TESIS
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEMEGANG UANG ELEKTRONIK DALAM MELAKUKAN TRANSAKSI
E-MONEY
NI NYOMAN ANITA CANDRAWATI
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2013
TESIS
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEMEGANG UANG ELEKTRONIK DALAM MELAKUKAN TRANSAKSI
E-MONEY
NI NYOMAN ANITA CANDRAWATI
NIM : 0990561057
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2013
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEMEGANG UANG ELEKTRONIK DALAM MELAKUKAN TRANSAKSI
E-MONEY
Tesis Untuk Memperoleh Gelar Magister
Pada Program Magister Program Studi Ilmu Hukum
Program Pascasarjana Universitas Udayana
NI NYOMAN ANITA CANDRAWATI
NIM : 0990561057
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2013
LEMBAR PENGESAHAN
TESIS INI TELAH DISETUJUI
PADA TANGGAL 6 November 2013
Pembimbing I Pembimbing II
Prof. Dr. I Putu Sudarma Sumadi, SH. SU. Dr. I Wayan Wiryawan, SH. MH
NIP. 19560419198331003 NIP. 195503061984031003
Mengetahui
Ketua Program Studi Ilmu Hukum Direktur Progr am Pascasarjana
Program Pascasarjana Universitas Udayana
Universitas Udayana
Dr. NK. Supasti D, SH., M.Hum., LLM Prof. Dr. dr. A.A Raka Sudewi, Sp.S(K)
NIP. 196111011986012001 NIP. 195902151985102001
Tesis Ini Telah Diuji
Pada Tanggal 6 November 2013
Panitia Penguji Tesis
Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana
Nomor 1902/UN14.4/HK/2003 Tanggal 1 Oktober 2013
Ketua : Prof. Dr. Putu Sudarma Sumadi. SH., SU.
Sekretaris : Dr. I Wayan Wiryawan, SH., MH.
Anggota : 1. Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, SH., MHum., LLM.
2. Dr. Desak Putu Dewi Kasih, SH., MHum.,
3. Dr. I Made Sarjana, SH., MH.
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Yang bertanda tangan di bawah ini,
Nama : Ni Nyoman Anita Candrawati
NIM : 0990561057
Program Studi : Magister Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum Bisnis
Program Pascasarjana Universitas Udayana
Judul Tesis : Perlindungan Hukum Bagi Pemegang Uang
Elektronik Dalam Melakukan Transaksi E-Money
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas dari plagiat.
Apabila di kemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah tesis ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai Peraturan Mendiknas Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Denpasar, 8 November 2013
Hormat saya,
Ni Nyoman Anita Candrawati
UCAPAN TERIMAKASIH
Om Swastiastu,
Puji syukur kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas asung kertha wara
nugraha-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul “Perlindungan
Hukum Bagi Pemegang Uang Elektronik Dalam Melakukan Transaksi
E-Money” , disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan guna memperoleh
gelar Magister pada Program Magister (S2) Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas
Udayana.
Penulis menyadari bahwa tesis ini dapat diselesaikan berkat dukungan,
motivasi dan bantuan dari berbagai pihak. Dengan tidak mengurangi rasa hormat
kepada mereka yang tidak dapat disebutkan satu persatu dalam kesempatan ini,
penulis ingin menyampaikan penghargaan dan ucapan terimakasih kepada :
1. Bapak Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. PD - KEMD, Rektor Universitas
Udayana, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk
mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister Ilmu Hukum di
Universitas Udayana.
2. Ibu Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K)., Direktur Program
Pascasarjana Universitas Udayana, atas kesempatan yang diberikan kepada
penulis untuk mengikuti pendidikan Program Magister Ilmu Hukum di
Universitas Udayana.
3. Bapak Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, S.H., M.H., Dekan Fakultas
Hukum Universitas Udayana atas fasilitas yang diberikan kepada penulis
untuk menyelesaikan pendidikan pada Program Magister Ilmu Hukum
Universitas Udayana.
4. Ibu Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, SH., MHum., LLM., Ketua Program
Studi dan Bapak Dr. Putu Tuni Cakabawa L, SH., MHum., Sekretaris
Program Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana, atas fasilitas yang
diberikan kepada penulis untuk menyelesaikan pendidikan pada Program
Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana.
5. Bapak Prof. Dr. Putu Sudarma Sumadi, SH., S.U., Dosen Pembimbing I atas
kesabarannya telah membimbing dan mengarahkan penulis sehingga penulis
dapat menyelesaikan tesis ini.
6. Bapak Dr. I Wayan Wiryawan, SH., MH., Dosen Pembimbing II atas
kesabarannya telah membimbing dan mengarahkan penulis sehingga penulis
dapat menyelesaikan tesis ini.
7. Ibu Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, SH., MHum., LLM., Ibu Desak Putu
Dewi Kasih SH., MHum., dan Bapak Dr. I Made Sarjana, SH., MH., dosen
penguji yang telah membimbing dan mengarahkan penulis sehingga penulis
dapat menyelesaikan tesis ini.
8. Seluruh dosen pengajar serta staf akademik atas dukungan yang diberikan
kepada penulis untuk dapat menyelesaikan studi Magister Ilmu Hukum
Universitas Udayana.
9. Kedua orangtua, Drs. I Nyoman Suartha, SH, dan Kiswati, yang telah
memberikan kasih sayang dan dukungan penuh bagi penulis, kakak-kakak
tercinta Luh Putu Anggraeni, SE, Made Arya Kusuma, ST, dan Luh Musi
Utami, keponakan tersayang Ni Putu Rinjani Sawitri, dan sahabat kecil
Julietta Maharani, serta seluruh keluarga besar, yang telah banyak
memberikan doa dan dukungan moral kepada penulis.
10. Vika Treshna Fatria, SH., beserta keluarga atas dukungan dan motivasi bagi
penulis untuk menyelesaikan tesis ini.
11. Seluruh rekan-rekan mahasiswa Magister Ilmu Hukum Angkatan 2009
khususnya konsentrasi Hukum Bisnis yang berjuang bersama dan saling
mendukung dalam menyelesaikan tesis ini.
12. Sahabat-sahabat terbaik IGA Ista Pradnyani, SH.; AAA Arie Anggreani, ST;
Sang Ayu Made Indira Arthakana; Made Putri Arysanthi, SH; Ni Made
Lestiaponi, SH; Putu Novarisna Wiyatna SH.,MH.; AA Ari Widhyasari,
SH.,MKn.; Ni Wayan Desi Aryanti, SH.,MH.; Dewi Bunga, SH.,MH.; AA
Putri Aprilina, SH.,MKn.; Putu Ria Dewi Marheni, SH.,MH.; I Gede Abdhi
Prabawa, SH.,MKn.; Ni Made Diana Dewi Rinjani, SH., dan rekan-rekan
kerja PT. Bank Danamon Indonesia, Tbk., beserta seluruh rekan-rekan yang
tidak dapat disebutkan satu persatu yang membantu penulis menyelesaikan
studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana.
Akhir kata penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna,
Walaupun demikian, penulis berharap semoga tulisan ini tetap dapat bermanfaat
bagi pembaca. Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa senantiasa melimpahkan
berkah dan rahmatnya kepada kita semua. Ashtungkara.
Om Santi Santi Santi Om.
Denpasar, 8 November 2013
Hormat Penulis,
Ni Nyoman Anita Candrawati
ABSTRAK
Tesis ini berjudul Perlindungan Hukum Bagi Pemegang Kartu Dalam Transaksi Uang Elektronik. Perkembangan teknologi dan perdagangan membawa perubahan dalam kebutuhan masyarakat. Alat pembayaran berupa uang tunai dalam bentuk uang logam maupun uang kertas konvensional, kini berkembang dalam bentuk pembayaran yang dilakukan melalui sistem elektronik (e-payment system). Salah satu alat pembayaran elektronik atau non tunai yaitu dengan menggunakan kartu uang elektronik (e-money). Nilai uang disimpan secara elektronik yang diterbitkan atas dasar nilai uang yang disetor pemegang kepada penerbit. Nilai uang tersebut digunakan sebagai alat pembayaran namun bukan merupakan simpanan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perbankan, jadi tidak dijamin oleh Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS). Terdapat dua permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini yaitu bentuk pengaturan bagi pemegang kartu uang elektronik dalam melakukan transaksi e-money dan perlindungan hukum bagi pemegang kartu dalam melakukan transaksi e-money.
Penelitian dalam tesis ini adalah penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan undang-undang dan analisis konsep hukum. Bahan hukum yang digunakan terdiri dari bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan, bahan hukum sekunder berupa literatur yang berkaitan dengan permasalahan, dan bahan hukum tersier berupa kamus hukum dan artikel dalam format elektronik. Seluruh bahan hukum tersebut dikumpulkan menggunakan sistem kartu dan dianalisa secara deskriptif dan evaluasi.
Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan terhadap permasalahan tersebut, bentuk pengaturan hukum terhadap uang elektronik diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik dan melalui perjanjian baku yang diatur oleh penerbit berupa syarat dan ketentuan pemegang kartu. Perlindungan hukum bagi pemegang kartu diperlukan untuk menjamin persamaan kedudukan penerbit dan pemegang kartu, termasuk perlindungan hukum terhadap penyalahgunaan kartu e-money yang dapat merugikan pemegang melalui perlindungan hukum preventif dan represif. Bank Indonesia juga akan memberikan sanksi terkait pelanggaran yang dilakukan oleh penyelenggara kegiatan uang elektronik yang tidak dijalankan sesuai ketentuan yang berlaku. Perjanjian antara penerbit dan pemegang kartu juga merupakan bentuk upaya perlindungan bagi pemegang kartu melalui asas-asas perjanjian yang melekat pada perjanjian tersebut meskipun tidak tercantum secara tertulus dalam perjanjian.
Kata kunci : uang elektronik, pemegang kartu, bentuk pengaturan, perlindungan hukum
ABSTRACT
This thesis entitled Legal Protection for Electronic Money Card Holder in E-Money Transactions. Technology and trade development led to changes in the needs of the community. Instruments of payment, in the form of cash both coins and conventional banknotes are now developing in the form of payments made through electronic system (e-payment system). One means of electronic or non-cash payments are by using electronic money card (e-money). Value of money is stored electronically and issued on the basis of the value of money paid to the holders of the provider. The money is used as a means of payment, but not the deposit as stipulated in the Banking Law, so it is not guaranteed by Indonesia Deposit Insurance Corporation (Lembaga Penjamin Simpanan / LPS). There are two issues that were examined in this study, namely: the arrangements for electronic money card holders in e-money transactions and legal protection for the cardholder to perform e-money transactions.
The research in this thesis is a normative legal research using the statute approach and analytical & conceptual approach. Legal material used consists of primary legal materials in the form of legislation, secondary legal materials in the form of literature relating to the problem, and tertiary legal materials, such as legal dictionaries and articles in electronic format. The entire legal materials were collected using a card system and analyzed descriptively and evaluatively.
Based on the results of studies conducted on the issue, the legal regulation of the form of electronic money stipulated in Bank Indonesia Regulation Number 11/12/PBI/2009 on Electronic Money, and through standard agreements governed by the provider, such as terms and conditions of the card holder. Legal protection for the cardholder is required to ensure the equality of the provider and the card holder, including legal protection against the misuse of e-money card that can be detrimental to the holder, through preventive and repressive legal protection. Bank Indonesia sanctions related to violations committed organizers electronic money activities are not carried out in accordance with the applicable provisions. Agreement between the issuer and the card holder is also a form legal protection for card holder through the principles of agreement attached to the agreement although not included in writing on the agreement.
Keywords: electronic money, card holder, forms of regulation, legal protection
RINGKASAN
Tesis ini terdiri dari lima bab, masing-masing terdiri dari beberapa sub bab
yang memaparkan serta mengkaji permasalahan dalam penelitian ini yaitu
perlindungan hukum bagi pemegang uang elektronik dalam melakukan transaksi
e-money.
Bab pertama merupakan bab pendahuluan yang memaparkan latar belakang
permasalahan, rumusan masalah, ruang lingkup masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, orisinalitas penulisan, landasan teoritis dan metode penelitian
yang digunakan dalam penelitian dengan judul Perlindungan Hukum Terhadap
Pemegang Uang Elektronik Dalam Melakukan Transaksi E-Money. Penelitian ini
dilatarbelakangi oleh perkembangan sistem pembayaran non tunai yang
dipengaruhi oleh kemajuan perkembangan teknologi dan pola hidup masyarakat.
Perkembangan teknologi ini member dampak terhadap munculnya inovasi-inovasi
baru dalam pembayaran elektronis (electronic payment), salah satunya yaitu alat
pembayaran menggunakan uang elektronik (electronic money / e-money).
pembayaran menggunakan kartu e-money tidak memerlukan proses otorisasi dan
tidak terkait dengan rekening di bank penerbit. Kartu mudah dipindahtangankan
dan nilai uang yang tersimpan bukan merupakan simpanan sebagaimana dalam
Undang-Undang Perbankan. Hal ini menyulitkan pemegang kartu jika kartu
hilang atau dicuri, penerbit tidak akan dapat memblokir atau mengganti saldo
yang hilang atas penggunaan dari pihak yang tidak bertanggung jawab. Adapun
permasalahan yang diangkat yaitu bentuk pengaturan dan perlindungan hukum
bagi pemegang kartu uang elektronik dalam melakukan transaksi e-money.
permasalahan tersebut dikaji menggunakan teori yang relevan dan menggunakan
metode penelitian hukum normatif untuk menyimpulkan bahan hukum yang
terkait dengan permasalahan dalam tesis ini.
Bab kedua menguraikan tinjauan umum alat pembayaran dan uang elektronik
yang meliputi sejarah dan pengertian alat pembayaran yang membahas uang tunai
hingga perkembangan jenis-jenis pembayaran non tunai menggunakan kartu,
dasar hukum sistem pembayaran menggunakan kartu, pengertian dan dasar hukum
uang elektronik, perbedaan uang elektronik dengan alat pembayaran
menggunakan kartu lainnya dan perkembangan uang elektronik di Indonesia.
Bab ketiga menguraikan mengenai transaksi e-money dalam perspektif sistem
hukum Indonesia yang merupakan hasil penelitian dari permasalahan pertama.
Pada bab ini dibahas mengenai sistem hukum transaksi eletronik di Indonesia
yang menguraikan undang-undang yang terkait dalam sistem pembayaran uang
elektronik dan membahas mengenai bentuk pengaturan transaksi uang elektronik
di Indonesia berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/12/PBI/2009
tentang Uang Elektronik (Electronik Money) termasuk syarat dan ketentuan bagi
pemegang kartu yang dikeluarkan oleh penerbit.
Bab keempat menguraikan mengenai penyalahgunaan e-money dan
perlindungan hukum bagi pemegang kartu yang merupakan hasil penelitian
permasalah kedua, yaitu membahas mengenai bentuk penyalahgunaan kartu
pembayaran uang elektronik, tanggung jawab penyelenggara sistem pembayaran
uang elektronik, dan perlindungan hukum bagi pemegang kartu uang elektronik
dalam transaksi e-money.
Bab kelima merupakan bagian penutup yang simpulan dari permasalahan
dalam penelitian tesis ini serta diajukan saran terhadap permasalahan yang dikaji.
Simpulan dari permasalahan yang diangkat adalah pengaturan alat pembayaran
menggunakan uang elektronik (e-money) diatur dalam Peraturan Bank Indonesia
Nomor 11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik (Electronic Money) dan Surat
Edaran Bank Indonesia Nomor 11/11/DASP Tahun 2009 tentang Uang Elektronik
(Electronic Money) yang mengatur mengenai syarat dan tata cara pengajuan
menjadi pihak-pihak penyelenggara uang elektronik yaitu Prinsipal, Penerbit,
Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir.
Penerbit juga mengeluarkan klausula yang ditetapkan dalam syarat dan ketentuan
bagi pemegang kartu e-money. Pengaturan ini tidak menjelaskan perlindungan
bagi pemegang kartu dalam hal kerugian yang diderita pemegang jika kartu hilang
atau dicuri maupun terhadap penyalahgunaan kartu oleh pihak yang tidak
berwenang.
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL DEPAN ….……………………………………………..
HALAMAN SAMPUL DALAM …..……………………………………………
HALAMAN PERSYARATAN GELAR MAGISTER……………………….
HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING…………..…………………...
HALAMAN PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS……………………..
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT………………………………….
UCAPAN TERIMAKASIH…………………………………………………….
ABSTRAK……………………………………………………………………….
ABSCTRACT…………………………………………………………………….
RINGKASAN……………………………………………………………………
DAFTAR ISI …………………………………………………………………...
DAFTAR TABEL………………………………………………………………
DAFTAR GAMBAR……………………………………………………………
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………..
1. Permasalahan…………………………………………….....................
1. Latar belakang masalah……………………………………………
2. Rumusan Masalah…………………………………………………
3. Ruang Lingkup Masalah…………………………………………..
4. Tujuan Penelitian ……………………………………....................
5. Manfaat Penelitian……………………………………………….
i
ii
iii
iv
v
vi
vii
xi
xii
xiii
xvi
xix
xx
1
1
1
9
9
10
10
2. Orisinalitas Penulisan …………………………………………………
3. Landasan Teoritis……………………………………………………...
4. Metode Penelitian………………………..............................................
1. Jenis Penelitian………………….............................................
2. Jenis Pendekatan……..…...………….............................................
3. Sumber Bahan Hukum……………............................................
4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ………..……………………
5. Teknik Analisis Bahan Hukum …………………………………...
BAB II TINJAUAN UMUM ALAT PEMBAYARAN DAN UANG
ELEKTRONIK……………………………………………………..
1. Alat Pembayaran…………………………………………………….
1.1. Sejarah dan Pengertian Alat Pembayaran…………………..
1.2. Jenis-Jenis Alat Pembayaran Menggunakan Kartu…………
2. Dasar Hukum Sistem Pembayaran Menggunakan Kartu dan Uang
Elektronik………………………………………………….…………
3. Uang Elektronik (E-Money)…………………………………………..
3.1. Pengertian dan Dasar Hukum Uang Elektronik…………….
3.2. Para Pihak Dalam Transaksi Uang Elektronik………………..
3.3. Perbedaan Uang Elektronik Dengan Alat Pembayaran
Menggunakan Kartu………………………………………….
4. Uang Elektronik dan Perkembangannya di Indonesia………………..
11
15
30
31
32
32
34
34
35
35
35
41
52
56
56
62
67
69
BAB III TRANSAKSI MELALUI UANG ELEKTRONIK DALAM
PERSPEKTIF HUKUM INDONESIA …………………………...
1. Sistem Hukum Transaksi Elektronik di Indonesia…………………
2. Bentuk Pengaturan Transaksi Melalui Uang Elektronik di
Indonesia……………………………………………………………...
BAB IV PENYALAHGUNAAN UANG ELEKTRONIK DAN
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEMEGANG KARTU……
1. Bentuk Penyalahgunaan Kartu Pembayaran Uang Elektronik……..
2. Tanggung Jawab Penyelenggara Sistem Pembayaran Uang
Elektronik…………………………………………………………….
3. Perlindungan Hukum Bagi Pemegang Kartu Uang Elektronik…….
BAB V PENUTUP………………………………………………………………
1. Simpulan……………………………………………………………..
2. Saran…………………………………………………………………..
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………….
LAMPIRAN………………………………………………………………………
73
73
102
137
137
140
155
168
168
169
DAFTAR TABEL
Tabel 1.
Tabel 2.
Tabel 3.
Tabel 4.
Persamaan dan Perbedaan Uang Elektronik Jenis Terdaftar
(Registered) dan Tidak Terdaftar (Unregistered)…………………
Mekanisme Hubungan Penerbit, Pemegang dan Merchant Dalam
Transaksi Uang Elektronik ………………………………………...
Perbedaan Alat Pembayaran Menggunakan Kartu dan Uang
Elektronik………………………………………………………….
Perbandingan Syarat dan Ketentuan Kartu E-Money yang
diterbitkan oleh Bank Penerbit yang berbeda-beda………………
58
65
68
131
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.
Gambar 2.
Gambar 3.
Gambar 4.
Kartu Kredit (Credit Card)……………………..…………………
Kartu ATM (Automated Teller Machine) dan/atau Kartu Debit
(Debit Card)……………………………………………………….
Kartu BRIZZI tampak depan dan tampak belakang………………
Kartu Flazz BCA tampak depan dan tampak belakang…………..
46
51
70
71
BAB I
PENDAHULUAN
1. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang Masalah
Pembangunan nasional merupakan upaya pembangunan berkesinambungan
dalam rangka mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam menghadapi
perkembangan perekonomian nasional yang senantiasa bergerak cepat, kompetitif,
dan terintegrasi dengan tantangan yang semakin kompleks serta sistem keuangan
yang semakin maju, diperlukan penyesuaian kebijakan di bidang ekonomi,
termasuk keuangan.
Satu lagi perkembangan teknologi dan perdagangan yang telah membawa
suatu perubahan, adalah kebutuhan masyarakat atas suatu alat pembayaran yang
dapat memenuhi kecepatan, ketepatan, dan keamanan dalam setiap transaksi
elektronik. Sejarah membuktikan perkembangan alat pembayaran terus berubah-
ubah bentuknya, mulai dari bentuk logam, uang kertas konvensional, hingga kini
alat pembayaran telah mengalami evolusi berupa data yang dapat ditempatkan
pada suatu wadah atau disebut dengan alat pembayaran elektronik.
Dalam penggunaan sistem elektronik ada dua hal mendasar yang perlu
diperhatikan. Pertama, teknologi merupakan hasil temuan manusia yang akan
mempunyai kelemahan-kelemahan dalam sistem teknisnya. Kedua, teknologi
selain memiliki kelemahan dalam sistem teknisnya juga mempunyai
ketidakpastian dalam segi jaminan kepastian hukum.1 Memperhatikan dua hal ini,
pembahasan tentang perlindungan bagi pemanfaatan teknologi didekati tidak saja
dari segi hukum, tetapi juga harus memperhatikan pada aspek keberadaan
teknologinya sendiri. Teknologi menjadi sangat penting mengingat pendekatan
teknologi pada hakekatnya merupakan langkah preventif terhadap upaya-upaya
penyalahgunaan teknologi yang bersangkutan, dimana hal itu belum tentu dapat
diselesaikan melalui pendekatan hukum.2 Kemudian pendekatan hukum dapat
dijadikan sebagai langkah preventif dan represif apabila ada pelanggaran-
pelanggaran dalam penggunaan teknologi informasi.
Dari sisi sistem pembayaran non tunai, Bank Indonesia berkepentingan untuk
memastikan bahwa sistem pembayaran non tunai yang digunakan oleh masyarakat
dapat berjalan secara aman, efisien, dan handal. 3 Oleh karena itu, perkembangan
penggunaan alat pembayaran non tunai mendapat perhatian yang serius dari Bank
Indonesia mengingat perkembangan pembayaran non tunai diharapkan dapat
mengurangi beban penggunaan uang tunai dan semakin meningkatkan efisiensi
perekonomian dalam masyarakat. Meskipun dari sisi teknologi alternatif
penggunaan instrumen pembayaran non tunai sangat feasible untuk menggantikan
1 Editorial Jurnal Hukum Bisnis, 2002, E-commerce Meningkatkan Efisiensi, Jurnal Hukum
Bisnis, Vol. 18, Hal 4. 2 Ibid. 3 Working Paper, 2006, Upaya Meningkatkan Penggunaan Alat Pembayaran Non Tunai
Melalui Pengembangan E-Money, Tim Inisiatif Bank Indonesia, available from : URL : http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/70AD6420-DA75-4D45-8F3C-C6F3465312FB/7858/WorkingPaper_MicroPayment.pdf., diakses pada tanggal 10 November 2012, Hal 2.
uang tunai. Namun demikian aspek psikologis, keamanan, kenyamanan, dan
kepercayaan masyarakat terhadap uang kas kemungkinan besar tetap merupakan
hambatan yang masih harus dihadapai dalam perkembangan instrumen
pembayaran non tunai.
Dalam perkembangannya, sistem pembayaran non tunai sangat dipengaruhi
oleh kemajuan perkembangan teknologi dan perubahan pola hidup masyarakat.
Saat ini perkembangan instrumen pembayaran non tunai berjalan sangat pesat
seiring dengan perkembangan teknologi sistem pembayaran yang pada akhir-akhir
ini telah membawa dampak yang besar terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam
sistem pembayaran tersebut. Dengan dukungan teknologi yang semakin maju,
masyarakat pengguna maupun penyedia jasa sistem pembayaran non tunai secara
terus menerus mencari alternatif instrumen pembayaran non tunai yang lebih
efisien dan aman. Selain itu, perubahan pola hidup masyarakat yang disertai
peningkatan efisiensi pola hidup menuntut tersedianya sarana telekomunikasi dan
trasportasi yang demikian cepat sehingga hambatan jarak dan waktu dapat
dikurangi. Perkembangan telekomunikasi dan transportasi ini juga memberikan
pengaruh yang besar terhadap transaksi keuangan terutama terkait dengan cara
antar pihak melakukan pembayaran.
Alat pembayaran non tunai ini khususnya jenis-jenis pembayaran
menggunakan kartu atau alat pembayaran elektronik pada awalnya dikenal dalam
bentuk kartu kredit (credit card) yang kemudian berkembang jenis-jenis alat
pembayaran menggunakan kartu lainnya yaitu kartu debet (Debit Card) dan kartu
penyimpan dana (stored value card). Kemunculan kartu-kartu ini dengan berbagai
jenis telah memberikan pilihan kepada pengguna untuk memilih cara pembayaran
yang sesuai dengan keperluannya masing-masing.
Dewasa ini di berbagai negara terlihat bahwa alat atau instrumen pembayaran
mikro juga telah berkembang cukup pesat seiring dengan perkembangan teknologi
dan kebutuhan masyarakat untuk menggunakan alat pembayaran yang mudah,
aman dan efisien. Instrumen pembayaran mikro adalah instrumen pembayaran
yang di desain untuk menangani kebutuhan transaksi dengan nilai yang sangat
kecil namun volume yang tinggi serta membutuhkan waktu untuk memproses
transaksi yang relatif sangat cepat. Kebutuhan instrumen pembayaran mikro
timbul karena apabila pembayaran dilakukan menggunakan instrumen
pembayaran lain yang ada saat ini (misalnya uang tunai, kartu debit, kartu kredit,
dan sebagainya) menjadi relatif tidak praktis, tidak efisien, tidak nyaman atau
bahkan lebih mahal biayanya. Tidak seperti alat pembayaran lain misalnya kartu
kredit atau kartu debit yang menetapkan minimum jumlah transaksi serta adanya
tambahan biaya yang cukup mahal, alat pembayaran mikro harus dapat digunakan
untuk melakukan pembayaran dalam jumlah yang sangat kecil dengan biaya
transaksi yang relatif kecil pula. Adanya peluang bagi lembaga non bank untuk
dapat menjadi penerbit alat pembayaran mikro akan membuka kesempatan kepada
masyarakat luas, meskipun bukan nasabah bank, untuk dapat menggunakan
fasilitas pembayaran mikro. Hal ini tentunya akan semakin meningkatkan akses
masyarakat terhadap alat pembayaran non tunai.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia,
salah satu wewenang Bank Indonesia dalam rangka mengatur dan menjaga
kelancaran sistem pembayaran adalah menetapkan penggunaan alat pembayaran.
Penetapan penggunaan alat pembayaran ini dimaksudkan agar alat pembayaran
yang digunakan dalam masyarakat memenuhi persyaratan keamanan dan efisiensi
bagi penggunanya. Perkembangan teknologi di bidang informasi dan komunikasi
memberi dampak terhadap munculnya inovasi-inovasi baru dalam pembayaran
elektronis (Electronic Payment).
Dalam hal ini yang dimaksud dengan pembayaran elektronis adalah
pembayaran yang memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi seperti
Integrated Circuit (IC), cryptography dan jaringan komunikasi. Pembayaran
elektronis yang kita kenal dan sudah ada di Indonesia saat ini antara lain phone
banking, internet banking, kartu kredit dan kartu debit/ATM.4 Meskipun teknologi
yang digunakan berbeda-beda, seluruh pembayaran elektronis tersebut selalu
terkait langsung dengan rekening nasabah bank yang menggunakannya. Dalam
hal ini setiap instruksi pembayaran yang dilakukan nasabah, baik melalui phone
banking, internet banking, kartu kredit maupun kartu debit/ATM, selalu melalui
proses otorisasi dan akan dibebankan langsung ke dalam rekening nasabah
tersebut.
Saat ini, di beberapa negara telah mulai dikembangkan produk pembayaran
elektronik yang dikenal sebagai Electronic Money (selanjutnya disebut e-money
4 Paper Kajian E-Money, 2001, Paper Kajian Mengenai E-Money, Bank Indonesia, available
from : URL : http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/2AE7458F-D2DD-80DD-
D890DE7F7C97/PaperKajianemoney3.pdf., diakses tanggal 10 November 2012, Hal 2.
atau uang elektronik), yang karakteristiknya berbeda dengan pembayaran
elektronis yang telah disebutkan sebelumnya, karena setiap pembayaran yang
dilakukan dengan menggunakan e-money tidak selalu memerlukan proses
otorisasi dan tidak terkait secara langsung dengan rekening nasabah di bank (pada
saat melakukan pembayaran tidak dibebankan ke rekening nasabah di bank),
sebab e-money tersebut merupakan produk ‘stored value’ dimana sejumlah nilai
(monetary value) telah terekam dalam alat pembayaran yang digunakan (prepaid).
Dalam ketentuan Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/12/PBI/2009 tentang
Uang Elektronik (Electronic Money) dalam ketentuan Pasal 1 Ayat 3, “Uang
Elektronik (Electronic Money) adalah alat pembayaran yang diterbitkan atas dasar
nilai uang yang disetor terlebih dahulu oleh pemegang kepada penerbit. Nilai uang
disimpan secara elektronik dalam suatu media server atau chip yang digunakan
sebagai alat pembayaran kepada pedagang yang bukan merupakan penerbit uang
elektronik tersebut. Nilai uang elektronik yang disetor oleh pemegang dan
dikelola oleh penerbit bukan merupakan simpanan sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang yang mengatur mengenai perbankan.
Tujuan awal penggunaan e-money untuk kepraktisan, hanya sekali tekan
transaksi berhasil dilakukan, selain itu tidak perlu membawa uang tunai jika ingin
membeli sesuatu. Namun pada dasarnya e-money tidak bertujuan untuk
mengganti fungsi uang tunai secara total. Pemegang kartu e-money sebaiknya
memilih kartu e-money sesuai kebutuhan. Hal ini karena ada banyak kartu e-
money yang beredar di pasaran dan menawarkan fasilitas pembayaran yang tidak
sama. Selain itu tidak semua pedagang yang dapat menerima transaksi
pembayaran melalui e-money. Dengan kata lain, belum ada kartu e-money yang
bisa memenuhi semua kebutuhan.
Berbeda dengan kartu kredit atau kartu debit, kartu e-money tidak
memerlukan konfirmasi data atau otorisasi Personal Identification Number (PIN)
ketika akan digunakan sebagai alat pembayaran dan tidak terkait langsung dengan
rekening nasabah di bank. Hal ini karena e-money merupakan produk stored value
dimana sejumlah nilai monetary value telah terekam dalam alat pembayaran yang
digunakan.5 Hal tersebut memungkinkan kartu dapat dipindahtangankan dan bisa
dipakai siapapun selama saldo masih mencukupi. Hal ini dapat membahayakan
karena jika kartu e-money hilang, maka saldo yang tersisa dapat digunakan oleh
orang lain. Pada kenyataannya, e-money dengan nilai yang dapat di top up atau
diisi ulang ini tidak termasuk dalam inventori bank sebagai salah satu lembaga
yang mengeluarkan produk ini.6 Artinya jika pencurian atau penggunaan kartu e-
money yang bukan pemegang kartu tidak dapat dilacak keberadaannya dan kartu
tersebut tidak dapat diblokir.
Meskipun relatif masih dalam tahap perkembangan awal, e-money
mempunyai potensi dalam menggeser peran uang tunai untuk pembayaran-
pembayaran yang bersifat retail sebab transaksi retail tersebut dapat dilakukan
dengan lebih mudah dan murah baik bagi konsumen maupun pedagang
(merchant). Pengembangan e-money di berbagai negara telah melahirkan berbagai
5 Yasser Arafat, E-Money Dalam Kacamata Plus-Minus, 2011, available from : URL : http://resaay.wordpress.com/2011/11/28/e-money-dalam-kacamata-plus-minus/, diakses pada tanggal 3 Februari 2013.
