i
PENGARUH PENDAPATAN DAN KEBIJAKAN PEMERINTAH
TERHADAP KONSUMSI ROKOK DI KOTA BOGOR
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Untuk Memenuhi
Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi
Disusun Oleh:
Oktaviani Dewi Masitho
NIM: 1113084000062
JURUSAN EKONOMI PEMBANGUNAN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/2018 M
ii
iii
iv
v
i
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
I. IDENTITAS PRIBADI
1. Nama : Oktaviani Dewi Masitho
2. Tempat, Tanggal Lahir : Karang Anyar, 20 Oktober 1995
3. Alamat : Perumahan Gaperi I Blok GR No. 12
Bojong Gede, Kabupaten Bogor.
4. Telepon : 087881793968
5. Email : [email protected]
II. LATAR BELAKANG KELUARGA
1. Anak Ke dan Dari : 2 dari 4 Bersaudara
2. Ayah : Achmad Sudarto (alm)
3. Tempat, Tanggal Lahir : Blitar, 1 Desember 1965
4. Ibu : Prita Waluyani
5. Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 4 Juni 1968
III. PENDIDIKAN
No University/School Dates From – To
1. Raudlatul Atfal Unit Dharma
Wanita Agama Kabupaten Lombok
Barat, Mataram, Nusa Tenggara
Barat
1999-2001
2. SDN 41 Mataram, Nusa Tenggara
Barat
2001-2002
3. SDN Bojong Gede 06, Kab. Bogor 2002-2007
4. SMP Negeri 2 Cibinong, Kab.
Bogor
2007-2010
ii
5. SMA IT Al-Madinah, Cibinong,
Kab. Bogor
2010-2013
6. Jurusan Ekonomi Pembangunan,
Fakultas Ekonomi dan Bisnis, UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta
2013-2017
IV. PENGALAMAN ORGANISASI
No Organisasi/Institution Dates From – To
1. Wakil Sekertaris Umum, Himpunan
Mahasiswa Jurusan (HMJ) Ekonomi
Pembangunan
2014-2015
2. Wakil Ketua Bidang (Wakabid)
Eksternal, Dewan Ekstekutif
Mahasiswa (DEMA) Fakultas
Ekonomi dan Bisnis UIN Jakarta
2015-2016
V. PENGALAMAN NON FORMAL, SEMINAR DAN WORKSHOP
1. Workshop Kepemudaan “Integrity Goes to You” Transparansi
Internasional, 2013
2. Rembuk Kebangsaan “Sosialisasi OJK Sebagai Sistem Keuangan Baru
Melalui Kebudayaan”, 2013
3. Dialog Jurusan dan Seminar Konsentrasi “Mengenal Lebih Dekat
dengan Jurusan Sendiri” HMJ IESP, 2013
4. Workshop Entrepreneur LDK Syahid, 2014
5. Pelatihan Karya Tulis Ilmiah HMJ IESP, 2014
6. Company Visit Bank Indonesia, 2015
iii
ABSTRACK
The purpose of this research is to analyze how income (X1) and government
regulation to control cigarette consumption such as customs (X2), smoke free
area (X3) and pictorial health warning (X4) influence cigarette consumption (Y).
This research using primary data collected using purposive sampling method by
questionnaire. The analysis method using Multiple Linier Regression. The result
shows that income, customs and smoke free area significantly influenced cigarette
consumption while pictorial health warning have no significant influence to
cigarette consumption.
Keywords: cigarette consumption, income, customs, smoke free area, pictorial
health warning
iv
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh Pendapatan (X1) dan
Kebijakan Pemerintah untuk mengendalikan konsumsi rokok yakni Cukai/Harga
(X2), Kawasan Tanpa Rokok/KTR (X3) dan Iklan/Pesan Bergambar Bahaya
Rokok (X4) terhadap Konsumsi Rokok (Y). Data yang digunakan dalam penelitian
ini merupakan data primer yang diambil dengan metode purposive sampling
melalui penyebaran kuesioner. Metode analisis yang digunakan adalah analisis
regresi berganda. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pendapatan (X1),
Kenaikan Cukai/Harga (X2) dan Kawasan Tanpa Rokok (X3) berpengaruh secara
signifikan terhadap konsumsi rokok sedangkan Iklan/Pesan Bergambar Bahaya
Rokok (X4) tidak memiliki pengaruh secara signifikan terhadap Konsumsi Rokok..
Kata Kunci: Konsumsi rokok, pendapatan, Cukai, Kawasan Tanpa Rokok, Pesan
Bergambar Bahaya Rokok.
v
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberi penulis berkah dan
nikmatnya sehingga berkesempatan untuk menyelesaikan skripsi dalam rangka
menyelesaikan studi Strata 1 (S1) yang berjudul Pengaruh Pendapatan dan
Kebijakan Pemerintah Terhadap Konsumsi Rokok di Kota Bogor. Tak lupa
juga salawat serta salam penulis curahkan kepada Baginda Nabi Muhammad
SAW yang telah menuntun umatnya menuju kebaikan yang di rahmati Allah.
Skripsi ini dapat penulis selesaikan pastilah berkat dukungan, bimbingan,
bantuan, semangat serta doa dari orang-orang disekitar penulis. Maka dari itu,
penulis dari hati yang terdalam ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Orang tua penulis yakni Ibu Prita Waluyani dan almarhum Bapak Achmad
Sudarto, Ibu dan Bapak hebat yang selama hidupnya selalu mendoakan,
mendukung, memberi motivasi dan pelajaran berharga bagi anak-anak
disegala aspek kehidupan. Juga kakakku Erwin Firmansyah Saputro yang
penulis jadikan panutan untuk bisa membanggakan dan membahagiakan
orang tua, tak lupa kedua adikku Safira Salsabila Susanti dan Maisya
Fiqoh Tsabita yang selalu mendoakan dan menghibur penulis. Dan tak
lupa almarhum eyang Willy Harsono yang semasa hidup turut mengurus
dan mendukung apapun yang terbaik bagi penulis.
2. Bapak Dr. Arief Mufraini, Lc., M.Si selaku dekan Fakultas Ekonomi dan
Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Terimakasih telah memberi
penulis kesempatan untuk mengenyam pendidikan di Fakultas Ekonomi
dan Bisnis.
3. Bapak Arief Fitrijanto, SE., M.Si sebagai pembimbing skripsi sekaligus
ketua jurusan Ekonomi Pembangunan yang telah memberi banyak
bimbingan baik untuk kelancaran skripsi juga nasihat perihal akhirat, juga
arahan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi, serta terimakasih
vi
atas peran beliau dan Ibu Najwa Khairina, SE., MA sebagai ketua dan
sekertaris jurusan yang telah berperan aktif dalam penyelesaian
perkuliahan penulis.
4. Seluruh jajaran dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis khususnya Jurusan
Ekonomi Pembangunan yang telah memberi banyak ilmu yang berharga
selama perkuliahan juga jajaran Staff Fakultas Ekonomi dan Bisnis yang
telah mengurus administrasi kampus sehingga memperlancar studi penulis.
5. Sahabat tersayang dari awal perkuliahan hingga akhir dan semoga
selamanya Dita, Roro, Lina, Wiwid, Tanti dan Ayu. Juga Anjeng, teman
seperjuangan terbaik sedari awal masuk kuliah hingga menyelesaikan
skripsi. Dan Didi, yang tak lelah selalu memberi saya banyak ilmu setiap
waktu.
6. Seluruh teman-teman seperjuangan Jurusan Ekonomi Pembangunan
angkatan 2013, yang telah banyak sekali membantu, selalu berbaik hati,
berbagi canda tawa dan kenangan baik yaitu Ita, Kiki, Cita, Gufron,
Mahatir, Subhan, Luthfan, Zekha, Rival, Heri dan teman-teman lainnya
yang sesungguhnya ingin penulis tulis satu persatu namanya. Terimakasih
banyak untuk kalian semua.
7. Rekan-rekan Himpunan Mahasiswa Jurusan Ekonomi Pembangunan dan
DEMA Fakultas Ekonomi dan Bisnis yang berkontribusi banyak memberi
ilmu dalam berorganisasi. Terimakasih banyak atas semua pengalaman
berharga selama berproses bersama.
8. Priyanka Raki Anindita, teman SMA, teman hidup di Ciputat selama 4
tahun, juga salah satu sahabat terbaik. Terimakasih atas banyak hal. Juga
Windi Prabowo senior sekaligus teman baik berbagi pengalaman.
9. Sahabatku dimasa SMA yang banyak memberikan dukungan dan doa
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yaitu Windi Hadiya
Komarasari, Nur Isna Fajrianti, Intan Sarinah Risa, Aida Ulfa Zalti,
Zulfiah Ayu Kurnia Sari, Afinsya Ramadhan, Widya Andini, Dwi Yuliani
Putri, Nur Rini Afriani dan lainnya yang tidak bisa penulis tulis satu
vii
persatu, bahkan kata terimakasih pun tidak cukup membalas kebaikan
kalian semua.
10. Sahabat SMP ku Nur Alifia Nabila, Adinda Kristriana Anindya dan Karina
Nabila yang selalu memberi semangat, doa, ilmu dan hiburan dengan
caranya sendiri selama ini. Kalian terbaik.
11. Teman seperjuangan KKN Sanubari, khususnya para wanita tangguh
Musfiah Saidah, Delila Sandriva, Hanifah, Revy Aulia dan Nurul Fauziah
terimakasih atas celotehan kalian yang kadang menyebalkan tapi ku
sayang.
12. Terakhir terimakasih kepada semua yang membantu terlaksananya
penelitian ini, semua responden yang menyempatkan mengisi kuesioner di
waktu luangnya juga beberapa aparat yang penulis wawancarai.
Sesungguhnya kata terima kasih tidak lah cukup, maka dari itu penulis berdoa
semoga kalian semua yang telah membantu penulis dalam segala hal selalu diberi
keberkahan dan selalu dalam lindungan Allah SWT. Aamiin.
Penulis juga menyadari pasti ada kekurangan dalam penulisan skripsi ini,
maka dari itu penulis akan menerima segala bentuk kritik dan saran agar penulis
bisa belajar lebih baik lagi kedepannya.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Jakarta, Februari 2018
Oktaviani Dewi Masitho
viii
DAFTAR ISI
DAFTAR RIWAYAT HIDUP .............................................................................. I
ABSTRACK ........................................................................................................ III
ABSTRAK ........................................................................................................... IV
KATA PENGANTAR ........................................................................................... V
DAFTAR ISI ..................................................................................................... VIII
DAFTAR TABEL ................................................................................................. X
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... XII
DAFTAR GRAFIK .......................................................................................... XIII
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... XIV
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
A. Latar Belakang .............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ......................................................................................... 8
C. Tujuan Penelitian .......................................................................................... 9
D. Manfaat Penelitian ........................................................................................ 9
1. Manfaat Teoritis ........................................................................................ 9
2. Manfaat Praktis ....................................................................................... 10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 11
A. Landasan Teori ............................................................................................ 11
1. Teori Konsumsi ....................................................................................... 11
2. Pendapatan .............................................................................................. 15
3. Tarif Cukai .............................................................................................. 17
4. Kawasan Tanpa Rokok (KTR) ................................................................ 22
5. Pesan Bergambar Bahaya Merokok ........................................................ 25
B. Penelitian Terdahulu ................................................................................... 26
C. Kerangka Pemikiran .................................................................................... 36
D. Hipotesis ..................................................................................................... 37
BAB III METODOLOGI PENELITIAN .......................................................... 38
A. Ruang Lingkup Penelitian ........................................................................... 38
B. Metode Penentuan Sampel .......................................................................... 38
C. Metode Pengumpulan Data ......................................................................... 39
D. Metode Analisis Data .................................................................................. 42
1. Uji Kualitas Data ..................................................................................... 42
2. Tabulasi Silang (Crosstabulation) ........................................................... 43
ix
3. Model Analisis ........................................................................................ 44
4. Regresi Linier Berganda .......................................................................... 45
E. Operasional Variabel Penelitian.................................................................. 52
F. Kisi-Kisi Instrumen Penelitian .................................................................... 54
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN ....................................................... 56
A. Gambaran Umum Objek Penelitian ............................................................ 56
B. Deskripsi Responden .................................................................................. 65
C. Analisis dan Pembahasan ............................................................................ 73
1. Hasil Uji Kualitas Data ........................................................................... 73
2. Uji Tabulasi Silang .................................................................................. 76
3. Hasil Uji Asumsi Klasik .......................................................................... 81
4. Uji Koefisien Determinasi (R2) ............................................................... 87
5. Hasil Uji Hipotesis .................................................................................. 88
6. Analisis Pengaruh Masing-Masing Variabel ........................................... 91
BAB V PENUTUP ................................................................................................ 97
A. Kesimpulan ................................................................................................. 97
B. Saran ........................................................................................................... 99
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 101
LAMPIRAN ........................................................................................................ 106
x
DAFTAR TABEL
No. Keterangan Halaman
1.1 Prevalensi Konsumsi Tembakau pada Penduduk Usia > 15
Tahun 2
1.2 Lima provinsi dengan proporsi penduduk umur >10 tahun
menurut kebiasaan merokok tertinggi, 2013. 6
2.1 Penelitian Sebelum 33
2.2 Kerangka Pemikiran 36
3.1 Rentang Skala Likert 40
3.2 Rincian Pertanyaan Kuesioner 40
3.3 Operasional Variabel 52
3.4 Kisi-Kisi Instrumen Penelitian 54
4.1 Jumlah Penduduk Kota Bogor Menurut Kelompok Usia dan
Jenis Kelamin 57
4.2 PDRB Perkapita Atas Dasar Harga Berlaku di Kota Bogor
2010-2015 58
4.3 Pengeluaran Rata-Rata Per Kapita Sebulan Untuk Sub
Golongan Makanan Menurut Kelompok Barang Makanan
2014-2015
59
4.4 Presentase Perokok Setiap Hari Menurut Jenis Kelamin di
Kota Bogor 60
4.5 Pengeluaran Rata-Rata Perkapita Sebulan Untuk Sub
Golongan Makanan Kelompok Barang Makanan Rokok di
Kota Bogor 2011-2015
61
4.6 Tarif Cukai Rokok 2015-2017 62
4.7 Deskripsi Responden Menurut Jenis Kelamin 66
4.8 Deskripsi Responden Menurut Tingkat Pendidikan 67
4.9 Deskripsi Responden Menurut Jenis Pekerjaan 67
xi
4.10 Deskripsi Responden Menurut Tingkat Usia 68
4.11 Deskripsi Responden Menurut Status Perkawinan 69
4.12 Deskripsi Responden Menurut Lama Merokok 69
4.13 Deskripsi Responden Berdasarkan Jumlah Tanggungan /
Keluarga 70
4.14 Deskripsi Responden Berdasarkan Jumlah Konsumsi Rokok 71
4.15 Deskripsi Responden Berdasarkan Willingness to Pay
(WTP) 72
4.16 Hasil Uji Validitas Tarif Cukai/Harga 73
4.17 Hasil Uji Validitas Kawasan Tanpa Rokok (KTR) 74
4.18 Hasil Uji Validitas Iklan/Pesan Bergambar Bahaya Rokok 74
4.19 Hasil Uji Reliabilitas 75
4.20 Tabulasi Silang Status Perkawinan dan Lama Merokok 76
4.21 Tabulasi Silang Tingkat Pendidikan dan Konsumsi Rokok 77
4.22 Tabulasi Silang Pendidikan dan Pengaruh Cukai 78
4.23 Jumlah Tanggungan Keluarga dan Lama Merokok 79
4.24 Tingkat Usia dan Lama Merokok 80
4.25 Hasil Uji Normalitas dengan Kolmogrov-Smirnov 83
4.26 Hasil Uji Multikolinearitas 83
4.27 Hasil Uji Autokorelasi dengan Run Test 84
4.28 Hasil Uji Heteroskedastisitas dengan Rank Spearman 85
4.29 Hasil Uji Linearitas 86
4.30 Hasil Uji Koefisien Determinasi 87
4.31 Hasil Uji Simultan 88
4.32 Hasil Uji Parsial 89
xii
DAFTAR GAMBAR
No. Keterangan Halaman
1.1 Perbandingan Penerimaan Negara dan Beban Kesehatan 4
2.1 Kurva Pendapatan-Konsumsi (Income-Consumption-Curve) 16
2.2 Kurva Harga-Konsumsi (Price-Consumption Curve) 19
4.1 Peta Kota Bogor 56
4.2 Peringatan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) 63
4.3 Peraturan Pencantuman Bahaya Rokok Pada Kemasan
Rokok
65
4.4 Hasil Uji Normalitas dengan Grafik Histogram 82
4.5 Hasil Uji Normalitas dengan Normal P-P Plot 82
xiii
DAFTAR GRAFIK
No. Keterangan Halaman
1.1 Prevalensi Perokok Dewasa di Negara ASEAN 1
4.1 Kepatuhan 8 Kawasan Terhadap Perda KTR Kota Bogor
Tahun 2015-2016 64
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
No. Keterangan Halaman
1 Kuesioner Penelitian 107
2 Tabulasi Hasil Penelitian 110
3 Hasil Uji Reliabilitas 112
4 Hasil Uji Validitas 113
5 Hasil Uji Normalitas 115
6 Hasil Uji Multikolinearitas 117
7 Hasil Uji Autokorelasi 118
8 Hasil Uji Heteroskedastisitas 119
9 Hasil Uji Linieritas 120
10 Hasil Uji Koefisien Determinasi (R2) 122
11 Hasil Uji Simultan (Uji F) 123
12 Hasil Uji Parsial (Uji T) 124
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat konsumsi rokok
yang cukup tinggi. Konsumsi rokok Indonesia dilihat dari data prevalensi
perokok di negara ASEAN merupakan yang tertinggi. Hal ini dibuktikan juga
dengan data country ranking WHO tahun 2015 juga sependapat bahwa
Indonesia merupakan salah satu negara yang jika dilihat dari penduduk 15
tahun keatas dan berjenis kelamin laki-laki memiliki konsumsi rokok terbesar
di dunia dengan jumlah presentase sebesar 76.2%.
Grafik 1.1
Prevalensi Perokok Dewasa di Negara ASEAN
Sumber: ASEAN Tobacco Tax Report Card, Executive Summary (2014).
Dalam El Guyanie (2013:1) dijelaskan industri rokok digadang memiliki
peran penting sebagai salah satu penggerak perekonomian nasional, karena
010203040506070
Current adult smoking prevalence in ASEAN countries (figures in percent)
Males Females Total
2
konsumsinya yang tinggi dan memiliki multiplier effect yang luas sebagai
sumber penghidupan utama jutaan rakyat Indonesia. Sampai tahun 2008,
industri ini mampu menyerap tenaga kerja (langsung maupun tidak langsung)
sebanyak 6,1 juta orang yang mencakup petani tembakau (2 juta orang), petani
cengkeh (1,5 juta orang), tenaga kerja di pabrik rokok (sekitar 600 ribu orang),
pengecer rokok atau pedagang asongan (sekitar 1 juta orang) dan tenaga kerja
percetakan, periklanan, pengangkutan serta jasa transportasi (sekitar 1 juta
orang).
Tabel 1.1
Prevalensi Konsumsi Tembakau pada Penduduk Usia > 15 Tahun
1995 2001 2004 2007 2010 2013
Laki-Laki 53,4 62,2 63,1 65,5 65,8 66
Perempuan 1,7 1,3 4,5 5,2 4,1 6,7
Total 27 31,5 34,4 34,2 34,3 36,3
Sumber: Infodatin, Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI.
Menurut data yang bersumber dari Infodatin Kemenkes RI (2016:5),
prevalensi konsumsi olahan hasil tembakau kian menunjukkan peningkatan.
Jika dilihat dari sisi industri/produsen, hal ini menjadi peningkatan yang
positif, namun berbeda jika dilihat dari sisi konsumen. Konsumsi olahan hasil
tembakau/rokok memiliki dampak negatif bagi masyarakat.
Kerugian akibat konsumsi rokok bukan hanya dilihat dari jumlah
pendapatan yang dikeluarkan untuk konsumsinya saja, tetapi konsumsi rokok
juga akan berpengaruh kepada aspek gizi dan kesehatan konsumen. Rokok
3
mempunyai banyak efek negatif bagi kesehatan seseorang, maka dari itu
konsumsinya akan membuat pengeluaran seseorang semakin besar karena
biaya kesehatan yang harus ditanggungnya di kemudian hari bahkan
menyebabkan hari atau waktu produktivitas kerja bagi usia pekerja hilang
hingga mengakibatkan kematian.
Dilihat dari aspek kesehatan asap tembakau mengandung 7.000 jenis racun
bahan kimia yang berbahaya, mulai dari nikotin maupun zat lainnya yang bisa
menyebabkan kanker dan zat beracun bagi tubuh lainnya. Aspek kesehatan ini
lah yang pada akhirnya akan semakin memperparah kerugian bagi para
perokok, karena selain pengeluaran untuk konsumsi rokok itu sendiri mereka
juga harus membayar beban biaya kesehatan yang ditimbulkan oleh konsumsi
rokok.
Konsumsi rokok juga akan menimbulkan biaya sosial yang tidak
ditanggung oleh pabrik rokok maupun oleh konsumen rokok. Kerugian sosial
itu seperti berbagai macam penyakit yang dapat diderita oleh perokok pasif.
Karena selain asap rokok itu akan mempengaruhi kesehatan si perokok juga
akan mempengaruhi kesehatan bagi orang di sekitarnya yang walaupun tidak
merokok secara langsung.
4
Gambar 1.1
Perbandingan Penerimaan Negara dan Beban Kesehatan
Sumber: Atlas Tembakau Indonesia (TCSC) 2013.
Masalah kesehatan yang dialami baik oleh perokok aktif, pasif maupun
bagi keturunan mereka membuat negara mendapat kerugian lebih besar
daripada keuntungan yang dihasilkan oleh industri rokok itu sendiri. Selain
itu, bukti ilmiah di Indonesia menunjukkan bahwa setiap satu rupiah dari
pendapatan cukai rokok harus dibayar tiga rupiah bahkan lebih untuk biaya
kesehatan akibat rokok (Fariz, 2008:2). Hal ini lah yang akhirnya menjadi
beban yang harus ditanggung oleh negara berupa meningkatnya anggaran
kesehatan. Dalam Ruslan (2013) nyatanya data Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan menunjukkan meski
penerimaan cukai rokok mencapai 55 triliun pada 2010, pengeluaran makro
akibat rokok justru mencapai Rp245,41 triliun, yang mencakup pembelian
rokok dari masyarakat (Rp138 triliun), hilangnya produktivitas akibat cacat di
usia muda (Rp105,3 triliun), dan pengeluaran untuk perawatan medis (Rp2,11
triliun). Fakta ini sejatinya memberi konfirmasi bahwa kerugian yang
5
ditimbulkan oleh rokok lebih besar ketimbang manfaat ekonomi yang
dihasilkan.
