BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Guillain Barre syndrome (GBS) adalah suatu sindroma klinis dari
kelemahan akut ekstremitas tubuh, yang disebabkan oleh kelainan saraf tepi dan
bukan oleh penyakit sistemis.
John Lettsom 1787, merupakan orang pertama yang mengangkat masalah
neuropati perifer. Ia mendeskripsikan penyakit ini sebagai akibat dari konsumsi
alkohol yang berlebihan. Deskripsi ini tidak dapat memberikan bukti tentang
adanya kelainan patologis maupun anatomis dari penderita.
Meskipun orang yang terjangkit penyakit ini bisa mengalami kelumpuhan
total, prognosisnya bagus. Enam bulan setelah terserang, 85% dari kasus yang
dilaporkan sembuh. Secara keseluruhan hanya 5% yang meninggal akibat GBS
(Fredericks et all 1996). Oleh karenanya, disamping perawatan pada tahap akut,
tata laksana fisioterapi akan sangat menentukan prognosis, apakah akan ada gejala
sisa atau sembuh total. Gullain Barre Syndrome (GBS) dalam proses
penyembuhan sangat membutuhkan fisioterapi.
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik melakukan penelitian
tentang Penatalaksanaan Fisioterapi pada Kasus Guillain-Barre Syndrome.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasar latar belakang tersebut, maka permasalahan yang diangkat
peneliti adalah ”Penatalaksanaan Fisioterapi pada Kasus Guillain Barre
Syndrome“.
Adapun rumusan masalah yang akan diangkat adalah:
a. Apakah yang dimaksud Guillain Barre Syndrome?
b. Apakah etiologi Guillain Barre Syndrome?
c. Bagaimana patofisiologi dari Gillain Barre Sydrome?
d. Bagaimana epidemologi dari Guillain Barre Sydrome?
e. Apa sajakah problem fisioterapi?
f. Bagaimana Tanda dan Gejala Guillain Barre Syndrome?
1
g. Bagaimana penatalaksanaan fisioterapi pada kasus Guillain Barre
Syndrome?
h. Bagaimana pencegahan Guillain Barre Syndrome?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan penulisan makalah ini secara umum yakni untuk memenuhi
tugas Mata Kuliah Patologi Khusus dan pembaca dapat memahami
lebih jauh tentang penyakit Guillain Barre Syndrome.
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui pengertian dari Guillain Barre Syndrome.
b. Untuk mengetahui etiologi dari Guillain Barre Syndrome.
c. Untuk mengetahui patofisiologi dari Guillain Barre Syndrome.
d. Untuk mengetahui epidemologi dari Guillain Barre Syndrome.
e. Untuk mengetahui problem fisioterapi.
f. Untuk memngetahui tanda dan gejala Guillain Barre Syndrome.
g. Untuk mengetahui penatalaksanaan fisioterapi pada kasus
Guillain Barre Syndrome.
h. Untuk mengetahui pencegahan Guillain Barre Syndrome.
1.4 Manfaat
Tulisan ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumber informasi baik
bagi tenaga kesehatan ataupun masyarakat umum mengenai Guillain Barre
Syndrome.
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Guillain Barre Syndrome
Guillain Barre Syndrome ( GBS ) adalah suatu kelainan sistem kekebalan
tubuh manusia yang menyerang bagian dari susunan saraf tepi dirinya sendiri
dengan karekterisasi berupa kelemahan atau arefleksia dari saraf motorik yang
sifatnya progresif. Kelainan ini kadang-kadang juga menyerang saraf sensoris,
otonom, maupun susunan saraf pusat.
Penderita Penyakit Guillain Barre Syndrome
2.2 Pengertian Akson dan Selaput Myelin
Akson adalah suatu perpanjangan sel-sel saraf, berbentuk panjang dan
tipis; berfungsi sebagai pembawa sinyal saraf. Beberapa akson dikelilingi oleh
suatu selubung yang dikenal sebagai myelin, yang mirip dengan kabel listrik yang
terbungkus plastik. Selubung myelin bersifat insulator dan melindungi sel-sel
saraf. Selubung ini akan meningkatkan baik kecepatan maupun jarak sinyal saraf
yang ditransmisikan.
Myelin tidak membungkus akson secara utuh, namun terdapat suatu jarak
diantaranya, yang dikenal sebagai Nodus Ranvier, dimana daerah ini merupakan
daerah yang rentan diserang. Transmisi sinyal saraf juga akan diperlambat pada
3
daerah ini, sehingga semakin banyak terdapat nodus ini, transmisi sinyal akan
semakin lambat.
Sel Saraf
.
2.3 Etiologi
Kelemahan dan paralisis yang terjadi pada GBS disebabkan karena
hilangnya myelin, material yang membungkus saraf. Hilangnya myelin ini disebut
demyelinisasi. Demyelinisasi menyebabkan penghantaran impuls oleh saraf
tersebut menjadi lambat atau berhenti sama sekali. GBS menyebabkan inflamasi
dan destruksi dari myelin dan menyerang beberapa saraf. Oleh karena itu GBS
disebut juga Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy (AIDP).
Meskipun sebagian besar penderita GBS dapat sembuh spontan, namun
lama perjalanan penyakit GBS tidak dapat diprediksi dan sering membutuhkan
perawatan rumah sakit dan rehabilitasi selama berbulan-bulan. Seiring dengan
kembalinya suplai saraf, penderita membutuhkan bantuan untuk mampu
menggunakan otot-otot yang terpengaruh oleh GBS secara optimal.
Penyebab terjadinya GBS sampai saat ini belum diketahui. Ada yang
menyebutkan kerusakan tersebut disebabkan oleh penyakit autoimun. Namun
karena kebanyakan kasus terjadi sesudah proses infeksi, diduga GBS terjadi
karena sistem kekebalan tidak berfungsi. Gejalanya adalah kelemahan otot (parese
hingga plegia), biasanya perlahan, mulai dari bawah ke atas. Jadi gejala awalnya
biasanya tidak bisa berjalan, atau gangguan berjalan. Sebaliknya
4
penyembuhannya diawali dari bagian atas tubuh ke bawah, sehingga bila ada
gejala sisa biasanya gangguan berjalan (Fredericks et all 1996)..
Setelah fase akut terlewati, pasien membutuhkan rehabilitasi untuk
mencapai fungsi tubuh yang telah hilang. Rehabilitasi ditujukan terutama untuk
memperbaiki fungsi aktivitas sehari-hari (AKS), seperti menggosok gigi, mencuci
dan berpakaian.
Tujuan terapi fisik adalah untuk menstimulasi otot dan sendi, melalui
berbagai gerakan fisik dan latihan; sehingga terbentuk kekuatan, fleksibilitas, dan
lingkup gerak sendi yang optimal. Seorang fisioterapi akan melakukan program
latihan progresif dan memberikan petunjuk mengenai gerakan fungsional yang
benar, sehingga tidak terjadi kompensasi gerakan yang salah saat penyembuhan.
Terapis okupasi memfokuskan terapi pada aktivitas untuk membantu
pasien melakukan aktivitasnya sehari-hari secara optimal. Dalam terapi,
digunakan beberapa alat bantu tambahan seperti brace pada tungkai atau lengan,
cane, walker, dan kursi roda untuk membantu mobilisasinya selama fase
penyembuhan atau sekiranya GBS membuat penderita hidup dengan disabilitas
yang permanen. Penggunaan alat potong bantuan juga diperlukan untuk membuat
pasien mandiri dengan aktifitasnya.
Seorang terapis wicara juga berperan penting dalam meningkatkan
kemampuan bicara dan menelan pasien. Terapis wicara akan memperbaiki
kemampuan penderita dalam berkomunikasi. Semua ini akan tergabung dalam tim
dimana dokter, perawat, dan anggota tim medis lainnya dengan pengetahuannya
masing-masing, sehingga dapat menentukan tujuan terapi dan prioritas terapi
berdasarkan tujuan tersebut. Setelah rehabilitasi, pasien harus mampu berfungsi
secara utuh di lingkungan rumahnya masing-masing.
2.4 Patofisiologi
.Ada beberapa teori mengenai pembentukan autoantibodi, yang pertama
adalah virus dan bakteri mengubah susunan sel-sel saraf sehingga sistem imun
tubuh mengenalinya sebagai benda asing. Teori yang kedua mengatakan bahwa
infeksi tersebut menyebabkan kemampuan sistem imun untuk mengenali dirinya
5
sendiri berkurang. Autoantibodi ini yang kemudian menyebabkan destruksi
myelin bahkan kadang-kadang juga dapat terjadi destruksi pada axon.
