1
PERBUATAN MELAWAN HUKUM MATERIIL (MATERIEL
WEDERRECHTELIJKEHEID) DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI
PADA PRAKTIK PERADILAN INDONESIA PASCA PUTUSAN
MAHKAMAH KONSTITUSI1
OLEH:
NINIL EVA YUSTINA, S.H., M.Hum2
A. PENDAHULUAN
Dikaji dari perspektif pembagian hukum berdasarkan isinya maka
dikenal adanya pembagian hukum Publik dan Hukum Privat. Hukum Publik
merupakan Hukum yang mengatur kepentingan umum (algemene belangen)
sedangkan hukum privat mengatur kepentingan perorangan (bijzondere
belangen). Apabila ditinjau dari aspek fungsinya maka salah satu ruang
lingkup Hukum Publik adalah Hukum Pidana yang secara esensiel dapat
dibagi lagi menjadi Hukum Pidana Materiil (materieel strafrecht) dan Hukum
Pidana Formal (formeel strafrecht/strafprocesrecht).3 Selanjutnya ketentuan
Hukum Pidana dapat diklasifikasikan menjadi Hukum Pidana Umum (ius
comune) dan Hukum Pidana Khusus (ius singulare, ius speciale atau bijzonder
strafrecht).4 Ketentuan Hukum Pidana Umum dimaksudkan berlaku secara
umum seperti termaktub dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP), sedangkan ketentuan Hukum Pidana Khusus diartikan sebagai
1Tulisan ini merupakan rangkuman Tesis penulis yang telah dipertahankan pada tanggal 21 Februari 2009 untuk meraih gelar Magister Humaniora (M.Hum) pada Program Pascasarjana Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum Pidana Universitas Merdeka Malang di bawah bimbingan Pembimbing I (Dr. Lilik Mulyadi, S.H., M.H.) dan Pembimbing II (Muhari Agus Santoso, S.H., M.Hum) 2Hakim Pengadilan Negeri Kepanjen, Kabupaten Malang, Jawa Timur
3Lilik Mulyadi, Asas Pembalikan Beban Pembuktian Terhadap Tindak Pidana Korupsi Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia Pasca Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi 2003, PT. Alumni, Bandung, 2007, hlm 1
4Ibid
2
ketentuan hukum pidana yang mengatur mengenai kekhususan subyeknya
dan perbuatan yang khusus (bijzonderlijk feiten).
Tindak Pidana Korupsi merupakan salah satu bagian dari Hukum
Pidana Khusus (ius singulare, ius speciale atau bijzonder strafrecht) dan
ketentuan hukum positif (ius constitutum) Indonesia tentang tindak pidana
korupsi diatur dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Secara yuridis formal pengertian Tindak Pidana Korupsi5 terdapat
dalam Bab II tentang Tindak Pidana Korupsi Pasal 2 sampai dengan 20 Bab III
5 Secara etimologis kata “Tindak Pidana” dan “Korupsi” berasal dari kata:
a) Istilah “Tindak Pidana” merupakan istilah teknis-yuridis dari kata bahasa Belanda “Stafbaar feit” atau “Delict” dengan pengertian perbuatan yang dilarang oleh peraturan hokum pidana dan tentu saja dikenakan sanksi pidana bagi siapa saja yang melanggarnya. Dalam kepustakaan ilmu hukum pidana istilah “Stafbaar feit” atau “Delict” ini ada yang menerjemahkan dengan istilah-istilah:
1. “Peristiwa Pidana” (Pasal 14 ayat (1) KRIS dan Undang-Undang Dasar Sementara 1950).
2. “Perbuatan Pidana” (Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungan Jawab Pidana (Pidana Dies Natalis UGM VI di Yogyakarta, 1955), : Gajahmada, hlm. 9).
3. “Perbuatan yang Boleh Dihukum” (Mr. Kami, Ringkasan tentang Hukum Pidana, Balai Bukum Indonesia, Jakarta, 1959, hlm. 34).
4. “Pelanggaran Pidana” (MH. Tirtaamidjaja, Pokok-Pokok Hukum Pidana, Fasco, Jakarta, 1955, hlm. 18).
b) Istilah “Korupsi” berasal dari bahasa latin Corruptie (Foklema Andeae:
1951) atau Corrutus (Webster Dictionary: 1960). Selanjutnya, disebutkan bahwa Corruptio itu berasal dari kata Corrumpore, suatu kata latin yang tua. Dari bahasan latin inilah turun kebanyak bahasa Eropa, seperti Inggris: Corruption, Cor5rupt; Perancis: Corruption; dan Belanda Corruptie (korruptie) (Andi Hamzah, Op. cit., hlm. 9). Dsalam Ensiklopedia Indonesia disebutkan: Korupsi (dari Lat.” Corruptio = penyuapan; dari corrumpore = merusak). Gejala di mana para pejabat badan-badan negara menyalahgunakan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan lainnya. (Ensiklopedia Indonesia Jilid 4, : Ichtiar Baru van Hoeve dan Elsevier Publising Project, Jakarta, 1983, hlm. 1876). Sedangkan arti harafiah dari “korupsi” dapat berupa:
1. kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejadan dan ketidakjujuran. (S. Wojowasito-W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Lengkap Inggris-Indonesia, Indonesia-Inggris, Hasta, Bandung, hlm. 33 dan 150).
3
tentang Tindak Pidana lain yang berkaitan dengan Tindak Pidana Korupsi
Pasal 21 sampai dengan 24 Undang-Undang Nomor 31 Tahun1999.
Dengan bertitik tolak pada ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor
31 tahun 1999, unsur-unsur dari Tindak Pidana Korupsi dalam pasal tersebut
adalah:
1. Setiap Orang
2. Perbuatan tersebut sifatnya melawan hukum
3. Perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
Korporasi
4. Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Dari unsur-unsur Tindak Pidana Korupsi tersebut maka rumusan
mengenai unsur Perbuatan Melawan Hukum penjabarannya lebih lanjut
terdapat dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 tahun 1999 yang
menentukan bahwa yang dimaksud dengan ”secara melawan hukum” dalam
pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun
dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam
peraturan perundang-undangan namun apabila perbuatan tersebut dianggap
tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma
kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat
dipidana. Dalam ketentuan ini kata “dapat” sebelum frasa “merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara” menunjuk bahwa tindak
pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi
2. perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan
uang sogok dan sebagainya W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN Balai Pustaka, 1976, hlm. 468).
3. -perbuatan yang kenyataan yang menimbulkan keadaan yang bersifat buruk.
-perilaku yang jahat dan tercela, atau kebejadan moral. -penyuapan dan bentuk-bentuk ketidakjujuran.
-sesuatu yang dikorup, seperti kata yang diubah atau diganti secara tidak tepat dalam satu kalimat. - Pengaruh-pengaruh yang korup. (Soedjono Dirdjosisworo, Fungsi Perundang-Undangan Pidana dalam Penanggulangan Korupsi di Indonesia, Sinar Baru, Bandung, hlm. 17).
4
cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan
bukan dengan timbulnya akibat.
Selanjutnya mengenai dimensi sifat melawan hukum
(wederrechtelijkeheid) dalam Ilmu Hukum dikenal dua macam yaitu sifat
melawan hukum materiil (materiel wederrechtelijkeheid) dan sifat melawan
hukum formil (formale wederrechtelijkeheid). Sifat melawan hukum materiil
(materiel wederrechtelijkeheid) merupakan sifat melawan hukum yang luas yaitu
melawan hukum itu sebagai suatu unsur yang tidak hanya melawan hukum
yang tertulis saja, tetapi juga hukum yang tidak tertulis (dasar-dasar hukum
pada umumnya). Jadi walaupun Undang-Undang tidak menyebutkannya
maka melawan hukum adalah tetap merupakan unsur dari tiap tindak
pidana. Sedangkan sifat melawan hukum formal (formale wederrechtelijkeheid)
adalah merupakan unsur dari hukum positif yang tertulis saja sehingga ia
baru merupakan unsur dari tindak pidana apabila dengan tegas disebutkan
dalam rumusan tindak pidana.6
Sifat melawan hukum materiil terdiri dari sifat melawan hukum
materiil dalam fungsi positif dan sifat melawan hukum dalam fungsi negatif.
