PERJUANGAN SENIMAN LUKIS
PADA MASA REVOLUSI FISIK DI YOGYAKARTA
(1945-1949)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Sastra
Program Studi Ilmu Sejarah
Oleh:
LASARUS
NIM: 014314002
PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH
JURUSAN ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2009
i
PERJUANGAN SENIMAN LUKIS PADA MASA REVOLUSI FISIK
DI YOGYAKARTA
(1945-1949)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Sastra
Program Studi Ilmu Sejarah
Oleh:
LASARUS
NIM: 014314002
PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH
JURUSAN ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2009
ii
iii
iv
PERSEMBAHAN
Skripsi ini aku persembahkan kepada yang tercinta Ibu, Bapak
Abang, Kakak dan Adik-ku. Terima kasih atas dukungan dan doanya.
MOTTO
Sesuatu tidak ada yang mudah
Tetapi tidak ada yang tidak mungkin
(Napoleon Bonaparte)
vi
vii
ABSTRAK PERJUANGAN SENIMAN LUKIS PADA MASA REVOLUSI FISIK DI
YOGYAKARTA (1945-1949)
Oleh
Lasarus 014314002
Skripsi yang berjudul Perjuangan Seniman Lukis Pada Masa Revolusi Fisik Di Yogyakarta (1945-1949) ini bertujuan untuk mengetahui tentang sejarah perjuangan seniman lukis pada masa revolusi fisik di Yogyakarta tahun 1945-1949. Dalam skripsi ini ada tiga permasalahan yang akan dibahas, yaitu:1. Mengapa seniman lukis melakukan perjuangan pada masa revolusi fisik?; 2. Bagaimana peran seniman seniman lukis pada masa revolusi fisik di Yogyakarta?; 3. Apa pengaruh karya seniman lukis bagi perjuangan masyarakat pada masa revolusi fisik? Metode sejarah yang digunakan dalam penelitian ini mencakup: pengumpulan sumber (heuristic), kritik sumber, analisis sumber dan penulisan. Pendekatan penelitian yang digunakan ada dua, yaitu; pendekatan sejarah, sosiologi dan politik. Teori yang digunakan mencakup teori tentang Negara, pemerintahan, kekuasaan, militer dan kepemimpinan.
Seniman, khususnya seniman lukis merupakan sekelompok orang yang memiliki daya kreatif dalam menuangkan idé-idenya dalam bentuk karya yang disalurkan diatas media berupa kanvas dan cat. Seniman lukis pada masa revolusi fisik juga memiliki andil yang besar dalam mempertahankan kemerdekaan, walaupun cara yang digunakan tidak seperti orang kebanyakkan yaitu dengan angkat senjata dan tidak menutup kemungkinan ada juga dari mereka yang mengangkat senjata dan turun ke garis depan. Seniman lukis berperan serta dengan menghasilkan karya-karya yang memiliki pengaruh terhadap membangkitkan semangat dan rasa nasionalis yang tinggi bagi masyarakat maupun pejuang yang melihat hasil karya yang dihasilkan pada masa revolusi fisik 1945-1949.
viii
ABSTRAC
PERJUANGAN SENIMAN LUKIS PADA MASA REVOLUSI FISIK DI YOGYAKARTA (1945-1949)
Oleh
Lasarus
014314002
The purpose of this thesis writing is to revealing the history of the art painting artist during the physical revolution in Yogyakarta (1945-1949). In this thesis there will be three topics which going be discussed, which is: 1. Why did the art painting artist’s struggled during the physical revolution?; 2. How did the art painting artist took their vole during the physical revolution in Yogyakarta?; 3. What is the influence of the art painting artist’s work of art to words the people’s struggle during the physical revolution period?
Historical methods which used on this: observation containing, reason in choosing the topic, source collection, source critics, source analysis and write. Research approach which going to be use in this thesis by two approach that is historical approach, sociologis and politic. There are theory of state, government, power, military and leadership.
Artist’s, especially in art painting is a group of person who has a creative talent in explored their ideas in their work of art which contributed in a media which contain of canvas and paint. Art painting artist’s during the physical revolution also have a great vole in defending the nation’s independence, although they choose a difeerent path which is done by several freedom fighter on those time, which is by guns and weapons and its not limit the possibility that there is one of the artists who also wield a gun and fight in the frontline. The art painting artists have a great vole in producing art work which has an influence to resurrect the spirit and nationalism both to the society and the freedom fighter who saw their art work produced in the physical revolution era during the year 1945-1949.
ix
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Pengasih, atas
kasih dan penyertaan-Nya, tugas ini dapat terselesaikan. Skripsi yang berjudul
“PERJUANGAN SENIMAN LUKIS PADA MASA REVOLUSI FISIK DI
YOGYAKARTA (1945-1949)”, skripsi ini dapat terselesaikan berkat dukungan,
bantuan dan bimbingan dari banyak pihak, oleh karena itu penulis mengucapkan
terima kasih kepada:
1. Bapak Drs. Silverio R. L. Aji Sampurno, M.Hum., selaku pembimbing I
dalam penulisan skripsi ini.
2. Bapak Drs. Hb. Hery Santosa, M.Hum, selaku ketua jurusan Ilmu Sejarah
Universitas Sanata Dharma.
3. Bapak Drs. Purwanto, M.a., selaku pembimbing Akademik Jurusan Ilmu
Sejarah, yang telah banyak membantu, memberi masukan dan pengarahan
kepada penulis.
4. Semua Dosen Ilmu Sejarah yang sudah memberikan ilmu selama
menjalankan studi di Universitas Sanata Dharma.
5. Seluruh karyawan Perpustakaan Universitas Sanata Dharma atas buku-
bukunya, sehingga dapat membantu menyelesaikan skripsi ini.
6. Teman-teman mahasiswa Ilmu Sejarah angkatan 2001: Hendry, Tato,
Gagak, Krisna. W, Krisna. Y, Eno, Maryanto, Ajeng, Riska, Lina, Erna,
Edy, Eka, Bertha, Eko dan semua teman-teman mahasiswa Ilmu Sejarah.
x
7. Teman-teman Rajawali: Anton (Alm), Yus, Yadi, Budi, Ucok, Iik, Lipen,
Bambunk, Anggoro, Tri, dan Hanu, serta penerbitan Lingga Pustaka.
8. Teman-teman kos: Toyib, Pak De, Ilot, Icak, Agung, Jefry, De-de,
Banyong, Bang Tarto dan Hafen.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan ini masih jauh dari
sempurna. Namun penulis tetap berharap semoga tulisan sederhana ini dapat
dipergunakan sebagai salah-satu khasanah pelengkap penulisan sejarah.
Penulis
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN........................................................................ iii
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN.............................................iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ......................................................... v
ABSTRAK ......................................................................................................vi
ABSTRACT................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR .................................................................................. viii
DAFTAR ISI...................................................................................................xi
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah............................................................ 1 B. Rumusan Masalah ..................................................................... 4 C. Tujuan Penelitian ...................................................................... 5 D. Manfaat Penelitian .................................................................... 5 E. Kajian Pustaka........................................................................... 5 F. Landasan Teori.......................................................................... 7 G. Metode Penelitian .................................................................... 10 H. Sistematika Penulisan .............................................................. 12
BAB II KEBERADAAN SENIMAN LUKIS SEBELUM REVOLUSI..... 13
BAB III SITUASI YOGYAKARTA SESUDAH PROKLAMASI KEMERDEKAAN......................................................................................... 22
A. Situasi Yogyakarta Pada Masa Awal Proklamasi .................... 22 B. Kedatangan Tentara Sekutu Dan NICA................................... 29
BAB IV KETERLIBATAN SENIMAN LUKIS DALAM MEMPERTAHANKAN PROKLAMASI 17 AGUSTUS 1945.................... 33
xii
A. Coretan-Coretan Perjuangan .................................................... 34 B. Poster-Poster Perjuangan ......................................................... 40 C. Lukisan Perjuangan.................................................................. 43
BAB V DAMPAK KARYA-KARYA SENIMAN LUKIS TERHADAP PERJUANGAN KEMERDEKAAN.............................................................. 56
BAB VI KESIMPULAN .............................................................................. 67
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 69
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar.4.1. Coretan Dinding ........................................................................ 35
Gambar.4.2.Coretan dinding.......................................................................... 36
Gambar.4.3.Coretan Dinding ......................................................................... 36
Gambar.4.4.Coretan Gerbong Kereta............................................................. 37
Gambar 4.5.Coretan Dinding ......................................................................... 38
Gambar.4.6.Coretan Dinding ......................................................................... 38
Gambar.4.7.Poster Perjuangan....................................................................... 41
Gambar.4.8. Moh. Toha., Kapal Terbang Belanda Melingkari Yogyakarta. 48
Gambar.4.9. Sri Suwarno., Suasana Lenggang Kota Yogyakarta ................. 49
Gambar.4.10. Moh. Toha., Pesawat Belanda Menerjunkan Tentara Payung 50
Gambar.4.11. Moh. Toha., Kendaraan di bumi hangus di Lempuyangan ..... 51
Gambar.4.12. Moh. Toha., Iring-iringan penduduk mengungsi ke luar kota 52
Gambar.4.13. Sri Suwarno., Pos Penjagaan................................................... 53
Gambar.4.14..Moh. Toha.,Presiden diasingkan diasingkan ke Sumatera...... 54
Gambar.5.1. Plakat untuk pembinaan kalangan pejuang ............................... 60
Gambar.5.2. Plakat untuk pembinaan wilayah............................................... 61
Gambar.5.3. Plakat untuk menjawab provokasi lawan .................................. 63
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Sejarah Indonesia pada Periode Perang Kemerdekaan atau Revolusi Fisik
(1945-1949), merupakan suatu periode yang sangat penting dan menentukan
dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Semua usaha yang tidak menentu
untuk mencari identitas-identitas baru demi persatuan dalam menghadapi
kekuasaan asing dan untuk suatu tatanan sosial yang lebih adil terlihat
membuahkan hasil pada masa-masa sesudah Perang Dunia II. Untuk yang pertama
kalinya di dalam kehidupan kebanyakan rakyat Indonesia segala sesuatu yang
serba paksaan dan berasal dari kekuasaan asing hilang secara tiba-tiba. Hal ini
terbukti dengan peristiwa Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada
tanggal 17 Agustus 1945.
Dengan dikumandangkannya Proklamasi Kemerdekaan Republik
Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, terjadilah suatu kesibukan yang sangat
rahasia dan hati-hati di kantor berita “Domei” Jakarta, di mana beberapa orang
petugas sedang berusaha agar berita Proklamasi itu dapat disiarkan ke seluruh
penjuru tanah airBerita Proklamasi ini ternyata berhasil diterima oleh kantor berita
“Domei” Yogyakarta, yang pada waktu itu bertempat di Gedung Perpustakaan
Negara pada tanggal 17 Agustus 1945, hari jumat jam 12.00 siang.1
1Tashadi, Sejarah Revolusi kemerdekaan (1945-1949) di DIY,
Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1986, hal 52.
2
Pada mulanya berita Proklamasi yang sangat menggembirakan dan sangat
penting itu akan segera disiarkan, tetapi Jepang yang masih menduduki
Yogyakarta melarang untuk penyiaran itu. Akan tetapi karena berita Proklamasi
tersebut sudah diterima para petugas dan para wartawan kantor berita Domei yang
terdiri dari bangsa Indonesia yang berjiwa Nasionalis, maka secara sembunyi-
sembunyi dari mulut ke mulut akhirnya dapat disebarluaskan, terutama karena
pada waktu itu adalah hari jumat di mana bertepatan dengan umat Islam
menunaikan ibadahnya di masjid, maka kesempatan baik ini dapat dimanfaatkan
oleh para wartawan berita Domei dan berhasil menyebarluaskannya ke Masjid
Besar (Alun-Alun Utara) dan Masjid Pakualaman.2
Dengan tersiarnya berita Proklamasi kemerdekaan ini, maka Sri Sultan
Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII pada tanggal 19 Agustus
1945 mengirimkan kawat kepada Presiden Sukarno dan Wakil Presiden
Mohammad Hatta berisi ucapan selamat atas berdirinya Negara Republik
Indonesia dan terpilihnya mereka berdua menjadi Presiden dan Wakil Presiden.3
Peristiwa kemerdekaan tersebut ternyata tidak mengalami jalan yang
mulus, dikarenakan pada pertengahan bulan September 1945 datang pasukan
sekutu dan tentara NICA yang mulai melakukan kerusuhan, teror dan
pembunuhan terhadap para republikan. Mereka (sekutu dan NICA) menganggap
masih memiliki kepentingan atas Indonesia dan akan segera memulihkan suatu
rezim kolonial yang menurut keyakinan telah mereka bangun selama 350 tahun.
2 Ibid., 3 Ibid.,
3
Dengan demikian akan mengancam jalannya roda pemerintahan terganggu dan
Ibukota Republik Indonesia terancam.
Berdasarkan kondisi yang tidak memungkinkan Ibukota Jakarta untuk
menjalankan aktifitas pemerintahan, maka atas perhatian pemerintah Daerah
Istimewa Yogyakarta terhadap pemimpin-pemimpin RI itu rupanya mendorong
Presiden Sukarno dan Perdana Mentri Syahrir dalam sidang kabinet pada tanggal
3 Januari 1946 memutuskan untuk memindahkan Ibukota ke Yogyakarta.4
Semangat revolusi ini juga terlihat dalam jiwa para seniman-seniman dan
wartawan Indonesia untuk turut serta berpartisipasi dalam mempertahankan
kemerdekaan Republik Indonesia dengan cara dan sesuai dengan bidangnya
masing-masing. Seperti lahirnya generasi sastrawan yang dinamakan Angkatan
45, di antara mereka adalah penyair Chairil Anwar, penulis prosa Pramoedya
Ananta Toer dan wartawan Mochtar Lubis. Seniman musik yang tampil dengan
gayanya sendiri yaitu dengan menciptakan lagu-lagu perjuangan yang penuh
semangat heroisme, seperti: C. Simanjuntak menciptakan lagu “Maju Tak Gentar,
Tumpah Darahku”, Ibu Sud tampil dengan lagu “Berkibarlah Benderaku”, L.
