Ringkasan Disertasi
PENGEMBANGAN AGROWISATA BERKELANJUTAN BERBASIS KOMUNITAS
DI KOTA BATU, JAWA TIMUR
Oleh
Sri Endah Nurhidayati 05/1673/PS
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA 2012
INTISARI
Community Based Tourism (CBT) atau pariwisata berbasis komunitas/masyarakat merupakan strategi pembangunan yang menggunakan pariwisata sebagai alat untuk memperkuat komunitas lokal.
Penelitian ini bertujuan sebagai berikut mengaji penerapan prinsip-prinsip Community Based Tourism (CBT) dalam pengembangan agrowisata di Kota Batu dan mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi penerapan prinsip CBT
Penelitian ini menggunakan kombinasi pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Lokasi penelitian ditetapkan secara purposive di Kota Batu, Jawa Timur. Unit analisis penelitian ini dua spektrum individu dan institusi (kelembagaan). Pengumpulan data primer dengan wawancara, wawancara mendalam, dan observasi. Data sekunder dikumpulkan dari data yang terdapat di stakeholder terkait (SKPD dan Pemerintah kecamatan/Desa). Analisis data dalam penelitian adalah analisis kuantitatif (statistik) dan kualitatif (analisis konten dan interaktif). Penerapan prinsip ekonomi CBT dalam pengembangan agrowisata berkaitan dengan terciptanya pekerjaan yang menyerap tenaga kerja lokal, pengembangan usaha sektor pariwisata, dan peningkatan pendapatan komunitas yang berasal dari belanja wisata. Penerapan prinsip sosial CBT dalam pengembangan agrowisata ditandai dengan peningkatan kualitas hidup masyarakat dapat diukur dari persepsi komunitas tentang pengembangan agrowisata yang merefleksikan peningkatan kualitas hidup, kepuasan komunitas, serta keterlibatan individu dan organisasi/kelembagaan setempat. Pengembangan agrowisata berdampak pada perubahan nilai sosial tentang tamu, nilai menyambut tamu, perlakuan terhadap tamu, dan filosofi tentang penerimaan tamu. Dari aspek gender agrowisata menghasilkan segregasi kerja sektor pariwisata, pelabelan (stereotype) dan beban kerja ganda pada perempuan. Penerapan prinsip budaya CBT mengindikasi pengembangan agrowisata tidak menguatkan seluruh aspek sosial kapital. Interaksi wisatawan dan komunitas menghasilkan kontak dan pertukaran nilai budaya, menghasilkan pengetahuan baru bagi komunitas dan penerimaan simbol modernitas dari luar komunitas. Penerapan prinsip politik CBT dalam pengembangan agrowisata menunjukkan adanya penguatan peran dan fungsi kelembagaan lokal serta peningkatan kekuasaan oleh komunitas. Penerapan prinsip lingkungan CBT berkaitan dengan berkembangnya konsep daya dukung komunitas. Faktor yang memengaruhi penerapan prinsip ekonomi CBT adalah struktur perekonomian Kota Batu, dan peran pemerintah Faktor yang memengaruhi penerapan prinsip sosial adalah status kekhususan Kota Batu, kekayaan sumber daya alam, dan kekuatan budaya setempat. Faktor yang memengaruhi penerapan prinsip budaya adalah berkembangnya budaya multikultur, keterbukaan terhadap informasi, dan etos kerja lokal. Faktor-faktor yang memengaruhi penerapan prinsip lingkungan CBT adalah kondisi lingkungan global dan kearifan lokal komunitas. Kata kunci: pariwisata berbasis komunitas, agrowisata, partisipasi, komunitas.
1
BAB I : PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pariwisata merupakan industri yang banyak dikembangkan oleh negara
berkembang. Pengembangan pariwisata di suatu negara terkait dengan dampak
positif dan dampak negatif yang timbul. Pariwisata berdampak positif, antara lain
menghasilkan perluasan kesempatan kerja/usaha, meningkatkan pendapatan
masyarakat, dan perolehan devisa Sedangkan dampak negatif pariwisata antara
lain komersialisasi budaya, kebocoran devisa, kerusakan lingkungan, pergeseran
sistem nilai, norma, dan pranata sosial, serta terjadinya bentuk-bentuk penjajahan
baru (new imperialism) yang timbul di destinasi wisata.
Menurut laporan Bank Dunia (1996) angka kebocoran devisa industri
pariwisata di negara yang sedang berkembang mencapai 55% - 60%. Penyebab
kebocoran devisa antara lain (1) investasi asing di bidang perhotelan dan sektor
lainnya di industri pariwisata, (2) management fees, (3) franchise fees, (4) bantuan
teknologi, (5) barang impor, dan (6) biaya promosi ke seluruh dunia (Mathieson dan
Wall, 1990).
Dalam upaya meminimalisasi berbagai dampak negatif dan mengoptimalkan
dampak positif pariwisata lahirlah pemikiran untuk mengembangkan pariwisata yang
lebih berpihak pada masyarakat di sekitar objek wisata, yang kemudian dikenal
dengan istilah Community Based Tourism (CBT) atau pariwisata berbasis
komunitas/masyarakat. Di Indonesia, penerapan CBT tercantum dalam Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, pada Bab III pasal 5 yaitu
Prinsip Penyelenggaraan Kepariwisataan adalah memberdayakan masyarakat
setempat. Dengan demikian, Undang-Undang telah mengamanatkan bahwa
pengembangan pariwisata Indonesia harus mempertimbangkan kepentingan
masyarakat setempat (lokal). Terbitnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009
memberikan perubahan penting dalam hal pendekatan pembangunan pariwisata
menjadi berbasis masyarakat.
Pariwisata berbasis masyarakat (CBT) terkait erat dengan pembangunan
pariwisata berkelanjutan. Beberapa ahli pariwisata seperti Murphy (1985:39) dan
Woodley (1993:137) menegaskan bahwa pendekatan pembangunan yang berbasis
masyarakat (CBT) merupakan syarat menuju keberlanjutan pariwisata. Inskeep
2
(1994:8) berpendapat bahwa pembangunan pariwisata berkelanjutan menekankan
pada aspek komunitas (pariwisata berbasis komunitas). Suansri (2003:22)
menggarisbawahi bahwa CBT merupakan wujud terlaksananya pariwisata yang
berkelanjutan.
Pariwisata berbasis komunitas (CBT) memiliki berbagai kelebihan, baik dari
aspek pengembangan masyarakat maupun industri pariwisata. Namun, penerapkan
model CBT sangat tergantung pada karakteristik dan kondisi masyarakat/komunitas
di destinasi wisata sehingga model pelaksanaan CBT di wilayah satu dengan lainnya
bisa berbeda. Oleh karena itu, studi yang berkaitan dengan penerapan CBT
dibutuhkan sebagai bagian dari strategi mewujudkan model CBT yang didasari oleh
kerangka pemikiran akademik dan lebih aplikatif.
1.2 Permasalahan Penelitian
Agrowisata merupakan bentuk wisata yang lebih menguntungkan dan
melibatkan masyarakat sebagai pelaku langsung pariwisata. Pengembangan
agrowisata dianggap mencerminkan prinsip-prinsip penerapan CBT. Untuk itu, perlu
diteliti apakah pengembangan agrowisata memang mengacu pada prinsip-prinsip
pengembangan pariwisata yang berbasis komunitas (CBT).
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. (1) Bagaimana
penerapan prinsip-prinsip Community Based Tourism (CBT) dalam pengembangan
agrowisata di Kota Batu ? (2) Faktor-faktor apakah yang memengaruhi penerapan
prinsip-prinsip Community Based Tourism (CBT) di Kota Batu .
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini ingin mencapai beberapa tujuan berikut.
1. Mengkaji prinsip-prinsip Community Based Tourism (CBT) yang diterapkan
di Kota Batu dalam pengembangan agrowisata.
2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi penerapan prinsip-prinsip
Community Based Tourism (CBT) di Kota Batu.
3. Merumuskan model pengembangan agrowisata yang berkelanjutan dengan
mengacu pada prinsin-prinsip Community Based Tourism (CBT).
3
Secara teoretis penelitian ini tidak hanya menghasilkan temuan tentang
penerapan prinsip-prinsip CBT di agrowisata, namun juga menemukan indikator-
indikator baru berkenaan dengan penerapan prinsip CBT sebagai kritik atas prinsip
CBT yang digunakan selama ini. Dengan demikian, temuan tersebut merupakan
bagian penting dari pengembangan teori-teori pembangunan pariwisata dengan
menggunakan pendekatan kombinasi Adaptacy Platform dan Knowledge-Base
Platform.
Dari hasil analisis teoritis dapat disusun model normatif agrowisata
berkelanjutan dengan mengacu pada prinsin-prinsip Community Based Tourism
(CBT) sebagai acuan bagi pemangku kepentingan industri pariwisata.
BAB II: KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI
Jafari (Gartner, 1996: 23--27) menganalisis empat pendekatan yang
mendasari pembangunan pariwisata (tourism platform) yaitu pendekatan advocacy
(advocacy platform), cautionary (cautionary platform), Adaptacy platform, dan
knowledge-base platform. Advocacy platform menekankan pada dampak ekonomi
pariwisata sebagai dasar pijakan. Pendekatan cautionary merupakan kritik dari
pendekatan advocacy menyoroti berbagai dampak negative yang dihasilkan industry
pariwisata. Pariwisata tidak selalu baik atau jelek, tergantung pada respons
masyarakat lokal terhadap kebutuhannya. Menurut pendekatan ini pembangunan
pariwisata harus terfokus pada masyarakat, agar dapat memberikan dampak yang adil
pada masyarakat setempat, melindungi atau meningkatkan budaya dan lingkungan di
daerah tujuan wisata dan meningkatkan pertukaran sosial antara tuan rumah dan
tamu. Spillane (1994: 28) menguatkan dengan argumentasi bahwa pengaruh negatif
pariwisata bisa dikontrol dengan mencari bentuk lain pengembangan wisata (bentuk-
bentuk wisata alternatif). Pengembangannya disesuaikan dengan kondisi masyarakat
setempat. Knowledge-base platform adalah pendekatan yang menekankan pentingnya
pendekatan pariwisata secara holistic. Pendekatan pembangunan pariwisata harus
menggunakan model yang multidisiplin atau pendekatan yang interdisiplin.
