PENOLAKAN SERBIA TERHADAP HIMBAUAN UNI EROPA UNTUK
TURUT MENJATUHKAN SANKSI KE RUSIA TAHUN 2014-2018
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyarataan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S,Sos)
Oleh:
Eufrat Kamil Kahar
1112113000031
PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019
v
ABSTRAK
Skripsi ini menganalisa penolakan Serbia terhadap himbauan Uni Eropa
untuk turut menjatuhkan sanksi ke Rusia tahun 2014-2018. Skripsi ini bertujuan
untuk mengetahui alasan Serbia mengeluarkan kebijakan menolak himbauan Uni
Eropa padahal negara ini merupakan salah satu negara kandidat anggota yang
harus menyelaraskan kebijakannya dengan Uni Eropa. Penulis menggunakan
konsep identitas dan kepentingan nasional dalam teori konstruktivisme dalam
menjelaskan masalah yang diteliti. Metode penelitian yang digunakan adalah
kualitatif dengan data deskriptif dan teknik pengumpulan data studi pustaka.
Dalam menjawab pertanyaan penelitian penulis menggunakan metode analitis
deskriptif. Penelitian ini menemukan bahwa alasan Serbia menolak himbauan Uni
Eropa untuk turut menjatuhkan sanksi ke Rusia adalah adanya faktor identitas
Slavia yang dimiliki oleh Serbia. Identitas ini muncul dari gagasan bahwa Uni
Eropa yang merupakan negara barat adalah rival sedangkan Rusia adalah mitra
dalam politik internasional. Berdasarkan faktor tersebut maka dapat diketahui
bahwa alasan Serbia menolak himbauan Uni Eropa untuk turut menjatuhkan
sanksi ke Rusia adalah karena Serbia memiliki kepentingan nasional untuk
menjaga eksistensi mereka di dunia internasional dengan cara mempertahankan
identitas tersebut.
Kata kunci : Sanksi, penolakan, Crimea, Identitas, Serbia, Uni Eropa, Rusia
vi
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim, puji syukur penulis udapkan atas kehadirat Allah
SWT yang telah memberikan segala rakhmat dan nikmatnya sehingga penulis
dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Sholawat serta salam juga tak lupa
penulis panjatkan kepada Nabi Muhammad saw. Dalam penulisan skripsi ini tentu
tidak akan selesai tanpa dukungan dari berbagai pihak. Maka karena itu penulis
mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Keluarga penulis, Ayahanda Syafni Dharma Kahar dan Ibunda Badrayani,
Tante penulis Anne Sartika Kahar dan Irma Kartika Kahar yang telah
memberikan dukungan penuh dari awal hingga akhir penulisan.
2. Bapak Febri Dirgantara Hasibuan, M.M selaku dosen pembimbing yang
telah bersedia meluangkan waktu dan pemikirannya selama membantu
penulis menyelesaikan skripsi
3. Bapak Ahmad Alfajri, M.A selaku ketua Program Studi Hubungan
Internasional yang telah memotivasi penulis hingga selesai penulisan.
4. Bapak Irfan R. Hutagalung LL. M dan Teguh Santosa, MA yang telah
menguji skripsi ini dan telah memberikan masukan yang sangat berharga
untuk menyempurnakan penulisan skripsi ini.
5. Jajaran dosen dan staf Program Studi Hubungan Internasional, atas segala
upaya dalam membantu penulis dari awal perkuliahan
6. Sahabat-sahabat penulis yaitu Aang, Dede, Labib, Ismail, Rizki, Tegar,
Utong, Upi, Azmi, Ardi, Mabrur, Dirga, Djordi, Fachry, Andes dan masih
vii
banyak lagi yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu, yang telah
mendukung penulis dalam proses penulisan skripsi ini.
7. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah
memberikan bantuan selama proses penulisan skripsi ini.
Terakhir penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh
dari kata sempurna, maka penulis mengharapkan kritik dan saran agar
penulis dapat menulis lebih baik lagi dikemudian hari.
Eufrat Kamil Kahar
viii
DAFTAR ISI
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ..................................................... ii
PERSUTUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI .................................................. iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ................................................. iv
ABSTRAK ......................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ....................................................................................... vi
DAFTAR ISI ...................................................................................................... viii
DAFTAR SINGKATAN ................................................................................... x
DAFTAR TABEL ............................................................................................. xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah .................................................................. 1
B. Pertanyaan Penelitian ................................................................ 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................. 8
D. Tinjauan Pustaka ....................................................................... 9
E. Kerangka Pemikiran ............................................................ ...13
E.1. Konsep Identitas dalam Konstruktivisme Sosial ............. 13
E.2. Konsep Kepentingan Nasional ........................................ 17
F. Metode Penelitian ................................................................... 21
G. Sistematika Penulisan ............................................................. 22
BAB II INTERAKSI SERBIA DENGAN UNI EROPA DAN RUSIA
A. Hubungan Serbia dengan Uni Eropa ...................................... 24
B. Hubungan Serbia dengan Rusia .............................................. 31
ix
BAB III PENOLAKAN SERBIA TERHADAP HIMBAUAN UNI
EROPA UNTUK TURUT MENJATUHKAN SANKSI KE
RUSIA
A. Sanksi Uni Eropa Terhadap Rusia .......................................... 37
B. Sanksi Balasan Rusia Terhadap Uni Eropa ............................ 44
C. Himbauan Uni Eropa kepada Serbia untuk Turut Menjatuhkan
Sanksi Ke Rusia ...................................................................... 47
D. Penolakan Serbia Terhadap Himbauan Uni Eropa untuk Turut
Menjatuhkan Sanksi Ke Rusia ................................................ 49
BAB IV ANALISA PENOLAKAN SERBIA TERHADAP HIMBAUAN
UNI EROPA UNTUK TURUT MENJATUHKAN SANKSI KE
RUSIA
A. Pengaruh Identitas Serbia Terhadap Keputusannya Menolak
Himbauan Untuk Turut Menjatuhkan Sanksi ......................... 53
B. Kepentingan Nasional Serbia Terhadap Keputusannya Menolak
Himbauan Untuk Turut Menjatuhkan Sanksi ......................... 62
BAB V PENUTUP
Kesimpulan .................................................................................. 68
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... xii
x
DAFTAR SINGKATAN
EU : European Union
SAA : Stabilization and Association Agreement
SAp : Stabilization and Association process
ICTY : International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia
PBB : Perserikatan Bangsa-Bangsa
NIS : Naftna Insdustrija Srbije
EaEU : The Russian-led Eurasioan Economic Union
xi
DAFTAR TABEL
Tabel II.A.1 Perdagangan antara Serbia dan Uni Eropa 2001-2010 dalam Juta
Euro...........…………………………………………………………………... 29
Tabel IV.A.1 Presentase Dukungan Rakyat Negara-Negara di Eropa Untuk
Menerapkan Sanksi ke Rusia ……………………………………………....... 61
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah
Skripsi ini akan menganalisa alasan Serbia menolak himbauan Uni Eropa
untuk turut menjatuhkan sanksi ke Rusia. Sanksi ke Rusia mulai diterapkan oleh
Uni Eropa sebagai respon terhadap aneksasi Crimea oleh Rusia. Sanksi diterapkan
untuk menekan Rusia agar menghentikan intervensinya di Crimea. Berbeda
dengan Uni Eropa, Serbia sebagai negara kandidat anggota yang memiliki
kewajiban untuk menyelaraskan kebijakan luar negerinya dengan kebijakan Uni
Eropa mengambil sikap yang berbeda. Padahal sebagai negara kandidat anggota,
Serbia harus membuat Uni Eropa yakin dengan komitmen mereka setelah
negoisasi untuk menjadi negara anggota selalu mereka sebutkan sebagai prioritas
kebijakan luar negeri (Torralba, 2014).
Aneksasi wilayah Crimea oleh Rusia terjadi setelah jatuhnya pemerintahan
Presiden Ukraina Viktor Yanukovich. Presiden Yanukovych diturunkan dari kursi
kepresidenan pada Februari 2014 oleh rakyat Ukraina yang protes terhadap
kebijakannya menolak kerjasama EU Eastern Partnership1 dengan Uni Eropa
(Oxenstierna dan Olsson, 2015). Pada daerah Crimea yang penduduknya dikenal
pro Rusia, gelombang protes balasan terhadap aksi penurunan Presiden
Yanukovych terjadi dan berujung pada aneksasi wilayah Crimea oleh Federasi
1 EU Eastern Partnership merupakan instrumen Uni Eropa dan mitra mereka di Eropa
Timur diantaranya Armenia, Azerbaijan, Belarus, Georfia, Republik Moldowa, dan Ukraina.
Instrumen ini dibuat pada konferensi EU Prague Summit pada 2009. Instrumen ini mendukung dan
mendrong reformasi di negara-negara tersebut sekaligus membawa mereka lebih dekat dengan Uni
Eropa (Kerikmae, 2016).
2
Rusia. Presiden Vladimir Putin menandatangani hasil referendum yang
menyebutkan bahwa sebanyak 96,77% masyarakat Crimea memilih untuk
bergabung dengan Rusia dan melepaskan diri dari Ukraina (Wang, 2015).
Sanksi diterapkan Uni Eropa terhadap Rusia setelah menilai bahwa aneksasi
tersebut ilegal. Kebijakan sanksi dikeluarkan dengan tujuan menekan Rusia untuk
menghentikan intervensinya. Sanksi diberikan secara bertahap sejak Maret 2014
yang meliputi sanksi diplomatik, sanksi pembekuan aset dan larangan berpergian,
sanksi ekonomi, serta pembatasan hubungan ekonomi baik dengan Rusia atau
Crimea. Pada tahap pertama, Uni Eropa membekukan aset dan memberlakukan
larangan berpergian untuk beberapa politikus Rusia dan simpatisannya di Crimea.
Ruang lingkup sanksi kemudian diperluas pada Juli, September dan Desember
2014 ke beberapa sektor ekonomi Rusia agar bisa memberikan dampak yang lebih
besar (Veebel, 2016).
Pada perpanjangan masa berlaku sanksi pertama, Uni Eropa memutuskan
untuk menerapkan sanksi sampai 2015 dengan total 150 individu dan 37
organisasi dibekukan asetnya dan dilarang berpergian ke Uni Eropa. Sanksi juga
menyentuh beberapa sektor seperti finansial, perbankan, minyak dan militer.
Pendanaan terhadap beberapa proyek di Rusia juga dihentikan oleh Uni Eropa
(Romanova, 2016). Sanksi kemudian ditinjau dan diperpanjang setiap enam bulan
setelah Uni Eropa menyebutkan bahwa Rusia dianggap terus terlibat dalam
beberapa kasus terkait konflik di Ukraina seperti saat peristiwa jatuhnya pesawat
Malaysia Airlines MH17 atau saat pembangunan jembatan yang menghubungkan
3
Crimea dan Rusia. Sanksi terakhir kali diperpanjang sampai tahun 2019 lewat
keputusan yang dikeluarkan pada September 2018 (Newnham, 2018).
Uni Eropa juga menghimbau negara-negara kandidat anggota untuk turut
menerapkan sanksi yang sama dengan tujuan memberi dampak yang lebih luas
untuk Rusia (Galbert, 2015). Albania dan Montenegro sebagai negara kandidat
turut menerapkan sanksi yang sama ke Rusia sejak Maret 2014. Kedua negara
menerapkan sanksi sejak tahap pertama dimana sanksi meliputi pembekuan aset
dan larangan berpergian ke negara-negara Uni Eropa untuk beberapa petinggi
pemerintahan Rusia dan Crimea (InSerbia, 2014).
Himbauan untuk Serbia sendiri beberapa kali disampaikan oleh beberapa
petinggi Uni Eropa, salah satunya yang paling tegas adalah melalui Johannes
Hahn selaku komisaris Uni Eropa yang bertanggung jawab atas Enlargement and
Neighbourhood Policy dari Uni Eropa menyatakan bahwa:
“Serbia secara hukum berkewajiban, sebagai bagian dari negosiasi
keanggotaan untuk semakin menyejajarkan diri dengan Uni Eropa mengenai
masalah-masalah konkrit seperti sanksi terhadap Rusia. Hal ini sangat
penting dan kami berharap Serbia terus menghormati komitmen ini”
(Novosti, 2014).
Berbeda dengan kedua negara yang disebutkan, Serbia yang juga negara
kandidat anggota Uni Eropa menolak untuk turut menjatuhkan sanksi ke Rusia.
Penolakan tersebut pertama kali ditegaskan oleh Perdana Menteri Serbia
Aleksandar Vucic pada Maret 2014 melalui pernyatannya yang menyebutkan
bahwa Serbia tidak akan menjatuhkan sanksi ke Rusia begitu saja dalam
menanggapi krisis di Ukraina. Pernyataan disampaikan saat perjalananannya ke
Brussels untuk menemui Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa, Catherine
4
Ashton (Novosti, 2014). Pada pertemuan tersebut, Uni Eropa melalui Catherine
Ashton mengumumkan bahwa Montenegro dan Albania sebagai negara kandidat
anggota Uni Eropa telah berpartisipasi dalam kebijakan sanksi terhadap Rusia. Ia
juga mendorong negara-negara kandidat lainnya untuk turut menerapkan
kebijakan yang sama (Gieseke, 2014).
Penolakan Serbia tentu akan menghambat proses menjadi negara anggota
Uni Eropa. Kebijakan tersebut bertentangan dengan komitmen Serbia pada
Stabilisation and Association Agreement dengan Uni Eropa. Pada Article 10
bagian Political Dialogue dijelaskan bahwa Serbia akan bekerjasama dengan Uni
Eropa dalam membangun solidaritas dan kerjasama. Kerjasama yang dimaksud
adalah menyelaraskan posisi dan kebijakan dengan Uni Eropa terkait isu
internasional, stabilitas dan keamanan di Eropa (the Council of European Union,
2013). SAA sendiri dibentuk oleh Uni Eropa dan menjadi bagian dari
Stabilization and Association process (SAp) sejak 1999 sebagai bentuk komitmen
negara kandidat untuk melakukan reformasi agar memenuhi syarat untuk menjadi
anggota (Schenker, 2008).
Serbia berkomitmen untuk menjadi bagian dari Uni Eropa sejak Juni 2003
saat ikut serta dalam deklarasi EU-Western Balkans Summit di Thessaloniki.
Komitmen tersebut kemudian sempat menghadapi tantangan saat Uni Eropa
menganggap bahwa Serbia belum bisa memenuhi komitmen yang mengharuskan
Serbia bekerjasama penuh dengan International Criminal Tribunal for the fomer
Yugoslavia dalam menangani kasus kejahatan perang di Yugoslavia yang
melibatkan beberapa petinggi negara Serbia. Sampai pertengahan tahun 2005,
5
Serbia tidak diberi studi kelayakan oleh Uni Eropa. Negosiasi untuk SAA Serbia
baru dibuka oleh Uni Eropa pada Oktober 2005 (Ristic, 2009).
Pada Mei 2006 negosiasi SAA Serbia kembali ditunda setelah Serbia tidak
bekerjasama dengan baik dengan ICTY terkait penangkapan penjahat perang
Yugoslavia yaitu Radovan Karadzic, Ratko Mladic dan Goran Hadzic. Hubungan
antara Serbia dan Uni Eropa juga semakin memburuk setelah Serbia meyakini
adanya campur tangan Uni Eropa dalam referendum Montenegro dan
kemungkinan kemerdekaan Kosovo. Hubungan Serbia dengan Uni Eropa
membaik setelah negosiasi SAA Serbia kembali dibuka pada Juni 2007. The
Stabilisation and Association Agreement ditandatangani oleh Uni Eropa dan
Serbia pada 29 April 2008 (Fossati, 2014).
Serbia menerima status sebagai negara kandidat anggota pada 1 Maret 2012.
Proses negosiasi aksesi Serbia menjadi anggota Uni Eropa kemudian secara resmi
dibuka pada Januari 2014 (Fossati, 2014). Komitmen Serbia untuk menjadi bagian
dari Uni Eropa kemudian kembali dipertegas melalui pernyataan Perdana Menteri
Ivan Dacic:
“Kami tahu bahwa ada banyak hal yang perlu kami perbaiki sebelum
menjadi bagian dari Uni Eropa, tapi kami tetap menjalani ini, dan Eropa
mengakui tekad kami untuk berubah menjadi lebih baik. Konsolidasi sistem
ekonomi adalah prioritas pertama kami untuk mendekat ke Uni Eropa”
(Massy-Beresford, 2013).
Meski Serbia hanya memiliki status sebagai negara kandidat anggota dan
mempunyai hak untuk mengatur kebijakan luar negerinya tanpa intervensi dari
Uni Eropa, bukan berarti Serbia tidak harus menyelaraskan kebijakannya dengan
Uni Eropa karena hal ini akan berdampak pada posisinya dalam mengejar
6
keanggotaan tetap (Torralba, 2014). Sebagai negara yang berkeinginan kuat untuk
menjadi bagian dari Uni Eropa, Serbia harus meyakinkan Uni Eropa terkait
komitmennya tersebut terlebih Serbia telah menandatangani SAA sebagai tolak
ukur untuk memenuhi syarat menjadi negara anggota. Berdasarkan logika
tersebut, penulis menganggap bahwa masalah ini menarik untuk diteliti karena
kebijakan Serbia yang menolak himbauan Uni Eropa untuk menjatuhkan sanksi ke
Rusia dapat menimbulkan risiko untuk tujuan nasional mereka menjadi negara
anggota (Dolidze, 2015).
Penolakan Serbia yang bisa dikatakan sebagai bentuk dukungan untuk Rusia
in juga berseberangan dengan sikap Serbia terkait pemisahan entitas tertentu dari
suatu negara yang memiliki unsur pelanggaran kedaulatan seperti yang mereka
alami pada kasus Kosovo (Jusufaj, 2015). Serbia melalui Perdana Menteri Ivica
Dacic memang menyatakan bahwa Serbia menghormati integritas wilayah setiap
negara termasuk Ukraina dan Crimea didalamnya. Namun menariknya, Serbia
menolak untuk menjatuhkan sanksi dalam bentuk apapun ke Rusia meski
kebijakan tersebut dinilai dapat membawa perdamaian dengan menekan Rusia
untuk menghentikan intervensinya (Ristic, 2014).
Penolakan Serbia terhadap kebijakan Uni Eropa menjadi masalah yang
diteliti pada skripsi ini. Penolakan Serbia tersebut dapat menghambat proses
negosiasi keanggotaan Uni Eropa yang sampai saat ini merupakan tujuan utama
arah kebijakan luar negeri Serbia. Serbia tidak memanfaatkan kesempatan tersebut
untuk meningkatkan posisi tawarnya dengan meyakinkan komitmennya terhadap
Uni Eropa melalui kebijakan yang selaras. Negara kandidat anggota yang
7
mendapat himbauan langsung dari Uni Eropa ini justru menolak menerapkan
kebijakan sanksi kepada Rusia (Dolidze, 2015).
B. Pertanyaan Penelitian
Masalah yang akan dianalisa dalam skripsi ini adalah Penolakan Serbia
dalam posisinya sebagai negara kandidat anggota menolak himbauan Uni Eropa
untuk turut menjatuhkan sanksi ke Rusia tahun 2014-2018. Penulis akan
menganalisa alasan yang membuat Serbia mengeluarkan kebijakan penolakan
tersebut. Masalah ini menarik untuk diteliti karena Serbia yang merupakan negara
kandidat anggota dan telah memulai proses negosiasi aksesi keanggotaannya
justru mengeluarkan kebijakan menolak dan tidak selaras dengan Uni Eropa
dimana hal ini melanggar komitmen mereka dalam The Stabilisation and
Association Agreement (Novosti, 2014).
Komitmen yang dimaksud adalah komitmen untuk menyelaraskan kebijakan
negara dengan kebijakan Uni Eropa. Hal ini sesuai dengan salah satu Kriteria
Kopenhagen yang merupakan syarat utama untuk menjadi anggota Uni Eropa.
Kriteria tersebut berbunyi negara kandidat diharuskan memiliki kemampuan
untuk mematuhi kewajiban kanggotaan termasuk patuh dengan tujuan politik,
ekonomi dan moneter Uni Eropa (Steunenberg dan Dimitrova, 2007). Kedua,
Serbia yang sangat menentang intervensi negara lain dalam pemisahan suatu
entitas dari sebuah negara secara tidak langsung justru mendukung Rusia dengan
menolak himbauan Uni Eropa untuk menjatuhkan sanksi sebagai cara untuk
menekan Rusia menghentikan intervensinya.
