1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Selama ini konflik dunia bersumber dari aspek ideologi dan
ekonomi. Namun, lebih jauh sumber konflik pada masa yang akan datang
tidak hanya bersumber dari kedua aspek itu, tetapi pada aspek budaya
khususnya benturan budaya barat dan timur (Huntington, 1996: iv). Hal ini
sejalan dengan kajian budaya (culture studies) yang mengkaji kebudayaan
yang menghegemoni kelompok-kelompok kebudayaan lain yang berbeda
kearifan lokalnya serta nilai-nilai yang dijadikan acuan dalam menghadapi
tantangan kehidupan pada era globalisasi sekarang ini. Konflik antara hak-
hak masyarakat adat atas tanah dan negara telah berlangsung sejak lama1,
walaupun Undang-Undang No. 5, Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria yang dikenal dengan Undang-Undang Pokok Agraria
(UUPA) menyatakan bahwa hukum agraria bersumber pada hukum adat2.
Pascareformasi kegiatan sawitnisasi dilakukan semakin gencar di
Kalimantan Tengah, khususnya oleh pemerintah kabupaten sebagai upaya
untuk meningkatkan PAD. Namun, di pihak lain dampak dari kegiatan
sawitnisasi ini menimbulkan banyak konflik vertikal antara masyarakat adat
dengan pemerintah dan pengusaha perkebunan. Dampak lainnya yang
1 Mochamad Tauchid, Masalah Agraria sebagai Masalah Penghidupan dan KemakmuranRakyat Indonesia. Bagian Kedua (Jakarta: Tjakrawala, 1953), hal.172 Konflik ini terjadi di beberapa daerah di Indonesia, misalnya Kalimantan Tengah, IrianJaya, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Maluku, Riau, Aceh, Ambon, dan SumatraUtara. Hutan Indonesia, Edisi 7 Tahun II, Maret 2000, hal. 15--17.
2
sangat parah adalah rusaknya hutan dan segala ekosistemnya yang selama
ini menjadi pendukung eksistensi kebudayaan masyarakat setempat. Tanah
masyarakat sebagai sumber penghidupan sehari-hari dan pendukung
kegiatan ritual adat banyak dijual kepada investor. Akibatnya mereka
semakin miskin dan kehilangan hak-hak atas tanah. Pembangunan industri
kelapa sawit menyebabkan perubahan dalam unsur-unsur kebudayaan,
khususnya kebudayaan Dayak, Kelompok elite yang terkait dalam konflik
dan sengketa sawit di atas sama-sama menunjukkan bentuk, fungsi, dan
makna yang bertalian erat dengan nilai dan norma yang berlaku di tengah
masyarakat Dayak, terutama pengusaha dan pemerintah yang mendomisasi
masyarakat adat Dayak. Kebijakan dan peraturan pemerintah tentang sektor
agroindusti setelah diimplemtasikan banyak mengakibatkan konflik. Di
pihak lain, para pengusaha sawit pun mengabaikan masyarakat adat. Hal ini
dapat dilihat sebagai upaya mempertahankan dominasi kelompok dominan.
Di tengah kemapanan atau keberterimaan masyarakat Dayak terhadap
dominasi kelompok dominan ini yang bercirikan kapitalisme yang
kemudian dapat disebut sebagai ideologi penghegemoni, terutama dalam
kebijakan dan peraturan mainstream, pada awal tahun 2010 keberadaaan
ritual maniring hinting dipandang bertentangan, berlawanan, atau bertolak
belakang dengan kebudayaan pengusaha dan pemerintah.
Perlawanan atau resistensi melalui ritual maniring hinting mulai
tersebar dengan cepat hampir ke seluruh masyarakat Dayak tidak dapat
menghindari terjadinya benturan. Pemerintah yang selama ini merasa
berperan dalam menjaga keamanan dan stabilitas pembangunan melakukan
3
tekanan terhadap ritual maniring hinting yang dilakukan oleh masyarakat
adat Dayak. Tekanan dilakukan melalui legitimiasi institusi adat yang
didirikan. Tidak ketinggalan dalam hal ini pemuka agama Hindu
Kaharingan, yakni basir, pisor, dan damang menggunakan ajaran agama
sebagai alat pencekalan atau pengekangan terhadap ritual maniring hinting.
Konflik tersebut berkembang sedikitnya karena tiga faktor, yaitu
perbedaan persepsi, kebutuhan akan lahan, serta ketiadaan harmonisasi dan
sinkronisasi antara hukum adat dan hukum positif. Pertama, ada perbedaan
konsep dalam menginterpretasi antara masyarakat dan negara mengenai hak
tanah (Rajaguguk, 1983: 26). Dalam sudut pandang formal, negaralah yang
mempunyai hak menguasai atas tanah berdasarkan Pasal 33 ayat (3)
Undang-Undang Dasar 1945. Sebaliknya, masyarakat adat berpendapat
bahwa mereka memiliki hak ulayat atas tanah berdasarkan hak ulayat,
secara “privat.” Kedua, isu energi alternatif (bio fuel) meyebabkan
kebutuhan pembanguan ekonomi meningkat. Energi alternatif tersebut
adalah energi bio diesel. Bahan baku utamanya adalah minyak mentah
kelapa sawit atau yang lebih dikenal dengan nama crude palm oil (CPO).
