12
2.1.7. Pengobatan Kusta
1. Dapson (DDS)
DDS diberikan sebagai dosis tunggal 50-100 mg/hari untuk dewasa dan 2
mg/hari untuk anak-anak. (Soebono, 2003)
2. Rifampisin
Pemberian dosis tunggal 600/mg hari atau 5-15 mg/kgBB. (Soebono,
2003)
3. Klofazimin
Dosisnya 50 mg setiap hari atau 100 mg tiga kali seminggu, dan untuk
anak 1 mg/kg BB/hari. (Soebono, 2003)
Tabel 2.3. Standar pengobatan kusta
Standart Pemakaian
MB PB
Dewasa Rifampisin: 600 mg sampai 1 bulan Klofazimin: 300 mg Sekali dlm sebulan, dan 50 mg sehari DDS: 100 mg sehari Durasi: 12bulan.
Rifampisin: 600 mg sebulan sekali
DDS: 100 mg sehari
Durasi: 6 bulan.Anak Rifampicin: 450 sampai 1 bulan
Klofazimine: 150 sekali dalam 1 bulan dan 50 mg sehari
DDS: 50 mg sehariDurasi: 12 bulan
Rifampisin: 450 mg sebulan sekali
DDS: 50 mg sehari
Durasi: 6 bulan.
Catatan: Anak di bawah 10 tahun harus menerima tepat mengurangi dosis obat-obatan, seperti
Rifampisin: 10 mg / kg berat badan sebulan sekali
DDS: 2 mg / kg berat badan per hari Klofazimin: 1 mg / kg berat badan
diberikan pada hari alternatif,tergantung pada dosis.
Sumber : WHO Expert on Leprosy, 2012
13
2.1.8. Kecacatan Kusta
A. Batasan Istilah
Kecacatan kusta adalah keadaan abnormal dari fisik, fisiologis tubuh dan
hilangnya beberapa struktur fungsi tubuh.
Menurut WHO (1980) batasan istilah kecacatan kusta adalah:
1. Impairment. Abnormalitas struktur dan fungsi yang bersifat
psikologik, fisiologik, atau anatomik.
2. Disability. Segala keterbatasan (akibat impairment) untuk melakukan
kegiatan yang normal bagi manusia.
3. Handicap. Kemunduran pada individu (akibat impairment atau
disability)
4. Deformity. Kelainan struktur anatomis.
5. Dehabilitation. Proses pasien kusta (handicap) kehilangan status
sosial, sehingga terisolasi dari masyarakat.
6. Destitution. Proses isolasi menyeluruh dari masyarakat. (Wisnu,
2003).
B. Derajat Kecacatan Kusta
Mengingat bahwa organ yang paling berfungsi dalam kegiatan sehari-hari
adalah mata, tangan dan kaki, maka WHO (1988) membagi kecacatan kusta
menjadi tiga tingkat, yaitu :
1. Kecacatan pada tangan dan kaki
a) Tingkat 0 : tidak ada anestesi dan kelainan anatomis
b) Tingkat 1 : ada anestesi, tanpa kelainan anatomis
c) Tingkat 2: terdapat kelainan anatomis. (Wisnu, 2003).
2. Kecacatan pada mata
a) Tingkat 0 : tidak ada kelainan pada mata (termasuk visus).
b) Tingkat 1 : ada kelainan pada mata tetapi tidak terlihat.
c) Tingkat 2 : ada lagoftalmus dan visus sangat terganggu (visus
6/60; dapat menghitung jari pada jarak 6 meter. (Wisnu, 2003).
14
Gambar 2.3 Kecacatan kusta pada mata, kaki dan tangan.
Sumber : Rea, 2008
C. Jenis Cacat Kusta
Jenis kecacatan kusta dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu:
(Kosasih, 2007)
1. Kecacatan primer : Adalah kelompok kecacatan yang disebabkan
langsung aktivitas penyakit, terutama kerusakan akibat respon jaringan terhadap
M. leprae. Yang termasuk kedalam kecacatan primer adalah :
a) Kecacatan pada fungsi saraf.
