BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada saat ini bangsa Indonesia dihadapkan pada kondisi negara yang sangat
memprihatinkan di mana dibutuhkan pembangunan di segala sektor yang benar-benar
menyentuh dan berdampak luas pada masyarakat, baik itu pembangunan di sektor
ekonomi, politik, budaya, pendidikan, dan yang paling utama pula adalah
pembangunan di sektor mental masyarakat Indonesia karena pembangunan di sektor
mental masyarakat inilah pembangunan suatu negara dapat berkembang dan berjalan
lancar.
Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum. Hukum bersifat mengikat
dan memaksa artinya setiap penduduk dan warga negara Indonesia tanpa terkecuali
harus mematuhi hukum yang berlaku di Indonesia. Apabila seseorang melanggar
maka akan dikenai sanksi, baik itu berupa denda atau hukuman kurungan penjara.
Akan tetapi, akhir-akhir ini banyak masyarakat Indonesia yang sudah kehilangan
kesadaran tertib hukum dan berani untuk melanggar hukum yang berlaku, hal tersebut
tidak lain disebabkan karena kualitas dan mutu mental masyarakat Indonesia terlihat
semakin terpuruk.
Sejak pemerintah Indonesia melaksanakan pembangunan dapat dilihat begitu
banyak perkembangan. Dengan pembangunan yang sungguh-sungguh ditangani, taraf
kehidupan rakyat Indonesia bertambah baik. Begitu pula sektor industri maju dengan
pesat, dan ini terbukti dari banyaknya barang-barang hasil industri yang memenuhi
pasaran. Berbagai jenis produk ditawarkan dengan melimpah dalam masyarakat, tidak
terkecuali dengan kendaraan bermotor, baik yang beroda dua maupun beroda empat.
Daya beli masyarakat Indonesia sudah semakin membaik. Hal ini dapat dilihat
dengan makin banyaknya kendaraan bermotor yang dibeli oleh masyarakat , baik
secara tunai maupun dengan angsuran. Yang jelas kendaraan bermotor benar-benar
sudah menjadi milik masyarakat.
Namun, setiap sisi positif pasti memiliki sisi negatif. Semakin banyak
kendaraan bermotor maka masalah yang ditimbulkan juga semakin bertambah,
misalnya asap kendaraan yang semakin banyak dapat menggangu kesehatan. Selain
itu, tingkat kecelakaan lalu lintas menunjukkan pertambahan yang cukup
mengejutkan. Begitu juga masalah parkir, terutama di daerah perkotaan yang menjadi
semakin rumit.
Sebagaimana disebutkan dalam paragraf di atas bahwa kualitas dan mutu
mental masyarakat Indonesia sudah mulai rusak adalah benar. Hal itu tampak dari
sikap masyarakat Indonesia yang bertindak sewenang-wenang, tidak tertib, berani
melanggar hukum, dan sebagainya. Ambil saja sebuah contoh kecil, budaya parkir
tertib.
Budaya parkir tertib sudah mulai jarang terlihat. Masyarakat sudah mulai
melupakan ketertiban dalam memarkir kendaraan mereka. Mereka lebih senang
memarkir kendaraan mereka sesuai dengan keinginan mereka sendiri tanpa
memperhatikan ketertiban di sekitarnya.
Namun, tidak hanya masyarakat yang bertanggungjawab terhadap ketertiban
lahan parkir akan tetapi tukang parkir juga ikut andil dalam hal ini. Di sini
profesionalitas kerja mereka kurang dapat dirasakan manfaatnya secara luas.
Kadangkala, mereka hanya “semprat-semprit” tanpa memperhatikan keteraturan dan
kerapian posisi parkir kendaraan. Adakalanya juga, mereka tidak memberikan karcis
parkir namun tetap menarik biaya parkir.
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan di atas, penulis merasa perlu
melakukan penelitian guna penulisan skripsi yang berjudul “Profesionalitas Kerja
Tukang Parkir di Kecamatan Kota Pamekasan Tahun 2005.”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang diangkat dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana latar belakang mereka menjadi tukang parkir ?
2. Bagaimana latar belakang perekonomian mereka ?
3. Apa saja kendala yang ditemui dalam menjalankan tugasnya ?
4. Bagaimana profesionalitas kerja mereka ?
5. Adakah tindak lanjut dari pemerintah setempat terhadap para tukang parkir
tersebut ?
C. Tujuan Penelitian
Segala aktivitas pasti memiliki tujuan tertentu. Adapun tujuan dari penelitian
ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui latar belakang mereka menjadi tukang parkir;
2. Untuk mengetahui latar belakang perekonomian mereka;
3. Untuk mengetahui kendala-kendala yang ditemui dalam menjalankan tugas
sebagai tukang parkir;
4. Untuk mengetahui profesionalitas kerja mereka;
5. Untuk mengetahui ada tidaknya tindak lanjut dari pemerintah setempat.
D. Pembatasan Masalah
Untuk mempermudah penelitian, maka peneliti menetapkan beberapa
pembatasan permasalahan sebagai berikut:
1. Peneliti hanya membahas tentang hal-hal yang berkaitan dengan
profesionalitas kerja tukang parkir;
2. Peneliti hanya mewawancarai beberapa tukang parkir di beberapa tempat di
kecamatan kota Pamekasan pada tahun 2005;
3. Wawancara dilakukan secara random artinya tidak mewawancarai tukang
parkir tertentu.
E. Kegunaan Penelitian
Adapun beberapa manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagi Peneliti
a. Untuk memenuhi tugas dari guru pengajar sosiologi kami, yaitu bapak
Mukti Ali, Spd;
b. Peneliti dapat membuktikan hipotesanya sehingga dapat menambah
wawasannya sebagai hasil dari pengamatan.
2. Bagi Pembaca
a. Pembaca dapat mengetahui peranan tukang parkir sebagai penegak
disiplin;
b. Pembaca dapat mengetahui profesionalitas kerja tukang parkir di
Pamekasan pada tahun 2005;
3. Bagi Pemerintah
a. Dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi pemerintah agar lebih
memperhatikan kesejahteraan mereka;
b. Pemerintah dapat mengetahui latar belakang perekonomian tukang parkir
di Pamekasan.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Tinjauan Tentang Profesionalitas Kerja
1. Definisi
Untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang profesionalitas
tukang parkir, berikut dikemukakan pengertian profesi. Sebagaimana yang telah
dijelaskan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, profesi adalah bidang pekerjaan
yang dilandasi pendidikan keahlian (keterampilan, kejuruan, dan sebagainya) tertentu.
