i
PERTANGGUNG JAWABAN HUKUM
ATAS PERUSAHAAN ASURANSI TERHADAP
TINDAKAN WANPRESTASI MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA
SKRIPSI
DI SUSUN OLEH :
ILHAM FATKUR ROHMAN
11120005
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS WIJAYA PUTRA
SURABAYA
2015
ii
PERTANGGUNG JAWABAN HUKUM
ATAS PERUSAHAAN ASURANSI TERHADAP
TINDAKAN WANPRESTASI MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA
SKRIPSI
DI SUSUN OLEH :
ILHAM FATKUR ROHMAN
11120005
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS WIJAYA PUTRA
SURABAYA
2015
i
SKRIPSI
PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM
PERUSAHAAN ASURANSI ATAS
TINDAKAN WANPRESTASI MENURUT HUKUM POSITIF
DI INDONESIA
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum
Universitas Wijaya Putra Surabaya
DI SUSUN OLEH :
ILHAM FATKUR ROHMAN
11120005
PROGRAM STUDY ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS WIJAYA PUTRA SURABAYA
2015
ii
PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM
PERUSAHAAN ASURANSI ATAS
TINDAKAN WANPRESTASI MENURUT HUKUM POSITIF
DI INDONESIA
NAMA : ILHAM FATKUR ROHMAN
FAKULTAS : HUKUM
JURUSAN : ILMU HUKUM
NPM : 11120005
DISETUJUI dan DITERIMA OLEH :
PEMBIMBING
Dr. H. TAUFIQURRAHMAN,SH., M.Hum.
iii
Telah diterima dan di setujui oleh tim penguji skripsi serta dinyatakan
LULUS. Dengan demikian skripsi ini dinyatakan sah untuk melengkapi
syarat – syarat mencapai gelar Sarjana Hukum pada Program Studi Ilmu
Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya.
Surabaya, 1 Agustus 2015
Tim penguji skripsi ini :
1. Ketua : Tri Wahyu Andayani, SH., CN., M.H. ( )
2. Sekretaris : Dr. H. Taufiqurrahman,SH., M.Hum. ( )
3. Anggota : 1. Andy Usmina,SH., MS. ( )
2. Dr. Febria Nur Kasimon, SH., MH ( )
iv
KATA PENGANTAR
Dengan mengucap puji syukur kehadirat Allah S.W.T., atas segala rahmat dan
karunianya, sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini.
Adapun tujuan dan penyusunan ini adalah, untuk memenuhi salah satu syarat
memperoleh gelar sarjana. Saya telah berusaha semaksimal mungkin, namun saya
menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna.
Dengan terut sertannya berbagai pihak dalam memberikan bantuan maka saya
mengucapkan terimakasih kepada :
1. Bapak H. Budi Endarto, SH., M.Hum., Selaku Rektor Universitas Wijaya Putra
Surabaya.
2. Ibu Tri Wahyu Andayani, SH., CN., MH., Selaku Dosen Fakulat Hukum
Universitas Wijaya Putra Surabaya.
3. Bapak Dr. H. Taufiqurrahman, SH., MHum Selaku Dosen Pembimbing yang
telah membimbing penulisan ini sampai selesai.
Semoga semua kebaikan dan bantuan yang telah diberikan kepada saya
mendapat berkah dan imbalan yang setimpal dari Allah S.W.T.
Surabaya, 01 Agustus 2015
Penulis
v
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……………………………………………………….……….……. .i
LEMBAR PERSETUJUAN……………………………………………………………….. ii
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................................. iii
KATA PENGANTAR .......................................................................................................... iv
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………… v
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................................ 1
1. Latar Belakang ............................................................................................................ 1
2. Rumusan Masalah. ..................................................................................................... 4
3. Penjelasan Judul ......................................................................................................... 4
4. Alasan Pemilihan Judul .............................................................................................. 5
6. Manfaat Penelitian ...................................................................................................... 6
7. Metode Penelitan ......................................................................................................... 7
a. Jenis penelitian. ....................................................................................................... 7
b. Pendekatan masalah. .............................................................................................. 8
c. Bahan hukum. ......................................................................................................... 8
d. Langkah-langkah kajian. ....................................................................................... 9
8. Sistematika Pertanggung Jawaban ........................................................................... 9
BAB II .................................................................................................................................... 11
PENGATURAN ASURANSI MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA ........... 11
1. Perkembangan Perasuransian ................................................................................. 11
2. Istilah Dan Definisi Asuransi ................................................................................... 15
2.1. Perasuransian dan asuransi ............................................................................. 15
2.2. Pertanggungan dan penjaminan ...................................................................... 15
2.3. Definisi asuransi atau pertanggungan ............................................................. 16
BAB III SANKSI HUKUM KETIKA PERUSAHAAN ASURANSI MELAKUKAN
TINDAKAN WANPRESTASI............................................................................................. 36
1. Pembinaan dan pengawasan .................................................................................... 36
1.1. Lingkup pembinaan dan pengawasan ............................................................. 36
1.2. Pemeriksaan berkala ........................................................................................ 37
1.3. Terjadi pelanggaran ......................................................................................... 39
1.4. Pencabutan izin usaha dan kepailitan ............................................................. 39
2. Sanksi Administratife Dan Pidana .......................................................................... 41
2.1. Sanksi administratif .......................................................................................... 41
2.2. Sanksi pidana .................................................................................................... 43
3. Kewajiban Perusahaan Asuransi ............................................................................ 45
BAB IV PENUTUP ............................................................................................................... 47
1. Kesimpulan ................................................................................................................ 47
2. Saran .......................................................................................................................... 48
DAFTAR BACAAN ……………………………………………………………………… 49
1
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Asuransi pada umumnya adalah suatu perjanjian dalam mana pihak yang
menjamin berjanji terhadap pihak yang dijamin, untuk menerima sejumlah uang
premi pengganti kerugian, yang mungkin di derita oleh yang dijamin selaku akibat
dari suatu peristiwa yang belum tentu terjadi1
Di masa kehidupan, manusia tidak dapat meramalkan apa yang akan terjadi
diwaktu yang akan datang secara sempurna, meskipun dengan menggunakan
berbagai alat analisis. Hal itu pula yang terjadi pada perusahaan maupun individu.
