Pendahuluan
Pada 22 Januari 2020, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia telah resmi
mengesahkan Program Legislasi Nasional Prioritas 2020 yang berisi 50 Rancangan Undang-
Undang (RUU). Salah satu hal yang menjadi perhatian adalah adanya empat RUU yang
bertajuk Omnibus Law, yaitu RUU Cipta Kerja, RUU Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan
untuk Penguatan Perekonomian, RUU Kefarmasian, dan RUU Ibu Kota Negara.
Adanya RUU bertajuk omnibus law merupakan salah satu langkah progresif
Pemerintah di bidang hukum. Hal ini disinyalir karena kegeraman Presiden Joko Widodo atas
melempemnya progres Indonesia di bidang investasi. Berdasarkan laporan Ease of Doing
Business 2019, Indonesia menempati peringkat 73 dari 190 negara.1 Pembentukan omnibus
law—khususnya di bidang perekonomian—diharapkan mampu untuk meningkatkan iklim
investasi di Indonesia, Rosan Roeslani mengatakan bahwa salah satu tujuan dari adanya
omnibus law ini adalah untuk menungkatkan peringkat Indonesia di Ease of Doing Business.2
Pemerintah melalui Airlangga Hartanto—Menko Perekonomian—telah resmi
menyerahkan Surat Presiden dan draft omnibus law RUU Cipta Kerja ke Pimpinan DPR RI
pada 12 Februari 2020. Menurut Puan Maharani—Ketua DPR—RUU ini terdiri dari 79
RUU, 15 bab, dan 174 pasal yang rencananya akan melibatkan tujuh komisi terkait untuk
pembahasannya.3
Adanya omnibus law tidak lepas dari perhatian masyarakat, terutama banyaknya hal-
hal bermasalah dimulai dari konsep, prosedur pembuatan, hingga subtansi dari pasal-pasal di
dalamnya. Dari sinilah BEM Kema Unpad 2020 mencoba memberikan beberapa catatan
kritis terhadap RUU Cipta Kerja dalam tajuk omnibus law.
1 World Bank. 2019. Doing Business 2019, Training for Reform. Diakses dari https://www.doingbusiness.org/content/dam/doingBusiness/media/Annual-Reports/English/DB2019-report_web-version.pdf pada 21 Februari 2020 2 BBC Indonesia. 2019. Omnibus Law: Harapan Menarik Investasi dan Pembahasan yang ‘sentralistik’. Diakses dari https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-50837794 pada 21 Februari 2020 3 Haris Prabowo. 2020. Ganti Nama, Pemerintah Akhirnya Serahkan RUU Cipta Kerja ke DPR. Diakses dari https://tirto.id/ganti-nama-pemerintah-akhirnya-serahkan-ruu-cipta-kerja-ke-dpr-eyvupada pada 21 Februari 2020
Konsep Omnibus Law
Bryan A. Garner dalam Black Law Dictionary Ninth Edition menyebutkan bahwa
omnibus merupakan “relating to or dealing with numerous object or item at once; including
many thing or having various purposes”.4 Dimana jika dipadankan dengan kata law maka
dapat didapatkan bahwa omnibus law merupakan hukum yang mengatur berbagai macam
objek, item dan tujuan dalam satu instrumen hukum.
The Duhaime Legal Dictionary mengatakan bahwa omnibus law merupakan “a draft
law before a legislature which contains more than one substantive matter, or several minor
matters which have been combined into one bill, ostensibly for the sake of convenience”.5
Dalam hal ini, The Duhaime Legal Dictionary menyoroti bahwa omnibus law merupakan
suatu rancangan undang-undang yang menyoroti lebih dari satu masalah substantif atau
masalah-masalah kecil yang telah digabung dalam satu instrumen hukum.
Menurut Barbara Sinclair, omnibus bill merupakan proses pembuatan peraturan yang
bersifat kompleks dan penyelesaiannya memakan waktu lama karena mengandung banyak
materi meskipun subjek, isu, dan programnya tidak selalu terkait.6 Dalam hal ini, Barbara
menitik fokuskan omnibus bill sebagai proses dalam membentuk aturan hukum yang
kompleks.
Fachri Bachmid menyatakan bahwa omnibus law merupakan suatu konsep produk
hukum yang berfungsi untuk mengkonsolidir berbagai tema, materi, subjek, dan peraturan
perundang-undangan pada setiap sektor yang berbeda untuk menjadi satu produk hukum
besar dan holistik.7 Menurut Bivitri Susanti, ruang lingkup omnibus law lazim menyasar isu-
isu besar yang terdapat dalam suatu negara.8
Louis Massicotte menyatakan ada beberapa alasan mengapa para legislator
menggunakan teknik omnibus law dalam membentuk suatu undang-undang. Pertama, hal ini
4 Sarah Safira Aulianisa. 2019. Menakar Kompabilitas Transplantasi Omnibus Law dalam Konteks Peraturan Perundang-undangan dengan Sistem Hukum Indonesia. Paper dipresentasikan di Konferensi Ilmiah Hukum dan HAM 2019, Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia 5 Louis Massicotte. 2013. Omnibus Bills in Theory and Practice. Canadian Parliamentary Review/ Spring 2013., hlm. 14 6 Barbara Sinclair. 2012. Unortodhox Lawmaking: New Legislative Processes in the U.S Congress. Los Angeles: Sage., hlm. 33 7 Agnes Fitryantica. 2019. Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan Indonesia melalui Konsep Omnibus Law. Jurnal Gema Keadilan., vol. 6, edisi 3, Oktober-November 2019., hlm. 303 8 Ibid.,
dikarenakan terjadi negosiasi yang kompleks dari masing-masing orientasi legislator, selain
itu teknik omnibus membuat pemerintah dapat memangkas waktu dan prosedur legislatif
dalam membentuk suatu undang-undang. Kedua, praktik ini ditujukan untuk menggalang
dukungan publik pada suatu undang-undang, sehingga menekan golongan oposisi untuk
tunduk pada agenda pemerintah.9
Teknik omnibus bill kebanyakan dipergunakan oleh negara-negara yang menganut
sistem hukum common law. Sistem hukum common law merupakan sistem hukum yang
berkembang di Inggris sejak abad 16 dan berkembang pesat hingga di luar negara Inggris
seperti Kanada, Amerika, dan negara-negara bekas koloni Inggris.10
Menurut Louis Massicotte, omnibus law dimulai ketika Desember 1967 ketika Pierre
Trudeau—Menteri Hukum Kanada—mengenalkan Criminal Law Amandement Bill yang
mengatur berbagai macam isu seperti homoseksualitas, aborsi, kontrasepsi, kepemilikan
senjata, kekerasan terhadap binatang, dll.11
Di Amerika, omnibus law sendiri dapat dilihat dari peraturan Transportation Equity
Act for the 21st Century (TEA-21) yang merupakan undang-undang pengganti dari
Intermodal Surface Transportation Efficiency Act (ISTEA). Selain itu dapat dilihat dari
Omnibus Trade and Competitiveness Act of 1988 (OCTA) yang disusun dalam rangka
memperbaiki defisit neraca perdagangan Amerika Serikat pada saat itu. UU ini mengatur
secara luas revisi terhadap ketentuan perdaganganm penyesuaian bantuan, dorongan ekspor,
harmonisasi tarif, kebijakan perdagangan internasional, investasi asing, dll.12
Di Australia, omibus law juga dapat terlihat dalam Civil Law and Justice Act 2015.
UU ini mengubah peratuuran di dalam 16 UU yang memiliki materi muatan yang berbeda.
Diantaranya adalah UU Bandung Administratif Tribunal 1975, UU Kebangkrutan 1966, UU
Pengadilan Federal 1976, UU Arbitase Internasional 1974, dll.13
Menurut Firman Freaddy Busroh, ada beberapa tujuan terkait pembentukan omnibus
law, antara lain (1) mengatasi konflik peraturan perundang-undangan secara cepat, efektif,
9 Louis Massicotte., op.cit hlm. 15 10 Farihan Aulia dan Sholahuddin Al-Fatih. 2017. Perbandingan Sistem Hukum Common Law, Civil Law dan Islamic Law dalam Perspektif Sejarah dan Karakteristik Berpikir. Jurnal Legality, vol. 25, No. 1, Maret 2017., hlm. 103 11 Louis Massicotte., loc.cit 12 Agnes Fitryantica., op.cit hlm. 304 13 Ibid.,
dan efisien; (2) menyeragamkan kebijakan pemerintah baik di tingkat pemerintah pusat
maupun pemerintah daerah; (3) pengurusan perizinan lebih terpadu, efisien, dan efektif; (4)
mampu memutus rantai birokrasi yang berlama-lama; (5) meningkatnya hubungan koordinasi
antar instansi terkait karena telah diatur dlaam kebijakan omnibus yang terpadu; (6) adanya
jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi pengambil kebijakan.14
Namun, dalam putusan commonwealth vs Barnett yang dikeluarkan Commonwealth
Court of Pennsylvania, terdapat komentar terhadap proses legislasi dalam putusan tersebut.
Pengadilan bahkan menyebutkan omnibus bill sebagai crying evil karena mengaduk-adukan
subjek yang tidak sesuai.15
Dimana Letak Omnibus Law dalam Sistem Hukum Indonesia?
Menurut Hans Kelsen, norma itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu
susunan hierarki, norma yang di bawah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang
lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian
seterusnya sampai akhirnya ‘regressus’ ini berhenti pada suatu norma tertinggi yang disebut
dengan norma dasar atau grundnorm.16
Hans Nawiasky—murid Hans Kelsen—mengembangkan teori gurunya tentang
jenjang noma dalam kaitannya dengan suatu negara. Ia berpendapat bahwa selain norma itu
berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, norma hukum di suatu negara itu juga berkelompok-
kelompok, dan pengelompokan norma hukum dalam suatu negara itu terdiri atas empat
kelompok besar yaitu staatsfundamentalnorm, staatsgrundgesetz, formell gesetz, dan
verordnung & autonome satzung.17 Teori ini turut menjadi dasar yang berlaku di negara-
negara modern mengenai hierarki peraturan perundang-undangan.
14 Firman Freaddy Busroh. 2017. Konseptualitas Omnibus Law dalam Menyelesaikan Permasalahan Regulasi Pertanahan. Jurnal Arena Hukum, Vol. 10, No. 2, Agustus 2017., hlm. 247 15 Louis Massicotte., loc.cit 16 Maria Farida Indrati. 2011. Ilmu Perundang-Undangan I. Yogyakarta : Kanisius., Hlm. 41 17 Ibid,
Dalam pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan menyatakan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia ialah
sebagai berikut
1. UUD Negara Republik Indonesia 1945
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
3. Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
4. Peraturan Pemerintah
5. Peraturan Presiden
6. Peraturan Daerah Provinsi
7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Dalam hal ini, konteks daripada teori yang dicanangkan Hans Nawiasky dapat
tercermin dalam sistem hukum Indonesia. staatsfundamentalnorm yang merupakan landasan
dasar filosofis yang mengandung kaidah-kaidah dasar bagi pengaturan negara lebih lanjut ada
dalam butir-butir Pancasila yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945,
staatsgrundgesetz yang tercermin dalam UUD 1945, formell gesetz yang tercermin dalam
UU, verordnung & autonome satzung yang merupakan peraturan pelaksana dan peraturan
otonom tercermin dalam hierarki PP kebawah.
Dimanakah letak omnibus law ? Dalam hal ini, omnibus law yang dimaksud dalam
sistem hukum Indonesia merupakan bentuk undang-undang yang mengatur berbagai macam
objek dalam satu instrumen hukum. sehingga terdapat penyebaran wacana terkait omnibus
staatsfundamentalnorm
staatsgrundgesetz
formell gesetz
verordnung & Autonome satzung
law yang disamakan dengan UU Payung, yaitu UU yang menjadi induk dari UU lain yang
masih satu sektor. Namun, apabila omnibus law dinarasikan sebagai UU Payung, maka
omnibus law tidak diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, karenanya omnibus law dalam konteks Indonesia dinarasikan sebagai
undang-undang
Konsep Negara Hukum dan Pentingnya Partisipasi Masyarakat
Pada dasarnya, bilamana berbicara mengenai peraturan perundang-undangan—
sebagaimana dikatakan oleh Crabbe—maka tidak hanya berbicara mengenai pengaturannya,
tetapi juga sampai ke pembentukannya yang harus sesuai dengan asas-asas yang berkaitan
dengan materi muatannya.18 Maria Farida Indrati menyatakan bahwa asas-asas pembentukan
peraturan perundang-undangan merupakan suatu pedoman atau rambu-rambu dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.19
Adanya proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang sedemikian rupa
merupakan bentuk perwujudan dari digunakannya konsep negara hukum kesejahteraan.
Menurut Bagir Manan, konsep tersebut menempatkan negara atau pemerintah tidak hanya
menjadi sekedar penjaga malam, tetapi juga memiliki tanggung jawab untuk mewujudkan
kesejahteraan sosial dan kesejahteraan umum bagi rakyatnya.20
Menurut A. Hamid S. Attamimi, asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan
yang baik meliputi asas formal yang mencakup tujuan yang jelas, perlunya pengaturan, organ
atau lembaga yang tepat, materi muatan yang tepat, dapat dilaksanakan, dan dapat dikenali.
Juga harus meliputi asas material seperti sesuai dengan cita hukum Indonesia dan norma
fundamental negara, sesuai dengan hukum dasar negara, sesuai dengan prinsip negara
berdasarkan hukum, sesuai dengan prinsip pemerintah berdasarkan konstitusi.21
Sebagaimana dikatakan oleh A. Hamid S. Attamimi, bahwa pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik secara material haruslah sesuai dengan prinsip negara
berdasarkan hukum sebagaimana tercantum dalam pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Dalam hal ini,
konsep negara hukum dapat pula dipahami sebagai filsafat teori politik yang menetukan
18 VCRAC Crabbe. 1994. Legislative Drafting. London: Carendish Publishing Limited., hlm. 4 19 Maria Farida Indrati., op.cit hlm.252 20 Syauqi dan Habibullah. 2016. Implikasi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dalam Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial. Jurnal Sosio Informa Vol. 2, No. 01, Januari-April 2016., hlm. 20 21 Maria Farida Indrati., opcit hlm. 331
sejumlah persyaratan mendasar terhadap hukum, ataupun sebagai sarana prosedural
(prosedural device) yang diperlukan oleh mereka yang memerintah berdasarkan hukum.22
Menurut Julius Stahl, konsep negara hukum yang ia sebut dengan istilah rechtsstaat
mencakup empat elemen penting yaitu perlindungan hak asasi manusia, pembagian
kekuasaan, pemerintahan berdasarkan undang-undang dan peradilan tata usaha negara.23
Merujuk pada apa yang dikatakan Stahl, bahwa pemerintah dalam negara yang menganut
kedaulatan hukum harus bertindak berdasarkan undang-undang. Dalam hal ini pembentukan
peraturan perundang-undangan harus sesuai dengan hukum tertulis yang mengatur bagaimana
cara membentuk suatu undang-undang yaitu UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
Dalam omnibus law cipta kerja versi pemerintah, teknik omnibus justru dibuat untuk
merubah yang terdiri atas pencabutan, penggantian atau menambah materi berbagai macam
ketentuan dalam berbagai UU dalam satu instrumen hukum, bukan membuat suatu undang-
undang baru. Dalam hal ini, perubahan suatu undang-undang tentu bukanlah suatu hal yang
inkonstitusional. Namun, ketika berbicara konteks pembentukan undang-undang, maka harus
mengacu pada materi muatan yang telah ditentukan UU Nomor 12 tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yaitu (1) pengaturan lebih lanjut mengenai
ketentuan UUD 1945; (2) perintah suatu undang-undang untuk diatur dengan undang-undang;
(3) pengesahan perjanjian internasional; (4) tindak lanjut putusan MK dan; (5) pemenuhan
kebutuhan hukum dalam masyarakat. Jelas, bilamana omnibus law yang dibentuk pemerintah
didasarkan pada perintah sesuatu undang-undang maka pertanyaannya undang-undang mana
yang memberikan amanat perubahan UU harus dilakukan menggunakan teknik omnibus?
Secara historis, bentuk undang-undang di Indonesia menganut single subject clause rule.
Daniel N. Boger dalam tulisannya menyatakan bahwa single subject clause rule melarang
suatu undang-undang mengandung berbagai macam subjek.24 Jelas mencampuradukan
berbagai macam subjek dalam satu undang-undang menimbulkan pertanyaan sendiri dimana
landasan yang mengatur penggunaan teknik omnibus dalam membentuk undang-undang di
Indonesia.