Destruksi pada myelin tersebut menyebabkan sel-sel saraf tidak dapat
mengirimkan signal secara efisien, sehingga otot kehilangan kemampuannya
untuk merespon perintah dari otak dan otak menerima lebih sedikit impuls
sensoris dari seluruh bagian tubuh.
Pemeriksaan secara patologis pada saraf penderita penyakit Guillain Barre
Syndrome menunjukkan kalau terjadi proses penghancuran selaput myelin pada
saraf tepi. Baik pada pangkalnya (akar saraf) ataupun pada bagian yang lebih
ujung (distal). Pada umumnya yang terserang akar saraf tulang belakang bagian
depan (anterior root nerves of spinal cord), tetapi tidak menutup kemungkinan
akar saraf bagian belakang (posterior root nerves of spinal cord). Uniknya selaput
myelin yang terserang dimulai dari saraf tepi paling bawah, terus naik ke saraf
tepi yang lebih tinggi (Fredericks et all 1996, dan Nolte 1999).
Fungsi selaput myelin adalah mempercepat konduksi saraf. Oleh
karenanya hancurnya selaput ini mengakibatkan keterlambatan konduksi saraf,
bahkan mungkin terhenti sama sekali (Nolte 1999). Sehingga penderita GBS
mengalami gangguan motor dan sensorik. Kelambatan kecepatan konduksi otot
bisa dilihat dari hasil pemeriksaan EMG. Disamping itu, hancurnya selaput
myelin mungkin juga menyerang cranial nerves (Pryor & Webber 1998) termasuk
diantaranya nervus vagus, yang merupakan bagian dari sistem saraf otonomik.
Oleh karena itu, bila saraf yang terserang cukup tinggi tingkatnya, sistem saraf
otonomik mungkin saja terganggu. Selain nervus vagus, cranial nerves yang lain
mungkin saja terserang, misalnnya saraf ke-XI.
Gangguan motorik yang pada GBS diawali dengan kelemahan otot bagian
bawah. Mula-mula yang dirasakan kelemahan (parese), bila berlanjut menjadi
lumpuh (plegia). Diawali dari gangguan berjalan, seperti misalnya kaki ‘terseret’,
hingga tidak bisa berdiri. Perlahan-lahan kelemahan ‘naik’ otot lebih tinggi,
seperti lutut dan paha, sehingga penderita tidak bisa berdiri. Bila yang berlanjut
kelemahan otot bisa terjadi pada otot di sepajang tulang punggung, punggung dan
dada. Terus hingga ke tangan dan lengan. Bila otot-otot pernafasan terganggu,
akan terjadi kelemahan dalam bernafas. Penderita merasa nafasnya berat.
6
Kadang-kadang gejala GBS juga disertai gangguan saraf otonomik,
sehingga akan terjadi gangguan saraf simpatik dan para simpatik. Yang tampak
adalah gejala naik-turunnya tekanan darah secara tiba-tiba, atau pasien berkeringat
di tempat yang dingin (Pryor & Webber 1998). Bila terjadi gangguan cranial
nerves akibatnya adalah tidak bisa menelan, berbicara atau bernafas, atau
kelemahan otot-otot muka. Uniknya kelemahan otot biasanya simetris, artinya
anggota badan yang kiri mengalami kelemahan yang sama dengan anggota badan
kanan.
Sebagai akibat dari gangguan motorik dan sistem saraf otonomik, terjadi
gangguan kardiopulmonari. Berawal dari nafas berat, oleh karena kelemahan otot
pernafasan (baik otot intercostal maupun diafragma), hingga gangguan ritmik oleh
karena gangguan saraf otonomik. Akibatnya fungsi paru menjadi terganggu. Paru
tidak bisa mengembang secara maksimal akibatnya kapasitas vital menurun. Bila
kondisi ini berlanjut, bisa terjadi infeksi paru, pneumonia, yang akan
memperburuk kondisi. Ditambah kenyataannya pasien dalam kondisi seperti di
atas biasanya hanya terbaring, posisi yang hanya akan menurunkan fungsi paru
(Pryor & Webber 1998). Bila fungsi glotis terganggu, akibat terganggunya sistem
otonomik, penderita mungkin akan tersedak. Sehingga makanan masuk ke saluran
pernafasan, dan akan menambah infeksi paru.
Akibat terganggunya saraf otonomik, irama jantung juga terganggu.
Sehingga tekanan darah bisa naik-turun secara mendadak, atau flushing, yaitu
muka memerah secara mendadak.
Gejala-gejala tersebut akan terus muncul dalam waktu maksimal 2
minggu. Sesudah itu akan berhenti, hingga proses penyembuhan terjadi sekitar 2
sampai 4 minggu sesudah kelemahan berhenti.
2.5 Epidemiologi
Di Amerika Serikat, insiden terjadinya GBS berkisar antara 0,4-2,0 per
100.000 penduduk.
GBS merupakan a non sesasonal disesae dimana resiko terjadinya adalah
sama di seluruh dunia pada semua iklim. Perkecualiannya adalah di Cina , dimana
7
predileksi GBS berhubungan dengan Campylobacter jejuni (cenderung terjadi
pada musim panas)
GBS dapat terjadi pada semua orang tanpa membedakan usia maupun ras.
Insiden kejadian di seluruh dunia berkisar antara 0,6 – 1,9 per 100.000 penduduk.
Insiden ini meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. GBS merupakan
penyebab paralisa akut yang tersering di negara barat.
Angka kematian berkisar antara 5 – 10 %. Penyebab kematian tersering
adalah gagal jantung dan gagal napas. Kesembuhan total terjadi pada penderita
GBS. Antara 5 – 10 % sembuh dengan cacat yang permanen.
2.6 Problem Fisioterapi
Berdasarkan penjabaran di atas dapatlah disebutkan ada 4 problem dasar
dari sisi pandang fisioterapi, yaitu:
a. Muskuloskeletal
Gangguan muskuloskeletal yang menonjol adalah berkurangnya
kekuatan otot. Seperti disebutkan di atas, kelemahan otot disebabkan
oleh terhambatnya atau terhentinya konduksi saraf dari spinal cord ke
neuromusculo junction, yang satuannya disebut motor unit. Satu motor
unit adalah beberapa serat otot yang mendapatkan inervasi oleh satu
8
motor neuron (Fredericks et all 1996). Saraf yang menginervasi motor
neuron berasal dari akar saraf tulang belakang. Satu akar saraf bisa
menginervasi ribuan motor neuron. Sebaliknya satu otot mungkin
disarafi oleh beberapa motor neuron yang berasal dari beberapa akar
saraf tulang belakang (Martini 1998). Jadi bila ada satu akar saraf
mengalami gangguan, maka sebagian serabut otot tidak mendapatkan
inervasi; sedangkan serabut otot yang mendapat innervasi dari akar
saraf lain masih mendapatkan konduksi saraf.
Kelumpuhan (plegia) terjadi akibat banyaknya motor unit, atau
semua, dalam satu otot yang tidak terkonduksi, sehingga otot tersebut
tidak bisa dikontraksikan. Sedangkan kelemahan (parese) terjadi akibat
hanya sebagian motor unit dalam satu otot yang masih terkonduksi
saraf, sehingga masih mampu untuk mengkontraksikan otot tersebut.
Oleh karena hanya sebagian serabut otot yang terinervasi yang bekerja
untuk menggerakkan satu otot, penderita GBS lebih cepat lelah.
Selanjutnya bila otot tidak bisa berkontraksi berarti bagian badan
tersebut tidak bergerak. Bila hal ini terjadi dalam kurun waktu lama,
yang akan terjadi bukan hanya kekuatan otot yang terganggu, tetapi
juga akan terjadi pemendekan otot, dan keterbatasan luas gerak sendi
(LGS). Jadi akibat berkurangnya konduksi saraf, akan mengurangi
jumlah motor unit yang bekerja, bahkan mungkin tidak ada sama sekali,
sehingga kelemahan otot atau lumpuh sama sekali, dan akan terjadi
pemendekan otot, dan pada akhirnya keterbatasan LGS.
b. Kardiopulmonari
9
Hal yang sama juga terjadi bila proses kerusakan selaput myelin
terjadi pada tingkat akar saraf thoracal, karena akan terjadi kelemahan
otot-otot pernafasan, yakni otot intercostal. Bahkan bila menyerang
tingkat cervical, diafragma mengalami gangguan juga (Martini 1998).