Begitu lah gambaran dari industri rokok, industri ini berdampak pada dua
hal yang bertolak belakang seperti halnya dua sisi mata uang. Di satu sisi,
industri rokok Indonesia adalah salah satu penggerak perekonomian, tetapi
disisi lain, rokok membawa kerugian pada masyarakat baik yang perokok
bahkan bukan perokok. Melihat banyaknya timbul kerugian yang dihasilkan
oleh konsumsi rokok, pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan untuk
menekan hal tersebut. Baik dari menaikan tarif cukai, memasang peringatan
bahaya merokok beserta gambar menyeramkan pada kemasan sampai
membuat regulasi bebas asap rokok pada beberapa tempat umum atau biasa
disebut kawasan tanpa rokok (KTR) seperti yang disampaikan oleh kemenkeu.
BPPK Kemenkeu (2014) menyebutkan bahwa regulasi untuk pengendalian
konsumsi tembakau antara lain Undang Undang Kesehatan Nomor 36 tahun
2009 tentang Pengamanan Produk Tembakau sebagai Zat Adiktif bagi
kesehatan yang dalam pasal 114 diatur bahwa setiap orang yang memproduksi
atau memasukkan rokok ke wilayah Indonesia wajib mencantumkan
peringatan kesehatan, juga mencantumkan gambar yang mengerikan sebagai
akibat buruk dari kegiatan merokok dalam setiap kemasan rokok.
Kawasan tanpa rokok merupakan ruangan atau area yang dilarang untuk
melakukan kegiatan merokok atau pun memproduksi, menjual, mengiklankan,
dan atau mempromosikan produk tembakau. Area yang termasuk kedalam
KTR yaitu sarana kesehatan, tempat proses belajar mengajar, arena bermain
6
anak, tempat ibadah, angkutan umum serta tempat kerja. Beberapa peraturan
telah diterbitkan sebagai landasan hukum dalam pengembangan KTR sejak
tahun 1990 dengan tujuan agar mengubah perilaku masyarakat untuk hidup
sehat, meningkatkan produktivitas kerja, mewujudkan kualitas udara yang
bersih dan sehat, menurunkan angka perokok yang pada akhirnya agar dapat
mewujudkan generasi muda yang sehat. Beberapa kota besar di Indonesia
termasuk Jakarta, Palembang, Bogor, Bandung, Yogyakarta serta 18 kota
lainnya sudah melaksanakan kebijakan KTR ini. Namun menurut TCSC
Indonesia dari sekian banyak kota yang melaksanakan kebijakan KTR ini,
yang pelaksanaannya dinilai relatif baik adalah wilayah Kota Bogor.
Tabel 1.2
Lima provinsi dengan proporsi penduduk umur >10 tahun menurut
kebiasaan merokok tertinggi, 2013.
Provinsi Perokok saat ini Tidak Merokok
Perokok
Setiap Hari
Perokok
kadang-kadang
Mantan
Perokok
Bukan
Perokok
Kep. Riau 27.2 3.5 4.8 64.4
Jawa Barat 27.1 5.6 4.5 62.8
Bengkulu 27.1 3.3 2.4 67.2
Nusa Tenggara
Barat
26.8 3.5 2.2 67.5
Gorontalo 26.8 5.5 3.4 64.3
Sumber: Departemen Kesehatan RI, Hasil Riskesdas 2013.
7
Menurut data diatas provinsi dengan prevalensi merokok tertinggi
ditempati oleh Kepulauan Riau dengan presentase perokok setiap hari 27.2%.
Diikuti oleh Jawa Barat dan Bengkulu masing-masing 27.1% kemudian Nusa
Tenggara Barat dan Gorontalo masing-masing 26.8%. Menurut data diatas
Jawa Barat memiliki presentase bukan perokok terendah yaitu 62.8% dari total
jumlah penduduk diatas 10 tahun. Namun ditengah tingginya jumlah perokok
di Provinsi Jawa Barat, menurut TCSC Kota Bogor merupakan salah satu kota
yang justru menjadi percontohan bebas asap rokok. Maka dari itu saya sebagai
peneliti memilih Kota Bogor untuk dijadikan wilayah penelitian.
Teori ekonomi menyatakan bahwa baik tingkat atau pola konsumsi erat
kaitannya dengan pendapatan, dimana konsumsi seseorang berbanding lurus
dengan pendapatannya, semakin besar pendapatan maka semakin besar pula
pola pengeluaran konsumsinya. Bukan hanya faktor pendapatan saja yang
dapat mempengaruhi konsumsi. Namun, konsumsi rokok juga dipengaruhi
oleh harga, dengan adanya kebijakan pemerintah yang meningkatkan tarif
cukai rokok pasti diiringi dengan meningkat pula harga rokok, begitu pun
dengan kebijakan lain yaitu kawasan tanpa rokok (KTR) dan pesan bergambar
larangan merokok. Dalam penelitian ini saya ingin mengetahui pengaruh
kebijakan pemerintah tersebut terhadap konsumsi rokok juga melihat
pengaruhnya dari sisi jumlah pendapatan masyarakat. Maka dari itu saya
tertarik untuk melakukan penelitian sebagai syarat kelulusan strata 1 (S1)
dengan judul “Pengaruh Pendapatan dan Kebijakan Pemerintah terhadap
Konsumsi Rokok di Kota Bogor”.
8
B. Rumusan Masalah
Indonesia merupakan salah satu negara dengan konsumsi rokok tertinggi.
Konsumsi rokok dapat menjadi penggerak perekonomian tapi dapat pula
berdampak negatif. Konsumsi rokok terlalu banyak dapat berdampak pada
berkurangnya pendapatan seseorang dan juga pada aspek kesehatan. Ketika
masalah kesehatan perokok terganggu, biaya yang ditanggung untuk
kesehatan akan lebih banyak dari pada biaya untuk mengkonsumsi rokok
bahkan bisa berujung kepada penurunan produktifitas hingga menimbulkan
kematian. Tingginya konsumsi rokok di Indonesia membuat pemerintah
mengeluarkan beberapa kebijakan untuk mengurangi konsumsi rokok.
Diantaranya adalah meningkatnya tarif cukai, adanya Kawasan Tanpa Rokok
(KTR) dan iklan serta pesan bergambar bahaya merokok dengan harapan
dapat mengurangi konsumsi rokok. Selain itu konsumsi selalu berkaitan erat
dengan pendapatan seseorang, maka dalam penelitian ini saya ingin meneliti
apakah konsumsi rokok dipegaruhi oleh pendapatan juga kebijakan
pemerintah.
Oleh sebab itu, saya selaku peneliti ingin mengetahui apakah beberapa
kebijakan pemerintah untuk mengurangi konsumsi rokok itu benar-benar
mempengaruhi konsumsi rokok seseorang, dan juga melihat pengaruh
konsumsi itu sendiri dari sisi pendatapan. Maka permasalahan yang akan saya
angkat dalam penelitian ini adalah:
1. Apakah pendapatan mempengaruhi konsumsi rokok.
2. Apakah cukai rokok (harga) mempengaruhi konsumsi rokok.
9
3. Apakah kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) mempengaruhi
konsumsi rokok.
4. Apakah iklan dan pesan bergambar bahaya merokok mempengaruhi
konsumsi rokok.
C. Tujuan Penelitian
Dari perumusan masalah, selanjutnya peneliti akan mengetahui tujuan dari
penelitian ini, yaitu:
1. Mengetahui apakah pendapatan mempengaruhi konsumsi rokok.
2. Mengetahui apakah cukai rokok mempengaruhi konsumsi rokok.
3. Mengetahui apakah kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR)
mempengaruhi konsumsi rokok.
4. Mengetahui apakah iklan dan pesan bergambar bahaya merokok
mempengaruhi konsumsi rokok.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis penulis berharap hasil dari penelitian ini dapat menjadi
masukan atau referensi bagi perkembangan ilmu serta pengetahuan bagi
berbagai golongan masyarakat juga pemerintah serta menambah kajian
untuk mengetahui apakah strategi kebijakan untuk mengurangi konsumsi
10
rokok yang sudah ada sudah cukup baik atau efektif untuk mengurangi
konsumsi rokok hingga melepaskan masyarakat dari lingkaran
kemiskinan.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi
masukan bagi pemerintah dalam pengambilan keputusan guna menentukan
kebijakan untuk mengurangi angka konsumsi rokok agar kedepannya
dapat mengurangi kerugian negara dan masyarakat akibat konsumsi rokok
itu sendiri.
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Teori Konsumsi
Konsumsi kerap kali dianggap sebatas untuk makanan dan minuman
saja, namun jika dilihat dari sisi ekonomi konsumsi diartikan lebih luas
dari hanya sebatas itu. Konsumsi adalah kegiatan suatu individu atau
pelaku ekonomi dalam memenuhi kebutuhannya baik barang atau jasa.
Dengan kata lain, semua barang dan jasa yang kita gunakan sehari-hari
termasuk dalam kegiatan konsumsi. Tujuan konsumsi pada dasarnya
adalah untuk mencapai titik kepuasan, maka dari itu konsumsi pun dapat
diartikan sebagai mengurangi atau menghabiskan nilai guna suatu barang
guna mencapai tujuan konsumsi tersebut.
Menurut Mankiw (2006:11), konsumsi adalah barang dan jasa yang
dibeli atau dibelanjakan oleh rumah tangga. Konsumsi dibagi menjadi 3
subkelompok: barang tidak tahan lama, barang tahan lama dan jasa.
Barang tidak tahan lama (nondurable goods) adalah barang yang memiliki
kegunaan jangka pendek, seperti makanan dan pakaian. Barang tahan lama
(durable goods) yakni barang yang memiliki kegunaan atau usia dalam
jangka panjang, seperti mobil dan tv. Sedangkan jasa (service) merupakan
pekerjaan yang dilakukan oleh individu/perusahaan untuk konsumen
contohnya jasa potong rambut.
12
Salah satu tujuan konsumsi, yakni untuk memperoleh kepuasan
setinggi-tingginya. Menurut James (2001:49) tujuan lain konsumsi juga
untuk memenuhi berbagai macam kebutuhan untuk mencapai tingkat
kemakmuran, baik kebutuhan pokok maupun sekunder, barang mewah
maupun kebutuhan jasmani dan kebutuhan rohani. Tingkat konsumsi dapat
menggambaran tingkat kemakmuran seseorang. Jika konsumsi dilihat dari
kemakmuran, dapat diartikan bahwa semakin tinggi tingkat konsumsi
maka semakin makmur seseorang, sebaliknya semakin rendah tingkat
konsumsi seseorang berarti semakin miskin.
Konsumsi secara umum diartikan sebagai penggunaan barang-barang
dan jasa guna memenuhi kebutuhan setiap manusia (Todaro, 2002:213)
dalam Alkausar (2015:3). Untuk dapat mengkonsumsi, seseorang harus
memiliki pendapatan itulah mengapa besar kecilnya pendapatan seseorang
dapat menentukan seberapa besar tingkat konsumsinya. Sama halnya
dengan menurut Partadireja dalam Ambarwati (2014:1), konsumsi dapat
diartikan sebagai bagian pendapatan rumah tangga yang digunakan untuk
membiayai pembelian aneka jasa dan kebutuhan lain. Besarnya konsumsi
selalu berubah-ubah sesuai dengan naik turunnya pendapatan, apabila
pendapatan meningkat maka konsumsi akan meningkat. Sebaliknya,
apabila pendapatan turun maka konsumsi akan turun.
Perilaku masyarakat membelanjakan sebagian dari pendapatan untuk
membeli sesuatu disebut pengeluaran konsumsi. Konsumsi merupakan
fungsi dari pendapatan siap pakai (disposable income). Dengan kata lain,
13
fungsi konsumsi menunjukkan hubungan antara tingkat pengeluaran
konsumsi dengan tingkat pendapatan yang siap dibelanjakan.
a. Teori Konsumsi Keyness
Salah satu teori ekonomi yaitu dikemukakan oleh Keynes yang
dinamakan absolute income hypothesis. Dalam teori ini dibahas
mengenai hubungan pendapatan disposabel dan konsumsi. Ia
menjelaskan bahwa konsumsi saat ini sangat dipengaruhi oleh
pendapatan disposabel saat ini, namun ada batas konsumsi minimal
yang tidak tergantung tingkat pendapatan. Dalam artian, jumlah batas
konsumsi tersebut harus terpenuhi walaupun pendapatan sama dengan
nol atau biasa disebut dengan autonomous consumption.
(2.1)
C menggambarkan nilai dari konsumsi yang dilakukan oleh pelaku
ekonomi atau rumah tangga di dalam perekonomian, ada pula a adalah
konsumsi otonom atau tingkat konsumsi pada saat pendapatan 0 (nol),
b yaitu marginal propencity to consume (MPC) yang diartikan sebagai
angka perbandingan antara besarnya perubahan konsumsi dengan
besarnya perubahan pendapatan, sedangkan Yd adalah disposable
income atau pendapatan yang siap dibelanjakan.
Melalui fungsi konsumsi ini konstanta (a) dinyatakan sebagai
tingkat konsumsi yang dipenuhi meskipun tingkat pendapatan nol.
Adapun b disebut sebagai Marginal Propensity to Consume (MPC),
14
yaitu konsep yang menggambarkan besarnya perubahan konsumsi
dapat diakibatkan oleh perubahan pendapatan disposabel. Pengeluaran
konsumsi yang dilakukan oleh sektor rumah tangga dalam
perekonomian tergantung dari besarnya pendapatan. Semakin besar
MPC maka semakin besar pula pendapatan yang digunakan untuk
kegiatan konsumsi dan sebaliknya yang digambarkan dengan rumus:
(2.2)
Asumsi MPC jumlah konsumsi tidak akan lebih besar daripada
pendapatan disposabel yang bertambah. Angka MPC juga tidak
mungkin negatif, karena walaupun pendapatan disposabel terus
meningkat, konsumsi hanya akan menurun sampai nol (tidak ada
konsumsi). Hal ini disebabkan karena manusia tidak mungkin hidup
dibawah batas konsumsi minimal.
b. Konsumsi Rokok
Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 109
Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat
Adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan disebutkan bahwa
rokok adalah hasil olahan tembakau terbungkus termasuk cerutu atau
bentuk lainnya yang dihasilkan dari tanaman Nicotiana Tabacum,
Nicotiana Rustica dan spesies lainnya atau sintetisnya yang
mengandung nikotin dan tar dengan atau tanpa bahan tambahan.
15
Studi yang dilakukan Ross dan Chaloupka (2002) dalam Surjono
(2013:20) menerangkan bahwa konsumsi rokok dipengaruhi oleh
harga rokok, harga barang lain, dan pendapatan per kapita. Seperti
halnya teori konsumsi, masyarakat pun mengkonsumsi rokok agar
mencapai titik kepuasaannya. Dalam Alkausar (2015:3) konsumsi
secara umum diartikan sebagai penggunaan barang-barang dan jasa
yang secara langsung untuk memenuhi kebutuhan manusia. Tingkat
konsumsi disini mempengaruhi jumlah barang atau jasa yang
dikonsumsi oleh konsumen sehingga yang menjadi acuan dalam hal ini
adalah tinggi rendahnya jumlah konsumsi yang dilakukan oleh
konsumen. Dalam penelitian ini penulis menggunakan jumlah
pengeluaran (ribu rupiah) yang digunakan untuk konsumsi rokok
sebagai alat ukur tingkat konsumsi.
2. Pendapatan
Menurut BPS, pendapatan rumah tangga adalah pendapatan yang
diterima baik yang berasal dari pendapatan kepala rumah tangga maupun
pendapatan anggota-anggota rumah tangga lain. Pendapatan dapat berasal
dari balas jasa faktor produksi tenaga kerja (upah dan gaji, keuntungan,
bonus, dan lain lain), balas jasa kapital (bunga, bagi hasil, dan lain lain),
dan pendapatan yang berasal dari pemberian pihak lain (transfer).
Pendapatan merupakan hasil yang diperoleh seseorang baik dari
pendapatan hasil sendiri, gaji dan upah atau imbalan atas pekerjaan yang
16
dilakukan juga pendapatan dari usaha lain (sampingan). Tingkat
pendapatan masyarakat akan mencerminkan daya beli masyarakat. Jika
pendapatan naik, jumlah barang yang diminta mungkin naik ataupun
sebaliknya. Sejalan dalam (Rahardja, 2010:93), ketika pendapatan
meningkat dan konsumsi suatu barang semakin besar, dapat diartikan
bahwa barang itu merupakan barang mewah. Sedangkan jika pendapatan
meningkat tapi konsumsi suatu barang adalah tetap maka barang tersebut
termasuk barang pokok. Mankiw (2011:277) mengatakan bahwa
pendapatan memiliki hubungan positif terhadap barang normal, berbeda
dengan barang inferior yang memiliki hubungan negatif terhadap
pendapatan.
Gambar 2.1
Kurva Pendapatan-Konsumsi (Income-Consumption Curve)
Dalam teori konsumen, digambarkan hubungan mengenai pendapatan
dan konsumsi dengan Kurva Pendapatan-Konsumsi (income-consumption
curve). ICC menggambarkan keseimbangan konsumen pada berbagai
tingkat pendapatan nominal, dengan asumsi ketika pendapatan meningkat
y
x
ICC
0
17
konsumsi pun akan meningkat dan sebaliknya (cateris paribus). Pada
umumnya kemiringan ICC adalah positif karena permintaan terhadap
suatu barang akan meningkat seiring pendapatan meningkat (barang
normal), dengan melihat sudut kemiringan ICC pula kita dapat
menganalisis suatu barang apakah tergolong barang kebutuhan pokok atau
barang mewah (Rahardja, 2010:92).
Penelitian mengenai pengaruh pendapatan dan konsumsi rokok telah
dilakukan oleh Nenik Woyanti (2011:6) bahwa pendapatan merupakan
faktor penentu seseorang untuk mengkonsumsi rokok atau tidak.
Pendapatan memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap konsumsi
rokok. Semakin tinggi tingkat pendapatan riil seseorang akan mendorong
orang tersebut untuk merokok lebih banyak lagi. Dalam penelitian tersebut
menunjukkan bahwa ketika pendapatan riil seseorang meningkat, ada
kecenderungan perokok menambah jumlah batang rokok untuk
dikonsumsinya. Dengan demikian faktor pendapatan merupakan faktor
penting yang juga harus dipertimbangkan untuk mengkonsumsi rokok.
3. Tarif Cukai
a. Pengertian Cukai
Cukai yaitu pungutan yang dikenakan atas barang-barang tertentu
yang sudah ditetapkan untuk masing-masing barang tertentu (Rahayu,
2010:78). Cukai berdasarkan Undang- Undang Nomor 39 Tahun 2007
adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang
18
tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan
dalam Undang-Undang.
Rokok merupakan salah satu barang yang dikenakan cukai. Setiap
konsumen membeli rokok secara tidak langsung konsumen juga
membayar besaran cukai yang ditetapkan pemerintah. Jika tarif cukai
meningkat secara langsung akan meningkatkan harga rokok pula.
Dalam Hanggara (2013:12) diterangkan bahwa pabrik rokok telah
menalangi konsumen dalam membayar cukai kepada pemerintah pada
saat membeli pita cukai yang terdapat pada kemasan rokok tersebut.
Untuk mengembalikan besaran cukai yang sudah dibayar oleh pabrik
maka pabrik rokok menambahkan besaran cukai tersebut sebagai salah
satu komponen dari harga jual rokok tersebut.
Menurut Rahayu (2010:77) cukai merupakan salah satu bentuk dari
pajak tidak langsung (indirect tax). Pajak tidak langsung yakni pajak
yang beban tanggungannya dapat dipindahkan kepada orang lain,
dalam kasus ini konsumen. Cukai dapat menyebabkan permintaan
suatu barang di masyarakat menjadi turun, karena harga yang harus
dibayar konsumen setelah terkena cukai menjadi lebih tinggi. Dengan
adanya intervensi pemerintah terhadap harga (secara tidak langsung)
melalui cukai, produsen akan berusaha mengalihkan sebagian beban
pajak tersebut kepada konsumen, yaitu dengan menawarkan harga jual
yang lebih tinggi, artinya harga akan meningkat. Jika dihubungkan
19
dengan hukum permintaan, bila harga meningkat maka permintaan,
penawaran atau pun produksi akan menurun pula.
Gambar 2.2
Kurva Harga-Konsumsi (Price-Consumption Curve)
Dalam Rahardja (2010:90) dijelaskan hubungan antara harga dan
konsumsi. Turun atau naiknya harga akan menyebabkan pendapatan
nyata seseorang berubah walaupun pendapatan nominal tidak berubah.
Pada akhirnya jumlah barang yang dikonsumsi berubah dan juga akan
merubah keseimbangan konsumen hal ini digambarkan dalam price-
consumption curve (PCC). PCC merupakan kurva yang
menggambarkan titik keseimbangan konsumsen pada berbagai rasio
harga akibat perubahan harga suatu barang, dimana pendapatan
nominalnya tetap. Ketika harga suatu barang turun, maka akan
meningkatkan kemampuan seseorang untuk konsumsi barang tersebut
dengan pendapatan tetap, hal ini lah yang dapat merubah titik
y
x
PCC
0
20
keseimbangan sehingga ketika titik keseimbangan dihubungkan akan
membentuk PCC.
b. Dasar Hukum
Undang-Undang nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai untuk
pembatasan dan pengendalian konsumsi. Undang–Undang ini
merupakan perubahan dari Undang-Undang No. 11 Tahun 1995.
