perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
PENGARUH PENAMBAHAN DEXAMETHASONE TERHADAP MULA KERJA
DAN LAMA KERJA LIDOKAIN PADA BLOK PLEKSUS BRAKHIALIS DENGAN
PENDEKATAN SUPRAKLAVIKULAR, INFRAKLAVIKULAR DAN AKSILER
TESIS
Disusun untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister
Program Studi Kedokteran Keluarga Minat Utama Ilmu Biomedik
Oleh :
Immanuel Purbawisesa
S.501002008
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
PENGARUH PENAMBAHAN DEXAMETHASONE TERHADAP MULA KERJA DAN
LAMA KERJA LIDOKAIN PADA BLOK PLEKSUS BRAKHIALIS DENGAN
PENDEKATAN SUPRAKLAVIKULAR, INFRAKLAVIKULAR DAN AKSILLER
ABSTRAK
Immanuel Purbawisesa, S 501002008. Pengaruh Penambahan Dexamethasone terhadap Mula
Kerja dan Lama Kerja Lidokain pada Blok Pleksus Brakhialis dengan Pendekatan
Supraklavikular, Infraklavikular dan Aksiller. Pembimbing I : Prof. DR. Harsono Salimo, dr.,
SpA (K), Pembimbing II : Purwoko, dr., SpAn., KAKV. Tesis : Anestesiologi dan Terapi
Intensif Fakultas Kedokteran, Pascasarjana Program Studi Magister Kedokteran Keluarga
Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Latar belakang : Penambahan ajuvan obat anestesi lokal untuk blok pleksus brakhialis dapat
menambah kualitas dan durasi analgesia. Dexamethasone, suatu kortikosteroid yang larut air,
dikenal mampu menghasilkan anti nosiseptif, antiinlamasi dan memperbaiki efek obat anestesi
lokal saat diberikan secara intraartikular, infiltrasi maupun epidural.
Tujuan : Penelitian ini adalah untuk mengetahui efek dexamethasone yang ditambahkan pada
lidokain sebagai anestesi blok pleksus brakhialis.
Metode : Penelitian buta ganda terrandomisasi dilakukan pada 22 pasien dewasa ASA I dan II
yang akan menjalani bedah lengan bawah dengan blok pleksus brakhialis dengan pendekatan
supraklavikular atau infraklavikular ataupun aksiller di RSUD Muwardi dan RSUP Orthopedi
Suharso. Pasien dirandomisasi kedalam dua grup. Pasien Grup LED (n = 11) diberikan 30 mL
lidokain 1,6 %, epinefrin 2,5 µg/ml dan dexamethasone 8 mg. Grup LE (n = 11) diberikan 30
mL lidokain 1,6 % dan epinefrin 2,5 µg/ml. Mula kerja serta lama kerja blok motorik dan
sensorik dicatat. Data dianalisis dengan uji t dua sampel tidak berhubungan untuk data
parametrik dan uji Mann-Whitney untuk data non parametrik.
Hasil : Data penelitian didapatkan mula kerja blok sensorik (p=0,141) dan motorik (p=0,187)
tidak berbeda signifikan. Namun lama kerja blok sensorik (p < 0,001) dan motorik (p < 0,001)
secara signifikan berbeda antara kedua grup, lebih memanjang pada grup LED dibandingkan
grup LE.
Kesimpulan : Penambahan dexamethasone 8 mg pada kombinasi 30 ml lidokain 1,6 % dan
epinefrin 2,5 µg/ml tidak mempercepat mula kerja blok motorik dan sensorik, namun
memperpanjang lama kerja blok motorik dan sensorik pada blok pleksus brakhialis.
Kata kunci: dexamethasone, lidokain, blok pleksus brakhialis.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ABSTRACT
Immanuel Purbawisesa, S 501002008. The Effect of Adding Dexamethasone to The Onset and
Duration of Lidocaine on Brachial Plexus Block by Supraclavicular, Infraclavicular and
Axillary Approach. First Consultant : Prof. DR. Harsono Salimo, dr., SpA (K)., Second
Consultant : Purwoko, dr., SpAn., KAKV., Departement of Anesthesiology and Intensive
Therapy Faculty of Medicine, Post Graduate Familly Medical Magister Study Program,
University of Sebelas Maret, Surakarta.
Background : Adjuncts to local anesthetics for brachial plexus block may enhance the quality
and duration of anesthesia and analgesia. Dexamethasone, a water-soluble synthetic
glucocorticoids, is known to produce anti nociception, antiinflammatory and enhance the effect
of local anesthetics when given intraarticullary, by infiltration or epidurally.
Objective : The aim of this study was to assess the effect of dexamethasone added to lidocaine
for brachial plexus block anesthesia.
Methods: A randomized control trial double blind study was conducted on 11 ASA I and II
adult patients undergoing lower arm surgeries under brachial plexus block by supraclavicular,
infraclavicular or axillary approach. Patients were randomly divided into two groups. Patients in
Group LED (n = 11) were administered 30 ml of 1,6 % lidocaine, epinefrine 2,5 µg/ml and
dexamethasone 8 mg. Group LE (n = 11) were given 30 mL of 1,6 % lidocaine and epinefrine
2,5 µg/ml. Motor and sensory block onset and duration were recorded. Data were analysed to
compare two means with independent-samples t test for parametric data and with Mann-
Whitney test for non parametric data.
Results: The onset of sensory (p=0,141) and motor (p=0,187) block were not differ between the
two groups. And the duration of sensory (p < 0,001) and motor (p < 0,001) block significantly
differ, the LED group duration of sensory and motor block was much longer compared to the
LE group.
Conclusion : Dexamethasone 8 mg in combination with 30 ml of 1,6 % lidocaine and
epinefrine 2,5 µg/mL did not hastened the onset of sensory and motor block, but did prolonged
the duration of sensory and motor block.
Keywords: dexamethasone, lidocaine, brachial plexus block.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas petunjuk dan rahmat
serta karunia yang diberikan, sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis dengan judul
“Pengaruh Penambahan Dexamethasone Terhadap Mula Kerja dan Lama Kerja
Lidokain pada Blok Pleksus Brakhialis dengan Pendekatan Supraklavikular,
Infraklavikular dan Aksiller”.
Tesis ini dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan mencapai derajat Magister
Kesehatan. Terselesaikannya Tesis ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Atas
kesempatan, bantuan, motivasi dan bimbingan yang diberikan kepada penulis, maka
pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih sebesar–besarnya kepada
yang terhormat :
1. Prof. Dr. Ravik Karsidi, Drs., MS, selaku Rektor Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
2. Prof. Dr. Ahmad Yunus, Ir., MS, selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
3. Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp.PD–KR FINASIM., selaku Dekan Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
4. Dr. Hari Wujoso, dr., Sp.F., MM, selaku Ketua Program Studi Magister Kedokteran
Keluarga Universitas Sebelas Maret Surakarta.
5. Ari Natalia Probandari, dr., MPH., Ph.D., selaku Sekretaris Program Studi Magister
Kedokteran Keluarga Universitas Sebelas Maret Surakarta.
6. Afiono Agung Prasetyo, dr., Ph.D., selaku Ketua Minat Ilmu Biomedik Program
Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.
7. Prof. Dr. Harsono Salimo, dr., Sp.A (K)., selaku Pembimbing Metodologi.
8. Purwoko, dr., Sp.An, KAKV., selaku Pembimbing Substansi.
9. H. Marthunus Judin, dr., Sp.An, KAP., selaku Kepala SMF Ilmu Anestesiologi dan
Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta/ RSUD
Dr. Moewardi Surakarta.
10. Hery Budi Sumaryono, dr., Sp.An., selaku Kepala SMF Anestesiologi dan Terapi
Intensif RSOP Dr. Soeharso.
11. M. H. Sudjito, dr., Sp.An, KNA., selaku Ketua Program Studi Pendidikan Dokter
Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas
Sebelas Maret Surakarta/ RSUD Dr. Moewardi Surakarta.
12. Seluruh staf pengajar PPDS I Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta/ RSUD Dr. Moewardi Surakarta
dan RSOP Dr. Soeharso Surakarta.
13. Semua pasien RSUD Dr. Moewardi, RSOP Dr. Soeharso dan RS jejaring sebagai
guru sejati yang telah memberikan dirinya untuk pendidikan kami.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14. Rekan – rekan sejawat residen PPDS I Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta/ RSUD Dr. Moewardi Surakarta.
15. Yuli, Mawar, Neil dan Riri yang selalu berada dalam pikiran dan jiwaku menemani
dalam susah maupun senangku.
16. Keempat orang tua yang selalu memberikan semangat baru untuk bekerja.
17. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan Tesis ini.
Penulis menyadari bahwa Tesis ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu
besar harapan Penulis untuk mendapatkan kritik dan saran demi perbaikan sehingga
bermanfaat bagi perkembangan keilmuan di bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif
serta Kedokteran Keluarga.
Surakarta, September 2012
Penulis,
Immanuel Purbawisesa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ................................................ ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ......................................................... iii
PERNYATAAN ORISINALITAS DAN PUBLIKASI ISI TESIS .................. iv
ABSTRAK ...................................................................................................... v
ABSTRACT .................................................................................................... vi
KATA PENGANTAR ...................................................................................... vii
DAFTAR ISI ................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL ............................................................................................ xiii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xvi
BAB I. PENDAHULUAN .............................................................................. 1
A. Latar Belakang ……….. ..................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .............................................................................. 7
C. Tujuan Penelitian .............................................................................. 7
D. Manfaat Penelitian ............................................................................ 8
1. Aspek Teoritis ............................................................................... 8
2. Aspek Aplikatif ............................................................................. 8
3. Aspek Kedokteran Keluarga ......................................................... 8
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 9
A. Kajian Teori ....................................................................................... 5
1. Blok Pleksus Brakhialis .................................................................. 9
1.a. Blok Supraklavikular ............................................. 13
1.b. Blok Infraklavikular ............................................. 14
1.c. Blok Aksiller ......................................................... 16
2. Lidokain ………............................................................................. 17
3. Deksamethasone ....... ..................................................................... 18
B. Kerangka Pikir ............................................................................... 39
C. Hipotesis Penelitian ............................................................................. 40
BAB III. METODE PENELITIAN ................................................................. 41
A. Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................ 41
B. Jenis Penelitian ................................................................................... 41
C. Subjek Penelitian ............................................................................ 41
D. Data dan Sampel Penelitian ......................................................... 42
1. Kriteria Inklusi .............................................................................. 42
2. Kriteria Eksklusi ............................................................................ 42
3. Besar Sampel ……………………………………………………. 43
E. Variabel Penelitian ............................................................................ 44
1. Variabel Bebas .............................................................................. 44
2. Variabel Tergantung ..................................................................... 44
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
F. Definisi Operasional Variabel Penelitian ........................................... 44
1. Blok Pleksus Brakhialis ... …....................................................... 44
2. Lidokain 1,6%/ml + Epinefrin 2,5 µg/ml + Dexamethasone 8 mg .. 45
3. Lidokain 1,6%/ml + Epinefrin 2,5 µg/ml ..................................... 45
4. Mula kerja blok sensorik ............................................................... 45
5. Lama kerja blok sensorik ............................................................... 46
6. Mula kerja blok motorik ................................................................. 47
7. Lama kerja blok motorik ................................................................. 48
G. Alur Penelitian ................................................................................... 49
H. Alat dan Obat ..................................................................................... 50
1. Peralatan ........................................................................................ 50
2. Obat ................................................................................................ 50
I. Etika Penelitian ................................................................................. 50
J. Analisa Data ..................................................................................... 51
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................... 52
A. Hasil Penelitian ................................................................................. 52
1. Karakteristik demografi sampel penelitian .................................... 53
2. Analisa normalitas data hasil penelitian ........................................ 55
3. Analisis perbandingan hasil penelitian .......................................... 56
a. Mula kerja blok sensorik .................................................. 56
b. Mula kerja blok motorik ................................................... 57
c. Lama kerja blok sensorik ................................................... 58
d. Lama kerja blok motorik ................................................... 59
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
B. Pembahasan ....................................................................................... 60
BAB V. PENUTUP ......................................................................................... 63
A. Kesimpulan ........................................................................................ 63
B. Saran .................................................................................................. 63
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 64
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Karakteristik obat anestesi lokal …………………………..... 20
Tabel 2.2. Klasifikasi serabut saraf.......................….…………………… 24
Tabel 2.3. Karakteristik blok, konsentrasi dan dosis obat anestesi lokal
yang disarankan untuk blok saraf perifer.................................