22 Hilaire Barnett.2002. Constitutional and Administrative Law. London: Cavendish Publishing Ltd., hlm.9 23 Jimly Asshiddiqie. 2010. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia.Jakarta: Sinar Grafika., hlm. 125 24 Daniel N. Boger. 2017. Constitutional Avoidance: The Single Sunject Rule As An Interpretive Principle. Virginia Law Review Vol. 103: 1247., hlm. 1249
Bilamana argumen yang dipakai menggunakan logika pemenuhan kebutuhan hukum
masyarakat, maka hal yang wajib dipenuhi adalah adanya Partisipasi masyarakat dalam
proses pembentukan peraturan perundang-undangan, terutama untuk individu atau kelompok
yang mempunyai kepentingan atas substansi dari peraturan perundang-undangan.25 Namun,
Ombudsman menyoroti bahwa pembentukan omnibus law Cipta Kerja minim partisipasi
publik.26
Hal ini tentu menjadi catatan aneh ketika omnibus law cipta kerja malah minim partisipasi
masyarakat. Pembentukan undang-undang haruslah aspiratif dan partisipatif yang dalam hal
ini mengandung makna proses dan substansi. Proses dalam pembentukan undang-undang
haruslah transparan, sehingga aspirasi masyarakat dapat berpartisipasi dalam memberikan
masukan-masukan. Sementara substansi berkaitan dengan materi yang diatur harus ditujukan
bagi kepentingan masyarakat sehingga menghasilan undang-undang yang demokratis,
aspiratif, partisipatif, dan berkarakter responsif.27
Dalam hal ini, proses pembentukan omnibus law cipta kerja harus melibatkan partisipasi
publik secara masif. Menurut Handoyo, ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk
membuka ruang partisipasi masyarakat, yaitu28
1. Membuka akses informasi seluruh komponen masyarakat tentang proses penyusunan
suatu peraturan perundang-undangan
2. Merumuskan aturan main khususnya yang menyangkut transparansi penyusunan dan
perumusan rancangan peraturan perundang-undangan
3. Merumuskan secara bersama-sama sebuah prosedur dan tata cara mengakomodi
aspirasi masyarakat dalam pembahasan peraturan perundang-undangan
4. Menyusun kode etik sekaligus membentuk Majelis Kehormatan yang susunannya
terdiri dari unsur DPR, masyarakat, akademisi, dan media massa
25 Vide pasal 96 ayat (3) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan 26 Gosanna Oktavia. 2020. Omnibus Law Minim Partisipasi Publik, Ombudsman Buka Kesempatan Pengaduan. Diakses dari https://ombudsman.go.id/news/r/omnibus-law-minim-partisipasi-publik-ombudsman-buka-kesempatan-pengaduan pada 22 Februari 2020 27 Ibid., 28 Joko Riskiyono. 2015. Partisipasi Masarakat dalam Pembentukan Perundang-Undangan Untuk Mewujudkan Kesejahteraan. Jurnal Aspirasi Vol. 6, No. 2, Desember 2015., hlm. 160
5. Memperluas jaringan kerjasama di kalangan civil society yang selama ini sifatnya ad
hoc. Jaringan tersebut harus bersifat permanen sekaligus ada pembagian tugas dan
tanggung jawab memantau proses perumusan kaidah hukum.
Dengan kata lain, menurut Nonet dan Selznick, pentingnya peran masyarakat dalam
pembentukan produk hukum harus terlihat pada proses pementukannya yang partisipatif
dengan mengundang sebanyak-banyaknya partisipasi semua elemen masyarakat, baik dari
segi individu maupun kelompok masyarakat. Selain itu harus bersifat aspiratif yang
bersumber dari keinginan masyarakat bukan hanya kehendak dari penguasa untuk
melegitimasikan kekuasaannya.29 Itulah substansi dari pemenuhan kebutuhan hukum
masyarakat yang ideal dengan mengedepankan proses deliberatif sebagai kunci agar hukum
dapat diterima masyarakat.
Pada akhirnya, pembentukan omnibus law sendiri harus mengikuti mekanisme layaknya
membentuk undang-undang seperti pada umumnya, yaitu meliputi tahap perencanaan,
penyusunan, pembahasan, hingga pengesahan yang harus sesuai dengan ketentuan yang telah
diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan. Dalam hal ini tentu pemerintah alangkah lebih baiknya jika memfokuskan dulu
melegalkan bentuk omnibus law dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Hal ini didasari agar pemerintah tidak sewenang-wenang dalam menentukan langkah
progresif di bidang hukum, mengingat segala bentuk tindakan pemerintah harus didasari oleh
undang-undang, bukan hanya pidato semata.
Politik Hukum yang Rawan Kepentingan
Geliat membentuk omnibus law telah ditunjukan Presiden Joko Widodo sejak
mengikuti kontestasi elektoral. Dalam Debat Presiden dan Wakil Presiden ke-5, presiden
menyinggung kegeramannya atas pencapaian investasi Indonesia yang kalah dengan negara-
negara tentangga di Asia Tenggara.
Pada saat pelantikan, presiden mendeklarasikan akan membentuk omnibus law yang
ditujukan untuk memangkas regulasi yang dirasanya terlalu berbelit. Hal ini ditujuk
meningkatkan tingkat investasi di Indonesia, sebagaimana sesuai dengan laporan ease of
29 Rahendro Jati. 2015. Partisipasi Masyarakat Dalam Proses Pembentukan Undang-Undang yang Responsif. Jurnal Rechtsvinding, Vol. 1, No. 3, Desember 2015., hlm. 331
doing business, dimana perizinan yang berbelit membuat peringkat Indonesia mangkrak
dibawah negara-negara tetangga di Asia Tenggara.
Dari sini, kita dapat melihat secara tesirat adanya tujuan pembentukan omnibus law
adalah untuk meningkatkan tingkat investasi Indonesia, yang dalam hal ini akan dikupas
secara lebih dalam segmen geliat investasi Indonesia. Dalam hal ini, Tengku Muhammad
Radi mendefinisikan tujuan pembentukan hukum atau yang lazim disebut sebagai politik
hukum adalah pernyataan kehendak dari penguasa mengenai tujuan tertentu yang ingin
dicapai lewat hukum.30
Dari sini, satu hal yang hendak disoroti adalah adanya penyamarataan politik hukum
dalam RUU Cipta Kerja. Dalam kenyataannya, RUU Cipta Kerja yang digadang-gadang
sebagai terobosan baru dalam bidang hukum di Indonesia terdiri dari 11 klaster, 15 bab dan
174 pasal yang menyosor sekitar 79 UU yang hendak diubah. Dalam konteks ini kita telah
berbicara bahwa wujud omnibus law berbentuk multi subject clause yang mengatur berbagai
macam sektor, ambil contoh UU Ketenagakerjaan, UU Pendidikan Tinggi, UU Kehutanan,
UU Guru dan Dosen, UU Varietas Tanaman, UU Pendidikan Dokter yang pasti dalam proses
pembentukannya memiliki politik hukum yang berbeda satu sama lain.
Dalam hal ini, politik hukum investasi akan memengaruhi jalan logika dari UU-UU
yang akan diubah dalam RUU Cipta Kerja sehingga dapat memenuhi kehendak pemerintah
dalam meningkatkan tingkat investasi Indonesia. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah
apakah penyamarataan tersebut malah justru bagus bila diterapkan hanya untuk memuaskan
kepentingan politik demi memuluskan investasi?
Secara pragmatis, interaksi hukum dan politik berada dalam derajat determinasi yang
seimbang antara satu sama lain. Karenanya, hal ini tidak menafikan bahwa hukum adalah
produk politik, namun kehidupan politik juga harus tunduk pada aturan-aturan hukum.
Konfigurasi politik akan memengaruhi karakter dari produk hukum dan hukum harus menjadi
guideline, agar konfigurasi politik yang dilakukan oleh para elite tidak menyimpang dari
tujuan bernegara.31
Oleh karenanya, dibutuhkan adanya politik hukum dalam pembangunan hukum di
Indonesia. Hal ini didasari agar hukum terus menjadi wahana yang responsif terhadap
30 Moh. Mahfud M.D. 1998. Politik Hukum di Indonesia. Yogyakarta: LP3ES., hlm. 10 31 Merdi Hajiji. 2013. Relasi Hukum dan Politik dalam Sistem Hukum Indonesia. Jurnal Rechtsvinding Vol. 2, No. 3, Desember 2013., hlm. 369
kebutuhan masyarakat.Politik hukum sendiri berintikan pembuatan dan pembaruan terhadap
materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan dan menunjukan sifat dan arah
kemana hukum akan dibangun dan ditegakan.
Secara praktik, terdapat banyak kritik terhadap RUU Cipta Kerja, yaitu dapat
mengkambing hitamkan hak masyarakat dan dianggap terlalu memihak kalangan elite.
Sejumlah praktisi dan masyarakat pun menilai, lahirnya RUU Cipta kerja lebih memihak
pada pengusaha daripada buruh. Faisal Basri mengatakan bahwa omnibus law bisa menjadi
bias yang menguntungkan dunia usaha, karena komposisi tim penyusun yang mayoritas diisi
oleh kalangan pengusaha.32
Pada akhirnya, berbicara tentang politik hukum yang sederhananya diartikan sebagai
tujuan dibentuknya suatu hukum. Kita tidak dapat menjauhkan hubungan politik dan hukum.
di satu sisi, keduanya bagai tulang dan daging yang sulit terpisah satu sama lain. Hukum
merupakan produk politik sebagai sumber kekuatan mengikatnya hukum. Namun, hukum
tidak boleh dibentuk tanpa adanya suatu politik hukum yang berorientasi kebutuhan rakyat.
maka pembentukan politik hukum yang menyerap aspirasi dan kebutuhan rakyat secara riil
dibutuhkan dalam hal merumuskan tujuan pembentukan omnibus law melalui cara-cara yang
telah disebutkan di segmen sebelumnya dalam melibatkan partisipasi masyarakat.
Salah Kaprah Asas Lex Supreriori Derogat Legi Inferiori
Salah satu problematika lainnya ialah kerancuan yang terdapat pada Pasal 170 yang
menyatakan bahwa Undang-undang dapat diubah ketentuannya melalui Peraturan
Pemerintah. Sebelum meninjau polemik ini, mari kita lihat terlebih dahulu ketentuan
Perundang-undangan mengenai Undang-undang dan Peraturan Pemerintah sebagai berikut :
Peraturan perundang-undangan merupakan peraturan tertulis dan berisikan norma
hukum yang bersifat mengikat untuk umum baik yang ditetapkan oleh badan legislator
maupun oleh regulator atau lembaga pelaksana Undang-undang untuk menetapkan peraturan-
peraturan tertentu menurut Peraturan yang berlaku. Produk legislatif dalam hal ini merupakan
peraturan yang berbentuk Undang-undang dan dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) dan pembahasannya dilakukan bersama dengan Presiden/ pemerintah untuk
mendapatkan persetujuan bersama yang setelah mendapatkan persetujuan bersama akan
32 Efrem Siregar. 2020. Faisal Basri Kritik Omnibus Law Jokowi, Apa Alasannya?. Diakses dari https://www.cnbcindonesia.com/news/20191218211906-4-124277/faisal-basri-kritik-omnibus-law-jokowi-apa-alasannya pada 19 Maret 2020
disahkan oleh Presiden dan kemudian diundangkan sebagaimana mestinya atas perintah dari
Presiden. Bagi undang-undang tertentu pembahasan bersama dilakukan dengan melibatkan
peran dari Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Disamping peraturan yang berbentuk Undang-
undang ada pula peraturan yang disusun dan ditetapkan oleh lembaga eksekutif pelaksana
Undang-undang dimana lembaga eksekutif pelaksana diberi kewenangan regulasi oleh
Undang-undang dalam rangka menjalankan Undang-undang terkait. Selain itu, pemerintah
karena fungsinya juga diberi kewenangan untuk menetapkan suatu peraturan yang
regulasinya ditentukan oleh lembaga regulasi tertentu pula. Menurut Pasal 7 Undang-undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan Peraturan Perundang-undangan terdapat jenis
dan hierarki yang terdiri atas :
a. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Kemudian, mari kita lihat pengertian dan isi dari masing-masing peraturan khususnya
mengenai Undang-undang dan Peraturan Pemerintah sebagai berikut :
a. Undang-undang.
Produk Undang-undang merupakan bentuk hukum yang paling tinggi
statusnya setelah Undang-undang Dasar. Jika kita komparasikan dengan sistem
hukum di Belanda Undang-undang dapat disepadankan dengan wet yang memiliki
kedudukan tertinggi dibawah grondwet, atau seperti di Amerika Serikat dengan Act
(Legislative Act) dan berada dibawah Constitution sebagai produk hukum, Undang-
undang baru mengikat untuk umum sebagai algemene verbidende vioorschiften atau
peraturan yang mengikat untuk umum yaitu ketika diundangkan. Bentuk
administrasi pengundangan Undang-undang dilakukan dengan cara menerbitkan
naskah Undang-undang dimaksud melalui Lembaran Negara Republik Indonesia
(LN-RI). Sementara itu, untuk naskah penjelasannya dalam Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia (TLN-RI).33 Sederhananya, Undang-undang merupakan
hanya salah satu bentuk peraturan yang dibentuk oleh DPR, dibahas dan disetujui
bersama oleh DPR dan Presiden, dan disahkan oleh Presiden dan diundangkan
sebagaimana mestinya atas perintah Presiden sehingga menjadi norma hukum yang
mengikat untuk umum. Dengan begitu, Undang-undang berbeda dengan pengertian
Peraturan Perundang-undangan pada umumnya. Peraturan Perundang-undangan itu
adalah segala bentuk peraturan negara dari jenis yang tertinggi di bawah Undang-
undang dasar hingga yang terendah, yang dihasilkan dan ditetapkan secara atributif
dari peraturan yang lebih tinggi atau secara delegasi dari pemegang kekuasaan
pembentuk Undang-undang (Legislative Power, Wet gevende macht, atau
gesetzgebende gewalt). Maka artinya Undang-undang Dasar tidak terklasifikasikan
ke dalam pengertian Peraturan Perundang-undangan.
b. Peraturan Pemerintah
Menurut ketentuan Pasal 5 Ayat (2) Undang-undang Dasar 1945, Presiden
menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan Undang-undang sebagaimana
mestinya karena Peraturan Pemerintah diadakan untuk melaksakan Undang-undang
tidak mungkin bagi Presiden untuk menetapkan Peraturan Pemerintah sebelum ada
Undang-undangnya. Dengan demikian, Undang-undang selalu mendahului Peraturan
Pemerintah (PP), dan Peraturan Pemerintah dapat dibentuk hanya atas dasar perintah
Undang-undang dengan kata lain Peraturan Pemerintah merupakan bentuk
pendelegasi legislasi yaitu kewenangan yang didelegasikan oleh Principal Legislator
(Pembentuk Undang-undang) kepada Presiden sebagai kepala pemerintah yang akan
melaksanakan (Executive) Undang-undang yang bersangkutan. Jika dikuatirkan
terjadi penyimpangan dalam Peraturan Pemerintah maka terdapat mekanisme untuk
mengujinya ke Mahkamah Agung. Pasal 24 A Ayat (1) Undang-undang Dasar 1945
menentukan, “Mahkamah Agung berwenang… menguji mengatur peraturan
perundang-undangan dibawah Undang-undang terhadap Undang-undang,...”34.
Materi muatan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah tidak boleh menyimpang dari
materi yang diatur dalam Undang-undang yang bersangkutan. Jika, sekiranya tidak
33 Jimly Asshiddiqie. 2017. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Rajawali Press., hlm. 166. 34 Komparasikan Pasal 13 UU No. 14 Tahun 1984 tentang Mahkamah Agung dan Pasal 10 UU No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.
diperintahkan secara eksplisit pun oleh Undang-undang, Peraturan Pemerintah tetap
dapat dikeluarkan oleh Pemerintah sepanjang materinya tidak bertentangan dengan
Undang-undang, dan hal tersebut memang diperlukan sesuai dengan kebutuhan yang
timbul dalam praktik untuk maksud “… menjalankan Undang-undang sebagaimana
mestinya…”.
Perihal kerancuan Pasal dalam RUU Ciptaker mulai meluap sebab dalam bunyi
Pasalnya terkandung kata yang seakan menyalahi ketentuan dalam hierarki Konstitusi, yakni
Pasal 170 Ayat (2) “Perubahan ketentuan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah”. Berdasarkan persfektif Hukum, pernyataan dalam Pasal 170
merupakan bentuk penyimpangan yang menyalahi aturan Konstitusi Republik Indonesia,
Undang-undang Dasar (UUD) 1945 yakni Pasal 20 Ayat (1) UUD 1945 “Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) memegang kekuasaan membentuk Undang-undang”. Pasal 20 Ayat (1)
menunjukkan adanya norma yang menginstruksikan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat-lah
yang memiliki peran kekuasaan legislatif untuk dapat membentuk Undang-undang.
