PERBEDAAN REGULASI EMOSI PADA ATLET BELADIRI TAEKWONDO
PRIA DAN WANITA DI SALATIGA
Oleh
Melinda Inesia Ritavip
802009014
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk
Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2015
Abstrak
Perbedaan jenis kelamin dalam mengekspresikan emosi dihubungkan dengan
perbedaan dalam tujuan laki-laki dan perempuan mengontrol emosinya. Perempuan
lebih mengekspresikan emosi untuk menjaga hubungan interpersonal serta membuat
mereka tampak lemah dan tidak berdaya. Sedangkan laki-laki menunjukan sifat
maskulinnya, yang tampak tegar dan kuat Tamres (2002). Peneliti mengambil populasi
90 keseluruhan Atlet yang ada di kota Salatiga berdasarkan data yang didapat dari
wisma Atlet Salatiga. Sampel yang digunakan pada penelitian ini semua populasi yaitu
90 orang.
Kata kunci :Regulasi Emosi, Jenis Kelamin, Prestasi Atlet
Abstract
Gender differences in expressing emotions associated with the differences in the
objectives of men and women in control of his emotions. Women are more emoting to
maintain interpersonal relationships as well as make them look weak and helpless.
While men showed the nature of the maskulinnya, who looked rigid and strong Tamres
(2002). Researchers took population 90 overall Athletes in Salatiga City based on data
obtained from the guesthouse Athletes Salatiga. The sample used in this study
population, i.e. all 90 people.
Key words: regulation of Emotions, sex, the achievements of Athletes
1
PENDAHULUAN
Olahraga adalah proses sistematik yang berupa segala kegiatan atau usaha yang
dapat mendorong, mengembangkan, serta membina potensi jasmaniah dan rohaniah
seseorang. Olahraga juga dapat memunculkan tingkah laku yang tidak dapat dipisahkan
dari aspek-aspek psikis yang mendasarinya. Pada cabang-cabang olahraga tertentu
aspek psikis tidak terlalu dominan, namun pada cabang olahraga lain aspek psikis cukup
atau bahkan sangat berperan (Purwanto, 2006).
Peranan aspek psikis dalam olahraga Taekwondo sangat penting. Taekwondo
adalah salah satu bela diri yang berasal dari Korea yang saat ini sudah banyak berdiri di
berbagai negara. Bela diri ini menggunakan teknik tendangan dan pukulan. Taekwondo
adalah gabungan dari teknik perkelahian, bela diri, olahraga, olah tubuh, hiburan, dan
filsafat. Taekwondo yang cenderung sebagai olahraga fisik secara psikis sangat
berperan dalam proses pelatihan maupun dalam kehidupan bermasyarakat. Berkaitan
dengan psikis ada dua hal yang diberikan saat belajar Taekwondo, yaitu moral dan
mental. Masalah moral dan mental merupakan modal utama seseorang hidup
bermasyarakat dan semua itu diajarkan dalam Taekwondo (Tirtawirya, 2005). Atlet
yang mempunyai kondisi fisik yang bagus dan prima belum tentu menghasilkan prestasi
yang gemilang kalau tidak didukung oleh mental yang baik (Gunarsa, 1996).
Pengendalian emosi ketika bermain atau bertanding acapkali menjadi faktor penentu
dalam mencapai kemenangan. Tidak mampu menguasai emosi merupakan suatu
pelanggaran dalam sebuah pertandingan yang dapat menyebabkan seorang atlet di
diskualifikasi (Gunarsa, 1996).
Di dalam karakter latihan Taekwondo secara tradisional mengajarkan kepada
seseorang untuk lebih sadar diri dan secara aktif mengevaluasi pertumbuhan diri serta
2
peningkatan pikiran dan tindakan (Richman & Rehberg, 1986). Kepercayaan diri yang
berkaitan dengan fisik dalam beladiri adalah penting, karena tidak hanya untuk
mendorong indera perasa seseorang dalam melakukan berbagai latihan fisik, dan
kepercayaan diri ini dapat diwujudkan dalam meningkatkan kekuatan fisik (Guthrie,
1995), dan mengurangi perasaan-perasaan mudah terluka oleh serangan fisik (Madden,
1990). Dalam sebuah studi yang didalamnya terdapat murid-murid sekolah laki-laki dan
perempuan yang terdaftar dalam kelas-kelas karate, teknik pertahanan diri yang
diajarkan di kelas ini dapat mengurangi perasaan yang mudah tersakiti dari serangan
fisik baik untuk laki-laki dan perempuan ketika mendapatkan serangan fisik,(Madden,
1990).
Ketika dihadapkan dengan tantangan yang menyangkut kemampuan fisik yang
baru (seperti tendangan samping), murid-murid Taekwondo belajar untuk menghadapi,
mengatasi kegelisahan dan ketakutan; kemampuan dalam menghadapi beberapa
tantangan adalah pengendalian diri yang dapat dikatakan sebuah alat inti yang diajarkan
melalui seni beladiri (Weiser, Kutz, Kutz, & Weiser, 1995). Mereka menemukan bahwa
Taekwondo menghasilkan kemajuan yang berpengaruh, termasuk pengendalian emosi
yang lebih besar dalam merespon sebuah tantangan dan perilaku prososial yang lebih
besar di dalam ruang kelas dan lingkungan sekolah (Weiser, Kutz, Kutz, & Weiser,
1995).
Menyadari bahwa fenomena yang diangkat dalam penelitian ini adalah mengenai
atlet tekwondo emosi-emosi negatif yang dialaminya sebagai akibat dari berbagai
tekanan yang dialaminya, maka perbedaan individu yang akan dibahas disini adalah pria
dan wanita.
3
Hal ini regulasi sangat penting untuk diteliti karena bahwa emosi timbul dari
penlilaian kognitif individu terhadap sebuah situasi yang dinilai mempengaruhi
kesejahteraan personal individu. Oleh karena itu, sebuah situasi yang sama atau mirip
dapat menimbulkan emosi-emosi yang berbeda bagi tiap individu, tergantun dari
penialain kognitif masing-maing individu.
Menurut Middendrop (dalam Umar, 2012) ada beberapa faktor yang
mempengaruhi regulasi emosisalah satunya adalah jenis kelamin. Beberapa penelitian
menemukan bahwa laki-laki dan perempuan berbeda dalam mengekspresikan emosi
baik verbal maupun ekspresi wajah sesuai dengan jenis kelamin. Perempuan
menunjukkan sifat kelembutannya dengan mengekspresikan emosi sedih, takut, cemas,
dan menghindari mengekspresikan emosi marah dan bangga yang menunjukan sifat
maskulin atau menunjukkan sifat laki-laki. Perbedaan jenis kelamin dalam
mengekspresikan emosi dihubungkan dengan perbedaan dalam tujuan laki-laki dan
perempuan mengontrol emosinya. Perempuan lebih mengekspresikan emosi untuk
menjaga hubungan interpersonal serta membuat mereka tampak lemah dan tidak
berdaya. Sedangkan laki-laki menunjukan sifat maskulinnya, yang tampak tegar dan
kuat.