Manik dengan lagu “Satu Nusa Satu Bangsa”, Ismail Marzuki dengan lagu “Halo-
Halo Bandung dan Sepasang Mata Bola”, dan Kusbini dengan lagu “Padamu
Negeri”. Seniman lukis modern juga menjadi dewasa pada masa revolusi ketika
seniman-seniman seperti Affandi dan sudjojono tidak hanya menangkap semangat
4Tashadi, Partisipasi Seniman Dalam Perjuangan Kemerdekaan Daerah
Istimewa Yogyakarta, Jakarta: Departemen Pendidikkan dan Kebudayaan RI. 1996, hal 31.
4
revolusi di dalam lukisan mereka tetapi juga memberi dukungan secara lebih
langsung dengan cara membuat poster-poster anti Belanda.
Pada khususnya seni lukis ini dapat dirasakan juga semangat yang di
tampilkan oleh anak-anak asuh Dullah yang dengan beraninya menggambar walau
situasi Yogyakarta pada masa itu sedang galau. Anak-anak yang rata-rata berusia
belasan tahun itu sudah dapat melihat realita yang terjadi dan dituangkan dalam
bentuk gambar, dimana gambar tersebut dapat menjadi saksi bisu yang dapat
menceritakan apa sebenarnya yang terjadi.
B. Perumusan masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka dapat dirumuskan
beberapa permasalahan, yaitu:
1. Mengapa seniman lukis melakukan perjuangan pada masa revolusi fisik?
2. Bagaimana peran seniman lukis pada masa revolusi fisik di Yogyakarta?
3. Apa pengaruh karya seniman lukis terhadap perjuangan pada masa
revolusi fisik ?
5
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan permasalahan-permasalahan di atas, penelitian ini bertujuan
untuk:
1. Mendeskripsi dan menganalisis apa yang mendasari seniman lukis di
Yogyakarta ikut serta berjuang pada masa revolusi fisik (1945-1949).
2. Mendeskripsi dan menganalisis peran seniman lukis di Yogyakarta pada masa
revolusi fisik (1945-1949).
3. Mendeskripsi dan menganalisis pengaruh pada hasil karya bagi seniman lukis
dan masyarakat.
D. Manfaat Penelitian
1. Teoretis
Secara teoretis penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan oleh para
peneliti dan pemerhati sejarah seni ,seni lukis di Indonesia.
2. Praktis
Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan oleh
masyarakat untuk mendapatkan pengetahuan serta informasi tentang peran
seniman dalam perang kemerdekaan.
E. Kajian Pustaka
Kajian tentang revolusi fisik (1945-1949) di Yogyakarta telah banyak
ditulis, namun masih sedikit yang membahas mengenai peranan seniman lukis
pada masa revolusi, salah satunya adalah, buku yang berjudul “Partisipasi
6
Seniman Dalam Perjuangan Kemerdekaan Daerah Istimewa Yogyakarta,”
diterbitkan oleh Departemen Pendidikkan dan Kebudayaan RI di Jakarta, tahun
1966. Buku ini berisi tentang situasi Yogyakarta pada awal kemerdekaan tahun
1945, kemudian disusul dengan kedatangan Sekutu dan Belanda serta pindahnya
Ibukota RI ke Yogyakarta tahun 1946. Hal ini menyebabkan para seniman
termasuk pelukis yang tersebar di beberapa kota untuk pindah ke Yogyakarta
dengan alasan keamanan. Buku ini masih terlalu umum karena menulis peran
seniman secara keseluruhan, seperti seniman musik, teater, film dan lukis. Yang
ingin dilihat adalah seniman lukis secara satu-kesatuan yang hasil karyanya dapat
menjadi sumber sejarah.
Kedua, buku yang berjudul “Menguak Luka Masyarakat”, buku ini ditulis
oleh Brita L. Miklouha Maklai. Buku ini berisi tentang gambaran wujud seni
modern Indonesia, khususnya perkembangan setelah tahun 1966 dalam kerangka
sosial-politik. Di mana keberadaan seniman digunakan untuk kepentingan pihak
penguasa, jadi kebebasan berekspresi para seniman telah dimatikan oleh para
penguasa pada masa itu.Buku ini terlalu banyak bercerita tentang seniman setelah
tahun 1966, beserta aliran-aliran dan gaya yang dianut oleh para seniman pada
masa itu, yang ingin dilihat penulis adalah peristiwa pada tahun 1945-1949 masih
sedikit sekali referensinya.
Ketiga, buku yang berjudul ”Affandi 70 Tahun”, diterbitkan oleh Balai
Kesenian Jakarta, tahun 1978. Buku ini membahas tentang biografi Affandi,
dimana awal perjalanan karir serta kepindahannya ke Yogyakarta pada tahun 1946
yang banyak menghasilkan karya-karya yang berbau heroik dan bersifat
7
perjuangan.Buku ini hanya mengisahkan salah satu tokoh seniman lukis saja yang
hidup di zamannya, sehingga teman-teman seangkatan masih kurang terekspos.
Pada tulisan ini, yang dilihat adalah rekaman peristiwa revolusi di Yogyakarta
dari perjuangan seniman lukis, yang berjuang melalui gaya dan kreativitasnya
sendiri dari orang-orang yang terjun langsung di masa revolusi.
F. Landasan Teori
Istilah seni, secara etimologi diduga berasal dari bahasa Sansekerta, yang
artinya sebagai penyembahan, pelayanan dan pemberian. Menurut The Liang Gie,
ada beberapa pengertian seni yang dapat diungkap. Pertama; seni dalam arti yang
paling mendasar, adalah suatu kemahiran atau kemampuan. Kedua; seni adalah
suatu kegiatan manusia yang secara sadar dan melalui perantaraan tanda-tanda
lahiriah tertentu, menyampaikan perasaan-perasaan yang telah dihayati kepada
orang lain, sehingga mereka juga merasakan apa yang dirasakan oleh pencipta
karya. Ketiga; seni adalah suatu kegiatan manusia dalam menjelajahi dan
menciptakan realita baru berdasarkan penglihatan yang irasional, sembari
menyajikan realita itu secara simbolis atau kiasan seperti kebulatan dunia kecil
yang mencerminkan kebulatan dunia besar.5
Dalam menghasilkan karya seni ini, tidak terlepas dari peran seniman yang
merupakan makhluk yang memiliki kelebihan kehalusan jiwa yang tak tersamai
dengan orang awam dalam menikmati dan menciptakan keindahan. Hal ini
mengacu kepada seniman lukis, yang dikenal secara umum melalui sapuan kuas
5 The Liang Gie., Filsafat Keindahan, Yogyakarta:Kanisius, 1976, hal.60.
8
dengan cat minyak yang disapukan pada media kanvas dan cat air pada media
kertas.
Seniman lukis itu sendiri dalam menciptakan suatu karya tentu tidak
terlepas dari lingkungan sekitar dan dan kehidupan sosialnya sebagai sumber
inspirasi untuk mengeksplorasikan ide-idenya berdasarkan gambaran inderawi
maupun khayali. Hal ini tentu saja tidak terlepas dari teori kontekstual yang
melihat seni berkaitan dengan keadaan dan fakta-fakta yang ada pada masyarakat
dan lingkungannya.6
Hal ini menggambarkan keterkaitan dengan seniman lukis di Yogyakarta
pada masa revolusi fisik (1945-1949), dimana para seniman pada masa itu
melukis disaat keadaan sedang bergejolak dan berhasil merekam berbagai
peristiwa berdasarkan fakta yang terjadi di lapangan.
Pada tahun 1945-1949, Indonesia yang telah memproklamirkan
kemerdekaannya dimasuki oleh pihak asing dengan sengaja untuk kembali
berkuasa dimana secara umum kekuasaan diartikan sebagai kemampuan
seseorang atau sekelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang
atau kelompok lain, sehingga tingkah laku itu menjadi sesuai dengan keinginan
dan tujuan dari orang yang berkuasa. Dengan adanya kekuasaan tersebut, maka
kemampuan untuk mengintimidasi yang lemah dengan cara memperkuat aparatur
penindasan dipandang sebagai salah satu cara untuk mempertahankan kekuasaan.
Dalam hubungan antar bangsa, maka kekuasaan ini menjadi Coersive
Power ( kekerasan ) di mana kekuasaan yang didapat oleh salah satu pihak
6 Nooryan Bahari., Kritik Seni, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2008, hal. 66.
9
diperoleh melalui cara kekerasan, bahkan mungkin bersifat perebutan atau
perampasan. Hal ini yang terlihat pada masa-masa penjajahan di Indonesia,
sampai dengan dikumandangkannya kemerdekaan negara Republik Indonesia
masih saja ada pihak asing yang ingin menguasai kembali.
Keadaan yang tertekan seperti itu menyebabkan sebuah negara yang ingin
dikuasai melakukan perlawanan yang lebih, karena ada rasa untuk memperoleh
kembali miliknya yang telah hilang, oleh karena rasa yang ingin dicapai telah kuat
maka perubahan tersebut dilakukan secara cepat dan mendadak atau yang disebut
dengan revolusi.
Oleh sebab itu mengapa para seniman ikut berjuang bersama dengan para
pejuang lainnya, karena ada rasa ingin mempertahankan kemerdekaan itu sendiri
semenjak masuknya kekuatan asing yaitu NICA dan Sekutunya yang ingin
kembali berkuasa di Indonesia. Peristiwa ini berlangsung sejak tahun 1945-1949,
yang dikenal oleh rakyat Indonesia sebagai peristiwa Revolusi Fisik. Ketika
Ibukota Republik Indonesia pindah ke Yogyakarta, kota ini menjadi pusat
seniman-seniman revolusioner karena tidak sedikit dari mereka ikut bergabung
angkat senjata dengan pasukan gerilyawan lainnya. Seniman lebih mengandalkan
kemampuan serta kreatifitas yang dimiliki oleh masing-masing seniman sesuai
dengan bidang keahliannya. Seniman lukis sendiri secara aktif turut serta
menyumbangkan ide-ide lewat cat dan kanvas untuk menggambarkan hal-hal
yang berbau perjuangan baik berupa poster-poster, maupun lukisan yang
digambarkan langsung di lapangan sesuai dengan keadaan yang terjadi pada masa
itu.
10
Adanya perasaan senasib antara seniman, pejuang dan masyarakat luas
mengikatkan kelompok-kelompok ini pada kesadaran kolektif, yaitu kesadaran
bersama yang mencakup keseluruhan kepercayaan dan perasan kelompok yang
bersifat mengikat. Kesadaran ini terbentuk dari pengalaman langsung, ketika
dihadapkan pada pengaruh luar yang mengancam dan cenderung ingin menguasai,
sehingga muncullah kesadaran untuk membela dan mempertahankan nilai-nilai
yang dianggap berjasa dalam kehidupan masyarakat.
G. Metode Penelitian
Metode penelitian sejarah merupakan suatu proses menguji dan
menganalisa secara kritis rekaman dan penggalan masa lampau, berdasar data
yang diperoleh dengan menempuh proses penulisan atau historiografi. Penelitian
yang digunakan di sini mempunyai mempunyai langkah-langkah sebagai berikut:
1. Pengumpulan Sumber
Sumber yang akan digunakan untuk menganalisis permasalahan di atas
adalah sumber tertulis yang berupa buku, majalah, surat kabar dan
dokumen lainnya. Sumber tertulis tersebut diperoleh melalui perpustakaan,
di samping itu sumber lisan juga digunakan dalam menganalisis
permasalahan yang ada.
2. Kritik Sumber
Kritik sumber merupakan tahap penelitian sejarah setelah pengumpulan
data. Kritik sumber bertujuan untuk mengetahui kreadibilitas dan otensitas
sumber. Oleh kerena itu dapat dikatakan bahwa kritik sumber adalah uji
11
terhadap data penelitian. Kritik sumber dalam penelitian sejarah
merupakan langkah yang harus dilakukan untuk menghindari adanya
kepalsuan suatu sumber. Salah satu cara yang dilakukan untuk
mendapatkan sumber yang mendekati kebenaran adalah kritik intern
dengan memperbandingkan sumber. Dalam hal ini sumber yang
diperbandingkan adalah sumber yang berupa buku, majalah dan surat
kabar diperbandingkan supaya diketahui kebenarannya.
3. Analisis Sumber
Analisis sumber merupakan suatu tahap yang penting dan menentukan
dalam suatu penelitian. Hasil analisis akan menunjukkan tingkat
keberhasilan dalam suatu penelitian. Dalam penelitian ini data akan
ditempatkan secermat mungkin supaya penelitian bisa mendekati keadaan
yang sebenarnya. Pengolahan data secara cermat diharapkan mampu
mengurangi subyektivitas yang biasa muncul dalam sebuah historiografi
sejarah dalam arti objektif (peristiwa) yang diamati dan dimasukkan ke
pikiran subjek tidak akan murni, tetapi diberi warna sesuai kacamata
subjek.7
4. Penulisan Sejarah
Penulisan sejarah merupakan tahap akhir dari suatu penelitian. Penulisan
sejarah dilakukan secara kronologis dari peristiwa yang terjadi, penulisan
sejarah tersebut telah dijabarkan dalam sistematika penulisan.
7 Sartono Kartodirjo, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah,
Jakarta: Gramedia, 1993,hlm. 62.
