BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Visi Indonesia Sehat tahun 2010 yaitu masyarakat sehat dan mandiri menuju
Indonesia Sehat 2010. Misi Indonesia Sehat tahun 2010 yaitu meningkatkan status
kesehatan perorangan, keluarga, dan masyarakat, menanggulangi masalah kesehatan
masyarakat, menyelenggarakan program kesehatan masyarakat yang efektif dan
efisien. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam pemeliharaan kesehatan, dan
menggalang berbagai potensi untuk menyelenggarakan program kesehatan masyarakat
( Depkes RI, 2004).
Dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN) tujuan pembangunan kesehatan ialah
tercapainya kemampuan hidup sehat bagi penduduk agar terwujudnya kesehatan yang
optimal. Salah satu arah kebijakan kesehatan ialah meningkatkan kesehatan
lingkungan di tempat pemukiman. Tujuan program Hygienie dan Sanitasi di
lingkungan pemukiman penduduk yaitu meningkatkan kualitas lingkungan yang lebih
baik pada tempat tinggal penduduknya sehingga dapat melindunginya dari penularan
penyakit, keracunan, kecelakaan dan gangguan pencernaan (Depkes RI, 2005).
Adanya kebutuhan fisiologis manusia seperti memiliki rumah, yang mencakup
kepemilikan jamban sebagai bagian dari kebutuhan setiap anggota keluarga.
Kepemilikan jamban bagi keluarga merupakan salah satu indikator rumah sehat selain
pintu ventilasi, jendela, air bersih, tempat pembuangan sampah, saluran air limbah,
ruang tidur, ruang tamu, dan dapur. Jamban sehat berfungsi untuk membuang kotoran
manusia, ada berbagai macam bentuk seperti leher angsa, cubluk, dan sebagainya.
Dalam kaitannya dengan sarana pembuangan air besar, hubungan yang paling
mendasar dengan kualitas lingkungan adalah fasilitas dan jenis penampungan tinja
yang digunakan. Jenis sarana penampungan yang tidak memadai akan mencemari
lingkungan sekitar sekaligus meningkatkan resiko penularan penyakit terhadap
masyarakat. Masalah kondisi lingkungan tempat pembuangan kotoran manusia tidak
terlepas dari aspek kepemilikan terhadap sarana yang digunakan terutama dikaitkan
dengan pemeliharaan dan kebersihan sarana.
Menurut Bappenas (2012), akses sanitasi yang layak baik di perkotaan dan
1
perdesaan di Indonesia pada tahun 2011 masih mencapai 55,60 persen (target 2015
adalah 62,41 persen), di mana wilayah perdesaan masih mencapai 38,97 persen (target
55,55 persen) dan wilayah perkotaan mencapai 72,54 persen (target 76,82 persen). Hal
ini membutuhkan perhatian yang cukup serius karena selain masih kurang dari capaian
target, juga masih tingginya kesenjangan antara provinsi, perkotaan, dan perdesaan
dalam akses terhadap sanitasi sehingga menunjukkan belum meratanya pembangunan
fasilitas sanitasi di daerah. Kondisi tersebut diperparah dengan jumlah penduduk di
Indonesia yang terus meningkat. Berdasarkan hasil proyeksi jumlah penduduk dalam
25 tahun kedepan, jumlah penduduk Indonesia dari 219,8 juta pada tahun 2005
menjadi 270,5 juta pada tahun 2025 (Bappenas,2008) dan menjadi negara dengan
jumlah penduduk terbesar keempat di dunia, peningkatan jumlah penduduk tersebut
memberikan dampak yang serius terhadap penurunan daya dukung lingkungan, karena
kenaikan penduduk akan meningkatkan konsumsi pemakaian air minum/bersih yang
berdampak terhadap peningkatan jumlah air limbah. Pembuangan air limbah tanpa
proses pengolahan akan mengakibatkan pencemaran lingkungan baik air permukaan
maupun air tanah.
Berdasarkan sensus penduduk nasional tahun 2010, tercatat bahwa kepemilikan
rumah tangga di Indonesia atas fasilitas sanitasi dasar (jamban) baik pribadi, bersama
maupun umum telah mencapai 81,12 persen (BPS, 2011). Namun demikian, data
tersebut belum menggambarkan prosentase rumah tangga yang telah melakukan
pengolahan air limbahnya sebelum dibuang ke lingkungan. Berdasarkan penelitiaan
yang dilakukan di beberapa daerah menunjukkan bahwa pengelolaan air limbah
domestik baik di perdesaan maupun di perkotaan masih sederhana bahkan tidak layak.
Kondisi tersebut juga terjadi di Provinsi Jawa Barat. Berdasarkan hasil sensus
penduduk tahun 2010, Kepemilikan jamban pribadi masih mencapai 62,05 persen dari
jumlah rumah tangga yang ada. 13,14 persen menggunakan jamban bersama dan 1,7
persen menggunakan jamban umum, sedangkan 23,12 persen belum memilki jamban
sama sekali. Lebih lanjut lagi, dari prosentase rumah tangga yang memiliki jamban
tersebut, hanya 72,79 persen rumah tangga yang melengkapi jambannya dengan tangki
septik atau saluran pembuangan air limbah (SPAL), selebihnya 27,21 persen
membuang tinjanya ke sungai, tanah, sawah/kebun dan tempat lainnya (BPS, 2011).
Berdasarkan sensus penduduk oleh puskesmas Ciparay tahun 2013, dari 13.533
2
kepala keluarga yang terdata, tercatat 440 jamban, 377 (85.68%) di antaranya
merupakan jamban keluarga dan 305 (69.32%) di antaranya termasuk jamban sehat
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut terlihat masih rendahnya cakupan
penggunaan jamban keluarga di RW 08, Desa Mekarlaksana, Kecamatan Ciparay,
Kabupaten Bandung. Peneliti perlu meneliti gambaran pengetahuan, sikap, dan
perilaku warga RW 08, Desa Mekarlaksana, Kecamatan Ciparay, Kabupaten Bandung
tentang penggunaan jamban keluarga.
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian
Maksud penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran pengetahuan, sikap,
dan perilaku, serta ekonomi warga RW 08, Desa Mekarlaksana, Kecamatan Ciparay,
Kabupaten Bandung mengenai jamban keluarga (JAGA).
Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan pengaruh pengetahuan, sikap,
dan perilaku, serta ekonomi warga RW 08, Desa Mekarlaksana, Kecamatan Ciparay,
Kabupaten Bandung terhadap kepemilikan jamban keluarga (JAGA).
1.4 Manfaat Penelitian
1. Bagi Dinas Kesehatan
Sebagai bahan masukan dalam upaya meningkatkan kesadaran akan
pentingnya sanitasi yang sehat serta sebagai data yang diperlukan untuk kegiatan
tindak lanjut dalam rangka membangun sanitasi kesehatan lingkungan serta membina
partisipasi masyarakat dalam meningkatkan cakupan pemakai jamban keluarga di RW
08, Desa Mekarlaksana, Kecamatan Ciparay, Kabupaten Bandung.
2. Bagi Masyarakat
Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai jamban keluarga dan
berusaha memberikan pengetahuan, merubah, dan mengarahkan perilaku dan sikap
masyarakat akan pentingnya pola hidup bersih dan sehat.
3. Bagi Penulis
Sebagai sarana melatih penalaran untuk melakukan pengamatan terhadap
pengetahuan sikap dan perilaku (PSP) tentang jamban keluarga.
3
1.5 Metode Penelitian
1. Metode Penelitian : Analitik
2. Teknik pengambilan data : Survey, melalui wawancara langsung terhadap
responden
3. Instrumen pokok penelitian: Kuesioner
4. Populasi : Warga RW 08 Desa Mekarlaksana Kecamatan Ciparay
Kabupaten Bandung
5. Jumlah Populasi : 265 KK
6. Teknik sampling : Simple Random Sampling
7. Jumlah sampel : 167 KK
1.6 Lokasi Dan Waktu
Lokasi
Penelitian ini dilakukan di RW 08, Desa Mekarlaksana, Kecamatan Ciparay,
Kabupaten Bandung
Waktu
Penelitian ini berlangsung selama dilaksanakannya Pengalaman Belajar
Lapangan III bulan September 2014
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Jamban Keluarga
Jamban keluarga adalah suatu bangunan yang digunakan untuk membuang dan
mengumpulkan kotoran atau najis manusia yang lazim disebut kakus/WC sehingga
kotoran tersebut tersimpan dalam suatu tempat tertentu dan tidak menjadi penyebab
atau penyebar penyakit dan mengotori lingkungan pemukiman (Depkes RI, 2001).
Menurut Josep Soemardji (1999) arti pembuangan tinja adalah pengumpulan
kotoran manusia disuatu tempat sehingga tidak menyebabkan bibit penyakit yang ada
pada kotoran manusia mengganggu estetika.Berarti jamban keluarga sangat berguna
bagi kehidupan manusia, karena jamban dapat mencegah berkembangnya bermacam
penyakit yang disebabkan oleh kotoran yang tidak dikelola baik. Jamban atau sarana
pembuangan kotoran yang memenuhi syarat adalah upaya penyehatan lingkungan
pemukiman. Sarana jamban yang tidak saniter berperan terhadap kesehatan
masyarakat dan lingkungan.