Fungsi saraf sensorik misalnya : anestesi
Fungsi saraf motorik misalnya : daw hand, wist drop, fot drop,
clow tes, lagoftalmus
Fungsi saraf otonom dapat menyebabkan kulit menjadi kering dan
elastisitas kulit berkurang, serta gangguan reflek vasodilatasi.
b) Inflamasi kuman pada kulit dan jaringan subkutan menyebabkan kulit
berkerut dan berlipat-lipat.
15
c) Kecacatan pada jaringan lain akibat infiltrasi kuman kusta dapat terjadi
pada tendon, ligamen, tulang rawan, testis, dan bola mata.
2. Kecacatan sekunder
Kecacatan ini terjadi akibat cacat primer, terutama adanya kerusakan saraf
sensorik, motorik, dan otonom.
a) Kelumpuhan motorik menyebabkan kontraktur, sehingga terjadi gangguan
berjalan dan mudah terjadinya luka.
b) Lagoptalmus menyebabkan kornea menjadi kering dan memudahkan
terjadinya keratitis.
c) Kelumpuhan saraf otonom menjadikan kulit kering dan elastisitas
berkurang mengakibatkan kulit mudah retak dan terjadi infeksi sekunder.
2.1.9. Faktor Risiko Tingkat Kecacatan Kusta
Banyak faktor yang mempengaruhi tingkat kecacatan kusta, antara lain :
1. Usia Kecacatan Kusta
Hasil penelitian menyatakan bahwa semakin tinggi usia maka semakin
tinggi angka kecacatan, tingkat kecacatan tertinggi terjadi pada usia > 60 tahun
(50%), kemudian umur 46 – 60 tahun (43,6%), dan paling rendah pada umur 0 –
15 tahun (8,3%). (Muhammed. dkk, 2004).
2. Jenis Kelamin
Menurut Peter dan Eshiet (2002) menyatakan bahwa kecacatan kusta lebih
sering pada laki-laki dibandingkan perempuan karena laki-laki berkaitan dengan
aktivitas yang dilakukan setiap hari seperti: pekerjaan, kebiasaan keluar rumah
dan merokok.
3. Tingkat Pendidikan
Hasil penelitian menyatakan bahwa tingkat pendidikan yang rendah dapat
mengakibatkan lambatnya pengobatan, hal ini dapat memperparah kecacatan
pasien kusta (Peter dan Eshiet, 2002), dan menurut penelitian Iyor (2005),
diperoleh hasil bahwa tingkat pendidikan berhubungan dengan kecacatan pasien
kusta (p = 0,00; r = 0,6).
16
4. Tingkat Pengetahuan
Pengetahuan merupakan seluruh kempampuan individu untuk berpikir
secara terarah dan efektif, sehingga orang yang mempunyai pengetahuan tinggi
akan mudah menyerap informasi, saran, dan nasihat (Notoadmodjo, 2007).
Menurut Iyor (2005), pengetahuan rendah tentang kusta mengakibatkan
pasien kusta tidak mengetahui akibat buruk yang ditimbulkan kusta. Kecacatan
kusta lebih banyak terjadi pada pasien dengan pengetahuan rendah tentang kusta
(p=0,00).
5. Reaksi Kusta
Merurut Kurnianto (2002), pasien yang pernah mengalami reaksi, baik
pada kecacatan tingkat 1 dan 2 terlihat lebih tinggi tingkat kecacatannya daripada
pasien yang tidak pernah mengalami reaksi kusta. Risiko kecacatan tingkat 1 atau
2 pada pasien yang pernah mengalami reaksi 5 kali lebih besar dibandingkan
pasien yang tidak pernah mengalami reaksi.