Hasil penelitian yang dilakukan Miftakhul (2012) terhadap 51 orang atlet lari
100 meter perorangan yang mengikuti POMNAS XII tahun 2011 menunjukkan aspek
psikologis yang berupa regulasi emosi memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap
pencapaian prestasi atlet. Melalui proses kognitif, atlet meregulasi stimulasi emosi yang
diterima dan memilih strategi yang tepat untuk melakukan tugas geraknya secara
efektif. Efektivitas gerak yang dilakukan akan meningkatkan efisiensi waktu dalam
kompetisi.
4
Temuan lain juga memperlihatkan kepercayaan diri, konsentrasi, dan goal
setting turut mempengaruhi capaian prestasi seorang atlet. Atlet yang memiliki
kepercayaan diri akan lebih berkonsentrasi terhadap tugas gerak yang harus dilakukan.
“Atlet yang memiliki regulasi emosi tinggi akan lebih konsentrasi terhadap tugas
gerak yang harus dilakukan sehingga mempercepat waktu tempuh yang diraih. Begitu
pula atlet yang menetapkan goal setting dalam dirinya akan terdorong untuk presisten
dalam berlatih untuk meraih prestasi, kata wanita kelahiran Kediri, 17 Januari 1972.
Emosi memegang peranan penting pada seseorang dalam mempersiapkan
anggapan melalui tingkah laku seseorang. Emosi yang ada dalam individu sangat
menentukan bagaimana individu tersebut merespon dan memaknai perilaku. Fungsi
emosi yang utama adalah untuk mengkoordinir sistem tanggap, sehingga seseorang
dapat mengendalikan dan meregulasi emosi tersebut (Levenson dalam Gross, 2007).
Menurut Gross (dalam Manz, 2007), respon emosional dapat menuntun individu ke arah
yang salah, pada saat emosi tampaknya tidak sesuai dengan situasi tertentu. Individu
sering mencoba untuk mengatur respon emosional agar emosi tersebut dapat lebih
bermanfaat untuk mencapai tujuan, sehingga diperlukan suatu strategi yang dapat
diterapkan untuk menghadapi situasi emosional berupa regulasi emosi yang dapat
mengurangi pengalaman emosi negatif maupun respon-respon sikap yang tidak tepat
fungsi.
Kemampuan penguasaan emosi disebut dengan regulasi emosi. Regulasi emosi
adalah kemampuan untuk tetap tenang di bawah tekanan. Individu yang memiliki
kemampuan regulasi emosi positif dapat mengendalikan dirinya apabila sedang kesal
dan dapat mengatasi rasa cemas, sedih, atau marah sehingga mempercepat dalam
pemecahan suatu masalah. Pengekspresian emosi, baik negatif ataupun positif,
5
merupakan hal yang sehat dan konstruktif asalkan dilakukan dengan tepat (Shaffer,
2005).
Menurut Fischer (dalam Coon, 2005), wanita lebih dapat melakukan regulasi
terhadap emosi marah dan bangga, sedangkan laki-laki pada emosi takut, sedih dan
cemas. Laki-laki lebih mengekspresikan marah dan bangga untuk mempertahankan dan
menentukan dominasi. Benner dan Salovey (1997) mengatakan bahwa wanita lebih
sering berusaha mencari dukungan sosial untuk menghadapi stres, sedangkan pria lebih
memilih melakukan aktivitas fisik untuk mengurangi stres. Wanita lebih sering
menggunakan emotion focused regulation yang melibatkan komponen kognitif dan
emosi dari pada pria.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Garnefski (dalam Umar, 2012),
terungkap bahwa perempuan dan laki-laki memiliki regulasi emosiyang berbeda.
Selanjutnya, menurut Garnefski (2001) terdapat beberapa macam strategi-strategi untuk
meregulasi emosi, yaitu menyalahkan diri sendiri (self blame), menyalahkan orang lain
(blaming others), menerima (acceptance), tidak fokus pada rencana (refocus on
planning). Tidak fokus pada rencana (Refocusing on planning) merupakan meniru
strategi (copying strategy) yang memiliki hubungan positif dengan pengukuran harga
diri (self esteem) dan optimisme yang memiliki hubungan negatif dengan pengukuran
kecemasan.
Dalam penelitian Nolen-Hoeksema & Aldao (2011), didapatkan hasil bahwa
tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam hal regulasi emosi. Penelitian
di atas didukung oleh pendapat Tamres (2002), bahwa pria dan wanita memiliki
kemampuan yang sama untuk merasakan semua emosi, mulai dari cinta,duka, hingga
kemarahan. Kebanyakan pria lebih reaktif secara psikis terhadap konflik dibandingkan
6
wanita, namun kedua jenis kelamin terkadang memiliki perbedaan persepsi dan atribusi
yang menghasilkan emosi dan intensitas manusia. Begitu juga dalam taekwondo baik
pada pria dan wanita masing-masing memiliki tingkat regulasi emosi, yang menjadi
permasalahan dalam penelitian ini adalah apakah dalam taekwondo terdapat perbedaan
regulasi emosi baik pada pria maupun wanita.
Berdasarkan beberapa hasil penelitian di atas terjadi perbedaan pendapat bahwa
ada perbedaan regulasi emosi antara pria-wanita dan tidak ada perbedaan regulasi emosi
antara pria dan wanita. Maka peneliti merasa sangat perlu untuk melakukan penelitian
ini juga dikarenakan perbedaan hasil penelitian tersebut dan sangat sedikit penelitian
mengenai bidang terkait. Untuk mengontrol variabel-variabel terkait agar tidak
menambah indikator dalam penelitian ini diperlukan rumusan masalah yang jelas
mengenai regulasi emosi yang berhubungan dengan perbedaan jenis kelamin.
Berdasarkan hal-hal yang dipaparan di atas, maka rumusan penelitian ini adalah
adakah perbedaan regulasi emosi berdasarkan jenis kelamin pada atlet beladiri
taekwondo pria dan wanita di Salatiga? Adapun tujuan penelitian ini yaitu: untuk
mengetahui adakahperbedaan regulasi emosi berdasarkan jenis kelamin terhadap
prestasiatlet beladiri taekwondo pria dan wanita di Salatiga.
Hipotesis
Hipotesi dalam Penelitian ini adalah :
Ha : Terdapat perbedaan regulasi emosi pada atlet beladiri taekwondo pria dan wanita
di Salatiga
H0 : Tidak terdapat perbedaan regulasi emosi pada atlet beladiri taekwondo pria dan
wanita di Salatiga.
7
Rumusan masalah
Berdasarkan dari latar belakang serta fenomena yang ada, maka masalah pada
penelitian ini dapat dirumuskan “adakah perbedaan regulasi emosi berdasarkan jenis
kelamin pada atlet beladiri taekwondo pria dan wanita di Salatiga?”
Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui adakah perbedaan regulasi
emosi berdasarkan jenis kelamin terhadap prestasi atlet beladiri taekwondo pria dan
wanita di Salatiga.
Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan yang berarti bagi
perkembangan ilmu psikologi, khususnya psikologi klinis dan psikologi olahraga
dengan cara memberi tambahan data empiris yang sudah teruji secara ilmiah dan
merangsang kepada penelitian selanjutnya untuk mengadakan penelitian pada bidang
psikologi olahraga dan psikologi.
1.1.Manfaat Praktis
Bagi pelatih, pengetahuan ini diharapkan dapat menjadi masukan dan informasi
yang berkaitan dengan perbedaan regulasi emosi antara atlet laki-laki dan
perempuan sehingga dapat digunakan dalam sebagai acuan dalam memberikan
pelatihan untuk membedakan regulasi emosi antara laki-laki dan perempuan.
Bagi atlit Taekwondo, hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan atlet untuk
mengontrol emosi pada saat mengikuti latihan maupun kejuaraan. Dengan
menggunakan latihan meditasi.
Bagi peneliti, hasil penelitian ini diharapkan dapat mengetahui perbedaan regulasi
emosi berdasarkan jenis kelamin pada atlet beladiri taekwondo pria dan wanita.
8
Regulasi Emosi
1. Definisi Regulasi Emosi
Regulasi emosi yang dimaksud lebih kepada kemampuan individu dalam
mengatur dan mengekspresikan emosi dan perasaan tersebut dalam kehidupan sehari-
hari. Regulasi emosi diri ini lebih pada pencapaian keseimbangan emosional yang
dilakukan oleh seseorang baik melalui sikap dan perilakunya.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa regulasi emosi ialah
suatu proses intrinsik dan ekstrinsik yang dapat mengontrol serta menyesuaikan emosi
yang muncul pada tingkat intensitas yang tepat untuk mencapai suatu tujuan yang
meliputi kemampuan mengatur perasaan, reaksi fisiologis, cara berpikir seseorang, dan
respon emosi (ekspresi wajah, tingkah laku dan nada suara) serta dapat dengan cepat
menenangkan diri setelah kehilangan control atas emosi yang dirasakan.
2. Rangkaian Proses Regulasi Emosi
Gross (dalam Strongman, 2003) membuat daftar lima rangkaian proses, regulasi
emosi yaitu :
1. Pemilihan situasi.
Mereka dapat mendekati atau menghindari orang, tempat atau objek. Proses
regulasi emosi ini melibatkan mengambil tindakan yang memperbesar atau
memperkecil kemungkinan bahwa mereka akan sampai pada sebuah situasi
yang mereka perkirakan akan memunculkan emosi yang diharapkan (atau
tidak diharapkan).
9
2. Perubahan situasi.
Situasi-situasi yang berpotensi membangkitkan emosi. Upaya untuk
memodifikasi situasi secara langsung untuk mengubah dampak
emosionalnya merupakan salah satu bentuk regulasi emosi yang kuat.
3. Penyebaran perhatian.
Termasuk di sini, contohnya, bingung atau gangguan, konsentrasi dan/atau
perenungan. Attentional deployment adalah salah satu proses regulasi emosi
yang pertama muncul di dalam perkembangan dan tampaknya digunakan
sejak masa bayi sampai masa dewasa, terutama ketika tidak mungkin
mengubah atau memodifikasi situasi mereka. Bukan hanya bayi dan anak-
anak kecil yang secara spontan mengalihkan pandangannya dari kejadian
aversif (dan mengarahkannya pada hal-hal yang menyenangkan), tetapi
proses atensional mereka juga dapat dipandu oleh orang lain dengan maksud
mengelolanya. Di dalam contoh yang diberikan sebelumnya, regulasi emosi
melibatkan fasilitasi perubahan perhatian pada anak dengan membuat si anak
memfokuskan perhatiannya pada apa yang diinginkannya sebagai hadiah
ulang tahun.
Attentional deployment dapat dianggap sebagai versi internal dari seleksi
situasi. Dua strategi atensional yang utama adalah distraksi dan konsentrasi.
Distraksimemfokuskan perhatian pada aspek-aspek yang berbeda dari situasi
yang dihadapi, atau memindahkan perhatian dari situasi itu ke situasi lain,
misalnya ketika seorang bayi mengalihkan pandangannya dari stimulus yang
membangkitkan emosi untuk mengurangi stimulasi. Distraksi juga bisa
10
melibatkan mengubah fokus internal, misalnya ketika individu
membangkitkan pikiran atau ingatan yang tidak konsisten dengan keadaan
emosional yang tidak diharapkan atau ketika seorang aktor sengaja
mengingat tentang sebuah insiden emosional agar dapat menggambarkan
sebuah emosi dengan meyakinkan. Jadi, (attentional deployment)bisa
memiliki banyak bentuk, termasuk pengalihan perhatian secara fisik
(misalnya menutup mata atau telinga), pengubahan arah perhatian secara
internal (misalnya melalui distraksi atau konsentrasi), dan merespon
pengalihan arah perhatian oleh orang lain.
4. Perubahan kognitif.
Perubahan penilaian yang dibuat dan termasuk di sini adalah pertahanan
psikis dan pembuatan pembandingan sosial dengan yang ada di bawahnya
(keadaannya lebih buruk daripada saya). Pada umumnya, hal ini merupakan
transformasi kognisi untuk mengubah pengaruh kuat emosi dari situasi.
Perubahan kognitif mengacu pada mengubah cara kami menilai situasi kami
terlibat di dalamnya untuk mengubah signifikansi emosionalnya, dengan
mengubah bagaimana kami memikirkan tentang situasinya atau tentang
kapasitas kami untuk menangani tuntutan-tuntutannya.
5. Perubahan respon.
Ini terjadi pada bagian akhir, termasuk di sini penggunaan obat, alkohol,
latihan, terapi, makan atau penekanan (Strongman, 2003). Modulasi respon
mengacu pada mempengaruhi respon fisiologis, pengalaman, atau perilaku
selangsung mungkin. Upaya untuk meregulasi aspek-aspek fisiologis dan
11
pengalaman emosi adalah hal yang lazim dilakukan. Obat mungkin
digunakan untuk mentarget respon-respon fisiologis seperti ketegangan otot
(anxiolytics) atau hiperaktivitas (sistem-syaraf) simpatik (beta blockers).
Olahraga dan relaksasi juga dapat digunakan untuk mengurangi aspek-aspek
fisiologis dan pengalaman emosi negatif, dan, alkohol, rokok, obat, dan
bahkan makanan, juga dapat dipakai untuk memodifikasi pengalaman emosi.
Menurut Garnefski (2001) terdapat beberapa strategi untuk meregulasi emosi,
yaitu :
1. Menyalahkan diri sendiri (Self blame) disini adalah mengacu kepada pola
pikir menyalahkan diri sendiri. Beberapa penelitian menemukan bahwa
self blame berhubungan dengan depresi dan pengukuran kesehatan
lainnya.