Resiko dimasa datang dapat terjadi terhadap kehidupan seseorang misalnya
saja : kematian, sakit, atau resiko dipecat dari pekerjaan. Dalam dunia bisnis resiko
yang dihadapi dapat berupa kerugian akibat kebakaran, kerusakan atau kehilangan.
Oleh karena itu setiap resiko yang akan dihadapi harus ditanggulangi, sehingga
tidak menimbulkan kerugian yang lebih besar lagi. Adalah perusahaan asuransi
yang mau dan sanggup menanggung setiap resiko yang akan dihadapi nasabahnya
baik perorangan maupun badan usaha.
Dalam kondisi demikian, kehadiran asuransi tentu akan membuat resiko
dimasa yang akan datang dapat teratasi dengan baik. Pada prinsipnya asuransi
adalah suatu perjanjian antar tertanggung dan penanggung untuk merundingkan
ganti rugi yang diderita tertanggung yang akan diganti oleh penanggung
(Perusahaan Asuransi) setelah tertanggung menyepakati pembayaran sejumblah
uang yang disebut premi.
1 Pasal 246 KUHD
2
undang-undang nomer 40 tahun 2014 tentang perasuransian pasal 1 adalah
perjanjian antara dua pihak, yaitu perusahaan asuransi dan pemegang polis, yang
menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan asuransi sebagai imbalan
untuk :
a. Memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena
kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau
tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mumgkin diderita
tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak
pasti.
b. Memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya tertanggung
atau pembayaran yang didasarkan pada hidupnya tertanggung dengan
manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil
pengelolaan dana.
Jenis-jenis asuransi dibagi menurut fungsinya yaitu Asuransi Kerugian (non life
insurance), Asuransi Jiwa (life insurance), dan Reasuransi (reinsurance).
a. Asuransi kerugian dimana penanggung menikmati premi mengikat dirinya
dengan tertanggung untuk membebaskan kerugian karena kehilangan,
kerugian dan ketidakadaan keuntungan yang di harapkan, yang akan dapat
diderita karena kejadian yang tidak pasti
b. Asuransi jiwa,seorang bisa dipertanggungkan untuk keprluan orang yang
berkepentingan, baik selama hidup atau sewaktu – waktu yang di tentukan
dengan perjanjian2
2 Ibid Pasal 302
3
c. Reasuransi ditinjau dari sudut hokum merupakan suatu cara yang di pakai oleh
penanggung pertama untuk menyalurkan resiko yang di ambil dengan cara
menyerahkan semua atau sebagian resiko tersebut kepada penanggung kedua
dengan tujuan mengurangi resiko yang mungkin terjadi kepada tertanggung.
Sedangkan berdasarkan kepemilikan terdiri atas Asuransi Pemerintah,
Asuransi Swasta Nasional, Asuransi Perusahaan Asing serta Asuransi Campuran,
Akan tetapi dari ketentuan umum yang diatur dalam pasal 1329 kitap undang-
undang hukum Perdata (KUHP) menyatakan bahwa setiap orang cakap membuat
perikatan, kecuali apabila undang-undang menyatakan ketidakcakapan itu.
Perjanjian yamg dibuat itu dapat dilaksanakan oleh atau terhadapnya. Tetapi pada
pasal 1330 KUH Perdata menentukan bahwa orang yang tidak cakap membuat
perjanjian itu adalah orang yang belum dewasa, mereka yang dibawah pengampuan
dan orang perempuan bersuami. Menurut undang-undang di Indonesia wanita
dewasa, baik sudah bersuami atau belum dinyatakan cakap dalam melakukan
perbuatan hukum. Sehingga orang yang dianggap tidak cakap membuat perjanjian
adalah orang dewasa dan mereka yang ditaruh di bawah pengampuan. Orang
dikatatakan dewasa apabila sudah berumur 21 (Dua puluh satu) tahun, akan tetapi
jika, sebelum usia 21 Tahun tapi sudah menikah orang tersebut bisa dikatakan
dewasa dan bisa dikatakan cakap.