6 Anastasia Lilin Y, Mengontrol Pengeluaran Dengan Uang Elektronik (Selesai), 2012, Kontan.co.id, available from : URL : http://personalfinance.co.id/news/mengontrol-pengeluaran-dengan-uang-elektronik-selesai, diakses pada tanggal 3 Februari 2013.
implikasi pengembangan e-money terhadap kebijakan Bank Sentral khususnya
yang berkaitan dengan fungsi pengawasan sistem pembayaran dan efektifitas
kebijakan moneter.
Perlindungan terhadap pengguna e-money harus diberikan didasari oleh
semakin majunya ilmu pengetahuan dan teknologi yang merupakan motor
penggerak bagi produktivitas dan efisiensi atas barang atau jasa yang dihasilkan
dalam rangka mencapai sasaran usaha. Dalam rangka mengejar dan mencapai
sasaran usaha tersebut, akhirnya baik langsung maupun tidak langsung konsumen
yang pada umumnya akan merasakan dampaknya. Mengingat hal itu semua tentu
sudah menjadi keperluan yang mendesak akan adanya suatu perlindungan
terhadap pengguna e-money sebagai konsumen, untuk segera dicarikan solusinya,
mengingat demikian kompleksnya permasalahan yang menyangkut perlindungan
konsumen, lebih-lebih menyongsong era perdagangan bebas yang akan datang.7
Maka dari itu seorang pengguna alat pembayaran menggunakan kartu sudah
selayaknya dilindungi secara hukum dengan regulasi terhadap teknologi informasi
yang memadai. Selain itu juga diperlukan kemampuan darin aparat penegak
hukum, kesadaran hukum masyarakat dan prasarana-prasarana yang mendukung
penegakan hukum di bidang teknologi informasi.8
7 Sri Rejeki Hartono, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, Bandung, Hal
33. 8 Johanes Ibrahim, 2004, Kartu Kredit Dilematis Antara Kontrak dan Kejahatan, Refika
Aditama, Bandung, Hal 1.
1.2. Rumusan Masalah
Dari uraian diatas, permasalahan yang timbul sehubungan dengan
pengaturan terhadap perlindungan hukum bagi nasabah dalam melakukan
transaksi e-money, terdapat beberapa permasalahan yang dapat diajukan dalam
penelitian ini, antara lain :
1. Bagimanakah bentuk pengaturan bagi pemegang kartu uang elektronik
dalam melakukan transaksi e-money?
2. Bagaimanakah perlindungan hukum bagi pemegang kartu uang elektronik
dalam melakukan transaksi e-money?
1.3. Ruang Lingkup Masalah
Pembayaran yang dilakukan menggunakan kartu e-money tidak memerlukan
proses otorisasi dan tidak terkait langsung dengan rekening nasabah di bank,
karena untuk memperoleh kartu e-money tidak memerlukan konfirmasi data atau
personal identification number (PIN). Kehilangan kartu bukan merupakan
tanggung jawab penerbit. Penerbit tidak dapat memblokir kartu yang hilang atau
dicuri dan penerbit tidak akan mengganti sisa saldo kartu yang hilang atau dicuri
tersebut, karena nilai uang yang tersimpan bukan merupakan simpanan
sebagaimana dalam Undang-Undang Perbankan. Oleh karena itu diperlukan
bentuk pengaturan bagi pemegang kartu dan perlindungan hukum untuk menjamin
aspek keadilan bagi pemegang kartu uang elektronik dalam melakukan transaksi
sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia sebagai lembaga pengawas kegiatan
keuangan.
1.4. Tujuan Penelitian
1.4.1. Tujuan Umum
Secara umum, penelitian atas beberapa permasalahan yang dipaparkan
diatas bertujuan untuk mengetahui dan memahami bentuk pengaturan dan
perlindungan bagi pemegang kartu uang elektronik dalam melakukan transaksi e-
money.
1.4.2. Tujuan Khusus
Secara khusus, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini antara lain
sebagai berikut :
1. Untuk dapat mengetahui bentuk pengaturan yang ideal bagi pemegang
kartu dalam melakukan transaksi e-money.
2. Untuk dapat mengetahui perlindungan hukum yang dapat diberikan bagi
pemegang kartu uang elektronik dalam melakukan transaksi e-money.
1.5. Manfaat Penelitian
Dalam penelitian terhadap permasalahan yang dibahas pada penelitian ini
diharapkan dapat memberikan manfaat, baik manfaat teoritis maupun manfaat
praktis, yaitu sebagai berikut :
1.5.1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan agar dapat memberikan
sumbangan pikiran dan wawasan terhadap pengembangan ilmu hukum pada
umumnya dan khususnya dalam kaitannya dalam bidang hukum perbankan
maupun hukum perlindungan konsumen.
1.5.2. Manfaat Praktis
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
bagi penulis sendiri dalam menambah pengetahuan dan pemahaman akan
pengaturan mengenai e-money pada peraturan yang dikeluarkan oleh Bank
Indonesia maupun Hukum Perbankan termasuk Hukum Perlindungan Konsumen
dalam kaitannya terhadap perlindungan bagi pemegang kartu uang elektronik
dalam melakukan transaksi e-money.
2. Orisinalitas Penelitian
Permasalahan mengenai perlindungan hukum terhadap pemegang kartu uang
elektronik dalam transaksi e-money sangat menarik untuk dijadikan objek
penelitian karena sarat akan permasalahan hukum.
Pertama, penulis menemukan penelitian untuk tesis pada Universitas
Diponegoro atas nama Trias Palupi Kurnianingrum, SH, dengan judul
“Perlindungan Nasabah Kartu Kredit Ditinjau Dari Undang-Undnag Nomor 8
Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen”, dengan rumusan masalah yaitu :
1. Bagaimanakah perlindungan nasabah kartu kredit ditinjau dari Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen?
2. Bagaimanakah hubungan hukum antara bank sebagai pemberi jasa EFT
khususnya kartu kredit terhadap nasabahnya?
3. Faktor-faktor apakah yang menjadi kendala dalam perlindungan nasabah
kartu kredit?
Penelitian ini membahas mengenai bagaimana upaya perlindungan hukum
terhadap nasabah kartu kredit dalam kaitannya dengan bank sebagai pemberi jasa.
Perlindungan hukum terhadap nasabah ini ditinjau dari Undang-Undang
Perlindungan Konsumen, bukan berdasarkan pada Undang-Undang Perbankan.
Kedua, penulis juga menemukan penelitian untuk tesis pada Universitas
Sumatera Utara atas nama Deasy Risma Rotua Siahaan dengan judul “Tinjauan
Yuridis Terhadap Perlindungan Hukum Bagi Nasabah Bank Pengguna ATM
(Automated Teller Machines) Dalam Sistem Perbankan Indonesia”, dengan
permasalahan yang diangkat yaitu :
1. Bagaimana pembuktian dalam penggunaan ATM menurut ketentuan
hukum yang berlaku di Indonesia?
2. Bagaimana tanggung jawab bank terhadap kerugian yang di derita nasabah
bank pengguna ATM dalam melakukan transaksi.
3. Bagaimanakah perlindungan hukum bagi nasabah bank pengguna ATM
dalam sistem hukum perbankan di Indonesia?
Penelitian ini menekankan pada bank sebagai penyedia jasa fasilitas ATM
untuk mempermudah dalam melakukan transaksi keuangan. Bank hanya akan
bertanggung jawab terhadap kerugian yang di derita oleh nasabah pengguna ATM
apabila diakibatkan oleh kesalahan bank atau kesalahan mesin ATM, tetapi bank
tidak bertanggung jawab terhadap kerugian yang diakibatkan kesalahan nasabah
pengguna ATM itu sendiri.
Ketiga, penulis menemukan penelitian tesis pada Universitas Udayana atas
nama Ida Ayu Indah Sukma Angandari dengan judul “Kebijakan Pembaruan
Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Penyalahgunaan Kartu
Kredit (Credit Card)” dengan rumusan masalah yaitu :
1. Apakah pentingnya pembaruan hukum pidana (KUHP) terhadap tindak
pidana penyalahgunaan kartu kredit (Credit Card)?
2. Bagaimanakah kebijakan hukum pidana dalam tindak pidana
penyalahgunaan kartu kredit dalam RKUHP?
Penelitian ini membahas mengenai resiko bagi pemegang kartu apabila terjadi
penyalahgunaan kartu kredit yang ditinjau dalam kebijakan reorientasi dan
reformasi hukum pidana.
Terakhir, penulis menemukan penelitian untuk tesis dengan judul “Analisa
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Minat Penggunaan Produk Baru (Studi Kasus
Uang Elektronik Kartu Flazz BCA)” atas nama Deni Rahmatsyah pada Magister
Manajemen Universitas Indonesia, dengan rumusan masalah yaitu :
1. Faktor-faktor apa saja yang memiliki pengaruh terhadap minat
penggunaan kartu Flazz BCA?
2. Bagaimana pengaruh temuan faktor-faktor tersebut saling mempengaruhi
satu sama lain terhadap minat penggunaan kartu Flazz BCA?
3. Seberapa besar pengaruh persepsi kemudahan penggunaan (Perceived
Ease Of Use) dan norma subjektif (Subjective Norm) terhadap persepsi
manfaat (Perceived Usefulness)?
4. Seberapa besar pengaruh persepsi manfaat (Perceived Usefulness) dan
persepsi kemudahan penggunaan (Perceived Ease Of Use) terhadap sikap
(Attitude)?
5. Seberapa besar pengaruh persepsi perilaku control (Perceived Behavior
Contro) terhadap persepsi kemudahaan penggunaan (Perceived Ease Of
Use)?
Penelitian ini memang mengarah pada penggunaan uang elektronik namun
ditinjau dari sudut ekonomi, yakni menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi
minat penggunaan uang elektronik sebagai produk baru untuk alat pembayaran di
Indonesia.
Dari hasil pencarian, penulis tidak menemukan penelitian yang mengkhusus
mengenai e-money dalam tinjauannya berdasarkan ilmu hukum. Jika dilihat dari
beberapa penelitian yang dikemukakan diatas, dibandingkan penelitian yang
dilakukan oleh penulis tampaklah perbedaan-perbedaan yang spesifik. Walaupun
kartu kredit maupun kartu ATM merupakan sama-sama salah satu bentuk produk
bank dengan kartu sebagai alat bayar dalam transaksi elektronik seperti halnya
dengan e-money, namun penulis menitikberatkan pada e-money sebagai alat bayar
pengganti uang tunai dalam transaksi elektronik dalam kaitannya dengan
perlindungan hukum terhadap pemegang kartu uang elektronik dalam melakukan
transaksi e-money.
3. Landasan Teoritis
Sebagai landasan untuk membahas permasalahan penelitian maka diperlukan
landasan teori sebagai upaya untuk mengidentifikasi teori–teori hukum, konsep-
konsep hukum, asas-asas hukum, serta norma-norma hukum.9
Pada prinsipnya suatu teori adalah hubungan antara dua fakta atau lebih, atau
pengaturan fakta menurut cara-cara tertentu fakta tersebut merupakan suatu yang
dapat diamati dan pada umumnya dapat diuji secara empiris, oleh sebab itu dalam
bentuknya yang paling sederhana, suatu teori merupakan hubungan antara dua
variable atau lebih yang telah diuji kebenarannya.10 Teori merupakan serangkaian
pemahaman-pemahaman pendapat-pendapat dari suatu kenyataan (realitas) yang
tersusun secara sistematis, logik dan konkrit yang melalui serangkaian pengujian
yang telah diakui kebenarannya (walaupun sementara) dan masih membutuhkan
serangkaian pengujian lagi agar diperoleh suatu kebulatan pemahaman tentang
9 Universitas Udayana, 2008, Buku Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis
Program Magister Ilmu Hukum, Hal 10. 10 Soerjono Soekamto, 2001, Sosiologi Suatu Pengantar, PT. Raja Gravindo Persada, Jakarta,
Hal 30.
suatu hal.11 Dalam dunia hukum terhadap pemahaman bahwa istilah teori
bukanlah sesuatu yang harus dijelaskan tetapi sebagai sesuatu yang seolah-olah
sudah dipahami maknanya.12 Adapun landasan teoritis yang dimaksudkan
berhubungan dengan permasalahan mengenai perlindungan hukum bagi
pemegang kartu e-money dan upaya hukum yang dapat dilakukan pemegang kartu
dalam melakukan transaksi e-money dan penanggulangannya adalah teori
keadilan, stakeholder theory, asas perlindungan hukum, asas kebebasan
berkontrak dan asas keseimbangan.
3.1. Teori Keadilan
Teori keadilan oleh Arisoteles menyatakan bahwa keadilan ditandai oleh
hubungan yang baik antara satu dengan yang lain, tidak mengutamakan diri
sendiri, tapi juga pihak lain serta adanya kesamaan. Apabila prinsip keadilan
dijalankan maka akan lahir bisnis yang lebih baik dan etis. 13
Teori keadilan dari Ulpianus menggambarkan keadilan adalah kehendak yang
terus menerus dan tetap memberikan kepada masing-masing apa yang menjadi
haknya. John Rawls membangun teori keadilan berbasis kontrak, dengan
menyebut justice as fairness yang ditandai adanya prinsip rasionalitas, kebebasan
11 B. Hestu Cipto Handoyo, 2008, Prinsip-Prinsip Legal Drafting dan Desain Naskah
Akademik, Universitas Atmajaya, Yogyakarta, Hal 28.
12 Otje Salman, 2008, Teori Hukum – Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Jakarta, Hal 19.
13 Satjipto Rahardjo, 2010, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta, Hal 44.
dan kesamaan. Dengan adanya jaminan kebebasan serta kesetaraan yang sama
bagi semua orang maka keadilan akan terwujud 14
Dilihat dari segi hukum, hubungan antara pemegang kartu dan bank atau
lembaga lain selain bank sebagai penerbit maupun dalam kaitannya dengan
pedagang (merchant), yakni hubungan kontraktual. Hukum kontrak yang menjadi
dasar terhadap hubungan ini bersumber dari ketentuan-ketentuan Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata pada Buku Ketiga tentang perikatan. Menurut Pasal 1338
ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, bahwa semua perjanjian yang
dibuat secara sah berkekuatan sama dengan undang-undang bagi kedua belah
pihak. Pada prinsipnya hubungan antara penerbit dan pemegang kartu adalah
hubungan kontraktual, dimana diberlakukan kontrak dalam bentuk kontrak standar
(kontrak baku), yang biasanya terdapat ketentuan-ketentuan yang berat sebelah,
dimana pihak penerbit seringkali lebih diuntungkan, sehingga prinsip
perlindungan dalam hubungan ini tidak dapat diberlakukan secara mutlak.
3.2. Stakeholder Theory
Perusahaan merupakan salah satu bagian dalam masyarakat dalam sistem sosial
yang berlaku. Keadaan ini menciptakan suatu hubungan timbal balik antara
perusahaan dan para stakeholder (pemangku kepentingan) yang berarti bahwa
perusahaan harus melaksanakan perannya secara dua arah untuk memenuhi
14Agus Yudha Hernoko, 2008, Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Laksbang
Mediatama, Yogyakarta, Hal 45.
kebutuhan perusahaan itu sendiri maupun para stakeholder lainnya dalam sebuah
sistem sosial. Pendekatan stakeholder ini muncul untuk membangun suatu
kerangka kerja yang responsif terhadap masalah yang dihadapi berbagai kelompok
dan hubungan yang dihasilkan dengan cara yang strategis.
Teori ini dikemukakan oleh R. Edward Freeman. Menurut Freeman,
stakeholder merupakan individu, kelompok manusia, komunitas atau masyarakat
baik secara keseluruhan maupun parsial, internal maupun eksternal, yang
memiliki hubungan serta kepentingan terhadap perusahaan, yang dapat
mempengaruhi maupun dipengaruhi oleh perusahaan baik secara langsung
maupun tidak langsung.15
“… the key idea about capitalism is that the entrepreneur or manager creates
value by capturing the jointness of the interests (of the stakeholders). Yes,
sometimes the interests are in conflict, but over time they must be shaped in
the same direction.”16
Definisi ini menyatakan bahwa perusahaan hendaknya memperhatikan para
stakeholder karena mereka merupakan pihak yang mempengaruhi dan
dipengaruhi baik secara langsung maupun tidak langsung atas aktifitas dan
15 Elvinard Ardianto dan Dindin M. Machfudz, 2011, Efek Kedermawanan Pebisnis dan CSR
Berlipat-Lipat, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta, Hal. 75 16 Antonio Argandona, Working Paper, May 2011, Stakeholder Theory and Value Creation,
IESE Business School University of Navarra, available from : URL : http://www.iese.edu/research/pdfs/di-0922-e.pdf., diakses tanggal 4 Juni 2012.
kebijakan yang diambil oleh perusahaan. Selanjutnya asumsi Stakeholder Theory
menurut Thomas dan Andrew adalah :17
1. Perusahaan memiliki hubungan dengan banyak kelompok-kelompok
konstituen (Stakeholder) yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh
keputusan perusahaan.
2. Teori ini ditekankan pada sifat alami hubungan dalam proses dan
keluarah bagi perusahaan dan stakeholder.
3. Kepentingan semua legitimasi stakeholder memiliki nilai secara hakiki,
dan tidak membentuk kepentingan yang di dominasi satu sama lain.
4. Teori ini memfokuskan pada pengambilan keputusan manajerial.
Berdasarkan asumsi stakeholder theory ini, perusahaan tidak dapat melepaskan
diri dari lingkungan sosial. Perusahaan perlu menjaga legitimasi stakeholder serta
mendudukannya dalam kerangka kebijakan dan pengambilan keputusan, sehingga
dapat mendukung pencapaian tujuan perusahaan.18
Perkembangan Stakeholder Theory diawali dengan berubahnya bentuk
pendekatan perusahaan dalam melakukan aktifitas usaha. Ada dua bentuk
pendekatan stakeholder :19
17 Nor Hadi, 2011, Corporate Social Responsibility, Graha Ilmu, Yogyakarta, Hal. 94. 18 Ibid. 19 Irwan Irawan, 2009, Teori Stakeholder, available from : URL :
http://irwanirawan.com/2009/06/08/teori-stakeholder/, diakses tanggal 23 Mei 2013.
1. Old-Corporate Relation
Menekankan pada bentuk pelaksanaan aktifitas perusahaan secara terpisah
dimana setiap fungsi dalam sebuah perusahaan melakukan pekerjaannya tanpa
adanya kesatuan diantara fungsi-fungsi tersebut. Hubungan dengan pihak di
luar perusahaan bersifat jangka pendek dan hanya sebatas hubungan
transaksional saja tanpa ada kerjasama untuk menciptakan kebermanfaatan
bersama.
2. New-Corporate Relation
Menekankan kolaborasi antara perusahaan dengan seluruh stakeholder
sehingga perusahaan bukan hanya menempatkan dirinya sebagai bagian yang
bekerja secara sendiri dalam sistem sosial masyarakat karena profesionalitas
telah menjadi hal utama dalam pola hubungan ini. Hubungan perusahaan
dengan internal stakeholder dibangun berdasarkan konsep kebermanfaatan
yang membangun kerjasama untuk bisa menciptakan kesinambungan usaha
perusahaan, sedangkan hubungan dengan stakeholder diluar perusahaan bukan
hanya bersifat transaksional dan jangka pendek namun lebih kepada hubungan
yang bersifat fungsional yang bertumpu pada kemitraan.
Menurut James E. Post, dengan menggunakan sudut pandang yang berbeda
membagi stakeholder atau para pemangku kepentingan ini ke dalam dua kategori
yaitu :20
20 Dwi Kartini, 2009, Corporate Social Responsibility Transformasi Konsep Sustainability
Management dan Implementasi di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, Hal. 8-9/
1. Primary Stakeholders
Merupakan berbagai pihak yang berinteraksi langsung dalam aktifitas bisnis
perusahaan serta mempengaruhi kemampuan perusahaan untuk melaksanakan
tujuan utamanya, yakni menyediakan barang dan jasa bagi masyarakat.
Kategori primary stakeholder adalah :
a. Pemegang saham (stockholder)
b. Karyawan (employees)
c. Pemasok (suppliers)
d. Kreditur (creditors)
e. Pelanggan (customer)
f. Pedagang besar dan eceran (wholesalers and retailers)
2. Secondary stakeholders
Merupakan orang-orang atau kelompok di dalam masyarakat yang
dipengaruhi secara langsung maupun tidak langsung oleh berbagai aktifitas
atau keputusan utama perusahaan. Kategori dari secondary stakeholder yaitu :
a. Masyarakat secara umum (the general public)
b. Komunitas local (local community)
c. Pemerintah pusat dan daerah (federal state and local governments)
d. Pemerintahan asing (foreign governments)
e. Kelompok aktivis sosial (social activist groups)
f. Media
g. Berbagai kelompok pendukung bisnis (business support groups)
3.3. Asas Perlindungan Hukum
Pengertian perlindungan hukum seperti yang tertulis di dalam kamus bahasa
Indonesia Kontemporer yaitu “suatu upaya yang menjamin adanya kepastian
hukum untuk memperoleh perlindungan berdasarkan peraturan-peraturan atau
undang-undang”.21 Perlindungan hukum merupakan suatu kepentingan untuk
membuat suatu Negara yang memiliki kesejahteraan untuk masyarakat Negara
tersebut.
Menurut Satjipto Raharjo, perlindungan hukum adalah memberikan
pengayoman terhadap hak asasi manusia yang dirugikan orang lain dan
perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-
hak yang diberikan oleh hukum.22
Asas perlindungan atau pengayoman dikemukakan oleh Suhardjo (Mantan
Menteri Kehakiman), yang pada intinya :
Tujuan hukum adalah untuk mengayomi manusia baik secara aktif maupun pasif. Secara aktif dimaksudkan sebagai upaya untuk menciptakan suatu
21 Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, 1991, Balai Pustaka, Jakarta, Hal 897. 22 I Gusti Ngurah Agung Udra Sanjaya, 2010, Perlindungan Hukum Bagi Kreditur Dalam
Kontrak Kerjasama Pemberian Kredit Terhadap Karyawan Tetap (Kretap) di PT. BRI (Persero) Tbk, Cabang Denpasar, Tesis Magister Kenotariatan, Universitas Brawijaya, Hal 27
kondisi kemasyarakatan yang manusiawi dalam proses yang berlangsung secara wajar. Sedangkan yang dimaksud secara pasif adalah mengupayakan penegakan atas upaya yang sewenang-wenang dan penyalahgunaan hak secara tidak adil.23
Terkait dengan fungsi hukum Suharjo mengemukakan bahwa fungsi hukum
adalah untuk mengayomi atau melindungi manusia dalam bermasyarakat,
berbangsa serta bernegara, baik jiwa dan badannya maupun hak-hak pribadinya,
yaitu hak asasinya, hak kebendaannya maupun hak perorangannya.24
Menurut Philipus M. Hadjon bahwa ada dua bentuk perlindungan hukum bagi
rakyat, yaitu perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum yang
represif.25 Perlindungan tidak hanya berdasarkan pada hukum tertulis tetapi
termasuk juga hukum tidak tertulis dengan harapan ada jaminan terhadap benda
yang dimiliki dalam menjalankan hak dan kewajiban. Hadjon menjelaskan 2
macam perlindungan hukum bagi rakyat tersebut, yaitu :26
1. Perlindungan Hukum Preventif
Perlindungan yang diberikan dengan tujuan untuk mencegah sebelum
terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam peraturan perundang-undangan
dengan maksud untuk mencegah pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku
usaha serta memberikan rambu-rambu atau batasan-batasan kepada pelaku
usaha dalam melakukan kewajibannya.
23 Abdul Manan, 2005, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Kencana, Jakarta, Hal 23. 24 Ibid.
25 Philipus M. Hadjon, 2007, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Percetakan M2
Print, Edisi Khusus, Surabaya, Hal 2 26Jimly Asshiddiqie, 2000, Pergeseran-pergeseran Kekuasaan Legislatif & Eksekutif,
Universitas Indonesia, Jakarta, Hal 97.
2. Perlindungan Hukum Represif
Perlindungan hukum represif merupakan perlindungan akhir yang diberikan
kepada pelaku usaha apabila terjadi sengketa atau pelanggaran, melalui
prosedur peradilan, baik peradilan umum maupun diluar peradilan
(penyelesaian sengketa alternatif). Perlindungan hukum ini diberikan apabila
telah terjadi sengketa atau pelaku usaha melakukan pelanggaran.
Dalam kaitannya dengan hubungan antara penerbit dan pemegang kartu pada
transaksi e-money, ada beberapa mekanisme yang dipergunakan dalam
perlindungan terhadap pemegang kartu uang elektronik yaitu :
1. Pembuatan peraturan baru
Lewat pembuatan peraturan baru di bidang perbankan khususnya regulasi
pada peraturan bank Indonesia atau merevisi peraturan yang sudah ada
merupakan salah satu cara yang bertujuan untuk memberikan perlindungan
kepada pemegang kartu uang elektronik.
2. Pelaksanaan peraturan yang ada
Salah satu cara lain untuk memberikan perlindungan kepada pemegang kartu
uang elektronik adalah dengan melaksanakan peraturan yang ada secara lebih
ketat oleh pihak otoritas moneter, khususnya peraturan yang bertujuan
melindungi pemegang kartu sehingga dapat dijamin pelaksanaannya dengan
baik.
3. Memperketat perizinan penerbit maupun pedagang (merchant)
Memperketat pemberian izin untuk bank atau lembaga selain bank sebagai
penerbit termasuk pula pedagang (merchant) adalah salah satu cara agar
penerbit tersebut kuat dan qualified sehingga dapat memberikan keamanan
bagi nasabahnya.
4. Memperketat pengawasan penerbit
Dalam rangka meminimalkan risiko yang ada dalam bisnis uang elektronik
sebagai suatu bentuk produk baru pembayaran menggunakan kartu, maka
pihak otoritas, khususnya Bank Indonesia (juga dalam hal tertentu Menteri
Keuangan) harus melakukan tindakan pengawasan dan pembinaan terhadap
penerbit-penerbit yang telah ada. Hanya saja perlu diperhatikan bahwa
sebagai pengawas, Bank Indonesia tidak dapat mencampuri secara langsung
urusan intern dari penerbit yang diawasinya itu. Sebab, pengendalian penerbit
tersebut tetap menjadi kewenangan pengurus penerbit tersebut. Karena itu
harus jelas batas-batass dari ikut campur tangan Bank Indonesia sehingga
tidak mengambil porsi kewenangan dari pengurus penerbit tersebut.
Selain itu perlindungan dalam hukum diperlukan pada setiap perbuatan yang
merugikan pihak lainnya harus bertanggung jawab dengan cara membayar ganti
rugi atau kompensasi27. Dikalangan para ahli hukum, tanggung jawab sering
diistilahkan dengan “responsibility” (verantwoordelijkeheid) atau terkadang
27Huala Adolf, 2002, Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional cetakan III, Rajawali
Pers, Jakarta, Hal 87.
disebut dengan “liability” 28. Tanggung-jawab dalam arti responsibility adalah
sikap moral untuk melaksanakan kewajibannya, sedang tanggung-jawab dalam
arti liability adalah sikap hukum untuk mempertanggungjawabkan pelanggaran
atas kewajibannya atau pelanggaran atas hak pihak lain.
Tanggung jawab menurut pengertian hukum adalah kewajiban memikul
pertanggungan jawab dan kerugian yang diderita bila dituntut baik dalam hukum
maupun dalam administrasi. Pada umumnya setiap orang harus bertanggung
jawab (aanspraklijk) atas perbuatannya, oleh karena itu bertanggung jawab dalam
pengertian hukum berarti suatu keterikatan. Dengan demikian tanggung jawab
hukum (legal responsibility) sebagai keterikatan terhadap ketentuan-ketentuan
hukum.Bila tanggung jawab hukum hanya dibatasi pada hukum perdata saja maka
orang hanya terikat pada ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan hukum
diantara mereka.29
3.4. Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak yang dalam bahasa asing disebut contracts
vrijheid, contracteen vrijheid atau partij autonomie, atau dalam pustaka bahasa
Inggris disebut dengan istilah freedom of contract adalah suatu asas yang
28Agus. M Tohar, 1990, Tanggung Jawab Produk, Sejarah dan Perkembanganya, Kerjasama
Ilmu Hukum Belanda dengan Indonesia Proyek Hukum Perdata, Denpasar-Bali, 3-14 Januari, Hal.1
29Bernadette M.Waluyo, 1997, Hukum Perlindungan Konsumen, Bahan Kuliah Universitas
Parahyangan, Hal 15.
menyatakan bahwa setiap orang pada dasarnya boleh membuat kontrak atau
perjanjian yang berisi dan macam apapun asal tidak bertentangan dengan undang-
undang, kesusilaan dan ketertiban umum.30
Kebebasan berkontrak memberikan kebebasan untuk mengadakan kontrak
atau perjanjian dengan siapapun, dan bebas menentukan cakupan isi serta
persyaratan dari suatu perjanjian dengan ketentuan bahwa perjanjian tersebut tidak
boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban maupun
kesusilaan.31 Hal ini dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 1337 KUH Perdata
bahwa suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang oleh undang-undang atau
apabila berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum.
Kebebasan berkontrak dalam arti kata materiil berarti bahwa para pihak bebas
mengadakan kontrak atau perjanjian mengenai hal yang diinginkan asalkan
dilaksanakan atas kausa yang halal. Kebebasan berkontrak dalam arti formil
adalah perjanjian yang terjadi atas setiap kehendak dari para pihak. Setiap kata
sepakat yang tercapai di antara para pihak dapat menimbulkan perjanjian atau
konsensualitas.32
Asas kebebasan bekontrak ini tercermin dalam Pasal 1338 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa :
Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
30 Ridwan Syahrani, 1985, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung,
Hal.212. 31 Herlien Budiono, 2010, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang
Kenotariatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, Hal. 31-32 32 Herlien Budiono, 2008, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, PT.
Citra Aditya Bakti, Bandung, Hal. 12-13.
Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Kebebasan berkontrak memberikan jaminan kebebasan terhadap seseorang
untuk secara bebas dalam beberapa hal yang berkaitan dengan perjanjian tersebut
antara lain :33
a. Bebas menentukan akan melakukan perjanjian atau tidak
b. Bebas menentukan dengan siapa ia akan melakukan perjanjian
c. Bebas menentukan isi atau klausul perjanjian
d. Bebas menentukan bentuk perjanjian
e. Kebebasan lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan
Pengaturan kebebasan berkontrak dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata ini memberikan kebebasan untuk setiap subjek hukum membuat
perjanjian yang baru yang belum diatur oleh Undang-Undang, sehingga perjanjian
yang dibuat oleh para pihak mengikat layaknya undang-undang bagi para pihak
yang membuatnya.34 Dengan kata lain, para pihak diperbolehkan untuk membuat
peraturan bagi dirinya sendiri untuk melengkapi peraturan perundang-undangan
yang telah ada.
33Ahmadi Miru, 2007, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, Hal. 4
34 J. Satrio, 1993, Hukum Perikatan, Perikatan Pada Umumnya, Alumni, Bandung, Hal. 36.
3.5. Asas Keseimbangan
Asas Keseimbangan adalah suatu asas yang dimaksudkan untuk
menyelaraskan pranata-pranata hukum dan asas-asas pokok hukum perjanjian
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mendasarkan pemikiran dan
latar belakang individualisme pada satu pihak dan cara pikir bangsa Indonesia
pada lain pihak.35 Keseimbangan dalam membuat perjanjian sangat penting agar
adanya keseimbangan hak dan kewajiban diantara para pihak yang membuat
perjanjian tersebut, sehingga ada keselarasan di dalam pelaksanaan perjanjian
yang dibuat tersebut.
Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara
kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pem,erintah dalam arti materiil dan
spiritual. Asas ini menghendaki agar konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah
memperoleh manfaat yang seimbang dari pengaturan dan penegakan hukum
perlindungan konsumen.36 Kepentingan antara konsumen, pelaku usaha dan
pemerintah diatur dan harus diwujudkan secara seimbang sesuai dengan hak dan
kewajibannya masing-masing, sehingga tidak ada salah satu pihak yang mendapat
perlindungan atas kepentingannya yang lebih besar dari pihak lain.
Apabila terdapat posisi yang tidak seimbang diantara para pihak, maka hal ini
harus ditolak karena akan berpengaruh terhadap substansi maupun maksud dan
35 Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang
Kenotariatan, op.cit, Hal. 33 36 Janus Sidabalok, 2010, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, Hal. 32.
tujuan dibuatnya kontrak itu. Interpretasi terhadap penggunaan istilah
keseimbangan terhadap kandungan substansi aturan tersebut ialah : 37
a. Lebih mengarah pada keseimbangan posisi para pihak, artinya dalam
hubungan kontraktual tersebut posisi para pihak diberi muatan
keseimbangan.
b. Kesamaan pembagian hak dan kewajiban dalam hubungan kontraktual
seolah-olah tanpa memerhatikan proses yang berlangsung dalam
penentuan hasil akhir pembagian tersebut.
c. Keseimbangan seolah sekedar merupakan hasil akhir sebuah proses.
d. Intervensi Negara merupakan intrumen pemaksa dan mengikat agar
terwujud keseimbangan posisi para pihak.
e. Pada dasarnya keseimbangan posisi para pihak hanya dapat dicapai pada
syarat dan kondisi yang sama (ceteris paribus).