Pengobatan MDT akan meningkatkan kejadian reaksi kusta yang
mengakibatkan kecacatan. Riwayat reaksi I (Reaksi Reversal) akan menyebabkan
neuritis yang berakibat kecacatan. Dan juga reaksi tipe II (ENL) tidak hanya
menyebabkan neuritis tetapi efek sistemik, dan dengan serangan berulang-ulang
dapat menyebabkan kecacatan pada pasien. Selain itu penanganan yang tidak tepat
pada reaksi kusta juga akan memperberat kecacatan yang sudah ada atau
kecacatan yang baru. (Kosasih,2007))
Hasil penelitian menyatakan bahwa dari 892 pasien kusta yang mendapat
pengobatan MDT-WHO terdapat kasus reaksi sebesar 21% dari pasien. Reaksi
kusta dapat mengakibatkan kerusakan syaraf pasien kusta, sehingga kejadian
reaksi yang lama dan dapat menimbulkan kecacatan. (Ganapati, 2003). Menurut
Ishii (2005), reaksi pada pasien kusta dapat mengakibatkan kerusakan saraf dan
kecacatan. Diagnosis dini terhadap reaksi kusta dapat mengurangi kerusakan
saraf. Reaksi kusta lebih sering terjadi pada tipe kusta MB.
17
6. Tipe Kusta
Menurut Richardus (2003), kecacatan tipe LL lebih tinggi daripada tipe
TT. Penelitian lain juga mendapatkan angka yang lebih tinggi pada MB yaitu
81,2% dibandingkan dengan PB.
Risiko kecacatan lebih tinggi pada pasien kusta tipe LL daripada tipe TT.
Pada tipe LL didapatkan angka 25,5% sedangkan tipe TT hanya 16,4% (Smith,
1992). Hasil penelitian melaporkan bahwa kecacatan pada tipe LL lebih banyak
dari tipe TT. Peneliti lain juga mendapatkan angka yang lebih tinggi pada MB
(81,2%) dibandingkan PB. (Smith, 1992)
7. Perawatan Diri
Penelitian Kurnianto (2002), menyatakan bahwa kecacatan pada pasien
yang tidak melaksanakan perawatan diri lebih tinggi dibandingkan pasien dengan
perawatan diri. Masih banyak pasien yang tidak melakukan perawatan diri
kemungkinan disebabkan pasien belum memahami pentingnya perawatan diri dan
petugas belum memberikan edukasi tentang cara perawatan diri kepada pasien.
Menurut penelitian yang dilakukan terhadap 454 pasien kusta, diperoleh
hasil setelah 4 tahun terdeteksi kusta dengan perawatan diri yang baik dapat
membantu memperbaiki kecacatan lebih dari 50%. Kurangnya perawatan diri
dapat mengakibatkan kerusakan semakin berat. (Ganapati, 2003)
8. Kepatuhan Pengobatan
Pada pasien PB yang berobat secara teratur akan cepat sembuh tanpa
menimbulkan kecacatan. Apabila pasien kusta tidak minum obat secara teratur,
maka kuman kusta dapat menjadi aktif kembali, sehingga timbul gejala baru pada
kulit dan saraf yang dapat memperburuk keadaan (Ogbeiwi, 2005).
2.1.10. Reaksi Kusta
Reaksi kusta adalah suatu episode akut perjalanan kronis kusta yang
merupakan suatu kekebalan dengan peradangan pada kulit, saraf tepi dan organ
tubuh yang lain. Satu karakteristik dari kusta yang menjadi penyebab kecacatan
adalah peradangan yang mengenai saraf (neuritis).
