TESIS
Perbandingan Kadar Malondialdehyde (MDA) Pada Plasma Dan
Plasenta Ibu Inpartu Preeklampsia
di RSKDIA Siti Fatimah
Makassar
Comparative Levels of Malondialdehyde (MDA) in Plasma and Placenta
Inpartu Mother Preeclampsia in RSKDIA Siti Fatimah
Makassar
RISMA PUTRI UTAMA
P4400215013
PROGRAM STUDI MAGISTER KEBIDANAN FAKULTAS KEDOKTERAN
SEKOLAH PASCASARJANA
UNHAS
2017
Perbandingan Kadar Malondialdehyde (MDA) Pada Plasma Dan
Plasenta Ibu Inpartu Preeklampsia
di RSKDIA Siti Fatimah
Makassar
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Magister
Program Studi
Ilmu Kebidanan
Disusun dan diajukan oleh
RISMA PUTRI UTAMA
Kepada
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat,
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penyusunan tesis ini dapat selesai
tepat waktunya. Penulisan tesis yang berjudul “Perbandingan Kadar
Malondialdehyde (MDA) Pada Plasma dan Plasenta Ibu Inpartu
Preeklampsia di RSKDIA Siti Fatimah Makassar”, ini merupakan bagian
dari rangkaian persyaratan dalam rangka penyelesaian program
pendidikan Megister Kebidanan Program Pasca Sarjana Universitas
Hasanuddin Makassar.
Pada kesempatan ini penulis dengan tulus mengucapkan banyak
terima kasih kepada bapak Dr. dr. Irfan Idris, M.Kes sebagai pembimbing I
dan Ibu Dr. Mardiana Ahmad, S.SiT., M.Keb sebagai pembimbing II atas
bantuan, bimbingan dan petunjuk serta arahan yang diberikan selama
penulisan tesis ini.
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan
kepada :
1. Ibu Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, M.A, selaku Rektor
Universitas Hasanuddin Makassar.
2. Prof. Dr. Syamsul Bachri, S.H.,MS, selaku Direktur Program Pasca
Sarjana Universitas Hasanuddin Makassar.
3. Prof. Dr. dr. Suryani As’ad, M.Sc, selaku Plt. Ketua Program Studi
Magister Kebidanan Universitas Hasanuddin Makassar.
4. Dr. Dr. Burhanuddin Bahar, MS, Dr. Dr. Saidah Syamsuddin, Sp.Kj
(K) dan Dr. dr. Sharvianty Arifuddin, Sp.OG (K) selaku penguji yang
menyempatkan diri untuk mengikuti presentasi ujian tesis peneliti
serata memberikan saran dan koreksi kepada peneliti.
5. Direktur RSKDIA Siti Fatimah serta para staf yang telah snagat
membantu selama peneliti emlakukan penelitian.
6. Staf pengelola Program Studi Megister Kebidanan atas kejasama
yang diberikan selama penyusunan tesis.
7. Teristimewa untuk orang tua, suami dan semua saudaraku dan
sahabt tercinta atas motivasi dan doanya demi keberhasilan penulis.
8. Kepada seluruh pihak yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu
yang telah membantu selama penyusunan proposal ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan proposal tesis ini masih jauh
dari kesempurnaan sehingga penulis sangat mengharapkan saran dan
kritikan yang bersifat membangun. Semoga apapun yang kita lakukan
senantiasa mendapat ridho Allah SWT, Amin Ya Rabb
Makassar, Juli 2017
Penulis
Risma Putri Utama
.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.......................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ ii
PRAKATA ................................................................................................. iii
ABSTRAK .................................................................................................. v
DAFTAR ISI ............................................................................................ viii
DAFTAR TABEL ........................................................................................ x
DAFTAR GAMBAR ................................................................................... xi
DAFTAR ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN ......................................... xii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................. 1
A. Latar Belakang .............................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................ 4
C. Tujuan Penelitian .......................................................................... 4
D. Manfaat Penelitian ........................................................................ 5
E. Batasan Penelitian ........................................................................ 5
F. Sistematika Penulisan ................................................................... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 7
A. Tinjauan Umum Tentang Preeklampsia ........................................ 7
B. Tinjauan Umum Tentang Reactive Oxygen Species (ROS) ........ 34
C. Tinjauan Umum Tentang Malondialdehyde (MDA) ...................... 40
D. Kerangka Teori............................................................................ 46
E. Kerangka Konsep ........................................................................ 50
F. Hipotesis Penelitian ..................................................................... 51
G. Definisi Operasional .................................................................... 51
BAB III METODE PENELITIAN................................................................ 52
A. Rancangan Penelitian ................................................................. 52
B. Waktu dan Lokasi Penelitian ....................................................... 52
C. Populasi dan Sampel .................................................................. 52
D. Alur Penelitian ............................................................................ 54
E. Analisa Data ................................................................................ 56
F. Etika Penelitian ........................................................................... 56
BAB IV PEMBAHASAN....................................................................... ...... 58
A. Hasil Penelitian ........................................................................... 58
B. Pembahasan ............................................................................... 61
C. Keterbatasan Penelitian .............................................................. 68
BAB V KESIMPULAN .............................................................................. 69
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
nomor Halaman
1. Kriteria Preklampsia menurut NHBPEP 6
2. Rekomendasi perawatan ekspektatif pada preeklampsia 32
3. Definisi operasional 51
4. Karakteristik Subyek Penelitian 59
5. Distribusi rerata kadar MDA antara kedua kelompok penelitian 60
DAFTAR GAMBAR
nomor hal
1. Perbandingan plasenta pada kehamilan normal dan preeklampsia 17
2. Penatalaksanaan Preeklampsia 33
3. Stres Oksidatif 36
4. Okstidatif dan Antioksidan 37
5. Fase reaksi berantai lipid peroksidasi 39
6. Peroksidasi Lipid 43
7. Kerangka Teori 49
8. Kerangka Konsep 50
9. Skema Alur Penelitian 55
DAFTAR ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN
Lambang/singkatan Arti dan keterangan
ICAM Intrasellular Cell Adhesion Molecole -1
IMT Indeks massa tubuh
IUGR Intrauterine Growth Restriction
PE Preeklampsia
PIGF Plasental Growth Factor
PJK Penyakit jantung koroner
PUFA Poly unsaturated Fatty Acid
ROS Reactive Oxygen Species
sEng Soluble Endoglin
sFlt-1 Soluble fms-like tyrosinw kinase 1
SPSS Statistical Pacage for the Sosial Science
TNF α Tumor Necrosis Factor alpha
TPA Tissue Plasminogen activator
VCAM Vascular Cell Adhesion Molecole -1
VEGF Vascular Endothelial Growth Factor
WHO World Health Organization
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Preeklamsia ialah keadaan tekanan darah sistolik (Sistolic Blood
Prassure) lebih besar dari atau sama dengan 140 mmHg dan tekanan
darah diastolik (Diastolic Blood Preasure) lebih besar dari atau sama
dengan 90 mmHg atau lebih tinggi, walaupun pada 4 jam sebelumnya
keadaan pasien normotensif. Selain kriteria peningkatan tekanan darah,
indikator lain yang digunakan yakni proteinuria dengan jumlah lebih besar
dari atau sama dengan 0,3 gram dalam spesimen urin 24 jam, protein
(mg/dL) atau dipstick urine protein 1+ (ACOG, 2014).
Angka kejadian preeklampsia menurut World Health Organization
(WHO) di negara maju mencapai 1,3%-6% dan di negara berkembang
1,8%-18% (Muti M. et al. (2015). Angka kejadian yang tinggi menjadikan
preeklampsia menempati urutan ke dua penyebab kematian ibu dan bayi.
Preeklampsia bertanggung jawab atas 70.000 kematian per tahun atau
15% dari total kematian ibu (Sajith et al., 2014).
Angka kejadian preeklampsia mencapai 128.273 kasus atau
sekitar 5,3% per tahun di Indonesia. Di Sulawesi Selatan pada tahun 2015
terdapat 36 kematian ibu yang disebabkan hipertensi dalam kehamilan
ataupun preeklampsia.
Studi pendahuluan yang dilakukan di Rumah Sakit Khusus Daerah
Ibu dan Anak (RSKDIA) Siti Fatimah Makassar pada tahun 2015 tercatat
angka kejadian preeklampsia sebanyak 82 kasus.
Tingginya angka kematian yang disebabkan preeklampsia
berkaitan dengan komplikasi yang disebabkannya. Komplikasi pada ibu
antara lain; oliguria, anuria, solusio plasenta dan sindrom hemolysis,
elevated liver enzyme, low platelets count (HELLP). Pada bayi,
preeklampsia meningkatkan risiko kematian intrauterine, pertumbuhan
janin terhambat, prematuritas dan asfiksia perinatal (Sivakumar, 2007).
Pada preeklampsia akan terjadi perubahan – perubahan anatomi
dan fisiologi pada berbagai organ seperti sistem hemodinamik, ginjal,
retina, dan kimia darah. Diantara parameter biokimia yang turut
berpengaruh adalah kadar malondialdehyde yang merupakan produk
akhir dari lipid peroksidasi (Cunningham et al, 2014).
Pada kondisi stres oksidatif akan terjadi peningkatkan produk hasil
peroksidasi lipid, yang diduga kuat berperan penting menyebabkan
gangguan fungsi endotel dan timbulnya gejala klinis preeklampsia (Niki,
2009). Peningkatan peroksidasi lipid tersebut dapat diukur dengan
berbagai pengukuran penanda (marker) peroksidasi lipid dalam darah,
salah satunya menggunakan malondialdehyde (MDA) yang telah diakui
sebagai penanda klinis peroksidasi lipid. Saat ini MDA adalah penanda
stres oksidatif dan peroksidasi lipid in vivo yang paling baik, dan paling
stabil (Keman, 2014).