Pernyataan pada Pasal 170 RUU Ciptaker memproyeksikan adanya pengambil alihan
wewenang DPR oleh Presiden (Pemerintah Pusat) dengan jalan mengubah Undang-undang
melalui Peraturan Pemerintah (PP). Pengambil alihan dalam Pasal tersebut menjadi catatan
bahwa Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan tidak boleh menyalahi
ketentuan yang diatur dalam UUD yang menabrak muatan-muatan Konstitusi. Kerancuan
Pasal 170 membuka potensi pemerintah yang otoriter sebab rusaknya konstitusi akan
mendobrak sistem ketatanegaraan yang akan bersifat Sentralistik. Sedangkan, jika kita lihat
perubahan pasca Reformasi, melalui amandemen UUD 1945 kedudukan DPR sebagai
lembaga legislatif dititikberatkan sebagai lembaga yang berwenang dalam pembentukan
Undang-undang. Kemudian, disamping menyimpangi Pasal 20 Ayat (1) di atas, pada Pasal 5
Ayat (2) UUD 1945 berbunyi “Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk
menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya”.
Menurut Muhammad Nur Solikhin, Peneliti Senior Pusat Studi Hukum dan
Kebijakan terdapat dua kedudukan dari Peraturan Pemerintah (PP) ;
a. Secara hierarki, kedudukan Peraturan Pemerintah berada dibawah Undang-undang
sebab Undang-undanglah yang menentukan kebutuhan dalam pembentukannya;
b. karena dari posisinya sudah tidak sejajar maka materi muatan norma dalam
Peraturan Pemerintah dan Undang-undang pun berbeda, PP memiliki materi muatan
yang jauh bersifat teknis dibanding dengan Undang-undang.
Selain berfokus pada substansi wewenang DPR yang seakan dikebiri, terdapat pihak
lain yang perlu dipertanyakan pertanggungjawabannya, berdasarkan Peraturan Presiden
Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksana Undang-undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan memberikan amanat kepada
Kementerian Hukum dan Ham dengan memberikan tugas berupa mengharmonisasi.
Pembulatan, dan pemantapan Rancangan Undang-undang yang diusulkan oleh
pemerintah.
Merujuk pada Pasal 51 Ayat (4) penyelarasan RUU diselaraskan dengan Pancasila,
UUD 1945 dan Undang-undang lain serta hal teknis lainnya. Dengan adanya kerancuan
pada Pasal 170 yang menyalahi ketentuan UUD 1945, maka terdapat suatu indikasi bahwa
terdapat kelalaian dalam proses penyelarasan yang dilakukan oleh Kementerian Hukum
dan HAM. Kejadian demikian juga sekaligus menyiratkan pertanyaan atas apakah
Rancangan Undang-undang Cipta Kerja dilakukan tanpa melalui proses penyelarasan
terlebih dahulu atau tidak, tanggapan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan,
Mahfud MD mengakatakan bahwa materi yang termuat dalam Undang-undang tidak bisa
diganti atau diubah melalui Peraturan Pemerintah, pun jika akan dilakukan penggantian
Undang-undang salah satu caranya adalah melalui Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang (Perppu). Kesalahan yang terdapat dalam RUU Ciptaker menurut Mahfud
MD35 dan Menteri Hukum dan Ham Yasona Laoly36 bisa saja merupakan kekeliruan
karena salah ketik. Akan tetapi sepatutnya pemerintah teliti sebelum mengeluarkan suatu
regulasi, sebab ketidak telitian dalam pembentukan sebuah Rancangan Undang-undang
bisa merugikan kepentingan publik dan menyebabkan timbulnya korban-korban kebijakan
di masa depan. Disamping menbrak sistem hukum, RUU Ciptakerja seakan memberi
kesan untuk dapat menghalalkan segala cara dalam menumbuhkan investasi di Indonesia
35 Chandra Gian Asmara. 2020. Mahfud MD Tegaskan Pasal 170 RUU Cipta Salah Ketik!. Diakses di https://www.cnbcindonesia.com/news/20200218134358-4-138675/mahfud-md-tegaskan-pasal-170-ruu-cipta-kerja-salah-ketik Pada 7 Maret 2020 36 Muhammad Genantan Saputra. 2020 . Menkumham Sebut Ada Salah Ketik di RUU Omnibus Law. Diakses di https://www.liputan6.com/news/read/4181369/menkumham-sebut-ada-salah-ketik-di-ruu-omnibus-law Pada 7 Maret 2020
dan menjadikan hukum sebagai alat dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Joko Widodo
dalam keterangannya membantah tuduhan dalam polemik Pasal 170. Menurutnya
pemerintah telah bersikap terbuka dan tidak mengeliminasi peran dari DPR sebab hingga
saat ini RUU Omnibus Law masih dalam pembahasan hingga lima bulan ke depan dan
mengharapkan adanya masukan-masukan dari masyarakat.37
Banyaknya Delegated Regulation
Sejak debat calon presiden dan wakil presiden kelima, Presiden Joko Widodo terus
menggarisbawahi bahwa permasalahan terkait lesunya tingkat investasi di Indonesia
dikarenakan terlalu banyak peraturan yang mengekang cara berinvestasi. Banyaknya
peraturan tersebut juga tidak dibarengi dengan upaya untuk menyelaraskan peraturan antara
satu sama lain, sehingga menyebabkan terjadinya tumpang tindih peraturan yang telah dibuat.
Omnibus law ditujukan sebagai kartu as Presiden Joko Widodo dalam menyelesaikan
permasalahan tumpang tindih aturan, sehingga diharapkan pembentukan suatu undang-
undang yang menggunakan teknik omnibus akan mengurangi jumlah peraturan terkait
investasi.
Bukannya malah mengurangi jumlah peraturan perundang-undangan, justru terdapat
fenomena dalam Draft RUU Cipta Kerja sebagai omnibus law pemerintahan Jokowi yang
menimbulkan tanya mengenai semangat untuk mengurangi jumlah peraturan perundang-
undangan di Indonesia, fenomena tersebut adalah fenomena banyaknya pendelegasian
peraturan dari RUU Cipta Kerja ke Peraturan Pemerintah.
Bilamana mencermati Draft RUU Cipta Kerja yang dibuat pemerintah, terdapat 465
amanat dari RUU Cipta Kerja untuk membentuk peraturan pemerintah yang akan
menjabarkan ketentuan lebih lanjut mengenai substansi RUU Cipta Kerja. Dengan adanya
amanat ini, tentu akan menambah jumlah peraturan perundang-undangan di tingkat peraturan
pemerintah.
Dalam artikel yang ditulis oleh Wicipto Setiadi, jumlah peraturan perundang-
undangan di Indonesia adalah 40.903, dengan rincian (1) Undang Undang Dasar sebanyak
10; (2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebanyak 5; (3) Undang-Undang
37 Restu Diantina Putri,. 2020. Cara Anak Buah Jokowi Lepas Tangan soal Pasal 170 RUU Cipta Kerja. Diakses di https://tirto.id/cara-anak-buah-jokowi-lepas-tangan-soal-pasal-170-ruu-cipta-kerja-eAqZ pada 8 Maret 2020
sebanyak 1902; (4) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebanyak 172; (5)
Peraturan Pemerintah sebanyak 4836; (6) Peraturan Presiden sebanyak 1882; (7) Peraturan
Menteri sebanyak 12.829 ; (8) Peraturan Lembaga Pemerintah Non Kementrian sebanyak
3625; (9) Peraturan Daerah sebanyak 15.205.38 Wicipto juga menyebutkan bahwa jumlah
peraturan ini masih belum pasti, dikarenakan perbedaan jumlah peraturan yang disimpan di
masing-masing database milik pemerintah.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan, peraturan atau regulasi diperlukan sebagai
dasar dalam melaksanakan tugas atau fungsi daripada pemerintahan. Hans Nawiasky—murid
Hans Kelsen—mengembangkan teori gurunya tentang jenjang noma dalam kaitannya dengan
suatu negara. Ia berpendapat bahwa selain norma itu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang,
norma hukum di suatu negara itu juga berkelompok-kelompok, dan pengelompokan norma
hukum dalam suatu negara itu terdiri atas empat kelompok besar yaitu
staatsfundamentalnorm, staatsgrundgesetz, formell gesetz, dan verordnung & autonome
satzung.39
Dalam pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan menyatakan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia ialah
sebagai berikut
a. UUD Negara Republik Indonesia 1945
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
c. Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
d. Peraturan Pemerintah
e. Peraturan Presiden
f. Peraturan Daerah Provinsi
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Dalam hal ini, konteks daripada teori yang dicanangkan Hans Nawiasky dapat
tercermin dalam sistem hukum Indonesia. staatsfundamentalnorm yang merupakan landasan
dasar filosofis yang mengandung kaidah-kaidah dasar bagi pengaturan negara lebih lanjut ada
dalam butir-butir Pancasila yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945,
38 Wicipto Setiadi. 2018. Simplifikasi Peraturan Perundang-Undangan dalam Rangka Mendukung Kemudahan Berusaha. Jurnal Rechtsvinding Vol. 7, No. 3, Desember 2018., hlm. 322 39 Maria Farida Indrati. Op.cit Hlm. 46
staatsgrundgesetz yang tercermin dalam UUD 1945, formell gesetz yang tercermin dalam
UU, verordnung & autonome satzung yang merupakan peraturan pelaksana dan peraturan
otonom tercermin dalam hierarki Peraturan Pemerintah kebawah.
Peraturan pemerintah adalah suatu instrumen yang dikeluarkan pemerintah dan ditetapkan
oleh presiden untuk menjalankan undang-undang, dengan kata lain Peraturan Pemerintah
merupakan verordnung atau peraturan pelaksana. Peraturan Pemerintah merupakan bentuk
pendelegasi legislasi yaitu kewenangan yang didelegasikan oleh Principal Legislator
(Pembentuk Undang-undang) kepada Presiden sebagai kepala pemerintah yang akan
melaksanakan (Executive) Undang-undang yang bersangkutan. Dalam hal ini, delegasi
kewenangan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan (delegatie van
wetgevingsbevoesgheid) ialah pelimpahan kewenangan membentuk peraturan perundang-
undangan yang dilakukan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih rendah, baik
pelimpahan dinyatakan dengan tegas maupun tidak.40
Penyelenggaraan pemerintah dengan melakukan pembentukan peraturan perundang-
undangan memang secara teori dan praktik menjadi suatu hal yang wajib dilakukan oleh
pemerintah yang mendapat kewenangan langsung dari Undang-Undang Dasar, termasuk
halnya pembentukan omnibus law. Namun, pemerintah perlu memerhatikan bahwa
pembentukan peraturan perundang-undangan harus dilakukan secara efisien. Bilamana kita
melihat tujuan mulia Presiden Jokowi dalam membentuk omnibus law diperuntukan untuk
mengurangi jumlah peraturan perundang-undangan, maka omnibus law yang mendelegasikan
pembentukan 465 peraturan pemerintah malah memperlihatkan pertentangan antara tujuan
untuk mengurangi peraturan perundang-undangan dengan materi muatan yang diaturnya.
Dengan ini, jelas malah memperlihatkan inefisiensi regulasi. Efisiensi regulasi dapat dilihat
dari kualitas regulasi yang baik dan kuantitas regulasi yang proporsional.41 Bilamana kita
melihat kualitas regulasi yang bermasalah dari segi substansi dan segi kuantitas yang tidak
proporsional karena pada praktiknya banyak sekali mendelegasikan pembentukan regulasi
baru, maka omnibus law cipta kerja malah menunjukan adanya inefisiensi regulasi itu sendiri.
Tujuan Presiden Jokowi dalam mengurangi jumlah peraturan perundang-undangan dengan
omnibus law menjadi tujuan mulia yang sesuai dengan teori simplifikasi peraturan
40 Ibid., 41 Petrus Kadeh Suherman. 2017. Delegasi Regulasi dan Simplifikasi Regulasi dalam Pembentukan Peraturan Kepala Daerah. Jurnal Advokasi Vol. 7, No. 1 (2017)., hlm. 2
perundang-undangan. Simplifikasi merupakan penyederhanaan peraturan perundang-
undangan yang dilakukan dalam rangka mengurangi jumlah peraturan perundang-undangan
sehingga menjadi proporsional jumlahnya. Simplifikasi penting untuk memastikan efektivitas
dan mencegah tumpang tindih peraturan perundang-undangan, selain itu dapat ditujukan
untuk memangkas prosedur yang panjang dan mengurangi biaya yang berlebihan.42
Dalam hal ini, memang penting untuk memangkas peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan investasi. Hal ini juga ditujukan untuk meningkatkan tingkat
perekonomian. Namun, jangan sampai teknik simplifikasi malah bertentangan dengan prinsip
ekonomi kerakyatan, dimana substansi hukum yang dibentuk malah cenderung berpihak pada
kalangan investor. Tetapi harus dilakukan demi kepentingan rakyat, dengan cara tidak ada
substansi yang bermasalah dengan rasa keadilan rakyat hanya demi mempermudah investor
untuk masuk. Selain itu proporsionalitas jumlah undang-undang perlu diperhatikan agar
menghindari peraturan yang tidak harmonis dan multitafsir. Dalam hal ini, jangan sampai
teknik simplifikasi malah membuat over regulasi sehingga membuat penggunaan teknik ini
sia-sia.
Investasi dan Omnibus law
Sebagai presiden terpilih Republik Indonesia untuk periode 2019 – 2024, Joko
Widodo menyampaikan sejumlah agenda utama pemerintahan yang akan dipimpinya untuk 5
tahun kedepan dalam sebuah pidato politik yang berjudul “Visi Indonesia”43. Secara
subtantif, pidato ini memuat 5 visi pemerintahan Joko Widodo – KH Ma’aruf Amin, dimana
pembukaan investasi yang seluas – luasnya dalam rangka memperluas lapangan pekerjaan
masuk dalam agenda utama pemerintahan Joko Widodo – KH Ma’aruf Amin. Menurut
Salim HS dan Budi Sutrisno, Investasi adalah aktivitas penanaman modal yang dilakukan
oleh investor, baik itu investor dalam negeri maupun investor dari luar negeri yang saling
berkaitan dalam berbagai bidang jenis usaha44. Sebagai negara dengan perekonomian yang
terbuka, sudah sangat wajar Indonesia membuka ruang investasi bagi investor domestik
maupun investor luar negeri. Namun, ada beberapa hal yang harus kita perhatikan lebih
42 Wicipto Setiadi., op.cit hlm. 326 43 Dandy Bayu Bramasta. 2019. 5 Visi Jokowi untuk Indonesia. Diakses dari https://www.kompas.com/tren/read/2019/10/20/151257765/5-visi-jokowi-untuk-indonesia?page=all pada 3 Maret 2020 44 Budi Sutrisno dan Salim H. 2008. Hukum Investasi di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada., hlm 33
lanjut, diantaranya adalah perihal waktu/momentum dan trade off dari penyusunan kebijakan
yang dapat bertindak sebagai stimulan investasi investasi.
Omnibus Law cipta kerja merupakan sebuah payung hukum dari bundling kebijakan
pemerintah yang digadang – gadang dapat meningkatkan kinerja investasi Indonesia yang
bermuara pada perluasan lapangan pekerjaan. Lantas bagaimana kah kinerja investasi
Indonesia ?
Menilik Kinerja Investasi Indonesia
Dalam “Visi Indonesia”, penekanan perluasan investasi dimaksudkan untuk
meningkatkan kesempatan kerja yang seluas – luasnya. Semangat ini bisa dibilang sebagai
kelanjutan dari semangat perluasan investasi pada periode sebelumnya, mengingat semangat
perluasan investasi juga sudah didorong oleh Joko Widodo pada Periode Pertama
pemerintahanya.
Presiden Joko Widodo mengeluhkan loyonya kinerja investasi dan kinerja ekspor
Indonesia45. yang ditenggarai menjadi penyebab pertumbuhan Investasi di Indonesia yang
ditenggarai menjadi salah satu penyebab kenapa pertumbuhan ekonomi Indonesia mentok di
angka 5%46. Namun, kinerja investasi Indonesia bisa dibilang cukup baik setidaknya jika
dibandingkan dengan negara – negara ASEAN, walaupun terdapat beberapa catatan - catatan
terkait dengan kualitas investasi Indonesia. Dari segi pertumbuhan investasi, Kecuali pada
tahun 2018, pertumbuhan realisasi investasi Indonesia dalam kurun waktu 2015 - 2019 selalu
berada diatas pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dalam 5 tahun terakhir, secara konsisten
realisasi investasi Indonesia selalu mengalami peningkatan, walaupun dengan taraf
pertumbuhan yang fluktuatif.