4. Metode Penelitian
Concise Oxford Dictionary mendefinisikan penelitian (research) sebagai the
systematic investigation into and study of materials and sources in order to
establish facts and reach new conclusions.38 Artinya suatu penelitian merupakan
37 Agus Yudha Hernoko, 2010, Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam Kontrak
Komersial, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, Hal.84. 38 Judy Pearsall, Op. Cit., hal 1217.
proses sistematis untuk menemukan fakta dan mencapai sejumlah kesimpulan
baru. Untuk mendapatkan hasil yang baik maka suatu penelitian memerlukan
metode penelitian. Istilah metode berasal dari bahasa Yunani metodhos yang
berarti pursuit of knowledge. Methodos sendiri berasal dari dua kata yaitu meta
(menunjukkan perkembangan) dan hodos (jalan). Menurut Soerjono Soekanto
seperti yang dikutip oleh Soejono dan H. Abdurrahman, peranan metodologi
dalam penelitian adalah: 39
a) Menambah kemampuan pada ilmuwan untuk mengadakan atau
melaksanakan penelitian secara lebih baik atau lebih lengkap.
b) Memberi kemungkinan yang lebih besar untuk meneliti hal-hal yang
belum diketahui.
c) Memberikan kemungkinan yang lebih besar untuk melakukan
penelitian interdisipliner.
d) Memberikan pedoman untuk mengorganisasikan serta
mengintegrasikan pengetahuan mengenai masyarakat.
4.1. Jenis Penelitian
Ronny Hanitijo Soemitro membedakan penelitian hukum berdasarkan sumber
datanya sebagai berikut :40
1. Penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doktrinal, yaitu
penelitian hukum yang mempergunakan sumber data sekunder.
39 Soejono dan H. Abdurrahman, 2003, Metode Penelitian Hukum, Cetakan Kedua, Jakarta,
Rineka Cipta, hal. 45 40 Ronny Hanitijo Soemitro, 1995, Metodelogi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia
Indonesia, Jakarta, Hal 9.
2. Penelitian hukum empiris atau penelitian hukum sosiologis, yaitu
penelitian hukum yang memperoleh data dari sumber hukum primer.
Adapun jenis penelitian yang digunakan dalam tesis ini adalah Penelitian
Hukum Normatif. Penelitian ini dilaksanakan berdasarkan pada peraturan hukum
yang ada. Permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini adalah peraturan-
peraturan yang berkaitan dengan pengaturan e-money.
4.2. Jenis Pendekatan
Adapun metode pendekatan yang dipergunakan dalam penulisan tesis ini
adalah Metode Pendekatan Perundang-Undangan (The Statute Approach), dimana
yang dikaji dalam penelitian ini adalah peraturan perundang-undangan yang
dikeluarkan oleh Pemerintah, terhadap masalah yang timbul akan ditinjau dan
dikaji berdasarkan teori-teori dan ketentuan-ketentuan hukum yang mengaturnya
dan kemudian dikaitkan dengan kenyataan di masyarakat, serta dengan
pendekatan kenseptual yaitu mengutip pandangan-pandangan atau pendapat para
ahli yang terdapat pada buku-buku atau literatur yang relevan dengan
permasalahan yang diteliti melalui Pendekatan Analisis Konsep Hukum
(Analitical & Conseptual Approach), yakni melihat berdasarkan pengertian-
pengertian dan asas-asas yang relevan dengan permasalahan yang diangkat.
4.3. Sumber Bahan Hukum
Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan-bahan
hukum yang terdiri dari :
1. Bahan hukum primer (primary sources or authorithies), adalah bahan
hukum yang mempunyai kekuatan hukum mengikat secara umum.41
Adapun bahan hukum primer yang dipergunakan untuk mengkaji
permasalahan dalam penelitian ini adalah :
a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
b. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
c. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas
Undang-Undnag Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
d. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otorisasi Jasa
Keuangan
e. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen
f. Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/12/PBI/2009 tentang Uang
Elektronik (Electronic Money)
2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan pustaka yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer.42 Adapun bahan hukum sekunder yang
digunakan adalah berupa buku-buku atau literatur-literatur yang memuat
teori dan pandangan dari para ahli yang relevan dengan permasalahan
yang diteliti,serta bahan hukum tertier berupa kamus hukum, dan artikel
internet yang terkait dengan masalah yang diteliti.
41 Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 2001, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 13. 42 Ibid.
3. Bahan hukum tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder yang meliputi
kamus, ensiklopedia dan sebagainya.43
4.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Bahan Hukum yang diperlukan untuk penelitian ini dikumpulkan
menggunakan system dengan metoda bola salju artinya menggelinding ketempat
yang lebih jauh, dimana dalam penulisan tesis ini mengutip dari buku-buku yang
mana buku-buku tersebut juga memuat kutipan dari buku–buku lainnya. Dan juga
dengan menggunakan metoda sistematis kartu (card system), dimana kartu ini
disusun berdasarkan permasalahan hukum yang dibahas dalam penelitian ini.
4.5. Teknik Analisis Bahan Hukum
Setelah semua bahan terkumpul, maka dilakukan analisis bahan hukum
menggunakan teknik deskripsi yaitu teknik dasar analisis yang menguraikan
kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non hukum, dan teknik
evaluasi berupa penilaian dengan teori dan peraturan perundang-undangan
mengenai pengaturan e-money.
43 Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, UII Press, Jakarta, hal. 251.
BAB II
TINJAUAN UMUM ALAT PEMBAYARAN DAN UANG ELEKTRONIK
1. Alat Pembayaran
1.1. Sejarah dan Pengertian Alat Pembayaran
Uang telah digunakan sejak berabad-abad yang lalu yang memiliki sejarah
panjang dan telah mengalami perubahan yang sangat besar sejak dikenal manusia.
Tidak mudah untuk menjelaskan atau mendefinisikan uang secara singkat, jelas
dan tepat, namun dalam masyarakat modern di seluruh dunia tidak ada yang tidak
mengenal uang dan kehidupan manusia tidak bisa lepas dari kegiatan yang
berhubungan dengan uang.
Sebelum adanya uang, pertukaran atau transaksi antar individu atau antar
kelompok masyarakat pada awalnya dilakukan dengan cara menukar barang yang
satu dengan yang lain, sistem pertukaran barang dengan barang ini dikenal dengan
istilah sistem barter. Dalam sistem barter ini harus ada kebetulan ganda (double
coincidence), yakni kedua pihak yang akan saling bertukar harus mempunyai
barang yang saling dibutuhkan. Penggunaan benda-benda sebagai alat penukar
inilah yang dalam perkembangannya dikenal sebagai uang. Hal ini didasarkan
pada kesepakatan di antara masyarakat yang menggunakan. Kesepakatan tersebut
harus diterima secara umum oleh masyarakat, jadi setiap orang harus menerima
benda tersebut sebagai alat pembayaran dari barang-barang yang diperdagangkan.
Proses perkembangan penerimaan uang sebagai alat pembayaran berlangsung
bertahap dan sangat lama. Berbagai benda dikembangkan sebagai alat
pembayaran yang dapat digunakan dalam perdagangan, seperti kulit kerang, batu
permata, gading, telur, beras, atau benda lainnya. Benda yang dipergunakan dan
diterima sebagai alat pembayaran dalam sistem perekonomian umumnya adalah
benda yang dianggap berharga dan juga mempunyai kegunaan untuk dikonsumsi
atau keperluan produksi. Benda yang dipergunakan sebagai uang tersebut pada
umumnya juga mudah dibawa dan tidak mudah rusak atau tahan lama.
Dalam perkembangannya, masyarakat menggunakan benda-benda seperti
logam berharga dan kertas sebagai uang. Sebelum digunakannya kertas sebagai
uang, logam berharga dikenal sebagai bentuk uang yang paling popular karena
memiliki ciri-ciri yang pantas yakni dapat dipecah-pecah dan dinyatakan dalam
unit-unit kecil sehingga dapat dipergunakan untuk melakukan transaksi dengan
mudah. Selain itu uang logam mudah dibawa, tahan lama dan tidak mudah rusak.
Uang merupakan suatu benda yang dapat digunakan sebagai alat pembayaran,
yaitu dengan cara menukarkannya dengan benda lain, selain itu dapat digunakan
untuk menilai benda lain, dan dapat disimpan. Uang juga dapat digunakan untuk
membayar hutang di waktu yang akan datang.
Pada dasarnya, uang merupakan suatu benda yang dapat berfungsi seperti
berikut :44
1. Alat Tukar (Medium of Exchange)
Sebelum adanya uang, kondisi pertukaran yang dilakukan dengan barter atau
pertukaran barang dengan barang pada perkembangan perekonomian modern
dinilai terlalu kaku dan sulit dipenuhi. Dengan adanya uang, seseorang dapat
secara langsung menukarkan uang tersebut dengan barang yang
dibutuhkannya kepada orang lain yang menghasilkan barang tersebut.
2. Alat Penyimpan Nilai (Store of Value)
Sesuai dengan sifatnya, manusia adalah makhluk yang gemar mengumpulkan
dan menyimpan kekayaan dalam bentuk barang-barang berharga untuk
digunakan di masa yang akan datang. Barang-barang berharga tersebut pada
umumnya berupa tanah, rumah, dan benda berharga lain. walaupun kekayaan
yang dapat disimpan beragam bentuknya, tidak dapat dipungkiri bahwa uang
merupakan salah satu pilihan untuk menyimpan nilai dari kekayaan.
3. Satuan Hitung (Unit of Account)
Uang digunakan sebagai satuan hitung dalam melakukan penilaian terhadap
suatu barang. Dengan adanya uang, tukar menukar dan penilaian terhadap
suatu barang akan lebih mudah dilakukan.
44 Solikin dan Suseno, 2002, Uang Pengertian, Penciptaan & Peranannya Dalam Perekonomian, Seri Kebanksentralan Vol. 1, Pusat Pendidikan & Studi Kebanksentralan (PPSK) Bank Indonesia, Jakarta, Hal. 2-3.
4. Ukuran Pembayaran yang Tertunda (Standard for Deffered Payment)
Fungsi uang ini terkait dengan transaksi pinjam meminjam. Uang merupakan
salah satu cara untuk menghitung jumlah pembayaran pinjaman tersebut.
Glyn Davies dalam bukunya A History Of Money From Ancient Times To The
Present Day, mendefinisikan fungsi uang yaitu :45
1. Fungsi Khusus
a. Alat tukar (medium of exchange)
b. Alat penyimpan nilai (store of value)
c. Satuan hitung (unit of account)
d. Ukuran pembayaran yang tertunda (standard of deffered payment)
e. Alat pembayaran (means of exchange)
f. Alat ukuran umum dalam menilai sesuatu (common measure of value)
2. Fungsi Umum
a. Aset likuid (liquid asset)
b. Faktor dalam rangka pembentukan harga pasar (framework of the market
allocative system)
c. Faktor penyebab dalam perekonomian (a causative factor in the economy)
45 Ibid.
d. Faktor pengendali kegiatan ekonomi (controller of the economy)
Dalam perkembangannya, uang tunai berupa kertas dan logam menimbulkan
permasalahan dalam pelaksanaan sistem pembayaran, khususnya untuk transaksi
dalam jumlah besar, karena selain adanya kesulitan membawa uang dalam jumlah
banyak juga ada risiko yang mungkin akan timbul misalnya perampokan. Hal
tersebut memunculkan sistem pembayaran dengan non tunai.
Perkembangan teknologi sejalan dengan pola hidup masyarakat
mempengaruhi perkembangan dalam sistem pembayaran. Kemajuan teknologi
dalam sistem perekonomian mampu menggeser pembayaran melalui uang tunai ke
dalam bentuk pembayaran non tunai yang lebih ekonomis dan efisien.
Pembayaran non tunai dilakukan tidak dengan menggunakan fisik uang (uang
kartal) sebagai alat pembayaran melainkan dengan inovasi-inovasi baru dalam
pembayaran elektronis (electronic payment). Pembayaran elektronis ini
merupakan pembayaran yang memanfaatkan teknologi informasi dan dan jaringan
komunikasi.46 Pembayaran elektronis tersebut antara lain yaitu phone banking,
internet banking, pembayaran menggunakan kartu kredit serta kartu debit/ATM.
Meskipun teknologi yang digunakan berbeda-beda, namun seluruh bentuk
pembayaran elektronis tersebut terkait dengan rekening nasabah pada bank
melalui proses otorisasi.
Perkembangan pembayaran non tunai mulai mengembangkan produk
pembayaran elektronis berupa uang elektronik (electronic money/e-money).
46 _____, 2000, Monetary and Economic Studies, Institute for Monetary and Economic Studies, Bank of Japan, Vol 18 No. 1.
Karakteristiknya berbeda dengan bentuk pembayaran elektronis lainnya, karena
produk uang elektronik ini dalam proses pembayarannya tidak memerlukan proses
otorisasi dan tidak terkait langsung dengan rekening nasabah di bank. Uang
elektronik merupakan pengganti uang tunai, merupakan produk stored value
dimana sejumlah nilai uang (monetary value) terekam dalam alat pembayaran
(berupa kartu) yang digunakan oleh pemegang kartu.
Perkembangan alat pembayaran tunai maupun non tunai memberikan dampak
bagi formulasi kebijakan moneter dari sisi permintaan (demand) dan penawaran
(supply). Sistem pembayaran merupakan suatu sistem yang mencakup pengaturan,
kesepakatan, kontrak / perjanjian, fasilitas operasional, mekanisme teknis, standar
dan prosedur yang membentuk suatu kerangka yang digunakan untuk
penyampaian, pengesahan dan penerimaan instruksi pembayaran sertaa
pemenuhan kewajiban pembayaran melalui pertukaran suatu nilai ekonomis
(uang) antar pihak-pihak (perorangan, bank, lembaga lainnya) baik domestic
maupun crossborder dengan menggunakan instrument pembayaran.47
1.2. Jenis-Jenis Alat Pembayaran Menggunakan Kartu
47 Ahmad Hidayat, Dkk, Tim Inisiatif 2006 Grand Desain Upaya Peningkatan Penggunaan Pembayaran Non Tunai, 2006, Upaya Meningkatkan Penggunaan Alat Pembayaran Non Tunai Melalui Pengembangan E-Money, Working Paper, Bank Indonesia, Hal. 1.
Alat pembayaran menggunakan kartu merupakan suatu alat yang berfungsi
sebagai alat pembayaran dan mempunyai fisik berbentuk sebuah kartu. Dalam
pengaturan Bank Indonesia mengenai pengaturan alat pembayaran menggunakan
kartu yaitu pada Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009 tentang
Penyelenggaraan Alat Pembayaran Menggunakan Kartu sebagaimana telah diubah
dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/2/PBI/2012 meliputi kartu kartu kredit
(Credit Card), ATM (Automated Teller Machines) dan/atau kartu debit (Debit
Card). Dalam pengaturan Bank Indonesia sebelumnya yaitu pada Peraturan Bank
Indonesia Nomor 10/8/PBI/2008 tentang Perubahan atas PBI Nomor
7/52/PBI/2005 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran
Menggunakan Kartu, kartu prabayar atau yang dipersamakan dengan itu
merupakan bagian dari alat pembayaran menggunakan kartu. Uang Elektronik (E-
Money) merupakan alat prabayar yang bentuknya juga berupa kartu, namun saat
ini tidak digolongkan lagi sebagai alat pembayaran menggunakan kartu, karena
uang elektronik ini ada yang berbentuk kartu (card based) maupun nonkartu
(server based). Keseluruhan alat pembayaran menggunakan kartu ini dan uang
elektronik merupakan bentuk pembayaran non tunai.
1.2.1. Kartu Kredit (Credit Card)
Belum ada penjelasan secara universal mengenai apa itu kartu kredit, namun
beberapa literature memberikan definisi mengenai apa itu kartu kredit, antara lain
menurut Black’s Law Dictionary menjelaskan bahwa kartu kredit adalah :
“any card, plate or any other like credit device existing for the purpose of obtaining money, property, labour or service on credit. The term does not include a note, cheque, draft, money order or other like negotiable instrument.”48
Tony Drury dan Charles W. Ferrier menjelaskan :
”¢redit card is an instrument of payment which enables the cardholder to obtain either goods or service from merchants where arrangements have been made (directly or indirectly) by the card issuer, who also makes arrangements to reimburse the merchant. The cardholder settles with the card issuer in accordance with the terms of particular scheme. In certain instances credit card may be used to obtain cash.”49
Menurut pendapat Abdul Kadir Muhammad dan Rilda Murniati berpendapat
bahwa kartu kredit adalah :
“alat pembayaran melalui jasa bank atau perusahaan pembiayaan dalam transaksi jual beli barang/jasa, atau alat untuk menarik uang tunai dari bank atau perusahaan pembiayaan dimana kartu kredit tersebut diterbitkan berdasarkan perjanjian tersebut, peminjam memperoleh pinjaman dana dari bank atau perusahaan pembiayaan. Peminjam dana adalah pihak yang menerima kartu kredit yang disebut Pemegang Kartu (card holder), sedangkan bank atau perusahaan pembiayaan adalah pihak yang menyediakan kartu kredit yang disebut Penerbit (issuer).”50
Pengertian kartu kredit menurut Peraturan Bank Indonesia Nomor
11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Alat Pembayaran Menggunakan Kartu
sebagaimana telah diubah dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/2/PBI/2012
adalah alat pembayaran yang dapat digunakan untuk melakukan pembayaran atas
kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi, termasuk transaksi
pembelanjaan dan/atau untuk melakukan penarikan tunai, dimana kewajiban
pembayaran pemegang kartu dipenuhi terlebih dahulu oleh acquirer atau penerbit,
48 Henry Campbell Black’s Dictionary, 1990, Black Law Dictionary, Sixth Edition, St. Paul Minn, West Publishing Co, Page 369. 49 Tony Drury and Charles W. Ferrier, 1984, Credit Card, London Butterworths, Page XII. 50 Abdulkadir Muhammad dan Rilda Muniarti, 2000, Segi Hukum Lembaga Keuangan dan Pembiayaan, PT. Citra Aditya Bakti, Jakarta, Hal. 510.
dan pemegang kartu berkewajiban untuk melakukan pembayaran pada waktu yang
disepakati baik dengan pelunasan secara sekaligus (charge card) maupun dengan
pembayaran secara angsuran.
Berdasarkan beberapa pengertian mengenai kartu kredit tersebut, maka kartu
kredit merupakan alat pembayaran elektronik berbentuk kartu sebagai alat
pemenuhan kebutuhan masyarakat yang praktis, efisien dan efektif. Dalam
perkembangannya kartu kredit tidak lagi menjadi barang mewah, penggunaan
kartu kredit sudah sangat lazim dan banyak sekali penggunanya.
Kartu kredit (credit card) selain dapat berfungsi sebagai alat pembayaran,
juga dapat digunakan sebagai alat pembiayaan. Namun karena kartu kredit bersifat
hutang, sehingga setiap transaksi pembayaran akan dikenakan bunga, maka kartu
kredit tidak disarankan digunakan sebagai alat pembiayaan usaha yang bersifat
jangka menengah hingga jangka panjang. Kartu kredit hanya dapat digunakan
sebagai dana utang cadangan (stand by loan) yang bersifat pembayaran jangka
pendek.
Diterbitkannya aturan Bank Indonesia yang terbaru yaitu Peraturan Bank
Indonesia Nomor 14/2/PBI/2012 pada Pasal 18 ayat 1 dan 2, penggunaan kartu
kredit dibatasi oleh Bank Indonesia hanya boleh diperuntukkan sebagai alat
pembayaran. Penerbit dan acquirer wajib menjaga agar kartu kredit tidak
digunakan di luar peruntukan sebagai alat pembayaran, pelanggaran terhadap
aturan tersebut dapat dikenakan sanksi administrasi berupa teguran, denda,
penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan alat pembayaran
menggunakan kartu, hingga pencabutan izin penyelenggaraan alat pembayaran
menggunakan kartu.
Sebagai alat pembayaran kartu kredit mempunyai sifat-sifat tertentu yang
menjadi pembeda dengan alat pembayaran yang lain dalam hal fungsi. Beberapa
karakter dasar yang melekat pada kartu kredit menurut Flory Santosa adalah :51
a. Kartu kredit merupakan produk massal (mass product);
b. Tanpa sekat antar negara (borderless) dapat digunakan di semua negara
sepanjang terdapat penyelenggaraan sistem kartu kredit (yang paling luas
saat ini adalah Visa dan Mastercard);
c. Dalam produk kartu kredit terdapat perjanjian tanpa batas akhir dan
bersifat revolving (open end and revolve) yaitu tidak seperti perjanjian
kredit pada umumnya klausul mengenai berakhirnya perjanjian kredit
yaitu sesuai dengan tenor kredit yang diajukan, dalam produk kartu kredit
tidak dicantumkan masa berakhirnya kartu kredit. Dengan kata lain bahwa
pada prinsipnya utang kartu kredit tanpa batas akhir yang definitif;
d. Didukung dengan teknologi;
e. Dari sudut pandang bank penerbit, bisnis kartu kredit sering dikatakan
sebagai salah satu bisnis berisiko tinggi dengan keuntungan tinggi (high
gain high risk).
51 Flory Santosa, 2009, Pedoman Praktis Menghindari Perangkap Utang Kartu Kredit, Forum Sahabat, Jakarta, Hal. 1.
Penyelenggaraan kartu kredit melibatkan pihak pemegang kartu, principal,
penerbit, acquirer, pedagang (merchant), perusahaan switching, penyelenggara
kliring, dan penyelenggara penyelesaian akhir. Bank Indonesia menerbitkan
Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/2/PBI/2012 tentang Perubahan Atas
Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Alat
Pembayaran dengan Menggunakan Kartu, menetapkan beberapa penambahan
aturan baru yaitu :52
1. Batasan gaji minimum untuk memiliki kartu kredit sebesar Rp. 3.000.000,-
(tiga juta rupiah) per bulan;
2. Nasabah dengan gaji sebesar Rp. 3.000.000,- (tiga juta rupiah) sampai
dengan Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) per bulannya hanya boleh
memiliki kartu kredit paling banyak dari dua penerbit;
3. Batasan kredit maksimum sebesar 3 (tiga) kali gaji per bulan;
4. Suku bunga pembelanjaan maksimum 3% (tiga persen) per bulan atau 36%
(tigapuluh enam persen) per tahun;
5. Tagihan pembelanjaan tidak boleh dikenai bunga berkali-kali;
6. Bank Indonesia akan lebih detail mengatur kerjasama antara bank dan
pihak ketiga;
52 R. Serfianto D.P, Dkk, 2012, Untung Dengan Kartu Kredit, Kartu ATM-Debit, dan Uang Elektronik, Visi Media Pustaka, Jakarta, Hal. 129.
7. Kartu harus menggunakan teknologi chip, tanda tangan nasabah, dan
penggunaan PIN enam digit;
8. Bank Indonesia meminta pembayaran cicilan minimal 10% (sepuluh
persen) dari total tagihan;
9. Batas tarik tunai maksimal Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) per hari;
10. Bank Indonesia mewajibkan bank mengirim ringkasan transaksi kartu
kredit nasabah secara tahunan.
Gambar 1. Contoh Kartu Kredit (Credit Card)
1.2.2. Kartu ATM (Automated Teller Machines) dan/atau Kartu Debit (Debit
Card)
Kartu ATM dan kartu debit adalah kartu pembayaran yang merupakan
gabungan antara kartu ATM dan kartu debit, sehingga memiliki lebih banyak
fungsi dari kartu ATM biasa. Kartu ATM dan kartu debit merupakan kartu khusus
yang diberikan oleh bank kepada pemilik rekening yang dapat digunakan untuk
bertransaksi secara elektronis pada rekening tersebut, yang pada saat kartu
tersebut digunakan untuk bertransaksi akan mengurangi dana yang tersedia pada
rekening tersebut.
Kartu ATM dan kartu debit adalah sebuah kesatuan dalam satu kartu,
perbedaan penyebutannya dikarenakan dari penggunaannya yang multifungsi.
Sebuah kartu dapat dikatakan sebagai kartu ATM jika kartu tersebut digunakan
untuk melakukan transaksi pada mesin ATM, khususnya ditujukan untuk
mengambil dana. Jika kartu tersebut digunakan untuk melakukan transaksi
pembayaran dan pembelanjaan non tunai dengan menggunakan mesin Electronic
Data Capture (EDC) yang tersedia pada layanan pedagang (merchant) maka kartu
tersebut dikenal sebagai kartu debet.53
Pengaturan mengenai kartu ATM dan kartu debit ini sama dengan kartu kredit
yaitu pada Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/2/PBI/2012 tentang Perubahan
Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan
Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu, yaitu untuk Kartu ATM dalam
Pasal 1 angka 5 adalah alat pembayaran menggunakan kartu yang dapat
digunakan untuk melakukan penarikan tunai dan/atau pemindahan dana dimana
kewajiban pemegang kartu dipenuhi seketika dengan mengurangi secara langsung
simpanan pemegang kartu pada Bank atau Lembaga Selain Bank yang berwenang
untuk menghimpun dana sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Kartu debit pada Pasal 1 angka 6 adalah alat pembayaran menggunakan kartu
yang dapat digunakan untuk melakukan pembayaran atas kewajiban yang timbul
53 Bank Indonesia, Mengenal Kartu Debit dan ATM, available from : URL : http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/BBE21279-B059-4C04-BBE8-E2D58360DB06/1465/MengenalKartuDebitdanATM.pdf, diakses pada tanggal 12 Juli 2013.
dari suatu kegiatan ekonomi, termasuk transaksi pembelanjaan, dimana kewajiban
pemegang kartu dipenuhi seketika dengan mengurangi secara langsung simpanan
pemegang kartu pada Bank atau Lembaga Selain Bank yang berwenang untuk
menghimpun dana sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Pemegang kartu ATM akan diberikan PIN (Personal Identification Number)
yang bersifat sangat rahasia untuk menjaga keamanan dan otorisasi transaksi. Jika
akan dipergunakan sebagai kartu debit, maka selain otorisasi PIN diperlukan juga
otorisasi tandatangan seperti kartu kredit. Kartu ATM dan kartu debit ini
berfungsi sebagai alat bantu untuk melakukan transaksi dan memperoleh
informasi perbankan secara elektronis. Jenis transaksi yang dapat dilakukan
adalah penarikan tunai, setoran tunai, transfer dana, pembiayaan, pembelanjaan,
termasuk juga informasi saldo dan informasi kurs.
Penyelenggaraan pembayaran menggunakan kartu ATM dan kartu debit sama
dengan kartu kredit yang melibatkan pihak pemegang kartu, principal, acquirer,
pedagang (merchant), perusahaan switching, penyelenggara kliring, dan
penyelenggara penyelesaian akhir. Penerbit wajib menerapkan perlindungan
nasabah dalam menyelenggarakan kegiatan alat pembayaran menggunakan
kartuyang antara lain dilakukan dengan menyampaikan informasi tertulis kepada
pemegang kartu atas alat pembayaran menggunakan kartu yang diterbitkan.
Penerbit kartu ATM dan/atau kartu debit wajib memberikan informasi tertulis
kepada pemegang kartu, dalam Surat Edaran Bank Indonesia Nomor
11/10/DASP/2009 tentang penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan
Menggunakan Kartu meliputi hal-hal berikut :
1. Prosedur dan tata cara penggunaan kartu, fasilitas yang melekat pada kartu,
dan risiko yang mungkin timbul dari penggunaan kartu tersebut.
2. Hak dan kewajiban pemegang kartu, paling kurang meliputi hal-hal sebagai
berikut :
a) Hal-hal penting yang harus diperhatikan oleh pemegang kartu dalam
penggunaan kartunya, termasuk segala konsekuensi atau risiko yang
mungkin timbul dari penggunaan kartu. Misalnya, tidak memberikan PIN
kepada orang lain dan berhati-hati saat melakukan transaksi melaluii
mesin ATM;
b) Hak dan tanggung jawab pemegang kartu apabila terjadi berbagai hal yang
mengakibatkan kerugian bagi pemegang kartu dan/atau penerbit, baik
yang disebabkan karena adanya pemalsuan kartu, kegagalan sistem
penerbit, atau sebab lainnya;
c) Jenis dan besarnya biaya yang dikenakan;
d) Tata cara dan konsekuensi jika pemegang kartu tidak lagi berkeinginan
menjadi pemegang kartu.
3. Tata cara pengajuan pengaduan yang berkaitan dengan penggunaan kartu dan
perkiraan waktu penanganan pengaduan tersebut.
Penerbit wajib meningkatkan keamanan alat pembayaran menggunakan kartu
guna mencegah dan mengurangi tingkat kejahatan di bidang penggunaan alat
pembayaran menggunakan kartu. Hal ini juga bertujuan untuk meningkatkan
kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan dalam penggunaan alat pembayaran
non tunai.
Peningkatan keamanan dilakukan terhadap seluruh infrasruktur teknologi
yang terkait dengan penyelenggaraan alat pembayaran menggunakan kartu, yang
dalam Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/10/DASP/2009 tentang
Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Menggunakan Kartu meliputi
pengamanan pada kartu dan pengamanan pada seluruh sistem yang digunakan
untuk memproses transaksi alat pembayaran menggunakan kartu tersebut, yaitu :
a. Peningkatan keamanan kartu dilakukan dengan menggunakan teknologi
chip (integrated circuit) yang mempunyai kemampuan untuk menyimpan
dan/atau memproses data, sehingga pada kartu dapat ditambahkan aplikasi
untuk kepentingan pengamanan pemprosesan data transaksi.
b. Peningkatan keamanan mesin electronic data capture (EDC) pada pedagang
(merchant), keamanan mesin ATM, dan keamanan pada sistem pendukung
dan memproses transaksi (back end system) yang berada pada penerbit,
acquirer, dan/atau third party processor lainnya, dilakukan dengan cara
menyediakan mesin dan sistem yang dapat memproses kartu dengan
teknologi chip sebagaimana dimaksud huruf a.
c. Khusus untuk kartu ATM dan karti debit yang diterbitkan di Indonesia,
jumlah digit PIN paling sedikit 4 (empat) digit.
Berbeda dengan kartu kredit, penggunaan kartu debit secara otomatis
langsung memotong saldo tabungan. Mekanismenya sama dengan penarikan uang
tunai dari mesin ATM dengan menggunakan kartu ATM, kartu ATM-Debit juga
akan memotong saldo ketika digunakan untuk melakukan pembayaran transaksi
belanja di berbagai took (merchant). Apabila saldo sudah habis, kartu ATM-Debit
tersebut secara otomatis tidak dapat digunakan lagi hingga penggunanya mengisi
saldonya kembali. Hal inilah yang membuat penggunaan kartu debit lebih aman
dan terkendali dibandingkan penggunaan kartu kredit yang bersifat hutang.
Gambar 2. Contoh Kartu ATM (Automated Teller Machine) dan/atau Kartu Debit (Debit Card)
2. Dasar Hukum Sistem Pembayaran Menggunakan Kartu dan Uang
Elektronik
Tidak semua kartu dapat digolongkan sebagai alat pembayaran menggunakan
kartu dan juga uang elektronik. Kartu member pelanggan, kartu diskon atau kartu
voucher yang dikeluarkan oleh perusahaan-perusahaan retail tidak dapat
digolongkan sebagai alat pembayaran menggunakan kartu maupun uang
elektronik. Sebab kartu jenis ini tidak mensyaratkan adanya pengisian uang
melalui pulsa atau rekening di bank.