18
Reaksi kusta dibagi menjadi 2 tipe, yaitu :
A. Reaksi Kusta Tipe 1
Reaksi kusta 1 merupakan reaksi hipersensitifitas seluler dan perubahan
sistem imun seluler. Reaksi tipe 1 terjadi pada pasien tipe borderline (BL, BB,
BT) dengan sistem imun tak stabil. (Rea, 2008). Reaksi tipe 1 diartikan dengan
reaksi reversal atau reaksi yang sering dijumpai pada kasus yang mendapat
pengobatan dan secara teoritis reaksi tipe 1 dapat terjadi pada semua bentuk kusta
yang subpolar. (Martodihardjo, 2003)
Gambar 2.4 Reaksi kusta 1
Sumber: Rea, 2008
Tabel 2.5. Manisfestasi reaksi tipe 1
Organ yang diserang
Reaksi ringan Reaksi berat
Kulit Lesi kulit yang telah ada menjadi eritematosa
Lesi yang telah ada menjadi eritematosa. Timbul lesi baru yang kadang-kadang disertai panas dan malaise
Saraf Membesar, tidaknyeri,fungsi tidakterganggu. (kurang 6 minggu)
Membesar, nyeri fungsi terganggu, Berlangsung lebih dari 6 minggu
Kulit dan saraf bersama-sama
Lesi yang telah ada menjadi eritematosa, nyeri pada saraf berlangsung kurang dari 6 minggu
Lesi kulit yang eritematosa disertasi ulserasi atau edema pada tangan/kaki. Saraf membesar, nyeri, dan fungsinya terganggu. Berlangsung sampai 6 minggu
Sumber : Martodihardjo, 2003
19
B. Reaksi Kusta Tipe 2
Reaksi tipe 2 dikenal dengan sebutan ENL. Reaksi tipe 2 dipicu oleh
infeksi rekuren, stres psikologi atau fisik, konsumsi alkohol. (Rea, 2008). Reaksi
tipe 2 merupakan reaksi humoral yang merupakan manifestasi sindrom kompleks
imun, terutama terjadi pada bentuk LL dan BL (Martodihardjo, 2003)
Gambar 2.5 Reaksi kusta 2
Sumber : Rea, 2008
Tabel 2.6. Manisfestasi Reaksi Tipe 2
Organ yang terserang
Reaksi ringan Reaksi berat
Kulit Nodus sedikit, dapat berulserasi, demam ringan
Nodus banyak, nyeri berulserasi, demam tinggi dan maleise
Saraf Saraf membesar, tidak nyeri dan fungsi tidak terganggu
Saraf membesar, nyeri dan fungsinya terganggu
Mata Lunak tidak nyeri Nyeri, penurunan visus dan merah sekitar limbus
Testis Lunak, nyeri dan membesar
Sumber : Martodihardjo, 2003
Fenomena Lucio sering terjadi sebelum pengobatan. Mula-mula timbul
purpura yang bentuknya tak beraturan, terasa sangat nyeri, dan biasanya terjadi di
daerah ekstremitas.
20
Purpura ini kemudian mengalami ulserasi dan menjadi nekrotik dan
meninggalkan jaringan parut yang hiperpigmentasi bila sembuh, atau membentuk
bula dan nekrosis sehingga meninggalkan ulkus yang dalam dan lambat sembuh.
Gangguan sistemik yang terjadi dapat sangat berat dan mengakibatkan kematian.
(Rea, 2008)
Gambar2.6 Fenomena Lucio
Sumber : Rea, 2008
2.1.11. Perawatan Diri
Walaupun keberhasilan besar telah diraih dalam eliminasi kusta, namun
kecacatan dan kesulitan sosial-ekonomi masih membebani banyak pasien kusta.
Salah satu pendekatan yang dilakukan untuk mengatasi kecacatan adalah dengan
membentuk kelompok perawatan diri (KPD), yang telah terbukti berhasil
dilaksanakan di beberapa negara. (Depkes, 2006). Dengan dibentuknya KPD yaitu
suatu kelompok yang beranggotakan orang yang menderita kusta, yang berkumpul
untuk saling memberi dukungan satu sama lain. Terutama dalam usaha mencegah,
mengurangi kecacatan dan mencari solusi untuk persoalan yang mereka hadapi.
Tujuan umum dari KPD adalah mencegah bertambahnya atau mengurangi
kecacatan pada pasien kusta. (Depkes 2006). Pemeriksaan pada KPD biasanya ada
dua macam :
1) Mengontrol keadaan kulit, kaki dan tangan terhadap kemungkinan luka
serta kondisi mata dari infeksi. Ini merupakan pemeriksaan standar.