Berbagai dampak negatif yang timbul dalam pengembangan pariwisata yang
menggunakan pendekatan advocacy dan cautionary. Untuk mengantisipasi hal
tersebut, mulai dikembangkan wacana pembangunan pariwisata dengan menggunakan
pendekatan adaptacy, indikator yang digunakan untuk mengukur keberhasilan
pembangunan pariwisata lebih bersifat mikro menekankan pada bentuk pariwisata
4
yang lebih tertata, berkesinambungan dan menguntungkan masyarakat lokal.
Pendekatan adaptacy yang lebih menempatkan pembangunan pariwisata sebagai
instrument untuk mencapai kesejahteraan masyarakat atau pendekatan bentuk
pariwisata berbasis masyarakat mendapat rekomendasi banyak ahli (Murphy, 1985;
Mill dan Morison,1985, Pearce et al. , 1998, Sandmeyer, 2005; Beeton, 2006).
Secara konseptual CBT diartikan sebagai pendekatan alternative (Patin dan
Francis, 2005) atau mainstream (AIPES-RISPO, 2006) yang menekankan pada
partisipasi/keterlibatan komunitas (Housler, 2005; Mann, 2000) s serta merupakan
alat pemberdayaan ekonomi komunitas (Patin dan Francis, 2005). CBT juga
berkaitan erat dengan pariwisata berkelanjutan yaitu sebagai syarat pengembangan
pariwisata berkelanjutan (Murphy, 1985; Woodley, 1993), alat mencapai pariwisata
berkelanjutan (Asker, 2010) dan sebagai wujud pariwisata berkelanjutan (Suansri,
2003).
Penerapan CBT mensyaratkan terpenuhinya beberapa prinsip yang dapat
ditampilkan rinkas sebagai berikut.
Tabel 2.1 Prinsip CBT menurut Para Ahli
NO NAMA PRINSIP INDIKATOR 1 UNEP dan
WTO Sosial Mengikutsertakan anggota komunitas dalam memulai setiap
aspek. Mengembangkan kebanggaan komunitas. Mengembangkan kualitas hidup komunitas.
Ekonomi Mengakui, mendukung dan mengembangkan kepemilikan komunitas dalam industri pariwisata. Mendistribusikan keuntungan secara adil kepada anggota komunitas .
Budaya Mempertahankan keunikan karakter dan budaya di area lokal . Membantu berkembangnya pembelajaran tentang pertukaran budaya pada komunitas. Menghargai perbedaan budaya dan martabat manusia.
Lingkungan Menjamin keberlanjutan lingkungan. Politik Berperan dalam menentukan persentase pendapatan
(pendistribusian pendapatan). 2 Hatton Sosial Sebagian besar kegiatan pariwisata dibangun dan
dioperasikan, didukung, dan diizinkan oleh komunitas lokal. Ekonomi Pembagian keuntungan dapat dipertanggungjawabkan. Budaya Menghargai budaya lokal, heritage , dan tradisi. Politik Peranan pemerintah lokal dan regional.
3 SNV Ekonomi Ekonomi yang berkelanjutan. Lingkungan Keberlanjutan ekologi. Politik Kelembagaan yang bersatu. Sosial Keadilan pada distribusi biaya dan keuntungan pada seluruh
komunitas. 4
Suansri
Ekonomi Terciptanya lapangan pekerjaan sektor pariwisata . Timbulnya pendapatan masyarakat lokal. Timbulnya dana komunitas.
5
Sosial Peningkatan kualitas hidup. Peningkatan kebanggaan komunitas. Pembagian peran yang adil (gender, usia). Mekanisme penguatan organisasi komunitas.
Budaya Mendorong masyarakat menghormati budaya lain. Mendorong pertukaran budaya. Budaya pembangunan.
Politik Peningkatan partisipasi penduduk lokal. Peningkatan kekuasaan komunitas yang lebih luas. Mekanisme yang menjamin hak masyarakat lokal dalam pengelolaan SDA.
Lingkungan Pengembangan carrying capacity. Sistem pembuangan sampah yang ramah lingkungan. Kepedulian pada konservasi.
Sumber: Hatton (1999); Suansri (2003) ; Yaman dan Mohd (2004); SNV (2005), dan UNEP dan WTO (2005),
Salah satu manfaat yang digarapkan dari pengembangan pariwisata di negara
berkembang adalah penciptaan lapangan pekerjaan dan penyerapan tenaga kerja
(Gray,1974:395; McCloy, 1975:49; Mathieson dan Walls, 1982:43;). Peluang kerja
yang timbul dari industri pariwisata menurut Janata (dalam Warpani: 1997: 88) dapat
dibagi menjadi dua kelompok yaitu sektor dinamik dan sektor static. Partisipasi
ekonomi komunitas dalam dunia usaha pariwisata baik di hulu maupun di hilir
menurut Nickerson (2001: 24) berkaitan dengan motivasinya. Untuk meningkatkan
motif dan selanjutnya dapat mendorong partisipasi ekonomi, komunitas harus
mendapat dukungan dan bantuan untuk mengembangkan kewirausahaan dari luar
yaitu pemerintah/NGO/lembaga donor lainnya (Getz dan Page, 1997:196).
Aspek ekonomi pariwisata tidak lepas dari pengeluaran wisata (tourist
expenditure) yaitu uang yang dibelanjakan wisatawan di daerah tujuan wisata (DTW)
untuk memenuhi bermacam-macam kebutuhan selama berkunjung di suatu
negara/daerah tujuan wisata. Uang yang dibelanjakan wisatawan dalam ekonomi
pariwisata disebut sebagai uang baru (new money) yang berdampak positif terhadap
perekonomian negara/daerah yang dikunjungi (Oka, 2008:187). Perhitungan
pengeluaran wisata penting untuk menunjukkan secara nyata nilai pariwisata bagi
suatu daerah. Hal itu juga penting untuk menggambarkan dampak spesifik pariwisata
bagi ekonomi lokal seperti rumah tangga, usaha masyarakat lokal, perekonomian
daerah dan sebagainya, serta sebagai dasar merencanakan fasilitas atau atraksi wisata
baru, menggambarkan dampak pariwisata terhadap penerimaan ekonomi seperti
gaji/upah, pekerjaan, dan yang lebih (Goldman, 1994: 1).
6
Penerapan prinsip social berkaitan erat dengan adanya interaksi tuan rumah
dan tamu/wisatawan. hubungan antara tuan rumah (masyarakat lokal) dengan
pengujung/wisatawan di daerah tujuan wisata sangat tergantung pada durasi waktu,
intensitas, dan sifat kunjungan. Kedalaman hubungan inilah yang menentukan
dampak atau manfaat yang dapat diterima masyarakat di daerah destinasi wisata
(Murphy, 1985:117).
Page dan Hall (1999:122) merangkum dampak sosial-budaya pariwisata,
sebagai berikut. Pengembangan pariwisata membawa dampak positif pada aspek
sosial budaya antara lain: meningkatnya partsisipasi serta minat komunitas terhadap
kegiatan bersama dan menguatkan nilai tradisi setempat. Sedangkan dampak negatif
yang timbul, adalah komersialisasi aktivitas individu, modifikasi kegiatan dan
aktivitas sesuai dengan tuntutan pariwisata, peningkatan angka kejahatan, perubahan
struktur komunitas, dan kerusakan sosial. Mathiason dan Wall (1982:143) mencatat
dampak sosial-budaya yang secara umum timbul dari pengembangan pariwisata
adalah efek demontrasi (demonstration effect).
Prinsip politik CBT terkait erat dengan partisipasi komunitas lokal,
peningkatan kekuasaan komunitas, dan mekanisme yang menjamin hak komunitas
dalam mengelola sumberdaya alam (Timothy, 1999; Yaman dan Mohd, 2004).
Penerapan prinsip lingkungan antara lain dapat diukur dari penerapan daya
dukung lingkungan yaitu kemampuan sumber daya rekreasi untuk mempertahankan
fungsi dan kualitasnya guna memberikan pengalaman rekreasi yang diinginkan
(Clawson dan Knetsch, 1996:113).
BAB III: METODOLOGI DAN LOKASI PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan gabungan kuantitatif dan kualitatif.
Terminologi penelitian gabungan menurut istilah Burgess disebut “strategi penelitian
ganda”, atau menurut Denzin adalah triangulasi (dalam Brannen, 2005: 20).
Lokasi penelitian ditetapkan secara purposive di Kota Batu, Jawa Timur.
Ada beberapa alasan dipilihnya lokasi penelitian yaitu (1) Kota Batu merupakan salah
satu ikon agrowisata di Jawa Timur ; (2) Di Kota Batu terdapat pengembangan
agrowisata yang bervariatif terutama dari aspek pengelolaan, dan (3) Kebijakan
pemerintah Kota Batu mengembangkan diri sebagai kota tujuan wisata berbasis
masyarakat.
7
Unit analisis penelitian ini mencakup dua spektrum: (1) individu yang terdiri
dari individu anggota komunitas di destinasi wisata agrowisata, petani yang
mengembangkan agrowisata dan wisatawan yang melakukan aktivitas agrowisata;
dan (2) institusi (kelembagaan).
Pengumpulan data primer dilakukan dengan nterview/wawancara terstruktur
dengan menggunakan questionaires, wawancara mendalam (in-depth interview)
dengan menggunakan perangkat pedoman wawancara (guide interview), dan
observasi. Pengumpulan data sekunder dilakukan melalaui SKPD terkait, Data profil
Kecamatan/Desa dan data sekunder dan berbagai usaha pariwisata.
Untuk mengolah data primer yang bersifat kuantitatif digunakan program
SPSS yang secara statistik akan membantu melakukan uji korelasi dan regresi. Data
empiris yang bersifat kualitatif (hasil observasi, hasil wawancara mendalam, dan
dokumen/data sekunder) akan diolah dengan mengetik transkrip wawancara,
menyusun catatan lapangan dari pengamatan, melakukan pengelompokan, dan
pengorganisasian data lapangan.
Secara umum analisis data dalam penelitian ini dapat dibagi menjadi 2
analisis kuantitatif (statistik) dan kualitatif (analisis konten dan interaktif). Analisis
statistik yang digunakan adalah analisis korelasi, korelasi parsial dan analisis regresi.