Selain mengenai Pembatasan dan Pengendalian konsumsi, UU ini juga
membahas mengenai pengelolaan hasil cukai. Dalam Pasal 66A ayat
(1) UU Cukai dijelaskan mengenai pembagian dana cukai hasil
tembakau yang biasa dikenal sebagai Dana Bagi Hasil Cukai Hasil
Tembakau (DBH-CHT). Dijelaskan dalam El Guyanie (2013:4) cukai
yang diterima negara berikutnya dibagikan kepada provinsi untuk
digunakan sebagai pendanaan pembinaan lingkungan, sosialisasi cukai
dan pemberantasan barang kena cukai illegal. Dari provinsi DBH-
CHT dibagi lagi kepada bupati/walikota daerah masing-masing
berdasarkan komposisi sebagaimana diatur dalam oleh yang
berwenang.
c. Subjek dan Objek Cukai
Subjek cukai adalah orang pribadi atau badan hukum yang
melakukan kegiatan pabrikan sebagai pengusaha pajak dan
memasukkan maupun mengeluarkan barang kena cukai ke dalam
daerah pabean.
21
Objek cukai adalah barang yang dipungut cukai, terdiri dari :
1) etil alkohol atau etanol, dengan tidak mengindahkan bahan
yang digunakan dan proses pembuatannya;
2) minuman yang mengandung etil alkohol dalam kadar berapa
pun, dengan tidak mengindahkan bahan yang digunakan dan
proses pembuatannya, termasuk konsentrat yang mengandung
etil alkohol;
3) hasil tembakau, yang meliputi sigaret, cerutu, rokok daun,
tembakau iris, dan hasil pengolahan tembakau lainnya, dengan
tidak mengindahkan digunakan atau tidak bahan pengganti
atau bahan pembantu dalam pembuatannya.
d. Barang Kena Cukai
Pasal 2 UU No. 39 tahun 2007 tentang cukai menyatakan barang
yang dikenai cukai adalah barang tertentu yang memiliki sifat atau
karakteristik:
1) Konsumsinya perlu dikendalikan,
2) Peredarannya perlu diawasi,
3) Pemakaiannya dapat menimbulkan efek negatif bagi
masyarakat atau lingkungan hidup,
4) Atau pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi
keadilan dan keseimbangan.
22
e. Tarif Cukai Tembakau
Tarif cukai hasil tembakau yang tercantum dalam Peraturan
Menteri Keuangan (PMK) nomor 203/PMK.011/2008 yang berlaku
mulai tanggal 1 Februari 2009 untuk masing-masing pengusaha pabrik
hasil tembakau atau importir ditetapkan. Hingga saat ini tarif cukai
hampir selalu mengalami perubahan setiap tahun, dalam rangka
meningkatkan pengendalian konsumsi barang kena cukai berupa hasil
tembakau dan memperhatikan potensi penerimaan di bidang cukai
hasil tembakau yang berkesinambungan.
4. Kawasan Tanpa Rokok (KTR)
Kawasan Tanpa Rokok (KTR) adalah ruangan atau area yang
dinyatakan dilarang untuk kegiatan merokok atau kegiatan memproduksi,
menjual, mengiklankan, dan atau mempromosikan produk tembakau.
Sedangkan tempat khusus untuk merokok adalah ruangan yang
diperuntukkan khusus untuk kegiatan merokok yang berada di dalam KTR
(Kemenkes RI, 2011:14).
KTR salah satunya diatur dalam Undang-Undang Kesehatan No 36
tahun 2009 pasal 115 menetapkan Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok
(KTR) yang didalamnya berisi beberapa kawasan yang ditentukan sebagai
KTR. Kawasan itu antara lain adalah fasilitas pelayanan kesehatan, tempat
proses belajar mengajar, tempat bermain, tempat bermain anak, tempat
23
ibadah, angkutan umum, tempat kerja dan juga tempat umum atau tempat
lain yang ditetapkan.
Kota Bogor pun memiliki peraturan khusus mengenai KTR yang
dituangkan dalam Peraturan Daerah (Perda) Kota Bogor nomor 6 tahun
2009. Yang berisi tentang ketetapan Kawasan Tanpa Rokok. Rokok yang
dimaksud dalam perda ini yaitu semua hasil olahan tembakau terbungkus
termasuk cerutu atau bentuk lainnya yang dihasilkan dari tanaman
nicotiana tabacum, nicotiana rustica, dan spesies lainnya atau sintetisnya
yang mengandung nikotin dan tar dengan atau tanpa bahan tambahan.
Kawasan KTR di Kota Bogor pun meliputi tempat umum, tempat kerja,
tempat ibadah, tempat bermain dan/atau berkumpulnya anak-anak,
kendaraan angkutan umum, lingkungan tempat proses belajar mengajar,
sarana kesehatan dan sarana olahraga.
Dalam pengendalian dan pengawasannya walikota Bogor menunjuk
Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) sebagai penanggung jawabnya.
Bukan hanya SKPD setiap pimpinan lembaga dan atau badan wajib dan
bertanggung jawab melaksanakan pengendalian di lingkungan Kawasan
Tanpa Rokok sesuai kewenangannya. Juga dijelaskan bahwa masyarakat
memiliki hak untuk menegur/mengeluarkan pendapat demi mewujudkan
lingkungan yang bersih dan terlindung dari asap rokok. Jadi, bukan hanya
satuan yang dibentuk, tapi seluruh lingkup masyarakat pun berperan aktif
dalam pengendalian KTR.
24
Sanksi yang diberikan kepada pelanggar KTR disebutkan dalam BAB
VIII Perda Kota Bogor nomor 6 tahun 2009 bisa berupa sanksi teguran
atau pun sanksi administratif paling sedikit Rp 50.000,00 (lima puluh ribu
rupiah) dan paling banyak Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk
setiap kali pelanggaran bagi perorangan yang pada akhirnya akan masuk
ke dalam Kas Daerah. Lain halnya nominal sanksi administratif bagi setiap
pimpinan lembaga, badan juga aparat telah disesuaikan dalam perda.
Dikutip dari TCSC Indonesia yakni Kawasan Tanpa Rokok dan
Implementasinya, beberapa hal yang menjadi prinsip dasar pengembangan
KTR adalah:
a. Semua orang berhak dilindungi kesehatannya dari paparan asap
rokok.
b. Kawasan tanpa rokok merupakan upaya efektif untuk
melindungi seluruh masyarakat dari asap rokok orang lain.
c. Perlu peraturan berbentuk legislasi yang mengikat secara
hukum.
d. Untuk mencapai keberhasilan dalam penerapan dan
penegakkan KTR diperlukan perencanaan yang baik dan SDM
yang memadai.
e. LSM dan Lembaga Profesi mempunyai peran yang penting.
Pelaksanaan peraturan, penegakkan hukum, dan dampak KTR harus
dimonitor dan dievaluasi.
25
5. Pesan Bergambar Bahaya Merokok
a. Pengertian
Peringatan kesehatan bergambar atau Pictorial Health Warning
yaitu peringatan kesehatan bergambar mengenai dampak pemakaian
produk seperti penyakit kanker yang disebabkan karna pemakaian
produk tembakau. Peringatan ini sebagai media promosi kesehatan
massal, dimana tidak hanya diterapkan pada satu daerah saja,
melainkan merata di seluruh wilayah Indonesia terhitung mulai dari
tanggal 24 Juni 2014 pada seluruh kemasan rokok.
b. Dasar Hukum
Peraturan tentang peringatan bahaya merokok salah satunya diatur
dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia (PPRI) Nomor 19
Tahun 2003 Tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan.
Penyelenggaraan pengamanan rokok dalam peraturan ini dengan cara
pencantuman kadar nikotin yang terkandung dalam rokok, peringatan
kesehatan seperti “Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan
jantung, impotensi dan gangguan kehamilan dan janin” baik di setiap
iklan pada media elektronik, media cetak dan media luar ruang.
Disebutkan pula dalam perbaikan PPRI nomor 19 tahun 2003
yakni PPRI nomor 109 tahun 2012 Tentang Pengamanan Bahan Yang
Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.
Pada pasal 15 disebutkan bahwa setiap 1 (satu) varian Produk
26
Tembakau wajib dicantumkan gambar dan tulisan peringatan
kesehatan yang terdiri atas 5 (lima) jenis yang berbeda, dengan porsi
masing-masing 20% (dua puluh persen) dari jumlah setiap varian
Produk Tembakaunya.
5 jenis gambar berbeda sebagaimana diatur dalam PPRI nomor 109
tahun 2012, dijelaskan dalam Peraturan Menteri Kesehatan No 28
Tahun 2013 tentang Pencantuman Peringatan Kesehatan dan Informasi
Kesehatan Pada Kemasan Produk Tembakau, semua aspek mengenai
peringatan kesehatan diatur mulai dari besarnya komposisi
pencantuman gambar, kata-kata peringatan, informasi kesehatan dan
jenis-jenis peringatan. Jenis peringatan kesehatan terdiri atas 5 (lima)
jenis gambar dan tulisan sebagai berikut:
1) Gambar Kanker Mulut
2) Gambar orang merokok dengan asap yang membentuk
tengkorak
3) Gambar Kanker Tenggorokan
4) Gambar orang merokok dengan anak di dekatnya
5) Gambar paru-paru yang menghitam karena kanker
B. Penelitian Terdahulu
Bagi bahan tinjauan penelitian yang berjudul “Pengaruh Pendapatan dan
Kebijakan Pemerintah terhadap Konsumsi Rokok” ini, penulis melampirkan
beberapa penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan dampak kebijakan
27
pemerintah terhadap konsumsi rokok. Beberapa tinjauan diambil dari studi-
studi yang dilakukan di dalam negeri maupun yang dilakukan di luar negeri.
1. Hubungan Penerapan Pajak Rokok dengan Daya Beli dan Tingkat
Konsumsi Rokok oleh Bani Alkausar, Hamidah Nayati Utami dan
Yuniadi Mayowan (2015). Tujuan dari penelitian ini untuk
mengetahui hubungan dari penerapan pajak rokok dengan daya beli
dan tingkat konsumsi rokok, apakah dengan adanya kebijakan ini
konsumsi rokok akan bisa dikendalikan. Variabel penerapan pajak
rokok dirubah menjadi dua variabel yaitu: variabel kebijakan pajak
rokok dan variabel pajak rokok. Berdasarkan hasil uji korelasi rank
spearman (1928), variabel kebijakan pajak rokok memiliki sig. rs
sebesar 0,486 terhadap daya beli dan variabel pajak rokok memiliki
sig. rs sebesar 0,002 terhadap daya beli dengan arah positif. Variabel
kebijakan pajak rokok memiliki sig. rs sebesar 0,001 terhadap tingkat
konsumsi dengan arah positif dan variabel pajak rokok memiliki sig. rs
sebesar 0,002 terhadap tingkat konsumsi dengan arah positif. Dengan
artian variabel kebijakan pajak rokok tidak berpengaruh secara
signifikan terhadap daya beli. Sedangkan variabel lain berpengaruh
signifikan dan positif, variabel pajak rokok terhadap daya beli,variabel
kebijakan pajak rokok terhadap konsumsi rokok dan variabel pajak
rokok terhadap konsumsi rokok. Dari penelitian diatas dapat dilihat
bahwa ketika ada peningkatan pajak rokok, konsumsi rokok akan tetap
atau bahkan meningkat. Hal ini disebabkan oleh kurang tingginya
28
jumlah pajak yang pada akhirnya kurang efektif untuk mengurangi
daya beli dan konsumsi rokok.
2. Pengaruh Tarif Cukai Tembakau dan Pesan Bergambar Bahaya
Rokok Terhadap Konsumsi Rokok di Banda Aceh oleh Puput
Arisna dan Eddy Gunawan (2016). Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis pengaruh kenaikan bea cukai tembakau, pesan bergambar
bahaya merokok, kawasan tanpa rokok, pendapatan dan pengeluaran
terhadap konsumsi rokok. Sampel dalam kajian menggunakan hasil
wawancara dari 50 responden. Model yang digunakan adalah analisis
regresi linier berganda. Tingginya cukai tembakau tidak memberikan
pengaruh yang besar terhadap konsumsi rokok. Hal ini
menggambarkan bahwa konsumen rokok memiliki elastisitas yang
inelastis terhadap harga rokok. Penerapan Kawasan Tanpa Rokok tidak
mengurangi konsumsi rokok, hanya mengurangi frekuensi perokok
yang merokok pada lokasi-lokasi Kawasan Tanpa Rokok. Pendapatan
konsumen merupakan penentu konsumsi rokok. Responden dengan
pendapatan tinggi akan cenderung untuk tidak merokok hal ini
disebabkan karena biasanya responden yang berpendapatan tinggi
cenderung berpendidikan tinggi. Terdapat pengaruh yang signifikan
antar variabel secara model namun secara parsial hanya tarif cukai
tembakau, kawasan tanpa rokok dan tingkat pengeluaran yang positif
dan signifikan. Sementara pesan bahaya rokok bergambar dan tingkat
29
pendapatan berpengaruh negatif terhadap tingkat konsumsi rokok di
Kota Banda Aceh.
3. Pengaruh Kenaikan Tarif Cukai dan Fatwa Haram Merokok
Terhadap Perilaku Konsumen Rokok di Kota Semarang oleh
Nenik Woyanti (2011). Penelitian ini bertujuan untuk melihat
perubahan konsumsi rokok akibat pengaruh dari harga, pendapatan,
umur, pendidikan, fatwa haram dan cukai rokok. Variabel harga
berpengaruh negative dan signifikan terhadap perilaku konsumen
rokok. Semakin mahal harga rokok maka semakin sedikit jumlah
rokok yang dikonsumsi atau yang diminta. Besaran pengaruh variabel
harga terhadap konsumsi rokok adalah 0,282 attinya setiap kenaikan
harga rokok Rp 100 per batang, ceteris paribus, akan mengurangi
konsumsi rokok sebesar 28 batang per bulan. Variabel pendapatan
berpengaruh positif dan signifikan terhadap perilaku konsumen rokok.
Besaran pengaruh variabel pendapatan terhadap konsumsi rokok
adalah 0,000237 artinya setiap kenaikan pendapatan riil Rp 100.000
per bulan, (cateris paribus) akan menambah konsumsi rokok sebesar
23 batang per bulannya. Variabel umur berpengaruh negatif dan
signifikan terhadap perilaku konsumen rokok. Semakin bertambahnya
umur hingga mencapai umur tertentu perokok akif cenderung akan
berusaha untuk mengurangi konsumsi rokok. Besaran pengaruh
variabel umur terhadap konsumsi rokok adalah minus I,753 artinya
setiap usia bertambah 1 tahun, (cateris paribus) akan mengurangi
30
konsumsi rokok sebesar 2 batang per bulannya. Variabel pendidikan
berpengaruh negatif dan signifikan terhadap perilaku konsumen rokok.
Besaran pengaruh variabel pendidikan terhadap konsumsi rokok
adalah minus 34,432 artinya setiap kenaikan 1 tahun jenjang
pendidikan (cateris paribus) akan mengurangi konsumsi rokok sebesar
34 sampai 35 batang per bulannya. Selanjutnya adalah fatwa haram,
variabel ini berpengaruh positif tidak signifikan. Dengan adanya fatwa
haram tidak mengurangi konsumsi rokok bahkan cenderung meningkat
sebesar 8,755%. Yang terakhir cukai rokok berpengaruh positif tidak
signifikan. Ketika cukai meningkat, tidak mengurangi konsumsi rokok
bahkan cenderung meningkat seperti halnya fatwa haram.
4. Dampak Perubahan Tarif Cukai Terhadap Industri Rokok,
Pertanian Tembakau dan Perekonomian Jawa Tengah oleh
Fathoni Ashar (2015). Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji
pengaruh perubahan cukai terhadap konsumsi rokok dan dampak yang
terjadi terhadap output dan pendapatan rumah tangga pada
perekonomian Jawa Tengah. Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap.
Pertama, melakukan analisis pengaruh cukai rokok terhadap konsumsi
rokok. Pada tahap ini, diestimasi model ekonometrika panel data
dengan pendekatan fixed effect model (FEM) selama periode 2009-
2013 dengan cakupan 35 kabupaten/kota Jawa Tengah. Pada tahap ini
juga dianalisis pengaruh pendapatan regional terhadap tingkat
konsumsi rokok di Jawa Tengah. Kedua, menggunakan analisis input-
31
output untuk mengestimasi dampak konsumsi rokok terhadap output
dan pendapatan rumah tangga sektoral dan perekonomian Jawa
Tengah. Estimasi dampak tersebut dilakukan dengan menggunakan
Tabel Input- Output (I-O) Jawa Tengah tahun 2013 dengan klasifikasi
87 sektor. Di samping fokus analisis pada industri rokok, juga
dianalisis sektor-sektor utama yang memiliki keterkaitan yang tinggi
dengan industri rokok dan sektor-sektor lainnya di perekonomian Jawa
Tengah. Hasil penelitian menunjukan bahwa pendapatan nasional dan
cukai rokok berpengaruh negatif dan signifikan terhadap konsumsi
rokok rumah tangga. Peningkatan cukai rokok menurunkan konsumsi
rokok dan dan sebagai dampaknya menurunkan tingkat output dan
pendapatan rumah tangga sektoral. Dampak paling besar tentu dialami
oleh industri rokok sendiri, dan diikuti oleh sektor-sektor lain yang
terkait dengan industri rokok seperti sektor pertanian tembakau.
5. Analisis Pengaruh Penerapan Kebijakan Tarif Cukai Terhadap
Konsumsi Rokok di Indonesia oleh Thomas Agung N (2017).
Penelitian ini bertujuan untuk mencari dampak kenaikan cukai rokok
terhadap konsumsi tiga jenis rokok yaitu Sigaret Puth Mesin (SPM),
Sigaret Kretek Mesin (SKM), dan Sigaret Kretek Tangan (SKT) di
Indonesia. Selain itu penelitian ini juga bertujuan untuk menganalisis
dampak perubahan pendapatan riil dan perbedaan dampak cukai
terhadap masing-masing jenis rokok. Dengan menggunakan metode
Ordinary Least Square (OLS), ditemukan bahwa cukai memiliki
32
pengaruh negatif terhadap konsumsi rokok secara umum sedangkan
pendapatan riil berpengaruh positif. Kenaikkan cukai menurunkan
konsumsi SKM paling besar kemudian diikuti oleh SPM tetapi justru
menaikkan konsumsi SKT.
6. Faktor yang Mempengaruhi Pengeluaran Konsumsi Rokok pada
Rumah Tangga Miskin di Provinsi Aceh oleh Haifa Sari, Sofyan
Syahnur dan Chenny Seftarita (2017). Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pengeluaran konsumsi
rokok pada rumah tangga miskin serta untuk mengetahui pola
pengeluaran konsumsi rokok pada rumah tangga miskin di Aceh tahun
2010 dan 2015. Variabel bebas yang digunakan adalah harga rokok,
pendapatan rumah tangga, jumlah anggota rumah tangga dewasa,
pengeluaran makanan tanpa rokok, pengeluaran pendidikan dan
pengeluaran kesehatan. Metode penelitian yang digunakan adalah OLS
(Ordinary Least Square) dengan menggunakan data sekunder yaitu
Susenas bulan maret tahun 2010 dan 2015. Hasil penelitian ini adalah
variabel pendapatan rumah tangga dan pengeluaran makanan tanpa
rokok mempengaruhi pengeluaran konsumsi rokok pada rumah tangga
miskin di Aceh tahun 2010. Di tahun 2015 ada penambahan variabel,
yaitu pengeluaran pendidikan dan pengeluaran kesehatan yang
berpengaruh terhadap pengeluaran konsumsi rokok pada rumah tangga
miskin.
33
Tabel 2.1
Penelitian Sebelum
No Penulis dan
Tahun
Judul Variabel Alat
Analisis
Hasil
1. Bani
Alkausar,
Hamidah
Nayati
Utami dan
Yuniadi
Mayowan
(2015)
Hubungan
Penerapan
Pajak
Rokok
dengan
Daya Beli
dan Tingkat
Konsumsi
Rokok
Kebijakan
Pajak
Rokok (X1)
Pajak
Rokok (X2)
Daya Beli
(Y1)
Konsumsi
Rokok (Y2)
Analisis
deskriptif,
analisis
inferensial
, uji
instrumen
penelitian,
uji
korelasi
Rank
Spearman.
Berdasarkan hasil uji
korelasi rank
spearman, variabel
kebijakan pajak tidak
memiliki hubungan
dengan daya beli
rokok, variabel pajak
rokok memiliki
hubungan yang positif
dan signifikan dengan
daya beli rokok,
variabel kebijakan
pajak rokok dan
variabel pajak rokok
memiliki hubungan
yang positif dan
signifikan terhadap
tingkat konsumsi
rokok.
2. Puput
Arisna dan
Eddy
Gunawan
(2016)
Pengaruh
Tarif Cukai
Tembakau
dan Pesan
Bergambar
Bahaya
Rokok
Terhadap
Konsumsi
Rokok di
Banda
Aceh
Tarif Cukai
Tembakau
(X1)
Pesan
Rokok
Bergambar
(X2)
Kawasan
Tanpa
Rokok (X3)
Pendapatan
(X4)
Pengeluaran
(X5)
Konsumsi
Rokok (Y)
Regresi
Linier
Berganda
Hasil dari penelitian
ini terdapat pengaruh
yang signifikan antar
variabel secara model
namun secara parsial
hanya tarif cukai
tembakau, kawasan
tanpa rokok dan
tingkat pengeluaran
yang memiliki
hubungan positif dan
signifikan. Sementara
pesan bahaya rokok
bergambar dan
tingkat pendapatan
berpengaruh negative
tidak signifikan
terhadap tingkat
konsumsi rokok di
Kota Banda Aceh.
3. Nenik
Woyanti
Pengaruh
Kenaikan
Harga (X1)
Pendapatan
Ordinary
Least
Hasil penelitian
menunjukkan bahwa
34
(2011) Tarif Cukai
dan Fatwa
Haram
Merokok
Terhadap
Perilaku
Konsumen
Rokok di
Kota
Semarang
(X2)
Pendidikan
(X3)
Umur (X4)
Tarif Cukai
(X5)
Fatwa
Haram (X6)
Konsumsi
Rokok (Y)
Square
(OLS)
analisis
regresi
variabel harga,
pendidikan dan umur
memiliki pengaruh
negatif signifikan
terhadap konsumsi
rokok. Variabel
pendapatan
berpengaruh
signifikan dan positif
terhadap konsumsi
rokok, sedangkan
variabel cukai dan
fatwa haram tidak
memiliki pengaruh
secara nyata terhadap
konsumsi rokok atau
tidak signifikan.