Bio diesel ini merupakan energi alternatif yang ramah lingkungan. Selain
itu, sumber energinya dapat terus dikembangkan. Hal itu sangat berbeda
dengan minyak bumi. Jika cadangannya sudah habis, tidak dapat
dikembangkan kembali. Ketiga, ketiadaan harmonisasi antara hukum positif
dan hukum adat serta belum ditemukan pola yang tepat dalam mengatasi
sengketa tanah yang akan memicu konflik yang berkepanjangan.
4
Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan acuan
dalam pemanfaatan kekayaan alam di Indonesia berbunyi “Bumi dan air dan
kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Sementara itu, Pasal 3 Undang-
Undang No. 5, Tahun 1960 (UUPA) menyatakan bahwa “Hak-hak
masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataan masih ada, harus
sedemikian rupa sesuai dengan kepentingan nasional dan negara.”
Rumusan yang terdapat dalam; Pasal 3 UUPA No. 5, Tahun 1960
tersebut menimbulkan perbedaaan interpretasi yang multitafsir dan sarat
akan kepentingan politik. Sehubungan dengan itu, akan sulit ditentukan
apakah keberadaan suatu masyarakat hukum adat tertentu memenuhi
persyaratan ini atau tidak, tanpa mengetahui masyarakat hukum adat yang
mana yang dimaksud tersebut. Di samping itu, apa yang dimaksud dengan
kepentingan nasional dan negara, serta siapa sebenarnya yang dapat
menentukan kepentingan nasional dan negara menjadi rancu.
Masyarakat adat berpendapat bahwa mereka memiliki hak ulayat
atas tanah tersebut sebelum negara Indonesia ada. Bagaimana
mengharmoniskan hukum negara (positif) dengan hukum adat dan
menempatkan hukum negara dan adat menjadi suatu hubungan yang
harmonis dalam menjawab dan menyelesaian berbagai konflik lahan yang
terjadi di sejumlah daerah di tanah air harus dapat memadukan unsur hukum
dan sosial budaya (Fitzpatrick dalam Davidson, Jamie S., 2010: 143).
Berdasarkan data statistik Departemen Pertanian RI tahun 2013
menunjukan rata-rata pertumbuhan luas lahan perkebunan kelapa sawit pada
5
tahun 2009-2013 mencapai 4 % per tahun sedangkan produksinya mencapai
6 % per tahun. Pada tahun 2013, Indonesia telah memiliki lahan sawit seluas
9,1 juta hektar dengan produksi tandan buah segar (TBS) sebanyak 24,4 juta
ton. Berdasarkan Data Statistik Pertanian 2013, hampir setiap pulau besar
Indonesia telah memiliki perkebunan sawit, dimana pulau Sumatera
memiliki areal terluas yang mencapai hampir 6 juta hektar atau 65% dari
luas perkebunan di Indonesia, kemudian disusul pulau Kalimantan 31%,
pulau Sulawesi 3%, dan Papua 1%. Untuk pulau Jawa, perkebunan sawit
yang tersedia merupakan perkebunan tua yang bakal menghadapi
persaingan kebutuhan lahan dengan sektor lain.
Kalimantan Tengah juga merupakan salah satu provinsi yang kaya
dengan sumberdaya alam. Tidak heran bahwa di wilayah ini ada banyak
korporasi yang mendapat izin untuk melakukan eksploitasi sumberdaya
alam. Dari luas total Kalimantan Tengah, 12,7 juta hektar atau 87 persen
sudah dikuasai korporasi, terutama korporasi perkebunan, kehutanan, dan
pertambangan (Walhi 2013). Sekda Provinsi Kalimantan Tengah (2012)3
mencatat bahwa per Juli 2012, jumlah konflik sengketa lahan/perkebunan di
Kalimantan Tengah terjadi sebanyak 332 kasus. Pada tahun 2008 BPN
mencatat bahwa konflik tanah di Indonesia menjadi hampir 8.000-an, baik
berskala besar maupun kecil. Pada tahun 2008 KPA mencatat 1.753 konflik
mengakibatkan 1.189.482 KK menjadi korban (http://www.deptan.go.id).
Upaya harmonisasi hubungan pemerintah, investor, dan masyarakat
dipandang mendesak agar di kemudian hari tidak terjadi konflik lahan yang
3 Jarias, Siun, 2013. “Tanah Adat Dan Hak-Hak Adat Di Atas Tanah Di KalimantanTengah”.Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Penyelesaian Sengketa Tanah Adat.FH Unpar. Palangka Raya.
6
menimbulkan aksi-aksi kekerasan serta tindakan main hakim sendiri seperti
yang terjadi dalam kasus warga Dayak Ngaju di Kecamatan Mantangai,
Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah. Mereka menuntut pemerintah
mengakui hak kelola masyarakat. "Kembalikan tanah kami," kata Tanduk,
salah seorang tokoh masyarakat. Wilayah yang dihuni menjadi bagian dari
Proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) satu Juta hektare. Setelah
proyek ini gagal, kawasan tersebut dieksploitasi oleh 23 perusahaan kelapa
sawit seluas 380 ribu hektare dan proyek konservasi BOS Mawas dengan
luas 377 ribu hektare. Seluas 120 ribu hektare untuk proyek percontohan
Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD)
oleh Kalimantan Forest and Climate Partnership
(http://www.tempo.co/Read/ News/2011/10/25/173363090/Masyarakat
Dayak Ngaju–Tuntut–Hak–Kelola-Hutan nasional|Tempo.co).