Pengertian sifat melawan hukum secara materiil dalam arti positif akan
merupakan pelanggaran asas legalitas, pada Pasal 1 ayat 1 KUHP, artinya
ajaran sifat melawan hukum dalam fungsi positif yaitu meskipun suatu
perbuatan secara materiil merupakan perbuatan melawan hukum apabila
tidak ada aturan tertulis dalam perundang-undangan pidana, perbuatan
tersebut tidak dapat dipidana.7 Ajaran sifat melawan hukum materiil hanya
diterima dalam fungsinya yang negatif, dalam arti bahwa suatu perbuatan
dapat hilang sifatnya sebagai melawan hukum, apabila secara materiil
perbuatan itu tidak bertentangan dengan hukum.8
6M. Sudrajad Basar (1998:5) dalam Guse Prayudi , “Sifat Melawan Hukum
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi” Majalah Varia Peradilan, Tahun XXII, No. 254 Januari 2007, IKAHI , Jakarta , 2007, hlm. 25.
7Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Hukum Pidana, Kantor Pengacara & Konsultan Hukum “ Prof. Oemar Seno Adji & rekan”, Jakarta, 2002, hlm 18
8Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran sifat Melawan Hukum Materiil dalam Hukum Pidana Indonesia, PT Alumni, Bandung, 2002, hlm 26
5
Hukum Pidana Indonesia sendiri menganut pendirian sifat melawan
hukum dalam fungsinya yang negatif, hal ini adalah sebagai konsekuensi dari
asas legalitas. Hal tersebut ternyata terdapat dalam Yurisprudensi antara lain
pada Putusan Nomor 81/K/Kr/1973 tanggal 30 Maret 1977. Selanjutnya juga
harus diperhatikan Yurisprudensi yakni Putusan MA Nomor 572 K/Pid/2003
tanggal 12 Februari 2004, dimana dalam perkara tersebut terdapat fakta dari
ahli Loebby Loqman yang menyatakan bahwa ajaran melawan hukum
materiil negatif ada batasannya, yaitu harus dicari aturan formilnya dan
orang tidak boleh dihukum kalau tidak ada aturan formil yang dilanggar.9
Tetapi Yurisprudensi tersebut bukanlah Yurisprudensi yang konstan
karena Mahkamah Agung RI ternyata mengakui juga adanya sifat melawan
hukum materiil dalam fungsi positif yakni sebagaimana dalam putusannya
Nomor 275K/Pid/1982 dalam Perkara Korupsi Bank Bumi Daya. Mahkamah
Agung secara jelas mengartikan sifat melawan hukum materiil, yaitu
menurut kepatutan dalam masyarakat, khususnya dalam perkara tindak
pidana korupsi apabila seorang pegawai negeri menerima fasilitas berlebihan
serta keuntungan lainnya dengan maksud agar ia menyalahgunakan
kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatannya. Hal itu menurut
Mahkamah Agung merupakan perbuatan tercela atau perbuatan yang
menusuk rasa keadilan masyarakat banyak.10
Mahkamah Agung melalui yurisprudensinya melakukan pergeseran
perbuatan melawan hukum materiil kearah fungsi positif melalui kriteria
limitatif dan kasuistik berupa perbuatan pelaku yang tidak memenuhi
rumusan delik dipandang dari segi kepentingan hukum yang lebih tinggi,
ternyata menimbulkan kerugian yang jauh tidak seimbang bagi
masyarakat/negara dibanding dengan keuntungan dari perbuatan pelaku
yang tidak memenuhi rumusan delik tersebut.11
9Guse Prayudi, “Sifat Melawan Hukum ....., Op. Cit., hlm. 25 10 Ibid. 11Lilik Mulyadi, Pergeseran Perspektif dan Praktek dari Mahkamah Agung
Republik Indonesia Mengenai Putusan Pemidanaan, Majalah Varia Peradilan, Tahun XXI, No. 246, Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), Jakarta, 2006, hlm. 22
6
Pada hakikatnya, pertimbangan putusan Mahkamah Agung ini
dianggap sebagai perkembangan interprestasi futuristis yang menyelami
perasaan keadilan masyarakat di satu pihak, sedangkan lainnya berpendapat
bahwa sejak putusan itu ajaran sifat melawan hukum materiil telah
mempunyai fungsi positif. Fungsi positif ini, menurut ajaran umum hukum
pidana, tidak diperbolehkan karena akan bertentangan dengan asas
legalitas.12
Akan tetapi, yurisprudensi tetap (Veste Jurisprudentitie) yang mengacu
kepada ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 yang
diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 telah dibatalkan
oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli
2006 yang menyatakan Penjelasan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31
tahun 1999 yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 dinyatakan telah bertentangan dengan UUD 1945 dan telah dinyatakan
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.13
Adanya Permohonan Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan
Undang–Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi terhadap UUD 1945 yang diajukan oleh Ir. DAWUD
DJATMIKO, yang tersangkut perkara dugaan Korupsi dalam Jakarta Outer
Ring Road, dan telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusannya
Nomor 003 /PUU-IV/2006 Tanggal 25 Juli 2006 berdampak pada penerapan
unsur perbuatan melawan hukum materiel dalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
12Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Normatif, Teoritis, Praktik
dan Masalahnya, PT Alumni, Bandung, 2007, hlm. 83 13Ibid., hlm 85
7
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003 /PUU-IV/2006 Tanggal 25
Juli 2006 telah memutuskan rumusan Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor
31 tahun 1999 yang berkaitan dengan dengan unsur perbuatan melawan
hukum materiil bertentangan dengan UUD 1945 dan karenanya tidak
mampunyai kekuatan hukum mengikat. Adanya Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 003 /PUU-IV/2006 tersebut maka tidak diatur lagi
mengenai unsur perbuatan melawan hukum materiil dalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi namun dalam praktik apakah
perbuatan melawan hukum materiil tersebut masih dapat diterapkan hakim
dalam praktik peradilan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi.
Dalam perkara tersebut Mahkamah Konstitusi menilai memang
terdapat persoalan konstitsionalitas dalam kalimat pertama Penjelasan Pasal 2
ayat (1) Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi sehingga Mahkamah perlu
mempertimbangkan lebih lanjut hal-hal sebagai berikut :
1. Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 mengakui dan melindungi hak
konstitusional warga negara untuk memperoleh jaminan dan
perlindungan hukum yang pasti, dengan mana dalam bidang hukum,
pidana diterjemahkan sebagai asas legalitas yang dimuat dalam pasal 1
ayat (1) KUHP, bahwa asas tersebut merupakan satu tuntutan akan
kepastian hukum dimana orang hanya dapat dituntut dan diadili atas
dasar suatu peraturan perundang-undangan yang tertulis (lex scripta)
yang telah lebih dulu ada;
2. Hal demikian menuntut bahwa suatu tindak pidana memiliki unsur
melawan hukum, yang harus secara tertulis lebih dahulu telah berlaku,
yang merumuskan perbuatan apa atau akibat apa dari perbuatan
manusia secara jelas dan ketat yang dilarang sehingga karenanya
dapat dituntut dan dipidana sesuai dengan prinsip nullum crimen sine
lege stricta;
8
3. Konsep melawan hukum yang secara formil tertulis (formele
wederrechtelijk) yang mewajibkan pembuat Undang-Undang untuk
merumuskan secermat dan serinci mungkin (Vide Jan Remmelink,
Hukum Pidana, 200: 358) merupakan syarat untuk menjamin kepastian
hukum (lex certa) atau dikenal juga dengan istilah Bestimmheitsgebot;
- Bahwa berdasarkan uraian diatas, konsep melawan hukum materil
(materiele wederrechtelijk), yang merujuk pada hukum tidak tertulis
dalam ukuran kepatutan, kehati-hatian dan kecermatan yang hidup
dalam masyarakat, sebagai satu norma keadilan, adalah merupakan
ukuran yang tidak pasti, dan berbeda beda dari satu lingkungan
masyarakat tertentu ke lingkungan masyarakat lainnya, sehingga apa
yang melawan hukum di satu tempat mungkin di tempat lain diterima
dan diakui sebagai sesuatu yang sah dan tidak melawan hukum,
menurut ukuran yang dikenal dalam kehidupan masyarakat setempat,
sebagaimana yang disampaikan Ahli Prof. Dr. Andi Hamzah, SH
dalam persidangan.