Malondialdehyde terbentuk dari peroksidasi lipid (lipid
peroxidation) pada membran sel yaitu reaksi radikal bebas (radikal
hidroksi) dengan Poly Unsaturated Fatty Acid (PUFA). Reaksi tersebut
terjadi secara berantai, akibat akhir dari reaksi rantai tersebut akan
terbentuk hidrogen peroksida. Hidrogen peroksida dapat menyebabkan
dekomposisi beberapa produk aldehid yang bersifat toksik terhadap sel
dan berbeda panjang rantainya, antara lain yaitu MDA yang merupakan
salah satu aldehid utama yang terbentuk (Sari, 2014).
Penelitian mengenai kadar MDA pada preeklampsia telah
dilakukan dengan menggunakan berbagai metode penelitian. Penelitian
yang dilakukan sejauh ini memiliki kesimpulan yang sama bahwa kadar
MDA pada preeklampsia jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kehamilan
normal (Siti Candra, 2013). Untuk penelitian tentang kadar MDA pada
plasenta, sepengetahuan peneliti masih sangat kurang dilakukan di
Indonesia sehingga data mengenai kadar MDA pada plasenta masih
minim, karena itu perlu dilakukan penelitian terkait kadar MDA pada
plasenta yang nantinya akan dibandingkan dengan kadar MDA pada
preeklampsia sehingga didapatkan nilai cut off point dari masing-masing
kategori.
Berdasarkan pada uraian di atas, peneliti bermaksud melakukan
penelitian mengenai perbandingan kadar malondialdehyde (MDA) dalam
plasma ibu inpartu dan plasenta pada penderita preeklamsia di RSKDIA
Siti Fatimah Makassar.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, dapat di rumuskan suatu
masalah penelitian sebagai berikut : “Apakah Ada Perbandingan Kadar
MDA Dalam Plasma Ibu Inpartu Dan Pada Plasenta Penderita
Preeklampsia”.
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui perbandingan kadar MDA plasma ibu inpartu dan
plasenta penderita preeklampsia.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui kadar MDA plasma ibu inpartu dengan preeklampsia.
b. Mengetahui kadar MDA dalam plasenta
c. Mengetahui perbandingan kadar MDA plasma ibu inpartu dan
plasenta penderita preeklampsia beserta ibu bersalin normal.
D. Manfaat penelitian
1. Pengembangan Ilmu
Menambah pengetahuan dan pemahaman mengenai peranan stress
oksidatif terutama peroksidasi lipid melalui kadar MDA yang tinggi
sebagai faktor risiko penanda preeklampsia.
2. Praktis preeklampsia dalam upaya prognostik maupun seb
3. Diharapkan dapat digunakan sebagai indikator agai penunjang
diagnostik preeklampsia.
E. Batasan Penelitian
Lingkup keilmuan dalam penelitian ini adalah Ilmu Kebidanan.
Sasaran pada ibu bersalin preeklampsia yang ada di wilayah kerja
RSKDIA Siti Fatimah Makassar. Lingkup penelitian ini direncanakan
dimulai pada bulan Maret 2017.
F. Sistematika penelitian
Secara garis besar, sistematika penulisan proposal ini yaitu :
BAB I : Pendahuluan menguraikan latar belakang, rumusan masalah,
tujuan peneletian, manfaat penelitian, batasan penelitian, dan
sistematika penulisan.
BAB II : Tinjauan Pustaka, berisi tentang tinjuan umum tentang
preeklampsia, Peran Reaktive Oxygen Species pada
Preeklampsia, Malondialdehyde (MDA).
BAB III : Metode Penelitian, mencakup ranncangan penelitian, waktu dan
lokasi penelitian, populasi dan sampel, alur penelitian, instrumen
pengumpulan data, dan etika penelitian.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Preekampsia
1. Definisi
Preeklampsia merupakan suatu sindrom spesifik pada
kehamilan berupa berkurangnya perfusi plasenta akibat vasopasme
dan akitvasi endotel yang akhirnya dapat mempengaruhi seluruh
sistem organ, ditandai dengan hipertensi dan proteinuria diatas 20
minggu kehamilan (Cunningham et al., 2014; Baxter, 2007).
Kriteria preeklampsi menurut Working Group National High
Blood Pressure Education Program (NHBPEP) tahun 2000 yang masih
digunakan hingga saat ini ditunjukkan pada tabel 2.1.
Kriteria Minimum Tekanan darah ≥ 140/90 mmHg setelah usia kehamilan 20 minggu Proteinuria ≥ 300mg / 24 jam atau ≥ 1+ dipstick
Peningkatan beratnya preeklampsia
Tekanan darah ≥160/110 mmHg Proteinuria 2,0g / 24 jam atau 2+ dipstick Serum kreatinin >1.2 mg/dL (kecuali diketahui adanya peningkatan sebelumnya) Trombosit <100.000/mm3 Hemolisis mikroangiopati (peningkatan laktak dehidrogenase / LDH) Peningkatan SGOT atau SGPT Sakit kepala persisten atau gangguan serbral dan visual lainnya Nyeri epigstrum
2. Faktor yang berperan pada preeklampsia
Etiologi terjadinya preeklampsia hingga saat ini belum
diketahui secara pasti. Berikut ini beberapa faktor yang berperan,
yaitu: (Lachmeijer et al., 2002; Mignini et al., 2005; Hladunevich et al.,
2007; Leslie et al., 2011)
a. Peran Prostasiklin dan Tromboksan
Pada preeklampsia dijumpai kerusakan pada endotel
vaskuler, sehingga sekresi vasodilatator prostasiklin oleh sel-sel
endotelial plasenta berkurang, sedangkan pada kehamilan normal,
prostasiklin meningkat. Sekresi tromboksan oleh trombosit
bertambah sehingga timbul vasokonstriksi generalisata dan sekresi
aldosteron menurun
Perubahan aktivitas tromboksan memegang peranan
sentral terhadap ketidakseimbangan prostasiklin dan tromboksan.
Hal ini mengakibatkan pengurangan perfusi plasenta sebanyak
50%, hipertensi, dan penurunan volume plasma
b. Peran Faktor Imunologis
Preeklampsia sering terjadi pada kehamilan pertama
karena pada kehamilan pertama terjadi pembentukan blocking
antibodies terhadap antigen plasenta tidak sempurna. Pada
preeklampsia terjadi kompleks imun humoral dan aktivasi
komplemen. Hal ini dapat diikuti dengan terjadinya pembentukan
proteinuria.
c. Peran Faktor Genetik
Bukti yang mendukung berperannya faktor genetik pada
penderita preeklampsia adalah peningkatan Human leukocyte
antigen (HLA). Menurut beberapa peneliti, wanita hamil yang
mempunyai HLA dengan haplotipe A 23/29, B 44 dan DR 7 memiliki
resiko lebih tinggi menderita preeklampsia dan pertumbuhan janin
terhambat.
d. Disfungsi endotel
Kerusakan sel endotel vaskuler maternal memiliki peranan
pada terjadinya preeklampsia. Kerusakan endotel vaskular pada
preeklampsia dapat menyebabkan penurunan produksi prostasiklin,
peningkatan aktivitas agregasi trombosit dan fibrinolisis, kemudian
diganti oleh trombin dan plasmin. Trombin akan mengkonsumsi
antitrombin III sehingga terjadi deposit fibrin. Aktivitas trombosit
menyebabkan pelepasan tromboksan A2 dan serotonin sehingga
terjadi vasospasme dan kerusakan endotel.
3. Gejala dan tanda Preeklampsia
Gejala dan tandanya dapat berupa :
a. Hipertensi
Hipertensi merupakan kriteria paling penting dalam diagnosa
penyakit preeklampsia. Hipertensi ini sering terjadi sangat tiba-tiba.
Banyak primigravida dengan usia muda memiliki tekanan darah
sekitar 100-110/60-70 mmHg selama trimester kedua. Peningkatan
diastolik sebesar 15 mmHg atau peningkatan sistolik sebesar 30
mmHg harus dipertimbangkan (Cunningham, 2014).
b. Hasil pemeriksaan laboratorium
Proteinuria merupakan gejala terakhir yang timbul.
Proteinuria berarti konsentrasi protein dalam urin yang melebihi 0,3
gr/liter dalam urin 24 jam atau pemeriksaan kualitatif menunjukan
(+1 sampai 2+ dengan metode dipstik) atau > 1 gr/liter melalui
proses urinalisis dengan menggunakan kateter atau midstream
yang diambil urin sewaktu minimal dua kali dengan jarak waktu 6
jam (Wiknjosastro, 2006).
Hemoglobin dan hematokrit meningkat akibat
hemokonsentrasi. Trombositopenia biasanya terjadi sehingga
menyebabkan terjadi peningkatan FDP, fibronektin dan penurunan
antitrombin III. Asam urat biasanya meningkat diatas 6 mg/dl.
Kreatinin serum biasanya normal tetapi bisa meningkat pada
preeklampsia berat. Alkalin fosfatase meningkat hingga 2-3 kali
lipat. Laktat dehidrogenase bisa sedikit meningkat dikarenakan
hemolisis. Glukosa darah dan elektrolit pada pasien preeklampsia
biasanya dalam batas normal. Urinalisis ditemukan proteinuria dan
beberapa kasus ditemukan hyaline cast.
c. Edema
Edema pada kehamilan normal dapat ditemukan edema
dependen, tetapi jika terdapat edema independen yang djumpai di
tangan dan wajah yang meningkat saat bangun pagi merupakan
edema yang patologis. Kriteria edema lain dari pemeriksaan fisik
yaitu: penambahan berat badan > 2 pon/minggu dan penumpukan
cairan didalam jaringan secara generalisata yang disebut pitting
edema > +1 setelah tirah baring 1 jam.