Menurut hukum Inggris, belum dewasa itu adalah belum mencapai umur 18
(Delapan belas) tahun, sedangkan menurut hukum perkawinan Indonesia bahwa
seorang pria dianggap dewasa apabila telah berumur 19 (Sembilan belas) tahun dan
4
seorang wanita dianggap dewasa apabila telah berumur 16 (Enam belas) tahun.
Orang yang dewasa ini apabila membuat perjanjian maka perjanjian ini dapat
dibatalkan. Yang dapat memintakan pembatalan kepada hakim adalah orang yang
bersangkutan sendiri dengan bantuan walinya. Dalam pengertian orang yang ditaruh
bawah pengampuan termasuk juga orang yang sakit jiwa dan pemabuk, mereka
dianggap tidak cakap membuat perjanjian.
Melalui skripsi ini, saya mencoba untuk memberikan penjelasan maupun
gambaran secara keseluruhan berkaitan dengan asuransi. Didalamnya tidak lupa
kami mengkaji manfaat asuransi untuk kehidupan perekonomian baik bagi individu
maupun perusahaan.
2. Rumusan Masalah.
Dari uraian latar belakang masalah tersebut di atas, maka sebagai rumusan
masalah yang akan dicari jawabannya adalah :
1. Bagaimana pengaturan asuransi menurut hukum positif di Indonesia ?
2. Bagaimana sanksi hukum yang diterapkan ketika perusahaan asuransi
melakukan tindakan wanprestasi ?
3. Penjelasan Judul
Pertanggung Jawaban Hukum Atas Perusahaan Asuransi Terhadap
Tindakan Wanprestasi Menurut Undang-Undang Nomer 40 Tahun 2014 tentang
perasuransian.
Judul yang saya buat selaku penulis dapat dijelaskan bahwa penanggung
dalam hal ini adalah perusahaan asuransi berkewajiban untuk menanggung atau
5
menbayarkan sejumlah uang sesuai dengan kesepakatan kepada tertanggung atau
pemegang polis apabila tertanggung atau pemegang polis mengalami kerugian.
Wanprestasi berasal dari istilah aslinya dalam bahasa belanda “wanprestatie”
artinya tidak memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan dalam perikatan yang
timbul karena perjanjian maupun perikatan yang timbul karena undang-undang.
Perusahaan asuransi yang terbukti melakukan pelanggaran hukum
dan/atau wanprestasi dapat dikenakan sanksi hukum sesuai dengan Undang-
undang asuransi pasal 73 sampai dengan pasal 82 undang-undang no 40 tahun
2014.
4. Alasan Pemilihan Judul
Saya selaku penulis skripsi memilih judul Pertanggung Jawaban Hukum Atas
Perusahaan Asuransi Terhadap Tindakan Wanprestasi Menurut Undang-undang
perasuransian. Dikarenakan secara personal penulis merasa perlu memberitahukan
kepada pembaca dan masyarakat pada umum, khususnya untuk pemegang polis
supaya dapat berantisipasi dan mengetahui lagkah-langkah atau upaya-upaya apa
saja yang dapat ditempuh dan dilakukan apabila penanggung (perusahaan asuransi)
melakukan wanprestasi dalam pembayaran kepada tertanggung atau pemegang
polis.
5. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui pengaturan asuransi menurut hukum positif di Indonesia.
b. Untuk menganalisis sanksi hukum yang diterapkan ketika perusahaan asuransi
melakukan tindakan wanprestasi.
6
6. Manfaat Penelitian
Kegunaan dari penelitian ini secara teoritis diharapkan dapat memberikan
gambaran perasuransian yang sesuai dengan undang - undang, perusahaan yang
melakukan tindakan wanprestasi dan bagaimana penyelesaiannya Terutama pada
resiko hukum yang merupakan resiko terbesar dan walaupun telah diatur dengan
regulasi yang kompleks tetapi penyelesaian tindakan wanprestasi belum dapat
terselesaikan dengan baik sehingga para pihak tidak dirugikan dengan keputusan
hukum yang tidak jelas.
Dalam penulisan skripsi ini mempunyai manfaat teoritis dan praktis sebagai
berikut :
1. Manfaat teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi dan ilmu
pengetahuan pada umumnya, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai
acuan untuk memperbaiki dan mengembangkan peraturan tentang asuransi,
dan sebagai referensi serta tambahan bagi para akademisi yang nantinya
digunakan untuk penelitian kepada pihak-pihak yang membutuhkan
2. Manfaat praktis penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi aparatur
hukum dalam upaya penyelesaian masalah wanprestasi kepada pemegang
polis atau pihak tertanggung
7
7. Metode Penelitan
Ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat preskriptif dan
bersifat terapan. Sifat preskriptif ilmu hukum merupakan sesuatu yang substansial
dalam ilmu hukum. Hal ini tidak akan mungkin di pelajari oleh ilmu – ilmu lain yang
bukan ilmu hukum, walaupun objek yang di pelajari sama – sama hukum, missal
sosiologi hukum, antropologi hukum, filsafat hukum, psikologi hukum dan lain
sebagainya. Oleh sebab itu, jenis penelitian ilmu hukumpun berbeda dengan
penelitian non-hukum.3
Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan
pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari beberapa aspek
mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabannya. Pendekatan-
pendekatan yang digunakan di dalam penelitian hukum adalah pendekatan undang-
undang (statute approach), pendekatan khasus (case approach), pendekatan
historis (historial approach), pendekatan komperatif (compratice approach), dan
pendekatan konseptual (conceptual approach).4
a. Jenis penelitian.
