1
PEMIKIRAN IBN TAIMIYAH TENTANG
METODE PENAFSIRAN AL-QUR’AN
AAN RADIANA, S.Ag., M.Ag
NIP. 150 278 039
2
A. Identifikasi Masalah
Ibn Taimiyah adalah seorang pemikir Muslim yang sangat besar
pengaruhnya terhadap dunia Islam. Dia ahli dalam hampir semua cabang
pengetahuan Islam. Karya-karya dia meliputi bidang Aqidah, Fiqh, Hadits, Tafsir,
Tasawuf, Filsafat, dan Politik. Berbekal segala kemampuan yang dimiliki, Ibn
Taimiyah berupaya membangun kembali masyarakat Islam di atas sendi-sendi
Islam yang pokok, yaitu Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Upaya yang dilakukannya
berangkat dari asumsi dasar bahwa kaum Muslimin generasi pertama maju dengan
pesat karena mereka berpegang kepada ajaran Islam dan menghormati Al-Qur’an.
Sebaliknya kaum Muslimin pada masanya lemah dan kurang dihargai komunitas
agama lain karena mereka telah meninggalkan sumber ajarannya. Ia
berkesimpulan bahwa tugas utama yang harus dijalankannya adalah menyeru
ummat Islam untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Al-Sunnah dan dalam
memahaminya menggunakan pemahaman kaum Muslimin generasi pertama untuk
menguji madzhab-madzhab dan hasil pemikiran kaum Muslimin dari masa ke
masa.
Satu langkah strategis yang dilakukan oleh Ibn Taimiyah ke arah itu
adalah merumuskan kerangka dasar atau prinsip-prinsip penafsiran Al-Qur’an
dalam karyanya Muqaddimah fi Ushul al-Tafsir. Syaikh Abdurrahman Ibn
Muhammad Ibn Qasim al-‘Asimi al-Najdi al-Hanbali menghimpun risalah tafsir
Ibn Taimiyah dalam Juz 14-17.
Ibn Taimiyah dinilai telah membuka jalan bagi lahirnya mufassir klasik
Ibn Katsir. Ibn Taimiyah memperoleh penghargaan dari Muhammad Rasyid
3
Ridha dalam Tafsir Al-Manar. Bahkan M. Quraish Shihab menyatakan bahwa Ibn
Taimiyah adalah salah seorang ulama yang paling banyak mempengaruhi jalan
fikiran Rasyid Ridha. Penelitian mendalam terhadap karya-karya Ibn Taimiyah
dalam bidang tafsir yang meliputi pandangan-pandangan teoretiknya tentang
prinsip-prinsip penafsiran al-Qur’an, hasil evaluasinya terhadap kitab-kitab tafsir
terdahulu, metode dan karakteristik penafsirannya, diharapkan dapat ditemukan
kerangka penafsiran Al-Qur’an Ibn Taimiyah yang utuh dan menjadi sumbangan
metodologis dalam studi tafsir bagi masyarakat Muslim masa kini dan masa yang
akan datang.
Masalah utama yang diangkat dalam pelitian ini dituangkan dalam
pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimana pandangan Ibn Taimiyah terhadap penafsiran para ulama pada
masanya atas Al-Qur’an?
2. Bagaimana prinsip-prinsip dan metode penafsiran Al-Qur’an yang terbaik
menurut Ibn Taimiyah?
3. Bagaimana ciri khas penafsiran Ibn Taimiyah?
B. Metodologi Penelitian
1. Penentuan Metode Penelitian
Penelitian ini akan mengkaji tentang sistem penafsiran Ibn Taimiyyah
terhadap Al-Qur’an yuang mencakup penilaiannya terhadap penafsiran Al-Qur’an,
pandangannya tentang metode penafsiran Al-Qur’an yang ideal dan karakteristik
penafsiran atas ayat-ayat Al-Qur’an. Penelitian ini menggunakan metode
4
penelitian kualitatip. Ia menekankan pada penggalian nilai-nilai yang terkandung
dalam penafsiran Ibn Taimiyyah terhadap Al-Qur’an dengan cara melihat makna
yang terkandung dalam karyanya sebagaimana adanya dan membuat interpretasi
terhadap apa yang tersirat di baliknya.
Penggunaan metode penelitian kualitatif dalam penelitian didasarkan atas
pertimbangan sebagai berikut:
Pertama, pemahaman dan pengamalan atas nilai-nilai agama sangat sulit
diukur secara kuantitatif. Bahkan pengkonversian pemahaman dan praktik
keagamaan ke dalam angka-angka yang dianalisis dan ditafsirkan secara pasti
dapat menjerumuskan peneliti ke dalam dikotomi benar-salah atau kuat-lemah
yang membahayakan karena ajaran agama terutama yang menyangkut kehidupan
manusia banyak yang sifatnya zhanni (uncertain) yang memungkinkan lahirnya
interpretasi dan pengamalan yang berbeda.
Kedua, data yang dikumpulkan sebagian besar berupa kata-kata yang
tertulis yang berhubungan dengan pemahaman serta pengamalan atas nilai-nilai
agama.
Ketiga, metode ini dapat digunakan untuk memahami berbagai keadaan,
pemahaman, dan sifat individu secara holistik.
Keempat, metode kualitatip memungkinkan kita untuk memahami tokoh
secara personal dan memandang dia sebagaimana dia sendiri mengungkapkan
pandangan dunianya serta memungkinkan kita untuk menangkap pengalamannya
dalam kehidupan sehari-hari dalam lingkungannya. Dengan demikian dapat
dirumuskan konsep-konsep yang hakiki tentang sisi-sisi kehidupan dia yang
5
relepan dengan topik penelitian.
Kelima, metode kualitatip memungkinkan peneliti untuk melakukan
verifikasi dan eksplanasi secara mendalam serta mencatatnya ketika menemukan
masalah-masalah baru dari objek penelitian yang secara teoritik dinilai
menyimpang dari apa yang seharusnya.
Keenam, penelitian ini tidak dimaksudkan untuk menguji hipotesis yang
berhubungan dengan teori tertentu. Teori-teori yang dianggap sudah mapan dalam
bidang ini hanya dijadikan sebagai kerangka dalam melakukan penelitian ini.
2. Teknik Penelitian
Teknik penelitian yang digunakan adalah studi kepustakaan. Pada saat
studi kepustakaan dilakukan pencatatan mengenai segala hal yang ditemukan dari
kepustakaan yang dianggap relevan dengan topik penelitian. Catatan penelitian itu
disamping medokumentasikan persoalan-persoalan yang dijumpai juga dilengkapi
dengan catatan peneliti tentang persoalan yang dianggap perlu diberikan catatan.
3. Sumber Data
Sumber data terbagi dua bagian: (1) sumber data primer dan (2) sumber
data sekunder. Sumber data primer penelitian ini adalah karya-karya Ibn
Taimiyyah yang berhubungan masalah tafsir. Seangkan sumber data sekunder
penelitian ini adalah karya-karya para ulama lain tentang penafsiran Al-Qur’an
khusus yang membahas tentang biografi dan pemikiran-pemikiran Ibn Taimiyyah
tentang tafsir.