12
H. Sistematika Penulisan
Tulisan ini terdiri dari beberapa bab yang akan menjelaskan permasalahan-
permasalahan pokok. Untuk mendapatkan gambaran yang jelas, maka ditampilka
sistematika penulisan sebagai berikut:
Bab I merupakan pendahuluan yang berisi tentang latar belakang
permasalahan, rumusan permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian, metode
penelitian, tinjauan pustaka dan sistimatika penulisan.
Bab II akan menguraikan tentang gambaran awal tentang keberadaan
seniman lukis sebelum proklamasi kemerdekaan.
Bab III akan menguraikan tentang situasi Yogyakarta pada masa awal
Proklamasi 17 Agustus 1945 dan kedatangan NICA bersama sekutunya.
Bab IV akan menguraikan tentang keterlibatan seniman lukis dalam
mempertahankan Proklamasi 17 Agustus 1945, dimana lebih dititikberatkan
kepada tindakan nyata dari para seniman lukis berupa karya yang bernilai
heroisme dan nilai dokumentasi yang sangat berharga bagi perjuangan.
Bab V akan menguraikan tentang dampak karya seniman lukis terhadap
perjuangan kemerdekaan, di mana akan diungkapkan sejauh mana karya para
seniman lukis mampu mambangkitkan semangat juang rakyat dan para pejuang
dengan melihat dan membaca karya lukis dan plakat yang bernilai heroisme.
Bab VI, penutup, berisi uraian tentang kesimpulan dan saran.
13
BAB II
KEBERADAAN SENIMAN LUKIS SEBELUM REVOLUSI
Hubungan awal antara kepulauan Indonesia dan Eropa, terjadi melalui
sebuah maskapai dagang bernama VOC (Verenigde Oost-Indische Compagnie).
Dimulai pada awal abad ke-17, kemudian VOC dianbil alih oleh pemerintahan
Belanda yang giat menaklukkan nusantara menjadi negara jajahan. Selama
Indonesia menjadi negara jajahan tidak ada sama sekali seni tradisional yang
mendapat pengaruh barat secara langsung. Satu-satunya contoh dari kalangan
seniman Indonesia yang sempat merasakan teknik melukis Eropa , adalah Raden
Saleh Syarif Bustaman.
Raden Saleh dikenal sebagai orang pribumi pertama yang mempelajari
teknik melukis Eropa. Sebagai seorang yang berasal dari kalangan bangsawan,
dapat dengan mudah ia untuk mengenyam dunia pendidikkan sampai ke negeri
Belanda.
Hidup di Hindia adalah hidup yang berbeda dengan di istana-istana Eropa.
Ia tidak menemukan semangat saling menghargai di kalangan orang-orang
Belanda yang tinggal di koloninya, yang perhatiannya berpusar pada kopi, gula
dan pabrik. Tak seorangpun teman-temannya dari penduduk pribumi dapat masuk
ke tengah-tengah kehidupan dunia para seniman gemerlap Eropa dan kalangan
istana dan Raden Saleh merupakan salah seorang dari mereka yang mengalami
kemiskinan kebudayaan yang dihasilkan sistem kolonial. Ia terperangkap di antara
dua dunia, dimana ia tak mampu hadir sepenuhnya.
14
Keterasingan dari dua dunia tersebut, membuatnya tak pernah menegakan
alirannya sendiri. Tak seorangpun dari mereka yang sezaman dengannya dapat
menyamai atau melebihi karya-karyanya. Namun Indonesia memandang
pencapaian Raden Saleh sebagai sumbangan berharga bagi pembentukan identitas
modern dari seni Indonesia yang mulai terbentuk melalui kebangkitan nasional. Ia
dianggap sebagai jembatan kecil antara Jawa tradisional dan unsur-unsur Barat
yang merupakan salah satu unsur yang mempengaruhi pembentukkan
kemerdekaan Republik Indonesia di tahun 1945.
Meluasnya Nasionalisme di awal tahun 1900 secara menyeluruh meliputi
seluruh Indonesia, dapat tersalurkan dengan adanya politik kolonial yang ingin
memperhatikan kesejahteraan pribumi melalui Politik Etis yang terbentuk tahun
1901, dimana dunia pendidikan mulai diperhatikan sehingga anak-anak pribumi
dapat mengenyam dunia pendidikan.
Melalui Politik Etis ini mereka mengenal berbagai ide Barat, seperti
Liberalisme, Demokrasi, hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan sipil.
Sehingga makin banyaklah kaum terpelajar Indonesia yang memiliki kesadaran
tinggi akan harkat martabat bangsa dan rasa cinta tanah air. Untuk menanamkan
rasa tersebut, timbul kesadaran dari manusia Indonesia akan arti pentingnya
pendidikkan yang meluas bagi seluruh rakyat pribumi yang belum terjangkau
akan dunia tersebut. Salah satunya adalah Taman Siswa yang didirikan oleh Ki
Hadjar Dewantara tahun 1921 di Yogyakarta. Terbentuknya sekolah partikelir
kaum nasionalis yang berbudaya Jawa ini, dengan giat menggalakan kepribadian
dan pendidikkan kaum pribumi, dimana salah satunya pendidikan kesenian
15
mendapat tempat utama dalam kurikulum. Sebagai hasilnya, kendati akses
sejumlah anak pada dunia pendidikkan dasar relatif masih rendah, namun lapisan
luas dari penduduk pribumi mulai menerima sejumlah latihan kesenian. Walau
tidak ditemukannya sekolah khusus seni sampai pada masa Perang Dunia ke-II,
guru-guru kesenian diambil dari keluaran sekolah guru dengan secercah
pengetahuan mengenai kesenian, perkembangan ini cukup untuk menyadarkan
orang betapa besarnya potensi kreativitas para seniman untuk merangsang banyak
orang Indonesia baik dari kalangan nasionalis maupun bukan untuk melukis.
Salah seorang pelukis muda yang berpendidikkan dari Taman Siswa, yaitu
S. Soedjojono, mendirikan kelompok pelukis nasionalis pertama yang dinamakan
PERSAGI (Persatuan Ahli Gambar Indonesia) tahun 1937, mengungkapkan
bahwa kelahiran PERSAGI merupakan bagian dari kebangkitan Nasionalisme
kebudayaan, dimana pernyataannya terungkap dalam pidatonya dibawah ini, yang
menunjukkan bahwa kaitan antara nasionalisme radikal dan seni yang bersandar
pada angan-angan ke sosialisme dan mencari kepribadian Indonesia, telah dan
sedang ditempa.
“…Pelukis tidak lagi hanya melukis gubuk-gubuk yang damai, gunung-gunung membiru, hal-hal yang romantis atau indah dan manis-manis, tetapi juga akan melukis pabrik gula dan petani yang kurus kerempeng, mobil mereka yang kaya-kaya dan celana pemuda miskin, sandal-sandal, pantolan dan jaket orang dijalanan.
…Inilah kenyatan kita, sebab seni yang tinggi mutunya adalah karya yang didasari oleh kehidupan kita sehari-hari yang diolah oleh sang seniman yang terbenam dan tercelup di dalamnya untuk kemudian mencipta.”8
8 Brita. L.M., Menguak Luka Masyarakat, Jakarta: Gramedia, 1998, hal.
11.
16
Memasuki zaman Jepang di Indonesia merupakan wahana penempaan
semangat bangsa dalam menyosong kemerdekaan yang tidak dapat ditunda-tunda
lagi. Sedangkan Jepang ikut bagian dalam Perang Dunia Ke II, untuk
mendapatkan dukungan dari pihak Indonesia, Jepang membentuk organisasi
politik pertama yang disebut “Gerakan Tiga A”, yaitu Nippon Pemimpin Asia,
Nippon Pelindung Asia dan Nippon cahaya Asia. Akan tetapi gerakkan ini tidak
mendapat sambutan massa seperti apa yang diharapkan oleh pihak Jepang.
Kesadaran akan hal itu membawa Jepang merubah secara radikal garis politiknya,
dengan berpaling pada pimpinan-pimpinan Nasional yang mereka rasa benar-
benar memiliki dukungan nyata dari rakyat. Dengan latar belakang politik ini,
pemerintah militer Jepang memutuskan untuk memunculkan tokoh-tokoh
Nasionalis yang anti kolonial dan anti Imperialisme. Gerakkan Nasionalis
Indonesia akan sangat membantu berhasilnya tujuan perang Jepang, sebab secara
poitis Jepang terus menerus menanamkan harapan kepada bangsa Indonesia
seolah-olah kemerdekaan bisa diperoleh. Sehingga pada tanggal 9 Maret 1943
didirikan PUTERA kepanjangan dari Pusat Tenaga Rakyat, dibawah
kepemimpinan Sukarno, Mohammad Hatta, Ki Hadjar Dewantara dan Kiai Haji
Mas Mansoer.
PUTERA, merupakan suatu organisasi dari perkumpulan-perkumpulan
politik maupun non politik pada jaman penjajahan Belanda, yang memusatkan
perhatiannya pada segala potensi masyarakat Indonesia dalam membantu usaha-
usaha pemerintahan militer Jepang. Keberadaannya semata-mata hanya ditujukan
17
untuk membujuk kaum nasionalis, pemimpin dan para pelajar agar dapat menarik
simpati massa.
Keimin Bunka Syidosyo atau pusat kebudayaan yang terbentuk pada
tanggal 1 April 1943, merupakan salah satu bagian dari tugas PUTERA yang
mengurusi bidang kesenian. Terbentuknya badan ini memberikan kesempatan
bagi perkembangan dunia kesenian dan seniman Indonesia sebagai wadah untuk
berkreasi sesuai dengan bidangnya. Tujuan utama dibentuknya pusat kebudayaan
ini adalah semata-mata untuk menghimpun para seniman dan budayawan serta
mengarahkan mereka pada keperluan propaganda dan usaha peperangan Jepang.
Sejak pemerintahan militer Jepang berkuasa di Indonesia, Jepang
memberikan kesempatan bagi perkembangan dunia kesenian Indonesia. Untuk itu
para seniman yang aktif pada masa ini dihimpun dalam sebuah badan yaitu
Keimin Bunka Syidosyo atau Pusat Kebudayaan. Badan ini mulai bekerja pada
tanggal 1 April 1943, dengan berkedudukkan di Jakarta. Tujuan dari didirikannya
Pusat Kebudayaan ini adalah untuk menghimpun para seniman dan budayawan
serta mengarahkan mereka untuk keperluan propaganda dan usaha peperangan
Jepang demi kepentingan mereka sendiri.
Pusat kebudayaan ini mempunyai lima bidang, yaitu: Kesusasteraan,
Musik atau Seni Suara, Sandiwara dan Tari, Film, Seni Lukis. Kepala pusat
kebudayaan ini dijabat langsung oleh orang Jepang.
Pemuda-pemuda seniman di zaman Jepang hanya menyuarakan kelompok
kecil. Di bidang masing-masing, mereka harus mencari jalan sendiri dalam usaha
memperoleh wawasan untuk dikembangkan sesuai dengan jiwa seni yang
18
mengalir dalam diri mereka, karena tidak ada guru yang dapat dijadikan panutan
serta merta diharapkan untuk belajar sendiri melalui bacaan dan diskusi teman
antar sejawat. Di samping itu mereka terlihat pula dalam gerakan bangsa dan
masyarakat ke arah mencapai Indonesia merdeka.
Setelah tiga setengah tahun bangsa Indonesia mengalami penjajahan
Jepang, maka dengan menyerahnya Jepang kepada Sekutu pada tanggal 14
Agustus 1945, dipergunakan sebaik-baiknya oleh rakyat Indonesia untuk
membebaskan diri dari belenggu penjajahan dengan menyatakan Proklamasi
Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Sambutan rakyat tentang proklamasi itu spontan dan luar biasa, tidak
ketinggalan juga para seniman mengekspresikan sikap-sikapnya dengan
memunculkan berbagai produk seni. Para pelukis mencoret-coret gerbong kereta
api dengan slogan-slogan heroik, dinding-dinding toko atau bangunan ditulisi
dengan cat minyak, seperti: “Merdeka Atau Mati, Sekali Merdeka Tetap Merdeka,
Once Free Forever Free” dan masih banyak lagi poster dengan coretan gambar
karikatur.
Seniman musik tampil dengan lagu-lagu heroik dan menggugah semangat
perjuangan rakya, seperti: Satu Nusa Satu Bangsa, Halo-Halo Bandung, Sepasang
Mata Bola, Sorak-Sorak Bergembira dan lain-lain.
Bagi grup atau perkumpulan sandiwara atau teater dalam pementasannya
membawa lakon-lakon perjuangan yang didukung oleh dekorasi atau tata lampu
dan suara rentetetan bedil dan dentuman meriam, walaupun dengan alat yang
19
sangat sederhana. Puisi-puisi perjuangan pun ditampilkan untuk menambah
semangat para prajurit di medan laga.
Ketika pasukan sekutu di bawah pimpinan Letnan Jendral Philip
Christison mendaratkan pasukannya di Jakarta pada bulan September 1945, maka
sejak itu keadaan di Jakarta mulai bergejolak dan situasi semakin tidak aman.
Serdadu-serdadu NICA yang mengikuti rombongan Sekutu mulai melancarkan
provokasi-provokasi dan teror, sehingga menimbulkan ketakutan terhadap rakyat.
Suasana pun semakin panas, sebab sering terjadi pertempuran antara pemuda yang
membantu satuan-satuan tentara laskar rakyat melawan serdadu-serdadu NICA.