2.2 Partisipasi Keluarga dalam Penggunaan Jamban
Cara mewujudkan peran serta masyarakat dengan mengikuti kaidah
manajemen yaitu planning, organizing, actualiting, dan controlling.Untuk peran serta
masyarakat lebih bersifat partisipatif diperlukan model manajemen yang bernuansa
peran serta masyarakat.Terutama yang terjadi dimasyarakat sesuai dengan kebutuhan
dan tuntutan mereka, agar perencanaan yang muncul berasal dari bawah
(Kusnoputranto,1995).
Upaya Kesehatan Bersumber Daya Masyarakat (UKBM) adalah wujud nyata
peran serta mereka dalam pembangunan kesehatan. Bentuk UKBM telah dikenal
selama ini, seperti pengadaan jamban, Posyandu, Polindes, dan sebagainya.Petugas
kesehatan memberi penyuluhan bagi masyarakat dibidang kesehatan agar lebih
mempercepat proses berkembangnya peran serta mereka ( Encang, 1991 ).
Upaya penggunaan jamban berdampak besar bagi penurunan resiko penularan
penyakit. Setiap anggota keluarga harus buang air besar di jamban. Beberapa hal harus
diperhatikan keluarga :
5
a. Jamban keluarga berfungsi baik dan dipakai semua anggota keluarga.
b. Siramlah jamban dengan air sampai bersih setiap menggunakan jamban.
c. Bersihkan jamban dengan alat pembersih jamban bagi semua anggota
keluarga secara bergiliran minimal 2- 3 kali seminggu.
d. Bila tidak ada jamban, jangan biarkan anak pergi ketempat buang air besar
sendiri, hendaknya dilakukan jauh dari rumah, lebih kurang 10 meter dari
sumber air, atau di kebun tempat bermain anak dengan menggali tanah dan
menutupnya kembali, lalu dibersihkan, jangan biarkan kotoran menempel
di anus anak, dan hindari tanpa alas kaki.
2.3 Persyaratan Jamban Sehat
Jamban Keluarga yang sehat adalah jamban keluarga yang kriteria-kriterianya
sebagai berikut:
1. Tidak mencemari sumber air minum.
Untuk itu letak lubang penampungan kotoran paling sedikit berjarak 10 meter dari
sumber air minum. Tetapi kalau keadaan tanahnya berkapur atau tanah liat yang
retak - retak pada musim kemarau, demikian juga bila letak jamban di sebelah atas
sumber air minum pada tanah yang miring, maka jarak tersebut hendaknya lebih
dari 15 meter.
2. Tidak berbau dan tinja tidak dapat dijamah serangga maupun tikus.
Untuk ini tinja harus tertutup rapat, misalnya dengan menggunakan leher angsa
atau penutup lubang yang rapat.
3. Air seni, air pembersih dan air penggelontor tidak mencemari tanah di sekitarnya.
Untuk ini lantai jamban harus cukup luas paling sedikit berukuran 1x1 meter dan
dibuat landai atau miring ke arah lubang jongkok.
4. Mudah dibersihkan dan aman digunakan.
Untuk ini harus dibuat dari bahan yang kuat juga tahan lama dan agar tidak mahal
hendaknya digunakan bahan-bahan yang kuat juga tahan lama yang ada di daerah
setempat.
5. Dilengkapi dengan dinding dan atap pelindung, dinding kedap air dan berwarna
terang.
6
6. Mempunyai penerangan cukup.
7. Lantai yang kedap air.
8. Luas ruangan cukup dan atap tidak terlalu rendah.
9. Ventilasi cukup baik.
10. Tersedia air dan alat pembersih
2.4 Macam-macam Jamban Pedesaan
Jamban pedesaan di Indonesia dapat digolongkan menjadi dua macam:
Jamban tanpa leher angsa
Jamban jenis ini mempunyai beberapa macam cara pembuangan kotorannya:
a. Bila kotoran dibuang ke tanah, jamban ini sering disebut jamban
ceplung/cubluk.
b. Bila dibuang ke empang, jamban ini disebut jamban empang.
c. Bila kotoran dibuang ke sungai, jamban ini sering disebut jamban sungai.
d. Bila kotoran dibuang ke laut, jamban ini sering disebut jamban laut.
Jamban dengan leher angsa (angsa trene)
Jamban ini mempunyai dua macam cara pembuangan kotorannya:
a. Jamban di mana tempat jongkok leher angsa berada langsung di atas lubang
galian penampungan kotoran.
e. Jamban di mana tempat jongkok tidak berada langsung di atas lubang galian
penampungan kotoran. Dalam hal ini, lubang penampungan kotoran dapat
dibuat dua buah untuk dipergunakan secara bergantian bila lubang yang satu
telah penuh.
2.4.1 Jamban Tanpa Leher Angsa
Pada umumnya, pembuangan kotoran manusia ke atas tanah dapat dibagi atas:
- Langsung dibuang di atas permukaan tanah.
- Membuat lubang galian di dalam tanah yang dikenal sebagai jamban
cemplung/cubluk/pit privy.
7
Cara - cara di atas merupakan cara yang mengandung risiko terjadinya penyakit
infeksi di pedesaan dan juga memungkinkan pencemaran sumber dan sarana air bersih
melalui penyakit yang menyebar melalui air ( water borne disease ).
Pit privy adalah tempat pembuangan atau penampungan kotoran di mana
dibangun lubang pada tanah dengan kapasitas sesuai kebutuhan. Agar supaya dinding
bagian dalam tidak runtuh/longsor, maka dinding diperkuat dengan anyaman bambu
atau bahan lain, maksudnya agar cairan kotoran dapat diserap dengan cara perembesan
oleh tanah. Oleh karena itu, dasar lubang perlu dibangun pada kedalaman yang tidak
mencemari permukaan air dalam tanah.
Mulut lubang ditutup rapi, sehingga terhindar dari kemungkinan perembesan
kotoran pada permukaan tanah di sekitar mulut lubang. Mulut lubang dihubungkan
melalui saluran kotoran dengan tempat penampungan di atasnya (slab), dan pada slab
dibangun tempat jongkok yang kuat yang menggunakan tutup yang rapi dan mudah
dibuka.
Kemudian dibangun rumah tempat buang kotoran berukuran 40 x 100 cm dari
bahan kayu serta mempunyai mempunyai atap yang terpasang kokoh. Pada bagian
dalam rumah, dibangun tempat atau bak air, dan juga pipa yang dihubungkan lubang
penampungan kotoran dengan udara terbuka. Agar nyaman dan menyenangkan, maka
pada salah satu dinding rumah dibangun jendela yang ditutup kawat kasa atau kawat
nyamuk agar tidak dimasuki serangga.
Pembuangan kotoran menggunakan pit privy ini dianggap kecil
kemungkinannya untuk mencemari air bersih, bila dipakai dan dirawat dengan baik
pada lokasi dengan persediaan air bersih yang cukup untuk mencuci serta merawatnya.
Namun kerena perembesan cairan kotoran masih mengancam dari bak penampungan
ke dalam tanah. Sekalipun demikian, estetika pit privy masih dianggap memenuhi
persyaratan. Disamping itu, pit privy mempunyai keuntungan, yaitu murah dan mudah
dibangun dari bahan yang umumnya tersedia di sekitar lokasi pemukiman.
Pada jamban ini harus diperhatikan :
Jangan diberi desinfektan karena akan mengganggu proses pembusukan
sehingga cubluk cepat penuh.
Untuk mencegah bertelurnya nyamuk tiap minggu diberi minyak tanah.
Agar tidak terlalu bau diberi kapur barus.
8
2.4.2 Jamban dengan Leher Angsa
Untuk mencegah bau yang kurang sedap, jamban dapat dibangun dengan
menggunakan leher angsa di bagian atas lubang, dan dipasang pada dataran slab.
Model leher angsa ini dimaksudkan agar pada bagian yang bengkok, air tetap
tergenang, yang berfungsi sebagai penutup lubang penampungan. Dengan cara
demikian, kontak dengan serangga atau tikus dapat dihindari, dan dapat menyekat bau
yang keluar dari lubang.
Sistem leher angsa ini telah diterapkan dalam program pemerintah di bidang
sanitasi, yaitu Program SamiJAGA, sehingga dalam pelaksanaannya, penyediaan air
bersih mutlak diperlukan atau lokasi bangunan jamban keluarga tersebut harus pada
tempat yang cukup persediaan airnya.
Sistem ini dapat mencegah hubungan antara udara luar dengan lubang
penampungan kotoran, sehingga sedikit sekali kemungkinan kontak antara kotoran
dengan manusia, hewan maupun serangga lainnya.
2.5 Jamban dengan Septic Tank
Konstruksi jamban ini terdiri dari:
Ruangan penampungan kotoran.
Ruang pengendapan.
Ruang penampungan air dengan pipa rembesan.