4. Fathoni
Ashar
(2015)
Dampak
Perubahan
Tarif Cukai
Terhadap
Industri
Rokok,
Pertanian
Tembakau
dan
Perekonom
ian Jawa
Tengah
PDRB (X1)
Cukai
Rokok (X2)
Konsumsi
Rokok
Rumah
Tangga (Y)
Regresi
Data Panel
dengan
Dummy
Variable
(Least
Squares
Dummy
Variable,
LSDV)
Hasil penelitian
menunjukan bahwa
pendapatan nasional
dan cukai rokok
berpengaruh negatif
dan signifikan
terhadap konsumsi
rokok rumah tangga.
Peningkatan cukai
rokok menurunkan
konsumsi rokok dan
dan sebagai
dampaknya
menurunkan tingkat
output dan pendapatan
rumah tangga sektoral.
5. Thomas
Agung N
(2017)
Analisis
Pengaruh
Penerapan
Kebijakan
Tarif Cukai
Terhadap
Konsumsi
Rokok di
Indonesia
Tarif Cukai
(tiga jenis
rokok;
SPM, SKM
dan SKT)
(X1)
Pendapatan
(X2)
Konsumsi
Rokok (Y)
Ordinary
Least
Square
(OLS)
Hasil penelitian
ditemukan bahwa
cukai memiliki
pengaruh negatif
terhadap konsumsi
rokok secara umum
sedangkan pendapatan
riil berpengaruh
positif. Kenaikan
cukai menurunkan
konsumsi SKM paling
besar kemudian diikuti
oleh SPM tetapi justru
35
meningkatkan
konsumsi SKT.
6. Haifa Sari,
Sofyan
Syahnur dan
Chenny
Seftarita
(2017)
Faktor yang
Mempenga
ruhi
Pengeluara
n Konsumsi
Rokok pada
Rumah
Tangga
Miskin di
Provinsi
Aceh
Harga
Rokok (X1)
Pendapatan
Rumah
Tangga
(X2)
Jumlah
Anggota
Rumah
Tangga
Dewasa
(X3)
Pengeluaran
makanan
tanpa rokok
(X4)
Pengeluaran
Pendidikan
(X5)
Pengeluaran
Kesehatan
(X6)
Pengeluaran
Konsumsi
Rokok pada
Rumah
Tangga
Miskin (Y)
Ordinary
Least
Square
(OLS)
dengan
model
Regresi
Linier
Berganda
Berdasarkan hasil
penelitian dapat dilihat
faktor-faktor yang
mempengaruhi
pengeluaran konsumsi
rokok pada rumah
tangga miskin di Aceh
pada tahun 2010
adalah pendapatan
rumah tangga dan
pengeluaran konsumsi
makanan tanpa rokok,
sedangkan pada tahun
2015 adalah variabel
pendapatan rumah
tangga dan
pengeluaran konsumsi
makanan tanpa rokok,
pengeluaran
pendidikan dan
pengeluaran
kesehatan. Artinya
masyarakat Aceh pada
tahun 2015 semakin
lebih baik
dibandingkan tahun
2010 karena sudah
mulai ada
pengetahuan akan
pentingnya pendidikan
dan kesehatan.
Variabel bebas yang
tidak berpengaruh
signifikan terhadap
pengeluaran konsumsi
rokok baik pada tahun
2010 maupun pada
tahun 2015 adalah
variabel harga rokok
dan jumlah anggota
rumah tangga dewasa (umur ≥18 tahun).
36
C. Kerangka Pemikiran
Tabel 2.2
Kerangka Pemikiran
Pengaruh Pendapatan dan Kebijakan Pemerintah Terhadap
Konsumsi Rokok (Studi Kasus: Kota Bogor)
Variabel Independen
1. Pendapatan (X1)
2. Tarif Cukai/Harga (X2)
3. Kawasan Tanpa Rokok/KTR (X3)
4. Iklan dan Pesan Bahaya Rokok (X4)
Variabel Dependen
Konsumsi Rokok (Y)
Uji Kualitas Data
1. Uji Validitas
2. Uji Reliabilitas
Uji Asumsi Klasik
1. Normalitas
2. Multikolinearitas
3. Heteroskedastisitas
4. Autokorelasi
Uji Hipotesis
1. Uji Simultan (Uji F)
2. Uji Parsial (Uji T)
3. Koefisien Determinasi (R2)
Kesimpulan dan Saran
37
D. Hipotesis
Hipotesis merupakan dugaan sementara terhadap masalah yang
dirumuskan dalam penelitian yang kemudian akan di uji kebenarannya secara
empiris. Berdasarkan kerangka pemikiran yang sudah dipaparkan, kesimpulan
sementara pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Terdapat pengaruh positif secara signifikan antara Pendapatan
terhadap Konsumsi Rokok di Kota Bogor. Ketika pendapatan
meningkat maka akan meningkatkan konsumsi rokok.
2. Terdapat pengaruh negatif secara signifikan antara Kenaikan Tarif
Cukai terhadap Konsumsi Rokok di Kota Bogor. Ketika tarif cukai
meningkat maka akan menurunkan konsumsi rokok.
3. Terdapat pengaruh negatif secara signifikan antara Kawasan Tanpa
Rokok (KTR) terhadap Konsumsi Rokok di Kota Bogor. Kebijakan
Kawasan Tanpa Rokok (KTR) akan menurunkan konsumsi rokok.
4. Terdapat pengaruh negatif secara signifikan antara Iklan/Pesan
Bergambar Bahaya Rokok terhadap Konsumsi Rokok di Kota Bogor.
Kebijakan Pesan Bergambar Bahaya Merokok akan menurunkan
konsumsi rokok.
38
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Ruang Lingkup Penelitian
Dalam sebuah penelitian diperlukan suatu ruang lingkup atau batasan-
batasan dalam penelitian. Tujuan dari batasan ini adalah agar subjek, objek
atau pun waktu penelitian tidak melebihi atau keluar dari tujuan yang ingin
dicapai.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dari pendapatan dan
beberapa kebijakan pemerintah untuk mengurangi konsumsi rokok terhadap
konsumsi rokok itu sendiri. Dalam penelitian ini menggunakan empat variabel
terikat (dependent variable) dan satu variabel bebas (independent variable).
Variabel terikat yaitu Pendapatan (X1), Cukai Rokok/Harga (X2), Kawasan
Tanpa Rokok/KTR (X3) dan Pesan Iklan Bergambar Bahaya Rokok (X4)
dengan satu variabel bebas yaitu Konsumsi Rokok (Y).
Objek dalam penelitian yaitu perokok yang memiliki pekerjaan atau sudah
memiliki penghasilan dengan lokasi penelitian di Kota Bogor. Sedangkan
jangka waktu penelitian yaitu bulan Oktober-November tahun 2017.
B. Metode Penentuan Sampel
Sampel merupakan bagian dari suatu populasi yang akan mewakili objek
dalam penelitian. Dalam penelitian ini metode/teknik sampling yang
digunakan yaitu purposive sampling. Menurut Sugiyono (2012:126),
Purposive Sampling adalah teknik untuk menentukan sampel penelitian
39
dengan beberapa pertimbangan tertentu yang bertujuan agar data yang
diperoleh nantinya bisa lebih representatif.
Berdasarkan beberapa perhitungan dan pertimbangan, pengambilan
sampel dalam penelitian ini yaitu pada perokok yang sudah bekerja atau telah
memiliki penghasilan di wilayah Kota Bogor. Setiap responden yang memiliki
karakteristik tersebut akan dipilih menjadi sampel penelitian. Dalam penelitian
ini digunakan 30 sampel responden.
C. Metode Pengumpulan Data
1. Data Primer
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan data
primer. Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari
sumbernya atau objek penelitian (Suharyadi dan Purwanto, 2009:14).
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan kuesioner sebagai metode
pengumpulan data primer. Kuesioner adalah suatu teknik pengumpulan
informasi yang memungkinkan dapat memperlajari sikap-sikap,
keyakinan, perilaku, dan karakteristik beberapa orang dalam suatu
populasi (sample). Kuesioner ini terdiri dari beberapa pertanyaan dengan
kombinasi pertanyaan terbuka dan tertutup. Ada pula pertanyaan yang
menggunakan skala ordinal atau sering disebut skala likert yaitu skala
yang berisi lima tingkat preferensi jawaban, dengan pilihan sebagai
berikut; (1) Sangat tidak setuju (2) setuju (3) Netral (tidak pasti) (4) Tidak
setuju (5) Sangat Tidak Setuju (Ghozali, 2013:47).
40
Tabel 3.1
Rentang Skala Likert
Pernyataan
Sikap
Sangat
Setuju
Setuju Cukup
Setuju
Kurang
Setuju
Tidak
Setuju
Positif 1 2 3 4 5
Negatif 5 4 3 2 1
Kuesioner ini disusun dari beberapa pertanyaan yang menyangkut tiap
variabel. Pertanyaan terkait pendapatan menggunakan pertanyaan tertutup
sedangkan pertanyaan mengenai harga, kawasan tanpa rokok (KTR) dan
iklan/pesan bergambar bahaya rokok digunakan skala likert. Dengan sifat
pertanyaan favourable dan unfavourable. Sifat pertanyaan favourable
(positif) adalah ketika semakin besar angka yang diberikan oleh
responden, maka menunjukkan persepsi responden semakin baik terhadap
variabel tersebut dan sebaliknya dengan sifat pertanyaan unfavourable
(negatif) semakin besar angka yang diberikan oleh responden maka
menunjukkan persepsi negatif terhadap variabel tersebut.
Tabel 3.2
Rincian Pertanyaan Kuesioner
No Variabel Indikator Sifat Pertanyaan
1. Kenaikan
Cukai
(Harga)
Pengetahuan akan
kenaikan cukai
rokok setiap tahun
Pengetahuan akan
fungsi cukai yang
dikenakan terhadap
rokok
Pengetahuan bahwa
tarif cukai dapat
mempengaruhi
harga rokok
Favourable
Favourable
Favourable
41
Pengurangan jumlah
konsumsi rokok
akibat kenaikan
harga/tarif cukai
rokok
Favourable
2. Kawasan
Tanpa
Rokok
(KTR)
Kawasan tanpa
rokok (KTR)
mempengaruhi
jumlah konsumsi
rokok
Adanya KTR
mengurangi jumlah
konsumsi rokok
Adanya KTR tidak
merubah jumlah
konsumsi rokok
(tetap)
KTR tidak
mempengaruhi
jumlah konsumsi
rokok (tetap)
Favourable
Favourable
Unfavourable
Unfavourable
3. Iklan/pesan
Bergambar
Bahaya
Rokok
Kesadaran akan
bahaya rokok
melalui pesan
bergambar bahaya
rokok di kemasan
rokok
Kesadaran akan
bahaya rokok
melalui iklan bahaya
rokok di media
penyiaran (tv)
Pengaruh
iklan/pesan
bergambar bahaya
rokok terhadap
jumlah konsumsi
rokok
Favourable
Favourable
Favourable
42
2. Data Sekunder
Dalam penelitian ini juga digunakan data sekunder sebagai data
pendukung. Data sekunder di peroleh dari beberapa sumber, yakni baik
dari studi pustaka berupa buku, jurnal, artikel atau skripsi dan juga dari
media elektronik berupa informasi dari website terkait, jurnal atau artikel
online dan bahan lainnya yang dapat mendukung penelitian.
D. Metode Analisis Data
1. Uji Kualitas Data
a. Uji Validitas
Uji Validitas digunakan untuk mengukur sah atau valid tidaknya
suatu kuesioner. Suatu kuesioner dikatakan valid jika pertanyaan pada
kuesioner mampu untuk menjawab sesuatu yang akan diukur oleh
kuesioner tersebut (Ghozali, 2013:52). Dapat diartikan bahwa validitas
menunjukkan kesahihan dan menunjukkan sejauh mana suatu alat ukur
mampu mengukur apa yang ingin diukur. Dalam penelitian ini alat
ukur yang digunakan yaitu kuesioner.
Untuk menguji apakah instrumen yang digunakan, dalam hal ini
yaitu kuesioner memenuhi persyaratan validitas atau tidak. Pada
dasarnya, untuk mengukur valid atau tidaknya suatu instrument dapat
dilihat dari korelasi Pearson. Cara analisisnya dengan cara menghitung
koefisien korelasi antara masing-masing nilai pada nomor pertanyaan
dengan nilai total dari nomor pertanyaan tersebut. Valid atau tidaknya
43
suatu data dilihat dari nilai pearson correlation yang berkorelasi
positif dan signifikan dibawah 0,1 (α = 10%).
b. Uji Reliabilitas
Menurut Ghozali (2013:47) reliabilitas adalah alat untuk mengukur
suatu kuesioner yang merupakan indikator dari variabel. Suatu
kuesioner dikatakan reliable atau handal jika jawaban seseorang
terhadap pernyataan adalah konsisten atau stabil dari waktu ke waktu.
Metode atau cara dalam melakukan uji reliabilitas dalam penelitian
ini peneliti menggunakan pengujian reliabilitas dengan alat ukur
cronbach alpha. Jika nilai cronbach alpha lebih besar dari nilai r-tabel
maka dapat disimpulkan data telah reliabel atau handal, sebaliknya jika
nilai cronbach alpha lebih kecil dari nilai r-tabel maka data tidak
reliabel.
2. Tabulasi Silang (Crosstabulation)
Tabulasi silang (crosstab) adalah sebuah tabel silang yang terdiri atas
satu baris atau lebih, dan dalam satu kolom atau lebih. Analisis crosstab
pada prinsipnya menyajikan data dalam bentuk tabulasi yang meliputi
baris dan kolom dan data untuk penyajian crosstab adalah data berskala
nominal atau kategori (Ghozali, 2013:22). Alat uji yang dipakai untuk
tabulasi silang pada penelitiian ini adalah uji kebebasan (chi-square).
Menurut Malhotra dalam Rizki (2013:6) statistik uji chi square adalah
statistik yang digunakan untuk menguji signifikansi statistik dari asosiasi
44
yang diamati dalam sebuah tabulasi silang. Data dapat dikatakan memiliki
keterkaitan jika hasil signifikansi uji chi square lebih kecil daripada nilai
α.
3. Model Analisis
Dalam penelitian ini menggunakan konsumsi rokok sebagai variabel
independen (bebas) serta pendapatan, tarif cukai, kawasan tanpa rokok
(KTR) dan iklan/pesan bergambar bahaya rokok sebagai variabel
dependen (terikat).
Bentuk umum model regresi linier berganda adalah sebagai berikut:
(3.1)
Model kemudian diformulasikan sebagai berikut:
(3.2)
Keterangan:
Consump : Konsumsi Rokok
INCOME : Jumlah Pendapatan
CUSTOM : Kenaikan Tarif Cukai
KTR : Kawasan Tanpa Rokok
PHW : Iklan/Pesan Bergambar Bahaya Rokok (Pictorial Health
Warning)
β0 : Intersept/Konstanta
45
β1, β2…βn : Koefisien
ɛ : Error
4. Regresi Linier Berganda
Tahap metode selanjutnya yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
Regresi Linear Berganda (Multiple Regression) dengan program SPSS
versi 22 (software) sebagai alat bantunya. Sedangkan penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui pengaruh variabel bebas (Independent
Variable) terhadap variabel terikat (Dependent Variable).
a. Uji Asumsi Klasik
Penggunaan analisis regresi dalam statistik harus bebas dari
asumsi-asumsi klasik seperti uji normalitas, autokorelasi,
heteroskedastisitas dan asumsi-asumsi klasik lainnya. Adapun
askumsi-asumsi klasik yang digunakan adalah sebagai berikut:
1) Uji Normalitas
Dalam Gozhali (2013:160) uji normalitas bertujuan untuk
menguji apakah dalam model regresi, variabel pengganggu atau
residual memiliki distribusi normal. Nilai residual dikatakan
berdistribusi normal jika nilai residual tersebut sebagian besar
mendekati nilai rata-ratanya. Pengujian normalitas dapat
dilakukan dengan 2 metode grafik. Pertama grafik histogram
yang membandingkan antara data observasi dengan distribusi
yang mendekati distribusi normal, data terdistribusi normal
46
ditunjukkan dari kurva membentuk lonceng ke atas dan tidak
melenceng (skewness). Dapat pula melihat normalitas suatu
data melalui Normal Probability Plot, yaitu dengan
membandingkan distribusi kumulatif dari data sesungguhnya
dengan distribusi kumulatif dari distribusi normal. Distribusi
normal digambarkan dengan sebuah garis diagonal lurus dari
kiri bawah ke kanan atas. Distribusi kumulatif dari data
sesungguhnya digambarkan dengan ploting. Data dikatakan
normal ketika garis yang menggambarkan data sesungguhnya
akan mengikuti atau merapat ke garis diagonalnya.
Adapula uji statistik non parametrik Kolmogrov-Smirnov
dapat digunakan untuk menguji normalitas residual. Dengan
hipotesis:
H0: Data residual terdistribusi normal
H1:data residual tidak terdistribusi normal
Data dapat dikatakan normal jika nilai hasil signifikansi
kolmogrov hitung lebih kecil dari nilai kolmogrov tabel dengan
N = 30 pada α 10%. Sebaliknya jika nilai signifikansi lebih
besar daripada nilai kolmogrov tabel maka data tidak
terdistribusi secara normal.
2) Uji Multikolinearitas
Uji ini bertujuan untuk menguji apakah model regresi
ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas (independent
47
variable). Model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi
korelasi di antara variabel independen. Jika variabel
independen saling berkorelasi, maka variabel-variabel ini tidak
orthogonal adalah variabel bebas yang nilai korelasi antar
sesame variabel bebas sama dengan nol (Ghozali, 2013:105).
Uji multikolinearitas bertujuan untuk menguji apakah dalam
model regresi yang terbentuk ada korelasi yang tinggi atau
sempurna diantara variabel bebas atau tidak, karena jika ada
korelasi yang tinggi berarti model regresi tersebut dinyatakan
mengandung multikolinieritas.
Pada dasarnya metode untuk mendeteksi multikolinearitas
bisa dengan melihat nilai VIF atau Variance Inflation Factor.
Jika nilai VIF tidak lebih dari 10 maka model dinyatakan tidak
mengandung multikolinearitas.
3) Uji Autokorelasi
Uji autokorelasi bertujuan menguji apakah dalam model
regresi linear ada korelasi antara kesalahan pengganggu pada
periode t dengan kesalahan pengganggu pada periode t-1
(sebelumnya). Autokorelasi dapat muncul ketika observasi
yang berurutan sepanjang waktu berkaitan satu sama lain
(Ghozali 2013:110).
48
Uji autokorelasi dilakukan menggunakan Run Test. Data
dapat dikatakan bebas autokorelasi ketika nilai probabilitas
lebih besar daripada nilai α.
4) Uji Heteroskedastisitas
Uji heteroskedastisitas bertujuan menguji apakah dalam
model regresi terjadi ketidaksamaan variance dari residual satu
pengamatan ke pengamatan yang lain. Jika variance dari
residual satu pengamatan ke pengamatan lain tetap, maka
disebut Homoskedastisitas dan jika berbeda disebut
Heteroskedastisitas. Model regresi yang baik adalah yang
Homoskedastisitas atau tidak terjadi Heteroskedastisitas
(Ghozali, 2013:139).
Metode yang peneliti gunakan untuk mendeteksi ada
tidaknya heteroskedastisitas yaitu dengan Korelasi Rank
Spearman, yaitu dengan cara mengkorelasikan nilai residual
hasil regresi dengan masing-masing variabel independen.
Menurut Priyatno (2010:71) metode pengambilan keputusan
dari uji ini yaitu:
1) jika nilai signifikansi antara variabel independen
dengan residual lebih dari α (0,1), maka tidak terjadi
masalah heteroskedastisitas
2) jika nilai signifikansi antara variabel independen
dengan residual kurang dari α (0,1), maka terjadi
masalah heteroskedastisitas.
49
5) Uji Linieritas
Uji linieritas digunakan untuk melihat apakah spesifikasi
model yang digunakan sudah benar atau tidak. Apakah fungsi
yang digunakan dalam suatu studi empiris/penelitian linier atau
tidak (Ghozali, 2013:166). Dalam uji linieritas bisa dilakukan
dengan metode compare means dengan melihat nilai
signifikansi deviation from linearity pada output ANOVA. Jika
nilai signifikansi diatas 0.1, maka tolak H0 atau berarti ada
hubungan linier, sebaliknya jika signifikansi dibawah 0.1 maka
teima H0 yang berarti data tidak linier.
b. Koefisien Determinasi (R2)
Menurut Ghozali (2013:97) Koefisien Determinasi (R2) mengukur
seberapa besar kemampuan suatu model penelitian dalam
menerangkan variabel dependennya. Nilai pada koefisien determinasi
adalah antara 0 (nol) sampai 1 (satu). Nilai R2 yang kecil berarti
kemampuan variabel-variabel independen dalam menjelaskan variabel
dependen amat terbatas, sebaliknya jika nilai mendekati satu berarti
variabel-variabel independen memberikan hampir semua informasi
yang dibutuhkan untuk memprediksi variasi variabel dependen.
c. Uji Hipotesis Penelitian
1) Uji Simultan (Uji F)
Menurut Ghozali (2013:98) uji F pada dasarnya menunjukkan
apakah semua variabel independen atau bebas yang dimasukan
50
dalam model penelitian memiliki pengaruh secara bersama-sama
terhadap variabel dependen/terikat.
Uji F dilakukan dengan kriteria pengambilan keputusan sebagai
berikut:
a) Jika probabilitas (sig F) > α (0,1) maka H0 akan diterima atau
H1 ditolak, artinya secara bersama-sama variabel independen
tidak memiliki pengaruh terhadap variabel dependen.
b) Jika probabilitas (sig F) < α (0,1) maka H0 akan ditolak atau H1
diterima, artinya secara bersama-sama variabel independen
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap variabel dependen.
Hipotesis yang digunakan dalam uji f yaitu:
H0: Pendapatan (X1), Kenaikan Tarif Cukai (X2), Kawasan Tanpa
Rokok (X3) dan Iklan/Pesan Bergambar Bahaya Rokok (X4) tidak
berpengaruh secara simultan terhadap Konsumsi Rokok (Y).
H1: Pendapatan (X1), Kenaikan Tarif Cukai (X2), Kawasan Tanpa
Rokok (X3) dan Iklan/Pesan Bergambar Bahaya Rokok (X4)
berpengaruh secara simultan terhadap Konsumsi Rokok (Y).