Dengan pengertian ini, profesi merupakan suatu pekerjaan yang untuk
melaksanakannya memerlukan sejumlah keahlian tertentu sebagai persyaratan dalam
melakukannya. Artinya, ia merupakan pekerjaan-pekerjaan tertentu, bukan pekerjaan
sembarang orang.
Menurut Ahmad Tafsir (2004 ; 56) pada taraf perkembangan selanjutnya,
profesi mendapatkan arti yang lebih jelas dan khusus lagi. Untuk itu ada dua
ketentuan mengenai penggunaan kata profesi sebagai berikut:
Pertama, suatu kegiatan hanya dapat dikatakan profesi apabila kegiatan
tersebut digunakan untuk mencarikan nafkah yang pokok, melainkan hanya mencari
kesenangan atau kepuasan batin.
Kedua, suatu kegiatan yang dilakukan untuk mencari nafkah yang dilakukan
dengan keahlian cukup tinggi. Dengan demikian profesi adalah suatu bidang keahlian
yang dimiliki seseorang yang digunakan untuk menopang kelangsungan hidupnya
berdasarkan pada pengetahuan yang mendalam.
Dari dua istilah teknis yang berbeda definisi operasionalnya, pekerjaan adalah
istilah umum (general term) yang artinya kegiatan manusia yang menggunakan
tenaga, pikiran, peralatan, dan waktu untuk membuat sesuatu, mengerjakan sesuatu
atau menyelesaikan sesuatu. Sedangkan profesi, sebagaimana yang dikemukakan di
atas adalah pekerjaan orang-orang tertentu, yang memiliki keahlian khusus yang tidak
semua orang memiliki keahlian tersebut, jadi bukan pekerjaan sembarang orang.
Jadi, jelaslah letak perbedaan antara profesi dan pekerjaan, hal ini berarti
bahwa jenis pekerjaan tertentu akan dapat dilakukan jika seseorang memiliki
kemampuan atau profesi tertentu, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-
Isra’ 84 yang berbunyi.
Artinya : “Hendaklah bahwa setiap orang itu bekerja sesuai dengan bakat dan
kemampuannya masing-masing, maka Tuhanmu mengetahui siapa yang
lebih benar jalannya.”
Dalam Islam setiap pekerjaan harus dilakukan secara profesional, dalam arti
harus dilakukan dengan benar, itu mungkin hanya bisa dilakukan oleh orang yang
ahli, karena jika suatu pekerjaan dilakukan oleh orang yang tidak ahli, maka
pekerjaan itu tidak akan mencapai hasil yang diinginkan, sebagaimana sabda
Rasulullah SAW dalam hadist yang berbunyi:
Artinya : “Bila suatu urusan dilakukan oleh orang yang tidak ahli maka tunggulah
kehancuran.” (HR. Bukhari)
Selanjutnya terdapat istilah-istilah lain yang berhubungan dengan profesi.
Salah satunya adalah profesional yang berarti orang yang melaksanakan profesi
pendidikan minimal S1 dan mengikuti ujian profesi atau lulus ujian profesi. Dengan
demikian profesional adalah orang yang dapat melaksanakan pekerjaannya dengan
baik. Berikutnya istilah ini berkembang menjadi istilah profesionalitas, yang
bermakna keprofesionalan seseorang dalam melakukan tugasnya.
Ketika dikaitkan dengan istilah tukang parkir, maka profesionalitas tukang
parkir dapat dimaknai sebagai kecakapan dan keterampilan khusus yang dimiliki
tukang parkir dalam mengatur dan menertibkan kendaraan parkir, dengan demikian
tukang parkir yang berkualifikasi profesional, yaitu tukang parkir yang mengetahui
secara mendalam tentang tugasnya dan dapat mempertanggungjawabkan tugasnya.
2. Kriteria Sebagai Suatu Bidang Profesi
Menurut Ahmad Tafsir (1997 ; 61) kriteria bagi suatu profesi untuk disebut
sebagai suatu bidang profesi adalah sebagai berikut:
a) Profesi harus memiliki suatu keahlian khusus. Keahlian tidak dimiliki oleh
profesi lain, misalnya: keahlian kimia tidak dikenal oleh ahli hukum, keahlian
hukum tidak dikenal oleh profesi kedokteran.
b) Profesi harus diambil sebagai panggilan pemenuhan hidup. Oleh karena itu,
profesi dikerjakan sepenuh waktu sebagai pengetahuan hidup, artinya profesi itu
dipilih karena dirasakan oleh panggilan hidupnya, artinya itulah lapangan
pengabdiannya, jadi ada suatu kesungguhan dalam memiliki profesi.
Dilakukan sepenuh waktu maksudnya profesi itu dijalani dalam waktu yang
panjang bahkan seumur hidup. Jadi bukan dilakukan secara part time, melainkan
full time, bukan dilakukan sebagai pekerjaan sambilan atau pekerjaan sementara
yang akan ditinggalkan jika menemukan pekerjaan lain yang dirasakan lebih
menguntungkan.
c) Profesi memiliki teori-teori yang baku secara universal, artinya profesi itu
dijalankan menurut teori-teorinya, teori harus baku artinya teori itu bukan
sementara, teori itu harus dikenal secara umum, artinya dikenal oleh semua
pemegang profesi itu dimanapun ia berada. Inilah yang dimaksudkan dengan
universal.
d) Profesi harus dilengkapi dengan kecakapan diagnotis dan kompetensi optimal.
Kecakapan diagnotis sudah jelas dalam profesi kedokteran. Akan tetapi,
kadangkala ada profesi yang kurang jelas kecakapan diagnotisnya, hal tersebut
disebabkan karena belum berkembangnya teori dalam profesi itu. Kompetensi
aplikasi adalah kewenangan yang digunakan dalam teori-teori yang ada di dalam
keahliannya. Penggunaan itu harus didahului oleh diagnotis.