8
Ketiga, Serbia tidak berupaya untuk meningkatkan posisi tawarnya terkait
proses aksesi keanggotaan Uni Eropa disaat keikutsertaannya dalam mendukung
kebijakan Uni Eropa sedang sangat diperlukan. Berdasarkan pernyataan masalah
tersebut, pertanyaan penelitian yang akan menjadi fokus pembahasan dari skripsi
ini adalah “Mengapa Serbia menolak himbauan Uni Eropa untuk turut
menjatuhkan sanksi ke Rusia Tahun 2014-2018 ?”
C. Tujuan dan Manfaat Peneltian
Skripsi ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui alasan Serbia memilih kebijakan yang berseberangan dengan
Uni Eropa dengan menolak himbauan Uni Eropa untuk turut menjatuhkan
sanksi ke Rusia tahun 2014-2018
2. Mengidentifikasi pengaruh identitas Serbia terhadap kebijakannya menolak
himbauan Uni Eropa untuk turut menjatuhkan sanksi ke Rusia tahun 2014-
2018.
Manfaat dari skripsi ini adalah untuk:
1. Menambah bahan pustaka bagi penelitian-penelitian terkait studi Ilmu
Hubungan Internasional berikutnya yang memiliki keterkaitan dengan tema
pada skripsi ini.
2. Menjadi referensi bagi praktisi maupun akademisi dalam memberi
pandangan terkait topik Penolakan Serbia terhadap Himbauan Uni Eropa
untuk turut menjatuhkan sanksi ke Rusia, dalam merespon aneksasi Crimea
oleh Rusia.
9
D. Tinjauan Pustaka
Sebagai bahan pertimbangan dalam membangun analisa, penulis akan
mencantumkan beberapa hasil penelitian terdahulu yang terkait dengan topik
penelitian pada skripsi ini. Penelitian pertama adalah Jurnal yang ditulis oleh
Galina A. Nelaeva dan Andrey V. Semenov yang berjudul EU-Rivalry in The
Balkans: Linkage, Leverage and Competition (The Case of Serbia).
Penelitian ini membahas alasan dibalik arah kebijakan Serbia yang tidak
konsisten dan selalu berubah pasca ditetapkannya keanggotaan Uni Eropa sebagai
orientasi kebijakan luar negeri. Penelitian ini menggunakan konsep Competitive
Authoritarianism berdasarkan model Levitsky & Way untuk menganalisa
perubahan kebijakan luar negeri Serbia yang sering terjadi. Levitsky & Way
berasumsi bahwa pada satu sisi negara transisi menerima demokrasi sebagai
sistem pemerintahan mereka dan menjalin hubungan dengan negara-negara barat.
Pada sisi lain, negara juga tetap menggunakan norma yang dipakai sebelumnya
untuk membungkam oposisi yang menghendaki hubungan erat dengan negara lain
yang biasa menjalin kerjasama sebelumnya. Kedua sisi tersebut digunakan oleh
negara tergantung pada peran dan pengaruh masing-masing sisi, dimana salah
satunya akan aktif tergantung pada keuntungan yang bisa didapat dan sejauh mana
keuntungan tersebut bisa mempengaruhi publik.
Model tersebut digunakan oleh Galina dan Andrey untuk menjelaskan
bahwa Kebijakan Luar Negeri Serbia selama ini berubah-ubah tergantung pada
sisi mana yang dinilai pemerintah memiliki keuntungan lebih dan keuntungan
tersebut dapat diterima serta mempengaruhi opini masyarakat. Analisa mereka
10
menyebutkan bahwa pada satu sisi Serbia terus mengupayakan kebijakan integrasi
dengan Uni Eropa melihat keuntungan dari segi ekonomi yang didapat. Namun
pada sisi lain, hubungan erat dengan Rusia sering juga diperlihatkan sebagai cara
untuk melawan oposisi yang terus menyebarkan narasi pada masyarakat bahwa
Rusia merupakan mitra penting untuk Serbia melihat keuntungan politik yang
didapat dalam beberapa kasus penting di dunia internasional yang melibatkan
negaranya.
Persamaan penelitian ini dengan skripsi yang penulis susun adalah keduanya
membahas kebijakan luar negeri Serbia dan bagaimana perubahan kebijakan bisa
terjadi. Perbedaannya adalah penulis menggunakan kerangka berpikir
konstruktivisme untuk menjelaskan perubahan kebijakan tersebut. Perbedaan
kedua adalah pada skripsi ini penulis menganalisa kebijakan Serbia yang menolak
himbauan Uni Eropa untuk menjatuhkan sanksi ke Eropa sementara pada
penelitian tersebut Galina dan Andrey menganalisa beberapa kebijakan luar negeri
Serbia sebelum kebijakan yang penulis maksud ada. Penulis menggunakan
penelitian ini untuk melihat interaksi yang dibangun oleh Serbia baik dengan Uni
Eropa maupun dengan Rusia.
Penelitian kedua yang penulis jadikan sebagai tinjauan pustaka adalah
Jurnal yang ditulis Maria Eugenia Magurean berjudul De-Constructing Serbian
Russophilia In The Context Of The Crisis In Ukraine. Penelitian ini menganalisa
proses konstruksi ide yang mendukung Rusia sebagai mitra terdekat Serbia dalam
konteks krisis di Ukraina. Penelitian ini menggunakan kerangka teori kritis
melalui konsep Foucaldian Discourse Analysis yang secara garis besar
11
menyebutkan bahwa unsur ideasional dapat mempengaruhi kebijakan luar negeri
suatu negara. Hampir sama dengan konstruktivisme yang meyakini bahwa
struktur sosial dapat berubah, bedanya teori kritis menyebutkan bahwa unsur
ideasional terdiri dari gagasan-gagasan yang dibuat oleh elit, kelompok
kepentingan atau institusi yang memiliki kuasa pada waktu suatu kebijakan
dibuat.
Pada penelitian ini Maria menjelaskan bagaimana proses terbentuknya
Russophilia sebagai wacana dikembangkan oleh elit Serbia yang dibagi dalam tiga
segmen yaitu Pemerintah, Partai Politik dan Masyarakat Sipil. Maria menemukan
bahwa tiga segmen elit yang memiliki power pada rentang waktu krisis Ukraina
terjadi tersebut sama-sama membuat wacana yang menyebutkan bahwa
Rusophilia sebagai warna politik luar negeri Serbia berdasarkan keuntungan yang
pernah didapat dan mendorong hubungan kedepan lebih baik dengan Rusia.
Persamaan penelitian tersebut dengan skripsi ini adalah penjelasan tentang
bagaimana unsur ideasional dapat menjadi unsur yang bisa mempengaruhi
kebijakan luar negeri Serbia dalam konteks krisis di Ukraina yang melibatkan Uni
Eropa dan Rusia sebagai dua mitra penting di dunia internasional. Perbedaanya
penelitian tersebut mengidentifikasi unsur ideasional sebagai wacana yang
dikembangkan oleh elit Serbia yang memiliki kuasa saat krisis Ukraina terjadi
melalui kerangka berpikir teori kritis. Sementara penulis mengidentifikasi unsur
ideasional yang dalam hal ini adalah identitas terbentuk melalui interaksi Serbia
sebelumnya. Jadi jika menurut Maria unsur ideasional terbentuk melalui pola
wacana yang dikembangkan oleh elit Serbia kemudian dijadikan dasar interaksi,
12
penulis akan menjelaskan bagaimana interaksi lah yang membentuk unsur
ideasional. Perbedaan lainnya adalah Maria dalam penelitian tersebut tidak
membenarkan bahwa unsur ideasional tersebut dijadikan dasar Serbia mengambil
kebijakan terkait krisis di Ukraina, sementara penulis membenarkan bahwa unsur
ide yang dalam hal ini identitas menjadi dasar Serbia mengambil kebijakan terkait
masalah tersebut.
Penelitian ketiga yang menjadi tinjauan penulis dalam memilih judul skripsi
ini adalah Jurnal yang ditulis oleh Filip Ejdus berjudul Beyond National Interest:
Identity Conflict and Serbia’s Neutrality toward the Crisis in Ukraine. Penelitian
ini menganalisa sikap abstain Serbia saat pemungutan suara di Dewan Keamanan
PBB terkait aneksasi wilayah Crimea yang dilakukan secara ilegal oleh Rusia.
Perbedaan dengan skripsi ini adalah Filip Ejdus menganalisa sikap abstain saat
pengambilan suara di Dewan Keamanan PBB yang ia artikan sebagai sikap netral
Serbia terhadap Uni Eropa dan Rusia.
Sementara penulis akan menganalisa sikap Serbia yang cenderung memilih
sisi Rusia dengan menolak himbauan Uni Eropa untuk turut menjatuhkan sanksi
ke Rusia, dimana himbauan sanksi ini ada setelah krisis Ukraina dibawa ke
Dewan Keamanan PBB. Saat itu terjadi perubahan arah kebijakan Serbia dari
posisi netral ke posisi yang lebih memihak Rusia. Filip Ejdus menjelaskan bahwa
kebijakan luar negeri Serbia berubah-ubah dipengaruhi oleh dua identitas berbeda
yang ada. Sikap netral diambil oleh Serbia, karena menurut Filip negara ini tidak
bisa memilih salah satu identitas atau merubah identitasnya dan lebih memilih
sikap netral sebagai langkah menghindar untuk meminimalisir kerugian yang bisa
13
didapat. Penelitian ini akan digunakan penulis untuk melihat identitas apa saja
yang dimiliki Serbia, dan sebagai langkah baru penulis akan mengidentifikasi
bagaimana akhirnya salah satu identitas lebih dipilih Serbia dengan menganalisa
perubahan kebijakan yang ada dalam konteks krisis di Ukraina saat Serbia
menolak himbauan Uni Eropa untuk turut menjatuhkan sanksi ke Rusia.
E. Kerangka Pemikiran
Pada penulisan skripsi ini, penulis akan menggunakan beberapa konsep
pemikiran dalam Ilmu Hubungan Internasional sebagai kerangka berpikir untuk
menganalisa kebijakan penolakan Serbia sebagai negara kandidat anggota
terhadap himbauan Uni Eropa untuk turut menjatuhkan sanksi ke Rusia,
diantaranya adalah konsep identitas dalam konstruktivisme dan konsep
kepentingan nasional.
E. 1. Konsep Identitas dalam Konstruktivisme
Konstruktivisme hadir sebagai pendekatan baru untuk menganalisa
fenomena dalam hubungan internasional sejak berakhirnya perang dingin.
Konstruktivisme muncul sebagai teori Hubungan Internasional karena teori-teori
yang ada saat itu seperti Realis dan Liberalis tidak dapat menjelaskan fenomena
berakhirnya perang dingin dimana dunia internasional menjadi lebih dinamis
(Smith, 2001). Menurut Nicholas Onuf, Konstruktivisme adalah teori dalam ilmu
hubungan internasional yang memiliki pandangan bahwa sistem internasional
merupakan hasil konstruksi dari pemahaman aktor yang ada didalamnya. Dalam
hal ini Nicholas Onuf menyebutkan bahwa sistem internasional sama dengan
14
dunia sosial yang bersifat intersubjektif dimana aktor yang ada didalamnya
memahami dan memaknainya (Onuf, 2012).
Menurut Friedrich Kratochwil sebagaimana dikutip oleh Bob Sugeng
Hadiwinata, Konstruktivisme adalah pandangan yang berpendapat bahwa sistem
internasional adalah hasil konstruksi sosial dari interaksi antar aktor yang
membentuk dan dibentuk oleh identitas, norma dan kepentingan. Jadi teori
konstruktivisme menganalisa tindakan negara sebagai aktor melalui keberadaan
faktor ideasional seperti norma dan identitas (Hadiwinata, 2017). Faktor
ideasional sendiri dalam konstruktivisme memiliki arti faktor yang berasal dari
gagasan bersama para aktor tentang bagaimana dirinya dan aktor lain serta sistem
atau dunia tempatnya berada (Bakry, 2017).
Aleksander Wendt lebih lanjut menjelaskan bahwa konstruktivisme adalah
teori yang memiliki pandangan bahwa negara merupakan aktor utama analisa
dalam hubungan internasional, bedanya dengan pandangan teori arus utama
adalah konstruktivisme menganalisa interaksi antar negara yang akhirnya
membentuk faktor ideasional sebagai gagasan bersama (Bakry, 2017). Jadi sistem
internasional menurut Aleksander Wendt bisa dilihat berdasarkan dua komponen.
Komponen pertama adalah keberadaan gagasan bersama antar aktor yang
membentuk faktor ideasional. Kedua adalah tindakan para aktor yang dipengaruhi
oleh faktor ideasional tersebut. Pendapat ini membantah asumsi Neorealis yang
menjelaskan sitem internasional sebagai anarki yang bebas dan berdaulat dari para
aktor didalamnya (Jackson dan Sorensen, 2007).
15
Faktor ideasional yang paling penting menurut konstruktivisme adalah
Norma dan Identitas. Menurut Friedrich Kratochwil, Norma adalah sebuah aturan
yang berisi gagasan tentang bagaimana suatu tindakan dianggap benar. Gagasan
ini seperti yang telah dijelaskan sebelumnya merupakan hasil dari interaksi antar
aktor dimana aktor mempelajari apa yang dia pahami dan memperbaiki
pandangannya tentang dunia melalui gagasan tersebut. Norma kemudian
mengidentifikasi identitas yang kemudian menjadi landasan aktor dalam
mengambil tindakan pada interaksi berikutnya (Hadiwinata, 2017).
Faktor ideasional berikutnya adalah Identitas yang kedudukannya juga
paling penting dalam konstruktivisme. Menurut Alexander Wendt, identitas
adalah konsep mengenali siapa dan bagaimana aktor di sistem internasional.
Aktor tidak dapat mengetahui apa yang ia inginkan dan apa yang harus ia lakukan
jika tidak mengenal dan mengetahui siapa serta bagaimana dirinya dalam sistem
internasional. Sejalan dengan konstruksi sosial yang terus berputar, identitas juga
menjadi sesuatu yang dapat berubah atau dimodifikasi. Sifat antara tindakan
negara dan identitas adalah saling membentuk, dimana tindakan membentuk
identitas yang kemudian membentuk tindakan berikutnya, begitu seterusnya
(Hara, 2011).
Proses terbentuknya identitas dalam ilmu hubungan internasional terbagi
menjadi dua konsep. Konsep pertama adalah internal yang terbentuk melalui
sejarah negara tersebut dimana dalam istilah Aleksander Wendt menyebutnya
sebagai corporate identity. Konsep identitas ini mencakup unsur instrinsik negara
seperti budaya, kepercayaan, konstituen dan institusi yang diterapkan didalamnya.
16
Konsep pertama menurut Wendt kurang sesuai jika digunakan dalam analisa
hubungan internasional karena corporate identity seringkali memuat hal-hal yang
hanya bisa dipahami bangsa dari negara tersebut. Konsep kedua adalah eksternal,
yang terbentuk melalui interaksi aktor dengan aktor lain dimana Aleksander
Wendt menyebutnya sebagai social identity. Jadi social identity ini merupakan
kesimpulan dari gagasan bersama dimana aktor sudah menggambarkan siapa
dirinya dan aktor lain ketika berinteraksi atau berperilaku dalam struktur politik
internasional (Wendt, 1994).
Social identity terbentuk pada level sistem, dimana konstruktivisme
memusatkan analisa pada aktor negara yang berinteraksi pada sistem tersebut
(Copeland, 2000). Aleksander Wendt juga menambahkan karena interaksi sifatnya
terjadi secara terus menerus, negara bisa memiliki bermacam-macam identitas
tergantung pada ruang dan konteks sosialnya. Negara sebagai aktor sosial
memiliki fungsi kognitif dan dengan itu negara dapat merubah atau
mengembangkan identitasnya. Negara bisa memilih identitas mana yang akan
digunakan sebagai dasar dalam membentuk tindakan mereka. Negara juga bisa
mengidentifikasi aktor lain sebagai mitra yang tepat baginya atau rival baginya di
sistem internasional (Wendt, 1994).
Proses identifikasi identitas sangat dipengaruhi oleh peran bahasa. Nicholas
Onuf menyatakan bahwa dalam konstruktivisme simbol linguistik (bahasa) adalah
simbol yang berfungsi sebagai variabel yang membentuk persepsi antar aktor.
Bahasa dapat kita lihat sebagai alat yang mengidentifikasi identitas aktor di
tengah lingkungannya. Simbol bahasa dalam hubungan internasional menurut
17
Onuf memiliki definisi narasi atau wacana yang diungkapkan oleh aktor baik
secara verbal atau tertulis (Onuf, 2012).
Pada skripsi ini, melalui kerangka berpikir konstruktuvisme pertama penulis
akan mengidentifikasi norma yang dimiliki Serbia sehingga memilih kebijakan
yang lebih mendekatkan mereka dengan Rusia dalam hal ini adalah penolakan
Serbia terhadap himbauan Uni Eropa untuk menjatuhkan sanksi ke Rusia. Kedua,
penulis akan mengidentifikasi identitas apa yang membingkai norma tersebut.
Identifikasi identitas akan penulis lakukan dengan melihat simbol bahasa yang
dikeluarkan oleh Serbia.
E.2. Konsep Kepentingan Nasional
Kepentingan nasional merupakan konsep yang ada dalam ilmu hubungan
internasional sejak lama, bahkan keberadaannya dianggap sebagai kunci dalam
analisa hubungan internasional. Theodore Coloumbis menyebutkan bahwa
kepentingan nasional merupakan konsep penting yang digunakan untuk
menjelaskan fenomena internasional. Definisi kepentingan nasional dalam
hubungan internasional menurut para ahli sangat beragam. Salah satu yang paling
umum menyebutkan bahwa kepentingan nasional adalah motivasi dan alasan
suatu negara menjalankan hubungan luar negeri (Coloumbis dan Wolfe, 1990).
Menurut Hans Morgenthau melalui pandangan realisnya, Kepentingan
nasional adalah tujuan negara yang harus dicapai dalam rangka mempertahankan
eksistensinya. Kepentingan nasional menurutnya harus bisa dikenali secara
rasional karena berkaitan dengan kekuasaan dan kebutuhan rakyat (Jackson dan
Sorensen, 2007). Hampir senada, KJ Holsti juga mendifiniskan kepentingan
18
nasional sebagai tujuan yang harus dipenuhi dan menjadi motif bagi negara
mengeluarkan suatu kebijakan. Menurutnya terdapat empat kepentingan dasar
suatu negara, yang terdiri dari Kepentingan Keamanan (Security), Kepentingan
Otonomi (Autonomy), Kepentingan Ekonomi (Economic Interest) dan
Kepentingan Prestige (Holsti, 1983).
Berdasarkan pengertian diatas, kepentingan nasional menurut teori arus
utama menjadi hal yang mengendalikan keinginan dan gerak suatu negara dalam
sistem internasional. Setiap kebijakan yang diambil suatu negara dengan kata lain
merupakan refleksi dari kepentingan nasional mereka (Linklater, 2009).
Berdasarkan penjelasan beberapa definisi konsep kepentingan nasional menurut
teori arus utama Hubungan Internasional tersebut, diketahui bahwa kepentingan
nasional menjadi alasan utama negara dalam mengeluarkan kebijakan (Holsti,
1983).
Konstruktivisme sependapat bahwa kepentingan nasional dan kebijakan luar
negeri saling berhubungan karena teori ini tidak serta merta mengabaikan unsur
material. Namun kepentingan nasional menurut konstruktivisme berbeda dengan
pandangan diatas yang memandang kepentingan nasional sebagai sebuah
kebutuhan negara dimana keberadaannya sudah ada dan tetap. Konstruktivisme
meneliti lebih jauh hal yang membuat kepentingan nasional tersebut muncul di
permukaan (Wendt, 1994). Menurut Aleksander Wendt, kepentingan nasional
juga bersifat sosial dan dengan itu sangat bergantung pada proses bagaimana
negara mendifinsikan situasinya terhadap lingkungan. Jadi kepentingan nasional
menurut konstruktivisme adalah produk dari identitas (Bakry, 2017).
19
Menurut Anthony Giddens, kepentingan nasional menurut konstruktivisme
lebih merujuk pada keamanan ontologis dimana identitas yang stabil lebih
dijadikan sebagai tujuan daripada kepentingan yang mencakup unsur materi
seperti pertahanan dan keuntungan ekonomi (Giddens, 1990). Hal ini yang
menyebabkan kebijakan suatu negara dianggap tidak rasional dan berubah, karena
orang yang melihatnya tidak mengerti identitas dari negara tersebut. Hal ini bisa
kita lihat misalnya pada Amerika Serikat yang tidak merasa terancam dengan
penguatan militer Kanada tapi merasa terancam dengan penguatan militer Uni
Soviet (Hadiwinata, 2017).