6
4. Tahap-tahap Penelitian
Tahapan-tahapan penelitian di lapangan, secara garis besarnya adalah
sebagai berikut:
Pertama, menemukan berbagai literatur yang berhubungan dengan objek
penelitian. Penelitian ini dilakukan secara tertutup yakni di perpustakaan, oleh
karena itu tidak memerlukan dari pemerintah.
Kedua, menemukan key source data (referensi yang dijadikan sumber data
kunci/utama). Setelah sejumlah kitab/buku diperoleh, kemudian peneliti
menyeleksi referensi tersebut guna menemukan yang paling utama.
Ketiga, pegumpulan data. Pada awal proses pengumpulan data, peneliti
mereview daftar isi seluruh referensi yang sudah terkumpul guna menemukan
bagian-bagian tertentu dari buku yang erat kaitannya dengan masalah yang diteliti.
Setelah sumber-sumber itu difahami dengan baik pada waktu itu juga beberapa
persoalan yang menonjol baik secara substantif maupun teoritik telah dicatat oleh
peneliti yang kemudian dikembangkan pada proses pengumpulan data berikutnya.
Kemudian, peneliti mencurahkan seluruh waktu dan perhatiannya untuk
mempelajari secara mendalam segala sesuatu yang berhubungan dengan
persoalan-persolan yang dijadikan perhatian utama dalam penelitian. Pada waktu
pengumpulan data ini, segala sesuatu yang berkenaan dengan proses pengumpulan
data dicatat secara global dan sistematis yang detailnya dimasukkan setiap hari
setelah selesai pencarian data pada hari itu.
Keempat, mengerjakan atau menganalisis dan menafsirkan data. Tahap ini
dilakukan peneliti secara komprehensip setelah selesai melakukan kegiatan
7
pengumpulan data. Dikatakan secara komprehensip, karena sesungguhnya proses
analisis data berlangsung secara terus menerus sejak peneliti mengumpulkan data
pada tahap pertama. Yang dimaksud dengan analisis data di sini adalah sebuah
proses untuk mengidentifikasi tema-tema secara formal dan membentuk
generalisasi yang dapat diangkat dari data.
Kelima, pengecekan data. Setelah proses analisis data tuntas, temuan-
temuan penelitian dituangkan ke dalam drap laporan dan hasilnya didiskusikan
dengan dengan teman-teman anggota Team Teaching Tafsir untuk dilakukan
pengecekan an menampung masukkan. Mereka akan diberikan kesempatan untuk
mengomentari seluruh temuan penelitian serta segala kekurangan atau
penyimpangan dari yang sebenarnya dilengkapi atau dikoreksi.
5. Validitas Data
Tingkat keabsahan (trustworthiness) seluruh data yang dikumpulkan
dalam penelitian ini telah diupayakan untuk memenuhi empat kriteria: (1) tingkat
kepercayaan (credibility --internal validity dalam penelitian kuantitatip), (2)
keteralihan (transferability --external validity dalam penelitian kuantitatip), (3)
kebergantungan (dependability --reliability dalam penelitian kuantitatip) dan (4)
tingkat kepastian (confirmability –objectivity dalam penelitian kuantitatip).
Teknik yang diterapkan peneliti untuk menjaga keabsahan data yang
disajikan dalam disertasi ini adalah sebagai berikut.
Pertama, untuk memenuhi kriteria tingkat kepercayaan data yang dapat
dibuktikan kebenarannya dengan cara membandingkan temuan-temuan penelitian
8
dengan kenyataan-kenyataan lain yang berbeda yang ditemukan pada obyek
penelitian, peneliti menerapkan teknik-teknik sebagai berikut:
1. Penelitian di perpustakaan dilakukan dalam waktu yang cukup lama, yaitu satu
tahun dan dilakukan secara langsung, yaitu peneliti menjadi instrumen
penelitian, sehingga berbagai aspek dapat difahami dengan baik. Dengan
demikian kemungkinan salah tafsir terhadap obyek penelitian sangat kecil.
2. Penelitian dilakukan dengan penuh ketekunan sehingga datanya mendalam.
Berbagai ciri dan unsur yang relevan dengan masalah yang diteliti dapat
ditemukan dan peneliti memusatkan diri pada msalah-masalah tersebut secara
detail.
3. Melakukan pengecekkan data dengan cara membandingkan data yang
dikumpulkan dengan data yang diperoleh dari sumber, metode, peneliti dan
teori yang berbeda (triangulasi).
4. Memeriksakan data yang dikumpulkan kepada peneliti lain dengan cara
mempresentasikannya dalam suatu diskusi analitik. Teknik ini dapat membuat
peneliti tetap jujur dan terbuka, serta terjadi proses pengujian awal terhadap
generalisasi yang akan dirumuskan.
5. Melakukan analisis terhadap kasus negatif, yaitu mengumpulkan contoh dan
kasus yang tidak sesuai dengan pola dan kecenderungan umum dari data yang
telah dikumpulkan dan digunakan sebagai bahan pembanding.
6. Menelaah referensi lain yang berhubungan dengan topik penelitian sebanyak-
banyaknya untuk menampung teori-teori yang relevan dan kritik-kritik tertulis
sebagai bahan evaluasi.
9
7. Melakukan pengecekkan terhadap sumber-sumber yang digunakan sebagai
sumber dalam pengumpulan data; dalam masalah data itu sendiri, kategori
analitis, penafsiran data, dan kesimpulan. Cara ini memungkinkan beberapa.
Kedua, untuk memenuhi kriteria keteralihan, yaitu bahwa generalisasi
yang ditemukan dalam penelitian dapat berlaku atau diaplikasikan pada semua
bidang yang sama berdasarkan temuan yang diperoleh ini dilakukan penguraian
yang rinci terhadap data. Peneliti menguraikan konteks penelitian dilakukan
seteliti dan secermat mungkin dan berbagai argumen dikemukakan secukupnya
yang dapat memperkuat generalisasi yang dikemukakan dan memancing peneliti
lain untuk ikut merenungkannya secara mendalam.
Ketiga, untuk memenuhi kriteria kebergantungan yaitu bahwa hasil yang
sama ditemukan dalam replikasi studi yang dilakukan dalam kondisi yang serupa
dilakukan audit kebergantungan. Audit merupakan konsep fiskal yang
dimanfaatkan untuk mengecek tingkat kebergantungan dan kepastian data baik
dari segi proses maupun hasil. Bidang-bidang yang diaudit adalah data mentah,
data yang telah direduksi dan hasil kajian, rekonstruksi data dan hasil sintesis,
catatan tentang proses penyelenggaraan penelitian, bahan yang berhubungan
dengan maksud dan tujuan penelitian dan informasi tentang pengembangan
instrumen. Proses audit dilaksanakan melalui tahap-tahap: praentri, penetapan
bidang-bidang yang dapat diaudit, kesepakan antara auditor dan auditi, penentuan
keabsahan dan menutup proses audit.
Keempat, untuk memenuhi kriteria kepastian dilakukan audit kepastian
yang bidang dan proses auditnya sama dengan pada audit kebergantungan, tapi
10
proses audit lebih difokuskan pada tingkat kepastian data dengan cara
memperhatikan secara lebih mendalam tentang apa dan bagaimana data
dikumpulkan serta kondisi yang mengitari proses pengumpulan data yang
mempengaruhi data.