4. Patomekanisme Preeklampsia
Preeklampsia bukan merupakan suatu “One Disease” namun
melibatkan seluruh aspek maternal, plasental, dan fetal (Cunningham
et al., 2014). Sementara itu etiologinya dapat dikelompokkan menjadi
4 kelompok utama, yaitu genetik, immunologik, nutrisi, radikal bebas,
serta interaksi diantara semuanya, didukung oleh faktor lingkungan
(Leslie et al., 2011; Hladunevich et al., 2007; Mignini et al., 2005;
Lanchmeiijer et al., 2002).
Oleh Cunningham et al (2010) penyakit ini dikelompokkan
menjadi 4 teori dasar, yaitu :
a. Implantasi palsenta dengan invasi arteri uterina trofoblastik yang
abnormal
b. Toleransi abnormal, paternal (plasenta) dan jaringan fetus
c. Maladaptasi maternal terhadap perubahan-perubahan
kardiovaskuler dan perubahan inflamasi pada kehamilan
d. Faktor-faktor genetik termasuk gen-gen yang diturunkan serta
pengaruh epigenik.
Penyebab preeklampsia dalam kehamilan sampai sekarang
belum diketahui secara jelas. Banyak teori telah dikemukakan, namun
tidak ada teori yang diangap mutlak benar sehingga preeklampsia
sampai sekarang disebut sebagai disease of theory. Menurut Sibai
ada beberapa teori yang dianut sampai sekarang: (Sarwono, 2008)
a. Teori kelainan vaskularisasi pasenta (invasi abnormal trofoblas)
b. Teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel
c. Teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin
d. Teori adaptasi kardiovaskular/vaskulopati
e. Teori inflamasi
f. Teori defisiensi gizi
g. Teori defisiensi genetik
Preeklampsia merupakan gangguan dengan 2 tahapan, yaitu
kelainan plasentasi dan sindrom maternal (Cunningham et al., 2010;
Hladunewich et al., 2007, Gammil et al., 2007; Lyal & Belford, 2007;)
a. Kelainan Plasentasi
Tahap pertama pada preeklampsia bersifat asimptomatik,
ditandai dengan kelainan perkembangan plasenta selama trimester
I yang mengakibatkan insufisiensi plasenta dan pelepasan berbagai
bahan plasenta ke sirkulasi maternal. Pada preeklampsia, sel-sel
sitotrofoblas gagal untuk mengaktivasi perubahan integrin-integrin
dan molekul-molekul adesi sel permukaan sehingga terjadi
kegagalan pseudovaskulogenesis. Diferensiasi sitotrofoblas
abnormal ini merupakan gejala dini yang akan dapat berakhir
menjadi iskemia plasenta.
Sampai saat ini belum diketahui pasti apakah kegagalan
konversi vaskuler merupakan kejadian primer atau sekunder pada
preeklampsia. Pada plasenta preklampsia akan terjadi infark
plasenta, penyempitan sklerotik arteri-arteriol, hilangnya invasi
endovaskuker sitotrofoblas dan kegagalan remodelisasi arteriol
spiralis uteri (Gammil et al., 2007; Hladunevich et al., 2007).
Seluruh kejadian ini akan bermanifestasi sesuai dengan
tingkat keparahan kerusakan plasenta pada usia kehamilan. Bila
terjadi pada awal kehamilan maka akan bermanifestasi pada fetus,
berupa terjadinya abortus dan pertumbuhan janin terhambat (PJT)
(Mignini et al., 2005).
b. Sindroma Maternal
Tahap kedua pada preeklampsia merupakan tahap
simptomatis yang umumnya muncul setelah usia kehamilan 20
minggu ditandai dengan hipertensi, kerusakan ginjal dengan
endoteliosis glumerulus yang menyebabkan proteiunuria,
eklampsia, sindroma HELLP (Hemolisis Elevated Liver enzymes,
Low Platelet Count) dan kerusakan organ-organ lainnya. Gejala
klinis tersebut disebabkan oleh aktivasi sel-sel endotel yang telah
terjadi pada tahap pertama dengan respon inflamasi sistemik di
seluruh organ tubuh yang ditandai dengan peningkatan
permeabilitas vaskuler serta hipoperfusi organ.
Pada sirkulasi uteroplasenta, arteri spiralis maternal dirubah
dari tahapan tinggi menjadi tahapan rendah sehingga mampu
memberikan suplai oksigen pada janin. Preeklampsia dihubungkan
dengan invasi trofoblas yang buruk dan inadekuat sehingga
menyebabkan arteri spiralis yang berkalibar kecil, dengan resistensi
yang tinggi. Hal ini menyebabkan perfusi yang inadekuat pada
placenta bed, dan mengurangi suplai oksigen dan nutrisi bagi janin.
Komponen imunologis dianggap bertanggung jawab dalam
terjadinya penyakit ini. Karena preeklampsia terjadi paling sering
pada primigravida dan wanita-wanita dengan dasar penyakit
kolagen pembuluh darah sebelumnya (Gammil et al., 2007; Lyal &
Belfort, 2007).
5. Peran Plasenta Pada Preeklampsia (Keman, 2014)
Plasenta memiliki peran pusat dalam patogenesis
preeklampsia. Preklampsia hanya terjadi dengan adanya plasenta
(meskipun tidak ada janin, seperti kasus mola hidatidosa).
Preklampsia selalu hilang setelah kelahiran plasenta. Pada kasus
kehamilan ekstrauterina dengan preeklampsia, pengeluaran janin saja
tidak cukup, gejala preeklampsia tetap ada sampai plasenta
dilahirkan.
Kasus preeklampsia pada postpartum telah dikaitkan dengan
adanya fragmen plasenta, yang akan terjadi perbaikan secara cepat
setelah dilakukan kuretage. Preeklampsia berat berhubungan dengan
keadaan patologis hipoperfusi dan iskemia plasenta.
Penemuan atherosis akut, yang merupakan lesi difus
obstruksi vaskular pertama kali dijelaskan tahun 1945 meliputi:
deposisi fibrin, penebalan intimmal, nekrosis, atherosklerosis dan
kerusakan endotel. Infraks plasenta mungkin akibat langsung dari
oklusi arteri spiralis maternal. Meskipun temuan ini tidak universal,
adanya oklusi arteri spiralis tampak berkolerasi dengan derajat klinis
preeklampsia.
Pada hasil USG Doppler nampak arteri uterina yang
abnormal, hal ini menunjukkan adanya peningkatan resistensi aliran
darah uteroplasenta, yang diamati sebelum munculnya tanda-tanda
klinis preeklampsia, walaupun temuan ini tidak spesifik,
penggunaannya sebagai tes skrining sangat terbatas.
Dalam penelitian terbaru, kelainan yang buruk pada
perempauan dengan kehamilan yang dipengaruhi hipertensi dan
preeklampsia. Hipertensi dan proteinuria dapat diinduksi oleh
penyempitan aliran darah uterus.
Dalam sebagian besar kasus preeklampsia, tidak ada bukti
hambatan pertumbuhan janin atau intoleransi janin, yang akan
menyebabkan hipoperfusi plasenta yang signifikan. Ini mungkin
menunjukkan bukti patologis bahwa iskemik plasenta menyertai
preeklampsia pada peristiwa sekunder. Tidak ada peneitian yang telah
memeriksa perubahan plasenta sebelum timbulnya tanda-tanda klinis
preeclampsia.
6. Plasentasi Abnormal
Pemeriksaan patologis plasenta pada kehamilan dengan
preeklampsia umumnya menunjukkan infark pada plasenta dan
skleorosi penyempitan arteri dan arteriol. Hal ini ditandai berkurangnya
invasi sitotrofoblas pada endovaskuler dan tidak terjadi remodelling
arteriol spiralis uterina. Walaupun perubahan besar plasenta tidak
selalu nampak pada wanita dengan preeklampsia, profil plasenta dan
morfologi plasenta dapat digunakan untuk mengindentifikasi wanita
hamil dengan risiko tingi yang berkembang menjadi preeklampsia
(Keman, 2014).
Aliran darah ke plasenta melalui arteri spiralis yang
merupakan cabang arteri uterina. Pada awal kehamilan, sel
sitotrofoblas menginvasi dinding plasenta, merobek endotelium dan
tunica media arteri spiralis. Dinding arteri spiralis mengalami
remodelling, sehingga terjadi transformasi dari aliran darah cepat
dengan resistensi rendah pada kehamilan normal. Ada 2 tahap
perubahan yakni tahap pertama pada saat invasi arteri spiralis yang
terjadi saat umur kehamilan 10-12 minggu, dan tahap kedua terjadi
invasi pada myometrium saat umur kehamilan 15-16 minggu (Catry,
2008).
Invasi trofoblas mengubah arteri spiralis dari pembuluh darah
dengan resistensi rendah. Perubahan atau remodelling arteri spiralis
terjadi lengkap setelah 18-20 minggu. Pada preeklampsia, invasi
sitotrofoblas pada myometrium terganggu: arteri spiralis tetap dangkal
dan aliran darah ke fetus terhambat (Catry, 2008; Koji, 2009).
Iskemia plasenta disebabkan invasi sitotrofoblas yang
abnormal yaitu merangsang faktor plasental dan ketidakseimbangan
faktor angiogenik yang menyebabkan dsifungsi endotel. Jadi dalam
preeklampsia, nutrisi pada plasenta kurang optimal, dan oksigenasi
juga menurun karena insufisiensi plasenta dan pefusi uteroplasenta
yang tidak adekuat (Koji, 2009; Carty, 2008).
Gambar 2.1. Perbandingan plasenta pada kehamilan normal
dan preeklampsia (Lim 2016)
Dalam perkembangan plasenta normal, terjadi proses
"pseudovasculogenesis" atau "Mimikri vaskular" (tanda panah atas).