45 Hendra Kusuma. 2019. Jokowi Kesal Ekspor dan Investasi RI Loyo. Diakses melalui https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4464956/jokowi-kesal-ekspor-dan-investasi-ri-loyo pada 2 Maret 2020 46 Trio Hamdani. 2020. Investasi Loyo dan Daya Beli Lesu Biang Kerok Ekonomi Mentok 5%. Diakses melalui https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4891785/investasi-loyo-dan-daya-beli-lesu-biang-kerok-ekonomi-mentok-5 pada 2 Maret 2020
Grafik 1 : Realisasi PMA dan PMDN (Sumber : Katada.co.id)
Dibanding 2015, realisasi investasi Indonesia pada tahun 2016 mengalami
peningkatan sebesar 14,01%. Untuk tahun 2017,peningkatan realisasi investasi sebesar
11,42%. Jika dibandingkan dengan 2018, Realiasi investasi Indonesia mengalami
peningkatan sebesar 12,24%. Selama 2015 hingga 2019, Investasi Indonesia mengalami
peningkatan sebesar 48,41%47.
Fluktuasi pertumbuhan ini dalam analisis kami lebih diakibatkan oleh kondisi
eksternal, walaupun kondisi internal juga berpengaruh terhadap fluktuasi pertumbuhan
investasi ini.Terlebih pada fakta bahwa pertumbuhan realisasi investasi Indonesia yang
“hanya” berada ditaraf 4,11% pada tahun 2018 jika dibandingkan dengan 2017. Semakin
memanasnya perang dagang menjadi salah satu penyebab pertumbuhan investasi “hanya” di
taraf 4,11%. Meningkatkanya tarif yang dikenakan berdampak pada biaya produksi dan harga
dari China dan Amerika Serikat menurunnya daya beli. Dampak ini berpengaruh terhadap
negara – negara lain, terlebih lagi terhadap negara – negara yang memiliki hubungan
ekonomi yang cukup masif terhadap kedua negara ini.
47 Dwi Hadya Jayani. 2020. Realisasi Investasi Indonesia 2019 Naik 48,4% dalam 5 Tahun. Diakses melalui https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2020/01/29/realisasi-investasi-indonesia-2019-naik-484-dalam-5-tahun pada 2 Maret 2020
0
200
400
600
800
1000
2015 2016 2017 2018 2019
Dal
am T
riliu
n R
up
iah
Realisasi PMA dan PMDN Indonesiatahun 2015 - 2019
Sum of target Sum of realisasi
Dari segi sumbangsih terhadap PDB, jika dibandingkan dengan negara – negara
anggota ASEAN, porsi investasi terhadap PDB Indonesia merupakan salah satu yang terbaik.
Mengalahkan negara – negara yang memiliki iklim investasi lebih baik seperti negara
Singapura dan Vietnam.
48
Grafik 2 : Total Investment (% to GDP) ASEAN Countries. (Sumber : imf.org)
Dari data diatas nampak bahwa dalam kurun waktu 2015 – 2019, jika dibandingkan
dengan negara – negara ASEAN, sumbangsih Investasi terhadap GDP tidak pernah keluar
dari 3 peringkat teratas dari negara – negara ASEAN. Untuk tahun 2018, persentase
sumbangsih Investasi Indonesia terhadap GDP hanya lebih rendah dari Myanmar dan Brunei
Darussalam untuk tahun dan hanya lebih rendah dari Myanmar untuk tahun untuk proyeksi
tahun 2019.
Jika dilihat dari besaran Foreign direct investment inflow untuk tahun 2017 dan 2018,
Indonesia termasuk kedalam jajaran 20 negara tertinggi peneriman foreign dircet
investment.49 Lebih tinggi dibandingkan dengan negara – negara yang memiliki peringkat
investasi lebih tinggi, seperti Malaysia (12) dan Thailand (21).
48 Data untuk Negara Laos tidak tersedia di IMF – World Economic Outlook 49 United Nations. 2019. World Investment Report 2019. New York: United Nations Publications
0
5
10
15
20
25
30
35
40
2015 2016 2017 2018 2019
Dal
am P
erse
n
Axis Title
Total Investment (% to GDP)ASEAN Countries 2015 - 2019
Filipina. Indonesia. Malaysia. Singapura.
Thailand. Brunei Darussalam. Vietnam. Myanmar.
Kamboja. Laos.
Grafik 3 : Top 20 Penerima Foreign Direct Investment (FDI) 2017 dan 2018. (Sumber : United Nations 2019)
Dari data dan beberapa perbandingan antar waktu dan melakukan perbandingan
dengan beberapa negara – negara anggota ASEAN serta beberapa kelompok negara lainya,
maka bisa dikatakan kinerja Investasi Indonesia saat ini sudah cukup baik. Dari segi
Pertumbuhan Investasi, pertumbuhan realisasi Investasi Indonesia selalu diatas pertumbuhan
ekonomi Indonesia, kecuali untuk pertumbuhan investasi 2018. Dari segi porsi investasi
terhadap GDP, selama 2015 hingga 2019 porsi investasi terhadap GDP Indonesia jika
dibandingkan dengan negara – negara ASEAN, Indonesia secara konsisten selalu berada di 3
peringkat teratas. Dari segi penerimaan Foreign direct investment (FDI) untuk tahun 2017
dan 2018, Indonesia masuk kedalam top 20 penerima Foreign direct investment (FDI).
Meskipun dapat dikatakan cukup baik, terdapat beberapa catatan terkait kualitas kinerja
Investasi Indonesia. Bagaimana investasi tersebut dibelanjakan merupakan salah satu catatan
terkait kinerja investasi. Ekonom Senior INDEF, Faisal Basri menyoroti terkait kualitas
Investasi Indonesia pada bagaimana investasi tersebut dibelanjakan. Beliau menjelaskan
bahwasanya investasi lebih banyak dialirkan dalam bentuk bangunan. Sedangkan Investasi
kepada peralatan produksi dan mesin – mesin hanya berada pada kisaran 10%. Tentu hal ini
benar – benar menjadi masalah jika peningkatan investasi juga ditunjukan untuk peningkatan
pertumbuhan ekonomi, maka pertumbuhan produktivitas dari investasi yang dilakukan tidak
akan terlalu signifikan.
Hal yang harus diperhatikan adalah jika investasi lebih ditujukan untuk alat – alat
produksi langsung, maka secara sendirinya investor akan terus melakukan investasi secara
berkesinambungan, tentunya dengan asumsi bahwa faktor – faktor lain yang mempengaruhi
proses bisnis dan investasi dari lingkungan eksternal dan lingkungan internal dianggap
konstan. Ketika terjadi bottleneck50 dalam proses produksi misalnya, otomatis untuk
mengejar produktifitas yang lebih tinggi investor harus mengatasi keadaan bottleneck tersebut
dengan meningkatkan investasi minimal untuk mengatasi kesendatan tersebut. Maka dari itu,
memastikan kualitas belanja investasi juga merupakan hal yang penting untuk terus
diperhatikan, meskipun pada akhirnya belanja investasi ini menjadi ranah sektor privat
dimana negara tidak mampu memberikan intervensi secara langsung dalam pembuatan
keputusan tersebut.
Masalah – Masalah Terkait Investasi di Indonesia
Rancangan Omnibus Law cipta kerja yang diajukan oleh pemerintah secara subtantif
ditujukan untuk menciptakan iklim investasi yang lebih baik. Beberapa ahli berpendapat
bahwa Investasi di Indonesia seringkali terhambat oleh birokrasi yang berbelit – belit dan
juga beberapa peraturan serta kebijakan yang tidak harmonis antar pemerintah pusat dan
daerah. Hal inilah yang ditenggarai menjadi sebab jebloknya peringkat kemudahan bisnis
yang dikeluarkan oleh World Bank pada laporanya yang bertajuk Easy of doing business
2020. Peringkat Indonesia jauh dibawah negara – negara Asia Tenggara lainya, seperti
Singapura ( peringkat 2), Malaysia(peringkat 12),Thailand (peringkat 21), Brunei Darussalam
(67) dan Vietnam (70)51.
Selain dua faktor tersebut, terdapat beberapa faktor lain yang dapat menghambat
investasi Indonesia. Executive Opinion Survey yang dilakukan pada World Economic Forum
50 Bottlenack adalah suatu kondisi dimana proses produksi mengalami performa yang kurang maksimal dikarenakan salah satu atau lebih alat atau alurproduksi memiliki kapasitas produksi yang lebih rendah dari pada alat atau alur produksi yang lain. 51 World Bank. 2017. Doing Business 2018 : Reforming to Create Jobs (English). Doing Business 2018. Washington, D.C. : World Bank Group.
2017 menghasilkan beberapa faktor – faktor yang dianggap menjadi faktor penghambat
kegiatan Investasi Indonesia. Beberapa faktor tersebut diantaranya adalah :
Grafik 4 : Most problematic factors for doing business in Indonesia. (Sumber : World Economic Forum)
Berdasarkan hasil survey tersebut, korupsi dianggap menjadi faktor penghambat
utama dari kegiatan bisnis dan investasi di Indonesia. Korupsi dalam bentuk apapun menjadi
polusi bagi iklim investasi bagi Indonesia, terutama berkaitan dengan “biaya ekstra” yang
harus dikeluarkan oleh investasi. Biaya esktra yang dimaksud disini biasanya dalam bentuk
suap kepada pihak – pihak pemangku jabatan, dalam rangka mempercepat alur birokrasi dan
juga
Dari sisi perhitungan Return on Investment (RoI), korupsi merupakan salah faktor
perusak “ekosistem” sehingga seringkali RoI menjadi sulit untuk diprediksi. Return on
Investment (ROI) secara sederhana dapat dijelaskan sebagai perbandingan antara besaran
keuntungan yang diperoleh dengan besaran biaya investasi yang dikeluarkan. RoI biasa
digunakan sebagai evaluasi investasi dan perbandingan efisiensi dari beberapa alternatif
Investasi. Tentu sebagai evaluasi dan perbandingan, maka RoI yang digunakan dalam
keputusan bersifat prediksi. “Ekosistem” yang sehat dapat meningkatkan tingkat
prediktibilitas dari RoI, dimana kepastian arah kebijakan, stabilitas politik dalam negeri,
13.6
11.1
9.2 8.8 8.6
6.5 6.4 5.8 5.2 4.7 4.3 4 4 3.32.5 1.8
0
2
4
6
8
10
12
14
16
MOST PROBLEMATIC FACTORS FOR DOING BUSINESS IN INDONESIA
E X E C U T I V E O P I N I O N S U R V E Y 2 0 1 7 B Y W O R L D E C O N O M I C F O R U M
keamanan dan juga kepastian penegakan hukum dalam suatu negara menjadi faktor
pendukung untuk terbentuknya ekosistem yang sehat ini. Namun, korupsi dapat menjadi
polusi bagi ekosistem yang sehat ini. Sehingga seringkali negara dengan tingkat korupsi yang
tinggi, RoI menjadi suatu hal yang sangat sulit untuk diprediksi. Semakin sulit untuk
memprediksi RoI, maka kecil kemungkinan investor mau melakukan investasi disebuah
negara. Maka, sudah barang tentu pemberantasan korupsi harus menjadi prioritas utama.
Berangkat dari hasil survey diatas ataupun konteks ekosistem yang dapat
mempengaruhi keputusan investor dalam berinvestasi, maka sudah selayaknya
pemberantasan korupsi menjadi salah satu fokus utama pemerintah jika memang ingin
membentuk suatu iklim investasi yang baik dan pada akhirnya akan bermuara pada daya
saing investasi yang akan semakin baik. Namun, jika melihat beberapa waktu kebelakang,
nampaknya pemberantasan korupsi bukanlah hal yang dianggap penting oleh pemerintah.
Pelemahan KPK melalui revisi Undang – undang KPK dan beberapa kebijakan yang diambil
oleh pemerintah yang oleh para ahli justru dianggap sebagai kemunduran dalam
pemberantasan korupsi. Nampaknya peningkatan pemberantasan korupsi bukan “cost” yang
dipilih oleh pemerintah untuk dapat meningkatkan investasi di Indonesia.
Inefisiensi birokrasi menjadi faktor kedua penghambat kegiatan bisnis dan investasi di
Indonesia. Alur yang berbelit, tumpah tindih aturan dan sederat aturan lainya dianggap
sebagai penghambat Investasi di Indonesia. Hal ini tercermin dalam Index inefisiensi
birokarsi dalam
Grafik 5 : Index infisiensi Birokrasi : Negara anggota ASEAN. (Sumber :World Economic Forum)
Kurva diatas menunjukan index inefficient birokrasi dari negara – negara ASEAN.
Rentang yang digunakan adalah 0 sampai dengan 30, dimana semakin besar maka birokrasi
suatu pemerintahan semakin tidak efisien. Adapun efisiensi birokrasi pemerintahan merujuk
pada sejauh mana pemerintah dapat melaksanakan program – program pembangunan secara
efisien. Efisien birokrasi pemerintahah juga mengacu pada bagaimana dan seberapa cepat
investor mendapatkan lisensi dan juga hal – hal lain yang berkaitan dengan persyaratan
birokrasi lainya.
Dalam kurun waktu 2008 hingga 2017, terjadi peningkatan efisiensi pada birokrasi
pemerintah Indonesia. Dalam kurun waktu tersebut, terjadi perbaikan dari segi efisiensi
Pemerintah52. Memang, jika dibandingkan dengan negara anggota ASEAN lainya,
peningkatan efisiensi ini belum mampu meningkatkan daya saing secara signifikan.
Mantan Mentri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) kabinet
Indonesia Maju, Asnan Abnur menjelaskan setidaknya terdapat 6 penyakit birokrasi di
52 World Bank Group. 2020. World Development Indicators Diakses melalui http://datatopics.worldbank.org/world-development-indicators pada 3 Maret 2020
0
5
10
15
20
25
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
Index inefisiensi Birokrasi
Filipina Brunei Darusalam Thailand Indonesia
Malaysia Kamboja Laos Vietnam
Singapura Myanmar
Indonesia53. Permasalahan pertama adalah kebanyakan pemerintah daerah memiliki porsi
belanja operasional kebutuhan internal lebih besar dari pada kebutuhan publik. Hal ini
mengakibatkan pelayanan publik yang diberikan menjadi kurang optimal. Permasalahan
kedua adalah maraknya pejabat daerah yang terkena operasi tangkap tangan (OTT) KPK,
permasalahan terkait dengan inefisiensi dan infektivitas pembangunan, permasalahan terkait
dengan kualitas ASN yang dianggap belum mampu membantu kinerja pemerintah secara
optimal, lalu masalah terkait dengan ukuran organisasi dari pemerintah pusat dan pemerintah
daerah.
Dari keenam penyakit ini, birokrasi Indonesia menjadi begitu berbelit – berbelit.
Belum lagi masalah tumpang tindih aturan, baik itu aturan pusat dengan aturan daerah
ataupaun aturan setingkat yang mengatur bidang – bidang yang berbeda. Untuk mengatasi
masalah ini, Pemerintah mengajukan Omnibus Law sebagai “obat” untuk menjadikan
birokrasi Indonesia menjadi lebih efisien dan lebih “nendang”.
Namun, alih – alih mengajukan rancangan undang – undang yang dapat menjadi
payung hukum bagi kebijakan yang dapat memotong “penyakit – penyakit” ini guna
mendorong efisiensi birokrasi baik ditingkat pusat maupun daerah, Omnibus law justru
diajukan untuk mengembalikan sentralisasi kebijakan di pemerintahan pusat.
Dalam Pasal 170 RUU Omnibus Law disebutkan bahwa (1) Dalam rangka percepatan
pelaksanaan kebijakan strategis cipta kerja sebagaimana di maksud dalam Pasal 4 ayat (1),
berdasarkan Undang-Undang ini Pemerintah Pusat berwenang mengubah ketentuan dalam
Undang-Undang ini dan/atau mengubah ketentuan dalam Undang-Undang yang tidak diubah
dalam Undang-Undang ini. (2) Perubahan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah. (3) Dalam rangka penetapan Peraturan Pemerintah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah Pusat dapat berkonsultasi dengan pimpinan
Dewan Perwakilan rakyat Republik Indonesia.
Jika aturan ini sampai disahkan, dalam analisis kami justru akan menimbulkan
masalah baru dalam berbagai dimensi dan berbagai sektor. Dalam hal tumpang tindih rencana
pembangunan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Dalam konteks
pembangunan, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah memang mengacu pada
53 Kumparan. 2018. Menteri PAN-RB: Ada 6 Penyakit Birokrasi di Indonesia (2018). Diakses melalui https://kumparan.com/langkanid/menteri-pan-rb-ada-6-penyakit-birokrasi-di-indonesia pada 3 Maret 2020
Rencana Pembangunan Nasional, baik itu Rencana pembangunan Nasional Jangka Panjang
Nasional (RPJPN), maupun Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menenangah Nasional
(RPJMN). Namun yang harus diingat adalah acuan – acuan yang disediakan dalam Rencana
pembangunan ini adalah acuan – acuan yang bersifat umum, dimana tehnis kebijakan –
kebijakan yang disusun harus menyesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi aktual, baik itu
pada tataran pemerintahan pusat maupun pada tataran Pemerintah Daerah. Maka,
kemungkinan ketidaksinkronan kebijkan dalam tataran tehnis antara pemerintahan pusat
antara pemerintahan daerah sangat mungkin terjadi.