BAB IV: HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Penerapan prinsip-prinsip Community Based Tourism (CBT) dalam
pengembangan agrowisata di Kota Batu
4.1.1 Prinsip Ekonomi
Industri pariwisata di Kota Batu menunjukkan perkembangan cukup pesat jika
dilihat dari tumbuhnya usaha produktif sektor pariwisata yang mampu menyerap
tenaga kerja. Pada umumnya tenaga kerja lokal terserap ke pekerjaan bagian teknis,
berada di jabatan staf, dan kurang memerlukan keterampilan khusus atau jika
menuntut berketrampilan, keterampilan itu bisa dipelajari secara otodidak. Pekerjaan
di industri pariwisata di Kota Batu secara kuantitatif besar, namun secara kualitatif
kurang menjanjikan. Tingkat karir cenderung tetap dan mereka rentan diPHK-kan.
Ada perbedaan penyerapan tenaga kerja lokal dari setiap usaha atau jenis
industri. Pada usaha agrowisata, rumah makan, hotel melati, vila, industri kerajinan,
travel agen, dan toko oleh-oleh penyerapan tenaga kerja dari komunitas lokal cukup
8
tinggi. Namun, di hotel berbintang lebih rendah daripada hotel non-bintang.
Penyerapan tenaga kerja lokal dipengaruhi kepemilikan usaha,
Hasil wawancara dengan responden menunjukkan bahwa sebanyak 72,7%
responden memiliki usaha mandiri di sektor pariwisata dan hanya sebanyak 27,3%
responden tidak memiliki usaha mandiri. usaha pariwisata memberikan peluang yang
lebih besar kepada komunitas lokal untuk mengembangkan usaha ekonomi mandiri di
sektor pariwisata meskipun mereka berlatar belakang ketrampilan rendah, bertingkat
pendidikan sedang, tidak memiliki latar belakang keluarga wirausahawan.
Kewirausahaan itu dapat dijalaninya dengan cara otodidak.
Dari hasil analisis jenis dan besar pengeluaran wisata diperoleh gambaran
pola belanja wisata dan besaran pendapatan komunitas. Dari perhitungan diperoleh
angka pengeluaran wisata per kelompok/grup adalah Rp 2.200.367,00 dengan rerata
jumlah kelompok adalah 9 orang. Dengan demikian, rerata pengeluaran wisata per
orang sebesar Rp 245.942,00. Rata-rata pengeluaran wisata untuk agrowisata (tiket
masuk dan pembelian apel di lokasi agrowisata) sebesar Rp 35.372,00 per orang atau
setara dengan satu tiket masuk (Rp 20.000,00) dan 1,5 kg apel. Rata-rata pendapatan
yang diperoleh komunitas dari belanja wisata adalah Rp 553.425,00 per kelompok
atau rata-rata komunitas memperoleh pendapatan Rp 61.858,00 dari setiap wisatawan
yang datang.
Di Kota Batu konsep tentang dana komunitas tidak ditemukan di lapangan.
Pada saat ditanyakan kepada wisatawan, apakah mereka bersedia menyumbang untuk
pengembangan masyarakat di destinasi wisata, semua responden menjawab tidak
menyumbang.
4.1.2 Prinsip Sosial
Pengembangan pariwisata berbasis masyarakat (CBT) berdasar prinsip sosial
harus memberikan peningkatan kualitas hidup (quality of life/QoL)komunitas. Salah
satu pengukuran QoL disampaikan oleh Allen, Long, Perdue, dan Keiselbach
(Andereck dan Nyaupane, 2011:95) yaitu persepsi penduduk tentang pengaruh
pengembangan pariwisata terhadap dimensi kehidupan komunitas dan keterlibatan
komunitas dalam pengembangan pariwisata.
Persepsi individu menunjukkan mayoritas (83,6%) responden persetujuan
tentang pengembangan agrowisata, 88,4% responden setuju dengan kedatangan
wisatawan, 79% menganggap pengembangan agrowisata berdampak terhadap
9
kesejahteraan masyarakat, hanya 40,9% responden yang menyatakan jika
pengembangan agrowisata menyerap tenaga kerja, 34% menyatakan jika agrowisata
dapat mendorong timbulnya usaha lokal, 54,8% responden menyatakan jika
agrowisata berpeluang untuk dijadikan pekerjaan tetap, 63,4% responden menyatakan
jika agrowisata mendorong peran organisasi lokal, sebanyak 59,6% menyatakan
partisipasi individu dalam agrowisata, 57,8% menganggap agrowisata berperan dalam
mendukung budaya dan seni lokal, dan 62,1% menyatakan jika pengembangan
agrowisata dapat meningkatan keamanan setempat. Persepsi individu tentang
pengembangan agrowisata terkait dengan keuntungan ekonomi yang diperolehnya,
yaitu (1) peningkatan kesejahteraan, (2) penyerapan tenaga kerja, dan (3) pendorong
tumbuhnya usaha mandiri.
Pengembangan agrowisata juga menumbuhkan rasa bangga seseorang sebagai
warga Kota Batu, yang diungkapkan oelh sebanyak 83,6% responden. Alasannya
adalah kedatangan wisatawan menunjukkan bahwa Kota Batu merupakan wilayah
yang memiliki kelebihan.
Pengembangan agrowisata menghasilkan pembagian kerja gender yaitu
perbedaan peran laki-laki dan perempuan dalam usaha pariwisata, pelabelan
berkaitan dengan kesesuaian antara karakteristik laki-laki dan peremuan denga
pekerjaan bidang pariwisata, dan menghasilkan beban kerja ganda pada perempuan.
4.1.3 Prinsip Budaya
Wisatawan ketika beraktivitas pariwisata memiliki kebutuhan hidup yang harus
dipenuhi di destinasi wisata. Dalam rangka pemenuhan kebutuhan wisatawan selama
berada di destinasi wisata tersebut, terjadi interaksi wisatawan dengan penduduk
setempat yang memproduksi barang dan jasa yang dibutuhkan. Dalam proses
interaksi yang saling menguntungkan tersebut terjadi komunikasi antara wisatawan
dan komunitas lokal, yang masing-masing akan saling bertukar informasi. Proses
pertukaran informasi antamereka berefek pada pertukaran budaya berupa ide/gagasan,
aktivitas, dan benda.
Mayoritas (59,3%) wisatawan berasal dari daerah-daerah di sekitar Jawa Timur
(Surabaya, Gresik, Sidoarjo, Tuban, Lamongan, Madura, dan Banyuwangi). Sebanyak
20% wisatawan berasal dari sekitar Malang Raya yaitu Pasuruhan dan
Kabupaten/Kota Malang dan sebanyak 12% responden lainnya berasal dari sekitar
Jawa-Bali (Yogyakarta, Magelang, Jakarta, Bandung, dan Bali). Sementara itu
10
sebanyak 8,7% responden datang dari luar Jawa (Samarinda, Makasar dan Riau).
Interaksi budaya yang terjadi kompleks karena melibatkan budaya dan sub-budaya
yang beragam dengan sistem nilai, adat-istiadat, dan budaya fisik yang melekat pada
masing-masing.
Interaksi mereka pengetahuan baru bagi wisatawan, misalnya tentang cara
hidup petani yang berbeda dengannya. Pengetahuan tentang teknologi bertani
setempat, cara membudidayakan tanaman apel, dan lain-lain merupakan bagian dari
kearifan lokal masyarakat Batu. Kearifan lokal ini diadopsi wisatawan meningkatkan
kemampuan kognitifnya. Akibatnya wisatawan dapat berbagi pengetahuan yang sama
dengan orang lain pada lain kesempatan. Wisatawan juga mendapat pembelajaran dari
komunitas berupa pandangan hidup masyarakat petani yang sederhana, tidak bersikap
hidup ngoyo, pasrah, banyak merasa bersyukur. Aspek lain yang dipertukarkan saat
terjadi interaksi wisatawan-komunitas berkaitan dengan penggunaan bahasa termasuk
istilah, dialek, tempo dan nada suara yang digunakan saat berkomunikasi. Pertukaran
unsur budaya fisik atau artefak antara lain adanya perubahan cara menggunakan,
memilih model berpakaian, memilih penampilan wajah/rambut masyarakat lokal
khususnya generasi muda mengikuti gaya/cara/model wisatawan yang dianggap lebih
up to date namun kurang memperhitungkan kondisi setempat atau kurang didukung
budaya setempat. Dengan melihat barang yang dikenakan wisatawan anggota
komunitas local terdorong untuk mengikuti/ mencontoh gaya dan penampilan
wisatawan (demontration effeck) misalnya menggunakan pakaian ketat, pakaian
mini, celana pendek atau celana jeans yang sengaja diberi robekan yang bukan
merupakan kebiasaan masyarakat setempat.
4.1.4 Prinsip Politik
Aspek politik berkaitan erat dengan akses, kontrol, dan partisipasi
masyarakat dalam pengembangan agrowisata. Melalui akse-akses itu, masyarakat
berkesempatan terlibat sehingga berandil pula dalam proses pengambilan keputusan
yang terkait dengan pengembangan agrowisata.
Partisipasi politik berorganisasi lokal cukup tinggi. keikutsertaan masyarakat
dalam organisasi setempat/lokal mencapai 65,4% dan sisanya tidak ikut serta dalam
organisasi setempat, yang benar-benar aktif dalam organisasi hanya berkisar 36,4%
saja Hal ini menggambarkan : (1) adanya kesadaran atas kepentingan bersama yang
harus dikelola bersama, (2) adanya kesadaran atas pentingnya aspek kelembagaan
11
untuk mencapai tujuan bersama yaitu pengembangan agrowisata, dan (3) adanya
kesadaran atas hak masyarakat dalam pengambilan keputusan.
Kekuasaan komunitas berkaitan erat dengan proses pengambilan keputusan di
desa terkait dengan stratifikasi sosial anggotanya. Di Kota Batu struktur masyarakat
dapat dibedakan menjadi dua, yaitu struktur formal dan informal. Struktur formal
adalah pelapisan masyarakat berdasar kekuasaan formal dalam pemerintahan.
Struktur informal adalah pelapisan masyarakat berdasar penguasaan sumber daya
(khususnya sumber daya lahan). Di tingkat desa, kepala desa/lurah merupakan
pemegang kekuasaan tertinggi secara formal. Selain itu, kepala dusun dan perangkat
desa juga memiliki kekuasaan tersendiri dalam masyarakat. Selain melayani
masyarakat, kepala desa dan perangkat desa merupakan pusat informasi bagi anggota
masyarakat. Struktur masyarakat informal terkait dengan kepemilikan sumber daya
lahan pertanian. Kebanyakan tokoh masyarakat dari Kota Batu adalah petani pemilik
lahan seluas 1 hektar. Selain kepemilikan, penentu lain adalah profesi dan tingkat
pendidikan, seperti guru dan kiai.