Sedangkan pada Preeklampsia, sitotrofoblas gagal untuk mengadopsi
fenotip endotel invasif sehingga invasi arteri spiral menjadi lebih
pendek dan resisten (tanda panah bawah) (Lim, 2016).
7. Remodelling Vascular Plasenta
Pada awal perkembangan plasenta normal, siotrofoblas
ekstavilus menginvasi arteri spiralis uterus pada desidua dan
miometrium. Sel-sel invasi janin berubah menjadi lapisan endotel dari
pembuluh darah uterus sehingga terjadi transformasi pembuluh darah
dengan resistensi kecil menjadi flacid, dan diameter pembuluh darah
menjadi besar. Tranformasi vaskuler ini menyebabkan aliran darah
uterus meningkat yang sangat dibutuhkan untuk mempertahankan
janin slelamaa kehamilan (Maynard, 2008)
8. Disfungsi Endotel Maternal
Endotel adalah lapisan sel yang malapisi dinding vaskular
yang menghadap ke lumen dan melekat pada jaringan subendotel
yang terdiri atas kolagen dan berbagai glikosaminoglikan termasuk
fibronektin. Sekarang telah diketahui bahwa endotel berfungsi
mengatur tonus vaskular, mencegah trombosis, mengatur aktifitas
sistem fibrinolisis, mencegah perlekatan trombosis, mengatur aktivas
sistem fibrolisis, mencegah perlekatan leukosit dan mengatur
pertumbuhan vaskular. Substansi vasoaktif yang dikeluarkan endotel
antara lain nitric oxide (NO) yang juga disebut endotelial-derived
relaxing factor (EDRF), Endoteliat-derived hyperpolazing factor
(EDHF), prostasiklin (PGI2), brasikinin, asetilkolin, serotonin dan
histamine (Hladunewich, 2007).
Substansi vasokontriktor antara lain endotelin, platelet
activating factor (PAF) angiotensin II, prostaglandin H2, trombin dan
nikotin. Endotel juga berperan pada hemostasis dengan
mempertahankan permukaan yang bersifat antitrombotik. Melalui
eksresi trombomodulin, endotel membantu trombin dalam
mengaktifkan protein C menjadi protein C aktif. Selain itu endotel juga
mensintesis protein S yang bekerja sebagai kofaktor protein C dalam
menginaktivasi factor Va dan factor VIIIa (Hladunewich, 2007).
Endotel juga mensintesis factor von Willebrand (vWF) yang
berfungsi dalam prores adhesi trombosit dan sebagai pembawa factor
VIII. Factor von Willebrand disimpan di dalam Weible-Palade bodies.
Sekresi vWF dapat terjadi melalui 2 mekanisme yaitu secara konstitutif
dan secara inducible. Endotel juga berperan dalam sistem fibrinolisis
melalui pelepasan tissue plasminogen activator (tPA) yang akan
mengaktifkan plasminogen activator inhibitor-1 yang berfungsi
mengahmbat tPA. Jika terjadi disfungsi endotel oleh berbagai hal
seperti shear stress hemodinamik, stres oksidatif maupun paparan
dengan sitokin inflamasi dan hiperkolesterolemia, maka fungsi endotel
sebagai pengatur menjadi abnormal (Hladunewich, 2007; Maynard,
2007 ; Dharma, 2005).
Disfungsi endotel menyebabkan permukaan endotel akan
diekspresikan moolekul adhesi, seperti vascular cell adhesion
molecule-1 (VCAM-1) dan intercellular cell adhesion mulecule-1
(ICAM-1). Peningkatan kadar soluble VCAM-1 ditemukan dalam
supernatan kultur sel endotel yang diinkubasi dari serum penderita
preeklampsia, tetapi tidak dijumpai peningkatan molekul adhesi lain
seperti ICAM-1 dan E-selektin. Oeh karena itu diduga VCAM-1
mempunyai peranan pada preekllampsia. sVCAM-1 dalam serum
mempunyai hubungan dengan beratnya penyakit. Disfungsi endotel
juga mengakibatkan permukaan non trombogenik berubah menjadi
trombogenik, sehingga bisa terjadi aktivasi koagulasi. Sebagai
petanda aktivasi koagulasi dapat diperiksa D-dimer, kompleks
trombin-antitrombin, fragmen protrombin 1 dan 2 (F1.2) atau fibrin
monomer (Hladunewich, 2007; Maynard, 2007; Dharma, 2005).
Di ginjal, kerusakan endotel mengakibatkan proteinuria dan
terjadi lesi patologis, endoteliosis glomerular. Glomerular endoteliosis
ditandai dengan sel endotel yang bengkak dan bervacuola dengan
obliterasi fenestrae endotel dan hilangnya ruang kapiler. Sel
mesangial terkadang muncul perubahan non spesifik yang berkaiatan
dengan proteinuria tersebut. Selain itu terdapat deposit fibrinogen dan
fibrin di bawah sel endotel (Maynard, 2007).
Vaskularisasi yang terkoordinasi berperan penting dalam
plasentasi normal, dimana ini terdiri dari vaskulogenesis
(pembentukan cabang pembuluh darah baru dari sel-sel prekursor
yang berdiferensiasi menjadi sel-sel endotel) dan angiogenesis ialah
pertumbuhan cabang pembuluh darah baru dari pembuluh darah yang
telah ada sebelumnya melalui proses elongasi, intrasusepsi dan
sprouting/pembentukan tunas baru oleh sel-sel endotel; hal serupa
juga terjadi pada morigenesis dan embriogenesis (Plaisier, 2011;
Hladunevich et al., 2007; Matsubara et al., 2006).
Proses vaskulogenesis tersebut terjadi pada hari ke 21
setelah konsepsi. VEGF dan faktor-faktor angiogenesis lainnya yang
dikeluarkan oleh sel-sel Hofbauer dari trofoblas berperan penting
dalam inisiasi vaskulogenesis dan angiogenesis tersebut
(Cunningham et al., 2014; Hladunevich et al, 2007).
Pada preeklampsia terjadi invasi sitotrofoblas pada arteriol
spiralis maternal yang dangkal yang abnormal sehingga ia tak mampu
menembus endotel sampai tunika medianya. Hal ini meyebabkan
arteriol spiralis tak bisa melakukan remodelling menjadi pembuluh
darah besar dengan resistensi rendah, namun sebaliknya menjadi
pembuluh darah besar dengan resistensi rendah, namun sebaliknya
menjadi pembuluh darah dengan resistensi tinggi. Ini menyebabkan
penurunan perfusi uteroplasenta, dan kemudian insufisiensi plasenta.
Terjadi pula kegagalan dalam proses pseudovaskuloggenesis. Proses
ini dirgulasi oleh berbagai faktor transkripsi, growht factors dan sitokin-
sitokin seperti VEGF dan PIGF yang dihasilkan oleh invasi trofoblas,
angioprotein dan protein ephrin (Cunningham et al., 2014;
Hladunevich et al., 2007; Mutter & Karumanchi, 2007).
9. Stres Oksidatif Dan Preklampsia
Stress oksidatif telah dianggap sebagai jalur utama dalam
terjadinya kerusakan endotel. Stress oksidatif disebabkan karena
ketidakseimbangan antara oksidan dan antioksidan. Komponen-
kompotnen maternal terutama neutrofil dan lipid-lipid yang rentan
terhadap oksidasi kemudian plasenta dan faktor-faktor yang berasal
dari plasenta dapat menginduksi suatu stress oksidatif yang pada
akhirnya menyebabakan disfungsi sel endotelial luas dengan segala
manifestasi klinisnya (Lancmeijer et al., 2002).
Perunan perfusi uteroplasental akan menyebabkan hipoksia,
iskemia, reperfusi hingga influensi plasenta. Plasenta yang mengalami
gangguan dalam metabolismenya menghasilkan suatu Reaktif Oxygen
Species (ROS) seperi superoksida O2, radika hidroksil (OH-) dan
hidrogen peroksida (H2O2) yang masuk ke dalam sirkulasi matenal.
Oksidan radikal hidroksil dapat merusak membran sel yang
mengandung banyak asam lemak tak jenuh dan merubahnnya
menjadi peroksidasi lemak. Peroksidasi lemak kemudian akan
merusak membran sel, nukleus dan protein sel endotel, sehingga
menyebabkan disfungsi endotel.. kelainan sel endotel tersebut juga
menyebabkan peningkatan reaktivitas tonus vaskuler dan
permeabilitas vaskuler (Agudelo, 2009; Lyal & Bolfort, 2007).
10. Disfungsi Endotel Pada Preeklampsia
Sel-sel endotel yang terapapar dengan eroksidasi lemak akan
mengalami kerusakan yang dimulai dari membran selnya. Hal ini
ditandi dengan terganggunya fungsi endotel, hingga kerusakan
selluruh struktur endotel, yang disebut sebagai disfungsi endotel
(Angsar, 2009; Lyall & Belfort, 2007; Matheissen et al., 2005;).
Berbagai penanda kerusakan endotelial seperti protein-protein
soluble, yaitu trombomodulin dan vWf serta berbagai faktor lainnya
seperti TNF ɑ didapatkan kadarnya meningkat seiring dengan
peningkatan metalloproteinase-12 pada preeklampsia (Grundmann et
al., 2008)
11. Faktor-faktor Angiogenik dan Anti-angiogenik
Faktor angiogenik utama dalam sirkulasi maternal yang
berperan penting dalam proses vaskulogenesis yaitu (Noori et al.,
2010; Matsubara et al., 2006).
Pada preeklampsia terjadi ketidakseimbangan antara faktor-
faktor antiangiogenik dengan faktor angiogenik, sehingga terjadi
peningkatan berlebih faktor-faktor anti-angiogenik yang akan semakin
memperparah hipoksia pada aliran uteroplasenta (Cunningham et al,
2014; Lyall & Belfort, 2007).