Lebih lanjut menurut Buzan, Waever dan de Wilde keamanan ontologis
berisi pertanyaan seputar apakah keamanan itu, yang dimanifestasikan ke dalam
ancaman eksistensial (existensial threat). Jika isu keamanan sudah diangkat
sebagai isu yang dianggap mengancam eksitensial maka negara bisa melakukan
tindakan emergensi dan segala tindakan atau keputusan yang diambil tidak
berdasarkan prosedur normal serta proses politik formal bisa dijustifikasi
(Hidayat, 2017). Dalam hal ini bagi konstruktivisme, identitas yang stabil bisa
mempertahankan eksistensi mereka di dunia internasional melihat gagasan-
gagasan tentang dirinya, aktor lain dan lingkungannya ada pada identitas tersebut
(Giddens, 1990).
Pada skripsi ini, konsep kepentingan nasional dalam konstruktivisme akan
digunakan untuk mengetahui kepentingan nasional apa yang berhasil
diidentifikasi oleh identitas Serbia dan mendukung alasannya menolak himbauan
Uni Eropa untuk turut menjatuhkan sanksi ke Rusia. Jika kepentingan nasional
20
merupakan tujuan negara yang akan dicapai dalam suatu kebijakan luar negeri,
pertanyaan selantjutnya yang harus dijawab adalah instrumen apa yang digunakan
oleh negara untuk membuat gagasan tentang kepentingan nasional tersebut bisa
diterima sebagai alasan dari dibuatnya suatu kebijakan luar negeri. Penulis akan
menggunakan konsep power untuk menjawab pertanyaan tersebut. Kepentingan
nasional dan power merupakan dua konsep yang tidak dapat dipisahkan (Perwita
dan Yani, 2005).
Menurut Martin Griffiths dan Terry O‟Callaghan, power adalah alat yang
digunakan untuk mencapai tujuan negara seperti harga diri, wilayah, dan
keamanan. Power terdiri dari potensi atau kemampuan untuk menolak,
mengontrol, atau mempengaruhi aktor lain (Griffiths dan Collaghan, 2002).
Joseph S. Nye membedakan power menjadi dua jenis, yaitu hard power dan soft
power. Hard power terdiri dari instrumen yang sifatnya bisa memaksa aktor lain
seperti kekuasaan militer dan ekonomi. Sementara soft power terdiri dari
instrumen yang sifatnya mempengaruhi preferensi aktor lain sehingga akor berani
mengambil suatu kebijakan, instrumen ini terdiri dari kebudayaan, daya tarik,
identitas, dan institusi (Nye, 2002).
Daya tarik dan identitas dalam konsep soft power akan penulis gunakan
untuk melihat instrumen power apa yang Serbia munculkan sehingga negara ini
berani mengambil resiko untuk tidak menyelaraskan kebijakan luar negerinya
dengan kebijakan Uni Eropa terkait krisis di Crimea. Konsep ini digunakan
sebagai pendukung dalam menjelaskan adanya pengaruh identitas dan
21
kepentingan nasional dalam kebijakan Serbia yang menolak untuk menjatuhkan
sanksi ke Rusia tahun 2014-2018.
F. Metode Penelitian
Metode Penelitian merupakan strategi atau cara yang digunakan dalam
mengumpulkan dan menganalisis data untuk kemudian digunakan sebagai
jawaban penelitian. Penelitian ini dilakukan menggunakan metode penelitian
kualitatif. Metode kualitatif merupakan metode penelitian yang menggunakan
sumber data berupa data deskriptif seperti data tulisan dan lisan yang terkait
dengan masalah yang sedang diamati. Metode penelitian kualitatif ini menjelaskan
segala fenomena yang terjadi pada kehidupan manusia dan lingkungannya
menggunakan kerangka pemikiran tertentu. Metode penelitian ini dipilih karena
memiliki keunggulan diantaranya adalah membuat kita lebih mudah dalam
menghadapi kenyataan ganda sehingga masalah yang diteliti lebih dapat
menyesuaikan dengan berbagai fakta yang ditemukan dilapangan (Moleong,
2002).
Sementara teknik analisa yang digunakan dalam mengolah data adalah
teknik deskriptif analitis dengan metode deduktif. Teknik anlisa deskriptif analitis
digunakan dalam penelitian ini untuk melihat fakta yang ada dalam data yang
diperoleh kemudian dikaitkan dengan kerangka pemikiran atau teori Hubungan
Internasional (Mas‟oed, 1990). Metode deduktif sendiri digunakan untuk
menganalisa data dan varibel-variabel yang muncul lalu kemudian ditarik
kesimpulannya di akhir penelitian (Semiawan, 2010). Terakhir adalah level
analisa yang digunakan merupakan level analisa sistem dimana level analisis
22
sistem dalam HI meyakini bahwa interaksi antara para aktor, antara negara-negara
merupakan suatu sistem. Struktur dan pola interaksi didalam sistem internasional
menentukan perilaku aktor yang terlibat didalamnya (Bakry, 2017).
Berdasarkan metode penelitian yang digunakan dalam hal pengumpulan
data penulis menggunakan teknik pengumpulan data studi kepustakaan (Library
Research) yang lebih merujuk pada data sekunder seperti laporan penelitian
terkait, jurnal, buku, working paper dan hasil penelitian orang lain yang
kredibilitasnya dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan (Moleong, 2002).
Data yang diperoleh kemudian dikumpulkan, dipahami dan dikelompokkan sesuai
dengan topik pembahasan untuk menganalisa mengapa Serbia menolak himbauan
Uni Eropa untuk turut menjatuhkan sanksi ke Rusia.
G. Sistematika Penulisan
Penelitian akan dibagi menjadi lima bab dengan beberapa sub bab
didalamnya agar pembahasan dapat dilakukan secara sistematis dan terstruktur
sebagaimana pedoman penulisan skripsi. Adapun pembagian bab adalah sebagai
berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini menjelaskan landasan dasar penelitian yang mencakup pernyataan
masalah skripsi, pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan
pustaka, kerangka teori yang digunakan sebagai landasan dalam menganalisa
masalah penelitian, metode penelitian yang dipakai serta sistematika penulisan.
BAB II INTERAKSI SERBIA DENGAN UNI EROPA DAN RUSIA
23
Bab ini akan membahas proses interaksi Serbia baik dengan Uni Eropa dan
Rusia. Bab ini akan dibagi kedalam dua sub bab, diantaranya adalah Hubungan
Serbia dengan Uni Eropa dan Hubungan Serbia dengan Rusia
BAB III PENOLAKAN SERBIA TERHADAP HIMBAUAN UNI
EROPA UNTUK TURUT MENJATUHKAN SANKSI KE RUSIA
Bab ini akan membahas bagaimana proses yang terjadi sampai Serbia
menolak himbauan Uni Eropa untuk turut menjatuhkan sanksi ke Rusia.
Penjelasan akan dijabarkan melalui empat sub bab, yaitu Sanksi Uni Eropa
terhadap Rusia, Sanksi Balasan Rusia Terhadap Uni Eropa, Himbauan Uni Eropa
kepada Serbia untuk turut menjatuhkan sanksi ke Rusia berikut penolakan Serbia
terhadap himbauan Uni Eropa untuk turut menjatuhkan sanksi tersebut.
BAB IV ANALISA PENOLAKAN SERBIA TERHADAP HIMBAUAN
UNI EROPA UNTUK TURUT MENJATUHKAN SANKSI KE RUSIA
Bab ini terbagi dalam dua sub bab, dimana pertama penulis akan
mengidentifikasi identitas apa yang aktif dan menjadi landasan Serbia menolak
himbauan Uni Eropa untuk menjatuhkan sanksi ke Rusia. Kedua, penulis akan
mengidentifikasi kepentingan apa yang muncul dan mendukung identitas tersebut
sebagai landasan kebijakan Serbia.
BAB V KESIMPULAN
Bab ini berisi kesimpulan yang didapat dari penelitian yang telah penulis
lakukan.
24
BAB II
INTERAKSI SERBIA DENGAN UNI EROPA DAN RUSIA
A. Hubungan Serbia dengan Uni Eropa
Jatuhnya rezim pemerintahan Slobodan Milosevic pada Oktober tahun 2000
membawa negara-negara bekas Yugoslavia termasuk Serbia ke sejarah kebijakan
luar negeri yang baru setelah sebelumnya selalu memandang skeptis wacana
Komunitas Eropa. Kebijakan integrasi dengan Uni Eropa kemudian menjadi salah
satu agenda penting pemerintah Serbia demi mewujudkan pemerintahan yang
lebih demokratis dan mengangkat negara dari krisis yang disebabkan oleh sanksi
ekonomi (Yalinkilicli, 2014). Bagi Uni Eropa, keinginan Serbia menjadi negara
anggota merupakan kesempatan bagus untuk menciptakan stabilitas di kawasan
Balkan Barat. Hal ini melihat bahwa sejak kawasan ini dikuasai oleh Kerajaan
Ottoman konflik sering terjadi dimana yang terbaru adalah konflik Yugoslavia era
Milosevic (Stahl, 2013).
Kebijakan Serbia untuk menjadi anggota dari Uni Eropa dimulai sejak
November 2000 saat berpartisipasi dalam Zagreb Summit of European Union and
Western Balkan2 bersama negara-negara bekas Yugoslavia lainnya. Pada
pertemuan ini negara-negara yang hadir dan Uni Eropa sepakat dengan memulai
negosiasi keanggotaan melalui Stabilisation and Association Process yang
merupakan bentuk komitmen khusus yang disediakan untuk negara-negara Balkan
2 Konferensi Tingkat Tinggi Zagreb merupakan konferensi yang diadakan oleh Uni Eropa
untuk sepuluh negara di Eropa Timur sebagai langkah pendekatan untuk negara-negara yang ingin
bergabung menjadi anggota Uni Eropa sekaligus menegaskan perpektif Uni Eropa bagi negara-
negara di kawasan ini yang berkomitmen untuk rencana tersebut (Turkes and Gokgoz 2006).
25
Barat agar bisa memenuhi syarat-syarat wajib menjadi bagian dari Uni Eropa
(Sela dan Shabani, 2011). Pada tahun 2003 melalui Thessaloniki of EU-Western
Balkans Summit3 secara tegas Serbia mendeklarasikan diri akan bergabung
menjadi negara anggota Uni Eropa (Fourere, 2013).
Serbia melalui Perdana Menteri Zoran Dindic pada tahun 2003 juga
mendeklarasikan bahwa integrasi ke Uni Eropa merupakan tujuan utama dan
prioritas kebijakan luar negeri Serbia. Serbia juga menegaskan komitmennya
terhadap demokrasi dan hak asasi manusia sebagai bagian dari Stabilisation and
Association Process keanggotaan Uni Eropa (Kostovicova, 2014). Pendekatan
yang dilakukan oleh Uni Eropa terhadap Serbia terkait rencananya menjadi
anggota adalah mengajak Serbia untuk berkomitmen dalam Demokrasi, Hak Asasi
Manusia, dan kerjasama dengan International Criminal Tribunal for the former
Yugoslavia (ICTY) terkait peradilan terhadap tersangka kejahatan perang di
Yugoslavia (Cameron dan Kintis, 2001). Insiden terbunuhnya Perdana Menteri
Zoran Dindic dan beralihnya pemerintahan dibawah Perdana Menteri Vojislav
Kostunica yang sangat nasionalis-konservatif semakin menghambat proses
negosiasi SAA karena Serbia mulai melihat alternatif hubungan lain seperti
dengan negara Rusia (Kostovicova, 2014).
Negosiasi untuk The Stabilisation and Association Agreement (SAA) dengan
Serbia secara resmi baru dibuka kembali oleh Uni Eropa pada Oktober 2005 yang
dikonfirmasi oleh EU Council for General and Foreign Affairs. Pencapaian
tersebut merupakan hasil upaya diplomasi maksimal yang diterapkan oleh Serbia
3 Konferensi Tingkat Tinggi Thessaloniki merupakan konferensi lanjutan dari KTT Zagreb
dimana Uni Eropa menegaskan bahwa kesempatan untuk menjadi negara anggota bukan hanya
sebatas mimpi yang sulit diraih (Turkes and Gokgoz 2006).
26
melalui Deputi Perdana Menteri Serbia Miroljub Labus (Stoian, 2007). Pada 6
Mei 2006 negosiasi SAA Serbia kembali ditunda oleh Uni Eropa karena Serbia
tidak bekerjasama dengan ICTY dalam penangkapan tersangka kejahatan perang
Yugoslavia. Vojislav Kostunica saat itu mengungkapkan pendapatnya bahwa
Serbia tidak bisa menjadi negara anggota Uni Eropa sebagai negara asal tersangka
kejahatan perang sehingga kerjasama dengan ICTY merupakan kebijakan yang
haris ditinjau kembali. Masalah tersebut kembali membawa hubungan antara
Serbia dengan Uni Eropa ke arah yang negatif (Kostovicova, 2014).
Referendum Montenegro tahun 2006 dan masalah status kemerdekaan
Kosovo menambah pengaruh buruk terhadap proses negosiasi keanggotaan Uni
Eropa yang sedang Serbia jalani. Hal ini juga tidak lepas dari pandangan skeptis
Serbia terhadap Uni Eropa yang mendukung kemerdekaan Kosovo. Uni Eropa
menganggap bahwa pemerintah Serbia selama ini telah berlaku diskriminatif dan
tidak mengakui hak-hak yang dimiliki oleh etnis Albania di Kosovo. Uni Eropa
lebih lanjut mengungkapkan bahwa demi menghormati prinsip-prinsip hak asasi
manusia yang diatur dalam hukum internasional maka Serbia harus menghormati
hak-hak Kosovo (Radeljic, 2016). Pada tahun 2007, muncul Ahtisaari Proposal4
yang diajukan ke Dewan Kemanan PBB dimana proposal ini mengupayakan
status Kosovo di organisasi internasional (Tolksdorf, 2007).
Pada 31 Maret 2010, Deklarasi yang mengecam pembantaian di Srebrenica
dikeluarkan oleh Parlemen Serbia. Serbia menganggap bahwa pembantaian yang
dilakukan terhadap etnis muslim di Bosnia itu sebagai kejahatan terburuk pada era
4 Ahtisaari Proposal atau lebih dikenal dengan sebutan Ahtisaari Plan merupakan proposal
yang diajukan untuk menjamin hak-hak Kosovo sebagai negara merdeka yang bisa
mengimplementasikan demokrasi dengan bahasa Albania sebagai bahasa resmi (Gallucci 2011).
27
Milosevic. Presiden Serbia saat itu Boris Tadic menyebutkan bahwa negaranya
dengan ini secara berani meminta maaf atas kesalahan masa lalu tersebut dan
negaranya siap untuk memimpin rekonsiliasi di kawasan (Dragovic-Soso, 2012).
Langkah berani tersebut kemudian diapresiasi oleh Uni Eropa dan proses
negosiasi Serbia untuk menjadi negara anggota kembali dimulai pada 1 Februari
2010. Pada 1 Maret 2012, Uni Eropa secara resmi memberikan status negara
kandidat kepada Serbia (Kostovicova, 2014).
Pada 19 April 2013, Serbia menandatangani Brussel Agreement yang
memuat hal-hal yang harus mereka lakukan untuk menormalisasi hubungan kedua
negara. Perjanjian memuat lima belas poin yang intinya adalah Serbia harus
menghormati hak-hak Kosovo dan pada sisi lain Kosovo juga harus menghormati
orang Serbia yang ada di Kosovo. Serbia kemudian kembali mendapat hormat dari
Uni Eropa yang menganggap langkahnya adalah tepat untuk mewujudkan
perdamaian di kawasan. Pada Januari 2014, proses aksesi keanggotaan Uni Eropa
dibuka untuk Serbia (Ejdus, 2014).
Pada kasus Serbia, proses negosiasi menjadi negara anggota Uni Eropa
berjalan lama karena Uni Eropa menerapkan SAA yang lebih komprehensif
dibandingkan negara-negara calon anggota lainnya. Pertama, Serbia harus
memenuhi Copenhagen Criteria sebagai syarat utama menjadi negara anggota
berdasarkan keputusan European Council tahun 1993 di Copenhagen. Kriteria
Kopenhagen terdiri dari keharusan negara untuk memiliki institusi yang stabil dan
menjamin supremasi hukum serta hak asasi manusia, keharusan negara memiliki
sistem pasar yang memiliki daya saing, dan keharusan untuk menyelaraskan
28
kebijakan luar negeri dalam bidang politik, ekonomi, dan moneter dengan Uni
Eropa. Kedua, Serbia juga harus memenuhi komitmennya pada beberapa isu yang
dijadikan syarat oleh Uni Eropa. Serbia dalam hal ini harus memenuhi
komitmennya terhadap Uni Eropa terkait masalah kejahatan perang era Milosevic
dan mengakui status kemerdekaan Kosovo dimana dalam hal ini Serbia merasa
bahwa Uni Eropa tidak menghormati hak-hak mereka sebagai negara berdaulat
yang ingin mempertahankan wilayahnya (Stojic, 2006).
Pada bidang ekonomi hubungan Serbia dengan Uni Eropa selalu
menunjukkan tren yang positif. Tahun 2000 Uni Eropa membuka kerjasama
bidang ekonomi dengan Serbia setelah sebelumnya memberlakukan embargo
sebagai respon terhadap krisis di Yugoslavia. The Stabilitiation and Association
Process yang dibuka untuk Serbia membuat sanksi batasan perdagangan
dihapuskan sehingga membuka jalan ekspor dan impor perdagangan Serbia
dengan Uni Eropa. Sejak saat itu, Uni Eropa menjadi mitra perdagangan yang
penting bagi perekonomian Serbia (Crnobrnja et all, 2007).
Berdasarkan data yang ada, tahun 2005 nilai ekspor dan impor Serbia
dengan Uni Eropa mencapai 46,23% dari total perdagangan Serbia ke seluruh
dunia. Pada tahun 2006, angka tersebut mengalami peningkatan sebanyak 6%
sehingga nilai ekspor dan impor Serbia dengan Uni Eropa sebanyak 52% dari total
perdagangan Serbia ke seluruh dunia. Pada tahun-tahun berikutnya, nilai
perdagangan Serbia dengan Uni Eropa selalu berada diatas 40%. Bahkan pada
2010, nilai perdagangan Serbia dengan Uni Eropa mencapai angka 59,18% dari
total perdagangan Serbia ke seluruh dunia (Drazovic, 2011).
29
Tabel II.A.1 Perdagangan antara Serbia dan Uni Eropa 2001-2010
dalam Juta Euro
Tahun Ekspor Impor Balance Rasio
Import/Export
dalam persen
2001 1,104 2,740 -1,636 40,29
2002 1,305 3,530 -2,225 36,97
2003 1,316 3,840 -2,526 34,25
2004 1,604 5,000 -3,396 32,08
2005 2,116 4,577 -2,461 46,23
2006 2,962 5,696 -2,734 52,00
2007 3,603 7,687 -4,084 46,87
2008 4,029 9,073 -5,044 44,41
2009 3,196 6,533 -3,337 48,92
2010 3,411 5,764 -2,353 59,18
Sumber: (Statistical Office of The Republic Serbia, 2011)
Hubungan baik antara Serbia dengan Uni Eropa pada sektor perdagangan
berlanjut sampai tahun 2013 dimana angka perdagangan keduanya mencapai 66%
dari total nilai perdagangan Serbia dengan negara-negara lain di dunia. Bahkan
pada tahun 2014, nilai perdagangan Serbia dengan Uni Eropa mencapai angka
72,1% dari seluruh nilai perdagangan luar negeri Serbia. Angka tersebut
menunjukkan pertumbuhan yang signifikan sekaligus menegaskan bahwa Uni
Eropa sangat penting bagi perdagangan Serbia (Vosta dan Jankovic, 2016). Sejak
tahun 2008 – 2014, negara anggota Uni Eropa yang menjadi mitra dagang terbesar
bagi ekspor Serbia sendiri diantaranya adalah Italia dengan 15% dari total ekspor
30
Serbia, Jerman dengan 13% dari total ekspor Serbia, Rumania dengan 5,7% dari
total ekspor Serbia, Kroasia dengan 3,5% dari total ekspor Serbia, dan Hungaria
dengan nilai 3,1% dari total seluruh ekspor Serbia (Macro Connection at MIT
Lab, 2016).