- Bahwa oleh karena Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Tindak
Pidana Korupsi kalimat pertama tersebut , merupakan hal yang tidak
sesuai dengan perlindungan dan jaminan kepastian hukum yang adil
yang dimuat dalam pasal 28 D Ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian,
Penjelasan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi
sepanjang mengenai frasa“ yang dimaksud dengan “Secara melawan
hukum” dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam
arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan
tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan namun
apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai
dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam
masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.” Harus
dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.
Akan tetapi, walaupun demikian pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 003 /PUU-IV/2006 Tanggal 25 Juli 2006 tersebut dalam praktiknya
9
Mahkamah Agung RI tetap menganut ajaran perbuatan melawan mukum
materiil (materiele wederrechtelijkheid) sebagaimana dari sekian banyak Putusan
tersebut nampak diantaranya adalah pada Putusan Mahkamah Agung RI
Nomor 2064K/Pid/2006 tanggal 8 Januari 2007 atas nama Terdakwa H.
Fahrani Suhaimi, Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 996 K/Pid/2006
Tanggal 16 Agustus 2006 atas nama Terdakwa Hamdani Amin, Putusan
Mahkamah Agung RI Nomor 1974K/Pid/2006 Tanggal 13 Oktober 2006 atas
nama Terdakwa Prof. Dr. Rusadi Kantaprawira, S.H., kemudian Putusan
Pengadilan Negeri Kepanjen Nomor 91/Pid.B/2008/PN. Kpj. Tanggal 29
April 2008 atas nama terdakwa Abdul Mukti dan Putusan Pengadilan Negeri
Kepanjen Nomor 1079/Pid.B/2007/PN.Kpj. Tanggal 23 April 2008 atas nama
terdakwa Prayitno.14 Pada dasarnya, keseluruhan putusan tersebut yaitu baik
yang telah diputus oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia (Mahkamah
Agung RI Nomor 2064K/Pid/2006, Putusan Mahkamah Agung RI Nomor
996 K/Pid/2006, Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1974K/Pid/2006)
maupun oleh Pengadilan Negeri Kepanjen (Putusan Pengadilan Negeri
Kepanjen Nomor 91/Pid.B/2008/PN. Kpj. dan Putusan Pengadilan Negeri
Kepanjen Nomor 1079/Pid.B/2007/PN.Kpj.) dan kasus tersebut telah
mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).
Oleh karena itu, dengan titik tolak demikian maka tulisan ini lebih
lanjut akan membahas mengenai bagaimana pengaturan perbuatan melawan
hukum materiil dalam Tindak Pidana Korupsi pada kebijakan legislasi
Indonesia Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi dan bagaimana praktik
peradilan terhadap perbuatan melawan hukum materiil dalam Tindak Pidana
Korupsi Indonesia pada kebijakan aplikasi Pasca Putusan Mahkamah
Konstitusi
II. KERANGKA PEMIKIRAN
Secara substansial, penelitian tesis yang berjudul “PERBUATAN
MELAWAN HUKUM MATERIIL (MATERIEL
14Ibid, hlm. 86
10
WEDERRECHTELIJKEHEID) DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI
PADA PRAKTIK PERADILAN INDONESIA PASCA PUTUSAN
MAHKAMAH KONSTITUSI” mempergunakan beberapa teori yaitu untuk
teori Induk/Utama atau Grand Theory dipergunakan Teori Negara Hukum,
kemudian pada tataran teori antara atau Middle Range Theory dipergunakan
Teori Hukum Pembuktian Dalam Tindak Pidana Korupsi dan pada tataran
Applied Theory (Teori Terapan) dipergunakan Teori-Teori Pemidanaan.
Penelitian ini memilih Teori Negara Hukum sebagai Grand Theory
karena pertimbangan Negara Indonesia merupakan Negara Hukum
(rechtsstaat) sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 amandemen
ketiga juga karena teori negara hukum mengkedepankan kepastian hukum
(rechts zekerheids) dan perlindungan terhadap hak asasi manusia (human
rights). Pada dasarnya suatu negara yang berdasarkan atas hukum harus
menjamin persamaan (equality) setiap individu. Hal ini merupakan conditio
sine quanon mengingat bahwa negara hukum lahir sebagai hasil perjuangan
individu untuk melepaskan dirinya dari keterikatan serta tindakan
sewenang-wenang penguasa. Atas dasar itulah penguasa tidak boleh
bertindak sewenang-wenang terhadap individu dan kekuasaannya pun harus
dibatasi.15 Oleh karena itu dalam suatu negara hukum selain terdapat
persamaan (equality) juga pembatasan (restriction). Batas-batas kekuasaan ini
juga berubah-ubah, tergantung kepada keadaan. Namun sarana yang
dipergunakan untuk membatasi kedua kepentingan itu adalah hukum. Baik
negara maupun individu adalah subyek hukum yang memiliki hak dan
kewajiban. Oleh karena itu, dalam suatu negara hukum, kedudukan dan
hubungan individu dengan negara senantiasa dalam keseimbangan. Kedua-
duanya mempunyai hak dan kewajiban yang dilindungi oleh hukum.16
Secara teoretis Konsepsi Negara Hukum yang dianut Indonesia tidak
dari dimensi formal, melainkan dalam arti materiil atau lazim dipergunakan
terminologi Negara Kesejahteraan (welfare state) atau Negara kemakmuran.
15Sudargo Gautama, Pengertian Tentang Negara Hukum, PT Alumni, Bandung, 1983, hlm.3 dalam: Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi......., Op. Cit., hlm. 35
16Ibid
11
Oleh karena itu tujuan yang hendak dicapai Negara Indonesia adalah
terwujudnya masyarakat adil dan makmur baik spiritual maupun materiil
berdasarkan Pancasila, sehingga disebut juga sebagai negara hukum yang
memiliki karakteristik mandiri yaitu Negara Hukum berdasarkan pancasila.17
Pada dasarnya konsep Negara Hukum merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari doktrin Rule Of law dimana dari beberapa doktrin dapat
disimpulkan bahwa semua tindakan (termasuk) Pemerintah harus
berdasarkan atas hukum dan adanya jaminan terhadap hak–hak asasi
manusia antara lain Asas Praduga tidak bersalah (presumption of innocence)
dan Asas Legalitas (principle of legality). Asas Praduga tidak bersalah dan asas
legalitas merupakan bagian dari Hukum Pidana Formil dan Hukum Pidana
Materiil yang merupakan Sub sistem dari Sistem Hukum Pidana. Marc Ancel
menyebutkan sistem hukum pidana abad XX masih harus diciptakan. Sistem
demikian hanya dapat disusun dan disempurnakan oleh usaha bersama
semua orang yang beritikad baik dan juga oleh semua ahli di bidang ilmu-
ilmu sosial.18 Sistem Hukum Pidana asasnya memiliki empat elemen
substantif yaitu nilai yang mendasari sistem hukum (philosophic), adanya asas-
asas hukum (legal principles), adanya norma atau peraturan perundang-
undangan (legal rules) dan masyarakat hukum sebagai pendukung sistem
hukum tersebut (legal society). Keempat elemen dasar ini tersusun dalam
suatu rangkaian satu kesatuan yang membentuk piramida, bagian atas adalah
nilai, asas-asas hukum, peraturan perundang-undangan yang berada di
bagian tengah, dan bagian bawah adalah masyarakat.19 Walau sistem hukum
pidana masih harus diciptakan, bukan berarti hal ini tidak dapat
didifinisikan. Marc Ancel memberi pengertian sistem hukum pidana dalam
17Rukmana Amanwinata, Pengaturan dan Batas Implementasi Kemerdekaan Berserikat dan Berkumpul Dalam Pasal 28 UUD 1945, Disertasi, Fakultas Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung, 1996, hlm. 109 18Marc Ancel, Social Defence, A Modern Approach to Criminal Problems (London, Routledge & Kegan Paul, 1965), hlm. 4-5 19Mudzakkir, Posisi Hukum Korban Kejahatan Dalam Sistem Peradilan Pidana, Disertasi, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2001, hlm. 22
12
tiap masyarakat yang terorganasir memiliki sistem hukum pidana yang
terdiri dari:
(a) peraturan-peraturan hukum pidana dan sanksinya.
(b) suatu prosedur hukum pidana, dan
(c) suatu mekanisme pelaksanaan (pidana).20
A. Mulder21 dengan tolok ukur pengertian Marc Ancel tersebut di atas
juga memberikan dimensi sistem hukum pidana merupakan garis kebijakan
untuk menentukan:
(a) seberapa jauh ketentuan-ketentuan hukum pidana yang berlaku perlu
diubah dan diperbaharui ;
(b) apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana ;
(c) cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan
pidana harus dilaksanakan.
