujuan dari praktikum ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui teknik pemeriksaan telur pada tinja anak-anak.
2. Mengetahui tingkat infeksi dari cacing-cacing parasiter dalam tinja
3. Mengetahui bentuk-bentuk dari cacing parasiter, bentuk telur maupun
larva agar kita mudah untuk mengenali dan melakukan tindakan efektif
baik untuk pencegahan maupun pengobatan terhadap infeksi cacing
parasiter.
II. TELAAH PUSTAKA
Dalam diagnosis infeksi cacing usus secara parasitologis, bahan yang
diperiksa adalah tinja penderita. Kepekaan suatu metoda diagnosis sangat penting
tidak hanya untuk menentukan ada tidaknya infeksi, namun juga untuk menguji
keberhasilan penggunaan obat cacing yang dipakai dalam pengobatan.
Ada beberapa metoda pemeriksaan tinja yang sudah dikenal. Pemeriksaan
tinja metoda natif, pengapungan, dan cara harada mori yang merupakan metoda
yang paling murah, sederhana dan cepat. Metoda ini biasa dilakukan untuk
diagnosis rutin di laboratorium klinik.hal ini akan dijelaskan sebagai berikut :
A. Macam Metode dan Dasar Teori
1. Pemeriksaan Secara Natif
Pemeriksaan tinja secara natif, termasuk pemeriksaan tinja
kualitatif. Metode ini digunakan untuk pemeriksaan secara cepat dan baik
untuk infeksi yang berat, karena untuk infeksi yang ringan, cara ini sukar
mendapatkan hasil, atau dengan kata lain, sukar untuk menemukan telur
– telur cacing parasit.
Cara pemeriksaan ini menggunakan larutan NaCl fisiologis (0,9 %)
atau 2 %. Penggunaan eosin 2 % dimaksudkan untuk lebih jelas
membedakan telur-telur cacing dengan kotoran dasekitarnya.
2. Pemeriksaan Dengan Metode Apung (Flotation Method)
Pemeriksaan dengan menggunakan metode ini dimaksudkan untuk
mengidentifikasi tinja yang mempunyai sedikit telur. Cara identifikasinya
yaitu dengan membedakan berat jenis (BJ) telur dengan kotoran pada
tinja. Pada dasarnya penggunaan NaCl jenuh (33 %) dimaksudkan agar
telur – telur cacing dapat terapung ke permukaan larutan karena BJ telur
lebih ringan dari kotoran yang lainnya.
3. Pemeriksaan Dengan Metode Harada Mori
Pemeriksaan dengan menggunakan metode ini yaitu untuk
mengidentifikasi larva cacang parasit, telur yang dieramkan selama + 7
hari, akan memungkinkan terjadinya penetasan terhadap telur tersebut.
Penggunaan media aquades disini berfungsi untuk menciptakan suatu
suasana yang lembab, sehingga pada daerah atau suasana tersebut telur
cacing akan menetas dan larva (larva infektif) ini akan teridentifikasi
pada aquades di bawahnya.
Metode ini digunakan untuk mengidentifikasi dan menentukan
larva cacing A. Duodenale, N americanus, Strongyloides stercoralis dan
Trichostrongylus yang didapatkan dari feces penderita.
4. Pemeriksaan Secara Kuantitatif
Dalam mendiagnosis kecacingan terdapat beberapa cara dan
tehnik, cara yang paling umum digunakan adalah memeriksa feses segar
dengan membuat sediaan langsung (direct smear). Untuk pemeriksaan ini
sebaiknya menggunakan feses yang masih segar (tidak kering) karena
telur cacing tambang dalam tinja yang agak basah dalam waktu itu akan
menetas dan sukar diidentifikasi. Cara yang dianjurkan internasional
adalah cara Kato Katz, yaitu sediaan tinja ditutup dan diratakan dibawah
“cellophane tape” yang sudah direndam dalam larutan hijau malachite
(malachite green) supaya dapat efek penjernihan (clearing).