Alat pembayaran menggunakan kartu (kartu kredit, ATM/Debit) serta uang
elektronik diatur dalam sejumlah regulasi Peraturan Bank Indonesia (PBI),
sebagai berikut :
1. PBI Nomor 6/30/PBI/2004 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat
Pembayaran Menggunakan Kartu
2. PBI Nomor 7/52/PBI/2005 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat
Pembayaran Menggunakan Kartu
3. PBI Nomor 10/8/PBI/2008 tentang Perubahan atas PBI Nomor 7/52/PBI/2005
tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Menggunakan Kartu
4. PBI Nomor 10/4/PBI/2008 tentang Laporan Penyelenggaraan Kegiatan Alat
Pembayaran Menggunakan Kartu oleh Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan
Lembaga Selain Bank (LSB)
5. PBI Nomor 11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat
Pembayaran Menggunakan Kartu
6. PBI Nomor 11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik (Electronic Money)
7. PBI Nomor 14/2/PBI/2012 tentang Perubahan atas PBI Nomor 11/11/PBI/2009
tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Menggunakan Kartu
Alat pembayaran menggunakan kartu (kartu kredit, ATM/kartu debit) dan
uang elektronik (e-money) juga diatur dalam sejumlah Surat Edaran Bank
Indonesia (SE BI), yaitu :
1. SE BI Nomor 7/59/DASP/2005 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Kegiatan
Alat Pembayaran Menggunakan Kartu
2. SE BI Nomor 7/60/DASP/2005 tentang Prinsip Perlindungan Nasabah dan
Kehati-hatian serta Peningkatan Keamanan dalam Penyelenggaraan Kegiatan
Alat Pembayaran Menggunakan Kartu
3. SE BI Nomor 7/61/DASP/2005 tentang Pengawasan Penyelenggaraan
Kegiatan Alat Pembayaran Menggunakan Kartu
4. SE BI Nomor 8/18/DASP/2006 tentang Perubahan atas SE BI Nomor
7/60/DASP/2005 tentang Prinsip Perlindungan Nasabah dan Kehati-hatian
serta Peningkatan Keamanan dalam Penyelenggaraan Kegiatan Alat
Pembayaran Menggunakan Kartu
5. SE BI Nomor 10/04/UKMI/2008 tentang Laporan Penyelenggaraan Kegiatan
Alat Pembayaran Menggunakan Kartuoleh Bank Perkreditan Rakyat (BPR)
dan Lembaga Selain Bank (LSB)
6. SE BI Nomor 10/07/DASP/2008 tentang Pengawasan Penyelenggaraan
Kegiatan Alat Pembayaran Menggunakan Kartu
7. SE BI Nomor 10/20/DASP/2008 tentang Perubahan Kedua atas SE BI Nomor
7/60/DASP/2005 tentang Prinsip Perlindungan Nasabah dan Kehati-hatian
serta Peningkatan Keamanan dalam Penyelenggaraan Kegiatan Alat
Pembayaran Menggunakan Kartu
8. SE BI Nomor 11/10/DASP/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat
Pembayaran Menggunakan Kartu
9. SE BI Nomor 11/11/DASP/2009 tentang Uang Elektronik (Electronic Money)
10. SE BI Nomor 13/22/DASP/2011 tentang Implementasi Teknologi Chip dan
Penggunaan Personal Identification Number (PIN) pada Kartu ATM dan/atau
Kartu Debet yang Diterbitkan di Indonesia
Pada awalnya, Bank Indonesia menggolongkan kartu Kredit, Kartu ATM,
Kartu Debit, dan Kartu Prabayar (Uang Elektronik) dalam satu kategori yaitu alat
pembayaran menggunakan kartu. Namun sejak pemberlakuan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009 dan Peraturan Bank Indonesia Nomor
11/12/PBI/2009, terjadi perubahan dimana kartu kredit, kartu debit dan kartu
ATM digolongkan sebagai alat pembayaran menggunakan kartu, sedangkan kartu
prabayar digolongkan sebagai uang elektronik.
Perubahan penggolongan tersebut dilatarbelakangi bahwa uang elektronik
(electronic money / e-money) tidak hanya diterbitkan oleh bank tetapi juga
diterbitkan oleh lembaga selain bank. Selain itu, uang elektronik memiliki
perbedaan dengan alat pembayaran menggunakan kartu, karena pemegang kartu
uang elektronik tidak harus menjadi nasabah atau membuka rekening di bank
seperti pemegang alat pembayaran menggunakan kartu lainnya. Alat pembayaran
menggunakan uang elektronik telah berkembang pesat sehingga memerlukan
perhatian khusus dari sisi pengaturan dan pengawasan. Sehubungan dengan hal
tersebut, pengaturan uang elektronik (e-money) diatur lebih lengkap dalam
peraturan tersendiri yang terpisah dari pengaturan alat pembayaran menggunakan
kartu.
Penyelenggaraan kegiatan alat pembayaran menggunakan kartu yang
sebelumnya diatur dalam PBI Nomor 11/11/PBI/2009 telah mengalami perubahan
berdasarkan PBI Nomor 14/2/PBI/2012. Pembaharuan tersebut dikarenakan
banyaknya kasus pelanggaran dan tindak pidana terhadap kartu kredit. Perubahan
tersebut ditujukan untuk menyempurnakan regulasi kartu kredit yang dalam
pelaksanaannya telah menimbulkan sejumlah dampak negatif di masyarakat.
Penyempurnaan ini diperlukan dalam rangka mendorong pertumbuhan yang lebih
sehat dalam transaksi pembayaran menggunakan kartu dan menekan keluhan dari
pengguna alat pembayaran menggunakan kartu khususnya pemegang kartu kredit.
Penyelenggaraan alat pembayaran menggunakan kartu yang diselenggarakan
oleh bank wajib menerapkan manajemen risiko sesuai dengan peratusan Bank
Indonesia yang mengatur tentang manajemen risiko. Selain itu penyelenggara
berupa lembaga selain bank (LSB) yaitu perusahaan telekomunikasi, juga
diwajibkan menerapkan manajemen risiko sesuai ketentuan manajemen risiko
bagi LSB. Apabila belum mencantumkan ketentuan yang mengatur mengenai
manajemen risiko untuk LSB, penerapan manajemen risiko bagi LSB tunduk pada
ketentuan peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai manajemen risiko.
3. Uang Elektronik (E-Money)
3.1. Pengertian dan Dasar Hukum Uang Elektronik
Uang Elektronik (E-Money) pada awalnya lebih dikenal dengan sebutan kartu
penyimpan dana (Stored Value Card) yaitu sebuah kartu yang berfungsi untuk
menyimpan sebuah dana dengan jumlah yang telah didepositkan. Fungsinya
hamper sama dengan kartu debit, namun stored value card ini tidak menyimpan
identitas dari pengguna atau pemegang kartu (anonymous).
Nilai yang tersimpan dalam stored value card ini yang dinamakan uang
elektronik atau e-money. Uang elektronik diatur tersendiri dalam Peraturan Bank
Indonesia Nomor 11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik (Electronic Money).
Uang elektronik (e-money) merupakan alat pembayaran yang memenuhi unsur-
unsur yaitu :
a. Diterbitkan atas dasar nilai uang yang disetor terlebih dahulu oleh pemegang
kepada penerbit;
b. Nilai uang disimpan secara elektronik dalam suatu media seperti server atau
chip;
c. Digunakan sebagai alat pembayaran kepada pedagang (merchant) yang
bukan merupakan penerbit uang elektronik tersebut;
d. Nilai uang elektronik yang disetor oleh pemegang dan dikelola oleh penerbit
bukan merupakan simpanan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang
yang mengatur mengenai perbankan.
Dilihat dari media yang digunakan, ada dua tipe produk uang elektronik (e-
money) yaitu :54
1. Prepaid card/kartu prabayar/electronic purses, dengan karakteristik :
a. Nilai uang dikonversi menjadi nilai elektronis dan disimpan dalam suatu
chip (integrated circuit) yang tertanam pada kartu;
b. Mekanisme pemindahan dana dilakukan dengan cara memasukkan kartu
ke suatu alat card reader.
2. Prepaid software (disebut juga digital cash), dengan karakteristik :
a. Nilai uang dikonversi menjadi nilai elektronis dan disimpan dalam suatu
hard disk komputer yang terdapat dalam Personal computer (PC);
b. Mekanisme pemindahan dana dilakukan secara online melalui suatu
jaringan komunikasi seperti internet, pada saat melakukan pembayaran.
54 R. Serfianto, dkk, 2012, Untung Dengan Kartu Kredit, Kartu ATM-Debit, & Uang Elektronik, Visi Media, Jakarta, Hal. 98.
Penerbit dapat menerbitkan jenis uang elektronik yang mewajibkan
pendaftaran data identitas pemegang (registered), dan jenis yang tidak
memerlukan pendaftaran data identitas pemegang (unregistered). Pencatatan data
identitas pemegang paling sedikit memuat nama, alamat, tanggal lahir, dan data
lain sebagaimana tercantum pada buku identitas pemegang. Perolehan data
identitas pemegang dilakukan dengan menyediakan sarana atau formulir aplikasi
yang harus diisi calon pemegang disertai fotokopi identitas calon pemegang.
Keharusan pengisian data pemegang diperuntukkan bagi pemegang yang baru
pertama kali mengajukan sebagai pemegang dan penerbit sama sekali belum
mempunyai data lengkap, benar dan akurat mengenai identitas pemegang.
Melalui Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/11/DASP tanggal 13 April
2009 tentang Uang Elektronik (Electronic Money) dapat dilihat jenis-jenis dari
uang elektronik, yaitu :
Persamaan & Perbedaan Terdaftar
(registered)
Tidak Terdaftar
(unregistered)
Pencatatan identitas pemegang
Data identitas pemegang kartu uang elektronik tercatat dan terdaftar pada penerbit.
Data identitas pemegang kartu uang elektronik tidak tercatat pada penerbit / tidak harus menjadi nasabah penerbit.
Nilai uang elektronik yang tersimpan
Batas nilai uang elektronik yang tersimpan dalam media chip/server paling banyak sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah).
Batas nilai uang elektronik yang tersimpan dalam media chip/server paling banyak sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah).
Batas nilai transaksi Dalam 1 (satu) bulan Dalam 1 (satu) bulan
untuk setiap uang elektronik secara keseluruhan ditetapkan paling banyak transaksi sebesar Rp. 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah).
untuk setiap uang elektronik secara keseluruhan ditetapkan paling banyak transaksi sebesar Rp. 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah).
Jenis transaksi yang dapat digunakan
Meliputi transaksi pembayaran, transfer dana, dan fasilitas transaksi lainnya yang disediakan oleh Penerbit.
Meliputi transaksi pembayaran, transfer dana, dan fasilitas transaksi lainnya yang disediakan oleh Penerbit.
Tabel 1. Persamaan dan Perbedaan Uang Elektronik (Electronic Money) jenis Terdaftar (Registered) dan Tidak Terdaftar (Unregistered)
Mengenai profil dari uang elektronik, antara lain memuat informasi :
1. Merek (brand name) yang digunakan;
2. Spesifikasi teknis yang paling kurang memuat informasi mengenai media
penyimpan data elektronis dan fitur keamanan (security features);
3. Mekanisme pengelolaan uang elektronik yang memuat informasi mengenai
penerbitan, pengisian ulang, redeem, dan penagihan oleh pedagang
(merchant).
Uang Elektronik (e-money) harus memuat transparansi produk. Penerbit harus
memberikan informasi secara tertulis kepada Pemegang atas uang elektronik yang
diterbitkan. Informasi tersebut wajib disampaikan dengan menggunakan Bahasa
Indonesia yang jelas dan mudah dimengerti, ditulis dalam huruf dan angka yang
mudah dibaca oleh pemegang kartu. Informasi tersebut sesuai dengan Surat
Edaran Bank Indonesia Nomor 11/11/DASP tentang Uang Elektronik (Electronic
Money) memuat hal-hal sebagai berikut :
a. Informasi bahwa uang Elektronik bukan merupakan simpanan sebagaimana
dimaksud dalam undang-undang mengenai perbankan sehingga Nilai Uang
Elektronik tidak dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
b. Prosedur dan tata cara penggunaan Uang Elektronik, fasilitas yang melekat
pada Uang Elektronik seperti pengisian ulang, transfer dana, tarik tunai dan
redeem serta risiko yang mungkin timbul dari penggunaan Uang Elektronik.
c. Hak dan kewajiban Pemegang, meliputi :
1) Hal-hal yang penting yang harus diperhatikan Pemegang dalam
penggunaan Uang Elektronik seperti masa berlaku media Uang Elektronik,
jika ada, dan hak serta kewajiban Pemegang atas berakhirnya masa berlaku
media Uang Elektronik;
2) Hak dan kewajiban Pemegang jika terjadi hal-hal yang mengakibatkan
kerugian bagi Pemegang dan/atau Penerbit, baik yang disebabkan oleh
kegagalan sistem atau sebab lainnya; dan
3) Jenis dan besarnya biaya yang digunakan.
d. Tata cara pengajuan pengaduan yang berkaitan dengan penggunaan Uang
Elektronik dan perkiraan lamanya waktu penanganan pengaduan tersebut.
e. Tata cara dan konsekuensi penggunaan produk termasuk tata cara
pengembalian seluruh Nilai Uang Elektronik yang tersisa pada Uang
Elektronik pada saat Pemegang mengakhiri penggunaan Uang Elektronik
(redeem).
Penerbit dapat menetapkan masa berlaku media Uang Elektronik antara lain
dengan pertimbangan adanya batas usia teknis dari media Uang Elektronik yang
digunakan. Dengan berakhirnya masa berlaku media Uang Elektronik, nilai uang
elektronik yang masih tersisa dalam media tersebut tidak serta merta menjadi
hapus. Pemegang memiliki hak tagih atas sisa nilai uang elektronik yang terdapat
dalam media tersebut sampai dengan jangka waktu sebagaimana diatur dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, sepanjang masih terdapat sisa nilai uang
elektronik pada media tersebut.pemenuhan hak tagih atas sisa nilai uang
elektronik tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain dengan
memindahkan sisa nilai uang elektronik tersebut ke dalam media yang baru.
Pemenuhan hak taggih tersebut dapat dikurangi dengan biaya administrasi yang
dikenakan oleh Penerbit kepada Pemegang Kartu Uang Elektronik.
3.2. Para Pihak Dalam Transaksi E-Money
Sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/12/PBI/2009 tentang
uang elektronik (electronic money) maka dapat dilihat pihak-pihak dalam
transaksi uang elektronik ini yaitu :
1. Prinsipal
Bank atau Lembaga Selain Bank yang bertanggung jawab atas pengelolaan
sistem dan/atau jaringan antar anggotanya, baik yang berperan sebagai penerbit
dan/atau acquirer, dalam transaksi uang elektronik yang kerjasama dengan
anggotanya didasarkan atas suatu perjanjian tertulis.
2. Penerbit
Bank atau Lembaga Selain bank yang menerbitkan uang elektronik.
3. Acquirer
Bank atau Lembaga Selain Bank yang melakukan kerjasama dengan pedagang,
yang dapat memproses data uang elektronik yang diterbitkan oleh pihak lain.
4. Pemegang
Pihak yang menggunakan uang elektronik.
5. Pedagang (Merchant)
Penjual barang dan/atau jasa yang menerima transaksi pembayaran dari
pemegang.
6. Penyelenggara Kliring
Bank atau Lembaga Selain Bank yang melakukan perhitungan hak dan
kewajiban keuangan masing-masing penerbit dan/atau acquirer dalam rangka
transaksi uang elektronik.
7. Penyelenggara Penyelesaian kliring
Bank atau Lembaga Selain Bank yang melakukan dan bertanggung jawab
terhadap penyelesaian akhir atas hak dan kewajiban keuangan masing-masing
penerbit dan/atau acquirer dalam rangka transaksi uang elektronik berdasarkan
hasil perhitungan dan penyelenggara kliring.
Bank yang dimaksud adalah Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan, termasuk kantor cabang bank asing di Indonesia dan Bank Umum
Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah sebagaimana dalam undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Lembaga Selain Bank
merupakan badan usaha bukan bank yang berbadan hukum dan didirikan
berdasarkan Hukum Indonesia.
Bank atau Lembaga Selain Bank yang mengajukan permohonan ijin untuk
menjadi Prinsipal, Penerbit maupun Acquirer wajib memperoleh ijin dari Bank
Indonesia. Permohonan tersebut diajukan secara tertulis sesuai dengan Surat
Edaran Bank Indonesia Nomor 11/11/DASP tentang Uang Elektronik (Electronic
Money), untuk Prinsipal harus memuat informasi berupa jenis kegiatan Uang
Elektronik yang akan disleenggarakan; rencana waktu dimulainya kegiatan; dan
nama jaringan yang akan digunakan. Untuk menjadi penerbit, harus memuat
informasi berupa jenis kegiatan uang Elektronik yang akan diselenggarakan;
rencana wakru dimulainya kegiatan; dan nama produk yang akan digunakan.
Permohonan ijin sebagai acquirer memuat informasi rencana waktu dimulainya
kegiatan; nama dan jumlah Prinsipal, Penerbit, Penyelenggara Kliring,
Penyelenggara Penyelesaian Akhir, dan/atau pihak lain yang bekerjasama; dan
nama dan jumlah Pedagang yang akan bekerjasama. Permohonan ijin sebagai
Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir memuat
informasi rencana waktu dimulainya kegiatan sebagai Penyelenggara Kliring
dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir; nama dan jumlah Prinsipal, Penerbit,
Acquirer dan/atau pihak lain yang akan bekerjasama; serta nama atau merek
dagang yang akan digunakan.
Hubungan antara Penerbit, Pemegang dan Pedagang (Merchant) merupakan
hubungan terpenting dalam transaksi uang elektronik. Nilai elektronik dapat
diperoleh dengan menukarkan sejumlah uang tunai atau melalui pendebetan
rekening pada bank penerbit untuk kemudian disimpan dalam bentuk kartu e-
money. Pemindahan nilai elektronik terjadi apabila ada transaksi pembayaran
yang dilakukan pada pedagang (merchant) melalui suatu mesin khusus untuk
kartu (card reader). Mekanisme hubungan para pihak dalam penggunaan kartu
uang elektronik (e-money) dapat ditunjukkan dalam bagan yaitu :
Tabel 2. Mekanisme Hubungan Penerbit, Pemegang dan Merchant dalam transaksi uang elektronik
Penjelasan :
(1) Pemegang akan melakukan pembelian kartu e-money dengan sejumlah
nilai yang diinginkan dengan menginstruksikan bank penerbit untuk
mendebit rekeningnya atas pembelian nilai elektronik pada e-money
tersebut.
(2) Atas dasar instruksi tersebut, bank penerbit kemudian mendebit rekening
pemegang dan mengkredit atau memindahkan ke rekening penampungan
Bank Penerbit E-Money
Rekening Merchant
Rekening Penampungan Bank Penerbit
Rekening Nasabah atau
Pemegang
(5) Transfer antar rekening
(2) Transfer antar rekening
Merchant Pemegang
Kartu E-Money
(1) Instruksi pembelian nilai elektronik
(2) Bank menerbitkan E-Money
(4) Penyetoran nilai elektronik
(3) Nilai Elektronik
(3) Barang/jasa
dan bersamaan dengan itu memasukkannya menjadi nilai elektronik ke
dalam kartu e-money untuk diserahkan dan digunakan oleh pemegang.
(3) Pemegang kemudian melakukan transaksi pembayaran dengan pedagang
(merchant) dengan menggunakan kartu e-money miliknya. Atas transaksi
tersebut, nilai elektronik pada kartu akan berpindah ke pedagang melalui
peralatan card reader bersamaan dengan bertukarnya barang atau jasa dari
pedagang ke pemegang.
(4) Nilai uang elektronik yang ada pada pedagang akan berpindah ke rekening
pedagang yang ada pada bank penerbit.
(5) Nilai uang elektronik pemegang yang tersimpan pada rekening
penampungan bank penerbit akan berpindah melalui proses transfer ke
rekening pedagang (merchant).
Pengembangan uang elektronik (e-money) tergantung pada insentif yang akan
diperoleh berbagai pihak yang terkait seperti Penerbit, Pemegang kartu, maupun
Pedagang (Merchant). Bagi Penerbit potensi keuntungan yang dapat diperoleh
dalam menerbitkan e-money antara lain pendapatan atas fee yang dikenakan
kepada pemegang kartu dan pedagang; pendapatan atas investasi yang diperoleh
dari outstanding dana yang terhimpun; dan efisiensi atas berkurangnya biaya
pengelolaan kas dalam hal penerbit e-money adalah Bank. Bagi Pemegang Kartu
E-Money, keinginan untuk menggukanak e-money dipengaruhi oleh beberapa
faktor yaitu besarnya fee yang harus dibayar disbanding dengan instrument
pembayaran lainnya; privasi dan tingkat keamanan e-money; kemudahan
pemakaiannya; dan luas tidaknya penerimaan oleh pedagang (merchant). Bagi
Pedagang (Merchant) sendiri, keinginan untuk menerima pembayaran dalam
bentuk e-money dipengaruhi oleh besarnya fee yang dikenakan oleh penerbit;
biaya pengadaan peralatan; dan efisiensi atas berkurangnya biaya pengelolaan
kas.55
3.3. Perbedaan Uang Elektronik dengan Alat Pembayaran Menggunakan
Kartu
Uang elektronik dalam pengaplikasiannya pada sebuah alat pembayaran lebih
dikenal dengan sebutan sebagai stored value/prepaid cash card (kartu prabayar)
dibedakan dengan alat pembayaran menggunakan kartu (krartu kredit, kartu ATM
dan/atau kartu debit) karena metode penggunaannya yang berbeda dengan kartu
kredit dan kartu ATM/Debit. Uang elektronik merupakan suatu kegiatan prabayar
antara pemegang kartu dan penerbit, dimana pemegang kartu mendepositkan
terlebih dahulu sejumlah dana kepada server penerbit sebelum menggunakan
kartu e-money tersebut. Karena sifatnya yang demikian maka pengaturan
mengenai uang elektronik dipisahkan dari pengaturan alat pembayaran
menggunakan kartu.
Perbedaan alat pembayaran menggunakan kartu yaitu kartu kredit, kartu
ATM dan/atau Kartu Debit, dengan Uang Elektronik dapat diterangkan dalam
tabel perbedaan yaitu :
55 Bank Indonesia, 2001, Paper Kajian E-Money, Bank Indonesia, Jakarta, Hal. 9-10.
PERBEDAAN KARTU KREDIT KARTU ATM / KARTU DEBIT
UANG ELEKTRONIK
Letak Dana Pembiayaan oleh bank penerbit
Deposit atau tabungan pada bank penerbit
Prabayar dan tersimpan pada media pembayaran
Keterlibatan Bank Penerbit
Pembayaran dengan mneggunakan rekening kartu kredit
Pembayaran dilakukan dengan rekening yang terdapat pada bank penerbit
Pembayaran dengan menggunakan rekening yang ada pada media kartu
Informasi Pemegang Kartu
Otorisasi merchant dan penerbit
Menggunakan identitas pemilik rekening di bank penerbit
Tanpa identitas (anonymous)
Otorisasi Transaksi
Menggunakan tanda tangan pemegang kartu
Menggunakan PIN (Personal Identification Number) dan tanda tangan pemegang kartu
Tanpa otorisasi PIN (Personal Identification Number) maupun tanda tangan
Risiko Penyalahgunaan
Sebagian besar ditanggung oleh bank penerbit
Pemegang kartu atau pemilik rekening menanggung sebagian risiko
Pemegang kartu menanggung seluruh risiko
Limit Pembayaran Tergantung perjanjian antara pemegang kartu dan bank penerbit
Tergantung dari jumlah saldo pada rekening pemegang kartu
Tergantung dari deposit yang ada pada kartu tersebut
Tingkat Popularitas
Paling popular karena dapat digunakan secara internasional
Hanya lokal dan nasional
Cara pembayaran elektronik paling baru dan belum banyak digunakan
Tabel 3. Perbedaan Alat Pembayaran Menggunakan Kartu dan Uang Elektronik
4. Uang Elektronik dan Perkembangannya di Indonesia
Uang elektronik (e-money) yang diterbitkan saat ini ada yang berbasis chip
(chip base) seperti kartu prabayar dan ada pula yang berbasis server (server base)
seperti uang elektronik yang dapat diakses melalui telepon seluler (handphone).
Saat ini uang elektronik (e-money) baru diterbitkan oleh 11 penerbit yang terdiri
dari satu Bank Pembangunan Daerah (BPD), lima Bank Umum dan lima Lembaga
Selain Bank (perusahaan telekomunikasi). Penerbit-penerbit uang elektronik
tersebut yaitu :
1. Bank DKI Jakarta (Jak Card)
2. Bank Central Asia Tbk (Flazz)
3. Bank Mandiri (Persero) Tbk (Indomaret Card; Gaz Card; dan E-Toll Card)
4. Bank Mega Tbk (Studio Pass Card dan Smart Card)
5. Bank BNI (Persero) Tbk (Java Jazz Card dan Kartuku)
6. Bank BRI (Persero) Tbk (BRIZZI)
7. PT. Indosat (Dompetku)
8. PT. Skye Sab Indonesia (Skye Card)
9. PT. Telkom (Persero) (Flexy Cash dan i-Vas Card)
10. PT. Telkomsel (T-Cash)
11. PT. XL Axiata Tbk (XL Tunai)
Bank BRI (Persero) Tbk menerbitkan uang elektronik bermerek (brand name)
BRIZZI. Uang elektronik ini termasuk ke dalam unregistered jadi untuk menjadi
pemegang kartu bisa diperoleh siapa saja tanpa perlu menjadi nasabah dari Bank
BRI. Uang elektronik tersebut bisa diisi ulang dimanapun, proses isi ulang
BRIZZI dapat dilakukan melalui ATM BRI, ATM Bank lain
(Prima/Link/Bersama), internet banking BRI, mobile banking BRI, dan seluruh
penjual (merchant) BRIZZI. Kartu BRIZZI ini dapat digunakan untuk berbagai
macam transaksi seperti belanja barang/jasa, makan di restoran, pembayaran
rekening listrik atau telepon, pembelian tiket pesawat terbang atau kereta api, dan
pembayaran parkir.
Gambar 3. Kartu BRIZZI BRI tampak depan dan tampak belakang
Bank BCA menerbitkan uang elektronik dengan brand name Flazz yang
dapat digunakan untuk berbagai transaksi kecil. Flazz BCA memberikan
kecepatan, kemudahan, kepraktisan bertransaksi. Cepat karena transaksi
pembayaran dilakukan dengan cara contactless (tidak perlu digesek seperti kartu
kredit, cukup diletakkan atau ditempelkan pada mesin reader). Memberikan
kemudahan dan praktis karena tidak perlu membawa uang tunai untuk transaksi
dengan nilai kecil, serta tanpa dikenakan biaya transaksi. Berbeda dengan kartu
BRIZZI BRI, Flazz BCA hanya bisa melakukan pengisian ulang pada ATM BCA
saja, jadi pemegang kartu Flazz BCA harus mempunyai rekening pada bank
penerbit yaitu BCA agar dapat melakukan pengisian nilai uang elektronik pada
kartu Flazz.
Gambar 4. Kartu Flazz BCA tampak depan dan tampak belakang
Uang elektronik yang dikeluarkan perusahaan telekomunikasi metode
layanannya relatiff sama. Pelanggan terlebih dahulu mengisi rekening pulsa mulai
dari puluhan ribu, ratusan ribu, hingga jutaan rupiah. Rekening ini akan tersimpan
dalam server milik operator seluler. Pelanggan atau pemilik telepon seluler dapat
menggunakan pulsa untuk bertransaksi di gerai-gerai tertentu yang sudah
bekerjasama dengan operator. Pulsa yang selama ini hanya bisa digunakan untuk
telepon maupun mengirim pesan kini bisa digunakan untuk berbelanja tanpa perlu
repot membawa dompet. Kini dengan uang elektronik via pulsa berbagai transaksi
bisa dilakukan menggunakan ponsel.
T-Cash merupakan salah satu produk uang elektronik yang diterbitkan oleh
perusahaan telekomunikasi yaitu Telkomsel. Semua informasi dan transaksi
dilakukan melalui ponsel pribadi. Registrasi awal juga dilakukan melalui
pengiriman pesan di ponsel. Ada dua jenis pelayanan pelanggan dalam T-Cash,
untuk pelanggan basic service batas transaksi sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta
rupiah), sedangkan untuk pelanggan full service batas transaksi sebesar Rp.
5.000.000,- (lima juta rupiah). Selain untuk berbelanja barang dan/atau jasa,
produk Telkomsel T-Cash ini juga bisa digunakan untuk melakukan pembayaran
kartu prabayar telepon seluler HALO, tagihan telkomvision, listrik, air, Telkom,
tagihan layanan internet speedy, penarikan tunai di beberapa gerai hingga
mengirimkan uang. Pengisian saldo dilakukan melalui ATM Bank BNI dengan
memasukkan nomor ponsel dan nominal pengisian saldo.
BAB III
TRANSAKSI MELALUI UANG ELEKTRONIK DALAM PERSPEKTIF
HUKUM INDONESIA
1. Sistem Hukum Transaksi Elektronik di Indonesia
Penegakan dan penerapan hukum khususnya di Indonesia seringkali
menghadapi kendala berkenaan dengan perkembangan masyarakat yang lebih
cepat dari perkembangan aturan perundang-undangan, sehingga perkembangan
dalam masyarakat menjadi titik tolak dari keberadaan suatu peraturan. Bila
dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan khususnya mengenai
perlindungan terhadap pemegang kartu uang elektronik dalam transaksi e-money,
bahwa hukum harus dapat merespon perubahan yang terjadi, artinya peraturan
tersebut harus dapat mengakomodir permasalahan yang timbul dari adanya
perkembangan zaman melalui penyempurnaan peraturan perundang-undangan
khususnya dalam hal perlindungan hukum terhadap pemegang kartu uang
elektronik.
Pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhatikan norma
hukum yang merupakan dasar terkuat dalam pembentukan peraturan perundang-
undangan, termasuk asas hukum sebagai patokan dari norma. Peraturan
perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan lain yang lebih tinggi tingkatannya. Materi muatan peraturan
perundang-undnagan adalah materi yang dimuat dalam pertauran perundang-
undangan sesuai dengan jenis, fungsi, dan hierarki peraturan perundang-
undangan. Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan, pada Pasal 7 ayat (1) dijelaskan jenis dan
hierarki peraturan perundang-undangan yaitu :
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
c. Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi;
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus dilakukan
berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik,
yang dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan meliputi :
1. Kejelasan tujuan
Setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan
yang jelas yang hendak dicapai.
2. Kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat
Setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga Negara
atau pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan yang berwenang.
Peraturan perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi
hukum apabila dibuat oleh lembaga Negara atau pejabat yang berwenang.
3. Kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan
Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus benar-benar
memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki
peraturan perundang-undangan.
4. Dapat dilaksanakan
Setiap pembentukan peraturan perundnag-undangan harus memperhitungkan
efektivitas peraturan perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik
secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis.
5. Kedayagunaan dan kehasilgunaan
Setiap peraturan perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar
dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
6. Kejelasan rumusan
Setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis
penyusunan peraturan perundnag-undangan, sistematika, pilihan kata atau
istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidka
menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.
7. Keterbukaan
Pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan,
penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan
bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian seluruh masyarakat
mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan
dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
Jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan, lebih lanjut dalam Pasal 8 disebutkan mencakup juga
peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah
Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia,
Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan
Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. Peraturan
perundang-undangan tersebut diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan
mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
Produk hukum yang dibuat harus dapat diterima oleh masyarakat. Tolok ukur
yang dapat digunakan untuk mengetahui penerimaan masyarakat adalah :56
1. Peraturan perundang-undangan harus disosialisasikan mulai saat perancangan
hingga proses pelaksanaannya.
2. Kesadaran hukum dan kesadaran sosial di dalam masyarakat harus dijadikan
jiwa dalam peraturan yang dibuat.
3. Rancangan peraturan perundang-undangan yang dibuat harus mengatur
keinginan masyarakat dan mampu mengakomodir keinginan semua golongan
masyarakat yang bersangkutan.
Agar hukum atau peraturan dapat bertindak dengan baik, maka peraturan
tersebut harus mematuhi atau mengikatkan diri secara ketat kepada syarat-syarat
yang merupakan asas-asas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan
menurut Lon L. Fuller yaitu : 57
“The criteria which Fuller argues must be in order for something which can truly be called a legal system to exist are generality, promulgation, non-retroactivity, clarity, non-contradiction, not requiring the impossible, constancy throught time and finally, congruence between official action and the declared rule”.
(Kriteria menurut Fuller kemukakan harus dipenuhi agar dapat disebut sistem hukum yang ada adalah umum, perundangan, non-retroaktif, kejelasan, non-kontradisi, tidak memerlukan yang tidak mungkin, keteguhan melalui waktu dan akhirnya, kesesuaian resmi tindakan dan aturan diumumkan).
56 Supardan Modeong, 2003, Teknik Perundang-Undangan di Indonesia, PT. Perca, Jakarta,
Hal. 74-75. 57 Ian Mcleod, 2003, Legal Theory, Queen Mary Centre for Commercial Law Studies,
University of London, Hal. 105.