Meskipun tidak semua pemuda masuk ke dalam kesatuan tentara dan
laskar rakyat, akan tetapi ada cara lain untuk turut berpartisipasi dalam berjuang
menegakkan RI. Seniman-seniman yang bekerja di Pusat Kebudayaan membentuk
Seniman Merdeka, anggotanya antar lain: Usmar Ismail, Cornel Simanjuntak,
Suryo Sumanto, D Djajakusumo, S. Sudjojono, Basuki Resobowo, Sarifin,
Rasjidi, Suhaimi, Rosihan Anwar dan Malidar Malik. Mereka dengan
menggunakan truk milik bagian sandiwara pusat kebudayaan, berkeliling jakarta
untuk membakar semangat rakyat untuk menentang kaum penjajah.9
Seniman Merdeka yang menyelenggarakan pentas keliling mengunjungi
rakyat di berbagai bagian di Jakarta sering dikejar-kejar oleh serdadu NICA dan
serdadu Gurkha yang merupakan bagian dari tentara Inggris (sekutu). Adakalanya
daerah yang dikunjungi oleh kelompok Seniman Merdeka menjadi daerah
9 Rosihan Anwar., Seniman dan Wartawan Dalam Perjuangan (1942-
1950), Makalah seminar sejarah yang dselenggarakan oleh Masyarakat Sejarawan Indonesia cabang Yogyakarta, 1989, hlm 5.
20
tertutup, karena di tempat tersebut berlangsung pertempuran. Seniman dalam
aktifitasnya hanya mampu mengadakan kegiatan kurang lebih dua bulan. Hal ini
disebabkan oleh keadaan keamanan di Ibukota yang tidak memungkinkan untuk
menjalankan aktifitas. Cornel Simanjuntak misalnya, meninggalkan Seniman
Merdeka untuk menggabungkan diri pada laskar rakyat yang berjuang di Tanah
Tinggi. Seniman yang lain, menjelang akhir tahun 1945 dan awal 1946 banyak
yang mengungsi ke daerah pedalaman seperti di Karawang-Cikampek atau
Yogyakarta, sebagai akibat keadaaan Jakarta tidak aman dan berpindahnya
ibukota pemerintahan ke Yogyakarta.10
Dengan kepindahan pemerintahan RI ke Yogyakarta , para seniman
termasuk pelukis tersebar di beberapa kota. Sudjojono yang mengungsi ke
Madiun, mendirikan Seniman Indonesia Merdeka (SIM) yang di dalamnya
terhimpun seniman sastra, musik, teater dan pelukis. Kemudian SIM pindah ke
Solo dan seterusnya ke Yogyakarta dengan alasan sebagai pusat pemerintahan,
sehingga pergerakan yang akan dilakukan lebih mudah dan terorganisir.
Di Yogyakarta selain SIM juga ada perkumpulan pelukis seperti Pusat
Tenaga Pelukis Indonesia (PTPI) dengan ketuanya Jayeng Asmara dan
anggotanya Sindusiworo, Indra Sugarda dan Prawito. Perkumpulan pelukis
lainnya adalah Golongan Masyarakat dengan ketua Affandi, sekretaris Dullah dan
bendahara Nurnaningsih. Ada juga Pelukis Rakyat dengan anggotanya Trubus,
Hendra dan Affandi. Dengan demikian Yogyakarta selain sebagai pusat
pemerintahan republik, juga merupakan pusat kegiatan seniman. Sultan
10 Ibid.,
21
Hamengku Buwono IX banyak sekali membantu kegiatan para seniman, salah
satunya adalah digunakannya rumah Pakapalan di Alun-Alun Utara untuk studio
dan segala aktifitas yang mendukung.
22
BAB III
SITUASI YOGYAKARTA SESUDAH PROKLAMASI KEMERDEKAAN
Walaupun Indonesia telah memproklamirkan kemerdekaannya, bukan
berarti bangsa Indonesia telah lepas begitu saja dari ancaman pihak asing. Masih
ada kekuatan-kekuatan asing yang belum sepenuhnya merelakan kemerdekaan
bangsa Indonesia, seperti kuatnya pihak Jepang yang masih berada di Indonesia
dan kedatangan pihak Sekutu dan NICA yang masih ingin menguasai Indonesia.
A. Situasi Yogyakarta Pada Masa Awal Proklamasi
Setelah tiga setengah tahun bangsa Indonesia mengalami penjajahan
Jepang, maka dengan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 bukan berarti
bangsa Indonesia telah bebas, akan tetapi masih harus berjuang menghadapi
bahaya-bahaya dan tantangan besar terutama menghadapi kekuatan tentara Jepang
yang masih serba lengkap.
Jepang, berdasarkan syarat-syarat penyerahannya kepada Sekutu,
berkewajiban untuk memelihara ketertiban umum sampai komando Sekutu untuk
Asia Tenggara dapat mendaratkan pasukannya di Indonesia. Tentara Jepang
menafsirkannya sebagai kewajiban dan tanggungjawab mereka untuk
mempertahankankan status quo politik.
Pihak Jepang tidak mau mengakui adanya kemerdekaan Indonesia dan
lebih-lebih menyerahkan segala kekuasaannya kepada Republik Indonesia.
Mereka hanya patuh dan taat pada perintah Kaisar yaitu menyerahkan Indonesia
23
sebagai inventaris yang utuh dan lengkap kepada Laksamana Mounbatten SEAC
(Inggris) dan kepada Jendral Blamey dari Australia. Sejalan dengan itu sekalipun
para pembesar Jepang yang berkuasa di Yogyakarta sudah mengetahui adanya
proklamasi kemerdekaan Indonesia dan juga mengetahui bahwa rakyat
Yogyakarta yang bagaikan tertekan kini melonjak bersemangat untuk merdeka.
Pihak Jepang tetap bersitegang mempertahankan untuk mempertahankan
kekuasaannya dan tetap menunggu instruksi dari Kaisar, untuk itulah mereka
semakin memperkeras penjagaan-penjagaan dan masih tetap berusaha
mempertahankan kantor-kantor, perusahaan-perusahaan dan pabrik-pabrik dengan
kekuatan senjata yang masih lengkap.
Bagi bangsa Indonesia, penyerahan Jepang kepada Sekutu itu sama sekali
tidak melemahkan perjuangannya untuk mencapai kemerdekaan, karena semangat
nasionalisme telah bulat. Kebulatan itu telah menghasilkan kemauan yang tinggi,
yaitu kemerdekaan. Pada masa inilah dinyatakan sebagai tonggak dimulainya
revolusi Indonesia.
Ketika Sukarno dan Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan
bangsa Indonesia. Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII selaku
pimpinan daerah Yogyakarta menyambutnya dengan gembira dan mengirim
kawat ucapan selamat kepada Sukarno dan Hatta yang terpilih sebagai presiden
dan wakil presiden RI pada tanggal 18 Agustus 1945. Dua hari kemudian Sultan
24
Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII mengirim telegram ke Jakarta, bahwa
dirinya siap berdiri di belakang Sukarno Hatta.11
Sukarno sebagai presiden RI meyambut hangat tindakan Sultan dan Paku
Alam VIII, bahkan satu hari sesudah Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku
Alam VIII mengirim ucapan selamat, Presiden sudah mengeluarkan Piagam
Penetapan mengenai Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman
sebagai bagian dari RI.12
Piagam Penetapan itu baru diserahkan pada tanggal 6 September 1945,
sehari setelah dikeluarkannya Amanat 5 September 1945 oleh Sultan Hamengku
Buwono IX dan Paku Alam VIII, yang berisi tentang pernyataan bahwa
Yogyakakarta adalah daerah Istimewa Negara RI dan urusan pemerintahan serta
kekuasaan lainnya masing-masing dipegang Sultan Hamengku Buwono IX dan
Paku Alam VIII dan langsung bertanggungjawab kepada pemerintahan pusat RI.13
Sambutan rakyat terutama para pemuda terhadap proklamasi sangat
bersemangat. Mereka menyadari bahwa proklamasi kemerdekaan juga bermakna
komando dan sekaligus merupakan perintah harian untuk melaksanakan
pemindahan kekuasaan dari tangan pemerintahan tentara Jepang kepada bangsa
Indonesia. Para pemuda itu membentuk kelompok-kelompok yang tergabung
dalam perkumpulan pemuda beberapa kampung di Yogyakarta. Di antaranya ialah
Angkatan Muda Pathook dengan pimpinannya Kusumo Sunjoyo, Angkatan Muda
11 Tashadi, Sejarah Revolusi Kemerdekaan (1945) di DIY, Yogyakarta:
Proyek Inventaris dan Dokumentasi Kebudayaan DIY, 1986, hlm. 56. 12 Ibid., 13 Ibid.,
25
Jagalan Paku Alaman dengan pimpinan Faridan, Angkatan Muda Jetis dengan
pimpinannya Parmadi Joi, Angkatan Muda Gowongan dengan pimpinannya
Wagiyono, Gabungan Sekolah Menengah Mataram (Gasemma), Barisan
penjagaan Umum dan lain-lain.14
Amanat yang dikeluarkan pada tanggal 5 September 1945, membuat
massa pemuda dan massa rakyat semakin bersemangat dan berani untuk terus
bergerak, yang sampai pada puncaknya yaitu massa rakyat dan pemuda berusaha
menurunkan bendera “Hinomaru” dan menaikkan bendera “Merah Putih” di
gedung “Tyookan Kantai” (sekarang Gedung Agung) yang terletak dijalan
Malioboro. Gedung Tyookan Kantai ini merupakan istana Tyookan atau Gubernur
dan sekarang digunakan sebagai gedung Negara atau gedung Agung, peristiwa ini
dikenal dengan nama “Insiden Bendera di Tyookan Kantai”.
Keterlibatan Polisi Istimewa (PI) dalam pengibaran bendera di Tyookan
Kantai menyebabkan Kepala Polisi dari Kooti Zimu Kyoku pada tanggal 22
September 1945 mendatangi asrama PI di Gayam dengan tujuan untuk melucuti
senjatanya. Sementara mereka mengadakan perundingan dengan R.P. Sudarsono,
tanpa sepengetahuan Jepang, anggota PI dengan bantuan pemuda mengeluarkan
senjata dari dari gudang lewat pintu jendela yang dirusak, karena kunci gudang
senjata masih diperebutkan dalam perdebatan. Perdebatan itu tidak berhasil
mencapai kata sepakat, maka Oni Sastroatmojo (komandan PI) memberi tanda
kepada para pemuda yang sudah lama mengepung asrama sehingga mereka
berhamburan ke tempat perundingan dan mengarahkan bambu runcingnya kepada
14 PJ. Suwarno, Hamengkubuwono IX dan Sistem Birokrasi pemerintahan Yogyakarta 1942-1972,Yogyakarta: Kanisius, 1994, hlm. 166-167.
26
Jepang, mereka kemudian menyerah dan memberi kunci gudang senjata, sehingga
maksud untuk melucuti PI gagal.15
Setelah simbol kemerdekaan dan motivasi mempertahankan kemerdekaan
tersebar luas di masyarakat, maka dimulailah gerakan pengambilalihan. Gerakan
ini dipimpin oleh Komisaris Polisi R.P. Sudarsono dan melibatkan Polisi,bagian
keamanan, pegawai-pegawai Indonesia yang bekerja di perusahaan dan kantor-
kantor yang dipimpin oleh orang Jepang. Gerakan secara besar-besaran ini
dilakukan pada tanggal 26 September 1945, pada awalnya diupayakan dengan
cara damai, tetapi jika para pemimpinnya tidak mau menyerahkan kekuasaan
maka akan digunakan dengan cara kekerasan. Gerakan itu dimulai dari Kooti
Zimu Kyoku di Kotabaru (bekas Gedung Seniman) yang merupakan kantor pusat
pemerintahan tentara Jepang di Yogyakarta.16
Gerakan pengambilalihan kekuasaan Jepang kemudian dilanjutkan dengan
penyerbuan ke markas tentara Jepang di Kotabaru. Sebelum terjadi penyerbuan,
terlebih dahulu diadakan perundingan antara pihak RI dengan penguasa tentara
Jepang di markas Kotabaru tersebut, akan tetapi perundingan berjalan cukup
lamban dan melelahkan. Dalam situasi terisolasi dan terkepung itu, pemimpin-
pemimpin militer Jepang didesak untuk menyerahkan senjata secara sukarela.
Dalam perundingan, pihak militer Jepang diwakili Mayor Otsuka, Butaityoo
Kotabaru; Sasaki, Kenpetei Taifyoo; Kapten Ito, Ciambutyoo, sedangkan dari
15 Tashadi, op. cit., hlm. 82. 16 PJ Suwarno, op. cit., hlm. 29.
27
pihak rakyat Yogyakarta diwakili Moh. Saleh KNID; R.P. Sudarsono, Kepala
Polisi; Bardasana dan Sunjoto, Wakil Rakyat.17
Dalam perundingan itu RP. Sudarsono minta agar Butaityoo Mayor
Otsuka menyerahkan senjata yang ada di markas itu kepada bangsa Indonesia.
Otsuka tidak menjawab dengan tegas, maka ketika anggota PI dan BKR
diperintahkan masuk untuk menerima penyerahan senjata sampai tiga kali tidak
mendapatkan apa yang diharapkan, baru kali yang ketiga mereka baru diberi
senjata, itupun hanya lima karaben. Dengan demikian perundingan mengalami
jalan buntu, kemudian Sudarsono dan kawan-kawan merasa terhina keluar dari
meja perundingan.18
Di luar gedung PI, BKR dan massa rakyat sudah siap tempur dengan
kekuatan persenjataan seadanya dengan komandan penyerbuan Umar Slamet,
ketua BKR. Kekuatan Jepang sekitar 360 tentara terlatih dan bersenjata lengkap.