Jadi kecakapan diagnotis memang tidak bisa dipisahkan dari kewenangan
aplikatif, seorang yang tidak mampu mendiagnotis tentu tidak berwenang
melakukan apa-apa terhadap kliennya.
e) Pemegang profesi memiliki otonomi dalam melakukan profesinya, otonomi itu
hanya dapat dan boleh diuji oleh rekan-rekan seprofesinya, otonomi yang ada
pada pemegang profesi dibatasi oleh aturan-aturan (teori-teori) yang ada pada
profesinya.
f) Profesi hendaklah mempunyai kode etik, kode ini disebut kode etik profesi.
Gunanya ialah untuk dijadikan pedoman dalam melakukan tugas profesi. Kode
etik itu tidak akan bermanfaat bila tidak diakui oleh pemegang profesi dan juga
oleh masyarakat.
g) Profesi harus mempunyai klien yang jelas, klien disini maksudnya adalah
pemakai jasa profesi, seperti klien guru adalah murid.
h) Profesi memerlukan organisasi profesi. Gunanya adalah untuk keperluan
meningkatkan mutu profesi itu sendiri, profesi itu perlu menjalin kerja sama demi
kepentingan bersama.
i) Mengenali hubungan profesinya dengan bidang-bidang lain.
B. Tinjauan Tentang Parkir
1. Definisi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, parkir adalah menghentikan atau
menaruh (kendaraan bermotor) untuk berapa saat di tempat yang telah disediakan.
Dengan pengertian ini, berarti tempat parkir adalah suatu tempat yang telah
disediakan sebelumnya dan dikelola oleh seseorang yang dikenal sebagai tukang
parkir. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, tukang adalah orang yang memiliki
kepandaian dalam suatu pekerjaan tangan (dengan alat atau bahan yang tertentu).
Jadi, tukang parkir adalah orang yang memiliki keahlian dalam memarkir kendaraan.
Biasanya setelah memarkir kendaraan, tukang parkir akan segera memberi karcis
parkir, sebagai bukti bahwa telah ada suatu perikatan antara pelanggan dan tukang
parkir.
… perikatan adalah adalah hubungan hukum yang terjadi antara debitur dan
kreditur yang terletak dalam bidang harta kekayaan. Keseluruhan aturan hukum yang
mengatur hubungan hukum dalam bidang harta kekayaan ini disebut hukum harta
kekayaan (Abdul Kadir Muhammad, dalam Sri Hariyati, 2004 ; 14).
2. Parkir Sebagai Suatu Perjanjian Penitipan
Manusia sebagai makhluk sosial aktivitasnya sehari-hari banyak sekali yang
merupakan hubungan hukum. Karena merupakan hubungan hukum maka sudah
barang tentu akan menimbulkan akibat hukum pula. Hal tersebut terjadi karena pada
dasarnya manusia yang menempuh hidup bermasyarakat memiliki sifat saling
ketergantungan. Sifat saling ini muncul mengingat banyaknya kebutuhan yang harus
dipenuhi oleh manusia. Maka, untuk memenuhi kebutuhan tersebut, antara warga
masyarakat akan saling mengadakan ikatan. Wujud ikatan-ikatan yang sering
diadakan oleh masyarakat dapat berupa jual-beli, sewa-menyewa, pengangkutan,
tukar-menukar, dan sebagainya. Jadi, lebih tegasnya masyarakat, banyak sekali
melakukan perjanjian dalam kehidupannya.
Di dalam kehidupan bermasyarakat, para warganya banyak sekali dan sering
pula mengadakan berbagai jenis perjanjian. Ada yang mengadakan perjanjian jual-
beli, perjanjian sewa-menyewa, perjanjian tukar-menukar, begitu pula yang
mengadakan perjanjian penitipan. Tentang perjanjian penitipan ini terjadi apabila
seseorang menerima sesuatu barang dari orang lain dengan suatu persyaratan bahwa
pihak pertama akan menyimpannya demi kepentingan pihak kedua dan akan
mengembalikannya dalam keadaan asalnya. Demikianlah inti makna pasal 1694
KUHPdt yang menyangkut tentang perjanjian penitipan. Tentang perjanjian penitipan
ini digolongkan sebagai suatu perjanjian riil. Artinya, perjanjian itu baru terjadi kalau
sudah dilakukan suatu perbuatan yang nyata, yakni dengan diserahkannya barang
yang dititipkan. Jadi tidak seperti perjanjian lainnya yang umumnya merupakan dan
bersifat konsensual dimana perjanjian seperti ini baru melahirkan hak dan kewajiban
saja (Subekti, dalam Sri Hariyati, 2004 ; 19).
Berdasarkan ketentuan-ketentuan yang ada di dalam KUHPdt mengenai
perjanjian penitipan barang ini dikenal ada 2 macam, yaitu perjanjian penitipan sejati
dan perjanjian penitipan sekestrasi (Subekti, dalam Sri Hariyati, 2004 ; 19). Untuk
lebih jelasnya uraian berikut dapat dipergunakan sebagai pegangan.
a) Penitipan barang sejati
Penamaan dari jenis perjanjian ini sebenarnya juga tidak begitu tepat. Sebab
kalau ada penitipan barang yang sejati berarti ada penitipan barang yang tidak sejati
atau pura-pura. Pada umumnya penitipan barang ini dibuat dengan cuma-cuma
kecuali apabila diperjanjikan sebaliknya. Lagipula, jenis penitipan ini hanya berobyek
pada benda-bergerak, begitulah menurut pasal 1996 KUHPdt.
Sesuai dengan sifatnya yang riil, maka penitipan barang yang sejati ini
dianggap terjadi setelah ada penyerahan barangnya secara sungguh-sungguh. Hal
semacam ini dijelaskan oleh pasal 1967 KUHPdt.
Berdasarkan pasal 1968 KUHPdt, penitipan barang masih dibedakan lagi
menjadi dua macam, yaitu penitipan barang dengan sukarela dan penitipan barang
karena terpaksa. Namun kedua jenis perjanjian penitipan barang itu ada unsur
kesepakatan yang bersifat timbal balik. Hal ini ditegaskan oleh pasal 1699 KUHPdt.