Pemilihan metode penelitian disesuiakan batasan isu hukum yang akan di cari
jawabannya yaitu tentang “pertanggung jawaban hukum atas perusahaan asuransi
terhadap tindakan wanprestasi menurut hokum positif di indonesia”. Untuk dapat
memberikan jawaban atas isu hukum tersebut digunakan tipe “Penelitian Hukum
Normatif’’ suatu penelitian yang bertumpu pada telaah yuridis normative peraturan
3 Peter Mahmud marzuki, Penelitian Hukum, h. 22
4 Ibid., h. 93.
8
perundang-undangan yang berlaku (hukum positif) yang berkaitan pokok
permasalahan yang dibahas.
Dalam penelitian hukum normatife sebagai penelitian doctrinal, dengan
menggunakan proporsi-proporsi yang berkaitan, tidak dikenal adanya variable bebas
dan variable terikat, hipotesa, populasi dan sampling, data dan teknik pengumpulan
data, analisis data, baik dengan menggunakan penelitian kauntitatif maupun
kualitati.
b. Pendekatan masalah.
Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan undang-undang
(statute approach), dan pendekatan konsep atau doktrin (conceptual approach).
Pendekatan perundang-undang,dengan melakukan kajian terhdap peraturan
perundang-undang dan peraturan lain yang terkait dengan pokok masalah yang
dibahas. Pendekatan konsep atau doktrin, dengan mempelajari dan memahami
pendapat para ahli hukum dalam karya-karya ilmiahnya, missal buku literature, junal
hukum, makalah-maklah dalam seminar dan sebagainya, serta internet.
c. Bahan hukum.
Sebagi sumber dalam penelitian hukum normatife, terdiri atas bahan hukum
primer dan bahan hukum skunder. Bahan hukum primer, terdiri atas peraturan
perundang-undangan dan peraturan-peraturan lain yang berlaku (hukum positif)
yang pembahasanya terkaiat dengan pokok masalah yang dibahas. Bahan hukum
sekunder, berupa buku literature, jurnal hukam, internet, makalah-makalah seminar
atau pertemuan ilmiah lainnya. Dalam menggunakan bahan hukum, tidak dibatasi
pada aturan hukum tertentu, melainkan semua aturan hukum yang berkaitan.
9
d. Langkah-langkah kajian.
Pertama-tama melakukan pengumpulan bahan-bahan hukum dan
menginventarisasi bahan hukum yang terkait dengan mengunakan studi kepustakan.
Kemudian bahan hukum diklasifikasikan dengan cara memilah-milah bahan hukum,
dan disusun secara sistamaatis agar mudah dibaca dan dipahami.
Untuk menganalisa bahan-bahan hukum digunakan metode deduksi yaitu
suatu metode penelitian yang diawali dengan menemukan pemikiran atau
ketentuan-ketentuan yang bersifat umum, kemudian diterapkan pada pokok masalah
yang dibahas bersifat khusus. Untuk sampai pada jawaban permasalahan
digunakan penafsiran sistematis, yaitu penafsiran yang mendasarkan pada
hubungan antara peraturan perundang-undangan satu dengan yang lainnya, pasal
satu dengan yang lainnya dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan pokok bahasan.
8. Sistematika Pertanggung Jawaban
Berdasarkan rumusan masalah dalam penulisan ini maka penulisan dibagi
menjadi 4 (empat) Bab, sebagai tersebut dibawah ini.
Bab I pendahuluan, yang mendeskripsikan latar belakan masalah yang jadi
alasan penting mengapa kajian hukum ini dilakukan, kemudian dilanjutkan dengan
merumuskan permasalahan sebagai titik tolak kajian hukum ini, serta tujuan dan
manfaan penelitian. Uraian tentang metode penelitian sebagai instrument kajian
apakah langkah-langkah kajian dalam penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan
kebenarannya.
10
Bab II pengaturan asuransi menurut hukum positif di Indonesia.
Pembahasan meliputi, asuransi dan polis.
Bab III sanksi hukum yang diterapkan ketika perusahaan asuransi
melakukan tindakan wanprestasi. Pembahasan meliputi wanprestasi, sanksi
hukum, dan kewajiban perusahaan asuransi.
Bab IV penutup. Merupakan bagian akhir dari penelitian yang terdiri dari
bagian kesimpulan sebagai jawaban singkat atas rumusan masalah dan bagian
saran sebagai sambungan pemikiran masukan dalam khasah hukum.
11
BAB II
PENGATURAN ASURANSI MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA
1. Perkembangan Perasuransian
Pada zaman kebesaran yunani di bawah kekuasaan Alexander The Great,
seorang pembantunya yang bernama Atimenes memerlukan sangat banyak uang
untuk membiyayai pemerintahannya pada waktu itu. Untuk mendapatkan uang
tersebut Atimenes mengumumkan kepada pemilik budak belian untuk mendaftarkan
budak-budaknya dan membayar uang setiap tahun kepada Atimenes. Sebagai
imbalannya Atimenes menjanjikan kepada mereka jika ada budak yang melarikan
diri, maka dia akan memerintahkan supaya budak itu ditangkap, atau jika tidak
tertangkap, dibayar sejumlah uang sebagai ganti rugi.