Akibatnya bahkan semakin rumit. Oleh karena otot-otot intercostal,
mungkin juga diafragma, berkurang kekuatannya, maka ekspansi dada
berkurang.
Hal ini berakibat berkurangnya kapasitas vital paru, sehingga
fungsi ventilasi juga menurun. Akibat kapasitas vital menurun,
kemampuan batuk pun menurun. Sehingga kemampuan untuk
membersihkan saluran pernafasan menjadi berkurang.
Keadaan ini diperburuk oleh kenyataan bahwa penderita yang
mengalami kelemahan otot paru hanya mampu berbaring. Dalam posisi
berbaring, kapasitas paru semakin berkurang karena pengaruh gravitasi
terhadap posisi paru. Akibat gravitasi juga, otot-otot pernafasan yang
sudah lemah tersebut, semakin berat melakukan ekspansi paru.
Berkurangnya daya ekspansi paru berakibat terjadinya atelektasis,
sehingga fungsi ventilasi paru berkurang (Pryor & Webber 1998).
Resiko infeksi paru tinggi bila terjadi gangguan menelan, akibat
terserangnya cranial nerves yang bersangkutan. Karena gangguan
menelan tersebut, makanan bisa masuk ke saluran pernafasan, yang
akan menjadi sumber penyebab infeksi paru. Terjadinya infeksi paru
akan meningkatkan kebutuhan ventilasi. Sebaliknya infeksi paru juga
menurunkan kemampuan pertukaran gas di paru. Sehingga perbedaan
kebutuhan ventilasi dan kemampuan ventilasi paru akan sangat besar,
yang akan memperburuk kondisi pasien.
c. Sistem Saraf Otonomik
Selain gangguan kardiopulmonari, bila kerusakan selaput myelin
mencapai tulang belakang tingkat thoracal, maka akan terjadi juga
gangguan saraf otonomik simpatik. Bila gangguan selaput myelin
mencapai saraf vagus (salah satu cranial nerves) akan terjadi gangguan
parasimpatik. Oleh karena saraf-saraf tepi otonomik berakar dari akar
10
saraf yang keluar dari antara tulang belakang thoracal dan saraf vagus
(Martini 1998). Gangguan yang biasanya tampak adalah naik turunnya
tekanan darah, dan keringat yang berlebihan.
Kecuali gangguan tekanan darah yang naik turun secara tiba-tiba,
dan menelan, gangguan-gangguan tersebut tidak akan banyak
mempengaruhi program fisioterapi. Tetapi dalam memberikan
pengobatan fisioterapi hendaknya selalu mengawasi tanda-tanda
tersebut, terutama bila hendak memberikan perubahan posisi yang
berarti atau mobilisasi.
d. Sensasi
Gejala lain yang dirasakan penderita GBS adalah gangguan rasa
(sensasi). Gangguan rasa yang dirasakan adalah kesemutan, tebal, rasa
terbakar, ataupun nyeri (Fredericks et all 1996). Pola penyebarannya
tidak teratur dan tidak simetris, bisa berubah setiap saat. Meskipun
gangguan tersebut tidak berbahaya, tetapi gangguan rasa tersebut
menimbulkan rasa tidak nyaman. Rasa nyeri kadangkala juga terjadi
akibat sebuah sendi tidak digerakkan dalam waktu tertentu. Jadi
kadangkala nyeri murni disebabkan oleh gangguan sensasi, tetapi
kadangkala juga disebabkan oleh kombinasi gangguan sensasi dan sendi
yang sudah lama tidak digerakkan.
Selain gangguan rasa yang berakibat tidak nyaman, gangguan
sensasi juga bisa menyebabkan komplikasi. Misalnya gangguan rasa
tebal, disertai kelemahan otot, bisa menyebabkan dekubitus. Oleh
karenanya perlu dipikirkan untuk pencegahannya.
2.7 Tanda dan Gejala Guillain Barre Syndrome
Pasien dengan GBS umumnya hanya akan mengalami satu kali serangan
yang berlangsung selama beberapa minggu, kemudian berhenti spontan untuk
kemudian pulih kembali.Perjalanan penyakit GBS dapat dibagi menjadi 3 fase:
1. Fase progresif.
Umumnya berlangsung 2-3 minggu, sejak timbulnya gejala awal
sampai gejala menetap, dikenal sebagai ‘titik nadir’. Pada fase ini akan
11
timbul nyeri, kelemahan progresif dan gangguan sensorik; derajat
keparahan gejala bervariasi tergantung seberapa berat serangan pada
penderita. Kasus GBS yang ringan mencapai nadir klinis pada waktu
yang sama dengan GBS yang lebih berat. Terapi secepatnya akan
mempersingkat transisi menuju fase penyembuhan, dan mengurangi
resiko kerusakan fisik yang permanen. Terapi berfokus pada
pengurangan nyeri serta gejala.
2. Fase plateau.
Fase infeksi akan diikuti oleh fase plateau yang stabil, dimana
tidak didapati baik perburukan ataupun perbaikan gejala. Serangan telah
berhenti, namun derajat kelemahan tetap ada sampai dimulai fase
penyembuhan. Terapi ditujukan terutama dalam memperbaiki fungsi
yang hilang atau mempertahankan fungsi yang masih ada. Perlu
dilakukan monitoring tekanan darah, irama jantung, pernafasan, nutrisi,
keseimbangan cairan, serta status generalis. Imunoterapi dapat dimulai
di fase ini. Penderita umumnya sangat lemah dan membutuhkan
istirahat, perawatan khusus, serta fisioterapi. Pada pasien biasanya
didapati nyeri hebat akibat saraf yang meradang serta kekakuan otot dan
sendi; namun nyeri ini akan hilang begitu proses penyembuhan dimulai.
Lama fase ini tidak dapat diprediksikan; beberapa pasien langsung
mencapai fase penyembuhan setelah fase infeksi, sementara pasien lain
mungkin bertahan di fase plateau selama beberapa bulan, sebelum
dimulainya fase penyembuhan.
3. Fase penyembuhan.
Akhirnya, fase penyembuhan yang ditunggu terjadi, dengan
perbaikan dan penyembuhan spontan. Sistem imun berhenti
memproduksi antibody yang menghancurkan myelin, dan gejala
berangsur-angsur menghilang, penyembuhan saraf mulai terjadi. Terapi
pada fase ini ditujukan terutama pada terapi fisik, untuk membentuk
otot pasien dan mendapatkan kekuatan dan pergerakan otot yang
normal, serta mengajarkan penderita untuk menggunakan otot-ototnya
secara optimal. Kadang masih didapati nyeri, yang berasal dari sel-sel
12
saraf yang beregenerasi. Lama fase ini juga bervariasi, dan dapat
muncul relaps. Kebanyakan penderita mampu bekerja kembali dalam 3-
6 bulan, namun pasien lainnya tetap menunjukkan gejala ringan sampai
waktu yang lama setelah penyembuhan. Derajat penyembuhan
tergantung dari derajat kerusakan saraf yang terjadi pada fase infeksi.
Gangguan autonom terlihat pada lebih dari 50%, gangguan
otonomik biasanya bermanifestasi sebagai takikardia tetapi bisa
menjadi gangguan yang lebih serius yaitu disfungsi saraf otonom
termasuk aritmia, hipotensi, hipertensi, dan dismotilitas gastrointestinal.
Kelemahan ascenden dan simetris. Anggota gerak bawah terjadi
lebih dulu dari anggota gerak atas. Kelemahan otot proksimal lebih dulu
terjadi dari otot distal, kelemahan otot trunkal, bulbar dan otot
pernafasan juga terjadi. Kelemahan terjadi akut dan progresif bisa
ringan sampai tetraplegi dan gangguan nafas.
Fase Perjalan Klinis
Diagnosa GBS terutama ditegakkan secara klinis. GBS ditandai dengan
timbulnya suatu kelumpuhan akut yang disertai hilangnya refleks-refleks tendon
dan didahului parestesi dua atau tiga minggu setelah mengalami demam disertai
disosiasi sitoalbumin pada likuor dan gangguan sensorik dan motorik perifer.
GBS merupakan penyebab paralisa akut yang dimulai dengan rasa baal,
parestesia pada bagian distal dan diikuti secara cepat oleh paralisa ke empat
13
ekstremitas yang bersifat asendens. Parestesia ini biasanya bersifat bilateral.
Refelks fisiologis akan menurun dan kemudian menghilang sama sekali.
