Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan
1 Laporan Hasil Penelitian 2015
Abstrak
Tanaman penghasil gaharu merupakan salah satu hasil hutan bukan kayu yang
mempunyai nilai ekonomi yang tinggi untuk dibudidayakan. Budidaya gaharu melalui
pembangunan tanaman mulai dikembangkan oleh masyarakat dalam bentuk tanaman
campur ataupun sistim monokultur. Produktifitas gaharu yang didapatkan bergantung
pada jenis, asal tanaman, kondisi lingkungan, bahan inokulan. Selain itu, perkembangan
gaharu sangat dipengaruhi oleh sistem pemasaran yang selama ini masih terselubung dan
rantai yang panjang. Sinergitas pengembangan tanaman gaharu mulai dari hulu sampai
hilir diperlukan untuk menghasilkan produksi gaharu dengan kuantitas dan kualitas serta
nilai jual yang tinggi. Tanaman penghasil gaharu (Aquilaria malaccensis) alami di
Sumatera tumbuh di hutan sekunder yang berasosiasi dengan karet alam. Pertumbuhan
tanaman terbaik pada pola hutan campur (agroforestry) daripada pola
monokultur.Identifikasi pohon induk berdasarkan kemampuan pohon induk untuk
menghasilkan gaharu alami di dapatkan sebanyak 72 pohon induk yang tersebar di Kab.
Musi Rawas, Musi Rawas Utara, Musi Banyuasin, Banyuasin, Lahat dan Kota Palembang.
Masalah utama dalam pemasaran gaharu adalah ketidaksetaraan dalam proses transaksi
yang disebabkan oleh rendahnya posisi tawar petani dan ketidaklengkapan informasi yang
diterima petani.Kontrak kerjasama merupakan solusi untuk mengatasi permasalahan,
kontrak dapat digunakan untuk mereduksi dan mendisain kompensasi guna mengeliminasi
informasi asimetris
Kata Kunci : Gaharu, produktifitas, pengembangan, pohon induk, riap, pemasaran,
kontrak
Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan
2 Laporan Hasil Penelitian 2015
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Gaharu merupakan salah satu hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang bernilai
ekonomi, sosial dan budaya yang sangat tinggi. Dalam Permenhut Nomor P.35/Menhut-
II/2007, gaharu termasuk dalam daftar 490 jenis Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) nabati
yang potensial untuk dikembangkan. Selain itu, gaharu termasuk dalam 5 jenis HHBK
yang mendapat prioritas pengembangan, selain jenis rotan, bambu, madu lebah dan
sutera (Santoso et al, 2012). Pulau Kalimantan, Papua, Sumatera dan Kepulauan Nusa
Tenggara, merupakan wilayah persebaran alami tanaman penghasil gaharu. Beberapa
jenis yang populer sebagai tanaman penghasil gaharu diantaranya adalah Aquilaria spp,
Gyrinops spp dan Gonystilus spp.
Beberapa literatur menunjukkan bahwa populasi dan keberadaan tanaman
penghasil gaharu sudah mulai langka pada daerah sebaran alaminya. Dalam rangka
melindungi jenis-jenis tanaman penghasil gaharu dari kepunahan, maka sejak tahun
2004, komisi CITES telah menetapkan larangan dan atau pembatasan pemungutan
gaharu alam, yaitu dengan memasukkan Aquilaria spp dan Gyrinops sp ke dalam daftar
tumbuhan Appendix II CITES. Mengingat nilai penting serta tingginya harga dan
permintaan gaharu di pasar perdagangan Internasional, sementara populasi dan
ketersediaannya di hutan alam sudah semakin langka, maka upaya perlindungan jenis-
jenis penghasil gaharu dari kepunahan merupakan hal yang sangat mendesak untuk
dilakukan. Melalui upaya konservasi in-situ maupun ex-situ serta budidaya dan
pengembangan, khususnya jenis Aquilaria spp dan Gyrinops sp, produksi gaharu sebagai
komoditas eksport diharapkan dapat terus berkelanjutan.
Berdasarkan hasil pengamatan, dari populasi pohon penghasil gaharu yang ada di
alam, hanya 10% atau kurang yang terinfeksi jamur dan mengandung gaharu. Kalaupun
mengandung gaharu maka jumlah gaharu yang kualitasnya tinggi yang ada di pohon
penghasil gaharu mungkin hanya beberapa gram saja dan selebihnya kualitasnya rendah
dan bahkan tidak ada gaharunya sama sekali. Oleh karena itu untuk bisa mendapatkan 1
kilogram gaharu yang kualitasnya menengah sampai tinggi diperlukan ratusan, bahkan
ribuan pohon yang perlu ditebang.
Tingginya permintaan dan harga jual gaharu di pasar internasional serta semakin
langkanya tanaman penghasil gaharu di hutan alam, pada sisi lain telah mendorong
masyarakat di berbagai daerah melakukan budidaya tanaman pengahasil gaharu seperti
Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan
3 Laporan Hasil Penelitian 2015
di Jambi, Riau, Sumatera Utara, Sumatera Selatan dan Kalimantan Selatan (Squidoo,
2008 dalam Suharti, 2010). Menurut Santosodkk (2012), saat ini penanaman atau
budidaya tanaman penghasil gaharu oleh masyarakat, kelompok tani, swasta serta
instansi pemerintah telah banyak dilakukan di berbagai wilayah/kabupaten di seluruh
Indonesia.
Untuk meningkatkan produksi gaharu, maka pada kegiatan tahun 2016 akan
dilakukaninokulasi secara buatan pada pohon penghasil gaharu dengan menggunakan
inokulan (jamur). Berdasakan pengamatan pada beberapa kegiatan inokulasi yang pernah
dilakukan, menunjukkan adanya perbedaan produksi gaharu yang dihasilkan antar
individu tanaman.Produk gaharu, baik kualitas maupun kuantitas yang dihasilkan sangat
dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain jenis tanaman, asal tanaman (provenans),
umur tanaman yang diinokulasi, respon tanaman terhadap inokulasi (resistensi tanaman),
jenis dan asal inokulan/isolat serta kondisi lingkungan tempat tumbuh (Isnaini, 2004 dan
GIFNFC, 2007). Faktor lain yang berpengaruh terhadap hasil produk gaharu adalah umur
atau lamanya waktu inokulasi pada saat panen (Santoso dkk., 2010). Sampai dengan saat
ini data dan informasi yang berhubungan dengan produksi gaharu berdasarkan integrasi
komponen jenis-inokulan-kualitas tempat tumbuh-kadar “wangi” gaharu belum tersedia,
sehingga diperlukan penelitian yang komprehensif mengenai hal tersebut.
Selain dari permasalahan produk gaharu yang bervariasi baik jumlah maupun
kualitasnya, kondisi sosial ekonomi gaharu terutama yang berhubungan dengan pasar
gaharu belum banyak diketahui. Pemasaran gaharu selama ini masih mempunyai rantai
yang panjang, kondisi semacam ini secara langsung akan mempengaruhi petani dengan
semakin rendahnya harga jual gaharu di tingkat petani. Selain itu, harga jual gaharu
sangat dipengaruhi oleh “warna” dan kualitas “wangi” gaharu yang tentu saja hal ini
bersifat “subjektif” bagi pembeli gaharu. Sehingga peranan penelitian bidang sosial
ekonomi sangatlah penting khususnya dalam bidang penemuan rantai pemasaran gaharu
yang efektif dan efisien serta kajian bidang produk dan penilaian kualitas gaharu sebagai
pedoman standart harga jual tingkat petani dan pedagang.
Pengembangan tanaman penghasil gaharu dalam bentuk kebun atau hutan
tanaman mempunyai prospek yang sangat potensial untuk diwujudkan, baik ditinjau dari
sumber daya lahan, ketersediaan materi atau bahan bibit serta keragaman jenis yang kita
miliki. Hal ini juga ditunjang oleh teknik budidaya tanaman gaharu yang dapat dikatakan
relatif mudah. Namun demikian, untuk memperoleh produktivitas gaharu yang maksimal
(kuantitas maupun kualitas), dukungan dari berbagai aspek khususnya teknik budidaya
serta teknik produksi (inokulasi) dalam pembentukan gaharu harus terus dilakukan.Selain
itu juga diperlukan dukungan sistem pemasaran produk gaharu yang efektif dan efisien,
Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan
4 Laporan Hasil Penelitian 2015
menguntungkan masyarakat petani dan pedagang dengan indikator penetapan harga
yang sesuai dan disepakati bersama. Dalam rangka memperoleh hasil yang bersifat
menyeluruh, maka perlu dilakukan penelitian yang bersifat integratif. Melalui penelitian ini
produktivitas dalam budidaya gaharu dapat dicapai secara maksimal dan pemasaran
gaharu dapat diketahui dengan jelas.
B. TUJUAN
Tujuan jangka panjang dari penelitian ini adalah untuk menyediakan iptek
budidaya gaharu yang memiliki produktivitas tinggi sehinggadapat mendorong percepatan
operasionalisasi KPH melalui usaha budidaya gaharu yang prospektif dan
tergambarkannya sistem pemasaran gaharu yang efektif dan efisien.
Tujuan yang ingin dicapai untuk kegiatan penelitian dalam tahun 2015 adalah
sebagai berikut:
a. Mengetahui potensi dan penyebaran jenis tanaman penghasil gaharu di Sumatera
Bagian Selatan
b. Mengetahui kualitas tempat tumbuh jenis tanaman penghasil gaharu di Sumatera
Bagian Selatan
c. Mengetahui karakteristik pemasaran dan sosial budidaya gaharu
d. Mengetahui pertumbuhan (riap) pohon penghasil gaharu budidaya di masyarakat
pada berbagai pola tanam dan tempat tumbuhnya (site)
C. HIPOTESA
Hipotesa dalam kegiatan penelitian ini adalah:
a. Di Pulau Sumatera Bagian Selatan terdapat beberapa populasi tanaman gaharu
b. Populasi tanaman gaharu di Sumatera Bagian Selatan mempunyai kualitas tempat
tumbuh yang spesifik sesuai dengan lokasi populasinya.
c. Dengan mengetahui informasi karakteristik pemasaran dan sosial budidaya
gaharu mampu meningkatkan harga dan pendapatan masyarakat
d. Berbagai pola tanam gaharu dengan memperhatikan tempat tumbuhnya
mempunyai riap tanaman gaharu yang berbeda
Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan
5 Laporan Hasil Penelitian 2015
D. KELUARAN
Keluaran yang di harapkan dalam jangka panjang adalah paket teknologi budidaya
dan proyeksi produksi gaharu berbasiskan site-spesies serta pemasaran gaharu di
Sumbagsel. Sedangkan keluaran yang di harapkan tahun 2015adalah sebagai berikut:
a. Peta potensi dan penyebaran jenis tanaman penghasil gaharu di Sumatera Bagian
Selatan
b. Diketahuinya kualitas tempat tumbuh jenis tanaman penghasil gaharu di
Sumatera Bagian Selatan
c. Data dan informasi identifikasi karakteristik pemasaran dan sosial budidaya
gaharu
d. Diketahuinya riap pohon penghasil gaharu yang dibudidayakan masyarakat
dengan berbagai pola tanam dan tempat tumbuhnya (site)
Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan
6 Laporan Hasil Penelitian 2015
II. TINJAUAN PUSTAKA
Gaharu merupakan produk kehutanan yang telah dikenal sejak ribuan tahun lalu dan
diperdagangkan ke Timur Tengah oleh para pedagang India dan Indo-China. Gaharu
yang dalam perdagangan internasional dikenal dengan sebutan agarwood, eaglewood,
atau aloewood adalah produk Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) dalam bentuk gumpalan,
serpihan atau bubuk yang memiliki aroma keharuman khas bersumber dari kandungan
bahan kimia berupa resin (alpha-betha oleoresin). Sesuai dengan Permenhut Nomor
P.35/Menhut-II/2007, gaharu termasuk dalam daftar 490 jenis Hasil Hutan Bukan Kayu
(HHBK) nabati yang potensial untuk dikembangkan.Selain itu, gaharu termasuk dalam 5
jenis HHBK yang mendapat prioritas pengembangannya selain Rotan, Bambu, Madu
Lebah, dan Sutera.
Selain mengandung resin (alpha-betha oleoresin), gaharu juga mengandung
essens yang disebut sebagai minyak essens (essential oil) yang dapat dibuat dengan
ekstraksi atau penyulingan dari gubal gaharu.Essens gaharu ini digunakan sebagai bahan
pengikat (fixative) dari berbagai jenis parfum, kosmetika, dan obat-obatan herbal.Selain
itu, serbuk atau abu dari gaharu dapat digunakan sebagai bahan pembuatan dupa/hio
dan bubuk aroma therapy, dan daun pohon gaharu bisa dibuat menjadi teh yang dapat
membantu kebugaran tubuh.
Pohon penghasil gaharu pada umumnya berasal dari famili Thymelaeaceae,
dengan 8 (delapan) genus yang terdiri dari 17 spesies pohon penghasil gaharu, yakni
Aquilaria (6 spesies), Wilkstroamia (3 spesies), Gonystilus (2 spesies), Gyrinops (2
spesies), Dalbergia (1 spesies), Enkleia (1 spesies), Excoccaria (1 spesies), dan Aetoxylon
(1 spesies).Maraknya penebangan gaharu alam menyebabkan kondisi tanaman penghasil
gaharu di alam semakin berkurang. Untuk melindungi jenis-jenis tanaman/penghasil
gaharu terutama dari genus Aquilaria spp dan Gyrinops sp. dari kepunahan di alamnya
maka komisi CITES sejak tahun 2004 telah menetapkan larangan dan atau pembatasan
pemungutan gaharu alam dengan memasukanya dalam daftar tumbuhan Appendix II
CITES. Upaya konservasi in-situ maupun ex-situ serta budidaya di luar hutan alam
terutama dari genus Aquilaria spp dan Gyrinops sp. menjadi hal yang sangat mendesak.
Sebagai langkah kongkrit untuk mengetahui potensi tanaman gaharu di alam,
maka beberapa kegiatan survey perlu dilakukan untuk mengetahui status dan kondisi
populasi tanaman gaharu di beberapa lokasi. Survey yang dilakukan di Ipuh, Bengkulu
Utara (Rumayanto, 1992), mengemukakan bahwa pada empat plot pengamatan seluas
0,25 hektar dengan ukuran empat persegi, ternyata pada masing-masing plot terdapat 2
pohon (0,31%), 8 tiang (1,06%) dan 11 anakan (1,38%) Aquilaria malaccensis, dari total
Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan
7 Laporan Hasil Penelitian 2015
jumlah pohon sebanyak 642 pohon, 751 tiang dan 793 anakan dari berbagai macam
pohon per hektar. Populasi A. malaccensis di Kalimantan juga menunjukkan kondisi yang
hampir sama, dimana jenis yang biasa tumbuh terpencar dan hidup di dataran rendah
dan di bukit kini sudah mengalami penurunan drastis, misalnya di Kalimantan Timur
(Sumadiwangsa, 1997), di Kalimantan Barat (Soehartono dan Mardiastuti, 1997).