Pada konsepsi negara hukum maka teori hukum pembuktian
merupakan aspek yang memegang peranan penting untuk menjatuhkan
suatu pidana terhadap orang yang melakukan tindak pidana pada umumnya
maupun tindak pidana korupsi pada khususnya. Untuk itu pada tataran teori
antara (middle range theory) tesis ini akan mempergunakan teori hukum
pembuktian. Andi Hamzah menyebutkan mengenai dimensi mengenai teori
pembuktian ada 4 (empat) yaitu Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-
Undang Secara Positif (Positief Wettelijke Bewijstheorie), Teori Pembuktian
Berdasarkan Keyakinan Hakim Melulu, Teori Pembuktian Berdasar
Keyakinan Hakim atas Alasan yang Logis (Laconviction Raissonnee) dan Teori
Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara Negatif (Negatief
Wetteljke).22 M. Yahya Harahap, membagi pembuktian menjadi Conviction-in
Time, Conviction-Raisonee, Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara
Positif dan Pembuktian Undang-Undang Secara Negatif (Negatief Wettelijk
20A. Mulder, Loc. Cit. 21A. Mulder, Ibid., hlm. 28 22Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana (Edisi Revisi), Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm. 245-253
13
Stelsel).23 Martiman Prodjohamidjojo membagi teori pembuktian menjadi
teori tradisional yang terdiri dari teori negatif, teori positif dan teori bebas
sedangkan teori modern dibagi menjadi teori pembuktian dengan
keyakinan belaka, teori pembuktian menurut undang-undang secara positif,
teori pembuktian menurut undang-undang secara negatif, teori keyakinan
atas alasan logis, teori pembuktian negatif menurut undang-undang dan teori
pembuktian terbalik.24 Djoko Prokoso25 membagi pembuktian menjadi
Sistem Keyakinan Belaka, Sistem melulu menurut Undang-Undang (positief
wettelijk) dan Sistem menurut Undang-Undang sampai suatu batas (negatief
wettelik). Lilik Mulyadi26 dengan titik tolak pandangan beberapa doktrina
kemudian membagi hukum pembuktian menjadi tiga klasifikasi yaitu hukum
pembuktian menurut Undang-Undang secara Positif (Positief Wettelijke Bewijs
Theorie), Sistem Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim (Conviction
Intime/Conviction Raisonce) dan Sistem Pembuktian menurut Undang-Undang
Secara Negatif (Negatief Wettelijke Bewijs Theorie). P.A.F. Lamintang27
membagi hukum pembuktian menjadi negatief-wettelijke stelsel, positief
wettelijke systeem dan conviction intieme. Adami Chazawi28 membagi hukum
pembuktian menjadi Sistem Keyakinan Hakim (Conviction in Time), Sistem
Keyakinan dengan Alasan Logis (Laconviction in Rainsonnee), Sistem
Pembuktian Melulu Undang-Undang (Positief Wettelijk Bewijstheorie), dan
Sistem Undang-Undang Secara Terbatas (Negatief Wettelijk Bewijstheorie).
Lebih lanjut maka Ansorie Sabuan, Syarifuddin Pettanasse dan Ruben
23M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm. 277-279 24Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999), CV Mandar Maju, Bandung, 2001, hlm. 99-101 25Djoko Prakoso, Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian Di Dalam Proses Pidana, Liberty, Yogyakarta, 1988, hlm. 36-44 26Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana (Normatif, Teoretis, Praktik dan Permasalahannya), Alumni, Bandung, 2007, hlm. 191-196 27P.A.F. Lamintang, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Dengan Pembahasan Secara Yuridis Menurut Yurisprudensi Dan Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana, Sinar Baru, Bandung, 1984, hlm. 421 28Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Alumni, Bandung, 2006, hlm. 24-30
14
Achmad29 membagi hukum pembuktian menjadi menurut Undang-Undang
secara Positif (Positief Wettelijke Bewijs Theorie), Sistem Pembuktian
Berdasarkan Keyakinan Hakim (Conviction Intime/Conviction Raisonce) dan
Sistem Pembuktian menurut Undang-Undang Secara Negatif (Negatief
Wettelijke Bewijs Theorie).
Hari Sasangka dan Lily Rosita30 membagi hukum pembuktian menjadi
Conviction in Raisone, Sistem Pembuktian Negatif dan Sistem Pembuktian
Positif. Ramelan31 membagi hukum pembuktian menjadi Teori (system)
pembuktian berdasarkan undang-Undang secara positif (Positief Wettelijk
Bewijstheorie), Teori (system) pembuktian berdasarkan keyakinan hakim
(conviction intime), Teori (system) pembuktian berdasarkan keyakinan hakim
atas alasan yang logis (conviction in Rainsonnee), dan Teori (system)
pembuktian berdasarkan undang- undang secara negatif (Negatief Wettelijk
Bewijstheorie).
Secara gradual dan fundamental dengan tolok ukur teoritik dan praktik
maka dalam ketentuan Ilmu Pengetahuan Hukum Acara Pidana hakikatnya
teori-teori sebagaimana dikemukakan doktrina tersebut dapat dibagi menjadi
3 (tiga) teori tentang Sistem Pembuktian. Pertama, Sistem Pembuktian
menurut Undang-Undang Secara Positif dengan tolok ukur sistem pembuktian
tergantung kepada eksistensi alat-alat bukti sebagaimana disebut limitatif
dalam undang-undang. Singkatnya, undang-undang telah menentukan
adanya alat-alat bukti mana yang dapat dipakai hakim, cara bagaimana
hakim harus mempergunakannya, kekuatan alat-alat bukti tersebut dan
bagaimana caranya hakim harus memutus terbukti atau tidaknya perkara
yang sedang diadili.
Kedua, Sistem Pembuktian Menurut Keyakinan Hakim polarisasinya
hakim dapat menjatuhkan putusan berdasarkan “keyakinan” belaka dengan 29Ansorie Sabuan, Syarifuddin Pettanasse dan Ruben Achmad, Hukum Acara Pidana, Angkasa, Bandung, 1990, hlm. 39-42 30Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana Untuk Mahasiswa dan Praktisi, CV. Mandar Maju, Bandung, 2003, hlm. 14-17 31Ramelan, Hukum Acara Pidana Teori Dan Implementasi, Sumber Ilmu Jaya, Jakarta, 2006, hlm. 224-225
15
tidak terikat oleh suatu peraturan. Dalam perkembangannya, sistem
pembuktian berdasarkan keyakinan hakim mempunyai 2 (dua) bentuk
polarisasi, yaitu “Conviction In time”, dimana kesalahan terdakwa
tergantung kepada “keyakinan” belaka, sehingga hakim tidak terikat oleh
suatu peraturan dan sistem pembuktian “Conviction Raisonce” asasnya identik
sistem “Conviction Intime”, yaitu keyakinan hakim tetap memegang peranan
penting untuk menentukan tentang kesalahan terdakwa, akan tetapi
penerapan keyakinan tersebut dilakukan secara selektif dalam arti “dibatasi”
oleh “alasan-alasan jelas dan rasional” dalam mengambil putusan.
Ketiga, Sistem Pembuktian menurut Undang-undang Secara Negatif yaitu
hakim hanya boleh menjatuhkan pidana kepada terdakwa apabila alat bukti
tersebut secara limitatif ditentukan undang-undang dan didukung pula
adanya keyakinan hakim terhadap eksistensinya alat-alat bukti tersebut.
Secara historis, ternyata sistem pembuktian negatif merupakan “peramuan”
antara sistem pembuktian undang-undang secara positif dan sistem
pembuktian berdasarkan keyakinan hakim. Konsekuensi logis peramuan ini,
maka substansi sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif
tentulah melekat anasir prosedural dan tata cara pembuktian sesuai alat-alat
bukti sebagaimana limitatif ditentukan undang-undang dan terhadap alat-
alat bukti tersebut hakim terikat baik secara material maupun prosedural.