2. Menyalahkan orang lain (Blaming others) adalah mengacu pada pola
pikir menyalahkan orang lain atas kejadian yang menimpa dirinya.
3. Menerima (Acceptance) adalah mengacu pada pola pikir menerima dan
pasrah atas kejadian yang menimpa dirinya. (Acceptance) merupakan
strategi (coping) yang memiliki hubungan yang positif dengan
pengukuran keoptimisan dan hraga diri (self esteem) dan memiliki
hubungan yang negatif dengan pengukuran kecemasan.
Penelitian terbaru mengklasifikasikan perbedaan strategi yang
digunakan individu untuk meningkatkan (mood)negatif dengan
menggunakan salah satu dari (coognitive)atau (behavioral)dan salah satu
dari strategi (diverson)atau (engagement)menurut Parinskon dan Toterdel
12
(dalam Atkinson & Hilgard’s, 2003). Berikut adalah tabel klasifikasi
strategi regulasi mood:
Tabel 2.1 Klasifikasi strategi regulasi mood
Klasifikasi Kognitif Kepribadian
1. Diverson
a. Disengagement
Menghindari berfikir
tentang permasalahan
Menghindari situasi
yang bermasalah
b. Distraction
Berfikir tentang sesuatu
yang menyenangkan
atau sangat menarik
Melakukan sesuatu yang
menyenangkan
2. Engagement
a. Affect-directed
Penilaian kembali
(reapraise)
Melepaskan perasaan,
mencari kenyamanan
b. Situation-directed
Berfikir bagaimana cara
untuk menyelesaikan
permasalahan
Mengambil tindakan
untuk menyelesaikan
permasalahan
Bentuk lazim lain dari modifikasi respon melibatkan regulasi perilaku yang
mengekspresikan emosi (Gross, & John, 2003). Banyak studi menunjukkan bahwa
menginisiasi perilaku ekspresif-emosi sedikit meningkatkan perasaan tentang emosi itu.
Menariknya, mengurangi perilaku ekspresif-emosi tampaknya mempunyai efek
menurunkan pengalaman emosi positif tetapi tidak menurunkan pengalaman emosi
negatif dan benar-benar meningkatkan aktivasi (sistem syaraf) simpatik (Gross, 1998).
13
3. Faktor-Faktor Regulasi Emosi
Faktor-Faktor yang mempengaruhi regulasi emosi menurut Salovey dan Sluyter
(dalam Kartika, 2004) antara lain :
1. Hubungan Antara Orang tua danAnak
Hubungan antara mahasiswa dengan orangtua sangat penting pada masa
perkembangan dewasa awal. Mahasiswa menginginkan pengertian yang bersifat
simpatis, telinga yang peka, dan orangtua yang dapat merasakan anak-anaknya
memiliki sesuatu yang berharga untuk dibicarakan (Rice, 1999). Menurut Rice,
(affect)yang berhubungan dengan emosi atau perasaan yang ada di antara anggota
keluarga bisa bersifat positif ataupun negatif. (Affect) yang positif antara anggota
keluarga menunjuk pada hubungan yang digolongkan pada emosi seperti
kehangatan, kasih sayang, cinta, dan sensitivitas (Felson & Zielinski dalam Rice,
1999).
Dengan adanya kebutuhan (affect) tersebut maka Banerju (1997) mengemukakan
bahwa orangtua memiliki pengaruh dalam kehidupan emosi anak-anaknya.
2. Umur dan Jenis Kelamin
Salovey dan Sluyter (1997) menyimpulkan bahwa anak perempuan lebih banyak
mencari dukungan dan perlindungan dari orang lain untuk meregulasi emosi negatif
mereka sedangkan anak laki-laki menggunakan latihan fisik untuk meregulasi
emosi negatif mereka.
14
3. Hubungan Interpersonal
Salovey dan Sluyter (1997) juga mengemukakan bahwa hubungan interpersonal
dan individual juga mempengaruhi regulasi emosi. Keduanya berhubungan dan
saling mempengaruhi, sehingga emosi meningkat bila individu yang ingin
mencapai suatu tujuan berinteraksi dengan lingkungan dan individu lainnya.
Biasanya emosi positif meningkat bila individu mencapai tujuannya dan emosi
negatif meningkat bila individu kesulitan dalam mencapai tujuannya. Faktor-faktor
lainnya menurut Salovey dan Sluyter (1997) adalah permainan yang mereka
mainkan, program televisi yang mereka tonton, dan teman bermain mereka dapat
mempengaruhi perkembangan regulasi mereka.
Dari pernyataan di atas regulasi emosi pada pria dan wanita dipengaruhi oleh
beberapa faktor diantaranya : Hubungan Antara Orang tua dan Anak, Umur dan
Jenis Kelamin dan Hubungan Interpersonal
4. Aspek-Aspek Regulasi Emosi
Aspek-aspek kemampuan regulasi emosi menurut Thompson (dalam Gross, 2005)
terdiri dari :
1. Emotions Monitoring (Memonitor Emosi).
Memonitor emosi adalah kemampuan individu untuk menyadari dan memahami
keseluruhan proses yang terjadi di dalam diri seperti: perasaan, pikiran, dan
latar belakang dari tindakan. Aspek ini merupakan dasar dari seluruh aspek lain.
Aspek ini merupakan dasar dari seluruh aspek lain. Memonitor emosi
membantu individu terhubung dengan emosi-emosi, pikiran-pikiran, dan
15
keterhubungan ini membuat individu mampu menamakan setiap emosi yang
muncul.
2. Emotions evaluating (Mengevaluasi Emosi).
Mengevaluasi emosi yaitu kemampuan individu untuk mengelola dan
menyeimbangkan emosi-emosi yang dialami. Kemampuan mengelola emosi-
emosi khususnya emosi negatif seperti kemarahan, kesedihan, kecewa, dendam,
dan benci akan membuat individu tidak terbawa dan terpengaruh secara
mendalam. Hal ini mengakibatkan individu tidak mampu lagi berfikir rasional.
Sebagai contoh ketika individu mengalami perasaan kecewa dan benci,
kemudian mampu menerima perasaan tersebut apa adanya, tidak berusaha
menolak, dan berusaha menyeimbangkan emosi tersebut secara konstruktif.
3. Emotion modification (Modifikasi Emosi)
Modifikasi emosi yaitu kemampuan individu untuk mengubah emosi
sedemikian rupa sehingga mampu memotivasi diri terutama ketika inidividu
berada dalam keadaan putus asa, cemas, dan marah. Kemampuan ini membuat
individu mampu menumbuhkan optimisme dalam hidup. Kemampuan ini
membuat individu mampu bertahan dalam masalah yang membebani, mampu
terus berjuang.