Beberapa hasil survey populasi tanaman gaharu tersebut di atas mengindikasikan
bahwa keberadaan tanaman gaharu di alam sangat sedikit dan tidak merata
penyebarannya. Potensi tanaman gaharu semakin menurun akibat serangan hama dan
eksploitasi anakan alam untuk diperjualbelikan, misalnya pada tanaman A. malaccensis di
Bengkulu (Setyawati, 2010). Selain itu adanya perluasan pembukaan lahan, penebangan
pohon (induk) gaharu dan belum adanya kesadaran dalam pembangunan sumber benih
tanaman gaharu pada lokasi yang permanen, merupakan beberapa komponen yang turut
menyumbang semakin langkanya tanaman gaharu alam.
Potensi jenis dan penyebaran tanaman gaharu di Sumatera khususnya Sumatera
Selatan belum banyak diketahui. Data dan informasi yang berhubungan dengan potensi
gaharu di Sumatera disampaikan oleh Mucharromah (2009), bahwa beberapa wilayah di
Sumatera dijumpai pohon penghasil gaharu seperti di Belitung, Riau, Bengkulu, Jambi,
Lampung, dan Padang. Jenis pohon penghasil gaharu yang banyak dijumpai adalah
Aquilaria malaccensis, A. beccariana, A. microcarpa, A. hirta dan A. agallocha.Namun
belum pernah di adakan survey yang mendetail mengenai jenis-jenis tersebut, padahal
dengan potensi dan harga jual yang tinggi, gaharu dapat dijadikan sebagai salah satu
komoditas andalan dalam perdagangan di Indonesia umumnya dan lokal Sumatera
khususnya.
Saat ini kelompok tani, masyarakat, swasta dan instansi pemerintah telah
melakukan budidaya pohon penghasil gaharu pada tanah pekarangan, kebun, hutan adat
dan kawasan hutan. Jenis pohon penghasil gaharu yang banyak ditanam oleh
masyarakat adalah: A. malaccensis, A. microcarpha, Gyrinops dan sedikit A. filaria dan A.
crassna. Penanaman secara terbatas oleh petani secara individu atau kelompok
masyarakat telah dimulai sejak 1989 dan sejak 2004, penanaman pohon penghasil
gaharu telah banyak dilaksanakan secara massal di banyak kabupaten di seluruh
Indonesia. Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh Siran (2010) di temukan bahwa
jumlah pohon gaharu yang telah ditanam di seluruh Indonesia adalah 2.218.949 yang
tersebar di 45 kabupaten di Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi.
Selama ini penanaman tanaman penghasil gaharu hanya berdasarkan pada
ketersediaan bibit dan ketersediaan lahan. Di Sumatera Selatan misalnya, sebagian besar
masyarakat pada umumnya “popular” untuk menanam jenis A. malaccensis untuk
Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan
8 Laporan Hasil Penelitian 2015
budidaya tanama gaharu, di lain pihak di Sumatera terdapat beberapa jenis tanaman
penghasil gaharu lainnya seperti A. microcarpa, A. beccariana dan A. hirta yang juga
potensial untuk di budidayakan. Penanaman jenis tanaman penghasil gaharu yang tidak
berdasarkan syarat tumbuhnya, secara langsung ataupun tidak langsung akan
berdampak pada pertumbuhan dan perkembangan tanaman itu sendiri.
Hasil penelitian Pratiwi et al., (2010) menunjukkan bahwa performance pohon
penghasil gaharu khususnya Aquilaria crassna dan A.microcarpa yang tumbuh di Hutan
Penelitian Dramaga dan Kampung Tugu (Sukabumi) menunjukkan pertumbuhan yang
lebih bagus dibandingkan di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Carita. Dari
segi lingkungan, ketiga lokasi memiliki lingkungan yang hampir sama yaitu curah hujan
tipe A, suhu berkisar 20-300C,kelembaban udara 77-85% dan topografi datar sampai
bergelombang. Kondisi yang berbeda diantara ketiga lokasi tersebut adalah
berhubungan dengan tingkat kesuburan tanah. Tanah di KHDTK Carita merupakan tanah
tua dan telah mengalami pelapukan lanjut bila dibandingkan dengan tanah di Hutan
Penelitian Dramaga dan Kampung Tugu (Sukabumi), sehingga kesuburan tanah di
KHDTK Carita lebih rendah bila dibandingkan tanah di daerah Hutan Penelitian Dramaga
dan Kampung Tugu (Sukabumi). Sumarna (2008) melakukan penelitian tempat tumbuh
(ekologi) tanaman Aquilaria malaccensis dan A.microcarpa di hutan alam daerah Jambi
(Kecamatan Tabir Angin, Kabupaten Merangin). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kedua jenis Aquilaria tersebut tumbuh baik pada suhu antara 20-33oC, ketinggian tempat
100-200 mdpl, kelembaban berkisar 77-85% serta intensitas cahaya sekitar 56-75%.
Berdasarkan hasil penelitian di atas nampak bahwa secara umum ekologi tanaman
penghasil gaharu khususnya jenis Aquilaria di Hutan Penelitian Dramaga, Kampung Tugu
(Sukabumi), Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Carita serta di Merangin
(Jambi) secara umum mempunyai karakteristik ekologi yang hampir sama yaitu berada
pada kisaran suhu 20-33oC dan kelembaban kelembaban 77-85%. Walaupun mempunyai
ekologi yang sama, namun bisa dipastikan mempunyai perbedaan pada jenis tanah dan
kandungan kimiawi tanahnya. Sampai dengan saat ini penelitian yang berhubungan
dengan kualitas tempat tumbuh (sifat-sifat tanahnya, iklim dan keadaan biofisik lainnya)
secara menyeluruh untuk tanaman gaharu yang ada di wilayah Sumatera Selatan masih
belum banyak dilakukan. Pengetahuan mengenai kualitas tempat tumbuh ini sangatlah
penting untuk mengetahui karakteristik tempat tumbuh tanaman gaharu secara spesifik,
sehingga data dan informasi yang didapatkan nantinya akan sangat berguna sebagai
bagian dari strategi pengembangan jenis tanaman gaharu yang sesuai untuk di tanam
(dikembangkan) pada suatu wilayah tertentu.
Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan
9 Laporan Hasil Penelitian 2015
Pengembangan tanaman gaharu dalam bentuk tanaman budidaya merupakan
salah satu wujud nyata dalam upaya untuk melestarikan tanaman gaharu.Beberapa nilai
penting dari pengembangan budidaya gaharu adalah: a. budidaya merupakan wujud dari
pelestarian jenis tanaman penghasil gaharu, mengingat beberapa jenis sudah termasuk
dalam kategori langka, b. permintaan pasar dan harga yang masih tinggi, sementara
pasokan gaharu terbatas, c. berbuah sepanjang tahun, pembiakan generatif relatif mudah
dan regenerasi alami masih tinggi yang di tandai masih banyaknya anakan alam di bawah
pohon induk gaharu d. sudah dikuasainya teknologi rekayasa produksi gaharu yang
menjamin kuantitas dan kualitas produksi.
Salah satu poin penting dari budidaya gaharu adalah bahwasanya tanaman ini
membutuhkan naungan dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Sumarna (2008)
menjelaskan bahwa pertumbuhan tanaman gaharu akan ideal pada tempat tumbuh
dengan intensitas cahaya 56-75%. Kebutuhan tanaman gaharu akan cahaya yang tidak
dalam kondisi terbuka ini membuka peluang untuk mengembangkan budidaya gaharu
secara pola tanam campuran. Beberapa keuntungan dari budidaya tanaman gaharu
dengan pola tanam campur adalah (Sofyan dan Imam, 2013):
1. Tanaman gaharu tumbuh dengan normal sebagaimana tanaman gaharu yang tumbuh
pada kondisi alaminya. Tanaman gaharu yang di tanam secara terbuka membutuhkan
“perlakuan khusus” untuk memperoleh pertumbuhan yang normal seperti: pemupukan
yang tepat ataupun sistem penyiapan lahan yang khusus (jalur dan cemplongan).
2. Meningkatkan produktifitas lahan melalui pemanfaatan ruang tumbuh (spasial).
3. Sebagai tanaman pencampur, tanaman gaharu bukan merupakan tanaman utama
karena berfungsi sebagai tanaman sela, namun mempunyai kontribusi nilai ekonomi
yang bisa jadi lebih tinggi dari nilai tanaman utamanya.
4. Karena berfungsi sebagai tanaman pencampur, maka elemen biaya pembuatan
tanaman gaharu relatif rendah. Biaya yang dikeluarkan dalam budidaya tanaman
gaharu hanya sebatas biaya pengadaan bibit, penanaman dan pemanenan. Sedangkan
biaya untuk penyiapan lahan dan pemeliharaan pada dasarnya melekat pada tanaman
utama.
5. Keuntungan yang tidak kalah pentingnya adalah bahwasanya pola tanam campur
(lebih dari satu pohon) berfungsi menjaga stabilitas ekosistem serta mempunyai
variasi produksi dalam suatu lahan pengelolaan, sebagai salah satu strategi antisipasi
dampak buruk perubahan pasar.
Gaharu pada umumnya terbentuk pada bagian kayu atau akar setelah mengalami
proses perubahan fisika dan kimia akibat terinfeksi oleh sejenis jamur. Perubahan
tersebut terjadi akibat respon dari tanaman sebagai mekanisme pertahanan tubuh yang
Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan
10 Laporan Hasil Penelitian 2015
terinfeksi oleh agen tertentu seperti rangsangan fisiologi maupun keadaan cekaman
(Isnaini, 2004). Sistem pertahanan dalam tanaman tersebut karena adanya zat ekstraktif
atau metabolit
sekunder yang terdapat pada pohon. Konsentrasi metabolit sekunder tersebut bervariasi
antar species, antar pohon dalam species yang sama dan pengaruhnya sangat bervariasi
pada kondisi lingkungan yang berbeda (GIFNFC, 2007; Hills, 1987).
Adanya varietas jamur dari berbagai tempat asal, juga merupakan faktor yang
sangat berpengaruh terhadap gaharu yang dihasilkan. Santoso dkk., (2011) melakukan
kegiatan inokulasi pada tanaman A. microcarpa di Hutan Penelitian Carita dengan
menggunakan isolate Fusarium spp yang berasal dari berbagai daerah yaitu Gorontalo,
Kalimantan Barat, Jambi dan Padang. Hasil inokulasi pada umur 6 bulan, menunjukkan
bahwa isolate dari Gorontalo mempunyai nilai infeksi yang tertinggi yaitu 4,13 cm
sedangkan yang terendah adalah infeksi isolate dari Jambi yaitu sebesar 1,86cm. Hasil ini
mengindikasikan bahwasanya gaharu yang terbentuk pada tanaman merupakan hasil
interaksi dari tiga factor utama yaitu individu tanaman (jenis dan resistensinya terhadap
infeksi isolate), jenis jamur yang menyerang dan kondisi tapak spesifik (edafis dan
klimatis).Kombinasi yang tepat dari ketiga faktor tersebut di atas, diharapkan dapat
menghasilkan gaharu dengan kualitas dan kuantitas yang tinggi.Kombinasi yang
dihasilkan pada tegakan alam tentu saja sangat bervariasi karena merupakan interaksi
ketiga faktor di atas, yang sejak semula tidak ada sentuhan atau campur tangan
manusia.Sehingga gaharu pada tegakan alam sangat bervariasi, baik dari aroma maupun
kualitas yang dihasilkan.
Dengan berkembangnya teknologi inokulasi, manusia ingin menghasilkan gaharu
dengan kuantitas dan kualitas yang diinginkan.Teknologi tersebut dilakukan dengan
tindakan penyuntikan/ inokulasi dengan jenis isolat tertentu pada jenis-jenis tanaman
penghasil gaharu, dengan harapan dapat menghasilkan gaharu yang mempunyai nilai
pasar dan kualitas yang tinggi dalam waktu yang relatif cepat.Namun, tidak semua
pohon yang dilakukan inokulasi menjadi berhasil dan mengandung gaharu, bahkan
beberapa pohon yang di inokulasi mengalami kematian. Hal ini dimungkinkan karena
sampai dengan saat ini belum tersedia data dan informasi yang akurat dan detail yang
berhubungan dengan kesesuaian (kecocokan) antara jenis tanaman penghasil gaharu
dengan kualitas tempat tumbuh dan inokulan yang digunakan.
Produksi gaharu Indonesia mengalami perkembangan yang signifikan dan
diimbangi dengan peningkatan kuota produksi di perdagangan Internasional. Siran
(2010) mengemukakan bahwa untuk jenis A. malaccensis, pada tahun 2007 Indonesia
bisa merealisasikan produksi sebesar 79% dari kuota sebesar 30.000 ton dan realisasinya
Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan
11 Laporan Hasil Penelitian 2015
meningkat menjadi 100% dengan kuota yang sama pada tahun 2008. Sedangkan pada
tahun 2009 terjadi peningkatan kuota sebesar 173.250 ton dan terealisasi sebesar 43%
(Siran, 2010). Nilai ekspor gaharu Indonesia pada tahun 2013 sebesar 758 ton (Sukoco,
2014). Data dan informasi ini merupakan peluang dan sekaligus tantangan bagi
pengusahaan gaharu untuk dapat memenuhi kuota produksi yang ada.
Upaya pemenuhan kuota perdagangan gaharu relative lebih cepat terpenuhi
melalui produksi gaharu yang dibentuk oleh proses inokulasi. Selama periode 2-3 tahun
setelah inokulasi, gaharu dapat dipanen dengan kuantitas yang lebih banyak bila
dibandingkan dengan kuantitas gaharu alam. Proses pemanenan gaharu tidaklah
mengalami kesulitan yang berarti. Permasalahan mulai muncul berhubungan dengan
perdagangan gaharu.Pasar perdagangan gaharu di tingkat petani masih “tertutup”.Harga
perdagangan gaharu per kg di tingkat internasional mempunyai harga yang sangat tinggi
berkisar antara 1 juta sampai dengan puluhan juta rupiah tergantung dari kualitas mutu
gaharu.Pada tingkatan petani, harga gaharu biasanya relative rendah.Pasar yang
tertutup menyebabkan petani tidak bisa menjual produk gaharunya secara langsung
pada pembeli utama, sehingga harga di tingkat petani sangat tergantung pada harga
yang di tawarkan oleh pengepul yang biasanya mempunyai rantai pemasaran yang
panjang.
Sampai dengan saat ini penentuan harga produk gaharu bersifat subyektif.
Pedagang yang membeli produk gaharu menentukan harga berdasarkan dua komponen
utama yaitu berdasarkan warna dan kandungan “wangi” gaharu yang biasanya di uji
cobakan dengan membakar sedikit gaharu dan mencium harum “wangi” gaharu yang
ada. Pada prinsipnya semakin hitam warna gaharu dan semakin harum baunya, maka
gaharu tersebut semakin.Standart warna dan harum tersebut sangat bersifat subyektif
karena indikator “warna” dan “”wangi” akan berbeda bagi setiap orang dan secara
otomatis hal ini akan bisa dipermainkan oleh pembeli. Identifikasi kandungan “wangi”
gaharu berhubungan erat dengan komponen kimiawi yang terdapat di dalamnya. Adanya
senyawa seskuiterpen dan khromon dengan porsi dan karakteristik tertentu pada
masing-masing ke empat mutu gaharu (kacangan A, Teri B, kemedangan A dan
Kemedangan B) berindikasi dapat menjelaskan pembagian mutu gaharu tersebut mulai
dari terbaik hingga terendah (Waluyo dan Anwar, 2012). Pengetahuan identifikasi
senyawa kimiawi aktif dalam hubungannya dengan produk gaharu yang bisa dihasilkan
pada suatu tempat, pada suatu jenis tanaman dan inokulan tertentu dengan kondisi
kualitas tempat tumbuh yang spesifik sangatlah penting sebagai tolok ukur produksi dan
identifikasi kualitas yang berdampak pada penentuan harga yang “adil” sesuai dengan
kualitas “wangi” yang sesungguhnya.
Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan
12 Laporan Hasil Penelitian 2015
III. METODOLOGI PENELITIAN
Kegiatan penelitian pada tahun 2015 dilakukan dengan metode survey dan
eksperimental dalam bentuk pembuatan petak ukur dan perancangan percobaan.Studi
persyaratan tumbuh jenis tanaman penghasil gaharudilakukan secara langsung di
lapangan dan secara tidak langsung dengan mengumpulkan data sekunder. Parameter
kualitas tapak (tempat tumbuh) yang diukur/diamati terdiri dari 21 karakteristik tapak
yang dikelompokkan dalam 9 kualitas tapak (CSR dan FAO, 1983) seperti disajikan pada
Tabel 1.
Tabel 1. Kualitas dan karakteristik tapak untuk studi persyaratan tempat tumbuh
tanaman penghasil gaharu
Kualitas Tapak Karakteristik Tapak Cara Mendapatkan
Data 1 2 3
1. Drainase (w) - Kondisi Drainase Penilaian
2. Retensi Hara (a) - KTK subsoil (me/100 g) Analisa Laboratorium
- pH permukaan Analisa Laboratorium
- Kejenuhan Al (%) Analisa Laboratorium
- Kedalaman Sulfidik (cm) Pengukuran Lapangan
3. Media Perakaran (s) - Tekstur (pasir, debu, liat) Analisa Laboratorium
- Lereng (%) Pengukuran Lapangan
- Batuan Permukaan (%) Penilaian Lapangan
- Batuan Singkapan (%) Penilaian Lapangan
4. Kedalaman Tanah (sd)
- Kedalaman Efektif (cm) Pengukuran Lapangan
5. Ketersediaan Air - Bulan kering (CH<75 mm) Data Sekunder
- Curah Hujan Tahunan (mm) Data Sekunder
- Temperatur Tahunan rata-rata
Data Sekunder
- Bahaya Banjir Penilaian Lapangan
6. Erosi (e) - Tingkat Bahaya Erosi Penilaian Lapangan
7. Hara Tersedia (n) - N-total (%) Analisa Laboratorium
- P-tersedia (ppm) Analisa Laboratorium
- K-tersedia 9me/100 g) Analisa Laboratorium
8.Kemudahan
Pengolahan (p)
- Tekstur Penilaian Lapangan
- Struktur Penilaian Lapangan
- Konsistensi Penilaian Lapangan
Studi sebaran dilakukan dengan mengumpulkan data primer dan data sekunder
yang terkait dengan sebaran alami jenis tersebut atau pada tegakan tanaman penghasil
gaharu yang telah dibudidayakan oleh masyarakat/ perusahaan.Studi sebaran populasi
meliputi pemetaan lokasi sebaran, dan pengukuran serta pengamatan kuantitatif dan
Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan
13 Laporan Hasil Penelitian 2015
kualitatif tegakan. Selain data tersebut di atas, juga dikumpulkan informasi dari
masyarakat lokal yang terkait dengan status pengelolaan dan pemanfaatan jenis tanaman
penghasil gaharu. Pengukuran data kuantitatif tegakan di lapangan disesuaikan dengan
ukuran populasi, jika ukurannya cukup besar disampling dengan intensitas sampling
sebesar 1 – 10 %.
Pengambilan sampel/contoh tanah dilakukan pada lokasi pengambilan data primer
tanaman penghasil gaharu. Contoh tanah diambil dengan melakukan pengeboran yang
terbagi dalam 3 tingkatan kedalaman yaitu 0-20 cm, 20-40 cm. Masing-masing contoh
tanah dimasukkan dalam kantong plastik berlabel untuk selanjutnya dilakukan analisa
kimiawi tanah. Analisis kimia tanah dilakukan berdasarkan masing-masing populasi untuk
mendapatkan data-data kimiawi tanah seperti kandungan pH tanah, C-organik, N-total, P-
Bray, K-dd, Na, Ca, Mg, KTK, Al-dd, H-dd. Bilamana dalam satu populasi terdapat lebih
dari satu lokasi maka sampel tanah yang ada dilakukan pencampuran terlebih dahulu
(komposit).
Data dan informasi letak geografis populasi tanaman penghasil gaharu, data dan
informasi ekologi dan hasil analisis kimiawi tanah dilakukan analisis secara deskriptif
untuk menentukan kualitas tempat tumbuh dari tanaman penghasil gaharu. Persebaran
populasi tanaman penghasil gaharu nantinya di gunakan sebagai dasar dalam pembuatan
peta persebaran dan kualitas tempat tumbuh tanaman penghasil gaharu.
Populasi/ tegakan tanaman penghasil gaharu yang ada di lapangan, sekaligus
dilakukan pemilihan dan penandaan pohon induk. Pohon induk dipilih dengan beberapa
kriteria yaitu : pertumbuhan pohon lebih baik dari rerata populasi (tinggi dan diameter),
bebas dari hama penyakit tanaman, arsitektur pohon bagus (silindritisitas batang,
proporsi tajuk), kemampuan tanaman untuk berbunga, berbuah serta potensi anakan
alam. Pohon induk terpilih diberi label/ tanda dengan kodefikasi tertentu dan dilakukan
pemetaan untuk memudahkan dalam pelacakan lokasi tanaman.
Koleksi materi perbanyakan (benih atau anakan alam) dilakukan pada pohon induk
terpilih secara terpisah dengan masing-masing masih tetap mempunyai identitas dari
pohon induknya. Koleksi bahan perbanyakan (biji ataupun anakan alam) digunakan
sebagai materi pembibitan dan juga di gunakan sebagai materi untuk pembangunan
demplot pada tahun berikutnya.
Penelitian pertumbuhan tanaman gaharu dilakukan membuat petak ukur
permanen (PUP) pada tanaman gaharu budidaya yang dikembangkan oleh masyarakat
baik yang dikembangkan dalam pola monokultur ataupun yang dikembangkan dengan
berbagai pola tanam campuran. Masing-masing petak ukur dilakukan pengukuran dimensi
tanaman penghasil gaharu meliputi diameter setinggi dada (dbh), tinggi total dan lebar
Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan
14 Laporan Hasil Penelitian 2015
tajuk. Masing-masing individu tanaman dalam suatu lokasi dilakukan pemetaan pohon
(peta pohon) dan pola tanamnya.Pengamatan dan pengukuran petak ukur permanen ini
dilakukan secara periodic satu tahun sekali untuk mengetahui riap tahunan (CAI atau
MAI).
Secara umum penelitian analisis sosial ekonomi untuk karakteristik pemasaran dan
sosial budaya gaharu menggunakan metode survei dimana data primer maupun data
sekunder dikumpulkan dengan menggunakan teknik observasi lapang dan teknik
wawancara. Teknik observasi lapang dilakukan guna mendapatkan informasi awal pada
lokasi yang akan dijadikan areal penelitian, dan wawancara dilakukan untuk menggali
informasi sedalam mungkin terhadap masyarakat yang terlibat langsung dalam kegiatan
pembudidayaan gaharu dan pihak terkait lainnya dengan menggunakan kuesioner
terstruktur dan semi terstruktur.
Identifikasi pelaku pemasaran dilakukan untuk mengetahui tata niaga pemasaran
gaharu yang hingga saat ini terkesan tertutup. Metode yang digunakan adalah metode
bola salju (snowball sampling), yaitu metode dimana tokoh kunci terpilih akan membawa
peneliti pada tokoh-tokoh kunci selanjutnya. Snowball sampling digunakan karena objek
penelitian tergolong langka dan umumnya bersifat berkelompok.
Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan
15 Laporan Hasil Penelitian 2015
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Sebaran dan Potensi Tanaman Penghasil gaharu
Pulau Sumatera dan Bangka Belitung merupakan salah satu pulau sebagai tempat
habitat alami tanaman penghasil gaharu.Identifikasi sebaran dan populasi tanaman
penghasil gaharu dilakukan di beberapa tempat yaitu di Propinsi Sumatera Selatan yaitu
di Kabupaten Lahat, Musi Banyuasin, Banyuasin, Kota Palembang, Musi Rawas dan Musi
Rawas Utara; sedangkan identifikasi sebaran dan populasi tanaman penghasil gaharu
yang ada di Propinsi Bangka Belitung dilakukan di Kabupaten Bangka Tengah.
Populasi tanaman penghasil gaharu yang terdapat di wilayah Sumatera Selatan
umumnya merupakan tanaman penghasil gaharu alami yang banyak tumbuh di lahan
hutan sekunder ataupun pada lahan-lahan tanaman karet tua.Tanaman penghasil gaharu
tumbuh mulai dari dataran rendah sampai dengan daerah dataran tinggi, kemiringan
lahan yang datar sampai topografi yang curam dan bergelombang, serta pada berbagai
tipologi tanah.Hasil ini memberikan gambaran bahwa tanaman penghasil gaharu
mempunyai penyebaran yang luas dalam pengertian dapat tumbuh baik pada berbagai
kondisi lahan/tapak dan lingkungan. Bilamana mempunyai persebaran yang luas, maka
bisa diyakinkan tanaman penghasil gaharu mempunyai variasi genetik yang besar
pula.Persebaran tanaman penghasil gaharu yang luas juga memberikan dampak positif
dan menunjukkan bahwa tanaman penghasil gaharu dapat dapat dikembangkan pada
berbagai walayah yang sangat luas.
Masyarakat Sumatera Selatan pada umumnya mengenal tanaman gaharu sebagai
jenis tanaman yang mampu untuk menghasilkan “kayu gubal” yang beraroma
wangi.Namun, masyarakat belum banyak yang mengetahui bahwa tanaman gaharu salah
satunya bisa menghasilkan “wangi” gaharu dengan perlakuan inokulasi. Potensi alami
tanaman gaharu yang ada di lahan hutan sekunder ataupun kebun karet tua hanya
sebagai asset yang tidak termanfaatkan, menunggu bilamana ada pemburu gaharu alami
ataupun menunggu dana untuk dilakukan perombakan lahan sebagai lahan perkebunan.
Namun, di beberapa tempat (Kabupaten Musi Banyuasin) juga terdapat beberapa pemilik
tanaman gaharu alami yang mengetahui bahwasanya aroma wangi bisa terbentuk dengan
adanya penyuntikan dan berharap ada “pemodal” yang bisa melakukan inokulasi.
Sebagian besar masyarakat mempunyai pemikiran bahwa untuk melakukan inokulasi
harus mempunyai modal yang tinggi untuk pembelian inokulan dan proses inokulasi di
lapangan.
Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan
16 Laporan Hasil Penelitian 2015
Pengelolaan tanaman penghasil gaharu yang intensif sudah mulai dilakukan oleh
masyarakat di Kabupaten Musi Rawas dan Musi Rawas Utara.Masyarakat sudah mulai
melakukan inokulasi pada pohon-pohon gaharu alam dengan menggunakan inokulan
yang dikerjasamakan/ kemitaraan.Selain itu, masyarakat sudah mulai mengembangkan
tanaman penghasil gaharu dalam bentuk budidaya yang dikembangkan di antara
tanaman perkebunan karet.Pola budidaya seperti ini mempunyai perbedaan waktu tanam
dan terdapat “fase penantian tanam” untuk tanaman penghasil gaharu.Tahap awal
tanaman karet di tanam terlebih dahulu, ketika tanaman karet berumur 3-4 tahun dan
kondisi tajuk sudah mulai menutup, dilakukan penanaman tanaman gaharu di antara
tanaman karet (titik diagonal).Budidaya tanaman gaharu di antara tanaman karet (pola
tanam campur) mempunyai beberapa keuntungan yaitu:
1. Pertumbuhan tanaman gaharu mempunyai sifat “toleran” atau butuh naungan.
Sumarna (2008) dalam Santoso dkk., (2012) mengemukakan bahwa tanaman
penghasil gaharu (A. malaccensis dan A. microcarpa) tumbuh baik pada suhu 20-
27oC, kelembaban nisbi 78-85% dan intensitas cahaya 56-75%. Penanaman
gaharu di sela sela tanaman karet mampu memberikan kecukupan naungan yang
dibutuhkan oleh tanaman gaharu untuk tumbuh dan berkembang optimal.
2. Tanaman gaharu tumbuh dengan normal, batang pokok tunggal, bebas cabang
tinggi sebagaimana tanaman gaharu yang tumbuh pada kondisi alaminya.
3. Meningkatkan produktifitas lahan melalui optimalisasi pemanfaatan ruang tumbuh
(spasial).
4. Sebagai tanaman pencampur, tanaman gaharu bukan merupakan tanaman utama
karena berfungsi sebagai tanaman sela, namun mempunyai kontribusi nilai
ekonomi yang bisa jadi lebih tinggi dari nilai tanaman utamanya.
5. Karena berfungsi sebagai tanaman pencampur (bukan tanaman pokok), maka
elemen biaya pembuatan tanaman gaharu relatif rendah. Biaya yang dikeluarkan
dalam budidaya tanaman gaharu dengan karet hanya sebatas biaya pengadaan
bibit, penanaman dan pemanenan. Sedangkan biaya untuk penyiapan lahan dan
pemeliharaan pada dasarnya melekat pada tanaman utama.
6. Keuntungan yang tidak kalah pentingnya adalah bahwasanya pola tanam campur
(lebih dari satu pohon) berfungsi menjaga stabilitas ekosistem serta mempunyai
variasi produksi dalam suatu lahan pengelolaan, sebagai salah satu strategi
antisipasi dampak buruk perubahan pasar.
Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan
17 Laporan Hasil Penelitian 2015
a.
b.
c.
Gambar 1. Tanaman gaharu yang terdapat di Musi Rawas (a), Lahat (b) dan Musi Banyuasin (c) Propinsi Sumatera Selatan
Pola tanam gaharu dengan sistem campur ini juga sudah mulai banyak dilakukan
pada beberapa daerah lain dan dengan jenis tanaman penghasil gaharu yang berbeda.
Pola tanam campur antara tanaman karet dengan A. malaccensis terdapat di Kabupaten
Banyuasin-Sumatera Selatan,Kabupaten Merangin-Jambi (Sofyan dkk., 2010), campuran
Aquilaria spp dengan tanaman karet atau kakao terdapat di Propinsi Bengkulu
(Wiriadinata dkk., 2010), sedangkan campuran antara tanaman karet dengan A.
microcarpa terdapat di Sarolangun-Jambi (Wiriadinata, 2004 dalam Wiriadinata dkk.,
2010). Tumpangsari antara Gyrinops versteegii dengan coklat, jagung dan singkong
terdapat di Rarung-Nusa Tenggara Barat (Surata dan Soenarno, 2011). Campuran antara
tanaman sungkai dengan gaharu di Kabupaten Merangin-Jambi (Sofyan dkk., 2010).