Sebagian besar konstruksi septic tank terbenam di bawah permukaan tanah,
sedangkan konstruksi bangunan di bangun dengan bahan tembok dan semen, sehingga
tidak mudah rusak dan kedap air, serta tidak mudah digerogoti binatang. Konstruksi
demikian mudah dirawat atau dibersihkan, namun memerlukan biaya yang tinggi.
Septic tank biasanya dibangun pada permukiman atau tempat pelayanan umum
dengan kebutuhan tempat pembuangan kotoran berkapasitas besar. Sistem jamban ini
biasanya dibuat dengan cara basah, dan air yang cukup merupakan suatu persyaratan
mutlak.
Jamban septic tank dapat pula dibuat dengan cara kering, di mana
penampungan kotoran dilakukan dalam lubang galian tanpa dicampur air. Cara ini
mempunyai kekurangan di mana kotoran mengalami penghancuran atau dekomposisi
oleh bakteri aerobik tanpa menggunakan air yang menyebabkan dekomposisi
9
berlangsung lambat. Dengan demikian, bak penampungan cepat penuh, menimbulkan
bau, serta memungkinkan terjadinya kontaminasi lingkungan.
2.6 TINJAUAN MENGENAI PERILAKU KESEHATAN
Penggunaan JAGA merupakan salah satu bentuk perilaku kesehatan. Oleh
karena itu, penulis akan membahas secara singkat mengenai perilaku kesehatan.
2.6.1 Derajat Kesehatan Masyarakat
Kesehatan adalah suatu masalah yang kompleks yang merupakan gabungan dari
berbagai masalah, termasuk masalah lingkungan, baik yang alamiah maupun yang
buatan manusia, seperti sosial budaya, perilaku, penduduk, genetika, dan sebagainya.
Menurut Hendrik L Blum, derajat kesehatan masyarakat merupakan hasil
gabungan dari 4 faktor, yaitu:
1. Lingkungan
Masalah lingkungan pada teori Blum dapat dibagi menjadi dua, yaitu lingkungan
alamiah dan lingkungan buatan manusia. Paradigma sehat berperanan untuk
menciptakan lingkungan yang lebih baik, yang merupakan faktor yang berperanan
besar dalam menentukan derajat kesehatan.
2. Keturunan
Keturunan adalah faktor yang dipengaruhi oleh populasi, distribusi penduduk,
genetika, dan sosial budaya.
3. Pelayanan kesehatan
Pelayanan kesehatan pada dasarnya adalah merupakan program Departemen
Kesehatan yang memberikan kontribusi besar terhadap derajat kesehatan meskipun
masih di bawah faktor lingkungan dan perilaku.
4. Perilaku
Faktor perilaku memberikan kontribusi yang terbesar dalam meningkatkan derajat
kesehatan. Namun justru faktor perilaku ini masih belum diupayakan untuk
digarap secara intensif. Perilaku yang bertentangan dengan norma kesehatan
seringkali merupakan akibat dari budaya masyarakat yang telah berakar selama
berabad-abad. Pendidikan formal tidak banyak bermanfaat untuk mengubah
perilaku masyarakat. Perilaku sering dianggap bukan sebagai masalah kesehatan,
10
padahal pengaruhnya sangat besar terhadap kesehatan. Dalam upaya meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat, maka diperlukan upaya-upaya untuk mengubah
perilaku masyarakat yang tidak mendukung norma-norma kesehatan.
2.6.2 Definisi Perilaku Kesehatan
Notoatmodjo menyatakan bahwa perilaku kesehatan adalah respon seseorang,
baik aktif maupun pasif, terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan
penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan dan lingkungan.
2.6.3 Klasifikasi Perilaku Kesehatan
Becker, mengklasifikasikan perilaku yang berhubungan dengan kesehatan
sebagai berikut:
1. Perilaku kesehatan (health behavior)
Perilaku Kesehatan yaitu hal-hal yang berkaitan dengan tindakan atau kegiatan
seseorang dalam memelihara dan meningkatkan kesehatannya, termasuk juga
tindakan-tindakan untuk mencegah penyakit, kebersihan, pemilihan makanan, dan
sebagainya.
2. Perilaku sakit (illnes behavior)
Perilaku sakit yaitu segala tindakan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang
individu yang merasa sakit untuk merasakan dan mengenal keadaannya, termasuk
juga kemampuan atau pengetahuan individu untuk mengidentifikasi penyakit,
penyebab penyakit, serta usaha-usaha untuk mencegah penyakit tersebut.
3. Perilaku peran sakit (sick role behavior)
Perilaku peran sakit yaitu segala tindakan atau kegiatan yang dilakukan individu
yang sedang sakit untuk memperoleh kesembuhan. Perilaku ini disamping
berpengaruh terhadap kesehatan/kesakitannya sendiri juga berpengaruh terhadap
orang lain.
2.6.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Kesehatan
Green berpendapat bahwa perilaku seseorang terhadap kesehatan dipengaruhi
oleh 2 faktor yaitu:
1. Faktor Internal
Mencakup pengetahuan, kepercayaan, nilai, persepsi, dan sikap individu.
11
2. Faktor Eksternal
Mencakup Faktor pendorong dari orang-orang di sekelilingnya.
2.6.5 Perubahan Perilaku Kesehatan
Mengubah perilaku seseorang bukanlah hal yang mudah, sebab di dalamnya
tersangkut tidak hanya proses intrapersonal, tetapi juga interpersonal, yaitu apakah
dengan menerima gagasan atau perilaku yang baru itu dia tidak tersisih dari
kelompoknya. Sebab faktor-faktor nilai yang dianut seseorang bukan saja berdasarkan
yang dialami dan dianggap baik oleh dirinya sendiri, tetapi terutama merupakan nilai-
nilai yang telah dianut bersama oleh masyarakat tersebut.
Dalam perilaku kesehatan hal yang penting adalah masalah pembentukan dan
perubahan perilaku, karena perubahan perilaku adalah merupakan tujuan dari
pendidikan atau penyuluhan kesehatan sebagai penunjang program-program kesehatan
lainnya.
Bentuk perubahan perilaku sangat bervariasi. Menurut WHO, perubahan
perilaku dapat dikelompokkan menjadi 3 yaitu:
1. Perubahan alamiah (Natural Change)
Perubahan alamiah yaitu perubahan perilaku manusia yang disebabkan karena
kejadian alamiah, baik perubahan lingkungan fisik, atau sosial budaya dan
ekonomi.
2. Perubahan Terencana (Planned Change)
Perubahan Terencana yaitu perubahan perilaku yang direncanakan oleh subyek.
3 Kesediaan untuk berubah (Readdiness to Change)
Kesediaan untuk berubah yaitu kesediaan seseorang untuk berubah, sesuai dengan
perubahan pada lingkungannya, oleh karena inovasi-inovasi baru maupun
program-program baru.
2.7 Cara-cara Perubahan Perilaku Kesehatan
Menurut Kelman ada tiga cara perubahan perilaku yaitu:
1. Karena terpaksa
Dalam hal ini, individu mengubah perilakunya karena berharap akan :
Memperoleh imbalan, baik berupa materi maupun non-materi.
12
Memperoleh pengakuan dari kelompoknya atau dari orang yang
menganjurkan perubahan perilaku tersebut.
Terhindar dari hukuman.
Dengan cara ini perubahan perilaku yang terjadi tidak lestari karena dilakukan
secara terpaksa.
2. Karena ingin meniru
Individu mengubah perilakunya karena ingin disamakan dengan seseorang yang
dikaguminya. Disini perubahan yang terjadi juga tidak lestari.
3. Karena menghayati manfaatnya
Disini perubahan perilaku yang terjadi benar-benar mendasar. Artinya, benar-
benar telah menjadi bagian dari hidupnya. Karena itulah maka perubahan melalui
cara ini umumnya bersifat lestari. Perubahan seperti inilah yang diharapkan akan
dicapai melalui penyuluhan kesehatan.
2.8 Tahap-tahap Perubahan Perilaku Kesehatan
Proses perubahan perilaku dalam menerima ide baru merupakan suatu proses
yang kompleks dan memerlukan waktu yang cukup lama. Terdapat empat tahap yang
dilalui sejak seseorang memperoleh informasi atau pengetahuan baru sampai dia
memutuskan untuk menerima atau menolak ide tersebut, yaitu:
1. Pengenalan
Orang mengetahui adanya inovasi dan memperoleh beberapa pengertian tentang
bagaimana inovasi itu berfungsi.
2. Persuasi
Orang membentuk sikap yang berkenan atau tidak berkenan terhadap inovasi.
3. Keputusan
Orang terlibat dalam kegiatan dan membawanya pada pilihan untuk menerima
atau menolak inovasi.
4. Konfirmasi
Mencari penguat, yang dapat mendukung keputusannya
13
BAB III
KERANGKA KONSEP
3.1. Kerangka Konsep
3.2. Hipotesis (H0)
1. Tidak ada pengaruh faktor pengetahuan terhadap rendahnya kepemilikan JAGA
di Desa Mekarlaksana.
2. Tidak ada pengaruh faktor sikap terhadap rendahnya kepemilikan JAGA di Desa
Mekarlaksana.
3. Tidak ada pengaruh faktor perilaku terhadap rendahnya kepemilikan JAGA di
Desa Mekarlaksana.