Selain aspek-aspek regulasi emosi menurut Thomson (dalam Gross, 2005), terdapat
pula aspek-aspek regulasi emosi menurut Gross (2007) ada empat aspek yang
digunakan untuk menentukan kemampuan regulasi emosi seseorang yaitu :
a. Strategies to emotion regulation (strategi)
Strategies to emotion regulation (strategies ialah keyakinan individu untuk
dapat mengatasi suatu masalah, memiliki kemampuan untuk menemukan suatu
16
cara yang dapat mengurangi emosi negative dan dapat dengan cepat
menenangkan diri kembali setelah merasakan emosi yang berlebihan.
b. Engaging in goal directed behavior (tujuan)
Engaging in goal directed behavior (goals) ialah kemampuan individu untuk
tidak terpengaruh oleh emosi negatif yang dirasakannya sehingga dapat tetap
berpikir dan melakukan sesuatu dengan baik.
c. Control emotional responses (dorongan)
Control emotional responses (impulse) ialah kemampuan individu untuk dapat
mengontrol emosi yang dirasakannya dan respon emosi yang ditampilkan
(respon fisiologis, tingkah laku dan nada suara), sehingga individu tidak akan
merasakan emosi yang berlebihan dan menunjukkan respon emosi yang tepat.
d. Acceptance of emotional response (penerimaan)
Acceptance of emotional response (acceptance) ialah kemampuan individu
untuk menerima suatu peristiwa yang menimbulkan emosi negative dan tidak
merasa malu merasakan emosi tersebut.
Regulasi emosi dapat ditumbuhkan dengan adanya pembelajaran regulasi diri.
Pembelajaran regulasi diri adalah memunculkan dan memonitor sendiri pikiran,
perasaan, dan prilaku untuk mencapai suatu tujuan. Tujuan ini bisa jadi berupa tujuan
akademik (meningkatkan pemahaman dalam membaca, menjadi penulis yang baik,
belajar perkalian, dan mengajukan pertanyaan yang relevan), atau tujuan
sosioemosional (mengontrol kemarahan dan belajar akrab dengan teman sebaya).
Karakteristik dari pembelajaran regulasi diri menurut Winne (Santrock, 2010) adalah
pembelajaran bertujuan memperluas pengetahuan dan menjaga motivasi, menyadari
keadaan emosi diri sendiri dan memiliki strategi untuk mengelola emosi, secara
17
periodik memonitor kemajuan ke arah tujuan, menyesuaikan atau memperbaiki strategi
berdasarkan kemajuan yang dibuat oleh anak, dan mengevaluasi halangan yang
mungkin muncul serta melakukan adaptasi yang diperlukan.
Atlet
Hakikat dari kata atlet juga banyak diungkapkan oleh para ahli. Menurut Wibowo
(2002) atlet adalah subjek atau seseorang yang berprofesi atau menekuni suatu cabang
olahraga tertentu dan berprestasi pada cabang olahraga tersebut, sedangkan menurut
Salim (1991) atlet adalah olahragawan, terutama dalam bidang yang memerlukan
kekuatan, ketangkasan, dan kecepatan. Selain itu menurut Monty P.Satiadarma (2002),
atlet adalah individu yang memiliki keunikan tersendiri, yang memiliki bakat tersendiri,
pola perilaku dan kepribadian tersendiri, serta latar belakang yang mempengaruhi
spesifik dalam dirinya. Yang dimaksud dari atlet dalam penelitian ini adalah
subjek/seseorang yang berprofesi atau menekuni suatu cabang olahraga anggar dan
memiliki prestasi di cabang tersebut.
Menurut Peraturan Organisasi Aeromodelling Indonesia (2010), atlet adalah
olahragawan baik laki-laki maupun perempuan yang melatih kemampuan secarakhusus
untuk bersaing dalam pertandingan yang melibatkan kemampuan fisik, kecepatan atau
daya tahan.
Kemudian menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001) pengertian atlet (atlet)
adalah olahragawan, terutama yang mengikuti perlombaan ataupertandingan (kekuatan,
ketangkasan, dan kecepatan). Berdasarkan definisi di atas bahwa altlet adalah seseorang
laki-laki maupun perempuan yang melatih kemampuan secara khusus dan mengikuti
perlombaan atau pertandingan yang melibatkan (kekuatan, ketangkasan, dan kecepatan).
18
Taekwondo
Taekwondo adalah lebih dari sekedar aktifitas psikis. Filosofi Taekwondo berakar
pada semangat umum dari pelatihan seni beladiri dan budaya dari orang Korea, yang
keduanya sangat menarik pada konfusianisme dan filosofi Taoisme Katie & Bill (2013).
Tendangan yang dilakukan mencakup tendangan melompat, berputar, skip dan
menjatuhkan, seringkali dalam bentuk kombinasi beberapa tendangan. Latihan
taekwondo juga mencakup suatu sistem yang menyeluruh dari pukulan dan pertahanan
dengan tangan, tetapi pada umumnya tidak menekankan grappling (pergulatan).
Taekwondo mempunyai banyak kelebihan, tidak hanya mengajarkan aspek fisik
semata, seperti keahlian dalam bertarung, tetapi juga menekankan pengajaran aspek
disiplin mental. Dengan demikian, taekwondo akan membentuk sikap mental yang kuat
dan etika yang baik bagi orang yang secara sungguh-sungguh mempelajarinya.
Taekwondo mengandung aspek filosofi yang mendalam sehingga dalam mempelajari
Taekwondo, pikiran, jiwa, dan raga secara menyeluruh akan ditumbuhkan dan
dikembangkan
19
METODE
Partisipan
Subjek penelitian adalah Atlet taekwondo. Peneliti mengambil populasi 90
keseluruhan Atlet yang ada di kota Salatiga berdasarkan data yang didapat dari wisma
Atlet Salatiga.
Teknik sampling yang dugunakan dalam penelitian ini adalah teknik insidental.
Insidental adalah teknik penentuan sampel yang kebetulan dijumpai peneliti saat
melakukan penelitian (Winarsunu, 2009).
Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan dua skala, yaitu skala
(a)Emotion Regulation Questionnaire (ERQ) yang dikemukakan oleh Gross dan John
(2003), dan telah peneliti terjemahkan sendiri dengan menggunakan bahasa Indonesia.
Kuesioner ini terdiri dari 10 item, dengan menggunakan 7 skala dari “Sangat setuju” sampai
“sangat tidak setuju”.
Selain menggunakan skala regulasi emosi ERQ dari Gross & Jhon (2003),
peneliti juga menggunakan skala regulasi emosi dari Salvatore Catanzaro dan Jack
Mearns (1990) yaitu (b)Negative Mood Regulation (NMR). NMR yang terdiri dari lima
aspek yaitu (1) menyeleksi situasi, (2) modifikasi situasi, (3) mengarahkan perhatian,
(4) perubahan kognitif, dan (5) modifikasi respon. Skala NMR (Negative Mood
Regulation) adalah alat ukur untuk mengetahui keyakinan mengenai kemampuan
seseorang untuk menghentikan atau mengurangi negatif mood. Skala NMR ini terdiri
dari 30 item. Skala ini untuk mempelajari lebih lanjut tentang orang-orang yang
tampaknya dapat mengatasi suasana hati yang negatif, seperti orang-orang yang
memiliki bakat membantu dirinya untuk merasa lebih baik ketika mereka mengalami
20
salah satu dari mood negatif, misalnya seperti hari-hari yang tidak menyenangkan.