Terdapat empat jenis pengelolaan agrowisata yang memiliki perbedaan
karakteristik dan sistem pengambilan keputusan di dalamnya, sebagai berikut. (1)
Pengelolaan oleh wadah khusus di tingkat des, contoh di Desa Bumiaji,
pengelolaan agrowisata berada di bawah Wisata Bukit Apel (WBA).(2) Pengelolaan
agrowisata melalui kelompok tani. Contoh, di Desa Tulungrejo pengelolaan
agrowisata berada di bawah Kelompok Tani Makmur Abadi. (3) Pengelolaan
agrowisata oleh perusahaan swasta (PT). (4) Pengelolaan agrowisata oleh petani
secara individual yang biasanya ada dihampir semua desa yang dikembangkan
sebagai lahan agrowisata.
Model pengelolaan berkaitan dengan proses pengambilan keputusan dalam
pengembangan agrowisata dimulai dengan merencanakan, memasarkan, mengelola,
dan membagi keuntungan. Dalam proses pengambilan keputusan tersebut terdapat
pola kekuasaan yang berbeda dari tiap model pengelolaan agrowisata. Pengelolaan
dalam wadah khusus yang bersifat komunal (WBA dan Kelompok Tani) memberikan
kekuasaan penuh pada komunitas dalam mengambil keputusan. Pada model
pengelolaan oleh perusahaan swasta kekuasaan berada pada pemilik modal atau
sekelompok individu yang tidak berkaitan dengan komunitas. Model pengelolaan
individo memberikan kekuasaan pada petani. Pengelolaan agrowisata oleh WBA atau
12
kelompok tani ideal dalam memberikan kekuasaan kepada komunitas, dibandingkan
dengan model pengelolaan oleh swasta dan individu.
4.1.5 Prinsip Lingkungan
Secara teoretis daya dukung lingkungan di agrowisata ialah jumlah maksimal
wisatawan agrowisata masih bisa ditoleransi sebanyak 84.000 orang per tahun dengan
asumsi bahwa wisatawan di agrowisata rata-rata membutuhkan space range seluas 25
m2 per orang. Saat ini rata-rata jumlah wisatawan yang datang ke agrowisata masih
jauh dari batas toleransi, yaitu rata-rata 500 orang per bulan dan pada liburan panjang
mencapai 1.000 orang.
Berkaitan dengan penetapan daya dukung, komunitas lokal mengembangkan
perhitungan sendiri. Tterdapat ada tiga cara penetapan jumlah maksimal wisatawan
agrowisata yang masih bisa ditoleransi yang dikembangkan oleh masyarakat di
agrowisata Kota Batu, yaitu (1) berdasar kapasitas pohon, (2) berdasar kapasitas
lahan, dan (3) berdasar minat pasar. Cara pertama, penetapan batas maksimal atau
jumlah wisatawan yang ditoleransi berdasar kapasitas pohon berkaitan dengan
kepuasan wisatawan. Rata-rata setiap pohon apel yang berbuah lebat dapat dipetik
oleh 2—5 orang wisatawan. Jika lebih dari angka tersebut, wisatawan tidak merasa
puas ketika memetik apel ataupun menikmatinya di lahan. Dalam keadaan normal,
seorang wisatawan dapat memetik 2–6 butir apel untuk dikonsumsi di lahan. Namun,
jika wisatawan bermaksud memetik apel untuk dibawa pulang, sebatang pohon cukup
untuk dipetik dua wisatawan saja, dengan rata-rata hasil petik yang bisa dibawa
pulang tersebut 3 - 4 kilogram per orang.
4.2 Faktor-faktor yang memengaruhi penerapan prinsip-prinsip Community
Based Tourism (CBT) di Kota Batu.
Penyerapan tenaga kerja komunitas yang cukup tinggi dipengaruhi oleh
faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari
luar komunitas, yaitu struktur perekonomian Kota Batu dan kebijakan pemerintah.
Faktor internal adalah faktor-faktor yang yang berasal dalam komunitas, yaitu
karakteristik tenaga kerja komunitas.
13
Struktur perekonomian Kota Batu memiliki karakter mayoritas berskala kecil
dan menengah. Beberapa karakter industri kecil di Kota Batu adalah : (1)
Manajemen usaha bersifat informal, (2) kepemilikan usaha oleh individu anggota
komunitas, dan (3) lokasi usaha yang berdekatan dengan tempat tinggal pemilik dan
tenaga kerja.
Hasil uji korelasi menunjukkan variabel pendidikan (x) berpengaruh terhadap
variabel partisipasi sebagai tenaga kerja sektor pariwisata (y). Faktor lain yang
memengaruhi terciptanya lapangan pekerjaan sektor pariwisata di Kota Batu adalah
struktur perekonomian Kota Batu dan peran pemerintah melalui
kebijakan/program/kegiatan kepariwisataan. Struktur perekonomian Kota Batu lebih
menumbuhkan usaha berskala kecil dan menengah dengan pola seleksi tenaga kerja
menguntungkan tenaga kerja komunitas.
Dari hasil uji korelasi diperoleh kesimpulan tingkat pendidikan (X1) dan
motivasi usaha(X2) memengaruhi kepemilikan usaha pariwisata (Y). Kepemilikan
usaha menghasilkan pola kerja berbasis kedekatan hubungan, kerja dekat sehingga
turn over tenaga kerja rendah, dan persaingan usaha tidak sehat. Motivasi usaha
sebagai pintu masuk pengembangan usaha mandiri pariwisata berciri khas yaitu
didukung mekanisme pembelajaran usaha oleh komunitas.
Dari hasil uji regresi dapat disimpulkan bahwa pendapatan wisata adalah
hasil kontribusi dari pengeluaran wisata dan pengeluaran agrowisata yang membentuk
persamaan linier Y = 46298,469 + 0,475 x1 + 0,547 x2 dimana x1 adalah variabel
pengeluaran agrowisata dan x2 adalah variabel pengeluaran wisata. Model regresi ini
dapat dipakai untuk memprediksi pendapatan masyarakat.
Besarnya pendapatan yang diperoleh komunitas tidak hanya tergantung pada
besar pendapatan, tetapi juga berkaitan dengan faktor-faktor yang dapat memengaruhi
pendapatan mereka yaitu pola penggunaan produk lokal dalam industri pariwisata,
kecenderungan pasar terhadap agrowisata, dan proporsi pengeluaran di agrowisata
dalam belanja wisata secara keseluruhan. Pendapatan komunitas yang diperoleh dari
pariwisata tidak sepenuhnya dinikmati karena besaran belanja wisatawan tersebut
masih harus digunakan untuk membayar bahan baku usaha. Jika bahan baku usaha
berasal dari sekitar komunitas, pengeluaran untuk pembelian bahan baku akan
bermanfaat bagi komunitas yang lain. Namun, jika bahan baku usaha yang digunakan
berasal dari luar komunitas/import, akan menimbulkan kebocoran pendapatan atau
mengalirnya uang keluar yang dapat mengurangi pendapatan komunitas
14
Selain aspek produksi, yang tidak kalah penting adalah aspek pasar
agrowisata. Persepsi wisatawan tentang agrowisata bisa menjadi indikator apakah
agrowisata merupakan atraksi yang cukup diminati konsumen dan berprospek baik ke
depan. Secara umum persepsi wisatawan tentang akses, sikap komunitas, pelayanan,
atraksi, harga tiket, dan harga apel di agrowisata positif.
Beberapa kondisi yang memengaruhi timbulnya kebanggaan komunitas di
Kota Batu adalah: (1) sejarah perjalanan Kota Batu dari satu kecamatan di
Kabupaten Malang hingga menjadi Kota; (2) Kekhususan Kota Batu berupa kekayaan
alam, yaitu pemandangan, iklim, kontur wilayah dan keanekaragaman flora-fauna
yang dapat dikembangkan menjadi atraksi wisata; (3) Seni dan budaya yang beragam
sebagai bagian dari budaya Malang Raya; dan (4) Peran serta pemerintah ialah
mendorong komunitas untuk mengembangkan sumber daya alam, sumber daya
manusia, dan organisasi. Pemerintah berperan besar dalam pengembangan kegiatan-
kegiatam dan kampanye budaya di Kota Batu. Upaya mengintegrasikan program
pengembangan seni budaya dan pariwisata merupakan pendekatan yang tepat. Di
tingkat teknis, secara tidak langsung pemerintah ikut andil dalam mengampanyekan
seni budaya kota Batu melalui kegiatan yang digelar. Pemerintah dibantu sesepuh
lainnya juga ikut berperan membuat branding bagi Kota Batu yaitu sebagai Kota
Wisata Batu, yang berarti Kota Batu sebagai surga wisata di Jawa Timur.
Pengembangan agrowisata telah mendorong kepedulian komunitas pada
penguatan modal sosial. Agrowisata berperan dalam mendukung pengembangan
pariwisata dengan memaksimalkan peran individu dalam jaringan organisasi, aspek
resiprositas dalam komunitas, peningkatan trust, pemerkuatan nilai dan norma sosial,
dan peningkatan networking. Faktor-faktor yang berperan dalam pengembangan
modal sosial antara lain, adalah kekuatan internal berwujud motivasi internal dan
kepedulian tokoh masyarakat/agama dan adanya Peran pemerintah dalam
menyediakan kelembagaan yang mengakomodasi kepentingan bersama wilayah-
wilayah pengembang agrowisata, seperti Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani) Apel,
atau Asosiasi Petani Agrowisata akan meredam konflik yang timbul karena
kepentingan yang sama dalam pengembangan agrowisata.
Faktor yang memengaruhi proses pertukaran budaya adalah berkembangnya
budaya multikultur (keragaman etnis, agama, dan budaya) dan adanya kepentingan
komunitas dari proses pertukaran budaya. Budaya Kota Batu sejak lama sudah
mengenal konsep multukultur sehingga lebih bersifat terbuka dan apresiatif. Sejarah
15
panjang kota Batu yang membentuk sikap keterbukaan komunitas untuk menerima
budaya lain dalam interaksi industri pariwisata Kepentingan komunitas atas terjadinya
proses kontak pertukaran budaya menjadi dorongan tersendiri. Nilai-nilai budaya luar
yang dianggap positif dan bermanfaat menjadi salah satu faktor pendorong untuk
berkontak budaya. Nilai kewirausahaan, pengetahuan modern, pengembangan usaha,
gaya hidup dan budaya fisik (artefak) merupakan bagian unsur budaya luar yang
dianggap komunitas dapat memperkaya budaya setempat.