- Vascular endotelial growth factor (VEGF)
Kelompok protein ini terdiri dari VEGF-A, VEGF-B, VEGF-C,
VEGF-D. VEGF-A diproduksi dari sel-sel sinsisiotrofoblas,
sementara itu VEGF-C dikeluarkan dari sitotrofoblas. VEGF
berinteraksi melalu 3 resptor yang berbeda: VEGFR-1 dan
VEFGR-3 dikeluarkan di dalam sel-sel sitotrofoblas innvasi pada
saat awal rmodelisasi arteri spiralis dalam plasntasi normal. VEGF
secara umum terdeteksi dominan pada sel-sel sitotrofoblas secara
umum terdeteksi dominan pada sel-sel sitotrofoblas selama
trimester pertama kehamilan dan kemudian menjadi dominan
pada sel-sel sinsiotrofoblas selama trimester ketiga kehamilan.
- Placental growth factor (PIGF)
Pada kehamilan normal kadar PIGF akan meningkat terutama
dalam 2 trimester awal dan mencapaii puncaknya pada saat 29
minggu kehamilan dan akan menurun pada saat kehamilan aterm.
Pada pasien preeklampsia kadar PIGF ditemukann menurun.
Peningkatan soluble fms-like tyrosine kinase 1 (sFlt-1) dan
soluble endoglin (sEng) serta penurunan PIGF dalam serum maternal
mencapai puncak sekitar 5 hingga 10 minggu sebelum terjadinya
onset preeklampsia (Noori et al., 2010).
Berikut ini adalah dua peptida anti-angiogenik utama yang
memasuki sirkulasi maternal yang sering dihubungkan dengan
terjadinya preklampsia (Cunningham et al., 2014):
- sLft-1 nma lain dari fms-related turosine kinase 1 /flt-1 (VERFR-1)
yang mengikat VEGF-A dan PIGF untuk menghambat
aktivitasnya. Kadar sFlt-1 mulai meningkat dalam serum maternal
sejak beberapa bulan sebelum preeklampsia mulai tampak.
- sEng merupakan molekul yang berrasal dari plasenta yang
mneghambat berbagai isotop-isotop TGF dari ikatannya terhadap
reseptor endotel dan menyebabkan penurunan aktivasi
vasodilatasi oleh NO endotel. Kadar sEng juga mulai meningkat
dlam serum darah maternal sejak beberapa bulan sebelum
preeklampsia mulai tampak
12. Akibat Preeklampsia pada ibu
Akibat gejala preeklampsia, proses kehamilan maternal
terganggu karena terjadi perubahan patologis pada sistem organ,
yaitu :
a. Jantung
Perubahan pada jantung disebabkan oleh peningkatan cardiac
afterload akibat hipertensi dan aktivasi endotel sehingga terjadi
ekstravasasi cairan intravaskular ke ekstraselular terutama paru.
Terjadi penurunan cardiac preload akibat hipovolemia
(Cunningham, 2010).
b. Otak
Tekanan darah yang tinggi dapat menyebabkan autoregulasi
tidak berfungsi. Jika autoregulasi tidak berfungsi, penghubung
penguat endotel akan terbuka menyebabkan plasma dan sel-sel
darah merah keluar ke ruang ekstravaskular (Cunningham, 2010).
c. Mata
Pada preeklampsia tampak edema retina, spasmus
menyeluruh pada satu atau beberapa arteri, jarang terjadi
perdarahan atau eksudat. Spasmus arteri retina yang nyata dapat
menunjukkan adanya preeklampsia yang berat, tetapi bukan berarti
spasmus yang ringan adalah preeklampsia yang ringan. Skotoma,
diplopia dan ambliopia pada penderita preeklampsia merupakan
gejala yang menunjukan akan terjadinya eklampsia. Keadaan ini
disebabkan oleh perubahan aliran darah pada pusat penglihatan di
korteks serebri maupun didalam retina (Wiknjosastro, 2006).
d. Paru
Edema paru biasanya terjadi pada pasien preeklampsia berat
yang mengalami kelainan pulmonal maupun non-pulmonal setelah
proses persalinan. Hal ini terjadi karena peningkatan cairan yang
sangat banyak, penurunan tekanan onkotik koloid plasma akibat
proteinuria, penggunaan kristaloid sebagai pengganti darah yang
hilang, dan penurunan albumin yang diproduksi oleh hati
(Cunningham, 2010).
e. Hati
Pada preeklampsia berat terdapat perubahan fungsi dan
integritas hepar, perlambatan ekskresi bromosulfoftalein, dan
peningkatan kadar aspartat aminotransferase serum. Sebagian
besar peningkatan fosfatase alkali serum disebabkan oleh fosfatase
alkali tahan panas yang berasal dari plasenta. Pada penelitian yang
dilakukan Oosterhof dkk, dengan menggunakan sonografi Doppler
pada 37 wanita preeklampsia, terdapat resistensi arteri hepatika.
Nekrosis hemoragik periporta di bagian perifer lobulus hepar
menyebabkan terjadinya peningkatan enzim hati didalam serum.
Perdarahan pada lesi ini dapat mengakibatkan ruptur hepatika,
menyebar di bawah kapsul hepar dan membentuk hematom
subkapsular (Cunningham, 2010).
f. Ginjal
Lesi khas pada ginjal pasien preeklampsia terutama
glomerulus endoteliosis, yaitu pembengkakan dari kapiler endotel
glomerular yang menyebabkan penurunan perfusi dan laju filtrasi
ginjal. Konsentrasi asam urat plasma biasanya meningkat terutama
pada preeklampsia berat (Cunningham et al., 2010).
Pada sebagian besar wanita hamil dengan preeklampsia,
penurunan ringan sampai sedang laju filtrasi glomerulus tampaknya
terjadi akibat berkurangnya volume plasma sehingga kadar
kreatinin plasma hampir dua kali lipat dibandingkan dengan kadar
normal selama hamil (sekitar 0,5 ml/dl). Namun pada beberapa
kasus preeklampsia berat, kreatinin plasma meningkat beberapa
kali lipat dari nilai normal ibu tidak hamil atau berkisar hingga 2-3
mg/dl. Hal ini disebabkan perubahan intrinsik ginjal akibat
vasospasme yang hebat (Cunningham et al, 2010).
Kelainan pada ginjal biasanya dijumpai proteinuria akibat
retensi garam dan air. Retensi garam dan air terjadi karena
penurunan laju filtrasi natrium di glomerulus akibat spasme arteriol
ginjal. Pada pasien preeklampsia terjadi penurunan ekskresi
kalsium melalui urin karena meningkatnya reabsorpsi di tubulus
(Cunningham et al., 2010).
Kelainan ginjal yang dapat dijumpai berupa glomerulopati,
terjadi karena peningkatan permeabilitas terhadap sebagian besar
protein dengan berat molekul tinggi, misalnya: hemoglobin,
globulin, dan transferin. Protein – protein molekul ini tidak dapat
difiltrasi oleh glomerulus (Cunningham et al, 2010).
g. Darah
Kebanyakan pasien preeklampsia mengalami koagulasi
intravaskular (DIC) dan destruksi pada eritrosit (Cunningham et al.,
2010). Trombositopenia merupakan kelainan yang sangat sering,
biasanya jumlahnya kurang dari 150.000/μl ditemukan pada 15-
20% pasien. Level fibrinogen meningkat pada pasien preeklampsia
dibandingkan dengan ibu hamil dengan tekanan darah normal
(Cunningham, 2010).
Jika ditemukan level fibrinogen yang rendah pada pasien
preeklampsia, biasanya berhubungan dengan terlepasnya plasenta
sebelum waktunya (placental abruption). Pada 10 % pasien dengan
preeklampsia berat dapat terjadi HELLP syndrome yang ditandai
dengan adanya anemia hemolitik, peningkatan enzim hati dan
jumlah platelet rendah (Cunningham, 2010).
h. Sistem Endokrin dan Metabolisme Air dan Elektrolit
Pada preeklampsia, sekresi renin oleh aparatus
jukstaglomerulus berkurang, proses sekresi aldosteron pun
terhambat sehingga menurunkan kadar aldosteron didalam darah.
Pada ibu hamil dengan preeklampsia kadar peptida natriuretik
atrium juga meningkat. Hal ini terjadi akibat ekspansi volume yang
menyebabkan peningkatan curah jantung dan penurunan resistensi
vaskular perifer (Cunningham, 2010).
Pada pasien preeklampsia terjadi pergeseran cairan dari
intravaskuler ke interstisial yang disertai peningkatan hematokrit,
protein serum, viskositas darah dan penurunan volume plasma. Hal
ini mengakibatkan aliran darah ke jaringan berkurang dan terjadi
hipoksia (Cunningham, 2010).
13. Akibat preeklampsia pada janin
Penurunan aliran darah ke plasenta mengakibatkan gangguan
fungsi plasenta. Hal ini mengakibatkan hipovolemia, vasospasme,
penurunan perfusi uteroplasenta dan kerusakan sel endotel pembuluh
darah plasenta sehingga mortalitas janin meningkat (Sarwono
prawirohardjo, 2009). Dampak preeklampsia pada janin, antara lain:
Intrauterine growth restriction (IUGR) atau pertumbuhan janin
terhambat, oligohidramnion, prematur, bayi lahir rendah, dan solusio
plasenta.