Penitipan barang secara sukarela banyak kita jumpai, misalnya saja penitipan
sebuah tas di loket toko serba ada. Juga misalnya perjanjian penitipan ini terjadi pada
waktu memarkir kendaraan bermotor di suatu tempat. Sedangkan yang dinamakan
perjanjian penitipan karena terpaksa, misalnya terjadi karena ada suatu malapetaka
umpama saja ada kebakaran, tenggelamnya kapal, terjadinya banjir, dan sebagainya.
Penitipan barang secara terpaksa semacam itu akan diberlakukan ketentuan-ketentuan
yang sama untuk perjanjian penitipan barang secara sukarela. Begitulah penjelasan
pasal 1705 KUHPdt. Maksudnya ialah suatu perjanjian penitipan yang
diselenggarakan secara terpaksa itu akan memperoleh perlindungan pula dari undang-
undang. Sedangkan pasal 1706 KUHPdt, dalam perjanjian penitipan secara terpaksa,
mewajibkan bahwa si penerima titipan untuk memelihara atau merawat barang yang
dipercayakan kepadanya seperti halnya kewajiban seseorang yang memiliki barang
itu sendiri.
Di dalam pasal 1709 KUHPdt, bahwa pengurus rumah penginapan dan
penguasa losmen haruslah merawat dan memelihara barang-barang para tamu sebagai
seseorang yang menerima titipan barang. Kedudukan semacam ini dianggap sebagai
suatu penitipan karena terpaksa. Oleh pasal 1710 KUHPdt ditetapkan bahwa mereka
itu bertanggung jawab tentang hilangnya atau kerusakannya, baik kehilangan ataupun
kerusakan itu disebabkan oleh pelayanan dari pekerja rumah penginapan tersebut.
Di dalam praktek seringkali sesuatu pihak dalam sesuatu perjanjian berusaha
membatasi tanggung jawabnya. Begitu halnya dalam praktek, dimana sering ditemui
para pengusaha penginapan atau losmen membatasi tanggung jawab mereka, dengan
memberikan pengumuman kepada para tamu bahwa pengurus tidak
bertanggungjawab atas hilangnya barang-barang berharga, manakala barang tersebut
tidak secara khusus dititipkan kepada mereka. Hal demikian ini banyak dijumpai di
berbagai hotel, losmen maupun penginapan.
b) Sekestrasi
Pengertian mengenai sekestrasi tidak lain merupakan penitipan barang yang
ada di dalam perselisihan, kepada seorang pihak ketiga yang mengingatkan dirinya
untuk itu. Setelah perselisihan diputus, pihak ketiga wajib mengembalikan barang
yang bersangkutan kepada siapa yang dinyatakan berhak, beserta dengan hasil-
hasilnya. Sekestrasi ini bisa terjadi dengan suatu perjanjian dan dapat pula terjadi atas
perintah Hakim apabila sekestrasi terjadi berdasar persetujuan sukarela atau atas
dasar pejanjian diserahkan kepada pihak ketiga. Hal ini bisa dilihat pada pasal 1731
KUHPdt.
Sesuai pasal 1731 KUHPdt, obyek sekestrasi ini dapat menyangkut benda-
benda bergerak maupun benda-benda tidak bergerak. Jelaslah mengenai obyek ini
jauh berbeda dengan perjanjian penitipan barang sebagaimana dijelaskan di depan.
Sekestrasi atas perintah Hakim terjadi, manakala Hakim memerintahkan
dalam suatu perkara agar sesuatu barang yang ada dalam sengketa itu dititipkan
kepada suatu pihak. Hal ini diatur dalam pasal 1736 KUHPdt. Sedangkan pasal 1737
KUHPdt ditetapkan bahwa sekestrasi guna keperluan pengadilan di perintahkan
kepada seseorang yang disetujui oleh pihak-pihak yang berkepentingan atau kepada
seseorang yang ditetapkan oleh hakim karena jabatan.
Dalam hal sekestrasi dimana hakim berhak menetapkan suatu barang sengketa
untuk dititipkan kepada suatu pihak, dapat terjadi hal-hal sebagai berikut:
1. Terhadap barang-barang bergerak yang telah disita dari tangan seorang debitur.
Penyitaan semacam ini digolongkan sebagai penyitaan conservatoir yang telah
dilakukan atas permohonan penggugat atau kreditur.
2. Terhadap suatu barang bergerak maupun tidak bergerak dimana hak miliknya
atau penguasaannya sedang dalam sengketa.
3. Terhadap barang-barang yang ditawarkan oleh seorang debitur untuk melunasi
hutang-hutangnya, sedangkan penawaran barang tersebut oleh kreditur ditolak.
Sehingga debitur ini terpaksa meminta bantuan juru sita atau notaris untuk
menawarkan barang atau uang tersebut supaya disimpan di kepaniteraan
pengadilan atau pihak ketiga yang ditunjuk oleh hakim.
Pengangkatan seseorang sebagai penyimpan barang yang ditetapkan oleh
hakim, menerbitkan pula kewajiban-kewajiban timbal balik antara si penyita dan si
penyimpan. Yakni bahwa si penyita berkewajiban membayar kepada si penyimpan
suatu jumlah upah seperti yang telah ditentukan. Begitu pula si penyimpan
diwajibkan memelihara barang-barang yang bersangkutan sebagai bapak rumah
tangga yang baik. Lagipula manakala ditetapkan ia harus menyerahkan barang-barang
itu untuk dijual demi pelunasan piutang pihak penyita.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Objek Penelitian
Adapun objek penelitian yang kami teliti adalah beberapa orang tukang parkir
yang ada di Kecamatan Kota Pamekasan pada tahun 2005.
B. Sifat dan Jenis Penelitian
Dalam kegiatan penelitian ini penulis menggunakan bentuk penelitian non
eksperimen, yaitu suatu penelitian yang dilaksanakan tanpa memberi suatu perlakuan
terhadap objek yang diteliti. Penelitian non eksperimen dapat dibedakan menjadi dua,
yaitu penelitian deskriptif dan penelitian analitik, sedangkan jenis penelitian yang
kami pakai adalah deskripsi kualitatif, yaitu penelitian yang bertujuan untuk membuat
suatu gambaran keadaan secara sistematis faktual dan aktual terhadap fenomena
populasi.
Pendekatan kualitatif adalah pendekatan dalam bentuk kata ataupun kalimat.