Faktor-Faktor yang memengaruhi partisipasi penduduk lokal dalam proses
pengambilan keputusan adalah (1) struktur kelembagaan masyarakat yang
menyiratkan pembangian peran dalam masyarakat; (2) peran aktif aktor komunitas
sebagai social change agent di dalam komunitas; (3) sistem pelapisan social yang
bersifat formal dan informal, menjaga harmoni komunitas, mencegah terjadinya
dominasi individu, dan meningkatkan partisipasi secara merata; (4) model
pengelolaan agrowisata yang bersifat komunal; dan (5) Penguasaan lahan agrowisata
oleh komunitas
Faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan prinsip lingkungan CBT adalah
Kondisi lingkungan global , Kekayaan komunitas berupa kearifan lokal dalam
menentukan daya dukung lingkungan, Pengembangan teknologi pengelolaan sampah
yang ramah lingkungan oleh pemerintah dan komunitas.
4.3 Temuan baru
4.3.1 Temuan teori
1. Community Based Tourism (CBT) Plus adalah wujud agrowisata
berkelanjutan merupakan modifikasi konsep Pariwisata Berbasis Komunitas
yang diterapkan di destinasi agrowisata.
2. Prinsip Community Based Tourism (CBT) plus, terdiri dari prinsip ekonomi,
prinsip sosial, prinsip budaya, prinsip politik, prinsip lingkungan dan prinsip
teknologi.
3. Indikator prinsip ekonomi CBT Plus adalah (1) terciptanya peluang kerja
dan peluang usaha sektor pariwisata, (2) akses dan partisipasi komunitas
pada peluang kerja dan peluang usaha sektor pariwisata, (3) peningkatan
pendapatan komunitas, (4) pengembangan lembaga pengelola pariwisata
berbasis komunitas (5) distribusi dampak ekonomi kepada seluruh
16
komunitas melalui pembentukan lembaga ekonomi bersama, misalnya
koperasi, atau semacamnya.
4. Indikator prinsip sosial adalah: (1) peningkatan persepsi positif masyarakat
terhadap pengembangan pariwisata, (2) peningkatan kebanggaan komunitas,
dan (3) penguatan sosial kapital komunitas.
5. Indikator prinsip budaya adalah: (1) pertukaran budaya yang berdampak
positif bagi komunitas, (2) penguatan budaya komunitas, (3) penghargaan
pada budaya yang berbeda dengan komunitas, dan (4) pengembangan
budaya pembangunan.
6. Indikator prinsip lingkungan adalah: (1) pengembangan daya dukung
lingkungan berbasis komunitas , dan (2) partisipasi komunitas dalam
konservasi lingkungan.
7. Indikator prinsip teknologi: (1) penggunaan teknologi operasional pariwisata
; dan (2) penggunaan teknologi dalam fungsi manajerial agrowisata.
17
4.3.2 Modifikasi model
Model Agrowisata Berkelanjutan (CBT PLUS)
Agrowisata merupakan bentuk pariwisata yang berpotensi untuk diterapkan
penerapan prinsip-prinsip Community Based Tourism (CBT). Secara garis besar
prinsip CBT dapat dibagi menjadi 3 aspek yaitu berkaitan dengan akses, control dan
manfaat pengembangan agrowisata bagi komunitas. Aspek akses berkaitan dengan
kemampuan komunitas menjangkau/terlibat/bersentuhan dengan pengembangan
AGROWISATA
COMMUNITY BASED TOURISM
(CBT)
MANFAAT (KEBERLANJUTAN
EKONOMI)
KONTROL DAN PARTISIPASI (KEBERLANJUTAN SOSBUD DAN
LING)
AKSES (KEBERLANJUTAN POLITIK)
SKALA USAHA KECIL
PENYERAPAN TENAGA KERJA LOKAL
KETAHAN BUDAYA
MODAL SOSIAL
PERAN LEMBAGA LOKAL
KEPEMILIKAN LAHAN AGROWISATA
PENGEMBANGAN USAHA MANDIRI
AGROWISATA BERKELANJUTAN
TEKNOLOGI
KEARIFAN LOKAL
KEUNGGULAN KOMUNITAS
PENDAPATAN KOMUNITAS
18
agrowisata. Akses dapat diperoleh komunitas melalui kepemilikan lahan dan adanya
usaha kecil yang dimiliki/dikembangkan komunitas.
Aspek kontrol berkaitan erat dengan keterlibatan komunitas dalam proses
pengambilan keputusan, sebagai indikator adanya kekuasaan dan daya tawar secara
politis pada komunitas. Kontrol atas pengembangan agrowisata dapat dikembangkan
melalaui mekanisme pemeliharaan modal sosial, berperannya lembaga lokal,
ketahanan budaya dan kearifan lokal. Modal sosial adalah sumber daya internal, yang
diperkuat melalaui peran lembaga lokal sebagai simbol kekuasaan. Ketahanan budaya
adalah modal untuk beradaptasi dengan perubahan yang timbul dari kedatangan
wisatawan. Kearifan lokal merupakan instrument komunitas untuk beradaptasi
dengan perubahan namun tetap mempertahankan karakteristik lokal.
Aspek manfaat adalah output yang diharapkan dari pengembangan agrowisata
dimana komunitas yang lebih banyak menerima hasil kedatangan wisatawan.
Indikator manfaat yang dirasakan komunitas adalah partisipasi komunitas dalam
lapangan kerja dan lapangan usaha baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Agar
akses dan manfaat yang diperoleh dari kegiatan agrowisata sustainable komunitas
perlu mengintegrasikan teknologi dalam kegiatan operasional maupun manajerial
usaha.
BAB V: SIMPULAN, REKOMENDASI, DAN IMPLIKASI
5.1 SIMPULAN
Penerapan prinsip ekonomi CBT dalam pengembangan agrowisata di Kota
Batu ditandai dengan peningkatan usaha sektor pariwisata berskala kecil yang
menyerap tenaga kerja lokal lebih besar didukung kepemilikan usaha dan mekanisme
perekrutan tenaga kerja lokal. Karakteristik pekerjaan yang menyerap tenaga kerja
lokal umumnya berupa pekerjaan teknis, berada di level staf, kurang membutuhkan
skill, dan bergaji rendah di bawah UMR.
Model pengelolaan agrowisata oleh komunitas menumbuhkan usaha primer,
sekunder, dan tersier, yang lebih berdampak luas pada perekonomian komunitas.
Agrowisata yang dikelola swasta menumbuhkan usaha primer dan sekunder, yang
kurang berdampak luas pada peningkatan pendapatan komunitas.
Penerapan prinsip sosial CBT dalam pengembangan agrowisata telah
menghasilkan peningkatan kualitas hidup komunitas yang dapat diukur dari persepsi
positif komunitas yang mencerminkan preferensi terhadap pengembangan agrowisata,
19
keterbukaan komunitas sebagai host, dan derasnya arus informasi yang diterima
individu dalam komunitas.
Pengembangan agrowisata berdampak pada perubahan nilai sosial tentang
tamu, nilai menyambut tamu, perlakuan terhadap tamu, dan filosofi tentang
penerimaan tamu, dari yang bernilai sosial menjadi bernilai ekonomi atau terjadi
komersialisasi nilai sosial. Pengembangan agrowisata menghasilkan diskriminasi
gender berupa segregasi tenaga kerja sektor pariwisata, pelabelan (stereotype), dan
beban kerja ganda pada perempuan. Kekuatan sosial capital dapat terancam
kejegannya dengan adanya pengembangan agrowisata.
Penerapan prinsip sosial CBT dapat diukur dari nteraksi wisatawan dan
komunitas yang menghasilkan kontak budaya serta berdampak positif maupun
negatif, yaitu menghasilkan pengetahuan kognitif tentang pengembangan manajemen
usaha agrowisata, standar produk dan pelayanan agrowisata, dan peningkatan
kepuasan konsumen, pengetahuan tentang teknologi komunikasi (gadget),
peningkatan kreativitas dalam berpenampilan, dan nilai budaya baru (keterbukaan,
kemandirian, semangat, jiwa wirausaha, motivasi untuk berkembang). Nilai baru
tersebut merupakan bagian penting untuk membangun budaya pembangunan yaitu
nilai budaya setempat yang dapat digunakan sebagai modal dasar pengembangan
agrowisata. Pertukaran nilai budaya yang berdampak negatif ialah meniru perilaku
negatif wisatawan, dan masuknya simbol-simbol medernitas yang mendorong
komunitas menjadi lebih konsumtif.
Penerapan prinsip budaya CBT dapat diukur dari terjadinya pertukaran budaya
yang berdampak positif bagi komunitas, mendorong penghormatan budaya yang
berbeda dengan komunitas, dan berkembangnya budaya pembangunan.
Penerapan prinsip CBT politik dapat dilihat dari (1) adanya kesadaran
komunitas terhadap kepentingan bersama yang harus dikelola bersama, (2) adanya
kesadaran komunitas akan pentingnya aspek kelembagaan untuk mencapai tujuan
bersama yaitu pengembangan agrowisata, dan (3) adanya kesadaran komunitas akan
hak masyarakat dalam pengambilan keputusan.
Penerapan prinsip lingkungan ditandai dengan adanya pengembangan tiga
model/cara penetapan jumlah maksimal wisatawan agrowisata yang bisa ditoleransi,
sesuai dengan daya dukung lahan yang dikembangkan komunitas di agrowisata Kota
Batu yaitu: (1) berdasar kapasitas pohon, (2) berdasar kapasitas lahan, dan (3)
berdasar minat pasar. Penerapan prinsip lingkungan CBT dapat diukur dari
20
pengembangan daya dukung oleh komunitas lokal dan pengembangan konservasi
dengan memperhitungkan perubahan iklim lokal.
Hasil uji korelasi menunjukkan variabel pendidikan (x) berpengaruh terhadap
variabel partisipasi sebagai tenaga kerja sektor pariwisata (y). Faktor lain yang
memengaruhi terciptanya lapangan pekerjaan sektor pariwisata di Kota Batu adalah
struktur perekonomian Kota Batu dan peran pemerintah melalui
kebijakan/program/kegiatan kepariwisataan. Struktur perekonomian Kota Batu lebih
menumbuhkan usaha berskala kecil dan menengah dengan pola seleksi tenaga kerja
menguntungkan tenaga kerja komunitas.
Dari hasil uji korelasi diperoleh kesimpulan tingkat pendidikan dan
motivasi usaha memengaruhi kepemilikan usaha pariwisata. Kepemilikan usaha
menghasilkan pola kerja berbasis kedekatan hubungan, kerja dekat sehingga turn over
tenaga kerja rendah, dan persaingan usaha tidak sehat. Motivasi usaha sebagai pintu
masuk pengembangan usaha mandiri pariwisata berciri khas yaitu didukung
mekanisme pembelajaran usaha oleh komunitas.
Dari hasil uji regresi dapat disimpulkan bahwa pendapatan wisata adalah
hasil kontribusi dari pengeluaran wisata dan pengeluaran agrowisata yang membentuk
persamaan linier Y = 46298,469 + 0,475 x1+0,547 x2 dimana x1 adalah variabel
pengeluaran agrowisata dan x2 adalah variabel pengeluaran wisata. Model regresi ini
dapat dipakai untuk memprediksi pendapatan masyarakat.
Besarnya pendapatan yang diperoleh komunitas tidak hanya tergantung pada
besar pendapatan, tetapi juga berkaitan dengan pola penggunaan produk lokal dalam
industri pariwisata, kecenderungan pasar terhadap agrowisata, dan proporsi
pengeluaran agrowisata dalam belanja wisata secara keseluruhan.
Faktor-faktor yang berperan dalam pengembangan modal sosial, antara lain,
adalah kekuatan internal. Kekuatan internal ini yang berwujud motivasi, kepedulian
tokoh masyarakat/agama, dan peran pemerintah dalam menyediakan kelembagaan
yang mengakomodasi kepentingan bersama wilayah-wilayah yang mengembangkan
agrowisata.
Faktor yang memengaruhi proses pertukaran budaya adalah berkembangnya
budaya multikultur, yaitu keragaman etnis, agama, dan budaya) dan adanya
kepentingan komunitas atas terjadinya proses kontak budaya.Faktor yang
memengaruhi budaya pembangunan adalah kemandirian lokal, keterbukaan terhadap
informasi, dan etos kerja komunitas setempat. Faktor-faktor yang memengaruhi
21
partisipasi komunitas lokal dalam proses pengambilan keputusan adalah struktur
kelembagaan masyarakat, peran aktor komunitas, sistem pelapisan sosial, model
pengelolaan agrowisata yang bersifat komunal, dan kepemilikan lahan agrowisata
oleh komunitas .
Faktor-faktor yang memengaruhi penerapan prinsip lingkungan CBT adalah
kondisi lingkungan global, berkembangnya konsep daya dukung lingkungan berbasis
komunitas, yaitu kearifan lokal, sebagai patokan bagi komunitas untuk menyambut
kedatangan wisatawan, intervensi pemerintah dalam program pembangunan yang
bertujuan meminimalisasi efek negatif iklim global yang dapat menurunkan kualitas
lingkungan, pengembangan teknologi pengelolaan sampah yang ramah lingkungan,
dan pengembangan teknologi konservasi lahan.
5.2 REKOMENDASI
1. Perlu dilakukan studi implementatif dalam rangka menguji model CBT.
2. Dalam pengembangan CBT sebagai mainstream pembangunan di Indonesia
tidak bisa mengadopsi model CBT dari negara lain. Perlu dikembangkan
penelitian dengan latar belakang beberapa jenis karakter masyarakat dan
produk agrowisata yang berbeda sebagai control, untuk memperoleh model
CBT yang lebih variatif.
3. Dalam pengembangan CBT perlu melibatkan akademisi, swasta dan LSM
dalam rangka memperkuat skill komunitas merancang tujuan internal. Peran
akademisi, swasta dan LSM mendampingi dan memberikan penguatan
(capacity building).
4. CBT sebagai mainstream pariwisata dapat dikembangkan kepada bentuk
wisata lainnya selain agrowisata. Oleh karena itu perlu sosialisasi pentingnya
pengembangan CBT bagi kesejahteraan masyarakat di destinasi wisata.
5. CBT sebagai mainstream pembangunan pariwisata perlu mendapat perhatian
khusus dengan cara mengakomodir konsep CBT ke dalam dokumen-dokumen
pembangunan (RTRW, Master Plan pembangunan pariwisata, dan
sebagainya).
6. CBT sebagai paradigm pembangunan masih terbuka untuk dikaji dalam
berbagai studi yang melibatkan akademisi multidisiplin.
22
7. Mengingat cakupan CBT yang luas terbuka peluang untuk dikembangkan
dalam program studi/ minat studi secara khusus.
5.3 IMPLIKASI
1. Pembangunan pariwisata memerlukan revitalisasi kebijakan yang lebih
memihak pada komuntas sebagai bentuk investasi jangka panjang. CBT dapat
menjadi jalan alternatif bagi upaya menyejahterakan masyarakat serta
mencegah dan mengatasi permasalahan kemiskinan.
2. Untuk mengembangkan CBT sebagai mainstream diperlukan niat baik
(political will) para pemangku kepentingan (legislatif dan eksekutif) dalam
bentuk kebijakan yang secara eksplisit menetapkan CBT sebagai arus utama
pembangunan pariwisata.
3. CBT sebagai bentuk pengembangan pariwisata yang lebih meyejahterakan
masyarakat dapat menjadi acuan utama dan terintegrasi dalam berbagai
dokumen perencanaan program/kegiatan/proyek pembangunan pariwisata.
4. Melalui Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dapat merancang
dokumen teknis tentang bagaimana penerapan CBT di Destinasi yang ada di
Propinsi/Kabupaten/Kota dalam bentuk petunjuk teknis dan petunjuk
pelaksanaan .
5. CBT dapat diintegrasikan dengan program kerja SKPD di luar pariwisata
seperti Pemberdayaan Perempuan, Bapemas, Pemuda dan Olah Raga,
Pendidikan dan Kebudayaan, dan Sosial.
23
DAFTAR PUSTAKA
Afandhi, A. 2001. Pengembangan dan Pembangunan Kawasan Agrowisata.Jakarta : Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Makalah. Tidak diterbitkan.
Agusta, I. 2003. “Teknik Pengumpulan dan Analisis Data Kualitatif”. Makalah yang disampaikan dalam Pelatihan Metode Kualitatif di Pusat penelitian Sosial Litbang Pertanian Bogor, 27 Februari 2003.
Andereck, K.L. and Nyaupane, G.P. 2011. Exploring the nature of tourism and
quality of life perceptions among residents. Journal of Travel Research, 50: 248-260.
Andereck, K.L. and Vogt, C. A., 2000, “The Relation Between Resident Attitute Toward Tourism and Tourism Development Option”, Journal of Travel Research , 27(1), 16 – 21
Anstrand, M. 2006. “Community-Based Tourism and Socio-Culture Aspects Relating
to Tourism a Case Study of a Swedish Student Excursion to Babati (Tanzania”). Laporan. Tidak diterbitkan.
Arahi, Y. 2005. “Rural Tourism in Japan: The Regeneration of Rural Communities”.
Naskah diskusi dalam The Development of Rural Tourism. Archer, B.H. 1989. “Tourism and Island Economies: Impact Analysis”. pp 125-134 in
Cooper, C.P. and Lockwood, A. (eds). Progress in Tourism, Recreation and Hospitality Management. Vol. 1. London: Belhaven Press.
Aronsson, L. 2000, The Development of Sustainable Tourism, New York: Continuum. Augustyn, M. “National Strategies for Rural Tourism Development and
Sustainability: The Polish Experience”, Journal of Sustainable Tourism, 6(3): 191 - 209.
Bahaire, T. and Martin E.W. 1999. “ Community Participation in Tourism Planning an Development in the Historic City of York, England” dalam Currennt Issues in Tourism ( 2&3):243 - 265.
Barklin, D. 2003. Ecotourism: A Tool for Sustainable Development dalam www.
Planeta.Com. Barry, J.J., and D. Hellerstain. . 2004. “Chapter 9: Farm Recreation.” In: Outdoor
Recreation for 21st Century America” A Report to the Nation: The National Survey on Recreation and the Environment . pp.149-167. USA: Venture Publishing, Inc. State College, PA.
Basrowi dan Suwandi. 2008. Memahami Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rineka Cipta. Beeton, S. 2006. Community Development Through Tourism. Australia: Landlinks
Press.
24
Bengen, G.D., 2002, Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut. Pusat Kajian Pesisir dan Lautan IPB Bogor.
Blackstock, K. 2005. “A Critical Look at Community Based Tourism” dalam Cummunity Development Journal 40 (1): 39 - 48.
Binns, T. dan Etienne N. 2002. “Tourism as a Local Development Strategy in South
Africa” dalam The Geographical Journal, 168(3): 235 - 247. Broadbent, J. 1988. State as Process: The Effect of Party and Class on Citizen
Participation in Japanese Local Government. Social Problem, 35 (2): 131 - 144.
Brscic, K. 2006. “The Impact of Agritourism on Agricultural Production” dalam
Proceeding from the First International Conference on Agriculture and Rural Development, Topusko-Croatia, 23 - 25 November 2006
Bungin, B. 2004. Metodologi penelitian Kuantitatif. Surabaya: Kencana.
Buttler, R. W. 1991. “Tourism, Environment, and Sustainable Development”. dalam Environmental Conservation: 18(3) :201 - 209.
Canizares, S.S, Guzman T.J.L., Reis, H, 2011, Education of Human Capital as a Source of Competitiveness in Tourist Destinations, dalam Tourism Economics Impact Analysis, Matias, Alvaro, Nijkamp, P., Sarmento, M., New York: Physica-Verlag A Springer Company., 11 - 30.
Campbell, L.M. 1999. “Ecotourism in Rural Developing Communities” dalam
Annuals of Tourism 26 ( 3): 534 - 553. Carpio, C., Wohlgenant, M.K., dan Boonsaeng. T., 2008, “The Demand For
Agritourism in the United States” Journal of Agriculture and Resources Economic, 33(2): 254 - 269).
Chalik, A. 2008. “Nahdlatul Ulama Pasca Orde Baru Studi Partisipasi Politik Elite
Nahdlatul Ulama Jawa Timur”. Ringkasan Disertasi. dalam http://eprints.sunan-ampel.ac.id/195/1/Abdul_Chalik.pdf diakses pada 12 Januari 2012.
Cheung C (2001) “Determinants of Tourism hotel expenditure in Hong Kong”. International Journal of Contemporary Hospitality Management 13(3): 151 - 158.
Choi, C. H. dan Sirakaya, E. 2006. “Sustainability Indicator for Managing Community Tourism”, dalam Tourism Management. (27) 1274 - 1289.
Clawson, M. and Knetsch, L. J. (1966). Economics of Outdoor Recreation. Baltimore:
The Johns Hopkins University Press.
25
Cox, L.J. dan Fox, M., 1999. “Agriculturally Based Leisure Attraction” dalam The Journal of Tourism Studies, 14 (1): 49 - 58.
D’Amore, L. 1983. Guideline to Planning in Harmoni with the Host Community In
P.E. Murphy (Ed.) Tourism in Canada: Selected Issue and Option (pp. 135 - 159). Victoria, BC: University of Victoria, Departemen of Geography.
Dedina, S., and E. Young. 1995. “Conservation as Communication: Local People and
Graywhale Tourism in Baja California Sur, Mexico”. Whalewatcher. Fall/winter: 8 - 13.
De Kadt. 1979. Tourism Passport to Development ?. New York: Oxford University
Press.
Denzin, N.K. dan Lincoln Y. 2009. Handbook of Qualitative Research. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Departemen Pertanian RI . 2004. Direktori Profil Agrowisata. Jakarta: Pusat Data dan Informasi Pertanian, Departemen Pertanian RI.
------------------------ 2005. “Strategi Pengembangan Wisata Agro Indonesia” dalam www. Database. Deptan. go.id.
--------------------------. 2005. “Agrowisata Meningkatkan Pendapatan Petani”. dalam www. Database. Deptan. go.id.
Douglas, N. and Douglas, N. (1996) "Tourism in the Pacific: Historical factors" dalam Hall, C.M. and Page, S.J. (eds.) Tourism in the Pacific: Issues and Cases. London: Thomson Learning.
Downward, P., Lumsdon, L. and Weston, R . 2009. ‘Visitor Expenditure: The Case of Cycle Recreation and Tourism’, Journal of Sport & Tourism 14(1), pp.25-42 http://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/14775080902847397
Eadington, W.R., 1991, “Economic and Tourism” dalam Annals of Tourism Research (8) 41 - 56.
Eadington, W.R., & Smith, V. L. 1992. Introduction: The Emergence of alternative
form of tourism. In. V.L. Smith & W.R. Eadington (Eds.) Tourism Alternatives: Potential and Problems in the Development of Tourism. Philadelphia: University of Pennsylvania Press.
ESCAP. 1996. The Economic Impact of Tourism in The Asian Region. New York:
United Nations. Fandeli, C. (Eds). 1995. Dasar-Dasar Kepariwisataan Alam. Yogyakarta: Liberty. Fandeli, C. dan Suyanto, A. 1999. “Kajian Daya Dukung Lingkungan Objek Dan
Daya Tarik Wisata Taman Wisata Grojogan Sewu, Tawangmangu”. Manusia dan Lingkungan. 19 (tahun VII) 32—47.
Fandeli, C. dan Mukhlison.(Eds.). 2000. Pengusahaan Ekowisata. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
26
------------------.2002. Perencanaan Kepariwisataan Alam. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada.
Faulkenberry, L.V., John M. C, Kenneth Backman, dan Sheila B. 2000. “ A Culture
of Servitude: The Impact of Tourism and Development on South Carolina’s Coast” dalam Human Organization 59(1): 86 - 95.
Fletcher, J., 1989, “Input-Output Analysis and Tourism Impact Studies, Annals of
Tourism Research (16) 514 - 529. Garrod, B. 2001. “Local Participation in the Planning and Management of
Ecotourism: A Revised Model Approach”. Laporan Penelitian. Bristol: University of the West of England.
Gartner, W. 1996. Tourism Development Principles, Processes, and Policies. New
York: Van Nostrand Reinhold.
Getz, D, 1986, “Model in Tourism Planning” dalam Tourism Management . Maret. 21-32.
Gold, S. M. 1980. Recreation Planning and Design, New York: McGraw-Hill.
Goldman G, Nakazawa A, Taylor D 1994 Impact of Visitor Expenditures on Local Revenues. Alaska:WRDC. http://www.uaf.edu/ces/publications/freepubs/WREP-145.html [diakses pada 1 Juni 2011].
Goodwin, H. 2000.“Pro-Poor Tourism, Opportunities for Sustainable local Development” Development and Cooperation 5:12 – 4
Gray, H.P. 1974. “Toward an Economic Analysis of Tourism Policy”. Social and Economic Studies. 23: 386-397.
Page , S,J., dan Getz, Don (Ed).1997. The Business of Rural Tourism International Perspectives. Oxford: The Alden Press
Hall, M.C. Dan Page J. 1999. The Geography of Tourism and Recreation Environment, Place and Space. London: Routledge.
Hasan, I. 2002. Pokok-Pokok Materi Statistik 2 (Statistik Inferensif). Jakarta: Bumi Aksara.
Hasbullah, J. 2006. Social Capital (menuju Keunggulan Budaya Manusia Indonesia). Jakarta: MR-United Press Jakarta.
27
Hatton, M.J. 1948, Community Based Tourism in the Asia-Pacific, Canada: School of Media Studies a at Humber College.
Hausler, N. 2005. “Definition of Community Based Tourism “ Tourism Forum International at the Reisepavillon. Hanover 6 Pebruari 2005.
Hidayati, D., Mujiyani, L.R., dan Andi, Z. 2003. Ekowisata Pembelajaran dari Kalimantan Timur. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan bekerja sama dengan LIPI.
Iftikhar, A. 1997. “Sustainable Utilization of Natural resources: A Community-based
Conservation Effort” in Bar Valley. Gilgit Pakistan. Recoft Report No. 15, RAP Publication: 1997:42.
Indecon. 2003. Ekowisata, Prinsip, dan Kriteria. Jakarta: Ecotourism Indonesia. Inskeep, E. 1991. Tourism Planning: An Integrated and Sustainable Development
Approach. New York: Van Nostrand Reinhold. Irawanto, R.2005. Konstruksi Nilai Sosial Budaya Arek dan Mataraman pada
Positioning Iklan Lokal di Jawa Timur. Laporan Penelitian. Tidak diterbitkan. Khan, H. 1990. “Tourism Effect on Singapore” dalam Annals of Tourism Research.
(17) : 408 – 418. Knudson, D.M. 1980. Outdoor Recreation. New York: Macmillan.
Koentjaraningrat . 1985. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru .
Kokko, J. and Guerrier, Y. 1994. Over Education, Underemployment, and Job Satisfaction Hotel Recepsionist. International Journal Hospitality Management. 13 (4): 375-386.
Kontogeorgopoulos, N. 2005. “Community-Based Ecotourism in Phuket and Ao
Phangnga, Thailand: Partial Victories ad Bittersweet Remedies” dalam Journal of Sustainable Tourism 13 (1):
Kusmayadi dan, Sugianto, E. 2000. Metodologi Penelitian Dalam Bidang
Kepariwisataan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Laimer, P, Weiβ, J. (2006) “Data sources on tourism expenditure The Austrian
experiences taking into account the TBop requirement”. In. International Workshop on Tourism Statistics, 17-20 July 2006, Madrid: UNWTO.
Lane, B. 1994. What is Rrural Tourism?. Journal of Sustainable Tourism. 2 (1): 7-21. Leiper, N. 1990. Tourist Attraction System. Annals of Tourism Research. 17: 376-
384.
28
Li, Y. 2002.“ The Impact of Tourism in China on Lokal Communities” dalam Asian Studies Review 26 (4): 471-486.
Linberg, K. 1996. The Economic Impact of Ecotourism. www. unepie.org. Lobo, R.E., G.E. Goldman, D.A. Jolly, B.D. Wallace, W.L. Schrader and S.A. Parker.
(1999) "Agricultural Tourism Benefits Agriculture in San Diego County." California Agriculture. Volume 53 (6) 20-24.
Lobo, R. E. 2005. Definition of Agricultural Tourism. California Agriculture,
University of California. Lopez, E.P., dan Garcia F.J.C.. 2006 “Agrotourism, Sustainable Tourism and
Ultraperipheral Area: The Case of Canary Island” dalam Pasos Revista de Tourismo Patrimonio Cultural, Vol. 4 No. 1 page 85 – 97.
Mcgehee, N.G., dan Andereck, K.L., “Factors Predicting Rural Tourism Resisdents’
Support of Tourism” dalam Journal of Travel Research, Vol. 43, November 2004, 131 - 140.
Mantra, I.B. 2001. Langkah-Langkah Penelitian Survai Usulan Penelitian dan
Laporan Penelitian. Yogyakarta: BPFG-UGM. Mathieson, A. dan Wall, G. 1982. Tourism: Economic, Physical and Sosial Impacts.
London and New York: Longman. McCloy,D.B. 1975. “Employment Research in the Canadian Travel Industry,
Proceedings of the Travel Research Association. 6th Annual Conference San Diego: 49-51.
Menteri Negara Lingkungan Hidup dan UNDP. 2000. Agenda 21 Sektoral Agenda Pariwisata untuk Pengembangan Kualitas Hidup Secara Berkelanjutan. Jakarta: Proyek Agenda 21 Sektoral Kerja sama Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup dan UNDP.
Miles, M.B. dan Huberman M. 1992. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: UI-Press. Mill, R.C. and Morrison, A.M.. 1985. The Tourism System an Introductory Text.
New Jersey: Prentice-Hall, Inc. Mann, Mark, 2000, The Community Tourism Guide, For Tourism Exciting Holidays
for Responsible Travellers. UK: Eartscan Publications ltd. Morris, M.D. 1979. "The Physical Quality of Life Index (PQLI)". Development
Digest 1: 95 – 109
Moscardini, L. M, dan Lawler K., 2011. “Using System Dynamics to analyse the Economic Impact of Tourism Multipliers”. procceding document, tidak dipublikasikan.
29
Mowforth, M., dan I. Munt. 1998. Tourism and Sustainability New Tourism in the World. London and New York: Routledge.
Murphy, P.E. 1983. Tourism as a Community Industry. Tourism Management. 4: 180-193.
Murphy, P.E. 1985. Tourism A Community Approach. London and New York: Longman
Nainggolan, K. 2005. Pertanian Indonesia Kini dan Esok. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Nickerson, N.P., Rita B., and Stephen F. M. “Agrotourism: Motivation Behind
Farm/Ranch Business Diversification” dalam Journal of Travel Research Vol. 40 Agustus 2001.
Nicolau J.L, Más F.J. (2005) “Heckit modeling of tourist expenditure: evidence from
Spain”. International Journal of Service Industry Management 16(3): 271-293.
Nurhidayati, S. E. 2005. “Persepsi Masyarakat pada Peluang kerja dan peluang Usaha dalam Pengusahaan Agrowisata Wonosari Malang”. Tesis. Tidak diterbitkan.
Olson, D.H (ed). 1992. Familiy Inventories (Manual) : Family Social Science. USA:
University Of Minnessota. Pantin, D dan Francis, J. 2005. Community Based Sustainable Tourism. UK: UWI-
SEDU.
Patilima, H. 2007. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Alafabeta.
Paul D, Lumsdon L, Weston R (2009) Visitor Expenditure: The Case Of Cycle Recreation And Tourism. Journal of Sport & Tourism 14(1): 25 - 42.
Pearce, P.L., Moscardo, G. & Ross, G.F., 1991, “Tourism impact and community perceptions : An equity-social representational perspective”, Australian Psychologist, 26(3): 147 - 152.
Perez, E.A., and Sampol, C.J. 2000. “Tourist expenditure for mass tourism markets” Annals of Tourism Research, 27(3): 624‐637.
Picarrd, M. 2006. Bali: Tourisme Culturel et Culture Touristique diterjemahkan oleh Jean Couteau dan Warih Wisatsana, dengan judul Bali Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Pitana, I. G. 2004, Pariwisata dan kebudayaan: Antara Paratisme dan Simbiosis
Mutualisme. Makalah. Disampaikan dalam Seminar Internasional Kebudayaan: Minangkabau Mulltikultural 24 Agustus 2004.
Poon, A. 1993. Tourism, Technology, and Competitive Strategies. USA: CAB
International.
30
Ramsey M., and Nathan A. Schaumleffel, 2006. “Agritourism and Rural Economic Development” , Indiana Business Review, 81 (3): 27-42.
Riduwan dan Akdon. 2010. Rumus dan Data dalam Analisis Statistika. Bandung:
Alfabeta.
Roberts, L. dan Hall, D. 2001. Rural Tourism and Recreation Principles to Practice, UK: CABI Publishing.
Sandmeyer, A.E. 2005. Community Based Ecotourism and Sustainable Community Development: Exploring the Relationship. Tesis. Dalhousie University Halifax, Nova Scotia. Tidak diterbitkan.
Saptutyningsih, E.. 2003. “Dampak perubahan pengeluaran wisatawan terhadap pendapatan rumah tangga di Indonesia Pendekatan Structural Path Analysis (SPA)” dalam SNSE Indonesia. Jurnal Ekonomi Pembangunan 8(1): 1--18.
Scheyvens, R. 1999. “Ecotourism and the Empowerment of Lokal Communities” dalam Tourism Management (20): 245 - 249.
Sempol C.J, Perez E.A. 2000. “Tourist Expenditure Determinants in a Cross-Section
Data Model. Annuals of Tourism Research.27(3): 1-9.
Setia, T.H. 1999. Peraturan Perundang-Undangan Kepariwisataan di Indonesia. Jakarta: Harvarindo.
Sharpe, A. 1999. A Survey of Indicators of Economic and Social Well-being. Paper.
tidak diterbitkan.
Sharpley, R. 2000. “Tourism and Sustainable Development: Exploring the Theoretical Divice”..Journal Of Sustainable Tourism.8 (1): 1 - 19.
Shelson, P. J. 1997. Tourism Information Technology. USA: Cabi International.
Siagian, S.P. 1994. Administrasi Pembangunan. Jakarta : Gunung Agung.
Sinclair, M.T. 1997. Gender, Work, and Tourism. London and new York: Routledge.
Siregar, L. 2002. “Antropologi dan Konsep kebudayaan”. Papua Journal of Sosial and Cultural Antropology. 1(1): 1-12.
Soba, H. 2003. “Membidik Agrowisata” Suara Pembaharuan, 6 Februari: 4. Spillane, J. 1994. Ekonomi Pariwisata, Sejarah dan prospeknya.Yogyakarta: Kanisius. Suansri, P. 2003. Community Based Tourism Handbook. Thailand: REST Project Sugiyono. 2003. Statistika untuk Penelitian.Bandung: CV. Alvabeta. Sulaiman, W. 2002. Jalan Pintas Menguasai SPSS 10. Yogyakarta. Penerbit Andi.
31
-------------------. 2003. Analisis Regresi Menggunakan SPSS : Contoh kasus dan
Pemecahannya. Yogyakarta: Penerbit Andi. Suhandi, A.S. “Ekowisata, Harapan dan Tantangan” dalam Sinar Harapan. 02
Oktober 2003. Sumarwoto, J. 1990. Pengembangan Agrowisata: Potensi dan Prospek. Makalah
dalam Seminar Nasional: Pembangunan Pertanian & Pedesaan Sumatera. Berastagi, 5-8 Maret.
Sutjipta, I.N. 2001. “Agrowisata. Diktat kuliah di Magister Manajemen Agribisnis”:Universitas Udayana. Tidak diterbitkan.
Suwandi. 2005. Agropolitan Merentas Jalan menuju Harapan. Jakarta: Duta Karya
Swasta . Strauss, A., dan Juliet , C. 2003. Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif (terjemahan dari
Basic Of Qualitative Research Grounded Theory Procedure and Techniques), Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Swain, N. B. 1995. ”Gender in Tourism” Annals of Tourism Research. 22 (2): 247-
266. Taylor, S.J. dan Bogdan, R,. 1990. Quality of Life and the individual’s Perception in
L.R. Schlock (Ed.) Quality of Life: Perspective and Issue. USA: American Assosiasion on mental Retardation, special Publication.
Timothy, D.J. 1999. “Participatory Planning: a View of Tourism in Indonesia”
Annals of Tourism Research . 26 (2): 27-40. Tosun, C. dan Timothy D.J. 2003. “Arguments for Community Participation in The
Tourism Development Process” The Journal of Tourism Studies 14 (2): 2 - 15.
Utama, I.G.B.Rai, 2009. “Agrowisata Sebagai Pariwisata Alternatif”. dalam
http://www.gdnet.org/CMS/fulltext/1164925881_Buku_Agrowisata.doc.) diakses tanggal 10 Januari 2010
UNEP and WTO . 2005. Making Tourism More Sustainable: a Guide for Policy
Makers, tidak diterbitkan.
UNCTAD. 2007, Trade and Development Implications of International Tourism for Developing Countries: Issues Note for Discussion www.unctad.org/ sections/ ditc_tncdb_comdip0017_en.pdf. diakses tanggal 12 Desember 2011.
Wall, G. dan Mathieson, A. 2006. Tourism, Change, Impact and Opportunities. London: Pearson Prentice Hall.
32
Warpani, S.P., dan Warpani, I. 2007, Pariwisata dalam Tata Ruang Wilayah, Bandung: Penerbit ITB.
Weaning, S, and Neil, J. 2000. Ecotourism: Impact, Potential, and Possibilities. London: Butterworth Heinemann.
Windia, W., Wiratha, M. dan Suambi, K., 2003, Model Pengembangan Agrowisata
di Bali, dalam http//:ejurnal.unud.ac.id diakses tanggal 10 Februari, 2008. Wood, M.E. 2002. Ecotourism, Principless, Practice, and Policies. USA: United
Nation Publication. (www.unepie.org). Worldbank. 1999. The Initiative On Defining, Monitoring And Measuring Social
Capital, Working Paper. http://www.worldbank.org/socialdevelopment.
Yaman, A.R. dan Abdullah, M. 2004. “Community-based Ecotourism: New Proposition for Sustainable Development and Environment Conservation in Malaysia” Journal of Applied Sciences 4 (4):583 - 589.
Yoeti. O.A. 2008. Perencanaan dan Pengembangan Pariwisata, Bandung: Pradnya Paramita.
--------------. 2008. Ekonomi Pariwisata: Introduksi, Informasi, dan Aplikasi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
--------------. 2010. Dasar-dasar Pengertian Hopitaliti dan Pariwisata. Bandung: Alumni.
Young, E. 1999a. “Balancing Conservation with Development in Small-scale Fisheries : Is Ecotourism an Empty Promise?”. J. Human Ecology :27(4):581-620.
-----------. 1999b. Local People and Conservation in Mexico’s El Vizcaino Biosphere Reserve. The Geographical Review :89(3):364 - 390.
INTERNET: http://wwwuwex.edu/ces/ag/sus/html diakses pada 31 Desember 2005 http://www.choike.org diakses pada Januari 2006 http://sfc.ucdavis.edu/agritourism/factsheets/what.html diakses pada 27 Juni 2006 http://www.wwf.no/pdf/tourism guidelines.pdf diakses pada 25 Juli 2006 http://www.panda.org diakses pada 25 Juli 2006 http://www.planeta.com diakses pada 29 Juli 2006 http://www.livinglands.org.hk/archive/c-b_tourism_for_Lantau.pdf diakses pada Juli 2007 http://www.farmstop.com/aboutagritourism.asp, diakses pada 14 Februari 2008 http://www.bahanamahasiswa.com, diakses pada 14 Desember 2011. http://yasinta-sari.blogspot.com, diakses pada 22 Desember 2011 http://www.undp.org.sa , diakses pada 5 Desember 2011 http://perypatayat.wordpress.com diakses pada 6 Februari 2012
33
http://id.wikipedia.org/wiki/Konservasi diakses pada 10 Desember 2011 http://www.biology-online.org/dictionary diakses pada 11 Desember 2011 http://www.batukota.go.id diakses pada 11 Maret 2011 http://lintascafe.com diakses tanggal 12 Februari 2012 http://infocsr.net diakses tanggal 15 Maret 2012.