Pemeriksaan kuantitatif diperlukan untuk menentukan intensitas
infeksi atau berat ringannya penyakit dengan mengetahui jumlah telur per
gram feses (EPG) pada setiap jenis cacing.
Ada 4 kiteria menurut Darwin Karyadi :
Infeksi Sangat Ringan:1-9 (15 – 149 butir)
Infeksi Ringan : 10 – 24 (150 - 375 butir)
Infeksi sedang : 25 – 49 (376 – 794)
Infeksi Berat : > 50 (750 butir telur lebih)
B. Kekurangan
1. Pemeriksaan Secara Natif
Kekurangan dari metode natif ini adalah tidak tepat untuk
pemeriksaan jenis infeksi yang ringan, karena pada infeksi ringan, telur
cacing parasit sukar ditemukan. Selain itu tinja yang dipakai pada
percobaan adalah molekul besar, sehingga terdapat telur yang sukar
ditemukan.
2. Pemeriksaan Dengan Metode Apung (Flotation Method)
Pemeriksaan ini hanya berhasil untuk telur–telur Nematoda,
Schistosoma, Dibothriocephalus, telur yang berpori-pori dari famili
Taenidae, telur-telur Acanthocephalus atau telur Ascaris yang infertil.
Pemeriksaan ini rentan terhadap getaran atau sentuhan berlebih,
karena jika tabung reaksi banyak getaran atau sentuhan, maka yang
semula telur akan naik, dengan adanya hal ini telur kembali lagi ke dasar
dan akan memakan waktu yang lama lagi untuk mencapai permukaan
larutan NaCl jenuh (33%).
Saat akan diamati di bawah mikroskop juga harus cepat-cepat, pada
pengambilan dengan cover glass, harus cepat-cepat agar telurnya tidak
turun kembali ke dasar.
3. Pemeriksaan Dengan Metode Harada Mori
Kekurangan dari metode ini yaitu apabila ada beberapa telur cacing
yang beroperkulum telur Schistosoma sp. dan telur Ascaris lumbricoides
yang tidak dibuahi tidak dapat dikonsentrasikan dengan baik. Sehinggan
dengan kata lain, apabila ada telur yang tidak dibuahi, maka tidak akan
terdapat stadium larva infektifnya di dalam aquades.
4. Pemeriksaan Secara Kuantitatif
Kekurangan dari metode kuantutatif ini adalah diperlukan jumlah
tinja yang lebih banyak dalam pemeriksaannya. Selain itu juga
diperlukan ketelitian dalam menghitung dan mengidentifikasi telur secara
mikroskopis, karena jumlah telur yang sangat banyak an berukuran
sangat kecil.
C. Kelebihan
1. Pemeriksaan Secara Natif
Kelebihan dari menggunakan metode ini adalah suatu metode
mikroskopis yang cepat dan mudah untuk dilakukan. Telur cacingnya
juga dapat mudah diidentifikasi karena pada percobaan ini menggunakan
larutan eosin 2 %, yang dapat memberikan perbedaan warna pada telur
cacing dan kotoran – kotoran sekitarnya.
2. Pemeriksaan Dengan Metode Apung (Flotation Method)
Pemeriksaan dengan metode ini cukup mudah dilakukan, dan
hasilnya juga mendekati akurat, karena hampir seluruh telur cacing dapat
terapung karena perbedaan Berat Jenis dengan kotoran atau benda-benda
yang lainnya.
3. Pemeriksaan Dengan Metode Harada Mori
Pemeriksaan dengan metode ini mempunyai kelebihan bila
dibandingkan dengan yang lainnya, hal ini dikarenakan pada metode ini
dapat mengidentifikasi jenis larva infektif dari cacing parasit. Bukankah
tidak semua jenis cacing parasit dapat menetas telurnya di daerah yang
bersuasana lembab, hanya beberapa saja. Sehingga hal ini dapat
memudahkan kita mengidentifikasi langsung jenis atau spesies yang
dimaksud tersebut.