2 Tidak ada faktor pengaruh ekonomi terhadap rendahnya kepemilikan JAGA di
Desa Mekarlaksana.
3.3. Definisi Operasional
1. Jamban Keluarga
Adalah suatu bangunan yang dipergunakan untuk membuang tinja/kotoran
manusia bagi keluarga, bangunan tersebut biasanya disebut kakus/WC.
14
2. Kepala Keluarga
Adalah mereka yang dianggap sebagai kepala dalam rumah tangga oleh para
anggota keluarga tersebut. Pada umumnya kepala rumah tangga adalah laki-laki
yang sudah dewasa tetapi dapat juga wanita dewasa. Seorang wanita dianggap
kepala keluarga apabila sudah tidak memiliki suami atau suami sedang tidak
berada di tempat atau suami tidak dapat menjalani tugas sebagai kepala keluarga.
Skala: nominal
2. Usia responden
Adalah ulang tahun terakhir responden pada tahun dilaksanakannya penelitian.
Skala: interval
3. Pekerjaan
Adalah pekerjaan utama yang dilakukan responden sehari-hari, untuk
mendapatkan penghasilan.
Skala: nominal.
4. Pendidikan
Adalah jenjang pendidikan formal terakhir yang diikuti oleh responden.
Skala: nominal.
5. Penghasilan
Adalah penghasilan perkapita keluarga perbulan. Dalam penelitian ini diambil
patokan Rp 150.000,00 yaitu standar kecukupan masyarakat di Desa
Mekarlaksana Kecamatan Ciparay Kabupaten Bnadung dalam memenuhi
kebutuhan pokoknya perkapita perbulan.
Skala: ordinal.
6. Pengetahuan
Adalah pengetahuan responden mengenai JAGA. Pengetahuan dinilai melalui
penilaian jawaban responden atas pertanyaan-pertanyaan pengetahuan dalam
kuesioner.
15
Pertanyaan pengetahuan berjumlah 8 buah, masing-masing pertanyaan diberi nilai
tertentu. Nilai tertinggi dari masing-masing pertanyaan adalah 10, sedangkan nilai
terendah adalah 1. Sehingga untuk kategori pengetahuan nilai maksimal adalah 80
dan nilai minimal adalah 8. Setelah nilai dari tiap soal dijumlahkan, maka
responden dikelompokkan ke dalam 2 kategori tingkat pengetahuan yaitu:
Pengetahuan cukup jika jumlah nilai adalah 36-80.
Pengetahuan kurang jika jumlah nilai adalah 8-35.
Skala: ordinal.
7. Sikap
Adalah sikap responden terhadap penggunaan JAGA. Sikap dinilai melalui
penilaian jawaban responden atas pertanyaan-pertanyaan sikap dalam kuesioner.
Pertanyaan sikap berjumlah 8 buah. 1 buah pertanyaan merupakan pertanyaan
saringan dan tidak diberi nilai, sedangkan 7 pertanyaan diberi nilai tertentu. Nilai
tertinggi dari masing-masing pertanyaan adalah 10, sedangkan nilai terendah
adalah 1. Sehingga untuk kategori sikap nilai maksimal adalah 70 dan nilai
minimal adalah 7. Setelah nilai dari tiap soal dijumlahkan, maka responden
dikelompokkan ke dalam 2 kategori tingkat sikap yaitu:
Sikap cukup jika jumlah nilai adalah 32-70
Sikap kurang jika jumlah nilai adalah 7-31.
Skala: ordinal.
8. Perilaku
Adalah perilaku responden dalam kepemilikan dan penggunaan JAGA. Perilaku
dinilai melalui penilaian jawaban responden atas pertanyaan-pertanyaan perilaku
dalam kuesioner.
Pertanyaan perilaku berjumlah 8 buah. 2 buah pertanyaan merupakan pertanyaan
saringan dan tidak diberi nilai, sedangkan 6 pertanyaan diberi nilai tertentu. Nilai
tertinggi dari masing-masing pertanyaan adalah 10, sedangkan nilai terendah
adalah 1. Sehingga untuk kategori perilaku nilai maksimal adalah 60 dan nilai
minimal adalah 6. Setelah nilai dari tiap soal dijumlahkan, maka responden
dikelompokkan ke dalam 2 kategori tingkat sikap yaitu:
16
Perilaku cukup jika jumlah nilai adalah 27-60
Perilaku kurang jika jumlah nilai adalah 6-26.
Skala: ordinal.
3.4 Metode Penelitian
Metode penelitian ini adalah deskriptif analitik. Penelitian analitik merupakan
suatu penelitian yang bertujuan untuk mengetahui pengetahuan faktor-faktor penelitian
terhadap suatu keadaan yang diteliti. Dalam hal ini adalah mengetahui pengaruh
faktor-faktor pengetahuan, sikap, perilaku, dan ekonomi responden terhadap
rendahnya kepemilikan JAGA. Sedangkan metode penelitian deskriptif, dalam hal ini
memberikan gambaran tentang usia, tingkat pendidikan, pekerjaan, penghasilan,
pengetahuan, sikap, dan perilaku yang berhubungan dengan rendahnya kepemilikan
JAGA di RW 08, Desa Mekarlaksana, Kecamatan Ciparay, Kabupaten Bandung.
3.5 Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross
sectional (potong lintang) yaitu rancangan studi epidemiologi yang mempelajari
faktor-faktor penelitian dengan cara mengamati status faktor penelitian secara serentak
pada saat atau periode tertentu pada suatu waktu dan tidak diikuti secara terus menerus
dalam kurun waktu tertentu.
Penelitian cross sectional disebut juga penelitian survey, yaitu penelitian yang
mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat
pengumpul data yang pokok. Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan
dengan menggunakan kuesioner.
3.6 Instrumen Penelitian
Instrumen pokok penelitian ini adalah kuesioner pilihan ganda. Jumlah
pertanyaan dalam kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini seluruhnya adalah 30
buah, yang dibagi menjadi 4 kelompok yaitu:
Identitas Responden, 6 pertanyaan.
Pengetahuan, 8 pertanyaan.
17
Sikap, 8 pertanyaan.
Perilaku, 8 pertanyaan..
3.7 Pengumpulan Data
3.7.1 Sumber Data
Data Primer
Hasil wawancara yang dilakukan oleh penulis secara langsung terhadap
responden melalui kunjungan dari rumah ke rumah. Pertanyaan-pertanyaan
diajukan secara lisan dengan berpedoman pada kuesioner.
Data Sekunder
Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari:
Data Cakupan JAGA dari Puskesmas UPTD Ciparay
Data kependudukan dari Kantor Kecamatan Ciparay dan Kantor Desa
Mekarlaksaana.
3.7.2 Populasi
Populasi penelitian ini adalah Kepala Keluarga yang bermukim di RW08 Desa
Mekarlaksana, Kecamatan Ciparay, Kabupaten Bandung.
Jumlah Populasi: 265 KK
3.8 Sampel
Jumlah sampel untuk penelitian ini adalah minimal sampel, dengan
menggunakan rumus sebagai berikut:
n = . N .
1 + N (0,05)2
Di mana :
n = Jumlah sample minimal
d = Penyimpangan terhadap populasi.
Sudah ditentukan, sebesar 0,05
18
N = Jumlah keseluruhan populasi
Maka :
n= 265 .
1 + 265(0,05)2
Diperoleh : n =167
Jadi jumlah minimal sample adalah 167 kepala keluarga
3.9. Pengolahan dan Analisis Data
Penelitian ini menggunakan analisis bivariat. Tujuan analisis bivariat adalah
untuk mengetahui pengaruh pengetahuan, sikap dan perilaku terhadap rendahnya
penggunaan JAGA di RW 08, Desa Mekarlaksana, Kecamatan Ciparay, Kabupaten
Bandung.
Analisis bivariat yang digunakan dalam penelitian ini adalah salah satu variasi
dari rumus analisis statistik Chi-Square Test.
Dalam penggunaan analisis ini, pertama-tama ditetapkan sebuah hipotesa yang
disebut hipotesa nol atau null hypothesis (H0) yang menyatakan bahwa setiap faktor
(kategori) yang telah ditetapkan tersebut tidaklah berpengaruh terhadap rendahnya
kepemilikan JAGA di Desa Mekarlaksana.
Hasil penghitungan Chi-Square dan degree of freedom (df) dari data yang
dikumpulkan kemudian dibandingkan dengan tabel probabilitas Chi-Square untuk
menetapkan hasil kemaknaan (P-value).
P-Value kemudian digunakan untuk menentukan apakah hipotesa nol tersebut
ditolak atau diterima, dengan menggunakan nilai batas kemaknaan 0,05 (5%). Bila P-
value yang didapatkan ternyata lebih kecil daripada nilai batas kemaknaan (0,05),
maka hipotesa nol (H0) ditolak.
19
3.10. Penyajian Data
Hasil pengumpulan dan analisis data disajikan dalam bentuk tabel, disertai
dengan pembahasannya.
20
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada sub bab ini disajikan tabel-tabel distribusi yang merupakan hasil
perhitungan data berdasarkan jawaban responden terhadap pertanyaan-pertanyaan
kategori Identitas Responden di dalam kuesioner. Di bawah masing-masing tabel
disajikan pula pembahasannya.