Pada bidang investasi, Serbia juga menerima berbagai manfaat dari rencana
keanggotaan Uni Eropa mereka. Pasca tahun 2000, Serbia menjadi negara kedua
terbesar di Balkan Barat yang menerima manfaat paling besar terkait kemudahan
ini. Pada tahun 2013 total investasi asing yang masuk ke Serbia mencapai nilai
1.034 juta dolar Amerika. Padahal ketika tahun 2000, total investasi asing yang
masuk ke Serbia hanya berada di kisaran 112 juta dolar Amerika. Negara-negara
Uni Eropa yang paling berpengaruh meningkatkan angka ini diantaranya adalah
Austria dengan nilai 17,1% dari total investasi asing, Belanda sebanyak 10,1%,
Yunani sebanyak 9,6%, Jerman sebanyak 9,1%, dan Norwegia sebanyak 8,4%
(Nelaeva dan Semenov, 2016).
Fakta bahwa Uni Eropa adalah mitra ekonomi yang penting membuat Serbia
tetap mempertahankan komitmennya terkait negosiasi aksesi keanggotaan Uni
Eropa meski sering dihadapkan pada beberapa masalah yang secara langsung
berbenturan dengan Uni Eropa. Keanggotaan Uni Eropa diyakini akan membawa
Sebia menuju ekonomi yang lebih maju dengan akses pasar tak terbatas dengan
negara-negara anggota lain melalui fasilitas free trade zone yang diberikan oleh
Uni Eropa. Serbia juga mengharapkan fasilitas lain yang bisa diberikan Uni Eropa
untuk meningkatkan ekonomi negara melihat angka pengangguran yang mencapai
angka 27% (Gady, 2014).
31
B. Hubungan Serbia dengan Rusia
Rusia mulai kembali menyebarkan pengaruh globalnya saat Vladimir Putin
menjabat sebagai presiden pada tahun 2000 setelah sebelumnya pasca kejatuhan
Uni Soviet, Rusia sibuk meningkatkan perekonomian negara yang mengalami
krisis. Melalui slogan Powerful Russian State Rusia kembali menyebarkan
pengaruhnya mulai dengan negara-negara bekas Uni Soviet dan negara-negara
tetangga lainnya. Instrumen yang digunakan oleh Rusia adalah Strategi Energi
dan Posisi Rusia di arena internasional, salah satunya hak veto yang dimiliki
Rusia di Dewan Keamanan PBB. Serbia termasuk salah satu negara yang tidak
lepas dari pengaruh Rusia tersebut (Pussenkova, 2010).
Pada 2007 Serbia dihadapkan pada masalah kemerdekaan Kosovo saat
proposal terkait status Kosovo diajukan ke Dewan Keamanan PBB atau lebih
dikenal dengan Athisaari Plan oleh Martti Ahtisari yang merupakan utusan
khusus untuk masalah Kosovo. Proposal tersebut secara garis besar berisi
pengakuan terhadap status kemerdekaan Kosovo dan mendorong Serbia serta
negara-negara lain untuk turut mengakuinya. Pada Juli 2007, Rusia menggunakan
hak vetonya untuk menolak proposal tersebut dan mendeklarasikan dukungannya
kepada Serbia yang menolak kemerdekaan Kosovo sehingga membuat
implementasi Athisaari Plan tidak bisa dilaksanakan. Rusia mulai memperkuat
pengaruhnya terhadap Serbia melalui masalah ini meski pada akhirnya Kosovo
tetap mendeklarasikan kemerdekaannya secara unilateral pada Februari 2008
(Konitzer, 2010).
32
Pasca menggunakan hak vetonya, Rusia menempatkan isu Kosovo sebagai
isu global penting yang menjadi salah satu prioritas negaranya. Rusia
memutuskan untuk mendukung integritas teritorial Serbia dengan menolak segala
bentuk dukungan terhadap kemerdekaan Kosovo (Kay, 2014). Sejak 2008, Serbia
akhirnya menjadikan Rusia sebagai mitra strategis negaranya melihat keuntungan
yang didapat dari pengaruh penting yang dipegang oleh Rusia di politik
internasional. Serbia melalui Perdana Menteri Vojislav Kostunica bahkan
berpendapat bahwa menjalin hubungan diplomatik dengan Rusia merupakan hal
penting. Serbia juga menjadikan Rusia lebih dari mitra strategis, yaitu sebagai
pelindung sekaligus saudara terdekat negaranya melihat adanya kesamaan sejarah,
bahasa dan agama yang dimiliki kedua negara (Wochnik, 2012).
Pada masalah Kosovo, sikap Serbia dan Rusia sangat jelas sama dimana
mereka akan menutup kemungkinan apapun untuk kemerdekaan Kosovo (Becker,
2008). Serbia bahkan beberapa kali mengancam Uni Eropa dan berniat untuk
membangun hubungan yang lebih kuat dengan Rusia. Contohnya pada tahun
2012, Perdana Menteri Serbia saat itu yaitu Ivica Dacic pernah mengatakan bahwa
jika Serbia tidak menerima status sebagai negara kandidat anggota setelah banyak
masalah mereka dapatkan maka Serbia akan memperkuat kemitraan dengan Rusia
bahkan dalam hal pertahanan (Bogzeanu, 2012).
Peran Rusia dalam mendukung Serbia menghadapi masalah Kosovo
kemudian diikuti dengan keberhasilan Rusia memperluas pengaruhnya melalui
instrumen lain yaitu ekonomi. Pada sektor energi dan perdagangan Rusia mulai
meningkatkan kerjasamanya dengan Serbia sejak tahun 2008 (Shala, 2015). Pada
33
tahun 2011 Rusia menjadi mitra dagang terbesar kedua bagi Serbia dengan nilai
perdagangan sebesar 6,2% dari total seluruh nilai perdagangan Serbia. Sampai
tahun 2012, hubungan dagang keduanya semakin meningkat dengan nilai ekspor
yang mencapai 8% dari total ekspor Serbia dan nilai impor yang mencapai 11%
dari total impor Serbia. Pada 2013, angka perdagangan Serbia dengan Rusia
menjadi 9% dari total perdagangan luar negeri Serbia dimana produk Agrikultur
merupakan produk ekspor terbanyak. Angka perdagangan Serbia dengan Rusia
masih memang masih jauh jika dibandingkan dengan Uni Eropa. Meski begitu
Rusia berhasil mengamankan pengaruhnya melalui posisinya terkait isu Kosovo
(Knezevic, Mihailo, dan Ivanovic, 2012).
Serbia juga memiliki ketergantungan terhadap Rusia pada sektor energi.
Fakta tersebut dibenarkan oleh Presiden Boris Tadic pada tahun 2008 yang
menyampaikan ucapan terima kasihnya kepada Rusia karena telah membantu
membangkitkan harga minyak dan gas, serta telah menjadi teman yang baik dalam
mendukung Serbia mempertahankan integritas teritorinya dalam kasus Kosovo.
Ungkapan tersebut senada dengan pernyataan Menteri Luar Negeri Serbia Vuk
Jeremic yang mengatakan bahwa secara historis hubungan Serbia dengan Rusia
sangat dekat dan telah menjadi salah satu mitra terpenting bagi Serbia (Miljkovic,
2014).
Pada sektor energi, ketergantungan Serbia terhadap Rusia juga dimulai sejak
tahun 2008 setelah perusahaan gas Rusia Gazprom membeli saham Naftna
Industrija Srbije (NIS) sebanyak 51% kepemilikan. Pada tahun 2011, angka
kepemilikan Gazprom atas NIS bahkan meningkat menjadi 56,5%. Sampai pada
34
tahun 2013, sebanyak 60% pasokan gas Serbia berasal dari Rusia dimana hal ini
berarti angka ketergantungan Serbia terhadap Rusia pada sektor energi sangat
tinggi (Konitzer, 2010). Posisi NIS Setelah dibeli oleh Rusia bahkan bisa
mempengaruhi harga gas dalam negeri Serbia. Meski hal ini sering menjadi
perdebatan, Hubungan antara keduanya masih baik dan Serbia tetap melanjutkan
kerjasamanya dengan Rusia pada sektor energi (Brkic, 2018). Total nilai impor
gas Serbia dari Rusia bahkan mencapai angka 76,05% dari total impor Serbia
(Knezevic, Gajic, dan Ivanovic, 2012).
Pada tahun 2010 bahkan Serbia dan Rusia mengikat diri mereka dalam
kerjasama South Stream Project yang juga melibatkan beberapa negara lainnya.
Pada proyek ini Rusia yang saat ini menjadi negara pemasok gas terbesar di Eropa
berencana untuk membuat pipa gas untuk memudahkan distribusi gas mereka.
Serbia sebagai salah satu negara yang dilewati oleh rute pipa gas tersebut
menyambut rencana Rusia dengan antusias. Pada 2013, pemerintah Serbia bahkan
memberikan status khusus untuk South Stream Project. Sambutan hangat dari
pemerintah bukan tanpa sebab, melainkan karena mereka yakin poyek ini akan
mendatangkan sekitar 2,1 miliar euro untuk Serbia (Nelaeva dan Semenov, 2016).
Sama halnya dengan pemerintah, publik Serbia juga pada akhirnya
menganggap bahwa Serbia juga harus meningkatkan hubungan dengan Rusia.
Pada 2008, survey yang diadakan menunjukkan hasil bahwa sebanyak 58,81%
rakyat Serbia setuju jika negaranya menjalin kedekatan dengan Rusia sementara
24,39% lainnya memilih tidak setuju dan 16,79% memilih tidak tahu. Padahal saat
yang sama pertanyaan terkait integrasi Serbia ke Uni Eropa juga muncul dimana
35
63,89% rakyat Serbia setuju, 22,44% tidak setuju dan 13,67% lainnnya mengaku
belum memutuskan sikapnya (Konitzer, 2010).
Berdasarkan kebudayaan kedekatan diantara keduanya juga sangat bisa
dilihat. Banyak organisasi non-pemerintah yang dibuat kedua negara sejak 2008
rutin mempromosikan nilai-nilai kebudayaan, dimana nilai kebudayaan dari segi
agama, bahasa, dan sejarah sama. Beberapa diantaranya ada The Russian Centre
in Belgrade University, Russian-Serbian Humanitarian Centre, dan hubungan baik
antara Gereja Orthodox Serbia dan Gereja Kristen Orthodox Rusia (Nelaeva dan
Semenov, 2016).
Kedekatan yang dimiliki antara Gereja Orthodox Serbia dan Gereja
Orthodox Rusia sangat erat. Hal ini tidak terlepas dari peran agama Kristen
Orthodox sebagai agama mayoritas di kedua negara. Rusia sebagai negara dengan
populasi Kristen Orthodox terbanyak di dunia tentu memiliki makna khusus bagi
Serbia. Kedekatan budaya dalam hal agama diantara keduanya juga sering
dikaitkan dengan sejarah perlawanan mereka terhadap Kekaisaran Islam Ottoman
yang selama ratusan tahun menguasai tanah Balkan. Heroisme sejarah ini sering
digunakan oleh banyak nasionalis di Serbia untuk merepresentasikan identitas dan
budaya nasional mereka (Pantelic, 2016).
Pada akhirya, pasca upaya mendorong status kemerdekaan Kosovo yang
dilakukan oleh Uni Eropa dapat kita lihat bahwa Serbia menjadikan Rusia sebagai
mitra strategis ditengah ambisi untuk mencapai keanggotaan penuh Uni Eropa.
Bahkan pada 2009, pemerintah Serbia memperkenalkan politik empat pilar
sebagai orientasi kebijakan luar negeri mereka. Hal ini tercantum dalam The
36
National Security Strategy of the Republic Serbia yang disebut sebagai dokumen
resmi landasan pengambilan kebijakan luar negeri Serbia. Politik empat pilar
merujuk pada penetapan Uni Eropa dan Rusia bersama dengan Cina dan Amerika
Serikat yang disebut sebagai mitra srategis mereka di dunia internasional
(Petrovic, 2013).
37
BAB III
PENOLAKAN SERBIA TERHADAP HIMBAUAN UNI EROPA UNTUK
TURUT MENJATUHKAN SANKSI KE RUSIA
A. Sanksi Uni Eropa Terhadap Rusia
Penerapan sanksi oleh Uni Eropa terhadap Rusia merupakan bentuk respon
atas intervensi yang dilakukan pada krisis di Crimea. Aneksasi Crimea yang
dilakukan oleh Rusia berawal sejak akhir tahun 2013. Pada 21 November 2013,
Presiden Ukraina Viktor Yanukovych menolak untuk menandatangani EU
Association Agreement5 dengan Uni Eropa (Gotz, 2016). Kebijakan Yanukovych
menolak menandatangani perjanjian asosiasi dengan Uni Eropa membuat pihak
oposisi menyerukan aksi protes di Kiev (Wang, 2015). Bahkan pemimpin oposisi
Arseniy Yatsenyuk turut menuntut Presiden Yanukovych untuk turun dari kursi
kepresidenan, seperti dalam pernyataannya di parlemen yang dikutip oleh Russia
Today:
“Jika Yanukovych menolak untuk menandatangani perjanjian tersebut,
maka tidak hanya disebut sebagai pengkhianatan terhadap negara tetapi juga
alasan untuk pendakwaan dan pemberhentian presiden dari pemerintah
(Russia Today, 2014)
Setelah gelombang protes yang semula hanya terjadi di Kiev meluas ke
beberapa kota di Ukraina, Presiden Viktor Yanukovych dan Pemimpin Oposisi
5 EU Association Agreement merupakan instrumen Uni Eropa untuk membuat negara-
negara yang tergabung dalam Eastern Partnership bisa mengadopsi standar dan norma Uni Eropa
dengan lebih mudah. Negara-negara yang menandatangani perjanjian tersebut harus mengadopsi
350 undang-undang Uni Eropa dalam jangka waktu sepuluh tahun. Sebagai timbal balik, negara-
negara tersebut mendapat akses penuh ke pasar Uni Eropa. Jika negara anggota Eastern
Partnership menolak menandatangani perjanjian asosiasi berarti sama saja negara tersebut
menunda rencana aksesi keanggotaan Uni Eropa mereka (Jozwiak, 2013).
38
menandatangani Agreement On Settlement Of Political Crisis In Ukraine sebagai
upaya untuk meredam krisis politik yang sedang terjadi (Wang, 2015). Perjanjian
yang ditandatangani pada 21 Februari 2014 tersebut membuat Ukraina berada
dalam masa pemerintahan transisi sampai pemilihan umum yang akan
dilaksanakan Desember 2014. Namun aksi protes terhadap Viktor Yanukovych
terus berlangsung sehingga ia memutuskan untuk meninggalkan Ukraina dan
pergi ke Rusia. Kepergian Yanukovych disebut sebagai tanda jatuhnya
pemerintahan pro-Rusia yang membuat pihak oposisi mempunyai kontrol penuh
atas pemerintahan Ukraina (Bond, 2015).
Beralihnya kekuasaan dari Viktor Yanukovych ke pemerintahan transisi
yang dikenal pro-Barat memicu protes dari masyarakat Ukraina di wilayah timur
terutama Crimea, dimana sebagian besar masyarakatnya memiliki latar belakang
etnis Rusia. Kelompok bersenjata pro-Rusia kemudian menguasai gedung-gedung
pemerintahan di wilayah timur Ukraina dan memutus komunikasi antara Crimea
dan Ukraina. Pemerintahan Crimea juga dibentuk dengan mengesahkan jabatan
Perdana Menteri Crimea. Rusia kemudian mengirimkan militernya ke Ukraina
sebagai bentuk dukungan kepada etnis Rusia di Crimea (Koch, 2016).
Komunikasi antara Crimea dengan wilayah lain Ukrania juga diputus, sehingga
masyarakat Crimea sehari-hari hanya mendengar info dan kabar yang merupakan
bagian dari propaganda media Rusia (Bebler, 2015).
Presiden Vladimir Putin sendiri menganggap pengiriman pasukan militer ke
Crimea bukan sebagai intervensi militer dan upaya mendukung pemberontakan
etnis Rusia di Crimea. Ia menyatakan bahwa pengiriman militer berutujuan untuk
39
misi kemanusiaan, yaitu memastikan bahwa etnis Rusia di Crimea tetap aman.
Putin juga mengatakan bahwa pengiriman militer dilakukan setelah sebelumnya
Victor Yanukovych sebagai presiden Ukraina mengirimkan surat kepada Rusia,
seperti dalam pernyataannya yang dikutip oleh National Public Radio:
"Tindakan kita terhadap Crimea sah secara hukum internasional, karena
presiden Ukraina meminta bantuan kita. Untuk menyelamatkan orang-orang
Rusia adalah kepentingan kita. Kita tidak akan mengintimidasi siapapun”
(Chappel dan Memmott, 2014).
Pada 6 Maret 2014 lembaga legislatif di Crimea akhirnya mendeklarasikan
akan melaksanakan Referendum Crimea. Pada 11 Maret 2014, pemerintah Crimea
memberi pengumuman bahwa mereka akan mengesahkan deklarasi kemerdekaan
berdasarkan referendum yang dilaksanakan pada 16 Maret 2014 (Vieira, 2016).
Pada saat referendum, masyarakat Crimea dihadapkan dengan dua pertanyaan.
Pertama, Apakah masyarakat Crimea mendukung reunifikasi Krimea dengan
Rusia dan menjadi bagian dari Federasi Rusia. Kedua, Apakah masyarakat Crimea
mendukung pemulihan Konstitusi Republik Crimea tahun 1992 yang
menyebutkan bahwa status Crimea sebagai bagian dari Ukraina. Hasilnya,
sebanyak 96,77% masyarakat Crimea memilih untuk memisahkan diri dari
Ukraina dan menjadi bagian dari Rusia (Grant, 2015).
Pada 17 Maret 2014 Parlemen Crimea dengan tegas mendeklarasikan
kemerdekaannya dan menjadi bagian dari Federasi Rusia. Kebijakan ini menurut
masyarakat pro-Rusia di Crimea sebagai bentuk akhir kekecewaan mereka
terhadap pemerintahan di Kiev yang orientasi kebijakannya sangat pro terhadap
Uni Eropa, penuh korupsi dan secara sepihak mengharuskan mereka
40
menggunakan bahasa resmi, bukan bahasa Rusia sebagai bahasa sehari-hari.
Pemerintah Federasi Rusia kemudian diminta untuk menandatangani perjanjian
aksesi (Bebler, 2015). Treaty On The Accession Of The Republic Of Crimea to
Russia sebagai bentuk pengesahan aksesi Crimea ke Rusia ditandatangani oleh
Presiden Rusia Vladimir Putin dan Pemimpin Crimea pada 18 Maret 2014. Putin
menyatakan bahwa Crimea secara sah telah menjadi bagian dari Federasi Rusia
dengan ditandatanganinya perjanjian tersebut (Wang, 2015).
Pada saat penandatangan perjanjian, Vladimir Putin menyampaikan
pidatonya bahwa penggabungan wilayah Crimea ke Rusia ini memang sudah
seharusnya dilakukan mengingat selama ini masyarakat Crimea tidak pernah
merasa menjadi bagian dari Ukraina seutuhnya. Seperti yang dikutip oleh The
Washington Post sebagai berikut:
“Dalam hati dan pikiran masyarakat, Crimea selalu menjadi bagian tak
terpisahkan dari Rusia. keyakinan yang kuat ini didasarkan pada kebenaran
dan keadilan yang diturunkan dari generasi ke generasi, dari waktu ke
waktu, dalam keadaan apapun, meskipun semua perubahan dramatis pada
negara kita terjadi selama sekitar abad ke-20” (The Washington Post, 2014).
Rusia melalui Vladimir Putin juga menganggap bahwa tidak ada hal yang
salah karena semua proses tidak bertentangan dengan hukum internasional
(Englund, 2014). Meski Rusia menganggap bahwa proses penggabungan wilayah
Crimea ke negaranya tidak melanggar hukum internasional, beda halnya dengan
Uni Eropa yang mengecam tindakan Rusia dan menilai bahwa tindakan intervensi
militer yang disusul dengan aneksasi tersebut sebagai tindakan ilegal. Menurut
Uni Eropa, Rusia telah melanggar beberapa hukum internasional yang diantaranya
41
adalah Piagam PBB, the OSCE Helsinki Act yang ditandatangani pada tahun
1975, dan Charter Of Paris For A New Europe yang ditandatangani pada tahun
1990. Ketiga perjanjian tersebut mengharuskan setiap negara untuk menghormati
kedaulatan negara lain dan menekankan prinsip non-intervensi terhadap urusan
internal negara lain (Zadorozhny, 2014).
