Download docx - Perayaan Sekaten

Transcript
Page 1: Perayaan Sekaten

PERAYAAN SEKATEN

(ANTROPOLOGI)

MAKALAH

(ditujukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Antropologi)

Oleh

Riza Afita Surya

110210302030

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH

UNIVERSITAS JEMBER

2013

Page 2: Perayaan Sekaten

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Keraton Yogyakarta merupakan sebuah kompleks bangunan tempat

tinggal Sri Sultan Hamengkubwono dan bekas pusat pemerintahan Kasultanan

Yogyakarta yang memiliki latar belakang keagamaan Islam. Keraton Yogyakarta

didirikan atas dasar perjanjian Giyanti atau disebut juga Palihan Nagari yang

diadakan pada hari Kamis Kliwon, tanggal 29 Raibiul akhir 1680 Jawa atau

tanggal 13 Februari tahun 1755 Masehi di Desa Giyanti (Punto H, 2001 : 1).

Pangeran Mangkubumi diangkat menjadi Sultan Yogyakarta dengan gelar

Sri Sultan Hamengkubuwono I, Senopati Ing Alaga Ngabdurahman Sayidin

Panatagama Khalifatullah (Punto H, 2001 : 2). Gelar tersebut berarti Sultan

berkewajiban menyiarkan agama Islam dalam kerajaan sesuai dengan kedudukan

dan peranan Sultan sebagai Raja Yogyakarta. Adapun nama Kasultanan

Yogyakarta yang sebenarnya adalah Ngayogyakarta Hadiningrat.

Gambaran Keraton Ngayogyakarta Hadingrat menunjukkan bahwa istana

(keraton) menjadi pusat kehidupan tradisional Masyarakat Jawa. Di sini bahasa

Jawa yang paling halus dituturkan (Kromo Inggil) dan di sini adat dan tradisi Jawa

lahir dan dikembangkan (Morrison, 2002 : 180). Khususnya pada tradisi Sekaten,

acara ini menjadi rutinitas yang berpusatkan di Keraton dan dalam

Page 3: Perayaan Sekaten

pelaksanaannya menjadi momen ribuan umat Islam yang menanti datangnya pada

bulan Maulud.

Berakhirnya era Kerajaan Hindu dan berdirinya Kerajaan Islam memang

memberi pengaruh, tetai tidak dalam pengertian Tradisi Sekaten. Pengaruh Islam

dalam tradisi hanyalah dalam batas-batas tertentu secara implisit berupa ajaran

(Fenanie, 2000 : 229). Tradisi Sekaten sebagai bagian dari aktivitas Keraton,

akhirnya menjadi tradisi turun-temurun masyarakat Yogyakarta pada umumnya

dan kerabat Keraton khususnya.

Perayaan Sekaten sebagai upacara tradisional sebagai upacara tradisional

keagamaan Islam merupakan ekspresi masuk dan terisolasinya Islam ke Bumi

Nusantara. Tradisi Sekaten mengandung tiga dimensi penting, yaitu kultural,

religius, dan historis (Sultan, 12 Mei 2004). Sebagai peristiwa budaya, Sekaten

dijadikan memontum penitng untuk merekonstruksi letak koordinat budata Jawa

yang diselenggarakan tiap tahun dalam rangka memperingati kelahiran Nabi

Muhammad SAW.

Tradisi Sekaten merupakan salah satu aset budaya Jawa yang

dipertahankan hingga sekarang. Upacara ini merupakan suatu peristiwa tradisional

yang sangat populer serta senantiasa menarik antusias masyarakat.

Upacara tradisi Sekaten juga merupakan bagian dari adat istiadat yang

merupakan salah satu upaya masyarakat Jawa untuk menjaga keharmonisan

dengan alam, dunia roh, dan sesamanya.

Berdasarkan uraian di atas, penulis bermaksud menjelaskan sejarah,

proses, dan pelaksanaan tradisi Sekaten di Keraton Yogyakarta sebagai bahan

yang patut dikaji dan pelihara sert menambah pengetahuan terhadap budaya

tradisional yang ada di Jawa.

1.2 Rumusan Masalah

Page 4: Perayaan Sekaten

1. Bagaimana asal-usul dan sejarah tradisi Sekaten di Keraton

Ngyogyakarat Hadiningrat ?

2. Bagaimana prosesi atau pelaksanaan tradisi Sekaten di Keraton

Ngyogyakarat Hadiningrat ?

3. Bagaimana makna simbolis dari pelaksanaan tradisi Sekaten di

Keraton Ngyogyakarat Hadiningrat ?

BAB 2. PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Lahirnya Tradisi Sekaten di Keraton Ngayogyakarta

Hadiningrat

Kerajaan Demak pada pemerintahan Raden Patah (Sultan Ngabdul Surya

Ngalam I) diadakan perubahan drastis tanpa disosialisasikan dengan para Wali

terlebih dahulu, yaitu Selamatan Negara Tahunan ditiadakan karena dianggap

tidak sesuai dengan ajaran Agama Islam. Hal tersebut menimbulkan keresahan

bagi masyarakat yang tidak bisa menerima kehendak Sultan. Bersamaan dengan

ditiadakannya upacara tersebut diseluruh wilayah Kerajaan Demak timbul wabah

penyakit yang banyak menyebabkan kematian warga masyarakat. Atas nasihat

Wali Sanga untuk membangkitkan lagi kepercayaan masyarakat, maka Sultan

Demak berkenan mengadakan kembali Upacara Selamatan Negara Tahunan yang

dikemas dan diselaraskan dengan ajaran Islam dibawah binaan Sunan Giri dan

Sunan Bonang (Wignyasubrata : 2). Tidak lama kemudian, wabah penyakit reda

dan rakyat hidup tentram.