Dari segi perampingan birokrasi dan juga perampingan aturan yang merupakan salah
satu fokus dari RUU Omnibus Law, namun alih – alih dapat melakukan perampingan
tersebut, dalam analisis kami RUU Omnibus Law justru dapat menyebabkan komplesitas
yang lebih rumit dan suatu keadaan yang disebut sebagai hyper – regulated. Hal ini tercermin
RUU Omnibus Law cipta kerja yang mensyaratkan kisaran 465 aturan turunan54.
Alih – alih memilih untuk meningkatkan pemberantasan korupsi dan meningkatkan efisiensi
birokrasi sesuai dengan semangat desentralisasi melalui omnibus law, nampaknya pemerintah
lebih memilih buruh sebagai cost dari peningkatan Investasi ini. Narasi – narasi bahwa buruh
adalah “momok” utama dari investasi digaungkan oleh para elit, yang mana narasi – narasi
ini bermuara pada RUU Omnibus Law Cipta kerja yang benar – benar mereduksi hak – hak
buruh dan “menumbalkan” buruh.
Omnibus Law Cipta Kerja dan Ketenagakerjaan
Perluasan pembukaan lapangan pekerjaan akibat dari peningkatan investasi
merupakan salah satu alasan utama dan logika utama yang coba dibangun oleh pemerintah
untuk meloloskan RUU Omnibus Law ini. Memang, perluasan Investasi – terutama direct
investment – berkorelasi positif dengan pembukaan lapangan pekerjaan, terutama investasi
yang bersifat langsung, baik itu pada sektor manufaktur, jasa, agrikultur dan berbagai sektor
lainya. Hal inilah yang menjadi peluru bagi pemerintah untuk membangun kesadaran kolektif
bahwa RUU Omnibus Law memang diperlukan untuk pertumbuhan ekonomi dan juga
perluasaan pembukaan lapangan pekerjaan. Namun, melihat lebih jauh, semangat
54 Dilihat dari berbagai pasal dalam RUU Omnibus Law yang memandatkan untuk membentuk aturan turunan
perlindungan dan peningkatan kesehjatraan buruh nampaknya bukan menjadi semangat
utama dari RUU Omnibus Law.
Ketenagakerjaan di Indonesia
Dalam UU No 13 Tahun 2013 Bab 1 Pasal 1 ayat (1), Ketenagakerjaan adalah segala
hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa
kerja dan yang dimaksud dengan tenaga kerja berdasarkan Pasal 1 ayat (4) adalah Tenaga
kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang
dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Berangkat
dari Pasal tersebut, ketika kita membicarakan masalah terkait tenaga kerja, seharusnya kita
tidak hanya berfokus pada pembukaan lapangan pekerjaan. Tapi juga harus memperhatikan
bagaimana hak – hak pekerja tersebut selama bekerja, melihat bagaimana instrumen –
instrumen yang digunakan untuk memperluas lapangan pekerjaan dan juga hingga melihat
bagaimana kondisi pekerja tersebut setelah usai bekerja dari tempat ia bekerja.
Melihat kondisi tenaga kerja tentu harus melihat seberapa besar partisipasi dan akses
mereka terhadap lini – lini pekerjaan, yang secara makro dapat tergambar dari tingkat
persentase pengangguran. Kedua variabel ini memiliki korelasi negatif, yaitu ketika tingkat
pengangguran semakin rendah, maka tingkat partisipasi tenaga kerja terhadap sektor – sektor
pekerjaan semakin tinggi. Maka, perluasan tenaga kerja dapat dilihaat dari salah satunya
adalah bagaimana pemerintah mampu menurunkan tingkat pengangguran.
Grafik 1: Jumlah dan tingkat Pengangguran Indonesia tahun 1998 - 2019, Sumber : katada.co.id
Dari gambar diatas, terlihat bahwa telah terjadi perbaikan akses dan partisipasi tenaga
kerja terhadap lini – lini pekerjaan. Hal ini ditandai persentase pengangguran yang selalu
menurun tiap tahunya. Bahkan, per februari 2019 merupakan tingkat pengangguran terendah
sejak tahun 1998. Memang secara jumlah, jumlah pengangguran per 31 desember 2001 masih
lebih rendah dari pada jumlah pengangguran per februari 2019. Namun hal yang harus
diperhatikan lebih lanjut adalah bahwasanya penurunan persentase penganguran ini dibarengi
dengan kenaikan tingkat angkatan kerja setiap tahunya.
Dilihat dari jenis lapangan pekerjaan, Struktur penduduk bekerja menurut lapangan
pekerjaan pada Februari 2019 masih didominasi oleh tiga lapangan pekerjaan utama, yaitu:
Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan sebesar 29,46 persen; Perdagangan sebesar 18,92
persen; dan Industri Pengolahan sebesar 14,09 persen. Berdasarkan tren lapangan pekerjaan
selama Februari 2018–Februari 2019, lapangan usaha yang mengalami peningkatan
persentase penduduk yang bekerja terutama pada Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum
(0,43 persen poin), Perdagangan (0,39 persen poin), dan Konstruksi (0,34 persen poin).
Sementara lapangan pekerjaan yang mengalami penurunan utamanya pada Pertanian (1,00
persen poin); Administrasi Pemerintahan (0,23 persen poin); serta Informasi dan Komunikasi
(0,06 persen poin).55
Omnibus law dan Penciptaan Lapangan Pekerjaan
Secara subtansial, Omnibus law merupakan instrumen hukum yang diajukan oleh
pemerintah dengan tujuaan untuk menggenjot Investasi di Indonesia. Omnibus ini akan
merubah semua undang – undang tematik yang dianggap mampu menghalangi Investasi di
Indonesia. Aturan didalamnya terdiri dari sebelas klaster yang salah satunya adalah fokus
terkait dengan tenaga kerja dan pembukaan lapangan pekerjaan.
Tidak bisa dipungkuri, investasi memang memiliki peran penting bagi per ekonomian
Indonesia. Dan jelas, tujuan kajian ini disusun adalah bukan untuk menegasikan peran
investasi terhadap per ekonomian Indonesia. Investasi memiliki peran yang besar bagi
perekonomian Indonesia, yang salah satunya tercermin dari porsi investasi terhadap produk
domestik bruto (PDB). Investasi juga tentunya akan mampu menyerap tenaga kerja, orang –
perorang dan tentunya akan membuka lapangan pekerjaan baru. Juga terhadap efek multiplier
yang akan dibawa oleh kegiatan investasi tersebut. Namun, poin masalah utama dalam
Omnibus Law ini adalah “trade off” yang dipilih pemerintah untuk meningkatkan kinerja
investasi.
Narasi yang terus dibangun oleh pemerintah adalah bahwa begitu buruknya Kinerja
investasi Indonesia. Seperti yang sudah dijelaskan diatas, bahwasanya Investasi Indonesia
justru masuk kedalam top 20 penerima Foreign direct investment (FDI)56, juga porsi investasi
terhadap PDB dibandingkan dengan negara – negara ASEAN juga merupakan salah satu
yang paling tinggi. Pemerintah benar – benar berusaha keras untuk membangun kesadaran
kolektif bahwasanya investasi harus terus menerus digenjot, tidak peduli apapun “cost” yang
harus dikeluarkan untuk penggenjotan ini.
55 Midayanti, Nurma. Keadaan Ketenagakerjaan Indonesia Februari 2019. Berita Resmi Statistik No. 41/05/Th. XXII, 56 United Nations. 2019. World Investment Report 2019. New York: United Nations Publications
Untuk melanggengkan “nafsu” pemerintah ini, sekali lagi demi membangun
kesadaran kolektif tentang butuhnya investasi, dilempar wacana bahwasanya dengan
disahkanya “Kado” ini, akan terbuka lapangan pekerjaan yang semakin luas, penurunan
pengangguran, hingga pertumbuhan ekonomi yang akan meroket. Namun, pada kenyataanya,
dalam Omnibus Law banyak sekali aturan – aturan yang justru mereduksi hak buruh dan
sama sekali tidak memperhatikan kesehjatraan buruh. Mungkin, memang buruh yang
dijadikan “trade off” oleh pemerintah untuk meningkatkan investasi.
Menumbalkan Buruh
Seperti yang sudah dibahas pada segmen investasi, dua pokok permasalahan utama
yang menghambat investasi Indonesia menurut survey yang dilakukan pada World Economic
Forum 2017 adalah terkait dengan permasalahan Korupsi dan birokrasi57. Sedangkan faktor
terkait dengan tenaga kerja yang menjadi penghambat berdasarkan survey tersebut adalah
etos kerja (faktor penghambat ke 8), kurangnya tenaga kerja terampil (faktor penghambat ke
11) dan terkait dengan terbatasnya peraturan tenaga kerja (faktor penghambat ke 13). Namun,
alih – alih memfokuskan untuk mengatasi faktor – fakto penghambat diatasnya, pemerintah
lewat Omnibus Law justru memilih “menumbalkan” hak – hak tenaga kerja.
Outsourcing dan Kontrak Kerja
“Perluasan dan pelegalan” sistem outsourcing merupakan salah satu permasalahan
utama dalam RUU Cipta Kerja. Outsourcing atau alih daya secara sederhana dapat disebut
sebagai suatu sistem mengenai penyediaan tenaga kerja oleh pihak ketiga diluar perusahaan.
pekerja – pekerja outsourcing secara legal bukan merupakan bagian dari Perusahaan tempat
dia bekerja, tapi merupakan bagian dari pihak penyedia Outsourcing tersebut.
Meningkatnya fleksibilitas hubungan antara buruh sebagai tenaga kerja dan pemberi
kerja, lalu terkait dengan pemotongan gaji karyawan sebagai “insentif” kepada penyedian
layanan outsourcing adalah beberapa dampak yang akan muncul dari sistem outsourcing.
Untuk alasan kedua, sudah sangat jelas kenapa buruh menolak sistem ini. Gaji hasil
keringatnya dipotong sekian persen oleh pihak outsourcing, bahkan terdapat kondisi dimana
57 Browne, C., A. Di Batista, T. Geiger, and S. Verin. 2016. “The Executive Opinion Survey: The Voice of the Business Community.” The Global Competitiveness Report 2016–2017. Geneva: World Economic Forum.
pihak outsourcing tidak transparan terkait dengan pemotongan tersebut. Selain pemotongan
gaji, peningkatan fleksibelat kerja ini yang mana akan sejalan dengan semakin mudahnya
pemutusan hubungan kerja. Berdasarkan alasan ini dan beberapa dampak lain yang sangat
potensial muncul akibat diterapkanya outsourcing, sudah sangat jelas buruh menolak sistem
ini.
Terkait dengan outsourcing, yang menjadi pokok permasalahan dalam RUU Cipta
Kerja adalah alih – alih menghapuskan sistem outsourcing, namun dalam RUU Cipta Kerja
justru terdapat aturan yang melegalkan perluasan bidang – bidang pekerjaan yang dapat
menggunakan sistem ini. Outsourcing yang semula hanya untuk 5 jenis pekerjaan penunjang,
seperti keamanan, catering, transportasi, kebersihan dan pertambangan, namun Pasal yang
membatasi jenis pekerjaan ini justru dihapuskan dalam RUU Cipta Kerja. Adapun pasasl
yang dimaksud adalah pasal 66 UU Nomor 13 tahun 2013 yang berbunyi Pekerja/buruh dari
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk
melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses
produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan
langsung dengan proses produksi." Dengan dihilangkannya ketentuan ini, maka outsourcing
bisa dilakukan bebas di semua jenis pekerjaan.
Selain perluasan sistem outsourcing, masalah kontrak kerja juga akan menjadi
masalah lanjutan apabila RUU Cipta Kerja disahkan. Hal ini diindikasikan dari RUU Cipta
Kerja yang menghapuskan Pasal 59 dalam UU Nomor 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. Pasal 59 ayat 1 berbunyi "Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat
dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan
selesai dalam waktu tertentu...." Ayat 4 menegaskan "Perjanjian kerja waktu tertentu yang
didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan
hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun."
Dengan dihapuskanya pasal tersebut, maka perusahaan tidak memiliki kewajiban untuk
mengangkat seorang pegawai yang telah bekerja sampai dengan batas waktu tertentu yang
mana dalam UU nomer 13 tahun 2003 ditegaksan bahwa Pekerja Kontrak paling lama adalah
2 tahun dengan waktu perpanjangan maksimal 1 tahun. Lantas apa yang menjadi masalah ?
ketika buruh masih menjadi pegawai kontrak, bergain positioning buruh akan menjadi sangat
lemah dan rentah akan eksploitasi oleh para pemberi kerja. Misal, saat sekumpulan pegawai
kontrak memutuskan untuk menuntut hak nya, maka dengan mudahnya Pemberi kerja untuk
memutuskan kontrak buruh tersebut atau dengan cara tidak memperpanjang kontrak buruh
tersebut. Namun, apabila ketika seorang buruh menjadi pegawai tetap, buruh – buruh ini
memiliki positioning untuk menuntut hak – hak nya.
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan Pesangon
Terkait dengan pemutusan hubungan kerja (PHK), dalam Pasal 156 UU 13/2003
diatur bahwa pengusaha wajib membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa
kerja dan uang penggantian hak jika terjadi PHK, Sementara dalam RUU Cipta kerja, uang
penggantian hak dihapus. Bunyi pasal itu berubah jadi, "dalam hal terjadi pemutusan
hubungan kerja, pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa
kerja."
Uang penggantian hak yang dihapus tersebut meliputi cuti tahunan yang belum
diambil dan belum gugur, biaya atau ongkos pulang pekerja dan keluarganya ke tempat
mereka diterima bekerja, penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan, dan hal-
hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja atau perjanjian bersama.
Yang Harus Sejahtera Bukan Hanya Investor, tapi Buruh Juga
Peraturan terkait dengan upah tertulis pada pasal 88 ayat (1) UU Ketenagakerjaan,
yang mana prinsip/konsep pengupahan diarahkan untuk melindungi buruh/pekerja demi
kehidupan yang layak bagi kemanusiaan. Sementara konsep pengupahan dalam RUU Cipta
Kerja didasarkan pada kesepakatan atau peraturan perundang-undangan baik upah minimum
provinsi/kabupaten/kota yang ditetapkan oleh gubernur ataupun kebijakan pengupahan
nasional yang ditetapkan pemerintah pusat melalui peraturan pemerintah (PP).
Namun, alih – alih memastikan buruh mendapatkan kehidupan yang layak,
Pemerintah melalui Omnibus Law justru mendasarkan sistem penggajian melalui Upah
Minimum Provinsi yang mana kurang relevan dan tidak sesuai dengan kebutuhan kehidupan
layak untuk tiap – tiap regional dalam Wilayah Propinsi tersebut. Sebagaimana diatur dalam
pasal 88C draft RUU yang berbunyi, "Gubernur menetapkan UMP yang wajib dibayar
pengusaha kepada pekerja". Konsekuensi dari pasal ini adalah penghapusan UMK dan
penghapusan upah minimum sektoral. Dengan kata lain, aturan ini memungkinkan skema
pengupahan dengan meniadakan upah minimum kabupaten/kota (UMK), upah minimum
sektoral kabupaten/kota (UMSK), dan menjadikan UMP sebagai satu-satunya acuan besaran
nilai gaji.
Berangkat dari UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pasal 88 ayat (1)
yang berbunyi “Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”, lalu pasal 88 ayat (2) yang berbunyi “Untuk
mewujudkan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemerintah menetapkan kebijakan pengupahan yang
melindungi pekerja/buruh” serta pasal 89 ayat (2) yang berbunyi “Upah minimum
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diarahkan kepada pencapaian kebutuhan hidup
layak”, dapat ditarik kesimpulan bahwa upah yang merupakan hak pekerja disesuaikan untuk
dengan kebutuhan hidup layak yang kemudian diatur dalam kebijakan pemerintah dalam
bentuk upah minimum yang kemudian diatur dalam Pasal 89 ayat (1) dimana upah minimum
dapat berupa upah minimum provinsi atau juga dapat berupa upah minimum sektoral provinsi
atau kabupaten. Maka, sudah jelas bahwasanya Upah Minimum Regional (UMR) yang
beragam mencerminkan besaran kebutuhan hidup layak (KHL) dari setiap daerahnya.
Perbedaan Upah Minimum Regional seperti yang sudah disebutkan diatas merupakan salah
satu indikator bahwasanya begitu beragamnya tingkat kebutuhan hidup layak tiap daerahnya.