Selain itu, yang paling relevan menurut Uni Eropa bahwa Rusia telah
melanggar Budapest Memorandum on Security Assurance dimana Rusia, Amerika
Serikat, United Kingdom, dan Ukraina menandatangani perjanjian tersebut pada
Desember 1994. Negara-negara yang menandatangani perjanjian ini termasuk
Rusia dilarang memberi ancaman terhadap integritas wilayah Ukraina dan harus
menghormati Ukraina sebagai negara yang merdeka dan berdaulat. Memorandum
tersebut juga melarang negara yang menandatanganinya menggunakan ekonomi
sebagai instrumen untuk mengatur Ukraina demi kepentingan mereka (Synovitz,
2014).
Uni Eropa melalui Presiden Dewan Eropa Herman Van Rompuy dan
Presiden Komisi Eropa Jose Manuel Barroso menyampaikan kecaman terhadap
tindakan Rusia, yang menyatakan: “Seperti yang telah dinyatakan oleh 28 Kepala
Negara atau Pemerintah EU pada 6 Maret 2014, Uni Eropa menganggap
diadakannya referendum mengenai status wilayah Ukraina sebagai tindakan yang
bertentangan dengan Konstitusi Ukraina dan hukum internasional. Referendum
tersebut merupakan sebuah bentuk tindakan ilegal yang hasilnya tidak akan
diakui... Kecaman keras kembali kami keluarkan atas pelanggaran kedaulatan
42
wilayah dan meminta Rusia agar pasukannya ditarik secara permanen merujuk
pada perjanjian yang ada” (EU Press, 2014).
Uni Eropa juga menganggap bahwa krisis di Ukraina bukan lagi masalah
domestik karena dengan adanya pengiriman militer dan aneksasi menunjukan
bahwa adanya intervensi yang Rusia lakukan demi kepentingannya. Uni Eropa
kemudian mulai memberlakukan sanksi dengan tujuan melemahkan kekuatan
Rusia (Zafar, 2015). Pada 17 Maret 2014, melalui keputusan Dewan Uni Eropa
nomor 2014/145/CFSP sanksi berupa larangan berpergian dijatuhkan terhadap 21
politisi Rusia dan politisi Crimea yang dianggap terlibat dalam pelanggaran
integritas wilayah Ukraina (Hellquist, 2016). Sanksi yang disebut sebagai sanksi
individu ini dijatuhkan setelah Presiden Rusia Vladimir Putin bersedia
menandatangani dekrit yang mengakui kemerdekaan Crimea dan telah menjadi
bagian Federasi Rusia (Reuters, 2014).
Pada Juni 2014, Uni Eropa mulai memperkenalkan sanksi yang disebut
sebagai sanksi ekonomi dan menghimbau semua negara anggota untuk tidak
mengedepankan kepentingan ekonomi mereka masing-masing (Karpowics, 2015).
Sanksi ekonomi yang pertama kali dijatuhkan oleh Uni Eropa adalah larangan
impor semua barang yang diproduksi di Crimea dan Sevastopol, kecuali barang-
barang yang memiliki sertifikat dari otoritas Ukraina. Beberapa barang dan
teknologi yang dapat digunakan untuk keperluan sektor energi, telekomunikasi
dan transportasi masuk dalam daftar larangan ekspor dari negara-negara Uni
Eropa ke Crimea dan Sevastopol (European Union Newsroom, 2016).
43
Pasca tragedi jatuhnya pesawat Malaysian Airlines pada Juli 2014, sanksi
ekonomi diperkuat. Sanksi dijatuhkan terhadap beberapa sektor kunci yang
dianggap penting bagi ekonomi Rusia (Zafar, 2015). Pada sektor finansial, Uni
Eropa melalui keputusan Dewan Eropa nomor 2014/512/CFSP mulai
memberlakukan pembatasan terhadap transaksi lima bank besar Rusia di pasar
Uni Eropa. Bank tersebut diantaranya adalah Sberbank, VTB Bank,
Gazprombank, Vnesheconombank (VEB), dan Rosselkhozbank. Uni Eropa juga
menjatuhkan sanksi berupa embargo senjata dan teknologi militer serta larangan
eksplorasi untuk beberapa perusahaan energi Rusia (BBC News, 2014).
Uni Eropa juga menghimbau seluruh negara-negara anggota untuk
menghentikan kerjasama bilateral dalam bidang ekonomi dengan Rusia. Larangan
berlaku untuk semua kerjasama baik yang sedang dibangun atau sudah berjalan.
Uni Eropa juga menunda peresmian sistem operasi fiansial European Investment
Bank di Rusia (European News Room, 2016). Sementara terkait sanksi individu
yang sejak awal sudah diterapkan, terhitung sampai tahun 2018 Uni Eropa telah
menjatuhkan sanksi pembekuan aset dan larangan berpergian kepada 150 orang
dan 38 organisasi yang dianggap terlibat dalam aneksasi wilayah Crimea oleh
Rusia (Kholodilin dan Netsunajev, 2018).
Uni Eropa juga menerapkan sanksi diplomatik terhadap Rusia yang satunya
diterapkan saat pertemuan pemimpin negara yang tergabung dalam Group of
Eight (G-8) dengan tidak mengundang Rusia. Pertemuan tersebut yang semula
akan dilaksanakan di Sochi, Rusia menjadi dilaksanakan di Brussels, Jerman.
Pada pertemuan tersebut, ketujuh negara sepakat untuk mengeluarkan Rusia dan
44
membentuk Group of Seven (G-7). Penangguhan negosiasi Rusia untuk
bergabung dengan OECD dan Badan Energi Internasional juga diterapkan oleh
negara-negara tersebut. Sanksi yang diterapkan melalui sanksi individu, ekonomi
dan diplomatik, semuanya bertujuan untuk menekan Rusia agar menghentikan
intervensinya di Ukraina dan mengembalikan kedaulatan Ukraina (The Wall
Street Journal, 2015).
B. Sanksi Balasan Rusia Terhadap Uni Eropa
Meski sanksi yang diterapkan oleh Uni Eropa bertujuan untuk menekan
Rusia agar membatalkan aneksasi, hasilnya jauh dari harapan. Pada 6 Agustus
2014 Rusia justru mengumumkan akan menerapkan sanksi embargo impor
pangan dari Uni Eropa sebagai balasan. Embargo impor pangan diterapkan oleh
Rusia terhadap beberapa komoditi yang selama ini bergantung pada pasar di Rusia
(Dolidzw, 2015). Vladimir Putin secara resmi menandatangani dekrit nomor 560
“Executive Order On Special Economic Measures to Protect the Russian
Federation’s Security” yang dikeluarkan sebagai respon terhadap sanksi yang
diterapkan oleh Uni Eropa terhadap Rusia (Russia Today, 2014)
Embargo impor pangan juga diterapkan oleh Rusia terhadap negara lain
yang ikut menerapkan sanksi seperti Amerika Serikat, Kanada, Australia dan
Norwegia (Dolidzw, 2015). Pada 7 Agustus 2014, Rusia secara resmi
mengumumkan bahwa sanksi berupa pembatasan impor pangan dari Uni Eropa
mulai berlaku dengan mengeluarkan Resolusi nomor 778 tentang daftar komoditi
barang yang terkena sanksi. Embargo diterapkan terhadap beberapa produk,
diantaranya adalah daging sapi, daging babi, daging unggas, ikan dan makanan
45
laut lainnya, susu, kacang-kacangan dan beberapa produk makanan siap makan
seperti sosis dan makanan sehari-hari lainnya. Meski sanksi menargetkan sektor
agrikultur Uni Eropa, beberapa produk seperti makanan bayi, hewan ternak hidup
dan makanan hewan tidak ikut diterapkan pembatasan oleh Rusia (Wengle, 2016).
Norwegia terkena dampak paling serius dari sanksi embargo pangan yang
diterapkan oleh Rusia. Rusia adalah pasar terbesar kedua setelah Amerika Serikat
untuk produk agrikultur mereka 9% produk agrikultur Uni Eropa selama ini di-
ekspor ke Rusia. Pada tahun 2013, total nilai ekspor produk agrikultur Uni Eropa
ke Rusia mencapai angka 11,3 miliar Euro (Dimitrova, 2015). Meski Rusia tidak
menerapkan embargo pada beberapa produk, sanksi yang diterapkan tetap
mendatangkan kerugian bagi Uni Eropa karena sekitar 43% dari nilai ekspor
agrikultur pada tahun 2013 berasal dari produk-produk yang masuk dalam daftar
sanksi oleh Rusia (Szczepanski, 2015).
Parlemen Eropa menyebutkan bahwa dengan sanksi yang diterapkan oleh
Rusia, sebanyak 130.000 pekerjaan di sektor agrikultur terancam akibat kerugian
yang dialami (Szczepanski, 2015). Sebagai pasar alternatif dalam menghadapi
hilangnya pasar Rusia, Uni Eropa mengekspor produk agrikultur ke negara-negara
ketiga. Namun hasilnya tetap tidak bisa menutupi kerugian yang dialami oleh Uni
Eropa. Sampai akhir tahun 2015, harga susu misalnya, jatuh sampai 30% akibat
kelebihan hasil panen tidak tersalurkan. Swedia sebagai salah satu negara Uni
Eropa mencatat, harga susu dinegaranya sampai bulan Agustus 2015 jatuh ke
angka 2.65 krona (sekitar 30 Sen AS) sementara harga minimal agar para peternak
bisa memenuhi kebutuhan sehari-harinya adalah 3.60-3.70 krona (sekitar 41-42
46
Sen AS). Jatuhya harga pangan ini menurut pemerintah Swedia merupakan salah
satu yang terburuk selama 40 tahun terakhir (Russia Insider, 2015).
Berdasarkan data perdagangan antara Uni Eropa dengan Rusia, produk
pangan yang paling terkena dampak adalah produk-produk yang tidak tahan lama
atau mudah busuk. Negara-negara yang akan paling mengalami kerugian dari
kenyataan tersebut adalah Lithuania, Latvia, Cyprus, Polandia, Belgia, Spanyol,
Yunani, Denmark, Estonia, Finlandia, dan United Kingdom. Negara-negara
tersebut adalah negara penghasil produk-produk yang dikenakan sanksi embargo
impor pangan oleh Rusia (Kraatz, 2014). Sebagai upaya untuk mengatasi kerugian
yang dialami, Uni Eropa sendiri telah menyediakan kompensasi sebesar 400 Juta
Euro yang nantinya akan diberikan kepada produsen produk agrikultur korban
dari embargo Rusia (EurActiv, 2014).
Pada tahap selanjutnya, melihat dampak serius yang diakibatkan oleh sanksi
balasan Rusia, Uni Eropa memperpanjang masa sanksi yang diterapkan terhadap
Rusia. Uni Eropa juga melihat bahwa sejak sanksi pertama yang diterapkan, Rusia
belum menunjukkan respon positif yang mengarah pada menciptakan perdamaian
dan mengembalikan kedaulatan Ukraina. Uni Eropa juga mendorong negara-
negara lain terutama negara-negara yang memiliki rencana untuk bergabung
dengan Uni Eropa untuk turut menjatuhkan sanksi terhadap Rusia. Hal ini
dilakukan untuk menciptakan dampak yang lebih luas sehingga dapat lebih
menekan Rusia (Rettman, 2014).
47
C. Himbauan Uni Eropa Kepada Serbia Untuk Turut Menjatuhkan Sanksi
Ke Rusia.
Sanksi yang diterapkan ke Rusia sebagai instrumen untuk menekan agar
menghentikan intervensinya di Ukraina belum mampu merubah keadaan. Bahkan
Rusia menerapkan sanksi embargo impor pangan terhadap Uni Eropa sebagai aksi
balasan (Ntoiu, 2016). Menanggapi hal tersebut Uni Eropa akhirnya menghimbau
negara-negara lain terutama negara yang sudah mendapatkan status sebagai
negara kandidat anggota Uni Eropa untuk menerapkan kebijakan yang sama
dalam menghadapi kasus aneksasi Crimea oleh Rusia. Uni Eropa sendiri
sebenarnya telah menghimbau negara kandidat untuk turut menjatuhkan sanksi ke
Rusia sejak sanksi pertama kali diperkenalkan pada Maret 2014. High
Representative of the Union for Foreign Affairs and Security Policy Uni Eropa,
Cathrine Ashton saat itu mengumumkan bahwa Montenegro, Islandia, Albania
dan semua negara kandidat juga harus mengambil langkah penerapan sanksi
terhadap Rusia bersama tiga negara non-Uni Eropa lain yaitu Norwegia,
Lichtenstein dan Moldova (Gieseke, 2014).
Uni Eropa secara bertahap terus mengajak negara-negara kandidatnya untuk
menerapkan kebijakan yang sama dalam merespon kasus aneksasi Crimea oleh
Rusia, termasuk Serbia. Pada April 2014, Uni Eropa melalui Michael Davenport
sebagai European Union Delegation to Serbia menyatakan bahwa kebijakan
Serbia untuk mendukung pandangan Uni Eropa terkait situasi di Ukraina sangat
dibutuhkan (InSerbia, 2014). Hal ini senada dengan pernyataan Johannes Hahn
48
selaku komisaris Uni Eropa yang bertanggung jawab atas kebijakan perluasan Uni
Eropa bahwa:
“Serbia secara hukum berkewajiban, sebagai bagian dari negosiasi
keanggotaan untuk semakin menyejajarkan diri dengan Uni Eropa mengenai
masalah-masalah konkrit seperti sanksi terhadap Rusia. Hal ini sangat
penting dan kami berharap Serbia terus menghormati komitmen ini”
(Novosti, 2014).
Pada 12 Maret 2015, Uni Eropa bahkan mengeluarkan resolusi resmi yang
secara legal mengharuskan negara kandidat untuk menerapkan kebijakan yang
sama seperti Uni Eropa dengan menjatuhkan sanksi ke Rusia. Adapun resolusi
tersebut menyatakan: “Menggarisbawahi kebutuhan untuk mengkonsolidasikan
Uni Eropa dan untuk memperkuat komitmen integrasi, yang merupakan salah
satu kriteria Copenhagen; menegaskan perspektif Uni Eropa terkait aksesi
kepada semua negara kandidat dan kandidat potensial lainnya di bawah
Deklarasi Thessaloniki 2003, berdasarkan pemenuhan kriteria Kopenhagen, dan
demi kelanjutan negosiasi aksesi... menggarisbawahi pentingnya kerja sama
dengan negara-negara kandidat di bidang kebijakan eksternal dan menyoroti
pentingnya keselarasan mereka dengan CSFP yang... Menekankan pentingnya
bagi Uni Eropa untuk melihat negara anggotanya menunjukkan solidaritas dan
satu suara menhadapi Rusia; dengan ini juga mengajak negara kandidat agar
kebijakan luar negerinya terhadap Rusia selaras dengan Uni Eropa; panggilan
untuk mengembangkan, sebagai prioritas, strategi Uni Eropa pada Rusia, dengan
tujuan untuk mengamankan komitmen Rusia pada perdamaian dan stabilitas di
Eropa termasuk menghormati kedaulatan wilayah Ukraina” (European
Parliement, 2015).
49
Resolusi tersebut merupakan himbauan resmi dari Uni Eropa terhadap
negara-negara kandidat anggota termasuk Serbia untuk menyelaraskan
kebijakannya terkait krisis di Ukraina. Pada September 2014, Uni Eropa melalui
Johannes Hahn juga mempertanyakan kembali posisi Serbia yang belum juga
menerapkan sanksi dengan secara tegas menyatakan bahwa:
“Serbia harus hati-hati mempertimbangkan penolakannya untuk mendukung
sanksi Uni Eropa terhadap Rusia jika Belgrade berharap untuk bergabung
dengan Uni Eropa ... jika Belgrade ingin bergerak maju menuju aksesi,
sinyal harus diungkapkan dengan tepat pada sanksi terhadap Rusia” (Balkan
Insight, 2014).
D. Penolakan Serbia Terhadap Himbauan Uni Eropa Untuk Turut
Menjatuhkan Sanksi Ke Rusia
Pada prosesnya, penerapan sanksi yang dilakukan oleh Uni Eropa terhadap
Rusia bukan hanya ditolak oleh Serbia sebagai negara kandidat anggota.
Kebijakan ini juga dikritik oleh beberapa negara anggota seperti Yunani, Slovakia
dan Hungaria. Menurut ketiga negara tersebut, penerapan sanksi justru akan
berdampak buruk bagi ekonomi negara mereka (Dimitrova, 2015). Pada kasus
Serbia, berulang kali Presiden, Perdana Menteri, dan Menteri Luar Negeri
menyebutkan bahwa mereka tidak akan menerapkan sanksi dalam bentuk apapun
ke Rusia. Menteri Luar Negeri Serbia saat itu, Ivica Dacic pertama kali
menyatakan penolakan Serbia:
“Kami akan memperhitungkan kebijakan kami terlebih dahulu, tapi kami
akan mengutamakan kepentingan kita sebagai bahan pertimbanan” (Veebel,
2016).
Pada akhir tahun 2016 dan tahun 2018, Menteri Luar Negeri Serbia Ivica
Dacic kembali menegaskan bahwa segala pembicaraan tentang penerapan sanksi
50
terhadap Rusia baik dimasa sekarang atau masa depan oleh Serbia sama sekali
tidak berkaitan dengan kepentingan nasional Serbia (Ministry of Foreign Affairs
of the Republic of Serbia, 2018). Pada Maret 2019, Slavenko Terzic selaku Duta
Besar Serbia untuk Rusia juga menyampaikan bahwa negaranya akan tetap pada
pendirian dan tidak akan menjatuhkan sanksi untuk Rusia. Ia menyatakan:
“Serbia, saya pikir akan mengejar kebijakan yang realistis dan tidak akan
pernah setuju dengan apa yang terjadi jika bukan untuk kepentingan
nasional Serbia. Karena itu Serbia tidak akan pernah ikut sanksi Uni Eropa
Terhadap Rusia” (UrduPoint News, 2019).
Uni Eropa melihat kebijakan Serbia yang menolak himbauannya untuk
menjatuhkan sanksi tersebut sebagai kebijakan yang tidak masuk akal dan sulit
dimengerti. Beberapa konsekuensi yang bisa dirasakan oleh Serbia akibat dari
penolakannya tersebut bahkan sudah diterapkan oleh Uni Eropa. Penolakan dari
negara-negara anggota Uni Eropa yang memiliki hak untuk menerima atau
tidaknya negara baru sebagai anggota muncul terhadap proses negosiasi
keanggotaan Serbia. Penolakan pertama datang dari Perancis yang menyebutkan
bahwa Serbia tidak bisa menjadi negara anggota Uni Eropa pada tahun 2025
(Lukic, 2019). Sebelumya telah ditetapkan bahwa setiap negara kandidat anggota
yang saat ini telah menjalani proses negosiasi akan bisa menjadi anggota tetap jika
berhasil menyelesaikan proses tersebut pada tahun 2025 (European Commission,
2019). Penolakan Perancis terhadap Serbia ini muncul dengan pendapat bahwa
negara-negara anggota Uni Eropa tidak bisa mengijinkan keanggotaan baru jika
kondisinya tidak menguntungkan (Lukic, 2019).
51
Hambatan kedua datang dari Kroasia yang menolak untuk membuka Bab 23
dan 24 penilaian negosiasi keanggotaan Uni Eropa yang harus dipenuhi Serbia.
Uni Eropa beranggapan bahwa kebijakan Kroasia berkaitan dengan hubungan
bilateral dengan Serbia yang buruk. Namun beberapa lembaga pemerhati proses
akses keanggotaan Serbia melihat bahwa adanya tekanan dari mayoritas anggota
kepada Kroasia untuk menutup bab tersebut bagi Serbia (Zivanovic, 2018).
Hambatan berikutnya datang dari Lithuania yang juga menolak membuka bab
penilaian Serbia, kali ini adalah bab 31 yang berisi tentang penilaian terhadap
keselarasan dengan kebijakan umum luar negeri dan keamanan Uni Eropa (b92
News, 2018). Menteri Luar Negeri Lithuania berpendapat bahwa Uni Eropa hanya
akan terbuka bagi negara yang menunjukkan orientasi Eropa yang tegas dan
berkomitmen untuk melakukan reformasi yang diperlukan (b92 News, 2018).