Pada pukul 04.00 dini hari terdengar terdengar letusan granat, suatu tanda bahwa
aliran listrik pagar berduri yang mengelilingi markas Jepang sudah dipadamkan,
maka pasukan yang sudah disiapkan sejak sore itu menyerbu markas Jepang dan
pihak Jepang memberi perlawanan dengan memuntahkan mitraliyur ke arah
barisan rakyat. Pasukan rakyat terus mendesak masuk ke dalam markas Jepang,
sehingga terjadi peperangan satu lawan satu dari jarak dekat yang berlangsung
sampai siang hari.19
17 Tashadi, op. cit., hlm. 85. 18 Ibid., 19 Ibid.,
28
Setelah pertempuran selesai sekitar pukul 11.00 siang, Jepang menyerah,
semua tentara Jepang dimasukkan ke penjara Wirogunan. Di pihak Jepang
sembilan orang meninggal dan puluhan orang luka –luka. Sedangkan dari pihak
Indonesia, Jatuh korban 21 orang meninggal dan 32 orang luka-luka, mereka yang
gugur disemayamkan di Gedung Nasional dan pukul 16.00 sore 17 orang
disemayamkan di Semaki, yang kemudian menjadi Taman Makam Pahlawan
Yogyakarta, 3 orang dimakamkan di Kauman di belakang masjid Besar dan 1
orang di makam keluarga Glagah Yogyakarta.20
Berakhirnya penyerbuan Kotabaru, kekuatan Jepang masih belum habis
sama sekali sebab masih ada Kaigun Kakutai (Kompi Angkatan Laut Bagian
Udara). Menghadapi kenyataan ini R.P. Sudarsono yang didampingi B.P.H.
Bintoro sebagai wakil Sultan mengadakan perundingan dengan Kaigun Taityoo;
Hajino Soso, untuk membicarakan masalah pengambilalihan kekuasaan beserta
senjatanya. Hasil dari kesepakatan perundingan adalah bahwa Jepang akan
menyerahkan kekuasaannya kepada pihak Indonesia. Sehingga pada tanggal 27
Oktober 1945 PI mengangkut senjata yang ada di lapangan terbang Maguwo
sebanyak lima belas truk dengan berat kurang lebih 25 ton dan ratusan granat
tangan.21
Dengan berakhirnya pertempuran di Kotabaru dan pengambilalihan
kekuasaan beserta senjatanya di tangsi-tangsi Jepang, berarti selesailah kekuasaan
Jepang di Yogyakarta. Dari peristiwa ini rakyat Yogyakarta semakin menyadari
20 Ibid., 21 PJ. Suwarno, op. cit., hlm. 183.
29
akan kewajibannya mempertahankan tanah airnya dari rongrongan musuh yang
datang dari manapun juga.
B. Kedatangan Tentara Sekutu dan NICA
Pemindahan kekuasaan Jepang kepada RI berjalan dengan lancar,
meskipun tidak luput dari tindakkan kekerasan yang disertai korban jiwa. Hal
yang menguntungkan bagi pihak RI pada masa itu, yaitu bahwa Sekutu dan NICA
(Belanda) yang menjadi pemenang dalam perang dunia ke II belum mendaratkan
pasukannya di Indonesia. Hal ini menyebabkan mudahnya pihak RI untuk
merebut kekuasaan dari Jepang, karena semangatnya sudah melemah akibat
kekalahannya dalam perang Dunia ke II.
Pada tanggal 10 Oktober 1945 tentara Sekutu yang membawa pasukan
Belanda dan yang kebanyakan terdiri atas KNIL (orang-orang Ambon) mulai
mendarat di Jakarta. Mereka mulai beraksi dengan mengibarkan bendera Belanda,
untuk menunjukkan bahwa kekuasaan Belanda di “Nederlands Indie” sudah
dikembalikan. Setiba di Jakarta mereka mulai melakukan kerusuhan, teror dan
pembunuhan. Sehingga tidak mengherankan apabila sering terjadi perkelahian,
karena diserang oleh rakyat. Dengan demikian keadaan di Jakarta mulai tegang
dan tidak aman, situasi yang demikian membuat jalannya roda pemerintahan
semakin terganggu, Ibukota Republik terancam.
Sementara itu revolusi tetap berjalan terus dan peran radio menjadi sangat
penting pada masa itu dalam penyiaran-penyiaran dan mengobarkan serta
membakar semangat perjuangan rakyat. Di daerah Yogyakarta sendiri terdapat
30
siaran Radio Republik Indonesia yang berada dijalan Ngabean I (sekarang BNI
46, di jalan K.H.A. Dahlan) dan siaran radio gelap yang menemakan diri sebagai
Radio Pemberontakkan Mataram.
Tentara Inggris yang melihat semangat dan keberanian pasukan-pasukan
kita sangat kuatir. Oleh kerena itu dengan dalih akan membungkam siaran-siaran
yang membangkitkan semangat rakyat dari radio kaum “extrimis,” maka pada
tanggal 25 dan 27 November 1945 tentara sekutu membom kota Yogyakarta.
Pesawat terbang RAF Ingggris mulai melayang di atas kota Yogyakarta dan mulai
memuntahkan peluru-peluru mitraliyur, bom-bom rocket dan torpedo di atas
stasiun Radio Republik Indonesia, Balai Mataram, Sonobudoyo dan sekitarnya.
Sementara itu situasi di Jakarta semakin bertambah panas dan tegang,
tindakan infiltrasi Belanda dengan NICA-nya semakin merajalela. Situasi
kedudukan para pemimpin dan pembesar semakin terancam. Melihat situasi yamg
tidak memungkinkan tersebut, maka Sultan Hamengku Buwono IX beserta
BPKNID segera mengadakan rapat dan memutuskan untuk mengirim kawat
kepada Presiden dan Perdana Menteri berisi desakan agar pemerintahan pusat dan
KNIP pindah ke suatu tempat di Jawa Tengah agar dapat bekerja dengan tenang.
Kawat tersebut menjadi bahan pertimbangan Perdana Menteri Syahrir, sebab
kenyataannya keadaan Jakarta makin hari semakin tidak aman. Untuk itu perlu
dicarikan tempat lain sebagai pengganti Ibukota yang aman dari gangguan NICA
dan mampu mengkoordinasi pemerintah Republik.22
22 PJ. Suwarno, “Yogyakarta menantang Empat Tahun Berjuang (1946-
1949)”, makalah yang disampaikan dalam ceramah di museum Benteng Yogyakarta, 1994, hlm 4-5.
31
Namun sebelum keputusan itu dilaksanakan, Perdana Menteri mengutus
Soebandrio Sastrosastomo untuk membicarakan kemungkinan perpindahan itu
dengan pemerintah daerah Istimewa Yogyakarta. Setelah mengunjungi
Yogyakarta, dia menyatakan Yogyakarta cukup baik untuk tempat pemerintahan
Pusat RI. Maka pada tanggal 3 Januari 1946 malam, Presiden dan Wakil Presiden
beserta beberapa orang pengawal diam-diam naik gerbong kereta api yang paling
belakang yang sedang berhenti di rel Pegangsaan Timur di belakang rumah
kediaman Presiden Sukarno. Rangkaian kereta api yang didalamnya sudah ada
Presiden dan Pejabat RI lainnya, ditarik pelan-pelan mulai dari stasiun Pasar
Senen ke Jatinegara dan ters menuju ke Yogyakarta. Mereka pergi tanpa
membawa apapun dan gerbong kereta api dibiarkan gelap seolah-olah merupakan
rangkaian gerbong yang tidak penting.23
Sebenarnya serdadu Belanda curiga terhadap rangkaian gerbong kereta api
itu dan menembaki gerbong dengan karaben, akan tetapi kereta melaju semakin
cepat dan suara karaben makin tidak terdengar. Pada tanggal 4 Januari 1946 kereta
api tersebut tiba di Yogyakarta sebagai kota harapan untuk melanjutkan
perjuangan. Kedatangan mereka di stasiun Tugu Yogyakarta disambut oleh Sultan
Hamengku Buwono IX, maka dengan demikian berpindahlah Ibukota RI ke
Yogyakarta.24
Presiden dan Wakil presiden yang telah sampai di Yogyakarta segera
menempati Gedug Agung untuk Istana Presiden yang semula dijadikan kantor
23 PJ. Suwarno, op. cit., hal. 9. 24 Ibid.,
32
KNID. Sedangkan KNID pindah ke Loge di jalan Malioboro yang sekarang
menjadi gedung DPRD. Dengan kehadiran Pemeritahan Pusat di Yogyakarta
banyak pengurus-pengurus pusat pertai politik yang ikut masuk ke Yogyakarta,
sehingga Yogyakarta yang semula menjadi kota tradisional yang berkembang di
bawah pimpinan Sultan dan tokoh masyarakat yang terhimpun dalam KNID,
menjadi pusat kegiatan politik nasional.25
Jadi dengan pindahnya pemerintahan RI dari Jakarta ke Yogyakarta , maka
segenap potensi perjuangan RI dapat terpusatkan. Sejak saat itu Yogyakarta
merupakan Ibukota RI dan dari sinilah disusun serta dihimpun segenap kekuatan
untuk menanggulangi musuh.
25 Ibid.,
33
BAB IV
KETERLIBATAN SENIMAN LUKIS DALAM
MEMPERTAHANKAN PROKLAMASI 17 AGUSTUS 1945
Perjalanan bangsa Indonesia telah mencapai titik kulminasi dengan
dicetuskannya proklamasi kemerdekaan Bangsa Indonesia pada tanggal 17
Agustus 1945, rakyat memberi dukungan yang besar terhadap proklamasi
tersebut. Ini merupakan tanda adanya kekuatan besar yang tersimpan dalam
semangat rakyat Indonesia. Rakyat Indonesia telah mengambil haknya atas
kemerdekaan sebagai hak manusia yang diakui keberadaannya di mata dunia.
Salah satu bentuk dukungan terhadap proklamasi adalah munculnya
berbagai produk seni sebagai bentuk ungkapan seniman dalam mengekspresikan
dirinya. Para seniman lukis mengekspresikannya dalam bentuk karya-karya yang
sesuai dengan kondisi yang terjadi waktu itu. Salah seorang pelukis, yaitu Dullah
menyatakan bahwa para pelukis waktu itu melibatkan diri dengan karya-karyanya
langsung dalam perjuangan bangsa dan menegakkan Republik Indonesia.26
Keterlibatan seniman lukis dalam perjuangan menegakkan proklamasi,
disebabkan kondisi politik pada saat itu menuntut mereka untuk ikut serta
berjuang dalam bentuk apresiasi seninya. Pesan yang ingin disampaikan oleh para
seniman ini dapat dengan mudah diterima oleh masyarakat luas sehingga dapat
membangkitkan semangat perjuangan rakyat. Hal ini mendapat respon negatif dari
26 Dullah., “dalam Seniman dan Wartawan Perjuangan 1942-1950”,
Makalah seminar sejarah yang diselenggarakan oleh masyarakat sejarawan Indonesia cabang Yogyakarta, 1989, hlm 3.
34
pihak Belanda, karena dengan adanya tulisan-tulisan dan poster-poster yang
berbau heroik ini membuat kedudukan mereka semakin terancam dan rakyat
Indonesia akan semakin terbakar semangatnya untuk melawan mereka. Menurut
Rosihan Anwar, aktivitas para seniman tidak hanya guna menyalurkan kreativitas
dan bakat artistiknya, tetapi untuk menyalurkan identitas diri.27
A. Coretan-Coretan Perjuangan
Para seniman lukis beranggapan bahwa setelah di proklamasikannya
kemerdekaan RI semangat rakyat tidak boleh dikendorkan karena masih adanya
kekuatan-kekuatan asing yang sewaktu-waktu akan kembali menduduki negara
ini, untuk membangkitkannya maka dibuatlah coret-coretan dengan slogan-slogan
yang berbau heroik di gerbong-gerbong kereta api, dinding-dinding rumah dan
toko dengan menggunakan cat minyak.
Salah satu kelompok seniman lukis di Yogyakarta yaitu Persatuan Tenaga
Pelukis Yogyakarta (PTPI), mengadakan aksi coret-coret di gedung kantor pos
besar, tembok-tembok sepanjang jalan Malioboro, pagar hotel Garuda. Coret-
coretan tersebut diantaranya “Sekali Merdeka Tetap Merdeka, Merdeka atau Mati,
Lebih Baik Mati Daripada Di Jajah Lagi, Pertahankan Bendera Kita.”28
27 Rosihan Anwar, Seniman dan Wartawan dalam perjuangan 1942-
1950, Yogyakarta, Makalah, 1989,hal.12. 28 Tashadi, Partisipasi Seniman Dalam Perjuangan Kemerdekaan Daerah
Istimewa Yogyakarta, Jakarta: Departemen Pendidikkan dan Kebudayaan RI, 1996, hal 70.
35
Gambar 4.1. Coretan Dinding (Sumber: Revolusi Pemuda, Ben Anderson)
Seperti yang terlihat pada coret-coretan dinding di atas, terlihat gambar
sepatu Belanda dengan jeruji sedang menginjak bendera dan rakyat Indonesia
serta gambar hantu, ini diartikan bahwa Belanda itu seperti hantu yang menurut
keyakinan masyarakat Indonesia adalah sosok yang menakutkan dan selalu
mengincar rakyat Indonesia melalui penindasan. Tulisan di sampingnya ada
sebagian terlihat terhapus dengan coret-coretan, sehingga tidak dapat terlihat
dengan jelas secara keseluruhan yang kemungkinan dihapus secara sengaja oleh
pihak Belanda dengan alasan tulisan tersebut dapat memprovokasi rakyat
Indonesia.
36
Gambar 4.2. Coretan Dinding (Sumber: Revolusi Pemuda, Ben Anderson)
Gambar 4.3. Coretan Dinding (Sumber: Revolusi Pemuda, Ben Anderson)
37
Coretan ini memiliki arti yang kuat pada masa perjuangan bangsa
saat itu, selain bagi seniman maupun pejuang beserta rakyat yang melihatnya.