2) Uji Parsial (Uji T)
Uji statistik t pada dasarnya menunjukkan seberapa jauh
pengaruh suatu variabel penjelas/independen secara individual
dalam menerangkan variasi variabel dependen (Ghozali, 2013:98).
Uji parsial ini dapat dilakukan dengan cara membandingkan
nilai signifikansi t dengan toleransi kesalahan (α). Jika signifikansi
51
t > α maka terima H0 dan dapat disimpulkan bahwa suatu variabel
independen secara individual tidak mempengaruhi variabel
dependen, sebaliknya jika nilai signifikansi t < α maka disimpulkan
tolak H0 yang artinya variabel independen mempengaruhi variabel
dependen. Dimana nilai α yang digunakan dalam penelitian ini
yaitu 10%. Hipotesis yang digunakan adalah:
1. H0: tidak ada pengaruh yang positif dan signifikan antara
Pendapatan (X1) terhadap Konsumsi Rokok (Y)
H1: ada pengaruh yang positif dan signifikan antara
Pendapatan (X1) terhadap Konsumsi Rokok (Y)
2. H0: tidak ada pengaruh yang positif dan signifikan antara
Kenaikan Tarif Cukai (X2) terhadap Konsumsi Rokok (Y)
H1: ada pengaruh yang positif dan signifikan antara
Kenaikan Tarif Cukai (X2) terhadap Konsumsi Rokok (Y)
3. H0: tidak ada pengaruh yang positif dan signifikan antara
Kawasan Tanpa Rokok (X3) terhadap Konsumsi Rokok
(Y)
H1: ada pengaruh yang positif dan signifikan antara
Kawasan Tanpa Rokok (X3) terhadap Konsumsi Rokok
(Y)
4. H0: tidak ada pengaruh yang positif dan signifikan antara
Iklan/Pesan Bergambar Bahaya Rokok (X4) terhadap
Konsumsi Rokok (Y)
52
H1: ada pengaruh yang positif dan signifikan antara
Iklan/Pesan Bergambar Bahaya Rokok (X4) terhadap
Konsumsi Rokok (Y)
E. Operasional Variabel Penelitian
Tiap variabel dari suatu penelitian harus didefinisikan agar ada batasan
yang jelas dari tiap variabelnya. Berikut adalah uraian definisi dan penjelasan
dari masing-masing variabel yang digunakan dalam penelitian ini;
Tabel 3.3
Operasional Variabel
No Variabel Definisi Pengkuran
1. Konsumsi
Rokok (Y)
Konsumsi merupakan tindakan
seseorang yang bertujuan
mengurangi atau menghabiskan
daya guna suatu benda, baik
berupa barang maupun jasa.
Dalam variabel konsumsi rokok
kali ini digunakan jumlah
pengeluaran individu untuk
konsumsi rokok dengan
indikator sebagai berikut:
1. Jumlah rokok yang
dikonsumsi dalam sehari
2. Harga rokok yang
dikonsumsi
Jumlah per
batang dan
harga
dengan
satuan
rupiah (Rp)
perhari.
2. Tingkat
Pendapatan
(X1)
Tingkat Pendapatan merupakan
besarnya total pendapatan
perbulan penduduk yang
merokok (perokok) yang berasal
baik dari pekerjaan pokok atau
pun pendapatan sampingan.
Pendapatan diukur dalam satuan
rupiah (Rp) yang dibagi ke
dalam beberapa kategori:
Satuan
rupiah (Rp)
per bulan
53
1. < Rp. 1.500.000
2. Rp. 1.500.000-3.000.000
3. Rp. 3.000.000-4.500.000
4. Rp. 4.500.000-6.000.000
5. > Rp. 6.000.000
3. Tarif
Cukai/Harga
(X2)
Tarif Cukai merupakan
pungutan negara yang dikenakan
terhadap barang-barang tertentu
yang mempunyai sifat dan
karakteristik tertentu, salah
satunya rokok karena
konsumsinya perlu dikendalikan.
Tarif Cukai pada rokok akan
meningkatkan harga rokok
secara keseluruhan, harga rokok
ini lah yang dijadikan
operasional variabel. Namun
dalam penelitian ini, tarif cukai
dihitung dengan melihat
beberapa indikator:
1. Pemahaman bahwa harga
rokok meningkat setiap
tahun
2. Pemahaman fungsi cukai
yang dikenakan terhadap
rokok
3. Pemahaman Tarif Cukai
dapat meningkatkan
harga rokok
4. Pengaruh kenaikan harga
akibat cukai terhadap
konsumsi rokok
Skala likert
dengan skor
1 sampai 5.
4. Kawasan
Tanpa Rokok
(X3)
Kawasan Tanpa Rokok (KTR)
merupakan salah satu kebijakan
pemerintah dalam rangka
mengurangi konsumsi rokok,
yaitu dengan cara menerapkan
kawasan bebas asap rokok di
tempat umum seperti sarana
pendidikan, sarana ibadah,
Skala likert
dengan skor
1 sampai 5.
54
sarana kesehatan, sarana
transportasi dll. Indikator
mengukur KTR dilihat dari
seberapa besar KTR
mempengaruhi Konsumsi rokok
pada masyarakat.
5. Iklan/Pesan
Bergambar
Bahaya
Rokok (X4)
Pesan dan Iklan Bergambar
Bahaya Merokok merupakan
gambar peringatan yang diatur
pemerintah untuk dipasang
dalam kemasan rokok, baliho
juga media penyiaran seperti
iklan. Indikator mengukur
variabel ini sebagai berikut:
1. Kesadaran masyarakat
terhadap pesan
bergambar/iklan bahaya
rokok
2. Pengaruh Iklan/Pesan
Bergambar bahaya rokok
terhadap konsumsi rokok
Skala likert
dengan skor
1 sampai 5.
F. Kisi-Kisi Instrumen Penelitian
Tabel 3.4
Kisi-Kisi Instrumen Penelitian
No Variabel Indikator No Item
1. Pendapatan Pendapatan yang berasal dari
pekerjaan pokok / sampingan /
lain-lain
B1-B2
2. Tarif Cukai Pengetahuan akan kebijakan
cukai
D1-D3
Pengaruh kenaikan cukai (harga)
terhadap konsumsi rokok
D4
3. Kawasan
Tanpa Rokok
(KTR)
Pengaruh KTR terhadap
konsumsi rokok
D6-D9
55
4. Pesan
Bergambar
Bahaya
Rokok
Pengaruh iklan dan pesan
bergamber bahaya rokok
terhadap konsumsi rokok
D10-D12
5. Konsumsi
Rokok
Lama Merokok C1
Jumlah rokok dikonsumsi
perhari
C2
Harga rokok yang di konsumsi
perbatang
C3
56
BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Objek Penelitian
Kota Bogor merupakan salah satu kota yang terletak dekat dengan Ibukota
Jakarta yang berada di Jawa Barat. Kota ini memiliki luas sebesar 118,50 Km2
dan terbagi kedalam 6 (enam) wilayah Kecamatan yakni Tanah Sareal, Bogor
Utara, Bogor Barat, Bogor Tengah, Bogor Timur dan Bogor selatan yang
kemudian terbagi lagi kedalam 68 kelurahan.
Gambar 4.1
Peta Kota Bogor
Sumber: Google Search Peta Kota Bogor, 2017
57
Secara administratif Kota Bogor di kelilingi oleh wilayah Kabupaten
Bogor dengan batas sebelah utara berbatasan dengan Kec. Kemang, Bojong
Gede dan Kec. Sukaraja Kabupaten Bogor. Sebelah Timur berbatasan dengan
Kec. Sukaraja dan Kec. Ciawi, Kabupaten Bogor. Sebelah Barat berbatasan
dengan Kec. Darmaga dan Kec. Ciomas, Kabupaten Bogor dan sebelah
Selatan berbatasan dengan Kec. Cijeruk dan Kec. Caringin, Kabupaten
Bogor.
Dari segi demografi, Kota Bogor memiliki jumlah penduduk sebanyak
1.064.687 jiwa. Jika dibandingkan dengan tahun 2015, jumlah penduduk
Kota Bogor pada tahun 2016 bertambah sebanyak 16.765 orang atau
meningkat sebanyak 1,60%. Dengan total luas wilayah 118,50 Km2,
kepadatan penduduk di Kota Bogor pada tahun 2016 mencapai 8.985 orang
per Km2.
Tabel 4.1
Jumlah Penduduk Kota Bogor Menurut Kelompok Usia dan Jenis Kelamin
Kelompok Umur Penduduk (Orang)
Laki-Laki Perempuan Jumlah
0-4 41.446 39.364 80.810
5-9 46.752 44.020 90.772
10-14 46.393 44.733 91.126
15-19 44.004 44.054 88.058
20-24 44.746 43.036 87.782
25-29 46.513 44.488 91.001
30-34 48.140 46.106 94.246
35-39 45.329 43.664 88.993
40-44 41.796 40.001 81.797
45-49 36.134 35.018 71.152
50-54 29.095 28.121 57.216
58
55-59 24.394 23.011 47.405
60-64 17.829 16.428 34.257
65-69 10.525 11.217 21.742
70-74 7.530 8.321 15.851
75+ 9.662 12.817 22.479
Total 540.288 524.399 1.064.687
Sumber: Kota Bogor Dalam Angka, 2017
Dilihat dari segi usia, penduduk Kota Bogor memiliki jumlah penduduk
paling besar pada kelompok penduduk umur 30-34, dengan jumlah penduduk
94.246 jiwa, kemudian diikuti oleh kelompok umur 10-14 dan 25-29 dengan
masing-masing jumlah penduduk sebanyak 91.126 dan 91.001 jiwa. Dari
jumlah tersebut bisa dikatakan bahwa Kota Bogor didominasi oleh penduduk
dengan usia produktif. Jika dibandingkan dengan tahun 2015, jumlah penduduk
pada tahun 2016 meningkat sebesar 16.765 jiwa. Dengan total jumlah
penduduk 1.047.922 pada tahun 2015, 400.983 jiwa atau 38,3% diantaranya
merupakan pekerja.
Tabel 4.2
PDRB Perkapita Atas Dasar Harga Berlaku di Kota Bogor 2010-2015
Tahun Nilai % Perubahan
2010 19.597.000 -
2011 21.260.000 8,49
2012 23.370.000 9,92
2013 25.722.000 10,06
2014 28.235.000 9,77
2015 30.877.000 9,36
Sumber: BPS, Kota Bogor dalam Angka 2017.
59
Dari segi perekonomian, Kota Bogor memiliki jumlah PDRB sebesar Rp.
32.35 Triliyun pada tahun 2015, jika dilihat dari tahun sebelumnya PDRB
mengalami peningkatan dari jumlah Rp. 29,14 Triliyun pada tahun 2014.
Sektor Pedagangan Besar dan Eceran menjadi salah satu sub-sektor dengan
jumlah kontribusi terbesar yakni Rp. 6,05 Triliyun. Sedangkan jumlah PDRB
Perkapita seperti bisa dilihat di tabel 4.2, Kota Bogor selalu mengalami
peningkatan setiap tahunnya dengan presentase pertumbuhan terbesar pada
tahun 2013 sebesar 10,6%. Lalu data PDRB terakhir yaitu sebesar Rp. 30,8 juta
pada tahun 2015.
Jika dilihat dari segi kemiskinan, Kota Bogor menempati urutan ke 3 (tiga)
dengan presentase penduduk miskin terbanyak dibanding Kota-Kota lainnya di
Provinsi Jawa Barat pada tahun 2014. Namun pada tahun 2015 presentase
kemiskinan di Kota Bogor menurun menjadi peringkat ke 4 (empat), presentase
dengan penduduk miskin terbanyak yakni Kota Tasikmalaya 15,95%, Kota
Cirebon 10,36%, Kota Sukabumi 8,79% lalu Kota Bogor dengan presentase
kemiskinan 7,60% dari total penduduk.
Tabel 4.3
Pengeluaran Rata-Rata Per Kapita Sebulan Untuk Sub Golongan
Makanan Menurut Kelompok Barang Makanan 2014-2015
No. Jenis Barang 2014 2015
1. Padi-padian 49.863 63.629
2. Umbi-umbian 2.292 4.648
3. Ikan 27.866 30.127
4. Daging 24.419 37.231
5. Telur & Susu 33.359 44.079
6. Sayur-sayuran 24.658 29.908
60
7. Kacang-kacangan 8.808 10.675
8. Buah-buahan 20.023 27.715
9. Minyak dan Lemak 11.802 12.633
10. Bahan Minuman 10.304 15.025
11. Bumbu-bumbuan 7.386 7.857
12. Konsumsi Lainnya 9.643 12.115
13. Makanan dan Minuman yang
Sudah Jadi 115.129 147.939
14. Minuman Beralkohol 0 0
15. Tembakau Sirih 48.552 55.534
Total 394.104 499.115
Sumber: Kota Bogor Dalam Angka, 2017 (BPS).
Jika dilihat dari rata-rata pengeluaran per kapita penduduk Kota Bogor,
pengeluaran terbanyak pertama yakni kelompok makanan dan minuman yang
sudah jadi sebanyak Rp. 147.939, kemudian yang kedua adalah padi-padian
Rp. 63.629 dan yang ketiga ditempati oleh kelompok tembakau sirih yakni
sejumlah Rp. 55.534. Konsumsi tembakau/rokok menjadi salah satu
penyumbang pengeluaran per kapita terbanyak ke 3 (tiga) di Kota Bogor. Jika
dilihat dari segi kebutuhan, tembakau/rokok bahkan mengalahkan konusmsi
bahan makanan pokok lainnya.
Tabel 4.4
Presentase Perokok Setiap Hari Menurut Jenis Kelamin di Kota Bogor
Jenis Kelamin 2015 2016
Laki-laki 43,71 44,67
Perempuan 1,45 1,81
Total 22,93 23,64
Sumber: BPS, Statistik Kesejahteraan Rakyat Kota Bogor.
61
Jika dilihat perkembangannya tiap tahun, presentase perokok di Kota
Bogor cenderung meningkat. Tabel diatas menunjukkan presentase perokok
setiap hari, lain halnya dengan perokok tidak setiap hari. Dari data BPS Kota
Bogor, jumlah perokok tidak setiap hari justru menurun juga diikuti oleh
penurunan jumlah orang yang tidak merokok. Bisa dikatakan jumlah
penurunan jumlah perokok tidak setiap hari diikuti oleh penurunan jumlah
orang yang tidak merokok, justru beralih ke peningkatan presentase perokok
setiap hari.
Tabel 4.5
Pengeluaran Rata-Rata Perkapita Sebulan Untuk Sub Golongan Makanan
Kelompok Barang Makanan Rokok di Kota Bogor 2011-2015
Tahun Rata-Rata Pengeluaran
2011 34.518
2012 35.818
2013 44.528
2014 48.552
2015 55.534
Sumber: BPS, Kota Bogor Dalam Angka 2017.
Sama halnya dengan peningkatan jumlah perokok, jumlah pengeluaran
rata-rata perkapita Kota Bogor untuk konsumsi rokok pun meningkat setiap
tahun. Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi rokok ditengah masyarakat kota
Bogor masih cukup tinggi, hingga kebijakan dari pemerintah untuk mengatasi
konsumsi rokok pun sangat diperlukan salah satunya Peningkatan Cukai,
Kawasan Tanpa Rokok, serta Pesan Bergambar Bahaya Rokok.
62
Tabel 4.6
Tarif Cukai Rokok 2015-2017
No
Golongan Pengusaha
Pabrik HT
Tarif Cukai Perbatang/gram
Jenis Golongan 2015 2016 2017
1. SKM
I Rp. 415,00 Rp. 480,00 Rp. 530,00
II Rp. 305,00 Rp. 340,00 Rp. 365,00
Rp. 265,00 Rp. 300,00 Rp. 335,00
2 SPM
I Rp. 425,00 Rp. 495,00 Rp. 555,00
II Rp. 270,00 Rp. 305,00 Rp. 330,00
Rp. 220,00 Rp. 255,00 Rp. 290,00
3 SKT/SPT
I Rp. 290,00 Rp. 320,00 Rp. 345,00
Rp. 220,00 Rp. 245,00 Rp. 265,00
II Rp. 140,00 Rp. 155,00 Rp. 165,00
Rp. 125,00 Rp. 140,00 Rp. 155,00
IIIA Rp. 85,00 Rp. 90,00 Rp. 100,00
IIIB Rp. 80,00 Rp. 80,00 Rp. 80,00
Sumber: Kemenkeu, PMK 147, 198, 205 (2014-2015).
Dalam rangka mengatasi konsumsi rokok yang tinggi, tarif cukai menjadi
salah satu alat kebijakan yang digunakan. Tarif cukai dikeluarkan oleh
pemerintah pusat yakni Kementerian Keuangan melalui Peraturan Menteri
Keuangan (PMK). Dilihat dari tabel 4.6 setiap tahun tarif cukai rokok
berdasarkan jenisnya masing-masing kian meningkat. Upaya peningkatan
cukai dapat mempengaruhi harga rokok yang beredar, hal ini lah yang
diharapkan dapat mengurangi konsumsi rokok. Rokok yang dimaksud adalah
hasil olahan tembakau terbungkus termasuk cerutu atau bentuk lainnya.
63
Gambar 4.2
Peringatan Kawasan Tanpa Rokok (KTR)
Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2017.
KTR merupakan kebijakan untuk mengendalikan konsumsi rokok seperti
halnya cukai. Sesuai dengan Perda Kota Bogor nomor 12 tahun 2009 dan
Perwali Bogor nomor 7 tahun 2010 yang menetapkan aturan KTR di Kota
Bogor meliputi tempat umum, tempat kerja, tempat ibadah, tempat
bermain/berkumpul anak-anak, kendaraan/angkutan umum, lingkungan belajar,
sarana kesehatan dan sarana olahraga. Pada gambar 4.2 Menunjukkan salah
satu contoh penerapan adanya tanda larangan merokok/KTR pada beberapa
kawasan perkantoran di wilayah Kota Bogor.
64
Grafik 4.1
Kepatuhan 8 Kawasan Terhadap Perda KTR Kota Bogor Tahun 2015-2016
Sumber: ICTOH, Tobacco Control Support Center (TCSC) Indonesia.
Tabel diatas menunjukkan perkembangan presentase kepatuhan 8 kawasan
terhadap Perda KTR di Kota Bogor. Terlihat bahwa dari tahun sebelumnya,
terjadi peningkatan kepatuhan total dari 63,6% pada tahun 2015 menjadi
67,2% pada tahun 2016. Dilihat dari target awal pemerintah berwenang, hasil
implementasi pun selalu melebihi dengan kata lain mencapai target bahkan
lebih baik. Dapat diartikan bahwa penerapan kebijakan KTR di Kota Bogor
telah sukses dilaksanakan.
TempatUmum
TempatKerja
Sekolah SarkesBermain Anak
TempatIbadah
SaranaOR
Angkutan Kota
TargetKota
Bogor
2015 21.1 61.5 77.9 84.6 74.1 75.7 40 51.9 45 63.6
2016 45.2 65.5 86.8 89.9 84.2 84.6 56 58.7 50 67.2
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Axi
s Ti
tle
Kepatuhan 8 Kawasan Terhadap Perda KTR Kota Bogor Tahun 2015-2016
65
Gambar 4.3
Peraturan Pencantuman Bahaya Rokok Pada Kemasan Rokok
Sumber: Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 Tahun 2013
Sebagaimana diatur dalam PPRI nomor 19 tahun 2003, PPRI nomor 109
tahun 2012 dan Peraturan Menteri Kesehatan nomor 28 tahun 2013, terhitung
kebijakan ini mulai efektif sejak tanggal 24 Juni 2014 termasuk kota Bogor.
Terlihat di setiap toko, swalayan dan pedagang asongan setiap bungkus rokok
sudah ditampilkan pesan bergambar bahaya rokok seperti contoh design diatas.
B. Deskripsi Responden
Dalam penelitian ini diambil responden dengan kriteria orang yang
merokok dan sudah mempunyai penghasilan di Kota Bogor. Jumlah responden
terkumpul 30 orang. Berikut adalah deskripsi dari responden yang dilihat dari
jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, usia, status, lama merokok dan
pendapatannya.
66
1. Analisis Deskripsi Menurut Jenis Kelamin
Berdasarkan hasil penelitian, berikut analisis deskripsi responden
menurut jenis kelamin:
Tabel 4.7
Deskripsi Responden Menurut Jenis Kelamin
Jenis Kelamin Frekuensi Presentase
Laki-laki 30 100%
Perempuan 0 0%
Total 30 100%
Sumber: Data primer diolah, 2017
Hasil responden berdasarkan jenis kelamin, didapat bahwa keseluruhan
dari responden berjenis kelamin laki-laki. Hasil ini disesuaikan dengan
data Statistik Kesejahteraaan Kota Bogor keluaran BPS yang
mencantumkan bahwa presentase perokok berjenis kelamin perempuan di
Kota Bogor sangatlah kecil yakni 1,45% pada tahun 2015 dan 1,81% pada
tahun 2016 dihitung dari total jumlah penduduk berjenis kelamin
perempuan di Kota Bogor. Maka dari itu peluang menemukan responden
perokok perempuan di Kota Bogor akan sangat kecil dibandingkan dengan
responden berjenis kelamin laki-laki.
2. Analisis Deskripsi Menurut Tingkat Pendidikan
Berdasarkan hasil penelitian, berikut analisis deskripsi responden
menurut tingkat pendidikan:
67
Tabel 4.8
Deskripsi Responden Menurut Tingkat Pendidikan
Tingkat Pendidikan Frekuensi Presentase
SMP 3 10%
SMA/sederajat 15 50%
DI/DII/DIII 3 10%
DIV/S1 9 30%
Pascasarjana 0 0%
Total 30 100%
Sumber: Data primer diolah, 2017
Dari hasil diatas, dapat dilihat bahwa proporsi perokok menurut
pendidikan formal terakhir SMP dan DI/DII/DIII yakni dengan presentase
masing-masing 10%, kemudian responden yang menempuh pendidikan
terakhir DIV/S1 dengan presentase 30%, dan responden dengan
pendidikan terakhir SMA/sederajat dengan presentase 50%. Maka dari itu
dapat disimpulkan bahwa konsumsi rokok terbanyak ditempati oleh
konsumen dengan pendidikan terakhir SMA/sederajat juga responden
dengan tingkat pendidikan lebih tinggi cenderung lebih sedikit.