Sejak saat itulah Perayaan Sekaten diselenggarakan sebagai perwujudan

pengganti serta pelestarian Selamatan Negara Tahunan yang selal diselenggarakan

Raja Hindu-Budha secara turun temurun. Pada perkembangannya perayaan

Sekaten (Garebeg Maulud) di Demak diikuti oleh daerah lain seperti Surakarta,

Page 5: Perayaan Sekaten

Yogyakarta, Cirebon, Banten dan Aceh. Khususnya di Yogyakarta, Surakarta, dan

Cirebon perayaan Maulud disebut Sekaten (Mustafa, 2004 : 86).

Sekaten diperkenalkan oleh Raden Patah di Demak abad 16. Saat itu orang

Jawa beralih memeluk agama Islam dengan mengucapkan syahadatain. Oleh

karena itu, penggunaan nama Sekaten pada perayaan tersebut menjadi terkenal.

Perayaan Sekaten kemudian diteruskan oleh Sultan-sultan berikutnya sehingga

menjadi perayaan tahunan yang diperingati oleh banyak masyarakat. Sekaten

menjadi nilai peninggalan dari hasil interaksi antara budaya Hindu-Budha dan

Islam yang berbentuk kebudayaan Non Fisik. Proses interaksi tersebut secara

langsung mempercepat proses Islamisasi di Pulau Jawa.

Istilah Sekaten berasal dari bahasa Arab kata syahadatain, pengakuan

percaya kepada ajaran agama Islam, tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad

adalah Rasul-nya (Mustafa, 2004 : 148).

Sekaten selain berasal dari kata syahadatain, juga berasal dari

kata:

1) Sahutain : menghentikan atau menghindari perkara dua,

yakni sifat lacur dan menyeleweng.

2) Sakhatain : menghilangkan perkara dua, yaitu watak hewan

dan sifat setan karena watak tersebut sumber kerusakan.

3) Sakhotain : menamankan perkara dua, yaitu selalu

memelihara budi suci atau budi luhur dan selalu

menghambakan diri pada Tuhan.

4) Sekati : setimbang, orang hidup harus bisa menimbang

atau menilai hal-hal yang baik dan buruk.

5) Sekat : batas, orang hidup harus membatasi diri untuk tidak

berbuat jahat serta tahu batas-batas kebaikan dan kejahatan.

Page 6: Perayaan Sekaten

Kerajaan Mataram yang beribukota di Surakarta tahun 1755 pecah menjadi

dua, ialah Kasunanan Surakarta yang beribukota di Surakarta (Sala) di bawah

pimpinan Sri Sunan Pakubuwono III dan Kasultanan Yogyakarta yang beribukota

di Ambarketawang Gamping, kemudian pindah di kota Yogyakarta yang sekarang

di bawah pimpinan Sultan Hamengkubuwono X. Pemecahan Kerajaan Mataram

menjadi dua ditentukan dalam perjanjian

Giyanti (Poerwokoesoemo, 1971 : 1).

Pusaka Keraton dibagi menjadi dua, seperti halnya gamelan. Kasunanan

Surakarta memperoleh Gamelan Kiai Guntursari dan Kasultanan Ngayogyakarta

Hadiningrat memperoleh Gamelan Kanjeng Kiai Gunturmadu. Sebagai imbangan

supaya tetap dua perangkat lalu dibuat perangkat gamelan yang lain dan diberi

nama Kanjeng Kiai Nagawilaga. Gamelan inilah yang nantinya digunakan dalam

setiap perayaan Sekaten, yang kemudian menjadi khasnya alat musik perayaan

Sekaten.

Garebeg Maulud (Sekaten) pada masa Hamengkubuwono I merupakan

upacara Kerajaan yang melibatkan seisi Keraton, seluruh aparat Kerajaan, seluruh

lapisan masyarakat dan mengharuskan para pembesar Pemerintah Kolonial

berperan serta.

Dari penyelenggaraan Sekaten, secara publik terlihatlah kehadiran

Kasultanan Yogyakarta yang baru berdiri sebagai kehadiran tradisi Jawa

Islam. Sekaten yang secara formal bersifat keagamaan dikaitkan dengan hari

kelahiran Nabi Muhammad SAW. Dari situ secara publik juga menjabarkan

gelar Sultan yang bersifat kemusliman : Ngabdurrahman Sayidin Panatagama

Kalifatullah (Mondoyokusumo, 1977 : 9).

Sekaten yang menurut sejarahnya merupakan upacara tradisional

keagamaan Islam dalam membentuk akhlak dan budi pekerti luhur, tetap

dilestarikan oleh para pengganti Sri Sultan Hamengkubuwono I (Soelarto,

1996 : 19).

Page 7: Perayaan Sekaten

Jika Kerajaan dalam keadaan gawat, misalnya dalam keadaan perang maka

penyelenggaraan Sekaten dapat ditiadakan. Disisi lain meski Kerajaan dalam

keadaan gawat, namun jika memungkinkan Baginda atau Wakil Baginda tetap

melangsungkan upacara Sekatenan. Misalnya yang terjadi antara bulan Desember

1810-September 1811 Kasultanan Yogyakarta dilanda kemelut. Gubernur

Jenderal Daendels menurunkan Sri Sultan Hamengkubuwono II (Sultan Sepuh)

dari tahta Kerajaan dan menggantikannya dengan Putra Mahkota untuk menjadi

Sultan yang ke-III.

Meski dalam suasana kemelut tetapi Sekaten tetap diselenggarakan.

Seperti waktu garebeg sijam Maulud dan Besar, Beliau (Sultan Sepuh)

dipersilahkan datang, Beliau duduk disebelah anaknya (Soetanto, 1952 : 74-75).

Terbentuknya tradisi Sekaten merupakan ekspresi masuk dan tersosialisasinya

Islam kebumi Nusantara secara damai, karena memang Islam sendiri tidak

mengenal kekerasan. Itulah sebabnya agama Islam mendapat banyak simpati dari

masyarakat di Jawa.

Dalam perjalanan sejarah tradisi Sekaten tidak lagi menjadi milik

Kerajaan saja, tetapi rakyat DIY merasa ikut memilikinya (melu handarbeni).

Bagi sebagian besar masyarakat di Propinsi DIY, baik masyarakat perkotaan

maupun masyarakat pedesaan tradisi Sekaten selain dinilai sebagai upacara

religius keislaman yang bercorak khas kejawen dengan segala hikmah dan

berkah yang juga merupakan kebanggaan daerah yang selalu mengingatkan

kepada sejarah zaman keemasan Kerajaan Mataram Islam yang didirikan oleh

Panembahan Senopati (Soelarto, 1996: 24).

2.2 Prosesi Tradisi Sekaten di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat

Upacara Sekaten merupakan upacara dan perayaan Keraton terbesar,

karena pergelarannya merupakan upacara memperingati hari lahir Nabi

Muhammad SAW, sehingga dalam melaksanakan persiapan perayaan Sekatenan,

khususnya Abdi Dalem Keparak Para Gusti harus benar-benar dalam keadaan

suci. Ini dimaksudkan untuk menjaga kemurnian dan kekhusyukan nilai religius

Page 8: Perayaan Sekaten

dalam peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW yang jatuh pada tanggal 12

bulan Maulud.

Pada peringatan upacara Sekaten di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat

Abdi Dalem tetap mengenakan pakaian tradisional yaitu baju pranakan beserta

perlengkapannya dan baju kebesaran yang lain sesuai dengan tugasnya waktu

pelaksanaan Sekatenan. Pelaksanaan upacara Sekaten pada masa pemerintahan

Hamengkubuwono IX dan Hamengkubuwono X banyak terdapat kesamaan, baik

dari rangkaian upacara maupun gunungan yang dipergunakan dalam upacara

Garebeg Maulud itu.

Penyelenggaraan upacara Sekaten ternyata masih dapat diterima baik oleh

masyarakat setempat walaupun zaman banyak mengalami perubahan. Upacara

Sekaten tidak hanya dipadati oleh kalangan pemuda-pemudi yang ingin mencari

hiburan, tetapi juga masyarakat yang sudah lanjut usia juga memadati Alun-alun

untuk mendapatkan berkah. Itu dapat diperhatikan ketika gunungan diperebutkan

oleh masyarakat. Sebagian masyarakat berusaha untuk mendapatkan bagian dari

gunungan itu, seperti hiasan telur ataupun hiasan kue-kue.

Mereka percaya bahwa dengan mendapatkan bagian dari gunungan itu,

mereka akan mendapatkan berkah (Artikel Theuraphy, 2005 :

1). Biasanya setelah mereka mendapatkan bagian dari gunungan itu, mereka

meletakkan bagian dari gunungan itu di sawah mereka, tujuannya agar sawah

yang mereka miliki dapat tumbuh subur dan panen dapat berhasil. Selain bagian

dari gunungan, yang menjadi sasaran dari masyarakat ialah hiasan bunga melati

yang dipakai pada keris Pandega atau Manggala Yuda GBPH. Drs.H. Prabu

Yudaningrat, M.M diminta oleh masyarakat. Itu semua karena adanya rasa

kepercayaan masyarakat Jawa terhadap kekuatan lain. Mereka percaya bahwa

dengan mendapatkan sesuatu milik keluarga Keraton, mereka akan mendapatkan

berkah dari benda yang dimilikinya.

Secara garis besar, upacara Sekaten pada masa Hamengkubuwono IX

dan Hamengkubuwono X melibatkan peranan Abdi Dalem dalam pelaksanaan

dan perkembangannya serta banyak terdapat kesamaannya. Adapun rangkaian

Page 9: Perayaan Sekaten

upacara Sekaten pada Hamengkubuwono IX dan Hamengkubuwono X melibatkan

Abdi Dalem secara signifikan, diantaranya pada kegiatan :

a. Perayaan Upacara Sekaten pertama kali diawali dengan diadakannya Slametan

atau Wilujengan yang bertujuan untuk mencari ketentraman dan ketenangan.

Slametan ini menandai dimulainya pembuatan ubo rampai atau perlengkapan

gunungan (Setyastuti, 1999 : 106). Ini juga menandai kegiatan Pasar Malam

Perayaan Sekaten dimulai. Pasar Malam ini berlangsung kurang lebih 40 hari

sebelum perayaan Garebeg Maulud tiba. Pada perayaan Sekaten ini masyarakat

banyak yang berkunjung hanya sekedar untuk mencari hiburan atau membeli

makanan khas yang dijual pada Pasar Malam itu.

b. Satu minggu sebelum puncak acara Sekaten (jum’at pahing) jam 21.00 WIB

gamelan dikeluarkan dari Keraton dibawa ke Masjid Agung Yogyakarta untuk

kemudian diletakkan di Pagongan Utara dan Pagongan Selatan atau Miyos

Gongso oleh Abdi Dalem Kawedanan Hageng Punokawan Kridhomardowo yang

bertugas dalam bidang kesenian dan Abdi Dalem Konco Gladhag yang membawa

gamelan serta perangkatnya dari Keraton ke Pagongan Utara dan Pagongan

Selatan Masjid Agung Yogyakarta. Selama satu minggu gamelan dibunyikan terus

kecuali pada jam-jam tertentu yaitu saat azan dikumandangkan dan hari jum’at.

Gamelan dibunyikan oleh Abdi Dalem Kawedanan Hageng Punokawan

Kridhomardowo. Instrumen Jawa atau gamelan dipakai sebagai bentuk kesenian

yang paling digemari rakyat Jawa, karena dapat dipakai sebagai media atau alat

untuk dakwah Islam dengan membunyikan gamelan Jawa dan segala macam

bentuk keseniannya maka rakyat akan datang.

c. Rangkaian upacara Sekaten yang kedua ialah Upacara Numplak Wajik, yang

bertempat di Magangan Kidul Upacara Numplak Wajik sebagai awal dimulainya

pembuatan gunungan wadon. Upacara Numplak Wajik diawali dengan iringan

Gejog Lesung yang dilakukan oleh Abdi Dalem Konco Gladhag. Tujuannya agar

dalam pembuatan gunungan wadon dapat berjalan lancar. Sebelum upacara ini

dimulai biasanya diberikan sesaji oleh Abdi Dalem Keparak Para Gusti agar

dalam pembuatan gunungan ini tidak mengalami hambatan. Pada upacara

Page 10: Perayaan Sekaten

Numplak Wajik ini, Abdi Dalem Bupati Kawedanan Hageng Punokawan

Widyobudoyo juga hadir untuk memimpin jalannya upacara Numplak Wajik.

d. Acara selanjutnya, jam 18.30 WIB dilaksanakan Miyos Dalem di Masjid Agung

Yogyakarta. Acara ini dihadiri oleh Sri Sultan, pembesar Keraton, para Bupati,

Abdi Dalem Keraton dan masyarakat Yogya. Selain itu, juga ada banyak

wisatawan mancanegara yang sengaja hadir untuk menyaksikan Miyos Dalem

milik sejuta umat itu. Pada upacara Miyos Dalem, dihadapan Sri Sultan dan

pembesar Keraton Abdi Dalem Bupati Punokawan Kawedanan Hageng Pengulon

membacakan Siratun Nabi (riwayat hidup Nabi Muhammad SAW). Sebelum

Miyos Dalem dilaksanakan, Sri Sultan menyebar udhik-udhik yang telah

disiapkan oleh Abdi Dalem Keparak Para Gusti di depan pintu Pagongan Selatan

dan Pagongan Utara Masjid Agung Yogya dimana selama 7 hari berturut-turut

kedua Gamelan sekaten dibunyikan yaitu Gamelan Kanjeng Kiai Guntur Madu

dan Gamelan Kanjeng KiaiNagawilaga dihadapan masyarakat yang menghadiri

upacara Miyos Dalem. Miyos Dalem berakhir ditandai dengan pelaksanaan

Kondur Gongso atau gamelan dibawa masuk lagi ke Keraton jam 23.00 WIB oleh

Abdi Dalem Kawedanan Hageng Punokawan Kridomardhowo dan Abdi Dalem

Konco Gladhag yang diiringi Abdi Dalem Tepas Keprajuritan sebanyak 4 bergodo

Miyos Dalem Sri Sultan Hamengkubuwono menuju ke Masjid Agung ini

didahului 4 bergodo prajurit, para gusti bendera pangeran, serta para Abdi Dalem

Sipat Bupati yaitu Abdi Dalem tingkat tinggi di Keraton (Abdi Dalem yang

berpangkat Bupati Punokawan). Prosesi ini menandai berakhirnya pelaksanaan

Upacara Sekaten yang akan mencapai puncak acara pada keesokan

harinya.

e. Sebagai rangkaian upacara terakhir dari Tradisi Sekatenan yaitu puncak acara

Garebeg Maulud, yang ditandai dengan dikeluarkannya Hajad Dalem Pareden

(gunungan) tepat tanggal 12 bulan Maulud jam 08.30 WIB. Dalam Garebeg

Maulud ini Sri Sultan mengeluarkan Hajad Dalem berupa 6 gunungan diantaranya

: 2 buah gunungan lanang (1 buah gunungan untuk berkatan ke Pakualaman), 1

buah gunungan wadon, 1 buah gunungan dharat, 1 buah gunungan gepak, dan 1

buah gunungan pawuhan. Urutanan jalannya upacara Garebeg Maulud masa

Page 11: Perayaan Sekaten

pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono X sama dengan masa pemerintahan

Sri Sultan Hamengkubuwono IX , ialah :

Pertama kali yang keluar adalah Prajurit Wirobraja, Prajurit Daheng, Prajurit

Patangpuluh, Prajurit Jagokaryo, Prajurit Nyutro, Prajurit Ketanggung, dan

Prajurit Mantrijero. Hampir semua kesatuan prajurit Abdi Dalem tepas

Keprajuritan dikeluarkan sebagai tanda kelengkapan kebesaran Keraton. Tetapi

apabila Prajurit keluar melalui Sitihinggil, Prajurit Nyutro dan Mantrijero

mendapat urutan paling belakang sendiri. Beberapa menit kemudian GBPH. Drs.

H. Prabu Yudaningrat, M.M, miyos dari Sitihinggil diikuti oleh para Abdi Dalem,

disini beliau berperan sebagai manggala yuda atau inspektur upacara.

Setelah inspektur upacara sampai di alun-alun diadakan penghormatan

oleh semua prajurit yang dipimpin seorang Pandega. Penghormatan dimaksudkan

untuk menghormati kedatangan inspektur upacara di alunalun. Kemudian setelah

penghormatan selesai dilakukan dimulailah upacara Garebeg Maulud di alun-alun.

Setelah selesai mengadakan upacara pembukaan, beberapa jam kemudian

Abdi Dalem prajurit Bugis keluar dari Kagungan dalem Sitihinggil mengawal

keluarnya Hajad Dalem gunungan, di depan iring-iringan gunungan tersebut ada

beberapa Abdi Dalem Bupati Nayoko dari Keraton Yogyakarta.

Adapun urutan dibawanya gunungan (pareden) awalnya pareden disiapkan

di Bangsal Ponconiti (Keben), kemudian diusung oleh Abdi Dalem ke Masjid

Agung tepat jam 08.30 melalui halaman Sitihinggil, Gedhong Pagelaran, Alun-

alun Utara, dan berakhir di halaman depan Masjid Agung.

Dari Abdi Dalem Tepas Keprajuritan mengeluarkan 8 bergodo prajurit

Keraton yang melakukan display dari istana sampai alun-alun Utara. 2 bergodo

prajurit Keraton yang lain menunggu di Keben dan seterusnya mengawal

gunungan sampai kedepan Regol Masjid Agung. Setiap 1 bergodo prajurit terdiri

dari 50 orang. Jadi semuanya kurang lebih ada 400 orang prajurit.

Ketika arak-arakan yang membawa gunungan mendekati Alun-alun Utara,

kesatuan prajurit Keraton melakukan 3 kali tembakan salvo sebagai tanda

penghormatan. Kemudian 5 gunungan langsung dibawa ke Masjid Agung untuk

didoakan yang dipimpin oleh Pengulu dari Abdi Dalem Kawedanan Pengulon,

Page 12: Perayaan Sekaten

setelah itu kesemua gunungan menjadi rebutan bagi masyarakat yang hadir

sebagai berkah dari Ngarso Dalem. Sedangkan 1 buah gunungan lanang dibawa

ke Pakualaman sebagai Hajad Dalem dari Sri Sultan kepada warga Pakualaman.

Adapun yang membawa gunungan ke Pakualaman adalah Prajurit Lombok

Abang dan Prajurit Plangkir yang berseragam biru. Sesampainya di Pakualaman

gunungan tersebut langsung dibawa ke Masjid Pakualaman untuk didoakan,

setelah itu sama seperti kelima gunungan di Keraton Yogyakarta, gunungan yang

diberikan kepada Pakualaman inipun menjadi rebutan masyarakat sekitar yang

hadir.

Setelah semuanya berjalan lancar, kemudian pandega melapor kepada

manggala yuda bahwa Upacara Garebeg Maulud telah selesai, lalu manggala yuda

memberikan izin agar semua prajurit ditertibkan. Semua prajurit kembali ke

Kagungan Dalem Pracimasana melalui Bangsal Siti Hinggil dan Bangsal

Ponconiti. Dengan demikian, upacara Sekaten telah berakhir dengan ditandai

pelaksanaan puncak acara Garebeg Maulud

Upacara Sekaten dari zaman Sultan-sultan terdahulu sebagai upacara

adat Keraton, dan sampai sekarangpun upacara Sekaten tersebut masih dianggap

sebagai upacara yang sudah dimiliki oleh KeratonYogyakarta selama bertahun-

tahun.

2.3 Makna dan Nilai Simbolis Pelaksanaan Tradisi Sekaten di Keraton

Ngayogyakrta Hadiningrat

Pelaksanaan tradisi Sekaten jika dihubungkan dengan teori Kebudayaan

Malinowski dalam bukunya Roland Robertson (1992 : 53), yang mengemukakan

bahwa semua unsur kebudayaan bermanfaat bagi masyarakat yang memiliki unsur

kebudayaan itu.

Dalam hal ini masyarakat Yogya yang setiap tahun tepatnya bulan Maulud

selalu mengadakan tradisi Sekatenan menganggap Upacara Sekaten sangat perlu

untuk dilaksanakan. Selain melaksanakan tradisi leluhur yang telah dilaksanakan

selama berabad-abad lamanya, masyarakat juga yakin Sekaten bermanfaat dan

Page 13: Perayaan Sekaten

mempunyai peran penting dalam proses pembentukan akhlak dan budi pekerti

luhur masyarakat.

Sekaten sebagai instrumen dalam memenuhi kebutuhan religius tetap

dilaksanakan oleh masyarakat penerusnya dan mempunyai beberapa makna dan

manfaat yang sangat penting sekali. Bagi Keraton tradisi Sekaten tidak hanya

bermakna religius, tetapi juga bermakna historis dan kultural. Makna religius,

berkaitan dengan kewajiban Sultan untuk mensyiarkan ajaran agama Islam dalam

Kerajaannya, sesuai dengan kedudukan dan peranan Sultan sebagai yang

tercantum dalam rangkaian gelarnya : Sayidin Panatagama Kalifatullah. Makna

historis, berkaitan dengan keabsahan Sultan dan Kerajaannya sebagai ahli waris

sah dari Panembahan Senopati serta Kerajaan Mataram-Islam. Makna Kultural,

berkaitan dengan Sultan sebagai pemimpin suku bangsa Jawa warisan para leluhur

yang sangat kuat diwarnai oleh kepercayaan lama (Soelarto, 1996 : 24).

Dalam Upacara Tradisi Sekaten terdapat gunungan yang

merupakan simbol atau lambang yang bermakna positif.

Berbagai jenis makanan yang disiapkan dalam gunungan

tersebut mengandung nilai-nilai luhur dan harapan yang baik

bagi masyarakat pendukungnya. Adapun nilai-nilai simbolis yang

terkandung dalam setiap makanan atau sesaji yang terdapat

dalam gunungan, canthangbalung, sirih, dan pecut yang

terdapat pada Upacara Tradisi Sekaten di Keraton Kasunanan

Surakarta tersebut sebagai berikut:

1) Gunungan kakung; Gunungan selain bermakna kesuburan

juga mempunyai arti simbolik lain, gunungan kakung

melambangkan sifat baik, sedangkan gunungan putri

melambangkan sifat buruk. Dua sifat ini bila berdiri sendiri

akan menimbulkan sifat perusak, sehingga dua sifat ini harus

disatukan. Disinilah peran raja untuk menyatukan dua

kekuatan itu sehingga akan menjadi satu kekuatan yang

besar untuk kejayaan keraton. Dari sinilah raja mengeluarkan

Page 14: Perayaan Sekaten

sepasang gunungan pada waktu perayaan sekaten. Bentuk

gunungan kakung dihubungkan dengan lingga atau alat vital

laki-laki yang mengacu pada nilai-nilai kehidupan yang

menggambarkan adanya proses penciptaan manusia atau

dihubungkan dengan asal-usul manusia. Di samping itu

gunungan kakung juga menggambarkan tentang dunia dan

isinya yang mencakup berbagai unsur didalamnya, seperti

bumi, langit, tumbuh-tumbuhan, api, hewan, dan manusia itu

sendiri dengan berbagai jenis dan sifat-sifatnya. Manusia yang

dimaksud adalah seorang ksatria utama yang

menggambarkan seorang figur manusia ideal bagi orang Jawa.

2) Bendera merah putih; Bendera ini ditempatkan pada ujung

gunungan, berjumlah lima buah sebagai lambang dari sebuah

negara atau kerajaan. Warna merah bermakna semangat atau

kebenaran, sedangkan warna putih berarti suci. Warna merah

putih mengingatkan akan Kerajaan Majapahit dengan istilah

gula klapa yang melambangkan bahwa orang harus

mempunyai sifat dan semangat keberanian serta kesucian.

3) Cakra; Cakra sebagai puncak dari pangkal berdirinya

gunungan yang mempunyai makna gaman atau pusaka milik

dari Prabu Kresna yang mempunyai kekuatan dahsyat dalam

menegakkan keutamaan. Selain itu cakra sebagai simbol dari

hati yang merupakan petunjuk dan pemimpin dalam

kehidupan. Perjalanan cakra adalah berputar yang bermakna

bahwa roda kehidupan manusia itu selalu berputar, manusia

harus selalu ingat kepada Tuhan dalam keadaan senang

maupun susah.

Page 15: Perayaan Sekaten

4) Wapen; Wapen merupakan simbol yang digunakan sebagai

lambang. Adapun wapen dalam gunungan yang dimaksud

adalah petunjuk bagi keselamatan dan kekuasaan dari Raja

Surakarta yang bertahta.

5) Kampuh; Kampuh adalah kain berwarna merah putih yang

menutupi jodhang (tempat makanan) yang bermakna :

kesusilaan : kampuh dibuat sebagus mungkin yang

membuktikan kepribadian, pepatah Jawa mengatakan

ajining salira saka busana yang berarti dihormatinya

seseorang karena pakaiannya.

sandang, yang berarti pakaian yang dipakai oleh manusia.

Pakaian melambangkan kenyataan hidup (senang-susah,

beja-cilaka).

6) Entho-entho; Makanan berbentuk bulat telur yang terbuat

dari tepung beras ketan yang dikeringkan hingga keras,

kemudian digoreng. Hal ini bermakna keteguhan hati dalam

menghadapi masalah kehidupan dunia.

7) Telur asin; Melambangkan amal, adapun makna lain bahwa

terbagi dua bagian, bagian kuning melambangkan laki-laki,

dan bagian putih adalah perempuan. Kemudian keduanya

bersatu dan terjadi manusia baru.

8)Nasi; Melambangkan kemakmuran dari sebuah kerajaan.

9) Bahan perlengkapan dalam gunungan kakung seperti tebu,

cabe, daun pisang, terong, wortel, timun, kacang panjang dan

daging yang kesemuanya merupakan hasil dari bumi yang

dinikmati manusia. Dan juga dami (batang padi), jodhang,

Page 16: Perayaan Sekaten

sujen, peniti, jarum bundel, dan samir jene. Bahan-bahan hasil

bumi tersebut merupakan lambang dari kesuburan bumi.

10) Gunungan putri; Bentuk gunungan putri dihubungkan

dengan yoni atau alat vital perempuan. Gunungan putri

melambangkan putri sejati yang menggambarkan bahwa

seorang wanita harus memiliki badan dan pikiran yang dingin.

Sehingga dia mempunyai penangkal untuk menahan isu-isu

yang datang dari luar, baik yang menjelek-jelekkan dirinya

maupun keluarganya dan dapat menyimpan rahasia manusia

atau keluarganya. Adapun isi dari gunungan putri merupakan

makna dan lambang dari kewajiban wanita untuk menjaga

dan mengerjakan urusan belakang atau kebutuhan rumah

tangga. Gunungan putri berjalan di belakang gunungan

kakung dan gunungan anakan, yang merupakan simbol

bahwa istri bertugas sebagai pengasuh utama dari anak dan

bertanggungjawab menjaga keselamatan rumah tangga.

11) Eter; Terbuat dari seng berbentuk jantung manusia atau

bunga pisang (tuntut) yang bermakna sebagai api yang

menyala, yaitu semangat hidup yang menyala terus

ssebagaimana modang (dalam batik menggambarkan nyala

api atau uriping latu). Eter juga berwujud jantung yang

merupakan pusat kebatinan atau rohani, hal ini ada

pertimbangan kewajiban lahir batin atau dengan Allah dan

sesama manusia.

12) Bunga sebagai pengharum; Mempunyai dua makna yang

terkandung di dalamnya, yaitu makna lahiriah dapat

mendekatkan atau mendatangkan berkah bagi yang cocok

dan menjauhkan bagi yang tidak cocok. Sedangkan makna

Page 17: Perayaan Sekaten

batiniah yaitu kemuliaan atau keharuman jati diri manusia

yang diperoleh dengan amal yang baik.

13) Jajan; Terdiri dari jadah, wajik, dan jenang sebagai isi dari

jodhang yang menggambarkan hasil karya wanita dalam

dapur atau rumah tangga.

14) Uang logam; Bermakna sebagai sarana memperoleh

kebutuhan lahiriah manusia dalam hidup di dunia, dan

bermakna batiniah sebagai simbol sebagai cobaan atau ujian

hidup manusia yang dapat menggunakan dan mendatangkan

keresahan bagi yang dapat menggunakan dan mendatangkan

keresahan bagi yang tidak dapat menggunakan.

15) Gunungan anakan; Bermakna bahwa anak dari sebuah

rumah tangga yang sudah tentu diharapkan oleh orang

tuanya, anak dapat menyambung sejarah keluarga atau dapat

mikul dhuwur mendhem jero, artinya menjunjung harkat dan

martabat orang tua dengan cara menjaga nama baik orang

tua atau dalam agama Islam dikenal dengan istilah anak

sholeh yang berbakti dan mau mendoakan orang tuanya.

16) Ancak cantaka; Merupakan sedekah para abdi dalem dan

kerabat keraton yang dikeluarkan oleh raja karena mereka

ada di dalam lindungan-Nya. Melambangkan kehidupan yang

makmur tercukupi kebutuhan jasmani dan rohani. Terbinanya

kehidupan beragama dan tersedianya kebutuhan di dunia

yaitu sandang, pangan, dan papan.

17) Sega uduk atau nasi gurih dengan perlengkapan daging

ayam (ingkung), kedelai, dan pisang raja, maksudnya sebagai

Page 18: Perayaan Sekaten

lambang kehidupan yang enak atau baik, sedang yang dituju

adalah untuk para Nabi dan wali.

18) Sega janganan atau nasi sayuran; Melambangkan

kehidupan tercukupi (duniawi), sedang yang dituju adalah

para roh dan danyang. Dalam kejawen dikenal dengan kiblat

papat lima pancer yang mempengaruhi kehidupan manusia.

19) Sega asahan; Bermakna untuk menyucikan lahir dan

batin.

20) Buah-buahan atau jajan pasar; Bermakna sebagai penolak

balak atau menyingkirkan segala sumber bahaya atau

bencana yang akan terjadi.

21) Sirih; Menurut kepercayaan masyarakat, barang siapa

yang memakan sirih tepat pada saat gamelan sekaten

berbunyi untuk pertama kalinya akan awet muda. Maka

banyak orang yang berjualan sirih pada perayaan sekaten.

22) Canthangbalung; Canthangbalung adalah abdi dalem yang

bertugas membuat orang lain menjadi gembira. Disebut

Canthangbalung karena mereka membawa kepyak dari tulang

yang diselipkan pada jari-jari dan selalu dibunyikan dengan

irama “crek, crek, crek”. Mengenai nama Canthangbalung,

G.P.H. Puger mengatakan bahwa Canthangbalung adalah

nama yang diberikan kepada brahmana yang memberi sesaji

di tempat suci. Dan adanya pemakaian boreh pada badan

Canthangbalung memberikan indikasi terhadap kebiasaan

pendeta Hindu yang memboreh badannya dengan arak atau

tuak sebagai syarat untuk mencapai kesuksesan. Kesuksesan

yang dimaksud adalah agar tubuhnya dapat dimasuki roh

Page 19: Perayaan Sekaten

halus, sehingga bisa membantu manusia. Canthangbalung

dengan gayanya yang lucu dan menggelikan dimaksudkan

untuk dua orang mengikuti konsep dualis yang berlaku

menguji kesungguhan dan keteguhan iman pepatih dalem

dalam mengemban perintah ingkang Sinuhun.

23) Pecut; Pecut adalah salah satu barang yang dijual dalam

sekaten. Oleh masyarakat, pecut yang dibeli saat sekaten

dipercaya dapat menghindarkan ternak dari penyakit dan

berkembang biak bagi para peternak sapi/kambing.

Page 20: Perayaan Sekaten

BAB 3. PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Menurut Supanto (1982: 6), upacara tradisional sebagai

pranata sosial penuh dengan simbol-simbol yang berperanan

sebagai alat komunikasi antar sesama warga masyarakat, dan

juga merupakan penghubung antar dunia nyata dengan dunia

gaib. Bagi para warga yang ikut berperan serta dalam

penyelenggaraan upacara tradisional, unsur-unsur yang berasal

dari dunia gaib menjadi nampak nyata melalui pemahamannya

terhadap simbol-simbol tersebut. Upacara tradisional biasanya

diadakan dalam waktu-waktu tertentu. Ini berarti menyampaikan

pesan yang mengandung nilai-nilai kehidupan itu harus diulang-

ulang terus, demi terjaminnya kepatuhan para warga

masyarakat terhadap pranata-pranata sosial yang berlaku.

Salah satu bentuk tradisi yang masih dipertahankan ialah

Upacara Tradisi Sekaten di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Sekaten berasal dari bahasa Arab, yaitu “syahadatain” yaitu

kalimat syahadat yang merupakan suatu kalimat yang harus

dibaca oleh seseorang untuk masuk Islam, yang mempunyai arti:

Tiada tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan

Page 21: Perayaan Sekaten

Allah. Sekaten selain berasal dari kata syahadatain juga berasal

dari kata : (1) Sahutain : menghentikan atau menghindari

perkara dua, yakni sifat lacur dan menyeleweng; (2) Sakhatain :

menghilangkan perkara dua, yaitu watak hewan dan sifat setan,

karena watak tersebut sumber kerusakan; (3) Sakhotain :

menanamkan perkara dua, yaitu selalu memelihara budi suci

atau budi luhur dan selalu menghambakan diri pada Tuhan; (4)

Sekati : setimbang, orang hidup harus bisa menimbang atau

menilai hal-hal yang baik dan buruk; (5) Sekat : batas, orang

hidup harus membatasi diri untuk tidak berbuat jahat serta tahu

batas-batas kebaikan dan kejahatan.(K.R.T. Haji Handipaningrat :

3).

DAFTAR PUSTAKA

Page 22: Perayaan Sekaten

Mulianingsih, Dwi Retno. 2005. Skripsi : Peranan Abdi Dalem

dalam

Pelaksanaan Tradisi Sekaten pada Pemerintahan Sri Sultan

Hamengkubuwono IX – Sri Sultan Hamengkubuwono X di

Keraton Nyayogyakrta Hadiningrat. Semarang : Universitas

Negeri Semarang.

Saddhono, Kundharu._. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan :

Tradisi Sekaten di

Keraton Kasunanan Surakarta. Surakarta : Universitas

Sebelas Maret.

Agustina Noor Rahmawati. 2002. Sekaten Tahun Dal dan

Pengaruhnya terhadap Kehidupan Masyarakat Surakarta.

Surakarta: Fakultas Sastra dan Seni

Rupa UNS.

Anton Moeliono (penyunting). 1996. Kamus Besar Bahasa

Indonesia. Jakarta:

Balai Pustaka.

________________________. 1999. Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Jakarta:

Balai Pustaka.

Herusatoto, Budiono. 1987. Simbolisme Dalam Budaya

Jawa.Yogyakarta:

Page 23: Perayaan Sekaten

Yayasan Kanisius.

Brongtodiningrat. 1978. Arti Kraton Yogyakarta. Yogyakarta : Museum Kraton

Yogyakarta.

Gottschalk, Louis. 1975. Mengerti Sejarah. Jakarta : Universitas Indonesia.

Graaf, De. 1986. Puncak Kekuasaan Mataram (Politik Ekspansi Sultan Agung).

Jakarta : PT Temprint.