Apabila ditelaah dengan teliti, uang yang diterima oleh Atimenes dari pemelik
budak itu adalah semacam premi yang diterima dari tertanggung, sedangkan
kesanggupan Atimenes untuk menangkap budak yang melarikan diri atau membayar
ganti kerugian karena budak yang hilang adalah semacam resiko yang diterima oleh
penaggung. Perjanjian ini mirip dengan asuransi kerugian.
Selanjutnya, Scheltema menjelaskan bahwa pada zaman Yunani banyak juga
orang yang meminjamkan sejumlah uang kepada Pemerintah Kotapraja dengan janji
bahwa pemilik uang tersebut diberi bunga setiap bulan sampai wafatnya dan bahkan
setelah wafat diberi bantuan biaya penguburan. Perjanjian tersebut mirip dengan
asuransi jiwa, tertanggung membayar premi setiap bulan, bila terjadi kematian atau
12
asuransi jiwa berakhir tanpa kematian, tertanggung memperoleh pembayaran dari
penanggung. Pada pinjaman pemerintah kotapraja, pemerintah membayar bunga
setiap bulankepada pemilik uang serta biaya penguburan bila pemilik uang
meninggal dunia.
Peristiwa-peristiwa yang telah diuraikan di atas terus berkembang pada abad
pertengahan. Di Inggris sekelompok orang mempunyai profesi sejenis membentuk 1
(satu) perkumpulan yang disebut gilde. Perkumpulan ini mengurus kepentingan
anggotanya dengan janji apabila ada anggota kebakaran rumah, gilde akan
memberikan sejumlah uang yang diambil dari dana gilde yang terkumpul dari
anggotanya. Perjanjian ini banyak terjadi pada abad ke-9 dan mirip dengan asuransi
kebakaran.
Perjanjian ini lebih berkembang di Denmark, Jerman, dan negara eropa lainnya
sampai abad ke-12. Pada abad ke-13 dan 14 perdagangan melalui lautmulai
berkembang besat. Akan tetapi, tidak sedikit bahaya yang mengancam dalam
perjalanan perdagangan melalui laut. Keadaan ini mulai terpikir oleh para pedagang
waktu itu mencari upaya yang dapat mengatasi kemungkinan kerugian yang timbul
melalui laut. Inilah titik awal perkembangan asuransi kerugian laut.
Untuk kepentingan perjalanan melalui laut, pemiliki kapal meminjam sejumlah
uang dari pemilik uang dengan bunga tertentu, sedangkan kapal dan barang
muatannya dijadikan jaminan. Dengan ketentuan, apabila kapal dan muatanya
rusak, uang dan bunganya tidak usah dibayar. Akan tetapi, kapal dan muatanya tiba
dengan selamat ditempat tujuan, uang yang dipinjam itu dikembalikan ditambah
13
bunganya. Ini disebut bodemerij. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa bunga
yang dibayar itu seolah-olah berfungsi sebagai premi, pemilik uang sebagai pihak
yang menanggung resiko kehilangan uangdalam hal terjadi bahaya yang
menimbulkan kerugian. Jadi uang hilang itu dianggap sebagai ganti kerugian kepada
pemilik kapal dan barang muatannya.
Karena ada larangan menarik bunga oleh agama Nasrani yang dianggap riba,
makapola perjanjian tersebut diubah. Dalam perjanjian peminjaman uang tersebut,
pemberi pinjaman tidak perlu memberikan sejumlah uang lebih dahulu kepada
pemilik kapal dan muatannya, tetapi setelah terjadi bahaya yang menimpa kapal dan
barang muatannya, barulah diberikan sejumlah uang. Namun, pada pemulaan
pelayaran perlu menyetor sejumlah uang kepada pemberi pinjaman sebagai pihak
yang menanggung. Dengan ketentuan apabila tidak terjadi peristiwa yang
merugikan, maka uang tersebut menjadi hak pemberi pinjaman. Jadi fungsi uang
setoran tersebut mirip dengan premi asuransi. Demikianlah pemulaan
perkembangan asuransi kerugian pada pengangkutan laut.
Perkembangan ilmu dan teknologi pada abad ke-20 berdampak positif pada
perkembangan dibidang perasuransian. Kegiatan usaha tidak hanya dibidang
asuransi, tetapi juga dibidang penunjang asuransi. Perkembangan bidang prasarana
transportasi sampai daerah plosok mendorong sarana transportasi darat, laut dan
udara serta meningkatkan mobilitas dari suatu daerah ke daerah lain bahkan
negara. Ancaman bahaya lalulintas juga semakin meningkat, sehingga kebutuhan
perlindungan terhadap barang muatan dan jiwa penumpang juga meningkat.
14
Keadaan ini mendorong perkembangan perusahaan asuransi kerugian dan jiwa
serta asuransi social.