Untuk menjawabnya partisipan menggunakan pedoman : 1= sangat tidak setuju, 2 =
agak tidak setuju, 3 = setuju dan tidak setuju sama, 4 = agak setuju, 5 = sangat setuju.
Semakin setuju responden terhadap pernyataan yang favorable semakin tinggi skor.
Sebaliknya, semakin setuju responden terhadap pernyataan yang unfavorable, semakin
rendah skornya. Dari kelima aspek, masing-masing aspek akan memiliki skor tinggi dan
rendah sesuai respon yang diberikan oleh subjek penelitian.
Teknik Analisa Data
Prosedur penelitian diawali dengan melakukan uji ahli terhadap skala, selain itu
skala juga di uji cobakan kepada lima Atlet untuk mengetahui bahasa yang digunakan
sudah mudah dipahami atau belum. Kemudian dilakukan try out skala yang terdiri dari
40 item kepada 90 Atlet Salatiga. Melakukan uji validitas dan reliabilitas dengan
menggunakan SPSS (15.0) for windows dengan Cronbach Alpha. Berdasarkan uji
validitas, didapatkan item yang valid. Metode analisis data yang digunakan yaitu teknik
korelasi teknik uji t sampel bebas (Independent-Samples t-test). Pengujian t-test
Independent Sample pada teknik parametrik atau Mann Whitney U Test pada teknik
nonparametrik dipilih karena dalam penelitian ini, peneliti ingin meneliti beda rata-rata
dari kedua sampel.
HASIL
Sebelum skala penelitian digunakan, dilakukan terlebih dahulu uji coba untuk
mengetahui indeks daya beda aitem-aitem dari masing-masing skala dan reliabilitas
kedua skala tersebut.Tujuan uji coba ini pertama adalah untuk mengetahui apakah
kalimat dalam aitem mudah dipahami oleh subjek seperti yang diharapkan oleh peneliti.
Tujuan kedua, uji coba merupakan cara praktis untuk memperoleh data jawaban dari
21
subjek penelitian yang akan digunakan untuk penskalaan atau evaluasi kualitas aitem
secara statistik (Azwar, 2010).
Uji daya beda diketahui melalui perhitungan koefisien reliabilitas alat ukur
melalui formula Alpha Cronbach yang dihitung dengan bantuan program komputer
Statistical Packages for Social Science (SPSS) versi 16.00
Uji Asumsi
Berdasarkan uji homogenitas hasil perhitungan uji f dengan SPSS ditemukan bahwa
ternyata data tersebut homogen, nilai hitung uji f lebih besar dari nilai f tabel. Probilitas
hasil perhitungan lebih dari 0,05 yaitu nilai signifikan pada uji f tersebut adalah 0,507.
Tabel Hasil Uji F
Independent Samples Test
Levene's
Test for
Equality of
Variances
t-test for Equality of Means
F Sig. t df Sig. (2-
tailed)
Mean
Difference
Std.
Error
Differe
nce
95% Confidence Interval
of the Difference
Lower Upper
I
P
Equal variances
assumed
.44
6
.507 1.04
2
58 .302 .711 .683 -.655 2.078
Equal variances
not assumed
1.11
8
27.
380
.273 .711 .636 -.593 2.015
Berdasarkan hasil pengolahan data uji normalitas menunjukan hasil signifikan
untuk perempuan 0.200 dan laki-laki 0.07 pada uji dengan kolmogrov-smirnov.
Signifikan tersebut lebih besar dari pada 0.05 yang artinya data-data tersebut
berdistribusi normal. (perempuan 0.200 > 0.05, laki-laki 0.07 > 0.05). Dengan demikian
22
dapat disimpulkan bahwa terdapat homogen dan normalitas perbedaan antara regulasi
emosi dengan pria dan wanita. Berikut adalah table hasil uji normalitas:
Tests of Normality
Jenis
kelamin
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
regulasi perempuan .086 45 .200* .970 45 .284
laki-laki .211 15 .070 .910 15 .135
Skala ERQ ( Emotion Regulation Questionnaire )
Skala ERQ terdiri dari 10 item, dengan menggunakan 7 skala dari “Sangat setuju”
sampai “sangat tidak setuju”. Hasil dari kuesioner regulasi emosi akan menunjukkan
kecenderungan regulasi emosi yang manakah yang paling menonjol dari responden.
Gross dan John (2003) melaporkan nilai reliabilitas koefisien Alpha Cronbach 0,79
untuk reappraisal dan 0.73 untuk suppression, dan kehandalan tes-tes ulang di tiga bulan
adalah 0.69.
Berdasarkan hasil uji coba kuesioner yang akan digunakan dalam penelitian ini
dari 10 item skala 1, item yang tidak valid terdapat 2 item, instrument skala 1 setelah
dihitung reliabilitas dengan SPSS diperoleh alpha cronbach’s 0.812 artinya lebih besar
dari 0.05 dan menunjukan instrument tersebut reliabel untuk digunakan penelitian.
Skala NMR ( Negatif Mood Regulation )
Skala NMR terdiri dari 30 item, dengan menggunakan 5 skala dari “Sangat tidak
setuju” sampai “Sangat setuju”. Dapat diketahui nilai Alpha Cronbach untuk skala
NMR sebesar 0,899, sehingga dapat disimpulkan bahwa instrumen penelitian telah
reliabel karena nilai lebih dari 0,6.
23
Berdasarkan hasil uji coba kuesioner yang akan digunakan dalam penelitian ini
dari 30 item skala 2, item yang tidak valid terdapat 4 item, instrument skala 2 setelah
dihitung reliabilitas dengan SPSS diperoleh alpha cronbach’s 0.672 artinya lebih besar
dari 0.05 dan menunjukan instrument tersebut reliable untuk digunakan penelitian.
Selanjutnya untuk item pernyataan kuesioner yang tidak valid dibuang dan tidak dipakai
untuk perhitungan analisis dalam penelitian ini.
Hasil analisis data dari uji t-test Independent Sample diperoleh hasil hitung
1,402. Probilitas lebih dari 0,05 (0,302 > 0,05) sehingga hipotesis ditolak bahwa tidak
ada perbedaan yang signifikan regulasi emosi terhadap prestasi pada atlet taekwondo
wanita dan pria di Salatiga.
Independent Samples Test
Levene's
Test for
Equality of
Variances
t-test for Equality of Means
F Sig. t df Sig. (2-
tailed)
Mean
Difference
Std.
Error
Differe
nce
95% Confidence Interval
of the Difference
Lower Upper
I
P
Equal variances
assumed
.44
6
.507 1.04
2
58 .302 .711 .683 -.655 2.078
Equal variances
not assumed
1.11
8
27.