6. Teknik Analisis Data
Data yang sudah terkumpul dianalisis secara induktif dengan
menggunakan pendekatan kualitatif. Analisis data dilakukan sejak penulis
mengumpulkan data sampai setelah selesai mengumpulkan data yang dilakukan
behind the table. Prosedur analisis data kualitatif ini dilakukan sebagai berikut:
1. Membaca dan merenungkan secara mendalam seluruh catatan penelitian yang
telah disusun peneliti ketika mengumpulkan data;
2. Menyaring informasi sehingga informasi yang tidak sesuai dengan
pengalaman atau tujuan penelitian dibuang;
3. Menyusun data bedasarkan klasifikasi dan dimasukkan ke dalam maf-maf
yang terpisah berdasarkan topik-topik yang telah diberi kode untuk
memudahkan dalam penemuan tema atau generalisiasi;
4. Memeriksa ulang data yang telah dikelompokkan berdasarkan topik untuk
mendapatkan pola;
5. Mencatat topik-topik penting. Kegiatan ini sesungguhnya telah dilakukan
sejak kegiatan pengumpulan data dilakukan;
6. Memperjelas topik-topik yang dinilai masih kabur;
7. Memberikan kode dengan angka dan huruf atas topik-topik yang penting
untuk memudahkan dalam penemuan pola;
11
8. Menyusun generalisasi; dan
9. Menyeleksi generalisasi-generalisasi dengan ketat dengan cara merujukkan
generalisasi-generalisasi itu kepada kepustakaan yang relevan dan yang tidak
sesuai serta tidak berguna bagi pengembangan teori dibuang.
C. Pembahasan Hasil Penelitian
1. Sistematika Penafsirannya
Tafsir Ibnu Taimiyyah yang menjadi bahan kajian ini dihimpun oleh
Abdurrahman Muhammad ibn Qasim al-Ashimi an-Najdi al-Hambali bersama
anaknya, Muhammad, dalam empat jilid. Tafsir tersebut dimuat dalam Majmu
Fatawa Syaihul Islam Ahmad Ibnu Taimiyyah jilid 14-17. diterbitkan pertama kali
pada tahun 1382 H. kurang lebih tahun 1961 M. maliputi 64 surat dari 114 surat
dalam al-Qur'an. Ayat-ayat dalam surat tersebut tidak seluruhnya ditafsirkan satu-
demi satu.1
Ibnu Taimiyyah sengaja tidak menafsirkan seluruh isi al-Qur'an ayat demi
ayat, karena ia berpendapat bahwa sebagian dari ayat-ayat al-Qur'an sudah jelas
dengan sendirinya dan sebagiannya telah ditafsirkan ulama dalam sejumlah kitab.
Ia membatasi penafsiran pada ayat-ayat yang dipandangnya masih membutuhkan
penjelasan lebih lanjut. Dengan demikian, sekalipun surat itu demikian pendek,
jika tidak diperlukan tambahan penjelasan, maka ia tidak lakukan.2
1 Ibnu Taimiyyah, “Majmu fatawa, Ibnu Taimiyyah”, juz 14-17 (Madinah al-Rriyadh,
1382 H). 2 Ibnu Taimiyyah, “Muqaddimah Fiushuli Tafsir” (Quait: Dasrul-Quran al-Karim,t.th.),
hlm. 11.
12
Sejalan dengan pandangannya diatas, Ibnu Taimiyyah menafsirkan ayat-
ayat dan surat-surat dalam al-Qur'an menurut kebutuhan. Ia mengawali tafsirnya
dengan menjelaskan nama-nama al-Qur'an berdasarkan sebutan-sebutan yang
tertera dalam al-Qur'an itu sendiri. Nama-nama itu, antara lain, al-Furqon, al-
Kitab, al-Huda, al-Nur, al-Syifa, al-Bayan, al-Mauijhah, al-Rohmah, Bashair,
aBalagh, al-Karim, al-Majid, al-Aziz, al-Mubarak, al-Tanjil, al-Munajjal, al-
Shirat, al-Mustaqim, Hablullah, Al-Zikr, al-Dikra, Tadzkirah, al-Matsani, al-
Hakim, al-Muhkam, al-Hakim, al-Mufashol, al-Burhan, al-I’lm,. Al-Qayyim.3
Langkah selanjutnya menafsirkan ayat-ayat yang dipandang perlu
penjelasan lebih lanjut dari tafsir-tafsir yang telah ada. Setiap surat yang
ditafsirkan tidak tentu meliputi keseluruhan ayatnya, baik pada surat-surat yang
terhitung panjang maupun pada surat-surat yang relative pendek.
Ketika menafsirkan surat al-Fatihah, mula-mula ia menjelaskan gambaran
umum surat-surat tersebut dengan mengutip hadits nabi saw. Riwayat muslim,
bahwa Allah SWT Membagi al-fatihah untuk dirinya dan untuk hambanya. Ayat:
“Alhamdulillahirobbilalamin” dan dua ayat sesudahnya adalah untuk Allah SWT
Ayat: “Iyyakana’budu waiyyaka nastain”, sebagian yang pertama yakni
“Iyyakana’budu”, untuk dia dan sebagian yang kedua, yakni “iyyakanastain”,
untuk hambanya. Ayat: “Ihdinashirotolmustaqim dan shirotol-ladzina an’amta
alaihim” hingga akhir surat tersebut adalah untuk hambanya.4
Pembahasan selanjutnya dibagi-bagi dalam beberapa pasal, dengan mula-
mula dipokuskan pada ayat yang dipandang sentral dalam surat itu, yakni,
3 Ibnu Taimiyyah, “Majmu”, Op. Cit., hlm. 14: 1-2.
4 Ibid., hlm. 14: 7-8.
13
“Iyyakana’budu waiyyaka nasta’in”, kamudian kembali ke ayat yang permulaan,
yakni “Alhamdulillahirobbilalamiin”, diikuti dengan fasal tauhid Rububiyyah dan
tauhid Uluhiyyah. Disitu dibahas hakikat manusia, keterbatasan manusia dan
kehendak Allah SWT Kepada hamba-hambanya.5
Ibnu Taimiyyah menerapkan langkah-langkah yang serupa ketika
menafsirkan surat kedua dalam al-Qur'an, yakni al-Baqarah, surat ketiga al-Imran
dan seterusnya.
2. Corak Penafsirannya
Berdasarkan kategorisasi corak tafsir yang ada, sejak dahulu hingga
sekarang tafsir Ibnu Taimiyyah dapat dimasukkan dalam kelompok tafsir yang
bercorak sastra budaya kemasyarakatan. Ciri penafsiran bercorak demikian,
sebgaimana diuraikan pada bagian terdahulu, ialah menjelaskan petunjuk-
petunjuk ayat al-Qur'an yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat
serta usaha-usaha untuk menanggulangi masalah-masalah mereka berdasarkan
petunjuk ayat-ayat, dengan mengemukakannya dalam bahasa yang mudah
dimengerti lagi indah dan lancar.
Selaku mufassir, Ibnu Taimiyyah tidak disibukan dengan pelik-pelik I’rab
dan persoalan kebahasaan pada umumnya, kecuali untuk menegaskan maknanya,
atau untuk mentarjihkan makna yang sesuai dengan maksud ayat. Sebaliknya ia
mencurahkan perhatian pada “Ihtiyar” menemukan solusi atau cara pemacahan
masalah dalam al-Qur'an terhadap problema jamannya dan persoalan
5 Ibid., hlm. 14: 40.
14
kamasyarakatan yang dihadapi di lingkungan dimana ia hidup. Untuk itu
terkadang ia menghimpun berbagai ayat yang tersebar dalam al-Quran mengenai
suatu persoalan tertentu lalu menghadirkan sejumlah hadits yang menjelaskan
persoalan tersebut, mengutip nash-nash dari ulama salaf, kalangan shabat,dan
tabi’in yang diperlukan untuk mengupas tuntas persoalan tersebut. Corak tafsir
yang demikian, seperti disebut Muhammad al-Julainid, mendekati apa yang
dewasa ini dikenal dengan tafsir al-Qur'an al-Maudhu’i (tematik).
3. Ciri-ciri Penafsirannya
Diantra ciri pokok penafsiran Ibnu Taimiyyah adalah sebagai berikut.
Pertama, memandang Satu Surat Sebagai Satu Kesatuan yang Serasi dan
Utuh Ketika menafsirkan surat al-fatihah, misalnya, ia lebih dahulu mehnjelaskan
kedudukan surat tersebut sebagai “Umul Kitab” (induk kitab), “Fatihatul Kiltab”
(pendahuluan, pembukaan kitab), “al-Sab’u Minal Matsani” (tujuh yang diulang-
ulang), “al-Syafiyah” (penyembuh) “al-Wajibah fi al-Shalawat” (yang wajib
dalam shalat), “al-Kafiyah” (yang mencukupi). Kemuidian menjelaskan
keutamaan al-Fatihah sebagai surt yang paling utma dalam al-Qur'an. Seterusnya
menjelaskan pokok-pokok kandungannya dan memfokuskan perhatian pada
bagian-bagian ayat-ayat yang dipandang memerlukan tafsiran lebih lanjut dan
menjelaskan kaitan ayat yang satu denga yang lain.6
Ketika menafsirkan surat al-Ikhlas Ibnu Taimiyyah menjelaskan perbedaan
penggunaan lafal “Ahad” (Esa) dan lafad “Shamad” (Tuhan yang sempurna
6 Ibid., , hlm. 14:5-40
15
kemulyaanya) dalam masing-masing ayatnya. Lafal “Ahad” tidak didahului
dengan alif dan lam (lam ta’rif), sedangkan lafal “Shamad” didahului dengan lam
ta’rif. Maksudnya, lafal “Ahad” itu tidak patut digunakan untuk menyipati
sesuatu kecuali Allah SWT Jika digunakan untuk menyebut sesuatu selain Allah
maka dalam susuna kalimat bahasa arab harus dalam bentuk nafi’ (negativ),
misalnya “Laa ahada fi al-Dar”; atau dalam bentuk idhofah, seperti dalam firman
Allah : “Faba’atsu Ahadakum Biwariqikum Hadzihi” (QS. 18 : 19) adapun kata
“Shamad” kadang digunakan oleh ahli bahasa untuk menyebut seseorang atau
suatu mahluk. Maka untuk menghususkan apa yang dimaksud ayat digunakanlah
alif dan menjadi “al-Shomad”, yang mengandung arti dialah Allah yang berhak
untuk menyandang gelar “Samad”. Adapun mahluk, jika ia “Shamad” dalam
beberapa segi, namun hakikat ke-Shamadan-nya relative.7
Kedua, menekankan Kandungan Al-Quran sebagai Sumber Aqidah. Ketika
menafsirkan ayat: “Alhamdulillahirobilalamin”, Ibnu Taimiyyah menegaskan
bahwa Allah adalah tuhan yang disembah. Lafal Allah adalah lebih tepat
digunakan dalam rangka beribadah. Maka dikatakan: “Allahu Akbar”,
“Alhamdulillah”, “Subhana Allah”, “Laailaaha illa Allah” dan seterusnya.
Sedangkan “al-Rab” adalah Tuhan yang memelihara, pencipta, pemberi rizki,
penolong dan pemberi petunjuk. Maka lafal tersebut lebih pas digunakan ketika
seseorang memohon dan meminta kepada Allah, seperti: “Rabighfir lii
Waliwaalidayya” (QS. 71:28); “Robbana Dzalamnaa Anfusana” (QS 7 : 23);
7 Ibnu Taimiyyah, “Tafsir surh al-Ikhlas” (Kairo: Darut-Tiba’ah al-Muhammadiyyah,
t.thlm.),hlm. 28-29
16
“Robbi inni Dzalamtu Nafsi” (QS.28:16); “Robbana laa Tuakhidzna in Nasiina
au Akhto’naa” (QS. 2: 286).8 Ia menegaskan bahwa surat al-Fatihah juga
menekankan tauhid Rububiyyah dan Uluhiyyah. Ketika menafsirkan surat al-
Ikhlas, Ibnu Taimiyyah menjelaskannya secara panjang lebar dalam rangka
memperkokooh aqidash kaum muslimin pada umumnya.9
Ketiga, menafsirkan Ayat Al-Quran dengan Al-Quran . Ibnu Taimiyyah
konsisten dengan pandanganya bahwa sebaik-baik cara menafsirkan adalah
menafsirkan al-Qur'an dengan al-Qur'an. Ketika menafsirkan ayat: “Ihdina
Shirata al-Mustaqiim”, misalnya, ia mengutip sejumlah ayat al-Qur'an yang
memuat lafal “Hidayah” dan “Shirata al-Mmustaqim” berikut:10
������ �⌧�� � ������ ��☺��������� � !�"#$�%��&' ( )*�� (�!�"#$+,&% )-�./�0�� &123⌧4��&' 5678#9
:�� ; �#��#$< = 5678 0�&> 678?@A�� ; B#9 56C.DE"&0 ��!C�+�&% FG#HI
153. “Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku
yang lurus, Maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan
(yang lain)[152], karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-
Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa”.
�☺KLMN/&%��7�� OE���8P0�� �QR#.LS��☺P0�� FGGTI
�☺KLMNUV��� ⌧W����XF0�� �YZ������☺P0�� FGG[I
8 Ibnu Taimiyyah, “Majmu”, op,cit hlm. 14:12-13
9 Ibid., hlm. 17; 214-504
10 Ibnu Taimiyyah, “Daqaiqu al-Tafsir” (Beirut: Masasaulamil Quran 1986), hlm. 218-
219
17
117. “Dan Kami berikan kepada keduanya kitab yang sangat jelas”.
118. “Dan Kami tunjuki keduanya ke jalan yang lurus”.
�D\#� �LM�&�,&' $&0 �☯&N�&' �M^/#$_� FGI �3 4P��� `0 $&0 ab�� ��� �cdV&�&% : � ef#$9\&> ����� �3�g�h&% @i ,�U��
j�B�,☺N" \ $P� E�� $�U V5k�V�� �l������ ��☺����,��_� FmI ⌧?�3no^�U��
ab�� ���F�\ �AqU_�� FHI 1. Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang
nyata[1393],
2. Supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang
telah lalu dan yang akan datang serta menyempurnakan nikmat-Nya
atasmu dan memimpin kamu kepada jalan yang lurus,
3. Dan supaya Allah menolongmu dengan pertolongan yang kuat
(banyak).
“Asshirata al-Mustaqim”, dengan mengacu kepada ayat-ayat tersebut,
dapat ditafsirkan sebagai al-Qur'an agama Islam dan jalan ibadah kepada allah.11
Ayat lain yang ditafsirkan menurut Ibnu Taimiyyah dengan nash-nash al-
Qur'an misalnya:12
)*�� (�!&�8^&% s⌧t#�uv☺P0�� =wxYB d: �N&�U = yz���{�� |zLM �N&_� y�53g : }� $z⌧t#�uv_� 5!&0��
5678N��.~u��� 8 )*�� (�!&�8^"% �QR t#�uv☺P0�� =wxYB (�!�^ �N&�U =
wV5$"&0�� : �N&_� y�53g : }� $?#�uv_� 5!&0�� 5678�.~u��� 8 $�D&0h���
��!��uV�U � �#� ���^0�� ( ab���� (��!��uV�U � �#� z�M~P0��
L�3 4P�☺P0���� ; B \P>#�#9 (
11
Ibnu Taimiyyah “Majmu”, Op. Cit., hlm. 14: 37-39. 12
Ibnu Taimiyyah “Daqaiqu”, Op. Cit., hlm. 240.
18
Q#}R�$�U�� ; B ��U��7 ���ME 0 56KDE"&0 ����3�t⌧����U FmmGI
221. Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik,
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang
mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik
hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik
(dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik,
walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka,
sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya.
dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya)
kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.
Permulaan ayat tersebut yakni “Wala Tankkihul Musyrikat” mengundang
silang pendapat diantara ulama. Sebagian membolehkan laki-laki muslim
menikahi perempuan Nashrani maupun Yahudi. Lalu muncul pertnyaan apakan
orang-orang Yahudi atau Nashrani termasuk golongan musyrikin atau ntidak. Ibnu
Taimiyyah mula-nmula menjelaskan kebolehan laki-laki muslim menikahi ahli
kitab berdasarkan QS al-Maidah (5):5 berikut:
�c5!��P0�� �- B�� �678&0 Cs�.����0�� ( �c�"&��� �Q� ��b�� (�!"%��� OE���8P0�� -- B 5978�0 5678���"&��� -- B 56���� ( CsLMOo�&�\'����� g: � sLM �N&☺P0�� CsLMOo�&�\'����� g: � �Q� ��b�� (�!"%��� OE���8P0�� : � 5678#E5.&� b�&>#� d:"�!☺�,N/&%��7 d:"���!�X�� �QR M�oP�"� ��53⌧| �QR�& 4O��� )*�� Rq�� �+��� ���VN{�� 8 :���� 53C48�U F:�SUs���#9 uV&�&' ⌧n#.B j����☺�� �!"��� �#Q L�3�g,�� g: � g:U#��d&UP��� F#I
5. Pada hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan)
orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu
halal (pula) bagi mereka. (dan Dihalalkan mangawini) wanita yang
menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-
wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al
kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan
19
maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula)
menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman
(tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia
di hari kiamat Termasuk orang-orang merugi.
Sementara terdapat riwayat dari Ibnu Umar bahwa beliau benci menikahi
ahli kitab dan berkata: “Aku tidak mengetahui kemusyrikan yang lebih besar
ketimbang wanita yang berkata bahwa Tuhan-nya Isa anak Maryam”.13
Lebih
lanjut Ibnu Taimiyyah menegaskan bahwa ahli kitab itu tidak termasuk orang-
orang musyrik berdasarkan firman Allah:
��#� �Q� ��b�� (�!�M����7 e�� ��b���� (����� 8q�3Oo�^0����
e�R �#$@o0���� u:�� g:����7 �b��#9 �5!��P0���� H3�g,�� )- ☺����
�☯&#EOA 56K E&' 56"��3uX�� VM � �i#K# 9�� )*�� Z�5!g 56k5� E�� )*��
56"� e�!�\�qP�&� F mI 62. “Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi,
orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka
yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh,
mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran
kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati”.
Ibnu Taimiyyah menyatakan bahwa sementara orang memandang ahli
kitab sebagai musyrik berdasarkan firman Allah:14
(�4�7�&Ua��� 56"�����.uB�� 56K�^�.N����� ��9��95��� : }� ����
�b�� ⌧���☺P0���� e�59�� g6�U53�� b����� (�4��3 ��� �*#� (�4�V�.N"�� 0
�MK&0#� �MV B��� ( * �B&0#� �*#� �!"� = j�BLM&5$< �d☺�� e�!C¡H3u¢�£ FHGI
13
Ibid. 14
Ibid.
20
31. “Mereka menjadikan orang-orang Alimnya dan Rahib-rahib
mereka sebagai Tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) al-
Masih putera Maryam, Padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan
yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci
Allah dari apa yang mereka persekutukan”.
Ibnu Taimiyyah menjelaskan bahwa ahli kitab itu asal ushul agamanya
tidak menyekutukan tuhan, tetapi tauhid. Namun perjalanannya mereka
melakukan bid’ah kemusyrikan seperti diisyaratkan oleh ayat tersebut diatas. Ibnu
Taimiyyah menambahkan keterangan, bahwa manakala ditemukan al-Qur'an
menyebutkan bahwa mereka melakukan kemusyrikan, itu adalah bid’ah yang
telah diperintahkan Allah SWT Dan jika mereka dibedakan dari kaum musyrikin
lantaran asal usul agama mereka mengikuti ajaran kitab suci yang membawa
pesan tauhid, bukan syirik, dan Allah SWT Tidak menyebut ahli kitab sebagai
musyrik dengan menggunakan kata benda, tetapi al-qurean menyebutkan
kemusyrikannya dengan kata kerja “Yusyrikun”. Sedasngkan ayat dri surat al-
Baqarah menyebutkannya dengan bentuk kata benda (isim): musyrikin dan
musyrikat.15
Penggunaan isim lebih tegas ketimbang fi’il.
Keempat, menafsirkan Ayat al-Quran dengan Hadits-hadits Nabi dan
Perkataan para Sahabat. Ketika menafsirkan ayat: “Ihdinashirata al-Mustaqim”,
Ibnu Taimiyyah mengutip hadits Nabi Saw. Dari Abdullah bin Mas’ud berikut.
Nabi Saw. Membuat sebuah garis, lalu membuat beberapa garis lagi di kanan dan
kirinya. Kemudian berkata: “Ini sabilillah” dan yang ini jalan-jalan yang
15
Ibid.
21
diatasnya terdapat setan-setan yang menyeru kepadanya. Siapa memenuhi
panggilan setan ia dilempar kedalam neraka. Lalu beliau membaca, QS. 6: 153,
“Wa anna hadza shirathi mustaqiman” (dan bahwa ini adalah jalan-Ku yang
lurus).16
Ketika menafsirkan surat al-Ikhlas Ibnu Taimiyyah mengutip puluhan
hadits dan perkataan sahabat, baik yang menjelaskan sebab atau latar belakang
turunnya surat, tersebut maupun makna lafal-lafal yang terkandung didalamnya,
diantara riwayat-riwayat itu adalah sebagai berikut.17
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Amir bin Thufail berkata kepada
Nabi: “Kepada apa engkau menyeru kami hai Muhammad? Nabi menjawab:,
“Kepada Allah” Amir bin Thufail berkata kembali, “Terangkan kepadaku, apakah
ia dari emas atau dari perak, ataukah dari besi? Turunlah surat itu.”
Diriwayatkan dari Abu Zar’ah dari Ahmad bin Mani, dari Muhammad bin
Maisir yakni Abu Sa’id al-Saghani, dari Abu Ja’far al-Razi, dari Rabi’ bin Abbas,
dari Abul Aliyah dari Ubaid bin Ka’ab tentang lafal al-Shomad berkata; “al-
Shamadu aladzi lam Yalid Walam Yuulad Liannahu Laisa Syai’un Yalidu illa
Yamutu wala Syai’un Yamutu illa Yuratsu”, “Wainallaha la Yamutu wala Yaratsu
Walam Yakun lahu Kufuwan Ahadun”, “Qala lam Yakun lahu Syibhun wala
Adlun lalisa Kamistlihi Syai’un”.
Ketika menafsirkan ayat do’a: “Rabbana la Tuakhidna Innasina au
Akht’ana dan seterusnya, Ibnu Taimiyyah mengemukakan keutamaan do’a itu
16
Ibid., hlm. 181-182. 17
Ibnu Taimiyyah, “Tafsir”, Op. Cit., hlm. 186 dan 17.
22
berdasarkan beberapa riwayat dari nabi saw serta mengemukakan falsafah do’a
dari beliau sebagai berikut:18
“Ma min ‘Abdin Yad’ullaha Bida’watin laisa fiha Itsmun wala Qathi’atu
Rahimin illa A’thaullahu biha Ihda Khishalin Tsalats”, “Imma an Yu’ajjila lahu
Da’watuhu Waimma an Yukafara ‘anhu Minadzdzunubi Mitsluha, wa Imam an
yudfa’a ‘Anhu minal bala’i Mitsluha…”(HR. al-Tirmidzi).
“Tak seorang mukmin pun yang memohon kepada Allah
suatu permohonan yang tidak mengandung dosa dan tidak pula
memutuskan tali silaturahmi, kecuali Allah akan memberikan
dengan permohonan itu salah satu dari antara tiga hal berikut:
Pertama, Allah akan segera mengabulkan permintaannya; kedua,
Allah menyediakan balasan baik sepadan dengan catatan kebaikan
yang telah pernah ditempuh; ketiga; Allah akan mengampuni dosa-
dosa yang sepadan dengan kebaikan yang dimohonkan”
Kelima, menggunakan Akal Secara Kritis dalam Menilai dan
Menyimpulkan Keberadaan Manusia Dihadapan al-Qur’an. Ketika menafsirkan
ayat: “Iyyaka na’budu waiyyaka nasta’in” (hanya kepada Engkaulah kami
menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan (Q.S, 1:5)”,
Ibnu Taimiyyah menyimpulkan bahwa manusia dihadapan ayat tersebut terbagi
dalam empat golongan, pertama, manusia yang melaksanakan kedua kewajiban,
yakni ibadah dan isti’anah. Merekalah orang- orang yang beriman dan beramal
shaleh (Q.S. 49:7). Kedua, manusia hanya melaksanakan ibadah kepada Allah
tetapi tidak meminta pertolongan dan tidak bertawakal kepada-Nya. Ketiga,
manusia yang meminta pertolongan kepada Allah dan di tolongnya, tetapi tidak
beibadah kepada-Nya. Keempat, manusia yang tidak menyembah Allah dan tidak
18
Ibnu Taimiyah, “Daqaiqu”, Op. Cit., hlm. 272.
23
meminta pertolongan kepada-Nya, padahal Allah telah menciptakan, memberi
rizqi dan melimpahkan karunia kesehatan kepadanya.19
Ketika menafsirkan ayat: “Waqala al-Rasulu ya Rabbi inna
Khamitthakhadzu Hadzal Qur’ana Mahjuran” (berklatalah Rasul: “Ya Tuhanku,
sesungguhnya kaumku menjadikan al-Qur’an ini suatu yang tidak diacuhkan (Q.S.
25: 30), Ibnu Taimiyyah menyatakan, seperti dikutip Ali Ash Shabuni, bahwa:
“Barangsiapa tidak membaca al-Quran ia telah meninggalkannya, barangsiapa
membaca al-Quran tanpa memahami isinya ia telah meninggalkannya”,
“Barangsiapa membaca al quran dan memahami isinya tetapi tidak
mengamalkannya, ia telah meninggalkan al-Qur’an”.
Keenam, sangat Teliti dalam Memahami Redaksi Ayat dan Lafal-lafalnya.
Ketika menafsirkan surat al-Ikhlash, Ibnu Taimiyyah menjelaskan perbedaan
penggunaan lafal “Ahad” tanpa alif lam dan “al-Shamad” yang menggunakan
alif lam, seperti telah disinggung dalam halaman terdahulu. Untuk memperoleh
makna yang komprehensif atas lafal “al-Shamad” Ibnu Taimiyyah meghadirkan
puluhan pemahaman ulama salaf dari kalangan sahabat dan tabi’in serta para ahli
bahasa. “al-Shamad” artinya sesuatu yang tak berongga, tak bercelah; Tuhan
yang kepadanya disandarkan kebutuhan- kebutuhan; Tuhan yang sempurna lagi
tinggi kedudukannya; yang dimintai pertolongan dalam bencana; Dzat yang tak
membutuhkan kepada seseorang tetapi tiap-tiap orang membutuhkannya.
Demikian uraian Ibnu Taimiyyah dalam tafsirnya.20
19
Ibid., hlm. 162. 20
Ibnu Taimiyah, “Tafsir”, Op. Cit., hlm. 13-15.
24
Ketujuh, keluasan Pembahasan Suatu Ayat dengan Menghadirkan
Beberapa Ayat yang Serupa. Ketika menafsirkan ayat: “Matsaluhum Kamatsalil
Ladzis Tauqada Naran…” (perumpamaan mereka adalah seperti orang yang
menyalakan api) (Q.S 2: 17), Ibnu Taimiyyah menyebutkan bahwa di dalam al-
Qur’an terdapat redaksi ayat yang menggunakan lafal “Matsal” serupa itu lebih
dari empat puluh tempat. Lalu ia mengutip beberpa ayat “Matsal” yang dimaksud
sebagai berikut:21
�-&l�� �Q� ��b�� ��!C� 4^�U �iK&0��!P��� �#Q I-�#.< �b��
I-&�☺⌧t ¤z¥.B us�,��9\�� Z5$< )-#9��^< �#Q I¦-7t $h&��$9M< "z&§(� }� $z¥.B 8 ab���� � ")¨�U
:☺ 0 �7b��¢L£ 8 ab���� ZZ�<��� i�#E��
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang
menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih
yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah
melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah
Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui”.
�K_U�hD�U �Q� ��b�� (�!�^����7 )* (�!"E �5$"% 678 �&�VOA
F�:☺P0��#9 8q&>,{���� q���0��⌧t © 4M�U j��&b��� �7b�&§� ���^0��
)*�� : �N&�U �b��#9 �5!��P0���� H3�g,�� ( j����&�☺&' I-&�☺⌧t ª���!P4OA BP� E�� ¨¤��3"%
j�B�9�OA�h&' y-#9��� j�B)¡���«&' ���'�OA ( �* e���� VP��U =� %�� �7�w⌧� �d☺ }� (�!�$O�)¡ 8 ab���� )* q VuK�U
�c5!&�P0�� �Q�3 4&8P0�� Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya
21
Ibnu Taimiyah, “Majmu”’, Op. Cit., hlm. 14: 56-58.