21
2) Jika pasien difasilitasi oleh petugas kusta, pemeriksaan yang lebih lengkap
dapat dilakukan tes fungsi motorik (VMT) dan tes fungsi sensorik (ST), akan
tetapi tidak merupakan pemeriksaan standar.
Dalam KPD ada program perawatan diri pokok maupun khusus. antara lain :
1) Program Perawatan Diri Pokok
Kegiatan merendam kaki/tangan selama sekitar 20 menit dengan air
garam/air sabun, menggosok kulit tebal, dan kemudian membasuh kulit
yang masih basah dengan minyak. Kegiatan ini sangat efektif untuk pasien
dengan kecacatan tingkat 1 atau 2 pada kaki dan tangan.
2) Program Perawatan Diri Khusus
Program ini meliputi latihan untuk tangan, kaki atau mata. Latihan ini
tidak sama untuk semua orang, tetapi tergantung jenis kecacatan. Misalnya
pasien dengan kaki lunglai yang lumpuh perlu melakukan pelatihan yang
berbeda dengan pasien yang menderita kaki lunglai yang lemah.
Rehabilitasi Kecacatan Kusta
Rehabilitasi merupakan proses pemulihan untuk memperoleh fungsi
penyesuaian diri secara maksimal atas suatu usaha untuk mempersiapkan pasien
kecacatan secara fisik, mental dan sosial untuk suatu kehidupan yang penuh,
sesuai dengan kemampuan yang ada. (Depkes, 1977). Maxwell Jones, Leonardi
Mayo, dan Hinsi dan Campbell memberi pengertian rehabilitasi sebagai berikut:
1. Rehabilitasi ditujukan bagi pasien dengan kecacatan dan yang mempunyai
keterbatasan atau handicap.
2. Rehabilitasi adalah pertolongan yang berdasarkan pada pemberian hak
azasi.
3. Rehabilitasi bertujuan untuk mengembalikan individu menjadi manusia
normal, mandiri dan berguna.
4. Rehabilitasi merupakan upaya yang terpadu dan terkordinasi meliputi
berbagai aspek yang dijalankan menurut sistem dan metode tertentu secara
bertahap (Depkes, 2006).
22
Pasien dengan kecacatan kusta perlu mendapat berbagai macam rehabilitasi
melalui pendekatan paripurna yaitu:
1. Rehabilitasi bidang medis:
a. Perawatan yang dikerjakan bersamaan dengan program pencegahan
kecacatan, KPD atau Self Care Group.
b. Rehabilitasi fisik dan mental yang dikerjakan melalui berbagai tindakan pelayanan
medis dan konseling medik (Soewono, 1997).
2. Rehabilitasi bidang sosial-ekonomi
Rehabilitasi sosial ditujukan untuk mengurangi masalah psikologis dan
stigma sosial agar pasien dapat berintegrasi sosial, seperti: konseling,
advokasi, penyuluhan dan pendidikan. Sedangkan rehabilitasi ekonomi
ditujukan untuk perbaikan ekonomi dan kualitas hidup meliputi
keterampilan kerja (vocational training), fasilitas kredit kecil untuk usaha
sendiri, (Soewono, 1997).
Pencegahan Kecacatan pada Pasien Kusta
Cara terbaik untuk melakukan pencegahan kecacatan atau prevention of
disabilities (POD) adalah melaksanakan diagnosis dini, pemberian MDT yang
cepat dan tepat. Selanjutnya mengenali gejala dan tanda reaksi kusta yang disertai
gangguan saraf. Bila terdapat gangguan sensibilitas, pasien diberi petunjuk
sederhana misalnya memakai sepatu untuk melindungi kaki, memakai sarung
tangan bila bekerja dengan benda yang tajam atau panas, dan memakai kacamata
untuk melindungi mata. Selain itu diajarkan cara perawatan kulit sehari-hari. Hal
ini dimulai dengan memeriksa memar, luka atau ulkus. Tangan dan kaki
direndam, disikat dan diberi minyak agar tidak kering dan pecah. (Depkes, 2006).