Pada dasarnya, teori hukum pembuktian ini relevan bagi hakim
dalam membuktikan terhadap anasir perbuatan melawan hukum materiil
dalam tindak pidana korupsi. Tegasnya, dengan teori pembuktian tersebut
maka perbuatan yang dilakukan terdakwa tersebut apakah dapat
dikategorisasikan sebagai perbuatan melawan hukum materiil, sehingga
terdakwa tersebut dapat dijatuhkan pidana.
Untuk itu maka kemudian tesis ini dalam tataran teori terapan (applied
theory) mempergunakan teori-teori pemidanaan. Pada dasarnya dalam teori
pemidanaan dikenal ada 3 (teori) pemidanaan32, yaitu:
32Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm. 105
16
1) Teori Absolut atau teori pembalasan (absulute/vergeldings theorien)
2) Teori Relatif atau teori tujuan (utilitarian/doel theorien)
3) Teori Gabungan (verenigings theorien)
Menurut Sahetapy33 teori absolut adalah teori tertua, setua sejarah
manusia. Menurut teori ini pidana dijatuhkan karena orang telah melakukan
suatu kejahatan (quia peccatum est). Konsekuensi logis aspek ini maka pidana
adalah akibat mutlak yang harus ada sebagai pembalasan kepada orang yang
melakukan kejahatan. Meskipun kecendrungan melakukan pembalasan
merupakan gejala yang normal, akan tetapi pembalasan tersebut dapat dikaji
melalui optik sebagai suatu reaksi keras yang bersifat emosional dan karena
itu irrasional. Menurut Johannes Andenaes tujuan primair penjatuhan
pidana menurut teori absolut bersifat “untuk memuaskan tuntutan keadilan
(to satisfy the claims of justice) sedangkan pengaruh-pengaruh yang
menguntungkan bersifat skunder.
Selanjutnya menurut Nigel Warker34 bahwa ada dua golongan
penganut teori retributif. Pertama, penganut teori retributif murni yang
memandang pidana harus sejalan dengan kesalahan si pelaku. Kedua,
penganut teori retributif tidak murni yang diklasifikasi menjadi penganut
teori retributif terbatas (The Limiting Retribution) yang memandang bahwa
pidana tidak harus sepadan dengan kesalahan. Kemudian penganut teori
retributif distribusi (Retribution in Distribution) yang menegaskan bahwa
sanksi dalam hukum pidana harus dirancang dengan pandangan pada
pembalasan, namun juga gagasan bahwa seharusnya ada batas yang tepat
dalam retribusi pada beratnya sanksi.
Pada dasarnya, apabila dikaji lebih detail maka hakikatnya teori
retributif secara filosofis bersumber dari landasan pemikiran Imanuel Kant
(1724-1804) yang dikenal dengan terminologi retributivisme atau yang populer
dengan istilah just desert theory sebagaimana dikenal pakar kriminologi di
33Sahetapy, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, CV Rajawali, Jakarta, 1982, hlm. 198 34Nigel Warker, Sentencing in a Rational Society, Basic Books, Inc, Publishers, New York, hlm. 8-15
17
Amerika Serikat. Menurut pandangan Kant, bahwa pidana itu merupakan
konsekuensi logis yang tidak terpisahkan akibat kejahatan yang telah
dilakukan seseorang, bukan sebagai suatu kontrak sosial. Konkretnya,
pidana dijatuhkan bukan ditujukan sebagai perbaikan si pelaku atau
masyarakat. Kant hanya menerima satu-satunya alasan bahwa pidana
dijatuhkan karena pelaku tersebut telah melakukan kejahatan. Oleh karena
itu, secara konkret dapat dikatakan bahwa dari latar belakang filsafat
pemidanaan yang dikembangkan Imanuel Kant tersebut lahirlah teori
retributif yang mendasari tujuan pemidanaan yang menitikberatkan pada
pertanggungjawaban pelaku kejahatan terhadap korbannya.
Kemudian terhadap teori relatif atau teori tujuan (utilitarian/doel
theorien) maka Muladi dan Barda Nawawi Arief35 mengatakan teori ini
menegaskan penjatuhan pidana bukanlah merupakan guna memuaskan
tuntutan absolut dari keadilan. Pembalasan tersebut tidak mempunyai nilai,
tetapi hanyalah sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat.
Oleh karena itu, menurut Johannes Andenaes teori ini disebut juga sebagai
“teori perlindungan masyarakat” (the theory of social defence). Menurut Nigel
Walker teori ini lebih tepat disebut teori atau aliran reduktif (the “reductive”
point of view) karena dasar pembenaran pidana menurut teori ini ialah
mengurangi frekuensi kejahatan. Konsekuensi logisnya, penganut teori ini
dapat disebut golongan “Reducers” (penganut teori reduktif). Pidana
bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada
orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-
tujuan tertentu yang bermanfaat. Oleh karena itu teori inipun sering juga
disebut dengan teori tujuan (utilitarian theory). Jadi dasar pembenaran adanya
pidana menurut teori ini adalah terletak pada tujuannya.
Memang, hakikatnya teori pemidanaan tersebut ditransformasikan
melalui kebijakan pidana (criminal policy) pada kebijakan legislatif. Ada
35Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, PT Alumni, Bandung, 1998, hlm. 11
18
beberapa aspek mengapa kebijakan ini perlu dirumuskan, yaitu36: Pertama,
untuk sedapat mungkin diharapkan relatif menekan adanya disparitas dalam
pemidanaan (sentencing of disparity) terhadap kasus atau perkara yang sejenis,
hampir identik dan ketentuan tindak pidana yang dilanggar relatif sama.
Pada hakikatnya, disparitas Molly Cheang merupakan penerapan pidana
yang tidak sama terhadap tindak pidana yang sama (same offence) atau
terhadap tindak-tindak pidana yang sifat berbahayanya dapat
diperbandingkan (offences of comparable seriousness) tanpa dasar pembenaran
yang jelas.37 Dengan adanya pedoman pemidanaan pada kebijakan legislatif
maka hakim dalam hal penerapan peraturan sebagai kebijakan aplikatif dapat
menjatuhkan pidana lebih adil, manusiawi dan mempunyai rambu-rambu
yang bersifat yuridis, moral justice dan sosial justice. Konkritnya,
konsekuensi logis aspek ini maka putusan hakim atau putusan pengadilan
diharapkan lebih mendekatkan diri pada keadilan yang mencerminkan nilai-
nilai yang hidup di masyarakat. Teori Hukum Pembuktian tersebut dalam
middle range theory akan berkorelasi dengan teori-teori pemidanaan sebagai
applied theory yang pada dasarnya mengacu kepada konsepsi Negara Hukum
sebagai grand theory dalam penyusunan tulisan ini.
Untuk lengkapnya kerangka pemikiran ini maka grand theory berupa
Negara Hukum kemudian middle range theory berupa Teori Hukum
Pembuktian dan applied theory berupa Teori-Teori Pemidanaan dapat dilihat
dalam bentuk bagan 1 berikut ini.
36Lilik Mulyadi, Asas Pembalikan Beban ..., Op Cit. ,hlm 215 37Molly Cheang, Disparity of Sentencing, Singapore Malaya Law Journal, PTE Ltd., 1977, hlm. 2
19
KERANGKA PEMIKIRAN
Teori Hukum Pembuktian
Teori Negara Hukum
Negara Hukum Indonesia
Teori Pembuktian Positif
Perbuatan Melawan Hukum Materiil Dalam Tindak Pidana Korupsi Pada Praktik Peradilan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
Teori Pemidanaan
Gra
nd T
heor
yM
iddl
e Ra
nge
Theo
ryA
pplie
d T
heor
y
Teori Keyakinan HakimTeori Pembuktian Negatif
Teori AbsolutTeori Relatif
Teori Gabungan
20
C. PENGATURAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM MATERIIL
DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PADA KEBIJAKAN
LEGISLASI INDONESIA PASCA PUTUSAN MAHKAMAH
KONSTITUSI
Sudah dijelaskan dalam pembahasan terdahulu bahwasanya Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006
menyatakan Penjelasan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999
yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
dinyatakan telah bertentangan dengan UUD 1945 dan telah dinyatakan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat. Konsekuensi logis dimensi demikian
maka dikaji dari perspektif kebijakan legislasi Indonesia maka perbuatan
melawan hukum materiil dalam tindak pidana korupsi tidak ada
pengaturannya. Tegasnya, dalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999
yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tidak
mengenal lagi perbuatan melawan hukum materiil.
