PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK KONSINYASI
DI KANTIN PONDOK PESANTREN HUDATUL MUNA DUA
KABUPATEN PONOROGO
SKRIPSI
Oleh :
WINDARTI
NIM 210215061
Pembimbing:
DRS. H. M. MUHSIN, M.H.
NIP. 196010111994031001
JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONOROGO
2020
vi
ABSTRAK
Windarti. 2020. Perspektif Hukum Islam Terhadap Praktik Konsinyasi di Kantin
Pondok Pesantren Hudatul Muna Dua Kabupaten Ponorogo. Skripsi.
Jurusan Hukum Ekonomi Syariah (Muamalah) Fakultas Syariah Institut
Agama Islam Negeri (IAIN) Ponorogo. Pembimbing Drs. M. Muhsin,
M.H.
Kata kunci: Konsinyasi, Waka>lah Bil Ujrah dan Etika Bisnis Islam
Sistem konsinyasi adalah pengiriman atau penitipan barang dari pemilik
kepada pihak lain yang bertindak sebagai agen penjualan dengan memberikan
komisi. Dalam ekonomi Islam, sistem konsinyasi terdapat beberapa pendekataan
teori akad, diantaranya adalah waka>lah bil ujrah dan etika bisnis Islam. Praktik
konsinyasi di Kantin Pondok Pesantren Hudatul Muna Dua Kabupaten Ponorogo,
akad dilakukan pada saat pertamakali penyetor barang dagangan menitipkan
barang dagangannya di kantin, bersama dengan pengelola kantin menyebutkan
ketentuan-ketentuan yang berlaku. Kemudian bagi hasil dijelaskan berupa
persentase sebesar 10% dari hasil penjualan barang dagangan yang habis terjual.
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana perspektif
hukum Islam terhadap praktik akad konsinyasi di Kantin Pondok Pesantren
Hudatul Muna Dua Kabupaten Ponorogo. 2. Bagaimana perspektif hukum Islam
terhadap praktik pengupahan konsinyasi di Kantin Pondok Pesantren Hudatul
Muna Dua Kabupaten Ponorogo.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian field research (penelitian
lapangan). Dalam penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan kualitatif dan
Pengumpulan datanya menggunakan teknik observasi, wawancara dan
dokumentasi. Kemudian data dianalisis menggunakan metode induktif, yaitu
pembahasan yang diawali dengan pengamatan terlebih dahulu, lalu menarik
kesimpulan berdasarkan pengamatan tersebut.
Skripsi ini menyimpulkan pertama, praktik akad konsinyasi di Kantin
Pondok Pesantren Hudatul Muna Dua Kabupaten Ponorogo adalah termasuk akad
waka>lah bil ujrah dan akadnya sah menurut hukum Islam karena kedua belah
pihak telah sepakat, tetapi kurang sesuai dengan prinsip etika bisnis Islam. Kedua,
praktik pengupahan konsinyasi di Kantin Pondok Pesantren Hudatul Muna Dua
Kabupaten Ponorogo sudah sesuai dengan hukum Islam, karena sepakat dengan
ketentuan pengupahan yang ditentukan ketika akad, tetapi kurang sesuai dengan
nilai-nilai yang terkandung dalam etika bisnis.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hukum Islam adalah nama bagi segala ketentuan Allah dan utusan-
Nya yang mengandung larangan, pilihan, atau menyatakan syarat, sebab,
dan halangan untuk suatu perbuatan hukum.1 Isi ajaran Islam bersumber
pada al-Qur’an dan al-Hadith. Menurut Mahmud Syaltout, ajaran Islam
terdiri atas dua bagian yaitu aqidah dan syari’ah. Ajaran syariah itu sendiri
terbagi menjadi dua, yaitu ajaran tentang aqidah dan mu’a>malah. Ajaran
mu’a>malah berkaitan tentang persoalan-persoalan hubungan antara sesama
manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sesuai dengan prinsip-
prinsip yang terkandung dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.2 Pada dasarnya
Allah menciptakan dan menetapkan hukum bertujuan untuk menciptakan
kemaslahatan dan keselamatan hidup manusia.3
Dalam bermu’a>malah akad adalah sesuatu yang harus dipenuhi,
karena dalam perekonomian akad adalah suatu hal yang penting yang dapat
mempengaruhi sah atau tidaknya dalam bertransaksi. Dan juga mempunyai
kategori tersendiri mengenai penempatan akad yang dilaksanakan dalam
bermu’a>malah. Akad disebut juga sebagai perjanjian, perikatan, transaksi,
kesemuanya ini mempunyai arti yang sama yaitu akad atau perjanjian yang
1 Abd. Shomad, Hukum Islam (Jakarta: Kencana, 2010), 27. 2 Neneng Nur Hasanah, Mudharabah Dalam Teori Dan Praktik (Bandung: PT Refika
Aditama, 2015),1. 3 Asmawi, Studi Hukum Islam (Yogyakarta: Sukses Offset, 2012), 107.
2
dilakukan oleh seseorang dengan orang lain yang menimbulkan akibat
hukum pada obyeknya.
Menurut Abdul Manan mengutip pendapat dari Hasyim Ma’ruf al-
Husaini akad adalah sebuah kontrak merupakan suatu persetujuan dan
konsekuensinya adalah suatu kewajiban dan mengikat bagi pihak-pihak
yang terlibat. Dalam kontrak terdapat beberapa asas yaitu: kebebasan,
persamaan dan kesetaraan, keadilan, kerelaan, dan tertulis.4
Selain memperhatikan akad dalam ekonomi Islam harus
memperhatikan sebuah etika atau akhlak dalam berbisnis. Etika sendiri
adalah cabang filsafat yang mencari hakikat nilai-nilai baik dan buruk yang
berkaitan dengan perbuatan dan tindakan seseorang, yang dilakukan dengan
kesadaran berdasarkan pertimbangan pemikirannya.5 Etika bisnis Islam
berarti suatu kebiasaan atau budaya moral yang berkaitan dengan kegiatan
bisnis suatu perusahaan.6 Titik sentral dari etika bisnis islam sendiri adalah
untuk menjaga perilaku wirausaha muslim dengan tetap bertanggungjawab
karena percaya kepada Allah SWT.
Seiring dengan berjalannya waktu kegiatan perekonomian semakin
berkembang, salah satunya adalah sistem konsinyasi (titip jual). Seperti
halnya praktik yang diterapkan di kantin Pondok Pesantren Hudatul Muna
Dua Kabupaten Ponorogo.
4 Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syariah Dalam Perspektif Kewenangan Peradilan Agama
(Jakarta: Kencana, 2012), 72-80. 5 Abdul Aziz, Etika Bisnis Perspektif Islam (Bandung: Alfabeta, 2013), 20. 6 Ibid, 35.
3
Sistem konsinyasi adalah pengiriman atau penitipan barang dari
pemilik kepada pihak lain yang bertindak sebagai agen penjualan dengan
memberikan komisi. Hak milik atas barang, tetap masih berada pada
pemilik barang sampai barang tersebut terjual. dan mengambil keuntungan
yang lebih sedikit. Dengan sistem ini maka pemilik produk tidak langsung
menerima pembayaran dari toko melainkan sementara hanya dititipkan, jika
kemudian ada konsumen yang membeli produknya maka baru pembayaran
dilakukan sejumlah banyaknya produk yang terjual.
Sebagai kontraprestasi terhadap orang atau lembaga yang memberikan
jasa perantara, biasanya berupa pemberian provisi/komisi/fee yang
jumlahnya sebesar jumlah presentase tertentu dari harga pokok barang.7
Beberapa teori pendekatan sistem konsinyasi tersebut dalam hukum
ekonomi Islam diantaranya adalah: pertama, Akad Waka>lah bil Ujrah yaitu
posisi pemilik barang sebagai yang mewakilkan (al-Mukil), sementara
penjual sebagai wakilnya. Selanjutnya mereka menetapkan adanya ujrah
(upah) sesuai kesepakatan. Dalam waka>lah bil ujrah, disyaratkan upah yang
disepakati harus jelas.8
Kedua, Etika Bisnis Islam, merupakan suatu proses dan upaya untuk
mengetahui hal-hal yang benar dan yang salah yang selanjutnya tentu
7Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perjanjian Islam Di Indonesia (Yogyakarta, Gadjah Mada
University Press: 2010), 50. 8 Nabila Nailul Muna, “Wakalah,” Makalah (Jurai Siwo Metro: STAIN Jurai Siwo Metro,
2016), 10.
4
melakukan hal yang benar berkenaan dengan produk, pelayanan dengan
pihak yang berkepentingan.9
Di kantin Pondok Pesantren Hudatul Muna Dua dagangan yang dijual
adalah produksi dari beberapa orang yang setiap harinya menyetorkan
makanan atau minuman yang sudah jadi dan siap dijual oleh pihak kantin
atau disebut sebagai pemilik/penyetor barang dagangan. Sedangkan dari
pihak kantin adalah pihak yang menyediakan tempat dan tenaga dalam
pengelolaan/penjual barang dagangan tersebut, yang disebut sebagai pihak
pengelola barang dagangan, yang nantinya akan ada komisi dari
penjualannya, sesuai dengan barang dagangan yang sudah habis terjual,
karena barang yang tidak terjual akan dikembalikan kepada pemilik
dagangan.
Penyetor barang dagangan di kantin Pondok Pesantren Hudatul Muna
Dua, tidak hanya satu orang saja melainkan ada beberapa orang. Dan setiap
orangnya pada perjanjian/akad awalnya sepakat dengan menyetorkan barang
dagangan 1 macam saja tetapi lambat laun ketika barang dagangan tersebut
sudah semakin laku pihak pemilik dagangan menambahkan barang
dagangannya dengan tanpa sepengetahuan dari pihak pengelola sehingga
dalam penambahan tersebut tidak ada kesepakatan atau pembaruan akad
secara pasti antara keduanya. Misalnya, A pada perjanjian awal sepakat
memberikan modal barang dagangan berupa jajanan gorengan seperti
tempe, pia, tetapi lama kelamaan yang disetorkan berupa jajanan pasar
9 Abdul Aziz, Etika, 35.
5
seperti onde-onde, mpon-mpon, cenil atau sesukanya, dan B yang pada
perjanjian awalnya menyetorkan nasi saja lama kelamaan menyetorkan nasi
dan es, nasi dan gorengan, dan lain-lain. Ada juga pihak yang menyetorkan
barang dagangan secara tidak pasti dan pada kesepakatan awalnya tidak
boleh menyetorkan dagangan yang di kantin sudah ada penyetornya tetapi
pada praktiknya barang yang disetorkan terkadang sudah ada, sehingga
menimbulkan ketidakrelaan bagi pihak lainnya. Dan pihak pengelola sendiri
sebenarnya tidak berkenan dengan hal tersebut, tapi mengingat para
penyetor tersebut mengantarkan dagangannya ketika pengelola belum ada di
tempat dan juga pertimbangan jika si pemilik barang dagangan tidak akan
mau menitipkan dagangannya lagi di kantin, sehingga faktor-faktor tersebut
menghambat pengelola kantin untuk bersikap tegas kepada pemilik
dagangan.10
Dalam praktik pemberian komisi yang seharusnya persentase
keuntungannya harus diketahui dan disepakati oleh kedua pihak, pada
praktiknya ketentuan komisi atau potongan persentase, pihak pengelola
kantin Pondok Pesantren Hudatul Muna Dua tidak menyatakan secara jelas
kepada penyetor, baru ketika pemilik dagangan menanyakan maka akan
dijawab 10% dari perbuah dari dagangannya.11
Tetapi dalam praktik aslinya
ternyata tidak hanya 10% saja yang dipotong, tetapi ada yang 20%, 5%
ataupun hanya dengan dikira-kira saja, misalnya pemilik modal
menyetorkan nasi 10 bungkus yang perbungkusnya dihargai Rp. 2.000,
10 Qoirun Nisa, Hasil Wawancara, Ponorogo. 05 Agustus 2019. 11 Bu Nur, Hasil Wawancara, Ponorogo. 08 Agustus 2019.
6
sesuai dengan akadnya seharusnya perbungkus dipotong Rp. 200 (10% dari
2000) menjadi Rp. 1.800 x 10 = Rp. 18.000 tetapi dalam praktiknya
perhitungannya adalah Rp. 1.900 x 10 = Rp. 19.000 (5%). Sehingga dalam
praktiknya terdapat unsur ketidak jelasan mengenai besaran jumlah
komisi/upah atau persentasenya.
Berangkat dari masalah inilah penulis masih ada yang perlu dicari
jawabannya yaitu pertama; mengenai praktik akad konsinyasi di Kantin
Pondok Pesantren Hudatul Muna Dua Kabupaten Ponorogo, kedua;
mengenai praktik pengupahan konsinyasi di Kantin Pondok Pesantren
Hudatul Muna Dua Kabupaten Ponorogo.
Dengan demikian dalam penelitian ini akan membahas mengenai
Perspektif Hukum Islam Terhadap Praktik Konsinyasi di Kantin
Pondok Pesantren Hudatul Muna Dua Kabupaten Ponorogo.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang ada dan agar lebih terarah dari segi
operasional maupun sistematika penulisan skripsi ini, maka peneliti
menyimpulkan pokok permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana perspektif hukum Islam terhadap praktik akad konsinyasi di
Kantin Pondok Pesantren Hudatul Muna Dua Kabupaten Ponorogo ?