Jika semangat pengaturan upah minimum untuk memastikan bahwa upah yang diperoleh oleh
buruh dapat memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL) maka benar – benar tidak relevan
ketika Omnibus Law memusatkan pemutusan besaran upah minimum pada tingkat gubernur,
yang mana akan tercermin dalam Upah minimum Provinsi. Ditambah lagi fakta bahwasanya
Upah minimum Provinsi dibeberapa provinsi bahkan lebih kecil dari pada Upah Minimum
Regional (UMR) kabupaten/kota di provinsi tersebut.
Grafik 2 : Perbandingan UMP dan UMR terendah di Provinsi bersangkutan pada Provinsi di Pulau
Jawa
Grafik diatas menunjukan beseran Upah Minimum Provinsi (UMP) dengan Upah
minimum Kabupaten/Kota (UMK) terendah untuk tiap – tiap provinsi dengan perbandingan
antara UMP dan UMK provinsi di Jawa.
Dari grafik tersebut, terlihat bahwa dari 6 provinsi, kecuali DKI Jakarta, hanya Upah
minimum Provinsi Jawa Timur yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan Upah Minimum
Kabupaten terendah diprovinsi tersebut, yaitu Kabaputen Banjarnegara. Jelas jika peraturan
ini sampai disahkan, akan banyak sekali menimbulkan masalah bagi para Buruh. Jika
dibandingkan dengan daerah – daerah yang memiliki tingkat UMR terendah saja masih lebih
tinggi UMR, maka penetapan UMP sebagai acuan upah buruh akan sangat – sangat
menyengsarakan para buruh.
Fakta bahwa UMP kebanyakan lebih rendah dari pada UMR dan Omnibus Law secara
lebih lanjut mengatur bahwa UMP menjadi acuan minimum untuk upah yang dibayarkan oleh
pemberi kerja menjadi indikasi kuat bahwasanya pembuatan aturan ini sama sekali tidak
memperhatikan kesehjatraan buruh, minimal dapat memastikan upah yang didapatkan oleh
buruh dapat memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL) dari buruh tersebut.
Selain itu, RUU Cipta Kerja menghapus ketentuan larangan pengusaha membayar upah lebih
rendah atau di bawah upah minimum dan mekanisme penangguhan pembayaran upah
4276349
1748000
1705000
2710654
1913312
1831884
4276349
1742015
1704607
2460968
1768777
1810350
DKI Jakarta
Kab Banjarnegara
Kab Gunungkidul
Kab Lebak
Kab Situbondo
Kota Banjar
Dal
am R
up
iah
Upah Minimum Kabupaten/Kota Upah Minimum Provinsi
minimum, termasuk menghapus sanksi denda dengan persentase tertentu dari upah pekerja,
jika pengusaha terlambat membayar upah karena sengaja atau lalai. RUU ini juga disinyalir
memangkas beberapa hak upah karena cuti pekerja/buruh ketika tidak masuk kerja dalam
kondisi tertentu yang dalam Pasal 93 ayat (2) UU Ketenagakerjaan upahnya tetap wajib
dibayar perusahaan. Namun, dalam Pasal 93 RUU Cipta Kerja, seperti pekerja yang sedang
haid, melahirkan, menikah, menjalankan perintah agama, dan lainnya seolah tidak lagi
dibayar upahnya.
Lebih dalam lagi, dari sisi sosiologis terdapat dua kepentingan yang sangat berbeda
antara pemberi kerja dengan pekerja dalam hal upah. Bagi pemberi kerja, upah diusahakan
serendah mungkin guna menurunkan ongkos produksi. Namun bagi para pekerja, upah
merupakan sumber pendapatan dan penghidupan, sehingga sudah seharusnya setiap pekerja
untuk mendapatkan upah yang seminimal – minimalnya mampu memenuhi kebutuhan yang
mana pemerintah dapat melakukan intervensi melalui mekanisme upah minimum dan aturan
terkait untuk tidak memberikan upah dibawah upah minimum. Namun, nampaknya terkait
dengan kesehjatraan dan kepastian hidup layak para tidak menjadi pertimbangan dalam RUU
Omnibus Law Cipta Kerja. Setidaknya hal ini dapat dilihat dari dua hal, pertama terkait
dengan penetapan gaji minimum oleh gubernur yang mana seperti sudah dijelaskan diatas
dapat dikatakan tidak relevan dan terkait dengan penghapusan peraturan yang mengharuskan
pemberi kerja untuk memberikan upah diatas upah minimum.
Penghapusan Prinsip Nirlaba Perguruan Tinggi
Salah satu hal yang menjadi catatan kritis terhadap RUU Cipta Kerja dalam tajuk
omnibus law adalah hilangnya prinsip nirlaba di perguruan tinggi. Hal ini dapat dilihat dari
segmen pendidikan dan kebudayaan yang berada di pasal 67. Pasal ini mengubah ketentuan
dalam pasal 63 UU Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang semula berbunyi
“otonomi pengelolaan Perguruan Tinggi dilaksanakan berdasarkan prinsip:
a. Akuntabilitas
b. Transparansi
c. Nirlaba
d. Penjaminan mutu, dan
e. Efektivitas dan efisiensi”
Sementara dalam Draft RUU Cipta Kerja yang disebar oleh pemerintah, pasal ini berubah
dengan sebagai berikut
“otonomi pengelolaan Perguruan Tinggi dilaksanakan berdasarkan prinsip:
a. Akuntabilitas
b. Transparansi
c. Penjaminan mutu, dan
d. Efektivitas dan efisiensi”
Dalam hal ini, UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi telah memberikan
definisi otentik terhadap prinsip nirlaba yang merupakan prinsip kegiatan yang tujuannya
tidak untuk mencari laba, sehingga seluruh sisa hasil usaha dari kegiatan harus ditanamkan
kembali ke Perguran Tinggi untuk meningkatkan kapasitas dan/atau mutu layanan
pendidikan.
Dalam hal ini, Perguran Tinggi sebagai organisasi nirlaba, tentu berbeda dengan
organisasi laba yang memiliki tujuan yang hendak dicapai berupa keuntungan yang
maksimal. Sementara organisasi nirlaba, wujud tercapainya tujuan bukan diukur dari masala
finansial, tetapi lebih pada manfaat yang diperoleh bagi komunitas yang membutuhkan
organisasi nirlaba tersebut.58
Menurut Bambang Suryono, organisasi nirlaba memiliki karakteristik yaitu (1) tidak
adanya pengukuran laba, dalam hal ini yang membedakan antara organisasi laba dan
organisasi nirlaba merupakan orientasi pencarian keuntungan; (2) tidak selalu bergantung
pada kekuatan pasar, dalam hal ini organisasi laba harus bertindak dalam batas penawaran
dan permintaan yang diciptakan pasar, semakin banyaknya klien yang menyukai produknya
maka semakin besar keuntungannya. Sementara organisasi nirlaba tidak bergantung pada
permintaan pasar, maka dalam hal ini tidak ada hubungan antara banyaknya klien dengan
suksesnya organisasi; (3) ketiadaan komparatif pertanggung jawaban, dalam hal ini
organisasi laba selalu mempertimbangkan setiap usul para pemilik atau krediturnya, hal ini
didasarkan agar setiap tindakan yang dilakukan organisasi sesuai dengan kepentingan para
pemiliknya. Berbeda dengan organisasi nirlaba yang dalam hal ini mementingkan manfaat
58 Bambang Suryono. 1999. Organisasi Nirlaba: Karakteristik dan Pelaporan Keuangan Organisasi. Jurnal Ekuitas Vol. 3, NO. 2, Juni 1999., hlm. 78
kepada masyarakat, maka pertanggungjawabannya tidak melulu harus sesuai dengan
kepentingan keuntungan yang diperolehnya.59
Dalam konteks penghapusan prinsip nirlaba dalam UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang
Pendidikan Tinggi semakin menunjukan bahwa pendidikan di Indonesia semakin terjerat
sistem kapitalisme. Hal ini semakin membuat pendidikan tinggi menjadi wahana
komersialisasi yang malah mendekati ciri organisasi laba dimana dengan semakin mudahnya
investor masuk lewat sektor pendidikan tinggi, semakin memperlihatkan bahwa terjadi
komparatif pertanggungjawaban antara penyelenggara pendidikan tinggi dengan para calon
investor.
Bukan suatu hal yang aneh bilamana kita menelisik bahwa Indonesia sebagai negara yang
menandatangani perjanjian WTO menjadikan sektor pendidikan sebagai suatu hal yang dapat
diprivatisasi dan diliberalisasi. Hal ini tentu mengingatkan kita pada polemik Perguruan
Tinggi Negeri Badan Hukum yang masih menjadi sorotan terhadap celah privatisasi dan
liberalisasi pendidikan tinggi.
Praktik privatisasi dikatakan sebagai proses gradual untuk mentransformasikan metode
pengelolaan BUMN dan kekayaan publik lainnya agara dapat secara sehat berkompetisi
dengan pihak swasta. Mentranformasikan berarti menyerahkan pengelolaan BUMN yang
semula dipegang oleh negara kepada pihak perseorangan.60 Sementara proses liberalisasi
menunjuk pada penyelenggaraan pendidikan sudah merujuk pada sistem pasar bebas, artinya
pendidikan tidak dikatakan sebagai hak yang wajib dipenuhi oleh Pemerintah Negara namun
menjadi barang komoditas yang diperjual belikan. Hal ini sangat gamblang terlihat ketika
pemerintah mengeluarkan UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang kemudian
disusul oleh Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 76 dan 77 tahun 2007 yang
menyatakan bahwa pendidikan termasuk sektor yang terbuka bagi penanaman modal asing
maksimal sampai 49%.61 Masyarakat pun beramai-ramai mengajukan permohonan uji
materiil/Judicial Review UU No. 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan kepada
Mahkamah Konstitusi dikarenakan dianggap tidak sesuai dengan amanat UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Mahkamah Konstitusi pun mengabulkan permohonan
tersebut dan menyatakan bahwa UU tersebut batal demi hukum.
59 Ibid., 60 Darmaningtyas dkk.2014. Melawan Liberalisme Pendidikan. Malang: Madani., hlm. 37 61 Ibid.,
Pasca dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, Pemerintah membentuk UU No. 12 Tahun
2012 tentang Pendidikan Tinggi yang secara substansif tidak jauh berbeda dengan UU BHP.
Juga menyusul PP No. 58 Tahun 2013 tentang Bentuk dan Mekanisme Pendanaan Perguruan
Tinggi Badan Hukum. Hal ini menyiratkan bahwa PTNBHMN hanya ganti baju menjadi
PTN-BH, hal ini juga yang menyebabkan masih adanya PTN yang berlabel Badan Hukum
artinya dikatakan sebagai subjek hukum mandiri yang dapat melakukan perbuatan hukum
secara bertanggung jawab.
Hal ini memperlihatkan terkait dengan substansi daripada UU Nomor 12 Tahun 2012
tentang Pendidikan Tinggi masih meninggalkan polemik mengenai celah privatisasi dan
liberalisasi pendidikan tinggi. Bukannya membenahi permasalahan, pemerintah malah
semakin menunjukan keberpihakannya kepada investor dengan kembali mengubah substansi
UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi menjadi lebih parah, yaitu meniadakan
prinsip nirlaba para perguran tinggi dengan dalih meningkatkan tingkat perekonomian
negara.
Pendidikan memiliki tugas pokok tuntuk mempreservasi, mentransfer, dan
mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya. Tugas tersebut kemudian
dijadikan amanat sederhana yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945 untuk
‘mencerdaskan kehidupan bangsa’. Upaya untuk menjadikan pendidikan sebagai komoditas
yang diatur dan disesuaikan dengan kepentingan investor tentu semakin memperlihatkan gap
antara tujuan pendidikan dengan tindakan yang diperlihatkan pemerintah dalam mencapai
tujuan pendidikan itu sendiri.
Pentingnya AMDAL
Menurut Michael Allaby, lingkungan hidup sebagai “the phsycal, chemical and biotic
condition surrounding and organism” (lingkungan fisik, kimia, kondisi masyarakat
sekelilingnya dan organisme hidup). Dalam kamus hukum, lingkungan hidup diartikan
sebagai, “the totally of phsycal, economic, cultural, aesthetic and social cirscumstances and
factors wich surround and affect the desirability and value at poperty and which also effect
the quality of peoples lives” (Keseluruhan lingkungan fisik, ekonomi, budaya, kesenian dan
lingkugan sosial serta beberapa faktor di sekeliling yang memengaruhi niliai kepemilikan dan
kualitas kehidupan masyarakat).62 Salah satu instrument konkrit pengelolaan lingkungan
hidup adalah izin. Sebagai instrument pengelolaan sumber daya lingkungan hidup, izin
lingkungan mempunyai kedudukan penting. UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU-PPLH) izin lingkungan merupakan integrasi dari
berbagai izin yang sebelum terpisah.
Dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup (UU-PPLH) terdapat 2 (dua) jenis izin yakni; pertama, izin lingkungan adalah izin
yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib
amdal atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai
prasyarat untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan (Pasal 1 angka 35). Kedua, izin
usaha dan/atau kegiatan adalah izin yang diterbitkan oleh instansi teknis untuk melakukan
usaha dan/atau kegiatan (Pasal 1 angka 36). Izin merupakan alat pemerintah yang bersifat
yuridis preventif, dan digunakan sebagai instrument administrasi untuk mengendalikan
perilaku masyarakat. Karena itu, sifat suatu izin adalah preventif, karena dalam instrument
izin, tidak bisa dilepaskan dengan perintah dan kewajiban yang harus ditaati oleh pemegang
izin.63 Selain itu, fungsi izin adalah represif. Izin dapat berfungsi sebagai instrument untuk
menanggulangi masalah lingkungan disebabkan aktivitas manusia yang melekat dengan dasar
perizinan. Artinya, suatu usaha yang memperoleh izin atas pengelolaan lingkungan, dibebani
kewajiban untuk melakukan penanggulangan pencemaran atau perusakan lingkungan yang
timbul dari aktivitas usahanya.
Salah satu izin yang ada di Indonesia adalah, AMDAL. Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan (AMDAL) pertama kali diperkenalkan pada tahun oleh National Environmental
Policy Act di Amerika Serikat. Menurut UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup dan PP No. 27/1999 tentang Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan Hidup, AMDAL adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha
dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses
pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.
62 Hendri Campbell. 1991. Blach’s Law Dictionary. St. Paul Minn: West Publishing Co., hlm. 369. 63 Siahaan N.H.T. 2009. Hukum Lingkungan. Jakarta: Pancuran Alam., hlm. 239.
Bentuk hasil kajian AMDAL berupa dokumen AMDAL terdiri dari lima dokumen,
yaitu:64
1. Dokumen Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan Hidup (KAAMDAL). KA-
AMDAL adalah suatu dokumen yang berisi tentang ruang lingkup serta kedalaman
kajian AMDAL. Ruang lingkup kajian AMDAL meliputi penentuan dampak-dampak
penting yang akan dikaji secara lebih mendalam dalam AMDAL dan batas-batas studi
AMDAL, sedangkan kedalaman studi berkaitan dengan penentuan metodologi yang
akan digunakan untuk mengkaji dampak. Penentuan ruang lingkup dan kedalaman
kajian ini merupakan kesepakatan antara Pemrakarsa Kegiatan dan Komisi Penilai
AMDAL melalui proses yang disebut dengan proses pelingkupan.
2. Dokumen Analisis Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL). AMDAL adalah dokumen
yang berisi telaahan secara cermat terhadap dampak penting dari suatu rencana
kegiatan. Dampak-dampak penting yang telah diidentifikasi di dalam dokumen
KAAMDAL kemudian ditelaah secara lebih cermat dengan menggunakan metodologi
yang telah disepakati. Telaah ini bertujuan untuk menentukan besaran dampak.
Setelah besaran dampak diketahui, selanjutnya dilakukan penentuan sifat penting
dampak dengan cara membandingkan besaran dampak terhadap kriteria dampak
penting yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Tahap kajian selanjutnya adalah
evaluasi terhadap keterkaitan antara dampak yang satu dengan yang lainnya. Evaluasi
dampak ini bertujuan untuk menentukan dasardasar pengelolaan dampak yang akan
dilakukan untuk meminimalkan dampak negatif dan memaksimalkan dampak positif.
3. Dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL). Mengendalikan dan
menanggulangi dampak penting lingkungan hidup yang bersifat negatif serta
memaksimalkan dampak positif yang terjadi akibat rencana suatu kegiatan. Upaya-
upaya tersebut dirumuskan berdasarkan hasil arahan dasardasar pengelolaan dampak
yang dihasilkan dari kajian AMDAL.