25
dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang
menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan Dia tidak
beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan
orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian
batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak
bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang
mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang kafir”.
�-&l���� �Q� ��b�� e�!C� 4M�U �6K&0��!P��� �7b��� �59�� ���OG53��
�b�� ���/#$P☯&%�� u: }� 56#K��C4\�� I-&�☺⌧t ¬z�MX ¤L�!59�3#9
�K�9�OA�� y-#9��� us&%���&' �K EC¡�� ��NR⌧4N"�G �#�&' 56�0 �zk5��o�U y-#9��� --&�&' 8 ab����
�☺#9 ��!"E☺N"&% |�3�o�9 Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan
hartanya karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa
mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang
disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya
dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, Maka hujan
gerimis (pun memadai), dan Allah Maha melihat apa yang kamu
perbuat.
�K_U�hD�U ����^0�� g¤#�C[ y-&l�� (�!�" ☺���<��&' 4j��&b = ��#�
e�� ��b�� e�!��uV&% : � I��� �b�� :&0 (�!C�"EPU&� ��9��9"> I!&0��
(�!�"☺��uX�� j�B&0 ( �#��� �6k5�"E��L£ �¤��9®�b�� ���P�⌧� �*
� �7���^�,��L£ �BNM � = ��"OG �E 0���0�� �¤!"Eu�☺P0����
Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka
dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala
yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan
seekor lalatpun, walaupun mereka bersatu menciptakannya, dan
jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat
merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang
menyembah dan Amat lemah (pulalah) yang disembah.
�uV&�&0�� �LM59��)[ ���^E 0 �#Q �⌧�� I���753C�P0�� : � I¦-7t 0-&l��
= QI&0�� 6K��P¯�X $z�U���#9
26
d:&0!C����0 �Q� ��b�� (�4��3⌧4)¡ N�#� �i�,\�� �*#� ��!"E �5$��
“Dan sesungguhnya telah Kami buat dalam Al-Quran ini segala macam
perumpamaan untuk manusia. Dan Sesungguhnya jika kamu membawa kepada
mereka suatu ayat, pastilah orang-orang yang kafir itu akan berkata: "Kamu tidak
lain hanyalah orang-orang yang membuat kepalsuan belaka."
Penafsiran ayat al-Quran dengan menghimpun ayat- ayat yang serupa
demikian itu pada masa sekarang dikenal dengan tafsir tematik.
D. Kesimpulan
Dari uraian terdahulu dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
Pertama, Ibnu Taimiyyah adalah pemikir Islam dan mufassir yang
menjunjung tinggi keagungan al-Quran. Al-Quran dengan segala dalil-dalilnya
merupakan kekayaan, antara lain, untuk menuju kepada aqidah islamiyyah yang
sempurna. Ia memandang al-Quran dan as-Sunnah sebagai pembimbing seluruh
manusia, dan petunjuk jalan lurus dengan dalil-dalil yang terang. Sebagian dari al-
Quran diketahui maknanya oleh orang arab karena ia berbahasa mereka, sebagian
diketahui makananya oleh seseorang dengan keawamannya, sebagian hanya
dimengerti oleh para ulama dan sebagian lagi tidak diketahui hakikatnya kecuali
oleh Allah SWT.
Kedua, metode penafsiran al-Quran yang terbaik secara berturut-turut,
menurut Ibnu Taimiyyah adalah penafsiran al-Quran dengan al-Quran, penafsiran
al-Quran dengan Sunnah, penafsiran al-Quran dengan perkataan para sahabat dan
penafsiran al-Quran dengan perkataan para Tabi’in. Contoh penafsiran terbaik
27
demikian terdapat dalam tafsir ath-Thabari. Sementara tafsir yang dinilai Ibnu
Taimiyyah mengandung penyimpangan adalah tafsir al-Kasysyaf karya az-
Zamakhsyari, karena memuat unsur-unsur pandangan madzhab kalam, dalam hal
ini mu’tazilah dalam kitab tersebut.
Ketiga, penafsiran Ibnu Taimiyyah terhadap ayat-ayat al-Quran dapat
dikatakan unik, karena ia tidak mengikuti sistematika penafsiran yang lazim, baik
yang terdapat pada tafsir-tafsir kamudian. Ia menyajikan tafsir atas ayat-ayat
untuk memberikan pemecahan masalah-masalah pada masa hidupnya. Ia
menafsirkan ayat sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya. Penafsirannya yang
demikian termasuk dalam kategori tafsir bercorak sastra budaya dan
kemasyarakatan. Ciri pokok penafsirannya, antara lain memandang suatu surat
sebagai satu kesatuan yang serasi dan utuh; menekankan kendungan al-Quran
sebagi sumber aqidah; menafsirkan al-Quran dengan ayat-ayat al-Quran, hadits-
hadits Nabi dan pendapat para sahabat serta ahli bahasa, sangat teliti dalam
memahami redaksi ayat dan lafal-lafalnya; menggunakan akal secara kritis untuk
menyimpulkan keberadaan manusia dihadapan ayat-ayat al-Quran. Cara
penafsirannya cukup relevan untuk diterapkan pada masa kini.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman al-Baghdady, Beberapa Pandangan Mengenai Penafsiran Al-
Qur’an, Alih Bahasa Abu Laila (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1988).
Abdurrahman ibn Muhammad al-Asim al-Najdi al-Hambali. “Majmu’ Fatawa
ibnu Taimiyyah”. Juz IX. (Makkah (t. th.).
Abu Dawud, Sunan Abi Dawud (Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1952).
28
Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir ath-Thabari, Tafsir ath-Thabari (Beirut: Darul
Fikr, 1978).
Abu Luwis Ma’luf. Al Munjid fil Lughah wal ‘Alam (Beirut: Darul Misyiq, 1975).
Abul ‘Abbas Taqiyuddin Ahmad ibn Abdul Halim ibn Taimiyyah al-Harrani al-
Dimasqi, Al-Furqan Baina Auliya'ir Rahman wa Auliyais Syaithan
(Riasalah Idaratis Buhus al-Islamiyah wal Ifta’ wa al-Da’wah”, t. th.).
Abul ‘Abbas Taqiyuddin Ahmad ibn Abdul Halim ibn Taimiyyah al-Harrani al-
Dimasqi. Amar Ma’ruf Nahi Munkar, terjemah Bustanudin Agus dan
Kamaludin Marzuki (Jakarta: Menteng Raya Enam Dua, 1968).
Abul ‘Abbas Taqiyuddin Ahmad ibn Abdul Halim ibn Taimiyyah al-Harrani al-
Dimasqi. al-Jawab Ash Shahih Liman Baddala Din al-Masih (Mesir:
Matba’ah al-Madani, 1964).
Abul ‘Abbas Taqiyuddin Ahmad ibn Abdul Halim ibn Taimiyyah al-Harrani al-
Dimasqi, Muqaddimah fi Usulit Tafsir, (Kuwait: Darul Qur’an al-Karim,
1319 H).
Abul ‘Abbas Taqiyuddin Ahmad ibn Abdul Halim ibn Taimiyyah al-Harrani al-
Dimasqi, Syahrul ‘Aqidah al-Afahaniyah (Darul Kutub al-Hadirah, t. th.).