Coretan ini memiliki kekuatan yang dapat membangkitkan semangat akan arti
penting mempertahankan kemerdekaan itu sendiri.
Selain coret-coretan yang digambar secara sederhana dengan slogan-
slogan yang mudah dipahami oleh rakyat Indonesia, terdapat juga coret-coretan
yang ditulis dengan bahasa Inggris, seperti:
- “Away with NICA”
- “Once Free Forever Free”
- “We Fight For Democracy”
- “We Have Only to Win”
- “Indonesia Never Again the Life Blood of Any Action”
- “Life, Liberty And Persuit of Happines.”29
Gambar 4.4. Coretan Gerbong Kereta (Sumber: 50 Tahun Indonesia Merdeka:
Harmoko)
29 Ibid.,
38
Gambar 4.5. Coretan Dinding (Sumber: Semangat 45 dalam Rekaman Gambar: A.B.
Lapian)
Gambar 4.6. Coretan Dinding (Sumber: Semangat 45 dalam Rekaman Gambar: A.B.
Lapian)
Melalui coretan yang berupa kritikan ini ditujukan pada pihak asing yang
ingin kembali menguasai, karena kedatangan mereka tidak diharapkan lagi oleh
39
bangsa Indonesia. Coretan ini juga bertujuan agar wartawan asing yang datang
dapat melihat dan mengerti apa yang sedang diperjuangkan oleh rakyat Indonesia
saat itu.
Coret-coretan tersebut pada dasarnya suatu ungkapan dari rakyat Indonesia
yang dimotori oleh para seniman lukis untuk menolak segala bentuk penjajahan,
karena bangsa Indonesia yang telah merdeka ingin secara penuh menuntut
kebebasannya demi terwujudnya demokrasi. Semua itu akan diperjuangkan
sampai titik darah penghabisan dan itu juga merupakan ancaman bagi pihak asing
agar berpikir ulang untuk kembali menguasai Indonesia.
Oleh karena Belanda tetap mempertahankan pendiriannya untuk kembali
ingin berkuasa di negara RI, maka coret-coretan perjuangan juga semakin berani
mengungkapkan kata-katanya, misalnya pada saat kedatangan konsul Belanda di
Yogyakarta tahun 1947, maka disambutlah para konsul Belanda dengan coretan
yang dituliskan di atas spanduk yang digantungkan di atas jalan Malioboro,
dengan kata-kata yang pedas, yaitu: “We Demand Complete Withdrawal of Dutch
Troops” artinya kami menuntut penarikan mundur tentara Belanda seluruhnya.30
Coret-coretan ini sengaja dibuat di dinding-dinding jalan ataupun di
gerbong kereta api agar masyarakat yang lewat dan melihat dapat memahami
pesan yang ingin disampaikan, sehingga secara tidak langsung pesan tersebut
dapat menggugah semangat dan arti pentingnya kemerdekaan.
Setelah kota Yogyakarta diduduki Belanda pada tahun 1948, coret-coretan
perjuangan ini tidak dapat dilakukan lagi, karena Belanda memperketat penjagaan
30 Ibid.,
40
atas kota Yogyakarta, apalagi coret-coretan ini biasanya dilakukan di tempat-
tempat strategis yang di kuasai oleh Belanda.
Perjuangan selanjutnya biasanya dengan melalui poster-poster perjuangan
yang lebih praktis, karena hanya tinggal menempelkannya di tempat-tempat
strategis yang kebanyakkan dilakukan pada malam hari.
B. Poster Perjuangan.
Poster-poster perjuangan pada masa revolusi bermunculan di perbagai
tempat di Yogyakarta yang mengajak rakyat untuk tegar membela kemerdekaan
Indonesia yang telah diproklamirkan. Penulisan poster atau plakat ini biasanya
dilakukan dengan cara sablon yang bahannya dari kertas padalarang, kertas-kertas
ini kemudian ditempelkan tidak hanya di Yogyakarta tetapi juga di luar
Yogyakarta.
Ide pertama pembuatan poster untuk alat perjuangan pertama kali muncul
dari ide Bung Karno, setelah mendiskusikannya dengan Sudjojono yang pada
waktu itu sebagai kepala seksi kebudayaan Jawa Hokokai, kemudian ide dan tema
diserahkan kepada Affandi untuk dibuat gambarnya. Affandi melaksanakan
pembuatan poster tersebut dengan model Dullah.31
Poster yang dikerjakan Affandi berupa lukisan seorang pemuda berbaju
kemeja putih meneriakkan “Merdeka” sambil mengacungkan kedua tangannya ke
atas, pada kedua pergelangan tangannya terdapat borgol rantai yang sudah putus
dan berlatar belakang Sang Saka Merah Putih yang berkibar. Poster tersebut
31 Dullah., 1989, op.cit.,hlm. 5.
41
dilukis di atas kertas paster bewarna putih berukuran 80x100 cm, digambar
dengan cat tube yang diencerkan dengan bensin, mempergunakan dua warna yaitu
hitam dan merah.
Setelah poster selesai, Affandi mengalami kesulitan untuk memberikan
kata-kata yang tepat, singkat dan menggugah semangat perjuangan kemerdekaan.
Akhirnya atas bantuan Chairil Anwar kesulitan itu dapat diatasi dengan memberi
kata-kata “Bung Ayo Bung,” kata-kata itu dituliskan tepat di bawah gambar
dengan warna hitam, inilah poster pertama pada waktu proklamasi kemerdekaan
yang diperbanyak dan disebarkan ke daerah-daerah. Dengan demikian poster ini
menjadi suatu bukti bahwa seniman dari berbagai bidang seni bekerjasama untuk
kepentingan nusa dan bangsa.
Gambar 4.7. Poster Perjuangan (Sumber: 50 Tahun Indonesia Merdeka: Harmoko)
42
Poster-poster perjuangan memainkan peranan yang sangat penting, pada
saat Yogyakarta sebagai Ibukota Republik Indonesia yang diduduki oleh Belanda
tahun 1948. Akibat pendudukan Belanda, administrasi pemerintahan terguncang
karena kepala negara dan pejabat tinggi lainnya ditawan oleh Belanda. Untuk
mengatasi keadaan darurat, maka sejak tanggal 22 Desember 1948 terbentuklah
pemerintahan militer yang terus melanjutkan perlawanan dengan cara gerilya.32
Dalam rangka melawan serangan musuh maka tidak sedikit poster yang
dikeluarkan oleh pemerintah dan poster yang beredar waktu itu bukanlah poster
dengan bahan yang bagus dan dilukis dalam waktu yang lama tetapi yang
terpenting adalah fungsinya, yaitu sebagai sarana penyampaian informasi,
berhubung mass media seperti radio dan surat kabar tidak bisa berfungsi dengan
baik karena keadaan yang sangat kacau. Bahkan tidak jarang terjadi perang poster
dengan pihak musuh, seperti malam di pasang pagi di sobek, di ganti lalu di sobek
lagi dan seterusnya.33
Poster-poster perjuangan yang di buat oleh para seniman lukis Yogyakarta
merupakan bukti keterlibatan seniman lukis dalam mempertahankan proklamasi
17 Agustus 1945. Berkat kreatifitas seni dan jiwa perjuangan ide-ide yang
dimunculkan lewat poster itu berdampak lebih luas dan mendalam dalam masa
perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI.
32 Basuki., “pendahuluan” Dalam Pameran Plakat Perjuangan di
Pendopo Sonobudoyo, tanggal 23 Agustus 1978,Yogyakarta: Museum Perjuangan, hlm 10.
33 Ibid.,
43
C. Lukisan Perjuangan
Berbeda dengan poster, yang keberadaannya langsung berhubungan
dengan perjuangan pada masa revolusi, lukisan hanyalah sebuah kesaksian dari
para pelukis yang ikut dalam kancah revolusi.
Lukisan perjuangan dalam hal ini tidak harus karya-karya lukis yang
diciptakan oleh seorang pelukis yang menghayati revolusi, namun setidak-
tidaknya diciptakan oleh sang pelukis yang menghayati revolusi baik sebagai
pelaku revolusi maupun yang tidak terlibat secara langsung dalam revolusi
tersebut. Adapun penghayatan akan revolusi tersebut dan pelukisnya bisa saja
dilakukan setelah revolusi usai, walaupun aktualitas dan refleksinya akan jauh
lebih tinggi apabila pelaksanaannya berdekatan dengan ruang dan waktu pada saat
terjadinya peristiwa.
Yogyakarta kaya akan dokumentasi perjuangan, karena pada masa revolusi
1945-1949 Ibukota RI berada di Yogyakarta dan para seniman lukis banyak yang
ikut pindah. Para pelukis banyak juga yang turut langsung dalam kancah
perjuangan gerilya, keadaan ini dengan sendirinya memotivasi para seniman lukis
untuk merekamnya dalam kanvas, para pelukis banyak menghasilkan karya-karya
dalam bentuk lukisan perjuangan diantaranya Sujoyono, Affandi, Hendra,
Sudarso, Dullah, Surono dan lain-lain.
Seniman yang ikut pindah ke Yogyakarta membentuk Seniman Indonesia
Muda. Pelukis-pelukis ini dalam kegiatannya membuat lukisan-lukisan yang
bertema perjuangan bersenjata melawan kembalinya penjajah, membela dan
menegakkan Republik. Selain itu SIM juga mendidik pelukis-pelukis cilik di
44
bawah 17 tahun untuk membuat lukisan perjuangan yang akan dipamerkan di
India, namun ke semua koleksi SIM hilang setelah pendudukkan Belanda 1948.
Dari sekian banyak lukisan perjuangan yang hilang ini ternyata masih ada
beberapa yang terselamatkan, di samping itu juga ada karya-karya lukisan
perjuangan yang dibuat setelah revolusi, sehingga akan sedikit memberi gambaran
tentang keterlibatan seniman lukis Yogyakarta dalam perjuangan
mempertahankan proklamasi 17 Agustus 1945.
Motif lukisannya berupa motif perang seperti pengeboman, pengungsian,
medan-medan gerilaya, peralatan-peralatan perang, pejuang-pejuang gerilya dan
sebagainya, baik berupa lukisan maupun sketsa.
Tahun 1948 tepatnya tanggal 19 Desember, kota Yogyakarta diduduki
Belanda. Seniman-seniman banyak yang menuju ke gunung memanggul senjata,
salah seorang seniman yaitu Dullah bersama keluarga keluar kota menuju selatan
hanya untuk membuat sketsa-sketsa pengungsian penduduk kota ke desa. Sebuah
sketsa yang dihasilkan menggambarkan tentang istrinya yaitu Fatimah yang tidur
di pematang sawah karena kelelahan, tergeletak di pematang sawah tanpa alas dan
tidak membawa apa-apa, memberikan kesan terburu-buru dalam pengungsian.34
Dullah dalam karyanya yang lain menggambarkan situasi selama
pendudukkan Belanda di Yogyakarta, diantaranya sebuah sketsa yang diberi judul
“Mbah Soma,” dilukis dengan pena dan tinta di atas kertas merang, yang
menggambarkan gerilyawan-gerilyawan sedang berkerumun makan dagangan nya
mbah Soma yang duduk di atas lincak, nampak iklas dagangannya dijadikan
34 Sudarmadji., “Indonesia, Riwyat Hidupnya, Pandangan Seninya”, Bali: Sanggar Penjeng, 1988, hlm 25. Dullah Raja Realisme
45
rebutan para gerilyawan. Ini menunjukkan bahwa pada masa perjuangan tidak
hanya para prajurit yang berperan tetapi para pedagang juga ikut berperan.
Tentang sketsa “Mbah Soma”, Dullah menjelaskan,
Pada tanggal 1 Maret 1949,masih pagi sekali waktu itu, seperti biasa mbah Soma mulai mengeluarkan dagangannya untuk berjualan. Tetapi mendadak ada seorang tentara mendatangi mbah Soma untuk melarangnya berjuala, karena sebentar lagi akan ada perang, para tentara sudah bersiap-siap sejak malam dan siap untuk bertempur jika terdengar bunyi sirine. Mbah Soma pun melihat sekitar dan benar bahwa ia melihat begitu banyak tentara yang siap untuk bertempur, ia beranggapan bahwa cucu-cucunya yang sudah menunggu sejak tadi malam pasti sedang menahan haus, lapar dan kedinginan, maka mbah Soma menghampiri mereka dan digapai untuk makan apa saja dagangan yang dibawa olehnya, seorang gerilyawan menolaknya. Mbah Soma tidak peduli, katanya: Biar habis, tidak apa-apa. Nanti ambil lagi yang masih ada di dapur. Sini,sini,sini, perang yo perang ning wetenge yo diiseni disek (perang ya perang tetapi perutnya diisi dulu) karuan saja pada datang berkerumun dan makan semua dagangannya mbah Soma sampai habis. Karena sirine tanda berakhirnya jam malam sudah berbunyi, mereka lalu pamit kepada mbah Soma dan mohon pangestu. Mbah Soma tidak bisa bilang apa-apa, hanya berdiri di tengah pintu sambil memendang cucu-cucunya yang mulai berjalan menuju kota. Tinggal mbah Soma sendiri, kedua tangannya mendekap dada, mulutuny komat-kamit terlihat seperti mendoakan cucu-cucunya yang sedang mengemban tugas negara itu selamat. Mbah Soma, perempuan tua dari kampung yang berhati emas, meskipun keadaannya sendiri serba kekurangan masih iklas mengorbankan milik kepunyaannya. Beruntung saya sempat mengabadikan peristiwa dramatis itu dengan membuat sketsa langsung.35 Dengan menelaah penjelasan di atas, terlihat bahwa seorang seniman
dengan intiusi kemanusiaannya telah mengabadikan suatu peristiwa yang
menyentuh perasaanya. Dengan sketsa maka curahan perasaan dari seseorang
seniman lukis dapat langsung dituangkan pada waktu dan ruang dimana peristiwa
itu sedang terjadi sebagai sejarah sketsa punya nilai yang sangat tinggi.