Kerusakan saraf motorik biasanya dimulai dari ekstremitas bawah dan menyebar
secara progresif, dalam hitungan jam, hari maupun minggu, ke ekstremitas atas,
tubuh dan saraf pusat.
2.8 Penatalaksanaan Fisioterapi
Penatalaksanaan fisioterapi pada penderita GBS harus dimulai sejak awal,
yaitu sejak kondisi pasien stabil. Oleh karena perjalananan penyakit GBS yang
unik, ada dua fase yang perlu diperhatikan dalam memberikan fisioterapi. Yang
pertama adalah fase ketika gejala masih terus berlanjut hingga berhenti sebelum
kondisi pasien terlihat membaik. Pada fase tersebut yang diperlukan adalah
mempertahankan kondisi pasien, meskipun kondisi pasien akan terus menurun.
Sedangkan yang kedua adalah pada fase penyembuhan, ketika kondisi
pasien membaik. Pada fase ini pengobatan fisioterapi ditujukan pada penguatan
dan pengoptimalan kondisi pasien. Pada fase pertama penekanan pada semua
problem menjadi sangat penting. Sedangkan pada fase kedua hanya problem
muskuloskeletal dan kardiopulmari yang menjadi penekanan. Secara keseluruhan
penatalaksanaan fisioterapi ditujukan pada pengoptimalan kemampuan fungsional.
14
Meskipun ada 4 komponen problem dari sudut fisioterapi,
penatalaksanaannya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Oleh karenanya
sulit memisahkan satu masalah dengan masalah yang lain. Penulis berusaha
memisahkan penatalaksanaan fisioterapi berdasarkan tiap problem, sesuai dengan
penguraian problem di atas supaya lebih detail. Tetapi pada prakteknya,
pemberian fisioterapi tidak dapat dipisahkan satu dari yang lain.
a. Penatalaksanaan Fisioterapi pada Problem Muskuloskeletal
Seperti telah disebutkan di atas, masalah muskuloskeletal adalah
penting baik pada fase pertama maupun kedua oleh karena bukan hanya
motorik adalah masalah utama penderita GBS, tetapi juga skeletal
sebagai akibat dari gangguan motorik.
Pada fase pertama yang perlu diberikan adalah mempertahankan
kekuatan otot, panjang otot, luas gerak sendi (LGS), tanpa melupakan
bahwa kondisi pasien masih akan terus memburuk dalam waktu
maksimal 2 minggu.
Bila panjang otot dan LGS terus terjaga pada fase pertama,
fisioterapi pada fase kedua ditekankan peningkatan kekuatan otot,
dengan tetap memperhitungkan jumlah motor unit yang kembali
bekerja.
b. Penatalaksanaan pada masalah kekuatan otot
Pada fase pertama, program awal yang bisa diberikan adalah
latihan aktif, bila memungkinkan. Bila penderita tidak mampu
15
menggerakkan sendiri anggota badannya, sebaiknya bantuan diberikan
(aktif asistif). Bila kemudian kondisi kelemahan otot sangat menonjol,
latihan pasif harus diberikan; artinya fisioterapis yang menggerakkan
angota badan penderita. Oleh karena dalam fase ini, kondisi penderita
akan menurun, maka biasanya bantuan yang diberikan fisioterapis
kepada pasien semakin banyak dari waktu ke waktu.
Sebaiknya seorang fisioterapis mempunyai sistematis dalam
menggerakkan anggota tubuh pasien, sehingga tidak ada bagian yang
terlewati. Selain itu fisioterapis juga akan bisa sekaligus mengamati
perkembangan motorik pasien bila dilakukan secara sistematis.
Dianjurkan menggerakkan anggota tubuh dari bawah, sehingga akan
diakhiri dengan bagian tubuh yang terkuat. Secara psikis hal ini juga
akan sangat membantu motivasi pasien. Selain menggerakkan bagian
tubuh secara sistematis, juga sebaiknya arah gerakan tiap sendi dibuat
secara sistematis, sehingga tidak ada gerakan otot yang tertinggal.
Dalam menggerakkan anggota badan, sebaiknya fisioterapis
mengamati tingkat toleransi pasien terhadap latihan. Jangan sampai
pasien dibiarkan terlalu lelah atau memaksa menggerakkan anggota
tubuh, karena akan merusak motor unit. Berikan kesadaran kepada
pasien bahwa pada waktunya ototnya akan kembali bergerak, asalkan
dilakukan gerakan secara rutin. Bagi pasien GBS, frekuensi latihan
seharusnya tidak terlalu tinggi dalam satu sesi, untuk mencegah
kelelahan, mengingat jumlah motor unit yang bekerja hanya terbatas.
Intensitas latihan dalam sehari bisa ditingkatkan dengan melakukan
lebih banyak sesi dalam sehari.
Penatalaksanaan pada fase kedua tidak jauh berbeda dengan fase
sebelumnya. Sasaran utama pada fase ini adalah peningkatan kekuatan
otot. Meskipun demikian latihan yang diberikan masih harus tidak
boleh terlalu berat, karena jumlah motor unit yang aktif terbatas.
Program latihan aktif seharusnya ditingkatkan bila penderita sudah
mampu melakukan latihan aktif dan memenuhi LGS normal tanpa
16
kesulitan. Latihan kemudian meningkat menjadi aktif resistif, artinya
menggunakan beban unntuk meningkatkan kekuatan otot.
Jenis latihan bisa bervariasi, bisa menggunakan beban manual,
artinya fisioterapis memberikan beban secara manual, hingga latihan
dengan alat, seperti misalnya quadricep bench. Dalam memberikan
program latihan, hendaknya selalu diingat bahwa tujuan akhir program
fisioterapi adalah memaksimalkan kemampuan fungsional. Jadi dalam
meningkatkan kekuatan otot, perlu diingat otot-otot mana saja yang
diperlukan dalam beraktivitas, atau mensiasati bila ada keterbatasan.
Untuk mengukur perubahan kondisi pasien, bisa digunakan
pengukuran kekuatan otot (MMT- manual muscles testing). Tentu saja
pada fase pertama kekuatan pasien tidak akan mengalami kenaikan,
sesuai dengan perjalanan penyakit. Tetapi pengukuran kekuatan terakhir
pasien, saat kekuatan biasanya berhenti sebelum kemudian membaik,
bisa dijadikan titik balik pengukuran pada tahap berikutnya. Sebaiknya
pengukuran dilakukan secara berkala, misalnya tiap minggu, atau tiap 3
hari. Dengan demikian fisioterapis maupun penderita bisa melihat
perkembangan yang terjadi, yang mungkin juga akan menjadi motivasi
keduanya.
c. Penatalaksanaan pada Luas Gerak Sendi (LGS)
Bersamaan dengan digerakkannya otot anggota tubuh penderita,
bisa dikatakan semua sendi sudah digerakkan. Hanya perlu diingat
bahwa pada fase pertama, otot penderita GBS biasanya tidak mampu
menggerakkan LGS secara penuh. Oleh karenanya fisioterapis perlu
membantu penderita untuk menggerakkan sendi sesuai dengan luas
gerak sendi yang normal, minimal yang fungsional.
Sama seperti memberikan latihan untuk otot, menggerakkan sendi
sebaiknya juga dilakukan secara sistematis supaya tidak ada yang
tertinggal. Sesudah gerakan aktif setiap sendi oleh penderita, sebaiknya
ditambahkan 2 sampai 3 kali gerakan sendi oleh fisioterapis dalam LGS
maksimal untuk mempertahankan LGS. Berbeda dengan program untuk
17
kekuatan otot, untuk mempertahankan sendi sama pada fase pertama
dan kedua.
Ukuran yang dipergunakan untuk mengukur luas gerak sendi
adalah pengukuran sudut setiap sendi. Alat yang digunakan adalah
goniometer. Pengukurannya dilakukan dengan satuan derajat. Dalam
satu institusi biasanya disepakati sistem apa yang digunakan, posisi
penderita dan posisi goniometer pada setiap sudut pengukuran.
Seharusnya tidak akan ada perubahan LGS dari waktu ke waktu, agar
pada akhirnya penderita masih mempunyai kemampuan fungsional
yang maksimal.
d. Penatalaksanaan pada Panjang Otot
Pada saat melakukan latihan untuk mempertahankan LGS, sebagian
besar otot juga terpelihara panjangnya. Kecuali beberapa otot yang
panjangnya melewati dua sendi. Untuk otot-otot tersebut, perlu gerakan
khusus untuk mempertahankan panjangnya. Otot-otot seperti
quadriceps, iliotibial band, sartorius adalah contoh otot yang melewati
dua sendi. Otot-otot tersebut penting dalam kegiatan sehari-hari,
misalnya duduk, bersila atau bersimpuh. Sehingga bila panjang ototnya
tidak terpelihara, maka akan berpengaruh pada aktivitas penderita bila
sembuh nanti.
Agak sulit membuat pengukuran panjang otot, oleh karena panjang
otot tiap individu akan berbeda tergantung pada aktivitas dan
keturunan. Karenanya untuk mengetahui panjang otot yang normal,
secara nalar, berarti fisioterapis harus tahu penderita sebelum menderita
GBS. Kenyataannya hal itu tidak mungkin terjadi. Sehingga salah satu
cara untuk mengetahui panjang otot adalah menanyakan aktivitas
penderita, apakah penderita biasa bersila, duduk sambil menumpangkan
kaki atau bersimpuh.
Dengan demikian bisa diukur apakah panjang otot yang
bersangkutan cukup untuk kembali melakukan kembali aktivitasnya.
Cara lain yang bisa digunakan adalah membandingkan otot sebelah kiri
18
dan kanan, karena biasanya keduanya mempunyai panjang otot yang
sama. Pencatatannya baru dilakukan bila ada keterbatasan panjang otot.
e. Penatalaksanaan pada Problem Kardiopulmonari
Masalah kardiopulmonari lebih menonjol pada fase pertama. Pada
kasus GBS yang berat, terjadi kelemahan otot-otot intercostal
disebabkan karena berkurangnya jumlah motor unit yang terkonduksi.
Akibatnya tidak dapat melakukan inspirasi secara penuh, sehingga
kapasitas vital menjadi berkurang. Seperti yang telah disebutkan di atas,
menurunnya kemampuan batuk, akan menurunkan kemampuan untuk
membersihkan saluran pernafasan. Sehingga saluran pernafasan
semakin menyempit, dan ekspansi paru menjadi berkurang juga.
Sehingga pada akhirnya kembali terjadi penurunan kapasitas vital
penderita.
f. Penatalaksanaan pada Kemampuan Ekspansi Dada
Berbeda dengan masalah muskuloskeletal yang lain, latihan pasif
tidak bisa dilakukan dengan mudah. Latihan pasif hanya bisa dilakukan
dengan bantuan ventilator atau manual hyperinflation. Dengan
terpenuhinya volume sesuai dengan kapasitas vital, maka pertukaran
gas dalam alveoli menjadi meningkat dan mampu memenuhi kebutuhan
ventilasi. Selain itu juga memelihara kelenturan jaringan-jaringan lunak
disekitarnya, sehingga LGS persendian disekitar tulang rusuk
terpelihara.
Dengan demikian bila kekuatan otot interkostal sudah kembali
membaik, rongga dada sudah siap kembali mengembang.Bila otot
intercostal dan diafragma sudah menigkat, maka latihan penguatan
harus segera diberikan. Oleh karena tekanan positif yang diberikan
lewat ventilator atau manual hyperinflation bisa memberikan efek
samping, seperti barotrauma. Maka latihan aktif harus segera diberikan.
Pemberian latihan masih harus memperhatikan aturan rendah frekuensi
dalam satu sesi dan banyak sesi dalam sehari. Ini berarti harus diberikan
kesempatan istirahat cukup bagi penderita diantara sesi latihan, untuk
menghindari kelelahan.
19
g. Penatalaksaaan pada Pembersihan Saluran Pernafasan
Dalam keadaan normal, setiap hari dihasilkan sekitar 100 ml
sekresi saluran pernafasan dalam sehari. Pembersihan dilakukan sebagai
bagian dari sistem pertahanan, yakni didorong oleh cilia yang kemudian
tertelan. Bila sekresi yang dihasilkan lebih dari normal, atau ada
kegagalan kerja cilia, maka diperlukan mekanisme batuk untuk
mengeluarkannya dari saluran pernfasan. Agar bisa meletupkan batuk
yang kuat, seseorang harus bisa menghirup cukup volume udara.
Sehingga seorang penderita GBS dengan kelemahan otot
pernafasan yang menonjol tidak mampu melakukan batuk yang kuat
untuk mengeluarkan sekresi. Bila sekresi dibiarkan menumpuk, maka
diameter saluran pernafasan akan menyempit. Ini berarti volume udara
yang bisa masuk ke paru berkurang, sehingga kemampuan ventilasi
menjadi berkurang.
Pada fase awal, pada penderita GBS dengan kelemahan otot
pernafasan yang menonjol, pembersihan saluran pernafasan bisa
dilakukan dengan bantuan ventilator atau manual hyperinflation.
Dengan teknik tertentu, maka panjang ekspirasi bisa diperpendek,
sehingga kecepatan udara yang keluar pada waktu ekspirasi bisa
meningkat. Dengan demikian sekresi saluran pernafasan bisa
dikeluarkan. Selain menggunakan bantuan ventilator dan manual
hyperinflation, bisa dilakukan postural drainage untuk membantu
memindahkan sekresi dari saluran pernafasan yang distal ke yang lebih
proksimal. Untuk membersihkan sekresi dari saluran pernafasan,
penderita harus mampu batuk, atau bila tidak harus dilakukan suction.
Selama melakukan postural drainage, haruslah diwaspadai tanda-
tanda gangguan otonomik, seperti kecepatan nafas permenit, nadi
permenit, atau saturasi penderita agar selalu dalam batas normal.
Jelaslah bahwa melatih batuk sejak dini sangatlah diperlukan untuk
meningkatkan kemampuan pembersihan saluran pernafasan. Hal ini
biasanya bisa terlaksana pada fase ke-dua, ketika otot-otot pernafasan
mulai menguat. Atau pada fase pertama bila kelemahan otot-otot
20
pernafasan masih mampu menghasilkan batuk, sehingga latihan batuk
berguna untuk mempertahankan kekuatan otot.
h. Penatalaksanaan pada Gangguan Menelan
Jika terjadi juga gangguan menelan, maka resiko infeksi dada
semakin tinggi. Oleh karena kemungkinan masuknya benda asing ke
saluran pernafasan menjadi lebih besar. Benda tersebut kemudian akan
menjadi sumber infeksi dada. Dalam hal ini ada dua masalah dalam
sistem respiratori, yakni benda itu sediri, dan sekresi yang berlebihan
akibat adanya benda asing yang masuk ke saluran pernafasan. Bila
kemampuan pasien untuk batuk kuat, maka pasien mampu
mengeluarkan benda asing dari saluran pernafasan dan membersihkan
sekresi. Sayangnya, biasanya gangguan menelan disertai kelemahan
otot pernafasan, sehingga penderita tidak mampu batuk.
Namun penderita dengan gangguan menelan biasanya menerima
makanan melalui slang yang langsung masuk ke lambung, sehingga
tidak perlu dikawatirkan akan masuk ke saluran pernafasan. Pada fase
pertama tidak banyak fisioterapi yang bisa dilakukan. Tetapi pada fase
ke dua program fisioterapi yang bisa diberikan adalah segera
memberikan latihan batuk, bila otot-otot pernafasan sudah bertambah
kuat. Sehingga pada saatnya penderita belajar menelan, resiko
masuknya benda asing ke saluran pernafasan sudah teratasi.
i. Penatalaksanaan pada Problem Saraf Otonomik
Seperti disebutkan diatas, gangguan saraf otonomik akan timbul,
bila kehancuran selaput myelin mencapai tingkat thoracal atau lebih
tinggi, yakni cranial nerves. Pada umumnya gangguann saraf
otonnomik tersebut adalah hal yang perlu dicermati dalam melakukan
tindakann fisioterapi. Gangguan-gangguan tersebut antara lain labilnya
tekanan darah, keluarnya keringat tidak sesuai keadaan, atau postural
hipotensi. Gangguan-gangguan tersebut akan mejadi masalah, biasanya
pada waktu mobilisasi. Pada waktu mobilisasi, misalnya dari berbaring
ke duduk, tubuh memerlukan berbagai adaptasi, oleh karena terjadi
perbedaan pengaruh terhadap tubuh.
21
Tanpa gangguan saraf otonomik pun, seseorang yanng berbaring
lama memerlukan waktu untuk beradaptasi terhadap tekanan darah.