Adapun penjelasan mengenai kriteria yang dikemukanan oleh Fuller adalah :
58
1. … a failure to achieve rule at all, so that every issue must be decided on an
ad hoc base : peraturan harus berlaku juga bagi pengusaha, harus ada
kecocokan atau konsistensi antara peraturan yang diundangkan dengan
pelaksanaannya, dituangkan dalam aturan-aturan yang berlaku umum, artinya
suatu sistem harus mengandung peraturan-peraturan dan tidak boleh sekedar
mengandung keputusan yang bersifat sementara atau ad hoc.
2. A failure to publicize legislation, or at least, to make available to the affected
party, the rules he is expected to observe : aturan-aturan yang telah dibuat
harus diumumkan kepada mereka yang menjadi objek pengaturan aturan-
aturan tersebut.
3. The abuse of retroactive legislation, which not only cannot it self guide
action, but under it’s the integrity of rules prospective in effect, since it puts
them under the threat of retrospective change : tidak boleh ada peraturan
yang memiliki daya laku surut atau harus non retroaktif, karena dapat
merusak integritas peraturan yang ditujukan untuk berlaku bagi waktu yang
akan datang.
4. A failure to make rules understandable : dirumuskan secara jelas, artinya
disusun dalam rumusan yang dapat dimengerti.
58 Lon L. Fuller, 1963, The Morality of Law, Haven and London Yale University Press, Hal.
39.
5. The enactment of contradictiory rules : tidak boleh mengandung aturan-
aturan yang bertentangan satu sama lain.
6. Rules that require conduct beyond the powers of the affected party : tidak
boleh mengandung beban atau persyaratan yang melebihi apa yang dapat
dilakukan.
7. Introducing such frequent changes in the rules : memperkenalkan perubahan
sering seperti dalam aturan, artinya ketentuan bahwa hukum harus konstan
atau konsisten di setiap waktu tidak mutlak, karena hukum harus merespon
perubahan yang terjadi di setiap waktu.
8. Administered in a way sufficiently congruent with their wording so that
individuals can abide by them : diberikan dalam cara yang cukup kongruen
dengan kata-kata mereka sehingga individu dapat mematuhi mereka.
Dalam kaitannya dengan uang elektronik (e-money), pembentukan peraturan
perundang-undangan harus berlaku juga bagi pelaku usaha atau penerbit, harus
ada kecocokan atau konsistensi antara peraturan yang diundangkan dengan
pelaksanaannya. Aturan-aturan tersebut harus diumumkan dan dirumuskan secara
jelas dan dapat dimengerti oleh pemegang kartu sebagai objek dari pengaturan
tersebut.
Dilihat dari hierarki pembentukan peraturan perundang-undangan sesuai
dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan, dilihat dari objek pengaturannya maka pembentukan
pengaturan uang elektronik sebagai alat pembayaran harus sesuai dengan tata
urutan peraturan dan pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat. Peraturan-
peraturan yang berkaitan dengan pembentukan pengaturan uang elektronik adalah
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik; Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen; Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia. Bank Indonesia selaku Bank Sentral kemudian
mengeluarkan aturan sesuai dengan kewenangannya dalam bentuk Peraturan Bank
Indonesia mengenai Uang Elektronik yaitu Peraturan Bank Indonesia Nomor
11/12/PBI/2009 Tahun 2009 tentang Uang Elektronik (Electronic Money).
Sistem transaksi elektronik merupakan sistem komputer yang mencakup
perangkat keras dan lunak dari komputer, termasuk mencakup jaringan
telekomunikasi atau sistem komunikasi elektronik. Keberadaan sistem informasi
ini merupakan penerapan teknologi informasi yang berbasis jaringan
telekomunikasi dan media elektronik yang berfungsi merancang, memproses,
menganalisis, menampilkan, dan mengirimkan atau menyebarluaskan informasi
elektronik. Kegiatan transaksi melalui media sistem elektronik merupakan
kegiatan virtual yang berdampak sangat nyata meskipun alat buktinya bersifat
elektronik.59
59 Niniek Suparni, 2009, CyberspacePeoblematika dan Antisipasi Pengaturannya, Sinar
Grafika, Jakarta, Hal. 110-111.
Permasalahan hukum dalam sistem elektronik akan terjadi apabila sistem
pembayaran elektronik yang digunakan untuk melaksanakan transaksi elektronik
(pembayaran) mengalami kegagalan dan mengakibatkan kerugian. Jika terjadi hal
demikan maka siapa yang harus bertanggung jawab terhadap kegagalan pada
transaksi tersebut. Pemahaman terhadap bentuk tanggung jawab penyelenggaraan
pembayaran elektronik menggunakan uang elektronik dimulai dari adanya
hubungan hukum yang terjadi antara penerbit dan pemegang kartu dalam suatu
kontrak atau perjanjian antara penerbit dan pemegang kartu e-money.
Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut Undang-Undang Informasi dan
Transaksi Elektronik) selain mengatur masalah mengenai informasi dan
penggunaannya, juga peraturan yang mengatur mengenai transaksi elektronik.
Pada pasal 3 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik diatur mengenai
asas dan tujuan sebagai alat untuk menciptakan pemanfaatan teknologi informasi
dan transaksi elektronik yang baik yaitu :
1. Asas Kepastian Hukum, yang merupakan landasan hukum dalam
pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik termasuk segala
sesuatu yang mendukung penyelenggaraannya yang mendapatkan
pengakuan hukum.
2. Asas Manfaat, merupakan pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi
elektronik diupayakan untuk mendukung proses berinformasi.
3. Asas Kehati-hatian, merupakan landasan untuk memperhatikan segenap
potensi yang dapat mendatangkan kerugian dalam pemanfaatan teknologi
informasi dan transaksi elektronik.
4. Asas Itikad Baik, bahwa para pihak dalam melakukan transaksi elektronik
tidak dilakukan dengan tujuan merugikan pihak lain baik secara sengaja
dan tanpa hak atau melawan hukum.
5. Asas Kebebasan Memilih Teknologi atau Netral Teknologi, berarti
pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik tidak terfokus
pada pemanfaatan teknologi tertentu sehingga diharapkan mampu
mengikuti perkembangan teknologi di masa yang akan datang.
Penyelenggaraan sistem pembayaran elektronik pada pasal 15 dan 16
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik harus memiliki kemampuan
yang sesuai dengan kebutuhan penggunanya, sistem aman terlindungi secara fisik
(hardware / software) dan non fisik (communication), memiliki kemampuan
sesuai dengan spesifikasinya, serta ada subjek hukum yang bertanggung jawab
secara hukum terhadap penyelenggaraan sistem elektronik tersebut. Persyaratan
yang harus dipenuhi dalam penyelenggaraan sistem elektronik, antara lain :
a. Dapat menampilkan kembali informasi elektronik dan/atau dokumen
elektronik secara utuh sesuai dengan masa retensi yang ditetapkan dengan
peraturan perundang-undangan;
b. Dapat melindungi ketersediaan, keutuhan, keotentikan, kerahasiaan, dan
keteraksesan informasi elektronik penyelenggaraan sistem elektronik
tersebut;
c. Dapat beroperasi sesuai dengan prosedur atau petunjuk dalam
penyelenggaraan sistem elektronik;
d. Dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk yang diumumkan dengan
bahasa, informasi, atau symbol yang dapat dipahami oleh pihak yang
bersangkutan dengan penyelenggaraan sistem elektronik tersebut;
e. Memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga kebaruan,
kejelasan, dan bertanggungjawab atas prosedur atau petunjuk.
Penyelenggaraan kegiatan pembayaran melalui sistem elektronik juga
berkaitan erat dengan bank selaku penyelenggara kegiatan pembayaran
menggunakan e-money. Secara sederhana bank dapat diartikan sebagai lembaga
keuangan yang kegiatan usahanya adalah menghimpun dana dari masyarakat dan
menyalurkan kembali dana tersebut ke masyarakat serta memberikan jasa-jasa
bank lainnya. Sedangkan pengertian lembaga kuangan adalah setiap perusahaan
yang bergerak di bidang keuangan dimana kegiatannya menghimpun dana atau
menyalurkan dana atau keduanya.60 Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (selanjutnya disebut Undang-Undang Perbankan), pada pasal 1 angka 2
menjelaskan bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masayrakat
60 Kasmir, 2003, Dasar-Dasar Perbankan, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, Hal. 2-3.
dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya ke masayarakat dalam bentuk kredit
atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat
banyak.
Uang elektronik menurut pengertiannya merupakan nilai uang yang disimpan
secara elektronik yang diterbitkan oleh penerbit yaitu bank maupun lembaga
selain bank yang bukan merupakan simpanan sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Perbankan. Simpanan dalam Undang-Undang Perbankan pada
pasal 1 angka 5 adalah dana yang dipercayakan oleh masayrakat kepada bank
berdasarkan perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk giro, deposito, sertifikat
deposito, tabungan dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.
Meskipun bank merupakan penyelenggara dari kegiatan uang elektronik (e-
money), namun nilai uang pada uang elektronik tidak ada kaitannya dengan bank
karena nilai uang elektronik tersebut tidak ada kaitannya dengan dana nasabah di
bank penerbit. Hal ini menyebabkan nilai uang elektronik tersebut tidak dijamin
oleh lembaga penjamin simpanan, yaitu badan hukum yang menyelenggarakan
kegiatan penjaminan atas simpanan nasabah di bank. Namun hal ini tidak
mengurangi tanggung jawab bank selaku penyelenggara kegiatan uang elektronik.
Perlindungan terhadap penggunaan sistem pembayaran elektronik
menggunakan uang elektronik (e-money) sangat erat kaitannya dengan Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya
disebut Undang-Undang Perlindungan Konsumen). Pengaturan yang ada pada
Peraturan Bank Indonesia maupun mengenai Perbankan lebih mengatur dari sudut
kegiatan sistem pembayaran menggunakan uang elektronik dan dari sisi para
penyelenggara (pelaku usaha) kegiatan pembayaran uang elektronik. Dengan
adanya Undang-Undang Perlindungan Konsumen dapat mengisi kekosongan
hukum positif yang dapat lebih mengakomodir kepentingan pemegang kartu e-
money selaku konsumen.
Pengertian konsumen yang dikemukakan oleh Kotler, konsumen
didefinisikan sebagai berikut :61
“Consumers are individuals and households for personal use, producers are individual and organization buying for the purpose of producing”
(Konsumen adalah individu dan kaum rumah tangga yasng melakukan pembelian untuk tujuan penggunaan personal, produsen adalah individu atau organisasi yang melakukan pembelian untuk tujuan produksi).
Definisi konsumen menurut pasal 1 angka 2 Undang-Undang Perlindungan
Konsumen bahwa konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa
yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan sendiri, keluarga, orang
lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Lebih lanjut
dalam penjelasan pasal 1 angka 2 tersebut, dijelaskan ada dua jenis konsumen
yang dikenal dalam kepustakaan ekonomi, yaitu konsumen akhir dan konsumen
antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk,
sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk
sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya. Berdasarkan pengertian
kedua jenis konsumen tersebut, maka pemegang kartu e-money dapat dikatakan
sebagai konsumen akhir.
61 Ade Maman Suherman, 2002, Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global, Ghalia Indonesia,
Jakarta, Hal. 63.
Hukum konsumen menurut Az Nasution didefinisikan merupakan
keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan
masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan/atau
jasa konsumen, di dalam pergaulan hidup. Sedangkan hukum perlindungan
konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang mengatur asas-asas atau
kaidah-kaidah yang bersifat mengatur dan melindungi kepentingan konsumen.62
Perlindungan konsumen menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen pada
pasal 1 angka 1 adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum
untuk memberi perlindungan kepada konsumen.
Pembayaran menggunakan uang elektronik juga tidak lepas kaitannya dengan
pengawasan Bank Indonesia (BI), sebagai bagian integral dari sistem pembayaran
nasional. Sistem Pembayaran Nasional (SPN) merupakan sistem pembayaran
yang dikembangkan oleh BI, berisi seperangkat aturan, lembaga, dan mekanisme
yang dipakai untuk melaksanakan pemindahan dana guna memenuhi kewajiban
yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi. Komponen SPN ini meliputi alat
pembayaran, mekanisme kliring hingga penyelesaian akhir transaksi (settlement),
termasuk juga lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan sistem pembayaran yaitu
Bank, Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB), lembaga bukan bank
penyelenggara transfer dana, Lembaga Selain Bank (LSB) penerbit uang
elektronik, perusahaan switching, hingga BI selaku bank sentral.63
62 Ade Maman Suherman, op.cit, Hal. 68. 63 R. Serfianto DF,op.cit, Hal. 5.
Pengawasan dan penyelenggaraan uang elektronik berhubungan dengan
kekuasaan Bank Indonesia tertuang dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia yaitu dalam peranannya untuk menciptakan sistem perbankan yang
sehat dan efisien, berperan penting dalam mencegah timbulnya risiko-risiko yang
diderita oleh bank, masyarakat penyimpan dana, dan merugikan serta
membahayakan kehidupan perekonomian.64 Selain itu kewenangan Bank
Indonesia selaku bank sentral untuk memastikan dilaksanakannya segala
peraturan perundang-undangan yang terkait dalam penyelenggaraan usaha bank
oleh bank yang bersangkutan.
Peran dan fungsi Bank Indonesia sebagai bank sentral tertuang dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank
Indonesia, yaitu :65
1. Bank Indonesia sebagai badan pembuat kebijakan moneter dengan
menetapkan sasaran-sasaran moneter dan melakukan pengendalian moneter
baik berdasarkan sistem perbankan konvensional maupun berdasarkan sistem
syariah. Pelaksanaan fungsi tersebut dilakukan dengan cara operasi pasar
terbuka, penetapan tingkat diskonto, penetapan cadangan wajib minimum,
dan pengaturan kredit atau pembiayaan.
64 Munir Fuady, 2003, Hukum Perbankan Modern, Buku Kesatu, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, Hal. 116. 65 Muhammad Djumhana, op.cit, Hal. 118-119.
2. Bank Indonesia sebagai pengontrol kredit kepada bank-bank (credit control)
termasuk bank yang berdasarkan prinsip syariah.
3. Bank Indonesia bertindak sebagai menerbitkan dan mengedarkan mata uang
Rupiah dalam bentuk uang kertas dan logam, termasuk juga menarik dan
memusnahkan uang Rupiah yang telah dikeluarkannya.
4. Bank Indonesia pengatur dan pengawas bank dengan menetapkan ketentuan-
ketentuan perbankan yang memuat prinsip kehati-hatian, yaitu dengan
menetapkan peraturan-peraturan di bidang perbankan, memberikan dan
mencabut izin atas kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu dari bank,
melaksanakan pengawasan bank, dan mengenakan sanksi terhadap bank
sesuai dengan peraturan yang berlaku.
5. Bank Indonesia bertindak sebagai lender of the last resort, yaitu Bank
Indonesia berfungsi sebagai pemberi pinjaman kepada bank dalam keadaan
yang memaksa untuk menjaga likuiditas dari bank tersebut dengan melakukan
penilaian terhadap suatu bank. Keadaan memaksa tersebut dapat berupa :
a) Hal-hal yang membahayakan kelangsungan usaha bank yang
bersangkutan;
b) Hal-hal yang membahayakan sistem perbankan; dan
c) Terjadi kesulitan perbankan yang membahayakan perekonomian nasional.
6. Bank Indonesia bertindak sebagai bank negara (the banker of the state) yaitu
bank dari dan untuk pemerintah Indonesia. Berdasarkan fungsinya tersebut,
Bank Indonesia berwenang :
a) Sebagai pemegang kas pemerintah;
b) Menerima pinjaman luar negeri, menatausahakan, serta menyelesaikan
tagihan dan kewajiban keuangan pemerintah terhadap pihak luar negeri;
dan
c) Membantu pemerintah dalam menerbitkan surat-surat hutang negara.
Berkaitan dengan pengaturan dan pengawasan bank, otoritas kewenangan
pengawasan Bank Indonesia meliputi 4 (empat) kewenangan yaitu :66
1. Kewenangan memberikan izin (power to license)
Kewenangan untuk menetapkan ketentuan dan persyaratan pendirian sebuah
bank dengan menetapkan tata cara perizinan dan pendirian suatu bank untuk
menghindari terjadinya pendirian bank yang tidak didukung dengan modal
yang cukup dan kurang dipersiapkan dengan baik sehingga dapat merigikan
kepentingan masyarakat.
2. Kewenangan untuk mengatur (power to regulate)
Kewenangan untuk menetapkan ketentuan yang menyangkut aspek kegiatan
usaha perbankan dalam rangka menciptakan perbankan yang sehat.
66 Chatamarrasjid Ais, 2011, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Edisi Revisi, Prenada
Media Group Jakarta, Hal. 177-179.
3. Kewenangan untuk mengendalikan atau mengawasi (power of control)
Pengawasan bank dilaksanakan dalam dua cara yaitu melalui pengawasan
tidak langsung (off site supervision), yaitu pengawasan yang dilakukan
melalui alat pantau seperti laporan berkala yang disampaikan bank, laporan
hasil pemeriksaan, dan informasi lainnya, dan pengawasan secara langsung
(on site examination) yang dapat berupa pemeriksaan umum dan pemeriksaan
khusus dengan tujuan memperoleh gambaran ketaatan peraturan yang berlaku
terhadap kelangsungan usaha bank.
4. Kewenangan untuk mengenakan sanksi (power to impose sanction)
Kewenangan untuk menjatuhkan sanksi apabila sebuah bank tidak memenuhi
hal-hal yang diatur atau dipersyaratkan sesuai ketentuan, dengan maksud agar
bank dapat melakukan perbaikan atas kelemahan atau penyimpangan yang
dilakukannya.
Pengawasan yang dilaksanakan Bank Indonesia terhadap bank dapat berupa
pengawasan langsung, yaitu berbentuk pemeriksaan yang disusul dengan
tindakan-tindakan perbaikan, juga dapat berupa pengawasan tidak langsung yaitu
suatu bentuk pengawasan dini melalui penelitian analitis dan evaluasi laporan
bank. Dalam rangka pengawasan yang dilakukannya, Bank Indonesia dapat
menjalankan pemeriksaan secara berkala sekurang-kurangnya satu tahun sekali
untuk setiap bank, maupun pemeriksaan secara isidentil setiap waktu apabila
diperlukan untuk meyakinkan hasil pengawasan tidak langsung dan apabila terjadi
indikasi menyimpang.67
Mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh secara
berkelanjutan dan stabil, diperlukan kegiatan di dalam sector jasa keuangan yang
terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu
mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan
mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Berdasarkan hal
tersebut diperlukan otoritas jasa keuangan yang memiliki fungsi, tugas dan
wewenang pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan di dalam sektor jasa
keuangan secara terpadu.
Oleh karena itu, dalam perkembangannya, menyangkut tugas pengawasan
bank ini selanjutnya oleh Bank Indonesia akan diserahkan kepada lembaga
pengawasan sektor jasa keuangan yang independen yaitu Otoritas Jasa Keuangan,
tetapi tetap ada keterkaitan dengan Bank Indonesia sebagai bank sentral. Lembaga
(supervisory board) ini dalam menjalankan tugas dan kedudukannya berada diluar
pemerintah dan berkewajiban menyampaikan laporan kepada Badan Pemeriksa
Keuangan dan Dewan Perwakilan Rakyat. Pembentukan lembaga baru yaitu
Otoritas Jasa Keuangan (selanjutnya disebut OJK) dalam bidang pengawasan
tentu akan memberikan dampak bagi Bank Indonesia maupun OJK itu sendiri.68
67 Muhammad Djumhana, op.cit, Hal. 129-130. 68 Syahrul Bahroen dan Suarpika Bimantoro, 2004, Bank Indonesia Bank Sentral Republik
Indonesia, Sebuah Pengantar : Organisasi Bank Indonesia, Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan Bank Indonesia, Jakarta, Hal. 277.
Lembaga pengawasan jasa keuangan (supervisory board) atau OJK yang
dibentuk tersebut kewenangannya tidak terbatas mengawasi bidang perbankan
saja, tetapi juga mengawasi perusahaan-perusahaan sektor lainnya yang meliputi
asuransi, dana pension, sekuritas, modal ventura, dan perusahaan pembiayaan,
serta badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam Undang-Undang nomor 21 Tahun 2011
tentang Otoritas Jasa Keuangan merupakan lembaga yang independen dan bebas
dari campur tangan pihak lain, mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang
pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyelidikan. Adapun lembaga jasa
keuangan yang menjadi otoritas jasa keuangan adalah lembaga yang
melaksanakan kegiatan di sektor Perbankan, Pasar Modal, Perasuransian, Dana
Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan lainnya. OJK
dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan dalam sektor jasa keuangan
mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat maupun pihak-pihak
yang menempatkan dana dan/atau memanfaatkan pelayanan yang tersedia di
Lembaga Jasa Keuangan.
Untuk melaksanakan tugas pengawasan, OJK mempunyai wewenang sesuai
Pasal 9 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan
yaitu meliputi :
a. Menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa
keuangan;
b. Mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh Kepala
Eksekutif;
c. Melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan konsumen,
dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau
penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan
perundang-undangan di sektor jasa keuangan;
d. Memberikan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan dan/atau pihak
tertentu;
e. Melakukan penunjukan pengelola statute;
f. Menetapkan penggunaan pengelolaan statute;
g. Menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan pelanggaran
terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; dan
h. Memberikan dan/atau mencabut :
1) Izin usaha;
2) Izin orang perseorangan;
3) Efektifnya pernyataan pendaftaran;
4) Surat tanda terdaftar;
5) Persetujuan melakukan kegiatan usaha;
6) Pengesahan;
7) Persetujuan atau penetapan pembubaran; dan
8) Penetapan lain.
sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa
keuangan.
Untuk perlindungan konsumen dan masyarakat, OJK berwenang melakukan
tindakan pencegahan kerugian konsumen dan masyarakat berdasarkan Ketentuan
Bab VI tentang Perlindungan Konsumen dan Masyarakat dalam Pasal 28 – Pasal
31 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan yang
meliputi :
a. Memberikan informasi dan edukasi kepada masyarakat atas karakteristik
sektor jasa keuangan, layanan, dan produknya;
b. Meminta Lembaga Jasa Keuangan untuk menghentikan kegiatannya apabila
kegiatan tersebut berpotensi merugikan masyarakat; dan
c. Tindakan lain yang dianggap perlu sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di sektor jasa keuangan.
OJK juga melakukan pelayanan pengaduan konsumen dalam Pasal 29
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan yang
meliputi :
a. Menyiapkan perangkat yang memadai untuk pelayanan pengaduan konsumen
yang dirugikan oleh pelaku di Lembaga Jasa Keuangan;
b. Membuat mekanisme pengaduan konsumen yang dirugikan oleh pelaku di
Lembaga Jasa Keuangan; dan
c. Memfasilitasi penyelesaian pengaduan konsumen yang dirugikan oleh pelaku
di Lembaga Jasa Keuangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di
sektor jasa keuangan.
Untuk perlindungan konsumen dan masyarakat, OJK berwenang melakukan
pembelaan hukum, dengan memerintahkan atau melakukan tindakan tertentu
kepada Lembaga Jasa Keuangan untuk menyelesaikan pengaduan konsumen yang
dirugikan Lembaga Jasa Keuangan tersebut dan mengajukan gugatan untuk
memperoleh kembali harta kekayaan milik pihak yang dirugikan dari pihak yang
menyebabkan kerugian baik yang berada di bawah penguasaan yang
menyebabkan kerugian tersebut maupun dibawah penguasaan pihak lain dengan
itikad tidak baik, termasuk juga gugatan untuk memperoleh ganti kerugian dari
pihak yang menyebabkan kerugian pada konsumen dan/atau Lembaga Jasa
Keuangan sebagai akibat dari pelanggaran atas peraturan perundang-undangan di
sektor jasa keuangan.
Dalam melaksanakan tugasnya, OJK berkoordinasi dengan Bank Indonesia
dalam membuat peraturan dan pengawasan di bidang Perbankan sesuai dengan
Pasal 39 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan
yaitu :
a. Kewajiban pemenuhan modal minimum bank;
b. Sistem informasi perbankan yang terpadu;
c. Kebijakan penerimaan dana dari luar negeri, penerimaan dana valuta asing,
dan pinjaman komersial luar negeri;
d. Produk perbankan, transaksi derivative, kegiatan usaha bank lainnya;
e. Penentuan institusi bank yang masuk kategori systemically important bank;
dan
f. Data lain yang dikecualikan dari ketentuan tentang kerahasiaan informasi.
Lebih lanjut dalam Pasal 43 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan, OJK, Bank Indonesia, dan Lembaga Penjamin Simpanan
(LPS) wajib membangun dan memelihara sarana pertukaran informasi secara
terintegrasi perihal Lembaga Jasa Keuangan.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
Keuangan pada Bab XIII Ketentuan Peralihan pada Pasal 55 menjelaskan bahwa :
1) Sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan
dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal,
Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa
Keuangan lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan ke OJK.
2) Sejak tanggal 31 Desember 2013, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan
dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan beralih dari
Bank Indonesia ke OJK.
Jadi berdasarkan uraian diatas, paling lambat per tanggal 31 Desember 2013,
pengawasan Perbankan tidak lagi berada di Bank Indonesia, pengawasan
Perbankan akan menjadi kewenangan OJK. Sejak Undang-Undang Otoritas Jasa
Keuangan ini diundangkan sampai dengan beralihnya fungsi, tugas, dan
wewenang sebagaimana dimaksud, Bank Indonesia tetap melaksanakan fungsi,
tugas dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di
sektor Perbankan sesuai dengan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011
tentang Otoritas Jasa Keuangan.
Meskipun telah terbentuk lembaga pengawasan independen OJK, peran bank
Indonesia tidak dapat dikesampingkan dalam pengawasan bank karena OJK tetap
harus mempunyai hubungan koordinasi yang baik dengan Bank Indonesia,
diantaranya menyangkut keterangan dan data makro perbankan yang ada. Setelah
peralihan kewenangan kepada OJK, Bank Indonesia akan fokus kepada
kewenangan dalam hal kebijakan moneter yaitu kebijakan untuk mencapai dan
memelihara kestabilan nilai rupiah yang dilakukan antara lain melalui
pengendalian jumlah uang beredar dan/atau suku bunga.
Tugas dan wewenang OJK dalam hal pengawasan Perbankan hanya berkaitan
dengan aspek micro prudential seperti kelembagaan, kegiatan usaha, dan
penilaian tingkat kesehatan. Sedangkan aspek macro prudential berkaitan dengan
kebijakan moneter dan sistem pembayaran seperti ketentuan tentang Giro Wajib
Minimum (GWM), ketentuan devisa, Operasi Pasar Terbuka (OPT) dan laporan-
laporan serta pemeriksaan yang terkait dengan pelaksanaan tugas di bidang
moneter dan sistem pembayaran merupakan kewenangan dari otoritas moneter
Bank Indonesia.
Tugas micro prudential banking regulation yang menjadi kewenangan OJK
meliputi :69
1. Pengaturan kelembagaan, antara lain mengenai perizinan untuk pendirian
bank, pembukaan kantor cabang dalam negeri, kepemilikan dan
kepengurusan, merger, konsolidasi, dan akuisisi bank;
2. Pengaturan kegiatan usaha dan pengelolaan bank, antara lain mengenai
sumber dana, penyediaan dana, aktivitas di bidang jasa;
3. Pengaturan pembinaan dan pengawasan bank, antara lain mengenai penilaian
tingkat kesehatan bank; dan pengaturan likuidasi bank antara lain mengenai
pencabutan izin usaha, pembubaran dan likuidasi bank.
Selama masa transisi peralihan kewenangan Bank Indonesia ke OJK, maka
OJK mempersiapkan organisasi, struktur dan infrastruktur internalnya. Tugas,
fungsi dan wewenang pembinaan serta pengawasan bank didelegasikan kepada
otoritas Pembina dan pengawas yang lama yaitu Bank Indonesia. Pendelegasian
pelaksanaan tugas dan wewenang dimaksud dilakukan paling lama dua tahun
sejak persetujuan dan pengesahan Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan (UU
69 Sila Saktiana, 2004, Analisis Yuridis Mengenai Dampak Pembentukan Otoritas Jasa
Keuangan Terhadap Pengawasan Perbankan Syariah, Skripsi Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, Hal. 78.
OJK).70 Hal ini sesuai dengan penjelasan Pasal 34 ayat 2 Undang-Undang Nomor
3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia yang menyebutkan bahwa pengalihan fungsi pengawasan
bank dari Bank Indonesia kepada lembaga pengawasan sektor jasa keuangan
dilakukan secara bertahap setelah dipenuhinya syarat-syarat yang meliputi
infrastruktur, anggaran, personalia, struktur organisasi, sistem informasi, sistem
dokumentasi, dan berbagai peraturan pelaksanaan berupa perangkat hukum serta
dilaporkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Atas dasar kewenangan Bank Indonesia yang belum beralih kepada OJK,
dalam penjelasan Pasal 15 ayat 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia,
dinyatakan territorial Bank Indonesia sebagai pengawas dan pengatur
penyelenggaraan kegiatan uang elektronik dijelaskan dalam pokok-pokok
ketentuan yang akan ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia yang memuat
antara lain :
a. Jenis penyelenggaraan jasa sistem pembayaran yang memerlukan
persetujuan Bank Indonesia dan prosedur pemberian persetujuan oleh
Bank Indonesia;
b. Cakupan wewenang dan tanggung jawab penyelenggara jasa sistem
pembayaran, termasuk tanggung jawab yang berkaitan dengan manajemen
risiko;
70 Zulkarnaen Sitompul, 2004, Menyambut Kehadiran Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Pilars,
No.02/Th.VII, Hal. 12.
c. Persyaratan keamanan dan efisiensi dalam penyelenggaraan jasa sistem
pembayaran;
d. Penyelenggaraan jasa sistem pembayaran yang wajib menyampaikan
laporan kegiatan;
e. Jenis laporan kegiatan yang perlu disampaikan kepada Bank Indonesia dan
tata cara pelaporannya;
f. Jenis alat pembayaran yang dapat digunakan oleh masyarakat termasuk
alat pembayaran yang bersifat elektronis seperti kartu ATM, kartu debit,
kartu kredit, kartu prabayar dan uang elektronik;
g. Persyaratan keamanan alat pembayaran; dan
h. Sanksi administratif berupa denda bagi pelanggaran ketentuan pada huruf
a, huruf d, dan huruf f tersebut diatas.
Atas dasar kewenangan Bank Indonesia sebagai pengawas dan pengatur
penyelenggaraan kegiatan pembayaran menggunakan uang elektronik (e-money)
maka diaturlah dalam Peraturan Bank Indonesia secara tersendiri yaitu dalam
Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik
(Electronic Money) termasuk Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/11/DASP
Tahun 2009 tentang Uang Elektronik (Electronic Money)
2. Bentuk Pengaturan Transaksi Melalui Uang Elektronik di Indonesia
Dalam pembelian kartu e-money pada penerbit, kartu akan dilengkapi dengan
syarat dan ketentuan penggunaan kartu e-money tersebut. Syarat dan ketentuan
tersebut menjadi suatu bentuk perjanjian antara penerbit dan pemegang kartu
dalam penggunaannya pada transaksi e-money.
Salah satu acuan penting pada Undang-Undang Perlindungan Konsumen
yaitu dengan adanya peraturan mengenai pencantuman klausula baku pada
perjanjian. Dimana dasar peraturan dalam penggunaan alat pembayaran elektronik
menggunakan uang elektronik adalah dengan menggunakan perjanjian baku, maka
pencantuman klausula baku yang seimbang haruslah diatur.
Perjanjian baku merupakan terjemahan dari standard contract, baku berarti
patokan dan acuan. Mariam Darus mendefinisikan perjanjian baku adalah
perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir.71
Perjanjian baku merupakan konsep janji-janji tertulis yang disusun tanpa
membicarakan isi dan lazimnya dituangkan dalam perjanjian yang sifatnya
tertentu.72
Klausula baku biasanya dibuat oleh pihak yang kedudukannya lebih kuat,
yang dalam kenyataannya biasa dipegang oleh pelaku usaha atau dalam kaitannya
dengan perjanjian baku uang elektronik kedudukan yang lebih kuat dipegang oleh
71 Mariam Darus Badrulzaman, 1978, Perjanjian Kredit Bank, Alumni, Bandung, Hal. 48. 72 Ibid.
penerbit kartu e-money. Isi klausula baku sering kali merugikan pihak yang
menerima klausula baku tersebut, yaitu pihak konsumen atau pemegang kartu e-
money karena dibuat secara sepihak oleh penerbit. Bila konsumen menolak
klausula baku tersebut ia tidak akan mendapatkan barang atau jasa yang
dibutuhkan, karena klausula baku serupa akan ditemui di tempat lain. Artinya,
dimanapun calon pemegang kartu e-money akan melakukan pembelian barang
atau jasa uang elektronik maka penerbit akan memberikan klausula baku sebagai
bentuk persetujuan pembelian dan penggunaan kartu uang elektronik. Hal tersebut
menyebabkan konsumen atau pemegang kartu e-money menjadi lebih sering
menyetujui isi dari klausula baku tersebut walaupun memojokkan. Bagi para
pelaku usaha atau penerbit kartu e-money mungkin ini merupakan cara mencapai
tujuan ekonomi yang efisien, praktis, dan cepat tidak bertele-tele, tetapi bagi
konsumen atau pemegang kartu justru merupakan pilihan yang tidak
menguntungkan karena hanya dihadapkan pada suatu pilihan, yaitu menerima
walaupun dengan berat hati.73
Sudaryatmo mengungkapkan karakteristik klausula baku sebagai berikut :74
1. Perjanjian dibuat secara sepihak oleh mereka yang posisinya relatif lebih kuat
dari konsumen.