35 Dullah, 1989, op.cit.,hlm 18-20.
46
Ada lagi karya Dullah yang berkedudukan dengan pendudukkan Belanda
di Yogyakarta, yang berjudul “persiapan Gerilya”, yang menggambarkan
kesibukan para gerilyawan yang sedang bersiap-siap untuk menjalankan
tugasnya, ada yang sedang membongkar peti mesiu, ada yang sedang
membersihkan dan mengisi senapan dengan mesiu dan ada yang sudah selesai
serta bersiap-siap tinggal menunggu saat-saat mendebarkan itu.36
Dari berbagai lukisan perjuangan yang dihasilkan selama pendudukkan
Belanda di Yogyakarta ada karya yang sangat penting, yang dilukis oleh anak
asuh Dullah yang umurnya masih dibawah 15 tahun, mereka diantaranya: Moh.
Toha 11 tahun, Moh. Affandi 12 tahun, Sri Sowarno 14 tahun, Sarjito 14 tahun
dan FX Supono 15 tahun.37
Sebelum anak asuhnya melakukan pekerjaannya, Dullah memberikan
nasihat kepada mereka, sebagai berikut:
Melukis itu tidak ada berhentinya, harus terus melukis. Meskipun Yogya sekarang diduduki oleh tentara Belanda, kita harus tetap melukis. Malahan sekarang banyak obyek-obyek yang menarik yang sebelum diduduki Belanda tadak ada. Lihat itu misalnya tank-tank Belanda, jembatan-jembatan yang ambruk, mobil-mobil dibakar, rumah-rumah yang hancur atau Belanda yang menangkapi penduduk, menggeledah penduduk dirumahnya atau dijalan, pembersihan dipasar-pasar. Itu semua obyek yang menarik sekalidan perlu digambar. Pokoknya yang menari hatimu gambarlah.38
Selanjutnya Dullah berkata:
36 Sudarmadji., 1988, op.cit., hlm 21. 37 Dullah., , Karya Dalam Peperangan dan Revolusi, Jakarta: Balai
Pustaka, 1983, hlm 15. 38 Ibid.,
47
Saya tahu kamu-kamu melukis biasanya langsung di tempat, meskipun saya tahu juga bisa melukis di rumah selalu peristiwa yang baru atau belum lama kamu lihat atau alami. Tetapi untuk menjaga jangan sampai waktu melukis kamu terganggu oleh orang lain apalagi tentara Belanda, kamu harus hati-hati waktu melukis. Pertama kertas yang kamu lukis harus berukuran kecil-kecil saja. Kedua karena melukis harus mencari tempat yang terlindung, kalau kekurangan alat-alat melukis, apa kertas, apa cat atau pensil, nanti saya kasih. Pokoknya kamu melukis sebebas-bebasnya, jangan pikir kehabisan alat.39 Karya lukis anak-anak ini dibuat reproduksinya dan disusun dalam sebuah
buku, disunting langsung oleh Dullah. Sebagian besar lukisan ini, yang bejumlah
seluruhnya 84 lukisan, adalah lukisan Moh. Toha yang berjumlah 74 buah
sedangkan 10 lukisan lainnya dihasilkan keempat murid lainnya.
Peristiwa pemboman kota Yogyakarta oleh pesawat Belanda menarik
perhatian Moh. Toha, sebanyak 9 lukisan yang saling berkaitan dengan awal
pendudukkan Belanda. Lukisan-lukisan itu berjudul “Bertepatan dengan
menyisingnya fajar di Timur datanglah squadron kapal terbang Belanda dengan
suaranya yang gemuruh terbang melingkari Yogyakarta , Bombarden dimulai,
Sebuah bomber sedang menukik dan mengebom daerah sekip, Kapal terbang
Belanda mengebom benteng ditengah kota Yogyakarta, Iring-iringan cocor merah,
Cocor merah menukik menghanburkan peluru, Pesawat itu terbang rendah, dan
Sebuah bomber.”
39 Ibid, hlm 23.
48
Gambar 4.8. Moh. Toha., Kapal terbang Belanda melingkari Yogyakarta.
(sumber:Karya Dalam Perjuangan dan Revolusi, Dullah)
Akibat dari pemboman itu menimbulkan akibat-akibat yang sangat
merugikan rakyat, sebagaimana digambarkan dalam lukisan berjudul “Kaca-kaca
jendela rumah hancur akibat getaran pemboman, Getaran pemboman telah
menghancurkan kaca-kaca jendela rumah.”
49
Gambar 4.9. Sri Suwarno, suasana lenggang kota yogyakarta pada 1 maret 1949.
(sumber:Karya Dalam Perjuangan dan Revolusi, Dullah)
Setelah mengadakan pemboman pesawat-pesawat Belanda menerjunkan
tentara di lapangan terbang Maguwo, sebagaimana digambarkan dalam lukisan
berjudul “Dilapangan terbang Maguwo kapal terbang Belanda menerjunkan
tentara payung, Tentara payung itu sudah hampir tiba di tanah.”
50
Gambar 4.10.Moh. Toha., Kapal terbang Belanda nenerjunkan tentara payung.
(sumber:Karya Dalam Perjuangan dan Revolusi, Dullah)
Untuk menghambat laju penyerangan terhadap kota Yogyakarta, maka
para pejuang melakukan bumi hangus terhadap obyek-obyek vital, digambarkan
dalam lukisan yang berjudul “Bumi hangus oleh pasukan Republik pada waktu
tentara Belanda menyerbu Yogyakarta, Bangkai kendaraan yang dibumi
hanguskan sendiri oleh pasukan republik di Lempuyangan Yogyakarta”, lukisan
dari Moh. Affandi, “Jembatan Winongo yang dihancurkan oleh pasukan republik
pada waktu tentara Belanda menyerbu kota Yogyakarta,” selain itu lukisan serupa
ternyata dibuat juga oleh F.X. Supono.
51
Gambar 4.11.Moh. Toha.,Kendaraan yang dibumi hangus oleh pasukan republik di
Lempuyangan. (sumber:Karya Dalam Perjuangan dan Revolusi, Dullah)
Akibat dari pendudukkan Belanda di Yogyakarta maka mengalirlah arus
mengungsi dari kota ke desa, sebagaimana dilukiskan Moh. Toha yaitu “
Penduduk mulai mengungsi meninggalkan kota”, terlihat iring-iringan penduduk
yang mengungsi ke luar kota pada waktu tentara Belanda memasuki kota
Yogyakarta.
52
Gambar 4.12. Moh. Toha., Iring-iringan penduduk mengungsi keluar kota.
(sumber:Karya Dalam Perjuangan dan Revolusi, Dullah)
Tanggal 1 Maret 1949 pasukan republik melancarkan serangan umum
terhadap kota Yogyakarta. Berbagai momen yang terekam dalam bentuk lukisan,
seperti serbuan pasukan republik, pemakaian atribut “Janur Kuning” bagi para
gerilyawan, pemasangan plakat atau poster perjuangan, pemasangan rintangan dan
sebagainya, yang dituangkan Moh. Toha dalam 9 lukisan, sedangkan Sri Suwarno
sebanyak 2 lukisan.
53
Gambar 4.13. Sri Sowarno., Pos penjagaan. (sumber:Karya Dalam Perjuangan dan
Revolusi, Dullah)
Babak terakhir dari pendudukan Belanda di Yogyakarta, dituangkan Moh.
Toha dalam lukisannya yang berjudul: Tentara Belanda yang akan meninggalkan
Yogyakarta berkeliling kota dengan kendaraan dan pengeras suara menghasut
penduduk supaya mengungsi, truk-truk konvoy tentara Belanda meninggalkan
Yogyakarta, pasukan republik yang berada diluar kota dan di gunung-gunung
masuk kota Yogyakarta di bawah kekuasaan republik dan Jeep KTN.
54
Gambar 4.14.Moh. Toha.,Presiden dan wakil presiden ditahan dan diasingkan ke
sumatera. (sumber:Karya Dalam Perjuangan dan Revolusi, Dullah)
Selain lukisan yang dibuat oleh anak asuh Dullah, peristiwa pendudukkan
Belanda juga terekam dalam lukisannya S. Sujojono, berjudul “Setelah Peboman”.
Lukisan ini menggambarkan puing-puing bangunan yang sudah kehilangan
seluruh atapnya dan tinggal beberapa dindingnya yang tegak, dengan bongkaran-
bongkaran yang berserakan di sekitar gedung rusak. Lukisan ini tampak
mengerikan dan selalu mengingatkan siapa pun yang melihatnya akan keganasan
perang.
Selain lukisan-lukisan yang telah disebutkan di depan sebenarnya masih
banyak lagi lukisan yang dibuat oleh para seniman lukis lainnya, seperti: Sudarso
yang membuat lukisan berjudul “Pabrik Senjata”, Kantono Yadokusumo melukis
“Barisan Benteng,” Trubus melukiskan “Gadis Duduk,” S Harijadi melukis
55
“Biografi II Malioboro,” Hendra Gunawan melukis “Pengantin Revolusi” dan
sebagainya. Lukisan-lukisan perjuangan tersebut menunjukkan keterlibatan
seniman lukis dalam berperan mempertahankan proklamasi 17 Agustus 1945.
56
BAB V
DAMPAK KARYA-KARYA SENIMAN LUKIS TERHADAP
PERJUANGAN KEMERDEKAAN
Revolusi 1945-1950 dapat dikatakan sebagai perang rakyat semesta,
karena dalam peperangan ini ternyata bukan hanya kedua belah pihak angkatan
bersenjata saja yang berperang. Peperangan saat itu mempunyai sifat fisik yang
semesta, seantero rakyat baik harta dan tenaganya tersedia untuk diolah demi
mencapai kemenangan. Semua sumber yang tersedia digunakan dengan tujuan
untuk mengalahkan lawan, baik angkatan bersenjatanya maupun semua susunan
dan lembaga politik dan sosial ekonominya. Oleh Nasution peperangan tersebut
dinilai sebagai suatu pergolakan yang sekaligus menyangkut sektor militer,
politik, psikologis dan sosial-ekonomi.40
Dalam arti yang umum perang gerilya adalah perang rakyat semesta,
perang militer, sosial-ekonomi dan psikologis. Dengan demikian dapatlah
dikatakan bahwa perang gerilya berarti menghantam musuh dengan serangan
bersenjata dan sabotase. Menurut Lawrence adalah cuma 2% gerilya dan 98%
rakyat yang bersimpati, jadi 2% yang bertempur dan 98% yang membantu, 2%
yang aktif bergerilya dan 98% yang pasif.41
Berangkat dari pemikiran Lawrence, maka dapatlah dikatakan bahwa
bangsa Indonesia tidak bisa melupakan karya-karya seniman terhadap perjuangan
40 A.H. Nasution., “Pokok-pokok Gerilya dan Pertahanan Indonesia di
Masa Lalu dan Yang Akan Datang”, Jakarta: Pembimbingan, 1953, hlm 3. 41 Ibid, hlm. 4.
57
kemerdekaan. Meski para seniman itu hanya bisa dikategorikan sebagai kelompok
yang bersimpati terhadap perjuangan bangsanya, namun setidaknya mereka telah
berbuat sesuatu untuk perjuangan bangsannya. Di antaranya lewat beberapa hasil
karyanya yang dapat menggugah semangat nasionalisme ataupun perjuangan.
Diproklamirkannya kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 disambut
rakyat dengan gembira dan memberi dukungan penuh kemerdekaan itu, tidak
ketinggalan juga para seniman lukis yang ikut ambil bagian dengan mencoret-
coret gerbong kereta api dengan slogan-slogan heroik. Slogan-slogan itu
dituliskan pada dinding-dinding toko atau bangunan yang ditulisi dengan cat
minyak, misalnya: ”Sekali Merdeka Tetap Merdeka, Lebih baik mati daripada
dijajah lagi”. Selain lukisan, ide-ide para seniman juga dituangkan dalam bentuk
poster, misalnya poster yang menggambarkan seorang pemuda yang membawa
bendera merah putih berkibar di belakang kepalanya sambil mengangkat
tangannya yang masih ada borgol rantai putus, sambil meneriakkan “Bung Ayo
Bung”. Poster ini dapat diartikan sebagai suatu ajakkan untuk melawan penjajah,
karena begitu mudah menyentuh hati setiap orang yang melihatnya, sebab corak
lukisannya realistik impresemiomistik, sehingga mempunyai dampak yang besar
dalam membangkitkan semangat juang rakyat.
Sejak awal proklamasi sampai akhir perjuangan, para seniman lukis telah
berhasil melakukan propaganda. Selain itu mereka mengabadikan perjuangan itu
lewat lukisan dan berhasil mendokumentasikannya. Karya yanng dihasilkan
berdasarkan kejadian sesungguhnya yang mereka dapat langsung dari lapangan.