Adaptasi tersebut teratasi oleh karena pusat pengaturan tekanan darah
mendapatkan input, kemudian tekanann darah meningkat atas pengaruh
saraf otonnom. Bila terjadi gangguan saraf otonnomik, maka adaptasi
tersebut akan terganggu.
Maka, dalam memberikan tindakan fisioterapi harus selalu
dicermati tekanan darah dari waktu ke waktu. Oleh karena yang diukur
adalah tekanan darah, maka yang dijadikan aturan adalah tekanan
darah. Bila memungkinkan digunakan spirometer elektronik yang terus
bisa dimonitor setiap saat. Disamping tekanan darah, bisa dicermati
kemampuan komunikasi penderita, atau warna muka sebagai indikator
tekanan darah.
j. Penatalaksanaan pada Problem Sensasi
Problem sensasi pada penderita GBS yang muncul adalah rasa
terbakar, kesemutan, rasa tebal atau nyeri. Tidak banyak yang bisa
dilakukan untuk mengurangi ketidaknyamanan akibat rasa tebal, rasa
terbakar, atau kesemuta. Secara teori rasa nyeri bisa dikurangi dengan
pemberian modalitas TENS (transcutaneous electrical nerve
stimulation). Rasa nyeri bisa disebabkan murni oleh karena gangguan
sensasi.
Tetapi nyeri pada punggung mungkin juga disebabkan oleh
kurangnya gerakan pada sendi-sendi tulang belakang. Bila sesudah
peregangan sendi-sendi tulang belakang beserta otot-otot disekitarnya,
rasa nyeri berkurang, maka rasa nyeri tersebut disebabkan oleh
kurangnya gerakan. Tetapi bila rasa nyeri tersebut tidak hilang, maka
gangguan tersebut disebabkan oleh gangguan sensasi. Seringkali rasa
nyeri yang timbul karena kombinasi keduanya.
Jadi bila sesudah peregangan rasa nyeri berkurang, tetapi tidak
hilang sama sekali. Bila rasa nyeri disebabkan oleh kuranngnya gerakan
sendi, tindakan yang bisa dilakukan adalah peregangan lebih lanjut,
atau lebih spesifik bisa dilakukan manipulasi atau mobilisasi pada
22
tulang belakang tertentu. Selain ketidaknyamanan, rasa tebal juga bisa
menimbulkan komplikasi, yaitu dekubitus.
Rasa tebal menyebabkan penderita tidak dapat merasakan tekanan
kasur pada penonjolan-penonjolan tulang, sehingga memungkinkan
terjadi lecet dan akhirnya dekubitus. Oleh karenanya perubahan posisi
harus selalu dilakukan sebagai usaha pencegahan. Idealnya perubahan
posisi dilakukan setiap 2 jam, dan setiap penonjolan tulang harus selalu
mendapat perhatian.
Nyeri pada punggung mungkin juga disebabkan oleh imobilisasi lama di
tempat tidur. Nyeri ini dapat dikurangi dengan melakukan peregangan pada sendi-
sendi tulang belakang beserta otot-otot disekitarnya, pergerakan pasif anggota
gerak, masase, perubahan posisi yang cukup sering, serta dengan medikasi.
Penggunaan narkotika sebagai pengurang nyeri harus dilakukan secara bijaksana,
karena adanya resiko ileus pada penderita GBS.2 Bila rasa nyeri tidak berkurang,
hal ini mungkin disebabkan oleh gangguan sensasi. Seringkali rasa nyeri yang
timbul karena kombinasi keduanya.
Rasa tebal atau baal menyebabkan penderita tidak dapat merasakan
tekanan pada bagian tubuhnya, misalnya akibat penekanan tonjolan tulang pada
kasur. Bila berlanjut, hal ini dapat menyebabkan luka lecet dan akhirnya
dekubitus. Sebagai usaha pencegahan ulkus ini, perubahan posisi penderita harus
selalu dilakukan. Idealnya perubahan posisi dilakukan setiap 2 jam, dan setiap
penonjolan tulang harus selalu mendapat perhatian.
Saat pasien dirawat dengan ventilator, ia tidak mampu bicara ataupun
berkomunikasi dengan cara lain; karenanya mungkin timbul rasa terasing, frustasi,
kemarahan, syok, depresi, ansietas, ataupun rasa takut hidup tergantung
selamanya dengan kerusakan permanen. Karenanya penting adanya dukungan
penuh dari keluarga sehingga pasien dapat mengekspresikan perasaannya dan
mendapatkan ketenangan batin. Pada waktu penderita GBS tidak lagi memerlukan
ventilator, selang akan dicabut, sehingga pasien dapat berbicara kembali,
meskipun otot-otot yang umumnya digunakan untuk berbicara (bibir, mulut, lidah,
dan pita suara) masih sangat lemah sehingga bicara menjadi kurang jelas,
23
sehingga pasien membutuhkan bantuan terapis wicara untuk mengajarinya supaya
dapat berbicara dengan lancar kembali.
Komunikasi yang efektif perlu dibangun diantara pasien dan dokter,
pelaku rawat medis, keluarga, dsb. Bila bicara tidak mungkin dilakukan, metode
komunikasi lainnya dapat digunakan, misalnya dengan penggunaan alat tulis
ataupun bahasa isyarat melalui isyarat mata, jari, isyarat tunjuk atau gerakan
tangan sebagai respon terhadap orang lain.
Selain mengalami periode sulit secara fisik, penderita GBS juga
mengalami periode sulit secara psikologik; dimana ia terbaring tanpa daya, dan
harus menggantungkan hidupnya pada orang-orang di sekitarnya. Karena itu,
perlu diberikan informasi yang jelas sejak awal mengenai perjalanan penyakit,
bahwa sebagian besar penderita akan sembuh, sehingga muncul optimism baik
dari penderita maupun pihak keluarga. Meski begitu, harus dihindari
kemungkinan optimisme yang berlebihan sehingga keluarga dan penderita
menjadi kurang sensitive.
Konseling dan medikasi akan membantu mengatasi perasaan penderita
serta keluarganya. Kerabat yang berkunjung hendaknya terus menyemangati dan
membuat pasien tetap dapat mengikuti perkembangan aktivitas keluarga dan
teman-temannya, untuk menghindari perasaan terisolasi dari kehidupan normal
serta mempersiapkannya untuk fase penyembuhan dan pengenalan ke dalam
lingkungannya kembali. Sejumlah penderita merasa nyaman bila mendapatkan
kunjungan dari kerabat ataupun orang lain yang pernah sembuh dari penyakit
serupa. Manajemen nyeri, pengertian mengenai penyakit serta terapi gejala sangat
dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas hidup penderita GBS.
Saat pasien GBS mulai sembuh, penggunaan otot-otot mulai kembali,
sehingga perlu latihan otot-otot tersebut. Pasien akan terkejut betapa sedikit hal
yang dapat ia kerjakan setelah berbaring beberapa minggu di tempat tidur saja.
Fisioterapis dan terapis okupasi akan mengajarkan latihan untuk memperkuat
otot-otot, serta menggunakan otot-otot tersebut secara benar dan meningkatkan
stamina. Hari dimana seorang pasien dengan paralisis mampu duduk kembali
merupakan suatu hari besar yang sangat berarti, sementara hari-hari besar lainnya
adalah hari dimana penderita dapat duduk tanpa bantuan, duduk di kursi roda, dan
24
berjalan dengan atau tanpa alat bantu, seiring dengan terlatihnya otot mereka.
Interval antara fase-fase ini dapat sangat panjang dan melelahkan, berkisar dari
satu setengah bulan hingga satu setengah tahun, tergantung dari kondisi pasien.
Rehabilitasi juga berkaitan erat dengan kondisi psikologis penderita, serta adanya
periode ‘mati’ dimana tidak dijumpai adanya perbaikan apapun. Untuk
meningkatkan motivasi pasien, fisioterapis perlu mengukur peningkatan stamina
otot yang lambat, karena sesungguhnya rehabilitasi membutuhkan waktu yang
panjang dan kesabaran baik dari pasein ataupun personil kesehatan.
Endurans hanya dapat dibangun dengan ketekunan; hal ini merupakan
sesuatu yang sulit mengingat fakta bahwa penderita GBS memerlukan periode
penyembuhan yang panjang antara tahapan-tahapan latihan. Pada pasien yang
sulit menjumpai adanya perbaikan, mungkin perlu dibuat tujuan-tujuan jangka
pendek bagi mereka sendiri; misalnya dimulai dari berjalan, kemudian jogging,
lalu mengendarai sepeda, dsb. Mulailah dari tahap yang mudah; saat tubuh mulai
belajar dan mengetahui kemampuannya sendiri, tujuan yang ingin dicapai dapat
lebih ditingkatkan secara gradual. Jangan lupa perlu adanya waktu istirahat
diantara tahapan latihan, atau mungkin interval 1 atau 2 hari diantaranya.