Keberadaan PT Indo Muro Kencana (IMK) di area Situs Cagar
Budaya (SCB) Gunung Puruk Kambang yang diprotes oleh masyarakat adat
sejak tahun 2000 dan Dewan Adat Dayak (DAD) Kabupaten Murung Raya
(Mura), Provinsi Kalimantan Tengah seakan sia-sia malah berbagai aksi
teror, intimidasi, dan rekayasa konflik horizontal dilakukan oleh perusahaan
atas dukungan aparat pemerintah dan kepolisian. Sampai sekarang
perusahaan tambang emas tersebut masih melakukan eksplorasi di sekitar
wilayah itu. Masyarakat lokal tidak bisa menambang karena lokasi tambang
rakyat telah diberikan kepada perusahaan PT Indo Muro Kencana (IMK)
Straits adalah perusahaan yang seratus persen sahamnya dimiliki Aurora
Gold dari Australia. Masyarakat telah menambang cukup lama jauh sebelum
7
perusahaan datang. Pemerintah dengan dukungan perusahaan membiarkan
upaya menghancurkan rumah, menutup tambang lokal dengan
menggunakan aparat keamanan dan alat berat tanpa konsultasi dan
kompensasi (Sitomorang, 2007: 112).
Perusahaan PT Indo Muro Kencana juga terus melakukan
penambangan emas di areal cagar budaya Bukit Puruk Kambang yang
memiliki nilai sakral bagi warga Dayak Siang di Kabupaten Murung Raya.
Situs Cagar Budaya Puruk Kambang merupakan tempat yang dimitoskan
oleh masyarakat adat Dayak Siang sebagai tempat yang menjadi awal mula
manusia Dayak Tanah Siang turun dari langit di bukit itu melalui kendaraan
emas (palangka bulau) untuk turun ke dunia atau ke bumi
(http://www.kaltengpos.web.id. DAD Sebut PT IMK Bandel).
Lorna Howarth, seorang kontributor editor untuk majalah
Resurgence & Ecologist menyoroti bagaimana hutan seluas tiga belas juta
hektare di Provinsi Kalimantan Tengah atau sekitar 78% dari luas provinsi
tersebut kini berubah menjadi kawasan konsesi lewat berbagai bentuk izin
pengelolaan yang dikeluarkan, baik oleh pemerintah lokal maupun
Kementerian Kehutanan. Pemberian izin ini sekaligus melanggar prinsip
Free, Prior & Informed Consent (FPIC), suatu hak masyarakat adat untuk
menentukan bentuk-bentuk kegiatan yang diinginkan pada tanah mereka.
Hak ini memberikan kekuatan kepada masyarakat adat untuk memperoleh
informasi (informed) sebelum (prior) sebuah program atau proyek
pembangunan dilaksanakan dalam wilayah mereka (http//: the
ecologist.org).
8
Pada 29 Juni 2006 disepakati Deklarasi PBB tentang Hak-Hak
Masyarakat Asli/Masyarakat Adat (United Nations Declaration on the
Rights of Indigenous Peoples). Deklarasi ini bersifat progresif (sustainable)
karena mengakui landasan-landasan penting dalam perlindungan,
pengakuan, dan pemenuhan hak-hak masyarakat adat. Deklarasi ini berisi
pengakuan, baik terhadap hak individu maupun hak kolektif masyarakat
adat, hak atas identitas budaya, hak atas pendidikan, kesehatan, bahasa, dan
hak-hak dasar lainnya. Deklarasi ini mengakui hak masyarakat adat untuk
menentukan nasib sendiri (self-determination) dan pengakuan terhadap hak
masyarakat adat atas tanah, wilayah dan sumber daya alam, dan partisipasi
dalam pembangunan.
Deklarasi tersebut bersifat tidak mengikat (not-legally binding).
Sehubungan dengan itu, sekarang sedang dirancang drafting konvensi
internasional tentang hak-hak masyarakat adat supaya bisa menjadi norma
mengikat bagi negara-negara pihak yang meratifikasinya. Deklarasi tersebut
berisi harapan dan konsep tentang pengakuan hak masyarakat adat yang
masih membutuhkan normalisasi, konsolidasi, dan stabilisasi. Di sinilah
tantangan bagi institusi politik (pemerintah) untuk membuat tindakan
hukum yang berkaitan dengan tanggungj awabnya di bidang HAM (Edy
Basko, Rafael, 2006), seperti suatu Undang-Undang Perlindungan terhadap
masyarakat adat.
Pada usaha perkebunan besar swasta (PBS) sawit terjadi konflik
antara masyarakat lokal dan pengusaha perkebunan sawit seperti terlihat
9
pada tabel 1.1 berikut ini. Konflik itu terjadi di salah satu kabupaten di
Provinsi Kalimantan Tengah yang paling padat dengan PBS.