14. Faktor Risiko Preeklampsaia
Faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan preeklampsia
antara lain (Cunningham et al., 2010; Angsar, 2009; Lyall & Belfort,
2007; Mutter & Karumanchi, 2007; Migninni et al., 2005):
a. Obesitas dan dislipidemia
b. Terpapar oleh vili korianik untuk pertama kalinya, yaitu pada
primigravida dan primipaternitas.
c. Terpapar vili korionik yang ber;ebihan atau hiperplasentosis,
misalnya pada mola hidatidosa, kehamilan multiple, diabetes
mellitus, hidrops fetalis, makrosemia.
d. Umur yang ekstrim (terlalu muda dan terlalu tua)
e. Riwayat keluarga pernah preeklampsia
f. Penyakit-penyakit ginjal dan kardiovaskuler termasuk hipertensi
yang sudah ada sebelum hamil.
g. Stres ataupun cemas yang berlebihan
15. Penegakkan Diagnosis
Menurut American College of Obstetrics and Gynecology,
diagnosis dibuat jika tekanan darah >140/90 mmHg pada dua kali
pengukuran dengan durasi 6 jam disertai proteinuria >300 mg/ hari
(Eiland et al, 2012., Sibai, 2003) . Edema, yang merupakan gambaran
klasik preeklampsia, tidak lagi digunakan sebagai dasar diagnosis
karena sensitivitas maupun spesifisitasnya rendah. Pada 20% kasus
preeklampsia tidak ditemukan proteinuria ataupun hipertensi.
Pemeriksaan laboratorium, seperti tes fungsi hepar, pemeriksaan
protein urin, dan kreatinin serum dapat membantu mengetahui derajat
kerusakan target organ, tetapi tidak ada yang spesifik untuk diagnosis
preeklampsia (National Heart and Blood Institute, 2015).
Kebanyakan kasus preeklampsia ditegakkan dengan adanya
protein urin, namun jika protein urin tidak didapatkan, salah satu gejala
dan gangguan lain dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis
Preeklampsia, yaitu (PNPK, 2016) :
a. Trombositopenia : trombosit < 100.000 / mikroliter
b. Gangguan ginjal : kreatinin serum >1,1 mg/dL atau didapatkan
peningkatan kadar kreatinin serum pada kondisi dimana tidak ada
kelainan ginjal lainnya
c. Gangguan liver : peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali
normal dan atau adanya nyeri di daerah epigastrik / regio kanan
atas abdomen
d. Edema Paru
e. Didapatkan gejala neurologis : stroke, nyeri kepala, gangguan visus
f. Gangguan pertumbuhan janin yang menjadi tanda gangguan
sirkulasi uteroplasenta : oligohidramnion, Fetal Growth Restriction
(FGR) atau didapatkan adanya absent or reversed end diastolic
velocity (ARDV)
16. Penatalaksanaan Preeklampsia
Memperbaiki luaran perinatal dengan mengurangi morbiditas
neonatal serta memperpanjang usia kehamilan tanpa membahayakan
ibu merupakan tujuan utama dari manajemen ekspektatif.
Tabel 2.2. Rekomendasi perawatan ekspektatif pada preeklampsia
tanpa gejala berat (PNPK, 2016)
No Penatalaksanaan Level
evidence
Rekomendasi
1 Manajemen ekspektatif direkomendasikan
pada kasus Preeklampsia tanpa gejala berat
dengan usia kehamilan kurang dari 37 minggu
dengan evaluasi maternal dan janin yang lebih
ketat
II C
2 Perawatan poliklinis secara ketat dapat
dilakukan pada kasus Preeklampsia tanpa
gejala berat
IIb B
3 Evaluasi ketat yang dilakukan adalah :
a. Evaluasi gejala maternal dan gerakan
janin setiap hari oleh pasien
b. Evaluasi tekanan darah 2 kali dalam
seminggu secara poliklinis
c. Evaluasi jumlah trombosit dan fungsi liver
setiap minggu
II C
d. Evaluasi USG dan kesejahteraan janin
secara berkala (dianjurkan 2 kali dalam
seminggu)
e. Jika didapatkan tanda pertumbuhan janin
terhambat, evaluasi menggunakan doppler
velocimetry terhadap arteri umbilikal
direkomendasikan
II A
Gambar 2.2. Penatalaksanaan preeklampsia (PNPK, 2016)
Preeklampsia
Usia kehamilan ≥ 37 minggu
atau
UK ≥ 34 minggu dengan :
- Persalinan atau ketuban pecah
- Perburukan kondisi ibu dan
janin
- Pertumbuhan janin terhambat
- Didapatkan solusio plasenta
Usia kehamilan < 37 minggu
Perawatan poliklinis :
- Evaluasi ibu 2 kali dalam
seminggu
- Evaluasi kesejahteraan janin 2
kali dalam seminggu
Usia kehamilan ≥ 37 minggu
Perburukan kondisi ibu dan janin
Persalinan atau ketuban pecah
Lakukan
Persalinan
Ya
Ya
Tidak
B. Tinjauan Umum Tentang Peran Reactive Oxygen Species
Reactive Oxygen Species diproduksi selama proses meabolik dan
fisiologis normal. Namun, pada kondisi tertentu, peningkatan oksidan dan
penurunan antioksidan tidak dapat dicegah sehingga keseimbangan antar
antioksidan dan oksidan bergeser pada kondisi stress oksidatif yang
terlibat pada banyak kondisi patologis (Abdurrahim K, 2005; Ozcan E,
2003).
Pada teori iskemia plasenta disebutkan bahwa pada preeklampsia
terjadi penurunan perfusi uteroplasenta yang menyebabkan hipoksia,
iskemia, dan insfisiensi plasenta, sehingga menghasilkan ROS seperti
superoksida O2, rasikal hidroksil (OH-), dan hidrogen peroksida (H2O2)
yang masuk ke sirkulasi maternal. ROS akan menyebabkan disfungsi
endotel yang merupakan awal terjadinya gejala klinis preeklampsia
(Cunningham et al., 2014; Norris et al., 2005).
1. Reactive Oxygen Species (ROS)
Reactive Oxygen Species (ROS) adalah bentukan radikal
bebas dari suatu atom yang mengandung beberapa elekron yang
tidak stabil dan berpasangan. ROS merupakan bentukan yang tidak
stabil dan bereaksi secara cepat dengan molekul lain untuk
mendapatkan konfigurasi yang stabil. ROS bersifat sangat reaktif yang
terdiri atas kelompok radikal bebas dan kelompok nonradikal.
Kelompok radikal bebas antara lain superoxide anion (O2-), hydroxyl
radicals (OH-), dan peroxyl radicals (RO2). Yang nonradikal misalnya
hydrogen peroxide (H2O2), dan organic peroxides (Preston SL, 2004)
Radikal bebas adalah atom atau molekul yang mempunyai
elektron yang tidak berpasangan pada orbital terluarnya dan dapat
berdiri sendiri. Sebagian besar radikal bebas termasuk dalam kategori
ROS, yang tidak hanya terdiri dari radikal bebas yang mengandung
oksigen tepapi juga terdiri atas molekul reaktif yang tidak memiliki
elektron berpasangan (Keman, 2014)
Adapun sumber penghasil ROS antara lain mitokondria,
fagosit, Xantin oxidase, peroksisome, iskemi/reperfusi, jalur pada
pembetukan asam arakhidonat, dan sebagainya. Bahan tersebut
dihasilkan oleh tubuh untuk membunuh bakteri yang masuk dalam
tubuh. Namun bila radikal bebas atau oksidan dihasilkan oleh tubuh
secara berlebihan, maka bahan tersebut akan dinetralisasi oleh anti
radikal bebas atau antioksidan. Yang dikenal dengan Scavenger
enzyme, seperti superoksida dismutase (SOD), katalese atau glutation
peroksida (Keman, 2014).
Bila scavenger enzyme (anti-ROS) mengalami gangguan akan
mengakibatkan aktivitas mitokondria meningkat sehingga ROS lebih
besar dari pada anti-ROS, maka akan memicu terjadinya kerusakan
dan atau perubahan perilaku sel yaitu ROS dapat bereaksi dengan
fosfolipid yang menyususn sistem membran dari sel, sehingga
terbentuklah reaksi berantai yang disebut dangan peroksidasi lipid.
Kemudian pabila rasio antara radikal bebas atau oksidan lebih besar
dari pada antiradikal bebas atau antioksidan, maka keadaan ini
dikenal sebagai stress oksidatif (Sajal G, 2005).
Gambar 2.3. Stress oksidatif (Saial G, 2005)
2. Stres Oksidatif
Stres oksidatif merupakan suatu keadaan dimana terjadi
pembentukan radikal bebas yang berlebihan sehingga melebihi
kapasitas pertahanan antioksidan. Stress oksidatif disebabkan adanya
beberapa ROS di dalam sel yang tidak dapat distabilkan. Hasilnya
terjadi beberapa kerusakan satu atau beberapa biomolekuler
termasuk DNA, protein dan lipid. Pada lipid akan terjadi lipid
peroksidasi. Lipid peroksidasi merupakan penanda stres oksidatif
yang tidak stabil yang mengubah suatu bentuk yang kompleks
menjadi reaktif (Keman, 2014).
Gambar 1: Oksidatif dan "antioksidan" stres: penyebab,
konsekuensi dan metode untuk kontrol (Polsjak, 2013).
Kerusakan oksidatif pada senyawa lipid terjadi ketika senyawa
radikal bebas bereaksi dengan PUFA (poly unsaturated fatty acids)
(Winarsi, 2007). Bila radikal hidroksil beraksi dengan asam lemak tak
jenuh ini, maka aka terjadi reaksi berantai yang dikenal sebagai lipid
peroxidase (Sari, 2012). Stress oksidatif disebabkan adanya beberapa
ROS di dalam sel yang tidak dapat distabilkan. Hasilnya terjadi
beberapa kerusakan satu atau beberapa biomolekuler termasuk DNA,
RNA, protein dan lipid. Pada lipid akan terjadi lipid peroksidasi.