2.9 Berdasarkan Fase Penyembuhan
a. Fase progresif
Pada fase pertama yang perlu diberikan adalah mempertahankan
kekuatan otot, panjang otot, luas gerak sendi (LGS), tanpa melupakan
bahwa kondisi pasien masih akan terus memburuk dalam waktu
maksimal 2 minggu. Untuk meningkatkan kekuatan otot, dapat
dilakukan latihan penguatan secara aktif, bila kondisi pasien
memungkinkan. Namun apabila penderita tidak mampu menggerakkan
sendiri anggota badannya, sebaiknya dilakukan latihan penguatan
dengan bantuan (aktif asistif).
Pada penderita GBS yang sangat lemah, perlu diberikan latihan
pasif, dimana terapis yang akan menggerakkan angota badan
penderita.Karena umumnya kondisi penderita akan terus menurun,
25
maka biasanya bantuan yang diberikan akan semakin meningkat dari
waktu ke waktu.
Latihan menggerakkan anggota tubuh dianjurkan dimulai dari
bagian bawah, dan diakhiri dengan bagian tubuh yang terkuat. Hal ini
sekaligus juga dapat meningkatkan motivasi pasien secara psikis.
Latihan pergerakan setiap sendi dilakukan secara sistematis, sehingga
tidak ada gerakan otot maupun sendi yang tertinggal.
Dalam menggerakkan anggota badan, perlu diperhatikan tingkat
toleransi pasien terhadap latihan. Pasien tidak boleh dibiarkan terlalu
lelah atau melakukan gerak paksa dalam menggerakkan anggota tubuh,
karena hal ini dapat merusak motor unit. Berikan pengertian dan
kesadaran kepada pasien bahwa gerakan yang dilakukan secara rutin
lebih penting dalam mengembalikan gerakan otot, bila dibandingkan
dengan gerakan yang terlalu dipaksakan. Bagi pasien GBS, frekuensi
latihan seharusnya tidak terlalu tinggi dalam satu sesi, untuk mencegah
kelelahan, mengingat jumlah motor unit yang bekerja hanya terbatas.
Intensitas latihan dalam sehari dapat ditingkatkan secara bertahap.
Perlu diingat pada fase pertama, otot penderita GBS biasanya tidak
mampu menggerakkan LGS secara penuh; sehingga fisioterapis perlu
membantu penderita dalam menggerakkan sendi sesuai dengan luas
gerak sendi yang normal, atau paling sedikit sampai lingkup sendi yang
fungsional.
Seperti halnya latihan untuk otot, latihan pergerakan sendi
sebaiknya juga dilakukan secara sistematis supaya tidak ada yang
tertinggal. Sesudah gerakan aktif setiap sendi oleh penderita, sebaiknya
ditambahkan 2 sampai 3 kali gerakan sendi oleh fisioterapis dalam LGS
maksimal untuk mempertahankan LGS.
Dalam melakukan evaluasi luas gerak sendi, dilakukan pengukuran
sudut setiap sendi dengan goniometer, dalam satuan derajat. LGS
seharusnya tetap terjaga dari waktu ke waktu, agar supaya penderita
mampu berfungsi secara maksimal.
26
b. Fase penyembuhan
Fase penyembuhan merupakan fase lanjutan dari fase progresif,
dimana rehabilitasi ditekankan pada pemeliharaan panjang otot dan
lingkup gerak sendi, sehingga diharapkan panjang otot dan LGS akan
tetap terjaga. Rehabilitasi pada fase lanjutan ini lebih menekankan pada
upaya peningkatan kekuatan otot, dengan tetap memperhitungkan
jumlah motor unit yang ada serta dalam masa pemulihan. Dalam
menangani masalah kekuatan otot, fase ini masih berfokus pada
peningkatan kekuatan otot. Meskipun demikian, beban latihan yang
diberikan belum boleh terlalu berat, karena jumlah motor unit yang
aktif masih terbatas.
Program latihan aktif dapat ditingkatkan apabila penderita sudah
mampu melakukan latihan aktif dan memenuhi LGS normal tanpa
kesulitan. Jenis latihan penguatan yang diberikan kemudian dapat
ditingkatkan menjadi bentuk latihan aktif resisted, dimana dalam upaya
peningkatan kekuatan otot, diberikan beban. Beban yang diberikan
dapat bervariasi, baik secara manual ataupun dengan alat. Beban
manual diberikan oleh fisioterapis, sedangkan alat yang digunakan
dapat macam-macam, misalnya dengan quadricep bench. Karena tujuan
akhir rehabilitasi adalah untuk memaksimalkan kemampuan fungsional,
perlu diperhatikan pada otot mana saja akan diberikan latihan tersebut;
yakni terutama pada otot-otot yang diperlukan dalam beraktivitas.
Untuk mengevaluasi perbaikan kondisi pasien, dapat dilakukan
evaluasi perbaikan kekuatan otot dengan menggunakan metode manual
muscles testing (MMT). Pengukuran kekuatan otot dilakukan secara
berkala, misalnya tiap minggu, atau tiap 3 hari. Dengan melihat adanya
perbaikan dalam evaluasi, baik terapis maupun penderita dapat melihat
perkembangan yang terjadi, sehingga akan meningkatkan motivasi bagi
keduanya.
Latihan pergerakan sendi pada fase penyembuhan tidak berbeda
dengan latihan gerak sendi pada fase progresif; yakni berupa latihan
gerak pada setiap sendi secara sistematis, dan di akhir gerakan aktif,
27
ditambahkan 2 sampai 3 kali gerakan sendi maksimal untuk
mempertahankan LGS.
Pemeliharaan panjang otot dapat dilakukan sekaligus pada saat
melakukan latihan untuk mempertahankan LGS; terkecuali untuk
beberapa otot yang melewati dua sendi, misalnya otot quadriceps,
iliotibial band, dan sartorius. Otot-otot ini penting dalam kegiatan
penderita sehari-hari, misalnya duduk, bersila atau bersimpuh; sehingga
bila panjang ototnya tidak terpelihara, maka akan berpengaruh pada
aktivitas penderita bila sembuh nanti. Pada otot-otot ini, perlu gerakan
khusus untuk mempertahankan panjangnya.
Evaluasi panjang otot sulit dilakukan, karena bersifat individual
dan dipengaruhi aktivitas dan keturunan. Salah satu cara untuk
mengetahui panjang otot adalah menanyakan aktivitas penderita,
apakah penderita biasa bersila, duduk sambil menumpangkan kaki atau
bersimpuh; atau dengan jalan membandingkan otot sebelah kanan
dengan sebelah kiri, atau sebaliknya; sehingga dapat dinilai apakah
panjang otot yang bersangkutan cukup baik untuk penderita dapat
melakukan aktivitasnya kembali.
c. Fase Rehabilitasi
Selama fase rehabilitasi, pasien diajarkan untuk menggunakan
energinya yang terbatas secara bijak, antara lain dengan menggerakan
badannya secara tepat, menghindari rutinitas yang tidak perlu, dan
mengkompensasikan aktivitas yang sulit dengan gerakan ataupun
aktivitas lainnya.
Kekuatan otot umumnya kembali pertama-tama pada lengan,
kemudian tangan, sehingga terapi fisik dimulai dengan latihan pada
lengan dan bahu. Hal-hal mendasar seperti halnya memegang pensil dan
menggunakannya harus kembali dipelajari. Kekuatan otot perlu
diperiksa secara rutin; otot yang lemah perlu dicari untuk kemudian
dilatih dan diperkuat melalui latihan-latihan penguatan spesifik. Dengan
bertambahnya kekuatan otot, rasa lelah akan semakin berkurang.
28
Pasien akan belajar untuk memacu dirinya sendiri, meski masih
dalam observasi; dengan melakukan bermacam latihan sampai
mencapai keterbatasan endurans, namun tidak melebihi batasnya.
Seorang terapis harus mampu mengenali tanda dan peringatan dari
tubuh apabila batasan itu terlampaui, antara lain adanya kesemutan,
baal ataupun abnormalitas sensorik lainnya pada kelompok otot
tertentu. Terlalu memaksakan diri akan berakibat timbulnya nyeri,
spasme, kelelahan dan kelemahan pada otot yang sementara, sehingga
rehabilitasi haruslah dihentikan sementara sampai ototnya kembali
pulih.