2. Konsumen sama sekali tidak dilibatkan dalam menentukan isi perjanjian.
3. Dibuat dalam bentuk tertulis dan massal.
73 Abdulkadir Muhammad, 1992, Perjanjian Baku dalam Praktik Perusahaan Perdagangan,
PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, Hal. 6. 74 Sudaryatmo, 1999, Hukum dan Advokasi Konsumen, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
Hal. 93.
4. Konsumen terpaksa menerima isi perjanjian karena didorong oleh faktor
kebutuhan.
Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen pasal 1 angka 10
mendefinisikan klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-
syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh
pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang
mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.
Klausula eksonerasi adalah klausula yang dicantumkan dalam suatu
perjanjian, dimana satu pihak menghindarkan diri untuk memenuhi kewajibannya
membayar ganti rugi seluruhnya atau terbatas, yang terjadi karena ingkar janji
atau perbuatan melawan hukum.75 Perjanjian baku dengan klausula eksonerasinya
pada prinsipnya hanya menguntungkan pelaku usaha dan merugikan konsumen,
karena klausulanya tidak seimbang dan tidak mencerminkan keadilan. Dominasi
pelaku usaha lebih besat dibandingkan dengan dominasi konsumen, dan
konsumen hanya menerima perjanjian dengan klausula baku tersebut begitu saja
karena dorongan kepentingan dan kebutuhan. Beban yang seharusnya dipikul oleh
pelaku usaha, menjadi beban konsumen karena adanya klausula eksonerasi
tersebut.76
Akibat kedudukan para pihak yang tidak seimbang, maka pihak yang lemah
biasanya tidak berada dalam keadaan yang bebas untuk menentukan apa yang
75 Mariam Darus Badrulzaman, 1994, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, Hal. 47. 76 Zulham, 2013, Hukum Perlindungan Konsumen, Kencana Prenada Media Group, Jakarta,
Hal.67.
diinginkannya dalam perjanjian. Dalam hal demikian, pihak yang memiliki posisi
yang lebih kuat biasanya menggunakan kesempatan tersebut untuk menentukan
klausula-klausula tertentu dalam perjanjian baku. Sehingga perjanjian yang
seharusnya dibuat oleh para pihak yang terlibat dalam perjanjian tidak ditemukan
lagi dalam perjanjian baku, karena formatnya dan isi perjanjian telah dirancang
oleh pihak yang kedudukannya lebih kuat.
Perjanjian dikatakan bersifat baku, karena baik perjanjian maupun klausula
tersebut tidak dapat dinegosiasikan atau ditawar oleh pihak lainnya (take it or
leave it). Tidak adanya pilihan bagi salah satu pihak dalam perjanjian ini,
cenderung merugikan pihak yang kedudukannya kurang dominan. Hal ini
membuat pihak yang cenderung dirugikan sulit untuk membuktikan tidak adanya
kesepakatan pada saat perjanjian tersebut dibuat, atau atas isi klausula baku yang
termuat dalam perjanjian tersebut.77
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUH Perdata)
pada pasal 1313 menjelaskan suat perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana
satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.78
Lebih lanjut pada pasal 1338 KUH Perdata menyatakan bahwa semua perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya.79 Hal ini berarti bahwa perjanjian yang dibuat berupa syarat-syarat
dan ketentuan dari penggunaan kartu e-money secara sah mengikat para pihak
77 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2003, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, PT.
Gramedia, Jakarta, Hal. 53. 78 R. Subekti dan R. Tjitrisudibio, 1992, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Burgerlijk
Wetboek, Cetakan Keduapuluhtujuh (Edisi Revisi), PT. Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 338 79 Ibid, Hal. 342.
sebagaimana undang-undang dan perikatan ini berlaku bagi para pihak yang
sepakat dalam perjanjian tersebut.
Undang-undang memberikan hak kepada setiap orang secara bebas untuk
membuat dan melaksanakan perjanjian selama unsur-unsur perjanjian terpenuhi.
Para pihak dalam perjanjian juga bebas menentukan aturan yang mereka
kehendaki dalam perjanjian tersebut dan melaksanakannya sesuai dengan
kesepakatan yang telah tercapai, selama para pihak tidak melanggar ketentuan
mengenai ketertiban umum, kesusilaan, kepatutan, dan kebiasaan yang berlaku
umum di masyarakat, serta tidak bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.80
Tentang syarat-syarat yang diperlukan untuk sahnya suatu perjanjian pada
pasal 1320 KUH Perdata diperlukan empat syarat yang harus dipenuhi yaitu :81
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.
Syarat pertama dan kedua adalah mengenai subjeknya atau pihak-pihak dalam
perjanjian sehingga disebut sebagai syarat subjektif, sedangkan syarat ketiga dan
keempat disebut syarat objektif karena mengenai objek perjanjian. Jika syarat
80 Zulham, op.cit, Hal. 72-73. 81 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, op.cit, Hal. 339.
objektif tidak terpenuhi, maka perjanjian batal demi hukum, dengan pengertian
bahwa perjanjian tidak pernah terjadi serta tidak memiliki dasar untuk saling
menuntut di depan hakim. Sedangkan jika syarat subjektif tidak terpenuhi, maka
perjanjiannya bukan batal demi hukum, melainkan salah satu pihak mempunyai
hak untuk meminta perjanjian itu dibatalkan.
Aspek hukum perjanjian dalam sistem pembayaran elektronik menggunakan
e-money dilihat dari asas-asas yang mendasari suatu perjanjian antara para pihak
dalam penggunaan e-money adalah meliputi :82
1. Asas Konsesualisme
Suatu perjanjian lahir setelah terjadi kesepakatan antara para pihak. Asas ini
erat hubungannya dengan prinsip kebebasan dalam mengadakan perjanjian.
2. Asas Kekuatan Mengikat
Terikatnya para pihak atas apa yang mereka sepakati dalam perjanjian
termasuk unsur-unsur lain yang dikehendaki para pihak merupakan kekuatan
mengikat setara undang-undang.
3. Asas Kepercayaan
82 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2010, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, PT.
RajaGrafindo Persada, Jakarta, Hal. 14.
Perjanjian harus dilaksanakan atas dasar kepercayaan antara kedua belah
pihak bahwa satu sama lain akan memenuhi prestasinya. Dengan kepercayaan
ini para pihak akan mengikatkan dirinya kepada perjanjian yang dibuatnya.
4. Asas Persamaan Hak
Menempatkan para pihak dalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan,
masing-masing pihak wajib melihat adanya persamaan ini dan mengharuskan
kedua pihak untuk menghormati satu sama lain.
5. Asas Keseimbangan
Asas ini menghendaki para pihak untuk memenui dan melaksanakan
perjanjian sesuai dengan persamaan hak dan kewajibannya.
6. Asas Kepatutan
Asas ini berhubungan dengan isi perjanjian mengenai aspek keadilan dalam
masyarakat.
7. Asas Kebiasaan
Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang diatur secara tegas
akan tetapi juga hal-hal dalam kebiasaan yang lazim diikuti.
8. Asas Kepastian Hukum
Perjanjian sebagai suatu figure hukum harus mengandung kepastian hukum
yang tercermin dari kekuatan mengikatnya perjanjian tersebut, yaitu undang-
undang bagi para pihak yang membuatnya.
9. Asas Kebebasan Berkontrak
Setiap orang bebas untuk mengadakan perjanjian apa saja asal tidak
bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.
Dilihat dari asas-asas perjanjian maka suatu perjanjian lahir atas dasar
kesepakatan antara para pihak. Terikatnya para pihak pada apa yang disepakati
dalam perjanjian adalah sama halnya dengan kekuatan mengikat undang-undang.
Jadi setiap orang bebas untuk mengadakan perjanjian apa saja asal tidak
bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.
Salah satu acuan yang penting pada Undang-Undang Perlindungan
Konsumen yaitu dengan adanya peraturan mengenai pencantuman klausula baku
pada perjanjian. Dimana dasar peraturan dalam penggunaan alat pembayaran
elektronik menggunakan uang elektronik (e-money) adalah dengan menggunakan
seebuah perjanjian baku, maka pencantuman klausula baku yang seimbang
haruslah diatur. Menurut penjelasan pasal 18 Undang-Undang Perlindungan
Konsumen, adanya peraturan pencantuman klausula baku bertujuan untuk
menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan
prinsip kebebasan berkontrak. Pengaturan tentang klausula baku terdapat dalam
pasal 18 Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang melarang pelaku usaha
mencantumkan klausula baku pada setiap perjanjian dan dokumen apabila :83
a. Pelaku usaha dalam menawarkan barang atau jasa yang ditujukan untuk
diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada
setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila :
1. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
2. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali
barang yang dibeli konsumen;
3. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali
uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh
konsumen;
4. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik
secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan
sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara
angsuran;
5. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau
pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
6. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau
mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa;
83 I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, 2010, Implementasi Ketentuan-
Ketentuan Hukum Perjanjian ke dalam Perancangan Kontrak, Udayana University Press, Denpasar, Hal. 38-40.
7. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan
baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat
sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang
dibelinya;
8. Menyatakan bahwa konsumen member kuasa kepada pelaku usaha untuk
pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang
yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
b. Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau
bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang
pengungkapannya sulit dimengerti.
c. Setiap klausula baku yang telah diterapkan oleh pelaku usaha pada dokumen
atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) atau ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.
d. Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan
undang-undang.
Terkait dengan perlindungan pemegang kartu e-money sebagai konsumen
uang elektronik, hal ini diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen
yang secara garis besar telah memberikan perlindungan terhadap konsumen untuk
menikmati produk mereka secara jelas dan tidak menyesatkan. Undang-Undang
Perlindungan Konsumen mengatur pelaku usaha perbankan untuk memberikan
tanggung jawabnya kepada konsumen berupa :84
1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
2. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan jasa yang diberikannya;
3. Memperlakukan atau melayani konsumen secraa benar dan jujur serta
tidak diskriminatif;
4. Menjamin kegiatan usaha perbankan berdasarkan ketentuan standar
perbankan yang berlaku.
Walaupun keberadaan Undang-Undang Perlindungan Konsumen telah
memberikan posisi tawar menawar yang lebih kuat terhadap pelaku usaha, namun
berhubungan dengan pemegang kartu e-money dalam sistem pembayaran
elektronik (e-payment) Undang-Undang Perlindungan Konsumen tidak mengatur
secara jelas bagaimana menyelenggarakan sebuah sistem elektronik yang handal
dan aman dalam melindungi konsumen. Pengaturan terhadap penyelenggaraan
sistem elektronik ini diatur lebih lanjut pada Undang-Undnag Informasi dan
Transaksi Elektronik. Namun peraturannya yang terdapat pada Undang-Undang
Perlindungan Konsumen seperti ketentuan pencantuman masalah klausula baku
dapat diterapkan pada perjanjian antara pemegang kartu dengan bank penerbit.
84 Muhammad Djumhana, 2006, Hukum Perbankan di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, Hal 338.
Asser Rutten mengatakan bahwa setiap orang yang menandatangani
perjanjian, bertanggung jawab pada isi dan apa yang ditandatanganinya. Jika ada
orang yang membubuhkan tanda tangan pada formulir perjanjian baku, tanda
tangan itu akan membangkitkan kepercayaan bahwa yang bertandatangan itu
mengetahui dan menghendaki isi formulir yang ditandatangani, karena tidak
mungkin seseorang menandatangani apa yang tidak diketahui isinya.85 Lebih
lanjut Ahmadi Miru berpendapat bahwa perjanjian baku merupakan perjanjian
yang mengikat para pihak yang menandatanganinya, walaupun harus diakui
bahwa klausula yang terdapat dalam perjanjian baku banyak mengalihkan beban
tanggung jawab dari pihak perancang klausula baku kepada pihak lawannya.
Namun setiap kerugian yang timbul dikemudian hari akan tetap ditanggung oleh
para pihak yang harus bertanggung jawabberdasarkan klausula perjanjian tersebut,
kecuali jika klausula tersebut merupakan klausula yang dilarang berdasarkan pasal
18 Undang-Undang Perlindungan Konsumen.86
Dalam kartu e-money Flazz BCA yang diterbitkan oleh BCA, pada panduan
penggunaannya dijelaskan bahwa isi staterpack dari Kartu Flazz berisi Kartu
Flazz, panduan penggunaan kartu serta syarat dan ketentuan kartu Flazz. Dalam
memulai transaksi, pemegang kartu harus melakukan transaksi isi ulang (top up)
yang hanya dapat dilakukan jika pemegang kartu telah memiliki tabungan pada
bank penerbit yaitu Bank BCA. Proses transaksi isi ulang (top up) dapat dilakukan
melalui mesin Electronic Data Capture (EDC) yang berada di merchant Flazz
85 Ahmadi Miru dan Sutarman Yudo, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen, PT.
RajaGrafindo Persada, Jakarta, Hal. 117. 86 Ibid, Hal. 118.
atau melalui ATM non tunai. Limit dari kartu Flazz dengan minimum top up
sebesar Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah) dan saldo maksimum sebesar Rp.
1.000.000,- (satu juta rupiah). Adapun syarat dan ketentuan pemegang kartu Flazz
adalah :
1. Definisi
Menjelaskan mengenai pengertian pemegang kartu; kartu Flazz; transaksi
pembayaran; transaksi isi ulang (top up); dan transaksi.
2. Ketentuan Umum
a. Kartu Flazz dapat dipindahtangankan ke pihak manapun;
b. Kartu Flazz hanya dapat digunakan untuk melakukan proses transaksi;
c. Penggunaan kartu tanpa memerlukan nomor sandi pribadi atau PIN
(Personal Identification Number) maupun tandatangan pemegang kartu.
Oleh karena itu kartu dapat digunakan oleh orang lain tanpa perlu
dibuktikan kewenangannya;
d. Jika kartu hilang atau dicuri, penerbit tidak dapat melakukan pemblokiran
pada kartu. Segala akibat yang timbul akan menjadi tanggung jawab
pemegang kartu;
e. Keterangan dan perhitungan transaksi pembayaran, transaksi-transaksi
lainnya atau mengenai saldo pada kartu merupakan bukti yang mengikat
kecuali dapat dibuktikan sebaliknya;
f. Penggunaan kartu tunduk pada ketentuan dan peraturan yang berlaku pada
penerbit, syarat dan ketentuan yang mengatur mengenai kartu, termasuk
setiap perubahan yang akan diberitahukan oleh penerbit dalam bentuk dan
sarana apapun;
g. Apabila terjadi peristiwa darurat (force majeur) yang dibenarkan oleh
pejabat yang berwenang atau diluar kekuasaan para pihak, maka tidka ada
pihak manapun yang dapat dituntut untuk memberikan ganti rugi.
3. Ketentuan Khusus
Dalam penggunaan kartu Flazz, pemeggang kartu wajib menggunakan atau
menjaga kartu sesuai dengan ketentuan penggunaannya. Kartu Flazz dapat
dipergunakan untuk melakukan transaksi maupun cek saldo pada kartu Flazz.
Dijelaskan juga mengenai hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan
kartu Flazz bahwa kartu Flazz dapat dipindahtangankan kepada pihak manapun,
oleh karena itu dapat digunakan oleh orang lain selain pemegang kartu. Apabila
kartu Flazz hilang atau dicuri, Bank BCA selaku penerbit tidak dapat melakukan
penggantian atau pemblokiran. Penanganan keluhan (pengaduan) sehubungan
dengan penggunaan kartu, dilakukan secara tertulis dengan melampirkan fotokopi
identitas diri pemegang kartu dan dokumen pendukung. Penerbit akan
menanggapi keluhan sesuai dengan kebijakan dari prosedur yang berlaku pada
penerbit, selambat-lambatnya 14 (empatbelas) hari sejak pengaduan diterima
secara lengkap.
Panduan penggunaan Kartu BRIZZI yang diterbitkan oleh Bank BRI
menjelaskan cara awal transaksi, cara mengetahui info saldo, dan bagaimana
proses isi ulang (top up) yang dapat dilakukan melalui online BRIZZI; Deposit
BRIZZI pada ATM BRI; Deposit BRIZZI pada ATM bank lain; melalui internet;
maupun melalui SMS Banking BRI. Tertulis sebagai perhatian bahwa kartu
merupakan uang elektronik pengganti uang tunai yang berfungsi sebagai alat
pembayaran. Pemegang kartu menyatakan tunduk dan mengikatkan diri pada
syarat dan ketentuan kartu BRIZZI. Adapun syarat dan ketentuan penggunaan
kartu yaitu :
1. Pengertian
Menjelaskan pengertian dari BRIZZI; pemegang kartu; transaksi pembayaran
menggunakan BRIZZI; transaksi top up online; dan transaksi top up deposit.
2. Ketentuan
a. Kartu BRIZZI menggunakan satuan hitung rupiah dan hanya digunakan di
Indonesia;
b. Kartu bukan merupakan simpanan dan dana yang terdapat di dalamnya
tidak diberikan bunga dan tidak dijamin oleh Lembaga Penjaminan
Simpanan (LPS);
c. Kepemilikan kartu dapat dialihkan dengan cara memberikan fisik kartu
kepada orang lain;
d. Kartu yang hilang atau dicuri tidak dapat diblokir maupun diganti, segala
akibat menjadi tanggung jawab pemegang kartu sepenuhnya;
e. Pemegang kartu hanya dapat menggunakan kartu untuk transaksi
pembayaran selama dana yang ada pada kartu mencukupi;
f. Pemegang kartu wajib memelihara fisik kartu sehingga tidak rusak, patah
atau nomor kartu masih dapat diidentifikasi;
g. Keterangan dan perhitungan terkait transaksi yang dilakukan pemegang
kartu merupakan bukti yang mengikat kecuali dapat dibuktikan
sebaliknya;
h. Penggunaan kartu tunduk pada ketentuan yang berlaku di bank penerbit
serta syarat dan ketentuan yang mengatur segala transaksi yang terkait
penggunaan kartu, termasuk setiap perubahan yang akan diinformasikan
terlebih dahulu oleh bank penerbit;
i. Batas minimal saldo pada kartu adalah sebesar Rp. 20.000,- (duapuluh
ribu rupiah);
j. Batas maksimal saldo pada kartu adalah sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta
rupiah) atau sesuai ketentuan Bank Indonesia yang berlaku;
k. Minimal Top Up sebesar Rp. 1,- (satu rupiah).
3. Masa Berlaku
Masa berlaku kartu tidak terbatas (unlimited). Namun apabila kartu tidak
pernah digunakan bertransaksi selama 12 (duabelas) bulan maka bulan
berikutnya kartu akan menjadi pasif, dengan ketentuan :
− Kartu yang memiliki saldo di bawah Rp. 25.000,- (duapuluh lima ribu
rupiah) dan tidak pernah digunakan bertransaksi selama 12 bulan maka
pemegang kartu dianggap menyetujui penutupan kartu dan saldo akan
menjadi milik bank penerbit;
− Kartu yang memiliki saldo diatas Rp. 25.000,- (duapuluh lima ribu rupiah)
dan tidak pernah digunakan bertransaksi selama 12 bulan maka pada bulan
ke-13 saldo yang masih ada akan di debet biaya administrasi setiap
bulannya sebesar Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah) sampai sisa saldo nihil.
Apabila pemegang kartu ingin menggunakan kembali maka pemegang kartu
harus melakukan reaktivasi melalui EDC BRIZZI.
4. Penutupan BRIZZI
Pemegang kartu dapat melakukan penutupan kartu melalui Kantor Cabang
atau Kantor Cabang Pembantu Bank BRI dengan menggunakan menu
penutupan kartu (redeem). Penutupan kartu akan dikenakan biaya
administrasi sebesar Rp. 20.000,- (duapuluh ribu rupiah) yang langsung
dipotong dari sisa saldo pada kartu.
5. Penanganan Keluhan
Pemegang kartu dapat menyampaikan keluhan atau pengaduan sehubungan
dengan penggunaan kartu melalui Kantor Bank BRI dengan melampirkan
fotokopi identitas diri pemegang kartu dan data pendukung lainnya, yang
akan ditanggapi sesuai kebijakan dan prosedur yang berlaku pada Bank
selambat-lambatnya 14 (empatbelas) hari sejak pengaduan diterima lengkap
oleh bank.
6. Penggantian BRIZZI
Penggantian kartu dapat dilakukan di Kantor Bank BRI dengan saldo di
dalam kartu yang rusak akan dilimpahkan ke kartu baru. Pemegang kartu
akan mendapatkan kartu baru dan kartu yang lama akan ditarik oleh penerbit.
Bank Mandiri selaku penerbit bekerjasama dengan merchant Indomaret
mengeluarkan kartu e-money dengan brand name Mandiri Prabayar - Indomaret
Card (selanjutnya disebut Indomaret Card). Kartu ini digunakan untuk
bertransaksi pembelanjaan di Indomaret atau pembayaran lainnya di mechant
yang bekerjasama dengan Bank Mandiri selaku penerbit dengan fitur saldo yang
tersimpan pada chip kartu dapat digunakan bertransaksi tanpa perlu menggunakan
PIN atau tanda tangan, dapat diisi ulang, dengan maksimal saldo kartu sebesar Rp.
1.000.000,- (satu juta rupiah) sesuai ketentuan Bank Indonesia dan saldo
mengendap pada kartu tidak diberikan bunga. Cara bertransaksi menggunakan
Indomaret Card yaitu melalui outlet atau merchant yang mempunyai reader untuk
menerima kartu e-money. Saldo harus mencukupi untuk bertransaksi yaitu dengan
sado minimum sebesar Rp.10.000,- (sepuluh ribu rupiah) ditambah dengan jumlah
pembelanjaan yang akan dibayarkan. Isi ulang (top up) dengan menggunakan
Mandiri Debit yang dapat dilakukan melalui Mandiri EDC, Mandiri ATM Tunai
maupun Non Tunai, Mandiri Internet, dan Mandiri SMS. Adapun syarat dan
ketentuan penggunaan Kartu Mandiri Prabayar dari penerbit yaitu :
1. Penggunaan Kartu Mandiri Prabayar
a. Bank tidak berkewajiban untuk mengganti kerugian akibat kartu yang
rusak karena kelalaian pemegang kartu, hilang, dicuri atau digunakan oleh
pihak yang tidak bertanggung jawab dan tidak akan mengganti kartu yang
hilang dengan kartu yang baru;
b. Saldo yang terdapat dalam kartu tidak termasuk dalam program
penjaminan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS);
c. Penggunaan kartu hanya dapat dilakukan sebatas saldo yang tersimpan
pada kartu;
d. Pemegang kartu tidak diperkenankan merusak, memanipulasi, mengcopy
dan/atau mengubah fisik maupun isi data kartu;
e. Pemegang kartu bertanggung jawab dan wajib melaporkan kepada
penerbit apabila terjadi penggandaan (cloning) dan penggunaan oleh pihak
yang tidak berwenang untuk melakukan transaksi;
f. Dalam hal kartu hilang, penerbit tidak akan melakukan pemblokiran, tidak
mengganti fisik dan tidak akan mengembalikan saldo;
g. Dalam hal kartu rusak, penerbit tidak akan melakukan pemblokiran, tidak
akan mengganti fisik kartu namun akan mengembalikan saldo;
h. Pencantuman nama, tandatangan atau tanda-tanda apapun pada kartu
bukan merupakan petunjuk atau bukti kepemilikan kartu;
i. Bank penerbit berhak secara sepihak menghentikan atau menangguhkan
pelayanan tan pa pemberitahuan terlebih dahulu kepada pemegang kartu
atas dasar permasalahan teknis maupun non teknis.
2. Masa Berlaku Mandiri Prabayar
Kartu tidak memiliki masa berlaku, namun apabila dalam jangka waktu 12
(duabelas) bulan tidak digunakan untuk melakukan transaksi maka pada saat
pengaktifan kembali akan dikenakan biaya administrasi sebesar Rp. 10.000,-
(sepuluh ribu rupiah).
3. Penutupan Mandiri Prabayar
Penutupan kartu dapat terjadi apabila ditutup oleh bank penerbit akibat tidak
terpenuhinya hal-hal yang seharusnya dilakukan atau tidak dilakukan oleh
pemegang kartu, maupun atas permintaan pemegang kartu yang bersangkutan
yang diajukan secara tertulis. Saldo yang masih tersisa pada kartu akan
dikembalikan setelah dikurangi biaya administrasi. Proses penutupan kartu
dan pengembalian saldo dilakukan selambat-lambatnya 14 (empatbelas) hari
kerja sejak dokumen diterima lengkap oleh bank penerbit.
4. Redemption
Pemegang kartu dapat mengajukan redemption atau pengembalian saldo kartu
ke cabang Bank Mandiri terdekat dengan dikenakan biaya administrasi.
5. Penyelesaian Sengketa (Dispute) Transaksi Mandiri Prabayar
Pemegang kartu dapat mengajukan keluhan atas dispute transaksi maksimal
30 (tigapuluh) hari kerja sejak tanggal transaksi. Pengajuan keluhan
dilakukan secara tertulis dengan melampirkan fotokopi bukti bukti transaksi
dan bukti lainnya yang mendukung pengaduan. Bank penerbit akan
melakukan pemeriksaan atau investigasi atas pengaduan Pemegang Kartu.
6. Batas Pertanggungjawaban (Liability)
a. Bank dan seluruh pejabat, pegawai dan Mitra terkait tidak dapat dimintai
pertanggung jawaban oleh pemegang kartu atau pihak manapun yang
mengajukan tuntutan atas :
− kehilangan kartu oleh pemegang kartu;
− kerusakan kartu akibat kecerobohan pemegang kartu, termasuk tidak
menggunakan atau menempatkan kartu sesuai petunjuk penggunaan;
− kerugian sejumlah nilai uang dalam kartu akibat penggunaan transaksi
pembayaran yang tidak benar;
− kartu digunakan oleh pihak lain yang tidak berwenang dan/atau hasil
penggandaan (cloning).
b. Dengan tidak membatasi hal-hal tersebut, bank penerbit termasuk mitra
tidak bertanggung jawab atas tuntutan atau klaim mengenai :
− Segala kerugian atas kerusakan karena tidak beroperasinya sistem
akibat bencana alam, perang, pemberontakan, kerusuhan umum,
dan/atau adanya peraturan atau larangan pemerintah atau hal-hal yang
diluar kuasa lainnya;
− Segala kerugian atau kehilangan data karena penggunaan kartu oleh
pihak yang tidak berwenang.
7. Kerahasiaan Informasi Pemegang Kartu
Keamanan informasi pribadi pemegang kartu akan dilindungi oleh bank
penerbit, termasuk mewajibkan perusahaan lain yang akan melakukan
kerjasama merchant akan diwajibkan untuk melindungi kerahasiaan
pemegang kartu.
8. Hukum yang Berlaku dan Domisili
Syarat dan ketentuan mengenai penggunaan kartu tunduk pada hukum yuang
berlaku di Indonesia. Dalam hal terjadi perselisihan maka para pihak sepakat
untuk menyelesaikan secara musyawarah dan bila tidak tercapai kesepakatan
maka para pihak sepakat untuk menyelesaikannya melalui Pengadilan Negeri
sesuai domisili tergugat.
9. Lain-lain
Syarat dan ketentuan kartu termasuk jenis atau bentuk layanan dapat diubah
setiap waktu oleh penerbit tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada
pemegang kartu. Atas perubahan, penggantian dan/atau penambahan akan
dilakukan melalui pemberitahuan yang ditempel pada Cabang Bank penerbit,
diumumkan melalui website Bank Mandiri atau media lain yang ditentukan
oleh penerbit, yang segala perubahan tersebut tetap mengikat Pemegang
Kartu.
Dilihat dari penerbitan kartu e-money pada bank penerbit BRI, BCA, dan
Bank Mandiri, syarat dan ketentuan tersebut mengikat bagi pemegang kartu
selaku pengguna. Dengan melakukan pembelian kartu e-money tersebut, maka
pemegang kartu dianggap telah menyetujui seluruh isi syarat dan ketentuan
penggunaan kartu tanpa perlu menandatanganinya.
Secara umum tidak ada ketentuan yang menyatakan bahwa suatu perjanjian
baru dikatakan sah jika telah ditandatangani oleh kedua belah pihak, kecuali untuk
perjanjian-perjanjian tertentu yang oleh hukum disyaratkan untuk dilakukan
dengan tertulis sehingga harus ditandatangani oleh para pihak. Artinya, secara
yuridis dapat dibenarkan jika suatu perjanjian ditandatangani oleh satu pihak atau
bahkan tanpa tandatangan oleh pihak manapun.
Pengaturan kegiatan pembayaran menggunakan uang elektronik (e-money)
sesuai kewenangan dari Bank Indonesia selaku Bank Sentral mengatur dalam
Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik
(Electronic Money) dan dalam rangka mendukung kelancaran dan efektivitas
penyelenggaraan uang elektronik sehubungan diberlakukannya Peraturan Bank
Indonesia tersebut maka lebih lanjut ketentuan mengenai penyelenggaraan uang
elektronik diatur dalam Surat Edaran dangan Nomor 11/11/DASP Tahun 2009
tentang Uang Elektronik (Electronic Money).
Dalam Peraturan Bank Indonesia (selanjutnya disebut PBI) mengenai Uang
Elektronik dibentuk mengingat uang elektronik memiliki fungsi seperti uang
tunai, maka untuk memberikan perlindungan kepada pemegang kartu,
meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap instumen pembayaran uang
elektronik, dan mendukung kelancaran tugas Bank Indonesia dalam menjaga
stabilitas moneter, Bank Indonesia menetapkan persyaratan yang wajib dipenuhi
oleh Bank dan Lembaga Selain Bank (LSB) dalam menyelenggarakan uang
elektronik.
Dalam PBI mengenai uang elektronik ini, nilai uang elektronik yang
disetorkan oleh pemegang kepada penerbit bukan merupakan simpanan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Perbankan. Konsekuensi ini harus
diketahui oleh pemegang sehingga membawa kewajiban penerbit untuk
memberitahukan kepada pemegang. Karena nilai uang elektronik tersebut bukan
merupakan simpanan maka uang elektronik tersebut tidak termasuk yang dijamin
oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang Lembaga Penjamin Simpanan.
Untuk mendukung keamanan dan kelancaran penyelenggaraan uang
elektronik, Bank Indonesia juga mengatur kewajiban-kewajiban yang harus
dipenuhi oleh seluruh penyelenggara uang elektronik seperti kewajiban penerapan
manajemen risiko, pelaporan, dan keamanan sistem dalam Peraturan Bank
Indonesia ini.
Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia mengenai uang
elektronik ini mengatur mengenai bagaimana syarat dan tata cara untuk
memperoleh izin sebagai principal, penerbit, acquirer, termasuk penyelenggara
kliring dan/atau penyelenggara penyelesaian akhir demi kelancaran kegiatan uang
elektronik dan perlindungan terhadap pemegang kartu.
Pasal 13 PBI mengenai uang elektronik mengatur bahwa penerbit dilarang
menerbitkan uang elektronik dengan nilai uang elektronik yang lebih besar atau
lebih kecil daripada nilai uang yang disetorkan oleh pemegang kepada penerbit.
Larangan bagi penerbit untuk menerbitkan uang elektronik dengan nilai uang
elektronik yang lebih besar dari nilai uang yang disetorkan oleh pemegang
dimaksudkan untuk mencegah terjadinya penerbitan uang elektronik yang
berpotensi terhadap penciptaan uang yang tidak terkendali. Selain itu larangan
penerbitan uang elektronik dengan nilai yang lebih kecil daripada nilai uang yang
disetorkan oleh pemegang dimaksudkan untuk melindungi kepentingan
pemegang.