Tabel 4.1. Distribusi usia responden
USIA
( tahun )
JUMLAH
( orang )
PERSENTASE
(%)
20 – 28 12 7,19%
29 – 37 14 8,38%
38 – 46 37 22,16%
47 – 55 59 35,33%
56 – 64 38 22,75%
65 – 74 7 4,19%
TOTAL 160 100%
Dari tabel 4.1 diatas, dapat dilihat bahwa paling banyak responden (35,33%)
berusia 47-55 tahun berjumlah 59, kemudian 38 responden (22,75%) yang berusia 56-
64 tahun, 37 responden (22,16%) yang berusia 38-46 tahun, 14 responden (13,58%)
yang berusia 29-37 tahun, 12 responden (7,19%) 20–28 tahun, 7 responden (4,19%)
yang berusia 65-74 tahun.
21
Dengan melihat data tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa sebagian besar
kepala keluarga di Desa Mekarlaksana merupakan dewasa setengah baya yang secara
umum mungkin akan lebih sulit untuk menerima berbagai informasi dan perubahan
(dalam hal ini mengenai JAGA) dibandingkan yang berusia muda.
Tabel 4.2. Distribusi pekerjaan responden
PEKERJAAN JUMLAH PERSENTASE (%)
Tidak bekerja 21 12,89
Petani 47 28,22
Buruh 44 26,13
Pedagang 42 25,08
Pegawai Negeri/ABRI 8 4,87
Pegawai swasta 3 1,74
Pensiunan 2 1,04
TOTAL 167 100%
Dari tabel 4.2 diatas, dapat dilihat bahwa paling banyak responden (28,22%)
bekerja sebagai petani sebanyak 47 orang, kemudian 44 responden (26,13%) sebagai
buruh, 42 responden (25,08%) sebagai pedagang, 21 responden (12,89%) tidak
bekerja, 8 responden (4,87%) pegawai negeri/ABRI, 3 responden (1,74 %) pegawai
swasta, dan 2 responden (1,04%) pensiunan.
Data pekerjaan ini dapat digunakan untuk memperkirakan bagaimana perilaku
kesehatan responden, misalnya perilaku kesehatan lingkungan pada responden yang
bekerja sebagai petani atau buruh tentunya berbeda dengan yang bekerja sebagai
22
pegawai negeri. Selain itu, data mengenai pekerjaan ini dapat dijadikan patokan kasar
dalam memperkirakan status sosial ekonomi responden.
Tabel 4.3. Distribusi pendidikan responden
PENDIDIKAN JUMLAH PERSENTASE (%)
Tidak sekolah/tidak tamat SD 50 30
Tamat SD/sederajat 71 42,51
SLTP/sederajat 22 12.89
SLTA/sederajat 23 13.94
Akademi/Perguruan tinggi 1 0,7
TOTAL 167 100%
Dari distribusi responden berdasarkan pendidikannya didapatkan bahwa
pendidikan terbanyak responden adalah 71 responden (42,51%) Tamat SD/sederajat,
kemudian 50 responden (30%) yang tidak sekolah/tidak tamat SD, 23 responden
(13,94%) yang tamat SLTA/sederajat, 22 responden (12,89%) yang tamat
SLTP/sederajat, dan 1 responden (0,7%) yang berpendidikan akademi/perguruan
tinggi.
Data mengenai tingkat pendidikan ini dapat digunakan sebagai patokan kasar
tingkat pengetahuan responden mengenai masalah-masalah kesehatan secara umum,
termasuk masalah kepemilikan dan penggunaan JAGA. Selain itu dapat pula dijadikan
patokan dalam memilih metode dan cara penyampaian penyuluhan yang akan
dilakukan oleh pihak Puskesmas, sehingga metode penyampaian penyuluhan dapat
disesuaikan dengan tingkat pendidikan kelompok masyarakat ini.
23
Tabel 4.4. Distribusi penghasilan responden perkapita perbulan
PENGHASILAN JUMLAH PERSENTASE (%)
< Rp. 150.000,- 88 52,61
≥ Rp. 150.000,- 79 47,38
TOTAL 167 100%
Dari data mengenai penghasilan perkapita perbulan responden yang tercantum
dalam tabel 4.4 didapatkan bahwa responden paling banyak berpenghasilan perkapita
perbulan kurang dari Rp. 150.000,- sebanyak 88 orang (52,61%), sedangkan yang
berpenghasilan perkapita perbulan lebih sama dari Rp. 150.000,- berjumlah 79 orang
(47,38%). Patokan Rp. 150.000,- ini adalah standar kecukupan masyarakat pedesaan
di Desa Mekarlaksana, Kecamatan Ciparay, Kabupaten Bandung dalam memenuhi
kebutuhan pokoknya perkapita perbulan. Penghasilan perkapita perbulan yang rata-
rata masih rendah ini, tentunya merupakan kendala dalam usaha meningkatkan
penggunaan JAGA, karena untuk membuat JAGA, tentunya dibutuhkan biaya, yang
meskipun besarnya relatif, namun dapat terasa berat bagi responden. Hal ini tentunya
menjadi kendala dalam meningkatkan cakupan JAGA.
4.1.Pengetahuan
Pada sub bab ini disajikan tabel-tabel distribusi yang merupakan hasil
perhitungan data berdasarkan jawaban responden terhadap pertanyaan-pertanyaan
kategori Pengetahuan di dalam kuesioner. Di bawah masing-masing tabel disajikan
pula pembahasannya.
24
Tabel 4.5. Distribusi pengetahuan responden tentang fungsi jamban keluarga
(JAGA)
JAWABAN JUMLAH PERSENTASE (%)
Tempat buang air besar 145 87,10
Tempat mandi 15 9,40
Tempat mencuci pakaian 7 3,48
Tempat membuang sampah 0 0
TOTAL 167 100%
Jawaban yang banyak dikemukakan oleh responden terhadap pertanyaan
pertanyaan "Apakah yang anda ketahui tentang jamban keluarga (JAGA)?" dapat
dilihat pada tabel 4.5. Jawaban terbanyak adalah "tempat buang air besar" sebanyak
145 responden (87,10%), disusul oleh "tempat mandi" 15 responden (9,40%),
"tempat mencuci pakaian" 7 responden (3,48%), dan "tempat membuang sampah" 0
responden.
Dari jawaban yang dikemukakan oleh responden diatas, maka dapat
disimpulkan bahwa sebagian besar responden yang sudah mengerti mengenai
pengertian jamban. Hal ini menggambarkan sudah ada kemajuan dalam hal
pengetahuan mengenai pengertian jamban, sehingga seseorang dapat membangun atau
memiliki JAGA.
25
Tabel 4.6. Distribusi pengetahuan responden terhadap lokasi buang air besar
(BAB)
JAWABAN JUMLAH PERSENTASE (%)
Jamban Pribadi 129 77
Jamban Umum 33 19,86
Kali/kolam/parit 5 3,13
Kebun/sawah 0 0
TOTAL 167 100%
129 dari 167 responden (77%) menjawab “Jamban Pribadi” terhadap
pertanyaan "Sebaiknya buang air besar dilakukan di mana?", kemudian “Jamban
Umum“ sebanyak 33 responden (19.86%), “Kali/kolam/parit” sebanyak 5 responden
(3,13%) dan “Kebun/Sawah“ sebanyak 0 responden (0%).
Dengan mengamati jawaban yang diberikan responden dari tabel di atas dapat
kita simpulkan bahwa pengetahuan responden mengenai tempat pembuangan kotoran
manusia sudah cukup baik.
26
Tabel 4.7. Distribusi pengetahuan responden tentang hubungan BAB yang tidak
pada tempatnya (JAGA) dengan kemungkinan timbulnya penyakit
TEMPAT JUMLAH PERSENTASE (%)
Ya 59 35,19%
Tidak 108 64,80%
TOTAL 167 100%
Jawaban yang banyak dikemukakan oleh responden terhadap pertanyaan
"Apakah mereka yang tidak buang air besar tidak di jamban bisa terserang
penyakit?"dapat dilihat pada tabel 4.7, 59 responden (35,19%) menyatakan “ya” dan
sisanya 108 responden (64,80%) menyatakan “tidak”. Dari jawaban yang
dikemukakan oleh responden di atas, maka dapat disimpulkan bahwa masih banyak
responden yang belum mengerti bahwa tinja dapat menjadi sumber penyakit dan
sumber penularan penyakit.
Tabel 4.8. Distribusi pengetahuan responden terhadap berbagai penyakit
yang dapat timbul akibat BAB tidak pada tempatnya (JAGA)
TEMPAT JUMLAH PERSENTASE (%)
Muntaber 17 28,71%
Disentri 15 24,75%
Cacingan 18 29,70%
Lain-lain 9 16,83%
TOTAL 59 100%
27
Jawaban yang banyak dikemukakan oleh responden terhadap pertanyaan
"Apakah penyakit yang dapat ditimbulkan jika buang air besar tidak di jamban (bila
BAB di sembarang tempat)?" dapat dilihat pada tabel 4.8. Jawaban terbanyak adalah
"cacingan" (29,70%), kemudian berikutnya adalah "muntaber" (28,71%), "disentri"
(24,75%), dan "lain-lain" (16,83%). Jawaban lain-lain yang dikemukakan responden
di sini mencakup berbagai penyakit yang tidak ada hubungan dengan pencemaran air,
seperti batuk, pilek, cacar air, sakit mata, dan lain-lain.