Pembangunan di bidang ekonomi ditandahi oleh munculnya perusahaan-
perusahaan besar yang memerlukan banyak modal melalui kredit, bangunan kantor,
tenaga kerja yang membutuhkan jaminan perlindungan dari ancaman kemacetan,
kebakaran, dan kecelakaan kerja.hal ini mendorong perkembangan asuransi kredit,
dan asuransi tenaga kerja. Perkembangan di bidang teknologi satelit komunikasi
juga memerlukan perlindungan dari ancaman kegagalan peluncuran dan
berfungsinya satelit, sehingga perlu diasuransikan. Hal ini pernah terjadi ketika
Indonesia meluncurkan satelit Palapa B2 yang gagal masuk garis orbit. Karena
kegagalan tersebut, Indonesia mengklaim dan mendapat ganti kerugian dari
perusahaan asuransi yang bersangkutan.
Perkembangan usaha perasuransian mengikuti perkembangan ekonomi
masyarakat. Makin tinggi pendapatan per kapita masyarakat, makin mampu
masyarakat memiliki harta kekayaan dan makin dibutuhkan pula peerlindungan
keselamatannya dari ancaman bahaya. Kerena pendapatan masyarakat makin
meningkat, kemampuan membayar premi juga meningkat. Dengan demikian, usaha
asuransi juga berkembang. Kini banyak sekali jenis asuransi yang berkembang
dalam masyarakat yang meliputi asuransi kerugian, asuransi jiwa, dan asuransi
sosial yang diatur dalam berbagai undang-undang. Khusus asuransi sosial bukan
15
didasarkan pada perjanjian, melainkan diatur dengan undang-undang sebagai
asuransi wajib (compulsory insurance).5
2. Istilah Dan Definisi Asuransi
2.1. Perasuransian dan asuransi
Perasuransian adalah istilah hukum (legal term) yang dipakai dalam
perundang-undangan dan perusahaan perasuransian. Istilah perasuransian berasal
dari kata “asuransi” yang artinya pertanggungan atau perlindungan atas suatu objek
dari ancaman bahaya yang menimbulkan kerugian. Apabila kata “asuransi” diberi
imbuhan per-an, maka muncullah istilah hukum “perasuransian”, yang berati segala
usaha yang berkenaan dengan asuransi. Usaha yang berkenaan dengan asuransi
ada 2 (dua) jenis yaitu :
a. Usaha di bidang kegiatan asuransi disebut usaha asuransi (insurance
business). Perusahaan yang menjalankan usaha asuransi disebut perusahaan
asuransi (insurance company).
b. Usaha di bidang kegiatan penunjang uaha asuransi disebut usaha penunjang
asuransi (complementary insurance business). Perusahaan yang menjalankan
usaha penunjang usaha asuransi disebut perusahaan penunjang asuransi
(complementary insurance company).
2.2. Pertanggungan dan penjaminan
Istilah aslinya dalam bahasa belanda adalah verzekering atau assurantie. Prof.
R. Sukardono Guru Besar Hukum Dagang menerjemahkannya dengan
5 Abdulkadir Muhammad, Hukum Asuransi Indonesia , Penerbit PT Citra Aditya Bakti, bandung, h. 1.
16
“pertanggungan”. Istilah pertanggungan ini umum dipakai dalam literature hukum
dan kurikulum perguruan tinggi hukum di Indonesia. Istilah asuransi adalah serapan
dari istilah asurantie (belanda), assurance (inggris) banyak dipakai dalam praktik
dunia usaha (business). Akan tetapi, kenyataan sekarang kedua istilah
pertanggungan dan asuransi dipakai, baik dalam kegiatan bisnis maupun pendidikan
hukum di perguruan tinggi hukum sebagai sinonim. Kedua istilah tersebut dipakai
dalam undang-undang perasuransian dan juga buku hukum perasuransian.
2.3. Definisi asuransi atau pertanggungan
a. Menurut Kitap Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD)
Menurut ketentuan pasal 246 KUHD:
“pertanggungan adalah perjanjian dengan mana penanggung mengikat diri kepada tertanggung dengan menerima premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin dideritanya akibat dari suatu evenemen”.
Berdasarkan ketentuan tersebut dapat diuraikan unsur-unsur asuransi atau
pertanggungan sebagai berikut.
1) Pihak-pihak
Subjek asuransi adalah pihak-pihak dalam asuransi, yaitu penanggung dan
tertanggung yang mengadakan perjanjian asuransi. Penanggung dan tertanggung
adalah pendukung kewajiban dan hak. Penanggung wajib memikul resiko yang
dialihkan kepadanya dan berhak memperoleh pembayaran premi, sedangkan
tertanggung wajib membayar premi dan berhak memperoleh pengantian jika timbul
atas harta yang diasuransikan.
17
2) Status para pihak
Penanggung harus berstatus sebagai perusahaan badan hukum, dapat
membentuk perseroan terbatas (PT), perusahaan perseroan (persero) atau
koperasi. Tertanggung dapat berstatus sebagai perseorangan, persekutuan, atau
badan hukum, baik sebagai perusahaan ataupun bukan perusahaan. Tertanggung
berstatus sebagai pemilik atau pihak bekepentingan atas harta yang diasuransikan.