Adapun upaya dalam pencegahan kecacatan terdiri atas:
1. Upaya pencegahan kecacatan primer
a) Diagnosis dini
b) Pengobatan secara teratur dan adekuat
c) Diagnosis dini dan penatalaksaan neuritis dan reaksi.
d) Pemeriksaan fungsi sensorik, motorik, otonom. (Wisnu, 2003).
23
2. Upaya pencegahan kecacatan sekunder
a) Perawatan diri sendiri untuk mencegah luka, perawatan mata,
tangan, atau kaki yang anestesi atau mengalami kelumpuhan otot.
b) Latihan fisioterapi pada otot yang mengalami kelumpuhan untuk
mencegah terjadinya kontraktur.
c) Bedah rekonstruksi untuk koreksi otot yang mengalami
kelumpuhan agar tidak mendapat tekanan yang berlebihan.
d) Bedah septik untuk mengurangi perluasan infeksi.
e) Terapi okupasi (kegiatan hidup sehari-hari) dilakukan bila gerakan
normal terbatas pada tangan.
f) Konseling dilakukan untuk mengurangi depresi pada penderita
cacat. (Wisnu, 2003).
24
2.2. Kerangka teori
Keterangan : : diteliti
-------> : Tidak diteliti
Mycobacterium leprae
Kusta
Tipe kusta
Tanpa cacat Cacat kusta
Pengobatan
Pencegahan cacat
Rehabilitasi mental
Rehabilitasi sosial
1. Reaksi kusta 2. Perawatan
diri
Tingkat cacat
Mata, Tangan dan Kaki
Primer Sekunder
Pengobatan
Pencegahan cacat
Rehabilitasi mental
Rehabilitasi sosial
Faktor lainnya :1. Usia 2. Faktor Sosial
Ekonomi3. Lama Menderita
Kusta4. Lama Bekerja5. Diagnosis dini. 6. Tipe kusta
25
2.3. Hipotesis
H1: Ada hubungan antara reaksi kusta terhadap kecacatan pasien kusta di
Instalasi Rawat Inap RSK. Dr. Rivai Abdullah Palembang pada tahun 2012
H2: Ada hubungan antara perawatan diri terhadap kecacatan pasien kusta di
Instalasi Rawat Inap RSK. Dr. Rivai Abdullah Palembang pada tahun 2012
26
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini merupakan studi survei analitik dengan rancangan
penelitian potong lintang
3.2. Waktu dan Tempat Penelitian
3.2.1. Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan November 2012 – Desember 2012
3.2.2. Tempat Penelitian
RSK. Dr. Rivai Abdullah Palembang
3.3. Populasi dan Sampel Penelitian
3.3.1. Populasi
Populasi penelitian ini adalah seluruh pasien kusta di Instalasi Rawat Inap
RSK. Dr. Rivai Abdullah Palembang.
3.3.2. Sampel
Sampel penelitian ini adalah seluruh populasi penelitian yang memenuhi
kriteria inklusi
3.3.3. Kriteria Inklusi dan Ekslusi
A. Kriteria Inklusi
1. Pasien yang menjalani rawat inap saat penelitian
2. Pasien yang dapat berkomunikasi dengan baik saat penelitian.
27
B. Kriteria Eksklusi
1. Kecacatan bukan karena kusta
2. Pasien yang tidak bersedia dan menolak untuk berpartisipasi dalam
penelitian.
3.3.4. Teknik Sampling
Mengingat jumlah populasi yang tidak terlalu banyak, maka tehnik
pengambilan sampel yang digunakan adalah semua populasi. Semua populasi
diambil sebagai sampel. Hal ini berpatokan berdasarkan pendapat Arikunto (1993)
bahwa apabila subjeknya kurang dari 100 lebih baik diambil semua.
Jumlah seluruh pasien kusta di Instalasi Rawat Inap RSK. Dr. Rivai
Abdullah Palembang adalah 50 pasien.