2. Bagaimana perspektif hukum Islam terhadap praktik pengupahan
konsinyasi di Kantin Pondok Pesantren Hudatul Muna Dua Kabupaten
Ponorogo?
7
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan diadakan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui perspektif hukum Islam terhadap praktik akad
konsinyasi di Kantin Pondok Pesantren Hudatul Muna Dua Kabupaten
Ponorogo.
2. Untuk mengetahui perspektif hukum Islam terhadap praktik pengupahan
konsinyasi di Kantin Pondok Pesantren Hudatul Muna Dua Kabupaten
Ponorogo.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat peneliti ini dibagi menjadi 2, yaitu:
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini secara teori diharapkan mampu memberikan
kontribusi dalam upaya pengembangan pemikiran dalam khazanah
intelektual Islam dan hukum Islam khususnya dalam akad konsinyasi
serta sebagai bahan kajian untuk dikembangkan lebih lanjut dalam
penelitian berikutnya mengenai praktik konsinyasi yang baik sesuai
dengan syariat Islam.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Peneliti
Menambah pengetahuan dan wawasan dan sebagai referensi untuk
pengembangan ilmu terutama dibidang praktik konsinyasi dalam
usaha kemitraan yang sesuai dengan hukum Islam.
b. Bagi Pengelola Kantin
8
Memberikan informasi kepada Kantin Pondok Pesantren Hudatul
Muna Dua dalam mengambil langkah selanjutnya demi
menciptakan strategi yang tepat untuk meningkatkan kredibilitas
dan profesionalitas serta wawasan mengenai akad dan penentuan
upah/komisi agar sesuai dengan hukum Islam.
c. Bagi Pemasok Dagangan
Penelitian ini diharapkan mampu menjadi pertimbangan atau
pengetahuan bagi para pemasok dagangan dalam melakukan akad
konsinyasi antara pemasok/pemilik modal dan pihak pengelola
kantin, serta diharapkan penelitian ini dapat menambah wawasan
bagi seluruh pihak yang ada didalamnya khususnya tentang akad
konsinyasi yang sesuai dengan hukum Islam.
E. Telaah Pustaka
Berdasarkan telaah yang dilakukan penulis terhadap sejumlah
penelitian tentang konsinyasi terdapat beberapa karya ilmiah terdahulu yang
berkaitan dengan masalah tersebut tetapi dengan pokok permasalahan yang
berbeda, diantaranya:
Skripsi yang ditulis oleh Ikfa Aelulu Anisatul Ummah, Prodi Hukum
Ekonomi Syariah Jurusan Muamalah Fakultas Syariah Institut Agama Islam
Negeri (IAIN) Purwokerto 2018, yang berjudul “Jual Beli Kue Kering
Dengan Sistem Konsinyasi Dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Kasus Di
UD Sri Rejeki Kecamatan Cilongok Kabupaten Banyumas)” , dalam skripsi
tersebut membahas tentang Bagaimana praktek jual beli kue kering dengan
9
sistem konsinyasi di UD SRI REJEKI Kecamatan Cilongok Kabupaten
Banyumas, dan Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap praktek jual beli
kue kering dengan sistem konsiyasi di UD SRI REJEKI Kecamatan
Cilongok Kabupaten Banyumas, dengan menggunakan pendekatan kualitatif
dengan metode pengumpulan data melalui observasi serta wawancara.
Dengan kesimpulan sebagai berikut:
1. Praktek jual beli kue kering yang terjadi di UD Sri Rejeki ialah
dengan menggunakan sistem konsinyasi yakni transaksi jual beli kue
kering antara sales dengan pemilik toko yang ada di perkotaan dan di
warung desa. Para sales itu menawarkan kue kering yang berbagai
macam dengan membawa sampel untuk dititipkan di toko tersebut.
Ketika terjadi transaksi yakni dalam hal jual beli kue kering dengan
sistem konsinyasi ada perjanjian terlebih dahulu antara si sales dengan
pemilik toko. Sistem pembayarannya adalah sesuai dengan barang
yang terjual yang tidak terjual akan kembali ke pengusahanya
sehingga.
2. Praktik jual beli kue kering dengan sistem konsinyasi menurut hukum
Islam diperbolehkan karena pada dasarnya sistem konsinyasi adalah
praktek titipan barang penjualan dengan pemberian komisi atau ujrah,
sehingga praktek konsinyasi termasuk akad ijarah atau akad waka>lah
bil ujrah.12
12 Ikfa Aelulu Anisatul Ummah, berjudul “Jual Beli Kue Kering Dengan Sistem Konsinyasi
Dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Kasus Di UD Sri Rejeki Kecamatan Cilongok Kabupaten
Banyumas)” Skripsi (Purwokerto: IAIN Purwokerto, 2018), 75.
10
Penelitian lainnya yang dilakukan M. Misbahul Mujib Ilmu Hukum
Universitas Gadjah Mada Yoyakarta dalam thesisnya yang berjudul
“Pelaksanaan Perjanjian Konsinyasi Antara Distributor Buku Dengan
Pedagang Buku di Shopping Center Yogyakarta”, penelitian ini bersifat
empiris yuridis yaitu melakukan penelitian lapangan untuk data primer dan
penelitian kepustakaan untuk data sekunder. Dilakukan untuk menjawab
permasalahan pelaksanaan perjanjian konsinyasi antara distributor buku
dengan pedagang buku di Shopping Centre Yogyakarta serta bagaimana
peerlindungan hukum dalam perjanjian konsinyasi.
Dalam penelitiannya disimpulkan bahwa perjanjian konsinyasi yang
dilakukan oleh pedagang buku dengan distributor hanya berupa lisan dan
perjanjian ini dianggap telah dimengerti oleh setiap pelakunya, sehingga
saat distributor merasa dirugikan dengan pengembalian buku yang
mengalami kerusakan disebabkan oleh pedagang buku, distributor tidak
dapat melakukan upaya hukum apapun selain menerima pengembalian buku
yang telah mengalami kerusakan, dengan demikian perlindungan hukum
terhadap distributor belum memadai.13
Skripsi yang ditulis oleh Mamnunah, Ilmu Hukum Fakultas Syariah
dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun
2015, yang berjudul “Pelaksanaan Perjanjian Konsinyasi Antara Supplier
Dengan Distributor (Studi Di Hamzah Batik Malioboro Yogyakarta)”
menggunakan pendekatan Metode analisis yang digunakan dalam
13 M. Misbahul Mujib “Pelaksanaan Perjanjian Konsinyasi Antara Distributor Buku Dengan
Pedagang Buku di Shopping Center Yogyakarta”, Thesis (Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada,
2007), ii.
11
penelitian ini adalah deskriptif analitik kualitatif dengan pokok
permasalahan apakah pelaksanaan perjanjian konsinyasi di Hamzah Batik
Malioboro Yogyakarta sudah sesuai dengan asas-asas hukum perjanjian
serta bagaimana perlindungan hukum bagi supplier akibat kerusakan barang
yang diakibatkan oleh konsumen atau lamanya waktu.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pelaksanaan perjanjian
konsinyasi di Hamzah Batik Malioboro didasari aspek yuridis melalui
perjanjian tidak tertulis dalam bentuk kesepakatan secara lisan. Meskipun
mengenai hal-hal pokok dalam perjanjian konsinyasi di Hamzah Batik
Malioboro tidak dituangkan dalam perjanjian tertulis, bentuk perjanjian
tersebut merupakan perjanjian standar karena hal-hal pokok dalam
perjanjian ditentukan oleh satu pihak yang posisinya lebih kuat yaitu
Hamzah Batik. Ada dominasi sepihak dari pihak Hamzah Batik dalam
pelaksanaan perjanjian konsinyasi yang terlihat dari penentuan harga pokok
terhadap supplier dan hal itu tidak sesuai dengan asas kepastian hukum dan
asas persamaan hak. Perlindungan hukum yang diberikan kepada supplier
apabila terjadi kerusakan barang diakibatkan kesalahan konsumen yang
tidak diketahui atau lamanya waktu adalah dalam bentuk penerimaan
kembali barang yang tidak terjual.14
Skripsi yang ditulis oleh Satriani Hisyam, Jurusan Muamalat Fakultas
Syariah Dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
tahun 2013, yang berjudul “ Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktik
14 Mamnunah, “Pelaksanaan Perjanjian Konsinyasi Antara Supplier Dengan Distributor (Studi
Di Hamzah Batik Malioboro Yogyakarta)”, Skripsi (Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan
Kalijaga, 2015), ii.
12
Konsinyasi Pada Koperasi Pegawai Negeri UIN Sunan Kalijaga” dengan
pokok masalah tentang Apakah praktik konsinyasi pada Koperasi Pegawai
Negeri (KPN) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta telah sesuai dengan hukum
Islam. menggunakan pendekatan Metode analisis yang digunakan dalam
penelitian ini adalah deskriptif analitik kualitatif.
Hasil penelitian tersebut adalah Konsinyasi yang dilakukan KPN UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta dapat dikatakan telah sesuai dengan hukum
Islam, meski penjualan konsinyasi tidak dituangkan di dalam perjanjian
tertulis, rukun dan syarat dalam akad telah terpenuhi. KPN UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta adalah sebuah badan hukum yang dapat melakukan
perbuatan hukum, sedangkan pengamat juga telah mampu melakukan
perbuatan hukum. Obyek pada konsinyasi tidak berupa barang-barang yang
dilarang oleh syara’. Barang konsinyasi adalah hak milik pengamat,
sehingga dengan demikian pengamat dapat melakukan apa saja dengan hak
miliknya termasuk dengan melakukan penjualan dengan sistem konsinyasi.
KPN UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tidak menjual barang komisi
melebihi dengan harga yang telah disepakati.15
Berdasarkan penelusuran hasil penelitian di atas, belum ada yang
membahas secara khusus tentang bagaimana perspektif hukum Islam
terhadap akad konsinyasi di Kantin Pondok Pesantren Hudatul Muna Dua
Kabupaten Ponorogo, dan bagaimana perspektif hukum Islam terhadap
praktik pengupahan konsinyasi di Kantin Pondok Pesantren Hudatul Muna
15 Satriani Hisyam, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktik Konsinyasi Pada Koperasi
Pegawai Negeri UIN Sunan Kalijaga, Skripsi (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2013), 72.
13
Dua Kabupaten Ponorogo dan berangkat dari jenis permasalahan yang
berbeda pula. Maka dari itu penulis merasa tertarik untuk memilih judul
dengan pokok permasalahan tersebut yaitu “Perspektif Hukum Islam
Terhadap Praktik Konsinyasi di Kantin Pondok Pesantren Hudatul Muna
Dua Kabupaten Ponorogo”.
F. Metode Penelitian
Untuk memperoleh data yang dibutuhkan dapat terarah dengan baik
dan sistematis, penyusun menggunakan metode sebagai berikut :
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research) yaitu
kegiatan penelitian yang dilakukan di lingkungan masyarakat tertentu
baik di lembaga dan organisasi kemasyarakatan maupun lembaga
pemerintah16
. Dalam penelitian ini peneliti dalam mencari data maupun
informasi bersumber dari lapangan yaitu yang bertempat di Kantin
Pondok Pesantren Hudatul Muna Dua Kabupaten Ponorogo sebagai
tempat praktik konsinyasi.
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan kualitatif
yaitu prosedur penelitian yang lebih menekankan pada aspek proses dan
makna suatu tindakan yang dilihat secara menyeluruh.17
Yang mana
dalam penelitian ini peneliti melakukan observasi serta wawancara
dengan para penyetor dagangan di tempat mereka melakukan transaksi
16 Abdurrahmat Fatoni, Metodologi Penelitian & Teknik Penyusunan Skripsi (Jakarta: PT
Rineka Cipta, 2006), 96. 17 Aji Damanuri, Metodologi Penelitian Muamalah (Ponorogo: STAIN PO Press, 2010), 148.
14
kerjasama dan mereka sedang melakukan aktifitas yang mana aktifitas
tersebut adalah yang digunakan oleh peneliti untuk dikaji.
2. Kehadiran Peneliti
Kehadiran peneliti dalam penyusunan penelitian ini ialah sebagai
pengamat partisipan, artinya selain peneliti mengamati peristiwa yang
terjadi di Kantin Pondok Pesantren Hudatul Muna Dua Kabupaten
Ponorogo peneliti juga aktif berpartisipasi dengan cara terjun ke lapangan
untuk melakukan observasi dan wawancara untuk mendapatkan data
yang lebih mendalam dari para pemilik modal maupun pengelola modal
tersebut.
3. Lokasi Penelitian
Lokasi yang dijadikan penelitian oleh peneliti dalam skripsi ini
adalah lokasi keberadaan praktik konsinyasi yang berada di Kantin
Pondok Pesantren Hudatul Muna Dua Kabupaten Ponorogo. Peneliti
memilih lokasi ini sebagai obyek penelitian karena sesuai alasan
akademis, yaitu praktik konsinyasi yang dilakukan antara pemilik modal
dan pengelola modal di Kantin Pondok Pesantren Hudatul Muna Dua
Kabupaten Ponorogo yang menurut peneliti belum sesuai dengan
ketentuan hukum Islam dalam praktik sistem konsinyasi.