Di sinilah pasien akan belajar mengetahui keterbatasannya,
bagaiman menilai tanda dan gejala dari tubuhnya sendiri, serta
kebutuhannya akan istirahat. Dalam aktivitas sehari-hari, kadang
dibutuhkan usaha dan konsentrasi lebih, sehingga hal ini perlu
dimengerti dan dihargai oleh orang-orang di sekeliling penderita.
Kelelahan atau berkurangnya endurans otot merupakan masalah
baik selama proses rehabilitasi dan masa penyembuhan. Hampir 80%
penderita yang nampaknya sembuh dan hidup normal kembali, kadang
masih dijumpai kelelahan ataupun fatigue; dan pada beberapa kasus, hal
ini tidak kunjung berkurang. Seperti halnya rasa kesemutan dan nyeri,
nampaknya penderita harus belajar untuk hidup dengan hal itu sebagai
bagian hidupnya.
Sekitar 50-75% pasien yang sembuh mengeluh adanya nyeri
tertusuk jarum serta sensasi sensorik yang aneh pada tungkai dan kaki.
Gejala tersebut bertambah pada sore dan malam hari, serta setelah
berjalan jauh. Hal ini dapat bertahaan sampai beberapa tahun setelah
serangan GBS pertama, sedangkan gejala persisten mungkin
dipengaruhi oleh derajat kerusakan aksonal yang terjadi. Analgetika
niasa mungkin tidak dapat mengurangi gejala, sehingga perlu ditambah
dengan medikasi lainnya.
Selama penderita menjalani rehabilitasi, terkadang perlu
diperhatikan adanya suatu kebutuhan khusus, seperti halnya keinginan
29
pasien untuk memikirkan kembali hidupnya, rumah, mobil, hobi,
pekerjaan, dsb. Hal ini diharapkan dapat menambah kualitas hidup
penderita dan membuatnya dapat hidup senormal mungkin. Bila
diperlukan, konseling profesional dapat diadakan untuk meningkatkan
rasa percaya diri serta harga dirinya sebagai manusia.
2.10 Pencegahan Guillain Barre Syndrome
30
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Guillain Barre Syndrome (GBS) adalah salah satu penyakit
demyelinating yang menyerang susunan saraf tepi, pada umumnya saraf
motorik tetapi mungkin juga saraf sensorik dan otonomik. Serangan GBS
biasanya mengikuti infeksi saluran pencernaan, sehingga diduga akibat
dari gangguan sistem kekebalan tubuh. Keparahan gejala GBS tergantung
dari tingginya akar saraf yang terserang. Semakin tinggi yang terserang,
maka gejalanya semakin parah. Sebaliknya semakin rendah yang
terserang, maka gejalanya semakin ringan.
Berdasarkan gejala yang timbul, dapatlah disimpulkan ada 4
problem utama dalam penatalaksanaan fisioterapi pada kasus GBS, yakni
problem muskuloskeletal, kardiopulmonari, sensori dan gangguan sistem
saraf otonomi.
Disamping itu, berdasarkan tahap penyembuhan pasien dengan GBS, ada 2
tahap penatalaksanaan fisioterapi pada GBS, yakni fisioterapi pada tahap awal dan
lanjut. Pada tahap awal, ketika waktu gejalanya memburuk hingga berhenti,
fisioterapi ditujukan pada pemeliharaan fungsi dan kondisi. Pada tahap ini
problem kardiopulmonari dan muskuloskeletal menjadi perhatian utama.
Fungsi ventilasi paru harus tetap dijaga, sehingga fungsi tubuh juga dapat
optimal. Selain itu luas gerak sendi, panjang otot, dan kekuatan sendi harus tetap
dipelihara, sehingga pada saatnya ada peningkatan kondisi fungsi muskuloskeletal
bisa segera difungsikan. Tidak banyak yang bisa dilakukan untuk problem
sensorik selain mencegah terjadinya dekubitus.
Gangguan sistem saraf otonomi biasanya belum menjadi problem
bagi fisioterapis pada tahap ini, karena biasanya belum dilakukan
mobilisasi. Pada tahap ini kerjasama dengan perawatan sangat diharapkan.
Sedangkan pada tahap akhir, ketika kondisi pasien sudah membaik,
fisioterapi ditujukan pada peningkatan fungsi. Yang menjadi perhatian
utama adalah problem muskuloskeletal, yakni peningkatan kekuatan otot.
31
3.2 Saran
Dengan demikian diharapkan akan ada peningkatan fungsi secara
maksimal. Selain itu fungsi paru juga harus tetap ditingkatkan untuk
mendukung peningkatan aktivitas dan metabolisme. Bila ada gangguan
sensorik, harus juga dilakukan tindakan untuk meningkatkan fungsi
sensori.
Selama pemberian tindakan fisioterapi, selalu diperhatikan
toleransi pasien terhadap perubahan posisi. Selain pasien yang sudah lama
berbaring, gangguan sistem saraf otonomi akan lebih menghambat
program mobilisasi.Dengan tidak mengurangi pentingnya pengobatan
pada tahap lanjut, keberhasilan penanganan pada kasus Guillain Barre
Syndrome (GBS) secara menyeluruh sangat tergantung pada perawatan
tahap awal. Hal ini didukung oleh kenyataan bahwa prognose penderita
GBS adalah baik.
Oleh karenanya kerja sama yang baik tim medik pada tahap ini
akan menentukan hasil akhir kondisi pasien, termasuk diantaranya
penatalaksanaan fisioterapi pada tahap lanjut yang akan mengembalikan
penderita pada fungsi sosial seperti semula.
32
DAFTAR PUSTAKA
Victor Maurice, Ropper Allan H. Adams and Victor’s Principles of neurology. 7th edition. USA: the McGraw-Hill Companies; 2001. p.1380-87.
Bradley WG, Daroff RB, Fenichel GM, Marsden CD. Editors. Neurology in clinical practice: the neurological disorders. 2nd edition. USA: Butterworth-Heinemann; 1996. p.1911-16.
Burns TM. Guillain-Barré syndrome. Semin Neurol. 2008;28(2):152-167.
Kuwabara S. Guillain-Barré syndrome: epidemiology, pathophysiology and management. Drugs. 2004;64:597-610.
Gutierrez Amparo, Sumner Austin J. Electromyography in neurorehabilitation. In: Selzer ME, Clarke Stephanie, Cohen LG, Duncan PW, Gage FH.
Textbook of neural repair and rehabilitation Vol. II: Medical neurorehabilitation. UK: Cambridge University Press; 2006. p.49-55.
Textbook of neural repair and rehabilitation Vol. II: Medical neurorehabilitation. UK: Cambridge University Press; 2006. p.657-676.
Penatalaksanaan fisioterapi pada Guillain-Barre syndrome. Available from: http://www.fisiosby.com/index.php?option=com_content&task=view&id=11&Itemid=7.
Victor Maurice, Ropper Allan H. Adams and Victor’s Principles of neurology. 7 th
edition. USA: the McGraw-Hill Companies; 2001. p.1380-87.
Miller Andrew. Guillain-Barre Syndrome. [updated Dec 19, 2007]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/792008-overview.
Guillain-barre syndrome. [Update: May 31, 2007]. Available from: http://www.mayoclinic.com/health/guillain-barre-syndrome/DS00413.
Guillain-Barre Syndrome. [Update: 2009]. Available from: http://www.caringmedical.com/conditions/Guillain-Barre_Syndrome.htm.
Guillain-Barre Syndrome (GBS) Support Group. Available from: http://www.dailystrength.org/news/Guillain-Barre-Syndrome-GBS
33
Guillain-Barré Syndrome. [update 2009]. Available from: http://bodyandhealth.canada.com/condition_info_popup.asp?channel_id=0&disease_id=325§ion_name=condition_info.
Anonim. 2008: Guillain-Barré Syndrome; Diakses pada 22/10/12 dari http://www.medicinenet.com/guillain-barre_syndrome/article.html.
Anonim. 2009. Guillain-Barré Syndrome; Diakses pada 22/10/12 dari http://forum.um.ac.id
http://alatterapi.wordpress.com/2012/01/10/fisioterapi-pada-guillain-barre syndrome-gbs/
http://www.artikel.indonesianrehabequipment.com/2012/06/penatalaksanaan-fisioterapi-pada-kasus.html#ixzz2ge6CCYX
34
35
36