Keseluruhan data yang diperoleh diolah dan disajikan dalam bentuk uraian naratif
bukan dalam bentuk statistik, sehingga akan dapat menjawab permasalahan yang
diteliti secara sistematis dan logis, oleh sebab itu kemampuan daya analisis isi
penelitian sangat dituntut.
Biasanya dalam penelitian kualitatif, peneliti langsung terjun ke lapangan
menjadi participant observation (observasi aktif/terlibat). Ia mencatat, menganalisis,
menafsirkan data yang didapat, melaporkan dan mengambil kesimpulan. Hasil
penelitian dengan pendekatan kualitatif tidak digeneralisasikan, karena hasilnya
mungkin berbeda untuk tiap lingkungan.
C. Data dan Sumber Data
1. Data
Data merupakan kejadian-kejadian khas yang dinyatakan dengan fakta, tetapi
dalam bentuk hasil pengukuran. Data ini merupakan bahan baku informasi.
Kumpulan data akan menjadi lebih berarti apabila mampu menyajikan tambahan
pengetahuan bagi si penerima dalam rangka mencapai tujuan. Sedangkan dalam hal
penelitian ini penulis mengambil jenis data primer. Data primer merupakan data yang
dikumpulkan dari tangan pertama dan diolah oleh organisasi atau perorangan, seperti
data-data yang diperoleh peneliti dari wawancara dengan responden, atau data-data
yang dikumpulkan oleh lembaga tertentu yang berwenang terhadap suatu
permasalahan.
2. Sumber Data
Dalam melakukan penelitian kita perlu mengkaji sumber data, mengenal
subjek yang akan diteliti. Subjek merupakan pokok pembicaraan, pokok bahasan atau
orang, tempat maupun benda yang diawasi sebagai sasaran, jadi subjek penelitian
dapat disebut sebagai benda-benda yang akan menjadi sasaran dalam penelitian atau
sumber data dalam penelitian. Subjek penelitian dapat berupa orang yang
diwawancarai. Dalam penelitian sosial, kelompok masyarakat yang akan dijadikan
subjek penelitian harus ditentukan dahulu. Sedangkan dalam penelitian ini, penulis
menggunakan sumber data secara lisan yang berupa wawancara langsung kepada
responden di lapangan.
D. Metode Pengumpulan Data
Rumusan kegiatan atau usaha yang dilakukan tentu mempunyai tujuan
sehingga dapat memberikan arahan bagi kegiatan yang akan dilaksanakan dan dapat
memberi solusi bagi pemecahannya. Agar dapat mencapai tujuan tersebut secara
efektif dan efisien hendaknya menggunakan suatu cara atau metode tertentu. Dalam
penelitian ini kami menggunakan beberapa metode pengumpulan data sebagai
berikut:
1. Observasi
Adalah suatu metode pengumulan data yang dilakukan dengan cara
mendatangi langsung objek penelitian. Teknik atau metode ini kami lakukan
sebanyak 3 kali.
Kelebihan observasi
- data mudah didapat
- validitas data lebih terjamin
- mengetahui karakter informan
Kerugian observasi
- memerlukan waktu yang relatif lama
- memerlukan biaya yang lebih banyak
- adanya kegiatan yang tidak mungkin diamati
2. Wawancara
Adalah suatu metode pengumpulan data yang dilakukan untuk memperoleh
informasi atau data dengan cara bertanya langsung kepada responden, kami
melakukan wawancara ini kepada beberapa orang tukang parkir di Kecamatan Kota
Pamekasan pada tahun 2005.
Kelebihan wawancara
- wawancara dapat dilakukan kepada responden yang tidak bisa membaca dan
menulis
- jika ada pertanyaan yang tidak mengerti bisa ditanyakan kembali
- dapat mengecek kebenaran si responden
Kerugian wawancara
- wawancara dapat menjangkau jumlah responden lebih kecil
- kehadiran pewawancara mungkin dapat mengganggu responden
3. Dokumentasi
Metode dokumentasi adalah metode yang digunakan dengan cara mengutip
kalimat dari sumber yang didokumentasikan.
Kelebihan metode dokumentasi
- dapat digunakan dengan segera apabila diperlukan secara mendadak
- dapat memperoleh data yang merupakan kegiatan masa lampau
- bila ada hal-hal yang meragukan, pengutipan dapat diulang kembali tanpa
terikat oleh waktu dan situasi
Kelemahan metode dokumentasi
- peneliti tidak mengetahui langsung tentang keadaan yang sebenarnya, ada
kemungkinan terdapat hal-hal penting yang terlupakan atau bahkan hilang
- dengan maksud tertentu kandangkala dokumennya dibuat tidak wajar
- kadang-kadang data yang dikumpulkan kurang lengkap
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Latar Belakang Memilih Tukang Parkir Sebagai Pekerjaan
Tukang parkir adalah pekerjaan tingkat rendah yang juga memiliki tingkat
penghasilan yang rendah. Memang tukang parkir bukanlah suatu pekerjaan yang hina
dan melanggar hukum, tukang parkir adalah pekerjaan yang halal. Namun, dalam
zaman dimana pembangunan mulai menampakkan hasil dan teknologi telah
berkembang pesat, masih banyak pekerjaan lain yang lebih pantas, lebih baik, dan
lebih menjanjikan untuk penghasilan yang lebih besar daripada hanya menjadi
seorang tukang parkir. Akan tetapi, masih banyak sekali orang-orang yang memilih
tukang parkir sebagai sumber mata pencaharian mereka. Mereka lebih memilih
menjadi tukang parkir daripada melakukan atau mengerjakan pekerjaan lain yang
lebih baik. Semua itu pasti memiliki alasan tersendiri, mengapa mereka memilih
tukang parkir sebagai pekerjaan.
Dalam penelitian ini kami telah berhasil melakukan wawancara dengan
beberapa orang tukang parkir di Kecamatan Kota Pamekasan dan memperoleh data
yang kami butuhkan untuk penyelesaian penelitian ini. Salah satu data yang berhasil
kami dapatkan adalah alasan para tukang parkir memilih tukang parkir sebagai
pekerjaan. Salah satu alasannya adalah mereka tidak memiliki tingkat pendidikan
maupun modal yang cukup untuk melakukan atau mendapatkan pekerjaan lain.