Apabila harus dipilih salah satu dari ketiga metoda natif, harada
mori dan pengapungan untuk digunakan secara rutin, maka dianjurkan
agar natif yang digunakan, dengan alasan meskipun pada sediaan metoda
natif terdapat partikel-partikel tinja, namun semua protozoa, telur dan
larva yang ada akan terdeteksi dan metoda ini juga merupakan metoda
yang lebih kecil kemungkinannya menjadi subjek kesalahan teknik.
4. Pemeriksaan Secara Kuantitatif
Pemeriksaan dengan metode ini merupakan metode yang paling
murah, cepat dan sederhana, Metode ini biasanya dilakukan untuk
diagnosis rutin di laboratorium klinik.
II. MATERI DAN METODE
A. Materi
1. Pemeriksaan Secara Natif
- Alat
1. Object Glass
2. Lidi
3. Cover glass / kaca penutup
4. Pipet tetes
- Bahan
1. Feses anak-anak usia 6-11 tahun
2. Larutan NaCl fisiologis atau Eosin 2%
Prinsip pemeriksaannya adalah penggunaan eosin dimaksudkan untuk
dapat lebih jelas membedakan telur-telur cacing dengan kotoran-kotoran di
sekitarnya.
2. Pemeriksaan Dengan Metode Apung
- Alat
1. Beker glass atau gelas ukur
2. Gelas Pengaduk
3. Penyaring teh
4. Tabung Reaksi
5. Object glass
6. Cover glass
- Bahan
1. Feses anak-anak usia 6-11 tahun
2. Larutan NaCl jenuh sebanyak 200ml
3. Pemeriksaan Dengan Metode Harada Mori
- Alat
1. Tabung reaksi ukuran 18 x 180 mm atau 20 x 200 mm atau
kantung plastik ukuran 30 x 200 mm.
2. Kertas saring ukuran 3 x 15 cm
3. Lidi bambu
4. Rak tabung reaksi atau tempat untuk menggantung plastik
5. Pensil berwarna atau spidol
- Bahan
1. Feses anak-anak usia 6-11 tahun
2. Akuadest steril
4. Pemeriksaan Secara Kuantitatif
- Alat
1. Selophane sebesar 2,5 – 3 cm
2. Gelas preparat
3. Karton yang berlubang, dengan volume tertentu (2mm3)
4. Soket bambu
5. Kawat saringan
6. Kertas minyak
- Bahan
1. Larutan untuk memulas selophane, terdiri atas:
● 100 bagian aquadest ( 6% fenol)
● 100 bagian gliserin
● 1 bagian larutan hijau malachite 3%
2. Tinja seberat 30 mg
B. Metode
1. Pemeriksaan Secara Natif
a. Pada object glass yang sudah dibersihkan diteteskan 1-2 tetes larutan
NaCl fisiologis atau eosin 2%, akan tetapi yang dipergunakan dalam
praktikum kali ini adalah eosin.
b. Dengan menggunakan sebatang lidi, feses yang sudah ada diambil dan
diletakkan diatas object glass yang telah ditetesi eosin tadi.
c. Dengan menggunakan lidi yang tadi, kita ratakan atau larutkan feses
dengan eosin agar merata, kemudian ditutup dengan cover glass atau
kaca penutup.
d. Amati di mikroskop apakah terdapat telur cacing atau tidak.
Gambar : eosin
Eosin tinja
Ratakan dengan lidi
Amati di mikroskop
2. Pemeriksaan Dengan Metode Apung
a. 200ml larutan NaCl jenuh dituangkan kedalam bekker glass atau gelas
ukur, kemudian ditambahkan tinja kurang lebih 10gr, kemudian diaduk
dengan batang pengaduk hingga tercampur rata.
b. Campuran tadi dituangkan ke dalam tabung reaksi sampai penuh atau
sampai rata dengan permukaan tabung reaksi. Diamkan selama kurang
lebih 5-10 menit.
c. Tutupkan atau letakkan object glass ke atas permukaan tabung tadi,
dan segera diangkat. Kemudian tutup dengan cover glass. Sehingga
cairan tadi berada diantara cover glass dan object glass.
d. Amati di bawah mikroskop apakah terdapat telur cacing atau tidak.