Bank Indonesia dalam PBI uang elektronik pada pasal 14 ayat 1 menetapkan
batas paling banyak nilai uang elektronik yang disimpan pada media uang
elektronik dan batas paling bayak total nilai transaksi uang elektronik dalam
periode tertentu. Dalam penjelasan diterangkan bahwa pembatasan nilai uang
elektronik dan total nilai transaksi dimaksudkan karena uang elektronik pada
prinsipnya digunakan untuk pembayaran yang bersifat ritel atau pembayaran
dengan jumlah kecil, dan hal ini juga dilakukan untuk mencegah penyalahgunaan
uang elektronik seperti untuk tindak pidana pencucian uang dan pendanaan
terorisme.
Pasal 17 PBI uang elektronik mewajibkan penerbit mencatat identitas
pedagang (merchant) yang bekerjasama dengan penerbit dan
mengadministrasikan seluruh dokumen yang terkait dengan merchant. Kewajiban
mencatat identitas pedagang dimaksudkan agar penerbit mempunyai data untuk
kepentingan pembayaran maupun pemenuhan klaim kepada pedagang setelah
dilakukannya transaksi antara pedagang dan pemegang. Kepentingan pencatatan
identitas pedagang tersebut terkait pula dengan kegiatan penerbit dan penggunaan
sistem penerbit dan penggunaan sistem penerbit jika penerbit melakukan
kerjasama dengan pedagang seperti untuk kegiatan pengisian ulang uang
elektronik, kegiatan tarik tunai dalam rangka mengakhiri penggunaan uang
elektronik (redeem), dan kegiatan tarik tunai dalam rangka transfer dana.
Bank Indonesia memiliki rencana untuk mengembangkan uang elektronik.
Bank dan Lembaga Selain Bank (LSB) selaku penerbit akan menyediakan fasilitas
transfer dana melalui uang elektronik.87 Dalam pasal 16 ayat 4 PBI Uang
Elektronik, penerbit yang akan menyediakan fasilitas transfer dana melalui uang
elektronik wajib mencatat data identitas pemegang. Pencatatan data identitas
pemegang dimaksudkan untuk memenuhi prinsip mengenal nasabah (know your
customer principles) dan memudahkan dalam pelaksanaan kegiatan pengiriman
uang. Data identitas yang wajib dicatat sekurang-kurangnya nama, alamat, tanggal
lahir dan data lainnya sebagaimana yang tercantum pada bukti identitas pemegang
(fully registered).
Salah satu bentuk tanggung jawab penerbit dan upaya perlindungan terhadap
pemegang kartu, PBI Uang Elektronik dalam Pasal 18 ayat 1 mewajibkan penerbit
untuk memberikan informasi secara tertulis kepada pemegang mengenai produk
Uang Elektronik yang diterbitkannya. Kewajiban memberikan informasi secara
tertulis dimaksudkan agar penerbit menerapkan prinsip transparansi produk dan
melakukan edukasi kepada pemegang.
Uang elektronik yang diterbitkan oleh Bank BCA (Flazz), BRI (BRIZZI), dan
Bank Mandiri (Indomaret Card) menjelaskan syarat dan ketentuan bagi pemegang
kartu. Jika dilihat dari kesesuaian terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh Bank
87 R. Serfianto DP, op.cit, Hal. 105.
Indonesia dalam PBI Uang Elektronik, maka dapat dilihat perbandingan dari
ketiga kartu e-money tersebut yaitu :
PERBANDINGAN FLAZZ BRIZZI INDOMARET CARD
Penjelasan Pengertian Uang Elektronik
Tercantum definisi pemegang kartu; kartu e-money; transaksi pembayaran, dan lain-lain.
Tercantum definisi pemegang kartu; kartu e-money; transaksi pembayaran, dan lain-lain.
Tercantum definisi pemegang kartu; kartu e-money; transaksi pembayaran, dan lain-lain secara lebih terperinci.
Penjelasan Nilai Uang Elektronik Tidak Dijamin LPS
Tidak dicantumkan dalam syarat & ketentuan pemegang kartu
Dijelaskan bahwa nilai uang dalam kartu tidak diberikan bunga dan tidak dijamin oleh LPS
Dijelaskan bahwa saldo pada kartu tidak dijamin oleh LPS
Identitas Pada Kartu E-Money
Tanpa identitas Tercetak nomor kartu dan nama identitas pemegang kartu
Dapat dituliskan nama atau tandatangan di belakang kartu, namun hal itu bukan merupakan bukti kepemilikan
Pencatatan Data Identitas Pemegang oleh Penerbit
Dicatatkan pada buku register bank penerbit
Dicatatkan pada buku register bank penerbit
tidak dicatatkan pada bank penerbit karena pembelian kartu melalui pedagang (merchant)
Cara Pengisian & Isi Ulang (Top Up)
Hanya dapat dilakukan melalui bank penerbit
Dapat dilakukan melalui bank penerbit maupun bank lain melalui ATM Bersama
Hanya dapat dilakukan melalui bank penerbit
Batas Nilai Uang Pada Kartu E-Money
Saldo maksimum sebesar Rp. 1.000.000,-
Batas maksimal saldo sebesar Rp. 1.000.000,-
Batas maksimal saldo sebesar Rp. 1.000.000,-
Cara Penggunaan Kartu E-Money
Pembayaran dilakukan dengan menempelkan kartu pada reader tanpa memasukkan PIN dan tanda tangan
Memilih menu pembayaran pada EDC kemudian menempelkan kartu pada reader tanpa memasukkan PIN dan tanda tangan
Memilih menu pembayaran pada EDC kemudian menempelkan kartu pada reader tanpa memasukkan PIN dan tanda tangan
Kartu E-Money Hilang / Dicuri
Dapat dipindahtangankan ke pihak siapapun, jika hilang / dicuri penerbit tidak dapat melakukan pemblokiran dana dan tanggung jawab sepenuhnya pada pemegang kartu
Dapat dipindahtangankan ke pihak siapapun, jika hilang / dicuri penerbit tidak dapat melakukan pemblokiran dana dan tanggung jawab sepenuhnya pada pemegang kartu
Dapat dipindahtangankan ke pihak siapapun, jika hilang / dicuri penerbit tidak dapat melakukan pemblokiran dana dan tanggung jawab sepenuhnya pada pemegang kartu
Saldo Minimum Kartu (Saldo Mengendap)
Tidak ada saldo minimum atau saldo mengendap, hanya ada batas minimum top up sebesar Rp. 100.000,-
Batas minimum saldo sebesar Rp. 20.000,- atau sesuai dengan ketentuan bank penerbit
Batas minimum saldo sebesar Rp. 10.000,- atau sesuai dengan ketentuan bank penerbit dan tidak diberikan bunga
Fasilitas Transfer Dana
Tidak menyediakan fasilitas transfer dana
Tidak menyediakan fasilitas transfer dana
Tidak menyediakan fasilitas transfer dana
Masa Berlaku Kartu E-Money
Masa berlaku tidak terbatas (unlimited)
Masa berlaku kartu tidak terbatas (unlimited), namun jika kartu tidak digunakan dalam jangka waktu 12 bulan kartu akan menjadi pasif dan harus direaktivasi untuk dapat
Masa berlaku kartu tidak terbatas (unlimited), namun jika kartu tidak digunakan dalam jangka waktu 12 bulan kartu akan menjadi pasif dan harus direaktivasi dengan dikenakan biaya administrasi
digunakan kembali sebesar Rp. 10.000,- untuk dapat digunakan kembali
Penutupan Kartu E-Money
Tidak dijelaskan dalam syarat & ketentuan pemegang kartu
Penutupan kartu dilakukan di kantor bank penerbit dan dikenakan biaya administrasi sebesar Rp. 20.000,-
Penutupan kartu dapat dilakukan oleh bank penerbit maupun permintaan pemegang kartu dengan menyampaikan secara tertulis kepada bank penerbit. Sisa saldo akan dikembalikan setelah dipotong biaya administrasi (redemption)
Pengaduan atau Keluhan
Disampaikan ke kantor cabang Bank penerbit dengan melampirkan fotokopi identitas diri pemegang kartu dan dokumen pendukung, akan ditanggapi selambat-lambatnya 14 hari sejak keluhan diterima lengkap
Disampaikan ke kantor cabang Bank penerbit dengan melampirkan fotokopi identitas diri pemegang kartu dan dokumen pendukung, akan ditanggapi selambat-lambatnya 14 hari sejak keluhan diterima lengkap
Disampaikan ke kantor cabang Bank penerbit dengan melampirkan fotokopi identitas diri pemegang kartu dan dokumen pendukung, akan ditanggapi selambat-lambatnya 14 hari sejak keluhan diterima lengkap. Penyelesaian sengketa (dispute) ditanggapi dengan melakukan pemeriksaan dan tuntutan akan diselesaikan melalui Pengadilan Negeri sesuai
domisili tergugat
Tabel 4. Perbandingan Syarat dan Ketentuan Kartu E-Money yang diterbitkan oleh Bank Penerbit yang berbeda-beda
Adanya persamaan maupun perbedaan syarat dan ketentuan penggunaan
kartu e-money bagi pemegang dikarenakan dalam beberapa hal dimungkinkan
pengaturan-pengaturan yang bersifat teknis dan mikro dapat diatur dan disepakati
sendiri guna melengkapi aturan yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia (Self
Regulation Organization atau SRO). Namun pengaturan yang dikeluarkan oleh
SRO tersebut tidak boleh bertentangan dengan aturan yang bersifat makro dan
kebijakan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Pengaturan ini diatur dalam Pasal 30 ayat 1 dan 2 PBI Uang Elektronik yaitu :
1. Principal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, Penyelenggara
Penyelesaian Akhir dan pihak lain yang terkait dengan penyelenggaraan uang
elektronik dapat menyepakati pembentukan suatu forum atau institusi yang
bertujuan untuk mengatur sendiri hal-hal yang bersifat teknis dan mikro,
dengan melaporkan secara tertulis keberadaan forum atau institusi tersebut
kepada Bank Indonesia.
2. Aturan-aturan yang dikeluarkan oleh forum atau institusi sebagaimana
dimaksud wajib terlebih dahulu dikonsultasikan kepada Bank Indonesia dan
tidak boleh bertentangan dengan aturan dan kebijakan Bank Indonesia.
Pengaturan sendiri oleh forum atau institusi tersebut dimaksudkan untuk
melengkapi atas aturan yang bersifat makro dan kebijakan yang dikeluarkan oleh
Bank Indonesia. Untuk mencegah agar aturan yang dikeluarkan tidak
bertentangan dengan aturan dan kebijakan Bank Indonesia, maka materi aturan
yang dikeluarkan oleh forum atau institusi tersebut dikonsultasikan kepada Bank
Indonesia.
Pemegang kartu e-money wajib diberikan keadilan dan persamaan hak untuk
memberikan hubungan yang baik antara pemegang kartu, penerbit maupun
pedagang (merchant) dalam hubungan perjanjian penggunaan alat bayar uang
elektronik. Dalam peraturan yang dibuat oleh Bank Indonesia lebih menekankan
mengenai kewenangan dalam mengatur kegiatan uang elektronik pihak
penyelenggara bukan perlindungan terhadap pemegang kartu, mengingat nilai
tunai uang elektronik tersebut tidak dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan
(LPS).
Dalam kaitannya dengan akan dikembangkannya fasilitas kegunaan uang
elektronik sebagai transfer dana, hal ini perlu diperhatikan mengingat penerbit
merupakan Bank dan Lembaga Selain Bank (LBS). produk e-money merupakan
produk terpisah dari perbankan karena masalah regulasi yang digunakan karena
Lembaga Selain Bank (LBS) yang dalam hal ini uang elektronik telah dikeluarkan
oleh perusahaan telekomunikasi tidak dapat dimasukan dalam aturan perbankan.
Regulasi ini perlu bagi pihak non bank seperti operator telekomunikasi, karena
barang yang dibeli melalui operator tidak terlihat uangnya dan transaksinya jika
tidak tercatat maka akan berpengaruh pada sistem ekonomi karena transaksi
tersebut tidak dapat terdeteksi. Selain itu jika uang elektronik tidak dimaksukkan
ke dalam perbankan, akan terjadi ketidakseimbangan. Dalam kaitannya dengan
transfer dana, Lembaga Selain Bank (LBS) wajib mendapat izin dari Bank
Indonesia, sedangkan Bank tidak memerlukan izin dari Bank Indonesia dalam hal
pengiriman uang karena merupakan kegiatan usaha Bank sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang mengenai Perbankan. Dengan demikian, jika pemegang
kartu dari operator seluler akan melakukan transfer dana, perlu diperhatikan
pengaturan teknisnya karena operator seluler tentu tidak mempunyai rekening
bank sehingga sulit untuk mencatatkan riwayat transaksinya.88
88 R. Serfianto DP, op.cit, Hal 106-107.
BAB IV
PENYALAHGUNAAN UANG ELEKTRONIK DAN PERLINDUNGAN
HUKUM BAGI PEMEGANG KARTU
1. Bentuk Penyalahgunaan Kartu Pembayaran Uang Elektronik ( E-Money)
Penggunaan e-money akan memberikan keuntungan atau kelebihan
dibandingkan dengan menggunakan uang tunai maupun alat pembayaran non
tunai lainnya, penggunaan e-money lebih nyaman dibandingkan uang tunai
khususnya untuk transaksi-transaksi yang bernilai kecil, karena dalam melakukan
transaksi tidak perlu mempunyai sejumlah uang pas dan harus menyimpan uang
kembalian, selain itu dapat mengurangi kesalahan dalam menghitung uang
kembalian. Transaksi menggunakan kartu e-money lebih mudah dibandingkan alat
pembayaran menggunakan kartu lainnya karena tidak memerlukan proses
otorisasi tanda tangan maupun PIN (Personal Identification Number).
Kelemahan dari e-money yaitu :
a. Bukan merupakan simpanan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Perbankan, jadi nilai uang elektronik tidak dijamin oleh Lembaga Penjamin
Simpanan (LPS);
b. Tidak memerlukan konfirmasi data atau proses otorisasi;
c. Tidak terkait langsung dengan rekening nasabah di bank, karena pemegang
kartu tidak harus menjadi nasabah di bank penerbit;
d. Dapat dipindahtangankan dan saldo dapat dipakai oleh siapapun jika kartu
hilang;
e. Tidak termasuk inventori bank, jadi tidak bisa dilacak penggunaannya jika
kartu hilang;
f. Jika kartu hilang tidak dapat diblokir dan nilai uang elektronik yang hilang
tidak akan diganti;
g. Dapat digunakan sebagai sarana money laundrying;
h. Tidak bisa menghilangkan fungsi uang tunai sepenuhnya.
Dalam hal hilangnya kartu (Lost/Stolen Card), kartu tetap dapat digunakan
sampai pemilik sah memberitahukan kepada bank penerbit, namun kartu tersebut
tetap dapat disalahgunakan oleh pihak lain. penyalahgunaan kartu oleh pihak lain
ini dapat terjadi dengan pencurian oleh pihak lain maupun kelalaian dari pemilik
kartu itu sendiri. Setelah kartu berada di pihak lain, penyalahgunaan tentu saja
dapat digunakan dengan berbagai cara, salah satunya sepertli berbelanja langsung
kepada merchant, karena ketika kartu hilang maka kartu dapat digunakan tanpa
perlu dilakukan otorisasi oleh merchant dan tidak dapat dilacak keberadaan kartu
tersebut.
Kartu pembayaran (payment card / stored value card) seperti uang elektronik
ini menjadi target utama dalam penyalahgunaan melalui pencurian, karena
sifatnya yang tiddak harus mencantumkan identitas pemiliknya (anonymous
digital cash) dan juga fungsinya yang dapat dilakukan tanpa bantuan jasa
penjualnya (selve serve).
Tingkat sekuritas pada e-money merupakan salah satu aspek penting
mengingat kerugian yang dapat ditimbulkan baik bagi penerbit maupun pemegang
kartu tersebut. Usaha kejahatan untuk menembus sistem security e-money bisa
terjadi pada level pengguna, pedagang (merchant) ataupun penerbit, termasuk
pencurian terhadap peralatan milik merchant atau pemegang kartu, pemalsuan
kartu atau pesan (message), merubah data yang tersimpan dalam kartu atau isi
pesan yang dikirimkan, dan juga dapat dilakukan dengan merubah fungsi
software.
Beberapa bentuk pengamanan yang dapat dilakukan untuk melindungi produk
e-money antara lain adalah :89
a. Penggunaan microchip yang bersifat tamper-resistant atau tahan banting
untuk produk card based;
b. Penggunaan teknologi encryption, baik untuk produk card-based maupun
software-based yang digunakan untuk otentifikasi peralatan maupun
pesan–pesan yang dikirimkan serta untuk melindungi data yang tersimpan
dari usaha-usaha pihak yang ingin melakukan perubahan;
89 Bank Indonesia, Paper Kajian E-Money, Op. Cit, Hal 12-13.
c. Pembatasan nilai maksimum yang dapat disimpan atau yang dapat
dibayarkan juga merupakan salah satu usaha untuk meminimalkan
kerugian bila terjadi penyalahgunaan.
Hal-hal lain yang perlu diperhatikan dalam upaya pengamanan adalah adanya
sistem pengawasan, sistem pemeliharaan data baik pada peralatan individu
maupun pada pusat database penerbit serta kemampuan untuk menelusuri
transaksi-transaksi yang dilakukan. Dalam hal e-money dapat digunakan untuk
melakukan transaksi secara langsung antar pemegang e-money, tingkat security
yang digunakan perlu lebih diperhatikan mengingat adanya timelag sejak transaksi
tersebut dilakukan sampai dengan pencatatan di pusat database, sehingga akan
lebuh sulit untuk mendeteksi adanya penyalahgunaan.
2. Tanggung Jawab Penyelenggara Sistem Pembayaran Uang Elektronik
Hubungan hukum yang terjadi dalam penyelenggaraan uang elektronik terjadi
antara penyelenggara sistem pembayaran elektronik dan pemegang kartu.
Penyelenggaran dalam sistem pembayaran uang elektronik adalah prinsipal, bank
penerbit dan acquirer. Pedagang atau merchant tidak termasuk dalam
penyelenggara sistem pembayaran uang elektronik karena merchant juga
termasuk dikategorikan sebagai pengguna dari sistem elektronik itu sendiri dan
tidak terlibat pada penyelenggaraan sistem elektronik secara teknis.
Dilihat dari transaksi elektronik yang dilakukan menggunakan kartu uang
elektronik (electronic money/e-money) sebagai suatu produk, maka pedagang
(merchant) bukan termasuk sebagai penyelenggara dari sistem elektronik itu
sendiri. Sayangnya, masyarakat umumnya hanya melihat pedagang yang menjual
produknya secara elektronik termasuk ke dalam penyelenggara sistem elektronik
tersebut, padahal pedagang juga merupakan konsumen dari sistem elektronik yang
digunakan untuk menawarkan barang kepada konsumen. Maka dapat dikatakan
pedagang (merchant) dan pemegang kartu merupakan konsumen dari
penyelenggaraan sistem transaksi elektronik yang telah dikembangkan oelh suatu
pihak tertentu (developer) atau diselenggarakan oleh suatu pihak tertentu
(provider).90
Dalam prakteknya kedudukan merchant dan pemegang kartu e-money
tidaklah sama atau seimbang. Pemegang kartu e-money selaku konsumen pada
transaksi elektronik mempunyai kedudukan yang lebih rentan karena pertukaran
informasi yang terjadi pada transaksi elektronik melibatkan data dari pemegang
kartu yang sifatnya personal atau vital. Maka dari itu perlindungan yang diberikan
kepada pemegang kartu e-money selaku konsumen selain dari sistem elektronik
itu sendiri juga harus dijamin dari perlindungan secara hukum.
90 Edmon Makarim, 2004, Kompilasi Hukum Telematika, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta,
Hal. 342.
Beberapa prinsip-prinsip tanggung jawab yang berkaitan dengan kegiatan
pelaku usaha selaku penyelenggara transaksi elektronik adalah :91
1. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Unsur Kesalahan (fault liability /
liability based on fault)
Prinsip ini menyatakan bahwa seseorang atau pelaku usaha baru dapat
dimintai pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan
yang dilakukannya. Prinsip ini diterapkan dalam beberapa ketentuan dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yaitu pada pasal 1365,
1366, 1367 KUH Perdata.
Perbuatan yang dapat dimintai pertanggungjawaban menurut pasal 1365
KUH Perdata harus memenuhi empat unsur pokok yaitu adanya perbuatan
melawan hukum; adanya unsur kesalahan; adanya kerugian yang diderita; dan
adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian.
Seseorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan
perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan perbuatan
orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-
barang yang berada dibawah pengawasannya. Hal ini dalam doktrin hukum
dikenal sebagai vicorius liability yaitu tanggung jawab yang ada karena
kesalahan orang yang dibawah pengawasan dan corporate liability yang lebih
menekankan pada tanggung jawab suatu lembaga atau korporasi terhadap
tenaga-tenaga yang dipekerjakannya.
91 Inosentius Samsul, 2004, Perlindungan Konsumen : Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak, Universitas Indonesia, Jakarta, Hal. 71-80.
2. Prinsip Praduga untuk Selalu Bertanggung Jawab (presumption of liability
principle)
Dalam prinsip ini seseorang (tergugat) dianggap bersalah sampai dirinya
dapat membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Prinsip ini merupakan asas
pembuktian terbalik yang sangat membantu dalam kasus konsumen dimana
pembuktian ada pada pelaku usaha.
Lebih lanjut dalam ketentuan pasal 22 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen menegaskan bahwa beban pembuktian (ada
tidaknya kesalahan) merupakan tanggung jawab pelaku usaha.
3. Prinsip Praduga untuk Tidak Selalu Bertanggung Jawab (presumption of non-
liability )
Prinsip ini merupakan kebalikan dari prinsip praduga untuk selalu
bertanggung jawab. Prinsip ini diterapkan dalam Pasal 24 ayat 2 Undang-
Undang Perlindungan Konsumen dimana jika ada pelaku usaha yang menjual
barang dan/atau jasa kepada konsumen dari pelaku usaha lain, namun telah
melakukan perubahan atas barang dan/atau jasa tersebut maka pelaku usaha
darimana dia mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut bebas dari tanggung
jawab.
4. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak (strict liability)
Prinsip ini menyatakan bahwa pelaku usaha harus secara mutlak bertanggung
jawab atas produknya. Suatu tindakan dapat dihukum atas dasar perilaku
berbahaya yang merugikan (harmful conduct) tanpa mempersoalkan ada
tidaknya kesengajaan (intention) atau kelalaian (negligence). Prinsip ini
menegaskan hubungan kausalitas antara subyek yang bertanggung jawab dan
kesalahan yang dibuatnya, dengan memperhatikan adanya force majeur
sebagai faktor yang dapat melepaskan diri dari tanggung jawab.
Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen belum mengatur prinsip
strict liability. Pada pasal 28, pembuktian ada atau tidaknya unsur kesalahan
merupakan tanggung jawab dari pelaku usaha. Jadi dapat dikatakan bahwa
pembuktian terbalik terbatas pada unsur kesalahan, sedangkan
pertanggungjawaban hukum (pertanggungjawaban perdata) mencakup
termasuk unsur hubungan sebab akibat (causal link), sehingga perlu
dibuktikan kerugian yang ditanggung konsumen karena diakibatkan oleh
barang atau jasa yang dihasilkan pelaku usaha disamping unsur kesalahan
tersebut.
5. Prinsip Tanggung Jawab dengan Batasan (limitation of liability)
Prinsip ini sangat menguntungkan pelaku usaha dimana para pelaku usaha
dapat dengan bebas untuk membatasi beban tanggung jawab yang seharusnya
ditanggung. Dalam perjanjian baku, klausula ini disebut klausula eksonerasi.
Namun dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen prinsip ini dilarang
pada pasal 18 ayat 1 yang menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang untuk
mencantumkan klausula baku dalam perjanjian yang mengatur pernyataan
pengalihan tanggung jawab pelaku usaha maupun agar konsumen tunduk
pada peraturan baru, tambahan atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak
oleh pelaku usaha.
6. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Wanprestasi (breach of warranty)
Prinsip ini menerapkan bahwa tanggung jawab dari pelaku usaha adalah
mutlak (strict obligation), kewajiban didasarkan pada upaya yang telah dilakukan
pelaku usaha untuk memenuhi tanggung jawabnya berdasarkan kontrak
(contractual liability).
Pengaturan mengenai asas-asas atau prinsip-prinsip dalam hukum
perlindungan konsumen dirumuskan dalam Pasal 2 Undang-Undang Perlindungan
Konsumen yaitu perlindungan konsumen berasaskan :
1. Asas Manfaat
Segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus
memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan
pelaku usaha secara keseluruhan.
2. Asas Keadilan
Adanya partisipasi seluruh masyarakat dapat diwujudkan secara maksimal
dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk
memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
3. Asas Keseimbangan
Memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan
pemerintah dalam arti materiik maupun spiritual.
4. Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen
Memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen
dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang atau jasa yang
digunakan.
5. Asas Kepastian Hukum
Pelaku usaha maupun konsumen agar mentaati hukum dan memperoleh
keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara
menjamin kepastian hukum.
Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen disebutkan mengenai hak
dan kewajiban dari pelaku usaha. Pelaku usaha juga mempunyai hak-hak yang
harus dihargai dan dihormati oleh konsumen, pemerintah, serta masyarakat pada
umumnya, karena pengusaha tanpa dilindungi hak-haknya akan mengakibatkan
macetnya aktivitas perusahaan. Hak-hak pelaku usaha dalam Undang-Undang
Perlindungan Konsumen pasal 6 adalah meliputi :
a. Hak untuk menerima pembayaran uang sesuai dengan kesepakatan
mengenai kondisi dan nilai tukar barang atau jasa yang diperdagangkan;
b. Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen
yang beritikad tidak baik;
c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian
hukum sengketa konsumen;
d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa
kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang atau jasa yang
diperdagangkan;
e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.
Untuk memenuhi hak dari konsumen maka para pelaku usaha dalam hal ini
sebagai penyelenggara kegiatan sistem pembayaran elektronik dibebankan juga
kewajiban sebagaimana diatur dalam pasal 7 Undang-Undang Perlindungan
Konsumen yang meliputi :
a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang atau jasa serta member penjelasan penggunaan, perbaikan
dan pemeliharaan barang dan jasa;
c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif;
d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau yang
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang atau jasa yang
berlaku;
e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba
barang atau jasa tertentu serta member jaminan dan/atau garansi atas
barang atau jasa yang dibuat dan diperdagangkan;
f. Member kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat
penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang atau jasa yang
diperdagangkan;
g. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang atau
jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Dalam menjalankan tugasnya sebagai penyelenggara sistem elektronik,
pengelola sistem yaitu prinsipal dianggap sebagai lembaga kepercayaan dan
usahanya didasari dengan kepercayaan konsumen. Atas dasar tersebut bank harus
diselenggarakan dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan dan prinsip-prinsip
kehati-hatian dan manajemen risiko terkait penyelenggaraan sistem elektronik ini.
Manajemen risiko yang dimaksud adalah serangkaian prosedur dan
metodologi yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau , dan
mengendalikan risiko yang timbuk dari kegiatan usaha bank. Sedangkan yang
dimaksud dengan risiko adalah potensi terjadinya suatu peristiwa (events) yang
dapat menimbulkan kerugian bank.92 Penerapan manajemen risiko wajib
disesuaikan dengan tujuan, kebijakan usaha, ukuran, kompleksitas usaha, serta
kemampuan bank. Risiko dalam kegiatan usaha bank mencakup hal-hal sebagai
berikut :93
1. Risiko Kredit
Risiko akibat kegagalan pemegang kartu dan/atau pihak lain dalam memenuhi
kewajiban kepada bank penerbit.
2. Risiko Pasar
Risiko pada posisi neraca dan rekening administrative termasuk transaksi
derivatif, akibat perubahan secara keseluruhan dari kondisi pasar.
3. Risiko Likuiditas
Risiko akibat ketidakmampuan bank penerbit untuk memenuhi kewajiban
yang jatuh tempo dari sumber pendanaan arus kas dan/atau dari asset likuid
berkualitas tinggi yang dapat diagunkan, tanpa mengganggu aktivitas dan
kondisi keuangan bank.
92 R. Serfianto DP, op.cit, Hal. 188. 93 Ibid, Hal. 189-190.
4. Risiko Operasional
Risiko akibat ketidakcukupan dan/atau tidak berfungsinya proses internal,
kesalahan manusia, kegagalan sistem, dan/atau adanya kejadian-kejadian
eksternal yang mempengaruhi operasional bank penerbit.
5. Risiko Hukum
Risiko akibat tuntutan hukum dan/atau kelemahan aspek yuridis.
6. Risiko Reputasi
Risiko akibat menurunnya tingkat kepercayaan stakeholder yang bersumber
dari perspektif negatif terhadap bank penerbit.
7. Risiko Strategis
Risiko akibat ketidaktepatan dalam pengambilan dan atau pelaksanaan suatu
keputusan strategis serta kegagalan dalam mengantisipasi perubahan
lingkungan bisnis.
8. Risiko Kepatuhan
Risiko akibat bank tidak mematuhi dan/atau tidak melaksanakan peraturan
perundang-undangan dan ketentuan yang berlaku.
Dalam melaksanakan kegiatannya, sesuai Pasal 3 PBI Uang Elektronik,
Prinsipal memiliki kewajiban :
a. Menetapkan prosedur dan persyaratan yang obyektif dan transparan;
b. Melakukan pengawasan terhadap keamanan dan keandalan sistem dan/atau
jaringan.
Prosedur dan persyaratan yang obyektif adalah sesuai dengan persyaratan-
persyaratan yang ditetapkan oleh prinsipal dan menerapkan perlakuan yang setara
(equal treatment) kepada seluruh penerbit dan acquirer. Sedangkan yang
dimaksud transparan adalah harus tersedia informasi yang memadai kepada
penerbt dan acquirer terhadap proses penyusunan, pelaksanaan prosedur dan
persyaratan yang ditetapkan oleh prinsipal. Pengawasan yang dilakukan prinsipal
terhadap keamanan dan keandalan jaringan yang digunakan oleh penerbit dan
acquirer dilakukan secara efektif baik melalui pemantauai secara on-line atau
pemeriksaan di lokasi penerbit dan acquirer.
Kewajiban Acquirer diatur dalam Pasal 7 PBI Uang Elektronik yaitu :
1. Melakukan edukasi dan pembinaan terhadap pedagang (merchant) yang
bekerjasama dengan acquirer
2. Menghentikan kerjasama dengan pedagang (merchant) yang melakukan
tindakan yang merugikan
3. Melakukan tukar-menukar informasi atau data dengan acquirer lainnya
tentang pedagang (merchant) yang melakukan tindakan yang merugikan dan
dapat mengusulkan pencantuman nama pedagang tersebut ke dalam daftar
hitam pedagang (merchant black list)
Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara
Penyelesaian Akhir dalam melakukan kegiatannya harus memperoleh izin sesuai
syarat dan tata cara yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dalam Surat Edaran
Bank Indonesia Nomor 11/11/DASP Tahun 2009 tentang Uang Elektronik
(Electronic Money). Setelah memperoleh izin sesuai ketentuan Bank Indonesia
wajib melakukan kegiatannya dalam jangka waktu yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia, yakni paling lambat 180 (seratus delapan puluh) hari kalender telah
memulai kegiatannya terhitung sejak tanggal pemberian izin. Jika dalam jangka
waktu tersebut belum dapat melaksanakan kegiatannya maka wajib
menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada Bank Indonesia.
Dalam penyelenggaraan kegiatannya, penerbit memiliki kewajiban sesuai
dengan ketentuan PBI Uang Elektronik yaitu :
1. Menerbitkan uang elektronik sesuai dengan nilai uang yang disetorkan
pemegang kepada penerbit.
2. Mematuhi batas maksimum nilai uang elektronik yang disimpan pada media
elektronik dan batas maksimum nilai transaksi uang elektronik sesuai
ketentuan yang ditetapkan.
3. Dalam hal media uang elektronik mempunyai keterbatasan usia teknis yang
harus diperbahatui dengan penggantian media penyimpanan, uang elektronik
yang masih tersisa menjadi kewajiban penerbit untuk tidak menghapus atau
menghilangkan nilai uang elektronik karena masih merupakan milik
pemegang kartu.
4. Wajib mencatat identitas pedagang (merchant) yang bekerjasama dengan
penerbit.
5. Penerbit wajib menerapkan manajemen risiko operasional dan risiko
keuangan.
6. Memberikan informasi secara tertulis kepada pemegang mengenai produk
uang elektronik yang diterbitkan.