Molekul reaktif seperti radikal hidroksil menarik atom hydrogen
dari ikatan rangkap asam lemak tak jenuh dan membentuk radikal
peroksidasi lipid. Radikal ini kemudian beraksi dengan asam lemak tak
jenuh lainnya membentuk hidroperoksida lipid dan radikal peroksidasi
lipid yang baru, yang kemudian meneruskan reaksi oksidasi terhadap
lipid lainnya, biasanya disebut dengan auto-oksidasi lipid atau
peroksidasi lipid (Kilic et al., 2003) (Sari, 2012). Proses tersebut juga
akan membentuk endoperoksida siklik yang akan terurai ke berbagai
aldehida, seperti Malondialdehid (MDA), 4-hydroxynonenal (HNE) dan
dienals (Gadoth & Hans Hilmar Gobel, 2011).
3. Lipid Peroksidasi (Keman, 2014)
Komponen penting pada membran lipid adalah fosfolipid dan
glikolipid. Kedua asam lemak ini mengandung asam leamk tak jenuh
yang sangat rawan terhadap terjadinya seragan radikal bebas,
terutama radikal hidroksil. Bila radikal hidroksil beraksi dengan asam
lemak tak jenuh ini, maka aka terjadi reaksi berantai yang dikenal
sebagai lipid peroxidase.
Gambar 2. Tiga fase reaksi berantai peroksidasi lipid (Burcham et al.
1998)
Menurut (Halliwell, 1999) Peroksidasi lipid terbentuk melalui 3
proses, yaitu :
- Insiasi
Inisiasi merupakan langkah pertama dari serangkaian peroksidasi
yang terjadi pada sam lemak tak jenuh (Poly Unsaturated Faatty
Acid/PUFA). Reaksi ini dihasilkan akibat serangan beberapa
spesies yang menyerang hidrogen pada atom karbon diantara
ikatan rangkap dua. Akibat serangan ini, akan terjadi pemisahan
grup H dari grup metilen. Oleh karena itu hidrogen hanya memiliki
1 elektron, pemisahan ini akan menghasilkan elektron tidak
berpasangan pada karbon sehingga terbentuk fatty acid radikal.
Karbon radikal yang terbentuk dapat mengalami berbagai reaksi
seperti saling bertabrakan dalam membran sehingga dapat
menjadi insiatot pada proses lainnya.
- Propagasi
Karbon radikal seperti lemak radikal akan dengan mudah bereaksi
dengan oksigen untuk membentuk lipid peroksi radikal. Lipid
peroksi radikal ini dapat mencegah hidrogen dari PUFA yang
berdekatan sehingga membentuk lipid hidroperiksida yang biasa
juga disebut lipid peroksida. Reaksi lipid peroksi radikal dengan
PUFA akan menghasilkan lipid radikal baru sehingga menambah
radikal lipid pada reksi rantai ini.
- Terminasi
Reaksi ini dapat berakhir bila terjadi penggabungan dua lipid
radikal untuk membentuk hasil asam lemak yang non radikal atau
antara radikal dengan satu senyawa pembasmi radikal.
Produk primer dari peroksida lipid yang sangat reaktif yaitu
lipid hidroksiperoksida, terbetuk saat radikal bebas menyerang asam
lemak tak jenuh ganda atau kolestrol dalam membran atau lipoprotein.
Selain itu, juga dapat dibentuk oleh siklooksigenase atau
lipoksigenese. Hidroperoksida Lipid berfungsi pada fisiologis normal
yaitu mengatur enzim dan gen sensitive redoks (Ayala, et al., 2014)
Peroksidasi lipid yang tidak terkontrol dapat berdampak pada
disfungsi dan kerusakan sel. Peroksidasi lipid mendapatkan perhatian
besar pada preeklampsia. Banyak perubahan endotelial yang
berhubungan dengan preklampsia ternyata dapat diinduksi oleh
peroksidasi lipid pada penelitian ekprimental (Duckitt dan Harrington,
2005; Sibai et al., 2005).
Lipid peroksidasi merupakan penanda stres oksidatif yang
tidak stabil yang mengubah suatu bentuk yang kompleks menjadi
reaktif. Penanda yang umum digunakan untuk mendeteksi produk lipid
peroksidasi antara lain yaitu malondialdehyde (MDA), 4-
hydroxynoneal (4-HNE), dan 8-iso-Prostaglandin F2-alpha (8-
isoprostane). Ada beberapa penunjuk dari stres oksidatif, tetapi hanya
ada beberapa yang mudah dideteksi dalam sampel (sel, jaringan, urin,
darah, dll). Dekomposisi peroksidasi lipid ini dapat diukur denga
berbagai metode seperti thiobarbituric acid (TBA tes) dan flouresensi
untuk malondialdehyde acid, UV spektrofotomenetri untuk konjugasi
dien, GC-MS, HPCL untuk isoprostane (Keman, 2014)
C. Tinjauan Tentang Malondialdehyde (MDA)
Malondialdehid (MDA) adalah senyawa organik dengan rumus
CH2(CHO)2. Struktur senyawa ini lebih kompleks dan sangat reaktif, terjadi
secara alami dan merupakan penanda stres oksidatif (Iskandar et al.,
2015)
Malondialdehid (MDA) adalah produk dari lipid peroksidasi dan
telah ditemukan meningkat pada kondisi stres oksidatif. PUFA akan
teroksidasi menjadi peroksida bentuk lipid yang tidak stabil dan menjalani
dekomposisi membentuk senyawa karbonil yang reaktif. Malondialdehid
adalah produk pemecahan utama lipid peroksidasi (Dhananjay et al.,
2013).
Malondialdehyde (MDA) merupakan salah satu golongan aldehid
yang dihasilkan akibat peroksidasi asam lemak poli tak jenuh yang
mempunyai ikatan rangkap lebih. Peningkatan kadar MDA dalam
suspense lazim digunakan sebagai salah satu indikator untuk peroksidasi
lipid membran. Asam lemak tak jenuh ganda yang mengandung dua atau
lebih ikatan rangkap sangat rentang terhadap oksidasi oleh radikal bebas
atau molekul-molekul reaktif lainnya. molekul reaktif seperti radikal
hidroksil menarik atom hydrogen dari ikatan rangkap asam lemak tak
jenuh dan membentuk radikal peroksidasi lipid. Radikal ini kemudian
beraksi dengan asal lemak tak jenuh lainnya membentuk hidroperoksida
lipid dan radikal peroksidasi lipid yang baru, yang kemudian meneruskan
reaksi oksidasi terhadap lipid lainnya, biasanya disebut dengan auto-
oksidasi lipid atau peroksidasi lipid. Proses tersebut juga akan
membentuk endoperoksida siklik yang akan terurai menjadi
malondialdehid (Sari, 2012)
Gambar 2.4. Perioksidasi lipid (Sari, 2012)
Malondialdehyde (MDA) merupakan hasil utama peroksidasi
asam arakhidonat, asam eicosapentainonoat dan asam
decosohexaenoat. MDA terbentuk saat biosintesis, seperti pada
metabolisme prostaglandin H2 oleh tromboksan atau prostasiklin.lipid
hiperoksida dan aldehid juga dapat dibsobsi dari makanan, yaitu
beberapa makanan yang mengandung MDA dapat diabsobsi melalui usus
dan diekskresi melalui urin (Halliwell 2000).
BOSS (Biomarker Oxidative Stress Study) tahun 2002 merupakan
penelitian yag terakhir dilakukan secara lengkap di Amerika Serikat yang
disponsori dan diorganisir oleh National Institute of Environmental Health
Sciences (NIEHS) merupakan penelitian komprehensif pertama untuk
menilai beberapa marker stress oksidatif dengan model yang sama untuk
menentukan petanda biologis yang tidak invasif, mempunyai spesifitas,
sensifitas dan selektifitas terbaik. Dengan model tikus yang diberikan
CCI4 yang dapat menginduksi terbentuknya kerusakan jaringan akibat
radikal bebas. Efek kerusakan yang dilihat dari produk hasil peroksidasi
lipid, protein dan DNA diukur dari sampel plasma dan urin, dan dinilai
hubungannya dengan dosis dan waktu. Berbagai substansi yang diteliti
meliputi lipid hidrokperoksida, TBARS, MDA, Isoprostan, Protein Kaboni,
8-hydroxy-2deoxyguanosine (8OhdG), leukocyte DNA-MDA adduct dan
DNA standbreak. Peneliti menyimpulkan kadar plasma MDA, kadar
isoprostan dalam plasma dan urin, sebagai petanda biologis stress
oksidatif yang reliable (Dalle-Donne et al, 2006)
MDA dibentuk sebagai bahan dikarbonil (C3H4O2) dengan
berat molekul rendah (berat formula = 72,07), rantai pendek, dan bersifat
volatil asam lemah (pKa =4,46), dihasilkan sebagai produk sampingan
pembentukan eikosanoid enzimatik dan produk akhir degradasi oksidatif
asam lemak bebas non enzimatik. Hingga saat ini, MDA telah
ditemukan hampir di seluruh cairan biologis, termasuk pada plasma, urin,
cairan persendian, cairan bronkoalveolar, cairan empedu, cairan getah
bening, cairan mikrodialisis dari pelbagai organ, cairan amnion, cairan
perikardial dan cairan seminal. Namun plasma dan urin merupakan
sampel yang paling umum digunakan karena paling mudah didapatkan
dan paling tidak invasive. Data yang tersedia hingga saat ini juga
menunjukkan pengukuran kadar MDA baik dari plasma maupun urin
memberikan hasil yang sama akurat dan presis dari indeks stres
oksidatif (Keman, 2014).