Gambar :
Gelas pengaduk
Dituang ke tabung reaksi
Sampai cembung
Amati di mikroskop
NaCl jenuh+ tinja
3. Pemeriksaan Dengan Metode Harada Mori
a. Plastik diisi dengan aquadest steril + 5ml
b. Dengan lidi atau bambu, tinja dioleskan pada kertas saring sampai
mengisi sepertiga bagian tengahnya.
c. Kemudian kertas saring dimasukkan ke dalam tabung reaksi atau
plastik tersebut diatas. Cara memasukkan kertas saring dilipat
membujur dengan ujung kertas menyentuh permukaan aquadest dan
tinja jangan sampai tercelup aquadest.
d. Tulis nama penderita, tanggal penamaan, tempat penderita dan nama
mahasiswa. Plastik ditutup dengan cara dijepit.
e. Simpan pada suhu kamar selma 3-7 hari.
Gambar :
Diisi Aquadest +5ml Tinja Dijepit
Kertas Saring
Kantong Plastik Aquadest
Kertas diangkat
Air dimasukkan
Plastik dipotong ke tabung reaksi
Lalu disentrifuge
Amati di mikroskop
Diambil air
Bagian dasar
4. Pemeriksaan Secara Kuantitatif
a. Sebelum pemakaian, pita selofan dimasukkan ke dalam larutan
malachite green selama + 24 jam.
b. Diatas kertas minyak, ditaruh tinja sebesar biji kacang, selanjutnya di
atas tinja tersebut ditumpangi dengan kawat saringan dan ditekan
sehingga didapatkan material atau tinja yang kasar tertinggal di bawah
kawat dan tinja yang halus keluar di atas kawat penyaring.
c. Dengan lidi, ambil tinja yang sudah halus tersebut di atas kawat
penyaring + 30mg. Dengan memakai cetakan karton yang berlubang,
taruh di atas gelas preparat yang bersih.
d. Kemudian ditutup dengan pita selofan dengan meratakan tinja di
seluruh permukaan pita selofan sampai sama tebal, dengan bantuan
gelas preparat yang lain.
e. Biarkan dalam temperatur kamar selama 30-60 menit supaya menjadi
transparan.
f. Periksa seluruh permukaan dengan menghitung jumlah semua telur
cacing yang ditemukan dengan perbesaran lemah.
Gambar :
Selophane direndam 24 jam
Tinja diletakkan di atas karton
Malachite Green
Selophane
Ditutup dengan selophane
Amati di mikroskop
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
a. Pemeriksaan Secara Natif
Dalam pemeriksaan dengan metode natif ini, eosin 2 % digunakan sebagai
pewarna telur yang akan membedakan warna telur cacing dengan tinja. Setelah
object glass ditetesi dengan eosin 2 % sebanyak satu tetes, tinja diambil
secukupnya dengan menggunakan lidi. Perbandingan jumlah tinja tidak
diperhatikan karena metode ini hanya memperhatikan secara kualitatif, bukan
secara kuantitatif. Setelah itu, object glass ditutup dengan cover glass dan
preparat siap diamati.
Berikut adalah hasil pengamatan dari pemeriksaan feses metode natif :
Nama probandus : Ditya
Umur : 10 tahun.
Jenis Kelamin : Laki – laki
Tanggal pemeriksaan : 7 Mei 2008
Hasil Pemeriksaan : Negatif (tidak ditemukan telur semua species
cacing )
Hasil pemeriksaan ini belum menunjukan hasil yang akurat karena masih
terdapat beberapa faktor yang kurang mendukung antara lain adalah sebagai
berikut:
1. Faktor human error atau kesalahan praktikan sendiri, yaitu ketelitian dalam
pemeriksaan, keterampilan dan ketepatan praktikan dalam melaksanakan
praktikum sesuai dengan prosedur.