Penanaman A. malaccensis dengan kelapa sawit terdapat di Kabupaten Rokan Hulu-Riau
(Suhartati dan Wahyudi, 2011). Campuran antara gaharu dengan vanili terdapat di Luwu
Utara-Sulawesi Selatan (Subehan dkk., 2005). Pengelolaan tanaman gaharu pada lahan
hutan yang didominasi oleh tanaman pohon (meranti, mahoni, pulai, khaya) dan tanaman
buah (melinjo, durian, cengkeh, jengkol, petai, dan nangka) terdapat di KHDTK Carita
Banten, Jawa Barat (Suharti, 2010).
Budidaya tanaman penghasil gaharu yang terdapat di beberapa daerah di Pulau
Bangka mempunyai pola yang berbeda dengan budidaya yang dilakukan di pulau
Sumatera.Budidaya tanaman penghasil gaharu mempunyai karakteristik yang spesifik bila
dibandingkan dengan daerah lainnya.Kondisi iklim Pulau Bangka yang panas, jenis tanah
yang mengandung banyak pasir atau bahkan pasir murni pada areal bekas tambang
timah, namun masih mampu untuk membuat budidaya tanaman penghasil gaharu yang
cukup luas.
Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan
18 Laporan Hasil Penelitian 2015
Tanaman penghasil gaharu (Aquilaria malacensis maupun A microcarpa)dapat
ditanam dan tumbuh baik pada areal terbuka, dengan perkataan lain pengembangan
budidaya tanaman gaharu dilakukan dengan tanpa naungan.Pola budidaya pada lahan
terbuka (tanpa naungan) yang diterapkan oleh masyarakat bangka terbentuk dalam pola
tanaman monokultur murni atau berupa tanaman campuran. Pengembangan secara
monokultur mempunyai teknik penanaman yang sama seperti penanaman tanaman keras
lainnya (jati, mahoni, sungkai dsb) dan tidak terdapat suatu pengelolaan yang khusus.
Kegiatan pemeliharaan yang dilakukan hanya sebatas pada kegiatan pengendalian gulma
dan pemupukan rutin.
Pengembangan pola tanam campur yang terbuka merupakan pola budidaya lahan
terbuka yang lebih optimal bila dibandingkan dengan pola monokultur terbuka.Seperti kita
ketahui, bahwasanya sebagian besar masyarakat di pulau Bangka aktif mengembangkan
tanaman lada (Piper nigrum) sebagai komoditi utama perkebunan.Pengembangan
tanaman lada menjadi semakin aktif sejak terjadinya kemorosotan harga tanaman
karet.Tanaman gaharu umumnya di tanam sebagai batas kepemilikan lahan lada atau
ditanam pada jalur tanaman lada dengan jarak tanam yang relatif lebar. Mengingat
tanaman lada bukanlah jenis tanaman yang rimbun, maka tanaman gaharu yang
dikembangkan secara otomatis akan mendapatkan cahaya matahari penuh dan juga
mendapatkan tambahan nutrisi “gratis” dari sekitar tanaman lada yang intensif
mendapatkan pemupukan yang dilakukan oleh petani.
a.
b.
c.
Gambar 2.tanam gaharu campuran ternaungi di Kabupaten Musi Rawas (a), pola tanam campur terbuka (b) dan pola tanam monokultur terbuka (c) di Pulau Bangka
Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan
19 Laporan Hasil Penelitian 2015
Satu hal yang sangat menarik untuk dicermati dalam hubungannya dengan
pertumbuhan tanaman gaharu pada tempat terbuka dan tempat yang ternaungi adalah
pada kondisi batang utama gaharu.Penanaman tanaman penghasil gaharu pada tempat
ternaungi umumnya membentuk batang tunggal (monopodial).Naungan memberikan
pengaruh pengaktifan pertumbuhan meninggi untuk mendapatkan sinar, pertunasan
cabang yang kurang aktif dan mengoptimalkan potensi peluruhan cabang (pruning) alami
yang tinggi, sehingga batang relatif lebih lurus dan bebas cabang tinggi.Penanaman
tanaman penghasil gaharu pada tempat terbuka umumnya akan membentuk batang
ganda (lebih dari satu batang utama) dengan porsi diameter masing-masing batang yang
relatif sama.Batang tanaman penghasil gaharu akan menerima cahaya matahari penuh,
pertunasan batang akan aktif dan membentuk batang utama baru. Batang ganda yang
terbentuk umumnya berkisar antara 3-6 batang utama.
Pertumbuhan tanaman gaharu dengan jumlah batang pokok yang lebih dari satu
sebenarnya mempunyai beberapa keuntungan bila dibandingkan dengan tanaman gaharu
yang hanya mempunyai satu batang pokok. Tanaman gaharu batang ganda umumnya
mempunyai jumlah batang 3-6 batang dengan rerata pertumbuhan diameter pohon yang
lebih besar bila dibandingkan dengan diameter pohon yang mempunyai batang pokok
tunggal/ individual. Penampilan batang ganda dengan jumlah 3 batang mempunyai
ukuran diameter yang relatif sama, namun bilamana jumlah batang lebih dari 3 umumnya
batang ke 4 dan 5 mempunyai ukuran diameter yang lebih kecil (Sofyan dkk., 2010).
Semakin besar diameter batang pokok, maka luas bidang dasar batang yang bisa di
inokulasi juga semakin besar, sehingga nantinya hasil yang di dapatkan juga semakin
besar.Namun, untuk memperoleh pertumbuhan tanaman gaharu yang optimal sesuai
dengan tujuan penanaman.sebaiknya jumlah batang ganda tetap harus dikontrol (dijaga),
misalnya dengan membatasi jumlah batang pokok agar tidak terlalu banyak dengan
menyeleksi atau menyisakan 2-3 batang pokok saja.
Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan
20 Laporan Hasil Penelitian 2015
a.
b.
c.
Gambar 3. Penampilan batang utama tunggal tanaman penghasil gaharu pada lahan ternaungi (a), batang ganda saat umur 10 bulan dan 8 tahun pada lahan terbuka (b,c)
Keuntungan lain dari adanya batang ganda ini adalah berhubungan dengan
pengaturan proses produksi dan memperkecil tingkat resiko kegagalan inokulasi. Proses
inokulasi dapat dilakukan secara bertahap, misalnya bilamana terdapat batang pokok
berjumlah 3 maka inokulasi dapat dilakukan dengan 3 tahapan waktu yang berbeda atau
waktu inokulasi yang sama, namun waktu pemanenan yang dapat dilakukan berbeda-
beda. Pemanenan pada waktu yang berbeda-beda menjamin kontinuitas produksi
tanaman gaharu yang di dapatkan dan berdampak pada pendapatan yang berkelanjutan.
Adanya waktu inokulasi dan kegiatan pemanenan yang berbeda-beda ini secara tidak
langsung akan memperkecil resiko tingkat kegagalan. Bilamana proses inokulasi
mengalami kegagalan pada suatu batang, maka masih terdapat batang lain dalam pohon
yang sama yang bisa diinokulasi sebagai pengganti inokulasi pada batang yang gagal
tersebut. Selain itu, waktu pemanenan yang berbeda juga mempengaruhi jaminan
kualitas dari hasil yang didapatkan, pemanenan dalam jangka waktu panjang umumnya
akan mempunyai kualitas hasil yang lebih baik bla dibandingkan dengan pemanenan
dalam jangka waktu pendek. Dengan sistem seperti ini, petani bisa membuat rencana
produksi/ pemanenan berdasarkan jaminan kualitas hasil dan nilai ekonomi (harga jual)
gaharu sesuai kebutuhan.
2. Aspek Silvikultur dan Pemuliaan
Budidaya tanaman merupakan salah satu pembuatan tanaman dengan berbagai
input (perlakuan/treatment) dalam usaha untuk memaksimalkan produksi (produktifitas).
Budidaya tanaman gaharu dalam konteks peningkatan produktifitas bertujuan untuk tidak
hanya sekedar mengembangbiakkan jenis tanaman penghasil gaharu, namun tanaman
Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan
21 Laporan Hasil Penelitian 2015
yang telah dikembangkan tersebut juga harus mampu menghasilkan gaharu dengan
kuantitas dan kualitas yang diinginkan.Peningkatan produktifitas tanaman dapat dilakukan
dengan melakukan tiga aspek pengelolaan yaitu penggunaan benih unggul, aplikasi teknik
silvikultur dan perlindungan tanaman.
Penggunaan benih unggul merupakan salah satu aspek penting dalam upaya
peningkatan produktifitas tanaman, karena memang sebagian besar kinerja pertumbuhan
tanaman dibentuk dan dibangun dari bibit yang berasal dari benih.Benih yang bergenetik
unggul dapat mewariskan sifat-sifat keunggulannya kepada keturunannya.Sampai dengan
saat ini, belum terdapat sumber benih yang menghasilkan benih unggul dalam pengertian
unggul secara kuantitas dan kualitas genetik dari jenis-jenis tanaman penghasil gaharu.
Sumber benih dapat diartikan sebagai suatu tegakan hutan baik hutan alam
maupun hutan tanaman yang ditunjuk atau dibangun khusus untuk dikelola untuk
memproduksi benih bermutu (Badan Standardisasi Nasional, 2005). Dalam definisi sumber
benih tersebut terdapat beberapa elemen yang menjadi komponen dalam suatu sumber
benih yaitu:
a. Suatu sumber benih merupakan “tegakan” dalam pengertian mempunyai lebih dari
satu pohon dan tidak sendiri (soliter) serta terdapat interaksi antar pohon. Sumber
benih dipersyaratkan berupa tegakan dengan maksud agar benih yang dihasilkan
merupakan hasil dari penyerbukan silang dan bukan penyerbukan sendiri
(inbreeding).
b. Tegakan dapat berupa hutan alam ataupun hutan tanaman yang ditunjuk atau
dikonversi menjadi sumber benih; ataupun berupa hutan tanaman yang memang dari
awal perencanaan dibangun sebagai sumber benih.
c. Terdapat pengelolaan dalam tegakan tersebut seperti pemeliharaan, perlindungan
hama penyakit, pemupukan dan lain sebagainya.
d. Tegakan tersebut mampu menghasilkan (memproduksi) benih yang bermutu, dimana
mutu benih secara genetik akan berbeda pada setiap masing-masing sumber benih.
Berdasarkan Permenhut No. 72/ Menhut-II/2009 tentang perubahan atas
Permenhut P.01/Menhut-II/2009 tentang Penyelenggaraan Perbenihan Tanaman Hutan,
terdapat 7 kelas sumber benih yang ada di Indonesia yang dibagi berdasarkan kualitas
genetik dari benih yang dihasilkannya. Macam kelas sumber benih tersebut adalah: (1)
Tegakan Benih Teridentifikasi (TBT), (2) Tegakan Benih Terseleksi (TBTs), (3) Area
Produksi Benih (APB), (4) Tegakan Benih Provenan (TBP), (5) Kebun Benih Semai (KBS),
(6) Kebun Benih Klon (KBK), dan (7) Kebun Pangkas. Sumber benih pada kelas 1 dan 2
dilakukan melalui penunjukan, kelas 3 dilakukan melalui penunjukan/ konversi dari TBT/
TBTs dan atau pembangunan, sedangkan sumber benih dari kelas 4-7 dilakukan melalui
Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan
22 Laporan Hasil Penelitian 2015
pembangunan berdasarkan prinsip-prinsip dasar pemuliaan pohon. Semakin tinggi kelas
sumber benihnya, maka kualitas genetik dari benih yang dihasilkan juga semakin baik,
begitu juga sebaliknya.
Pembangunan tanaman gaharu (budidaya gaharu) yang dikembangkan oleh
masyarakat pada dasarnya menggunakan materi yang berasal dari beberapa sumber
yaitu: (1) masyarakat mengelola tanaman gaharu yang sudah tumbuh secara alami di
kebunnya, (2) masyarakat menggunakan materi berupa cabutan dari anakan alam yang
banyak terdapat di sekitar tanaman penghasil gaharu, umumnya cabutan berukuran kecil
dan mempunyai daun 4-6 daun, (3) masyarakat menggunakan materi berupa benih yang
dikecambahkan terlebih dahulu dan pada saat sudah mempunyai daun 2-4 dipindahkan
ke dalam polybag. Penggunaan materi berupa cabutan anakan alam merupakan yang
paling banyak di gunakan oleh masyarakat karena memang mudah dalam
pelaksanaannya dan mempunyai resiko yang lebih kecil dibandingkan dengan
menggunakan biji yang umumnya cenderung tidak tahan disimpan, sehingga harus
segera di kecambahkan.
Sampai dengan saat ini, penggunaan materi benih atau anakan alam yang
digunakan untuk pembuatan tanaman penghasil gaharu masih menggunakan benih/
anakan alam secara asalan. Hal ini dilakukan karena memang sampai dengan saat ini
sumber benih untuk jenis tanaman penghasil gaharu yang mempunyai kualitas genetik
unggul memang belum tersedia. Data dan informasi menyebutkan bahwa sumber benih
untuk jenis tanaman penghasil gaharu di indonesia yang telah disertifikasi oleh Balai
Perbenihan Tanaman Hutan (BPTH) adalah sebanyak 21 sumber benih (SIM-RHL, 2015).
Rekapitulasi sumber benih dari beberapa jenis tanaman penghasil gaharu selengkapnya
disajkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Sumber Benih Tanaman Penghasil Gaharu Di Indonesia
No No.
Sumber Benih Lokasi Jenis
Luas (Ha)
Kelas
1. 12.13.001 BPTH Sumatera
Kel.Pekan Bahorok, Kec. Bahorok, Kab. Langkat, SUMUT
Aquilaria malaccensis
0.80
TBT
2. 12.13.004 BPTH Sumatera
Desa Timbang Jaya, Kec. Bahorok, Kab. Langkat, SUMUT
A. malaccensis
0.75 TBT
3. 13.09.013 BPTH Sumatera
Desa Rumbai, Kec. Mapatunggal, Kab. Pasaman, SUMBAR
A. malaccensis 2.00 TBT
4. 15.02.001
BPTH Sumatera
Desa Pulau Aro, Kec. Tabir Ulu, Kab.