Dari jawaban yang dikemukakan oleh responden di atas, maka dapat
disimpulkan banyak responden yang sudah mengerti mengenai penyakit-penyakit yang
dapat ditularkan melalui tinja dan juga mengerti akan bahaya yang dapat ditimbulkan
dari penyakit-penyakit tersebut, sehingga masih belum terlihat adanya kesadaran untuk
memiliki JAGA, yang salah satu tujuannya adalah mencegah penyebaran penyakit
melalui tinja manusia.
Tabel 4.9. Distribusi pengetahuan responden terhadap berbagai penyakit yang dapat
timbul meskipun sudah BAB pada tempatnya (JAGA)
JAWABAN JUMLAH PERSENTASE (%)
Ya 80 47,73%
Tidak 87 52,26%
TOTAL 167 100%
Saat terhadap responden ditanyakan "Apakah orang yang buang air besar di
jamban masih mungkin terkena penyakit tersebut?" didapatkan 87 responden (52,26%)
menjawab “tidak”, dan 80 orang (47,73%) menjawab “ya”.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sebagian besar masyarakat masih
kurang mengerti tentang penyakit yang ditimbulkan walaupun sudah memiliki JAGA,
karena masih ada faktor lain yang mempengaruhi terjadinya suatu penyakit.
28
Tabel 4.10. Distribusi pengetahuan responden tentang berbagai kemungkinan
penyebab timbulnya penyakit meskipun sudah BAB pada tempatnya (JAGA)
JAWABAN JUMLAH PERSENTASE (%)
Apabila JAGA tidak terawat 27 34,30%
Apabila tidak ada air 25 31,38%
Apabila saluran pembuangan tidak lancar 19 23,35%
Apabila JAGA tidak ditutup 9 10,94%
TOTAL 80 100%
Saat terhadap responden ditanyakan " Apabila ya, apa yang menyebabkan sakit
tersebut? " didapatkan 27 dari 80 orang (34,30%) menjawab “Apabila JAGA tidak
terawat”, kemudian 25 orang (31,38%) yang menjawab “Apabila tidak ada air.”, 19
orang (23,35%) menjawab “ Apabila saluran pembuangan tidak lancar.”, lalu 9 orang
(10,94%) yang menjawab ”Apabila JAGA tidak ditutup”
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pengetahuan sebagian besar
masyarakat cukup mengerti tentang penyebab penyakit yang ditimbulkan bila masih
memiliki JAGA.
29
Tabel 4.11. Distribusi pengetahuan responden terhadap manfaat BAB pada
tempatnya (JAGA)
JAWABAN JUMLAH PERSENTASE (%)
Supaya tidak dilihat orang 40 23,69%
Bersih, tidak jadi sumber penyakit 97 57,83%
Lebih mudah BAB di malam hari 30 18,46%
Tidak tahu 0 0
TOTAL 167 100%
40 dari 167 responden (23,69%) menjawab “supaya tidak dilihat orang”
terhadap pertanyaan "Apakah manfaat BAB di JAGA?", disusul oleh jawaban “bersih
tidak jadi sumber penyakit” sebanyak 97 responden (57,83%), “lebih mudah BAB
pada malam hari” sebanyak 30 responden (18,46%), dan “tidak tahu” berjumlah 0
responden (0%).
Dari jawaban yang dikemukakan responden, dapat kita simpulkan bahwa
responden sudah mengerti mengenai mengenai kebersihan dan kesehatan lingkungan.
30
Tabel 4.12. Distribusi pengetahuan responden tentang apa yang harus dilakukan
sehabis BAB di JAGA
JAWABAN JUMLAH PERSENTASE (%)
Menyiram JAGA dengan air 151 90,24%
Dibiarkan saja 16 9,75%
Tidak tahu 0 0
TOTAL 167 100%
Saat terhadap responden ditanyakan " Setelah buang air besar, apakah yang
seharusnya dilakukan? " didapatkan 151 dari 167 orang (90,24%) menjawab
“Menyiram JAGA dengan air”, disusul oleh 16 orang (9,75%) yang menjawab
“Dibiarkan saja”, lalu 0 responden (0%) menjawab “Tidak tahu”
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pengetahuan sebagian besar
masyarakat cukup mengerti tentang tindakan yang harus dilakukan setelah buang air
besar.
Tabel 4.13. Distribusi pengetahuan responden
JAWABAN JUMLAH PERSENTASE (%)
Cukup 88 52,96
Kurang 79 47,03
TOTAL 167 100%
31
Pengetahuan sangat berhubungan erat dengan perilaku, karena pengetahuan
merupakan dasar bagi terjadinya perubahan perilaku, termasuk perilaku kesehatan.
Jika pengetahuan kurang, maka dapat dipastikan perilaku pun akan kurang. Dalam hal
ini, kurangnya pengetahuan mengenai JAGA akan berakibat kurangnya pula perilaku
penggunaan JAGA. Namun, apakah faktor pengetahuan ini berpengaruh terhadap
rendahnya penggunaan JAGA di Desa Mekarlaksana, masih harus dikaji lebih lanjut
melalui analisis bivariat.
4.2.Sikap
Pada sub bab ini disajikan tabel-tabel distribusi yang merupakan hasil
perhitungan data berdasarkan jawaban responden terhadap pertanyaan-pertanyaan
kategori sikap di dalam kuesioner. Di bawah masing-masing tabel disajikan pula
pembahasannya.
Tabel 4.14. Distribusi sikap responden bahwa buang air besar harus selalu di
jamban
JAWABAN JUMLAH PERSENTASE
Setuju 150 89,89
Tidak setuju 17 10,10
TOTAL 167 100%
Dari tabel 4.14 diatas, dapat dilihat bahwa kebanyakan responden sebanyak
150 responden (89,89%) menjawab setuju, serta 17 responden (10,10%) menjawab
tidak setuju. Responden yang menyatakan setuju sebagian besar mempunyai alasan
bahwa BAB di jamban tidak akan mencemari air, tidak menimbulkan bau sehingga
dapat mencegah penyakit dan menjaga kebersihan dan tidak merusak pemandangan.
Sedangkan yang menyatakan tidak setuju sebagian besar mempunyai alasan karena
tidak ada tempat/pilihan lain untuk tempat buang hajat, lagi pula, bila BAB di sungai,
32
kotorannya akan hanyut terbawa arus sungai sehingga tidak menimbulkan bau,
dibandingkan jika BAB di kebun/sawah.
Tabel 4.15. Distribusi sikap responden terhadap penggunaan jamban keluarga
(JAGA)
JAWABAN JUMLAH PERSENTASE
Setuju 155 92,68
Tidak setuju 12 7,31
TOTAL 167 100%
Dari tabel 4.15 diatas, dapat dilihat bahwa kebanyakan responden sebanyak
155 responden (92,68%) menjawab setuju, serta 12 responden (7,31%) menjawab
tidak setuju.
Tabel 4.16. Distribusi sikap responden akan kepemilikan JAGA pada tiap-tiap
rumah
JAWABAN JUMLAH PERSENTASE
Setuju 125 74,91
Tidak setuju 42 25,08
TOTAL 167 100%
Dari tabel 4.16 diatas, dapat dilihat bahwa kebanyakan responden, 125
responden (74,91%) menjawab setuju, sedangkan 42 responden (25,08%) menjawab
tidak setuju.
33
Tabel 4.17. Distribusi berbagai macam kendala dalam membuat JAGA
JAWABAN JUMLAH PERSENTASE
Tidak ada biaya 86 51,21
Tidak ada tempat karena rumah sempit 45 26,82
Tidak perlu karena sudah ada jamban umum 36 21,95
TOTAL 167 100%
Dari tabel 4.17 diatas, dapat dilihat bahwa kebanyakan responden sebanyak 86
responden (51,21%) menjawab “Tidak ada biaya”, sedangkan 45 responden (26,82%)
menjawab “Tidak ada tempat karena rumah sempit”, dan 36 responden (21,95%)
menjawab “Tidak perlu karena sudah ada jamban umum”.
Dari tabel di atas dapat dikatakan bahwa mempunyai jamban untuk sendiri
tidaklah terlalu penting bagi mereka, karena pendapatan lebih diutamakan untuk
memenuhi kebutuhan sehari – hari seperti membeli makanan dan pakaian dibanding
untuk pembangunan JAGA.
34
Tabel 4.18. Distribusi sikap responden terhadap keharusan membersihkan
JAGA setiap hari
JAWABAN JUMLAH PERSENTASE (%)
Setuju 91 54,70
Tidak setuju 76 45,31
TOTAL 167 100%
Dari tabel 4.18 di atas, dapat dilihat bahwa kebanyakan responden sebanyak 91
responden (54,70%) menjawab setuju JAGA dibersihkan setiap hari, sedangkan 76
responden (45,31%) menjawab tidak setuju, kebanyakan beralasan “JAGA dibersihkan
bila sudah terlihat kotor, tidak perlu tiap hari”, atau “cukup seminggu sekali”.