7. Uang elektronik yang diterbitkan wajib menggunakan mata uang rupiah.
Dalam pelaksanaan kegiatan uang elektronik, harus juga memperhatikan para
pemangku kepentingan (stakeholder) yaitu individu, kelompok, komunitas,
maupun masyarakat baik secara keseluruhan maupun secara parsial yang memiliki
hubungan kepentingan terhadap pelaksanaan kegiatan uang elektronik. Hal ini
diperlukan agar kegiatan penyelenggaraan uang elektronik dapat dibangun
berdasarkan konsep kebermanfaatan yang membangun kerjasama untuk
mencipyakan kesinambungan penyelenggaraan kegiatan uang elektronik.
Masyarakat secara keseluruhan maupun pemegang kartu secara perseorangan
merupakan pemangku kepentingan (stakeholder) terpenting bagi penyelenggaraan
kegiatan uang elektronik, termasuk juga media yang memegang peranan penting
dalam mengkomunikasikan kegiatan penyelenggaraan uang elektronik kepada
para stakeholder. Hal ini bertujuan agar pelaksanaan kegiatan penyelenggaraan
uang elektronik berjalan sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan. Peranan
stakeholder ini penting karena dapat mempengaruhi kegiatan penyelenggaraan
kegiatan uang elektronik ataupun sebaliknya dapat dipengaruhi oleh kegiatan
penyelenggaraan uang elektronik.
Bentuk pengawasan Bank Indonesia selaku bank sentral tertuang dalam Pasal
22 PBI Uang Elektronik, yaitu melakukan pengawasan terhadap prinsipal,
penerbit, acquirer, penyelenggara kliring dan/atau penyelenggara penyelesaian
akhir selaku penyelenggara kegiatan uang elektronik. Dalam rangka pengawasan
tersebut, Bank Indonesia mengadakan pertemuan konsultasi (consultative
meeting) dengan penyelenggara kegiatan uang elektronik yang dalam pertemuan
wajib untuk :
a. Menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia secara tertulis dan/atau
online mengenai kegiatan uang elektronik;
b. Memberikan keterangan dan/atau data yang terkait dengan
penyelenggaraan uang elektronik sesuai dengan permintaan Bank
Indonesia;
c. Memberikan kesempatan kepada Bank Indonesia untuk melakukan
pemeriksaan (on site visit) guna memperoleh informasi yang terkait
dengan penyelenggaraan kegiatan uang elektronik.
Lebih lanjut dalam Pasal 23, Bank Indonesia dapat menugaskan pihak lain yaitu
Akuntan Publik maupun Konsultan Teknologi Informasi untuk dan atas nama
Bank Indonesia melaksanakan pemeriksaan (on site visit).
Dalam rangka peningkatan keamanan teknologi, penyelenggara kegiatan uang
elektronik dalam Pasal 24 memiliki kewajiban yaitu :
a. Menggunakan sistem yang aman dan andal;
b. Memelihara dan meningkatkan keamanan teknologi uang elektronik;
c. Memiliki kebijakan dan prosedur tertulis (standard operating procedure)
penyelenggaraan kegiatan uang elektronik;
d. Menjaga keamanan dan kerahasiaan data.
3. Perlindungan Hukum Bagi Pemegang Kartu Uang Elektronik
Peranan e-money sebagai salah satu bentuk pembayaran non tunai disamping
memberikan manfaat dan kemudahan bagi pemegang kartu juga memiliki
berbagai potensi risiko keamanan. Potensi risiko yang dapat terjadi dalam
pembayaran mikro antara lain adalah risiko pemalsuan dan duplikasi kartu,
modifikasi data atau aplikasi e-money, pengubahan message, pencurian,
penyangkalan (repudiation) dan risiko malfunction. Dalam rangka
meminimalisasi risiko yang dapat terjadi tersebut, penyelenggaraan e-money harus
diatur dalam mewujudkan kerangka hukum yang kuat dan transparan serta mampu
memberikan jaminan perlindungan terhadap pemegang kartu e-money.
Penerbit uang elektronik (electronic money / e-money) wajib menerapkan
prinsip perlindungan nasabah dalam menyelenggarakan kegiatannya dengan
menyampaikan informasi secara tertulis kepada pemegang kartu. Kewajiban
penyelenggara sistem pembayaran elektronik terhadap pemegang kartu uang
elektronik (e-money) didasarkan bahwa penyelenggara dan pemegang kartu
kedudukannya tidak sejajar dan bahwa kepentingan pemegang kartu e-money
sangat rentan terhadap tujuan penyelenggara yang memiliki pengetahuan dan
keahlian yang tidak dimiliki oleh pemegang kartu.94
Konsumen memiliki hak-hak yang harus dilindungi oleh pelaku usaha, yang
dalam UU Perlindungan Konsumen dijelaskan mengenai hak-hak konsumen pada
pasal 4 yaitu meliputi :
a. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi
barang atau jasa;
b. Hak untuk memilih barang atau jasa serta mendapatkan barang atau jasa
tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang
diperjanjikan;
c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang atau jasa;
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang atau jasa;
94 John Pieris dan Wiwik Sri Widiarty, 2007, Negara Hukum dan Perlindungan Konsumen
Terhadap Produk Pangan Kedaluwarsa, Pelangi Cendikia, Jakarta, Hal 54.
e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan hukum secara patut;
f. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar, jujur serta tidak
diskriminatif;
h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian
apabila barang atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau
tidak sebagaimana mestinya;
i. Hak untuk diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Di pihak lain konsumen juga dibebani dengan kewajiban atau tanggung jawab
terhadap pelaku usaha, kewajiban dari konsumen pada pasal 5 UU Perlindungan
Konsumen meliputi :
a. Membaca dan mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau
pemanfaatan barang atau jasa demi keamanan dan keselamatan;
b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang atau jasa;
c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen
secara patut.
Transparansi produk yang dilakukan oleh penerbit sesuai dengan ketentuan
Bank Indonesia yang dilakukan dengan cara memberikan informasi secara tertulis
kepada pemegang atas uang elektronik yang diterbitkannya, merupakan salah satu
aspek dalam pengendalian risiko yang akan dihadapi bank penerbit. Peningkatan
kualitas penerapan manajemen risiko akan mendukung efektivitas kerangka
pengawasan bank berbasis risiko.95
Sesuai dengan ketentuan dalam PBI Uang Elektronik, penerbit wajib
menerapkan manajemen risiko operasional dan risiko keuangan dengan cara :
a. Menempatkan dana float dalam bentuk asset yang aman dan likuid;
b. Menggunakan dana float tersebut hanya untuk memenuhi kewajiban
kepada pemegang dan pedagang; dan
c. Memenuhi kewajiban kepada pemegang dan pedagang secara tepat waktu.
Dalam Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/11/DASP Tahun 2009 tentang
Uang Elektronik, lebih lanjut diatur penyelenggaraan penerapan menajemen risiko
operasional para penyelenggara kegiatan uang elektronik wajib meningkatkan
keamanan teknologi uang elektronik untuk mengurangi tingkat kejahatan dan
penyalahgunaan uang elektronik segaligus untuk meningkatkan kepercayaan
masyarakat terhadap uang elektronik sebagai alat pembayaran.
95 R. Serfianto DP, op.cit, hal. 187.
Peningkatan keamanan tersebut dilakukan dengan penggunaan proven
technology yang memenuhi aspek-aspek yaitu :
a. Adanya sistem keamanan teknologi yang memenuhi prinsip-prinsip sebagai
berikut :
1) Kerahasiaan data (confidentiality);
2) Integritas sistem dan data (integrity);
3) Otentikasi sistem dan data (authentication);
4) Pencegahan terjadinya pengangkalan transaksi yang telah dilakukan (non-
repudiation); dan
5) Ketersediaan sistem (availability)
Seluruh prinsip ini dilakukan secara efektif dan efisien dengan
memperhatikan kepatuhan terhadap ketentuan yang berlaku;
b. Adanya sistem dan prosedur untuk melakukan audit trail;
c. Adanya kebijakan dan prosedur internal untuk sistem dan Sumber Daya
Manusia (SDM); dan
d. Adanya Business Contiuity Plan (BCP) yang dapat menjamin kelangsungan
penyelenggaraan uang elektronik. BCP ini meliputi tindakan preventif
maupun contingency plan (termasuk penyedian sarana back-up) jika terjadi
kondisi darurat atau gangguan yang mengakibatkan sistem utama
penyelenggaraan uang elektronik tidak dapat digunakan.
Perlindungan hukum bagi pemegang kartu uang elektronik dapat dilakukan
melalui dua cara yaitu :
1. Perlindungan Hukum Preventif
Perlindungan yang diberikan oleh Bank Indonesia melalui pengawasan
terhadap kegiatan transaksi uang elektronik dengan tujuan untuk mencegah
terjadinya pelanggaran.
2. Perlindungan Hukum Represif
Perlindungan hukum yang bertujuan untuk menyelesaikan sengketa yang
terjadi akibat perbedaan kepentingan.
Wujud perlindungan hukum pada dasarnya merupakan upaya penegakan
hukum. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam penegakan hukum
adalah faktor hukumnya sendiri, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung
penegakan hukum, faktor masyarakat yakni dimana hukum tersebut berlaku dan
diterapkan.96
Bentuk perlindungan hukum preventif bagi pemegang kartu uang elektronik
dapat diwujudkan dengan pengaturan ketentuan tentang penggunaan perjanjian
standar atau perjanjian baku yang lebih rinci mengenai hakekat, karakter,
pembagian hak dan kewajiban yang dituangkan dalam bentuk undang-undang,
yang memberi wadah atau tempat berlindung bagi pemegang kartu melalui
96 Johanes Ibrahim, 2005, Dilematis Penerapan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004
tentang Lembaga Penjamin Simpanan, Antara Perlindungan Hukum dan Kejahatan Perbankan, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 24 No. 1 Tahun 2005, Hal. 43.
pengaturan klausul-klausul dalam perjanjian baku syarat dan ketentuan pemegang
kartu.
Bentuk perlindungan represif dapat ditempuh oleh para pihak, baik penerbit
maupun pemegang kartu melalui pola penyelesaian sengketa yang dapat dibagi
menjadi dua macam yaitu :
1. Melalui pengadilan (upaya litigasi);
2. Alternatif penyelesaian sengketa ( upaya penyelesaian sengketa di luar
pengadilan atau upaya non litigasi) yang meliputi :
− Konsultasi;
− Negosiasi;
− Mediasi;
− Konsiliasi; dan
− Penilaian Ahli
Lebih lanjut disebutkan ada dua pola penyelesaian sengketa yaitu :97
1. The Binding Adjudicative Procedure
Merupakan prosedur penyelesaian sengketa yang di dalam memutuskan
perkara hakim mengikat para pihak. Bentuk penyelesaian sengketa ini dapat
97 Salim HS, 2006, Hukum Kontrak Teori dan Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta,
Hal 140.
dibagi menjadi empat macam yaitu litigasi; arbitrase; mediasi arbitrase; dan
hakim partikelir.
2. The Non Binding Adjudicative Procedure
Suatu proses penyelesaian sengketa yang di dalam memutuskan perkara
hakim atau orang yang ditunjuk tidak mengikat para pihak. Penyelesaian
sengketa dengan cara ini dibagi menjadi enam macam yaitu konsiliasi;
mediasi; mini trial; summary jury trial; neutral expert fact-finding; early
expert neutral evaluation.
Bank Indonesia mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor
11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik (Electronic Money) sebagai bentuk
perlindungan hukum dalam mengatur dan mengawasi perkembangan alat
pembayaran menggunakan uang elektronik yang diterbitkan dalam bentuk kartu
oleh bank penerbit maupun bentuk lain yang diterbitkan oleh lembaga selain bank.
Peraturan Bank Indonesia ini lebih lanjut diatur dengan Surat Edaran Bank
Indonesia Nomor 11/11/DASP Tahun 2009 tentang Uang Elektronik (Electronic
Money) yang mengatur mengenai persyaratan dan tata cara perolehan izin
penyelenggara kegiatan e-money. Seiring dengan perkembangan teknologi
informasi dan komunikasi yang mempengaruhi perkembangan alat pembayaran
berupa uang elektronik, pengaturan ini bertujuan untuk meningkatkan kelancaran
dan efektivitas penyelenggaraan uang elektronik dan mencegah terjadinya
pelanggaran terhadap penggunaan kartu e-money serta memberikan perlindungan
bagi para pelaku dalam kegiatan uang elektronik khususnya pemegang kartu.
Upaya pencegahan pelanggaran atas penyelenggaraan kegiatan uang
elektronik dilakukan untuk memastikan penyelenggaraan kegiatan uang elektronik
dengan objek pengawasan Bank Indonesia adalah kepada Prinsipal, Penerbit,
Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir,
dapat dilakukan secara efisien, cepat, aman dan andal dengan memperhatikan
prinsip perlindungan nasabah pemegang kartu e-money. Pengawasan
penyelenggaraan kegiatan uang elektronik difokuskan pada penerapan aspek
manajemen risiko; kepatuhan terhadap ketentuan yang berlaku, termasuk
kebenaran dan ketepatan penyampaian informasi dan laporan; dan penerapan
aspek perlindungan nasabah.
Selain peraturan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia, penerbit juga
menetapkan perjanjian baku berupa syarat dan ketentuan bagi pemegang kartu
yang bertujuan memberikan pemahaman kepada pemegang kartu terhadap
karakteristik uang elektronik untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kartu e-
money sehingga kerugian pemegang kartu akibat kelalaian penggunaan kartu
dapat dihindari.
Peraturan Bank Indonesia juga memuat sanksi yang diberlakukan kepada para
penyelenggara kegiatan uang elektronik yaitu prinsipal, penerbit, acquirer,
penyelenggara kliring dan/atau penyelenggara penyelesaian akhir pada Bab VIII
Pasal 32 – Pasal 46 PBI Uang Elektronik. Secara keseluruhan, sanksi yang
diberikan yaitu :
1. Sanksi Administratif
a. Teguran tertulis
b. Penghentian sementara kegiatan uang elektronik
2. Sanksi Pencabutan Izin
a. Penghentian kegiatan uang elektronik oleh instansi berwenang berdasarkan
permintaan Bank Indonesia
Penghentian sementara, pembatalan dan pencabutan izin penyelenggara
kegiatan uang elektronik diatur dalam Bab IX Pasal 47 PBI Uang Elektronik yaitu
Bank Indonesia atas dasar sanksi yang diberikan dapat menghentikan sementara,
membatalkan atau mencabut izin yang telah diberikan kepada Bank atau Lembaga
Selain Bank (LSB) sebagai Prinsipal, Penerbit Acquirer, Penyelenggara Kliring
dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir, antara lain dalam hal :
a. Terdapat putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap yang
memerintahkan Bank atau Lembaga Selain Bank yang melakukan kegiatan
sebagai Prinsipal, Penerbit Acquirer, Penyelengggara Kliring dan/atau
Penyelenggara Penyelesaian Akhir untuk menghentikan kegiatannya;
b. Terdapat rekomendasi dari otoritas pengawas yang berwenang antara lain
mengenai memburuknya kondisi keuangan dan/atau lemahnya manajemen
risiko Bank atau Lembaga Selain Bank.
Rekomendasi dari otoritas pengawas yang berwenang dapat berasal dari
pengawas bank, pengawas sistem pembayaran, atau pengawas dari lembaga
selain bank yang bersangkutan;
c. Terdapat permintaan tertulis atau rekomendasi dari otoritas pengawas yang
berwenang kepada Bank Indonesia untuk menghentikan sementara kegiatan
Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring dan/atau Penyelenggara
Penyelesaian Akhir;
d. Otoritas pengawas yang berwenang telah mencabuit izin usaha dan/atau
menghentikan kegiatan usaha Bank atau Lembaga Selain Bank yang
melakukan kegiatan sebagai Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara
Kliring dan/atau Penyelenggara Penyelesaian Akhir; atau
e. Adanya permohonan pembatalan yang diajukan sendiri oleh Bank atau
Lembaga Selain Bank yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia.
Syarat dan ketentuan penggunaan kartu e-money bagi pemegang kartu,
disebutkan bahwa penyelesaian sengketa (dispute) dapat diajukan kepada penerbit
baik secara lisan maupun tulisan dengan melengkapi fotokopi identitas diri
pemegang kartu dan dokumen-dokumen pelengkap sebagai bukti pengaduan.
Penerbit akan menanggapi pengaduan tersebut dan akan melakukan pemeriksaan
atas pengaduan pemegang kartu tersebut selambat-lambatnya dalam jangka waktu
14 (empatbelas) hari sejak tanggal diterimanya dokumen pengaduan secara
lengkap.
Penyelesaian sengketa (dispute) antara penerbit dan pemegang kartu tunduk
pada hukum yang berlaku di Negara Republik Indonesia. Perselisihan yang terjadi
atas kesepakatan para pihak diselesaikan melalui :
1. Penyelesaian secara musyawarah;
2. Jika atas musyawarah tersebut tidak menemukan kesepakatan, maka para
pihak dapat menyelesaikannya melalui Pengadilan Negeri sesuai dengan
domisili tergugat; atau
3. Bentuk atau cara-cara penyelesaian lain sesuai dengan kesepakatan para
pihak.
Hukum memberikan jaminan dan keamanan dalam kehidupan sosial termasuk
jaminan dan keamanan terhadap pemegang kartu e-money dalam kegiatan
transaksi pembayaran melalui uang elektronik berhak memperoleh jaminan
terhadap nilai uang tunai sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku. Hal ini juga
dikemukakan oleh Roger Catterrell dalam bukunya The Sociology of Law yang
menjelaskan bahwa “Law secures social cohesion and orderly social change by
balancing conflicting interest-individual (the private interest of individual
citizens), social (arising from the common conditions of social life) and public
(specifically the interest of the state)”.98
98 Roger Catterrell, 1984, The Sociology of Law : An Introduction, Butterworths, London
Hal.76.
Perlindungan hukum merupakan upaya mempertahankan dan memelihara
kepercayaan masyarakat atau konsumen sebagai pemegang kartu, maka sudah
seharusnya diberikan perlindungan hukum. Dengan demikian guna menjaga
kepercayaan masyarakat terhadap kegiatan pembayaran menggunakan uang
elektronik, maka pemerintah harus berusaha memberikan perlindungan hukum
kepada masyarakat.
BAB V
PENUTUP
1. Simpulan
Berdasarkan pembahasan seperti yang telah diuraikan, maka dapat diambil
suatu simpulan yaitu sebagai berikut :
1. Pembayaran menggunakan uang elektronik (e-money) dalam melakukan
transaksi e-money diatur oleh Bank Indonesia melalui Peraturan Bank
Indonesia Nomor 11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik (Electronic
Money) dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/11/DASP Tahun
2009 tentang Uang Elektonik (Electronic Money) termasuk diatur melalui
perjanjian antara penerbit dan pemegang kartu, bentuk pengaturan uang
elektronik (e-money) ini belum tepat dan belum memadai karena hanya
mengatur mengenai tata cara dan syarat penyelenggaraan kegiatan uang
elektronik dari sisi penyelenggara namun belum mengatur perlindungan
terhadap pemegang kartu.
2. Perlindungan hukum bagi pemegang kartu dalam kegiatan pembayaran
menggunakan uang elektronik (e-money) dilakukan melalui upaya
perlindungan hukum secara preventif yaitu melalui aturan-aturan yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia dan dalam bentuk perjanjian antara
penerbit dan pemegang kartu dan melalui upaya represif yaitu
penyelesaian sengketa melalui pengadilan maupun alternatif penyelesaian
sengketa. Bank Indonesia melakukan pengawasan dan memberikan sanksi
terkait pelanggaran yang dilakukan oleh penyelenggara kegiatan uang
elektronik yang tidak dijalankan sesuai ketentuan yang berlaku. Perjanjian
antara penerbit dan pemegang kartu juga merupakan bentuk upaya
perlindungan bagi pemegang kartu melalui asas-asas perjanjian yang
melekat pada perjanjian tersebut sekalipun tidak dicantumkan secara
tertulis dalam perjanjian.
2. Saran
Berdasarkan simpulan yang telah diuraikan maka dapat disampaikan saran
terkait dengan perlindungan hukum bagi pemegang kartu uang elektronik dalam
transaksi e-money adalah sebagai berikut :
1. Adanya bentuk pengaturan yang jelas mengenai perlindungan terhadap
pemegang kartu dalam transaksi e-money yang dapat berupa Undang-
Undang, Peraturan ataupun Perjanjian lainnya yang lebih jelas, lengkap
dan memberikan persamaan kedudukan antara penerbit dan pemegang
kartu.
2. Perlindungan hukum terhadap pemegang kartu e-money diharapkan dapat
dilaksanakan pengawasannya oleh Bank Indonesia termasuk para
penyelenggara kegiatan uang elektronik demi meningkatkan kelancaran
dan keamanan bertransaksi bagi seluruh pihak terutama pemegang kartu.
DAFTAR PUSTAKA
I. Buku Abdul Manan, 2005, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Kencana, Jakarta. Abdulkadir Muhammad dan Rilda Muniarti, 2000, Segi Hukum Lembaga
Keuangan dan Pembiayaan, PT. Citra Aditya Bakti, Jakarta. Abdulkadir Muhammad, 1992, Perjanjian Baku dalam Praktik Perusahaan
Perdagangan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Abdurrachman, A, 1993, Ensiklopedia Ekonomi Keuangan Perdagangan, Jakarta,
Pradnya Paramita. Ade Maman Suherman, 2002, Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global, Ghalia
Indonesia, Jakarta. Agus Yudha Hernoko, 2008, Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial,
Laksbang Mediatama, Yogyakarta. Agus Yudha Hernoko, 2010, Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam
Kontrak Komersial, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Agus. M Tohar, 1990, Tanggung Jawab Produk, Sejarah dan Perkembanganya,
Kerjasama Ilmu Hukum Belanda dengan Indonesia Proyek Hukum Perdata, Denpasar-Bali.
Ahmadi Miru dan Sutarman Yudo, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen, PT.
RajaGrafindo Persada, Jakarta. Ahmadi Miru, 2007, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta. Astim Riyanto, 2006, Teori Konstitusi, Penerbit Yapemdo, Bandung. Az Nasution, 1995, Hukum dan Konsumen : Tinjauan Sosial, Ekonomi, dan
Hukum pada Perlindungan Konsumen Indonesi, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
B. Hestu Cipto Handoyo, 2008, Prinsip-Prinsip Legal Drafting dan Desain
Naskah Akademik, Universitas Atmajaya, Yogyakarta.
Chatamarrasjid, Ais, 2010, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Prenada Media Group, Jakarta.
Dwi Kartini, 2009, Corporate Social Responsibility Transformasi Konsep
Sustainability Management dan Implementasi di Indonesia, Refika Aditama, Bandung.
E. Utrecht, 1960, Hukum Administrasi Negara Indonesia, FHMP Universitas
Negeri Padjajaran, Bandung. Edmon Makarim, 2004, Kompilasi Hukum Telematika, PT. RajaGrafindo Persada,
Jakarta. Elvinard Ardianto dan Dindin M. Machfudz, 2011, Efek Kedermawanan Pebisnis
dan CSR Berlipat-Lipat, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta. Flory Santosa, 2009, Pedoman Praktis Menghindari Perangkap Utang Kartu
Kredit, Forum Sahabat, Jakarta. Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2003, Hukum tentang Perlindungan
Konsumen, PT. Gramedia, Jakarta. Herlien Budiono, 2008, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang
Kenotariatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Herlien Budiono, 2010, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di
Bidang Kenotariatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Huala Adolf, 2002, Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional cetakan III,
Rajawali Pers. I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, 2010, Implementasi
Ketentuan-Ketentuan Hukum Perjanjian ke dalam Perancangan Kontrak, Udayana University Press, Denpasar.
Inosentius Samsul, 2004, Perlindungan Konsumen : Kemungkinan Penerapan
Tanggung Jawab Mutlak, Universitas Indonesia, Jakarta. J. Satrio, 1993, Hukum Perikatan, Perikatan Pada Umumnya, Alumni, Bandung. Janus Sidabalok, 2010, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung. Jimly Asshiddiqie, 2000, Pergeseran-pergeseran Kekuasaan Legislatif &
Eksekutif, Universitas Indonesia, Jakarta.
Johanes Ibrahim, 2004, Kartu Kredit Dilematis Antara Kontrak dan Kejahatan, Refika Aditama, Bandung.
John Pieris dan Wiwik Sri Widiarty, 2007, Negara Hukum dan Perlindungan
Konsumen Terhadap Produk Pangan Kedaluwarsa, Pelangi Cendikia, Jakarta.
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2010, Perikatan yang Lahir dari
Perjanjian, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta. Kasmir, 2003, Dasar-Dasar Perbankan, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta. Mariam Darus Badrulzaman, 1978, Perjanjian Kredit Bank, Alumni, Bandung. Mariam Darus Badrulzaman, 1994, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung. Muhammad Djumhana, 2006, Hukum Perbankan di Indonesia, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung. Munir Fuady, 2003, Hukum Perbankan Modern, Buku Kesatu, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung. N.H.T. Siahaan, 2005, Hukum Konsumen : Perlindungan Konsumen dan
Tanggungjawab Produk, Panta Rei, Jakarta. Niniek Suparni, 2009, CyberspacePeoblematika dan Antisipasi Pengaturannya,
Sinar Grafika, Jakarta. Nor Hadi, 2011, Corporate Social Responsibility, Graha Ilmu, Yogyakarta. Otje Salman, 2008, Teori Hukum – Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka
Kembali, Refika Aditama, Jakarta. Philipus M. Hadjon, 2007, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia,
Percetakan M2 Print, Edisi Khusus, Surabaya. R. Serfianto D.P, Dkk, 2012, Untung Dengan Kartu Kredit, Kartu ATM-Debit,
dan Uang Elektronik, Visi Media Pustaka, Jakarta. R. Subekti dan R. Tjitrisudibio, 1992, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
Burgerlijk Wetboek, Cetakan Keduapuluhtujuh (Edisi Revisi), PT. Pradnya Paramita, Jakarta.
Ridwan HR, 2011, Hukum Administrasi Negara, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
Ridwan Syahrani, 1985, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung.
Ronny Hanitijo Soemitro, 1995, Metodelogi Penelitian Hukum dan Jurimetri,
Ghalia Indonesia, Jakarta. Salim HS, 2006, Hukum Kontrak Teori dan Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika,
Jakarta. Satjipto Rahardjo, 2010, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan
Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta. Soejono dan H. Abdurrahman, 2003, Metode Penelitian Hukum, Cetakan Kedua,
Jakarta, Rineka Cipta. Soerjono Soekamto, 2001, Sosiologi Suatu Pengantar, PT. Raja Gravindo
Persada, Jakarta. Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 2001, Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, UII Press, Jakarta. Solikin dan Suseno, 2002, Uang Pengertian, Penciptaan & Peranannya Dalam
Perekonomian, Seri Kebanksentralan Vol. 1, Pusat Pendidikan & Studi Kebanksentralan (PPSK) Bank Indonesia, Jakarta.
Sri Rejeki Hartono, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju,
Bandung. Sudaryatmo, 1999, Hukum dan Advokasi Konsumen, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung. Syahrul Bahroen dan Suarpika Bimantoro, 2004, Bank Indonesia Bank Sentral
Republik Indonesia, Sebuah Pengantar : Organisasi Bank Indonesia, Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan Bank Indonesia, Jakarta
Titik Triwulan Tutik, 2010, Pengantar Hukum Tata Usaha Negara Indonesia,
Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta. Wirjono Projodikoro, 1974, Asas-Asas hukum Tata Negara di Indonesia, Dian
Rakyat, Jakarta. Zulham, 2013, Hukum Perlindungan Konsumen, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta.
II. Literatur Asing Bryan A. Garner, 1999, Black’s Law Dictionary, West Group, St. Paul minn. Henry Campbell Black’s Dictionary, 1990, Black Law Dictionary, Sixth Edition,
St. Paul Minn, West Publishing Co. Ian Mcleod, 2003, Legal Theory, Queen Mary Centre for Commercial Law
Studies, University of London. Lon L. Fuller, 1963, The Morality of Law, Haven and London Yale University
Press. Roger Catterrell, 1984, The Sociology of Law : An Introduction, Butterworths,
London. Tony Drury and Charles W. Ferrier, 1984, Credit Card, London Butterworths. III. Kamus, Jurnal dan Tesis _____, 2000, Monetary and Economic Studies, Institute for Monetary and
Economic Studies, Bank of Japan, Vol 18 No. 1. Ahmad Hidayat, Dkk, Tim Inisiatif 2006 Grand Desain Upaya Peningkatan
Penggunaan Pembayaran Non Tunai, 2006, Upaya Meningkatkan Penggunaan Alat Pembayaran Non Tunai Melalui Pengembangan E-Money, Working Paper, Bank Indonesia.
Bank Indonesia, 2001, Paper Kajian E-Money, Bank Indonesia, Jakarta. Bernadette M.Waluyo, 1997, Hukum Perlindungan Konsumen, Bahan Kuliah
Universitas Parahyangan. Editorial Jurnal Hukum Bisnis, 2002, E-commerce Meningkatkan Efisiensi, Jurnal
Hukum Bisnis, Vol. 18. I Gusti Ngurah Agung Udra Sanjaya, 2010, Perlindungan Hukum Bagi Kreditur
Dalam Kontrak Kerjasama Pemberian Kredit Terhadap Karyawan Tetap (Kretap) di PT. BRI (Persero) Tbk, Cabang Denpasar, Tesis Magister Kenotariatan, Universitas Brawijaya.
Johanes Ibrahim, 2005, Dilematis Penerapan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan, Antara Perlindungan Hukum dan Kejahatan Perbankan, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 24 No. 1 Tahun 2005.
Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, 1991, Balai Pustaka, Jakarta. Made Diah Sekar Mayang Sari, 2010, Perlindungan Hukum Terhadap Merek
Terkenal Dalam Sistem Hukum Hak Kekayaan Intelektual, Tesis Magister Ilmu Hukum, Universitas Udayana.
Sila Saktiana, 2004, Analisis Yuridis Mengenai Dampak Pembentukan Otoritas
Jasa Keuangan Terhadap Pengawasan Perbankan Syariah, Skripsi Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta.
Universitas Udayana, 2008, Buku Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan
Tesis Program Magister Ilmu Hukum. Zulkarnaen Sitompul, 2004, Menyambut Kehadiran Otoritas Jasa Keuangan
(OJK), Pilars, No.02/Th.VII. III. Artikel Elektronik (Internet) Bank Indonesia, Mengenal Kartu Debit dan ATM, available from : URL :
http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/BBE21279-B059-4C04-BBE8-E2D58360DB06/1465/MengenalKartuDebitdanATM.pdf
Anastasia Lilin Y, Mengontrol Pengeluaran Dengan Uang Elektronik (Selesai),
2012, Kontan.co.id, available from : URL : http://personalfinance.co.id/news/mengontrol-pengeluaran-dengan-uang-elektronik-selesai.
Antonio Argandona, Working Paper, May 2011, Stakeholder Theory and Value
Creation, IESE Business School University of Navarra, available from : URL : http://www.iese.edu/research/pdfs/di-0922-e.pdf.
Irwan Irawan, 2009, Teori Stakeholder, available from : URL :
http://irwanirawan.com/2009/06/08/teori-stakeholder/. Paper Kajian E-Money, 2001, Paper Kajian Mengenai E-Money, Bank Indonesia,
available from : URL : http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/2AE7458F-D2DD-80DD-D890DE7F7C97/PaperKajianemoney3.pdf.,
Working Paper, Upaya Meningkatkan Penggunaan Alat Pembayaran Non Tunai Melalui Pengembangan E-Money, Tim Inisiatif Bank Indonesia, 2006, available from : URL: http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/70AD6420-DA75-4D45-8F3C-C6F3465312FB/7858/WorkingPaper_MicroPayment.pdf.
Yasser Arafat, E-Money Dalam Kacamata Plus-Minus, 2011, available from :
URL : http://resaay.wordpress.com/2011/11/28/e-money-dalam-kacamata-plus-minus/.
IV. Peraturan Perundang-Undangan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 juncto Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otorisasi Jasa Keuangan Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/8/PBI/2008 tentang Perubahan atas
Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/52/PBI/2008 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Menggunakan Kartu
Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan
Kegiatan Alat Pembayaran Menggunakan Kartu Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/2/PBI/2012 tentang Penyelenggaraan
Kegiatan Alat Pembayaran Menggunakan Kartu Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik
(Electronic Money) Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/11/DASP Tahun 2009 tentang uang
Elektronik (Electronic Money)
LAMPIRAN
Syarat & Ketentuan Pemegang Kartu Flazz BCA
Syarat & Ketentuan Pemegang Kartu BRIZZI BRI
Syarat & Ketentuan Pemegang Kartu Indomaret Card