380
.273 .711 .636 -.593 2.015
24
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat diperoleh kesimpulan bahwa tidak ada
perbedaan regulasi emosi yang signifikan antara atlet pria dan wanita dengan nilai
probobilitas signifikan 0,302, artinya nilai tersebut lebih besar dari 0,05 (0,302 >α=
0,05). Berdasarkan perhitungan tersebut maka hipotesis ditolak tidak ada perbedaan
signifikan regulasi emosi pada atlet taekwondo pria dan wanita di Salatiga. Atlet pria
dan wanita memiliki regulasi emosi yang sama, sama-sama dapat mengatasi rasa cemas,
sedih atau marah sehingga dapat memecahkan masalah dengan baik. Pria daan wanita
sama-sama mampu mengontrol emosi yang dialami, tetapi dari segi rata-rata pria
memiliki rata-rata yang lebih tinggi dibandingkan wanita dalam mengontrol emosinya.
Menurut Fischer (dalam Coon, 2005), wanita lebih dapat melakukan regulasi
terhadap emosi marah dan bangga, sedangkan laki-laki pada emosi takut, sedih dan
cemas. Laki-laki lebih mengekspresikan marah dan bangga untuk mempertahankan dan
menentukan dominasi. Benner dan Salovey (1997) mengatakan bahwa wanita lebih
sering berusaha mencari dukungan sosial untuk menghadapi stres, sedangkan pria lebih
memilih melakukan aktivitas fisik untuk mengurangi stres. Wanita lebih sering
menggunakan emotion focused regulation yang melibatkan komponen kognitif dan
emosi dari pada pria.
Dalam penelitian Nolen-Hoeksema & Aldao (2011), didapatkan hasil bahwa
tidak ada perbedaan antara pria dan wanita dalam hal regulasi emosi. Penelitian di atas
didukung oleh pendapat Tamres (2002), bahwa pria dan wanita memiliki kemampuan
yang sama untuk merasakan semua emosi, mulai dari cinta,duka, hingga kemarahan.
Kebanyakan pria lebih reaktif secara psikis terhadap konflik dibandingkan wanita,
25
namun kedua jenis kelamin terkadang memiliki perbedaan persepsi dan atribusi yang
menghasilkan emosi dan intensitas manusia.
Peran jenis kelamin menurut Papalia, Olds, & Feldman (dalam Verdi, 2008)
adalah tingkah laku, minat, sikap, kemampuan, dan sifat yang dalam kebudayaan
tertentu dianggap sesuai dengan jenis kelamin seseorang. Dalam masyarakat, wanita
mendapat peran yang bersifat ekspresif, yaitu peran yang berhubungan dengan
pembentukan dan pemeliharaan hubungan dengan orang lain. Menurut Gershung (dalam
Verdi’s, 2008), wanita dianggap memiliki sifat-sifat feminin, yang sebagian di
antaranya adalah inkompeten, submisif, tergantung, dan ragu-ragu/malu-malu.
Selain beberapa faktor diatas, yang membedakan regulasi mood negatif antara
pria dan wanita adalah aspek-aspek regulasi mood yang menurut Gross (dalam
Speilberger, 2004) dapat mempengaruhi regulasi mood negatif. Aspek-aspek tersebut
yaitu: menyeleksi situasi, modifikasi situasi, mengarahkan perhatian, perubahan
kognitif, dan modifikasi respon. Jika atlet dapat melakukan aspek dalam menyeleksi
situasi, modifikasi situasi, mengarahkan perhatian, perubahan kognitif, dan modifikasi
respon dalam menghadapi setiap mood negatif dihadapi, maka mood negatif yang sering
terjadi akan dapat terselesaikan. Walaupun ada perbedaan sifat maupun mood negatif
pada atlet pria dan wanita perbedaan regulasi mood negatif antara pria dan wanita
tidaklah terpaut begitu jauh, terlihat dari hasil analisa data (mean) bahwa pria dan
wanita masih sama-sama berada di angka sembilan. Tidak semua atlet pria dan wanita
memiliki regulasi mood negatif yang kurang baik, dimana terdapat beberapa atlet pria
dan wanita yang dapat melakukan aspek-aspek diatas secara baik, sehingga atlet mampu
melakukan regulasi mood negatif yang baik pula.
26
Konsep ini menjawab bahwa atlet pria dan wanita dapat mengontrol emosi
sehingga dapat mengontrol diri saat sedang mengikuti latihan taekwondo maupun
sedang bertanding, sehingga atlet dapat mendapatkan prestasi yang baik.
Kesimpulan dan Saran
Berdasarakan hasil penelitian di atas maka dalam penelitian ini dapat
disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan regulasi emosi yang signifikan antara atlet pria
dan wanita terhadap prestasi taekwondo. Laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki
regulasi emosi yang sama dalam penelitian ini. Dan tidak semua atlet pria dan wanita
memiliki regulasi mood negatif yang kurang baik, dimana terdapat beberapa atlet pria dan
wanita yang dapat melakukan aspek-aspek diatas secara baik, sehingga atlet mampu
melakukan regulasi mood negatif yang baik pula.
Saran yang diberikan peneliti bagi pelatih dalam membina para atlet juga
melihat kondisi emosinya sehinga pelatih selain melatih fisik juga memberi arahan
dalam mengontrol emosi, dan menggunakan pelatihan meditasi agar atlet dapat
meregulasi emosi dengan baik. Bagi atlet Taekwondo, meningkatkan kemampuan
dalam mengontrol tingkat emosi agar tingkat prestasi stabil bahkan bisa meningkat dari
hari ke hari. Bagi peneliti lain, selain hasil penelitian ini dapat mengetahui perbedaan
regulasi emosi berdasarkan jenis kelamin pada atlet beladiri taekwondo pria dan wanita,
peneliti lain juga dapat meneliti regulasi emosi tidak hanya berdasarkan jenis kelamin
saja, masih terdapat faktor dan aspek-aspek lain yang dapat di teliti.
27
28
DAFTAR PUSTAKA
Abrar, H. (2011). Regulasi emosi remaja putri yang kecanduan pornografi. Skripsi.
Salatiga: Fakultas Psikologi UKSW.
Amelia, J. (2011). Hubungan self-regularion dengan prestasi belajar pada mahasiswa
fakultas psikologi universitas kristen satya wacana salatiga. Sripsi. Salatiga:
Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana.
Azwar, S. (2010). Penyusunan skala psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Basuki Wibowo. (2002). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Benner, E., & Salovey, P. (1997). Emotion regulation during childhood :
Developmental, interpersonal, and individual considerations. Dalam P. Salovey
& D. J. Skufter (eds). Emotional development and emotional intelligence,
(pp.170-183). New York : Basic Book Division of Harper Collins Publisher Inc.
Catanzaro, S.J., & Mearns, J. (1990). This study on the development of the Generalized
Expectancies for Negative Mood Regulation (NMR) Scale. Journal of
Personality Assesment. Retrieved September 15, 2012 from
http://psych.fullerton.edu/jmearns/reseach.html.