4. Dokumen Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL). RPL adalah dokumen
yang memuat program-program pemantauan untuk melihat perubahan lingkungan
yang disebabkan oleh dampak-dampak yang berasal dari rencana kegiatan. Hasil
64 Siti Sundari Rangkuti. 2005. Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional. Surabaya: Airlangga University Press., hlm. 119
pemantauan ini digunakan untuk mengevaluasi efektifitas upaya-upaya pengelolaan
lingkungan yang telah dilakukan, ketaatan pemrakarsa terhadap peraturan lingkungan
hidup dan dapat digunakan untuk mengevaluasi akurasi prediksi dampak yang
digunakan dalam kajian AMDAL.
5. Dokumen Ringkasan Eksekutif Ringkasan Eksekutif adalah dokumen yang meringkas
secara singkat dan jelas hasil kajian AMDAL. Hal-hal yang perlu disampaikan dalam
ringkasan eksekutif biasanya adalah uraian secara singkat tentang besaran dampak
dan sifat penting dampak yang dikaji di dalam AMDAL dan upaya-upaya pengelolaan
dan pemantuan lingkungan hidup yang akan dilakukan untuk mengelola dampak-
dampak tersebut.
Melaui AMDAL, dampak-dampak penting yang diperkirakan akan timbul dapat
diidentifikasi, dievaluasi dan diupayakan langkah-langkah penangananya, sehingga AMDAL
dapat menjadi pedoman bagi pemrakanrsa dan instansi/ lembaga yang terlibat dan terkait
dengan rencana trersebut terutama dalam menentukan kebijaksanaan pengeloalaan
lingkungan hidup baik pada skala tapak proyek maupun skala regional. Jangka waktu
pemrosesan dokumen AMDAL menurut Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1993,
sanggup selambatlambatnya 45 hari. Dinyatakan “diberikan persetujuan” AMDAL artinya
“dianggap” disetujui dan pemrakanrsa dapat memulai kegiatan kegiatan mendirikan
istalasi/bangunan tanpa takut tentang dampak negatifnya terdapat lingkungan.
Amdal sebagai “Tumbal” Pemerintah?
Saat ini eksistensi dari AMDAL tengah dipertanyakan akibat munculnya RUU
Omnibus Law, khususnya Cipta Kerja yang menyatakan pemotongan birokrasi dalam
pembuatan izinnya. Pemotongan perizinan Amdal diklaim pemerintah bertujuan untuk
memangkas alur birokrasi yang dianggap rumit sehingga membuat investor enggan untuk
melakukan investasi di Indonesia. Namun, banyak aspek perizinan Amdal yang dipangkas
justru akan menimbulkan problematika baru.
Ketentuan tentang peran Amdal dan pengambilan keputusan tentang
penyelenggaraam sebuah usaha dan/atau kegiatan yang semula tercantum dalam Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
berencana diubah dalam RUU Omnibus Law Pasal 23. Salah satu pasal yang terdampak
adalah pasal (11) yang semula berbunyi;
“Analisis mengenai dampak lingkungan hidup, yang selanjutnya disebut Amdal, adalah
kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada
lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang
penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.”
Diubah pada RUU Cipta Kerja Pasal 23 ayat (11) yang berbunyi:
“Analisis mengenai dampak lingkungan hidup yang selanjutnya disebut Amdal adalah
Kajian mengenai dampak penting pada lingkungan hidup dari suatu usaha dan/atau kegiatan
yang direncanakan untuk digunakan sebagai pertimbangan pengambilan keputusan tentang
penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.”
Perubahan ini jelas mereduksi peran Amdal sebagai salah satu variabel pertimbangan
pemerintah dalam memberikan izin berusaha. Semula, Amdal berperan sebagai pengambil
keputusan tentang penyelenggaraan suatu kegiatan, kini Amdal hanya dipandang sebagai
pertimbangan pengambilan keputusan. Ini menunjukkan sikap pemerintah yang cenderung
mengesampingkan masalah lingkungan. Naasnya, sudah tertulis secara jelas bahwa
masyarakat mempunyai hak untuk mendapatkan lingkuhan hidup yang layak sebagaimana
tertuliskan dalam Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945.
Kriteria Amdal juga jadi salah satu poin yang berencana untuk diganti. Kriteria
tersebut semula dirumuskan dalam Pada pasal 23 ayat (1) UU PPLH yang berisi;
“(1) Kriteria usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting yang wajib dilengkapi
dengan Amdal terdiri atas:
1. pengubahan bentuk lahan dan bentang alam;
2. eksploitasi sumber daya alam, baik yang terbarukan maupun yang tidak terbarukan;
3. proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup serta pemborosan dan kemerosotan sumber daya alam
dalam pemanfaatannya; d. proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi
lingkungan alam, lingkungan buatan, serta lingkungan sosial dan budaya;
4. proses dan kegiatan yang hasilnya akan mempengaruhi pelestarian kawasan
konservasi sumber daya alam dan/atau perlindungan cagar budaya;
5. introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, hewan, dan jasad renik;
6. pembuatan dan penggunaan bahan hayati dan nonhayati;
7. kegiatan yang mempunyai risiko tinggi dan/atau mempengaruhi pertahanan negara;
dan/atau
8. penerapan teknologi yang diperkirakan mempunyai potensi besar untuk
mempengaruhi lingkungan hidup. “
Direduksi pada pasal 23 butir 3 RUU Cipker menjadi:
“(1) Kriteria usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan Amdal
merupakan proses dan kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup,
sosial, ekonomi, dan budaya.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria usaha dan/atau kegiatan yang
berdampak penting sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan
Pemerintah.”
Pemerintah menyingkat 11 kriteria Amdal hanya ke dalam 2 butir pasal. Yang menjadi
sorotan adalah bagaimana pemerintah hanya mengkategorikan kriteria usaha/kegiatan wajib
Amdal adalah yang memiliki dampak penting terhadap lingkungan hidup, sosial, ekonomi,
dan budaya Elaborasi mengenai kriteria usaha dan.atau kegiatan yang dianggap penting
kemudian akan dibahas dalam Peraturan Pemerintah. Hal ini ditakutkan akan menimbulkan
multi tafsir, serta dapat menjadi sarana bagi pemerintah dan perusahaan-perusahaan yang
terkait untuk mendapat izin dengan mudah karena konteks kemudahan berusaha yang ingin
dibangun pemerintah. karena selain konteks Amdal yang dikebiri penggunaannya sebatas
pertimbangan, pembentukan PP merupakan lanjutan dari UU yang tidak melibatkan
mekanisme kontrol dari publik
Upaya Degradasi Partisipasi Masyarakat dalam Proses Penyusunan Amdal
Dampak lingkungan akan dirasakan oleh semua komponen, baik biotik maupun
abiotik, baik secara langsung atau tidak langsung. Masyarakat sebagai salah satu komponen
akan terdampak dari apa-apa saja yang terjadi dalam lingkungan sudah sepatutnya dilibatkan
dalam proses penyusunan Amdal. Namun, dalam RUU Cipta kerja, terlihat bahwa ada
pengurangan ruang gerak partisipasi dalam penyusunan Amdal. Hal ini ditandai dengan
adanya perubahan dalam Pasal 26 ayat (1) dan (2) UU PPLH yang berbunyi:
“(1) Dokumen amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 disusun oleh pemrakarsa
dengan melibatkan masyarakat.”
“(2) Pelibatan masyarakat harus dilakukan berdasarkan prinsip pemberian informasi yang
transparan dan lengkap serta diberitahukan sebelum kegiatan dilaksanakan.”
Kemudian diubah dalam RUU Cipker Pasal 26 ayat (1) dan (2) yang berbunyi:
“(1) Dokumen Amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 disusun oleh pemrakarsa.”
“(2) Penyusunan dokumen Amdal dilakukan dengan melibatkan masyarakat yang terkena
dampak langsung terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan.”
Pelibatan masyarakat dalam penyusunan Amdal ditiadakan. Asas transparansi yang
semula wajib diterapkan pada setiap dokumen Amdal juga dihilangkan. Ini memperbesar
kemungkinan korporat-korporat licik untuk mencurangi proses penyusunan Amdal.
Sentralisasi Pengurusan Amdal
Pada RUU Cipta kerja, Pasal 24 ayat (1) sampai (4), diatur bahwa:
“(1) Dokumen Amdal merupakan dasar uji kelayakan lingkungan hidup.
(2) Uji Kelayakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah
Pusat.
(3) Pemerintah Pusat dalam melakukan Uji Kelayakan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dapat menunjuk lembaga dan/atau ahli bersertifikat. “
Sebelumnya, pengurusan dokumen Amdal telah diatur pada asal 29 ayat (1) UU PPLH yang
berbunyi:
“(1) Dokumen amdal dinilai oleh Komisi Penilai Amdal yang dibentuk oleh Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.”
Ada beberapa poin yang mengkhawatirkan di sini, yaitu; 1) Pengurusan uji kelayakan
didelegasikan pada pemerintah pusat. Padahal, masalah lingkungan hidup adalah sangat site
specific. Tidak memungkinkan bagi pemerintah pusat untuk dapat mengkaji secara dalam dan
komprehensif mengenai masalah lingkungan suatu daerah dengan kondisi geografis
Indonesia; 2) Lembaga ahli yang dapat ditunjuk oleh pemerintah tidak memiliki kejelasan
kriteria dan spesifikasi. Hal ini berpotensi untuk menghasilkan kajian yang tidak
komprehensif, salah sasaran, dan berbahaya bagi lingkungan untuk kedepannya.
Selain itu, upaya sentralisasi juga terdapat pada tahap pengawasan Amdal. Semula,
pengawasan Amdal diatur pada Pasal 71 UU PPLH, yang berbunyi:
“(1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib
melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
atas ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan di bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
(2) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota dapat mendelegasikan kewenangannya
dalam melakukan pengawasan kepada pejabat/instansi teknis yang bertanggung jawab di
bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
(3) Dalam melaksanakan pengawasan, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota
menetapkan pejabat pengawas lingkungan hidup yang merupakan pejabat fungsional.”
RUU Cipker mengubah ketentuan pihak-pihak yang berwenang untuk melakukan
pengawasan Amdal, yang diubah menjadi:
“(1) Pemerintah Pusat melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab
usaha dan/atau kegiatan atas ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-
undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
(2) Pemerintah Pusat dapat mendelegasikan kewenangannya dalam melakukan
pengawasan kepada pejabat/instansi teknis yang bertanggung jawab di bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
(3) Dalam melaksanakan pengawasan, Pemerintah Pusat menetapkan pejabat pengawas
lingkungan hidup yang merupakan pejabat fungsional.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pejabat pengawas lingkungan hidup diatur dengan
Peraturan Pemerintah.”
Ada pendelegasian fungsi pengawasan yang semula dimandatkan pada menteri dan
pemerintahan daerah menjadi kepada Pemerintahan Pusat, terlihat adanya pemusatan segala
kewenangan yang sebelumnya dimiliki pemerintahan daerah kemudian dikuasai oleh
pemerintah pusat
Perizinan Berbasis Risiko
Izin merupakan instrumen hukum administrasi yang dibuat oleh negara untuk
mengemudikan tingkah laku para warga.65 Menurut Philippus M. Hadjon, izin dalam arti luas
merupakan bentuk perkenaan untuk melakukan sesuatu yang semestinya dilarang. Sementara
dalam arti sempit, izin merupakan suatu tindakan terlarang, terkecuali diperkenankan, dengan
tujuan agar ketentuan-ketentuan yang disangkutkan dengan perkenaan dapat dengan diteliti
diberikan batas-batas tertentu bagi setiap kasus.66
Dengan memberi izin, negara memperkenankan orang yang memohonnya untuk
melakukan tindakan-tindakan tertentu yang sebenarnya dilarang, hal ini menyangkut
perkenaan bagi suatu tindakan yang demi kepentingan umum mengharuskan pengawasan
khusus atasnya. Selain itu, izin juga dapat diartikan bahwa pembuat aturan secara umum
tidak melarang suatu perbuatan, asal saja dilakukan berdasarkan ketentuan-ketentuan yang
berlaku.67
65 Philippus M. Hadjon. 1993. Pengantar Hukum Perizinan. Surabaya: Yuridika., hlm. 2 66 Ibid., 67 S.F Marbun dan Mahfud M.D. 2000. Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara. Yogyakarta: Liberti., hlm. 95
Dalam hal ini, izin dan hak merupakan suatu hal yang berkaitan karena merupakan
kewajiban negara untuk memenuhi hak yang tercantum dalam konstitusi dengan memberikan
izin. Izin yang dimaksud merupakan pengakuan negara terhadap hak-hak yang dilakukan
warga negara seperti hak untuk berserikat, hak berkumpul, hak menyatakan pendapat, dan
lainnya. Hal ini sebagaimana tujuan dari pada diberikannya izin yaitu (a) keinginan
mengarahkan pengendalian aktifitas-aktifitas tertentu; (b) mencegah bahaya bagi lingkungan;
(c) keinginan untuk melindungi objek-objek tertentu; (d) hendak membagi benda-benda yang
sedikit; (e) pengarahan dengan menyeleksi orang-orang dan aktifitas yang dilakukan.68
Pembuatan dan penerbitan izin adalah tindakan hukum pemerintah. sebagai tindakan
hukum, maka harus ada wewenang yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan atau
harus berdasar pada asas legalitas yang akan memperbolehkan atau memperkenankan
menurut hukum bagi seseorang atau badan hukum untuk melakukan suatu kegiatan.69
Pendekatan berbasis regulasi (License Approach) menjadi pendekatan berbasis risiko
(Risk-Based Approach) sebagaimana tercantum pada RUU Cipker tentang Penerapan
Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Pasal 8. Penilaian tingkat risiko dilihat dari potensi
terjadinya bahaya, potensi dibagi menjadi empat, meliputi; 1) tidak pernah terjadi; 2) jarang
terjadi; 3) pernah terjadi; atau 4) sering terjadi. Kemudian, hasil penilaian tersebut dibagi
menjadi tiga kategori tingkat risiko, yakni; kegiatan usaha berisiko rendah; kegiatan usaha
berisiko menengah; atau kegiatan usaha berisiko tinggi.
Usaha dan/atau kegiatan yang nantinya wajib dikaji secara Amdal hanyalah usaha yang
memiliki risiko tinggi. Namun, yang mejadi problematika adalah tidak adanya kejelasan
mengenai tata cara pengategorian. Analisis risiko pun nantinya akan dilakukan oleh
Pemerintah Pusat.
Meski tidak sepenuhnya dihilangkan, ini akan menghapuskan wajib Amdal bagi sebagian
besar kegiatan atau usaha tanpa landasan yang jelas. Pendekatan berbasis risiko memang
mempunyai beberapa keuntungan bila diimplementasikan untuk lembaga yang berfokus pada
profit; seperti kegiatan perbankan. Namun, aspek lingkungan seharusnya tidak menggunakan
68 Philippus M. Hadjon, op.cit hlm. 4 69 Ibid.,
pendekatan ini, karena dapat berpotensi untuk mengabaikan risiko-risiko yang belum
teridentifikasi, atau yang hanya dapat teridentifikasi di masa mendatang.
Penghapusan Strict Liability dalam RUU Cipta Kerja
Salah satu hal yang menarik perhatian publik dalam RUU Cipta Kerja dalam tajuk
Omnibus Law adalah dihapusnya prinsip strict liability dalam penegakan hukum lingkungan.
Hal ini dapat dilihat dari pasal 23 RUU Cipta Kerja yang berisi perubahan terhadap pasal 88
UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup, pasal 88 berbunyi
“Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3,
menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius
terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa
perlu pembuktian unsur kesalahan”
Sementara dalam Draft RUU Cipta Kerja, pasal 88 diubah ketentuannya sebagai berikut
“Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3,
menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius
terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi dari usaha
dan/atau kegiatannya”.
Adanya penghapusan terhadap frasa “tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan”
menjadi tanda tanya besar bagi pembuat draft RUU Cipta Kerja. Hal ini didasari pada
implementasi pasal 88 UU PPLH sebagai pasal sakti untuk menjerat korporasi dalam hal
membayar ganti rugi terhadap kerusakan lingkungan karena aktivitas yang dilakukannya.
Prinsip tanggung jawab mutlak atau dikenal dengan doktrin strict liability dimaksdi
dengan tanggung jawab tanpa keharusan untuk membuktikan adanya kesalahan, atau menurut
Mochtar Koesoemaatmadja, prinsip tanggung jawab mutlak adalah suatu tanggung jawab
yang memandang kesalahan sebagai sesuatu yang tidak relevan mutlak dipermasalahkan
apakah pada kenyataannya ada atau tidak.70
Ketentuan tersebut dalam sistem pertanggungjawaban dikenal dengan doktrin strict
liability, bilamana melihat pada sistem hukum Belanda, doktrin strict liability dikenal sebagai
70 Ridho Kurniawan dan Siti Nurul Intan. 2014. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Berdasarkan Asas Strict Liability. Jurnal Yuridis Vol. 1, No. 2, Desember 2014., hlm. 160
tanggung gugat berdasarkan resiko atau resicoaansprakelijkheid yang merupakan bentuk
tanggung jawab yang tidak didasarkan pada unsur kesalahan.71 Tanggung jawab berdasarkan
resiko berlaku secara terbatas, hanya untuk kegiatan sebagai berikut (1) pengelolaan bahan
berbahaya; (2) instalasi pengelolaan limbah; (3) kegiatan pengeboran.