3.4. Variabel Penelitian
3.4.1. Variabel Dependen :
Kecacatan kusta
3.4.2. Variabel Independen :
a) Reaksi kusta
b) Perawatan diri
3.5 Kerangka Konsep
Kecacatan Pasien Kusta
Faktor Risikoa) Reaksi kustab) Perawatan diri
Kusta
Kecacatan Kusta
Pengobatan
Pencegahan cacat
Rehabilitasi mental
Rehabilitasi sosial
28
3.6. Definisi Operasional
1.Kecacatan Kusta
Definisi : Keadaan kelainan kulit/ syaraf yang terjadi pada mata, kaki
dan tangan pasien kusta.
Alat Ukur : Hasil rekam medik
Cara Ukur : Hasil rekam medik
Hasil ukur : 1. Ada kecacatan kusta
2. Tanpa kecacatan kusta
Skala : Nominal
2.Reaksi kusta
Definisi : Suatu episode akut perjalanan kronis kusta yang ditandai
dengan peradangan pada kulit, saraf tepi dan organ tubuh yang lain.
(Depkes,2007)
Alat ukur : Hasil rekam medik
Cara ukur : Hasil rekam medik
Hasil ukur : 1. Ada reaksi kusta
2. Tidak ada reaksi kusta
Skala : Nominal
3. Perawatan diri
Definisi : Perawatan diri adalah tindakan merawat diri pasien yang
meliputi perawatan mata, tangan dan kaki.
Alat ukur : Kuesioner
Cara ukur : Wawancara
Hasil ukur: 1. Merawat diri
2. Tidak merawat diri
Skala : Nominal
29
3.7. Cara Pengumpulan Data Dan Instrumen Penelitian
3.7.1. Cara Pengumpulan Data
a. Data Primer
Pengumpulan data untuk mengetahui hubungan antara reaksi kusta dan
perawatan diri terhadap kecacatan pasien kusta dilakukan secara langsung dengan
melakukan pengisian kuesioner oleh pasien.
Kuesioner ini digunakan untuk memperoleh informasi mengenai beberapa
hal yaitu identitas pasien (nama, usia) serta data yang terkait faktor terjadinya
kecacatan pada kusta yaitu perawatan diri.
b. Data Sekunder
Data sekunder diambil berdasarkan informasi dari dokumen hasil rekam
medik untuk mengetahui data data yang ingin diperoleh.
3.7.2. Instrumen Penelitian
Menggunakan daftar pertanyaan berupa kuesioner perawatan diri yang
dirancang peneliti merujuk dari penelitian sebelumnya dan dilakukan perubahan
seperlunya dengan pertimbangan agar bahasa penulisan lebih dimengerti pasien.
Dan juga dengan melihat hasil rekam medis untuk melihat reaksi kusta.
Kuesioner perawatan diri berupa 18 pertanyaan mengenai perawatan diri.
Setiap pertanyaan benar diberi skor 1. Tindakan merawat diri pada pasien yang
meliputi perawatan mata, tangan dan kaki. Merawat adalah skor nilai perawatan
diatas nilai rata-rata dari kuesioner sedangkan tidak merawat jika nilai perawatan
dibawah atau sama dengan rata-rata dari hasil kuesioner.
Reaksi kusta dilihat dari hasil rekam medic dengan kategori “Ada Reaksi
dan Tidak Ada Reaksi” dan diberikan skor 1 dan 2.
30
3.8. Pengolahan Data dan Analisis Data
3.8.1. Pengolahan Data
Langkah dalam pengolahan data :
1. Editing, adalah setiap lembar kuesioner diperiksa untuk memastikan bahwa setiap pertanyaan yang terdapat dalam daftar kuesioner telah terisi semua
2. Coding, adalah pemberian kode pada setiap jawaban yang terkumpul dalam kuesioner untuk memudahkan proses pengolahan data
3. Processing, adalah melakukan pemindahan atau memasukkan data dari kuesioner ke dalam komputer untuk diproses menggunakan software statistik.
4. Cleaning, adalah proses yang dilakukan setelah data masuk ke komputer, dan akan diperiksa apakah ada kesalahan atau tidak.