2. Faktor kebersihan alat yang digunakan.
3. Faktor kelemahan dari metode natif sendiri, yaitu hanya sensitif pada
pemeriksaan feses penderita dengan kemungkinan infeksi yang berat.
Hasil dari praktikum pemeriksaan tinja yang telah kami lakukan adalah
negatif, sehingga tidak perlu adanya upaya pengobatan dan pengendalian terhadap
cacing parasit yang dapat menginfeksi penderita. Sedangkan apabila penderita
terinfeksi cacing – cacing parasit maka penderita harus segera melakukan
pengobatan dan pengendalian tehadap jenis cacing yang menginfeksi agar
penyakit yang dideritanya tidak semakin parah. Pengobatan yang dilakukan harus
sesuai dengan cacing yang menginfeksi manusianya, misalkan terinfeksi cacing
Ascaris lumbricoides, Ancylostoma duodenale dan Necator americanus, maka
pengobatan yang harus diberikan adalah Albendazole dan obat tersebut harus
diberikan dengan dosis tunggal 400mg selama beberapa hari secara berturut –
turut agar memberikan hasil yang maksimal.
b. Pemeriksaan Dengan Metode Apung (Flotation Method)
Pemeriksaan feses dengan metode apung ini didasarkan pada perbedaan
berat jenis antara telur cacing parasit dan pelarut yang digunakan. Dalam
praktikum Metode Apung ini digunakan NaCl jenuh 33 %. Karena NaCl ini
memiliki berat jenis yang lebih besar dibanding dengan telur cacing, maka telur
cacing dalam feses akan mengapung dipermukaan larutan NaCl di dalam tabung.
Yang dilakukan pertama kali adalah feses dan larutan NaCl dilarutkan di
dalam beker glass dan kemudian diaduk, setelah feses dan larutan NaCl tercampur
dengan homogen, campuran larutan tadi dituang kedalam tabung reaksi sampai
cembung dengan permukaan tabung reaksi. Agar telur cacing dapat mengapung,
maka larutan didiamkan selama +5 menit. Kemudian object glass ditempelkan ke
permukaan tabung dengan cepat, lalu ditutup dengan cover glass, setelah itu
diamati pada mikroskop.
Berikut adalah hasil pengamatan dari pemeriksaan feses dengan metode
apung :
Nama probandus : Ditya
Umur : 10 tahun.
Jenis Kelamin : Laki – laki
Tanggal pemeriksaan : 7 Mei 2008
Hasil Pemeriksaan : Negatif (tidak ditemukan telur dari semua species
cacing)
Pada pemeriksaan metode apung (Flotation Method), hasilnya pun kurang
menunjukan data yang akurat, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya
adalah sebagai berikut:
1. Faktor human error atau kesalahan praktikan sendiri, yaitu kurangnya kehati-
hatian praktikan dalam melaksanakan praktikum, misalnya adalah pada saat
larutan campuran feses dan NaCl di dalam tabung reaksi tersenggol dan
mengalami goncangan atau getaran. Padahal sebenarnya hal itu tidak
diperbolehkan, karena telur-telur cacing yang sudah mengambang
dipermukaan dapat turun kembali ke dasar tabung reaksi.
2. Campuran antara feses dan pelarut yang kurang homogen.
3. Faktor kebersihan alat.
4. Faktor dari sediaan yang diamati (feses), yang mungkin memang benar-benar
tidak terdapat telur-telur cacing spesies apapun.
Orang yang positif terinfeksi oleh cacing parasit dapat melakukan
pengobatan. Pengobatan cacingan dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan tinja,
dan untuk mengurangi prevalensi tingginya penyakit cacingan dapat dilakukan
upaya pencegahan yang salah satunya dapat dilakukan melalui upaya kebersihan
perorangan ataupun sanitasi lingkungan.