15
4. Data dan Sumber Data
a. Data
Data-data adalah segala sesuatu yang terkait dalam praktik yang
terjadi dilapangan, yaitu meliputi praktik akad dan pengupahan yang
terjadi di kantin Pondok Pesantren Hudatul Muna Kabupaten Ponorgo.
b. Sumber Data
1) Data Primer, yaitu data yang diperoleh dari para penyetor
jajanan kantin sebagai pemilik modal dalam sistem konsinyasi di
Kantin Pondok Pesantren Hudatul Muna Dua Kabupaten
Ponorogo, pengurus kantin sebagai pengelola modal dalam
sistem konsinyasi di Kantin Pondok Pesantren Hudatul Muna
Dua Kabupaten Ponorogo dan pihak lain yang mengetahui objek
yang diteliti yaitu pengasuh pondok yang tinggal dalam kawasan
Kantin Pondok Pesantren Hudatul Muna Dua Kabupaten
Ponorogo.
2) Data Sekunder, yaitu berupa data-data pondok pesantren yang
meliputi profil pondok, profil kantin, serta wawancara dan
dokumentasi yang berkaitan dengan praktik konsinyasi.
5. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan
tiga cara, yaitu observasi, wawancara dan dokumentasi.
a. Observasi adalah teknik yang menuntut adanya pengamatan dari
peneliti baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap objek
16
penelitian.18
Yang peneliti lakukan ialah dengan cara melihat dan
mengamati segala aktifitas kerjasamanya untuk mengetahui
bagaimana proses kegiatannya secara keseluruhan, diantaranya
interaksi ketika para penyetok barang dagangan dengan pihak
pengurus kantin akan menyetorkan barang dagangan dan mengambil
uang perolehan penjualan.
b. Wawancara adalah bentuk komunikasi antara 2 orang, melibatkan
seseorang yang ingin memperoleh informasi dari seseorang lainnnya
dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan, berdasarkan tujuan
tertentu.19
Dalam penelitian ini, para pihak yang akan diwawancara
adalah para pemilik modal/penyetor barang dagangan, pengurus
kantin, pengasuh pondok.
c. Dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal atau variable yang
berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen
rapat, legger, agenda, dan sebagainya.20
Yang diperlukan dalam
penelitian ini yaitu berupa catatan lapangan hasil wawancara dengan
para pihak terkait, buku catatan setoran dagangan Kantin Pondok
Pesantren Hudatul Muna Dua Kabupaten Ponorogo.
18 Juliansyah Noor, Metodologi Penelitian (Jakarta: Kencana, 2012),140. 19 Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2010), 180. 20 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: PT Rineka
Cipta, 2002), 206.
17
6. Analisis Data
Dalam penelitian kualitatif ini, secara teknis analisis penelitian
hukum dilakukan dengan mendialogkan teori hukum dengan realitas
yang terjadi di lapangan, yang ditulis sebagai berikut :
a. Reduksi data merupakan suatu proses pemilihan pada penyederhanaan
dan transformasi data “kasar” yang muncul dari catatan-catatan
tertulis di lokasi penelitian. Reduksi ini berlangsung secara terus-
menerus selama kegiatan penelitian yang berorientasi kualitatif
berlangsung.
b. Proses penyajian data merupakan sekumpulan informasi tersusun yang
memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan
pengambilan tindakan. Dengan melihat penyajian data, peneliti akan
dapat memahami apa yang sedang terjadi dan apa yang harus
dilakukan berdasarkan atas pemahaman yang di dapat peneliti dari
penyajian data tersebut.21
c. Proses menarik kesimpulan yaitu peneliti berusaha untuk mencari
makna dari data yang telah diperoleh dan dikumpulkannya. Dan dari
data yang diperolehnya peneliti mencoba mengambil kesimpulan.
Dengan bertambahnya data-data, kesimpulan tersebut lebih
“grounded”.22
21 Aji Damanuri, Metodologi Penelitian, 307. 22 Ibid., 86.
18
7. Pengecekan Keabsahan Data
Keabsahan data merupakan standard kebenaran suatu data hasil
penelitian yang lebih menekankan pada data/informasi dari pada sikap
dan jumlah orang. Pada dasarnya uji kebasahan data dalam sebuah
penelitian, hanya ditekankan pada uji validitas dan realibilitas. Ada
perbedaan yang mendasar mengenai validitas dan realibilitasnya
adalah instrumen penelitiannya. Sedangkan dalam penelitian kualitatif
yang di uji adalah datanya. Dalam penelitian kualitatif, temuan atau
data dapat dinyatakan valid apabila tidak ada perbedaan antara yang
dilaporkan peneliti dengan apa yang sesungguhnya terjadi pada objek
yang diteliti.
Maka dalam penelitian ini menggunakan pengecekan keabsahan
data dengan cara Cheking data (pemeriksaan) oleh informan kembali.
Ketika data telah tersusun, peneliti kembali kelapangan dan
menunjukkan display data kepada informan, jika informan telah acc
(sependapat) bearti data itu sah-sah saja. Hal ini untuk menghindari
pula terjadinya protes oleh informan yang berakibat sampai pada
gugatan. Dengan perpanjangan pengamatan berarti peneliti kembali ke
lapangan, melakukan pengamatan, wawancara lagi dengan sumber
data yang pernah ditemui maupun yang baru. 23
23Elma Sutriani Dan Rika Octaviani, “Analisis Data Dan Pengecekan Keabsahan Data”
https://www.academia.edu/38325494/ANALISIS_DATA_DAN_PENGECEKAN_KEABSAHAN
_DATA.pdf (diakses pada tanggal 26 Agustus 2019, jam 19.30)
19
G. Sistematika Pembahasan
Adapun sistematika pembahasan dalam penelitian ini agar lebih
mudah bagi para pembaca untuk memahaminya, terbagi ke dalam lima bab
dengan penjelasan susunannya sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
telaah pustaka, kajian teori, metode penelitian dan
sistematika pembahasan.
BAB II : KONSEP AKAD DALAM SISTEM KONSINYASI
Merupakan landasan teori. Dalam bab ini peneliti akan
membahas konsep konsinyasi yang terdiri dari beberapa
sub bab yaitu : akad waka>lah bil ujroh, dan etika bisnis
Islam.
BAB III : GAMBARAN PELAKSANAAN PRAKTIK
KONSINYASI DI KANTIN PONDOK PESANTREN
HUDATUL MUNA DUA KABUPATEN
PONOROGO.
Bab ini merupakan deskriptif data, berupa pemaparan
tentang gambaran umum pelaksanaan Praktik Konsinyasi
di Kantin Pondok Pesantren Hudatul Muna Dua
Kabupaten Ponorogo. Yang akan peneliti bahas adalah
meliputi gambaran sejarah berdirinya Pondok Pesantren
20
dan kantin Hudatul Muna Dua, profil pondok pesantren
serta kondisi kantin Pondok Pesantren Hudatul Muna
Dua, lalu dihubungkan dengan adanya hukum Islam
terhadap praktik konsinyasi.
BAB IV :ANALISIS PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
TERHADAP PRAKTIK KONSINYASI DI KANTIN
PONDOK PESANTREN HUDATUL MUNA DUA
KABUPATEN PONOROGO.
Bab keempat membahas tentang Analisis Perspektif
Hukum Islam terhadap akad dan pengupahan dalam
praktik konsinyasi di Kantin Pondok Pesantren Hudatul
Muna Dua Kabupaten Ponorogo.
BAB V : PENUTUP
Bab kelima adalah penutup yang terdiri dari kesimpulan
mengenai analisis pembahasan disertai dengan saran-
saran.
21
BAB II
KONSEP WAKA>LAH BIL UJRAH DAN ETIKA BISNIS ISLAM
DALAM SISTEM KONSINYASI
A. Waka>lah Bil Ujrah
1. Pengertian Waka>lah
Waka>lah secara etimologi berarti al-hifzh, al-kifayah, dan ad-
da>man dan al-tafwidh (penyerahan, pendelegasian, dan pemberian
mandat). Sedangkan menurut terminology, waka>lah yaitu sebagai
berikut:
a. Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, waka>lah adalah
pemberian kuasa kepada pihak lain untuk mengerjakan sesuatu.1
b. Menurut fatwa DSN, waka>lah adalah pelimpahan suatu
kekuasaan oleh pihak satu kepada pihak lain dalam hal-hal yang
boleh diwakilkan.
c. Menurut UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah,
waka>lah adalah akad pemberian kuasa kepada penerima kuasa
untuk melaksanakan suatu tugas atas nama pemberi kuasa.2
Ridwan Nurdin mengutip dari Hasbi ash-Shiddieqy mengartikan
waka>lah dengan prinsip penyerahan kekuasaan, dimana seseorang
menyerahkan kekuasaanya kepada orang lain sebagai gantinya untuk
bertindak.3
1 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (Jakarta: Kencana, 2017), 17. 2 Mardani, Hukum Sistem Ekonomi Islam (Jakarta: Rajawali Press, 2015),235. 3 Ridwan Nurdin, Fiqh Muamalah (Banda Aceh: Pena, 2014), 124.
22
Waka>lah adalah pemberian kuasa dari seseorang (muwakkil)
kepada penerima kuasa (wakil) untuk melaksanakan suatu tugas
(taukil) atas nama muwakkil (pemberi kuasa).4 Pemberian kuasa ini
ada yang sifatnya sukarela dan ada yang sifatnya profit, dengan
pemberian semacam upah kepada pihak yang menerima kuasa.5
2. Dasar Hukum Waka>lah
Dasar hukum waka>lah yaitu sebagai berikut:
a. Q.S. al-Kahfi [18]: 19:
Artinya:“dan demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka
saling bertanya di antara mereka sendiri. berkatalah
salah seorang di antara mereka: sudah berapa lamakah
kamu berada (disini?)". mereka menjawab: "Kita
berada (disini) sehari atau setengah hari". berkata (yang
lain lagi): "Tuhan kamu lebih mengetahui berapa
lamanya kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah
seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan
membawa uang perakmu ini, dan hendaklah Dia lihat
manakah makanan yang lebih baik, Maka hendaklah ia
membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia
Berlaku lemah-lembut dan janganlah sekali-kali
menceritakan halmu kepada seorangpun.”6
Ayat ini menjelaskan as}h}ab al kahfi menyuruh salah
seorang diantara mereka untuk melihat makanan dengan
4 M. Dumairi Nor Dkk, Ejonomi Syariah Versi Salaf (Pasuruan: Pustaka Sidogiri, 2008), 133.
5Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah Di Indonesia (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2009), 163. 6 Al-Qur‟an, 18: 19.
23
membawa uang perak, yang didalamnya terkandung makna
perintah yang artinya mereka mewakilkan perginya salah
seorang as}h}ab al kahfi yang bertindak untuk dan atas nama
rekan-rekannya sebagai wakil mereka dalam memilih dan
membeli makanan.
b. Hadith Nabi SAW: أن رسول الله صلى الله عليو وسلم وكل عمرو بن أمية الضمرى رضي الله عنو ف ق ب ول نكاح أم حبيبة رملة بنت أب سفيان رضي الله عنو
(رواه البيهقى)Artinya:”sesungguhnya Rasulullah SAW. mewakilkan kepada
Amr bin Umayyah adl-Dlamri R.A. dalam menerima
nikahnya Ummu Habibah, Ramlah binti Abi Sufyan
R.A.” (H.R. Baihaqi).7
Dalam penjelasan hadith tersebut kata وكل yang artinya
mewakilkan menjadi dasar diperbolehkannya akad waka>lah.
Dan dalam kehidupan sehari-hari, Rasulullah telah mewakilkan
kepada orang lain untuk berbagai urusan, salah satunya adalah
seperti peristiwa hadith diatas.
Umat Islam ijma‟ atas kebolehan waka>lah, bahkan
memandangnya sebagi sunnah, karena hal itu termasuk jenis
ta’awun (tolong menolong) atas dasar kebaikan dan taqwa, yang
diserukan oleh al-Qur‟an dan disunnahkan oleh hadith
Rasulullah SAW.8
7 Tim Lascar Pelangi, Metodologi Fiqih Muamalah (Kediri: Lirboyo Press, 2013), 206. 8 Ismail Nawawi, Fikih Muamalah Klasik Dan Kontemporer (Bogor: Ghalia Indonesia, 2012),
213.
24
c. Kaidah fiqh : “pada dasarnya, semua bentuk mu’a>malah boleh
dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya”.9
3. Rukun Waka>lah:
1) Muwakkil (orang yang mewakilkan/melimpahkan kekuasaan)
2) Wakil (orang yang menerima perwakilan)
3) Muwakkal fi>h (sesuatu yang diwakilkan)
4) Shi>ghat i>ja>b qabu>l (ucapan serah terima)10
4. Syarat Waka>lah:
1) Muwakkil (orang yang mewakilkan/melimpahkan kekuasaan),
dianggap sah oleh syariat dalam menjalankan apa yang telah ia
telah wakilkan.
2) Wakil (orang yang menerima perwakilan), dianggap sah oleh
syariat dalam menjalankan sesuatu yang diwakilkan kepadanya.
3) Muwakkal fi>h (sesuatu yang diwakilkan), 1) bisa digantikan
kepada orang lain, 2) milik muwakkil pada saat pemberian
kuasa, 3) diketahui oleh kedua belah pihak
4) Shi>ghat i>ja>b qabu>l (ucapan serah terima), harus berupa ucapan
atau tulisan yang mengindikasikan kerelaan.
Dalam konteks hukum Islam mengenal asas-asas hukum
perjanjian/akad. Adapun asas-asas itu adalah kebebasan, persamaan
atau kesetaraan, keadilan, kerelaan, kebenaran dan kejujuran, tertulis.
9 Beni Ahmad Saebani, Hukum Ekonomi & Akad Syariah di Indonesia (Bandung: CV Pustaka
Setia, 2018), 497. 10 Mardani, Hukum Sistem, 134.
25
Yang artinya dalam suatu akad tidak boleh ada unsur paksaan,
kekhilafan, dan penipuan, harus senantiasa mendatangkan keuntungan
yang adil dan seimbang, serta tidak boleh mendatangkan kerugian
bagi salah satu pihak, dilakukan atas dasar kerelaan antara masing-
masing pihak, tidak ada unsur paksaan, dan tekanan.11
Muhammad Bin Qasim al-Ghazi menerangkan tentang batasan
waka>lah melalui perkataannya, bahwa setiap sesuatu yang boleh bagi
manusia untuk mentas}arufkan dengan dirinya sendiri, maka boleh
baginya mewakilkan hal itu kepada orang lain, atau dia menjadi wakil
dalam hal itu dari orang lain. Maka tidak sah anak kecil atau orang
gila mewakilkan urusannya dan tidak sah pula menjadi wakil.12
Jika dalam akad waka>lah si wakil meminta ongkos, maka
hukumnya sebagaimana ongkos ketika menyerahkan barang yang
diwakilkan atau setelah tugasnya selesai.13
5. Bentuk-Bentuk Akad Waka>lah
Beberapa bentuk waka>lah antara lain:
1. Waka>lah muthlaqah, yaitu perwakilan yang tidak terikat syarat
tertentu.
2. Waka>lah muqayyadah, yaitu perwakilan yang terikat oleh
syarat-syarat yang telah ditentukan dan disepakati bersama.14
11 Gemala Dewi, Dkk, Hukum Perikatan Islam Di Indonesia (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2005), 30-37. 12 Abu Hazim Mubarok, Fiqh Idola Terjemah Fathul Qarib, Terj. Muhammad Bin Qasim Al
Ghazi (Kediri: Mukjizat, 2013), 37-38. 13 Mardani, Hukum Sistem, 136. 14 Ascarya, Akad Dan Produk Bank Syariah (Jakarta: Rajawali Press, 2011), 105.
26
Melalui akad waka>lah, muwakkil dapat menyerahkan pekerjaan
kepada wakilnya dengan menyertakan syarat-syarat tertentu. Begitu
pula sebaliknya, seorang wakil yang menjalankan pekerjaan untuk
orang lain (muwakkil), boleh mendapatkan upah (ujrah) yang sesuai.
Akad wakalah yang dijalankan dengan disertai pemberian imbalan
disebut Waka>lah bil ujrah.
6. Waka>lah Bil Ujrah
Akad waka>lah bisa dilakukan dengan sistem gratis atau dengan
sistem upah (ju’lin), berdasarkan tindakan Rasulullah SAW. yang
pernah mengadakan perwakilan dengan kedua sistem tersebut.
Apabila akad waka>lah dilakukan dengan sistem upah, maka upah
disyaratkan harus jelas (ma’lum).15
Demikian waka>lah dengan upah
sebagai imbalan suatu pekerjaan yang telah dilakukannya disebut
waka>lah bil ujrah.
Dalil syariah yang menjadi dasar hukum akad waka>lah dengan
imbalan adalah hadith Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Muttafaq
„Alaih Dari Ibn al-Sa‟di al-Maliki dalam Fatwa Dewan Syariah
Nasional-Majelis Ulama Indonesia No:113/DSN-MUI/IX/2017
Tentang Akad Waka>lah Bi al-Ujrah:
الكي قال است ملن عمر على الص قة، : عن بن س ي أن ابن الل ي اا
ها وأ ت ليو أمر ب مالة، قلت ا عملت لله، قال : لما ر ت من :خذ ما أعطيت، إن عملت على عه رسول الله صلى الله عليو وسلم
15 Tim Lascar, Metodologi, 215.
27
: ملن، قلت م ل ق ول ، قال رسول الله صلى الله عليو وألو وسلم . ا أعطيت ي ا من أن تل ل قل و ص
"Diriwayatkan dari Busr bin Sa'id bahwa Ibn Sa'diy al-Maliki berkata:
Umar mempekerjakan saya untuk mengambil sedekah (zakat). Setelah
selesai dan sesudah saya menyerahkan zakat kepadanya, Umar
memerintahkan agar saya diberi imbalan (fee). Saya berkata: saya
bekerja hanya karena Allah. Umar menjawab: Ambillah apa yang
kamu beri; saya pernah bekerja (seperti kamu) pada masa Rasul, lalu
beliau memberiku imbalan; saya pun berkata seperti apa yang kamu
katakan. Kemudian Rasul bersabda kepada saya: Apabila kamu diberi
sesuatu tanpa kamu minta, makanlah (terimalah) dan
bersedekahlah."16
Dari penjelasan hadith diatas pekerjaan yang dimaksud adalah
Umar mewakilkan pekerjaan untuk mengambil zakat kepada Ibn
Sa'diy al-Maliki, kemudian Umar memberikan imbalan berupa upah
kepadanya.
Pendapat Imam Syaukani ketika menjelaskan hadith Busr bin
Sa'id dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia
No:113/DSN-MUI/IX/2017 Tentang Akad Waka>lah Bi al-Ujrah:
.و يو أ ضا ليل على أن من ن وى التب رر و لو أخذ ا ر ب ل “Hadith busr bin sa‟id tersebut menunjukkan pula bahwa orang yang
melakukan sesuatu dengan niat tabarru‟ (semata-mata mencari pahala,
dalam hai ini menjadi wakil) boleh menerima imbalan.”17
Dari hadith dan penjelasan Imam Syaukani ketika menjelaskan
hadis Busr Bin Sa‟id diatas, dapat dipahami bahwa melakukan suatu
pekerjaan dengan menerima imbalan diperbolehkan menurut syara‟.
16 Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia, “Akad Wakalah Bi Al Ujrah”
No. 113, Https://Dsnmui.Or.Id/Kategori/Fatwa/Page/2/ (Diakses Pada Tanggal 04 Februari 2020,
Jam 16.50). 17 Ibid.
28
Dalam memberikan upah harus sepadan dengan pekerjaan yang
dilakukan. Jika menurut kebiasaan tidak perlu memberikan upah,
berarti akad waka>lah kembali pada hukum asalnya yang bersifat
tabarru‟. Karena akibat hukum dari berlakunya syarat tertentu pada
waka>lah (waka>lah bil ujrah) ialah bahwa akad tersebut menjadi
bersifat mengikat.18
7. Berakhirnya Akad Waka>lah
a. Matinya salah seorang dari s}a>hib al akad (orang-orang yang
berakad), atau hilangnya cakap hukum.
b. Dihentikannya aktivitas/pekerjaan dimaksud oleh kedua belah
pihak.
c. Pembatalan akad oleh pemberi kuasa terhadap penerima kuasa,
yang diketahui oleh penerima kuasa.
d. Penerima kuasa mengundurkan diri dengan sepengetahuan
pemberi kuasa.
e. Gugurnya hak pemilikan atas barang bagi pemberi kuasa.19
B. Etika Bisnis Islam
1. Pengertian Etika Bisnis Islam
Etika menurut Sofyan S. Harahap mengutip dari pendapat
Satyanugraha, etika sebagai nilai-nilai dan norma moral dalam suatu
masyarakat. Etika sebagai ilmu juga dapat diartikan pemikiran moral
18 Ascarya, Akad, 106. 19 Nabila Nailul Muna, “Wakalah,” Makalah (Jurai Siwo Metro: STAIN Jurai Siwo Metro,
2016), 10.
29
yang mempelajari tentang apa yang harus dilakukan atau yang tidak
boleh dilakukan.20
Nashruddin Baidan dan Erwati Aziz mengungkapkan bahwa
etika dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai ilmu
tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan
kewajiban, kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak,
dan nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau
masyarakat.21
Bisnis adalah pertukaran barang, jasa, atau uang yang saling
menguntungkan atau memberikan manfaat. Bisnis berlangsung karena
adanya kebergantungan antarindividu, adanya peluang internasional,
usaha untuk mempertahankan dan meningkatkan standar hidup, dan
lain sebagainya. Bisnis dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan
keuntungan (profit), mempertahankan kelangsungan hidup,
pertumbuhan social, dan tanggungjawab social.22
Etika bisnis Islam merupakan suatu proses dan upaya untuk
mengetahui hal-hal yang benar dan yang salah yang selanjutnya tentu
melakukan hal yang benar berkenaan dengan produk, pelayanan
perusahaan dengan pihak yang berkepentingan dengan tuntutan
perusahaan.
20 Sofyan S. Harahap, Etika Bisnis Dalam Perspektif Islam (Jakarta: Salemba Empat, 2011),
17. 21 Nashruddin Baidan Dan Erwati Aziz, Etika Islam Dalam Berbisnis (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2014), 2. 22 Ika Yunia Fauzia, Etika Bisnis Dalam Islam (Jakarta: Kencana, 2013), 3.
30
Mempelajari kualitas moral kebijaksanaan organisasi, konsep
umum dan standar untuk perilaku moral dalam bisnis, berperilaku
penuh tanggung jawab dan bermoral. Artinya etika bisnis Islami
merupakan suatu kebiasaan atau budaya moral yang berkaitan dengan
kegiatan bisnis suatu perusahaan. Berbisnis berarti suatu usaha yang
menguntungkan, jadi etika bisnis Islam adalah studi tentang seseorang
atau organisasi melakukan usaha atau kontrak bisnis yang saling
menguntungkan sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam.23
2. Al-Qur’an Sebagai Pedoman Etika
Al-Qur‟an disebut sebagai pedoman etika atau tuntutan etika
kehidupan, termasuk didalamnya bagaimana perilaku manusia dalam
berdagang. Sebab al-Qur‟an sendiri menyebutkan sebagai kitab
petunjuk bagi manusia dan kriteria pembeda antara kebenaran dengan
kebathilan dan antara kebaikan dengan keburukan, sebagaimana
dalam al-Qur‟an surat al-Baqarah ayat 185, yaitu:
Artinya: “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan,
bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran
sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan
mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan
yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir
(di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah 23 Abdul Aziz, Etika Bisnis Perspektif Islam (Bandung: Alfabeta, 2013), 35.
31
ia berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau
dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya
berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada
hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu,
dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah
kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu
mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan
kepadamu, supaya kamu bersyukur.”24
Dalam ayat tersebut, kata “petunjuk” berarti menekankan bahwa
al-Qur‟an sebagai petunjuk bagi umat manusia dan kata “pembeda”
adalah menjelaskan bahwa manusia harus bisa membedakan etika atau
akhlak yang baik atau yang buruk, yang benar atau yang bathil.
3. Prinsip-Prinsip Etika Bisnis Islam
Etika bisnis secara umum menurut Abdul Aziz mengutip dari
pendapat Suarny Amran, harus berdasarkan prinsip-prinsip sebagai
berikut25
:
a. Prinsip Otonomi
Yaitu kemampuan untuk mengambil keputusan dan bertindak
berdasarkan keselarasan tentang apa yang baik untuk dilakukan
dan bertanggung jawab secara moral atas keputusan yang diambil.
b. Prinsip Kejujuran
Merupakan kunci keberhasilan suatu bisnis, kejujuran dalam
pelaksanaan control terhadap konsumen, dalam hubungan kerja
dan lainnya.
24 Ma‟had Tahfidh Yanbu‟ul Qur‟an Kudus, al-Quddus al-Qur’an Terjemah Bi Rosm Utsmani
(Kudus: CV. Mubarokatan Thoyyibah, 2014), 27. 25 Abdul Aziz, Etika Bisnis,37.
32
c. Prinsip Keadilan
Setiap orang yang berbisnis diperlakukan sesuai dengan haknya
masing- masing dan tidak ada yang boleh dirugikan.
d. Prinsip saling menguntungkan, dalam bisnis yang kompetitif.
e. Prinsip Integritas Moral
Merupakan dasar dalam berbisnis, harus menjaga nama baik
perusahaan tetap dipercaya dan merupakan perusahaan terbaik.
Berdasarkan prinsip-prinsip dasar etika bisnis Islam di atas,
maka secara teologis Islam menawarkan nilai-nilai dasar atau prinsip-
prinsip umum yang penerapannya dalam bisnis disesuaikan dengan
perkembangan zaman dan mempertimbangkan dimensi ruang dan
waktu. Nilai-nilai dasar etika bisnis Islam adalah tauhid, khilafah,
ibadah, tazkiyah, dan ihsan. Dari nilai dasar ini dapat diangkat ke
prinsip umum tentang keadilan, kejujuran, keterbukaan (transparansi),
kebersamaan, kebebasan, tanggungjawab dan akuntabilitas.26
Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa prinsip-prinsip dasar
etika bisnis Islam harus mencakup:
a. Kesatuan (Unity)
Sebagaimana dalam konsep tauhid yang menawarkan
ketepaduan agama, ekonomi, dan social demi membentuk
kesatuan. Atas dasar pandangan ini pula maka etika dan bisnis
26 Abdul Aziz, Etika Bisnis, 43.
33
menjadi terpadu, vertikal maupun horizontal, membentuk suatu
persamaan yang sangat penting dalam sistem Islam.
b. Keseimbangan (Equilibrium)
Dalam beraktivitas di dunia kerja dan bisnis, Islam
mengharuskan untuk berbuat adil.
c. Kehendak bebas (Free Will)
Kebebasan merupakan bagian penting dalam nilai etika bisnis
Islam, tetapi kebebasan itu tidak merugikan kepentingan
kolektif.
d. Tanggungjawab (Responsibility)
Secara logis prinsip ini berhubungan erat dengan kehendak
bebas, ia menetapkan batasan mengenai apa yang bebas
dilakukan oleh manusia dengan bertanggungjawab atas semua
yang dilakukannya.
e. Kebenaran (Kebajikan dan Kejujuran)
Kebenaran dalam konteks ini selain mengandung makna
kebenaran lawan dari kesalahan, mengandung pula dua unsur
yaitu kebajikan dan kejujuran.27
4. Nilai-Nilai Dalam Etika Bisnis Islam
Berikut ini nilai-nilai etika syariah yang dapat mendorong
bertumbuh dan suksesnya bisnis, yaitu sebagai berikut:
27 Abdul Aziz, Etika Bisnis, 45-46.
34
a. Konsep Ihsan
Ihsan adalah usaha individu untuk bersungguh-sungguh dalam
bekerja, tanpa kenal menyerah, memiliki dedikasi penuh menuju
optimalisasi. Harus mengerjakan setiap pekerjaan sebaik
mungkin dan semaksimal mungkin.
b. Itqan
Yaitu membuat sesuatu dengan teliti dan teratur. Jadi harus bisa
menjaga kualitas produk yang dihasilkan, adakan penelitian dan
pengawasan kualitas produk yang dihasilkan sehingga hasil
maksimal. Allah SWT telah menjanjikan bahwa siapa saja yang
bersungguh-sungguh maka Dia akan menunjukkan jalan
kepadanya dalam mencapai nilai yang setinggi-tingginya.
c. Konsep Hemat
Rasulullah SAW telah mengajarkan kepada umatnya, umat
muslim harus hemat. Kita harus hemat dengan harta, tapi tidak
kikir dan tidak menggunakannya kecuali untuk sesuatu yang
benar-benar bermanfaat.
d. Kejujuran dan Keadilan
Konsep kejujuran membuat ketenangan hati bagi orang yang
melaksanakannya. Dalam bisnis, hal ini sangat diperlukan dan
sangat membantu kemajuan bisnis dalam jangka panjang.
Sedangkan keadilan tidak membeda-bedakan manusia yang satu
dengan yang lainnya.
35
e. Kerja Keras
Rasulullah menyuruh umatnya untuk bekerja keras, jangan
hanya berpangku tangan dan minta belas kasihan orang lain.
Pelaku-pelaku bisnis diharapkan bertindak secara etis dalam
berbagai aktivitasnya artinya usaha yang dilakukan harus
mampu memupuk atau membangun kepercayaan dari pada
relasinya. Kepercayaan, keadilan dan kejujuran adalah elemen
pokok dalam mencapai suksesnya suatu bisnis dikemudian hari.
Keberadaan bisnis pada hakikatnya adalah untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat.28
Dalam etika bisnis terdapat aspek hukum yang terdiri dari
kepemilikan, pengelolaan, dan pendistribusian harta. Sehingga etika
bisnis syariah:
a. Menolak monopoli (Monopoli adalah penguasaan atas produksi
dan/atau pemasaran berang dan /atau penggunaan jasa tertentu
oleh satu pelaku usaha).
b. Menolak eksploitasi.
c. Menolak diskriminasi.
d. Menuntut keseimbangan antara hak dan kewajiban.
e. Terhindar dari usaha tidak sehat.29
28Arif Rachman Eka Permata dan Dahruji, “Etika Bisnis Dalam Perspektif Ekonomi Islam:
Tinjauan Teoritik Dan Empiris Di Indonesia,” Paper (Madura: Universitas Trunojoyo). 29 Ibid,.
36
BAB III
PRAKTIK KONSINYASI DI KANTIN PONDOK PESANTREN
HUDATUL MUNA DUA KABUPATEN PONOROGO
A. Deskripsi Kantin Pondok Pesantren Hudatul Muna Dua
1. Sejarah Berdirinya Pondok Pesantren Hudatul Muna Dua
Sejarah berdirinya Pondok Pesantren Hudatul Muna Dua tidak
lepas dari sejarah berdirinya Pondok Pesantren Hudatul Muna, yaitu
berdiri sejak tahun 1911 M, yang didirikan oleh:
a. Almarhum K.H. Moh. Muslim dan K.H. Hasan Imam (1911-1920)
b. Almarhum K.H. Moh. Ngiso (1911-1931)
c. Almarhum K.H. Thoyyib (1931-1940)
d. Almarhum K. Moh. Surat (1940-1950)
e. Almarhum K. Moh. Iskandar (1950-1971)
f. Almarhum K.H. Moh. Qomaruddin Muftie (1964-1989)
Setelah melewati bulan suci ramadhan bertepatan tanggal 12
Syawal 1964 M. Berdirilah Pondok Pesantren Hudatul Muna dan
Madrasah Miftahul Huda di Jenes yang terletak di Desa Brotonegaran,
Kecamatan Ponorogo Kabupaten Ponorogo, yaitu di Jalan Yos
Sudarso Nomor 2 B Ponorogo oleh Almarhum K.H. Moh.
Qomaruddin Muftie sekaligus penggagas nama dari Pondok Pesatren
Hudatul Muna.
37
Antara tahun 1972 M sampai tahun 1980 M, pendidikannya
meliputi pengajian kitab kuning (salaf), sorogan kitab, sorogan al-
qur’an. Pendidikan lainnya yaitu untuk Ibtida’ terdiri dari kelas 1
sampi kelas 4 sedangkan untuk Madrasah Tsanawiyah dari kelas 1
sampai kelas 3 yang semuanya terdiri dari dua kelas dan Madrasah
Aliyah terdiri dari 3 kelas. Jumlah keseluruhan santri mencapai 325
santri yang bermukim di 13 kamar.
Sekitar tahun 2000 M, Pondok Pesantren Hudatul Muna
terpecah menjadi 2, yang sebelah selatan adalah pondok putra. Dan di
sebelah utara yaitu santri putri.
Pada tahun 2002 M, pondok utara beralih nama menjadi Hudatul
Muna 2 dan selatan Hudatul Muna 1. Dan pondok utara membuka
madrasah sendiri sehingga santri utara sekolah di madrasahnya
sendiri. Dan pada tahun itu pula, pondok utara mulai menerima santri
putra yang ingin mukim di pondok.
Mulai tahun 2005 Pondok Pesantren Hudatul Muna Dua
berbentuk yayasan, sehingga segala kegiatan belajar mengajar di
Pondok Pesantren Hudatul Muna Dua bernaung dibawah Yayasan
Pondok Pesantren Hudatul Muna Dua. Reg PN Ponorogo
no.6/PndLPP/2005 dengan jumlah santri putra putri ±150 orang. Saat
ini pendidikan yang berada dibawah naungan Yayasan Pondok
Pesantren Hudatul Muna Dua yaitu Madrasah Tsanawiyah, Madrasah
38
Aliyah, Sekolah Menengah Kejuruan, Madrasah Diniyah, Madrasah
Murottilil Qur’an, dan Taman Pendidikan al-Qur’an. 1
Hingga saat ini total santri putra maupun putri ±200 orang yang
bermukim di Pondok Pesantren, sedangkan santri laju ± 30 orang.
Dengan pembaruan beberapa sistem pembelajaran dan administrasi
yang lebih teratur serta sarana prasana yang lebih lengkap.2
Pondok Pesantren Hudatul Muna Dua memakai pedoman ayat
al-Qur’an surat at-Taubat ayat 122, yaitu:
Artinya: “tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke
medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan
di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam
pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi
peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali
kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”3
2. Visi dan Misi Pondok Pesantren
a. Visi
Terbentuknya generasi berwawasan global yang berakhlaqul
karimah ala thoriqoti ahli sunnah wal jamaah.
b. Misi
1) Mewujudkan pesantren sebagai lembaga tafaqquh fiddin yang
bersendikan ajaran ahli sunnah wal jamaah.
1 Dokumenter Kenangan Para Sahabat, Buku Kenangan (Ponorogo: Alisa Design, 2014), 4-8.
2 Ulfi Hasanah, Hasil Wawancara, Ponorogo. 18 Februari 2020.
3 al-Qur’an, 9: 122.
39
2) Meningkatkan sumber daya manusia yang kompeten.
3) Sebagai bekal pengembangan profesi dan keahlian di
masyarakat.
4) Mengefektifkan pembelajaran dan pengembangan potensi diri.
5) Pemberdayaan potensi dan peran serta masyarakat.4
3. Program-Program Pondok Pesantren
a. Pendidikan
1) Formal
a) Madrasah Tsanawiyah Hudatul Muna Dua
b) Madrasah Aliyah Hudatul Muna Dua
c) Sekolah Menengan Kejuruan Tekhnologi Informatika
Hudatul Muna Dua
2) Non formal
a) Madrasah Diniyah Hidayatul Mubtadi’aat
b) Madrasah Murottilil Qur’an
c) TPQ The Best Al-Qur’an
d) Kegiatan Ma’hadiyah, meliputi: Sorogan Kitab, Pengajian
Wekton, Sima’an al-Qur’an, Syawir, Roan Akbar,
Manaqib, barzanji, dan lain-lain.
3) Ekstrakurikuler, meliputi: Muhadharah, Kegiatan Bahasa
(Indonesia, inggris, dan arab), Pramuka, Kaligrafi, Hadrah
Banjari.
4 M.Yunus Kartono, Hasil Wawancara, Ponorogo. 04 November 2019.
40
b. Perekonomian
1) Kantin
2) Toko kitab. 5
4. Sejarah Berdirinya Kantin Pondok Pesantren Hudatul Muna Dua
Kabupaten Ponorgo
Pada awal tahun 2015, bersamaan dengan renovasi gedung
Madrasah di Pondok Pesantren Hudatul Muna Dua, kantin Pondok
Pesantren Hudatul Muna Dua juga didirikan tepat disamping
Madrasah, supaya lebih strategis dan mudah untuk dijangkau para
santri maupun guru-guru dan juga staf yang ada di Madrasah. Selain
itu, diharapkan dengan didirikannya kantin tersebut, dapat
menanggulangi para santri yang sering jajan keluar area pondok
sehingga meminimalisir adanya santri bolos pada saat jam pelajaran
dan aktivitas belajar mengajar berjalan sesuai mestinya.
Alasan utama dirikannya kantin Pondok Pesantren Hudatul
Muna Dua adalah karena tidak adanya kantin atau tempat para santri
untuk membeli jajan yang bertempat di area Madrasah. Sehingga
setiap harinya banyak santri yang sering keluar Madrasah untuk
membeli jajan, bahkan banyak yang keluar Madrasah tanpa seizin
guru atau pengurus pondok dan kesempatan ini juga sering dijadikan
alasan para santri untuk bolos sekolah, dan menjadi penghambat untuk
aktivitas Madrasah karena sering kali santri keluar dalam waktu yang
5 Yunus, Wawancara, 03 Desember 2019.
41
lama dan tempat yang tidak diketahui jelas oleh Madrasah, dan
seringnya para santri yang tidak kembali ketika pelajaran dimulai. Dan
karena banyaknya santri yang sering membolos akhirnya para guru
dan pengurus pun kesulitan untuk mengontrol satu-persatu.
Pada saat kantin Pondok Pesantren Hudatul Muna Dua
didirikan, masih dalam kondisi bangunan kosong. Penjual atau pun
barang dagangannya belum tersedia, sehingga pihak Madrasah dan
Pengasuh Pondok sepakat untuk mencarikan orang yang bersedia
memasok barang dagangan, dan pengelola kantin diambil dari pihak
pengurus Pondok Pesantren sebagai bentuk pengabdiannya ke pondok.
Sarana-prasarananya sendiri, seperti perabotan, lampu, meja dan
lainnya untuk sementara disediakan oleh Madrasah dan Pengasuh,
yang meliputi: 1 buah lampu yang listriknya diikutkan dengan
Madrasah, kemudian 2 pasang meja dan kursi panjang, 1 etalase, 1
kompor tumpu satu, 1 tabung gas, 1 ember, 1 galon, 1 loyang, dan 6
buah gelas beserta tutupnya. Yang semuanya masih pinjaman yang
sewaktu-waktu akan dikembalikan kepada pemiliknya.6
Pada tahun 2017, kantin sudah dapat mengembalikan perlatan
pinjaman dari madrasah dan pengasuh. kecuali peralatan yang ditolak
untuk dikembalikan atau dihibahkan untuk kantin. Saat ini peralatan
6 Bu Izu, Hasil Wawancara, Ponorogo. 26 Oktober 2019.
42
yang berada dikantin sepenuhnya milik kantin sendiri sedangkan
listrik kantin, membayar kepada madrasah perbulannya. 7
5. Profil Kantin Pondok Pesantren Hudatul Muna Dua Kabupaten
Ponorgo
a. Deskripsi Status Kantin
Status kepemilikan kantin adalah milik Pondok Pesantren
Hudatul Muna Dua, bukan milik perseorangan atau yang lainnya,
yang bertanggung jawab atas pengelolaan kantin yaitu pengurus
yang bertugas untuk mengelola segala sesuatu yang ada di kantin
tersebut, sebagai wakil dari pondok pesantren untuk mewakili
mengelola kantin di Pondok Pesantren Hudatul Muna Dua.
Pemegang keputusan dan yang membuat peraturan untuk
menentukan segala sesuatunya, termasuk yang menentukan
penyetor dagangan adalah pengasuh, pengelola hanya
menjalankannya saja. Kecuali jenis setoran barang dan jumlah
setoran yang mengatur adalah pengelola kantin.
b. Status tanah & bangunan adalah milik Pondok Pesantren Hudatul
Muna Dua.8
c. Tahun berdiri : tahun 2015.
d. Pendiri : Pondok Pesantren Hudatul Muna Dua.
e. Modal Awal : Rp. 300.000.
f. Aset Sekarang :Rp. 500.000.
7 Qoirun Nisa, Hasil Wawancara, Ponorogo. 26 Oktober 2019. 8 M. Yunus Kartono, Hasil Wawancara, Ponorogo. 04 November 2019.
43
g. Omset Sekarang :Rp. 1.800.000.
h. Penyetor Dagangan : 8 Orang.
i. Jumlah Pembeli : ± 250 Orang.
j. Pengelola kantin : 3 Orang .9
6. Tujuan Didirikannya Kantin Pondok
a. Mendidik para santri agar lebih mencintai produk dalam pondok.
b. Meningkatkan kesejahteraan para santri.
c. Menjadikan wadah pembelajaran dalam perekonomian.
7. Struktur Anggota
a. Dewan Pengasuh/Pelindung : Hj. Nyai Saudah Qomarudin Muftie
b. Ketua : Qoirun Nisa’ Aryani
c. Anggota : Nurul Istiqomah
Neni Rahmawati10
B. Kegiatan Praktik Konsinyasi di Kantin Pondok Pesantren Hudatul
Muna Dua Kabupaten Ponorogo
1. Praktik Akad Konsinyasi di Kantin Pondok Pesantren Hudatul
Muna Dua Kabupaten Ponorogo
Akad konsinyasi di Kantin Pondok Pesantren Hudatul Muna
Dua sudah berlangsung sejak awal berdirinya kantin tersebut. Karena
kondisi kantin pada saat itu masih kosong, sehingga perlu adanya
modal atau barang dagangan yang dapat diperjual belikan. Karena dari
pihak pengelola kantin tidak memungkinkan untuk mengolah atau
9 Qoirun, Wawancara, 04 November 2019. 10 Wahyu Nur Hidayah, Hasil Wawancara, Ponorogo. 07 November 2019.
44
membuat sendiri dagangan tersebut dikarenakan terbatasnya modal
dan juga alat-alat yang belum cukup memadai, sehingga dari pihak
Madrasah dan pengasuh pondok membantu mencarikan penyetor
barang dagangan.
Mayoritas penduduk sekitar Pondok Pesantren masih saudara
sehingga mempermudah untuk mengadakan kerjasama. Selain dari itu,
lambat laun banyak yang menawarkan untuk menjadi penyetor
dagangan di kantin Pondok Pesantren Hudatul Muna Dua, tetapi
karena mendahulukan orang dalam (sanak saudara), jadi penyetor dari
luar Pondok harus dibatasi dan diputuskan oleh pengasuh pondok.
Dagangan yang dijual adalah produksi dari beberapa orang yang
setiap harinya menyetorkan makanan atau minuman yang sudah
jadi/siap saji dan siap dijual oleh pihak kantin sehingga tidak ada yang
menyetorkan barang dagangan dalam keadaan masih mentah.
Pemilik barang dagangan di Kantin Pondok Pesantren Hudatul
Muna Dua tidak hanya satu orang saja melainkan ada beberapa orang.
Dan setiap orang diawal akadnya sepakat dengan menyetorkan barang
dagangan satu macam saja misalnya gorengan saja atau nasi saja,
tetapi lambat laun ketika barang dagangan tersebut sudah semakin
laku pihak pemilik dagangan menambahkan barang dagangannya
dengan tanpa sepengetahuan dari pihak pengelola sehingga dalam
penambahan tersebut tidak ada kesepakatan atau pembaruan akad
secara pasti antara keduanya.
45
Misalnya, A pada perjanjian awal sepakat memberikan modal
barang dagangan berupa jajanan gorengan seperti tempe, pia, tetapi
lama kelamaan yang disetorkan berupa jajanan pasar seperti onde-
onde, mpon-mpon, cenil atau sesukanya, dan B yang pada perjanjian
awalnya menyetorkan nasi saja lama kelamaan menyetorkan nasi dan
es, nasi dan gorengan, dan lain-lain.
Ada juga pihak yang menyetorkan barang dagangan secara tidak
pasti dan pada kesepakatan awalnya tidak boleh menyetorkan
dagangan yang di kantin sudah ada penyetornya tetapi pada
praktiknya barang yang disetorkan terkadang sudah ada di kantin
sehingga menimbulkan sengketa bagi pihak lainnya.11
Penjelassan Bu Um (pihak penyetor) mengatakan bahwa: “saya
dulu ketika pertamakali setor dijatah gorengan saja mbak, tapi karena
saya lihat yang setor es itu tidak rutin saya tambahi setor es dan
gorengannya saya kurangi dan memang saya tidak bilang dulu pada
mbak kantinnya, kan jumlahnya tetap sama dengan setor gorengan”12
Berdasarkan penjelasan di atas memang penyetor sendiri telah
menambah dagangannya tanpa sepengetahuan dari pihak pengelola.
Dan pihak pengelola sendiri sebenarnya tidak berkenan dengan hal
tersebut, tapi mengingat para penyetor tersebut mengantarkan
dagangannya ketika pengelola belum ada di tempat dan juga
pertimbangan jika pemilik barang dagangan tidak akan mau
11 Qoirun, Wawancara, 05 Agustus 2019. 12 Bu Um, Hasil Wawancara, Ponorogo. 25 November 2019.
46
menitipkan dagangannya lagi karena mayoritas penyetor dagangan
adalah saudara dari pengasuh pondok sehingga pengelola kantin
merasa khawatir jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Faktor-
faktor itulah yang menghambat pengelola kantin untuk bersikap tegas
kepada pemilik dagangan.13
Sesuai dengan penjelasan dari Mbak Neni (salah satu pengelola
kantin), yaitu:
“Saya sebenarnya juga kurang berkenan dengan adanya pihak yang
tiba-tiba menambahkan dagangannya dan tanpa seizin dari saya
atau teman-teman yang lain, karena nanti pas ada yang tidak terima
karena kan sudah dibagi-bagi kenapa masih begitu. Dan sebenarnya
sudah pernah saya ingatkan tapi hanya berhenti beberapa kali saja
selanjutnya kembali lagi seperti itu. Dan karena disini saya masih
mengabdi dan kantin juga bukan milik saya sendiri akhirnya saya
pasrah saja daripada berkepanjangan masalahnya dan takutnya
nanti malah tidak mau setor lagi kan jadi saya yang rugi”14
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa tidak
adanya kesepakatan secara pasti antara kedua belah pihak.
2. Praktik Pengupahan Konsinyasi Di Kantin Pondok Pesantren
Hudatul Muna Dua Kabupaten Ponorgo
Praktik pengupahan dalam sistem konsinyasi antara penyetor
barang dagangan dan kantin pondok, telah dijelaskan sebelumnya
bahwa, akad atau perjanjian yang telah terjadi antara kedua belah
pihak tersebut telah dibuat dan sepakati oleh masing-masing pihak
dengan ikhlas tanpa ada paksaan diantara keduanya. Sedangkan
upah/komisi sendiri ialah suatu imbalan atas praktik konsinyasi
13 Qoirun, Wawancara, 05 Agustus 2019.
14 Neni Rahmawati, Hasil Wawancara, 05 Agustus 2019.
47
dengan proporsi antara pemodal/penyetor barang dagangan dan
pengelola kantin yang telah disepakati.
Setelah akad terjadi dan usaha kerjasama tersebut telah
menghasilkan keuntungan, akan ada komisi dari penjualan barang
dagangan yang habis terjual, karena barang yang tidak terjual akan
dikembalikan kepada pemilik dagangan. Maka laba dan keuntungan
akan dibagi dua sesuai dengan kesepakatan.
Perhitungan keuntungan atau laba dilakukan dengan cara
menghitung jumlah seluruh penghasilan yang didapatkan dari
habisnya barang dagangan yang terjual, Kemudian jika jumlah
penghasilan telah diketahui akan dipersentase sesuai dengan ketentuan
atau langsung mengambil potongan dari barang yang terjual yang
sekiranya sama dengan besaran persentase, dalam perjanjian ini
apabila barang dagangan masih sisa atau tidak habis terjual maka
dapat dikembalikan kepada penyetor dagangan.
Persentase dalam sistem konsinyasi di sini biasanya 90% : 10%
yang mana 90% bagian dari pemilik dagangan sedangkan 10% adalah
bagian kantin. Tetapi di sini dalam praktik pengupahan yang
seharusnya persenan keuntungannya harus diketahui dan disepakati
oleh kedua pihak, pada praktiknya ketentuan pengupahan atau
potongan persentase pihak pengelola di Kantin tidak menyatakan
48
secara jelas kepada penyetor, baru ketika penyetor dagangan
menanyakan maka akan dijawab 10% dari perbuah dagangannya.15
Tetapi dalam praktik aslinya ternyata tidak hanya 10% saja yang
dipotong, tetapi ada yang 20%, 5% ataupun hanya dengan dikira-kira
saja, misalnya pemilik modal menyetorkan gorengan 10 buah yang
per@ dihargai Rp. 500, sesuai dengan akadnya seharusnya per@
dipotong Rp. 50 (10% dari Rp. 500) menjadi Rp. 450 x 10 = Rp.
4.500, dalam praktiknya perhitungannya adalah Rp. 400 x 10 = Rp.
4.000 atau di sini dapat diketahui potongan persentasenya adalah
(20%). Sehingga dalam praktik pengupahan ini terdapat unsur ketidak
jelasan mengenai persentasenya.
Penjelasan dari Bu Nur (salah satu pemilik dagangan), sebagai
berikut: “pembagian keuntungan dibagi 2 mbak, kalau saya yang buat
jajanan biasanya kalau jualnya 500 ya bagian saya 400 perjajannya,
kalau 1000-an ya saya 900 trus mbaknya kantin 100 perjajannya. Dan
saya tinggal terima uang bersihnya saja yang menghitung biarkan
mbaknya yang jaga”.16
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa
presentase pengupahan sebenarnya yang menentukan adalah pihak
kantin.
15 Bu Nur, Hasil Wawancara, Ponorogo. 08 Agustus 2019.
16 Ibid.
49
Berikut ilustrasi perhitungan pembagian hasil penjualan:
Bu Nur menyerahkan nasi seharga Rp. 2.000 pernasi, sejumlah 30
bungkus, dan es lilin per@ Rp. 500 sejumlah 50 bungkus, yang
dititipkan dikantin untuk dijual. Kemudian dagangan yang habis terjual
adalah nasi sebanyak 28 bungkus dan tersisa 2 bungkus dan es habis
terjual semua.
Pada saat perjanjian Bu Nur tidak diberi tahu secara langsung
berapa persen yang diambil untuk nisbah kantin, baru ketika beliau
bertanya akan diberitahu jika persentase yang diambil adalah 10%
seperti biasanya. Kemudian hasil pembagiannya adalah:
1. Nasi = Rp. 2.000 x 28 nasi = Rp. 56.000 x 10 % = Rp.5.600.
2. Es lilin = Rp. 500 x 50 es = Rp. 25.000 x 10% = Rp. 2.500.
Pada praktinya penghitungan dari penjualan es adalah langsung
Rp. Rp. 400 x 50= Rp. 20.000 dan diberikan kepada pemilik dagangan
sedangkan bagian kantin adalah terhitung Rp. 5.000. jadi perhitungan
di sini tidak 10 % lagi melainkan menjadi 20%.
Jadi bagian untuk kantin seharusnya adalah Rp. 5.600 + Rp.
2.500 = Rp. 8.100, menjadi Rp. 5.600 + Rp. 5.000 = Rp.10.600
sedangkan bagian dari Bu Nur yang seharusnya Rp. 56.000-
Rp.5.600= Rp.50.400 (nasi) dan Rp.25.000- Rp.2.500 = Rp.22.500
(es) = Rp. 72.900.
Menjadi Rp.50.400 (nasi)+ Rp.20.000 (es) = Rp.70.400.
50
Dan sisa dari dagangana tersebut dikembalikan kepada pemilik barang
sesuai dengan kesepakatan diawal perjanjian.
Penjelasan dari Mbak Nurul (salah satu pihak kantin), sebagai
berikut:
“kalau saya mengambil persenan ini memang tidak pernah
menghitung secara jelas berapa persen tetapi dulu pernah diberitahu
jika laba yang diambil kantin adalah 10%, tapi perhitungannya saya
langsung menjumlah berapa yang habis dikali potongan yang
biasanya dilakukan misalnya ya 100, 200, atau 500 begitu, karena
memang sejak saya jadi pengelola disini sudah begitu
perhitungannya dan saya juga tidak mengotak-atiknya kembali.
Dan jika penyetor tidak bertanya saya memang tidak memberi tahu
kan memang biasanya seperti itu, mungkin mereka juga sudah
paham.”17
Berdasarkan keterangan di atas dapat diketahui bahwa dari
pengelola sendiri tidak menghitung persenannya secara rinci dan
hanya menganut pada aturan yang tidak pasti.
17 Nurul Istiqomah, Hasil Wawancara, Ponorogo. 25 November 2019.
51
BAB IV
ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK KONSINYASI
DI KANTIN PONDOK PESANTREN HUDATUL MUNA DUA
KABUPATEN PONOROGO
A. Analisis Hukum Islam Terhadap Praktik Akad Konsinyasi di Kantin
Pondok Pesantren Hudatul Muna Dua Kabupaten Ponorogo
Pada bab IV penulis akan menganalisa mengenai gambaran umum
yang terjadi pada praktik konsinyasi di Kantin Pondok Pesantren Hudatul
Muna Dua Kabupaten Ponorogo. Di mana yang diketahui pada bab
sebelumnya, bahwa di Kantin Pondok Pesantren Hudatul Muna Dua
terdapat suatu praktik konsinyasi antara pengelola kantin dengan penyetor
barang dagangan. Praktik konsinyasi yang terjadi adalah penyetor barang
dagangan menyetorkan dagangannya ke kantin pondok dengan jenis dan
jumlah dagangan yang sudah ditentukan oleh pihak kantin, dalam sistem
pengupahan diambil dari persentase hasil penjualan barang bagangan yang
habis terjual seperti penjelasan diawal akad. Akad dilakukan pada saat
berlangsungnya transaksi, yang dilakukan dengan cara lisan, tanpa
menggunakan surat perjanjian tertulis. pengupahan tersebut dilakukan setiap
hari pada akhir penjualan atau setelah kantin tutup. Para penyetor barang
dagangan mendapatkan hasil penjualannya sesuai barang yang habis terjual
dengan potongan 10%, sebagai nisbah untuk kantin.
Dalam Islam, praktik konsinyasi terdapat beberapa pendekatan teori,
diantaranya adalah :
52
1. Waka>lah Bil Ujrah
Waka>lah adalah pemberian kuasa dari seseorang (muwakkil)
kepada penerima kuasa (wakil) untuk melaksanakan suatu tugas
(taukil) atas nama muwakkil (pemberi kuasa).1 Melalui akad waka>lah,
muwakkil dapat menyerahkan pekerjaan kepada wakilnya dengan
menyertakan syarat-syarat tertentu. Begitu pula sebaliknya, seorang
wakil yang menjalankan pekerjaan untuk orang lain (muwakkil), boleh
mendapatkan upah (ujrah) yang sesuai. Akad wakalah yang
dijalankan dengan disertai pemberian imbalan disebut Waka>lah bil
ujrah.
Rukun dalam sistem Waka>lah bil ujrah yaitu:
a. Muwakkil (orang yang mewakilkan/melimpahkan kekuasaan)
b. Wakil (orang yang menerima perwakilan)
c. Muwakkal fi>h (sesuatu yang diwakilkan)
d. Shi>ghat i>ja>b qabu>l (ucapan serah terima)
e. Ujrah (upah)
Pada praktik konsinyasi di Kantin Pondok Pesantren Hudatul
Muna Dua Kabupaten Ponorogo, pemilik barang dagangan bertindak
sebagai muwakkil (orang yang mewakilkan untuk menjualkan barang
dagangan), pengelola kantin bertindak sebagai wakil (orang yang
menerima perwakilan untuk menjualkan barang dagangan), Shi>ghat
i>ja>b qabu>l suatu ucapan serah terima atas akad yang telah disepakati
1 M. Dumairi Nor Dkk, Ejonomi Syariah Versi Salaf (Pasuruan: Pustaka Sidogiri, 2008), 133.
53
oleh kedua belah pihak, dan ujrah adalah suatu imbalan/keuntungan
atas suatu pekerjaan yang telah dilakukan pihak pengelola kantin
dengan bentuk persentase dari hasil barang dagangan yang dijualkan.
2. Etika Bisnis Islam
Islam memiliki aturan tentang etika yang harus dilakukan oleh
pelaku bisnis dalam berbisnis. Etika dipandang sama dengan akhlak
yang membahas tentang perilaku baik buruknya seseorang. Titik
sentral dari etika bisnis islam sendiri adalah untuk menjaga perilaku
wirausaha muslim dengan tetap bertanggungjawab karena percaya
kepada Allah SWT.
Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam sistem waka>lah bil ujrah,
muwakkil menyerahkan kewenangannya untuk mewakilkan pekerjaannya
kepada orang yang mewakili. Praktik konsinyasi di Kantin Pondok
Pesantren Hudatul Muna Dua, jika dikaitkan dengan sistem waka>lah bil
ujrah, maka pihak pengelola kantin mewakili penyetor barang dagangan
untuk menjualkan dagangannya kemudian upah yang diberikan berupa
persentase yang telah disepakati. Dan langsung diberikan ketika penjualan
tersebut telah selesai.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dalam praktik konsinyasi di
Kantin Pondok Pesantren Hudatul Muna Dua tidak ada rukun dan syarat
yang bertentangan dengan sistem waka>lah bil ujrah, sehingga dapat
diketahui bahwa praktik konsinyasi di Kantin Pondok Pesantren Hudatul
Muna Dua adalah akad waka>lah bil ujrah.
54
Dalam konteks hukum Islam mengenal asas-asas hukum
perjanjian/akad. Adapun asas-asas itu adalah kebebasan, persamaan atau
kesetaraan, keadilan, kerelaan, kebenaran dan kejujuran, tertulis. Yang
artinya dalam suatu akad tidak boleh ada unsur paksaan, kekhilafan, dan
penipuan, harus senantiasa mendatangkan keuntungan yang adil dan
seimbang, serta tidak boleh mendatangkan kerugian bagi salah satu pihak,
dilakukan atas dasar kerelaan antara masing-masing pihak, tidak ada unsur
paksaan, dan tekanan.2
Selain asas-asas tersebut, dalam suatu akad disyaratkan adanya unsur
at-tara>din (suka sama suka). Tara>din merupakan persyaratan yang paling
mendasar dalam semua kontrak komersial dalam hukum Islam. Persetujuan
secara ridha juga harus bebas dari intimidasi, penipuan, dan ketidakadilan
serta penyamaran3.
Syarat sah akad harus memenuhi beberapa kualifikasi, yaitu: bebas
dari gharar (unsur penipuan), bebas dari kerugian dan penyerahan, bebas
dari riba, bebas dari syarat-syarat fasid, ketidakjelasan jenis yang
mengakibatkan pertengkaran (al-jilalah).4 Dalam al-Qur’an surat al-Nisa’
ayat 29 dijelaskan:
2 Gemala Dewi, Dkk, Hukum Perikatan Islam Di Indonesia (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2005), 30-37. 3 Juhaya S. Pradja, Ekonomi Syariah (Bandung: CV Pustaka Setia, 2015), 115. 4 Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2010), 243.
55
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.
dan janganlah kamu membunuh dirimuSesungguhnya Allah adalah
Maha Penyayang kepadamu”.
Dalam ayat diatas, Allah melarang untuk memakan, memanfaatkan,
menggunakan, atau bentuk transaksaksi lainnya dengan jalan yang bathil
(tidak diperbolehkan oleh syara’). Tetapi boleh melakukan transaksi dengan
orang lain dengan dasar saling ridha atau suka sama-suka.
Selain terpenuhinya akad, dalam sebuah bisnis, terdapat etika atau
perilaku yang mengandung seperangkat nilai tentang baik, buruk, benar, dan
salah dalam dunia bisnis berdasarkan pada prinsip-prinsip moralitas. Dalam
arti lain etika bisnis berarti seperangkat prinsip dan norma dimana para
pelaku bisnis harus komit padanya dalam bertransaksi, berperilaku, dan
berelasi guna mencapai daratan atau tujuan-tujuan bisnisnya dengan
selamat.5
Beberapa prinsip yang harus terpenuhi dalam bisnis, salah satunya
adalah prinsip kebenaran yang mengandung dua unsur yaitu kejujuran dan
kebajikan serta keterbukaan yang dimaksudkan sebagai niat, sikap dan
prilaku yang benar, yang meliputi, proses akad (transaksi), proses mencari
atau memperoleh komoditas, pengembangan maupun dalam proses upaya
meraih atau menetapkan margin keuntungan (laba). Kebajikan adalah sikap
ihsan, beneviolence yang merupakan tindakan yang memberi keuntungan
bagi orang lain dan bersikap terbuka untuk menerima pendapat orang lain
5 Faisal Badroen, Etika Bisnis dalam Islam (Jakarta: Prenada Media Group, 2015),15.
56
yang lebih baik dan lebih benar serta menghidupkan potensi dan inisiatif
yang kontruktif, kreatif dan positif. Dalam pandangan Islam sikap ini
sangat dianjurkan. Dengan prinsip kebenaran dan keterbukaan ini, maka
etika bisnis Islam sangat menjaga dan berlaku preventif terhadap
kemungkinan adanya kerugian salah satu pihak yang melakukan transaksi,
kerjasama atau perjanjian dalam bisnis.6
Pada akad konsinyasi di Kantin Pondok Pesantren Hudatul Muna Dua
diawal perjanjian ketika penyetor menitipkan dagangannya di kantin. Kedua
belah pihak telah sepakat mengenai perjanjian yang telah dilakukan, dengan
pihak pengelola kantin memberikan peraturan bahwa setiap penyetor harus
menyetorkan barang dagangannya sesuai dengan pembagian menu dan
jumlah setoran yang telah ditetapkan. Akan tetapi, jumlah persentase tidak
disebutkan oleh pengelola kantin jika penyetor tidak menanyakan secara
langsung. Dan seiring berjalannya waktu, tidak semua penyetor patuh
dengan peraturan tersebut, dan terdapat adanya unsur pengingkaran dan
tidak kerelaan pada salah satu pihak.
Menurut penjelasan di atas, dalam akad konsinyasi antara penyetor
dagangan dan pengelola kantin di Kantin Pondok Pesantren Hudatul Muna
Dua Kabupaten Ponorogo dapat disimpulkan bahwa akad konsinyasi sudah
sah menurut hukum Islam, karena akad tersebut telah disepakati oleh kedua
belah pihak. Tetapi dalam praktik tersebut terdapat suatu pengingkaran
diantara keduanya yaitu adanya unsur pengingkaran dari pihak penyetor
6 Burhanuddin, Hukum Bisnis Syariah (Yogyakarta: UII Press, 2011), 228-229.
57
barang dagangan sehingga berakibat adanya ketidakrelaan dari pihak
pengelola kantin, serta unsur ketidakjelasan mengenai persentase
pengupahannya. Sehingga ditinjau dari etika bisnis Islam hal ini kurang
sesuai karena tidak memenuhi unsur kebenaran (kejujuran dan kebajikan)
dan juga prinsip keterbukaan.
B. Analisis Hukum Islam Terhadap Praktik Pengupahan Konsinyasi di
Kantin Pondok Pesantren Hudatul Muna Dua Kabupaten Ponorogo
Sebagaimana telah diungkapkan pada data pengupahan, perhitungan
keuntungan atau laba dilakukan dengan cara menghitung jumlah seluruh
penghasilan yang didapatkan dari habisnya barang dagangan yang terjual,
Kemudian jika jumlah penghasilan telah di ketahui akan dipersentase sesuai
dengan ketentuan atau langsung mengambil potongan dari barang yang
terjual yang sekiranya sama dengan besaran persentase, dalam perjanjian ini
apabila barang dagangan masih sisa atau tidak habis terjual maka dapat
dikembalikan kepada penyetor dagangan. Persentase praktik di sini biasanya
90% : 10% yang mana 90% bagian dari pemilik dagangan sedangkan 10%
adalah bagian kantin.