Konsekuensi adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006 maka terdapat kekosongan norma
hukum terhadap eksistensi pengaturan perbuatan melawan hukum materiil.
Di satu sisi, perbuatan melawan hukum materiil tidak dikenal lagi dalam
norma hukum yang mengatur tindak pidana korupsi di Indonesia khususnya
dalam ketentuan hukum positif Indonesia, akan tetapi di sisi lainnya ternyata
perbuatan melawan hukum materiil eksistensinya tetap ada dan terjadi dalam
praktik peradilan.
Dikaji dari perspektif kebijakan aplikasi maka Hakim harus
mempertimbangkan dimensi demikian. Apabila Hakim bertitik tolak pada
polarisasi pemikiran yang bersifat formal legalistik maka akan bertentangan
dengan norma-norma keadilan yang terdapat dalam suatu masyarakat. Akan
tetapi, apabila Hakim lebih mengkedepankan dimensi keadilan maka Hakim
akan dihadapkan kepada norma-norma formal legalistik dalam suatu Negara
Hukum. Oleh karena dimensi yang demikian Hakim harus memilih suatu
langkah yang tepat dalam menghadapi suatu kasus konkrit yang diajukan
21
kepadanya, apakah akan lebih mengkedepankan asas formil legalistik di satu
sisi dengan mengabaikan asas keadilan di sisi lainnya, ataukah adanya suatu
peramuan antara dimensi yang bersifat formal legalistik dengan asas keadilan
di lain pihak.
Dalam ilmu hukum pada umumnya maka dalam memutus suatu
perkara Hakim dapat melakukan suatu penafsiran hukum, sehingga suatu
kasus konkrit dapat diputus oleh Hakim yang dapat bersifat peramuan antara
dimensi yang bersifat formal legalistik dengan asas keadilan di lain pihak.
Penafsiran yang dilakukan oleh Hakim merupakan penafsiran yang bersifat
konkrit oleh karena Hakim dihadapkan dalam memutus suatu perkara yang
konkrit pula. Pada kebijakan legislasi hukum di Indonesia maka penafsiran
hukum oleh Hakim diperkenankan dan malah merupakan suatu kewajiban
dari Hakim Indonesia. Ketentuan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa, “Hakim
wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang
hidup dalam masyarakat”. Kemudian penjelasan ketentuan Pasal 28 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
dengan tegas menyebutkan bahwa, “ketentuan pasal ini dimaksudkan agar
putusan Hakim sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.”
Dengan bertitik tolak dimensi yang demikian, yaitu pasca Putusan
Mahkamah Konsitusi Nomor 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006 memang
telah terjadi kekosongan norma hukum pada kebijakan legislasi Indonesia
yang mengatur tentang perbuatan melawan hukum materiil (materiel
wederrechtelijkeheid). Aspek ini dapat dideskripsikan sebagaimana penelitian
terhadap responden tentang adanya kekosongan norma hukum pada
kebijakan legislasi Indonesia tentang perbuatan melawan hukum materiil
pasca Putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 003/PUU-IV/2006 tanggal 25
Juli 2006 sebagaimana Tabel 1 berikut ini.
22
Tabel 1. Pengetahuan Responden Mengenai kekosongan norma hukum pada kebijakan legislasi Indonesia
tentang perbuatan melawan hukum materiil pasca Putusan Mahkamah Konsitusi
Nomor 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006
(n= 30 responden)
A / % B / % C/% Pertanyaan Tahu Tidak Tahu Tidak
menjawab Apakah ada kekosongan norma hukum pada kebijakan legislasi Indonesia tentang perbuatan melwan hukum materiil pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006?
30/100%
0/0%
-
Sumber: Jawaban Responden
Analisis:
Seluruh responden mengetahui adanya kekosongan norma hukum
pada kebijakan legislasi Indonesia khususnya UU Nomor 31 Tahun 1999 jo
UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang perbuatan melawan hukum materiil pasca
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli
2006. Menurut pendapat penulis, maka putusan Mahkamah Konstitusi
tersebut telah diketahui seluruh responden yang menyatakan penjelasan
ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
sehingga terjadi kekosongan norma hukum tentang perbuatan melawan
hukum materiil dalam kebijakan legislasi Indonesia.
23
Konsekuensi logis, adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006 maka perbuatan melawan hukum
materiil tidak dikenal lagi dalam kebijakan legislasi Indonesia. Akan tetapi,
bagaimanakah dalam praktiknya? Ternyata, mayoritas responden tetap
menterapkan perbuatan melawan hukum materiil. Konklusi dasarnya,
ternyata Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006 tanggal 25
Juli 2006 diabaikan dalam kebijakan aplikasi.
Aspek ini dapat dideskripsikan penelitian terhadap responden tentang
tetap diterapkannya perbuatan melawan hukum materiil pada praktik
peradilan tindak pidana korupsi sebagaimana terdapat dalam Tabel 2 berikut
ini.
Tabel 2. Pengetahuan responden tentang perlunya diterapkan Perbuatan melawan hukum materiil pada praktik
peradilan tindak pidana korupsi
(n= 30 respondent) A / % B / % C/% Pertanyaan
Tahu Tidak tahu Tidak menjawab
Apakah menurut Sdr/i perbuatan melwan hukum materiil tetap diterapkan pada praktik peradilan tindak pidana korupsi di Indonesia
25/83 %
5/17%
-
Sumber: Jawaban Responden
Analisis:
Keseluruhan Responden yang berjumlah 30 orang maka 5 orang
(17%) menyatakan tidak perlu eksistensi perbuatan melawan hukum materiil
tetap diterapkan pada praktik peradilan tindak pidana korupsi dan sebanyak
25 orang (83%) menyatakan perbuatan melawan hukum materiil tetap perlu
dan diterapkan pada praktik peradilan tindak pidana korupsi di Indonesia.
24
Data pengetahuan responden menunjukan 83% responden menyatakan
tentang masih pentingnya eksistensi perbuatan melawan hukum materiil
tetap diterapkan pada praktik peradilan tindak pidana korupsi. Menurut
penulis, perbuatan melawan hukum materiil tetap diterapkan pada praktik
peradilan tindak pidana korupsi tersebut relatif diketahui dan dipahami serta
dirasakan penting eksistensinya secara substansial.
Tabel 3 berikut mendeskripsikan mayoritas responden tetap
menginginkan perlunya pengaturan perbuatan melawan hukum materiil
pada kebijakan legislasi Indonesia pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006 sebagaimana tabel berikut ini.
Tabel 3. Perlunya pengaturan perbuatan melawan hukum materiil pada kebijakan legislasi Indonesia
(n= 30 responden)
A / % B / % Pertanyaan Perlu Tidak perlu
Menurut Sdr/i apakah perlu perbuatan melawan hukum materiil diatur dalam kebijakan legislasi Indonesia khususnya dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi di Masa Mendatang (ius constituendum)?
25/83 %
5/17%
Sumber: Jawaban Responden
Analisis:
Mengenai hasil respondent tentang apakah perlu perbuatan melawan
hukum materiil diatur dalam kebijakan legislasi Indonesia khususnya dalam
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi di Masa Mendatang (ius
constituendum) maka dari 30 responden sebanyak 25 orang (83%) mengatakan
perlunya perbuatan melawan hukum materiil diatur dalam kebijakan legislasi
25
Indonesia khususnya dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi di Masa
Mendatang (ius constituendum) dan sebanyak 5 orang (17%) menjawab tidak
perlu perbuatan melawan hukum materiil diatur dalam kebijakan legislasi
Indonesia khususnya dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi di Masa
Mendatang (ius constituendum).
Dari dimensi ini, ternyata keseluruhan responden pada tabel 2 tentang
perbuatan melawan hukum materiil tetap diterapkan pada praktik peradilan
tindak pidana korupsi identik dengan keseluruhan responden tentang
perlunya diatur dalam kebijakan legislasi indonesia khususnya dalam
Undang-Undang Tipikor. Ternyata, perilaku responden konsisten antara
yang tetap menterapkan perbuatan melawan hukum materiil dalam praktik
pradilan dengan pengaturan perbuatan melawan hukum materiil dalam
kebijakan legislasi Indonesia khususnya dalam Undang-Undang Tindak
Pidana Korupsi selaku ius constituendum.