Sejak lama telah dicoba memberantas kecacingan ini dengan memakai
obat-obatan seperti : Piperazine, levamisole, Pyrantel pamoate, Mebendazole,
gabungan Oxantel Pyrantel pamoate dan Thiabendazole, dengan berbagai regimen
bahkan ada yang harus puasa, memakan obat pencahar dengan hasil yang
berbeda-beda, serta tidak satupun diantara obat-obat tersebut diatas yang bekerja
secara efektif untuk semua soil transmitted helminthiasis.
c. Pemeriksaan Dengan Metode Harada Mori
Dalam pembuatan preparat untuk metode Harada Mori ini, dilakukan
melalui beberapa cara. Yang pertama kali di lakukan adalah feses diletakkan di
atas kertas saring kemudian dimasukkan ke dalam plastik yang telah berisi
aquadest. Plastik tersebut didiamkan di dalam suhu ruangan selama + 7 hari.
Kemudian kertas saring diangkat keatas plastik tanpa harus keluar dari plastik itu
sendiri. Lalu aquadest yang ada di dasar plastik dituang ke dalam tabung reaksi.
Diamkan selama 5 menit, ambil aquadest yang ada di dasar tabung reaksi dan
letakkan di atas object glass. Amati apakah ada larva dalam preparat yang kita
amati.
Pemeriksaan feses dengan metode Harada Mori ini, hanya spesifik untuk
species cacing yang memiliki larva sebagai stadium infektif. Diantaranya adalah
A. duodenale, N. Americanus, Strongyloides stercolaris dan Trichostrongylus.
Berikut adalah hasil pengamatan pemeriksaan feses metode Harada Mori :
Nama probandus : Ditya
Umur : 10 tahun.
Jenis Kelamin : Laki –laki
Tanggal pemeriksaan : 7 Mei 2008
Hasil Pemeriksaan : Negatif (tidak ditemukan larva semua species
cacing )
Sama halnya dengan hasil pengamatan metode sebelumnya, pada
pemeriksaan larva metode Harada Mori pun hasilnya kurang menunjukan data
yang akurat, disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya :
1. Kesalahan prosedur dalam menginkubasi larutan yang berisi feses.
Seharusnya larutan tinja diinkubasi dalam waktu 7 hari, tetapi pada
praktikum kali ini tinja yang dibiarkan lebih dari 7 hari maka larutan
akan terpapar udara dan memungkinkan mikroorganisme lain masuk ke
dalam plastik.
2. Praktikan kurang memperhatikan prediposisi yang dimiliki probandus,
yang akan mempengaruhi hasil praktikum.
3. Faktor pengamatan dari praktikan yang mungkin kurang teliti, kurang
cermat, dan lain sebagainya yang dapat mempengaruhi hasil pengamatan.
Apabila hasil pemeriksaan feses probandus positif terinfeksi cacing
parasit, maka harus segera diberikan obat cacing yang sesuai dengan hasil
pemeriksaan feses. Salah satu cacing yang dapat teridentifikasi dengan metode
Harada Mori adalah Strongyloides stercolaris. Cacing ini bila menginfeksi
manusia dapat menyebabkan anemi, timbul rasa nyeri, mual, diare dan konstipasi,
apabila terjadi infeksi berat maka akan berakibat fatal yaitu kematian. Oleh karena
itu untuk mengobati dan mengendalikan infeksi cacing ini harus diobati dengan
tiabendazol dua kali sehari selama 2 atau 3 hari.
d. Pemeriksaan Secara Kuantitatif
Dengan menggunakan teknik ini, akan lebih banyak telur cacing yang
dapat diperiksa sebab digunakan lebih banyak tinja. Teknik ini pun dianjurkan
juga untuk pemeriksan tinja secara massal karena lebih sederhana dan murah.
Pemeriksan telur cacing parasit dengan cara ini menggunakan larutan yang terdiri
dari akuades, gliserin, dan larutan hijau malachite karena berfungsi untuk
memulas selofan dan supaya ada efek penjernihan, sehingga dalam pemeriksaan
tinja dapat diketahui dengan jelas perbedaan antara telur dari cacing parasit
dengan lingkungan sekitar (tinja). Pemeriksaan dengan teknik ini dengan cara
didiamkan selama 30 – 60 menit yang bertujuan agar sediaan berubah menjadi
transparan.