5. Tabulating, pada tahap ini jawaban pasien yang sama dikelompokkan dangan teliti dan teratur lalu dihitung dan dijumlahkan kemudian ditampilkan dalam bentuk variabel.
3.9. Uji Validitas dan Reabilitas Kuesioner.
Sebelum dilakukan penelitian kepada pasien kusta, terlebih dahulu dilakukan
uji validitas dan reabilitas kuesioner kepada 6 pasien kusta rawat jalan di RSK
Dr.Rivai Abdullah Palembang.
Uji validitas kuesioner dilakukan dengan nilai r tabel dengan nilai r hasil. Bila
r hasil > r tabel, maka pertanyaan tersebut valid dan bila r alpha > r tabel maka
pertanyaan tersebut reabilitas.
31
Tabel 3.1 Hasil Perhitungan Validitas dan Reabilitas Kuesioner.
Variabel R tabel R hasil Alpha KeteranganPerawatan Diri
P1 0,468 0,842 0,961 Valid dan Reabilitas
P2 0,468 0,842 0,961 Valid dan Reabilitas
P3 0,468 0,842 0,961 Valid dan Reabilitas
P4 0,468 0,665 0,964 Valid dan Reabilitas
P5 0,468 0,665 0,964 Valid dan Reabilitas
P6 0,468 0,627 0,964 Valid dan Reabilitas
P7 0,468 0,665 0,964 Valid dan Reabilitas
P8 0,468 0,842 0,961 Valid dan Reabilitas
P9 0,468 0,842 0,961 Valid dan Reabilitas
P10 0,468 0,842 0,961 Valid dan Reabilitas
P11 0,468 0,842 0,961 Valid dan Reabilitas
P12 0,468 0,665 0,964 Valid dan Reabilitas
P13 0,468 0,842 0,961 Valid dan Reabilitas
P14 0,468 0,665 0,964 Valid dan Reabilitas
P15 0,468 0,665 0,964 Valid dan Reabilitas
P16 0,468 0,665 0,964 Valid dan Reabilitas
P17 0,468 0,842 0,961 Valid dan Reabilitas
P18 0,468 0,842 0,961 Valid dan Reabilitas
Dari tabel 3.1 diatas terlihat bahwa semua pertanyaan nilai r hasil lebih
besar dari pada r tabel demikian juga alpha lebih besar dari r tabel, dengan
demikian kuesioner yang digunakan untuk penelitian mengenai hubungan antara
32
reaksi kusta dan perawatan diri terhadap kecacatan kusta pada pasien kusta di
Instalasi Rawat Inap RSK Dr.Rivai Abdullah Palembang tahun 2012 valid dan
reablitas.
3.10 Alur Penelitian
Populasi
Pasien kusta yang di rawat inap di RSK dr Rivai Abdullah
Sampel
seluruh populasi penelitian yang
memenuhi kriteria inklusi
Pelaksanaan Penelitian dan pengambilan data
Membagikan kuesioner pada sampel yang telah dipilih dan melihat hasil rekam medik
Kriteria inklusi
Pengolahan data dan analisis data
Informed Consent
33
3.11. Rencana / Jadwal kegiatan
Tabel.3.8 Rencana/Jadwal Kegiatan
September Oktober November Desember Januari Februari
Menyele-saikan BAB I
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Menyele-saikan BAB II
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Menyele-saikan BAB III
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Mengum-pulkan sampel
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Membuat BAB IV
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Membuat BAB V
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
3.12 Anggaran
Hasil dan kesimpulan
34
Tabel. 3.9 Anggaran
No Nama Barang Harga Satuan Jumlah Total1 Kertas HVS 70 gr Rp. 35.000,00 3 rim Rp. 95.000,002 Tinta Printer Hitam Rp. 25.000,00 2 Rp. 50.000,003 Tinta Printer Warna Rp. 30.000,00 2 Rp. 60.000,004 Transportasi Rp. 200.000,00 Rp. 200.000,005 Lain-lain Rp. 200.000,00 Rp. 200.000,00Total Rp. 605.000,00