25
Tabel 2.4. Toksisitas anestesi lokal pada dosis klinis
…………………………………..............................................
29
Tabel 3.1. Visual Analog Scale …………................................................. 47
Tabel 3.2. Modified Bromege skor …………………….......................... 47
Tabel 4.1. U Uji normalitas data demografi dasar berskala numerik ........... 53
Tabel 4.2. Karakteristik demografi sampel penelitian (data numerik) ..... 54
Tabel 4.3. Karakteristik demografi sampel penelitian (data nominal) ..... 54
Tabel 4.4. Uji normalitas data hasil penelitian ......................................... 55
Tabel 4.5. Uji Mann-Whitney terhadap rerata perbedaan mula kerja blok
sensorik ....................................................................................
56
Tabel 4.6. Uji Mann-Whitney terhadap rerata perbedaan mula kerja blok
motorik .....................................................................................
57
Tabel 4.7. Uji independent-samples t test terhadap rerata perbedaan
lama kerja blok sensorik ..........................................................
58
Tabel 4.8. Uji independent-samples t test terhadap rerata perbedaan
lama kerja blok motorik ...........................................................
59
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Anatomi pleksus brakhialis .....…………………………. 9
Gambar 2.2. Berbagai akses untuk memblok pleksus brakhialis......... 11
Gambar 2.3. Blok supraklavikular………………............................... 14
Gambar 2.4. Distribusi blok supraklavikular….…………………....... 14
Gambar 2.5. Blok infraklavikular ……………………........................ 15
Gambar 2.6. Distribusi blok infraklavikular ....................................... 16
Gambar 2.7. Blok aksiller ................................................................... 17
Gambar 2.8. Distribusi blok aksiller.................................................... 17
Gambar 2.9. Struktur kimia lidokain .................................................. 18
Gambar 2.10. Anatomi serabut saraf........................................................ 21
Gambar 2.11. Mekanisme kerja anestesi lokal pada kanal natrium........ 23
Gambar 2.12. Gejala toksisitas sistemik dan konsentrasi plasma
lidokain ............................................................................
29
Gambar 2.13. Struktur kimia dexamethason ....................................... 31
Gambar 2.14. Mekanisme kerja steroid pada sel ..................................... 31
Gambar 2.15. Glukokortikoid sebagai penghambat fosfolipase A2........ 35
Gambar 2.16. Transimisi nyeri dan tempat kerja dexamethasone ......... 37
Gambar 2.17. Kerangka berpikir ........................................................... 39
Gambar 3.1. Tes sensorik pada lengan bawah .................................... 46
Gambar 3.2. Alur penelitian ................................................................ 49
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Gambar 4.1. Grafik mula kerja blok sensorik dan blok motorik antara
grup LED dan grup LE ..........................................
58
Gambar 4.2. Grafik lama kerja blok sensorik dan motorik antara grup
LED dan grup LE .............................................................
60
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Surat pernyataan persetujuan uji klinik
Lampiran 2. Lembar penelitian
Lampiran 3. Penjelasan alur penelitian
Lampiran 4. Penentuan sampel dengan kalkulator open epi
Lampiran 5. Jadwal kegiatan
Lampiran 6. Organisasi penelitian
Lampiran 7. Ethical clearence RSUD Dr. Moewardi Surakarta
Lampiran 8. Karakteristik demografi sampel penelitian
Lampiran 9. Data hasil penelitian
Lampiran 10. Tabel blok randomisasi sampel
Lampiran 11. IBM SPSS statistics 17
Lampiran 12. Daftar obat dan cairan yang digunakan dalam penelitian
Lampiran 13. Biodata
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang penelitian
Operasi pada ekstremitas atas dengan sedasi dan blok plexus brakhialis telah
menjadi anestesi yang rutin dilakukan pada pasien rawat jalan terutama bedah ortopedi.
Blok saraf perifer digunakan, karena memiliki beberapa keuntungan pada pasien yaitu
dapat digunakan pada pasien rawat jalan (terutama operasi ekstremitas atas), preemptive
analgesia, menghindari general anestesi dengan segala resikonya, pada operasi
emergensi dengan lambung penuh, resiko rendah terjadinya mual dan muntah,
mobilisasi yang lebih cepat, mengurangi nyeri post operatif (sampai beberapa hari
dengan blok saraf tepi kontinyu), perfusi yang lebih baik pada ekstremitas yang terkena
trauma karena terjadinya vasodilatasi oleh blok simpatik dan pemulangan lebih awal
(Jankovic 2004, Chelly 2007).
Lokal anestesi di definisikan sebagai hilangnya sensasi pada suatu area di tubuh
yang di sebabkan oleh depresi dari exsitasi akhir saraf atau inhibisi dari proses konduksi
pada nervus perifer, kegunaan penting yang di hasilkan oleh lokal anestesi ini berupa
hilangnya sensasi tanpa hilangnya kesadaran, hal ini merupakan perbedaan besar yang
dramatis dari lokal anestesi di bandingkan dengan general anesthesia (Stanley 1997).
Regional anestesi dan blok saraf perifer kurang menimbulkan gangguan kognitif
bila di bandingkan dengan general anestesi (terutama pada pasien tua) dan ada bukti
bahwa blok saraf perifer lebih imunosupresif dari pada general anestesi. Blok saraf
perifer dapat menjadi alternatif yang baik untuk pasien dengan resiko mual-muntah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
atau pasien beresiko terjadinya hipertermi maligna , pasien yang secara haemodinamik
kurang stabil atau pasien yang kurang mampu mentolelir general anestesi karena
penyakit serius yang di deritanya (Jankovic 2004).
Keunggulan Peserta Pendidikan Dokter Spesialis Anestesi di FK UNS
dibandingkan dengan pusat pendidikan PPDS Anestesi di tempat lain adalah dengan
adanya RS Pusat Rujukan Ortopedi satu – satunya di Indonesia yang khusus melayani
operasi Ortopedi. Dengan demikian memberikan kesempatan untuk melakukan lebih
banyak kasus regional anestesi dan blok saraf perifer bagi PPDS Anestesi FK UNS
dibandingkan dengan pusat pendidikan PPDS Anestesi di tempat lain. Hal ini pula yang
mendorong penulis melakukan penelitian di bidang blok saraf perifer.
Teknik blok saraf perifer pada pleksus brakhialis disesuaikan dengan lokasi dan
jenis operasi yang akan dilakukan pada ekstremitas atas. Teknik single shoot injection
dengan menggunakan peripheral nerve stimulator dapat dilakukan dengan urutan dari
proximal ke distal pada ekstremitas atas sebagai berikut (Hadzic 2007) :
Untuk operasi di daerah klavikula sampai dengan pergelangan bahu dapat dilakukan
dengan pendekatan blok interskalenus
Untuk operasi di daerah lengan atas dan siku dapat dilakukan dengan pendekatan
blok supraklavikuler atau kombinasi blok infraklavikular dan aksiller.
Untuk operasi di daerah lengan bawah sampai jari – jari dapat dilakukan dengan
blok supraklavikular, infraklavikular atau aksiller.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Pada penelitian dilakukan blok pada plexus brakialis secara single injection
dengan nerve stimulator untuk operasi daerah siku kebawah dengan pendekatan
supraklavikular, infraklavikular dan aksiller agar dapat menilai lama blokade motorik
secara seragam pada kelompok otot yang sama.
Dokter anestesi harus mempertimbangkan dosis toksik dan karakteristik obat
anestesi lokal yang akan digunakan seperti mula kerja, lama kerja, derajat blok sensorik
dan motorik, dan toksisitasnya pada jantung yang disebabkan besarnya volume anestesi
lokal (30 – 40 ml) yang diberikan dalam melakukan blok saraf perifer dengan
peripheral nerve stimulator secara single injection (Fischer 2004). Karenanya
penambahan epinefrin pada obat lokal anestesi mutlak harus diberikan.
Obat anestesi lokal adalah obat yang dapat menyebabkan blok konduksi dari
impuls saraf yang bersifat reversibel sepanjang jalur saraf sentral maupun perifer setelah
dilakukan anestesi regional. Pemberian konsentrasi yang tepat dari obat anestesi lokal
maka impuls saraf otonom, sensorik somatik dan motorik somatik akan terganggu
sehingga menyebabkan blok sistem saraf, dan paralisis dari otot skelet pada daerah
yang dipersarafi saraf yang terpapar (Berde 2010). Konsentrasi efektif lidokain untuk
bloks saraf perifer adalah 1,5 % sampai dengan 2 % per ml (Casati 2009).
Toksisitas lokal dari obat anestesi lokal tergantung terhadap konsentrasi obat dan
pemilihan jenis obat. Obat anestesi lokal dengan konsentrasi yang rendah dapat pula
digunakan ketika obat anestesi lokal dalam volume yang besar dibutuhkan untuk
anestesi. Larutan dengan konsentrasi yang tinggi dapat berguna untuk meningkatkan
blok motorik, namun dapat meningkatkan total dosis dalam miligram ( mg ) obat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
anestesi lokal tersebut sehingga meningkatkan resiko terjadinya toksisitas (Bernards
2009).
Blok perifer sebagai moda anestesi pada operasi – operasi ekstremitas semakin
meningkat penggunaannya pada era tahun 2000 seiring dengan ditemukannya alat,
teknik dan obat – obatan lokal anestesi yang baru.Stimuplex, USG untuk blok saraf
perifer dan obat lokal anestesi baru seperti ropivacain dan levobupivacain memberikan
ketepatan untuk identifikasi saraf dan blok saraf yang lebih lama dengan toksisitas obat
yang lebih rendah. Walaupun demikian harga obat baru tersebut masih termasuk mahal
(harga di apotek RS. Muwardi bupivakain 0,5% 20 cc Rp. 87.424,-; levobupivakain 10
cc HET Rp. 142.931,-; ropivakain 0,5 % 20 cc HET Rp.88.802,-) dibandingkan dengan
lidokain 2 % 2 cc (di apotek RS. Muwardi Rp. 1400,-) dan PehacainTM
yaitu lidokain 2
% dengan epinefrin 12,5 mikrogram (di apotek RS. Muwardi Rp. 3.900,-) yang lebih
murah. Lidokain sebagai obat lokal anestesi pada blok perifer mempunyai keuntungan
secara ekonomi dan bersifat kurang toksik terhadap jantung, selain mudah didapatkan di
daerah – daerah. Namun mempunyai durasi kerja yang lebih singkat bila dibandingkan
dengan bupivakain, levobupivakain dan ropivakain. Berbagai penelitian telah dilakukan
dengan menambahkan adjuvant untuk menambah durasi kerjanya. Beberapa obat
tambahan yang telah diteliti antara lain opioid (Bazin 1997), klonidin (Culebras 2001),
neostigmin (Bone 1999), hialuronidase (Keller 1992), bikarbonat (Bedder 1998) dan
midazolam (Jarbo 2005, Pratama 2012). Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa
penambahan obat tersebut tidak efektif atau memiliki efek samping, yaitu morfin
menyebabkan mual dan pruritus, klonidin tidak memperpanjang efek analgesi post
operatif tetapi menyebabkan perubahan haemodinamik, bikarbonat waktu onset blok
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
sensorik lebih cepat di bandingkan kontrol namun tidak menambah durasi kerja dan
midazolam mempercepat onset blokade sensorik serta motorik namun tidak bermakna
meningkatkan durasi blokade sensorik maupun motorik.Yang secara efektif
memperpanjang durasi kerja lidokain adalah epinefrin dengan konsentrasi maksimal
tanpa efek samping bermakna adalah 5 µg/ml dengan pengenceran 1 : 200.000 melalui
vasokonstrisi pembuluh darah dan reseptor alfa adrenergik (Bernards 2009).
Peneliti tertarik dengan penambahan dexamethasone pada lidokain dengan
epinefrin untuk memperpanjang durasi kerja dan terutama memperpanjang efek
analgetiknya pada blok saraf perifer berdasarkan penelitian Johansson et al (1990)
mengenai aplikasi kortikosteroid secara topikal pada nervus plantaris tikus terbukti
menghambat transmisi nosiseptif dari serabut saraf thin unmyelinated C-fibres melalui
aksi langsung pada membran. Holte et al (2002) menambahkan dexamethasone pada
infiltrasi subkutan bupivakain mikrokapsul memperpanjang efek analgesinya sampai 7
hari. Bigat et al (2006) menambahkan dexamethasone pada Intravenous regional
anesthesia (Bier blok) memperpanjang efek analgesia dari lidokain. Movafegh et al
(2006) menambahkan dexamethasone pada lidokain 1,5 % untuk blok axiler
memperpanjang durasi blok sensoris dan motorik, dimana durasi dari blok sensoris pada
kelompok lidokain + dexamethasone 168 ± 76 menit sedangkan pada kelompok
lidokain saja 98 ± 33 menit dan untuk blok motorik pada kelompok lidokain +
dexamethasone 310 ± 81 sedangkan kelompok lidokain saja 130 ± 31 menit.
Penambahan dexamethasone pada kombinasi bupivakain, klonidin dan epinefrin sangat
memperpanjang durasi sensorik (1457 menit) tetapi juga motorik blok (1374 menit)
pada blok interskalenus dengan panduan USG (Vieira et al 2010).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Deksamethasone selain murah ( harga di apotek RS. Muwardi Rp. 2.500,- per
ampul 2 ml 5 mg) memiliki banyak kegunaan selain sebagai ajuvan anestesi lokal
diantaranya; mengurangi terjadinya nausea dan vomiting post operasi (Jaafarpour et al
2008, Ormel et al 2011, Yang et al 2012), mengurangi respons inflamasi (Bronicki et al
2000, Kroin et al 2004, Yao et al 2010) dan sebagai penghambat pelepasan IL-8 dan
GSM-CSF yang berperan dalam pelepasan sitokin pada reaksi alergi (Uings et al 2005).
Hingga saat ini masih belum ada penelitian yang membandingkan antara 30 ml
lidokain 1,6 % + epinefrin 2,5 µg per ml dengan 30 ml kombinasi lidokain 1,6 % +
epinefrin 2,5 µg per ml ditambahkan dengan dexamethasone 8 mg untuk blok pleksus
brakhialis single injection dengan pendekatan supraklavikular, infraklavikular dan
aksiller pada pembedahan ekstremitas atas.
B. Rumusan masalah
Apakah kombinasi lidokain 1,6 % + epinefrin 2,5 µg per ml + dexamethason 8
mg lebih bermanfaat dibandingkan dengan lidokain 1,6 % + epinefrin 2,5 µg per ml
dalam hal mula kerja dan lama kerja blok sensoris dan motorik pada single injection
blok pleksus brakhialis dengan pendekatan supraklavikular, infraklavikular dan aksiller
?
C. Tujuan Penelitian
Membandingkan mula kerja dan lama kerja antara kombinasi lidokain, epinefrin
dan dexamethason dengan kombinasi lidokain dan epinefrin pada single injection blok
pleksus brakhialis dengan pendekatan supraklavikular, infraklavikular dan aksiller.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
D. Manfaat Penelitian
1. Aspek Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang bermanfaat
mengenai konsentrasi obat anestesi lokal dan obat tambahan yang dapat digunakan pada
single injection blok pleksus brakhialis melalui pendekatan supraklavikuler,
infraklavikular dan aksiller untuk pembedahan lengan bawah sehingga dapat menambah
kenyamanan pasien dalam melewati masa pembedahan dan memberikan manfaat
tambahan dari injeksi dexamethason.
Diharapkan hasil penelitian ini juga dapat digunakan sebagai rujukan untuk
penelitian lebih lanjut.
2. Aspek Aplikatif
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan praktis yang
bermanfaat mengenai penggunaan lidokain dengan dosis yang lebih tepat, mudah, serta
ekonomis terutama di daerah perifer dengan dexamethasone sebagai ajuvan anestesi
lokal dalam blok pleksus brakhialis untuk anestesi pembedahan ekstremitas atas.
3. Aspek Kedokteran Keluarga
Menjadi informasi bagi masyarakat terutama dokter keluarga sebagai bahan KIE
pada pasien mengenai adanya alternatif anestesi operasi lengan bawah dengan blok
anestesi, kombinasi lokal anestesi dan ajuvannya yang kurang toksik dan secara
ekonomi lebih terjangkau.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
1. Blok pleksus brakhialis
Pleksus brakhialis berawal dari serabut saraf (C5 – C8) dan serabut saraf (T1) yang
kemudian turun dan berjalan di bawah klavikula melalui aksila serta turun ke lengan
bawah. Teknik blok ini dapat di lakukan melalui beberapa pendekatan yaitu pendekatan
interskalenus, supraklavikular, infraklavikular dan aksiller. Keberhasilan dalam
melakukan blok pleksus brakhialis membutuhkan pengetahuan yang cukup mengenai
anatomi. Hal ini diperlukan untuk menentukan pendekatan mana yang terbaik dan
mengetahui lokasi saraf yang dituju. Letak pleksus pada umumnya diketahui atau
ditandai dengan titik anatomis dengan menggunakan tulang atau pembuluh darah
sebagai penanda (Wedell 2010).
Gambar 2.1. Anatomi pleksus brakhialis (Hadzic 2007).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Pleksus brakhialis terdiri dari cabang, batang, divisi, fasikulus, dan saraf terminal.
Cabang saraf ventral C5 sampai T1 akan bersatu untuk membentuk suatu ikatan yang
dikenal dengan nama pleksus brakialis. Dileher seluruh cabang saraf keluar dari
kolumna spinalis melalui tuberkel prosesus tranversus anterior dan posterior pada
vertebra. Cabang tersebut akan melewati kompartemen yang panjang dan sempit di
antara fasia posterior otot skalenus anterior dan fasia anterior otot skalenus medial. Obat
anestesi lokal yang diinjeksikan pada daerah ini menyebabkan blok interskalen dengan
distribusi dermatom C4 sampai C7 (Jankovic 2004).
Cabang saraf C4 sampai C6 akan membentuk trunkus atas dan cabang C8 sampai T1
akan membentuk trunkus bawah, sedangkan C7 akan membentuk trunkus tengah.
Trunkus terbentuk di antara muskulus skalenus anterior dan muskulus skalenus medial
pada rongga interskalen bagian bawah. Injeksi lokal anestesi pada bagian kaudal dari
rongga interskalenus atau di atas klavikula untuk blokade pleksus brakhialis dikenal
dengan blok supraklavikular atau low interscalenne block. Truncus akan melewati iga
pertama dan masing masing akan terbagi menjadi divisi anterior dan posterior.
Berdasarkan ultrasonografi terdapat 6 divisi dan terletak di atas dan di bawah arteri
subklavikula ketika arteri tepat di iga pertama. Pada prosesus korakoid divisi akan
bersatu dan membentuk 3 fasikulus. Anestesi yang di berikan di sepertiga tengah
inferior klavikula pada lokasi ini akan menghasilkan blok infraklavikular. Ketiga
fasikulus tersebut terdiri dari fasikulus lateral, medial, dan posterior membentuk nervus
medianus dan sebagian cabang fasikulus lateral akan membentuk nervus
muskulokutaneus. Sebagian cabang fasikulus medial akan membentuk nervus ulnaris.
Cabang dari fasikulus posterior akan membentuk nervus radialis dan nervus aksilaris.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Cabang fasikulus lateral bersama dengan cabang dari fasikulus medial akan membentuk
nervus medianus, injeksi lokal anestesi pada fossa aksila ini menyebabkan blokade
pleksus brakhialis dan dikenal dengan blok aksiller (Mulroy 2006).
Gambar 2.2. Berbagai akses untuk blokade pleksus brakhialis (Jankovic 2004)
Nervus muskulokutaneus (C5 – C7) memiliki distribusi sensoris pada sisi medial lengan
bawah. Fungsi motoris dari saraf ini adalah fleksi dari siku. Nervus radialis (C5 – T7)
memiliki distribusi sensoris pada sisi radial punggung tangan, ibu jari, telunjuk dan
sebagian jari tengah. Fungsi motorik dari saraf ini antara lain fleksi siku, fleksi atau
abduksi pergelangan tangan, supinasi lengan bawah atau tangan dan ektensi jari tangan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Nervus ulnaris (C8-T1) memiliki distribusi sensoris pada telapak tangan bagian ulnar,
punggung tangan, sebagian jari tengah, jari manis dan jari kelingking pada punggung
tangan dan sebagian jari manis dan kelingking pada sisi telapak tangan. Fungsi motoris
dari saraf ini fleksi ulnar pergelangan tangan, fleksi jari tengah hingga kelingking, dan
abduksi dari ibu jari.
Nervus medianus (C6-T1) memiliki distribusi sensoris pada sisi telapak tangan ibu jari,
telunjuk, jari tengah, sebagian jari manis dan sisi punggung tangan ujung dari ibu jari
telunjuk, serta jari tengah. Fungsi motoriknya antara lain fleksi siku, fleksi dan abduksi
radial pergelangan tangan, supinasi lengan bawah dan tangan, ektensi jari jari tangan.
Nervus supraskapular (C5 – C6) memiliki distribusi sensoris pada daerah bahu dan
memiliki fungsi motoris berupa abduksi dan rotasi bahu ke arah luar. Nervus brakialis
kutaneus medialis (C8 – T1) memiliki distribusi sensoris lengan atas bagian medial.
Nervus antebrakialis kutaneus medialis (C8- T1) memiliki distribusi sensoris lengan
bawah bagian ulnar (Morgan 2006).
Di SMF Anestesi dan Terapi Intensif FK. UNS masih dilakukan blok saraf perifer
secara single injection dengan menggunakan nerve stimulator dan target respons
motorik sesuai jenis blokade yang dilakukan dengan stimulasi saraf motorik kurang
dari 0,5 miliampere. Peralatan yang digunakan adalah nerve stimulator dan insulated
short bevelled needle.
Untuk mempermudah penilaian blok saraf motorik dengan modified Bromage skor pada
penelitian ini penulis menggunakan pendekatan blok pleksus brakialis pada
supraklavikular, infraklavikular atau aksiller karena target motorik yang dinilai sama
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
yaitu ; abduksi dari ibu jari (n. radialis), adduksi ibu jari (n. ulnaris), fleksi dari siku
dengan posisi lengan bawah pronasi atau supinasi (n. muskulokutaneus) dan oposisi dari
ibu jari (n. medianus) (Cline et al 2004, Movafegh et al 2006, Singh 2010). Sedangkan
untuk blok interskalen tidak dipilih oleh karena penilaian blok saraf motoriknya adalah
kemampuan untuk mengangkat bahu (deltoid sign) (Vieira et al 2010).
1.a. Blok supraklavikular
Posisi pasien setengah duduk, kira – kira 350 sampai dengan 45
0 dari bidang
horisontal, dengan kepala ditolehkan ke sisi yang berlawanan. Lengan yang akan
dioperasi adduksi, bahu diturunkan dan siku fleksi. Penanda anatomi klavikula dan tepi
lateral dari insersi m. sternokledomastoideus pada klavikula. Indikasi untuk anestesi
operatif dan analgesia post operatif ekstremitas atas yang tidak melibatkan daerah bahu.
Ukuran jarum 22 G, panjang 5 cm. Volume anestesi lokal yang diinjeksikan 30 – 40 ml,
setelah mendapatkan kontraksi dari jari (fleksi atau ekstensi) pada stimulasi dengan arus
≤ 0,5 mili ampere (Franco 2009).
Gambar 2.3. Blok supraklavikular (Franco 2009)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Gambar 2.4. Distribusi blok supraklavikular ( Jankovic 2004)
1.b. Blok infraklavikular
Posisi pasien telentang dengan tangan yang akan diblok diposisikan dengan
relaks pada perut, dan kepala agak ditolehkan kearah kontralateral. Indikasi untuk
anestesi operatif dan analgesia post operatif pada daerah lengan bawah dan tangan,
pasien dapat mentolerir penggunaan torniket di daerah lengan atas. Penanda anatomi
pertengahan antara ventral apofisis dari akromion dengan incisura jugularis. Ukuran
jarum 22 G, panjang 5 cm. Volume anestesi lokal yang diinjeksikan 30 – 50 ml, setelah
mendapatkan kontraksi dari jari (fleksi atau ekstensi) pada stimulasi dengan arus ≤ 0,5
mili ampere (Franco 2009).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Gambar 2.5. Blok infraklavikular (Franco 2009)
Gambar 2.6. Distribusi blok infraklavikular (Jankovic 2004)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1.c. Blok aksiller
Posisi pasien telentang dengan lengan abduksi 900 sampai dengan 110
0 pada
bahu dan fleksi 900 pada siku. Indikasi untuk anestesi operatif dan analgesia post
operatif untuk operasi di bawah siku, torniket pada lengan atas kurang dapat ditolerir
oleh kebanyakan penderita oleh karena nervus muskulokutaneus tidak terblokade
dengan blok ini. Penanda anatomi adalah pulsasi a. aksillaris pada fossa aksillaris,
sulkus bicipitalis medial, m. pektoralis mayor dan m. korakobrakhialis. Ukuran jarum
22 G, panjang 5 cm. Volume anestesi lokal yang diinjeksikan 30 – 50 ml, setelah
mendapatkan kontraksi dari jari (fleksi atau ekstensi) pada stimulasi dengan arus ≤ 0,5
mili ampere (Gebhard 2009, Merhkens 2005).
Gambar 2.7. Blok aksiller (Merhkens 2005)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Gambar 2.8. Distribusi blok aksiller (Jankovic 2004)
2. Lidokain
Lidokain adalah obat anestesi lokal golongan amida pertama yang dipakai dalam
praktek klinik. Pertama kali dibuat oleh ahli kimia bangsa Swedia Nils Lofgren pada
tahun 1942 dengan nama Xylocaine, injeksi eksperimental dilakukan oleh teman
sejawatnya Bengt Lundqvist pada dirinya sendiri (Wildsmith 2010).
Gambar 2.9. Struktur molekul lidokain ( Heavner 2008)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Berdasarkan struktur molekulnya terdapat dua golongan obat anestesi lokal
yaitu golongan ester dan amida. Semua obat anestesi lokal yang digunakan umumnya
terdiri dari cincin aromatik (hidrofobik) yang terhubung dengan kelompok amino tersier
(hidrofilik) oleh suatu alkil pendek, yaitu rantai intermediet yang mengandung ikatan
ester atau amid sesuai dengan pembagiannya (golongan ester atau amida), lidokain
termasuk golongan amida. Obat anestesi lokal merupakan basa lemah yang umumnya
memiliki muatan posistif pada grup amino tersiernya pada keadaan pH fisiologis
(Morgan 2006).
Obat anestesi lokal memiliki sifat – sifat fisikokimia yang akan menentukan
aktivitasnya, seperti mula kerja, lama kerja, dan toksisitasnya. Sifat – sifat fisikokimia
tersebut meliputi nilai pKa, kelarutan dalam lemak (lipid solubility), derajat ikatan
terhadap protein (protein binding), dan stereoisomerisme. Salah satu faktor yang
mempengaruhi aksi farmakologik anestesi lokal yaitu kelarutan dalam lemak. Obat
anestesi lokal yang memiliki kelarutan yang tinggi dalam lemak akan memiliki mula
kerja yang semakin cepat. Hal ini disebabkan oleh semakin cepatnya obat anestesi lokal
menembus membran lipoprotein sel saraf. Akumulasi obat anestesi lokal dalam myelin
dan ruang sekitar saraf memyebabkan pelepasannya semakin lama, sehingga
memperpanjang lama kerja obat anestesi lokal. Kelarutan dalam lemak juga
berhubungan dengan potensi obat anestesi lokal, semakin larut dalam lemak maka
semakin tinggi pula potensi obatnya. (Liu 2009)
Semua obat anestesi lokal merupakan basa lemah yang terdiri dari bagian yang
larut dalam lemak (lipid soluble) sebagai bentuk yang tidak terionisasi, bagian yang
hidrofilik sebagai bentuk yang terionisasi (kation). Obat anestesi lokal dalam bentuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
terionisasi merupakan bentuk yang aktif berperan dalam menghasilkan depresi konduksi
saraf melalui kanal ion natrium, sedangkan bentuk yang tidak terionisasi berperan dalam
menembus membran lipid sel saraf. Ikatan dengan protein menentukan lama kerja obat
anestesi lokal. Hal ini disebabkan oleh semakin tinggi ikatannya dengan protein, maka
akan semakin lama pula obat anestesi lokal tinggal didalam membran lipoprotein sel
saraf. Konstanta disosiasi menunjukan berapa banyak obat yang terionisasi dan yang
tidak terionisasi. Semakin kecil nilai pKa atau semakin besar pH, semakin besar
presentase obat tersebut yang tidak terionisasi. Bentuk yang tidak terionisasi merupakan
bentuk yang dapat menembus membran sel (Berde 2010).
Obat anestesi lokal yang memiliki pKa terdekat dengan pH fisiologis akan
memiliki konsentrasi basa yang tidak terionisasi yang lebih tinggi. Hal ini menyebabkan
obat tersebut dapat bergerak melalui membran sel saraf dan memiliki mula kerja yang
lebih cepat. Didalam sel basa yang tidak terionisasi akan mencapai keseimbangan dalam
bentuk terionisasi (Berde 2010).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Tabel 2.1. Karakteristik obat anestesi lokal (Morgan 2006)
Obat Potensi dan kelarutan
dalam lemak
pKa Durasi dan ikatan dengan
protein
Ester
Kloroprokain
+
9,0
+
Kokain ++ 8.7 ++
Prokain + 8.9 +
Tetrakain ++++ 8.2 +++
Amida
Bupivacain
++++
8.1
++++
Lidokain ++ 7.8 ++
Mepivakain ++ 7.6 ++
Prilokain ++ 7.8 ++
Ropivakain ++++ 8.1 ++++
Obat anestesi lokal biasanya digunakan untuk blok infiltrasi, blok saraf perifer
maupun neuroaxial. Saraf perifer terdiri dari serabut saraf aferen dan eferen yang
bermielin maupun tidak bermielin. Setiap akson dari serabut saraf dikelilingi oleh
endonerium yang terdiri dari sel sel glia. Masing masing serabut saraf bersatu ke dalam
suatu fasikulus dan dikelilingi oleh perinerium yang terdiri dari jaringan ikat. Pada
akhirnya keseluruhan dari saraf perifer akan diselubungi oleh epinerium yang terdiri
dari jaringan ikat yang tipis. Sejumlah lapisan tersebut melindungi tiap tiap akson dan
berfungsi sebagai pertahanan dari penetrasi suatu obat anestesi lokal. Myelin terdiri dari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
membran plasma sel Schwann yang membungkus akson . Diantara satu akson bermielin
dengan yang lainnya terdapat suatu celah dengan jarak yang sama, yang disebut dengan
nodus Ranvier. Akson yang bermielin menyebabkan konduksi semakin cepat. Hal ini di
sebabkan oleh membran aksonal hanya membutuhkan depolarisasi pada nodus. Proses
lompatan depolarisasi dari nodus ke nodus disebut dengan saltatory conduction.
Anestesi lokal dapat mencapai membran aksonal pada akson yang bermielin hanya
melalui nodus Ranvier. Semakin besar diameter akson semakin besar pula jarak antara
nodus satu dan yang lainnya. Sementara itu pada penelitian in vivo jumlah nodus yang
dibutuhkan untuk dihambat belum diketahui.(Hadzic 2007)
Gambar 2.10. Anatomi serabut saraf (Liu 2009)
Ion natrium merupakan ion ekstraseluler utama sedangkan kalium merupakan
ion intraseluler utama pada sel saraf. Dinding sel lebih permeabel terhadap ion kalium
sehingga kalium lebih bebas melewati dinding sel, sedangkan ion natrium bersifat semi
permiabel dan diatur oleh gerbang kanal ion natrium. Pada waktu istirahat terdapat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perbedaan potensial pada membran sel saraf. perbedaan tersebut relatif lebih negatif
didalam sel dibandingkan dengan diluar sel. Saat terjadi konduksi impuls kanal ion
natrium terbuka dan ion natrium bergerak kedalam sel sehingga terjadi depolarisasi sel.
Obat anestesi lokal akan memblok konduksi saraf dengan cara menghambat masuknya
ion natrium (Morgan 2006).
Membran sel saraf adalah komponen yang paling penting pada serabut saraf
dalam proses transmisi impuls dan merupakan sasaran utama pada proses blok
konduksi. Struktur membran ini mengandung kanal ion natrium. Blok konduksi
merupakan suatu keadaan terhambatnya konduksi reversible dalam struktur sel saraf
yang disebabkan anestesi lokal. Blok konduksi terjadi saat molekul obat anestesi lokal
masuk kedalam kanal ion natrium dan berikatan dengan reseptor yang terdapat didalam
kanal ion natrium (Liu 2009).
Dalam bentuk larutan obat anestesi lokal berada dalam keseimbangan bentuk ion
dan non ion yang bergantung pada pKa dan pH lingkungan. Bentuk ion bersifat asam
lebih larut dalam air. Semakin tinggi pH semakin tinggi proporsi obat dalam bentuk non
ion. Penggunaan dalam klinik anestesi lokal berada dalam bentuk ion yang lebih mudah
larut dalam air sehingga lebih tepat dipakai melalui injeksi. Setelah obat anestesi di
injeksikan terjadi peningkatan pH larutan oleh proses penyangga jaringan yang akan
mengubahnya menjadi bentuk non ion sehingga lebih mudah larut dalam lemak. Dalam
bentuk ini obat anestesi lokal lebih mudah menembus membran lipid untuk masuk
kedalam sel. Didalam sel sebagian obat akan mengalami ionisasi kembali. Obat akan
masuk ke dalam kanal ion natrium dalam bentuk ion dan akan berinteraksi dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
reseptor pada kanal natrium yang terbuka pada bagian dalam dan akan menghambat
aliran masuk natrium sehingga terjadi blok pada konduksi impuls (Morgan 2006).
Gambar 2.11. Mekanisme kerja anestesi lokal pada kanal natrium (Berde 2010)
Beberapa faktor yang mempengaruhi kepekaan serabut saraf terhadap obat
anestesi lokal antara lain ukuran, mielinisasi, dan panjang serabut saraf yang terpapar
obat anestesi lokal. Secara umum sensasi terhadap temperatur akan menghilang terlebih
dahulu diikuti dengan sensasi nyeri dan sentuhan ringan. Hal ini diduga disebabkan oleh
serabut yang kecil dan tidak bermielin (serabut C) yang mengkonduksi sensasi terhadap
temperatur lebih peka terhadap obat anestesi lokal dibandingkan dengan serabut saraf
yang besar dan bermielin (serabut A) yang mengkonduksi sentuhan. Perbedaan
kecepatan blok pada serabut saraf kecil dan besar akan dipengaruhi pula oleh jenis obat
anestesi lokal. Jenis obat anestesi lokal golongan amida , obat anestesi yang memiliki
pKa yang tinggi dan yang memiliki kelarutan dalam lemak yang rendah merupakan obat
anestesi lokal yang memiliki potensi yang tinggi dalam memblok serabut saraf C.
berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa blok serabut saraf oleh obat anestesi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
lokal tergantung pada tipe dan ukuran serabut saraf, frekwensi stimulasi membran, dan
jenis obat anestesi lokal.
Tabel 2.2. Klasifikasi serabut saraf (Morgan 2006)
Tipe
serabut
Klasifikasi
sensorik
Modalitas Diameter
( mm)
Konduksi
(m/s)
Sensitivitas
Anestesi
Lokal
mielinisasi
Aα Motorik 12-20 70-120 + Ya
Aα Tipe Ia propiosepsi 12-20 70-120 ++ Ya
Aα Tipe Ib propiosepsi 12-30 70-120 ++ Ya
Aβ Tipe II Tekanan
Propiosepsi
5 - 12 30 - 70 ++ Ya
Aγ Motorik(muscle
Spindel)
3 - 6 15 - 30 ++ Ya
Aβ Tipe III Nyeri
,temperatur
,dingin,Sentuhan
2 - 5 12- 30 +++ Ya
B Serabut otonom
preganglionik
< 3 3- 14 +++ Beberapa
C
Dorsal root
Tipe IV Nyeri,hangat,din
gin,sentuhan
0,4-12 0,5 - 2 ++++ Tidak
C simpatis Serabut simpatis
postganglionik
0,3 – 1,3 0,7 – 2,3 ++++ Tidak
Konsentrasi minimal yang dibutuhkan obat anestesi lokal untuk menghasilkan
blok konduksi impuls saraf disebut pula dengan Cm. Cm serupa dengan Minimum
Alveolar Concentration (MAC) untuk obat anestesi inhalasi. Diameter dari serabut saraf
akan mempengaruhi Cm, dimana serabut saraf yang besar akan membutuhkan
konsentrasi yang besar dari obat anestesi lokal untuk terjadinya blokade. Peningkatan
dari pH jaringan atau frekwensi stimulasi saraf yang besar akan menurunkan Cm. Setiap
obat anestesi lokal memiliki keunikan tersendiri untuk Cm. Hal tersebut
menggambarkan perbedaan potensi dari setiap obat. Cm untuk serabut motorik
diperkirakan kurang lebih dua kali lebih besar dari serabut sensorik. Hal tersebut
disebabkan pada blok sensorik tidak selalu diikuti dengan paralisis otot skelet ( Hadzic
2007).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Tabel 2.3. Karakteristik blok, konsentrasi dan dosis obat anestesi lokal yang
disarankan untuk blok saraf perifer (Hadzic 2007)
Agen Konsentrasi
(%)
Onset Durasi
(Jam)
Dosis
Maximum
(mg)
pH
Lidokain 1,5 - 2 Cepat 1 – 2 300
500 + epi
6,5
Mepivacaine 1,5 - 2 Cepat 2 – 3 600 + epi 4,5
Bupivacaine 0,5 Pelan 4 - 8 225 + epi 4,5 - 6
Ropivacaine 0,75 Pelan 2 – 6 4 - 6
Levobupivacaine 0,5 – 0,75 Pelan 4 - 8 150 4 - 6
Pada penelitian ini penulis memakai lidokain dengan total volume 30 ml serta total
dosis 480 mg dengan konsentrasi 1,6 % dengan epinefrin, yang masih dalam batas aman
menurut Hadzic. Movafegh (2006) pada penelitiannya dengan lidokain 1,5 % dengan
volume 34 ml total 510 mg tanpa epinefrin tidak terjadi toksisitas lidokain.
Kliren obat anestesi lokal dari jaringan saraf dan tubuh berpengaruh terhadap
lama kerja dan potensi untuk terjadinya efek toksisitas. Efek secara klinis obat anestesi
lokal tergantung dari beberapa faktor lokal seperti yang akan dijelaskan pada efek
farmakodinamik obat, sementara efek toksisitas sistemik terutama tergantung dari kadar
obat anestesi lokal dalam darah. Kadar obat anestesi lokal dalam darah tergantung dari
proses absorbsi, distribusi, dan eleminasi dari obat anestesi lokal tersebut (Stoelting
2006).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Secara umum obat anestesi lokal dengan absorbsi sistemik yang rendah akan
memiliki batas aman yang besar dalam penggunaannya secara klinis. kemampuan obat
anestesi lokal untuk diabsorbsi tergantung dari beberapa faktor, dimana hal-hal
terpenting adalah lokasi injeksi, dosis obat anestesi lokal, sifat fisikokimia obat tersebut
dan penggunaan epinefrin sebagai obat tambahan, epinefrin mengurangi ambilan obat
anestesi lokal, level anestesi lokal dalam plasma, meningkatkan kualitas blok,
memperpanjang durasi blok (terutama lidokain) dan meningkatkan durasi analgesia post
operatif. Epinefrin digunakan pada konsentrasi 1,7 – 5 µg/ml, namun konsentrasi 1,7 –
2,5 µg/ml mempunyai efek paling minimal pada aliran darah serabut saraf yang mana
mengurangi resiko injury pada pasien yang sebelumnya sudah terdapat angiopathy
maupun neuropathy (Heavner 2008). Pada penelitian ini penulis menggunakan ajuvan
epinefrin yang berasal dari 1 ampul PehacainTM
12,5 µg/ml (25 µg/ampul 2 ml)
diencerkan menjadi 10 ml campuran lidokain + epinefrin 2,5 µg/ml. Dikuranginya dosis
epinefrin per ml lidokain dengan alasan adanya efek vasokonstriksi tambahan dari
dexamethasone, walaupun Vieria et al (2010) menggunakan epinefrin 5 µg/ml dengan
dexametahsone dan klonidin tanpa adanya efek samping. Penggunaan epinefrin yang
berasal dari PehacainTM
ampul juga terjaga sterilitasnya, karena baru dibuka dari
ampulnya saat akan digunakan.
Pembuluh darah dan jaringan lemak disekitar lokasi injeksi obat anestesi lokal
akan berinteraksi dengan sifat fisikokimia dari obat tersebut untuk mempengaruhi
uptake sistemik. Secara umum area yang memiliki banyak pembuluh darah akan lebih
cepat dan komplit dalam mengabsorbsi obat anestei lokal dibandingkan dengan area
yang memiliki banyak jaringan lemak tanpa tergantung dari jenis obat anestesi lokal.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Oleh karena itu kecepatan absorbsi obat anestesi lokal akan menurun pada beberapa
lokasi injeksi dimulai dari intercostals, caudal, epidural, pleksus brakialis, skiatik atau
femoral. Sifat fisikokimia dari obat anestesi lokal akan mempengaruhi absorbsi
sistemik. Secara umum semakin poten suatu obat dengan kelarutan lemak dan ikatan
dengan protein akan menyebabkan absorbsi sistemik dan Cmax yang rendah.
Peningkatan dari ikatan saraf dan jaringan bukan saraf mungkin yang dapat menjelaskan
hal ini (Morgan 2006).
Keuntungan utama dari pengetahuan akan farmakokinetik obat anestesi lokal
adalah kemampuan untuk memperkirakan C max dari obat anestesi lokal sehingga
pemberian dosis toksik dapat dihindari. Walaupun demikian farmakokinetik suatu obat
sangat sulit untuk diperkirakan dalam keadaan tertentu karena setiap individu memiliki
karakteristik fisik dan fisiologis yang berbeda. Terdapat beberapa bukti yang
menyebutkan bahwa kadar obat anestesi lokal dalam darah pada pasien yang berusia
muda atau tua akan meningkat sehubungan dengan menurunnya klirens dan peningkatan
absorbsi obat. Pada usia tua atau muda tersebut hubungan antara kadar obat anestesi
lokal dalam darah dengan perhitungan dosis obat anestesi lokal berdasarkan berat badan
pasien tidak selalu sesuai. Kemampuan seorang ahli anestesi juga harus juga menjadi
pertimbangan. Obat anestesi lokal dengan dosis yang besar bila ditempatkan pada posisi
yang tepat akan meminimalkan resiko terjadinya toksisitas sistemik dibandingkan
dengan obat anestesi lokal dengan dosis yang lebih kecil jika dengan tidak sengaja
diinjeksikan kedalam pembuluh darah. Semua faktor faktor tersebut harus
dipertimbangkan ketika akan menggunakan obat anestesi lokal dan menghindari efek
toksisitas sistemik dengan total dosis yang masih dapat diterima (Morgan,2006).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Holborow (2010) untuk meminimalisir toksisitas lokal anestesi pada blok saraf
perifer dengan single injection disarankan penggunaan mepivakain, lidokain, ropivakain
ataupun levobupivakain. Menurut Jankovic (2004) toksisitas sistemik dari lokal anestesi
dari yang kurang toksik sampai yang paling toksik adalah prokain < prilokain <
mepivakain < lidokain < ropivakain < levobupivakain < bupivakain. Selain itu
bupivakain bila tidak sengaja diberikan secara intravaskular akan menyebabkan kardiak
arest yang sulit dilakukan resusitasi (Hadzic 2007).
Tabel 2.4. Toksisitas lokal anestesia pada dosis klinis (Jankovic 2004)
Anestesi lokal Sistem saraf pusat Jantung
Lidokain ++ +
Mepivakain ++ +
Prilokain + +/-
Bupivakain +++ ++++++
Levobupivakain ++ ++++
Ropivakain ++(+) +++
Apabila terjadi toksisitas sistemik dapat diberikan emulsi lipid 20% intravena
1,5 mg/kg selama 1 menit diikuti segera dengan infus emulsi lipid dengan kecepatan
0,25 mg/kgbb/menit, untuk mengatasi kejangnya dapat diberikan preparat
bensodiazepam intravena sambil dilakukan resusitasi kardiopulmoner (Chelly 2009,
Varella 2010).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Gambar 2.12. Gejala toksisitas sistemik dan konsentrasi plasma lidokain (Heavner
2008)
Metabolisme obat anestesi lokal golongan ester terutama dilakukan oleh enzim
kolinesterase yang terdapat didalam plasma, sedangkan metabolisme golongan amide
sebagian besar dimetabolisme di hati. Lidokain di kromosom hati melalui oxidative
dealkylation akan diubah menjadi monoethylglycinexyldide lalu dihidrolisis menjadi
xyldide dan hanya 3 % yang diekskresi oleh ginjal. Oleh karena itu hati, aliran darah
hati, ekresi hati, dan ikatan protein menentukan eleminasi obat anestesi lokal golongan
amide. Monoethylglycinexyldide ini mempunyai aktivitas proteksi jantung terhadap
disritmia. Golongan ester cepat dihidrolisis dan metabolitnya akan diekresi lewat ginjal
karena larut dalam air. Semakin tinggi kecepatan eleminasi obat anestesi lokal, maka
akan semakin lebar batas keamanannya (Stoelting 2006).
Berbagai penelitian telah dilakukan dengan menambahkan obat obat tambahan
terhadap obat anestesi lokal pada blok pleksus brakhialis untuk memperpanjang efek
analgesia tanpa menghasilkan efek samping, tidak memperpanjang blokade motorik,
serta dapat menurunkan dosis total obat anestesi lokal. Beberapa obat tambahan yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
telah diteliti antara lain opioid, klonidin, neostigmin, hialuronidase, bikarbonat,
midazolam dan dexamethasone.
3. Dexamethasone
Kortikosteroid diklasifikasikan potensinya untuk menyebabkan peningkatan
penyerapan natrium pada tubulus renalis distal sebagai pertukaran dengan kalium (efek
mineralokortikoid) atau menyebabkan respons antiinflamasi (efek glukokortikoid).
Kortikosteroid natural adalah kortisol (hidrokortison), kortison, kortikosteron,
desoxykortikosteron dan aldosteron. Sedangkan kortikosteroid sintesis adalah
prednisolon, prednison, methylprednisolon, bethametasone, dexamethasone dan
triamcinolon. Semua kortikosteroid sintetik terutama digunakan untuk efek anti
inflamasinya (Stoelting 2006).
Gambar 2.13. Struktur kimia dexamethasone (Stoelting 2006)
Dexamethasone merupakan suatu kortikosteroid sintetik yang merupakan derivat
fluorinat dari prednisolon dan isomer dari betamethasone, efek antiinflamasi dengan
dosis 0,75 mg setara 20 mg hydrokortison, potensi retensi natrium dibandingkan
dengan hydrokortisone 0. Mempunyai waktu paruh 3,5 - 5 jam dan durasi kerja 36 – 54
jam (Stoelting 2006).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Gambar 2.14. Mekanisme kerja kortikosteroid pada sel (Finkel 2009)
Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintesis protein.
Molekul kortikosteroid memasuki sel melewati membran plasma secara difusi pasif.
Hanya di jaringan target kortikosteroid ini bereaksi dengan reseptor protein yang
spesifik dalam sitoplasma sel dan membentuk kompleks reseptor-steroid. Kompleks ini
mengalami perubahan konformasi, lalu bergerak menuju nukleus dan berikatan dengan
kromatin. Ikatan ini yang menstimulasi transkripsi dari RNA dan sintesis protein
spesifik. Induksi sintesis protein ini yang akan menghasilkan efek fisiologik steroid
(Suherman 2009).
Secara umum efek dari kortikosteroid menurut Finkel (2009) :
a. Menjadi perantara metabolisme normal : glukokortikoid menyebabkan
glukoneogenesis melalui peningkatan ambilan asam amino oleh hati dan ginjal
dan meningkatkan aktivitas enzim – enzim glukoneogenik. Menyebabkan
katabolisme protein ( kecuali di dalam hati) dan lipolisis, yang menyediakan
rangka bangunan dan energi untuk pembentukan glukosa. Lipolisis terjadi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
sebagai akibat glukokortikoid memperbesar pengaruh hormon pertumbuhan
pada adiposit, menyebabkan peningkatan aktivitas dari hormon yang sensitif
lipase.
b. Meningkatkan resistensi terhadap stress : dengan meningkatnya level gula darah,
glukokortikoid menyediakan energi yang dibutuhkan untuk melawan stress yang
disebabkan oleh contohnya trauma, ketakutan, infeksi, perdarahan atau penyakit
yang berat. Glukokortikoid dapat menyebabkan sedikit peningkatan dari tekanan
darah, sepertinya dengan meningkatkan efek vasokontriktor dari stimulus
adrenergik pada pembuluh darah kecil.
c. Mengubah jumlah sel – sel dalam plasma darah : glukokortikoid menyebabkan
penurunan jumlah eosinofil, basofil, mosnosit dan limfosit dalam plasma dengan
mendistribusikannya dari sirkulasi ke jaringan limfoid. Kebalikan dari efek ini,
glukokortikoid meningkatkan jumlah hemoglobin, eritrosit, platelet dan leukosit
polimorfonuklear dalam plasma.
d. Mempunyai efek anti inflamasi : efek terapetik yang paling penting dari
glukokortikoid adalah kemampuannya untuk secara dramatis mengurangi
respons inflamasi dan menekan immunitas. Mekanisme pastinya kompleks dan
belum dimengerti secara komplet. Namun berkurangnya dan inhibisi dari
periperal limfosit dan makrofag diketahui memegang peranan penting.
Glukokortikoid juga terlibat dalam inhibisi secara tidak langsung dari
fosfolipase A2 oleh karena peningkatan lipocortin yang dimediasi steroid, yang
akan menghambat pelepasan asam arakidonat yang merupakan prekursor
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
prostaglandin dan leukotrienase yang terikat pada membran fosfolipid (Yao et al
2010). Sintesa cyclooxygenase – 2 pada sel yang inflamasi menjadi lebih
berkurang,mengurangi ketersediaan prostaglandin (Kroin et al 2004).
Dexamethasone menyebabkan gangguan dalam degranulasi sel mast
menyebabkan berkurangnya histamin dan permeabilitas kapiler melalui
hambatan terhadap produksi IL-8 dan GM-CSF (Uings et al 2005).
Dexamethasone mengurangi produksi IL-6 dan TNF-α pada pasien anak post
operasi jantung (Bronicki et al 2000).
e. Mempengaruhi komponen – komponen lain dari sistem endokrin : inhibisi
umpan balik produksi corticotropin dengan meningkatkan glukokortikoid
menyebabkan inhibisi yang lebih kuat terhadap sintesa glukokortikoid dan juga
produksi thyroid stimulating hormone. Sebaliknya produksi growth hormone
meningkat.
f. Dapat mempengaruhi sistem organ yang lain : level kortisol yang adekuat
penting untuk menjaga filtrasi glomerular yang normal. Dosis tinggi
glukokortikoid menstimulasi produksi asam lambung dan dan pepsin yang dapat
memperburuk gastrik ulser. Efek pada sistem saraf pusat yang mempengaruhi
status mental juga telah diidentifikasi. Terapi kronik dengan glukokortikoid
dapat menyebabkan kehilangan matriks tulang yang berat. Myopathy
menyebabkan kelemahan pada penderita.
g. Myasthenia gravis, kombinasi dengan obat – obatan imunosupresan untuk
menekan antibodi asetilkolin reseptor.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
h. Respiratory distress syndrome pada neonatus prematur, diberikan 24 jam
sebelum kelahiran pada kehamilan 24 – 36 minggu.
i. Analgesia post operatif; dengan menginhibisi enzym phospolipase yang penting
untuk produksi prostaglandin inflamasi (Yao et al 2010).
Gambar 2.15. Glukokortikoid sebagai penghambat fosfolipase A2 (Yao et al 2010)
Dari berbagai penelitian mengenai kortikosteroid terutama dexamethasone
didapatkan efek tambahan lainnya :
a. Efek antiemetik; pemberian dexamethasone 8 mg iv setelah klem korda
umbilikus pada seksio sesaria dengan spinal anestesi memberikan pencegahan
PONV yang efektif post operasi (Jaafarpour et al 2004), pada pasien dengan
PCA (Patient Controlled Analgesia) dengan opioid intravena, kombinasi
dexamethasone dan ramosentron dibandingkan dengan romosentron saja
memberikan hasil yang memuaskan dalam 48 jam post operasi tulang belakang
(Yang et al 2012).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
b. Edema laryngs post intubasi, pemberian dexamethasone 0,1 – 0,2 mg/kg iv dari
meta-analysis oleh Fan et al (2008) efektif mengurangi insidens terjadinya
edema larings setelah ekstubasi ataupun kebutuhan untuk reintubasi.
c. Mengurangi insidens atrial fibrilasi setelah operasi jantung; operasi jantung
menggunakan mesin CPB (Cardio Pulmonary Bypass) menyebabkan
peningkatan respons inflamasi sistemik (↓ C-reactive protein, IL-6 dan IL-10)
yang sebagian bertanggung jawab menyebabkan atrial fibrilasi. Pemberian
dexamethasone 6 mg preoperatif bermakna mengurangi insidens atrial fibrilasi (
Abbaszadeh et al 2012).
Pemakaian kortikosteroid terutama dexamethasone sebagai ajuvan analgesik
dalam berbagai penelitian dapat diberikan secara; intravena pada operasi laparaskopi
kolesistektomi sebagai bagian dari multi modal analgesia (Lim et al 2011), intravena
sebagai kombinasi dengan kaudal blok (Hong et al 2010), intravena dengan kombinasi
spinal anestesi (Kardash et al 2008), epidural untuk nyeri radikular (Gazelka et al
2012), intraartikular terutama untuk rheumatoid artritis ( Lam et al 2010) dan kombinasi
dengan anestesi lokal untuk infiltrasi (Holte et al 2002), regional anestesi intravena
(Bigat et al 2002) serta blok saraf perifer (Movagefegh et al 2006, Vieira et al 2010,
Cummings et al 2011) dengan efek analgesik yang lebih memuaskan selain diperoleh
efek tambahan lainnya dari pemberian dexamethasone seperti mengurangi PONV.
Respons inflamasi, metabolik, hormonal dan imunologik karena operasi
diaktifkan segera setelah insisi kulit, sehingga pemberian kortikosteroid preoperatif
penting untuk mendapatkan efek menguntungkan dari kortikosteroid selama dan setelah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
operasi. Dexamethasone terbukti menguntungkan menurunkan respons ini karena efek
anti inflamasi dan imunosupresifnya (Salerno 2006).
Efek langsung dari kortikosteroid yang diaplikasikan secara lokal pada serabut
saraf yang diberikan rangsangan elektrik membuktikan bahwa kortikosteroid menekan
transmisi impuls pada serabut saraf tipe C yang tidak bermielinisasi. Serabut saraf tipe
ini berfungsi menghantarkan impuls nyeri (nosiseptik). Efek ini berlangsung hingga
kortikosteroid tersebut dihilangkan. Fungsi transmisi impuls kembali pulih secara
komplet dalam waktu 60 menit (Johansson et al 1990).
Gambar 2.16. Transmisi nyeri dan tempat kerja dexamethasone (Salerno 2006).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Sinergi antara dexamethasone dan anestesi lokal sampai saat ini belum secara
jelas dimengerti. Selain karena efek antiinflamasi dan imunosupresifnya menurut
Movafegh et al (2006) dikarenakan adanya efek vasokonstriksi dari dexamethasone
(Finkel 2009). Menurut Holte et al (2002) karena migrasi dari sel – sel inflamasi dan
asidosis lokal pada sel saraf menyebabkan semakin banyak anestesi lokal yang
terionisasi dan terperangkap dalam sel saraf.
Efek samping yang mungkin terjadi pada pemberian kortikosteroid sitemik
untuk waktu singkat (< 7 hari) bahkan dengan dosis tinggi tidak menyebabkan efek
samping yang merugikan. Efek samping yang mungkin terjadi adalah supresi dari
hipotalamus – pituitary – adrenal aksis (HPA), gangguan metabolik dan elektrolit,
osteoporosis, peptik ulser, kelemahan otot, disfungsi sistem saraf pusat (neurosa dan
psikosa), limfositopenia akut dan gangguan pertumbuhan (Stoelting 2006).
Efek samping dari kortikosteroid terutama proporsional dengan lama dan
besarnya dosis yang dipergunakan, penggunaan kortikosteroid dalam jangka pendek
ataupun sekali injeksi seperti pada untuk pencegahan PONV terbukti tidak
menyebabkan efek samping (Jaafarpour et al 2004, Yang et al 2012 dan Salerno 2009).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
B. Kerangka Pikir
Gambar 2.17. Kerangka Berpikir
RENCANA OPERASI
LENGAN BAWAH
Stres Operasi :
Tindakan Bedah
DEXAMETHASONE
Blok transmisi
nosiseptik serabut C
Antiinflamasi
(# phospolipase A2,↓ IL-
6,IL-8 dan TNF-α)
Imunosupresi
Vasokonstriksi ringan
BLOK
PLEKSUS
BRAKHIALIS
LIDOKAIN
Blok kanal natrium
Vasodilatasi
↑ Mula kerja blok sensorik
↑Mula kerja blok motorik
↑Lama kerja blok sensorik
↑Lama kerja blok motorik
Preemtif analgesia
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2.9. HIPOTESIS
Penambahan dexamethasone pada kombinasi lidokain dengan epinefrin pada blok saraf
perifer pleksus brakhialis untuk operasi lengan bawah bermanfaat dalam hal
mempercepat mula kerja dan menambah lama kerja blok sensorik maupun motorik
dibandingkan dengan hanya lidokain dan epinefrin saja.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Instalasi Bedah Sentral RSUD Dr. Moewardi dan
RSUP Orthopedi Prof. Dr. Soeharso Surakarta pada bulan Juli - Agustus 2012.
B. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan uji klinik dengan randomized controlled trial
double blind, membandingkan penambahan dexamethasone 8 mg pada lidokain
1,6 % dan epinefrin 2,5 µg per ml dengan lidokain 1,6 % dan epinefrin 2,5 µg
per ml untuk blok pleksus brakhialis untuk operasi lengan bawah.
C. Subjek Penelitian
Subjek penelitian adalah pasien bedah usia 18 – 60 tahun dengan status
fisik ASA I–II, yang menjalani operasi pada lengan bawah dengan anestesi blok
saraf perifer pleksus brakhialis dan setuju dilakukan tindakan anestesi dan
pembedahan.
D. Data dan Sampel Penelitian
Sampel penelitian adalah pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan
eksklusi. Data didapat dari wawancara langsung dengan pasien dan atau orang
tua pasien, catatan medis dan hasil pemeriksaan langsung.
1. Kriteria Inklusi
a. Usia 18–60 tahun.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
b. Berat badan 40 – 80 kg atau BMI (19 – 32 kg/m2)
c. Status fisik ASA I–II.
d. Jenis operasi lengan bawah baik operasi elektif maupun emergensi dengan
perkiraan lama operasi ≤ 2 jam.
e. Anestesi dengan blok saraf perifer pada pleksus brakhialis.
f. Setuju dilakukan tindakan anestesi dan pembedahan.
2. Kriteria Eksklusi
a. Riwayat hipersensitif dengan dexa, lidokain ataupun epinefrin
b. Riwayat Diabetes Mellitus
c. Riwayat hipertensi berat (TD ≥ 150/90)
d. Riwayat gagal ginjal (kreatinin klirens < 25 ml/m)
e. Pasien tidak kooperatif atau menolak
f. Gangguan faktor pembekuan darah
g. Kelainan saraf pada ekstremitas yang akan diblok ataupun
kontralateralnya
h. Infeksi lokal disekitar lokasi injeksi untuk blok pleksus brakhialis
i. Jenis operasi lengan bawah baik operasi elektif maupun emergensi
dengan perkiraan lama operasi > 2 jam
j. Apabila setelah 40 menit blok dilakukan tidak ada tanda – tanda
blok sensorik dan atau blok motorik
k. Terjadi efek samping yang memerlukan intervensi lain.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3. Besar Sampel
Besar sampel dihitung menggunakan “kalkulator aplikasi” Open Epi
dengan dasar hasil penelitian Movafegh et al (2006) dengan judul
Dexamethasone added to lidocaine prolongs axillary brachial plexus
blockade, didapatkan standard deviasi durasi blok sensorik kelompok dexa +
lidokain adalah ± 76 dan kelompok lidokain ± 33, dengan interval
kepercayaan 95%, kuasa penelitian 80%, beda mean 70. Maka didapatkan
hasil besar sampel untuk masing–masing kelompok adalah 11 pasien atau
total sampel 22 pasien (Lampiran 4).
Rumus ukuran sampel lain yang sering digunakan adalah dengan
menguji hipotesis satu sisi tentang beda mean dari dua populasi (Murti 2010)
:
n1=n2 = [ ]
[ ]
n1 = n2= 2(3.432,5) (1,96 + 0,842)2
702
n1 = n2= 10,99
Dari hasil perhitungan tersebut, didapatkan jumlah sampel yang
dibutuhkan pada penelitian ini adalah 11 sampel tiap kelompok.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
E. Variabel Penelitian
1. Variabel Bebas
Blok pleksus brakhialis
Lidokain 1,6 %/ml + Epinefrin 2,5 µg/ml + Dexamethasone 8 mg
Lidokain 1,6 %/ml + Epinefrin 2,5 µg/ml
2. Variabel Tergantung
Mula kerja blok sensorik
Mula kerja blok motorik
Lama kerja blok sensorik
Lama kerja blok motorik
F. Definisi Operasional Variabel Penelitian
1. Blok pleksus brakhialis
Blok pleksus brakhialis adalah injeksi anestesi lokal perineural pleksus
brakhialis untuk anestesi operasi ekstremitas atas. Operasi pada lengan bawah
dapat dilakukan dengan salah satu dari teknik blok pleksus brakhialis yaitu
blok supraklavikular, infraklavikular ataupun aksiller. Pemilihan jenis teknik
yang akan digunakan disesuaikan dengan jenis teknik yang paling dikuasai
ahli anestesi, lokasi operasi (semakin ke distal dari siku semakin ke arah distal
teknik bloknya) dan letak turniket oleh ahli bedah ( turniket di daerah
pergelangan bahu ataupun lengan atas tidak dapat menggunakan teknik blok
aksiller dan kurang nyaman bagi pasien dengan blok infraklavikular).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2. Lidokain 1,6 %/ml + Epinefrin 2,5 µg/ml + Dexamethasone 8 mg
Dosis dexamethasone 8 mg dipilih berdasarkan penelitian sebelumnya
oleh Mofavegh et al (2006) dan dosis dexamethasone untuk PONV. Lidokain
1,6 %/ml + Epinefrin 2,5 µg/ml + Dexamethasone 8 mg dibuat dengan 9
ampul 2 ml lidokain 2 % ditambahkan 3 ampul 2 cc PehacainTM
ditambahkan
dexamethasone 8 mg lalu diencerkan menjadi 30 ml dengan aqua bidest dan
dibagi dalam 3 spuit 10 ml, untuk memperoleh volume minimal yang
dibutuhkan untuk blok pleksus brakhialis.
Skala pengukuran : kontinu
3. Lidokain 1,6 %/ml + epinefrin 2,5 µg/ml
Lidokain 1,6 %/ml + epinefrin 2,5 µg/ml total 30 ml adalah konsentrasi yang
mudah dibuat dengan 3 ampul (per ampulnya 2 cc lidokain 2%) dan 1 ampul
pehacainTM
diencerkan dengan aqua bidest sampai 10 ml dalam spuit 10 ml
sebanyak 3 buah spuit untuk memperoleh volume minimal yang dibutuhkan
untuk teknik blok pleksus brakhialis di atas yaitu 30 ml.
Skala pengukuran : kontinu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4. Mula kerja blok sensorik
Mula kerja blok sensorik adalah waktu yang diperlukan dari injeksi terakhir
lidokain hingga blok sensoris tercapai yaitu kehilangan rasa dingin ketika
dilakukan usapan dengan es atau kapas alkohol pada distribusi saraf lengan
bawah. Dinyatakan dengan menit dan diukur mulai pada menit ke 5, 10, dst
setiap kelipatan 5 menit sampai terjadi blok sensoris.
Gambar 3.1. Tes sensorik blok pada lengan bawah (Chelly 2009).
Skala pengukuran : numerik
5. Lama kerja blok sensorik
Lama kerja blok sensorik adalah waktu antara mula terjadinya blok sensoris
hingga hilangnya blok sensoris yaitu pertama kali pasien meminta obat
analgetik tambahan (VAS 3 atau lebih) pasca pembedahan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Skala analog visual/ visual analog scale (VAS) adalah skala untuk
mengukur intensitas nyeri secara obyektif yang diukur dengan nilai 0 – 10,
dengan memberi krategori nilai sebagai berikut :
Tabel 3.1. Visual Analog Scale (Morgan 2006).
Skala Interprestasi
0
1 – 3
4 – 6
7 – 9
10
Sama sekali tidak nyeri
Nyeri ringan
Nyeri sedang
Nyeri berat
Nyeri tak tertahankan
Analgetik pertolongan (rescue analgetik) adalah obat analgetik tambahan
yang diberikan kepada pasien yang mengalami nyeri saat pembedahan.
Dalam penelitian ini digunakan fentanyl 25 µg.
Skala pengukuran : numerik.
6. Mula kerja blok motorik
Mula kerja blok motorik adalah waktu dalam menit yang diperlukan dari
injeksi terakhir lidokain hingga blok motorik tercapai yaitu dengan modified
Bromege skor 3 (tidak dapat menggerakkan jari, lengan bawah dan siku).
Skala pengukuran : numerik.
Tabel 3.2. Modified Bromage Skor (Cline 2004)
0 Mampu mengangkat lengan bawah pada posisi lurus selama 2 detik
1 Mampu untuk fleksi siku dan menggerakkan jari tetapi tidak dapat mengangkat
lengan bawah pada posisi lurus
2 Tidak dapat melakukan flexi pada siku namun dapat menggerakkan jari - jari
3 Tidak dapat menggerakkan lengan bawah, siku ataupun jari - jari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7. Lama kerja blok motorik
Lama kerja blok motorik adalah lama waktu dalam menit antara mulai
terjadinya blok motorik hingga hilangnya blok motorik, yaitu saat pasien
dapat menggerakkan jari – jari tangan (modified bromege skor 2) pasca
pembedahan.
Skala pengukuran : numerik.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
G. Alur Penelitian
Gambar 3.2. Alur Penelitian
Kesimpulan
Operasi lengan bawah dengan anestesi blok pleksus
brakialis pendekatan blok supraklavikular/
infraklavikular/aksiller
Randomisasi
Kelompok LE (n= 11) : Lidokain
1,6%/ml + Epinefrin 2,5µg/ml 30 ml
Kelompok LED (n=11) : Lidokain 1,6%/ml +
Epinefrin 2,5µg/ml+Dexamethasone 8 mg 30
ml
Di kamar operasi, pemasangan alat monitor EKG, NIBP, Pulse oximetri dan pemasangan
jalur intravena, pemberian premedikasi
Dicatat :
1. Mula kerja blok sensorik
2. Mula kerja blok motorik
3. Lama kerja blok motorik
4. Lama kerja blok sensorik
Analisa Data dan Statistik
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
H. Alat dan Obat
1. Peralatan
a. Alat pengukur berat badan
b. Alat pengukur waktu
c. Penggaris kain
d. Spuit 3 ml dan 10 ml
e. Nerve stimulator
f. Jarum insulasi 50 mm
g. Es batu atau kapas alkohol
h. Alat pantau : monitor tekanan darah, laju nadi, saturasi oksigen
perifer dan EKG
2. Obat
a. Lidokain 2% ampul 2 ml
b. Pehacain 2% ampul 2 ml
c. Dexamethasone 5 mg per ampul
d. Aqua bidest
e. Fentanyl 100 µg per ampul
I. Etika Penelitian
Penelitian ini dilakukan setelah mendapatkan ijin dari Komite Etik RSUD
Dr. Moewardi Surakarta. Komite Etik melakukan pengkajian dan setuju untuk
dilakukan penelitian dengan prinsip tidak melanggar etika praktek kedokteran dan
tidak bertentangan dengan etika penelitian pada manusia.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Penelitian dilakukan dengan persetujuan dari pasien atau keluarga dengan
cara menandatangani surat persetujuan operasi yang diajukan oleh peneliti, setelah
sebelumnya mendapat penjelasan mengenai tujuan, risiko, alternatif tindakan yang
akan dilakukan, prognosis, dan manfaat dari prosedur yang akan dilakukan.
J. Analisis Data
Data yang didapat dilakukan analisis dengan program SPSS 17 for
Windows. Data numerik dilakukan uji normalitas data menurut Shapiro-Wilk
(sampel < 50), data berdistribusi normal dianalisa dengan independent-samples t
test, data berdistribusi tidak normal dianalisa dengan uji Mann-Whitney. Data
berskala nominal dianalisa dengan uji Chi-square.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A . Hasil Penelitian
Penelitian ini merupakan Double Blind Randomized Control Trial, uji klinis
pada 22 pasien yang akan menjalani pembedahan dengan tehnik blok saraf tepi
(Peripheral Nerve Blok) ,yang kemudian di randomisasi untuk di lakukan blok pleksus
brakhialis dengan pendekatan supraklavikular atau infraklavikular ataupun aksiller,
dengan obat anestesi lidokain 1,6 % + epinefrin 2,5 µg/ml + dexamethasone 5 mg
dengan volume 30 ml (perlakuan/LED), atau dengan obat anestesi lidokain 1,6 % +
epinefrin 2,5 µg/mL volume 30 ml (kontrol/LE). Pasien dipasangi bedside monitor,
serta di lakukan penilaian mula kerja dan lama kerja blok sensorik dan blok motorik .
Penelitian dilakukan setelah mendapat persetujuan dari Komite Etik RS Dr Moewardi
Surakarta.
Data yang di dapatkan kemudian di analisis menggunakan program SPSS versi
17 dalam system operasi windows 7. Data dipilah menjadi data berskala numerik dan
data berskala nominal, untuk data berskala numerik dilakukan uji normalitas data
dengan analisis Shapiro-Wilk (besar sampel ≤ 50). Untuk data berskala numerik dengan
distribusi normal dianalisis menggunakan independent –samples t test untuk
mendapatkan nilai mean dan standar deviasi serta nilai p. Untuk data berskala nominal
dianalisis dengan uji Chi-Square. Untuk data numerik dengan distribusi tidak normal
(non parametrik) diuji dengan analisis Mann-Whitney.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1. Karakteristik demografi sampel penelitian
Diambil data dasar berupa umur, berat badan, tinggi badan, lama operasi,
jenis kelamin dan cara blok. Data sampel dibedakan menurut skala numerik dan
skala nominal. Lalu dilakukan uji normalitas data berskala numerik dengan analisa
Shapiro-Wilk.
Tabel 4.1. Uji normalitas data demografi dasar berskala numerik
Variabel Kelompok
perlakuan
Shapiro-Wilk
Statistic df Sig.
umur pasien LED 0,914 11 0,273
LE 0,894 11 0,155
berat badan
pasien
LED 0,824 11 0,019
LE 0,907 11 0,226
tinggi badan
pasien
LED 0,864 11 0,065
LE 0,860 11 0,058
lama
operasi
LED 0,888 11 0,130
LE 0,887 11 0,127
Berdasarkan data tabel 4.1. data berskala numerik dengan distribusi normal (p
> 0,05) dianalisis dengan uji independent – samples t test yaitu umur, tinggi badan
dan lama operasi. Sedangkan berat badan pasien distribusinya tidak normal (p <
0,05) dianalisis dengan uji non parametrik Mann-Whitney.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Tabel 4.2. Karakteristik demografi sampel penelitian (data numerik)
Variabel LED
(n = 11)
LE
(n = 11)
MANN-
WHITNEY
T
Test
P
Umur (tahun)*
Berat Badan (kg)*
Tinggi Badan (cm)*
Lama operasi
(menit)*
37,18 ± 15,05
58,36 ± 9,96
161,73 ± 4,32
89,55 ± 22,63
33,36± 13,8
57,91 ± 11,75
163,27 ± 5,66
83,64 ± 21,92
-
56,500
-
-
0,619
-
-0,720
0,622
0,543
0,790
0,480
0,541
* Data dinyatakan sebagai nilai mean ± SD
Tabel 4.3. Karakteristik demografi sampel penelitian (data nominal)
Variabel LED
(n = 11)
LE
(n = 11)
CHI
SQUARE
P
Jenis Kelamin (L/P)
Cara blok :
Supraklavikular
Infraklavikular
Aksiller
6/5
6
3
2
7/4
4
3
4
0,73
1,455
0,394
0,483
Berdasarkan tabel 4.2 dan 4.3, data demografi di uji statistik untuk melihat
perbedaan antara kedua kelompok. Pada uji Independent – samples t test, Mann-
Whitney dan Chi-Square menunjukkan sebaran data dasar penelitian berbeda tidak
bermakna (p > 0,05) atau sebaran data kedua kelompok homogen sehingga data
penelitian layak diperbandingkan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2. Analisa normalitas data hasil penelitian
Data hasil penelitian merupakan data berskala numerik (menit) sehingga harus
dilakukan uji normalitas data untuk menentukan termasuk statistik parametrik atau non
parametrik. Uji normalitas data dengan analisis Shapiro-Wilk digunakan untuk
mengetahui kenormalan distribusi data, karena jumlah sampel < dari 50 sampel. Data
yang distribusinya normal dapat dianalisis dengan analisis data parametrik sedangkan
data yang distribusinya tidak normal dilakukan dengan analisis data non parametrik.
Untuk uji beda dengan sampel yang tidak berhubungan (independent) pada data
parametrik dengan skala pengukuran numerik dapat menggunakan analisis independent
– sampel t test , sedangkan untuk distribusi data yang tidak normal menggunakan
analisis non parametrik dengan uji Mann-Whitney (Dahlan 2009).
Tabel 4.4. Uji normalitas data hasil penelitian
Kelompok perlakuan Shapiro-Wilk
Statistic df Sig.
Mula kerja blok
sensorik
LED 0,876 11 0,092
LE 0,781 11 0,005
Mula kerja blok
motorik
LED 0,923 11 0,341
LE 0,718 11 0,001
Lama kerja blok
sensorik
LED 0,925 11 0,365
LE 0,952 11 0,676
Lama kerja blok
motorik
LED 0,977 11 0,945
LE 0,957 11 0,735
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3. Analisis perbandingan hasil penelitian
1. Mula kerja blok sensorik
- Rata-rata mula kerja blok sensorik untuk grup LED adalah sebesar 12,27 dengan
penyimpangan atau standar deviasi sebesar 5,97 menit. Rata-rata mula kerja blok
sensorik untuk grup LE adalah sebesar 15,82 dengan standar deviasi sebesar
2,36 menit.
- Uji normalitas data mula kerja blok sensorik menunjukkan distribusi data tidak
normal sehingga dilakukan uji statistik non parametrik untuk 2 kelompok yang
tidak berhubungan dengan uji Mann-Whitney.
Tabel 4.5. Uji Mann-Whitney terhadap rerata perbedaan mula kerja blok
sensorik
Kelompok n Mean SD Mann-
Whitney P
LED 11 12,27 5,97 39,000 0,141
LE 11 15,82 2,36
- Berdasarkan perhitungan uji Mann-Whitney diperoleh nilai nilai p (signifikansi)
0,141. Nilai p = 0,141 lebih besar dari nilai p kritik yaitu sebesar 0,05 sehingga
dapat disimpulkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara mula kerja
blok sensorik antara grup LED dengan grup LE. Walaupun mula kerja blok
sensorik grup LED memiliki rata-rata mula kerja blok sensorik yang lebih cepat
dibandingkan dengan rata-rata mula kerja blok sensorik untuk grup LE (12,27 vs
15,82 menit), namun secara statistik tidak bermakna.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2. Mula kerja blok motorik
- Rata-rata mula kerja blok motorik untuk grup LED adalah sebesar 18,27 dengan
standar deviasi sebesar 6,31 menit. Rata-rata mula kerja blok motorik untuk grup
LE adalah sebesar 20,91 dengan standar deviasi sebesar 3,75 menit.
- Uji normalitas data mula kerja blok motorik menunjukkan distribusi data tidak
normal sehingga dilakukan uji statistik non parametrik untuk 2 kelompok yang
tidak berhubungan dengan uji Mann-Whitney.
Tabel 4.6. Uji Mann-Whitney terhadap rerata perbedaan mula kerja blok
motorik
Kelompok n Mean SD Mann-
Whitney P
LED 11 18,27 6,31 41,500 0,187
LE 11 20,91 3,75
- Berdasarkan perhitungan uji Mann-Whitney diperoleh nilai p (signifikansi)
0,187. Nilai p = 0,187 lebih besar dari nilai p kritik yaitu sebesar 0,05 sehingga
dapat disimpulkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan mula kerja blok
motorik antara grup LED dengan grup LE. Walaupun mula kerja blok motorik
grup LED memiliki rata-rata mula kerja blok motorik lebih cepat dibandingkan
dengan rata-rata mula kerja blok motorik untuk grup LE (18,27 vs 20,91 menit),
namun secara statistik tidak bermakna.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Gambar 4.1. Grafik mula kerja blok sensorik dan blok motorik antara grup LED
dan grup LE.
3. Lama kerja blok sensorik
- Rata-rata lama kerja blok sensorik untuk grup LED adalah sebesar 266,36
dengan penyimpangan atau standar deviasi sebesar 27,03 menit.
Rata-rata lama kerja untuk grup LE adalah sebesar 124,55 dengan standar
deviasi sebesar 14,57 menit.
Tabel 4.7. Uji Independent-samples t test terhadap rerata perbedaan lama kerja
blok sensorik
Kelompok n Mean SD T test P
LED 11 266,36 27,03 15,319 < 0,001
LE 11 124,55 14,57
- Berdasarkan perhitungan uji independent- sample t test diperoleh nilai t hitung
sebesar 15,319 dengan nilai p (signifikansi) < 0,001. Nilai p < 0,001 lebih kecil
dari nilai p kritik yaitu sebesar 0,05 sehingga dapat disimpulkan terdapat
12.27
18.27
15.82
20.91
0
5
10
15
20
25
Blok Sensorik Blok Motorik
M
e
n
i
t
Mula Kerja
LED
LE
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perbedaan yang signifikan lama kerja blok sensorik antara grup LED dengan
grup LE. Karenanya dapat disimpulkan penambahan dexamethasone
memperpanjang lama kerja blok sensorik dari kombinasi lidokain + epinefrin.
4. Lama kerja blok motorik
- Rata-rata lama kerja blok motorik untuk grup LED adalah sebesar 238,182
dengan penyimpangan atau standar deviasi sebesar 31,37 menit.
Rata-rata lama kerja blok motorik untuk grup LE adalah sebesar 115,455 dengan
standar deviasi sebesar 13,68 menit.
Tabel 4.8. Uji Independent-samples t test terhadap rerata perbedaan lama kerja
blok motorik
Kelompok n Mean SD T test P
LED 11 238,18 31,37 11,907 < 0,001
LE 11 115,46 13,68
- Berdasarkan perhitungan uji independent-samples t test diperoleh nilai t hitung
sebesar 11,907 dengan nilai p (signifikan) < 0,001. Nilai p < 0,001 lebih kecil
dari nilai p kritik yaitu sebesar 0,05 sehingga dapat disimpulkan terdapat
perbedaan yang signifikan lama kerja blok motorik antara grup LED dengan
grup LE. Karenanya dapat disimpulkan penambahan dexamethasone
memperpanjang lama kerja blok motorik dari kombinasi lidokain + epinefrin.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Gambar 4.2. Grafik lama kerja blok sensorik dan motorik antara grup LED dan
grup LE.
B. Pembahasan
Operasi pada extermitas atas adalah prosedur yang sering di gunakan, baik
dengan anestesi umum maupun dengan blok pleksus brakialis. Blok pleksus brakhialis
memiliki beberapa keuntungan diantaranya; mobilisasi lebih awal, resiko rendah
terjadinya mual dan muntah, mengurangi nyeri dan pemulangan lebih awal. Tehnik
blokade pleksus brakhialis dapat dilakukan dengan pendekatan supraklavikular atau
infraklavikular ataupun aksiller, merupakan pilihan yang baik dalam menghasilkan
anestesi untuk extremitas atas. Faktor yang dapat mempengaruhi efektifitas dari tehnik
ini salah satunya adalah obat anestesi lokal yang digunakan.
Lidokain sebagai obat anestesi lokal pada blok saraf perifer mempunyai onset
lebih cepat (pKa mendekati pH fisiologis) dan kurang toksik pada sistem kardiovaskuler
dibandingkan dengan bupivakain juga mudah didapatkan dan lebih ekonomis, namun
mempunyai lama kerja yang lebih singkat (maksimal dengan epinefrin 2 jam).
266.36 238.18
124.55 115.46
0
50
100
150
200
250
300
Blok Sensorik Blok Motorik
M
e
n
i
t
Lama Kerja
LED
LE
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan dexamethasone (golongan
kortikosteroid) sebagai obat tambahan lidokain pada blokade pleksus brakhialis di mana
mekanisme kerja dexamethasone adalah secara lokal menghambat penghantaran impuls
nosiseptif serabut saraf C yang tidak bermielin (Johansson et al 1990) yang bekerja
sinergi dengan lidokain sehingga terjadi pemanjangan lama kerja blok, terutama blok
sensorik dibandingkan dengan blok motorik. Pemanjangan lama kerja blok motorik
lidokain oleh dexamethasone dapat juga disebabkan oleh efek vasokonstriksi walaupun
lemah, oleh dexamethasone (Finkel 2009). Kelemahan otot sebagai salah satu efek
samping kortikosteroid (Stoelting 2006) mungkin berperan dalam memperpanjang lama
kerja blok motorik namun membutuhkan penelitian yang lebih dalam mengenai
mekanisme kerjanya. Secara sistemik pemberian dexamethasone yang diberikan
sebelum insisi menghambat fosfolipase A2 yang akan menghambat pelepasan asam
arakidonat yang merupakan prekursor prostaglandin dan leukotrinase (Yao et al 2010)
sehingga bersinergi sebagai analgetik sistemik dengan lama kerja blokade sensoris.
Keterbatasan penelitian ini adalah tidak dapat menilai efek antiinflamasi dan
penghambatan pelepasan sitokin (TNF-α,IL-1, IL-6 dan IL-8) dari pemberian
dexamethasone sebagai ajuvan anestesi lokal lidokain untuk blok pleksus brakhialis
pada ekstremitas yang dioperasi. Baik secara sistemik maupun lokal.
Dibandingkan dengan penelitian Movafegh et al (2006) yang tidak memakai
epinefrin pada kombinasi dexamethasone dan lidokain, penambahan epinefrin 2,5 µg/ml
lebih memperpanjang lama kerja blok anestesi tanpa efek samping pada pulihnya fungsi
motorik dan sensorik. Penggunaan dexamethasone dapat mengurangi pemakaian
epinefrin sebagai ajuvan lidokain dari 5 µg/ml menjadi separuhnya tetapi dengan lama
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
kerja blok yang lebih lama. Sehingga dapat dipikirkan untuk dipergunakan pada pasien
– pasien dengan mikroangiopati seperti DM yang akan dilakukan nekrotomy pada
ekstremitasi atas. Walaupun keterbatasan penelitian ini adalah tidak meneliti efek
samping penggunaan dexamethasone single injection, terutama pada kadar GDS post
operasi.
Kombinasi lidokain + epinefrin + dexamethasone dapat menjadi pilihan untuk
operasi – operasi lengan bawah yang berlangsung selama ± 240 menit (4 jam). Karena
blok motorik yang terlalu lama juga membuat pasien merasa kurang nyaman.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB V
PENUTUP
1.1.Kesimpulan
Penambahan dexamethasone 8 mg pada kombinasi lidokain 1,6% + epinefrin 2,5
µg/mL, bermanfaat untuk menambah lama kerja kerja blok sensorik dan
motorik pada anestesi blok pleksus brakhialis, namun tidak mempercepat mula
kerja blok sensorik maupun motorik dibandingkan dengan lidokain + epinefrin
saja .
1.2.Saran
1. Penambahan dexamethasone pada kombinasi lidokain + epinefrin pada blok
pleksus brakhialis dapat di sarankan untuk di gunakan karena dapat
menambah lama kerja dari blok sensorik dan blok motorik dan lebih
ekonomis untuk operasi ekstremitas bawah dengan lama operasi sampai
dengan ± 240 menit (4 jam).
2. Diperlukan penelitian yang lebih mendalam mengenai efek antiinflamasi
dexamethasone sebagai ajuvan anestesi lokal untuk blok saraf perifer
terutama dalam menghambat pelepasan sitokin (TNF-α, IL-1, IL-6 dan IL-8)
baik secara sistemik maupun lokal.
3. Diperlukan penelitian yang lebih mendalam mengenai efek samping sitemik
pemberian dexamethasone sebagai ajuvan anestesi lokal, terutama efek
terhadap kenaikan gula darah agar dapat menjadi alternatif ajuvan anestesi
lokal blok saraf perifer pada pasien – pasien DM.