Hasil perhitungan telur – telur cacing parasit dalam tinja probandus :
Parasit Jumlah telur
- Ascaris lumbricoides 30
- Trichuris trichiura 25
- Cacing tambang 60
Perhitungan :
Jumlah telur tiap gram tinja :15000 × 60 butir =18.000.000 butir
0,5
Ascaris : 200.000 butir telur / hari
Cacing dewasa : 18.000.000 = 90 cacing dewasa
200.000
Dari hasil pemeriksaan telur cacing parasit secara kuantitatif, ternyata telur
cacing parasit yang terdapat dalam tinja probandus adalah A.lumbricoides, T.
trichiura, dan cacing tambang sehingga diperkirakan jumlah cacing yang hidup di
dalam usus probandus adalah 90 cacing dewasa betina dan sesuai dengan kriteria
menurut Darwin Karyadi, probandus termasuk mengalami atau menderita infeksi
berat. Oleh karena itu untuk mencegah infeksi yang lebih berat lagi maka hal yang
harus dilakukan untuk menyembuhkan dan mengendalikan pertumbuhan cacing
parasit dalam usus probandus adalah sebagai berikut :
- Untuk infeksi cacing A. lumbricoides dapat sembuh sendiri dalam waktu 1,5
tahun, akan tetapi jika dengan pengobatan kesembuhan diperoleh antara
70 – 99 %
- Pada infeksi cacing tambang dapat disembuhkan dengan obat pirantel pamoat,
semprotan kloretil atau albendazol
- Pada infeksi cacing T. trichiura dapat disembuhkan dengan obat mebendazol,
albendazol, dan oksantel pamoat.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Hasil pemeriksaan secara natif adalah negatif (tidak ditemukan telur dalam
tinja), hal ini menunjukan bahwa kondisi probandus dalam keadaan normal.
2. Hasil pemeriksaan dengan Metode Apung atau Flotation Method adalah
negatif (tidak ditemukan telur dalam tinja) dan menunjukan probandus
dalam keadaan normal.
3. Hasil pemeriksaan dengan metode Harada Mori adalah negatif (tidak
ditemukan larva cacing parasit).
4. Hasil Pemeriksaan Kuantitatif, dengan perkiraan jumlah cacing dewasa betina
dalam usus probandus adalah 90 cacing. Menurut Darwin Karyadi, jumlah
ini termasuk kedalam golongan infeksi berat.
B. Saran
Praktikan diharapkan dapat :
1. Menjalankan praktikum dengan cermat dan tepat serta teliti agar dapat
mendapatkan hasil yang diinginkan.
2. Praktikan diharapkan telah menguassai dasar teori dari masing-masing
metode praktikum, sehingga dapat menjalankan praktikum sesuai
prosedur.
3. Dalam upaya menentukan metode mana yang cocok, harus
dipertimbangkan segala aspek dan menyesuaikan dengan kebutuhan
dari pemeriksaan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/
14PerbandinganSensitifbeberapaMetodaPemeriksaanTinjaManusia124.pdf/
14PerbandinganSensitifbeberapaMetodaPemeriksaanTinjaManusia124.html .
Diakses pada tanggal 24 mei 2008.
Keputusan Menteri Kesehatan. 2007. www.dinkes.com diakses pada tanggal 25
mei 2008
Underwood. 1999. Patologi Umum dan Sistematik Edisi 2. Jakarta: EGC.
Sylvia, A. P and Lorraine, M. W. 2003. Patofisiologi. Jakarta:EGC.
Widmann Frances K, M.D. 1995. Tinjauan Klinik Atas Hasil Pemeriksaan Edisi
9. Jakarta : Penerbit Egc
Hyde John E. 1990. Moleculer Parasitology. New York : Van Nostrand Reinhold.
Onggowaluyo Jangkung Samidjo. 2001. Parasitologi Medik 1 Helmintologi.
Jakarta :EGC.
Gandahusada Srisasi, dkk. 1998. Parasitologi Kedokteran. Jakarta : Fakultas
Kedokteran UI.