Pendapat ini kiranya dapat dibenarkan dengan adanya dokumentasi lukisan yang
58
dibuat oleh anak-anak asuh Dullah. Selama Yogyakarta diserbu oleh tentara
Belanda anak-anak didik Dullah sempat merekamnya lewat lukisan sebanyak 84
buah lukisan, gambar-gambar yang dibuat sesuai dengan apa yang dilihat sendiri
oleh mereka, seperti truk-truk konvoi Belanda, pengungsian penduduk, jembatan
hancur, penagkapan terhadap penduduk, pesawat-pesawat terbang Belanda dan
sebagainya. Lukisan-lukisan yang dibuat tersebut pada umumnya menggambarkan
kekejaman yang dilakukan oleh pihak Belanda, sehngga dengan demikian jelaslah
dampaknya membuat rakyat terus ingin berjuang melawan penjajah. Dampak
yang lain adalah lukisan ini dapat mengantisipasi propaganda yang dilakukan oleh
Belanda, sehingga timbul rasa antipati terhadap Belanda dan para pejuang
semakin bersemangat untuk melakukan perlawanan. Menurut Ki Nayono produk
seni mempunyai potensi sangat besar dalam menyemangati rakyat Indonesia
untuk setia berjuang terus dalam suasana derita lahir batin, tetapi cinta pada
Negara Republik Indonesia dengan segala konsekuensi semangat juang yang telah
menjadi kenyataan timbul dan meninggi berkat produk seni.42
Di samping melalui saluran resmi dalam rangka melawan serangan musuh,
maka tidak sedikit poster atau plakat yang dikeluarkan pemerintah pada masa itu.
Poster yang beredar pada masa itu bukanlah poster dengan bahan yang bagus dan
ditulis dalam waktu yang lama, tetapi yang terpenting adalah fungsinya, yaitu
sebagai sarana penyampaian informasi, berhubungan dengan media massa seperti
radio dan surat kabar tidak selalu sampai ke pelosok-pelosok karena keadaan yang
tidak memungkinkan pada masa itu. Bahkan tidak jarang terjadi perang plakat
42 Ki Nayono., Peranan Seniman Dalam Perjuangan Bangsa Indonesia (makalah), Yogyakarta 12 Agustus 1994, hal 3.
59
dengan pihak musuh, dimana poster yang telah terpasang pada malam harinya,
paginya sudah disobek begitu selanjutnya atau malahan diganti dengan provokasi
oleh pihak musuh. Menurut fungsinya plakat-plakat atau poster ini dapat
dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu:
1. Plakat ditujukan untuk pembinaan kalangan pejuang sendiri.
2. Plakat untuk pembinaan wilayah (masyarakat pada umumnya).
3. Plakat untuk menjawab provokasi lawan.
60
Sebagai contoh berikut ini akan ditunjukkan plakat 1 untuk pembinaan
kalangan para pejuang.
Gambar 5.1, plakat untuk pembinaan kalangan pejuang.(sumber: Poster-Poster
Perjuangan, Basuki)
Asal benda : Jawatan Penerangan Kabupaten Galar, Kulon Progo.
Ukuran : Panjang 35,5 cm; Lebar 27,5 cm.
Masa : Tanggal 5 Maret 1949.
Diskripsi : Berbentuk empat persegi panjang,terbuat dari kertas tipis,
berwarna kecoklatan karena usia.
Dengan tulisan : Seorang perwira tentara dirayu seorang wanita yang
berhiaskan kalung liontin bermotif jantung hati.
61
Maksud plakat : Memberi peringatan kepada para pejuang agar tidak
tergoda wanita cantik, karena mungkin mereka mata-mata
sehingga mengendorkan semangat juang atau pencurian
rencana pasukan.
Dari contoh plakat itu ternyata mampu memberikan peringatan kepada
setiap pejuang yang membacanya agar senantiasa berhati-hati dan waspada
terhadap segala bentuk godaan dan rayuan wanita cantik yang dapat meruntuhkan
semangat juang.
Gambar 5.2 Plakat untuk pembinaan wilayah.(sumber: Poster-Poster
Perjuangan,Basuki)
62
Plakat 2 untuk pembinaan wilayah (masyarakat pada umumnya) Dapat
dilihat pada plakat ini:
Asal benda : Jawatan Penerangan Kabupaten Galur, Kulon Progo.
Ukuran : Panjang 42 cm, lebar 33 cm.
Masa : Di waktu pendudukan Belanda tahun 1948.
Diskripsi : Berbentuk empat persegi panjang, terbuat dari kertas
tipis, berwarna kecoklatan karena waktu.
Dengan tulisan : “Sabda dalem” ditulis warna coklat tua, “sing pada
rukun
lan” ditulis warna coklat muda, “Belanana” ditulis warna
kuning, “Negaramu” ditulis warna merah (perintah sultan,
agar semua bersatu, belalah negaramu).
Gambar poster : Sri Sultan Hamengku buwono mengenakan
pakaian daerah (belangkon dan surjan).
Maksud plakat : Beliau minta agar semua bersatu dan membela negara.
Pada plakat tersebut memberikan dampak yang besar terhadap masyarakat
agar tetap memperkokoh persatuan, kegotong royongan dan keteladanan dalam
membela negara.
63
Gambar 5.3,Plakat untuk menjawab provokasi lawan. (sumber:Poster-Poster
Perjuangan, Basuki)
Pada plakat 3 adalah poster untuk menangkis provokasi musuh.
Asal benda : Jawatan Penerangan Kabupaten Galur, Kulon Progo.
Ukuran : Panjang 35 cm, lebar 27 cm.
Masa : Tanggal 5 april 1949
Diskripsi : Berbentuk empat persegi panjang, terbuat dari kertas tipis,
berwarna kecoklatan karena waktu.
64
Dengan tulisan : “Berita tentara Belanda di Jogja”, ditulis besar dengan
warna hitam.
Gambar poster : Tengkorak berderet-deret di kuburan Kristen dengan latar
belakang bendera Belanda berkibar setengah tiang dan
tampak seekor burung gagak di makam.
Maksud plakat : Untuk membalas provokasi Belanda yang membesar –
besarkan berita bahwa para pejuang atau geriliawan yang
gugur, terkesan bahwa tentara Belanda menjadi korban.
Dampak dari plakat-plakat atau poster itu bagi perjuangan kemerdekaan
antara lain plakat yang ditujukan untuk pembinaan dikalangan para pejuang yaitu
agar para pejuang tetap teguh pada pendirian dan tidak goyah oleh bujuk rayu
wanita. Dikuatirkan apabila seorang pejuang tergoda oleh wanita, maka akan
menjadi goyah imannya dan mudah membuka rahasia. Plakat lain digunakan
untuk pembinaan wilayah, dampak yang diharapkan agar masyarakat tetap dalam
mendukung dan membela perjuangan demi berlangsungnya persatuan dan
kesatuan agar selalu terjaga dan tidak mudah dipecah belah oleh musuh. Dampak
dari poster-poster ini sangat efektif, dibuktikan dengan adanya partisipasi dari
seluruh masyarakat khususnya rakyat pedesaan. Dengan kesadaran dan keikhlasan
mereka memberikan logistik pada para pejuang serta rumah-rumah dapat
difungsikan sebagai markas tentara. Selain itu mereka juga rela menjadi kurir dan
mata-mata tentara republik. Terlebih lagi dalam poster pembinaan wilayah ada
gambar Sultan Hamengku Buwono IX, yang jelas pengaruhnya sangat besar di
65
Yogyakarta. Bagi masyarakat pedesaan Sultan adalah merupakan raja, sedangkan
penduduk adalah kawulah, maka segala perintahnya akan selalu dituruti.
Plakat lain yang berdampak pada perjuangan kemerdekaan yaitu poster
yang mempunyai tujuan untuk menjawab provokasi lawan. Sebagaimana
digambarkan dalam poster “Berita Tentara Belanda di Yogya”, ini mengambarkan
banyaknya tentara Belanda yang meninggal atas kegigihan tentara republik dalam
usaha mempertahankan kemerdekaan. Plakat ini menggandung arti bahwa korban
pertempuran itu tidak hanya dari tentara gerilya saja, melainkan pihak tentara
Belanda juga banyak menjadi korban. Dengan adanya plakat tersebut diharapkan
mental rakyat dan para pejuang tidak menjadi kendor. Kenyataan menunjukkan
bahwa adanya provokasi Belanda tidak menyurutkan perjuangan masyarakat,
selebihnya kampung-kampung dan desa-desa menjadi basis kekuatan gerilya dan
saling bahu-membahu untuk satu tujuan yaitu melawan penjajah.
Demikianlah rasa nasionalisme para seniman sudah tertanam dalam
jiwanya, sehingga jiwa patriot para seniman tidak diragukan lagi. Secara singkat
dapat dijelaskan bahwa :
- Para seniman telah mampu memberikan penerangan-penerangan dan
propaganda ke daerah-daerah.
- Karya-karya seninya dapat menjadi saksi dari kekejaman Belanda dalam
bentuk dokumentasi.
Dampaknya mereka telah mampu menjaga masyarakat untuk tetap setia
pada republik, membangunkan kesadaran masyarakat untuk berjuang maju ke
front depan dengan menjadi anggota laskar serta membangkitkan semangat para
66
pejuang untuk tetap gigih melawan penjajah. Kondisi ini tetap terjaga karena
tindakan dan kepiawaian para seniman dalam melakukan propaganda dan
penerangan ke daerah-daerah.
67
BAB VI
KESIMPULAN
Kemerdekaan Indonesia yang telah diproklamirkan tanggal 17 Agustus
1945, tidak menyurutkan pihak asing, yaitu: NICA dan Sekutu, untuk kembali
menguasai Indonesia. Tanggal 10 Oktober 1945, NICA dan Sekutunya mendarat
di Jakarta. Kedatangan mereka diawali dengan mengibarkan bendera Belanda dan
melakukan kerusuhan serta teror dengan tujuan agar rakyat yang dulu pernah
dikuasainya merasa gentar akan aksi-aksi tersebut.
Situasi tersebut tidak menyurutkan semangat seluruh rakyat Indonesia
untuk tetap mempertahankan kemerdekaan yang sudah diraih dengan darah dan
air mata. Rakyat bersatu bersama dengan semua kelompok masyarakat untuk
mempertahankan semua yang telah diraih, begitu juga dengan kelompok seniman
lukis yang bahu membahu dengan masyarakat dan pejuang ikut andil dalam
situasi tersebut.
Seniman lukis berperan aktif dengan caranya sendiri, yaitu dengan kreatif
menghasilkan karya-karya seni, seperti lukisan, poster dan coretan-coretan
dinding yang memiliki arti untuk membangkitkan semangat juang rakyat.
Walaupun cara yang digunakan tidak seperti orang kebanyakkan yaitu dengan
turun langsung ke garis depan dan mengangkat senjata, tetapi cara ini termasuk
sukses, karena dapat menjangkau masyarakat sampai ke seluruh pelosok seperti
dengan diedarkannya pamflet-pamflet serta yang menggunakan sarana umum
epert gerbong kereta api. Cara ini juga dapat dengan mudah dipahami oleh
68
khalayak ramai karena gambar yang dibuat juga terkesan sederhana dan
menggambarkan realita yang terjadi pada masa itu.
Meski seniman bisa dikategorikan sebagai kelompok yang bersimpati
terhadap perjuangan bangsa namun mereka telah berbuat sesuatu untuk
perjuangan bangsanya, diantaranya melalui hasil karya yang dapat menggugah
semangat nasionalis atau perjuangan.
69
DAFTAR PUSTAKA
Ajip Rosidi. 1978. Affandi 70 tahun. Jakarta: Pustaka Jaya. Ajip Rosidi. 1982. S. Sudjojono. Jakarta: Pustaka Jaya. Basuki. 1978. Poster-Poster perjuangan. Yogyakarta: Museum Perjuangan. Ben Anderson., 1988. Revolusi Pemuda. Jakarta: CV. Muliasari. Brita, L.M., 1998. Menguak Luka Masyarakat. Jakarta: Gramedia. Dullah. 1983. Karya Dalam Peperangan dan Revolusi. Jakarta:Balai Pustaka. --------. 1989. Seniman dan Wartawan Dalam Perjuangan 1942-1950.
Yogyakarta: Masyarakat Sejarawan Indonesia. Gie The Liang., 1976. Filsafat Keindahan, Yogyakarta: Kanisius. Harmoko., 1955. 50 Tahun Indonesia Merdeka. Jakarta: PT. Citra Media Persada. Ki Nayono. 1985. Yogya Benteng Proklamasi. Jakarta: Badan Musyawarah
MUSEA. ---------------. 1994. Peranan Seniman Dalam Perjuangan Bangsa Indonesia.
Yogyakarta: Museum Perjuangan. Lapian .A.B. 1985. Semangat 45 Dalam Rekaman Gambar. Jakarta: Sinar
Harapan. Nasution, A.H. 1953. Pokok-Pokok Gerilya Dan Pertahanan Indonesia Di Masa
Lalu Dan Yang Akan Datang. Jakarta. Nooryan Bahari. 2008. Kritik Seni. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Rosihan Anwar. 1989. Seniman Dan Wartawan Dalam Perjuangan 1942-1950.
Yogyakarta: Masyarakat Sejarawan Indonesia. Sartono Kartodirjo. 1993. Pendekatan Ilmu Soosial Dalam Metodologi Sejarah.
Jakarta: Gramedia. Sudarmadji. 1988. Dullah Raja Realisme Indonesia. Bali: Sanggar Penjeng. Suwarno, P.J. 1994. Hamengku Buwono IX dan Sistem Birokrasi Pemerintahan
Yogyakarta 1942-1972. Yogyakarta: Kanisius.
70
------------. 1994. Yogyakarta Menantang Empat Tahun Berjuang (1946-1949).
Yogyakarta: Museum Benteng. Tashadi. 1986. Sejarah Revolusi Kemerdekaan (1945-1949) di DIY. Yogyakarta:
Departemen Pendidikkan dan Kebudayaan. ----------. 1996. Partisipasi Seniman Dalam Perjuangan Kemerdekaan Daerah
Istimewa Yogyakarta. Jakarta: Departemen Pendidikkan dan Kebudayaan. Morghentau. H.J. 1990. Politik Antar Bangsa. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Zaini. 1956. Almanak Seni. Jakarta: Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional.