32
BAB II
PERJANJIAN KERJASAMA PENJUALAN VOUCHER HOTEL ANTARAPT. EKA SUKMA TOUR DENGAN HOTEL JW MARRIOT MEDAN
A. Perjanjian Kerjasama dalam Praktek Travel
1. Perjanjian Kerjasama
Perjanjian merupakan kesepakatan antara dua orang atau dua pihak, mengenai
hal-hal pokok yang menjadi objek dari perjanjian. Kesepakatan itu timbul karena
adanya kepentingan dari masing-masing pihak yang saling membutuhkan. Perjanjian
juga dapat disebut sebagai persetujuan, karena dua pihak tersebut setuju untuk
melakukan sesuatu. Perjanjian kerjasama dalam suatu bisnis bisa dilakukan secara
formal maupun informal, hal ini disesuaikan dengan jenis kerjasama yang hendak
dilakukan. Selain itu, pembuatan perjanjian kerjasama bisa disesuaikan dengan
kesepakatan semua pihak yang terlibat didalamnya.
a. Syarat Sahnya Perjanjian
Perjanjian yang sah adalah perjanjian yang memenuhi syarat-syarat yang telah
ditentukan oleh undang-undang, sehingga mempunyai kekuatan hukum yang
mengikat. Syarat sahnya perjanjian diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, yang terdiri dari empat syarat yaitu:
1. Adanya kata sepakat mereka yang mengikat diri;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.
32
Universitas Sumatera Utara
33
Ad. 1. Adanya kata sepakat mereka yang mengikat diri
Kesepakatan dalam perjanjian merupakan perwujudan dari kehendak dua atau
lebih pihak dalam perjanjian mengenai apa yang mereka kehendaki untuk
dilaksanakan, bagaimana cara melaksanakannya, kapan harus dilaksanakan, dan siapa
yang harus melaksanakan. Pada dasarnya sebelum para pihak sampai pada
kesepakatan mengenai hal-hal tersebut, maka salah satu atau lebih pihak dalam
perjanjian tersebut akan menyampaikan terlebih dahulu suatu bentuk pernyataan
mengenai apa yang dikehendaki oleh pihak tersebut dengan segala macam
persyaratan yang mungkin dan diperkenankan oleh hukum untuk disepakati oleh para
pihak. Pernyataan yang disampaikan tersebut dikenal dengan nama penawaran. Jadi
penawaran itu berisikan kehendak dari salah satu pihak dalam perjanjian, yang
disampaikan kepada lawan pihaknya, untuk memperoleh persetujuan dari lawan
pihaknya tersebut.
Pihak lawan dari pihak yang melakukan penawaran selanjutnya harus
menentukan apakah ia menerima penawaran yang disampaikan, apabila ia menerima
maka tercapailah kesepakatan tersebut. Sedangkan jika ia tidak menyetujui, maka
dapat saja ia mengajukan penawaran balik, yang memuat ketentuan-ketentuan yang
dianggap dapat ia penuhi atau yang sesuai dengan kehendaknya yang dapat diterima
atau dilaksanakan olehnya.
Dalam hal terjadi demikian maka kesepakatan dikatakan belum tercapai.
Keadaan tawar menawar ini akan terus berlanjut hingga pada akhirnya kedua belah
pihak mencapai kesepakatan mengenai hal-hal yang harus dipenuhi dan dilaksanakan
Universitas Sumatera Utara
34
oleh para pihak dalam perjanjian tersebut. Saat penerimaan paling akhir dari
serangkaian penawaran adalah saat tercapainya kesepakatan. Hal ini dipedomani
untuk perjanjian konsensuil dimana kesepakatan dianggap terjadi pada saat
penerimaan dari penawaran yang disampaikan terakhir.
Dalam perjanjian konsensuil tersebut di atas, secara prinsip telah diterima
bahwa saat tercapainya kesepakatan adalah saat penerimaan dari penawaran terakhir
disampaikan. Hal tersebut secara mudah dapat ditemui jika para pihak yang
melakukan penawaran dan permintaan bertemu secara fisik, sehingga masing-masing
pihak mengetahui secara pasti kapan penawaran yang disampaikan olehnya diterima
dan disetujui oleh lawan pihaknya.
Ad. 2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian adalah kewenangan untuk
melakukan perbuatanperbuatan hukum sendiri. Perbedaan antara kewenangan hukum
dengan kecakapan berbuat adalah bila kewenangan hukum maka subyek hukum
dalam hal pasif sedanga pada kecakapan berbuat subjek hukumnya aktif, dan yang
termasuk cakap di sini adalah orang dewasa, sehat akal pikrnya, tidak dilarang oleh
Undang-undang.
Pasal 1329 KUHPerdata menyebutkan bahwa setiap orang adalah cakap untuk
membuat perikatan-perikatan jika oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap.
Pasal 1330 KUHPerdata lebih lanjut menyatakan bahwa semua orang berwenang
untuk membuat kontrak kecuali mereka yang masuk ke dalam golongan:
1. Orang yang belum dewasa
Universitas Sumatera Utara
35
2. Orang yang ditempatkan di bawah pengampuan
3. Wanita bersuami
4. Orang yang dilarang oleh undang-undang untuk melakukan perbuatan tertentu.
Konsekuensi yuridis jika ada dari para pihak dalam perjanjian yang ternyata
tidak cakap berbuat adalah:
a. Jika perjanjian tersebut dilakukan oleh anak yang belum dewasa, maka
perjanjian tersebut batal demi hukum atas permintaan dari anak yang belum
dewasa, semata-mata karena alasan kebelumdewasaannya.
b. Jika perjanjian tersebut, dilakukan oleh orang yang berada di bawah
pengampuan, maka perjanjian tersebut batal demi hukum atas permintaan dari
orang di bawah pengampuan, semata-mata karena keberadaannya di bawah
pengampuan tersebut.
c. Terhadap perjanjian yang dibuat wanita yang bersuami hanyalah batal demi
hukum sekedar perjanjian tersebut melampaui kekuasaan mereka.
d. Terhadap perjanjian yang dibuat oleh anak di bawah umur yang telah
mendapatkan status disamakan dengan orang dewasa hanyalah batal demi
hukum sekedar kontrak tersebut melampaui kekuasaan mereka.
e. Terhadap perjanjian yang dibuat oleh orang yang dilarang oleh undang-undang
untuk melakukan perbuatan hukum tertentu, maka mereka dapat menuntut
pembatalan perjanjian tersebut, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.
Apabila perjanjian yang dibuat oleh pihak yang tidak cakap berbuat tersebut
kemudian menjadi batal, maka para pihak haruslah menempatkan seolah-olah
Universitas Sumatera Utara
36
perjanjian tersebut tidak pernah ada. Jadi setiap prestasi yang telah diberikan harus
dikembalikan atau dinilai secara wajar.
Ad. 3. Suatu hal tertentu
Suatu hal tertentu di sini berbicara tentang objek perjanjian. Objek perjanjian
yang dapat dikategorikan dalam Pasal 1332 s/d 1334 KUH Perdata, yaitu yang
pertama objek yang aka nada (kecuali warisan), asalkan dapat ditentukan jenis dan
dapat dihitung. Yang kedua adalah objek yang dapat diperdagangkan (barang-barang
yang dipergunakan untuk kepentingan umum tidak dapat menjadi objek perjanjian).
Ad. 4. Suatu sebab yang halal
Suatu sebab yang halal yang memiliki maksud antara lain, sebab adalah isi
perjanjian itu sendiri atau tujuan dari para pihak mengadakan perjanjian dan halal
adalah tidak bertentangan dengan Undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Syarat ini merupakan mekanisme netralisasi, yaitu sarana untuk menetralisir terhadap
prinsip hukum perjanjian yang lain yaitu prinsip kebebasan berkontrak. Prinsip mana
dalam KUHPerdata ada dalam Pasal 1338 ayat (1) yang pada intinya menyatakan
bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah memiliki kekuatan yang sama dengan
undang-undang.
Adanya suatu kekhawatiran terhadap azas kebebasan berkontrak ini bahwa
akan menimbulkan perjanjian-perjanjian yang dibuat secara ceroboh, karenanya
diperlukan suatu mekanisme agar kebebasan berkontrak ini tidak disalahgunakan.
Sehingga diperlukan penerapan prinsip moral dalam suatu perjanjian. Sehingga
timbul syarat suatu sebab yang tidak terlarang sebagai salah satu syarat sahnya
Universitas Sumatera Utara
37
perjanjian. Itu sebabnya suatu perjanjian dikatakan tidak memiliki suatu sebab yang
tidak terlarang jika perjanjian tersebut antara lain melanggar prinsip kesusilaan atau
ketertiban umum disamping melanggar perundang-undangan.
Konsekuensi yuridis apabila syarat ini tidak dipenuhi adalah perjanjian yang
bersangkutan tidak memiliki kekuatan hukum atau dengan kata lain suatu perjanjian
tentang suatu sebab yang tidak terlarang menjadi perjanjian yang batal demi hukum.
Selanjutnya dalam doktrin ilmu hukum yang berkembang digolongkan ke
dalam:
1. Dua unsur pokok yang menyangkut subyek yang mengadakan perjanjian
(unsur Subyektif)
2. Dua unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan obyek perjanjian
(unsur Obyektif).49
Munir Fuady berpendapat agar suatu perjanjian oleh hukum dianggap sah
sehingga mengikat kedua belah pihak, maka kontrak tersebut haruslah memenuhi
syarat-syarat tertentu yang digolongkan sebagai berikut:
1. Syarat sah yang umum, yaitu :a. Syarat sah umum berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata terdiri dari
1) Kesepakatan kehendak2) Wenang buat3) Perihal tertentu4) Kuasa yang legal
b. Syarat sah umum di luar Pasal 1338 dan 1339 KUHPerdata yang terdiridari1) Syarat itikad baik2) Syarat sesuai dengan kebiasaan
49 Kartini Mulyadi & Gunawan Widjaya, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm. 93.
Universitas Sumatera Utara
38
3) Syarat sesuai dengan kepatutan4) Syarat sesuai dengan kepentingan umum
2. Syarat sah yang khusus terdiri darii. Syarat tertulis untuk perjanjian-perjanjian tertentuii. Syarat akta notaries untuk perjanjian-perjanjian tertentuiii.Syarat Akta pejabat tertentu yang bukan notaris untuk perjanjian-
perjanjian tertentuiv. Syarat izin dari yang berwenang.50
Perjanjian yang tidak memenuhi syarat subyektif yaitu tidak adanya
kesepakatan mereka yang membuat perjanjian dan kecakapan membawa konsekuensi
perjanjian yang dibuatnya itu dapat dibatalkan oleh pihak yang merasa dirugikan
namun selama yang dirugikan tidak mengajukan gugatan pembatalan maka perjanjian
yang dibuat itu tetap berlaku terus. Apabila syarat subyektif tidak dipenuhi yaitu tidak
adanya hal tertentu dan sebab yang halal, perjanjian yang dibuat para pihak sejak
dibuatnya perjanjian telah batal atau batal demi hukum.
b. Asas-asas Perjanjian
Dalam hukum perjanjian terdapat beberapa asas yaitu:51
1) Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak merupakan salah satu asas yang penting dalam
hukum perjanjian. Asas ini merupakan perwujudan manusia yang bebas,
pancaran hak asasi manusia. Asas kebebasan berkontrak berhubungan erat
dengan isi perjanjian, yakni kebebasan untuk menentukan “apa” dan dengan
“siapa” perjanjian diadakan.
50 Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Citra aditya Bakti,Bandung, 2001, hlm. 33.
51 Ibid, hlm 43-46.
Universitas Sumatera Utara
39
2) Asas konsensualisme
Asas konsensualisme dapat ditemukan dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata. Dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
disebutkan secara tegas bahwa untuk sahnya perjanjian harus ada kesepakatan
antara kedua belah pihak. Dalam Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata ditemukan dalam perkataan “semua” menunjukan bahwa setiap orang
diberi kesempatan untuk menyatakan kehendak yang dirasakan baik untuk
menciptakan perjanjian.
3) Asas keseimbangan
Asas keseimbangan menghendaki para pihak memenuhi dan melaksanakan
perjanjian yang mereka buat. Kreditur mempunyai hak untuk menuntut
pelaksanaan prestasi dengan melunasi utang melalui kekayaan debitur, namun
kreditur juga mempunyai beban untuk melaksanakan perjanjian dengan itikad
baik, sehingga dapat dikatakan bahwa kedudukan kreditur yang kuat diimbangi
dengan kewajiban untuk memperhatikan itikad baik, sehingga kedudukan
kreditur dan debitur seimbang.
4) Asas kepercayaan
Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan orang lain, menumbuhkan
kepercayaan di antara para pihak antara satu dengan yang lain akan memegang
janjinya untuk memenuhi prestasi di kemudian hari. Tanpa adanya kepercayaan
itu, maka perjanjian tidak mungkin siadakan para pihak.
5) Asas kebiasaan
Universitas Sumatera Utara
40
Asas kebiasaan diatur dalam Pasal 1339 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
jo Pasal 1347 Kitab Undang-undang Hukum perdata. Menurut asas ini
perjanjian tidak hanya mengikat untuk apa yang secara tegas diatur, tetapi juga
hal-hal yang dalam keadaan dan kebiasaan lazim diikuti.
c. Risiko
Dalam teori hukum dikenal suatu ajaran yang disebut dengan resicoleer
(ajaran tentang risiko), yang berarti seseorang berkewajiban untuk memikul kerugian
jika ada sesuatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa benda
yang menjadi obyek perjanjian. Ajaran ini timbul apabila terdapat keadaan memaksa
(overmacht).52
Salah satu ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang
mengatur tentang risiko adalah Pasal 1553 yang berbunyi :
“Jika selama waktu sewa, pada barang yang disewakan sama sekali musnahkarena suatu kejadian yang tak disengaja, maka perjanjian sewa gugur demihukum.Jika barangnya hanya sebagian musnah, si penyewa dapat memilih, menurutkeadaan, apakah ia akan meminta pengurangan harga sewa, ataukah ia akanmeminta bahkan pembatalan perjanjian sewanya; tetapi tidak dalam satu darikedua hal itu pun ia berhak atas suatu ganti rugi”.
Pengertian risiko selalu berhubungan erat dengan adanya overmacht, sehingga
seharusnya ada kejelasan tentang kedudukan para pihak, yaitu pihak yang harus
bertanggung-gugat dan pihak yang harus menanggung risiko atas kejadian-kejadian
dalam keadaan memaksa. Tentang gugurnya perjanjian yang disebabkan di atas,
52 Salim HS, Hukum Kontrak:Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Sinar Grafika,Jakarta, 2008, hal. 103.
Universitas Sumatera Utara
41
berarti kerugian akibat kemusnahan itu menjadi tanggung jawab dan dipikul
seluruhnya oleh pemilik barang.
Menurut R. Subekti, yang dimaksud dengan risiko adalah kewajiban memikul
kerugian yang disebabkan karena suatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak.53
Risiko dapat dibedakan menjadi dua yaitu risiko pada perjanjian sepihak dan risiko
pada perjanjian timbal balik.
Risiko pada perjanjian sepihak diatur dalam Pasal 1237 ayat 1 KUHPerdata
yang menentukan "Dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu barang
tertentu, maka barang itu semenjak perikatan dilahirkan adalah atas tanggungan si
berpiutang". Dari pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa risiko pada
perjanjian sepihak ada pada kreditur. Sedangkan mengenai risiko pada perjanjian
timbal balik terdapat dua ketentuan yang berbeda. Risiko pada perjanjian tukar
menukar dapat dilihat pada pasal 1545 KUHPerdata. Pasal tersebut menentukan
bahwa: jika suatu barang tertentu yang telah dijanjikan untuk ditukar, musnah di luar
salah pemiliknya, maka persetujuan dianggap sebagai gugur, dan siapa yang dari
pihaknya telah memenuhi persetujuan, dapat menuntut kembali barang yang telah ia
berikan dalam tukar menukar.
Dari ketentuan pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa risiko pada perjanjian
tukar menukar adalah ada pada kedua belah pihak. Suatu hal yang bertentangan
dengan ketentuan tersebut adalah risiko pada perjanjian jual beli untuk barang
53 R. Subekti, Aspek-aspek Hukum Perikatan Nasional, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,1988, hlm 59.
Universitas Sumatera Utara
42
tertentu yang diatur dalam Pasal 1460 KUHPerdata. Pasal tersebut pada pokoknya
menentukan bahwa sejak saat terjadinya perjanjian, risiko barang yang
diperjualbelikan adalah pada pihak pembeli (debitur) meskipun penyerahan belum
dilakukan. Jadi, seandainya barang itu musnah sebelum terjadi penyerahan, pembeli
(debitur) tetap harus membayar harganya.
Berdasarkan pada ketentuan-ketentuan tentang risiko yang saling bertentangan
tersebut. R. Subekti berpendapat bahwa yang harus dijadikan pedoman adalah
ketentuan dalam Pasal 1545 KUHPerdata karena ketentuan tersebut memang tepat
dan memenuhi syarat keadilan.54 Demikian juga halnya dengan Abdulkadir
Muhammad. Beliau berpendapat bahwa Pasal 1545 KUHPerdata harus dianggap
sebagai pedoman dalam menentukan pihak mana yang harus menanggung risiko
karena pasal tersebut dapat diperlakukan secara umum dan adil. Diperlakukan secara
umum mempunyai arti bahwa peraturan tersebut dapat diikuti oleh perbuatan hukum
selain tukar menukar.55 Dari kedua pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa risiko
pada perjanjian timbal balik adalah ada pada masing-masing pihak.
d. Berakhirnya Perjanjian
Dalam suatu perjanjian kita harus tahu kapan perjanjian itu berakhir. Menurut
Handri Raharjo, perjanjian dapat berakhir karena:56
a. Ditentukan dalam perjanjian oleh para pihak, misalnya persetujuan yang berlakuuntuk waktu tertentu.
54 Ibid, hlm 61.55 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990, hlm
82.56 Handri Raharjo, Op.Cit, hlm 96.
Universitas Sumatera Utara
43
b. Ditentukan oleh Undang-undang mengenai batas berlakunya suatu perjanjian,misalnya menurut Pasal 1066 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum perdatadisebutkan bahwa para ahli waris dapat mengadakan perjanjian untuk selamawaktu tertentu untuk tidak melakukan pemecahan harta warisan, tetapi waktupersetujuan tersebut oleh ayat (4) dibatasi hanya dalam waktu lima tahun.
c. Ditentukan oleh para pihak atau Undang-undang bahwa perjanjian akan hapusdengan terjadinya peristiwa tertentu. Misalnya jika salah satu pihak meninggaldunia, maka perjanjian tersebut akan berakhir.
d. Pernyataan menghentikan persetujuan (opzegging). Opzegging dapat dilakukanoleh kedua belah pihak atau salah satu pihak. Opzegging hanya ada padaperjanjian-perjanjian yang bersifat sementara, misalnya:
1) Perjanjian kerja;2) Perjanjian sewa-menyewa.
e. Perjanjian hapus karena putusan hakim.f. Tujuan perjanjian telah dicapai.g. Berdasarkan kesepakatan para pihak (herroeping).
2. Jenis-jenis dan Bentuk Perjanjian Kerjasama
Perjanjian secara umum dapat dibedakan menurut berbagai cara sehingga
muncul bermacam-macam perjanjian, yaitu :57
a. Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang dibuat dengan meletakkan hak
dan kewajiban kepada kedua pihak yang membuat perjanjian.
b. Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang dibuat dengan meletakkan kewajiban
pada salah satu pihak saja, seperti hibah, penitipan dengan cuma-cuma, pinjam
pakai, dan lain-lain.
Menurut pasal 1245 KUH Perdata risiko dalam perjanjian sepihak ditanggung
oleh kreditur atau dengan kata lain debitur tidak wajib memenuhi prestasinya.
c. Perjanjian dengan percuma adalah perjanjian menurut hukum terjadi
keuntungan pada salah satu pihak saja.
57 Sutarno, Aspek-aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Alfabeta, Jakarta, 2003, hal. 82-83.
Universitas Sumatera Utara
44
d. Perjanjian konsensuil, riil, dan formil
Perjanjian konsensuil adalah perjanjian dianggap sah jika telah terjadi
konsensus atau sepakat antara para pihak yang membuat perjanjian. Perjanjian
riil adalah perjanjian yang memerlukan kata sepakat tetapi barangnya pun harus
diserahkan.
Perjanjian formil adalah perjanjian yang memerlukan kata sepakat tetapi
undang-undang mengharuskan perjanjian tersebut harus dibuat dengan bentuk
tertentu secara tertulis dengan akta yang dibuat oleh pejabat umum Notaris atau
PPAT.
e. Perjanjian bernama atau khusus dan perjanjian tak bernama.
Perjanjian bernama atau khusus adalah perjanjian yang telah diatur dengan
ketentuan khusus dalam KUHPerdata Bab V sampai dengan Bab XVII.
Misalnya perjanjian jual beli, sewa menyewa, hibah dan lain-lain. Perjanjian tak
bernama adalah perjanjian yang tidak diatur secara khusus dalam undang-
undang.
Hukum Perjanjian bersifat terbuka dan dapat dikatakan mempunyai suatu asas
kebebasan berkontrak, artinya kebebasan yang diberikan seluas-luasnya kepada
siapapun juga untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja asalkan tidak
melanggar undang-undang, ketertiban umum,dan kesusilaan. Mereka boleh membuat
ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari pasal-pasal dalam hokum
perjanjian, sedangkan pasal-pasal dari hukum perjanjian merupakan hukum
Universitas Sumatera Utara
45
pelengkap, yang berarti pasal-pasal tersebut dapat dikesampingkan manakala
dikehendaki oleh pihak-pihak yang membuat suatu perjanjian.
Berdasarkan jenis perjanjian tersebut, maka perjanjian kerjasama tentang
penjualan Voucher hotel antara Sukma Tour dengan Hotel JW Marriot Medan
termasuk perjanjian konsensuil, karena perjanjian dianggap sah setelah terjadi
konsensus atau sepakat antara para pihak yang membuat perjanjian, yaitu antara
pihak Sukma Tour dengan Hotel JW Marriot Medan.
Menurut Pasal 1319 KUH Perdata, perjanjian dibedakan menjadi 2 (dua)
macam, yaitu:58
1) Perjanjian Bernama (nominaat)Perjanjian bernama adalah perjanjian-perjanjian yang diatur dan diberinama oleh pembentuk undang-undang, berdasarkan tipe yang palingbanyak terjadi sehari-hari. Perjanjian ini terdapat dalam Bab V-Bab XVIIIKUH Perdata.59
2) Perjanjian Tidak Bernama (innominaat)Perjanjian tidak bernama yaitu perjanjian yang tidak diatur dalam KUHPerdata, tetapi tumbuh di masyarakat. Lahirnya perjanjian ini disesuaikandengan kebutuhan-kebutuhan pihak-pihak yang mengadakannya, sepertiperjanjian kerjasama, perjanjian pemasaran, perjanjian pengelolaan.60
Berdasarkan uraian di atas, dapat kita ketahui bahwa perjanjian kerjasama
tentang penjualan Voucher antara Sukma Tour dengan Hotel JW Marriot Medan
termasuk Perjanjian Tidak Bernama (innominaat). Menurut Pasal 1319 KUH Perdata,
baik perjanjian yang bernama maupun tidak bernama (semua perjanjian baik yang
58 Salim H.S., Op.Cit, hlm 47.59 Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2001, hlm 67.60 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
46
diatur dalam KUH Perdata Buku III Bab V sampai dengan Bab XVIII dan yang
terdapat di luar Buku III KUH Perdata) tunduk pada ketentuan-ketentuan umum dari
KUH Perdata Buku III Bab I dan Bab II.61
Subyek perjanjian adalah para pihak yang membuat perjanjian. Adapun
subyek perjanjian dalam Perjanjian Kerjasama ini adalah:
1. Hotel JW Marriot Medan sebagai Pemberi Pelayanan Kamar Hotel (room
provider) bertanggung jawab menyediakan kamar hotel yang dibutuhkan
konsumen.
2. PT. Eka Sukma Tour Medan sebagai penanggung atau yang bertanggung jawab
mengumpulkan dan mengelola voucher serta memboking kamar hotel yang
dibutuhkan konsumen dan untuk itu mendapatkan imbalan jasa dari Hotel JW
Marriot Medan.
Sedangkan yang dimaksud dalam obyek perjanjian adalah prestasi. Prestasi
dalam perjanjian kerjasama ini adalah pelayanan kamar bagi Konsumen. Berdasarkan
Pasal 1601 KUH Perdata selain perjanjian-perjanjian untuk melakukan sementara
jasa-jasa, yang diatur oleh ketentuan-ketentuan yang khusus untuk itu dan oleh
syarat-syarat yang diperjanjikan, dan jika itu tidak ada, oleh kebiasaan, maka adalah
dua macam perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk
melakukan pekerjaan bagi pihak yang lainnya dengan menerima upah. Dari uraian
tersebut dapat diketahui bahwa perjanjian kerjasama ini merupakan perjanjian untuk
melakukan pekerjaan.
61 Salim H.S., Op.cit., hlm 47.
Universitas Sumatera Utara
47
Pada dasarnya suatu perjanjian tidak harus dibuat dalam suatu bentuk tetentu,
artinya dapat dibuat dalam bentuk tertulis dan dapat juga juga dalam bentuk yang
tidak tertulis. Akan tetapi ada beberapa jenis perjanjian yang oleh undang-undang
diharuskan dibuat dalam bentuk tertulis. Mengenai bentuk perjanjian yang dibuat
secara tertulis dapat berbentuk akta notaris dan akta dibawah tangan. Akta di bawah
tangan dapat berupa perjanjian baku (Perjanjian standar) dan bentuk perjanjian bukan
standar. Khusus untuk perjanjian yang tidak termasuk dalam perjanjian yang
diisyaratkan undang-undang untuk dibuat dalam bentuk tertulis, jika dibuat alam
bentuk tertulis (akta) hanya dimaksudkan untuk memudahkan dalam pembuktian
apabila terjadi sengketa di kemudian hari.
Dalam prakteknya, perjanjian kerjasama penjualan Voucher Hotel dengan
travel adalah dalam bentuk akta dibawah tangan. Perjanjian kerjasama dalam hal ini
dinyatakan sah dan dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak
yang terkait di atas meterai.
Berdasarkan pasal 1867 KUHPerdata suatu akta dibagi menjadi 2 (dua) antara
lain :
a) Akta otentik adalah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh
undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang
berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya.
b) Akta dibawah tangan adalah akta yang dibuat tidak dihadapan pejabat yang
berwenang atau notaris. Akta ini dibuat dan ditandatangani oleh para pihak
yang membuatnya.
Universitas Sumatera Utara
48
Perjanjian di bawah tangan terdiri dari :62
a) Akta di bawah tangan biasa
b) Akta waarmerken, adalah suatu akta dibawah tangan yang dibuat dan
dilegalisasi oleh para pihak untuk kemudian didaftarkan pada Notaris, karena
hanya didaftarkan, maka Notaris tidak bertanggung jawab terhadap materi/isi
maupun tanda tangan para pihak dalam dokumen yang dibuat oleh para pihak.
c) Akta Legalisasi, adalah suatu akta di bawah tangan yang dibuat oleh para
pihak namun penandatangannya disaksikan oleh atau dihadapan Notaris,
namun Notaris tidak bertanggung jawab terhadap materi/isi dokumen
melainkan Notaris hanya bertanggung jawab terhadap tanda tangan para pihak
yang bersangkutan dan tanggal ditandatanganinya dokumen tersebut.
Akta mempunyai fungsi formil (formalitas causa) dan fungsi sebagai alat
bukti (probationis causa). Akta sebagai fungsi formil artinya bahwa suatu perbuatan
hukum akan menjadi lebih lengkap apabila dibuat suatu akta. Fungsi akta lainnya
adalah sebagai alat pembuktian. Dibuatnya akta oleh para pihak yang terikat dalam
suatu perjanjian ditujukan untuk pembuktian dikemudian hari. Akta otentik
merupakan alat pembuktian yang sempurna bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya
serta sekalian orang yang mendapat hak darinya tentang apa yang dimuat dalam akta
tersebut (vide Pasal 165 HIR, Pasal 285 Rbg, dan Pasal 1870 KUHPerdata). Akta
otentik merupakan bukti yang mengikat yang berarti kebenaran dari hal-hal
62 J. Satrio, 2001, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Buku I, PT. CitraAditya Bakti, Bandung, hal. 146.
Universitas Sumatera Utara
49
yangtertulis dalam akta tersebut harus diakui hakim, yaitu akta tersebut dianggap
sebagai benar selama kebenarannya itu tidak ada pihak lain yang dapat membuktikan
sebaliknya. Sebaliknya, akta dibawah tangan dapat menjadi alat pembuktian yang
sempurna terhadap orang yang menandatangani serta para ahli warisnya dan orang-
orang yang mendapat hak darinya hanya apabila tandatangan dalam akta dibawah
tangan tersebut diakui oleh orang terhadap siapa tulisan itu hendak dipakai. (vide
Pasal 1857 KUHPerdata). Apabila suatu akta dibawah tangan tidak disangkal oleh
para pihak, berarti mereka mengakui dan tidak menyangkal kebenaran apa yang
tertulis pada akta dibawah tangan tersebut, sehingga sesuai pasal 1857 KUHPerdata
akta dibawah tangan tersebut memperoleh kekuatan pembuktian yang sama dengan
akta otentik.
B. Implementasi Perjanjian Kerjasama Penjualan Voucher Hotel antara PT.Eka Sukma Tour dengan Hotel JW Marriot Medan
Dalam pembuatan perjanjian kerjasama untuk mewujudkan keadilan harus
mewujudkan prinsip kebebasan yang sama, prinsip perbedaan, prinsip persamaan
kesempatan sehingga keseimbangan hak dan kewajiban para pihak bisa terakomodir.
Beberapa tujuan pembuatan perjanjian kerjasama tersebut diantaranya adalah:
1. Sebagai acuan dalam proses kegiatan, dengan demikian semua aktivitas yangakan dilakukan oleh semua pihak yang terlibat dalam proses kerjasama, harusmengacu pada ketentuan yang sudah diatur dalam surat perjanjian kerjasama.
2. Kepastian transaksi, dengan adanya surat perjanjian tersebut akanmemberikan ketenangan semua pihak dalam transaksi tersebut. Hal inimengingat di dalam surat perjanjian kerjasama biasanya tercantum mengenaiketentuan bagi mereka yang tiak menepati ketentuan yang sudah disepakatidalam proses kerjasama.
Universitas Sumatera Utara
50
3. Indikator tingkat transaksi. Semakin detail dan resmi sebuah surat perjanjiankerjsama dibuat, menunjukkan bahwa nilai transaksi yang menjadi objekkerjasama semakin tinggi, sehingga hal ini bisa menjadi sebuah penilaian awalbagi pihak-pihak yang ingin menjalin kerjasama.
4. Panduan untuk menyelesaikan permasalahan yang mungkin timbul. Dalamsurat perjanjian kerjasama pasti disebutkan mengenai proses yang akandiambil apabila pihak-pihak yang terlibat kerjasama terdapat perbedaansehingga menimbulkan perselisihan.63
Perjanjian kerjasama penjualan Voucher Hotel antara PT. Eka Sukma Tour
dengan Hotel JW Marriot Medan merupakan perjanjian kontraktual yang dilakukan
dibawah tangan (bukan merupakan perjanjian notarial).64 Dalam perjanjian kerjasama
ini, secara sepihak Hotel JW Marriot Medan telah menetapkan sejumlah kewajiban
bagi mitranya demi mengamankan kepentingan usahanya, sekaligus membatasi
sedemikian rupa hak-hak lainnya tersebut. Berbagai klausula eksonerasi (exoneration
clause) dirumuskan di dalamnya, sehingga tampak seolah-olah pihak Hotel JW
Marriot Medan tidak mempunyai kewajiban yang cukup berarti. Dengan demikian,
asas keseimbangan dalam hukum perjanjian tidak terakomodasi dalam hal ini, yang
selanjutnya juga kurang mencerminkan asas keadilan.
Dibuatnya perjanjian kerjasama penjualan Voucher Hotel tersebut dalam
bentuk akta di bawah tangan didasarkan oleh efesiensi waktu dan biaya. Dalam
merancang perjanjian pihak Hotel JW Marriot menggunakan standar kontrak, dimana
hal-hal yang menyangkut pelaksanaan perjanjian kerjasama penjualan Voucher Hotel
merupakan ketentuan standar yang telah ditetapkan oleh Hotel JW Marriot. Langkah
63 Anne Ahira, Membuat Perjanjian Kerjasama. AnneAhira.com, diakses tanggal 30 Oktober2011.
64 Hasil Wawancara dengan Zulham Basry, Marketing Manager PT. Sukam Tour pada tanggal2 Agustus 2011 di Medan.
Universitas Sumatera Utara
51
ini dilakukan dengan tujuan untuk menciptakan syarat dan kondisi yang sama dalam
setiap perjanjian kerjasama penjualan Voucher Hotel kepada setiap mitra travel.
Sehingga tidak terdapat diskriminasi perlakuan syarat dan kondisi dalam perjanjian
kerjasama penjualan Voucher Hotel yang harus dipatuhi oleh pihak mitra.65
Setiap kontrak kerjasama penjualan Voucher Hotel dibuat terdiri dari 2 (dua)
rangkap yang sama isi dan kekuatan hukumnya, masing-masing bermeterai cukup dan
ditanda tangani oleh para pihak terkait.66 Dari perjanjian kerjasama penjualan
Voucher Hotel tersebut di atas dapat disimpulkan pihak travel dalam hal ini PT. Eka
Sukma Tour tinggal menandatangani perjanjian tersebut tanpa negosiasi yang berarti.
Sehingga prinsip “taked or lived” yang biasa terjadi dalam suatu perjanjian standar
berlaku juga terhadap perjanjian kerjasama penjualan Voucher Hotel, walaupun
sebenarnya perjanjian pengadaan kerjasama penjualan Voucher Hotel bukanlah
perjanjian baku atau standar karena pihak travel mempunyai hak untuk ikut serta
dalam merumuskan perjanjian.
Pihak travel cendrung mengabaikan mekanisme perancangan kontrak, isi
kontrak dan akibat-akibat hukumnya. Hal ini dapat diketahui berdasarkan hasil
penelitian lapangan, pihak travel hanya berorientasi kepada penjualan voucher dalam
arti travel hanya mempunyai target untuk dapat menjadi mitra hotel, sedangkan
permasalahan kontrak kerjasama penjualan Voucher Hotel yang akan ditandatangani
65 Hasil wawancara dengan Josephine L. Sutjipta, Sales Manager Hotel JW Marriot Medanpada tanggal 5 Agustus 2011 di Medan.
66 Hasil wawancara dengan Josephine L. Sutjipta, Loc.Cit.
Universitas Sumatera Utara
52
dilakukan tanpa negosiasi lebih lanjut.67 Hal ini merupakan indikator lemahnya posisi
tawar pihak travel dalam pembuatan perjanjian kerjasama penjualan Voucher Hotel.
Salah satu bagian yang terpenting dalam suatu perjanjian adalah isi perjanjian itu
sendiri. Dari ketentuan-ketentuan yang termuat dalam suatu isi perjanjian dapat
menggambarkan kondisi dan informasi tentang apa yang disepakati oleh para pihak
yang membuatnya baik secara tersurat maupun tersirat.
Berdasarkan isi perjanjian kerjasama penjualan Voucher Hotel antara PT. Eka
Sukma Tour dan Hotel JW Marriot Medan, diketahui bahwa perjanjian tersebut hanya
mensyaratkan komitmen dari PT. Eka Sukma Tour, sebagai berikut:
1. Memeriksa identitas wisatawatan dan membuat reservasi
2. Menyediakan kominikasi yang konsisten dan tepat waktu kepada wisatawan.
3. Harus mencapai volume kamar (room) dalam jangka waktu yang telah
ditentukan.
4. Jika volume tidak terpenuhi, pihak Hotel JW Marriot berhak memutuskan
kerjasama.
Menurut sudut pandang hukum, perjanjian standar tersebut adalah sah asalkan
sudah memenuhi ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata sebagaimana disebutkan di atas.
Dalam hal ini kebebasan diberikan kepada mitra kerjasama dalam hal ini PT. Eka
Sukma Tour untuk memilih atau menentukan sendiri keberadaan ikatan perjanjian
tersebut. Apabila ia telah menandatangani perjanjian, secara hukum dianggap sudah
menyetujui atau menyepakati isinya, dan apabila ia tidak menyetujuinya tentunya
67 Hasil Wawancara dengan Benny Sukma, Loc.Cit.
Universitas Sumatera Utara
53
tidak akan menandatanganinya. Dengan demikian, dalam perjanjian standar, tanda
tangan merupakan tanda kesepakatan.
Ketentuan-ketentuan dalam perjanjian kerjasama penjualan Voucher Hotel
tersebut lebih menenkankan kewajiban mitra kerjasama daripada haknya, sebaliknya
menekankan hak Hotel JW Marriot daripada kewajibannya. Dengan demikian bahwa
pelaksanaan perjanjian kerjasama penjualan Voucher Hotel antara PT. Eka Sukma
Tour dengan Hotel JW Marriot Medan merupakan perjanjian dibawah tangan bukan
dalam bentuk otentik (akta notariil).
Perjanjian kerjasama antara travel dengan hotel dibuat pada akta tertulis di
bawah tangan. Perjanjian tersebut berfungsi sebagai alat bukti sah dan dapat
dipergunakan untuk melakukan tuntutan apabila salah satu pihak melakukan
wanprestasi. Namun, apabila disangkal oleh para pihak, maka pihak yang tidak
menyangkal harus membuktikan kebenaran mengenai apa yang tertulis pada akta
dibawah tangan tersebut. Hal ini tentu merupakan salah satu risiko dari suatu akta
dibawah tangan. Dalam perjanjian kerjasama antara travel dengan hotel dituntut
sejelas mungkin tentang hak dan kewajiban, sanksi, waktu berlakunya perjanjian
kerjasama, dan hal-hal yang perlu dilakukan dan disepakati bersama. Tanpa adanya
kejelasan dari isi dalam perjanjian kerjasama dapat merugikan salah satu pihak
merupakan kelemahan suatu perjanjian dan isi dalam perjanjian kerjasama tersebut
Universitas Sumatera Utara
54
harus dipenuhi atau dilaksanakan oleh kedua belah pihak, apabila tidak maka pihak
yang tidak memenuhi perjanjian tersebut harus bertanggung jawab.68
Adapun maksud dipersyaratkannya perjanjian tertulis dalam suatu kerjasama,
karena hubungan kerjasama yang mempunyai prinsip saling memerlukan dan
menguntungkan itu diikat dalam suatu perjanjian dengan akta dibawah tangan untuk
memberikan dasar atau landasan dalam hubungan kerjasama tersebut. Dengan
demikian menurut hemat penulis, bahwa dasar hubungan antara travel dengan hotel
adalah suatu perjanjian kerjasama yang berisi hak dan kewajiban para pihak.
Perjanjian yang terjadi antara travel dengan hotel dalam penjualan voucher
hotel dikategorikan sebagai perjanjian tidak bernama yaitu perjanjian yang muncul
seiring dengan perkembangan masyarakat. Perjanjian kerjasama ini tidak diatur di
dalam KUHPerdata, tetapi terdapat di dalam masyarakat. Jumlah perjanjian ini tidak
terbatas dengan nama yang disesuaikan dengan kebutuhan pihak-pihak yang
mengadakannya, seperti perjanjian kerjasama penjualan voucher.
Perjanjian tidak bernama menurut J. Satrio merupakan perjanjian-perjanjian
yang belum mendapat pengaturannya secara khusus dalam undang-undang.69
Demikian pula dengan perjanjian kerjasama ini, tidak mempunyai nama tertentu dan
tidak diatur secara khusus. Dalam buku ke-III KUHPerdata kita dapat mencari dasar
hukumnya dari perbuatan perjanjian kerjasama yaitu dengan menafsirkan buku ke-III
KUHPerdata tersebut sebagai penganut asas kebebasan berkontrak. Dalam hal
68 Djulmiaji, F.X. Perjanjian Kerja, Bumi Aksara, Jakarta, 2001, hal. 58.69 J. Satrio, Op.Cit, hal. 149.
Universitas Sumatera Utara
55
memuat suatu perjanjian, tegasnya dapat dilihat dalam pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata
yang menyatakan : “Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
Berpedoman pada ketentuan tersebut, maka perjanjian apa saja yang dibuat
menurut persyaratan yang telah ditentukan oleh undang-undang adalah sah dan
mempunyai kekuatan hukum untuk mengikat para pihak yang telah mengadakannya.
Sebenarnya yang dimaksud dengan pasal tersebut tidak lain adalah menyatakan
bahwa orang bebas membuat segala bentuk perjanjian yang disukainya, asal tidak
melanggar ketentuan dari pasal 1320 KUHPedata.
Universitas Sumatera Utara