Tebel 1.1Data Sebaran Konflik Perkebunan Sawit
di Kabupaten Kotawaringin Timur
No Perusahaan Lokasi Izin Luas Areal (HGU) Konflik1 PT Argo
Indomas(1996)
KecamatanDanauSembuluh
HGU 12.104 ha(12/HGU/BPN/98-6 April 1998)
- Konflik Tanah
2 PT MustikaSembuluh
KecamatanMentayaHilir (KualaKuayan)Kotim
SK-PelepasanKawasan
15.994 ha(895/Kpts-II/1996.4/11/1996)3 tahun 9 bulan
- Konflik Tanah
3 PT IndotrubaTimur
KecamatanPembuangHulu
Izin Prinsip 9.750 ha(895/Menhut-vii/97.8/8/1997)
- Konflik Tanah
4 PT SalawatiMakmur
KecamatanDanauSembuluh
Izin Prinsip 16.850 ha(487/MenhutbunII/98,8/4/1998)
- Penggusuran LahanMasyarakat
5 PT RanggauAmamSubur
KecamatanDanauSembuluh
Izin Prinsip 6,725 ha1625/MenhutbunII/96.11 Nop. 1996)
- Belum mendorong,tetapi sudahmenimbulkankonflik horizontal
6 PT SalonukLadang Mas
KecamatanDanauSembuluh
Izin Prinsip 12,715 ha(951/MenhutbunVII/97.26.8.97)
- Mendorong konflikhorizontal
7 PT SawitMasNugrahaPerdana
KecamatanDanauSembuluh
MenyampaikanPermohonan
12.000 ha(525/67/UT/1955.17/4/1955
- Konflik horizontal- Kasus tanah belum
tuntas
8 PT Suka JadiSawit Mekar
Desa Sebabi HGU 2005 - Pelanggaran tanahadat dan kebunmasyarakat
9 PT UnggulLestari
DesaTumbangBobi,KecamatanAntangKalang
Izin Lokasi 2005 - Penolakanmasyarakatterhadap lokasiperkebunan
10 PT HutanSawit Lestari
Desa DamarMakmur,KecamatanTualan HuludanCempagaHulu
HGU 6. 299.880 ha27-HGU-BPNRI-077-6-2007
- Pelanggran tanahadat
- Kebun masyarakat- Kasus tanah belum
tuntas
Sumber: YTT dan LMMDD-KT (2005--2012)
10
Sebagian besar konflik tersebut adalah konflik pertanahan yang
berkaitan dengan pelanggaran hak-hak masyarakat adat dan tanah-tanah
adat. PBS-PBS tersebut adalah pemegang hak guna usaha (HGU) selama
periode tertentu (25 tahun) yang berarti hak guna usaha atas tanah negara,
bukan pemilik/pembeli lahan secara permanen. Di sinilah konsep kebijakan
resmi (pemerintah) tentang kemitraan (patnership) sebagaimana tercantum
dalam pedoman revitalisasi perkebunan (karet, kakau, dan sawit).
Tiga dari perusahaan di atas, yaitu PT Hutan Sawit Lestari (HSL),
PT Agro Indo Mas, dan PT Mustika Sembuluh adalah PBS yang dijadikan
fokus karena kasus pelanggaran yang dilakukan oleh PBS itu telah
dilaporkan dan disidangkan oleh masyarakat adat setempat ke pengadilan.
PT HSL telah merekayasa dan mengkriminalisasi kegiatan adat dan
peralatan maniring hinting sebagai sebuah portal yang mengganggu dan
merugikan pihak perusahaan. Padahal, kegiatan itu beralaskan adat dan
tradisi, yang bisa dimaknai sebagai demonstrasi damai.Selain itu, telah
memenuhi izin dan ketentuan yang berlaku dalam rangka mengadakan
sebuah kegiatan adat yang bermakna penegasan hak dan sekaligus
bermakna membuka pintu musyawarah ke arah penyelesaian sengketa serta
kemitraan.
Untuk memperkuat hukum adat dan hak-hak keberadaan masyarakat
lokal yaitu masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah, Provinsi Kalimantan
Tengah telah membuat pengakuan hukum yang pada saat sekarang sudah
dilembagakan dalam Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah No. 16,
Tahun 2008 (Lembaran Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Tahun 2008
11
No. 16). Peraturan itu ditetapkan pada 18 Desember 2008 tentang
Kelembagaan Adat Dayak di Kalimantan Tengah.
Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah No. 13, Tahun 2009 (Berita
Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Tahun 2009 No.13), ditetapkan pada
25 Juni 2009 tentang Tanah Adat dan Hak-Hak atas Tanah di Kalimantan
Tengah. Pasal 1 angka 37 Peraturan Daerah No. 16, Tahun 2008
menyebutkan bahwa masyarakat adat Dayak adalah semua orang dari
keturunan suku Dayak yang terhimpun, berkehidupan dan berbudaya
sebagaimana tercermin dalam semua kearifan lokalnya dengan bersandar
pada kebiasaan, adat istiadat, dan hukum adat.
Orang Dayak dikategorikan berdasarkan tempat tinggal di daerah
aliran sungai (DAS), seperti orang Kapuas, orang Katingan, orang Seruyan,
dan orang Barito. Mereka juga sering disebut dengan uloh Ngaju, bagi orang
Dayak yang tinggal di bagian hulu sungai dan uloh Ngawa untuk orang
yang tinggal di bagian hilir sungai. Kelompok masyarakat yang tinggal di
bagian hilir sungai ini umumnya lebih maju dibandingkan dengan
masyarakat yang tinggal di bagian hulu sungai. Terhadap orang luar Dayak,
mereka menyebutnya sebagai orang yang tidak menggunakan bahasa Dayak
(uloh habasa) sehingga dalam berkomunikasi biasanya mereka
menyesuaikan diri dengan lawan bicara, yaitu menggunakan bahasa
Indonesia atau bahasa Melayu Banjar (Usop, 2011: 12).
Selain melalui mitologi dan legenda, cara yang dapat dilakukan
untuk mengenal kesadaran sejarah pada masyarakat yang belum mengenal
tulisan adalah melalui sejarah lisan atau tradisi. Pada saat ini upacara
12
tradisional yang merupakan tradisi penyampaian pesan budaya yang telah
lama digunakan yaitu, jauh sebelum manusia mengenal tulisan masih terus
berlanjut. Sebagian besar masyarakat memelihara upacara tradisi itu untuk
keperluan berbagai kepentingan.
Masyarakat pendukung tradisi itu memelihara upacara tradisi
sebagai hal yang sudah “lumrah” atau biasa karena sejak lahir mereka telah
mengikuti kebiasaan itu. Misalnya, upacara Kematian Tiwah (Second
Burial) di Kalimantan Tengah, yang dilaksanakan oleh pemeluk Kaharingan
dalam mengantarkan roh ke langit ketujuh atau surga. Upacara Tiwah sudah
menjadi kebiasaan yang diwarisi dari nenek moyangnya sejak zaman
dahulu, yaitu sejak Kaharingan ada. Sejak tahun 1980 beralaskan
kepentingan kartu tanda penduduk (KTP), Kaharingan digabungkan ke
dalam kelompok agama Hindu sehingga dewasa ini sebagian menjadi
pemeluk Hindu Kaharingan dan sebagain lagi tetap menganut Dayak
Kaharingan atau agama Kaharingan (Usop, 2012).
Upacara atau tradisi yang dimaksud bukanlah upacara dalam
pengertian upacara yang secara formal sering dilakukan, seperti upacara
penghormatan bendera, melainkan upacara yang pada umumnya
mengandung nilai sakral oleh masyarakat pendukung kebudayaan tersebut.
Upacara merupakan serangkaian tindakan atau perbuatan yang terikat pada
aturan tertentu berdasarkan adat istiadat, agama, dan kepercayaan. Jenis
upacara dalam kehidupan masyarakat, antara lain upacara penguburan,
upacara perkawinan, dan upacara pengukuhan kepala suku. Upacara adat
adalah suatu upacara yang dilakukan secara turun-temurun yang berlaku di
13
suatu daerah. Dengan demikian, setiap daerah memiliki upacara adat
sendiri-sendiri, seperti upacara perkawinan, upacara labuhan, upacara camas
pusaka, dan sebagainya. Upacara adat yang dilakukan di daerah sebenarnya
juga tidak lepas dari unsur sejarah (http://www.sentra-
edukasi.com/2011/08/upacara-adat.html).
Hasil Musyawarah Besar Damang Kepala Adat se Kalimantan
Tengah yang diselenggarakan pada 23--24 Mei 2002 di Palangka Raya telah
merumuskan beberapa pokok pemikiran.Pertama, selama ini kurangnya
penghargaan terhadap adat dan hukum adat masyarakat Dayak sehingga
diperlukan upaya revitalisasi hukum adat yang berkaitan dengan eksistensi
lembaga damang sebagai lembaga adat yang telah dikenal khususnya bagi
masyarakat Kalimantan Tengah. Peran para kepala adat masyarakat adat
dalam membina dan mengembangkan hukum adat masyarakat Dayak pada
masa lalu cukup penting, tetapi karena proses sosial yang berlangsung
selama ini, perannya lebih banyak pada hal-hal seremonial. Kedua,
terjadinya keterpinggiran masyarakat adat sebagai akibat proses modernisasi
yang kurang berkelanjutan sementara pengembangan daya tahan masyarakat
belum cukup kuat mengintegrasikannya serta menyinkronisasikannya dalam
suatu bingkai jati diri yang tetap berlandaskan nilai-nilai adat yang relevan
pada masa kini. Ketiga, pada era demokratisasi, reformasi, dan otonomi
daerah telah muncul aspirasi masyarakat yang kian kuat untuk
pemberdayaan diri secara berkelanjutan. Keempat, masih ada nilai-nilai adat
yang relevan yang dapat direvitalisasi dapat membantu memperlancar
14
proses pemerintahan, pemberdayaan masyarakat dan lingkungan hidup,
serta proses pembanguan pada umumnya (Usop, 2011: 157--158).
Dinamika perjuangan hak-hak masyarakat Dayak di Kalimantan
Tengah dalam wacana keterpinggiran atau marginalisasi atas tanah adat
tentang pemanfaatan lahan untuk perkebunan sawit, pertambangan (batu
bara dan emas), serta pemanfaatan kayu oleh pengusaha HPH berdampak
pada adanya gerakan kontra hegemoni dan perlawanan masyarakat adat
Dayak di Kalimantan Tengah dalam mempertahankan tanah adatnya.
Ketidakpuasan dan ketidakpastian dengan hukum positif menyebabkan
timbulnya gerakan-gerakan perlawanan (counter hegemony) yang bertujuan
untuk membela dan memperjuangkan harkat serta martabat untuk
menegakan hukum adat dan kearifan lokal yang sesuai dengan Pancasila
dan UUD 1945.
Kearifan lokal yang menghormati lingkungan dan HAM masyarakat
Dayak yang merupakan bagian dari kebudayaan Dayak dalam mengelola
dan mempertahankan hak ata tanah adalah membentangkan/mengencangkan
tali larangan (maniring hinting). Tradisi ini merupakan sebuah upacara
ritual yang diwariskan oleh para leluhur masyarakat Dayak dalam rangka
mempertahankan hak-hak kepemilikan atas tanah yang diserobot oleh
pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Ritual maniring hinting
dilaksanakan setelah cara-cara pendekatan penyelesaian secara persuasif
secara jalur hukum positif atau resmi, tetapi tidak membuahkan hasil.
Setelah tali larangan (pali) dibentang maka barang siapa yang membongkar
dan merusaknya akan dikenakan denda (singer) secara hukum adat dalam
15
masyarakat Dayak. Lewis mengatakan bahwa mahinting, tarinting, atau
hinting pali juga merupakan ritual keagamaan umat Hindu Kaharingan,
yang tidak dilakukan sembarangan, tetapi dalam konteks sosial/adat yang
diselenggarakan oleh masyarakat dalam mempertahankan hak tanahnya dari
pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Tradisi maniring hinting adalah ritual adat Dayak di Kalimantan
Tengah yang dianggap sakral yang dilakukan secara turun temurun yang
memiliki kekuatan-kekuatan magis yang tidak dilakukan sembarang orang.
Maniring hinting memerlukan tata cara tertentu dalam pelaksanaannya.
Tempat yang bisa di-maniring hinting adalah tanah leluhur, kuburan, tanah
garapan sendiri, tanah ulayat, dan tanah adat4 yang hanya dapat
dilaksanakan oleh pendeta Hindu Kaharingan berdasarkan izin dari lembaga
agama Hindu Kaharingan (Wawancara dengan Dawel Lenjun, Kuak,
Palangka Raya, 23 November 2012).
Jika maniring hinting dilaksanakan untuk tujuan keagamaan, maka
harus mendapat izin dari lembaga agama Hindu Kaharingan karena
pelaksanaan dan tata caranya harus dilaksanakan atau dipimpin oleh pemuka
agama Hindu Kaharingan, seperti pisor dan basir. Di pihak lain maniring
hinting yang dilaksanakan untuk kepentingan adat atau digunakan untuk
kepentingan masyarakat adat dalam hal ini mempertahankan hak-hak atas
tanah mereka cukup dipimpin oleh tokoh pemangku adat serta tokoh
4 Tanah ulayat adalah hak yang dimiliki atau melekat pada masyarakat hukum adat yangmemberikan wewenang kepada anggota masyarakatnya untuk menguasai seluruh tanah didaerah kekuasaanya dan digunakan untuk kepentingan masyarakat dan anggotanya. Dipihak lain tanah adat adalah tanah yang di atasnya berlaku aturan-aturan adat. Peruntukandan pemanfaatanya diatur oleh kepala adat sebagai pimpinan mereka
16
masyarakat seperti damang. Alasan dilaksanakannya maniring hinting bagi
masyarakat adat tidak dalam pelaksanaan ritual keagamaan Kaharingan,
tetapi bermakna untuk kepentingan memperjuangkan dan mempertahankan
hak-hak atas tanah mereka. Persepsi maniring hinting bagi masyarakat adat
Dayak Ngaju tidak hanya bermakna spiritual, tetapi juga bermakna sosial
budaya. Jadi, maniring hinting memiliki makna dan fungsi yang berbeda
dan kontekstual jika digunakan untuk hal-hal tertentu di luar ritual
keagamaan.
Maniring hinting dapat dikategorikan menjadi dua macam. Pertama,
maniring hinting pali yang dilakukan dalam upacara adat “Tiwah” yang
bertujuan untuk mengantarkan roh atau jiwa seseorang ke langit ketujuh
atau surga dalam keyakinan agama Hindu Kaharingan. Selama
penyelenggaraan upacara tersebut jika ada yang melanggar larangan atau
pali, seperti pantangan berkelahi dan perbuatan yang tidak terpuji di areal
upacara akan mendapatkan malapetaka dan dapat dikenakan hukum adat.
Kedua, maniring hinting adat yang dilakukan oleh masyarakat adat telah
disesuaikan untuk kepentingan mempertahankan hak-hak atas tanah mereka
dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan melanggar perjanjian
serta kesepakatan. Dalam pelaksanaan maniring hinting roh-roh
dibangunkan untuk menyaksikan atau membenarkan secara magis bahwa
tanah yang di-maniringhinting-kan adalah memang benar milik masyarakat.
Pergulatan dan perdebatan tentang manfaat maniring hinting inilah yang
menjadi perdebatan antara para tokoh agama Hindu Kaharingan dan para
tokoh masyarakat adat Dayak yang menurut mereka bahwa maniring hinting
17
tidak hanya milik orang Kaharingan, tetapi juga milik masyarakat adat yang
merupakan bagian dari kebudayaan dan peradaban Dayak di Kalimantan
Tengah (Wawancara dengan Usop, Palangka Raya, 5 Oktober 2012).