3. Analisis Deskripsi Menurut Pekerjaan
Berdasarkan hasil penelitian, berikut analisis deskripsi responden
menurut jenis pekerjaan:
Tabel 4.9
Deskripsi Responden Menurut Jenis Pekerjaan
Pekerjaan Frekuensi Presentase
Pegawai Pemerintah 6 20%
68
Karyawan Swasta 19 63,3%
Wirausaha 2 6,7%
Mahasiswa 3 10%
Total 30 100%
Sumber: Data primer diolah, 2017
Menurut data diatas, presentase perokok menurut pekerjaan sebagai
pegawai pemerintah memiliki presentase 20%, karyawan swasta dengan
presentase 63,3%, lalu wirausaha dengan presentase 6,7% dan mahasiswa
dengan presentase 10%. Dengan ini disimpulkan bahwa presentase
perokok terbanyak merupakan karyawan swasta dengan presentase 63,3%.
4. Analisis Deskripsi Menurut Usia
Berdasarkan hasil penelitian, berikut analisis deskripsi responden
menurut tingkat usia:
Tabel 4.10
Deskripsi Responden Menurut Tingkat Usia
Usia Frekuensi Presentase
15-25 tahun 15 50%
25-35 tahun 11 36,7%
35-45 tahun 3 10%
45-55 tahun 1 3,3%
Total 30 100%
Sumber: Data primer diolah, 2017
Dilihat menurut usia, perokok di Kota Bogor dengan rentang usia 15-
25 tahun memiliki presentase 50%, usia 25-35 tahun dengan presentase
36,7%, usia 35-45 tahun 10% dan terakhir usia 45-55 tahun dengan
69
presentase 3,3%. Hal ini menunjukkan bahwa perokok di Kota Bogor
mayoritas pada usia muda.
5. Analisis Deskripsi Menurut Status Perkawinan
Berdasarkan hasil penelitian, berikut analisis deskripsi responden
menurut status perkawinan:
Tabel 4.11
Deskripsi Responden Menurut Status Perkawinan
Status Pernikahan Frekuensi Presentase
Belum Menikah 18 60%
Sudah Menikah 12 40%
Pernah Menikah 0 0%
Total 30 100%
Sumber: Data primer diolah, 2017
Dari data diatas menunjukkan bahwa responden perokok yang
berstatus belum menikah memiliki presentase 60% dan responden
berstatus sudah menikah dengan presentase 40%. Dapat disimpulkan
bahwa perokok paling banyak dikonsumsi oleh konsumen yang belum
menikah.
6. Analisis Deskripsi Menurut Lama Merokok
Berdasarkan hasil penelitian, berikut analisis deskripsi responden
menurut waktu lama merokok:
Tabel 4.12
Deskripsi Responden Menurut Lama Merokok
Lama Merokok Frekuensi Presentase
1-7 tahun 11 36,7%
7-14 tahun 12 40%
70
14-21 tahun 4 13,3%
21-28 tahun 3 10%
Total 30 100%
Sumber: Data primer diolah, 2017
Hasil diatas menunjukkan bahwa responden dengan lama merokok
terhitung dari pertama kali merokok 1-7 tahun dengan presentase 36,7%,
kemudian dengan lama merokok 7-14 tahun merokok memiliki presentase
40%, 14-21 tahun dengan presentase 13,3% dan yang terakhir 21-28 tahun
dengan presentase 10%. Dapat disimpulkan bahwa perokok di Kota Bogor
mayoritas sudah mulai merokok selama 7-14 tahun.
7. Analisis Deskripsi Menurut Jumlah Tanggungan (Keluarga)
Berdasarkan hasil penelitian, berikut analisis deskripsi responden
menurut jumlah tanggungan / keluarga:
Tabel 4.13
Deskripsi Responden Menurut Jumlah Tanggungan / Keluarga
Tingkat Pendapatan Frekuensi Presentase
0 16 53,4%
1 4 13,3%
2 3 10%
3 4 13,3%
4 3 10%
Total 30 100%
Sumber: Data primer diolah, 2017
Dari data diatas, konsumen rokok yang tidak memiliki tanggungan
keluarga lain memiliki presentase 53,4%, dengan jumlah tanggungan 1
71
dan 3 orang memiliki presentase masing-masing 13,3%, terakhir dengan
jumlah tanggungan 2 dan 4 memiliki presentase masing-masing 10%. Dari
data diatas dapat disimpulkan bahwa perokok paling banyak adalah yang
belum memiliki tanggungan lain selain membiayai dirinya sendiri.
8. Analisis Deskripsi Menurut Jumlah Konsumsi Rokok
Berdasarkan hasil penelitian, berikut analisis deskripsi responden
menurut jumlah konsumsi rokok per-hari:
Tabel 4.14
Deskripsi Responden Menurut Jumlah Konsumsi Rokok
Jumlah Konsumsi Frekuensi Presentase
1-5 batang 3 10%
6-10 batang 5 16.6%
11-15 batang 14 46.7%
16-20 batang 8 26.7%
Total 30 100%
Sumber: Data primer diolah, 2017
Dari data diatas dapat dilihat bahwa responden terbanyak dengan
jumlah 46.7% melakukan konsumsi rokok perhari sebanyak 11-15 batang
perharinya. Kemudian 26.7% konsumsi rokok perhari sebanyak 16-20
batang, 16.6% konsumsi sebanyak 6-10 batang dan yang paling sedikit
yaitu 10% responden dengan konsumsi rokok perhari paling sedikit pula
yakni 1-5 batang.
72
9. Analisis Deskripsi Menurut Willingness to Pay (WTP)
Berdasarkan hasil penelitian, berikut analisis deskripsi responden
menurut kemauan responden untuk membayar (Willingness to Pay) ketika
harga rokok/cukai meningkat:
Tabel 4.15
Deskripsi Responden Menurut Jumlah Willingness to Pay (WTP)
Tingkat Pendapatan Frekuensi Presentase
0-10% 14 46.7%
11-20% 6 20%
21-30% 4 13.3%
31-40% 1 3.3%
41-50% 5 16.7%
Total 30 100%
Sumber: Data primer diolah, 2017
Dari jumlah diatas jumlah responden terbanyak yakni 46.7%
cenderung memiliki kemauan membayar kenaikan harga cukai sampai
batas kenaikan 0-10% saja. Kemudian 20% responden masih mau
membayar sampai batas kenaikan harga hingga 20%, 16.7% responden
masih mau membayar sampai batas kenaikan harga 50%, 13.3% mau
membayar sampai kenaikan harga 30% dan terakhir 3.3% atau hanya satu
responden yang masih mau membayar hingga kenaikan harga mencapai
40%. Dapat diartikan ketika harga meningkat lebih dari presentase yang
masing-masing responden pilih, responden akan beralih strategi merokok.
Baik beralih ke merk lain yang lebih murah atau mengurangi frekuensi
merokoknya.
73
C. Analisis dan Pembahasan
1. Hasil Uji Kualitas Data
a. Uji Validitas
Uji validitas dilakukan untuk mengukur sah atau valid tidaknya
suatu kuesioner. Uji validitas dilakukan menggunakan metode Pearson
Correlation, suatu data akan dikatakan valid ketika nilai signifikannya
dibawah nilai 0,1. Data yang memerlukan uji validitas hanya data yang
menggunakan skala likert, yaitu variabel Tarif Cukai, Kawasan Tanpa
Rokok (KTR) dan Pesan Bergambar Bahaya Merokok. Berikut adalah
hasil dari uji validitas yang dilakukan pada masing-masing variabel:
(1) Uji Validitas Variabel Tarif Cukai/Harga
Tabel 4.16
Hasil Uji Validitas Tarif Cukai/Harga
Nomor Butir
Pertanyaan
Pearson
Correlation
Sig (2-
Tailed) Keterangan
Custom 1 0.636 0,003 Valid
Custom 2 0.840 0,000 Valid
Custom 3 0.853 0,000 Valid
Custom 4 0.618 0,004 Valid
Sumber: Data primer diolah, 2017
Tabel di atas menunjukkan hasil uji validitas dari variabel Tarif
Cukai (Harga). Jika dilihat dari nilai signifikan semua pertanyaan dari
variabel ini dapat dikatakan valid, karena memiliki nilai signifikan
dibawah 0,1. Jadi setiap butir pertanyaan dari variabel ini layak untuk
digunakan sebagai bahan penelitian.
74
(2) Uji Validitas Variabel Kawasan Tanpa Rokok (KTR)
Tabel 4.17
Hasil Uji Validitas Kawasan Tanpa Rokok (KTR)
Nomor Butir
Pertanyaan
Pearson
Correlation
Sig (2-
Tailed) Keterangan
KTR 1 0.710 0,000 Valid
KTR 2 0.499 0,025 Valid
KTR 3 0.656 0,002 Valid
KTR 4 0.748 0,000 Valid
Sumber: Data primer diolah, 2017
Tabel di atas menunjukkan hasil uji validitas dari variabel
Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Jika dilihat dari nilai signifikan semua
pertanyaan dari variabel ini dapat dikatakan valid, karena memiliki
nilai signifikan dibawah 0,1. Jadi setiap butir pertanyaan dari variabel
ini pun layak untuk digunakan sebagai bahan penelitian.
(3) Uji Validitas Variabel Iklan/Pesan Bergambar Bahaya
Merokok
Tabel 4.18
Hasil Uji Validitas Iklan/Pesan Bergambar Bahaya Rokok
Nomor Butir
Pertanyaan
Pearson
Correlation
Sig (2-
Tailed) Keterangan
PHW 1 0.751 0,000 Valid
PHW 2 0.872 0,000 Valid
PHW 3 0.808 0,000 Valid
Sumber: Data primer diolah, 2017
Tabel di atas menunjukkan hasil uji validitas dari variabel
Iklan/Pesan Bergambar Bahaya Rokok (PHW). Jika dilihat dari nilai
signifikan semua pertanyaan dari variabel ini dapat dikatakan valid,
karena memiliki nilai signifikan dibawah 0,1. Jadi setiap butir
75
pertanyaan dari variabel ini pun layak untuk digunakan sebagai bahan
penelitian.
a. Uji Reliabilitas
Reliabilitas merupakan alat untuk mengukur suatu kuesioner yang
merupakan indikator dari variabel. Suatu data dapat dikatakan reliabel
jika jawaban seseorang dalam suatu pertanyaan adalah konsisten.
Metode uji reliabilitas dilakukan dengan melihat nilai cronbach alpha,
yaitu dengan cara membandingkan nilai besaran cronbach alpha
dengan nilai r-tabel. Suatu data dikatakan reliabel jika nilai cronbach
alpha lebih besar dari nilai r-tabel.
Tabel 4.19
Hasil Uji Reliabilitas
Variabel Cronbach
Alpha r-tabel Keterangan
Tarif Cukai/Harga (CUSTOM) 0.709 0.3598 Reliabel
Kawasan Tanpa Rokok (KTR) 0.554 0.3598 Reliabel
Iklan/Pesan Bergambar Bahaya
Rokok (PHW)
0.731 0.3598 Reliabel
Sumber: Data primer diolah, 2017
Berdasarkan tabel di atas menunjukkan bahwa semua data reliabel.
Data dapat dikatakan reliabel karena masing-masing variabel memiliki
nilai cronbach alpha lebih besar daripada nilai r-tabel dengan nilai α
10%. Hasil di atas menyatakan bahwa jawaban dari setiap item
pertanyaan adalah konsisten.
76
2. Uji Tabulasi Silang
Alat uji yang dipakai untuk tabulasi silang pada penelitiian ini adalah
uji kebebasan (chi-square). Uji chi square adalah statistik yang digunakan
untuk menguji signifikansi statistik dari asosiasi yang diamati dalam
sebuah tabulasi silang. Tabulasi silang pada penelitian ini digunakan untuk
menguji keterkaitan beberapa karateristik responden atau konsumen rokok
berupa status perkawinan, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan
keluarga, tingkat usia untuk terhadap variabel utama lama merokok,
pengaruh cukai dan konsumsi rokok. Berikut adalah beberapa hasil uji
tabulasi silang yang memenuhi syarat signifikan dengan uji chi square:
a. Status Perkawinan dan Lama Merokok
Karakteristik responden pertama yang memiliki keterkaitan atau
hubungan adalah status perkawinan dengan lama merokok. Lama
merokok disini terhitung sejak kapan perokok tersebut mulai merokok
hingga saat ini. Uji chi square pada karakteristik ini memiliki nilai
signifikansi sebesar 0,008 lebih kecil dari nilai α 1% (0.1) atau 0,008 <
0.1. Maka dapat disimpulkan karakteristik responden ini memiliki
keterkaitan, yakni antara status perkawinan dan lama merokok.
Tabel 4.20
Tabulasi Silang Status Perkawinan dan Lama Merokok
Status
Perkawinan
Lama Merokok
Total 1-10
Tahun
11-20
Tahun
> 20
Tahun
Belum Menikah 14 4 0 18
Sudah Menikah 3 6 3 12
77
Total 17 10 3 30
Sumber: Data primer diolah, 2017.
Dari deskripsi diatas, terlihat bahwa responden berstatus belum
menikah, memiliki rentang waktu lama merokok lebih rendah
dibanding responden yang sudah menikah. Tiga orang responden yang
sudah menikah memiliki rentang waktu lama merokok selama masing-
masing 1-10 tahun dan lebih dari 20 tahun, dengan frekuensi terbesar
sebanyak 6 responden merokok selama 11-20 tahun. Sedangkan
responden yang belum menikah memiliki frekuensi tertinggi yakni 14
responden yang merokok selama 1-10 tahun saja. Dapat disimpulkan
bahwa responden belum menikah memiliki waktu merokok lebih
rendah daripada responden yang sudah berstatus menikah, hal ini bisa
jadi dipengaruhi juga oleh faktor usia responden.
b. Tingkat Pendidikan dan Konsumsi Rokok
Karakteristik responden menurut tingkat pendidikan ternyata
memiliki keterkaitan dengan variabel dependen yakni konsumsi rokok.
Dilihat dari hasil chi square 0,082 yang lebih kecil daripada nilai α 0,1
maka dapat disimpulkan karakteristik responden ini memiliki
hubungan.
Tabel 4.21
Tabulasi Silang Tingkat Pendidikan dan Konsumsi Rokok
Tingkat
Pendidikan
Konsumsi Rokok
Total 0 –
200.000
200.000
–
400.000
400.000
–
600.000
600.000
–
800.000
SMP 0 1 1 0 2
SMA 1 1 13 1 16
78
D3/Sederajat 1 1 1 0 3
S1/Sederajat 0 1 4 4 9
Total 2 4 19 5 30
Sumber: Data primer diolah, 2017.
Dari tabel diatas jika dilihat dari jumlah responden, responden
dengan tingkat pendidikan terakhir SMA memiliki frekuensi
responden terbesar dengan mayoritas pengeluaran konsumsi rokok
sebesar Rp. 400.000-600.000. Sedangkan jika dilihat dari jumlah
pengeluaran terbanyak perbulan yakni oleh responden dengan tingkat
pendidikan S1/sederajat yakni berkisar sebesar Rp. 600.000-800.000.
Jadi dari data diatas semakin tinggi tingkat pendidikan, pengeluaran
konsumsi nya akan semakin besar.
c. Tingkat Pendidikan dan Pengaruh Cukai
Pengetahuan responden akan cukai dan keputusan responden
mengurangi konsumsi rokok akibat peningkatan cukai ternyata
dipengaruhi juga oleh karakteristik pendidikan. Dari uji chi square
nilai signfikansi 0,058 lebih kecil dari 0.1 sehingga disimpulkan
karakteristik pendidikan mempengaruhi keputusan konsumsi rokok
akibat peningkatan cukai/harga.
Tabel 4.22
Tabulasi Silang Pendidikan dan Pengaruh Cukai
Tingkat
Pendidikan
Cukai Total
TS KS S SS
SMP 1 0 0 1 2
SMA 1 10 5 0 16
D3/Sederajat 0 0 2 1 3
S1/Sederajat 2 2 4 1 9
79
Total 4 12 11 3 30
Sumber: Data primer diolah, 2017.
Dari tabel tabulasi diatas, responden lebih banyak kurang setuju
dengan keputusan mengurangi konsumsi cukai akibat peningkatan
cukai/harga adalah dari responden berpendidikan terakhir SMA,
dengan frekuensi 10 orang. Diikuti oleh responden yang setuju dengan
frekuensi 5 orang. Pada tingkat pendidikan tertinggi yakni
S1/sederajat, responden terbanyak memilih keputusan setuju pada
pengurangan konsumsi rokok akibat cukai dan juga memiliki
pemahaman cukai yang cukup baik.
d. Jumlah Tanggungan Keluarga dan Lama Merokok
Karakteristik selanjutnya yang memiliki hubungan adalah jumlah
tanggungan keluarga dan lama merokok. Hasil chi square sebesar
0.012 dibawah 0.1 yang artinya ada keterkaitan antara dua
karakteristik responden ini.
Tabel 4.23
Jumlah Tanggungan Keluarga dan Lama Merokok
Tanggungan
Keluarga
Lama Merokok
Total 1–10
Tahun
11–20
Tahun
> 20
Tahun
0 12 4 0 16
1 2 2 0 4
2 0 2 1 3
3 2 2 0 4
4 1 0 2 3
Total 17 10 3 30
Sumber: Data primer diolah, 2017.
80
Dari data diatas dapat dilihat frekuensi perokok terbanyak adalah
yang tidak memiliki tanggungan keluarga lain atau sama dengan nol
dengan jumlah 16 responden dan 12 diantaranya merokok selama 1-10
tahun. Dapat disimpulkan bahwa orang lebih banyak merokok saat
masih belum mempunyai tanggungan keluarga sehingga
pendapatannya hanya dialokasikan untuk kebutuhan dirinya sendiri.
e. Tingkat Usia dan Lama Merokok
Karakteristik responden terakhir yang memiliki keterkaitan adalah
tingkat usia dan lama merokok. Dilihat dari nilai chi square yakni
0,000 yang berarti kurang dari 0,1 sehingga dapat disimpulkan bahwa
dua karakteristik ini memiliki hubungan keterkaitan.
Tabel 4.24
Tingkat Usia dan Lama Merokok
Tingkat
Usia
Lama Merokok
Total 1–10
Tahun
11-20
Tahun
> 20
Tahun
15-25 Tahun 14 1 0 15
26-35 Tahun 2 8 1 11
36-45 Tahun 0 1 2 3
46-55 Tahun 1 0 0 1
Total 17 10 3 30
Sumber: Data primer diolah, 2017.
Dilihat dari tabel diatas, terlihat bahwa semakin tinggi usia
mayoritas akan memiliki rentang waktu merokok yang lebih lama.
Pada tingkat usia 15-25 tahun frekuensi terbanyak merokok selama 1-
10 tahun yakni 14 responden. Pada tingkat usia 26-35 tahun, mayoritas
merokok diantara 11-20 tahun dan pada usia 36-45 tahun, konsumen
81
terbanyak merokok diatas 20 tahun. Namun pada tingkatan usia 46-55
tahun, satu responden merokok diantara 1-10 tahun, asumsinya yakni
konsumen ini baru mulai mengkonsumsi rokok.
3. Hasil Uji Asumsi Klasik
a. Uji Normalitas
Dalam Gozhali (2013:160) uji normalitas bertujuan untuk menguji
apakah dalam model regresi, variabel pengganggu atau residual
memiliki distribusi normal. Nilai residual dikatakan berdistribusi
normal jika nilai residual tersebut sebagian besar mendekati nilai rata-
ratanya.
Uji normalitas dapat dilakukan dengan beberapa metode, pertama
menggunakan analisis grafik dengan menggunakan histogram. Data
akan dikatakan normal ketika Histogram Standardized Regression
Residual membentuk kurva seperti lonceng. Dapat pula melihat
normalitas suatu data melalui Normal Probability Plot, distribusi
normal digambarkan dengan sebuah garis diagonal lurus dari kiri
bawah ke kanan atas. Metode selanjutnya yang digunakan dalam uji
normalitas ini adalah uji non-parametrik Kolmogrov-Smirnov. Data
dapat dikatakan normal jika nilai hasil signifikansi lebih kecil dari nilai
kolmogrov tabel dengan N = 30 pada α 10%. Sebaliknya jika nilai
signifikansi lebih besar daripada nilai kolmogrov tabel maka data tidak
terdistribusi secara normal.
82
Gambar 4.4
Hasil Uji Normalitas dengan Grafik Histogram
Sumber: Data primer diolah, 2017
Berdasarkan grafik histogram diatas, menunjukkan bahwa data
terdistribusi secara normal dan berbentuk simetris seperti lonceng,
maka dapat dikatakan model regresi memenuhi asumsi normalitas.
Gambar 4.5
Hasil Uji Normalitas dengan Normal P-P Plot
Sumber: Data primer diolah, 2017
83
Jika dilihat dari grafik Normal P-P plot pun data dapat dikatakan
normal, karena data menyebar di sekitar diagram dan mengikuti model
regresi sehingga dapat disimpulkan bahwa data yang diolah
merupakan data yang berdistribusi normal.
Tabel 4.25
Hasil Uji Normalitas dengan Kolmogrov-Smirnov
One-Sample Kolmogrov-Smirnov Test
Unstandardized Residual
Asymp. Sig. (2-tailed) 0.071
Sumber: Data primer diolah, 2017
Uji normalitas dengan metode Kolmogrov-Smirnov pun
menunjukkan data terdistribusi normal dilihat dari nilai hasil
signifikansi sebesar 0.071 yang lebih kecil dari nilai kolmogrov tabel
dengan N = 30 pada α 10% sebesar 0.218 atau 0.071 < 0.218. Jadi dari
ketiga metode dapat disimpulkan bahwa uji normalitas terpenuhi.
b. Uji Multikolinearitas
Uji multikolinearitas bertujuan untuk menguji apakah model
regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas (independent
variable). Model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi di
antara variabel independen (Ghozali, 2013:105).
Tabel 4.26
Hasil Uji Multikolinearitas
Variabel Collinearity Statictic
Tolerance VIF
Pendapatan 0.978 1.022
Harga/Cukai 0.941 1.063
84
KTR 0.955 1.047
Iklan 0.948 1.054
Sumber: Data primer diolah, 2017
Dari hasil output pada tabel coefficients nilai VIF pada tiap
variabel berada dibawah angka 10 (VIF < 10), hal ini menunjukkan
bahwa tidak terjadi multikolinieritas. Dan dapat disimpulkan
bahwa uji multikolinieritas terpenuhi.
c. Uji Autokorelasi
Uji autokorelasi bertujuan menguji apakah dalam model regresi
linear ada korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t dengan
kesalahan pengganggu pada periode t-1 (sebelumnya). Autokorelasi
dapat muncul ketika observasi yang berurutan sepanjang waktu
berkaitan satu sama lain (Ghozali 2013:110). Maksud korelasi dengan
disini adalah bahwa nilai dari variabel dependen tidak berhubungan
dengan nilai variabel itu sendiri, baik nilai variabel sebelumnya atau
nilai periode sesudahnya. Uji autokorelasi dilakukan menggunakan
Run Test. Data dapat dikatakan bebas autokorelasi ketika nilai
probabilitas lebih besar daripada nilai α.
Tabel 4.27
Hasil Uji Autokorelasi dengan Run Test
Runs Test
Unstandardized Residual
Asymp. Sig. (2-tailed) 0.853
Sumber: Data primer diolah, 2017
85
Berdasarkan output uji Run Test didapatkan nilai signifikan sebesar
0.853 lebih besar dari 0.1, maka dapat disimpulkan bahwa tidak
terdapat masalah autokorelasi.
d. Uji Heteroskedastisitas
Uji heteroskedastisitas bertujuan menguji apakah dalam model
regresi terjadi ketidaksamaan variance dari residual satu pengamatan
ke pengamatan yang lain. Model regresi yang baik adalah yang
Homoskedastisitas atau tidak terjadi Heteroskedastisitas (Ghozali,
2013:139). Metode yang digunakan dalam uji heteroskedastisitas
adalah uji Korelasi Rank Spearman. Data dikatakan bebas dari masalah
heteroskedastisitas ketika nilai signifikansi lebih besar dari 0,1.
Sebaliknya jika nilai signifikansi dibawah 0,1 disimpulkan bahwa data
mengalami masalah heteroskedastisitas.
Tabel 4.28
Hasil Uji Heteroskedastisitas dengan Rank Spearman
Variabel Unstandardized
Residual
Pendapatan Correlation Coefficient 0.134
Sig. 0.482
Harga/Cukai Correlation Coefficient 0.012
Sig. 0.949
KTR Correlation Coefficient 0.168
Sig. 0.376
Iklan Correlation Coefficient -0.007
Sig. 0.972
Sumber: Data primer diolah, 2017
86
Berdasarkan pada hasil uji rank spearman menunjukkan semua
nilai probabilitas signifikansi di atas 0.1 maka dapat disimpulkan
model regresi tidak mengandung heteroskedastisitas.
e. Uji Linearitas
Uji linieritas digunakan untuk melihat apakah spesifikasi model
yang digunakan sudah benar atau tidak. Apakah fungsi yang digunakan
dalam suatu studi empiris/penelitian linier atau tidak (Ghozali,
2007:166). Dalam uji linieritas bisa dilakukan dengan metode compare
means dengan melihat nilai signifikansi deviation from linearity pada
output ANOVA. Jika nilai signifikansi diatas 0,1, maka tolak H0 atau
berarti ada hubungan linier, sebaliknya jika signifikansi dibawah 0,1
maka teima H0 yang berarti data tidak linier.
Tabel 4.29
Hasil Uji Linearitas
Variabel Deviation from Linearity
F Sig
Pendapatan 0.235 0.943
Harga/Cukai 0.498 0.870
KTR 2.223 0.068
Iklan 1.528 0.215
Sumber: Data primer diolah, 2017
Berdasarkan hasil uji linieritas pada output tabel Anova di atas,
diketahui bahwa masing-masing nilai signifikan lebih besar dari 0.1
kecuali variabel KTR dengan nilai signifikansi 0.068 yang lebih kecil
87
dari 0.1 atau 0.068 < 0.1, maka dapat disimpulkan bahwa tolak H0
yang berarti terdapat hubungan yang linier dari masing-masing
variabel independen terhadap variabel dependen kecuali pada variabel
KTR terima H0 yang berarti variabel ini tidak memiliki hubungan
linier.
4. Uji Koefisien Determinasi (R2)
Menurut Ghozali (2013:97) Koefisien Determinasi (R2) mengukur
seberapa besar kemampuan suatu model penelitian dalam menerangkan
variabel dependennya. Dengan kata lain, kita dapat melihat dari nilai R
Square untuk mengukur seberapa besar variasi dalam variabel dependen
dijelaskan secara bersama-sama oleh variabel independen. Nilai pada
koefisien determinasi adalah antara nol sampai satu, semakin tinggi nilai R
Square atau mendekati angka satu maka semakin besar model mampu
mejelaskan variabel dependen.
Tabel 4.30
Hasil Uji Koefisien Determinasi
R Square Adjusted R Square
0.426 0.334
Sumber: Data primer diolah, 2017
Berdasarkan hasil dari tabel di atas diketahui nilai R Square adalah
0.426. Dapat disimpulkan bahwa variabel independen yakni Pendapatan,
Harga/Cukai, Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dan Iklan/Pesan Bergambar
Bahaya Rokok berpengaruh sebesar 42.6% terhadap variabel dependen
88
Konsumsi Rokok. Sedangkan sisanya (100% - 42.6% = 57.4%)
dipengaruhi atau dijelaskan oleh variabel lain yang tidak diteliti.
5. Hasil Uji Hipotesis
a. Uji Simultan (Uji F)
Uji F pada dasarnya menunjukkan apakah semua variabel
independen atau bebas yang dimasukan dalam model penelitian
memiliki pengaruh secara bersama-sama terhadap variabel
dependen/terikat (Ghozali, 2013:98). Dalam uji F ini dapat dilihat
melalui perbandingan nilai signifikansi pada output tabel ANOVA
dengan nilai α (10%).
Tabel 4.31
Hasil Uji Simultan
ANOVA
Model F Sig
Regression 4.629 0.006
Sumber: Data primer diolah, 2017
Dari tabel diperoleh nilai F hitung sebesar 4,629 dengan nilai
signifikan 0.006. Dilihat dari nilai signifikan lebih kecil dari nilai
probabilitas (α) 0,1 atau nilai 0,006 < 0,1 maka dapat disimpulkan
tolak H0 yakni variabel independen secara bersama-sama yaitu
Pendapatan (X1), Harga/Cukai (X2), Kawasan Tanpa Rokok (X3) dan
Iklan/Pesan Bergambar Bahaya Rokok (X4) memiliki
89
pengaruh/berpengaruh secara nyata atau signifikan terhadap variabel
dependen yakni Konsumsi Rokok (Y).
b. Uji Parsial (Uji T)
Uji statistik t pada dasarnya menunjukkan seberapa jauh pengaruh
suatu variabel penjelas/independen secara individual dalam
menerangkan variasi variabel dependen (Ghozali, 2013:98). Dalam
penelitian ini uji t dilihat dari perbandingan nilai signifikansi t dengan
nilai α (10%).
Tabel 4.32
Hasil Uji Parsial
Coefficients
Model B Sig.
(Constant) 4.717 0.000
Pendapatan 0.306 0.028
Harga/Cukai -0.084 0.029
KTR -0.083 0.054
Iklan -0.036 0.509
Sumber: Data primer diolah, 2017
Dari hasil uji parsial terdapat 3 (tiga) variabel signifikan
dengan tingkat kepercayaan 10% (sig. 0.1) masing-masing variabel
yakni Pendapatan (X1) dengan nilai sig 0.028, Harga/Cukai (X2)
dengan nilai sig 0.029 dan Kawasan Tanpa Rokok/KTR (X3)
dengan nilai sig 0.054. Sedangkan satu variabel lainnya tidak
berpengaruh secara nyata atau signifikan, variabel ini yaitu
variabel Iklan (X4) dengan nilai sig 0.509. Berikut adalah rincian
penjelasan pada masing-masing variabel:
90
1) Variabel Pendapatan (X1)
Variabel Pendapatan memiliki nilai signifikansi sebesar 0.028 yang
berarti lebih kecil dari nilai α atau 0.028 < 0.1, dengan kata lain
variabel pendapatan memiliki pengaruh secara nyata atau
signifikan terhadap variabel dependen yakni konsumsi rokok. Nilai
koefisien pada variabel pendapatan yakni sebesar 0.306, dapat
diartikan ketika pendapatan meningkat 1 satuan konsumsi rokok
akan meningkat sebesar 0.306.
2) Variabel Cukai/Harga (X2)
Variabel Cukai memiliki nilai signifikansi sebesar 0.029 yang juga
lebih kecil dibandingkan nilai α atau 0.029 < 0.1 yang menandakan
bahwa variabel Cukai juga memiliki pengaruh nyata atau signifikan
terhadap variabel dependen yakni konsumsi rokok. Nilai koefisien
pada variabel cukai yakni sebesar -0.084, dapat diartikan bahwa
pengaruh variabel cukai adalah negatif dan ketika cukai meningkat
sebesar 1 satuan maka konsumsi rokok akan berkurang sebesar
0.084.
3) Variabel Kawasan Tanpa Rokok (X3)
Variabel Kawasan Tanpa Rokok (KTR) memiliki nilai signifikansi
sebesar 0.054, dalam tingkat kepercayaan 10% variabel ini
memiliki pengaruh secara nyata dengan nilai signifikansi KTR
lebih kecil daripada nilai α yakni 0.054 < 0.1 yang berarti variabel
KTR memiliki pengaruh secara nyata dan signifikan terhadap
91
konsumsi rokok. Nilai koefisien pada variabel KTR yakni sebesar -
0.083, hal ini menunjukkan bahwa pengaruh variabel KTR adalah
negatif dan ketika KTR meningkat 1 satuan akan menyebabkan
konsumsi rokok berkurang sebesar 0.083.
4) Variabel Iklan/Pesan Bergambar Bahaya Rokok (X4)
Terakhir variabel Iklan/Pesan Bergambar Bahaya Rokok. Variabel
ini memiliki nilai signifikansi sebesar 0.509. Nilai signifikansi ini
lebih besar daripada 0.1, dapat dikatakan variabel ini tidak
memiliki pengaruh secara nyata atau signifikan terhadap konsumsi
rokok. Nilai koefisien pada variabel pesan bergambar yakni sebesar
-0.036, dapat diartikan ketika pesan bergambar meningkat 1 satuan
konsumsi rokok akan berkurang sebesar 0.036.
6. Analisis Pengaruh Masing-Masing Variabel
a. Pendapatan Terhadap Konsumsi Rokok
Pendapatan merupakan salah satu faktor utama seseorang
melakukan kegiatan konsumsi, sesuai dengan teori Keynes dimana jika
pendapatan disposable meningkat maka konsumsi juga akan
meningkat. Semakin tinggi pendapatan seseorang akan meningkatkan
hasrat seseorang untuk mengkonsumsi dan sebaliknya ketika
pendapatan berkurang maka jumlah barang atau jasa yang dikonsumsi
pun berkurang juga.
92
Dalam penelitian ini variabel pendapatan memiliki pengaruh
positif dan signifikan, ketika pendapatan konsumen meningkat maka
akan meningkatkan pula konsumsi rokok konsumen tersebut. Nilai
koefisien pada variabel pendapatan yakni sebesar 0.306, dapat
diartikan ketika pendapatan meningkat 1 satuan konsumsi rokok akan
meningkat sebesar 0.306. Hasil ini sesuai dengan hubungan mengenai
pendapatan dan konsumsi pada teori konsumen yang diterangkan
dalam kurva pendapatan-konsumsi (ICC Curve) bahwa ketika
pendapatan seseorang meningkat konsumsi pun akan meningkat dan
rokok dapat digolongkan sebagai barang pokok karena kenaikan total
konsumsi/barang yang diminta lebih kecil daripada perubahan
pendapatan.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Nenik Woyanti
(2011:6) yang menerangkan bahwa pendapatan merupakan faktor
penentu seseorang untuk mengkonsumsi rokok atau tidak. Variabel
pendapatan berpengaruh positif dan signifikan terhadap konsumsi
rokok. Semakin tinggi tingkat pendapatan riil seseorang akan
mendorong orang tersebut untuk merokok lebih banyak lagi.
b. Tarif Cukai/Harga Terhadap Konsumsi Rokok
Cukai merupakan salah satu bentuk pajak tidak langsung yang
tanggungannya dapat dibebankan kepada orang lain, dalam kasus ini
cukai rokok dikenakan terhadap konsumen sehingga harga rokok yang
dijual akan lebih tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pengaruh cukai terhadap konsumsi rokok adalah negatif dan
93
signifikan. Degan nilai koefisien pada variabel cukai yakni sebesar -
0.084, dapat diartikan bahwa pengaruh variabel cukai ketika
meningkat sebesar 1 satuan maka konsumsi rokok akan berkurang
sebesar 0.084. Hasil ini sesuai dengan teori konsumen mengenai
hubungan konsumsi terhadap perubahan harga yang digambarkan
dengan kurva harga-konsumsi (PCC Curve). Ketika harga menurun
maka akan meningkatkan kemampuan membeli seseorang, begitu pun
ketika harga naik akan mengurangi kemampuan membeli seseorang.
Dari hasil diatas pun dapat dikatakan bahwa rokok termasuk barang
inelastis karena perubahan permintaan jumlahnya lebih kecil daripada
perubahan harga, ketika harga meningkat 1 satuan permintaan
berkurang sebesar 0.084 maka dapat diartikan pula bahwa rokok
merupakan barang pokok.
Hasil Penelitian ini sejalan dengan Fatoni Ashar (2015) dengan
hasil penelitian menunjukan bahwa cukai rokok berpengaruh negatif
dan signifikan terhadap konsumsi rokok rumah tangga. Peningkatan
cukai rokok menurunkan konsumsi rokok dan sebagai dampaknya
menurunkan tingkat output dan pendapatan rumah tangga sektoral.
Dampak paling besar tentu dialami oleh industri rokok sendiri, dan
diikuti oleh sektor-sektor lain yang terkait dengan industri rokok
seperti sektor pertanian tembakau.
c. Kawasan Tanpa Rokok (KTR) Terhadap Konsumsi Rokok
Kawasan Tanpa Rokok (KTR) adalah ruangan atau area yang
dinyatakan dilarang untuk kegiatan merokok atau kegiatan
94
memproduksi, menjual, mengiklankan, dan atau mempromosikan
produk tembakau. Sedangkan tempat khusus untuk merokok adalah
ruangan yang diperuntukkan khusus untuk kegiatan merokok yang
berada di dalam KTR (Kemenkes RI, 2011:15). Nilai koefisien hasil
penelitian pada variabel KTR yakni sebesar -0.083, hal ini
menunjukkan bahwa pengaruh variabel KTR adalah negatif dan ketika
KTR meningkat 1 satuan atau ketika penerapannya meningkat 1%
akan menyebabkan konsumsi rokok berkurang sebesar 0.083%.
Dilihat dari nilai koefisien variabel KTR tidak terlalu berpengaruh
besar terhadap konsumsi rokok. Namun jika dilihat dari data
perkembangan presentase kepatuhan 8 kawasan terhadap Perda KTR
di Kota Bogor yang dikeluarkan oleh Tobacco Control Support Center
(TCSC), tingkat kepatuhan masyarakat terhadap kebijakan ini cukup
baik terlihat dari data tahun 2015 terjadi peningkatan kepatuhan total
dari 63,6% menjadi 67,2% pada tahun 2016.
Hal ini kiranya dapat dijelaskan dari pemaparan salah satu petugas
daerah yang termasuk kedalam pengawas Kawasan Tanpa Rokok
yakni Kris (26) petugas Satpol PP, beliau berpendapat bahwa sejauh
ini penerapan Kawasan Tanpa Rokok di beberapa tempat umum sudah
sangat baik, namun beberapa kekurangan adalah para perokok
memanfaatkan kawasan lain yang tidak menerapkan KTR untuk
merokok beberapa contoh misal dikala istirahat pekerja memanfaatkan
waktu untuk keluar dari kawasan kerja/gedung agar dapat merokok
95
(bagi pekerja) atau disaat kegiatan yang menerapkan KTR seperti car
free day telah selesai.
Juga sejalan dengan pemaparan salah satu responden yakni Satria
(22) Pegawai Pemerintah, beliau berpendapat bahwa penerapan KTR
di tempatnya bekerja sudah cukup bahkan sangat baik karena tidak ada
perokok yang merokok di dalam atau sekitar kawasan dalam gedung
tempatnya bekerja, namun sebagai responden yang juga merokok Ia
memanfaatkan waktu istirahatnya untuk keluar kawasan gedung
perkantoran agar dapat merokok. Dari segi jumlah rokok yang Ia
konsumsi perhari, KTR tidak terlalu mempengaruhi hanya saja KTR
mempengaruhi frekuensi merokoknya. Dalam artian ketika bekerja
frekuensi merokok berkurang, tapi ketika istirahat Ia akan merokok
dengan jumlah tetap.
Ada pula pendapat dari responden Anugrah (23) Pegawai Swasta
yang mengatakan bahwa kebijakan KTR hanya solusi untuk
menertibkan perokok, bukan mengurangi konsumsi rokok.
d. Iklan/Pesan Bergambar Bahaya Rokok Terhadap Konsumsi
Rokok
Terakhir variabel Iklan/Pesan Bergambar Bahaya Rokok. Variabel
ini tidak memiliki pengaruh secara nyata atau signifikan terhadap
konsumsi rokok. Hasil penelitian ini pun sejalan dengan penelitian
sebelumnya oleh Puput Arisna (2016) dimana variabel pesan bahaya
96
rokok berpengaruh negatif tapi secara tidak nyata atau tidak signifikan
terhadap konsumsi rokok.
Salah satu responden pun memaparkan pendapatnya terkait
kebijakan ini. Agus (37) PNS, beliau berpendapat bahwa pesan
bergambar ini hanya memberi efek kesadaran akan kesehatan yang
bersifat sesaat, karena semakin lama Ia semakin biasa dengan gambar
tersebut dan justru mengabaikannya.
97
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang berjudul Pengaruh Pendapatan dan Kebijakan
Pemerintah terhadap Konsumsi Rokok di Kota Bogor, dengan masing-masing
variabel yakni Pendapatan (X1), Cukai/Harga (X2), Kawasan Tanpa
Rokok/KTR (X3) dan Iklan/Pesan Bergambar Bahaya Rokok (X4) serta
Konsumsi Rokok (Y) telah di uji dengan metode Regresi Linier Berganda dari
total 30 responden dan kemudian diambil beberapa kesimpulan dari hasil yang
telah didapat. Berikut adalah rincian kesimpulan:
1. Pendapatan
Variabel Pendapatan memiliki pengaruh yang signifikan dan positif
terhadap konsumsi rokok. Dengan nilai signifikansi sebesar 0.028 yang
berarti lebih kecil dari nilai α atau 0.028 < 0.1, menunjukkan bahwa
variabel pendapatan memiliki pengaruh secara nyata atau signifikan
terhadap variabel dependen yakni konsumsi rokok. Nilai koefisien
pada variabel pendapatan yakni sebesar 0.306, dapat diartikan ketika
pendapatan meningkat 1 satuan, konsumsi rokok akan meningkat
sebesar 0.306.
2. Cukai/Harga
Variabel Cukai memiliki pengaruh signifikan dan negatif terhadap
konsumsi rokok. Dengan nilai signifikansi sebesar 0.029 yang juga
98
lebih kecil dibandingkan nilai α atau 0.029 < 0.1 menandakan bahwa
variabel Cukai juga memiliki pengaruh nyata atau signifikan terhadap
variabel dependen yakni konsumsi rokok. Nilai koefisien pada variabel
cukai yakni sebesar -0.084, dapat diartikan bahwa pengaruh variabel
cukai adalah negatif dan ketika cukai meningkat sebesar 1 satuan maka
konsumsi rokok akan berkurang sebesar 0.084.
3. KTR
Variabel Kawasan Tanpa Rokok (KTR) memiliki pengaruh signifikan
dan negatif terhadap konsumsi rokok. Dengan nilai signifikansi
sebesar 0.054, nilai signifikansi KTR lebih kecil daripada nilai α yakni
0.054 < 0.1 yang berarti variabel KTR memiliki pengaruh secara nyata
dan signifikan terhadap konsumsi rokok pada tingkat kepercayaan
10%. Nilai koefisien pada variabel KTR yakni sebesar -0.083, hal ini
menunjukkan bahwa pengaruh variabel KTR adalah negatif dan ketika
KTR meningkat 1 satuan akan menyebabkan konsumsi rokok
berkurang sebesar 0.083.
4. Iklan/Pesan Bergambar Bahaya Rokok
Terakhir variabel Iklan/Pesan Bergambar Bahaya Rokok yang
berpengaruh negatif namun tidak secara nyata atau tidak signifikan.
Variabel ini memiliki nilai signifikansi sebesar 0.509. Nilai
signifikansi ini lebih besar daripada 0.1, dapat dikatakan variabel ini
tidak memiliki pengaruh secara nyata atau signifikan terhadap
konsumsi rokok. Nilai koefisien pada variabel pesan bergambar yakni
99
sebesar -0.036, dapat diartikan ketika pesan bergambar meningkat 1
satuan konsumsi rokok akan berkurang sebesar 0.036.
B. Saran
Dalam penelitian yang tidak sempurna ini, pasti ada kekurangan baik yang
penulis sadari atau tidak. Dengan harapan agar penelitian serupa setelahnya
akan lebih baik, maka penulis akan memberi sedikit saran yang sekiranya
dapat membantu penyempurnaan penelitian khususnya mengenai kebijakan
pemerintah dan konsumsi rokok.
1. Saran Teoritis
a. Bagi peneliti setelahnya diharapkan dapat memperluas area
penelitian agar sampel yang didapat lebih beragam dan hasil dapat
mewakili sekaligus mempelajari sikap semua kalangan perokok.
b. Peneliti selanjutnya bisa menggunakan metode dan uji lain yang
mungkin dapat pula menggambarkan hasil penelitian dari sisi yang
berbeda.
c. Juga yang terpenting agar peneliti selanjutnya dapat mempertajam
analisis baik dari variabel yang diteliti, teori, penyusunan
kuesioner, pemilihan responden, metode pengumpulan data hingga
alat uji yang digunakan dalam penelitian.
2. Saran Praktis
a. Dari hasil dan beberapa pemaparan responden, didapatkan hasil
bahwa kebijakan menaikan tarif cukai dan iklan bergambar belum
terlalu efektif mengurangi konsumsi rokok. Sebab tarif cukai masih
100
rendah bagi sebagian kalangan dan iklan bergambar mudah untuk
diabaikan. Bagi pemerintah, sebaiknya dikaji lagi mengenai
peningkatan tarif cukai dengan kemampuan konsumsi para
konsumen rokok juga pada pesan bahaya merokok, mungkin akan
lebih efektif jika disampaikan secara langsung melalui sosialisasi
dan edukasi.
b. Baiknya pemerintah pun mengkaji perbandingan dari dampak
buruk rokok bagi kesehatan dengan penerimaan pemerintah yang
berasal dari cukai. Sehingga dapat diketahui apakah yang
dihasilkan dari industri rokok lebih banyak keuntungan atau
kerugiannya.
c. Regulasi tentang rokok agar dibuat lebih tegas, jika perlu baik
produsen dan konsumen dikenakan biaya cukai lebih tinggi dalam
rangka tanggung jawab terhadap lingkungan, kesehatan perokok
pasif juga diri perokok masing-masing.
101
DAFTAR PUSTAKA
Agung, Thomas. 2017. “Analisis Pengaruh Penerapan Kebijakan Tarif Cukai
Terhadap Konsumsi Rokok di Indonesia”. Skripsi. Bandung: Universitas
Parahyangan.
Alkausar, Bani dkk. 2015. “Hubungan Penerapan Pajak Rokok dengan Daya Beli
dan Tingkat Konsumsi Rokok”. Jurnal Administrasi Bisnis, Vol. 6, No.1
Malang: Universitas Brawijaya.
Ambarwati, Niken. 2014. “Analisis Kausalitas Antara Konsumsi Rumah Tangga
Dengan PDRB Perkapita Di Jawa Tengah Periode Tahun 1986-2011”.
Skripsi. Surakarta: UMS.
Arisna, Puput dan Eddy Gunawan. 2016. “Pengaruh Tarif Cukai Tembakau dan
Pesan Bergambar Bahaya Rokok Terhadap Konsumsi Rokok di Banda
Aceh”. Jurnal. Aceh: Universitas Syiah Kuala.
Ashar, Fatoni. 2015. “Dampak Perubahan Tarif Cukai Terhadap Industri Rokok,
Pertanian Tembakau dan Perekonomian Jawa Tengah”. Skripsi. Semarang:
Universitas Diponegoro.
BPPK Kemenkeu. 2014. “Pajak Sebagai Alat Pengendalian Konsumsi Rokok”.
Artikel Pajak.
Badan Pusat Statistik. 2016. “Berita Resmi Statistik, Profil Kemiskinan di
Indonesia”. Jakarta: BPS.
__________________. 2016. “Penghitungan dan Analisis Kemiskinan Makro
Indonesia 2016”. Jakarta: BPS.
__________________. 2016. “Pengeluaran Untuk Konsumsi Penduduk
Indonesia”. Jakarta: BPS.
__________________. 2017. “Kota Bogor Dalam Angka 2017”. Bogor: BPS.
102
__________________. 2017. “Statistik Kesejahteraan Rakyat Kota Bogor 2017”.
Bogor: BPS.
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC). 2015. “Cukai”.
http://www.beacukai.go.id/arsip/cuk/cukai.html. (diakses 9 Juli 2017).
El Guyanie, Gugun dkk. 2013. “Ironi Cukai Tembakau: Carut-Marut Hukum dan
Pelaksanaan DBH-CHT di Indonesia”. Jakarta: Indonesia Berdikari.
Fariz, Muhammad. 2008. “Perilaku Merokok Remaja di Lingkungan RW 22 Kel.
Sukatani Kec. Cimanggis Depok Tahun 2008”. Depok: Universitas
Indonesia.
Ghozali, Imam. 2007. “Analisis Multivariate Dengan Program SPSS”. Cetakan
Empat. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Hanggara, Donie. 2013. “Prosedur Penyelesaian Barang Tidak Dikuasai (Btd)
Pada Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya”
Bandar Lampung. Lampung: Unila.
Indonesian Conference on Tobacco or Health (ICTOH), TCSC Indonesia.
http://ictoh-tcscindonesia.com/wp-content/uploads/2017/05/Walikota-
Bogor-Pengaruh-Pelarangan-Iklan-Rokok-terhadap-Pendapatan-Daerah.pdf.
(diakses 28 Desember 2017)
Infodatin Kemenkes RI. 2016. “Hari Tanpa Tembakau Sedunia”. Jakarta:
Kemenkes RI.
James, Michael. 2001. “Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga”. Jakarta:
Ghalia.
Kementerian Kesehatan RI. 2011. “Pedoman Kawasan Tanpa Rokok”. Kemenkes
RI: Jakarta.
______________________. 2013. “Riset Kesehatan Dasar 2013”. Jakarta:
Litbangkes Kemenkes RI.
103
Kementerian Keuangan. Peraturan Menteri Kementerian Keuangan Nomor
205/PMK.011/2014 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 179/PMK.011/2012 Tentang Tarif Cukai Hasil
Tembakau. BN No. 1700 Tahun 2014.
____________________. Peraturan Menteri Kementerian Keuangan Nomor
198/PMK.010/2015 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 179/PMK.011/2012 Tentang Tarif Cukai Hasil
Tembakau. BN No. 1674 Tahun 2015.
____________________. Peraturan Menteri Kementerian Keuangan Nomor
147/PMK.010/2016 Tahun 2016 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 179/PMK.011/2012 Tentang Tarif Cukai Hasil
Tembakau. BN No. 1478 Tahun 2016.
Mankiw, N. Gregory. 2006. “Pengantar Ekonomi Makro Edisi-III”. Jakarta:
Salemba Empat.
Mankiw, N. Gregory. 2011. “Pengantar Ekonomi Mikro Edisi-III”. Jakarta:
Salemba Empat.
Priyatno, Duwi. 2010. “Teknik Mudah dan Cepat Melakukan Analisis Data
Penelitian dengan SPSS dan Tanya Jawab Ujian Pendadaran”. Yogyakarta:
Gaya Media.
Rahardja, Prathama dan Mandala Manurung. 2010. “Teori Ekonomi Mikro (Suatu
Pengantar) Edisi Keempat”. Jakarta: Lembaga Penerbit FEUI.
Rahayu, Ani Sri. 2010. “Pengantar Kebijakan Fiskal”. Jakarta: Bumi Aksara.
Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2003 Tentang
Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan.
Republik Indonesia. “Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 Tentang
Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk
Tembakau Bagi Kesehatan”.
104
________________. “Undang-Undang tentang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009.
LN No. 144 Tahun 2009”. TLN No. 5063.
________________. “Undang-Undang tentang Perubahan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 1995 Tentang Cukai”. LN No. 105 Tahun 2007. TLN No.
4755.
Rizki, Deviany Amanda. 2013. “Analisis Persepsi Konsumen dan Strategi
Pemasaran Beras Analog (Analog Rice)”. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Ruslan, Kadir. 2013. “Konsumsi Rokok Penduduk Indonesia yang
Mengkhawatirkan”. Artikel: Tempo Indonesia.
Sari, Haifa dkk. 2017. “Faktor yang Mempengaruhi Pengeluaran Konsumsi
Rokok Pada Rumah Tangga Miskin di Provinsi Aceh”. Aceh: Universitas
Syiah Kuala.
Southeast Asia Tobacco Controll Alliance (SEATCA). 2014. “ASEAN Tobacco
Tax Report Card, Executive Summary”. Thailand.
Sugiyono. 2012. “Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D”. Bandung:
Alfabeta.
Suharyadi dan Purwanto S.K. 2009. “Statistika: Untuk Ekonomi dan Keuangan
Modern”. Jakarta: Salemba Empat.
Surjono, Nasrudin Djoko dkk. “Dampak Pendapatan dan Harga Rokok Terhadap
Tingkat Konsumsi Rokok pada Rumah Tangga Miskin di Indonesia”. Jurnal
BPPK Vol. 6 No. 2 2013. Jakarta: BPPK.
TCSC. 2013. “Atlas Tembakau Indonesia”. Jakarta: TCSC.
TCSC. “Kawasan Tanpa Rokok dan Implementasinya (Policy Paper: Seri 4)”.
Jakarta: TCSC.
Todaro. 2002. “Ekonomi dalam Pandangan Modern”. Jakarta: Bina Aksara.
105
WHO. Prevalence of Tobacco Smoking 2015.
http://gamapserver.who.int/gho/interactive_charts/tobacco/use/atlas.html.
(diakses 9 Juli 2017)
Woyanti, Nenik. 2011. “Pengaruh Kenaikan Tarif Cukai dan Fatwa Haram
Merokok Terhadap Perilaku konsumen Rokok di Kota Semarang”. Jurnal.
Semarang: Universitas Diponegoro.
106
LAMPIRAN
107
LAMPIRAN 1
KUESIONER PENELITIAN
KUESIONER PENELITIAN
PENGARUH PENDAPATAN DAN KEBIJAKAN PEMERINTAH
TERHADAP
KONSUMSI ROKOK
A. Identitas Responden
1. Nama/Inisial :
2. Nomor Hp :
3. Alamat :
4. Jenis Kelamin : L / P (Lingkari)
5. Usia : .............. tahun
6. Status : Belum menikah/ Sudah menikah/ Pernah
menikah (Cerai). (Coret yang tidak perlu)
7. Jika sudah/pernah menikah, berapa jumlah (orang) anggota keluarga yang
ditanggung : .... orang
8. Pendidikan Terakhir :
9. Pekerjaan :
B. Pendapatan
1. Rata-rata pendapatan pekerjaan pokok per-bulan :
a. < Rp. 1.500.000
b. Rp. 1.500.000 – Rp. 3.000.000
c. Rp. 3.000.000 – Rp. 4.500.000
d. Rp. 4.500.000 – Rp. 6.000.000
e. > Rp. 6.000.000
2. Rata-rata pendapatan pekerjaan sampingan per-bulan :
a. < Rp. 1.500.000
b. Rp. 1.500.000 – Rp. 3.000.000
c. Rp. 3.000.000 – Rp. 4.500.000
d. Rp. 4.500.000 – Rp. 6.000.000
e. > Rp. 6.000.000
3. Rata-rata konsumsi rumah tangga pokok :
a. Makanan Rp...................................
Nomor
108
b. Rokok Rp...................................
c. Minyak dan bensin Rp...................................
d. Listrik Rp...................................
e. Pakaian Rp...................................
f. Lainnya, Rp...................................
C. Konsumsi Rokok
1. Sejak kapan anda mulai merokok?
2. Berapa jumlah rokok yang anda konsumsi dalam sehari? ……..
(batang)
3. Berapa harga rokok yang anda konsumsi? Rp. ………. (per batang)
4. Apa merk rokok yang anda konsumsi?
a. Sampoerna Mild
b. Djarum Super
c. Dji Sam Soe
d. Gudang Garam Filter
e. Lucky Strike
f. Marlboro
g. L.A Lights
h. Class Mild
i. Dunhill Mild
j. Lainnya,
…………………
5. Ketika harga rokok semakin meningkat, sampai harga berapa anda
mampu membayar? (WTP)
a. Jika harga rokok meningkat 10%
Masih Bersedia : Ya / Tidak
b. Jika harga rokok meningkat 20%
Masih Bersedia : Ya / Tidak
c. Jika harga rokok meningkat 30%
Masih Bersedia : Ya / Tidak
d. Jika harga rokok meningkat 40%
Masih Bersedia : Ya / Tidak
e. Jika harga rokok meningkat ….%
Masih Bersedia : Ya / Tidak
D. Pengaruh Pendapatan dan Kebijakan Pemerintah terhadap
Konsumsi Rokok
Berilah tanda (√) pada kolom di bawah yang telah saya sediakan yang
menurut anda paling sesuai. Keterangan:
SS : Sangat Setuju,
S : Setuju,
KS : Kurang Setuju,
TS : Tidak Setuju,
STS : Sangat Tidak Setuju.
109
No Pertanyaan SS S KS TS STS
Pengaruh Cukai (Harga)
1 Saya mengetahui bahwa harga rokok
meningkat setiap tahun
2 Saya mengetahui fungsi dari cukai yang
dikenakan terhadap rokok
3 Saya mengetahui tarif cukai dapat
mempengaruhi harga rokok
4 Jika harga rokok meningkat saya akan
mengurangi jumlah rokok yang saya
konsumsi
Pengaruh Kawasan Tanpa Rokok (KTR)
1 Kebijakan KTR mempengaruhi jumlah
rokok yang saya konsumsi
2 Sejak adanya kebijakan KTR jumlah
rokok yang saya konsumsi per hari
berkurang
3 Sejak adanya kebijakan KTR jumlah
rokok yang saya konsumsi per hari tetap
4 Kebijakan KTR tidak berpengaruh
terhadap jumlah rokok yang saya
konsumsi
Pengaruh Iklan dan Pesan Bergambar (Peringatan Merokok)
1 Saya melihat iklan/gambar bahaya
merokok di bungkus rokok
2 Saya melihat iklan/gambar bahaya
merokok di media penyiaran (tv)
3 Dengan adanya iklan dan pesan
bergambar bahaya merokok, saya
mengurangi jumlah rokok yang saya
konsumsi
110
LAMPIRAN 2
TABULASI DATA PENELITIAN
No. Pendapatan Tarif Cukai/Harga KTR Iklan Konsumsi
1. 1 17 16 10 2
2. 3 7 13 10 4
3. 2 15 14 9 3
4. 2.5 12 13 9 3
5. 2 16 18 11 1
6. 1.5 16 15 12 1
7. 1 8 12 15 3
8. 1.5 12 13 9 3
9. 1.5 9 14 13 3
10. 2 13 12 8 3
11. 1.5 10 12 8 3
12. 3 17 9 12 2
13. 2.5 15 16 11 3
14. 5 16 11 10 4
15. 1 16 7 7 3
16. 2.5 12 12 9 3
17. 2 10 8 10 3
18. 1 11 8 10 3
19. 0.5 17 11 10 2
20. 3 16 12 15 3
21. 2.5 14 14 10 3
22. 2 11 12 10 4
23. 2.5 16 13 15 3
24. 3 11 15 12 2
25. 2.5 5 9 7 3
26. 3 8 10 11 4
111
27. 2 14 9 11 4
28. 2 12 8 11 3
29. 2 12 16 9 3
30. 1.5 12 16 7 3
112
LAMPIRAN 3
HASIL UJI RELIABILITAS
1. Tarif Cukai / Harga
Reliability Statistics
Cronbach's
Alpha N of Items
.709 4
2. Kawasan Tanpa Rokok (KTR)
Reliability Statistics
Cronbach's
Alpha N of Items
.554 4
3. Iklan/Pesan Bergambar Bahaya Rokok
Reliability Statistics
Cronbach's
Alpha N of Items
.731 3
113
LAMPIRAN 4
HASIL UJI VALIDITAS
1. Validitas Tarif Cukai/Harga
Correlations
h1 h2 h3 h4 Harga/Cukai
h1 Pearson Correlation 1 .302 .321 .148 .636**
Sig. (2-tailed) .196 .167 .535 .003
N 20 20 20 20 20
h2 Pearson Correlation .302 1 .861** .356 .840
**
Sig. (2-tailed) .196 .000 .123 .000
N 20 20 20 20 20
h3 Pearson Correlation .321 .861** 1 .364 .853
**
Sig. (2-tailed) .167 .000 .114 .000
N 20 20 20 20 20
h4 Pearson Correlation .148 .356 .364 1 .618**
Sig. (2-tailed) .535 .123 .114 .004
N 20 20 20 20 20
Harga/Cu
kai
Pearson Correlation .636** .840
** .853
** .618
** 1
Sig. (2-tailed) .003 .000 .000 .004
N 20 20 20 20 20
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
2. Validitas Kawasan Tanpa Rokok (KTR)
Correlations
ktr1 ktr2 ktr3 ktr4 KTR
kt
r1
Pearson Correlation 1 .241 .082 .436 .710**
Sig. (2-tailed) .307 .730 .054 .000
N 20 20 20 20 20
kt
r2
Pearson Correlation .241 1 .137 -.058 .499*
Sig. (2-tailed) .307 .564 .808 .025
N 20 20 20 20 20
kt
r3
Pearson Correlation .082 .137 1 .587** .656
**
Sig. (2-tailed) .730 .564 .007 .002
N 20 20 20 20 20
kt Pearson Correlation .436 -.058 .587** 1 .748
**
114
r4 Sig. (2-tailed) .054 .808 .007 .000
N 20 20 20 20 20
K
T
R
Pearson Correlation .710** .499
* .656
** .748
** 1
Sig. (2-tailed) .000 .025 .002 .000
N 20 20 20 20 20
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
3. Validitas Iklan/Pesan Bergambar Bahaya Rokok
Correlations
i1 i2 i3 Iklan
i1 Pearson Correlation 1 .606** .328 .751
**
Sig. (2-tailed) .005 .158 .000
N 20 20 20 20
i2 Pearson Correlation .606** 1 .537
* .872
**
Sig. (2-tailed) .005 .015 .000
N 20 20 20 20
i3 Pearson Correlation .328 .537* 1 .808
**
Sig. (2-tailed) .158 .015 .000
N 20 20 20 20
Ik
la
n
Pearson Correlation .751** .872
** .808
** 1
Sig. (2-tailed) .000 .000 .000
N 20 20 20 20
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
115
LAMPIRAN 5
HASIL UJI NORMALITAS
116
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Unstandardized
Residual
N 30
Normal Parametersa,b
Mean .0000000
Std. Deviation .57517511
Most Extreme Differences Absolute .153
Positive .129
Negative -.153
Test Statistic .153
Asymp. Sig. (2-tailed) .071c
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.
c. Lilliefors Significance Correction.
117
LAMPIRAN 6
HASIL UJI MULTIKOLINEARITAS
Coefficientsa
Model
Collinearity Statistics
Tolerance VIF
1 (Constant)
Pendapatan .978 1.022
Harga/Cukai .941 1.063
KTR .955 1.047
Iklan .948 1.054
a. Dependent Variable: Konsumsi Rokok
118
LAMPIRAN 7
HASIL UJI AUTOKORELASI
Runs Test
Unstandardized
Residual
Test Valuea .17353
Cases < Test Value 15
Cases >= Test Value 15
Total Cases 30
Number of Runs 15
Z -.186
Asymp. Sig. (2-tailed) .853
a. Median
119
LAMPIRAN 8
UJI HETEROSKEDASTISITAS
Correlations
Pendapa
tan
Harga/Cu
kai KTR Iklan
Unstandar
dized
Residual
Spearman's
rho
Pendapatan Correlation
Coefficient 1.000 -.056 -.003 .221 .134
Sig. (2-tailed) . .770 .987 .240 .482
N 30 30 30 30 30
Harga/Cukai Correlation
Coefficient -.056 1.000 .157 .151 -.012
Sig. (2-tailed) .770 . .407 .425 .948
N 30 30 30 30 30
KTR Correlation
Coefficient -.003 .157 1.000 .082 .168
Sig. (2-tailed) .987 .407 . .666 .376
N 30 30 30 30 30
Iklan Correlation
Coefficient .221 .151 .082 1.000 -.007
Sig. (2-tailed) .240 .425 .666 . .972
N 30 30 30 30 30
Unstandardized
Residual
Correlation
Coefficient .134 -.012 .168 -.007 1.000
Sig. (2-tailed) .482 .948 .376 .972 .
N 30 30 30 30 30
120
LAMPIRAN 9
HASIL UJI LINIERITAS
ANOVA Table
Sum of
Squares Df Mean Square F Sig.
Konsumsi
Rokok *
Pendapatan
Between Groups (Combined) 2.750 6 .458 .756 .612
Linearity 2.037 1 2.037 3.359 .080
Deviation
from
Linearity
.713 5 .143 .235 .943
Within Groups 13.950 23 .607
Total 16.700 29
ANOVA Table
Sum of
Squares df
Mean
Square F Sig.
Konsumsi Rokok
* Harga/Cukai
Between
Groups
(Combined) 6.200 11 .564 .966 .507
Linearity 3.296 1 3.296 5.651 .029
Deviation from
Linearity 2.904 10 .290 .498 .870
Within Groups 10.500 18 .583
Total 16.700 29
ANOVA Table
Sum of
Squares df
Mean
Square F Sig.
Konsumsi Rokok
* KTR
Between
Groups
(Combined) 9.867 10 .987 2.743 .028
Linearity 2.670 1 2.670 7.423 .013
Deviation from
Linearity 7.197 9 .800 2.223 .068
Within Groups 6.833 19 .360
Total 16.700 29
121
ANOVA Table
Sum of
Squares df
Mean
Square F Sig.
Konsumsi Rokok
* Iklan
Between
Groups
(Combined) 5.158 7 .737 1.405 .253
Linearity .348 1 .348 .663 .424
Deviation from
Linearity 4.811 6 .802 1.528 .215
Within Groups 11.542 22 .525
Total 16.700 29
122
LAMPIRAN 10
HASIL UJI KOEFISIEN DETERMINASI (R2)
Model Summaryb
Model R R Square
Adjusted R
Square
Std. Error of the
Estimate Durbin-Watson
1 .652a .426 .334 .61948 1.810
a. Predictors: (Constant), Iklan, KTR, Pendapatan, Harga/Cukai
b. Dependent Variable: Konsumsi Rokok
123
LAMPIRAN 11
HASIL UJI SIMULTAN (UJI F)
ANOVAa
Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.
1 Regression 7.106 4 1.777 4.629 .006b
Residual 9.594 25 .384
Total 16.700 29
a. Dependent Variable: Konsumsi Rokok
b. Predictors: (Constant), Iklan, KTR, Pendapatan, Harga/Cukai
124
LAMPIRAN 12
HASIL UJI PARSIAL (UJI T)
Coefficientsa
Model
Unstandardized
Coefficients
Standardized
Coefficients
t Sig.
Collinearity Statistics
B Std. Error Beta Tolerance VIF
1 (Constant) 4.717 .797 5.919 .000
Pendapatan .306 .131 .356 2.325 .028 .978 1.022
Harga/Cukai -.084 .036 -.362 -2.314 .029 .941 1.063
KTR -.083 .041 -.314 -2.021 .054 .955 1.047
Iklan -.036 .054 -.104 -.671 .509 .948 1.054
a. Dependent Variable: Konsumsi Rokok
1