3) Objek asuransi
Objek asuransi dapat berupa banda, hak atau kepentingan yang melekat pada
benda, dan sejumlah uang yang disebut premi atau ganti kerugian. Melalui objek
asuransi tersebut ada tujuan yang ingin dicapai oleh pihak-pihak. Penanggung
bertujuan memperoleh pembayaran sejumlah premi sebagai imbalan pengalihan
resiko. Tertanggung bertujuan bebas dari resiko dan memperoleh pengantian jika
timbul kerugian atas harta yang diasuransikan.
4) Peristiwa asuransi
Asuransi adalah perbuatan hukum (legal act) berupa persetujuan atau
kesepakatan bebas antara penanggung dan tertanggung mengenai objek asuransi,
peristiwa tidak pasti (evenemen) yang mengancam benda asuransi, dan syarat-
syarat yang berlaku dalam asuransi. Persetujuan atau kesepakatan bebas tersebut
18
dibuat dalm bentuk polis. Polis ini merupakan satu-satunya alat bukti yang dipakai
untuk membuktikan telah terjadi asuransi.
5) Hubungan asuransi
Hubungan asuransi antara penanggung dan tertanggung adalah keterikatan
(legally bound) yang timbul karena keyakinan dan kesepakatan bebas. Keterikatan
tersebut berupa kesediaan secara sukarela dari penanggung dan tertanggung untuk
memenuhi kewajiban dan hak masing-masing terhadap satu sama lain (secara
timbal balik). Artinya, sejak tercapai kesepakatan asuransi, tertanggung terikat dan
wajib membayar premi asuransi kepada penanggung, dan sejak itu pula
penanggung menerima pengalihan resiko. Jika terjadi evenemen yang menimbulkan
kerugian atas benda yang diasuransikan, penanggung wajib membayar ganti
kerugian sesuai dengan ketentuan polis asuransi. Akan tetapi, jika tidak terjadi
evenemen, premi yang sudah dibayar oleh tertanggung tetap menjadi milik
penanggung.
Salah satu unsur penting dalam peristiwa asuransi uang terdapat dalam
rumusan pasal 246 KUHD dalah ganti kerugian. Unsur tersebut hanya menunjuk
kepada asuransi kerugian (loss insurance) yang objeknya adalah harta kekayaan.
Asuransi jiwa (life insurance) tidak termasuk dalam rumusan pasal 246 KUHD,
karena jiwa manusia bukanlah harta kekayaan. Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa ketentuan pasal 246 KUHD hanya mencakup bidang asuransi kerugian, tidak
termasuk asuransi jiwa.
19
b. Menurut Undang-Undang Nomer 2 Tahun 1992
Menurut ketentuan pasal 1 angka (1) undang-undang nomer 2 tahun 1992
tentang usaha perasuransian:
“asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara 2 (dua) pihak atau lebih
dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan
menerima premi asuransi untuk memberikan penggantian kepada tertanggung
karena kerugian, atau bertanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin
akan diderita tertangung yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk
memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya
seseorang yang dipertanggungkan”
Untuk memahami lebih lanjut, berikut ini disajikan perbandinggan antara pasal
1 angka (1) undang-undang nomer 2 tahun 1992 dan pasal 246 KUHD:
1. Definisi dalam undang-undang nomer 2 tahun 1992 meliputi asuransi kerugian
dan asuransi jiwa. Asuransi kerugian dibuktikan oleh bagian kalimat
“penggantian karena kerugian, kerusakan, kehilangan keuntungan yang
diharapkan”. Asuransi jiwa dibuktikan oleh bagian kalimat “memberikan
pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang”.
Bagian ini tidak ada dalam definisi pasal 246 KUHD.
20
2. Definisi dalam undang-undang nomer 2 tahun 1992 meliputi juga asuransi
untuk kepentingan pihak ketiga. Hal ini terdapat dalam kalimat “tanggung
jawab hukum kepada pihak ketiga”. Bagian ini tidak terdapat pada definisi
pasal 246 KUHD.
3. Definisi dalam undang-undang nomer 2 tahun 1992 meliputi objek asuransi
berupa benda, kepentingan yang melekat atas benda, sejumlah uang dan jiwa
manusia. Objek asuransi berupa jiwa manusia tidak terdapat dalam pasal 246
KUHD.
4. Definisi dalam undang-undang nomer 2 tahun 1992 meliputi evenemen berupa
peristiwa yang menimbulkan kerugian pada benda objek asuransi dan
peristiwa meninggalnya seseorang. Peristiwa tersebut tidak ada dalam pasal
246 KUHD.
Sedangkan pengertian asuransi menurut Undang-Undang perasuransian
adalah perjanjian antara dua pihak, yaitu perusahaan asuransi dan pemegang polis,
yang menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan asuransi sebagai
imbalan untuk :
1. Memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena
kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau
tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mumgkin diderita
tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak
pasti.
2. Memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya tertanggung
atau pembayaran yang didasarkan pada hidupnya tertanggung dengan
21
manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil
pengelolaan dana.
Sedangkan asuransi syariah merupakan bidang bisnis yang cukup
memperoleh perhatian besar di kalangan masyarakat Indonesia. Sebagai bisnis
asuransi alternative, asuransi syariah dapat dikatakan relative baru dibandingkan
bisnis asuransi lainnya. Kebaruan bisnis asuransi syariah adalah pengoprasian
kegiatan usahanya berdasarkan prinsip-prinsip syariah yang bersumber dari
Alqur’an dan Hadis serta fatwa para ulama terutama yang terhimpun dalam Majlis
Ulama Indonesi.