Istilah ‘adat’ dalam bahasa Indonesia memiliki arti ‘kebiasaan’ atau
‘tradisi’ dan mengandung konotasi tata tertib yang tenteram dan konsesus
atau suatu kesepakatan kearifan lokal yang berhadapan dengan kearifan
global/universal. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, istilah adat ini
serta merta memiliki arti yang diasosiasikan dengan makna menimbul
aktivisme, protes, dan konflik yang disertai kekerasan mungkin disebabkan
oleh peminggiran terhadap adat (Davidson dkk, 2010: 1). Sejak era
reformasi pasca lengsernya Presiden Soeharto pada tahun 1998 setelah
sepertiga abad berkuasa, berbagai komunitas dan kelompok etnis di
Nusantara secara terang-terangan, lantang, dan cenderung dengan kekerasan
menuntut haknya untuk melaksanakan unsur-unsur adat atau hukum adatnya
dalam wilayah kampung halaman mereka (Davidson dkk, 2010 : 1).
Makna tanah dikemukakan oleh Mathias Haryadi (dalam Erari,
1999: 27--28). Menurut Mathias haryadi, tanah memiliki tiga arti
fundamental. Pertama, tanah adalah tempat manusia mendirikan rumah. Di
atas tanah dan dalam rumah ia tinggal, manusia menemukan basis hidupnya.
Di sana ia menemukan identitasnya. Kedua, di atas tanah itu, manusia
berhubungan dengan hewan dan tumbuh-tumbuhan (lingkungan, air, udara,
dan lainnya). Hubungan itu tidak bisa dipisahkan. Ketiga, tanah memiliki
arti ekonomis yang sangat kaya, satu-satunya dan tak mungkin tergantikan.
18
Keterpenuhan sandang, pangan, dan papan menjadi dasar untuk
mengartikan makna dan fungsi tanah. Sebagian besar masyarakat Indonesia
masih tergantung pada tanah (hutan). Menurut Nababan (2003), dalam
kehidupan sehari-hari di daerah pedesaan (komunitas-komunitas masyarakat
adat) populasinya diperkirakan antara 50--70 juta orang masih tergantung
dan memiliki ikatan sosiokultural dan religius yang erat dengan lingkungan
(tanah) lokalnya. Mereka tergantung pada alam dan memiliki kedekatan,
ikatan yang erat dengan alam termasuk tanah.
Tekanan ekonomi dan politik yang dialami oleh masyarakat Dayak
akibat hegemoni atau dominasi peran negara dengan kewenangannya dalam
mengatur kehidupan masyarakat turut menimbulkan ketimpangan sosial dan
ekonomi. Salah satu di antaranya adalah kebijakan negara dalam
memberikan hak guna usaha (HGU) dan izin produksi kepada pengusaha
yang secara tidak langsung telah merugikan masyarakat seperti kehilangan
mata pencaharian dan hancurnya tatanan adat. Contohnya, musnahnya
kebun rotan, beje5, kebun karet, hutan adat, sungai, danau, dan tatanan sosial
yang berubah menimbulkan kejutan budaya serta korban ketidakadilan
lainnya. Sumber daya alam hanya diperlakukan oleh perusahaan sebagai
komoditas dan alat produksi, tanpa memperhatikan subsistem sosialkultural
yang seharusnya merupakan bagian dari sistem alam dan kehidupan.
Kondisi ini telah mendorong timbulnya protes kelompok masyarakat Dayak
5 Beje adalah sebuah kolam perangkap ikan yang dibuat oleh masyarakat (umumnya olehsuku Dayak) di pedalaman hutan Kalimantan Tengah. Beje umumnya berukuran lebar 2 m,kedalaman 1.5 m, dan panjang bervariasi bisa sampai ratusan meter jika dilakukanbersama-sama (bukan milik perorangan). Beje-beje akan tergenang oleh air luapan darisungai dan sekitarnya serta terisi oleh ikan -ikan alami pada musim penghujan. Kemudianair akan surut kembali pada musim kemarau. Beje-beje menjadi kolam-kolam tempatpembesaran ikan di dalamnya dan siap dipanen pada musim kemarau.
19
untuk melakukan perubahan terhadap kebijakan pemerintah tersebut dengan
mempertimbangkan kepentingan masyarakat lokal (Kartodiharjo, 2006: 4).
Pengambilalihan paksa areal hutan adat menjadi hutan negara adalah
salah satu kebijakan pemerintah yang amat dirasakan dampaknya oleh
masyarakat Dayak. Hutan memiliki arti penting bagi masyarakat Dayak
karena kemampuannya menyediakan kebutuhan masyatakat lokal sebagai
mata pencaharian hidup. Hutan yang tanahnya merupakan milik kelompok
masyarakat ini terpaksa direlakan untuk dijadikan areal perkebunan besar
swasta (PBS) serta pertambangan dan hak pengusahaan hutan (HPH) pada
zaman orde baru. Ketika reformasi bergulir gejolak konflik terus berlanjut,
bahkan kian intensif dan terbuka dengan kasus-kasus areal perkebunan
kelapa sawit banyak yang tumpang tindih dengan kawasan hutan. Termasuk
hutan lindung, taman nasional, dan kawasan konservasi lainnya
menyebabkan konflik dan perlawanan masyarakat adat khususnya di
Kalimantan Tengah kian bergejolak dan memerlukan jalan keluar yang tepat
dengan mempertimbangan unsur-unsur sosial budaya sebagai salah satu
pertimbangan dalam membuat kebijakannya.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka ada beberapa permasalahan yang
penting untuk dikaji, terutama berkaitan dengan tiga hal, yaitu sebagai
berikut.