Seperti yang dikatakan Ashari, tukang parkir yang biasa beroperasi di wilayah Pasar
Sore, yang kami wawancarai pada tanggal 23 Desember 2005.
Saya menjadi tukang parkir karena saya tidak memiliki modal untuk membuka usaha. Awalnya, saya ingin membuka warung kecil-kecilan , tetapi saya tidak punya uang. Oleh karena itu, saya memilih menjadi tukang parkir.
Begitu juga pernyataan yang dilontarkan oleh Dedi, tukang parkir yang biasa
beroperasi di depan Toko Apollo, yang kami wawancarai pada tanggal 23 Desember
2005.
Saya tidak punya keahlian apa-apa, jadi saya terpaksa menjadi tukang parkir, Mas !
Dari hasil wawancara di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa
sebenarnya mereka tidak benar-benar ingin menjadi tukang parkir atau dengan kata
lain mereka terpaksa menjadi tukang parkir karena tidak ada pekerjaan lain yang bisa
mereka dapatkan atau lakukan. Sebenarnya, mereka masih memiliki keinginan untuk
mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, tetapi mereka memiliki beberapa kendala
yang menghambat, salah satunya adalah modal yang kurang memadai.
B. Latar Belakang Perekonomian Tukang Parkir
Dewasa ini, banyak orang-orang yang melakukan pekerjaan-pekerjaan kecil
hanya sebagai proyek sampingan atau bahkan untuk mencari sensasi, padahal
sebenarnya mereka hidup dalam keadaan yang sangat berkecukupan. Misalnya saja,
banyak orang-orang yang mengamen atau menjadi sopir angkutan umum padahal
mereka termasuk golongan orang dengan ekonomi menengah ke atas. Orang-orang
seperti itu biasa dikenal dengan istilah “pengemis berdasi”. Namun, apakah hal
tersebut juga terjadi pada tukang parkir yang berada di Pamekasan atau mereka
benar-benar berasal dari golongan ekonomi lemah?
Untuk mengetahui hal di atas, kami telah melakukan wawancara dengan
beberapa tukang parkir untuk mengetahui latar belakang perekonomian mereka.
Berikut ini adalah jawaban dari beberapa tukang parkir yang kami wawancarai.
Menurut Samsul, tukang parkir yang biasa beroperasi di Irama Plaza, yang kami
wawancarai pada tanggal 24 Desember 2005.
Apakah anda yakin ada orang kaya yang menjadi pengamen atau supir angkot? Wah, orang itu benar-benar aneh. Seandainya saya memiliki banyak uang dan berkecukupan, saya tidak akan mau menjadi tukang parkir.
Samsul merasa kaget setelah kami menjelaskan bahwa ada segelintir orang
yang mengerjakan pekerjaan kecil hanya untuk mencari sensasi. Hal itu menandakan
bahwa tidak percaya dan dia menjadi tukang parkir karena dia memang kekurangan
bukan untuk mencari sensasi. Jawaban yang sama juga dilontarkan oleh Syaiful,
tukang parkir yang bekerja di Golden Sweet, yang kami wawancarai pada tanggal 24
Desember 2005.
Saya mempunyai empat orang anak yang masih bersekolah, penghasilan saya dan istri saya masih belum cukup untuk memenuhi biaya hidup kami.
Begitu juga dengan apa yang dikatakan Sahrawi, tukang parkir yang biasa
beroperasi di wilayah Aneka Topi 1, yang kami wawancarai pada tanggal 24
Desember 2005.
Saya ini orang miskin, Mas! Oleh karena itu, saya menjadi tukang parkir. Jika saya kaya, saya tidak akan menjadi tukang parkir. Buat apa?
Dari semua tukang parkir yang kami wawancarai, mereka mengeluarkan
jawaban yang hampir sama. Kebanyakan dari mereka kaget bahwa ada orang kaya
yang melakukan hal tersebut untuk mencari sensasi dan sebagian lainnya langsung
menegaskan bahwa mereka tergolong orang-orang dengan ekonomi lemah. Dari
pernyataan tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa tukang parkir di Pamekasan
memiliki latar belakang perekonomian lemah.
C. Kendala yang Ditemui Tukang Parkir
Menjadi tukang parkir dalam kondisi krisis ekonomi seperti ini bukanlah hal
yang mudah. Banyak orang yang putus asa untuk mendapatkan nafkah dengan cara
yang benar karena sulitnya memperoleh pekerjaan, sehingga mereka menghalalkan
segala cara untuk mendapatkannya mulai dari mencuri, merampok, main judi sampai
memakan uang rakyat. Setiap pekerjaan pasti memiliki resiko, tak terkecuali menjadi
tukang parkir. Bagi tukang parkir keberadaan orang-orang yang putus asa tersebut
menjadi kendala besar.
Untuk memperoleh jawaban pasti dari mereka, kami melakukan wawancara
terhadap Ali yang biasa bekerja di Gallery, yang kami wawancarai pada tanggal 25
Desember 2005.
Paling hanya kecolongan helm. Oh ya, yang paling parah, saya pernah kecolongan sepasang spion milik seseorang yang tinggal di Asrama KODIM. Tapi Alhamdulillah selama menjadi tukang parkir saya tidak pernah sampai kehilangan sepeda motor.
Hal senada juga diutarakan oleh Nur, tukang parkir yang biasa bekerja di
Golden Sweet, yang kami wawancarai pada tanggal 24 Desember 2005.
Berhubung saya baru bergelut di pekerjaan ini, saya Alhamdulillah belum pernah merasakan yang namanya kecolongan baik helm, spion, dan lainnya.
Dari semua pernyataan yang diutarakan kedua tukang parkir tersebut, dapat
disimpulkan bahwa kendala dari menjadi tukang parkir adalah resiko kehilangan
sepeda motor/mobil yang mereka jaga. Meskipun hal itu belum pernah terjadi pada
mereka, tetapi mereka sangat mawas diri dan selalu siap dengan segala resiko yang
mungkin timbul pada saat mereka bekerja.