Abul ‘Abbas Taqiyuddin Ahmad ibn Abdul Halim ibn Taimiyyah al-Harrani al-
Dimasqi. Tafsir Surah al-Ikhlash (Kairo: Darut Thiba’ah al-
Muhammadiyah, t. th.).
Abul Husain ibn Hajjaj. Shahih Muslim (Mesir: Dar Ihyail Kutub al ‘Arabiyah; (t.
th.).
Ahmad al-Syirbashi, Sejarah Tafsir Qur’an, Alih Bahasa oleh Tim Pustaka
firdaus (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1985).
Alami Zaddah Faidullah al-Hasini, Fathurrahman Litalib Ayat al Qur’an (Beirut:
al-Mathba’ah al-Ahliyah, 1323 H).
Ali al-Usy, "Metodologi Penafsiran al-Qur’an: Sebuah Tinjauan Awal’, Jurnal
Hikmah, No. 4.
Al-Suyuthi, Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an (Mesir: Al-Azhar, t.th.).
Badruddin al-Zarkasyi, Al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an (Mesir: Al-Halaby, 1957).
D.A. de Vaus, Surveys in Social Research (Sydney: Allen & Unwin, 1990).
29
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-194 (Jakarta: LP3ESl,
1962).
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta, 1964).
Didin Syafruddin, “The Principles of Ibn Taimiyya’s Quranic Interpretation”,
Thesis (Canada: Institut of Islamic Studies, Mc Gill University, 1994).
F. Schoun, Memahami Islam, Alih Bahasa oleh Anas Mahyudin (Bandung:
Pustaka, 1983).
Fazlul Rahman, Islam, Terjemah Anas Wahyudin (Bandung: Pustaka, 1984).
Fazlur Rahman, Islam, Second Edition (Chicago: The University of Chicago
Press, 1979).
Fritjof Schuon. Memaham Islam, Terjemah Anas Wahyudin (Bandung: Pustaka,
1983).
G.C. Anawati, “Peninggalan Islam: Filsafat, Teologi dan Tasawuf,” dalam H. L.
Beck dan NJS. Kaptein (eds.), Pandangan Barat terhadap Literatur,
Hukum, Filosofi, Teologi dan Mistik Tradisi Islam (Jakarta: INIS, 1989).
H.A.R. Gibb, Modern Trends in Islam (New York: Octagon Books, 1978);
Mohammedanism (London: Oxford University Press, 1969).
H.L. Beck dan n.j.s. Kapein (ed.). Pandangan Barat terhadap Literature, Hukum
Filosofi, Teologi dan Mistik Tradisi Islam (Jakarta: INIS, 1989).
Jalaludin Abdurrahman ibn Abi Bakr al-Suyuthi, Al-Jami’ as-Shaghir fil Haditsil
Basyir wan Nadzir (Bandung: Syirkah al-Ma’arif, t. th.).
Joachim Wach, The Comparative Study of Religions (New York: Columbia
University Press, 1958).
John J. Domohue dan John l. Esposito, Islam dan Pembaharuan: Ensiklopedi
Masalah-masalah, Terjemah Machnun Husein (Jakarta: Rajawali, 1984).
Juhaya S. Paraja, “Epistemologi Ibn Taimiyah”, Jurnal ‘Ulumul Qur’an, No. 7.
Th. II, 1990.
Kenneth D. Bailey, Methods of Social Research. Third Edition (New York: The
Free Press, 1987).
30
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1992).
M. Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar (Bandung: Pustaka Hidayah,
1994).
Mahmud Mahdi al-Istanbuli, Ibnu Taimiyyah Bathalul Ishlah al-Diniy
(Damaskus: Darul Ma’rifah, t. th.).
Mahmud Syaltut, Tafsir al-Qur’an al-Karim, Terjemah Hossein Bahreisj dan Heri
Noer Ali (Bandung: CV. Dipenogoro, 1989).
Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University
Press, 1983).
Mar`i Ibn Yusuf al-Karmi al-Hanbali, Al-Syahadah al-Zakiyyah fi Tsana’I al-
A`immah ‘ala Ibn Taimiyyah (Beirut: Dar al-Furqan, 1963).
Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Qur’an al-Hakim
(Beirut: Darul Fikr, t. th.).
Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, Juz 1 (Beirut: Dar al-Fikr,
t.th.).
Muhammad Abu Zahrah, Ibn Taimiyyah: Hayatuhu wa ‘Asruhu, Ara`uhu wa
Fiqhuhu (Beirut: Dar al-Fikr, t.th).
Muhammad al-Bahy, Alam Pemikiran Islam dan Perkembangannya, Alih Bahasa
Al-Yasa’ Abu Bakar (Jakarta: Bulan Bintang, 1987).
Muhammad Ali ash-Shabuni, Ijazul Bayan fi Suwaril Qur’a. (Maktabah al-
Ghazali, t. th.).
Muhammad Ali ash-Shabuni, Al-Tibyan fi Ulum al-Quran (T. k: tth.).
Muhammad al-Sayyid al-Julainid (ed.), Daqaiq al-Tafsir al-Jami’ la Tafsir al-
Imam bn Taimiyyah (Damaskus: Mu`assasah ‘Ulum al-Qur’an, 1966).
Muhammad al-Sayyid al-Julainid, Al-Imam Ibn Taimiyyah wa Mauqifuhu min
Qadhiyyat al-Ta`wil (Kairo: Al-Hai`ah al-‘Ammah lisyu`un al-Mathabi’
al-Amirah, 1974).
Muhammad Amin, Ijtihad Ibn Taimiyyah dalam Bidang Fiqh (Jakarta: INIS,
1991).
31
Muhammad Farid Wajdi, Dairah al-Ma’arif al-Islamiyyah, Juz 1 (t.t.., Dar al-
Ma’rifahli al-Tiba’ah, t.th.).
Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-Mu’ajamul Mufahras li Alfazh al-Qur’an
(Kairo: Darul Fikr, 1981).
Muhammad Husain al-Dzahabi, Al-Tafsir wa al-Mufassirun (t.t.: t.p., 1980).
Muhammad Khalil Haras, Ba’itsun Nahdhah al-Islamiyyah Ibn Taimiyyah (Tanta:
Maktabah al-Shahabah, 1405 H.).
Muhammad Mahdi al-Istanbuli, Ibn Taimiyyah, Bathal al-Ishlah al-Diniy
(Damaskus: Dar al-Ma’rifah, 1977).
Muhammad Quraisy Shihab, Membumikan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1992).
Nurcholish Madjid (ed.), Khazanah Intelektual Islam (Jakarta: Bulan Bintang,
1984).
Qamaruddin Khan, Pemikiran Politik Ibn Taimiyah, Alih Bahasa Anas Mahyudin
(Bandung: Pustaka, 1983).
S.H. Nasr, Islam dalam Cita dan Fakta, Terjemah Abdurrahman Wahid dan
Hashim Wahid (Jakarta: Leppenas).
Saeful Anwar, "Tauhid menurut Ibn Taimiyyah", Tesis (Yogyakarta: Program
Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga, 1992).
Subhi al-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu al-Qur’an, Alih Bahasa Tim Pustaka
Firdaus (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1990).
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta:
Rineka Cipta, 1998).