Merangin, JAMBI
A. malaccensis 4.00 TBT
5. 17.04.005 BPTH Sumatera
Desa Jembatan II, Kec. Kaur Selatan, Kab. Kaur, BENGKULU
A. malaccensis 1.50 TBT
6. 18.04.001 BPTH Sumatera
Desa Bumi Jawa, Kec. Batanghari Nuban, Kab. Lampung Timur, LAMPUNG
A. malaccensis 0.25 TBT
7. 61.03.001 BPTH Kalimantan
DESA: Desa Sumsum, Kec Mandor, Kab. Landak, KALBAR
A. malaccensis 3.00 TBT
8. 61.06.016 Desa Nanga Tayap, Kec. Nanga Tayap, A. malaccensis 2.00 TBT
Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan
23 Laporan Hasil Penelitian 2015
Keterangan: TBT= Tegakan Benih Teridentifikasi, Sumber: SIM-RHL (2015)
Sumber benih tanaman penghasil gaharu (Tabel 2.) yang telah disertifikasi oleh
Balai Perbenihan Tanaman Hutan (BPTH) untuk jenis A. malaccensis dan A. filaria
semuanya berada pada kelas Tegakan Benih Teridentifikasi (TBT).Sumber benih dalam
kelas TBT merupakan sumber benih yang dibentuk berdasarkan penunjukan dari tegakan
yang sudah ada dengan beberapa kriteria/ indikator sebagai dasar
penunjukan(Permenhut No. 72/ Menhut-II/2009 tentang perubahan atas Permenhut
P.01/Menhut-II/2009 tentang Penyelenggaraan Perbenihan Tanaman Hutan), yaitu: 1)
Tegakan yang berasal dari hutan alam atau hutan tanaman yang tidak direncanakan dari
awal untuk dijadikan sebagai sumber benih, 2) Asal-usul benihnya tidak diketahui, 3)
Terdapat minimal 25 pohon induk, 4) Kualitas tegakan rata-rata, 5) tidak memerlukan
jalur isolasi, 6) Tidak memerlukan penjarangan.Kriteria dan indikator penunjukan dari
sumber benih kelas TBT tersebut mengindikasikan bahwasanya sumber benih kelas TBT
ditunjuk berdasarkan kriteria dasar adanya tegakan yang bisa menghasikan benih dan
belum mempertimbangkan aspek kualitas genetik dari benih yang dihasilkan.
Pembangunan sumber benih jenis tanaman penghasil gaharu memegang peranan
yang sangat penting sebagai daya dukung pembangunan tanaman gaharu. Beberapa nilai
penting dari pembangunan sumber benih gaharu ini adalah sebagai berikut:
BPTH Kalimantan Kab. Ketapang, KALBAR
9. 62.04.054 BPTH Kalimantan
Desa Sarimbuah, Kec. Gunung Bintang Awai, Kab. Pontianak, KALTENG
A. malaccensis 15.00
TBT
10. 63.02.022 BPTH Kalimantan
Desa Gedambaan, Kec. Pulau Laut Utara, Kab. Kota Baru, KALSEL
A. malaccensis 2.00 TBT
11. 63.03.042
BPTH Kalimantan
Desa Kasai, Kec. Batumandi, Kab.
Kapuas, KALSEL
A. malaccensis 1.83 TBT
12. 63.06.050
BPTH Kalimantan
Desa Jambu Hulu, Kec. padang Batung,
Kab. Hulu Sungai Selatan, KALSEL
A. malaccensis 2.00 TBT
13. 63.06.055 BPTH Kalimantan
Desa Gumbil, Kec. Telaga langsat, Kab. Hulu Sungai Selatan, KALSEL
A. malaccensis 1.00 TBT
14. 63.07.001 BPTH Kalimantan
Desa Setiyap, Kec. Pendawan, Kab. Hulu Sungai Tengah, KALSEL
A. malaccensis 0.13 TBT
15. 63.07.002 BPTH Kalimantan
Desa Murung A, Kec. Batu Benawa, Kab. Hulu Sungai Tengah, KALSEL
A. malaccensis 0.10 TBT
16. 63.09.001
BPTH Kalimantan
Desa Mangkupum, Kec. Muara Uya,
Kab. Tabalong, KALSEL
A. malaccensis 4.00 TBT
17. 63.10.042
BPTH Kalimantan
Desa Kasai, Kec. Batumandi, Kab.
Balangan, KALSEL
A. malaccensis 1.83 TBT
18. 64.01.050 BPTH Kalimantan
Desa Tampakan, Kec. Batu Engau, Kab. Pasir, KALTIM
A. malaccensis 1.00 TBT
19. 64.03.062 BPTH Kalimantan
Desa Bukit Merdeka, Kec. Samboja, Kab. Kutai Kertanegara, KALTIM
A. malaccensis 3.00 TBT
20. 81.03.006 BPTH Maluku
Papua
Desa. Laimu, Kec. Teluti, Kab. Maluku Tengah, MALUKU
A. filaria
0.23 TBT
21. 91.06.004 BPTH Maluku Papua
Desa Warsa, Kec. Biak Utara, Kab. Biak Numfor, PAPUA
A. filaria
1.00 TBT
Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan
24 Laporan Hasil Penelitian 2015
a. Keberlanjutan regenerasi tanaman. Gaharu mempunyai nilai jual yang sangat
tinggi dan prospek yang menguntungkan, sehingga setiap
orang/lembaga/perusahaan mempunyai motivasi yang sangat tinggi untuk
memanen gaharu khususnya gaharu yang terdapat di alam. Bilamana hal ini terus
dibiarkan, maka tanaman gaharu akan semakin langka. Keberadaan sumber benih
yang memang dari awal dibangun dan diperuntukkan untuk memproduksi benih
dapat menjamin produksi benih sebagai bahan regenerasi dalam pembangunan
hutan tanaman gaharu.
b. Sebagian besar tanaman gaharu yang ada saat ini sebagian besar berada di
kebun-kebun masyarakat. Keberadaan tanaman gaharu yang terdapat di kebun
masyarakat tersebut sesungguhnya tidak mempunyai kepastian “kehidupan”,
karena bilamana masyarakat membutuhkan produksi gaharu, maka tanaman
tersebut bisa di tebang/ dipanen, sementara pembangunan sumber benih yang
khusus dibangun di lahan pemerintah dapat menjamin keberlanjutan tanaman
gaharu karena “khusus” sebagai produksi sumber benih.
c. Menambah nilai ekonomi tanaman gaharu melalui pengembangan ekonomi bisnis
“perbenihan” dan “pembibitan” dengan jaminan kualitas yang baik.
d. Pembangunan sumber benih dengan kualitas genetik yang lebih baik masih belum
tersedia di Indonesia.
Faktor utama yang sangat penting dalam pembangunan sumber benih adalah
berhubungan dengan teknik pemilihan pohon yang nantinya digunakan sebagai
“indukan”dalam pengambilan benih.Pemilihan pohon induk (mother trees) harus sesuai
dengan tujuan dari pengusahaan tanaman.Sampai dengan saat ini, petunjuk teknis
kriteria untuk pemilihan pohon induk masih banyak yang mengacu pada produksi kayu.
Untuk produksi kayu, pemilihan pohon induk dari suatu populasi harus berdasarkan
kriteria superioritas dari kayu itu sendiri untuk dijadikan sebagai bahan baku kayu
pertukangan seperti mempunyai pertumbuhan tinggi dan diameter yang baik, batang
bebas cabang tinggi, batang lurus dan silindris, tajuk dan percabangan ringan, tidak
terserang hama penyakit, dan sebagainya. Petunjuk teknis pemilihan pohon induk ini
tidak bisa digunakan untuk tanaman yang produk utamanya adalah hasil hutan bukan
kayu (HHBK) seperti pada tanaman penghasil getah, buah, kulit, gubal gaharu, dan
sebagainya; sehingga diperlukan teknik/ metode lain sebagai bahan rujukan untuk
pemilihan pohon induk tanaman HHBK.
Soehartono dan Mardiastuti (1997), telah melakukan ujicoba inokulasi tanaman
gaharu (Aquilaria) di Kalimantan Timur pada beberapa kelas diameter pohon. Hasil
Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan
25 Laporan Hasil Penelitian 2015
pengujian menunjukkan bahwasanya produksi resin gaharu tidak berkorelasi dengan
diameter dan volume pohon. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwasanya ukuran
diameter dan volume pohon tidak bisa dijadikan sebagai tolok ukur (kriteria) produksi
gaharu. Kriteria pemilihan pohon induk untuk jenis tanaman penghasil gaharu bersifat
spesifik dan berbeda dengan kriteria pemilihan pohon induk pada penghasil kayu. Kriteria
pemilihan pohon induk gaharu berhubungan langsung dengan produksi gaharu yang
dihasilkannya, karena memang nantinya pengusahaan tanaman gaharu mempunyai
tujuan utama menghasilkan gaharu sebagai hasil akhir budidaya.Oleh karena itu
pemilihan pohon induk tanaman penghasil gaharu harus memperhatikan “gubal gaharu”
itu sendiri sebagai obyek utama standart pemilihan dengan memperhatikan faktor-faktor
yang menyebabkan/ mempengaruhi produksi gaharu.
Santoso dkk., (2010) dan Oldfield dkk., (1998) mengemukakan bahwa gaharu
merupakan hasil hutan bukan kayu berupa endapan resin yang terakumulasi pada
jaringan kayu sebagai hasil dari reaksi tanaman terhadap proses pelukaan atau adanya
infeksi penyakit yang umumnya disebabkan oleh jamur ataupun jasad renik lainnya.Van
Beekdan Phillips (1999) mengemukakan bahwa gaharu merupakan respon tanaman
terhadap perlukaan, sedangkan infeksi jamurmeningkatkan produksiresinsebagairespon
tanaman terhadappeningkatan kerusakanakibatpertumbuhan jamur.Berdasarkan hal
tersebut, maka terdapat dua hal yang menjadi kunci dalam pembentukan gaharu yaitu
adanya “infeksi” baik oleh jamur atau organisme ataupun teknik lainnya dan adanya
“respon/ reaksi”tanaman dalam bentuk resin gaharu sebagai bentuk pertahanan akibat
adanya infeksi (Oldfield et al. 1998; Van Beek dan Phillips, 1999). Infeksi pada tanaman
dapat dilakukan melalui pelukaan yang dianggap merupakan pengaruh faktor luar
(lingkungan) dan adanya respon/ reaksi dari pelukaan tersebut yang berhubungan dengan
resistensi (ketahanan) dari dalam tanaman itu sendiri terhadap infeksi yang terjadi.
Melihat dari proses terbentuknya gaharu, peningkatan kualitas pada “diri” tanaman
yang dapat dilakukan adalah dengan memilih dan menggunakan jenis-jenis tanaman
gaharu alam yang sebenarnya secara alamiah sudah mampu menghasilkan gaharu
(proses infeksi alamiah) dan diharapkan sifat “reaksi alami” dalam menghasilkan gaharu
ini diturunkan pada keturunannya. Mengingat gaharu merupakan hasil reaksi dari adanya
infeksi dan hal ini berhubungan dengan resistensi dan reaksi tanaman terhadap penyakit,
maka langkah awal yang paling tepat untuk dilakukan adalah mengidentifikasi pohon-
pohon induk yang secara alamiah dapat dan telah menghasilkan gubal gaharu.
Konsep pemilihan pohon induk berdasarkan resistensinya terhadap hama dan
penyakit sebenarnya telah dilaksanakan dalam pembangunan tanaman pada beberapa
jenis tanaman. Pada tanaman penghasil kayu pertukangan, keberadaan hama penyakit
Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan
26 Laporan Hasil Penelitian 2015
tanaman merupakan ancaman bagi produksi kayu. Tanaman Ash (Fraxinus excelsior)
terserang oleh pathogen Hymenoscyphus pseudoalbidus, dimana hanya 1% tanaman
mempunyai tingkat kerusakan sebesar < dari 10% (Kjaer dkk., 2011). Adanya variasi
genetik dari resistensi terhadap serangan penyakit juga terdapat pada beberapa jenis
tanaman kehutanan lainnya, seperti pada tanaman Eucalyptus globules (Keane dkk.,
2000; Burdon, 2001). Upaya tindak lanjut yang dapat dilakukan adalah sesegera mungkin
mengupayakan konservasiuntuk jenis-jenis yang sehat sebagai bahan konservasi genetik,
produksi benih, ataupun sebagai bahan utama program breeding resistensi penyakit
(Stener, 2012).
Konsep pemilihan pohon induk berdasarkan ketahanan terhadap penyakit yang
dilakukan pada sebagian besar tanaman produksi kayu, mempunyai strategi yang
berkebalikan dengan pemilihan pohon induk pada tanaman penghasil gaharu. Pada
tanaman gaharu, pemilihan pohon induk didasarkan pada tanaman yang secara alamiah
sudah terserang oleh penyakit (penyebab jamur) dan bereaksi membentuk resin gaharu.
Menurut Novriyanti (2010), mekanisme “pertahanan” tanaman penghasil gaharu terhadap
penyakit ini dibawa oleh faktor genetik dan hal ini berhubungan dengan adanya variasi
dari phytoanticipin. Berdasarkan sifat tersebut (genetik), maka pemilihan pohon induk
tanaman penghasil gaharu utamanya harus didasarkan pada indikator adanya
pembentukan gaharu secara alami.
Identifikasi tanaman penghasil gaharu di alam yang secara alamiah bisa
menghasilkan “gaharu” telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Ng et al., (1997)
mengemukakan bahwa pada tanaman A. malaccensis dan A. sinensis yang terdapat di
alam, hanya sekitar 7-10% dari populasi yang ada yang mempunyai kandungan gaharu
akibat terinfeksi oleh jamur. Sedangkan Gibson (1977) dalam Donovan dan Puri (2004)
mengemukakan bahwa hanya sekitar 10% dari tanaman Aquilaria di Indonesia
(Kalimantan) yang mempunyai kandungan gaharu alami. Gianno (1986) dalamLa Frankie
(1994) mengemukakan bahwa hanya 10% dari pohon dewasa yang bisa menghasilkan
gaharu.Hal ini menjadi sangat menarik bahwa walaupun relatif kecil, potensi 7-10%
tersebut sesungguhnya merupakan potensi yang sangat baik untuk dikembangkan
menjadi pohon induk.Hal ini dimungkinkan karena walaupun pohon tersebut tidak
dilakukan inokulasi buatan, namun secara alamiah bisa menghasilkan gaharu secara
alamiah.
Identifikasi pohon induk yang secara alamiah mempunyai kandungan gaharu bisa
dilakukan melalui kombinasi dua cara yaitu identifikasi morfologi tanaman yang
mengandung gaharu dan identifikasi tahap lanjut dengan analisis kandungan kimiawi
resin gaharu. Identifikasi morfologi tanaman yang mengandung gaharu dapat dilakukan
Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan
27 Laporan Hasil Penelitian 2015
dengan melakukan pengamatan pada batang luar tanaman penghasil gaharu. Akter dkk.,
(2013) mengemukakan bahwa tanaman yang telah membentuk gaharu ditunjukkan oleh
adanya batang yang retak dan kulit batang yang mudah untuk dibuka dan dirobek. Hal
yang sama di kemukakan oleh Kelompok Tani Gaharu “Sinar Tani I” di Kabupaten Musi
Rawas (Ribut, komunikasi pribadi). Ketua Kelompok Tani Gaharu “Sinar Tani I”
merupakan salah satu pekerja pencari gaharu alam yang sudah banyak melakukan
eksplorasi gaharu alam. Menurut Ketua Kelompok Tani, tanaman penghasil gaharu yang
batangnya terdapat resin gaharu biasanya ditandai dengan batang yang retak dan
terdapat semut yang bergerombol di sekitar batang retak tersebut. Anakan hasil dari
pohon induk tersebut bilamana digunakan sebagai tanaman baru, maka tanaman baru
secara alamiah juga akan membentuk gaharu yang sama seperti yang terjadi pada
tanaman induknya. Bukti nyata dari pendapat Ketua Kelompok Tani tersebut adalah
adanya tanaman gaharu berumur 5 tahun yang di tanam di sela-sela kebun karet, saat ini
secara alamiah telah mengandung gaharu yang ditandai adanya retakan dan aroma wangi
gaharu hasil pembakaran bagian batang yang mengalami retakan.Berdasarkan data dan
informasi ini dapat dipastikan bahwasanya: 1. Proses pembentukan gaharu yang terjadi
secara alamiah pada suatu pohon akan diturunkan dari induk kepada keturunannya, 2.
Morofologi batang gaharu yang mempunyai kandungan gaharu alamiah dapat dideteksi
dari adanya retakan/ pembengkakan kulit/ kayu dan umumnya pada retakan tersebut
dihuni oleh gerombolan semut, 3. Identifikasi dan deteksi tahap lanjut dilakukan dengan
pengecekan bagian batang yang terdeteksi mengandung gaharu secara alamiah, yaitu
mengambil bagian kayu di bawah tanda retakan dan dilakukan pembakaran untuk
mendeteksi aroma wangi yang sesungguhnya. Ketiga indikator tersebut selanjutnya
dijadikan sebagai panduan dalam identifikasi pohon induk gaharu.
Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan
28 Laporan Hasil Penelitian 2015
a. b.
Gambar 4. Batang Gaharu Yang Retak Sebagai Identifikasi Awal Adanya Gaharu (a), Pengecekan Ada Tidaknya Gaharu Pada Batang Retak (b)
Kegiatan identifikasi dan eksplorasi materi genetik pohon induk tanaman penghasil
gaharu dilakukan di beberapa Kabupaten di Pulau Sumatera yaitu di Kabupaten Musi
Rawas, Musi Rawas Utara (Muratara), Musi Banyuasin, Banyuasin serta Kabupaten Lahat.
Identifikasi pohon induk tanaman penghasil gaharu yang mampu menghasilkan gaharu
secara alami adalah sebanyak 72 pohon induk yang terdiri dari 8 pohon berasal dari
KabupatenMusi Rawas, 8 pohon induk dari Muratara, 14 pohon induk dari Lahat, 11
pohon induk dari Banyuasin, 6 pohon induk dari Kota Palembang dan 25 pohon induk dari
Musi Banyuasin. Masing-masing pohon induk mempunyai diameter batang yang berbeda-
beda dan berkisar antara 20-35cm. Dimungkinkan pohon induk terpilih mempunyai
diameter yang lebih kecil bila dibandingkan dengan populasinya.Hal ini tidaklah menjadi
masalah, karena memang aspek pemilihan pohon induk tidak mempertimbangkan aspek
pertumbuhan diameter, namun lebh penting pada aspek kemampuan individu untuk
menghasilkan gaharu secara alamiah.
Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan
29 Laporan Hasil Penelitian 2015
a.
b.
c.
d.
Gambar 5. Pohon induk tanaman penghasil gaharu di Kab. Musi Banyuasin (a), pengumpulan
materi genetik (anakan) (b), pengepakan bibit (c), penanaman bibit di polybag
Dari masing-masing pohon induk yang telah teridentifikasi, dilakukan pengambilan
materi genetik dalam bentuk benih (generatif) ataupun dalam bentuk anakan alaminya,
tergantung dari ketersediaan materi yang ada. Mengingat kegiatan identifikasi dan
eksplorasi materi genetik berada pada pertengahan tahun 2015 dan periode pembuahan
tanaman penghasil gaharu terjadi pada awal tahun, maka materi genetik yang di
dapatkan hanya berupa materi anakan alam.Pengambilan materi genetik anakan alam
dilakukan tepat berada di bawah pohon induk yang bersangkutan dan tidak terjadi
tumpang tindih tajuk dari pohon lain yang bisa mengakibatkan “kontaminasi” materi.
Anakan alam yang berada tepat di bawah pohon induk dan masih dalam area luasan
tajuk, maka diyakinkan murni berasal dari pohon induk yang bersangkutan.Hal ini
berhubungan dengan sifat dari buah/benih pohon gaharu yang bersifat “barochory” yaitu
benih yang jatuh ke bawah dan benih tidak terbang seperti yang kebanyakan terjadi pada
jenis tanaman Dipterocarpaceae.
Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan
30 Laporan Hasil Penelitian 2015
Materi genetik berupa anakan alam, dikumpulkan dan diberi tanda identitas/
nomer sesuai dengan identitas/ nomer pohon induknya dan mempunyai identitas/ nomer
yang berbeda dengan pohon induk lainnya.Materi genetik berupa anakan alam yang telah
di dapatkan, kemudian segera dilakukan penanaman pada polybag yang telah
dipersiapkan terlebih dahulu. Penanaman juga tetap mempertahankan identitas/ nomer
pohon induk dengan cara memberikan label nomer pohon induk pada setiap bedeng
polybag.
Materi genetik yang telah terkumpul, nantinya digunakan sebagai bahan
pembuatan demplot tanaman pebghasil gaharu tahun 2016 dengan konsep “progeny
test”. Progeny test (uji keturunan) dimaksudkan untuk menguji nilai genetik induk
berdasarkan penampilan keturunan/ anaknya. Nilai genetik yang dimaksud untuk jenis
tanaman penghasil gaharu adalah nilai (kandungan) gaharu yang terjadi pada
“keturunannya” secara alamiah.Bilamana antar keturunan (pohon iduk) mempunyai
variasi (terdapat variasi genetik) dalam potensi kandungan gaharu alamiah, maka peluang
untuk dilakukan seleksi/ pemilihan pohon terbaik yang mempunyai kualitas dan kuantitas
gaharu yang tinggi akansangat mungkin untuk dilakukan.
3. Aspek Sosial Ekonomi
Kegiatan kajian sosial ekonomi gaharu pada tahun 2015 ini lebih difokuskan pada
aspek pemasaran.Survei penelusuran pemasaran gaharu dilakukan dalam rangka
mempersiapkan informasi pasar bagi pengembang gaharu, baik KPH maupun masyarakat
secara peorangan.Untuk menggali informasi pasar tersebut kajian dilakukan di wilayah
Sumatera Selatan (mewakili Sumatera Daratan) dan Bangka (mewakili Kepulauan).
Pemasaran gaharu hasil budidaya (gaharu hasil inokulasi) di wilayah Sumatera
Daratan dan Kepulauan menunjukkan prospek yang berbeda.Oleh karena itu pemaparan
hasil investigasi pada kedua lokasi tersebut disajikan secara terpisah.Pada bagaian awal
dipaparkan hasil kajian di wilayah daratan dan kemudian dlanjutkan di wilayah kepulauan.
3.1. Pemasaran Gaharu di Sumatera Selatan
Saat ini, budidaya pohon penghasil gaharu oleh masyarakat telah berkembang
relatif pesat. Sebagai contoh, kondisi demikian dapat diamati di Kabupaten Musi Rawas,
Provinsi Sumatera Selatan. Masyarakat telah mengaplikasikan berbagai teknik untuk
merekayasa pohon penghasil gaharu agar dapat membentuk resin aromatik tersebut. Dari
hasil wawancara dan pengamatan lapangan, terdapat tiga jenis proses perekayasaan
yang dilakukan oleh masyarakat untuk merangsang pembentukan gaharu, yaitu: a).
pelukaan batang, b). pembakaran batang dan c). Penyuntikan (injeksi) larutan pembentuk
Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan
31 Laporan Hasil Penelitian 2015
gaharu ke dalam batang pohon penghasil gaharu. Untuk proses injeksi, masyarakat
mengenal dua jenis larutan, yakni inokulan (larutan yang mengandung cendawan
Fusarium) dan inducer (bahan kimia). Namun dalam perkembangan terkini, sebagian
masyarakat di Kabupaten Musi Rawas telah melakukan uji coba penyuntikan dengan
menggunakan landucer yang merupakan kombinasi antara inokulan yang mengandung
cendawan Fusarium dan inducer.
Keberhasilan pada proses budidaya (tahap produksi) tersebut tidak serta merta
diikuti dengan respon positif pada level pemasaran. Bahkan, pasar meberikan sinyal yang
cenderung bersifat kontraproduktif yaitu dengan memasang harga gaharu hasil induksi
pada tingkat yang tergolong jauh lebih rendah dibandingkan produk gaharu alami.
Malahan, ada pedagang pengumpul gaharu di Kabupaten Musi Rawas yang tak berminat
sama sekali untuk membeli gaharu hasil induksi.
Hasil wawancara dengan pengepul gaharu di sekitar wilayah Musi Rawas terungkap
bahwa bahwa pada saat ini mereka tidak bersedia menerima gaharu hasil
injeksi/penyuntikkan karena pengepul di atas mereka tidak mau membelinya. Jikapun
mau menerima, umumnya gaharu hasil penyuntikan dihargai sangat rendah, sehingga
keuntungan marjin keuntungan yang mereka dapatkan sangat minim.
Pedagang pengepul gaharu di wilayah Musi Rawas dan sekitarnya umumnya hanya
menerima gaharu dari alam atau gaharu dari kebun karet masyarakat yang proses
pembentukkan gaharunya terjadi secara alami (tanpa injeksi), baik melalui pelukaan
dengan menggunakan benda tajam (pembacokan) maupun dengan cara pembakaran
batang pohon penghasil gaharu.
Sungguhpun gaharu yang terbentuk secara alami relatif lebih mudah dipasarkan,
namun petani dihadapkan pada sistem perdagangan yang bersifat monopsoni. Petani
yang bertindak sebagai penjual berperan sebagai penerima harga (price taker) dan
pengepul sebagai penentu harga (price maker). Selain itu, penentuan harga gaharu pun
sangat subjektif. Harga gaharu yang ditawarkan penjual akan ditentukan berdasarkan
hasil penelaahan pembeli (pedagang pengepul) terhadap kualitasnya yang ditaksir
berdasarkan warna, aroma dan bentuk penampakan.
Standar klasifikasi kualitas gaharu menurut SNI telah tersedia sebagaimana terdapat
di dalam Setyaningrum & Saparinto (2014), namun karena keragaman gradasi warna
yang relatif banyak serta faktor subjektivitas penilai (pengepul) sangat berpotensi untuk
menimbulkan ketidakadilan dalam proses transaksi, yaitu pengepul cenderung akan
menarik keuntungan di atas beban kerugian petani (penjual).
Sebagai gambaran, Tabel 3 berikut ini menyajikan variasi harga gaharu pada
berbagai jenis kelas gaharu alami yang diperoleh berdasarkan hasil wawancara dengan
Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan
32 Laporan Hasil Penelitian 2015
pedagang pengepul gaharu di wilayah Kabupaten Musi Rawas dan sekitarnya.
Berdasarkan penuturan pengepul, kualitas gaharu Super King dan Super B saat ini tak
ditemukan lagi di wilayah Kabupaten Musi Rawas dan sekitarnya. Adapun, jenis gaharu
yang masih dapat diperoleh antara lain gaharu sepat, gaharu triplek, gaharu kemedangan
dan gaharu teri. Untuk lebih jelasnya bentuk-bentuk gaharu tersebut dapat diamati pada
Gambar 6.
Tabel 3. Harga gaharu alami di Kabupaten Musi Rawas berdasarkan kelas kualitas
No. Kelas Kualitas Harga (Rp)
1. Super King 240.000.000,-
2. Super B 8.000.000,- s/d
12.000.000,-
3. Sepat (berbentuk chip agak oval menyerupai
bentuk ikan sepat) 6.000.000,- s/d 8.000.000,-
4. Triplek (berbentuk pipih) 3.000.000,-
5. Kemedangan 500.000,- s/d 700.000,-
6. Teri (berbentuk chip ukuran kecil-kecil) 300.000,-
Sumber: Hasil wawancara dengan responden (2015)
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 6. Jenis gaharu alami berdasarkan kelas kualitas (a) sepat, (b) triplek,
(c) kemedangan dan (d) teri.
Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan
33 Laporan Hasil Penelitian 2015
Pengepul gaharu yang beroperasi di wilayah Kabupaten Musi Rawas umumnya
hanya sebagai pedagang pengumpul perantara. Selanjutnya, gaharu yang dia peroleh
dijual ke pedagang yang lebih besar yang berada di Jambi, Pekanbaru atau Jakarta. Jika
disajikan dalam bentuk diagram alir, maka jalur perdagangan gaharu dari Kabupaten Musi
Rawas dapat terbagai menjadi tiga pola sebagai berikut:
Gambar 7. Alur pemasaran gaharu di Kabupaten Musi Rawas dan sekitarnya
.
Negara tujuan ekspor gaharu dari ketiga kota tersebut adalah Singapura, Arab dan China.
Berdasarkan uraian hasil investigasi seperti diutarakan di muka, tampak bahwa
ketidaksetaraan dalam proses transaksi merupakan problem yang nyata dalam pemasaran
gaharu. Faktor penyebabnya adalah rendahnya posisi tawar petani dan ketidaklengkapan
informasi yang diterima petani. Realita tersebut menambah bukti yang dapat menjelaskan
kebenaran postulat pengaruh ketimpangan posisi daya tawar dan informasi asimetris
sebagai penyebab masalah utama dalam kegiatan transaksi ekonomi (Yustika, 2012).
Sebagaimana dikemukakan McConnel dan Brue (2005), informasi asimetris tersebut
terjadi karena pembeli dan penjual memiliki informasi yang tidak sama tentang harga,
kualitas atau aspek tentang barang atau jasa yang hendak diperjualbelikan.
Solusi Melalaui Kontrak Kerjasama
Menindaklanjuti kondisi pemasaran gaharu yang timpang seperti diuraikan di muka,
diantaranya dapat diselesaikan melalui kontrak. Kontrak umumnya dibutuhkan untuk
dapat mereduksi eksistensi informasi asimetris. Kontrak juga merupakan instrumen yang
dapat digunakan untuk mendisain kompensasi guna mengeliminasi informasi asimetris
(Yustika, 2012).
Singapura
Pengepul di Jambi
Pengepul di Pekanbaru China
Petani/ Pengumpul
Pengepul di Musi Rawas
Arab
Pengepul di Lubuk Linggau
Pengepul di Jakarta
Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan
34 Laporan Hasil Penelitian 2015
Upaya mereduksi informasi asimetris melalui kontrak tersebut telah dilakukan oleh
Kelompok Tani Hutan (KTH) Sinar Tani 1, Desa Trijaya, Kecamatan Bulang Tengah Suku
(BTS) Ulu/ Cecar, Kabupaten Musi Rawas. Kemitraan yang ada berupa kerja sama antara
KTH Sinar Tani 1 yang bertindak sebagai pemilik tegakan pohon penghasil gaharu dengan
CV. HD Agarwood Project yang bertindak sebagai investor (penyedia inokulan/landucer).
Investor bertangggung jawab untuk menyediakan landucer dan menanggung seluruh
biaya operasional penyuntikkan. Adapun petani berkewajiban untuk memelihara dan
menjaga tegakan yang telah diinjeksi.