Tabel 4.19. Distribusi anggota keluarga yang bertanggung jawab menjaga
kebersihan JAGA
JAWABAN JUMLAH PERSENTASE (%)
Istri / Ibu rumah tangga 39 23,34
Anak-anak 16 9,40
Seluruh anggota keluarga 112 67,24
TOTAL 167 100%
Dari tabel 4.19 diatas, dapat dilihat bahwa sebanyak 112 dari 167 responden
(67,24%) menyatakan seluruh anggota keluarga bertanggung jawab terhadap
kebersihan jamban, sedangkan 39 responden (23,34%) menyatakan ibu / istri yang
35
harus bertanggung jawab, dan 16 responden (9,40%) menyatakan kebersihan jamban
adalah tangung jawab anak-anak.
Tabel 4.20. Distribusi tetangga/saudara yang BAB tidak di jamban
JAWABAN JUMLAH PERSENTASE (%)
Ada 29 17,07
Tidak ada 51 30,66
Tidak tahu 87 52,26
TOTAL 167 100%
Sebagian besar responden yaitu 87 orang (52,26%) ”tidak mengetahui” adanya
tetangga atau saudara yang buang air besar tidak di jamban, 51 responden menyatakan
”tidak ada”, dan 29 orang menyatakan ”ada”.
Tabel 4.21. Distribusi sikap responden terhadap tetangga/saudara yang BAB
tidak di jamban
JAWABAN JUMLAH PERSENTASE (%)
Menyarankan punya JAGA 15 51,02
Menasihatinya 7 22,44
Tidak peduli 5 16,32
Tidak tahu 2 10,20
TOTAL 29 100%
36
Jawaban terbanyak responden terhadap pertanyaan "Apakah yang Anda
lakukan jika mengetahui ada tetangga atau saudara yang buang air besar tidak di
jamban?" adalah menyarankan punya JAGA (51,02%) sebanyak 25 responden,
kemudian menasihatinya (22,44%) sebanyak 11 responden, kemudian yang tidak
peduli (16,32%) sebanyak 8 responden dan tidak tahu (10,20%) 5 responden.
Tabel 4.22. Distribusi sikap responden
JAWABAN JUMLAH PERSENTASE (%)
Cukup 138 82,92
Kurang 29 17,07
TOTAL 167 100%
Penulis mempunyai asumsi bahwa sikap seseorang sangat dipengaruhi oleh
tingkat pendidikan dan pengetahuan seseorang. Sebaliknya, sikap mempengaruhi
timbulnya suatu perubahan perilaku, termasuk perilaku kesehatan. Namun kadang-
kadang sikap yang cukup baik belum tentu menghasilkan perilaku yang sama baiknya,
hal ini dapat terjadi karena adanya tantangan atau hambatan dalam mewujudkan sikap
tersebut dalam perilaku sehari-hari. Namun, apakah faktor sikap ini berpengaruh
terhadap rendahnya penggunaan JAGA di Desa Mekarlaksana, masih harus dikaji
lebih lanjut melalui analisis bivariat.
4.3.Perilaku
Pada sub bab ini disajikan tabel-tabel distribusi yang merupakan hasil
perhitungan data berdasarkan jawaban responden terhadap pertanyaan-pertanyaan
kategori Perilaku di dalam kuesioner. Di bawah masing-masing tabel disajikan pula
pembahasannya.
37
Tabel 4.23. Distribusi kepemilikan jamban keluarga (JAGA)
JAWABAN JUMLAH PERSENTASE (%)
Ya 56 33,44
Tidak 111 66,55
TOTAL 167 100%
Dari table 4.23 diatas, dapat dilihat bahwa kebanyakan responden yaitu 111
responden (66,55%) menjawab tidak memiliki jamban di rumahnya, sedangkan 56
responden sisanya (33,44%) menjawab ya.
Tabel 4.24. Distribusi saluran pembuangan jamban
JAWABAN JUMLAH PERSENTASE (%)
Ke kali 41 72,91
Kolam 12 21,87
Septic tank 3 5,20
TOTAL 56 100%
Saat responden ditanyakan "Bila anda memiliki jamban, ke manakah
pembuangannya?" 41 responden (72,91%) menjawab ke kali, 12 responden (21,87%)
menjawab kolam, 3 responden (5,20%) menjawab septic tank.
Bagi masyarakat yang mampu, pemilik jamban mengalirkan kotorannya ke
dalam septic tank. Namun pada beberapa keluarga ada yang mengalirkan kotorannya
ke kolam, karena rumah mereka memiliki kolam atau rumah mereka berdekatan
38
dengan kolam. Sebagian juga mengalirkan kotorannya ke kali karena rumah mereka
dekat dengan kali.
Tabel 4.25. Distribusi perilaku responden terhadap kebersihan jamban
JAWABAN JUMLAH PERSENTASE (%)
Seluruh keluarga bergantian 21 37,50
Anak – anak 5 9,37
Orang tua 30 53,12
Tak pernah dibersihkan 0 0
TOTAL 56 100%
Saat responden ditanyakan "Bila anda memiliki jamban, siapa yang biasa
membersihkannya?" 30 responden (53,12%) menjawab orang tua, 21 responden
(37,50%) menjawab seluruh keluarga bergantian, 5 responden (9,37%) menjawab
anak-anak, dan tidak ada (0%) yang menjawab tidak pernah dibersihkan.
Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa orang tua masih memegang peranan
penting dalam menjaga kebersihan JAGA, disini yang paling banyak berperan adalah
ibu/istri, karena ibu/istri pada umumnya berada di rumah pada saat jam kerja atau jam
anak sekolah. Anak – anak membersihkan jamban dikarenakan karena pemilik rumah
ataupun orang tua mereka tidak ada di rumah karena bekerja, sehingga tidak
memungkinkan bagi orang tua untuk membersihkan JAGA setiap harinya.
39
Tabel 4.26. Distribusi perilaku responden terhadap tempat BAB
JAWABAN JUMLAH PERSENTASE (%)
Jamban pribadi / JAGA 56 33,44
Jamban umum 105 62,71
Kali / Kolam / Parit 6 3,83
Kebun / Sawah 0 0
TOTAL 167 100%
Saat responden ditanyakan "Di manakah Anda dan keluarga biasa buang air
besar?" 105 responden (62,71%) menjawab jamban umum, sedangkan sisanya, 56
responden (33,44%) menjawab jamban pribadi/JAGA, 6 responden (3,83%) menjawab
kali/kolam/parit, dan tidak ada responden (0%) yang buang air besar di kebun atau
sawah.
Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa meskipun masyarakat tersebut banyak
yang tidak memiliki jamban pribadi/JAGA, namun hampir seluruhnya buang air besar
di jamban umum, dan hanya 11 responden (3,83%) yang buang air besar di
kali/kolam/parit. Data tersebut memberikan asumsi bahwa masyarakat bersedia
menggunakan jamban, hanya saja untuk memiliki jamban pribadi/JAGA masih
terdapat berbagai kendala.
40
Tabel 4.27. Distribusi perilaku responden terhadap kesediaan BAB di jamban
JAWABAN JUMLAH PERSENTASE (%)
Ya 111 100
Tidak 0 0
TOTAL 111 100%
Saat responden ditanyakan ""Bila anda tidak memiliki jamban, apakah anda
bersedia untuk BAB di jamban bila ada?” seluruh responden (100%) menjawab ”Ya”.
Dari jawaban yang diberikan responden, dapat disimpulkan bahwa mereka
bersedia untuk membuang air besar di jamban bila ada, jadi diasumsikan bahwa bila
ada program bantuan untuk membangun jamban di desa mereka, maka akan disambut
secara positif dan mereka akan menggunakan fasilitas tersebut.
Tabel 4.28. Distribusi ketersediaan jamban umum di RW 8, Desa Mekarlaksana
JAWABAN JUMLAH PERSENTASE (%)
Ya 153 91,63
Tidak 14 8,36
TOTAL 167 100%
Saat responden ditanya "Apakah di tempat Anda ada jamban umum?"
didapatkan 153 dari 167 responden (91,63%) menjawab ya, dan 14 responden (8,36%)
menjawab tidak.
41
Tabel 4.29. Distribusi perilaku responden yang bertanggung jawab akan
kebersihan jamban umum
JAWABAN JUMLAH PERSENTASE (%)
Siapa saja 15 9,50
Bergantian sesuai jadwal 115 74,90
Petugas kebersihan 19 12,54
Tidak pernah dibersihkan 4 3,04
TOTAL 153 100%
Saat terhadap responden ditanyakan "Apabila pernah diadakan pembangunan
jamban bersama, siapa yang membersihkannya?" 197 dari 263 responden (74,90%)
menjawab bergantian sesuai jadwal, 33 responden (12,54%) menjawab petugas
kebersihan, 25 responden (9,50%) menjawab siapa saja dan 8 responden (3,04%)
menjawab tidak pernah dibersihkan.