Bab penilaian sendiri merupakan bagian dari proses negosiasi keanggotaan
dimana yag dibagi kedalam 35 bab. Negara kandidat akan dinilai apakah
komitmen negara pada masing-masing bab sudah sesuai dengan regulasi dan
standar Uni Eropa. Proses penerimaan negara kandidat menjadi anggota tetap
sangat tergantung pada proses tersebut (Dimitrova, 2016). Sampai saat ini Serbia
telah membika 16 bab negosiasi dari total 35 bab, dimana 2 diantaranya dianggap
sudah sesuai dan telah ditutup. Jika Serbia ingin menjadi negara anggota Uni
Eropa, Serbia harus menutup semua bab negosiasi pada akhir 2023 melihat tahun
2025 merupakan satu-satunya kesempatan yang jelas bagi Serbia untuk menjadi
negara anggota tetap Uni Eropa (Euractiv, 2019).
52
Kesempatan jelas yang diberikan Uni Eropa untuk meraih status
keanggotaan tetap harus Serbia menfaatkan karena bukan tidak mungkin
kesempatan yang sama tidak akan datang lagi dan membawa proses negosiasi
keanggotaan Serbia diberhentikan, sebagaimana yang terjadi pada Turki. Johannes
Hahn selaku komisaris Uni Eropa yang bertanggung jawab atas kebijakan
perluasan Uni Eropa menjelaskan bahwa proses negosiasi dengan Turki saat ini
sedang diberhentikan melihat reformasi dan komitmen yang dipegang pemerintah
Turki mengalami kemunduran (Radio Free Europe Radio Liberty, 2019).
Hingga saat ini, Uni Eropa belum mengetahui secara pasti apakah kebijakan
tersebut dikeluarkan sebagai instrumen untuk mencapai kepentingan ekonomi atau
hanya berdasarkan kedekatan budaya dengan Rusia. Berbeda dengan Albania
yang memutuskan untuk menerapkan sanksi dimana dukungan dari Albania
disambut postif oleh Uni Eropa yang melihat Albania sebagai negara yang
menghormati hukum internasional (Hellquist, 2016).
53
BAB IV
ANALISA PENOLAKAN SERBIA TERHADAP HIMBAUAN
UNI EROPA UNTUK TURUT MENJATUHKAN SANKSI KE
RUSIA
A. Pengaruh Identitas Serbia Terhadap Keputusannya Menolak Himbauan
Untuk Turut Menjatuhkan Sanksi
Keanggotaan Uni Eropa dijadikan sebagai arah kebijakan luar negeri Serbia
sejak tahun 2000 pasca negara ini tidak lagi dipimpin oleh Slobodan Milosevic.
Demokratisasi dan Eropanisasi dipercaya bisa melepaskan Serbia dari berbagai
kesulitan yang didapat sebagai konsekuensi dari kejahatan perang era Milosevic.
Bagi Serbia saat itu, alternatif ini dianggap paling baik dimana terbukti sanksi
Serbia dicabut, bantuan untuk rekonsilisasi negara diberikan, dan pasar Uni Eropa
bisa dinikmati dalam hal perdagangan (Radeljic, 2014). Pada tataran publik
sendiri, kebijakan ini memang diakui akan membawa kehidupan mereka ke arah
yang lebih baik. Perdagangan bebas yang terstruktur, beragam bantuan yang bisa
diambil membuat sepanjang 2000-2009 dukungan rakyat Serbia terhadap aksesi
keanggotaan Uni Eropa berada diatas angka 60% (Serbian European Integration
Office, 2016).
Setelah tahun 2009, angka dukungan masyarakat untuk integrasi dengan Uni
Eropa menurun dan sikap skeptis publik terhadap Uni Eropa mulai muncul. Pada
sisi lain Rusia muncul sebagai orientasi kebijakan luar negeri Serbia (Mulalic dan
Karic, 2014). Proyek ambisius yang mengejar keanggotaan Uni Eropa ini tidak
54
berjalan lancar karena Serbia harus menghadapi konsekuensi lain. Serbia dituntut
untuk satu visi dengan Uni Eropa dalam hal penanganan kasus kejahatan perang
di Yugoslavia. Serbia juga harus satu visi dengan Uni Eropa yang memiliki
pandangan tentang status kemerdekaan Kosovo. Akibatnya demi mengikuti
pandangan umum rakyat Serbia yang tidak ingin melepaskan Kosovo, negara ini
sering mengeluarkan kebijakan yang berubah-ubah antara pro-Barat dan pro-
Rusia (Seroka, 2010).
Kebijakan luar negeri Serbia yang bertentangan dengan pandangan Uni
Eropa kemudian beberapa kali didukung oleh Rusia dengan muncul sebagai
pelindung mereka. Pada masalah Kosovo, kehadiran Rusia yang menolak
pengakuan unilateral terhadap kemerdekaan Kosovo di Dewan Keamanan PBB
berhasil membuatnya ditetapkan sebagai aliansi terdekat Serbia. Posisi penting
Rusia ini sering disebutkan beberapa kali oleh para pemimpin Serbia (Tepavcecic,
2018). Pada masa pemerintahan presiden Boris Tadic, Serbia mengenalkan politik
empat pilar sebagai orientasi kebijakan luar negeri mereka dan Rusia disebut
sebagai salah satu pilar dalam terminologi tersebut. Padahal saat itu Boris Tadic
dikenal oleh rakyat Serbia sebagai pemimpin pro-Barat (Patalakh, 2018)
Momentum status kemerdekaan Kosovo yang didukung oleh Uni Eropa
membangkitkan kesadaran nasional akan identitas yang mendekatkan mereka
dengan Rusia. Kesadaran nasional ini tidak lepas dari sejarah masa lalu dimana
Serbia yang berulang kali mengalami penjajahan juga selalu dibantu Rusia.
Identitas yang dimaksud adalah identitas Slavia. Identitas ini merefleksikan
persatuan dan kesatuan diatas kesamaan gen etnis, bahasa, dan agama mereka
55
yaitu Kristen Orthodox. Pada kalangan elit politik Serbia, identitas ini sangat
dikenal dan sering digunakan sebagai justifikasi untuk mempertahankan
kemitraan dengan Rusia (Patalakh, 2018). Identifikasi Slavia sebagai identitas
Serbia juga diakui oleh rakyat Serbia. Opini publik yang ada semakin memperkuat
posisi identitas ini sehingga sering menjadi acuan pemerintah ketika harus
berhadapan dengan isu-isu nyata yang merlibatkan Serbia, Rusia, dan Uni Eropa
(Seroka, 2010).
Bagi pemiikir konstruktivis identifikasi dari elit politik sudah cukup untuk
mewakili negara secara keseluruhan. Meski begitu pengakuan dari publik juga
perlu kita lihat. Terlebih dalam kerangka berpikir konstruktivisme yang bermain
pada struktur sosial dimana unsur ideasional harus diakui oleh mereka yang ada
didalamnya. Hal ini juga berkaitan dengan fakta bahwa publik memiliki
pengetahuan tentang sistem negaranya dan mereka juga yang akan merasakan
dampak dari kebijakan yang dibuat (Neack, 2008).
Jejak pendapat yang beberapa kali dilakukan selalu menunjukkan bahwa
dukungan Rusia kepada Serbia pada masa-masa sulit membuat berkembangnya
opini publik bahwa Rusia memiliki posisi penting dalam orientasi kebijakan luar
negeri Serbia. Pada 2012, sebanyak 53%-63% rakyat Serbia menganggap bahwa
Rusia adalah mitra strategis Serbia untuk menjaga kepentingan nasional mereka.
Sementara angka yang menunjukkan bahwa rakyat Serbia menganggap Uni Eropa
sebagai mitra strategis hanya berkisar antara 12% sampai 17%. Pada kalangan
masyarakat, trauma akan perlakuan buruk Uni Eropa dan perlakuan baik Rusia
56
ditengahnya juga menjadi awal identifikasi mereka akan identitas bangsa Slavia
sebagai identitas negaranya (Kostovicova, 2014).
Pada beberapa poling bahkan hilangnya rasionalisasi masyarakat terhadap
kecintaan mereka dengan Rusia dapat dilihat dengan jelas. Salah satu contoh
dapat kita lihat pada survey yang dilakukan tahun 2014 dimana 49% rakyat Serbia
percaya bahwa sebagian besar dana pembangunan negaranya berasal dari Rusia.
Padahal 89,49% dana pembangunan Serbia sebenarnya berasal dari bantuan yang
diberikan oleh Uni Eropa dan Amerika Serikat. Kecintaan rakyat Serbia terhadap
Rusia yang berdasarkan identitas Slavia mereka sudah mengakar pada mentalitas
meski beberapa pandangan rasionalis menganggap bahwa hal tersebut tidak
masuk akal (Lobanov, 2016).
Identifikasi lain yang menyebutkan Slavia sebagai identiatas Serbia datang
dari adanya peran Gereja Orthodox Serbia. Bagi rakyat Serbia dimana 84,5% dari
total populasi beragama Kristen Orthodox yang merupakan agama pemersatu
bangsa Slavia, gereja menjadi institusi yang paling dipercaya oleh publik. Gereja
secara aktif mempromosikan Kosovo sebagai tanah suci bahkan Yerrusalem-nya
Serbia. Maka dari itu, posisi Serbia atas Kosovo harus jelas, yaitu tidak boleh
melepaskannya. Rusia yang mendukung Serbia dalam masalah Kosovo kemudian
dipromosikan oleh gereja sebagai saudara Slavia mereka (Patalakh, 2018).
Pada pandangan yang diyakini Gereja Orthodox Serbia, Rusia sebagai
saudara Slavia berdasarkan kesamaan agama memang sangat erat kaitannya.
Rusia sebagai negara dengan populasi Kristen Orthodox terbanyak di dunia
memiliki tempat khusus di hati Serbia, terlebih Rusia pernah mempromosikan
57
identitasnya sebagai Roma ketiga dan dengan itu mereka yakin harus melindungi
saudara-saudara orthodox mereka di timur (Zabaev, Mikhaylova, dan Oreshina,
2018). Budaya memang memiliki definisi preferensi nilai yang dianggap sebagai
panduan oleh manusia untuk melakukan suatu hal, terlebih agama merupakan
variabel yang paling berpengaruh diantara semuanya (Murden, 2005).
Slavia sebagai identitas juga diakui oleh Rusia pada sisi lain. Berdasarkan
jejak pendapat yang pernah dilakukan, sebanyak 78 persen publik Rusia
mendukung pemerintah untuk menjalin hubungan yang dekat dengan negara-
negara Slavia. Persamaan bahasa, budaya, kawasan dan sejarah sosial-politik yang
diyakini sebagai pemersatu (Suslov, 2013). Bagi Serbia, Slavia sebagai identitas
pemersatu mulai ada sejak tahun 1804 saat upaya melawan Kerajaan Ottoman
yang berkuasa dari tahun 1939. Rusia hadir sebagai aliansi yang membantu
setelah memutuskan untuk melawan Kerajaan Ottoman. Begitu juga saat Serbia
berupaya melawan Kerajaan Austro-Hungary, Perang Dunia I, Perang Dunia II,
Rusia ada sebagai mitra mereka dalam melawan penjajahan dan fasisme. Masa ini
menjadi masa-masa yang penting bagi Serbia karena pondasi untuk berdiri
sebagai negara berdaulat mulai dibangun dan gagasan-gagasan yang ada pada saat
itu turut memperngaruhi Serbia dalam bernegara (Aghayev, 2017).
Slavia sebagai identitas terbentuk dari gagasan yang muncul akibat
perjuangan bangsa Slav termasuk di Serbia melawan penjajahan atau yang mereka
definiskan sebagai rival. Gagasan tersebut memaknai barat sebagai rival karena
dalam beberapa kali sejarah negara-negara barat menjajah Serbia dan negara
Slavia lainnya, sementara negara Slavia adalah sebagai teman atau mitra karena
58
mereka selalu bersatu untuk melawan penjajahan tersebut. Gagasan tersebut yang
kemudian membentuk gagasan lain Serbia bahwa persaudaraan Slavia harus
mereka utamakan untuk melawan dominasi barat yang sering melanggar
kedaulatan mereka. Terminologi Slavic Brotherhood atau Persaudaraan Slavic
yang kemudian muncul sebagai norma yang membingkai gagasan-gagasan diatas
untuk memastikan bahwa gagasan tersebut akan dijalankan (Suslov, 2013).
Terminologi tersebut memiliki arti bahwa hanya persatuan yang dapat
menyelamatkan Serbia, dalam ruang lingkup politik luar negeri pesatuan yang
dimaksud adalah persatuan negara-negara Slavia. Terminologi tersebut bahkan
diadopsi sebagai slogan negara dan dijadikan sebagai arti dari lambang negara
Serbia (Smith, 2013). Lebih lanjut gagasan Serbia dan negara-negara Slavia diatas
berbeda dengan gagasan mereka tentang dunia yang seharusnya dimana dikenal
dengan sebutan prinsip Sabornost. Sabornost mengambil konsep dimana sabor
yang dalam bahasa Rusia artinya gereja menyatukan beragam individu dengan
kesamaan tertentu yang datang untuk mencapai suatu tujuan. Prinsip ini juga
mendukung kesetaraan setiap individu karena mereka datang dengan
keinginannya sendiri untuk bersatu (Prosic, 2015).
Berdasarkan prinsip Sabornost, menurut Vuk Jeremic selaku Perdana
Menteri Serbia pada 2007-2012 sistem internasional harusnya menghargai setiap
negara yang tergabung didalamnya karena pada dasarnya mereka datang dengan
keinginannya sendiri yang kemudian disatukan oleh keinginan untuk mencapai
tujuan bersama (Jeremic, 2017). Prinsip ini serupa dengan konsep “The General
Will” milik Jean-Jacques Rossenau yang juga menghendaki setiap individu yang
59
tergabung didalam sebuah kontrak sosial harus menikmati kesetaraan sehingga
sama-sama bisa menerima manfaat dari membentuk sebuah kesatuan (Thompson,
2017).
Pada saat Serbia menjadi bagian dari Yugoslavia identitas Slavia ini
digunakan untuk menyatukan negara-negara Slavia di kawasan Balkan dan
beberapa etnis minoritas lainnya. Norma persaudaraan Slavia diadopsi menjadi
slogan negara yaitu Brotherhood and Unity (Gjoni, 2016). Sayangnya pada era
pemerintahan Slobodan Milosevic norma ini lebih ditekankan pada aspek peran
lebih perjuangan etnis Serbia untuk membebaskan tanah Balkan. Sehingga
egoisme etnis Serbia muncul dan menjadi penyebab ketika etnis lain berusaha
untuk melepaskan diri dari Yugoslavia karena krisis (Vujacic, 2004).
Sekali lagi, gagasan-gagasan tersebut membentuk pandangan Serbia tentang
Dunia. Kesadaran nasional bahwa Rusia adalah saudara slavia mereka bangkit
karena hubungan Serbia dengan Rusia selama beberapa tahun terakhir
memperlihatkan kesetaraan diantara keduanya. Berbeda dengan Uni Eropa yang
berulang kali bertindak tanpa menghormati hak-hak Serbia. Kesadaran nasional
Serbia akan identitas Slavia mereka, membuat negara ini seringkali mengeluarkan
kebijakan luar negeri pro-Rusia jika harus dihadapkan pada dua pilihan antara
Rusia dan Uni Eropa. Hal ini juga terjadi ketika Serbia menolak himbauan Uni
Eropa untuk turut menjatuhkan sanksi ke Rusia (Kovacecic, 2019).
Keuntungan yang didapat Serbia dari mempertahankan hubungan dekatnya
dengan Rusia memang sulit disebut signifikan manfaatnya. Bahkan jika melihat
hubungan Serbia-Rusia yang selalu mengalami pasang surut harusnya membuat
60
pemerintah Sebia memikirkan ulang tentang arah kebijakan luar negerinya. Meski
begitu, keuntungan yang Rusia berikan sejauh ini selalu menyentuh ranah
identitas sehingga memiliki implikasi makna yang kuat serta berhasil memancing
perhatian masyarakat Serbia (Patalakh, 2018). Sehingga jika Uni Eropa dan Rusia
berdiri dengan sisi berlawanan pada masalah yang menuntut respon Serbia, Serbia
akan lebih memilih untuk mempertahankan hubungannya dengan Rusia.
berdasarkan identitas bangsa Slavia diantara keduanya (Ejdus, 2014).
Keadaan ini berlaku untuk kebijakan Serbia yang menolak himbauan Uni
Eropa untuk turut menjatuhkan sanksi ke Rusia untuk merespon krisis di Ukraina,
dimana ini kita bisa lihat melalui pernyataan presiden Serbia Tomislav Nikolic
saat pertama kali Serbia menolak himbauan tersebut:
“Hal ini akan menjadi sangat tidak menyenangkan bagi Serbia jika harus
mengambil kebijakan tersebut. Ini bahkan bisa memecah Serbia. Banyak
rakyat Serbia adalah Rusophile (merujuk pada identitas bangsa Slavia),
ketika mereka menerima eropanisasi sebagai fondasi yang lebih baik untuk
hidup mereka (Ejdus, 2014)”
Opini publik Serbia terkait himbauan Uni Eropa agar Serbia turut
menjatuhkan sanksi ke Rusia juga tidak berbeda dengan pendapat dari elit
pemerintah Serbia. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa rakyat Serbia
juga meyakini identitas tersebut merupakan bagian dari diri mereka.
Kecenderungan rakyat Serbia untuk tidak menerapkan sanksi terhadap Rusia
dapat kita lihat melalui jejak pendapat. Menurut hasil survey yang dikeluarkan
Gallup Daily News terkait opini masyarakat di Eropa terhadap penerapan sanksi,
hanya 5% rakyat Serbia yang mendukung penerapan sanksi tersebut sementara
sisanya menolak (Gallup Daily News, 2016)
61
Tabel IV.A.1 Presentase Dukungan Rakyat Negara-Negara di Eropa Untuk
Menerapkan Sanksi ke Rusia
Negara Uni Eropa di Eropa Timur Yes, Support
Polandia 70
Rumania 52
Kroasia 50
Estonia 49
Lithuania 45
Latvia 38
Republic Ceko 35
Hungaria 29
Slovakia 25
Bulgaria 23
Yunani 11
Negara Non-Uni Eropa di Eropa
Timur
Albania 60
Kosovo 57
Bosnia and Herzegovina 24
Macedonia 19
Montenegro 10
Serbia 5
Sumber: (Gallup Daily News, 2016)
62
B. Kepentingan Nasional Serbia Terhadap Keputusannya Menolak
Himbauan Untuk Turut Menjatuhkan Sanksi
Konstruktivisme dalam ilmu hubungan internasional melihat kebijakan
suatu negara didasarkan pada gagasan bersama yang terbentuk melalui interaksi
sosial. Konstruktivisme berbeda pandangan dengan pandangan kaum rasionalis
dalam melihat pengaruh unsur materi sebagai faktor negara mengeluarkan suatu
kebijakan. Konstruktivisme mengakui adanya hubungan antara kepentingan
nasional dengan kebijakan luar negeri (Renner, 2008). Bedanya Konstruktivisme
melihat lebih jauh apa yang menyebabkan kepentingan nasional itu ada dan
bermakna bagi aktor pembuat kebijakan. Pada tahap ini konstruktivisme
berpendapat bahwa identitas yang menjadi dasar suatu negara mengeluarkan
kebijakan dan dengan itu kepentingan nasional ada dan bermakna karena identitas
(Wendt, 1994). Lebih lanjut menurut Giddens, kepentingan nasional dalam
kerangka berpikirir konstruktivis adalah tujuan negara untuk mempertahankan
identifikasi dirinya di lingkungan internasional. Negara akan mempertahankan
posisi tentang siapa dirinya dan posisi aktor lain sebagai mitra atau rivalnya
(Giddens, 1990). Dengan begitu, negara percaya akan bisa mempertahankan
eksistensinya dan bertahan di dunia internasional (Hidayat, 2017).
Berdasarkan pengertian tersebut, dapat diketahui bahwa kepentingan
nasional Serbia dalam keputusannya menolak himbauan Uni Eropa untuk turut
untuk menjatuhkan sanksi ke Rusia adalah kepentingan untuk mempertahankan
eksistensi atau keberadaan mereka dalam dunia internasional. Hal ini tidak lepas
dari gagasan-gagasan yang ada dalam identitas Slavia mereka bahwa Rusia
63
sebagai saudara Slavia adalah mitra strategis sekaligus pelindung mereka, di
sistem internasional yang selama ini selalu mengabaikan hak-hak kedaulatannya
(Zakowska, 2016). Rusia dalam hal ini juga sudah berkomitmen untuk selalu
mendukung Serbia dalam politik internasional. Hal ini kembali dikonfirmasi oleh
Menteri Luar Negeri Rusia saat menyebutkan secara khusus masalah Kosovo pada
pidatonya untuk referendum Crimea. Menurutnya, Rusia akan selalu mendukung
penuh posisi pemerintah Serbia yang berdiri untuk mempertahankan kedaulatan
wilayah Serbia. Segala bentuk pelanggaran kedaulatan atas nama keinginan
masyarakat internasional menurutnya harus dilawan (Zadorozhny, 2014).
Komitmen Rusia terkait posisi ini pada perjalanannya selalu berhasil
dibuktikan. Pada masa penerapan sanksi Uni Eropa terhadap Rusia, sekali lagi
Rusia menetapkan posisinya yang jelas terhadap isu Kosovo. Pada tahun 2015,
Rusia bersama China menggunakan pengaruhnya untuk menolak keanggotaan
Kosovo di UNESCO. Kosovo yang harus mendapatkan 95 suara yang merupakan
dua per tiga total anggota UNESCO harus menelan kenyataan pahit setelah Rusia,
Cina, dan 48 negara lainnya setuju untuk menolak proposal keanggotaan Kosovo.
Menurut mereka, Kosovo bukan sebuah negara melainkan entitas yang merupakan
bagian dari Serbia dimana banyak cagar budaya di Kosovo sangat erat kaitannya
dengan sejarah Serbia (Collaku, 2015).
Komitmen Rusia sebagai saudara Slavia Serbia untuk selalu mendukung
Serbia di sistem internasional juga dibuktikan bukan hanya pada masalah Kosovo.
Pada tahun 2015, Rusia menggunakan hak vetonya kembali untuk Serbia setelah
Dewan Keamanan PBB atas permohonan Inggris dan Amerika Serikat untuk
64
menetapkan pembantaian Srebrenica sebagai genosida. Masalah ini menurut
pemerintah Rusia tidak perlu dibawa ke Dewan Keamanan PBB, dimana mereka
berpendapat bahwa Srebrenica bukan kasus pembantaian yang ditutup-tutupi oleh
pemerintah Serbia. Kasus ini terjadi pada masa perang sipil dimana banyak dari
rakyat Serbia juga ikut menjadi korban (Dzidic dan Nikolic, 2015).
Posisi Rusia sebagai saudara Slavia Serbia yang jelas akan mendukung
Serbia dalam hal politik tentu harus dipertahankan mengingat Serbia masih
mengakui Kosovo sebagai bagian dari mereka. Hal ini sebagaimana dijelaskan
pada The National Security Strategy yang merupakan landasan arah kebijakan luar
negeri Serbia bahwa ancaman kedaulatan yang paling mendasar bagi Serbia
adalah masalah daerah otonom Kosovo (Ejdus, 2014). Serbia juga terikat dengan
tragedi masa lalu terkait kejahatan perang era presiden Slobodan Milosevic.
Tragedi ini bukan tidak mungkin akan menuntun Serbia pada masalah-masalah
baru yang dibawa ke Dewan Keamanan PBB seperti yang terjadi pada kasus
pembantaian Srebrenica. Maka dari itu, Serbia perlu mempertahankan hubungan
baik dengan Rusia sebagai saudara slavia yang akan selalu medukung Serbia.
Berdasarkan kepentingan ini, Serbia akan selalu menolak himbauan Uni Eropa
untuk menjatuhkan sanksi ke Rusia (Weber dan Bassuener, 2014).
Posisi Rusia sebagi saudara Slavia Serbia juga bisa dilihat dari segi
ekonomi. Rusia hadir sebagai mitra strategis Serbia pada bidang ekonomi sejak
tahun 2000 saat Kerjasama Perdagangan Bebas antara keduanya berhasil
disepekati dimana perjanjian ini mencakup 99% nilai perdagangan bilateral antara
kedua negara. Meski Uni Eropa menguasai sebagian besar nilai perdagangan luar
65
negeri Serbia, Rusia sebagai negara yang menempati posisi kedua juga
mempunyai peran penting dalam sektor tertentu. Sektor yang dimaksud adalah
energi, peternakan dan investasi. Keadaan ekonomi Serbia yang belum stabil
pasca krisis yang mereka alami sejak tahun 2000, membuat kehadiran Rusia
menjadi bermakna (Torralba, 2014).
Keputusan Serbia menolak himbauan Uni Eropa untuk menjatuhkan sanksi
ke Rusia dinilai sebagai pilihan yang tepat melihat Rusia sebagai saudara slavia
mereka dan dengan itu akan membuka kemungkinan kerjasama baru dalam
bidang ekonomi. Hal ini juga mengingat embargo ekonomi yang diterapkan Uni
Eropa kepada Rusia pada beberapa sektor akan menuntun mereka pada
kemungkinan untuk mencari pasar baru pengganti Uni Eropa. Keadaan ini yang
ingin dimanfaatkan oleh Serbia (Torralba, 2014). Hal ini bisa mulai kita lihat
ketika Serbia dan Rusia memulai negosiasi untuk meningkatkan nilai perdagangan
mereka melalui platform The Russian-led Eurasian Economic Union (EaEU) pada
tahun 2016. Perjanjian ini dinilai bisa mengembangkan perjanjian sebelumnya
yang ditandatangani oleh Serbia dan Rusia pada tahun 2000. Perjanjian ini
nantinya akan memberikan Serbia akses kepada pasar Rusia dan negara lainnya
yang terikat perjanjian EaEU. Pada sisi lain, Rusia dan negara lain tersebut juga
bisa menikmati pasar Serbia untuk memperluas pasar mereka (European Union,
2017).
Pada akhirnya, dapat kita lihat bahwa identitas Slavia yang dimiliki Serbia
membuat negara ini lebih memilih untuk mendukung Rusia sebagai saudara slavia
mereka dan mengeluarkan kebijakan penolakan terhadap himbauan Uni Eropa
66
untuk turut menjatuhkan sanksi ke Rusia. Identitas tersebut mengidentifikasi
Rusia sebagai mitra strategis Serbia yang akan selalu memberinnya dukungan
dalam ranah politik internasional dan bidang ekonomi. Hal ini menjadi
kepentingan nasional Serbia untuk mempertahankan pandangannya tersebut
karena mereka percaya dengan begitu negara akan bisa bertahan di sistem
internasional (Kovacecic, 2019).
Terakhir dalam membawa gagasan-gagasan yang ada pada identitas Slavia
sebagai justifikasi untuk membuat kebijakan menolak himbauan Uni Eropa untuk
menjatuhkan sanksi ke Rusia, Serbia memanfaatkan power yang mereka miliki
terhadap Uni Eropa untuk meyakinkan bahwa resiko yang didapat ketika mereka
menetapkan Rusia sebagai mitra strategis bisa ditekan. Pertama adalah daya tarik
mereka sebagai negara yang secara geografis berada di wilayah Balkan dan
terjepit diantara kekuatan besar yaitu Rusia dan Uni Eropa. Wilayah Balkan
merupakan wilayah di tanah Eropa yang sejauh ini dianggap paling tidak stabil
dan dikhawatirkan dapat mempengarhui stabilitas negara-negara di sekitarnya.
Uni Eropa percaya bahwa dengan masuknya Serbia menjadi negara anggota dan
menganut nilai-nilai Uni Eropa, negara tersebut akan membawa stabilitas di
kawasan Balkan (European Council on Foreign Relations, 2018).
Serbia juga berada diantara dua kekuatan besar yaitu Rusia dan Uni Eropa.
Rusia selama ini selalu ada berhadapan dengan Uni Eropa dalam beberapa isu
internasional. Posisi Serbia dan negara Balkan lain dinilai akan menguntungkan
Uni Eropa jika menjadi anggota dalam segi pengaruh terhadap keberadaan Rusia
yang selama ini mendominasi wilayah Balkan. Keberhasilan Uni Eropa dalam
67
menjaga stabilitas dan pengaruh nantinya bisa membawa prestige dan pengaruh
Uni Eropa dalam dunia internasional semakin bisa diakui (Wunsch, 2017). Daya
tarik Serbia dimata Uni Eropa diatas yang membuat Serbia beranggapan bahwa
tidak akan ada resiko yang serius dari Uni Eropa jika ia memilih untuk tidak
menerapkan sanksi ke Rusia sesuai himbauan (Torralba, 2014).
Kedua adalah identitas Serbia sebagai bangsa Slavia yang secara historis
lebih dekat dengan Rusia juga menjadi kekuatan sendiri bagi Serbia. Uni Eropa
menilai bahwa dengan bergabungnya Serbia menjadi anggota akan merubah
kesetiaan geopolitik mereka yang sebelumnya lebih ke Rusia menjadi lebih dekat
dengan Uni Eropa dan menjadi salah satu negara yang bisa digunakan untuk
mengimbangi Rusia di Eropa. Posisi Serbia dimata Uni Eropa yang kedua ini
kemudian dimanfaatkan oleh elit politik Serbia untuk instrumen yang mendukung
proses negosiasi keanggotaan sekaligus meyakinkan publik bahwa sejatinya Uni
Eropa membutuhkan Serbia (Savic, 2014). Kedua power tersebut yang menjadi
instrumen bagi Serbia untuk mengeluarkan kebijakan sekaligus justifikasi
terhadap keberadaan identitas Slavia yang memperngaruhinya. Meski pada
beberapa pembahasan, keyakinan akan kepemilikan power tersebut justru bisa
menghambat kemajuan proses negosiasi Serbia untuk menjadi anggota Uni Eropa
(Field, 2000).
68
BAB V
PENUTUP
KESIMPULAN
Pada 17 Maret 2019, Uni Eropa yang mengecam aneksasi wilayah Crimea
mulai menjatuhkan sanksi terhadap Rusia. Sanksi tahap pertama diberikan dengan
membekukan aset dan memberlakukan larangan berpergian terhadap 21 individu
Rusia dan Crimea yang dianggap terlibat dalam pelanggaran kedaulatan wilayah
Ukraina oleh Rusia. Uni Eropa kemudian juga menghimbau negara-negara
kandidat anggota untuk turut menjatuhkan sanksi yang sama dengan maksud
memberikan efek yang lebih besar bagi Rusia. Serbia sebagai negara kandidat
anggota yang menetapkan keanggotaan Uni Eropa sebagai kunci kebijkan luar
negerinya justru memutuskan untuk menolak himbaun Uni Eropa untuk
menjatuhkan sanksi ke Rusia. Sanksi Uni Eropa diperpanjang setiap enam bulan
mengingat Rusia masih belum menghentikan intervensinya di Crimea. Sampai
perpanjangan terakhir tahun 2018, posisi Serbia terkait penerapan sanksi tetap
sama.
Penelitian ini menggunakan kerangka berpikir konstruktivisme yang
menjelaskan kebijakan luar negeri suatu negara sebagai aktor internasional
melalui peran identitas. Penelitian ini menemukan bahwa penolakan Serbia
terhadap himbauan Uni Eropa untuk menjatuhkn sanksi ke Rusia tahun 2014-2018
dipengaruhi oleh faktor identitas yang dimiliki Serbia. Dalam hal ini, identitas
yang dimaksud adalah identitas Slavia yang memposisikan Rusia sebagai saudara
69
Slavia mereka. Identitas ini kemudian menyebabkan munculnya kepentingan
nasional Serbia untuk mempertahankan hubungan dekat dengan Rusia.
Momentum status kemerdekaan Kosovo yang diupayakan oleh Uni Eropa
membangkitkan kembali gagasan-gagasan Serbia sebagai aktor internasional yang
menyebutkan bahwa Uni Eropa adalah rival dan Rusia adalah mitra. Perasaan
dijajah kedaulatan wilayahnya dan perasaan terasingkan mengingatkan Serbia
kembali pada sejarah-sejarah dimana mereka berjuang melawan penjajahan dan
fasisme yang pada rangkaian sejarah tersebut Rusia selalu hadir mendukung atas
nama persaudaraan Slavia. Identitas Slavia kemudian diidentifikasi sebagai
identitas Serbia. Melalui identitas ini, menjaga persatuan dengan sesama negara
Slavia menjadi norma yang harus Serbia utamakan dalam setiap kebijakan luar
negerinya.
Identitas Serbia tersebut kemudian menyebabkan munculnya kepentingan
nasional Serbia untuk menjaga kemitraan dengan Rusia demi mempertahankan
gagasan-gagasan yang menjadi identifikasi identitas Slavia. Hal ini dilakukan
karena Serbia percaya bahwa dengan mempertahankan gagasan tersebut mereka
bisa mejaga eksistensi dan bertahan di dunia internasional. Kemitraan dengan
Rusia harus Serbia pertahankan juga karena kembali lagi, selama ini berbagai
keuntungan materi didapatkan oleh Serbia. Hal ini yang kemudian menyebabkan
Serbia menolak himbauan Uni Eropa untuk menjatuhkan sanksi ke Rusia tahun
2014-2018.
xii
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Bakry, Umar S. 2017. Dasar-Dasar Hubungan Internasional. Depok: Penerbit
Kencana.
Coloumbis, Theodore A. and James H. Wolfe. 1990. Introduction to International
Relations: Power and Justice. New Jersey: Prentice Hall.
Giddens, Anthony. 1990. The Consequences of Modernity. Palo Alto: Stanford
University Press.
Griffiths, Martin dan Terry O‟Collaghan. 2002. International Relations: The Key
Concepts. London: Routledge.
Hadiwinata, Bob S. 2017. Studi dan Teori Hubungan Internasional: Arus Utama,
Alternatif, dan Reflektivis. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Hara, Abubakar E. 2011. Pengantar Analisis Politik Luar Negeri: Dari Realisme
Sampai Konstruktivisme. Bandung: Penerbit Nuansa.
Holsti, KJ. 1983. International Politics: A Framework for Analysis. Edisi
Keempat ed. New Jersey: Prentice Hall, Inc.
Jackson, Robert and George Sorensen. 2007. Introduction to International
Relation: Theories and Approaches. Oxford: Oxford University Press.
Karpowics, Jaroslaw C. 2015. Sanctions And Russia. Warszawa: Polski Instytut
Spraw Miedzynarodowych.
Linklaker, S.B. 2009. Teori-Teori Hubungan Internasional, edisi terjemahan.
Bandung: Nusa Media.
Mas'oed, Mochtar. 1990. Ilmu Hubungan Inetrnasional: Disiplin dan Metodologi.
Jakarta: LP3ES
Murden, Simon. “Culture in World Affairs.” P. 456 dalam The Globalization of
World Politics. John Baylis and Smith Steve. 2005. New York: Oxford
University Press.
Moleong, Lexy J. 2002. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Neack, Laura. 2008. The New Foreign Policy: Power Seeking In A Globalized
Era. New York: Rowman & Littlefield Publishers.
xiii
Nye, Joseph S. 2002. The Paradox of American Power. New York: Oxford
University Press.
Onuf, Nicholas. 2012. World of Our Making: Rules and Rule in Social Theory.
Edisi Pertama. London: Routledge.
Perwita, Anak Agung Banyu dan Yanyan Mochammad Yani. 2005. Pengantar
Ilmu Hubungan Internasional. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Semiawan, Conny R. 2010. Metode Penelitian Kualitatif: Jenis, Karakteristik,
dan Keunggulannya. Jakarta: Grasindo.
B. Artikel Jurnal, Working Paper, etc
Aghayev, Elvin. 2017. “Relations Between Russia and Serbia.” European
Researcher 8(1):4-8.
Bebler, Anton. 2015. “The Russian-Ukranian Conflict Over Crimea.” Teorija In
Praksa 52(1).
Becker, Jens. 2009. “The European Union and the Western Balkans.” Journal for
Labour and Social Affairs 11(1): 7-27
Bogzeanu, Cristina. 2012. “Current Trends in the Relation Between Western
Balkan States and the EU. An Analysis From The Perspective of Liberal
Realism.” Strategict Impact: 44-53.
Bond, Ian. Maret 2015. “Frozen: The Politics And Economics Of Sanctions
Against Russia.” Center For European Reform.
Brkic, Dejan. 2018. “Energy Situation in the Republic of Serbia.” Pre Prints
Review
Cameron, Fraser and Andreas Kintis. 2001. “Southeastern Europe and the
European Union.” Southeast European and Black Sea Studies 1(2):94-112.
Copeland, Dale C. 2000. “The Constructivis Challenge to Structural Realism: A
Review Essay on Social Theory of International Politics. by Aleksander
Wendt.” The MIT Press International Security 25(2):187-212.
Dimitrova, Antoaneta. Juli 2016. “The EU‟s Evolving Enlargement Strategies:
Does Tougher Conditionality Open The Door For Further Enlargement”
MAXCAP Working Paper Series No. 30.
xiv
Dimitrova, Zornitsa K. Desember 2015. “The Economic Impact Of The Russian
Import Ban: A CGE Analysis.” Directorate General For Trade of European
Commission.
Dolidzw, Tatia. Januari 2015. “EU Sanctions Policy towards Russia: The
Sanctioner-Sanctionee's Game of Thrones.” CEPS Working Document: 1-
24.
Dragovic-Soso, Jasna. 2012. “Apologising for Srebrenica: The Declaration of the
Serbian Parliament, The European Union and The Politics Compromise.”
East European Politics 28(2):163-179.
Ejdus, Filip. 2014. “Beyond National Interest: Identity Conflict and Serbia‟s
Neutrality Toward the Crisis in Ukraine.” Sudosteuropa 62(3):348-362.
_____, Filip. April 2014. “The Brussels Agreement and Serbia's National Interest:
A Positive Balance Sheet?” Konrad Adenauer Stiftung Analysis: 1-10.
European Union. 2017. “Serbia‟s Cooperation With China, The European Union,
Russia and The United States of America.” Study on Directorate-General
For External Policies of European Union 28.
Field, Heather. 2000. “Awkward states: EU Enlargement and Slovakia, Croatia
and Serbia.” Perspectives on European Politics and Society 1(1):123-146.
Fossati, Fabio. 2014. “Democratic Anchoring Of The European Union Towards
Post Communist Countries.” Studia Universitatis Babes-Bolyai Studia
Europaea 59(1):21-67.
Fourere, Erwan. Mei 2013. “Thessaloniki Ten Years on: Injecting Momentum
into the Enlargement Process for the Western Balkans.” CEPS Commentary:
1-4.
Galbert, Simon d. 2015. “A Year of Sanctions Against Russia-Now What?” A
Report, Oktober: 1-29.
Gallucci, Gerard M. November 2011. “The Ahtisaari Plan and North Kosovo.”
Trans Conflict, November: 1-17.
Gjoni, Roland. 2016. “Nationalism, Myth, and the State in Russia and Serbia:
Antecedants of the Dissolution of the Soviet Union and Yugoslavia.”
Europe-Asia Studies 68(8):1446-1448
Gotz, Elias. 2016. “Russia, the West, and the Ukraine Crisis: Three Contending
Perspective.” Contemporary Politics 22(3):249-266.
xv
Grant, Thomas D. 2015. “Annexation of Crimea.” The American Journal of
International Law 109(1).
Hellquist, Elin. 2016. “Either With Us Or Against Us? Third-country Alignment
With EU Sanctions Against Russia/Ukraine.” Cambridge Review of
International Affairs 29(3):997-1021.
Hidayat, Rizal. 2017. “Keamanan Manusia Dalam Perspektif Studi Keamanan
Kritis Terkait Perang Intra-Negara.” Journal of International Studies
1(2):108-129.
Jusufaj, Elvina. 2015. “The Kosovo Precedent in the Secession and Recognition
of Crimea.” Iliria International Review 1:249-286.
Kay, Chloe. 2014. “Contemporary Russian-Serbian Relations: Interviews with
Youth from Political Parties in Belgrade and Vojvodina.” The Journal of
Russian and Asian Studies.
Kerikmae, Tanel. “Dimensions and Impilacations of Eastern Partnership Policy:
Introduction.” 1-6 dalam Tanel Kerikmae dan Archill Chocia. 2016.
Political and Legal Perpective of the EU Eastern Partnership Policy. New
York: Springer International Publishing.
Kholodilin, Konstantin A. and Aleksei Netsunajev. 2018. “Crimea and
Punishment: the Impact of Sanctions on Russian Economy and Economies
of the Euro Area.” Baltic Journal of Economics 19(1):39-51
Knezevic, Ivan, Mihailo Gajic, and Kristina Ivanovic. 2012. “Serbia, European
Union, Russia: An Analysis of Economic Relations.” Research Forum of
the European.
Koch, Julia. 2016. “The Efficiacy And Impact Of Interim Measures: Ukraine‟s
Inter-State Application Against Russia.” Boston College International and
Comparative Law Review 39(1).
Konitzer, Andrew. Juli 2010. “Serbia Between East and West: Bratstvo,
Balancing, and Business on Europe‟s Frontier.” The National Council for
Eurasian and East European Research Working Paper: 2.
Kostovicova, Denisa. 2014. “Post-socialist identitiy, territoriality and European
Integration: Serbia‟s return to European after Milosevic.” Geo Journal 61:
23-30.
__________, Denisa. 2014. “When Enlargement Meets Common Foreign and
Security Policy: Serbia‟s Europeanisation, Visa Liberalisation and the
Kosovo Policy.” Europe-Asia Studies 66(1):67-87.
xvi
Kovacecic, Marko. 2019. “Understanding The Marginality Constellations of
Small States: Serbia, Croatioa, and the Crisis of EU-Russia Relations.”
Journal of Contemporary European Studies.
Miljkovic, Ivana B. 2014. “Foreign Trade Between Russia and The Balkans in the
Context of Global Geostrategic Relations.” Journal of Globalization Studies
5(2).
Mulalic, Muhidin and Mirsad Karic. 2014. “The Western Balkans Geopolitics and
Russian Energy Politics.” Journal of Transdisciplinary Studies 7(1):87-109.
Nelaeva, Galina A. and Andrey V. Semenov. 2016. “EU-Russia Rivalry in the
Balkans: Linkage, Leverage and Competition.” Romanian Journal of
European Affairs 16(3): 56-71.
Nuechterlein, Donald E. 1976. “National Interests and Foreign Policy: A
Conceptual Framework for Analysis and Decision-Making.” British Journal
of International Studies 2(3):246-266.
Ntoiu, Cristian. 2016. “Towards conflict or cooperation? The Ukraine Crisis and
EU-Russia Relations.” Southeast European and Black Sea Studies
16(3):375-390.
Lobanov, Mikhail M. 2016. “The Problems of Serbian self-determination in
foreign policy: through the thorns to the „Stars‟ of the European Union.”
Comparative Politics Russia 7(4):127-142.
Oxenstierna, Susanne. 2015. “The Economic Sanctions Against Russia: Impact
and Prospects of Success.” FOI Research-Report Series, September, pp. 13-
20.
Patalakh, Artem. 2018. “Emotions and Identity as Foreign Policy Determinants:
Serbian Approach to Relations with Russia.” Chinese Political Science and
Review 3(4):495-528.
Pantelic, Bratislav. 2016. “The Last Byzantines: Perseptions of Identity, Culture,
and Heritage in Serbia.” The Journal of Nationalism and Ethnicity.
Petrovic, Nikola. 2013. From Four Pillars Of Foreign Policy To European
Integration. Belgrade: International and Security Affairs Centre.
Prosic, Tamara. 2015. “Cultural Hegemony, Sobornost, and the 1917 Russian
Revolution.” Statis Journal 3(2):204-225.
Pussenkova, Nina. 2010. “The Global Expansion of Russia‟s Energy Giants.”
Journal of International Affairs 63(2).
xvii
Radeljic, Branislav. 2016. “European Union Approaches to Human Rights
Violations in Kosovo Before and After Independence.” Journal of
Contemporary Central and Eastern Europe 24(2):131-148.
Radeljic, Branislav. 2014. “The Politics of (No) Alternatives in Post-Milosevic
Serbia.” Journal of Balkan and Near Easternd Studies 16(2):243-259.
Renner, Judith. 2008. “Of Heroes and Villains: Competing Identity-Constructions
in Post-War Croatia.” Munic Working Papers 1.
Seroka, Jim. 2010. “Serbian National Security and Defense Strategy: Forever
Wandering in the Wilderness?” Journal of Slavic Military Studies
23(3):438-460.
Smith, Christian R. 2001. “Human Rights and the Social Construction of
Sovereignty.” Review of International Studies 27(4):519-538.
Ristic, Irena. 2009. “Serbia‟s EU Integration Process: The Momentum of 2008.”
Panoenonomicus 1:111-125.
Romanova, Tatiana. 2016. “Sanctions and the Future of EU-Russian Economic
Relations.” Europe-Asia Studies 68(4):774.
Savic, Bojan. 2014. “Where is Serbia? Traditions of Spatial Identitiy and State
Positioning in Serbian Geopolitical Culture.” Geopolitics 19(3):684-718.
Sela, Ylber dan Lirim Shabani. 2011. “The European Union Politics in the
Western Balkans.” The Western Balkans Policy Review 1(2):23-38.
Serbian Integration Office. Desember 2016. “European Orientation of Serbian
Citizens: Public Opinion Poll.”
Shala, Krenar. September 2015. “Western Balkans Regiona and the Geopolitical
Context: Russian Influence.” Friedrich Ebert Stiftung Working Papers.
Schenker, Harald. 2008. “The Stabilization and Association Process: An Engine
of European Integration in Need of Tuning.” Journal on Ethnopolitics and
Minority Issues in Europe 1-19.
Stahl, Bernhard. 2013. “Another “Strategic Accession”? The EU and Serbia
(2000–2010).” The Journal of Nationalism and Ethnicity 41(3):447-468.
Steunenberg, Bernhard dan Antoaneta Dimitrova. 2007. “Compliance in the EU
Enlargement Process: The Limits of Conditionality.” European Intergration
Online Papers 11(06): 1-18.
xviii
Stoian, Carmen. 2007. “The Benefits and Limitations of European Union
Membership as a Security Mechanism.” European Integration 29(2):189-
207.
Stojic, Marko. 2006. “Between Europhobia and Europhilia: Party and Popular
Attitudes Towards Membership of the European Union in Serbia and
Croatia.” Perpective on European Politics and Society 7(3):312-335.
Suslov, Mikhail. 2013. “Geographical Metanarratives in Russia and the European
East: Contemporary Pan-Slavism.” Eurasian Geography and Economics
53(5):575-595.
Szczepanski, Marcin. 2015. “Economic Impact on the EU of Sanctions Over
Ukraine Conflict.” European Parlimentary Research Service, Oktober.
Tepavcecic, Senja. 2018. “In the Bear‟s Shadow? Rusia‟s International Image and
Its Influence on Invesments of Russian Companies in Post-Socialist
Europe.” Journal of eas-West Business 24(2):108-137.
Thompson, Michael J. 2017. “Autonomy and Common Good: Interpreting
Rossenau‟s General Will.” International Journal of Philosophical Studies
25(2).
Tolksdorf, Dominik. Mei 2007. “Implementing the Ahtisaari Proposal: The
European Union's Future Role in Kosovo.” Bertelsman Group for Policy
Research: 1-12.
Torralba, Raquel M. 2014. “Belgrage at the Crossroads: Serbian-Russian Relation
in the Light of the Ukraine Crisis.” Analyses of the Elcano Royal Institute
(ARI), Desember 22, pp. 1-12.
Turkes, Mustafa and Goksu Gokgoz. 2006. “The European Union's Strategy
Toward The Western Balkans: Exclusion or Integration?” East European
Politics and Societies 20:659-690.
Vieira, Alena V. G. 2016. “Eurasian Integration: Elite Perspective Before and
After the Ukraine Crisis.” Post-Soviet Affairs 32(6):566-580.
Vosta, Milan and Vukica Jankovic. 2016. “Serbia As a Candidate State of the EU
and Their Mutual Connection.” The Journal Political Science (4).
Veebel, Viljar. 2016. “Lessons From The EU Russian Economic Relations.”
Baltic Journal of Law and Politics 8(1):167-185.
xix
Vujacic, Veljko. 2004. “Perceptions of the State in Russia and Serbia: The Role of
Ideas in the Soviet and Yugosav Collapse.” Post-Soviet Affairs 20(2): 164-
194.
Wang, Wan. 2015. “Impact of Western Sanctions On Russia In The Ukraine
Crisis.” Journal of Politics and Law 8(2):1-6.
Weber, Bodo and Kurt Bassuener. September 2014. “The Western Balkans and
the Ukraine Crisis - A Changed Game For EU and US Policies?” DPC
Policy Paper: 1-25.
Wendt, Alksander. 1994. “Collective Identity Formation and the International
State.” American Political and Science Review 88(2):384-396.
Wengle, Susanne. 2016. “The Domestic Effects Of The Russian Food Embargo.”
Demokratizatsiya 24(3).
Wochnik, Jelena O. 2012. “Europeanising the „Kosovo Question‟: Serbia‟s
Policies in the Context of EU Integration.” West European Politics
35(5):1158-1181.
Wunsch, Natasha. 2017. “Between indifference and hesitation: France and EU
enlargement towards the Balkans.” Southeast European and Black Sea
Studies 17(4):541-554.
Ylinkilicli, Yalin. 2014. “From Neo-Balkanization To Europeanization:
Institutional Change Anf Regional Cooperation In The Western Balkans.”
Journal of Bakan Research Institute 3(2): 127-149.
Zabaev, Ivan, Yana Mikhaylova, and Daria Oreshina. 2018. “Neither Public Nor
Private Religion: The Russian Orthodox Church in the Public Sphere of
Contemporary Russia.” Journal of Contemporary Religion 33(1):17-38.
Zafar, Shaista S. 2015. “The Ukraine Crisis And The EU.” Journal of European
Studies 31(2).
Zadorozhny, Olexandr. 2014. “Comparative Characteristic Of The Crimea And
Kosovo Cases: International Law Analysis.” European Political And Law
Discourse 1(3).
Zakowska, Marzena. 2016. “Strategic Challenge For Serbia's Integration With
The European Union.” And Defence Quarterly, Juli, pp. 5-31.
Zoric, Bojana. 2017. “Assesing Russian Impact On The Western Balkan
Countries EU Accessio: Cases of Croatia and Serbia.” Journl of Liberty and
International Affairs 3(2):9-19.
xx
C. PENELITIAN
Drazovic, Aleksandra. 2011. EU External Economic Relations With Serbia:
Legal, Trade and Economic Aspects. Thessaloniki: University of
Macedonia.
D. DOKUMEN RESMI Council of the European Union. 22 Juli 2013. “Council And Commission
Decision of 22 July 2013 on the conclusion of the Stabilisation and
Association Agreement between the European Communities and their
Member States, of the one part, and the Republic of Serbia, of the other
part.” Official Journal of the European Union L (278).
European Commission. 29 Mei 2019. “Communication From The Commission To
The European Parliament, The Council, The European Economic and Social
Committe and The Committe of the Regions.” Official Journal of the
European Union COM (260 final)
European Parliament. 12 Maret 2015. “European Parliament resolution of 12
March 2015 on the Annual Report from the High Representative of the
European Union for Foreign Affairs and Security Policy to the European
Parliament.” Annual report from the High Representative of the European
Union for Foreign Affairs and Security Policy to the European Parliament
P8_TA(2015)0075
Ministry oof Foreign Affairs of the Republic Serbia. 21 Agustus 2018. “Without
the support of Russia, no solution can be reached between Belgrade and
Pristina.” Ministry of Foreign Affairs of the Republic of Serbia Press
Service.
E. WEBSITE RESMI
European Council on Foreign Relations. 2018. “The EU as seen from Serbia.”
Diakses pada 26 Mei 2019
(https://www.ecfr.eu/article/commentary_the_eu_as_seen_from_serbia).
European Parliement. 2015. “Annual Report From the High Representative of the
European Union.” Diakses pada 26 April 2019
(http://www.europarl.europa.eu/sides/getDoc.do?pubRef=-
//EP//TEXT+TA+P8-TA-2015-0076+0+DOC+XML+V0//EN).
Macro Connection at MIT Lab. 2016. “Serbia (SRB) Exports, Imports, and Trade
Partners”. Observatory of Economic Complexity. Diakses pada 17 Maret
2019 (https://atlas.media.mit.edu/en/profile/country/srb/).
xxi
Smith, Whitney. 2013. “Flag of Serbia.” Encyclopedia Britannica. Diakses pada
29 April 2019 (https://www.britannica.com/topic/flag-of-Serbia).
Statictical Office of the Republic Serbia. 2011. “Trade in goods between Serbia
and the EU (2001-2010) in millions of EUR. Monthly Statistical Bulletin
3/2011. Diakses pada 19 Maret 2019
(http://webrzs.stat.gov.rs/WebSite/repository/documents/00/00/35/04/MSB0
3_2011)
F. BERITA ONLINE
B92 News. 2018. “Germany, not Lithuania, blocking Serbia‟d chapter 31?.”
Diakses pada 28 Mei 2019
(https://www.b92.net/eng/news/world.php?yyyy=2018&mm=08&dd=17&n
av_id=104882).
B92 News. 2018. “Lithuania blocking chapter because of Belgrade-Moscow ties.”
Diakses pada 28 Mei 2019
(https://www.b92.net/eng/news/politics.php?yyyy=2018&mm=07&dd=31&
nav_id=104749).
Balkan Insight. 2014. “Hahn Tells Serbia to Join Sanctions.” Diakses pada 27 Mei
2019 (http://www.bbc.com/news/business-28539928).
BBC News. 2014. “Russia Sanction Against Russia Over Ukraine Crisis.”
Diakses pada 26 Januari 2019 (http://www.bbc.com/news/business-
28539928).
Collaku, Petrit. 2015. “Kosovo‟s UNESCO Membership Bid Fails.” Balkan
Insight. Diakses pada 29 April 2019
(https://balkaninsight.com/2015/11/09/kosovo-unesco-membership-vote-11-
09-2015/).
Chappel, Bill and Mark Memmott. 2014. “Putin Says Those Aren't Russian Forces
In Crimea.” National Public Radio. Diakses pada 26 Desember 2016
(http://www.npr.org/sections/thetwoway/2014/03/04/285653335/putinsaysth
osearentrussianforcesincrimea).
Dzidic, Denis and Ivana Nikolic. 2015. “Serbs Suggest Russia Veto for Srebrenica
Resolution.” Balkan Insight. Diakses pada 27 April 2019
(https://balkaninsight.com/2015/06/17/serbs-suggest-russia-veto-for-
srebrenica-resolution/).
Englund, Will. 2014. “Kremlin Says Crimea Is Now Officially Part of Russia
After Treaty Signing.” The Washington Post. Diakses pada 13 Januari 2019
xxii
(https://www.washingtonpost.com/world/russias-putin-prepares-to-annex-
crimea/2014/03/18/933183b2-654e-45ce-920e-
4d18c0ffec73_story.html?utm_term=.8dd3e1e940cf).
EurActiv. 2014. “EU Tries To Limit Damage From Russian Food Embargo.”
Diakses pada 23 Februari 2019 (https://www.euractiv.com/section/europe-s-
east/news/eu-tries-to-limit-damage-from-russian-food-embargo/).
EurActiv. 2019. “Serbia in the EU in 2025-Mission (im)possible.” Diakses pada
27 Mei 2019 (https://www.euractiv.com/section/enlargement/news/serbia-
in-the-eu-in-2025-mission-impossible/).
EU Press. 2014. “Joint Statement on Crimea by President of the European Council
Herman Van Rompuy.” Diakses pada 20 Januari 2019
(http://www.consilium.europa.eu/uedocs/cms_data/docs/pressdata/en/ec/141
566.pdf).
European Union Newsroom. 2016. “EU Sanctions Against Russia over Ukraine
Crisis.” Diakses pada 12 Desember 2018
(https://europa.eu/newsroom/highlights/special-coverage/eu_sanctions_en).
Gallup Daily News. 2016. “Russians, EU Residents See Sanctions Hurting Their
Economies.” Diakses pada 28 April 2019.
(http://www.gallup.com/poll/191141/russiansresidentssanctionshurtingecon
omies.aspx; Internet; diakses pada 8 Februrari 2017).
Gieseke, Lauren. 2014. “Russian Sanctions Pose Particular Strains on Aspiring
EU and NATO Candidate States.” European Institute. Diakses pada 20
Februari 2019 (http://europeaninstitute.org/index.php/ei-blog/240-july-
2014/1870-russian-sanctions-pose-particular-strains-on-aspiring-eu-and-
nato-candidate-states-7-3).
InSerbia. 2014. “EU Desires That Serbia Supports The Joint View On Ukraine.”
Diakses pada 19 April 2019 (https://inserbia.info/today/2014/04/davenport-
eu-desires-that-serbia-supports-the-joint-view-on-ukraine/).
InSerbia. 2014. “Montenegro, Albania impose sanctions against Russia.” Diakses
pada 23 Februari 2019 (http://inserbia.info/today/2014/03/montenegro-
albania-impose-sanctions-against-russia/).
Lukic, Filip. 2019. “The French are clear – Serbia cannot enter the Eu in 2025.”
European Western Balkans. Diakses pada 29 Mei 2019
(https://europeanwesternbalkans.com/2019/04/09/french-clear-serbia-
cannot-enter-eu-2025/).
xxiii
Jozwiak, Rikard. 2013. “Explainer: What Is An EU Association Agreement.”
Radio Free Europe Radio Liberty. Diakses pada 23 Oktober 2018
(http://www.rferl.org/a/eu-association-agreement-explained/25174247).
Massy-Beresford, Helen. 2013. “Serbia Wants In The European Union -- But
Does It Have The Economy, And The Human Rights Record, To Make It ?”
International Business Time. Diakses pada 12 Februari 2019
(http://www.ibtimes.com/serbia-wants-european-union-does-it-have-
economy-human-rights-record-make-it-1507710).
Radio Free Europe Radio Liberty. 2019. Diakses pada 26 Mei 2019
(https://www.rferl.org/a/eu-commission-calls-for-start-of-north-macedonia-
albania-accession-talks/29970623.html).
Rettman, Andrew. 2014. “Germany Backs More EU Sanctions On Russia.” EU
Observer. Diakses pada 26 Maret 2019
(https://euobserver.com/foreign/125007).
Reuters. 2014. “U.S., EU Set Sanctions as Putin Recognizes Crimea Sovereignty.”
Diakses pada 3 Februari 2019 (http://www.reuters.com/article/us-ukraine-
crisis-idUSBREA1Q1E820140317).
Ristic, Marija. 2014. “Serbia Rules Out Joining Sanctions on Russia.” Balkan
Insight. Diakses pada 3 Maret 2019
(www.balkaninsight.com/en/article/serbia-stays-neutral-towards-ukraine-
crises-dacic).
Russia Insider. 2015. “Russia Sanctions Triggered Worst EU Dairy Crisis in 30
Years.” Diakses pada 21 Januari 2019 (http://russia-
insider.com/en/politics/european-dairy-industry-crisis-due-russian-food-
embargo/ri9181).
Russia Today. 2014. “Europe In Shock As Ukraine Kills Integration Plan, Says
Mission Is Over.” Diakses pada 21 Desember 2018
(https://www.rt.com/news/eu-ukraine-agreement-reaction-125/).
Russia Today. 2014. “Putin Bans Agricultural Imports From Sanctioning
Countries For 1 Year.” Diakses pada 23 Desember 2018
(https://www.rt.com/news/178484-putin-russia-sanctions-agriculture/).
Synovitz, Ron. 2014. “Explainer: The Budapest Memorandum And Its Relevance
To Crimea.” Radio Free Europe Radio Liberty. Diakses pada 3 Februari
2019 (http://www.rferl.org/a/ukraine-explainer-budapest-
memorandum/25280502.html).
xxiv
The Wall Street Journal. 2015. “List G-7 Agrees To Exclude Russia.” Diakses
pada 21 November 2018
(http://www.wsj.com/articles/SB10001424052702303949704579458753312
382992).
The Washington Post. 2014. “Transcipt: Putin Says Russia Will Protect The
Rights of Russian Abroad.” Diakses pada 26 November
(https://www.washingtonpost.com/world/transcript-putin-says-russia-will-
protect-the-rights-of-russians-abroad/).
UrduPoint News. 2019. “EU Looking To Put Pressure On Serbia.” Diakses pada
30 April 2019 (https://www.urdupoint.com/en/world/serbia-never-to-join-
anti-russia-sanctions-de-581054.html).
Novosti, Ria. 2014. “Belgrade will not sanction Russia over its handling of the
crisis in Ukraine, Serbia's First Deputy Prime Minister Aleksandar Vucic
said Tuesday.” Sputnik News. Diakses pada 23 Februari 2019
(http://sputniknews.com/world/20140401/188967552/Serbia-Refuses-to-
Back-EU-Sanctions-Against-Russia-Over-Crimea-.html#ixzz44ebjmcqL)
Novosti, Vecernje. 2014. “Serbia must honor commitments, impose sanctions.”
B92 News. Diakses pada 27 Mei 2019
(https://www.b92.net/eng/news/politics.php?yyyy=2014&mm=11&dd=20&
nav_id=92307)
Zivanovic, Mega. 2018. “Serbia Backsliding on EU Accession Progress, NGOS
Warn.” Balkan Insight. Diakses pada 29 Mei 2019
(https://www.b92.net/eng/news/politics.php?yyyy=2014&mm=11&dd=20&
nav_id=92307)