Hasil penelitian responden terhadap perbuatan melawan hukum
materiil dalam tindak pidana korupsi pada dasarnya mengetahui bahwa ada
kekosongan norma hukum pada kebijakan legislasi Indonesia terhadap
pengaturan perbuatan melawan hukum materiil (materiel wederrechtelijkeheid)
pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006 tanggal 25
Juli 2006 yang seluruhnya diketahui oleh para respondent (100%). Akan
tetapi, walaupun para respondent mengetahui adanya kekosongan norma
hukum terhadap pengaturan perbuatan melawan hukum materiil (materiel
wederrechtelijkeheid) tetapi praktiknya hampir mayoritas respondent (83%)
tetap menyatakan bahwa perbuatan melawan hukum materiil diterapkan
para praktik peradilan tindak pidana korupsi pada kebijakan aplikasi. Aspek
ini relatif significant dibandingkan respondent (17%) yang tidak menerapkan
perbuatan melawan hukum materiil (materiel wederrechtelijkeheid). Dari
keseluruhan respondent tersebut mendeskripsikan bahwa pada praktik
peradilan hendaknya tetap diterapkan perbuatan melawan hukum materiil.
Konsekuensi logis keseluruhan respondent yang diteliti pun menginginkan
perlunya pengaturan perbuatan melawan hukum materiil pada kebijakan
26
legislasi Indonesia pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-
IV/2006 tanggal 25 Juli 2006 pada hampir hampir mayoritas respondent
(83%).
D. PRAKTIK PERADILAN TERHADAP PERBUATAN MELAWAN
HUKUM MATERIIL DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI
INDONESIA PADA KEBIJAKAN APLIKASI PASCA PUTUSAN
MAHKAMAH KONSTITUSI
Pada dasarnya, kebijakan aplikasi khususnya Mahkamah Agung
Republik Indonesia pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003 /PUU-
IV/2006 Tanggal 25 Juli 2006 tetap mempergunakan perbuatan melawan
hukum materiil (materiel wederrechtelijkeheid). Aspek ini menggariskan bahwa
Mahkamah Agung tetap mempertahankan dan menerapkan ajaran perbuatan
melawan hukum materiil (materiel wederrechtelijkeheid), walaupun di sisi
lainnya kebijakan legislasi tidak mengaturnya lagi.
Putusan Mahkamah Agung khususnya Putusan Mahkamah Agung
RI Nomor Nomor 2064 K/Pid/2006 Tanggal 8 Januari 2007 atas nama
terdakwa H. Fahrani Suhaimi, Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 996
K/Pid/2006 Tanggal 16 Agustus 2006 atas nama Terdakwa Hamdani Amin
dan Putusan Mahkamah Agung RI No. 1974K/Pid/2006 Tanggal 13 Oktober
2006 atas nama Terdakwa Prof. Dr. Rusadi Kantaprawira, SH dimana
Mahkamah Mahkamah Agung RI tetap mempergunakan perbuatan melawan
hukum materiil (materiele wederrechtelijkheid) dengan melalui penafsiran
hukkum dan beserta argumentasi sebagai berikut:
Bahwa dengan dinyatakannya penjelasan Pasal 2 ayat 1 Undang-
Undang No. 20 Tahun 2001 jo Undang-Undang No. 31 Tahun 1999
sebagai bertentangan dengan Undang-Undang dasar 19451945 dan
telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan
demikian unsur “melawan hukum” tersebut menjadi tidak jelas
rumusannya, oleh karena itu berdasarkan doktrin “Sen-Clair” atau “La
27
doctrine du Sen-Clair” hakim harus melakukan penemuan hukum
dengan memperhatikan :
a) Pasal 28 Pasal 28 ayat (1) UU Nomor 4 tahun 2004 yang
menentukan, “Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-
nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”, dan juga
ketentuan Pasal 16 ayat (1) yang menyatakan bahwa, “Pengadilan
tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu
perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang
jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya;
b) Hakim dalam mencari makna “melawan hukum” seharusnya
mencari dan menemukan kehendak publik yang bersifat unsur
pada saat ketentuan tersebut diberlakukan pada kasus konkrit
(Bandingkan M.Yahya Harahap, SH., Pembahasan Permasalahan
dan penerapan KUHAP, Edisi Kedua, halaman 120);
c) Bahwa Hamaker dalam karangannya Het recht en de
maatschappij dan juga Recht, Wet en Recht antara lain
berpendapat bahwa hakim seyogianya mendasarkan putusan
sesuai kesadaran hukum dan penerapan hukum yang sedang
hidup dalam masyarakat ketika putusan itu dijatuhkan. Dan bagi
I.H. Hymans (dalam karangan: Het recht der werkelijkdend),
hanya putusan hakim yang sesuai dengan kesadaran hukum dan
kebutuhan hukum warga masyarakatnya yang merupakan hukum
dalam makna yang sebenarnya (het recht der werkelijkheid)(lihat
Prof.Dr. Achmad Ali, SH,MH. Menguak tabir Hukum Suatu Kajian
Filosofis dan sosiologis ). Cetakan ke II (kedua), 2002, hal. 140).
d) Bahwa apabila kita memperhatikan Undang-Undang , ternyata bagi
kita bahwa Undang-Undang tidak saja menunjukkan banyak
kekurangannya dan bahkan seringkali tidak jelas. walaupun
demikian Hakim harus melakukan peradilan. Teranglah , bahwa
dalam hal sedemikian Undang-Undang memberi kuasa kepada
hakim untuk menetapkan sendiri ketentuan maknanya suatu
28
ketentuan Undang-Undang. Dan Hakim boleh menafsirsuatu
ketentuan Undang-Undang secara gramatikal atau historis baik
”recht maupun wethistoris” (Lie Oen Hock, Jurisprudensi sebagai
Sumber Hukum, Pidato diucapkan pada waktu Pengresmian
Pemangkuan Djabatan Guru Besar Luar Biasa dalam Ilmu
Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia pada fakultas
Hukum dan Pengetahuan Masyarakat dari Universitas Indonesia di
Djakarta, pada tanggal 19 September 1959, hlm.11).
Bahwa memperhatikan butir 1 tersebut, maka Mahkamah Agung
dalam memberi makna unsur “melawan hukum” dalam ketentuan
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 akan memperhatikan doktrin dan
Yurisprudensi MARI yang berpendapat bahwa unsur “melawan
hukum” dalam tindak pidana korupsi adalah mencakup perbuatan
melawan hukum dalam arti formil maupun materiil dan mengenai
perbuatan melawan hukum dalam arti materiil dan mengenal
perbuatan melawan hukum yang meliputi fungsi positif dan negatif ,
yang pengertiannya Mahkamah Agung berpedoman pada :
a) bahwa tujuan diperluas unsur perbuatan “melawan hukum”
adalah untuk mempermudah pembuktian di persidangan sehingga
suatu perbuatan yang dipandang oleh masyarakat sebagai
melawan hukum secara materiil atau tercela perbuatannya,
dapatlah dihukum pelakunya melakukan tindak pidana korupsi,
meskipun perbuatannya itu tidak melakukan perbuatan melawan
hukum secara formal.(Dr. Indriyanto Seno Adji, SH, MH, Korupsi
dan Hukum Pidana, Edisi Pertama, hlm 14);
b) bahwa pengertian “melawan hukum” menurut penjelasan Pasal 1
ayat (1) sub a Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971, tidak hanya
melanggar peraturan yang ada sanksinya melainkan mencakup
pula perbuatan yang bertentangan dengan keharusan atau
29
kepatutan dalam pergaulan masyarakat atau dipandang tercela
oleh masyarakat.
c) Bahwa dari butir 2 Surat Menteri Kehakiman RI tanggal 11 Juli
1970 sebagai pengantar diajukannya RUU Nomor 3 Tahun 1971
dapat disimpulkan pengertian perbuatan “melawan hukum” secara
materiil adalah dititikberatkan pada pengertian yang diperoleh dari
hukum tidak tertulis, hal ini tersirat dari surat tersebut yang pada
pokoknya berbunyi, “maka untuk mencakup perbuatan-perbuatan
yang sesungguhnya bersifat koruptif akan tetapi sukar dipidana,
karena tidak didahukui suatu kejahatan atau pelanggaran-
pelanggaran dalam RUU ini dikemukakan sarana, “melawan
hukum dalam rumusan tindak pidana korupsi, yang pengertiannya
juga meliputi perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan
norma-norma yang lazim atau bertentangan dengan keharusan
dalam pergaulan hidup untuk bertindak cermat terhadap orang
lain, barang maupun haknya” ;
d) Bahwa sejalan dengan politik hukum untuk memberantas korupsi
dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 275 K/Pid/1983
tanggal 28 Desember 1983, untuk pertama kalinya dinyatakan
secara tegas bahwa korupsi secara materiil melawan hukum,
karena perbuatan tersebut adalah perbuatan yang tidak patut,
tercela dan menusuk perasaan hati masyarakat banyak, dengan
memakai tolok ukur asas-asas hukum yang bersifat umum dan
menurut kepatutan dalam masyarakat.
bahwa Yurisprudesi dan doktrin merupakan Sumber Hukum Formil
selain Undang-Undang dan kebiasaan serta Traktat yang dapat
digunakan oleh mahkamah Agung dalam kasus konkrit yang
dihadapinya. Yurisprudensi tentang makna perbuatan elawan hukum
dalam arti formil dan dalam arti materiil harus tetap dijadikan
pedoman untuk terbinanya konsistensi penerapannya dalam perkara-
perkara tindak pidana korupsi, karena sudah sesuai dengan kesadaran
30
hukum dan perasaan hukum yang sedang hidup dalam masyarakat ,
kebutuhan hukum warga masyarakat, nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat ;
Kemudian pada tingkat yudex facti di tingkat Pengadilan Negeri
ternyata Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kepanjen dalam Nomor
91/Pid.B/2008/PN. Kpj. Tanggal 29 April 2008 dan Putusan Pengadilan Negeri
Kepanjen Nomor 1079/Pid.B/2007/PN.Kpj. Tanggal 23 April 2008 tetap
mempergunakan perbuatan melawan hukum materiil dengan dasar
pertimbangan sebagai berikut:
Bahwa pengertian “MELAWAN HUKUM” adalah dalam
pengertian formil maupun materiil dimana ajaran sifat melawan
hukum yang formal mengatakan bahwa apabila suatu perbuatan
telah mencocoki semua unsur yang termuat dalam rumusan tindak
pidana, perbuatan tersebut adalah tindak pidana dan ajaran yang
materiil mengatakan bahwa di samping memenuhi syarat-syarat
formal, yaitu mencocoki semua unsur yang tercantum dalam
rumusan delik, perbuatan itu harus benar-benar dirasakan oleh
masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut atau tercela (Vide:
Ny. Komariah Emong Sapardjaja, “Ajaran Sifat Melawan Hukum
Materiel Dalam Hukum Pidana Indonesia (Studi Kasus Tentang
Penerapan Dan Perkembangannya Dalam Yurisprudensi)”, Penerbit PT.
Alumni, Bandung, 2001, hlm. 25.);
Bahwa sifat melawan hukum formal berarti semua bagian (tertulis
dalam undang-undang) dari rumusan delik telah terpenuhi dan
sifat melawan hukum materiel berarti bahwa karena perbuatan itu,
kepentingan hukum yang dilindungi oleh rumusan delik tertentu
telah dilanggar (Vide: D. Schaffmeister, N. Keijzer, E. PH. Sitorus,
“Hukum Pidana”, Editor Penerjemahan J.E. Sahetapy, Penerbit
Liberty, Yogyakarta, 2003, hlm. 50);
Bahwa Profesor Van Hattum mengatakan bahwa : “menurut ajaran
wederrechtelijkheid dalam arti formal suatu perbuatan hanya dapat
31
dipandang sebagai bersifat wederrechtelijk apabila perbuatan
tersebut memenuhi semua unsur yang terdapat di dalam rumusan
suatu delik menurut undang-undang dan menurut ajaran
wederrechtelijkheid dalam arti material, apakah suatu perbuatan itu
dapat dipandang sebagai bersifat wederrechtelijk atau tidak,
masalahnya bukan saja harus ditinjau sesuai dengan ketentuan-
ketentuan hukum yang tertulis, melainkan juga harus ditinjau
menurut asas-asas hukum umum dari hukum yang tidak tertulis”
(Vide: P.A.F. Lamintang, “Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia”,
Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hlm. 351) ;
Menimbang, bahwa dalam praktik peradilan khususnya melalui
perkembangan yurisprudensi pengertian “melawan hukum” terjadi
pergeseran dari perbuatan melawan hukum materiil dengan fungsi
positif dan negatif dimana fungsi negatif sebagai alasan peniadaan
pidana guna menghindari pelanggaran asas legalitas maupun
penggunaan analogi yang dilarang oleh hukum pidana sedangkan
pergeseran perbuatan melawan hukum materiil ke arah fungsi positif
melalui kretaria limitatif dan kasuistik berupa perbuatan pelaku yang
tidak memenuhi rumusan delik dipandang dari segi kepentingan hukum
yang lebih tinggi ternyata menimbulkan kerugian yang jauh tidak
seimbang bagi masyarakat/negara dibandingkan dengan keuntungan dari
perbuatan pelaku yang tidak memenuhi rumusan delik tersebut ;
Bahwa dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 003/PUU-
IV/2006 tanggal 25 Juli 2006 menyatakan penjelasan ketentuan
Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun
2001 yang mengatur perbuatan melawan hukum materiil
bertentangan dengan UUD 1945 dan telah pula dinyatakan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat;
Bahwa pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 003/PUU-IV/2006
tanggal 25 Juli 2006 Mahkamah Agung dalam beberapa putusannya (Putusan
32
Mahkamah Agung Nomor 996 K/Pid/2006 tanggal 16 Agustus 2006 atas
nama terdakwa Hamdani Amin dan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor
1974 K/Pid/2006 tanggal 13 Oktober 2006 atas nama terdakwa Prof. Dr.
Rusadi Kantaprawira SH.) tetap menerapkan ajaran perbuatan melawan
hukum materiil sebagaimana ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun
1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001
E. PENUTUP
Adanya kekosongan norma hukum terhadap pengaturan perbuatan
melawan hukum materiil (materiel wederrechtelijkeheid) dalam Tindak Pidana
Korupsi pada kebijakan legislasi Indonesia Pasca Putusan Mahkamah
Konstitusi. Oleh karena itu Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003
/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006 tidak diatur lagi tentang perbuatan
melawan hukum materiil (materiel wederrechtelijkeheid) dalam Tindak Pidana
Korupsi. Kemudian praktik peradilan terhadap perbuatan melawan hukum
materiil dalam Tindak Pidana Korupsi Indonesia pada kebijakan aplikasi
Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003 /PUU-IV/2006 Tanggal 25
Juli 2006 maka hakim melalui penafsiran hukum tetap mempergunakan dan
menerapkan perbuatan melawan hukum materiil (materiel wederrechtelijkeheid)
dalam Tindak Pidana Korupsi sebagaimana terdapat pada Putusan
Mahkamah Agung RI Nomor 2064 K/Pid/2006 tanggal 8 Januari 2007 atas
nama Terdakwa H. Fahrani Suhaimi, Putusan Mahkamah Agung RI Nomor
996 K/Pid/2006 Tanggal 16 Agustus 2006 atas nama Terdakwa Hamdani
Amin, Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1974K/Pid/2006 Tanggal 13
Oktober 2006 atas nama Terdakwa Prof. Dr. Rusadi Kantaprawira, S.H.,
kemudian Putusan Pengadilan Negeri Kepanjen Nomor 91/Pid.B/2008/PN.
Kpj. Tanggal 29 April 2008 atas nama terdakwa Abdul Mukti dan Putusan
Pengadilan Negeri Kepanjen Nomor 1079/Pid.B/2007/PN.Kpj. Tanggal 23
April 2008 atas nama terdakwa Prayitno. Oleh karena itu, hendaknya
kebijakan legislasi dalam pembentukan Undang-Undang Tindak Pidana
Korupsi masa mendatang (ius constituendum) merumuskan kembali tentang
33
formulasi pasal yang mengatur perbuatan melawan hukum materiil (materiel
wederrechtelijkeheid) dalam Tindak Pidana Korupsi sehingga dapat menjamin
adanya kepastian hukum (recht-zekerheids) pada kasus tindak pidana korupsi
in-concreto, serta pembentuk Undang-Undang melakukan revisi terhadap
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Tindak Pidana Korupsi sehingga Undang-Undang tersebut
relatif dapat mengikuti perkembangan zaman Pasca Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 003 /PUU-IV/2006 Tanggal 25 Juli 2006. *****