Dalam praktiknya di Kantin Pondok Pesantren Hudatul Muna Dua
besaran persentase tidak hanya 10% saja, tetapi ada yang 20%, 5%, karena
besarnya upah terkadang tidak dihitung melalui persentase melainkan hanya
dikira-kirakan sama dengan persentase, padahal hal tersebut belum tentu
sesuai atau sama. Misalnya pemilik modal menyetorkan gorengan 10 buah
yang per@ dihargai Rp. 500, sesuai dengan akadnya seharusnya per@
58
dipotong Rp. 50 (10% dari Rp. 500) menjadi Rp. 450 x 10 = Rp. 4.500,
dalam praktiknya perhitungannya adalah Rp. 400 x 10 = Rp. 4.000 atau
dapat diketahui potongan persentasenya adalah (20%). Sehingga dalam
praktik pengupahan ini terdapat unsur ketidakjelasan mengenai upah
persentasenya. Dari data tersebut, penulis dapat menyimpulkan bahwa
praktik pengupahan yang di terapkan di Kantin Pondok Pesantren Hudatul
Muna Dua ditetapkan oleh pihak kantin. Mengenai komisi/upah atau
persentasenya juga dari pihak kantin.
Dari penjelasan beberapa teori sistem konsinyasi di atas, menurut
penulis sistem pengupahan termasuk dalam akad ujrah dalam waka>lah bil
ujrah, yaitu imbalan yang diberikan pemilik dagangan sebagai upah atau
kompensasi atas apa yang telah dilakukan oleh pengelola kantin sebagai
imbalan dari menjualkan dagangannya.
Pemberian upah (al ujrah) itu hendaknya berdasarkan akad (kontrak)
perjanjian kerja, karena akan menimbulkan hubungan kerjasama antara
pekerja dengan pengusaha yang berisi hak-hak atas kewajiban masing-
masing pihak. Hak dari pihak yang satu merupakan suatu kewajiban bagi
pihak yang lainnya, adanya kewajiban yang utama bagi majikan adalah
membayar upah.
Penentuan upah kerja, syariat Islam tidak memberikan ketentuan rinci
secara tekstual baik dalam ketentuan al-Qur’an maupun Sunnah Rasul.
Dalam Islam, besaran upah ditetapkan oleh kesepakatan antara pengusaha
dan pekerja. Kedua belah pihak memiliki kebebasan untuk menetapkan
59
jumlah upah, serta bebas menetapkan syarat dan cara pembayaran upah
tersebut. Asalkan saling rela dan tidak merugikan salah satu pihak.7
Praktik pengupahan di Kantin Pondok Pesantren Hudatul Muna Dua,
penentuan persentase dilakukan oleh pihak pengola kantin, dan pihak
penyetor hanya mengikuti ketentuan yang berlaku. Upah atau persentase
keuntungan diambil sendiri secara langsung oleh pengelola kantin, dengan
demikian uang yang diserahkan kepada penyetor barang dagangan adalah
hasil dari penjualan barang dagangan yang sudah diambil potongannya
untuk bagian kantin.
Berdasarkan keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa persentase
pengupahan di Kantin Pondok Pesantren Hudatul Muna Dua sah menurut
Islam karena persentase atau potongan hasil penjualan dimaksudkan sebagai
imbalan atau upah untuk pengelola kantin yang diberikan oleh penyetor
dagangan. Besaran upah serta cara pengambilan upah yang ditentukan dari
pihak kantin juga sah karena kedua belah pihak telah sepakat dalam
akadnya.
Dalam etika bisnis Islam, terdapat nilai-nilai etika dalam sebuah
bisnis, salah satunya adalah Ihsan, itqan dan tanggung jawab yaitu usaha
individu untuk bersungguh-sungguh dalam bekerja, tanpa kenal menyerah,
memiliki dedikasi penuh menuju optimalisasi. Harus mengerjakan setiap
pekerjaan sebaik mungkin dan semaksimal mungkin, mengerjakan sesuatu
7 Fuad Riyadi, “Sistem Dan Strategi Pengupahan Perspektif Islam,” Iqtishadia, Vol 8, (No. 1,
Maret 2015), 169.
60
dengan teliti dan teratur dan bertanggung jawab.8 Islam juga tidak
memperbolehkan mencari harta dengan cara yang bathil, atau segala cara
yang tidak sesuai dengan ketentuan syara’. seperti riba, judi, paksaan,
ketidakjelasan dan penipuan.
Praktik perhitungan pengupahan di Kantin Pondok Pesantren Hudatul
Muna Dua, penentuan atau perhitungan pengupahan dilakukan melalui
persentase atau dilakukan secara perkiraan, dengan mengira-ngira hasil yang
sama dengan persentase. Sehingga hasil yang didapat belum tentu sesuai
dengan yang semestinya. Maka praktik perhitungan pengupahan yang
dilakukan di Kantin Pondok Pesantren Hudatul Muna Dua, menurut etika
bisnis kurang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam etika yang
berlaku karena pengelola kantin tidak teliti atau kurang bersungguh-
sungguh dalam melakukan tanggung jawabnya.
8 Arif Rachman Eka Permata dan Dahruji, “Etika Bisnis Dalam Perspektif Ekonomi Islam:
Tinjauan Teoritik Dan Empiris Di Indonesia,” Paper (Madura: Universitas Trunojoyo), 11.
61
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Akad praktik konsinyasi di Kantin Pondok Pesantren Hudatul Muna
Dua Kabupaten Ponorogo adalah termasuk akad waka>lah bil ujrah dan
akadnya sah menurut hukum Islam karena kedua belah pihak telah
sepakat, tetapi kurang sesuai dengan prinsip etika bisnis Islam.
2. Pengupahan dalam praktik konsinyasi di Kantin Pondok Pesantren
Hudatul Muna Dua Kabupaten Ponorogo sesuai dengan hukum Islam
karena sepakat dengan ketentuan pengupahan yang ditentukan ketika
akad, tetapi kurang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam
etika bisnis.
B. Saran-Saran
1. Dalam melakukan suatu transaksi sebaiknya diperhatikan dan
dipahami dengan teliti mengenai akadnya dan kedua belah pihak
sebaiknya selalu mentaati semua peraturan yang telah disepakati pada
saat terjadinya akad dan bisa bertindak tegas apabila terjadi
pengingkaran supaya tidak terjadi perselisihan.
2. Dalam menyampaikan potongan persentase atau komisi suatu
perjanjian, pihak pengelola hendaknya menyampaikan secara jelas dan
rinci pada saat akad, dan pihak pengelola memahami secara benar dan
teliti dalam melaksanakan perhitungan persentase sebagai bentuk
kesungguhan dan tanggungjawabnya.
DAFTAR PUSTAKA
Referensi Buku:
Anshori, Abdul Ghofur. Hukum Perjanjian Islam Di Indonesia. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press: 2010.
---------. Perbankan Syariah Di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press. 2009.
Anwar, Syamsul. Hukum Perjanjian Syariah.Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
2010.
Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT
Rineka Cipta, 2002.
Asmawi. Studi Hukum Islam. Yogyakarta: Sukses Offset, 2012.
Ascarya. Akad Dan Produk Bank Syariah. Jakarta: Pt Rajagrafindo Persada, 2012.
---------. Jakarta: Rajawali Press, 2011.
Aziz, Nashruddin Baidan Dan Erwati. Etika Islam Dalam Berbisnis. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. 2014.
Aziz, Abdul. Etika Bisnis Perspektif Islam. Bandung: Alfabeta. 2013.
Badroen, Faisal. Etika Bisnis dalam Islam. Jakarta: Prenada Media Group. 2015.
Burhanuddin. Hukum Bisnis Syariah. Yogyakarta: UII Press. 2011.
Damanuri, Aji. Metodologi Penelitian Muamalah. Ponorogo: STAIN PO Press,
2010.
Dewi, Gemala, Dkk. Hukum Perikatan Islam Di Indonesia. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2005.
Dokumenter Kenangan Para Sahabat, Buku Kenangan (Ponorogo: Alisa Design,
2014.
Fatoni, Abdurrahmat. Metodologi Penelitian & Teknik Penyusunan Skripsi.
Jakarta: PT Rineka Cipta, 2006.
Fauzia, Ika Yunia. Etika Bisnis Dalam Islam. Jakarta: Kencana. 2013.
Harahap, Sofyan S. Etika Bisnis Dalam Perspektif Islam. Jakarta: Salemba
Empat. 2011.
Hasanah, Neneng Nur. Mudharabah Dalam Teori Dan Praktik. Bandung: PT
Refika Aditama, 2015.
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. Jakarta: Kencana, 2017.
Manan, Abdul. Hukum Ekonomi Syariah Dalam Perspektif Kewenangan
Peradilan Agama. Jakarta: Kencana, 2012.
Mardani. Hukum Sistem Ekonomi Islam. Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2015.
Ma’had Tahfidh Yanbu’ul Qur’an Kudus, al-Quddus al-Qur’an Terjemah Bi
Rosm Utsmani. Kudus: CV. Mubarokatan Thoyyibah, 2014.
Mubarok, Abu Hazim. Fiqh Idola Terjemah Fathul Qarib, Terj. Muhammad Bin
Qasim Al Ghazi. Kediri: Mukjizat, 2013.
Mulyana, Deddy. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2010.
Nawawi, Ismail. Fikih Muamalah Klasik Dan Kontemporer. Bogor: Ghalia
Indonesia. 2012.
Noor, Juliansyah. Metodologi Penelitian. Jakarta: Kencana, 2012.
Nor, M. Dumairi, Dkk, Ejonomi Syariah Versi Salaf. Pasuruan: Pustaka Sidogiri,
2008.
Nurdin, Ridwan. Fiqh Muamalah. Banda Aceh: Pena, 2014.
Pradja, Juhaya S. Ekonomi Syariah. Bandung: CV Pustaka Setia, 2015.
Saebani, Beni Ahmad. Hukum Ekonomi Dan Akad Syariah Di Indonesia.
Bandung: CV Pustaka Setia, 2018.
Shomad, Abd. Hukum Islam.Jakarta: Kencana, 2010.
Tim Lascar Pelangi. Metodologi Fiqih Muamalah Diskursus Metodologis Konsep
Interaksi Social Ekonomi. Lirboyo Press: Kediri, 2013.
Referensi Jurnal dan Artikel Ilmiah
Dahruji, dan Arif Rachman. Eka Permata dan “Etika Bisnis Dalam Perspektif
Ekonomi Islam: Tinjauan Teoritik Dan Empiris Di Indonesia.” Paper.
Madura: Universitas Trunojoyo.
Hisyam, Satriani. “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktik Konsinyasi Pada
Koperasi Pegawai Negeri UIN Sunan Kalijaga” Skripsi. Yogyakarta: UIN
Sunan Kalijaga. 2013.
Mamnunah, “Pelaksanaan Perjanjian Konsinyasi Antara Supplier Dengan
Distributor (Studi Di Hamzah Batik Malioboro Yogyakarta)” Skripsi.
Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga. 2015.
Muna, Nabila Nailul. “Wakalah,” Makalah. Jurai Siwo Metro: STAIN Jurai Siwo
Metro, 2016.
Mujib, M. Misbahul. “Pelaksanaan Perjanjian Konsinyasi Antara Distributor
Buku Dengan Pedagang Buku di Shopping Center Yogyakarta” Thesis.
Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. 2007.
Riyadi, Fuad. “Sistem Dan Strategi Pengupahan Perspektif Islam.” Iqtishadia. Vol
8. No. 1, Maret 2015.
Ummah, Ikfa Aelulu Anisatul. berjudul “Jual Beli Kue Kering Dengan Sistem
Konsinyasi Dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Kasus Di UD Sri Rejeki
Kecamatan Cilongok Kabupaten Banyumas)” Skripsi. Purwokerto: IAIN
Purwokerto, 2018.
Referensi Internet
Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia, “Akad Wakalah Bi Al
Ujrah” No. 113, https://dsnmui.or.id/kategori/fatwa/page/2/ (diakses pada
tanggal 04 Februari 2020, jam 16.50)
Octaviani, Elma Sutriani Dan Rika. “Analisis Data dan Pengecekan Keabsahan
Data”https://www.academia.edu/38325494/ANALISIS_DATA_DAN_PEN
GECEKAN_KEABSAHAN_DATA.pdf. (diakses pada tanggal 26 Agustus
2019, jam 19.30).
Hasil Wawancara
Bu Nur. Hasil Wawancara, Ponorogo. 08 Agustus 2019.
Bu Izu. Hasil Wawancara, Ponorogo. 26 Oktober 2019.
Bu Um. Hasil Wawancara, Ponorogo. 25 November 2019.
Hidayah, Wahyu Nur. Hasil Wawancara, Ponorogo. 07 November 2019.
Hasanah, Ulfi. Hasil Wawancara, Ponorogo. 18 Februari 2020.
Istiqomah, Nurul. Hasil Wawancara, Ponorogo. 25 November 2019.
Kartono, M. Yunus. Hasil Wawancara, Ponorogo. 03 Desember 2019.
Nisa, Qoirun. Hasil Wawancara, Ponorogo. 26 Oktober 2019.
Rahmawati, Neni. Hasil Wawancara. Ponoroho. 05 Agustus 2019.