Berdasarkan bentuk kontrak kerjasama yang telah dibuat para pihak di Desa
Trijaya, maka pola kontrak yang mereka kembangkan termasuk ke dalam kategori
kontrak relasional. Kontrak jenis ini dikenal sebagai kontrak yang tidak bisa menghitung
seluruh ketidakpastian di masa depan, tetapi hanya berdasarkan kesepakatan di masa
silam, saat ini dan ekspektasi terhadap hubungan di masa depan diantara para pelaku
yang terlibat kontrak (Furubotn dan Richter, 2005). Hal tersebut juga nampak dalam
butir-butir kesepakatan diantara kedua pihak yang tanpa memperhitungkan risiko
pencurian kayu. Kontrak demikian juga dapat dikategorikan sebagai kontrak informal dan
tanpa ikatan (non-binding).
Jika mengacu kepada bentuk kontrak yang umumnya berlaku dalam sektor
pertanian yang dikemukakan Cheung (1969) sebagaimana dikutip oleh Yustika (2012),
maka kesepakatan antara pihak KTH Sinar Tani 1 dengan CV. HD Agarwood Project
merupakan bentuk kontrak bagi hasil (share contract). Bagi hasil penjualan gaharu antara
kedua belah pihak telah disepakati yaitu dengan porsi pembagian 50:50. Dari proporsi
50% bagi hasil yang diperoleh kelompok tani, 40% dibagikan kepada anggota KTH,
sedangkan sisanya, 10% dialokasikan sebagai uang Kas KTH. Kedua belah pihak telah
sepakat untuk menjual produk gaharu yang dihasilkan ke tempat penjualan yang
menawarkan harga tertinggi, dan jika harga harga di pasaran lebih rendah maka investor
bersedia untuk menampungnya dan menjual sesuai dengan saluran penjualan melalui CV.
HD Agarwood Project.
3.2. Pemasaran Gaharu di Bangka
Berdasarkan informasi awal yang diperoleh dari Pejabat di Dinas Kehutanan
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung diketahui bahwa sentra pengembangan gaharu di
Provinsi ini dipusatkan di Kabupaten Bangka Tengah.Namun demikian, pedagang
pengepul gaharu tersebar di beberapa daerah di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung,
termasuk di Kota Pangkal Pinang, ibukota provinsi.
Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan
35 Laporan Hasil Penelitian 2015
Berawal dari informasi awal tersebut, penelusuran selanjutnya diarahkan ke
Kabupaten Bangka Tengah.Untuk menggali informasi lebih mendalam, wawancara
dilakukan terhadap pejabat pemerintahan dan petani di kabupaten tersebut.Hasil
wawancara dengan Sekretaris Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Bangka
Tengah beserta stafnya terungkap bahwa pengembangan dan pengolahan gaharu di
Kabupaten tersebut disukung penuh oleh pemerintah. Dinas Perekbunan dan Kehutanan
mendapat mandate untuk menyokong segi budidaya dan pengembangan gaharu. Adapun
pengolahan gaharu ditangani oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan.
Peran Dinas perkebunan dan kehutanan mengembangakan inokulan khas lokal
berbentuk serbuk, sekarang sedang dijuikan di plot pengembangan gaharu di desa trubus
dan juga pada tanaman gaharu yang dikembangkan oleh kelompok tani di desa Lubuk.
Pada bagian hilir (pengolahan hasil), pemda Kab Bangka Tengah melalui Dinas
Perindustrian dan Perdagangan telah memfasilitasi infrastruktur pengolahan the gaharu
dan pengolahan hasil gaharu lainnya di Desa Lubuk.
Peran Pemda yang patut diapresiasi tersebut kami nilai masih ada kekurangan
karena aspek pihaknya belum mempersiapakan infrastruktur untuk pemasaran
produknya.Walaupun demikian, pemasaran gaharu di Bangka jauh lebih berpihak kepada
petani, karena selain menerima gaharu alami, pedagang pengumpul di Bangka juga
menerima gaharu hasil inokulasi.
Berdasarkan pedagang pengumpul yang berhasil ditemui, di Bangka terdapat tiga
saluran pemasaran gaharu.Ketiga alur pemasaran tersebut dapat dibaca pada Gambar 8.
Gambar 8. Alur pemasaran gaharu di Bangka
Seperti perdagangan gaharu pada umumnya, harga gaharu di Bangka juga sangat
ditentukan oleh pembeli. Harga paling tinggi yang pernah dicapai oleh petani gaharu
untuk gaharu hasil inokulasi adalah Rp. 3 Juta per Kg. Gambar 9 berikut memperlihatkan
Pedagang Pengumpul
Bangka 1
Pembeli di Timur Tengah, Asia Timur, Eropa dan Kanada
Pedagang Pengumpul di Jakarta
Pedagang Pengumpul di Bogor
Pembeli di Timur Tengah, China dan Eropa
Pembeli di Timur Tengah
Pedagang Pengumpul
Bangka 2
Pedagang Pengumpul
Bangka 3
Petani/ Pengumpul
Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan
36 Laporan Hasil Penelitian 2015
bentuk dan penampakkan gaharu hasil inokulasi yang dibeli oleh Pedagang pengumpul
(pengepul) di Bangka pada tingkat harga tersebut.
Gambar 9.Gaharu hasil inokulasi umur yang dihargai Rp. 3 Juta per Kg.
Gaharu yang dibeli dari petani pada tingkat harga tersebut, umumnya dapat dipasarkan
oleh pedagang pengepul pada level harga Rp. 5 – 8 Juta per Kg. Harga tersebut dapat
dicapai setelah gaharu yang diperoleh dari petani dibersihkan (carving) ulang untuk
menghilangkan bagian-bagian kayu yang berwarna terang. Biaya yang dibutuhkan untuk
proses tersebut umumnya sekitar Rp. 1 Juta per Kg. Dengan demikian jumlah keuntungan
yang diperoleh pedagang berkisar antara Rp. 1 – 4 Juta per Kg atau sekitar 33 – 133%.
Untuk meningkatkan nilai tambah bagi petani, pemerintah daerah telah
mengucurkan anggaran untuk pembangunan infrastruktur pengolahan gaharu.Salah
satunya pabrik pengolahan gaharu yang dibangun di Desa Lubuk Pabrik, Kecamatan
Lubuk Besar, Kabupaten Bangka Tengah (Gambar 10). Pabrik tersebut direncanakan akan
memproduksi teh gaharu, sabun dan dupa gaharu.
Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan
37 Laporan Hasil Penelitian 2015
Gambar 10. Pabrik pengolahan gaharu di Kabupaten Bangka Tengah
Pengolahan kayu gaharu yang saat ini telah dilakukan oleh Kelompok Tani adalah
pembuatan minyak gaharu, teh gaharu, gelang dan tasbih kayu gaharu.Gambar 11
berikut memperlihatkan produk-produk kayu gaharu oleh Kelompok Tani di Kabupaten
Bangka Tengah.
(a) (b) (c)
Gambar 11. Produk gaharu yang dihasilkan oleh Kelompok Tani Gaharu Harapan, Desa
Lubuk Pabrik, Kabupaten Bangka Tengah, yang terdiri dari: (a) minyak gaharu; (b) gelang; dan (c) tasbih.
Jika dibandingkan dengan pemasaran gaharu di Kabupaten Musi Rawas,
pemasaran gaharu hasil inokulasi di Bangka memiliki prospek lebih bagus.Dukungan
pemerintah dalam rangka pengembangan gaharu juga relatif baik. Sokongan tersebut
tidak hanya dalam bentuk bantuan bibit seperti umumnya ditemukan di beberapa daerah
lain di wilayah Sumatera daratan, tetapi juga didukung dengan riset yang memadai yang
Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan
38 Laporan Hasil Penelitian 2015
dilakukan oleh Dinas Perkebunan dan Kehutanan untuk mengembangkan inokulan yang
paling baik dan speseifik Bangka.
Keunggulan kedua adalah pada aspek pemasaran yang telah memberikan nilai
yang lumayan tinggi bagi gaharu hasil inokulasi.Walaupun penentuan harga masih
menjadi kekuasaan pembeli, namun terbukanya peluang pasar adalah keunggulan yang
belum dicapai oleh gaharu hasil inokulasi di wilayah Kabupaten Musi Rawas.
Keunggulan ketiga pemasaran gaharu di Bangka adalah banyaknya varian produk,
sehingga petani (pembudidaya) gaharu tidak tergantung pada satu jenis produk. Jika
petani menemui kejatuhan harga kayu chip gaharu maka dia dapat mengolah chip
tersebut menjadi produk turunan lainnya. Kemampuan seperti ini yang belum dimiliki oleh
petani atau Kelompok Tani Pembudidaya gaharu di Kabupaten Musi Rawas.
Keunggulan keempat, di Bangka sudah ada pengepul yang memiliki akses
langsung ke pembeli gaharu di luar negeri, yaitu di Brunei Darusalam, China, Jepang,
Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Abu Dhabi.Bahkan pedagang tersebut juga sudah mampu
menembus pasar Eropa seperti Inggris, Italia, Swedia dan Perancis dan juga tembus
hingga ke Amerika.
Masing-masing Negara tersebut memiliki minat yang tidak sama baik jenis produk
maupun jenis wangi gaharu yang diinginkannya. Misalkan Negara Jepang dan China lebih
menyukai produk aksesoris seperti gelang dan tasbih serta kayu gaharu yang berbentuk
menyerupai binatang atau bentuk lainnya yang unik. Dalam perdagangan gaharu, jenis
kayu gaharu demikian dikenal dengan istilah gaharu dekor. Istilah tersebut muncul karena
fungsinya yang digunakan untuk menghiasi ruangan atau tempat tertentu (dekorasi).
Negara-negara muslim di Timur Tengah seperti Arab Saudi, Abu Dhabi, Uni Emirat
Arab dan lain sebagainya lebih menyukai produk kayu chip dan minyak gaharu. Kayu chip
umumnya dibakar untuk mengharumkan ruangan dan tempat tempat tertentu seperti
masjid. Adapun minyak gaharu digunakan sebagai wewangian.Bahkan menurut informasi
dari pedagang gaharu di Bangka tersebut, prosesi pencucian hazar aswad (batu hitam
yang terdapat di Ka’bah), biasanya menggunakan minyak gaharu.
Adapun Negara-negara Eropa dan Amerika umumnya menyukai produk minyak
gaharu.Berdasarkan pengalaman pengepul di Bangka, permintaan minyak gaharu
terbanyak dari negara di Eropa adalah Inggris, sedangkan di benua Amerika adalah
Kanada.
Keberhasilan pedagang pengepul gaharu di Bangka dalam menembus pasar luar
negeri tidak lepas dari kemampuannya menjalin hubungan dan menjaga kepercayaan
dengan pihak pembeli. Terlebih, transaksi yang dilakukanya tanpa bertemu langsung,
sehingga nama baik penjual mesti dijaga dengan baik.
Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan
39 Laporan Hasil Penelitian 2015
3.3. Implikasi Kebijakan Pengembangan Gaharu
Informasi yang diperoleh dari hasil kajian pemasaran gaharu di Kabupaten Musi
Rawas dan Bangka Belitung sebagaimana telah diuraikan di muka dapat dijadikan sebagai
dasar pertimbangan untuk melakukan pengembangan gaharu di areal KPHP.Belajar dari
kondisi yang berkembang di Kabupaten Musi Rawas, Sumsel dan Kabupaten Bangka
Tengah, dukungan pemerintah pada pengembangan gaharu selayaknya diberikan secara
meneyeluruh dari aspek budidaya hingga pemasaran produk.
4. Aspek Pertumbuhan Tanaman gaharu
Hasil pengukuran pertumbuhan tanaman penghasil gaharu yang dibudidayakan
masyarakat di beberapa lokasi di Propinsi Lampung, menunjukkan adanya keragaman
pertumbuhan tanaman, baik antar lokasi maupun pola penanaman yang berbeda. Hasil
pengukuran pertumbuhan tanaman padaberbagai umur dan lokasidi beberapa lokasi di
Provinsi Lampung (Kab. Lampung Tengah dan Lampung Timur), selengkapnya disajikan
pada tabel 4.
Tabel 4. Hasil pengukuran pertumbuhan tanaman penghasil gaharu pada plot ukur
No
Plot
Lokasi Umur Pola Tanam Letak Geografis Dbh H
X Y (cm) (m)
1 Notoharjo, Trimurjo Lampung Tengah
LLLampungPrapto
6 Campuran (Kakao)
526505 9436179 11.20 7.70
2 Pekalongan, Lampung Timur
6 Monokultur 540445 9443537 9.49 6.25
3 BatanghariNuban,
Lampung Timur
2 Monokultur 549396 9444234 3.78 4.37
4 Batanghari Nuban, Lampung Timur
12 Monokultur 549395 9444283 17.08 9.96
5 Pekalongan,
Lampung Timur
6 Monokultur 538672 9437588 6.50 5.29
6 Probolinggo, Lampung Timur
3 Campuran 560068 9449348 4.14 4.40
7 Trimurjo, Lampung Tengah
2 Campuran 526693 9432677 2.54 4.35
8 Trimurjo, Trimurjo Lampung Tengah
6 Campuran (Kakao)
526693 9432677 8.44 6.52
9 Trimurjo, Trimurjo Lampung Tengah
6 Campuran (Kakao)
526693 9432677 5.60 5.60
Data hasil pengukuran pada Tabel 4 menunjukkan, bahwa pertumbuhan antar
tegakan pohon penghasil gaharu (walaupun pada pola tanam dan umur yang sama, 6
tahun) namun dengan perberbedaan lokasi dan kepemilikan, nampak memiliki rerata
pertumbuhan yang relatif berbeda (plot 1, 8 dan plot 9). Rerata pertumbuhan tanaman
Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan
40 Laporan Hasil Penelitian 2015
pada plot 1 nampak sangat tinggi yaitu sebesar 11,20 cm dan 7,70 m masing-masing
untuk diameter dan tinggi, sementara pada plot 8 sebesar 8,44cm dan 6,52m, dan pada
plot 9 masing-masing sebesar 5,60 untuk pertumbuhan diameter dan tinggi.
Perbedaan pertumbuhan tanaman atau tegakan merupakan hasil interaksi antara
faktor lingkungan dan faktor genetik. Namun demikian faktor lingkungan seperti kondisi
dan kesuburan lahan, intensitas pemeliharaan serta pola tanam merupakan faktor yang
sangat berpengaruh terhadap pertmbuhan tanaman (Foth and Turk, 1972). Perbedaan
pertrumbuhan tanaman pada plot 1 dan plot diduga dipengaruhi oleh ada perbedaan
pengeloaan (intensitas pemeliharaan) seperti durasi pemeliharaan, penyiangan lahan dan
pemupukan tanaman. Perbedaan pertumbuhan juga dapat disebabkan oleh adanya
perbedaan pola tanam (pada umur sama, 6 tahun), sebagaimana ditunjukkan pada plot 1,
2, 5, 8 dan plot 9. Dari data pertumbuhan tanaman yang diperoleh, nampak bahwa,
dengan pola penanaman agroforestry/campuran telah menghasilkan pertumbuhan
tanaman yang lebih tinggi dibanding pola monokultur, baik pertumbuhan diameter
maupun tinggi.
a.
b.
Gambar 12. Penanaman pola Agroforestry (a), Penanaman pola monokultur (b)
Hubungan diameter dan tajuk pohon penghasil gaharu dapat digunakan sebagai
pedoman dalam pola tanam serta jarak tanam dalam pembudidayaan gaharu.Hasil
analisis hubungan antara diameter dan tajuk pohon penghasil gaharu seperti pada
Gambar 13 berikut ini.
Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan
41 Laporan Hasil Penelitian 2015
Gambar 13.Grafik hubungan diameter setinggi dada dengan diameter tajuk
Berdasarkan gambar diatas pembudidayaan gaharu dengan pola monokultur
dengan target diameter setinggi dada sebesar 18 cm jarak tanam yang diperlukan
sebesar 3 m x 3 m. Pohon penghasil gaharu memiliki tipe tajuk yang sempit sehingga
pohon gaharu sangat cocok dikembangkan dengan pola campuran maupun pola
agroforestri. Pola gambar diatas dapat menjadi pedoman dalam pengmbangan gaharu.
y = 0.352 + 0.230x - 0.004x2
R² = 0.794
0,0
0,5
1,0
1,5
2,0
2,5
3,0
3,5
4,0
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18
Dia
met
er T
aju
k (m
)
Dbh (cm)
Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan
42 Laporan Hasil Penelitian 2015
V. Kesimpulan
1. Tanaman penghasil gaharu secara alami tumbuh pada lahan hutan sekunder atau
lahan tanaman karet tua. Budidaya tanaman gaharu bisa dilakukan secara campuran
(memanfaatkan naungan) ataupun sistem terbuka (tanpa naungan), namun
pertumbuhan tanaman gaharu optimal bilamana dikembangkan secara campuran
(agroforestri).
2. Pembentukan gaharu secara alamiah yang di alam akan diturunkan ke keturunannya,
sehingga pemilihan pohon induk di dasarkan pada kemampuannya untuk
menghasilkan gaharu secara alamiah melalui identifikasi batang tanaman yang
terdapat retakan dan aroma wangi gaharu pada saat dilakukan pembakaran serpihan
kayu. Di dapatkan sebanyak 72 pohon induk dari Sumsel dan koleksi materi genetik
berupa anakan alam di persemaian.
3. Di Sumatera Selatan budidaya pohon penghasil gaharu telah berkembang relatif pesat
dan masyarakat telah mengaplikasikan berbagai teknik untuk merekayasa pohon
penghasil gaharu, namun tidak disertai dengan respon positif pada level pemasaran.
Gaharu hasil rekayasa memiliki harga yang jauh lebih rendah dibanding dengan
gaharu yang dihasilkan secara alami. Untuk mereduksi kondisi tersebut, kontrak
kerjasama dapat dijadikan salah satu solusi yang dapat diterapkan di masyarakat.
4. Di Bangka Tengah, pengolahan gaharu didukung penuh oleh pemerintah setempat
melalui pembangunan pabrik pengolahan gaharu untuk meningkatkan nilai tambah
bagi petani. Selain bantuan bibit, riset yang memadai juga dilakukan untuk
mengembangkan inokulan paling baik dan spesifik Bangka. Gaharu hasil rekayasa di
Bangka memiliki harga yang lebih baik dibanding dengan gaharu hasil rekayasa di
Sumatera Selatan. Adanya pengepul yang memiliki akses langsung ke pembeli gaharu
di luar negeri, membuat prospek pemasaran gaharu di Bangka menjadi lebih baik.
Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan
43 Laporan Hasil Penelitian 2015
VI. DAFTAR PUSTAKA
Akter, S., Islam, M. T., Khan, S. I. (2013). Agarwood production, a multidiciplinary field to
be explored in Bangladesh.International Journal of Pharmaceutical and Life
Sciences. 2(1), 22-32
Badan Standardisasi Nasional. 2005. Sumber Benih Jati (Tectona grandis Linn F.) SNI 01-
7135-2005.
Burdon, R. D. (2001). Genetic diversity and disease resistance: some considerations for
research, breeding, and deployment. Canadian Journal Forestry Resesearch.
31(4), 596–606.
Donovan, D.R., Puri, P. K. ( 2004). Learning from traditional knowledgeof non-timber
forest products: Penan Benalui and the autecology of aquilara in
Indonesian Borneo. Ecology and Society. 9(3):3.
Foth, H.D and L.M. Turk. 1972. Fundamentals of Soil Science. Fifth Edition. John Wiley
and Sons, Inc. New York.
Furubotn, E.G. dan R. Richter. 2005. Institutions and Economic Theory : The
Contribution of The New Institutional Economics. 2nd Ed. The University Of
Michigan Press. Ann Arbor.
Gibson, I.A.S. (1977). The role of fungi in the origin of oleoresin deposits (Agaru) in the
wood of Aquillaria agallocha (Roxb.).Bano Biggyn Patrika 6(1), 16-26.
GIFNFC. 2007. Chemicals from Trees. http://treechemicals. csl.
gov.uk/review/extraction.cfm. diakses tanggal 2 Januari 2015.
Hills WE. 1987. Heartwood and Tree Exudates. Berlin: Springer-Verlag.
Isnaini, Y. 2004. Induksi produksi gubal gaharu melalui inokulasi cendawan dan aplikasi
faktor biotik (Disertation). Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor.
Keane, P. J., Kile, G. A., Podger, F.D., Brown, B. N. (2000). Diseases and pathogens of
eucalypts. CSIRO, Melbourne.
Kjaer, E, D., McKinney, L. V., Nielsen, L. R., Hansen, L.N.N., Hansen, J.K. (2011).
Adaptive potential of ash (Fraxinus excelsior) populations against the novel
emerging pathogen Hymenoscyphus pseudoalbidus.Evolutionary Applications.
5(3), 219-228.
La Frankie, J. (1994). Population dynamics of some tropical trees that yield non-timber
forest products. Economic Botany, 48(3), 301-309.
McConnell, C.R. dan S.L. Brue. 2008. Economics : Principles, Problems, and Policies.
17th Ed. McGraw-Hill. USA
Mucharromah. 2009. Pengembangan Gaharu di Sumatera, Makalah Workshop
Pengembangan Teknologi Produksi Gaharu Berbasis pada Pemberdayaan
Masyarakat di Sekitar Hutan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan
Konservasi Alarr:- ITTO PO 425/06 Rev .1 (1). Bogar, 29 April2009.
Ng L.T., Chang, Y. S, Kadir, A. A. (1997). A Review on agar (gaharu) producing aquilaria
species.Journal of Tropical Forest Products. 2(2): 272-285.
Novriyanti, E., Santosa, E., Syafii, W., Turjaman, M., Sitepu, I. R. (2010).Antifungal
activity of wood extract of Aquilaria crassna Pierre ex Lecomte against
agarwood-inducing fungi, fusarium solani.Journal of Forestry. 7(2), 155-165.
Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan
44 Laporan Hasil Penelitian 2015
Oldfield, S., Lusty, C., MacKinven, A. (1998).The Word List of Threatened Trees. Heart of
the matter: Agarwood use and trade and CITES implementation for Aquilaria
malaccensis.TRAFFIC International.
Pratiwi. 2010. Karakteristik Lahan Habitat Pohon Penghasil Gaharu di Beberapa hutan
Tanaman di Jawa Barat. Pengembangan Teknologi Produksi Gaharu berbasis
pemberdayaan Masyarakat.Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan
Konservasi alam. Bogor.
Santoso, E., D. Purwito, Pratiwi, G. Pari, M. Turjaman, B. Leksono, A.Y.P.B.C.
Widyatmoko, R.S.B. Irianto, A. Subiakto, T. Kartonowaluyo, Rahman, A.
Tampubolon, S. A. Siran. 2012. Master Plan Penelitian dan Pengembangan
Gaharu Tahun 2013-2023. Kementerian Kehutanan. Badan Litbang Kehutanan.
Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi. Bogor.
Santoso, E., R. S. B. Irianto, M. Turjaman, I. R. Sitepu, S. Santosa, Najmullah., A. Yani,
Aryanto. 2010. Teknologi Induksi Pohon Penghasil Gaharu (Induction
Technology of Eaglewood). Info Hutan. Volume VII. Nomor 2, Tahun 2010.ISSN
1410-0657. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam.
Bogor.
Santoso, E., R. S. B. Irianto, M. Turjaman, I. R. Sitepu, S. Santosa, Najmulah, A. Yani,
Aryanto. 2011. Gaharu-Producing Tree Induction Technology. Proceeding of
Gaharu Workshop Development of Gaharu Production Technology.ITTO
PD425/06 Rev.1 (I). R&D Center For Forest Conservation and Rehabilitation.
Forestry Research and Development Agency (FORDA) Ministry of Forestry.
Indonesia.
Setyawati, T. 2010. Potensi dan Kondisi Regenerasi Alam Gaharu (Aquilaria malaccensi
Lamk) di Provinsi Lampung dan Bengkulu, Sumatera.Pengembangan Teknologi
Produksi Gaharu berbasis pemberdayaan Masyarakat.Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hutan dan Konservasi alam. Bogor.
SIM-RHL. (2015). Data base Sumber Benih Gaharu. Diakses Tanggal 21 Agustus
2015.http://sim-rhl.com/tes/smbbnh_list.php?qs =aquilaria&criteria=or.
Siran, S. A. 2010. Pengembangan Teknologi Produksi Gaharu Berbasis Pemberdayaan
Masyarakat “Perkembangan Pemanfaatan Gaharu”. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor.
Soehartono, T and A. Mardiastuti. 1997. Review on current trade in gaharu in West
Kalimantan. Biodiversitas Indonesia 1(1):1-10.
Sofyan, A., A. Sumadi, A. Kurniawan, A. Nurlia. 2010. Pengembangan dan Peningkatan
Produktivitas Pohon Penghasil Gaharu Sebagai bahan Obat di Sumatera.
Laporan Hasil Penelitian Program insentif Peningkatan Kemampuan Peneliti dan
Perekayasa. Kementerian Kehutanan. Balai Penelitian Kehutanan Palembang.
Tidak dipublikasikan.
Sofyan, A., I. Muslimin. 2013. Peningkatan Produktifitas Budidaya Gaharu Melalui
Pembentukan Batang Ganda dan Teknik Permudaan.Makalah di sampaikan
pada seminar Hasil Hutan Bukan Kayu di Mataram, November 2013.
Stener, L. G. (2012). Clonal differences in susceptibility to the dieback of Fraxinus
excelsior in Southern Sweden.Scandinavian Journal of Forest Research.28(3).
DOI: 10.1080/028827581.2012.735699.
Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan
45 Laporan Hasil Penelitian 2015
Subehan, J.U., F. Hiroharu, A. Faisal, and K. Shigetoshi. 2005. A Field Survey of Agarwood
in Indonesia. Journal of Traditional Medicine 22: 244-251.
Suhartati, A. Wahyudi. 2011. Pola Agroforestry Tanaman Penghasil Gaharu dan Kelapa
Sawit. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol. 8 No. 4:363-371, 2011.
Suharti, S. 2010. Prospek Pengusahaan Gaharu Melalui Pola Pengelolaan Hutan Berbasis
Masyarakat (PHBM). Info Hutan Vol. VII No. 2:141-154,2000.
Sukoco.2014. Di Pasar Global, Harga Kayu Gaharu Kalimantan
“Selangit”.http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/03/14/1722029/Di.Pas
ar.Global.Harga.Kayu.Gaharu.Kalimantan.Selangit. diakses tanggal 25 Januari
2015.
Sumadiwangsa, S. 1997. Kayu Gaharu Komodite Elite.Kalimantan Timur.Duta Rimba 20:
205-206.
Sumarna, Y. 2008. Beberapa aspek ekologi, populasi pohon dan permudaan alam
tumbuhan penghasil gaharu kelompok karas ( spp.) diWilayah Provinsi Jambi.
Jurnal PenelitianHutan danKonservasiAlam.V(1): 93-99.
Surata, I. K., Soenarno. 2011. Penanaman gaharu (Gyrinops verstegii (Gilg.) Domke)
Dengan Sistem Tumpangsari di Rarung, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Jurnal
Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol. 8 No. 4:349-361, 2011.
Van Beek, H., Phillips, D. (1999). Agarwood.trade and CITES implementation in Southeast
Asia. Report TRAFFIC Southeast Asia, Malaysia
Waluyo, T. K., F. Anwar. 2012. IIdentifikasi Komponen Kimia Empat Kelas Mutu Gaharu
(Kacangan A, Teri B, Kemedangan A dan Kemedangan B). Jurnal Penelitian
Hasil hutan Vol. 30 No. 4, Desember 2012:291-300.
Wiriadinata, H., G. Semiadi, D. Darnaedi, E. B. Waluyo. 2010. Konsep Budidaya gaharu
(Aquilaria spp.) di Provinsi Bengkulu. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi
Alam Vol. VII No. 4:371-380, 2010.
Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan
46 Laporan Hasil Penelitian 2015
VII. LAMPIRAN
Lampiran 1. Peta persebaran tanaman penghasil gaharu di Sumatera Selatan
Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP Lakitan
47 Laporan Hasil Penelitian 2015
Lampiran 2.Kerangka Kerja Logis Kegiatan Pengembangan Tanaman Gaharu di KPHP
Lakitan Tahun 2015
Narasi Indikator Alat verifikasi Asumsi
Tujuan : menyediakan iptek
budidaya gaharu yang memiliki produktivitas
tinggi sehinggadapat mendorong percepatan
operasionalisasi KPH melalui usaha
budidaya gaharu yang prospektif dan tergambarkannya
sistem pemasaran gaharu yang efektif dan efisien.
Diperolehnya
informasi dan Iptek silvikultur pohon
penghasil gaharu yang memiliki produktivitas tinggi
- Publikasi ilmiah
- Demplot - Gelar teknologi
- Infotek
- Tersedianya dana
penelitian yang kontinyu
- Tersedianaya sarana dan prasarana
- Penelitian berjalan secara
berkesinambungan
Luaran:
1. Peta potensi dan penyebaran jenis
tanaman penghasil gaharu di Sumatera
Adanya peta penyebaran
tanaman penghasil gaharu di Sumatera
- Paket data dan informasi
- Makalah seminar
- Dana memadai - Data dan informasi
diperoleh dari lapangan
- Penelitian berjalan
lancar
2. Diketahuinya kualitas tempat tumbuh jenis
tanaman penghasil gaharu di Sumatera
Data dan informasi kualitas tempat tumbuh tanaman
penghasil gaharu di Sumatera
- Paket data dan informasi
- Makalah
seminar
- Dana memadai - SDM memadai - Hasil analisis kimia
tanah tepat waktu
3. Diketahuinya riap pohon penghasil
gaharu yang dibudidayakan
masyarakat dengan berbagai pola tanam dan tempat
tumbuhnya (site)
data dan informasi pertumbuhan
tanaman gaharu pada berbagai pola
tanam dan tempat tumbuh
- Paket data dan informasi
- Laporan tahunan
- Makalah seminar
- Dana memadai - Data dan informasi
diperoleh dari lapangan
- Penelitian berjalan lancar
4. Data dan informasi identifikasi karakteristik
pemasaran dan sosial budidaya
gaharu
Diperolehnya informasi karakteristik
pemasaran dan sosial budaya gaharu
- Paket data dan informasi
- Laporan
tahunan - Makalah
seminar - Makalah jurnal
- Dana memadai - Data dan informasi
diperoleh dari
lapangan - Penelitian berjalan
lancar