MDA sangat cocok sebagai biomarker untuk stres oksidatif karena
beberapa alasan, yaitu : (1) Pembentukan MDA meningkat sesuai dengan
stres oksidatif, (2) kadarnya dapat diukur secara akurat dengan berbagai
metode yang telah tersedia, (3) bersifat stabil dalam sampel cairan tubuh
yang diisolasi, (4) pengukurannya tidak dipengaruhi oleh variasi diurnal
dan tidak dipengaruhi oleh kandungan lemak dalam diet, (5) merupakan
produk spesifik dari peroksidasi lemak, (6) terdapat dalam jumlah yang
dapat dideteksi pada semua jaringan tubuh dan cairan biologis, sehingga
memungkinkan untuk menentukan referensi interval (Susantha, 2013).
Biomarker ini dapat digunakan sebagai pengukuran status stress
oksidatif inn vivo dengan tepat (Santo dkk, 2013). Diantara molekul bilogis,
lipid nampaknya menjadi yang paling rentan terhadap serangan ROS
(Barrera, 2012). Peroksidasi lipid juga terlibat dalam proses
neurogenerative (Montine et al, 1999). Oleh karena itu peroksidasi lipid
lebih mungkin digunakan sebagai biomarker untuk pengukuran status
stress oksidatif ini vivo penyakit neurogenerative (Ferreira et al, 2006).
Tingkat produk peroksidasi lipid dalam cairan biologis dan jaringan dari
subyek manusia telah lama diukur secara ekstensif (Halliwell, 2000). Saat
ini, berbagai produk perosidasi lipid dierpkan sebagai standar penilaian
peroksodasi lipid dan status stress oksidatif in vivo.
Pengukuran Kadar MDA
Malondialdehyde merupakan salah satu dari beberapa substansi
dengan berat molekul ringan, yang dihasilkan pada proses peroksida
lipid. Banyak peneliti menemui kegagalan dalam pengukuran MDA bebas.
Hal ini disebabkan kadarnya sangat rendah dan dapat bereaksi secara
cepat dengan grup amin dan thiol, serta dalam jaringan metabolisme
oleh enzim aldehid dehidogenase dan terbentuk asetil CoA, MDA juga
dapat dengan mudah disekresi melalui urin (Favier et al, 1995).
Conjugated atau polymerized MDA dapat terhidrolisa dalam
medium asam dan labil dalam pemanasan. Metode TBARS
menggunakan teknik kolometri dengan melihat perubahan warna, tetapi
mempunyai hasil yang tidak spesifik, oleh karena itu juga terukur aldehid
yang lain. Hasil TBA-MDA mempunyai hasil yang lebih baik dengan
menggunnakan teknik fluorometri. Pemeriksaan yang lebih spesifik
menggunakan metode high performance liquid chomatography (HPLC) /
Spektrofotometri. Metode spektrofotometri ini memenuhi kriteria akurasi,
spsifitas dan sensitivits, dan metode ini sebagai pilihan untuk evaluasi
status stres oksidatif (Favier et al, 1995).
Nilai normal MDA tergantung metode yang digunakan , lebih dari
4µmol/l dengan mengukur TBARS dengan metode kolometri, kadar
normal hingga 2,5 µmol/l dengan meode fluorometri, dan kadar 0,60-1
µmol/l dengan metode HPLC, dan saat ini merupakan metode pilihan
sebagai penanda biologis stres oksidatif. Dengan metode
spektrofotometri dapat ditentukan kadar plasma MDA yang menunjukkan
secara spesifik kadar plasma total dan memberikan hasil serupa dengan
kadar yang didapat dengan menggunakan HPLC, dengan koofisien
variasi 1,2-3,4%. Kadar MDA dengan metode spektrofotometri 1,4±0.43
µmol/l. (Donne et al, 2006).
D. Kerangka Teori
Preeklampsia bukan merupakan suatu “One Disease” namun
melibatkan seluruh aspek maternal, plasental, dan fetal. Sementara itu
etiologinya dapat dikelompokkan menjadi 4 kelompok utama, yaitu
genetik, immunologik, nutrisi, dna infeksi, serta interaksi diantara
semuanya, didukung oleh faktor lingkungan.
Preeklampsia merupakan gangguan dengan 2 tahapan, yaitu
kelainan plasentasi dan sindrom maternal.
a. Kelainan Plasentasi
Tahap pertama pada preeklampsia bersifat asimptomatik, ditandai
dengan kelainan perkembangan plasenta selama trimester I yang
mengakibatkan insufisiensi plasenta dan pelepasan berbagai bahan
plasenta ke sirkulasi maternal. Pada preeklampsia, sel-sel
sitotrofoblas gagal untuk mengaktivasi perubahan integrin-integrin dan
molekul-molekul adesi sel permukaan sehingga terjadi kegagalan
pseudovaskulogenesis. Diferensiasi sitotrofoblas abnormal ini
merupakan gejala dini yang akan dapat berakhir menjadi iskemia
plasenta.
b. Sindroma Maternal
Tahap kedua pada preeklampsia merupakan tahap simptomatis yang
umumnya muncul setelah usia kehamilan 20 minggu ditandai dengan
hipertensi, kerusakan ginjal dengan endoteliosis glumerulus yang
menyebabkan proteiunuria, eklampsia, sindroma HELLP (Hemolisis
Elevated Liver enzymes, Low Platelet Count) dan kerusakan organ-
organ lainnya. Gejala klinis tersebut disebabkan oleh aktivasi sel-sel
endotel yang telah terjadi pada tahap pertama dengan respon
inflamasi sistemik di seluruh organ tubuh yang ditandai dengan
peningkatan permeabilitas vaskuler serta hipoperfusi organ.
Pada teori iskemia plasenta disebutkan bahwa pada preeklampsia
terjadi penurunan perfusi uteroplasenta yang menyebabkan hipoksia,
iskemia, dan insfisiensi plasenta, sehingga menghasilkan ROS seperti
superoksida O2, rasikal hidroksil (OH-), dan hidrogen peroksida (H2O2)
yang masuk ke sirkulasi maternal. ROS akan menyebabkan disungsi
endotel yang merupakan awal terjadinya gejala klinis preeklampsia.
Reactive Oxygen Species diproduksi selama proses metabolik
dan fisiologis normal. Namun, pada kondisi tertentu, peningkatan oksidan
dan penurunan antioksidan tidak dapat dicegah sehingga kseimbangan
antar antioksidan dan oksidan bergeser pada kondisi stres oksidatif yang
terlibat pada banyak kondisi patologis.
Stres oksidatif telah dianggap sebagai jalur utama dalam
terjadinya kerusakan endotel. Stres oksidatif disebabkan karena
ketidakseimbangan antara oksidan dan antioksidan. Komponen-
kompotnen maternal terutama neutrofil dan lipid-lipid yang rentan
terhadap oksidasi kemudian plasenta dan faktor-faktor yang berasal dari
plasenta dapat menginduksi suatu stres oksidatif yang pada akhirnya
menyebabakan disfungsi sel endotelial luas dengan segala manifestasi
klinisnya.
Malondialdehyde (MDA) merupakan salah satu golongan aldehid
yang dihasilkan akibat peroksidasi asam lemak poli tak jenuh yang
mempunyai ikatan rangkap lebih. Boimarker ini dapat digunakan untuk
pengukuran status stress oksidatif in vivo dengan tepat. Kadar MDA
dengan metode spektrofotometri 1,4±0.43 µmol/l.
Plasenta Hipoksia Relatief
VEGF, PIGF
Angiogenesis branching
Immunological factor Obesitas Genetik Factor Radikal Bebas
Invasi tropoblas superfisial
Kegagalan remodelling arteri spiralis
Aliran darah
Plasenta Hipoksia Berkepanjangan / Iskemia
Resistensi Insulin
Depris tropoblas pada
sirkulasi ibu
Sitokin Inflamasi
Lipid Peroxidese /
MDA
VEGF , PIGF
Disfungsi Endotel
Nitric Oxide Sindrom Maternal
Preeklampsia
ROS, ET-1
Ekspresi
HLA-G di
desidua
AA AT II
Angiogenesis non
branching
sFlt-1
E. Kerangka Konsep
Kerangka konsep dalam penelitian ini terdiri dari variable
Dependen yaitu kadar MDA dan variable independen yaitu ibu
preklampsia. Kerangka konsep penelitian digambarkan sebagai berikut :
Gambar 2.4. Kerengka Teori
Keterangan :
: Variabel Independen
: Variabel Dependen
: Variabel Antara
Preeklampsia
1. Kadar MDA Plasma
Ibu
2. Kadar MDA Plasenta
- Iskemia Plasenta :
peningkatan Sitokin,
peningkatan lipid
peroxide, penurunan
PIGF, dan peningkatan
sFlt-1
- Disfungsi Endotel :
Penurunan Nitric
Oxide, peningkatan
ROS
- Sindrom Maternal :
Proteinuria, hipertensi,
trombositopenia.
F. Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah “Kadar MDA Pada
Preeklampsia Lebih Tinggi Dibandingkan Dengan Kehamilan Normal, Baik
Pada Plasma Ibu Maupun Plasenta di RSKDIA Siti Fatimah Makassar”.
G. Definisi Operasional
Tabel 2.2. Definisi Operasional dan Skala Pangukuran Variabel
Variabel Defisi Operasional Kreiteria
Objektif
Instrumen Skala
MDA Singkatan dari Malondialdehyde, yang merupakan penanda adanya stress oksidatif ataupun kerusakan sel. Kadar yang diukur dalam penelitian ini yaitu dari plasma ibu dan plasenta penderita preeklampsia, sedangkan kontrolnya ialah ibu bersalin normal dengan menggunakan ELISA kit dengan metode spektrofotometri
Tidak terdapat
cut off point
Reagen
ELISA Kit
Rasio
Preeklampsia Kelainan malfungsi
endotel pembuluh
darah yang ditandai
dengan :
a. TD ≥ 140/90 mmHg
b. Proteinuri > 0,3
mg/dl
1. Ya
2. Tidak
Lembar
observasi
Nominal