20
1 Bagaimanakah ideologi maniring hinting sebagai gerakan kontra
hegemoni masyarakat Dayak dalam mempertahankan hak-hak atas
tanah di Kotawaringin Timur?
2. Bagaimanakah pelaksanaan maniring hinting sebagai gerakan kontra
hegemoni di Kotawaringin Timur?
3. Apa makna perlawanan maniring hinting bagi masyarakat Dayak di
Kotawaringin Timur?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk memahami lebih dalam
tentang penyebab timbulnya gerakan kontra hegemoni masyarakat lokal
dalam mempertahankan hak masyarakat adat atas tanah di Kalimantan
Tengah khususnya di Kotawaringin Timur dalam konteks wacana
mempertahankan dan penguatan hukum adat dan kewibawaan kearifan
lokal. Dengan kata lain bagaimana sebuah kearifan lokal bermetamorfosis
menjadi sebuah gerakan perlawanan dalam mempertahankan hak-hak
masyarakat adat Dayak di Kotawaringin Timur melalui suatu proses
harmonisasi dan revitalisasi perkembangan hukum yang progresif.
1.3.2 Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah seperti berikut.
1. Mengetahui ideologi maniring hinting sebagai gerakan kontra
hegemoni dalam mempertahankan hak-hak atas tanah masyarakat
21
Dayak. Dapatkah berhasil dan memiliki keberdayatahanan dalam
melestarikan dan memperjuangakan serta mempertahankan hak-hak
atas tanah masyarakat Dayak di Kotawaringin Timur.
2. Membahas proses-proses pelaksanaan maniring hinting dan
perubahan penyesuaian maniring hinting menjadi suatu alat
perlawanan (counter hegemony) masyarakat adat Dayak di
Kotawaringin Timur.
3. Menganalisis makna perlawanan maniring hinting bagi masyarakat
adat Dayak di Kotawaringin Timur. Dengan memperhatikan semua
data yang diperoleh di lapangan, maka akan diusahakan diadakan
kajian yang mendalam sehingga diperoleh jawaban mengenai hal-hal
yang terkait dengan permasalahan yang diajukan.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoretis
Secara teoretis, hasil penelitain ini diharapkan bermanfaat bagi
pengembangan ilmu yang holistik-integratif sesuai dengan keberadaaan
kajian budaya yang terkait dengan keterpinggiran hak masyarakat adat
dalam wacana penguatan hukum adat dan kearifan lokal di Kalimantan
Tengah khususnya di Kotawaringin Timur. Salah satu sisi penting posisi
teoretis dan konseptual kajian budaya adalah karakteristiknya yang bersifat
multidisipliner sehingga memberikan kontribusi untuk penelitian bagi
berbagai disiplin ilmu dan kebijakan publik. Selain itu, hasil penelitian ini
diharapkan bermanfaat bagi para akademis dan stakeholder karena dapat
22
dipakai sebagai acuan, referensi tentang arti penting hukum adat, kearifan
local, dan hak masyarakat adat dalam wacana penguatan hukum adat dalam
membuat kebijakan dan perda adat yang mengandung sinkronisasi,
harmonisasi, dan revitalisasi.
1.4.2 Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi beberapa pihak,
yakni sebagai berikut.
1. Bagi pelestarian kebudayaan dan penanggulangan keterpinggiran
hak masyarakat adat dalam konteks wacana penguatan hukum adat.
Selain itu hak adat ini diharapkan dapat meningkatkan eksistensi
keberadaan masyarakat adat dan menjadi momentum dalam upaya
menjaga keberadaan dan kebangkitan penegakan hak asasi terutama
hak-hak atas tanah adat.
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan,
wawasan bagi masyarakat. Di samping itu dapat digunakan untuk
memahami lebih mendalam tentang penguatan hukum adat dalam
menanggulangi pelanggaran dan peminggiran hak masyarakat adat
dalam konteks wacana penguatan hukum adat atas hak-hak atas
tanahnya.
3. Hasil penelitian ini dapat dipakai oleh pemerintah sebagai bahan
pertimbangan dalam membuat kebijakan pemberian izin kepada
pengusaha untuk menguasai lahan milik masyarakat adat yang
menjadi sumber penghidupan mereka. Upaya penguatan hukum adat
23
dan kearifan lokal yang menyangkut hak atas tanah adat dan hak
masyarakat adat lebih diperhatikan agar tidak ada perampasan hak-
hak hidup masyarakat adat.
4. Di samping itu, hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai
proses transformasi, partisipasi, dan keterkaitan aktif semua pihak
dalam penegakan dan penguatan terhadap hak masyarakat adat atas
kepemilikan tanah.