Christiany & Prawasti, Y.C. (2006). Hubungan antara strategi regulasi emosi dan aspek-
aspek kesiapan memaafkan. Temu Ilmiah Psikologi-Psychology Expo2006.
Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Coon, D., (2005). Essentials of Psychology. Australia: Thomson Wadsworth.
Elaine, S., (ed), Speaking of Jenis kelamin, New York & London: Routledge, 1989, (3).
Garnefski, N., Kraaij, V., & Spinhoven, Ph. (2001). Negative Life events, cognitive emotion regulation and emotional problems. Personality and Individual
Differences, 30, 1311–1327.
Gross, J. J. (1998). Antecedent- and response-focused emotion regulation: Divergent
consequences for experience, expression, and physiology. Journal of Personality
and Social Psychology, 74, 224–237.
Gross, J. J., & John, O. P. (2003). Individual differences in two emotion regulation
processes: Implications for affect, relationships, and well-being. Journal of
Personality and Social Psychology, 85 (2), 348-362.
Gross, J. J (2005). The cognitive control of emotion. Journal of Trends in cognitive
sciences, 9 (5), 242-249.
Gross, J. J. (Ed.). (2007). Handbook of emotion regulation. New York: Guilford.
29
Gunarsa, S.D., Setiadarma, M.P., & Soekasah, M.H.R. (1996). Psikologi olahraga:
teori dan praktek. Jakarta : BPK Gunung Mulia.
Guthrie, S. R. (1995). Liberating the amazon: feminism and the martial arts. Women
and Therapy, 16, 107–119.
Hurlock, E.B. (1999). Psikologi perkembangan : suatu pendekatan sepanjang rentang
kehidupan-edisikelima. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Jannah, M. (2012). Regulasi emosi terbukti pengaruhi pencapaian prestasi olahraga.
Retreived Januari 30, 2015, from http://ugm.ac.id/id/berita/4309-
regulasi.emosi.terbukti.pengaruhi.pencapaian.prestasi.olahraga
Kartika, Y. Nisfiannoor, M. (2004). Hubungan antara regulasi emosi dan penerimaan
kelompok teman sebaya pada remaja. Jurnal Psikologi, 2(2).
Khiornia, I. (2003). Regulasi emosi negatif pada mahasiswa ditinjau dari jenis kelamin.
Jurnal Online Psikologi, 1(2).
Levenson, R.W. (1999). The intrapersonal functions of emotion. Cognition and
Emotion, 13, 481-504.
Madden, M. E. (1990). Attributions of control and vulnerability at the beginning and
end of a karate course. Perceptual and Motor Skills, 70, 787-794.
Manz, C. C. (2007). Emotional discipline, 5 langkah menata emosi untuk merasa lebih
baik setiap hari. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Umum.
McClelland, DC. (1987). Human Motivation. New York : Cambrige University Press.
Monty, P. (2002). Dasar-Dasar Psikologi Olahraga. Jakarta: Balai Pustaka.
Moon Jong, Hong. (2013). Seoul world tae kwon do leaders forum. Ebook. From
http://www.kukkiwon.or.kr/upload/pr/news/2013_forum_material2.pdf
Nolen-Hoeksema S, & Aldao A. (2011). Gender and age differences in emotion
regulation strategies and their relationship to depressive symptoms. Personal.
Individ. Differ.51:704–8.
Papalia, D.E & Olds, S.W. (1995). Human development. New York : McGraw-Hill
Companies, Inc.
Purwanto, S. (2006). Pentingnya pelaksanaan administrasi pembelajaran pendidikan
jasmani di smu. Jurnal Pendidikan Jasmani Indonesia, 5, 1, April 2006.
Pottle, K., & Pottle, B. (2013). Taekwondo: A practical guide to the world’s most
popular matrial art. Ebook. From
http://download.audible.com/product_related_docs/BK_ACX0_012504.pdf
30
Ramandhani, A.V. (2008). Perbedaan regulasi emosi ditinjau dari jenis kelamin. Jurnal
Online Psikologi, 20, 1.
Rice, P. F, (1999). The adolescent: Development, relationship, and culture, (9th edition),
Needham Heights, Allyn and Bacon, MA.
Richman, C. L. & Rehberg, H. (1986). The development of self-esteem through the
martial arts. International Journal of Sport Psychology, 17, 234-239.
Richards, J. M., & James J. Gross. (2000). Emotion Regulation and Memory : The
Cognitive Costs of Keeping One's Cool. Journal of Personality and Social
Psychology. 79, 3.
Salovey, P. & Sluyter, D. J. (eds.). (1997). Emotional development and emotional
intelligence: educational implications. New York: Basic Books.
Santrock, J.W. (2010). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Kencana.
Speilberger, C. (2004). Enyclopedia of applied psychology. USA : Elsevier Academic
Press.
Strongman, K.T. (2003). The psychology of emotion: from everyday life to the theory.
New Zealand: Department of Psychology University of Canterbury
Christchurch.
Susan Nolen-Hoeksema (2012). Emotion Regulation and Psychopathology. The Role of
Jeniskelamin Department of Psychology, Yale University, New Haven,
Connecticut 06520
Tamres, L.K., Janicki, D., & Helgeson V.S. (2002). Sex differences in coping behavior:
a meta-analytic review and an examination of relative coping. Personal. Soc.
Psychol. Rev.6 :2–30
Tirtawirya, D. (2005). Perkembangan dan peranan taekwondo dalam pembinaan
manusia Indonesia. Jurnal Olahraga Prestasi, 1(2), 195-211. ISSN 0216-4493.
Yogyakarta: Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Yogjakarta.
Umar, N.M. (2012). Regulasi emosi pada remaja panti asuhan muhajirin balikpapan
timur. Skripsi. Malang: Program Sarjana Psikologi Universitas Muhammadiyah.
Verdi’s, J. (2008). Regulasi emosi. Retreived Mei 1, 2013, from http://vj20i2008-
regulasi-emosi.html.
Weiser, M., Kutz, I., Kutz, S. J., & Weiser, D. (1995). Psychotherapeutic aspects of the
martial arts. American Journal of Psychotherapy, 49 (1), 118-127.
Widyaiswaranne. (2012), Hubungan Antara Kematangan Emosi Dengan Kecemasan
Menghadapi Persiapan Perkawinan Pada Wanita Dewasa Awal. Skripsi.
Salatiga: Fakultas Psikologi UKSW.
31
Wikipedia. (2000). Taekwondo. Retreived Agustus 0, 2013, from
http://id.wikipedia.org/wiki/Taekwondo.
Winarsunu, T. (2009). Statistik dalam penelitian psikologi dan pendidikan. Malang :
UMM Press.
Yunyun. (2011). Emotion regulation. Retreived Oktober 6, 2012, from
http://blogs.unpad.ac.id/yuyun71/2011/06/27/emotion-regulation/.