Jamban umum yang sudah ada dibersihkan secara bersama – sama dengan
menggunakan jadwal secara bergiliran. Hal ini menunjukkan kepedulian masyarakat
dan tanggung jawab masyarakat untuk menjaga kebersihan jamban umum tersebut.
42
Tabel 4.30. Distribusi berbagai kendala yang menyebabkan masyarakat tidak
BAB di jamban
JAWABAN JUMLAH PERSENTASE (%)
Tidak ada jamban 47 27,87
Sering tidak ada air di jamban 78 46,68
Jamban tidak terawat 31 18,46
Sudah kebiasaan BAB tidak di jamban 11 6,96
TOTAL 167 100%
Saat responden ditanya "Apa yang menjadi alasan masyarakat di daerah Anda
membuang air besar tidak di jamban?" 78 responden (46,68%) menjawab karena tidak
ada air, 47 responden (27,87%) menjawab karena tidak ada jamban, 31 responden
(18,46%) menjawab karena jamban tidak terawat dan 11 responden (6,96%) menjawab
sudah terbiasa BAB tidak di jamban.
Sebagian besar masyarakat tidak membuang air besar di jamban karena tidak
ada air sehingga mereka malas untuk buang air besar di jamban, karena apabila buang
air besar di jamban tidak disiram maka akan menimbulkan bau & pemandangan tidak
sedap. Sebagian lagi karena mereka tidak mempunyai jamban, sedangkan sisanya
karena masih ada masyarakat yang walaupun sudah memiliki jamban, masih saja
mereka membuang air besar di kolam atau kali, hal ini dikarenakan mereka sudah
terbiasa untuk membuang air besar di kolam atau kali. Apabila mereka harus
membuang air besar di jamban maka mereka harus membersihkannya dan
menyediakan cukup air.
43
Tabel 4.31. Distribusi perilaku rerponden
JAWABAN JUMLAH PERSENTASE (%)
Cukup 69 41,11
Kurang 98 58,88
TOTAL 167 100%
Dari tabel 4.31 diatas, dapat dilihat bahwa setelah dilakukan penelitian, lebih banyak
responden yang di kategorikan mempunyai perilaku yang cukup yaitu sebanyak 69
responden (41,11%) dan 98 responden (58,88%) yang berperilaku kurang. Namun,
apakah faktor perilaku ini berpengaruh terhadap rendahnya penggunaan JAGA di Desa
Mekarlaksana masih harus dikaji lebih lanjut melalui analisis bivariat.
44
Tabel 4.32. Analisis bivariat faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya
kepemilikan JAGA di Desa Mekarlaksana Kecamatan Ciparay Kabupaten
Bandung
Variabel KategoriJAGA
χ2 χ2
tabelDfYa (56) Tidak (111)
N % N %
PengetahuanCukup 37 66,66 51 46,07
113,21 3,841 1Kurang 19 33,33 60 53,92
SikapCukup 45 81,25 93 83,76
94,72 4,841 1Kurang 11 18,75 18 16,23
PerilakuCukup 29 51,04 40 36,12
107,20 5,841 1Kurang 27 48,95 71 63,87
EkonomiCukup 15 28,49 64 57,59
133,03 6,841 1Kurang 41 71,51 47 42,4
1. Dari 88 responden yang termasuk kedalam kategori Pengetahuan Cukup, ternyata
didapatkan 37 responden yang memiliki jamban, dan 51 sisanya, tidak memiliki
jamban. Sedangkan dari 79 responden yang termasuk ke dalam kategori
Pengetahuan Kurang, ternyata didapatkan 19 responden yang memiliki jamban,
dan 60 sisanya, tidak memiliki jamban. Setelah dilakukan uji analisis chi-square,
didapatkan hasil χ2hitung > χ2
tabel (113,21 > 3,841), yang artinya H0 ditolak. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh faktor pengetahuan yang
dihubungkan dengan kepemilikan JAGA di Desa Mekarlaksana.
2. Dari 138 responden yang termasuk ke dalam kategori Sikap Cukup, ternyata
didapatkan 45 responden yang memiliki jamban, dan 93 sisanya tidak memiliki
jamban. Sedangkan dari 29 responden yang termasuk ke dalam kategori Sikap
Kurang, ternyata didapatkan 11 responden yang memiliki jamban, dan 18 sisanya
tidak memiliki jamban. Setelah dilakukan uji analisis chi-square, didapatkan hasil
χ2hitung > χ2
tabel (94,72 > 3,841), yang artinya H0 ditolak. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa ada pengaruh faktor sikap yang dihubungkan dengan
kepemilikan JAGA di Desa Mekarlaksana.
3. Dari 69 responden yang termasuk kedalam kategori Perilaku Cukup, ternyata
didapatkan 29 responden yang memiliki jamban, dan sisanya tidak memiliki
45
jamban. Sedangkan dari 98 responden yang termasuk dalam Perilaku Kurang,
didapatkan 27 yang memiliki jamban, dan sisanya 71 tidak memiliki jamban.
Setelah dilakukan uji analisis chi-square, didapatkan hasil χ2hitung > χ2
tabel (107,20 >
3,841), yang artinya H0 ditolak. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada
pengaruh faktor perilaku yang dihubungkan kepemilikan JAGA di Desa
Mekarlaksana.
4. Dari 79 responden yang termasuk ke dalam kategori Ekonomi Cukup, ternyata
didapatkan 15 responden yang memiliki jamban, dan 64 sisanya tidak memiliki
jamban. Sedangkan pada 88 responden yang termasuk ke dalam kategori Ekonomi
kurang, ternyata didapatkan 41 responden yang memiliki jamban, dan 47 sisanya,
tidak memiliki jamban. Setelah dilakukan uji analisis chi-square, didapatkan hasil
χ2hitung > χ2
tabel (133,03 > 3,841), yang artinya H0 ditolak. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa ada pengaruh faktor ekonomi yang dihubungkan dengan
kepemilikkan JAGA di Desa Mekarlaksana.
46
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap kepala keluarga di Desa
Mekarlaksana, Kecamatan Ciparay, Kabupaten Bandung, wilayah kerja UPTD
Puskesmas Ciparay, maka dapat disimpulkan bahwa :
Terdapat pengaruh faktor ekonomi yang dihubungkan dengan kepemilikan
Jamban Keluarga di Desa Mekarlaksana, Kecamatan Ciparay, Kabupaten
Bandung.
Terdapat pengaruh faktor pengetahuan, sikap, dan perilaku responden yang
dihubungkan dengan kepemilikan Jamban Keluarga di Desa Mekarlaksana,
Kecamatan Ciparay, Kabupaten Bandung.
5.2. Saran
Meningkatkan kualitas penyuluhan terhadap masyarakat, mengenai
pentingnya memiliki JAGA, menggunakan JAGA, serta merawat JAGA.
Pada penyuluhan sebaiknya dijelaskan tentang tempat membuang air besar
yang benar, cara merawat JAGA yang benar. Selain itu perlu dijelaskan
tentang penyakit yang dapat terjadi bila membuang air besar tidak di tempat
yang benar.
Melatih kader untuk mengkoordinir masyarakat untuk dapat menggunakan
JAGA dan merawat JAGA secara benar.
Meningkatkan penyediaan air bersih di pedesaan untuk menunjang
penggunaan jamban keluarga.
Memberikan bantuan di bidang ekonomi untuk pembangunan jamban dan
penyediaan sarana air bersih, misalnya dengan membangun MCK
percontohan.
Meningkatkan kerja sama lintas sektoral dengan instansi terkait, misalnya
Departemen Pekerjaan Umum.
47
DAFTAR PUSTAKA
1. Azwar A, Masalah Air, Dalam : Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan, Penerbit
Mutiara Jakarta 1983, halaman 31.
2. Azwar A, Metodologi Penelitian, PT. Bina Rupa Aksara, Jakarta 1987.
3. Depkes RI, Ditjen PPM & PLP, Pengawasan Kualitas Air Untuk Penyediaan Air
Bersih Pedesaan dan Kota Kecil, Jakarta 1995.
4. Depkes RI, Pedoman Kerja Puskesmas III, tahun 1991/1992.
5. Entjang, I dr. Ilmu Kesehatan Masyarakat, PT. Citra Aditya Bakti Bandung 1993,
cetakan ke-x1, halaman 74-119.
6. Kusnoputranto, 1995. Kesehatan Lingkungan FKM UI Jakarta.
7. L. Ratna Budiarso, dkk, Prosiding Seminar Survai Kesehatan Rumah Tangga 1986,
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Pusat Penelitian Ekologi
Kesehatan Jakarta Pusat.
8. Proyek Peningkatan Pelayanan Kesehatan Masyarakat Propinsi Jawa Barat, Form :
Stratifikasi Puskesmas tahun 1996/1997 Depkes RI, Pedoman Kerja Puskesmas III,
tahun 1991/1992.
9. Laporan Tahunan Puskesmas UPTD Sagalaherang, 2005.
10. Susenas Kesehatan Lingkungan 2001.http://digilib.litbang.depkes.go.id
11. Profil Air dan Sanitasi PPM-PL 2004. http://depkes.go.id
48