Di samping kendala seperti yang telah diutarakan di atas ada juga kendala
yang sering terjadi pada diri mereka seperti yang menimpa Nur. Dia merasa betapa
sibuknya dia ketika akhir pekan. Setiap akhir pekan Golden Sweet selalu ramai
dengan pengunjung sehingga terkadang dia kewalahan untuk mengatasinya, sehingga
tidak sedikit pengunjung yang memanfaatkan hal tersebut, yang dengan sengaja tidak
membayar uang parkirnya.
Kadang-kadang ada orang yang langsung pergi tanpa membayar ongkos parkir. Biasanya mereka adalah anak-anak muda. Dasar anak muda!
D. Profesionalitas Kerja Tukang Parkir
Dewasa ini, budaya parkir tertib sudah mulai jarang terlihat dalam kehidupan
masyarakat. Banyak orang yang memarkir kendaraan seenaknya. Mereka memarkir
kendaraannya secara sembarangan atau dengan kata lain tidak teratur. Umum, hal
tersebut tidak hanya menjadi tanggung jawab pemilik kendaraan tetapi tukang parkir
juga ikut bertanggung jawab dalam penertiban kendaraan parkir. Disini,
profesionalitas kerja tukang parkir kurang dapat dirasakan.
Dalam penelitian ini, kami juga membahas tentang profesionalitas keja tukang
parkir. Untuk itu, kami telah melakukan wawancara dengan beberapa tukang parkir.
Sebagian dari mereka beranggapan bahwa mereka sudah melakukan yang terbaik
untuk mengatur orang-orang yang ingin memarkir kendaraan. Sebagian lainnya
berkata bahwa mereka tidak pernah mengerjakan pekerjaan mereka secara
sembarangan.
Ketika peneliti menanyakan apakah mereka selalu memberikan karcis parkir
kepada setiap pemilik kendaraan, mereka semua menjawab “ya”. Hal tersebut tampak
dari jawaban Sukri, tukang parkir yang biasa beroperasi di depan laboratorium La
Moras.
Saya selalu memberikan karcis parkir, Mas! kalau saya tiak memberi karcis, orang-orang mungkin tidak akan membayar uang parkir kepada saya!
Hal senada juga diutarakan oleh Amir, salah satu tukang parkir di wilayah Sae
Salera, yang kami wawancarai pada tanggal 25 Desember 2005.
Tentu saja saya memberi karcis. Jika tidak diberi, orang pasti tidak mau bayar parkir Mas ! Dulu, saya pernah lupa memberi karcis parkir, ketika saya meminta uang parkir, orang tersebut bilang bahwa dia tidak mau membayar karena tidak ada karcis parkir.
Sebagian besar tukang parkir yang kami wawancarai juga berkata bahwa
mereka selalu disiplin dalam bekerja, terutama disiplin waktu. Hal tersebut diutarakan
oleh Yanto, tukang parkir di Toko apollo, yang kami wawancarai pada tanggal 23
Desember 2005.
Saya bekerja mulai pukul 09.00-14.00 WIB. Dari pukul 14.00-16.00 WIB saya istirahat atau pulang kerumah, setelah itu dari pukul 16.00 WIB sampai pukul 22.00 WIB saya selalu ada disini.
Namun, ada juga beberapa tukang parkir yang tidak disiplin waktu atau
dengan kata lain tidak memiliki jam kerja tertentu. Salah satu sari tukang parkir
tersebut adalah Ali, tukang parkir di Galleria.
Ya, tidak tentu, Mas! biasanya, saya datang ke sini pukul 10.00 WIB dan terus bekerja sampai pukul 12.00 WIB. Tetapi, kadang-kadang saya pulang lebih awal. Untuk sore hari, saya biasa datang pukul 16.00 WIB dan biasanya saya pulang pukul 22.00 WIB. Kadang-kadang kalau sepi, jam 21.00 saya sudah pulang, Mas!
Dari dua pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa tukang parkir di
Pamekasan kurang berdisiplin. Hal itu juga berarti profesionalitas kerja mereka juga
kurang, walaupun tidak semua tukang parkir yang bersikap demikian.
E. Peranan Pemerintah Daerah
Pada seragam yang dikenakan oleh seorang tukang parkir biasanya terdapat
tulisan “Penegak Disiplin Kabupaten Pamekasan”, hal itu berarti bahwa tukang parkir
tersebut dipekerjakan oleh pemerintah daerah Kabupaten Pamekasan. Akan tetapi,
pemerintah daerah nampaknya kurang memperhatikan kesejahteraan tukang parkir
tersebut, hal itu dapat dibuktikan dengan kurangnya tindak lanjut pemerintah terhadap
mereka. Hal tersebut sempat diutarakan oleh Ashari.
Awalnya pemerintah sering memberi saya bantuan, misalnya setiap hari raya lebaran saya selalu memperoleh bantuan berupa uang. Namun, sekarang mereka sudah jarang memberikan bantuan-bantuan seperti itu.
Selain Ashari, Sahrawi juga kurang mendapat perhatian dari pemerintah
daerah, hal itu dia nyatakan saat kami mewawancarainya pada tanggal 24 Desember
2005.
Ah, pemerintah itu tidak pernah memperhatikan saya, Mas! Mana mungkin mereka memperhatikan saya, mereka itu sibuk memperhatikan diri mereka dan keluarga mereka sendiri!
Dari pernyataan Ashari dan Sahrawi di atas, kita dapat mengetahui bahwa
pemerintah kurang memperhatikan kesejahteraan tukang parkir di Pamekasan. Oleh
karena itu, kehidupan perekonomian mereka masih pontang-panting.
Pada kenyataannya tidak semua tukang parkir bekerja atau dipekerjakan oleh
pemerintah. Akan tetapi, sebagian dari mereka ada yang bekerja untuk pemilik toko
tertentu. Misalnya saja Yanto yang bekerja untuk pemilik toko Apollo.
Saya tidak kerja untuk pemerintah, saya dipekerjakan oleh pemilik toko ini. Kadang-kadang saya sering mendapat bonus dari pemilik toko. Pemilik toko ini baik sekali, Mas! Waktu Hari Raya kemarin, saya diberi bonus oleh dia!
Selain Yanto, para tukang parkir yang bekerja di Golden Sweet juga
dipekerjakan oleh pemilik toko tersebut. Hal tersebut dinyatakan oleh Syaiful.
Saya ini bekerja untuk pemilik toko ini. Saat Hri Raya, saya menerima bonus dari tuan pemilik toko ini.