Sementara di Amerika, menurut James Krier, doktrin strict liability adalah the
doctrine of strict liablity for abnormally dangerous activities can be of assistence in many
cases of enviromental damage, strict liability is more than a burden shifting doctrine, since it
not only relieves the plaintiff of the obligation to prove fault but forecloses the defedant
proving the absence of fault.72
Doktrin strict liability dapat diimplementasikan apabila kegiatan tersebut memenuhi
klasifikasi sebagai berikut73
1. Mengandung resiko berbahaya yang tinggi terhadap manusia, tanah, atau benda
bergerak lainnya;
2. Kemungkinan terjadinya bahaya sangat besar;
3. Ketidakmampuan meniadakan resiko;
4. Kegiatan tersebut bukanlah kegiatan yang lazim dilakukan;
5. Ketidaksesuaian antara sifat kegiatan yang bersangkutan dengan lingkungan atau
tempat dimana kegiatan tersebut dilakukan
6. Manfaat kegiatan tersebut bagi masyarakat dikalahkan oleh sifat-sifat bahaya kegiatan
tersebut.
Lebih riil lagi, konteks kegiatan berbahaya yang dimaksudkan dalam doktrin strict
liability adalah74
1. Kegiatan usaha terkait dengan limbah berbahaya beracun;
2. Penyimpanan gas dengan jumlah yang besar di dalam kota;
3. Instalasi nuklir;
4. Pengeboran minyak;
5. Penggunaan mesin pematok tiang besar;
71 Imamulhadi. 2013. Perkembangan Prinsip Strict Liability dna Precautionary Dalam Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Pengadilan. Jurnal Mimbar Hukum Vol. 25, No. 3, Oktober 2013., hlm. 420 72 Ibid., 73 Ibid., 74 Ibid.,
6. Limpahan air.
Bilamana dicermati, dalam doktrin strict liability yang berkaitan dengan penegakan
hukum lingkungan, dapat terlihat kesesuaian dengan penjelasan diatas di mana hal yang
digaris bawahi ketika seseorang atau suatu korporasi menggunakan bahan B3 yang
menimbulkan ancaman serius bagi lingkungan.
Namun, implementasi doktrin strict liability di Indonesia belum sampai ke tahap
pertanggung jawaban pidana, tetapi hanya sebatas kewajiban untuk membayar ganti rugi
secara perdata. Dalam hal ini, ketentuan strict liability dalam UU PPLH merupakan lex
specialis dari pasal 1365 KUH Perdata.
Kendati demikian, adanya pasal ini masih merupakan senjata ampuh dalam meminta ganti
rugi terhadap korporasi-korporasi yang ‘nakal’ dalam melaksanakan aktivitasnya yang dirasa
merusak lingkungan. Ambil contoh, Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sering
menggunakan pasal ini dalam menjerat pelaku pembakar hutan. Pada tahun 2016,
Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mendaftarkan gugatan terhadap empat
perusahaan kelapa sawit yaitu PT RKK, PT ATG, PT PU, dan PT WAG.75
Adanya penghapusan terhadap frasa “tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan”
mengingatkan pada pengujian UU PPLH yang diinisiasi oleh Asosiasi Pengusaha Hutan
Indonesia (APHI) dan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) pada tahun
2017. Dalam permohonannya, APHI dan GAPKI meminta Mahkamah Konstitusi untuk
memberikan tafsir terhadap pasal 88 UU PPLH seperti berikut
“Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3,
menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius
terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi sepanjang
kerugian tersebut disebabkan oleh orang yang bersangkutan”.
Dalam hal tersebut, Hakim Konstitusi I Gde Dewa Palguna, memberikan nasihat
bahwa dalam wacana hukum lingkungan, kita sering menyebut ada istilah eco terrorism dan
sebagainya. Itu menjadi salah satu pendorong yang memperkuat diterimanya universalitas
prinsip strict liability. dan kita juga tahu bahwa ada alasan yang membebaskan dari strict
75 Syamdysara Saragih. 2017. Gugatan Karhutla, Dua Jurus KLHK Lawan 4 Perusahaan Sawit. Diakses dari https://ekonomi.bisnis.com/read/20170104/99/616692/gugatan-karhutla-dua-jurus-klhk-lawan-4-perusahaan-sawit pada 7 Maret 2020
liability ini yang disebut sebagai act of god, force majeure, dan sebagainya kita sudah semua
tahu.76
Hal ini menjadi suatu kemunduran apabila menghapus prinsip strict liability dalam
penegakan hukum lingkungan. Sudah menjadi suatu kenyataan bahwa perkembangan
korporasi semakin besar di Indonesia, tidak dapat dipungkiri juga bahwa aktivitas korporasi
banyak yang tidak memerhatikan dampak lingkungan sehingga menyebabkan terjadinya
pencemaran lingkungan yang membahayakan sekaligus merugikan masyarakat.
Oleh karenanya, penghapusan prinsip strict liability akan menjadi pelemahan
penegakan hukum terhadap korporasi yang melanggar ketentuan hukum lingkungan. Gery A.
Ferguson menyatakan pandangan bahwa perusahaan didirikan untuk menghasilkan
keuntungan bagi para pemiliknya dan para pejabat perusahaan termotivasi semata-mata untuk
meningkatkan keuntungan. Sebuah perusahaan akan melakukan aktivitas kriminal hanya
ketika para pejabatnya menyimpulkan bahwa aktivitas ini lebih mungkin menghasilkan
keuntungan daripada tidak melakukan pelanggaran. Karenanya, cara paling tepat untuk
menghalangi kejahatan perusahaan adalah memastikan bahwa seluruh social cost yang
mengalir dari perbuatan pelanggaran ditanggung oleh perusahaan yang melakukan
pelanggaran. Jadi, bentuk sanksi yang paling efektif adalah pemidanaan yang bersifat
finansial.77
76 Edward Febriyatri Kusuma. 2017. Hakim MK Nasihati Refli Harun: Strict Liability Diterima Universal. Diakses dari https://news.detik.com/berita/d-3514308/hakim-mk-nasihati-refly-harun-strict-liability-diterima-universal pada 8 Maret 2020 77 Ridho Kurniawan dan Siti Nurul Intan., op.cit hlm. 157
Penutup
Pada akhirnya, berbicara masalah pembentukan undang-undang berarti berbicara bagaimana
negara harusnya bergerak melayani masyarakat. Sebagai suatu instrumen hukum yang akan
mengatur orang banyak, pembentukan undang-undang sudah selayaknya dapat diterima oleh
masyarakat luas baik dalam segi formil maupun materil.
Pun halnya omnibus law sebagai suatu rancangan hukum yang akan diberlakukan di
masyarakat harus dapat menaktualisasikan rasa keadilan masyarakat. Dari analisis yang telah
dilakukan, nampaknya politik hukum investasi benar-benar menjadi pijakan pada setiap
bentuk perubahan undang-undang yang ada dalam draft RUU Cipta Kerja.
Hal ini bisa jadi senjata makan tuan bagi masyarakat, mengingat akan sangat banyak
kepentingan calon investor yang akan diakomodir oleh rancangan undang-undang tersebut.
Tidak aneh bila rancangan undang-undang ini banyak mendapat protes keras dari masyarakat.
Omnibus law bukan sekedar masalah golongan yang terdampak bila UU tersebut dipisahkan,
tapi menjadi masalah seluruh golongan apabila tidak ditanggapi dengan serius.
Referensi
Buku
Barbara Sinclair. 2012. Unortodhox Lawmaking: New Legislative Processes in the U.S
Congress. Los Angeles: Sage
Browne, C., A. Di Batista, T. Geiger, and S. Verin. 2016. “The Executive Opinion Survey:
The Voice of the Business Community.” The Global Competitiveness Report 2016–2017.
Geneva: World Economic Forum.
Budi Sutrisno dan Salim H. 2008. Hukum Investasi di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo
Persada
Darmaningtyas dkk. 2014. Melawan Liberalisme Pendidikan. Malang: Madani.
Hendri Campbell. 1991. Blach’s Law Dictionary. St. Paul Minn: West Publishing Co
Hilaire Barnett.2002. Constitutional and Administrative Law. London: Cavendish Publishing
Ltd
Jimly Asshiddiqie. 2010. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia.Jakarta: Sinar Grafika
Jimly Asshiddiqie. 2017. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Rajawali Press
Merdi Hajiji. 2013. Relasi Hukum dan Politik dalam Sistem Hukum Indonesia. Jurnal
Rechtsvinding Vol. 2, No. 3, Desember 2013
Moh. Mahfud M.D. 1998. Politik Hukum di Indonesia. Yogyakarta: LP3ES
Maria Farida Indrati. 2011. Ilmu Perundang-Undangan I. Yogyakarta : Kanisius
Philippus M. Hadjon. 1993. Pengantar Hukum Perizinan. Surabaya: Yuridika
Siahaan N.H.T. 2009. Hukum Lingkungan. Jakarta: Pancuran Alam
VCRAC Crabbe. 1994. Legislative Drafting. London: Carendish Publishing Limited
Karya Tulis
Agnes Fitryantica. 2019. Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan Indonesia melalui
Konsep Omnibus Law. Jurnal Gema Keadilan., vol. 6, edisi 3, Oktober-November 2019
Bambang Suryono. 1999. Organisasi Nirlaba: Karakteristik dan Pelaporan Keuangan
Organisasi. Jurnal Ekuitas Vol. 3, NO. 2, Juni 1999.,
Daniel N. Boger. 2017. Constitutional Avoidance: The Single Sunject Rule As An Interpretive
Principle. Virginia Law Review Vol. 103: 1247
Farihan Aulia dan Sholahuddin Al-Fatih. 2017. Perbandingan Sistem Hukum Common Law,
Civil Law dan Islamic Law dalam Perspektif Sejarah dan Karakteristik Berpikir. Jurnal
Legality, vol. 25, No. 1, Maret 2017
Firman Freaddy Busroh. 2017. Konseptualitas Omnibus Law dalam Menyelesaikan
Permasalahan Regulasi Pertanahan. Jurnal Arena Hukum, Vol. 10, No. 2, Agustus 2017
Imamulhadi. 2013. Perkembangan Prinsip Strict Liability dna Precautionary Dalam
Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Pengadilan. Jurnal Mimbar Hukum Vol. 25,
No. 3, Oktober
Joko Riskiyono. Partisipasi Masarakat dalam Pembentukan Perundang-Undangan Untuk
Mewujudkan Kesejahteraan. Jurnal Aspirasi Vol. 6, No. 2, Desember 2015
Louis Massicotte. 2013. Omnibus Bills in Theory and Practice. Canadian Parliamentary
Review/ Spring 2013
Rahendro Jati. 2015. Partisipasi Masyarakat Dalam Proses Pembentukan Undang-Undang
yang Responsif. Jurnal Rechtsvinding, Vol. 1, No. 3, Desember 2015
Ridho Kurniawan dan Siti Nurul Intan. 2014. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
Berdasarkan Asas Strict Liability. Jurnal Yuridis Vol. 1, No. 2, Desember 2014
Sarah Safira Aulianisa. 2019. Menakar Kompabilitas Transplantasi Omnibus Law dalam
Konteks Peraturan Perundang-undangan dengan Sistem Hukum Indonesia. Paper
dipresentasikan di Konferensi Ilmiah Hukum dan HAM 2019, Kementrian Hukum dan
Hak Asasi Manusia
S.F Marbun dan Mahfud M.D. 2000. Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara.
Yogyakarta: Liberti
Syauqi dan Habibullah. 2016. Implikasi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah dalam Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial. Jurnal Sosio
Informa Vol. 2, No. 01, Januari-April 2016
Wicipto Setiadi. 2018. Simplifikasi Peraturan Perundang-Undangan dalam Rangka
Mendukung Kemudahan Berusaha. Jurnal Rechtsvinding Vol. 7, No. 3, Desember 2018
Laporan
World Bank. 2019. Doing Business 2019, Training for Reform. Diakses dari
https://www.doingbusiness.org/content/dam/doingBusiness/media/Annual-
Reports/English/DB2019-report_web-version.pdf pada 21 Februari 2020
World Bank. 2017. Doing Business 2018 : Reforming to Create Jobs (English). Doing
Business 2018. Washington, D.C. : World Bank Group.
United Nations. 2019. World Investment Report 2019. New York: United Nations
Publications
Media Daring
BBC Indonesia. 2019. Omnibus Law: Harapan Menarik Investasi dan Pembahasan yang
‘sentralistik’. Diakses dari https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-50837794 pada 21
Februari 2020
Edward Febriyatri Kusuma. 2017. Hakim MK Nasihati Refli Harun: Strict Liability Diterima
Universal. Diakses dari https://news.detik.com/berita/d-3514308/hakim-mk-nasihati-refly-
harun-strict-liability-diterima-universal pada 8 Maret 2020
Efrem Siregar. 2020. Faisal Basri Kritik Omnibus Law Jokowi, Apa Alasannya?. Diakses
dari https://www.cnbcindonesia.com/news/20191218211906-4-124277/faisal-basri-kritik-
omnibus-law-jokowi-apa-alasannya pada 19 Maret 2020
Dandy Bayu Bramasta. 2019. 5 Visi Jokowi untuk Indonesia. Diakses dari
https://www.kompas.com/tren/read/2019/10/20/151257765/5-visi-jokowi-untuk-
indonesia?page=all pada 3 Maret 2020
Gosanna Oktavia. 2020. Omnibus Law Minim Partisipasi Publik, Ombudsman Buka
Kesempatan Pengaduan. Diakses dari https://ombudsman.go.id/news/r/omnibus-law-
minim-partisipasi-publik-ombudsman-buka-kesempatan-pengaduan pada 22 Februari
2020
Chandra Gian Asmara. 2020. Mahfud MD Tegaskan Pasal 170 RUU Cipta Salah Ketik!.
Diakses di https://www.cnbcindonesia.com/news/20200218134358-4-138675/mahfud-md-
tegaskan-pasal-170-ruu-cipta-kerja-salah-ketik Pada 7 Maret 2020
Haris Prabowo. 2020. Ganti Nama, Pemerintah Akhirnya Serahkan RUU Cipta Kerja ke
DPR. Diakses dari https://tirto.id/ganti-nama-pemerintah-akhirnya-serahkan-ruu-cipta-
kerja-ke-dpr-eyvupada pada 21 Februari 2020
Hendra Kusuma. 2019. Jokowi Kesal Ekspor dan Investasi RI Loyo. Diakses melalui
https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4464956/jokowi-kesal-ekspor-dan-
investasi-ri-loyo pada 2 Maret 2020
Kumparan. 2018. Menteri PAN-RB: Ada 6 Penyakit Birokrasi di Indonesia (2018). Diakses
melalui https://kumparan.com/langkanid/menteri-pan-rb-ada-6-penyakit-birokrasi-di-
indonesia pada 3 Maret 2020
Muhammad Genantan Saputra. 2020 . Menkumham Sebut Ada Salah Ketik di RUU Omnibus
Law. Diakses di https://www.liputan6.com/news/read/4181369/menkumham-sebut-ada-
salah-ketik-di-ruu-omnibus-law Pada 7 Maret 2020
Petrus Kadeh Suherman. 2017. Delegasi Regulasi dan Simplifikasi Regulasi dalam
Pembentukan Peraturan Kepala Daerah. Jurnal Advokasi Vol. 7, No. 1 (2017)
Restu Diantina Putri,. 2020. Cara Anak Buah Jokowi Lepas Tangan soal Pasal 170 RUU
Cipta Kerja. Diakses di https://tirto.id/cara-anak-buah-jokowi-lepas-tangan-soal-pasal-
170-ruu-cipta-kerja-eAqZ pada 8 Maret 2020
Syamdysara Saragih. 2017. Gugatan Karhutla, Dua Jurus KLHK Lawan 4 Perusahaan
Sawit. Diakses dari https://ekonomi.bisnis.com/read/20170104/99/616692/gugatan-
karhutla-dua-jurus-klhk-lawan-4-perusahaan-sawit pada 7 Maret 2020
Trio Hamdani. 2020. Investasi Loyo dan Daya Beli Lesu Biang Kerok Ekonomi Mentok 5%.
Diakses melalui https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4891785/investasi-
loyo-dan-daya-beli-lesu-biang-kerok-ekonomi-mentok-5 pada 2 Maret 2020
World Bank Group. 2020. World Development Indicators Diakses melalui
http://datatopics.worldbank.org/world-development-indicators pada 3 Maret 2020