Dari pernyataan Yanto tersebut, kita dapat menarik kesimpulan bahwa tukang
parkir yang bekerja untuk pengusaha tertentu, lebih diperhatikan kesejahteraannya
oleh si pengusaha daripada tukang parkir yang dipekerjakan oleh pemerintah.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari pembahasan mulai bab I sampai bab IV dapat disimpulkan bahwa
profesionalitas adalah kecakapan dan keterampilan khusus yang dimiliki seseorang
dalam mengerjakan tugasnya. Dengan demikian tukang parkir yang profesional
adalah tukang parkir yang dapat menjalankan tugasnya dengan baik dan penuh
tanggung jawab.
Dalam pembahasan bab IV, kita dapat menarik kesimpulan bahwa ada
beberapa tukang parkir yang tidak menjalankan tugasnya dengan baik dan kurang
bertanggung jawab terhadap kewajibannya. Hal itu berarti bahwa tukang parkir di
Kecamatan Kota Pamekasan kurang profesional.
Dalam bab IV juga dibahas tentang latar belakang perekonomian tukang
parkir di Kecamatan Kota Pamekasan tahun 2005 yang menyatakan bahwa hampir
seluruh tukang parkir tersebut termasuk golongan ekonomi lemah. Selain itu,
kesimpulan yang dapat kita tarik adalah Pemerintah Daerah kurang memperhatikan
kesejahteraan para tukang parkir tersebut. Dalam hal ini, masih belum ada tindak
lanjut yang berdampak luas terhadap kehidupan para tukang parkir tersebut.
B. Saran
Setelah mengetahui hasil dari penelitian ini, ada beberapa hal yang perlu kami
sarankan:
1. Bagi para tukang parkir, hendaknya secara sadar berusaha untuk melakukan
tugasnya dengan baik serta bertanggung jawab terhadap tugasnya tersebut.
2. Bagi Pemerintah Daerah, hendaknya lebih memperhatikan kesejahteraan
tukang parkir yang bekerja untuk pemerintah. Selain itu, pemerintah
diharapkan agar bisa meningkatkan keprofesionalitasan tukang parkir yang
ada, misalnya dengan memberikan penyuluhan atau mendirikan pusat
pelatihan tenaga kerja, khususnya tukang parkir.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama RI. 1984. Al-Quran dan Terjemahannya. Jakarta: Balai Pustaka.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka.
Tafsir, Ahmad. 2004. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam. Bandung: Remaja
Rosda Karya.
Muhammad, Abdul Kadir. 1982. Hukum Perikatan. Dalam Sri Hariyati. Penanggung
Jawaban Atas Hilangnya Kendaraan di Tempat Parkir. Surabaya: Fakultas
Hukum Universitas Merdeka Surabaya.
Subekti, R. 1984. Aneka Perjanjian. Dalam Sri Hariyati. Penanggung Jawaban Atas
Hilangnya Kendaraan di Tempat Parkir. Surabaya: Fakultas Hukum Universitas
Merdeka Surabaya.
Lampiran 1
DAFTAR RESPONDEN
1. Nama : Ashari
Alamat : Tambung
2. Nama : Dedi
Alamat : Kowel
3. Nama : Samsul
Alamat : Pademawu
4. Nama : Syaiful
Alamat : Pademawu
5. Nama : Sahrawi
Alamat : Pademawu
6. Nama : Ali
Alamat : Pademawu
7. Nama : Nur
Alamat : Pademawu
8. Nama : Sukri
Alamat : Tobungan
9. Nama : Amir
Alamat : Pademawu
10. Nama : Yanto
Alamat : Pademawu
Lampiran 2
DAFTAR PERTANYAAN
1. Mengapa anda memilih tukang parkir sebagai pekerjaan?
2. Bagaimana latar belakang perekonomian anda?
3. Apakah ada hambatan, gangguan atau masalah ketika anda menjalankan tugas?
4. Kapan waktu/jam kerja anda?
5. Apakah anda selalu disiplin dan bertanggung jawab terhadap pekerjaan anda?
6. Apakah anda dipekerjakan oleh pemerintah?
7. Adakah tindak lanjut dari pemilik toko/pemerintah?
KATA PENGANTAR
Rasa puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini
dengan judul “Profesionalitas Kerja Tukang Parkir di Kecamatan Kota
Pamekasan Tahun 2005” dengan baik.
Skripsi ini disusun guna memenuhi salah satu tugas dari guru Sosiologi kami,
yaitu Bapak Mukti Ali, Spd.
Pada kesempatan ini pula perkenankanlah kami menyatakan penghargaan
yang setinggi-tingginya dan rasa terima kasih kami kepada:
1. Bapak Drs. Djoko Supratiknjo, selaku Kepala Sekolah SMA Negeri I Pamekasan,
yang telah memberi kami izin untuk melakukan penelitian ini;
2. Bapak Drs. Saleh Sufandi, selaku Wali Kelas III IPS 3, yang senantiasa dengan
sabar dan penuh pengertian membimbing dan mendidik kami dalam segala hal;
3. Bapak Mukti Ali, Spd. sebagai guru pengajar Sosiologi, yang senantiasa dengan
penuh pengertian serta kesabaran menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk
memberikan bimbingan hingga kami dapat menyelesaikan skripsi ini;
4. Seluruh guru pengajar di lingkungan SMA Negeri I Pamekasan yang telah
membekali kami ilmu pengetahuan yang tak ternilai harganya selama kami dalam
masa pendidikan;
5. Semua pihak yang kami jadikan tempat mencari data untuk penulisan skripsi ini,
yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu, kami pun berkewajiban untuk
mengucapkan rasa terima kasih yang tidak terhingga atas segala bantuannya;
6. Rekan-rekan pelajar SMA Negeri I Pamekasan yang telah bersama-sama
menempuh pendidikan.
Penulis berharap agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi kepentingan dunia
pendidikan pada khususnya dan kepentingan masyarakat pada umumnya, meskipun
penulis sudah berusaha menyusun skripsi ini dengan sebaik-baiknya, namun penulis
menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh
karena itu, demi kesempurnaannya segala saran dan kritik membangun dari semua
pihak akan penulis terima dengan senang hati.
Pamekasan, Desember 2005
Penulis