Pada prinsipnya yang membedakan asuransi syariah dengan asuransi lainnya
adalah asuransi syariah menghapus unsur ketidak pastian (gharar), unsur spekulasi
atau perjudian (maisir), dan unsur bunga uang (riba) dalam kegiatan bisnisnya
sehingga peserta asuransi (tertanggung) merasa terbebas dari praktek kezaliman
yang merugikannya. Agar masyarakat memahami konsep asuransi syariah secara
wajar, perlu dilakukan penyuluhan dari hasil penelitian yang telah dilakukan melalui
publikasi yang lebih luas.
Asuransi Syariah adalah kumpulan perjanjian, yang terdiri atas perjanjian
antara perusahaan asuransi syariah dan pemegang polis dan perjanjian di antara
para pemegang polis, dalam rangka pengelolaan kontribusi berdasarkan prinsip
syariah guna saling menolong dan melindungi dengan cara:
22
a. memberikan penggantian kepada peserta atau pemegang polis karena
kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau
tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita peserta
atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti.
b. memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya peserta atau
pembayaran yang didasarkan pada hidupnya peserta dengan manfaat yang
besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana.
1. Syarat sahnya asuransi
Asuransi merupakan salah satu jenis perjanjian khusus yang diatur dalam
KUHD. Sebagai perjanjian, maka ketentuan syarat-syarat sah suatu perjajian dalam
KUHPdt berlaku juga bagi perjanjian asuransi. Karena perjajian asuransi merupakan
perjajian khusus, maka disamping ketentuan syarat-syarat sah suatu perjajian,
berlaku juga syarat-syarat khusus yang diatur dalam KUHD. Syarat-syarat sah suatu
perjajian diatur dalam Pasal 1320 KUHPdt. Menurut ketentuan Pasal tarsebut, ada 4
(empat) syarat sah suatu perjajian, yaitu kesepakatan para pihak, kewenangan
berbuat, objek tertentu, dan kausa yang halal.
1) Kesepakatan (consensus)
Kesepakatan adalah tertanggung dan penanggung sepakat mengadakan
perjajian asuransi. Kesepakatan tersebut meliputi.
a) Benda yang menjadi objek asuransi.
b) Pengalihan resiko dan pembayaran premi.
c) Evenemen dang anti rugi.
d) Syarat-syarat khusus asuransi.
23
e) Dibuat secara tertulis yang disebut polis.
Pengadaan perjanjian antara tertanggung dan penanggung dapat dilakukan
secara langsung atau tidak langsung. Dilakukan secara langsung artinya kedua
belah pihak mengadakan perjajian asuransi tanpa melalui perantara. Dilakukan
secara tidak langsung artinya kedua belah pihak melakukan perjajian melalui jasa
perantara. Pengguna jasa perantara memang dibolehkan menurut undang-undang.
Apabila asuransi diadakan dengan perantaraan seorang makelar, maka polis yang
sudah di tandatangani harus diserahkan dalam jangka waktu 8 (delapan) hari
setelah perjajian dibuat.6
2) Kewenangan (Authority)
Kedua belah pihak tertanggung dan penanggung berwenang melakukan
perbuatan hukum yang diakui oleh undang-undang. Kewenangan tersebut ada yang
bersifat subjektif dan objektif. Kewenangan subjektif artinya kedua belah pihak
sudah dewasa, sehat ingatan, tidak berada di bawah perwalian, atau pemegang
kuasa yang sah. Kewenangan objektif artinya tertanggung mempunyai kewenangan
yang sah dengan benda objek asuransi karena benda tersebut adalah kekayaan
milik sendiri. Penanggung adalah pihak yang sah mewakili perusahaan asuransi
berdasarkan Anggaran Dasar Perusahaan. Apabila asuransi diadakan untuk
kepentingan pihak ketiga, maka tertanggung yang mengadakan asuransi itu
mendapat kuasa atau pembenaran dari pihak ketiga dari pihak ketiga yang
bersangkutan.
3) Objek tertentu (fixed objek)
6 Pasal 260 KUHD
24
Dalam perjanjian asuransi adalah objek yang di asuransikan, dapat berupa
harta kekayaan dan kepentingan yang melekat dalam harta kekayaan, dapat berupa
pula jiwa atau raga manusia. Objek tertentu berupa harta kekayaan dan kepentingan
yang melekat dalam harta kekayaan terdapat pada perjanjian asuransi kerugian.
Objek tertentu berupa jiwa atau raga manusia terdapat dalam perjanjian asuransi
jiwa. Pengertian objek tertentu adalah identitas objek objek asuransitersebut harus
jalas dan pasti. Apabila berupa harta kekayaan, harta tersebut apa, berapa jumlah
dan ukurannya, di mana letaknya, apa merknya, buatan mana, berapa nilai dan
sebagainya. Apabila berupa jiwa atau raga, atas nama siapa, berapa umurnya, apa
hubungan keluarganya, di mana alamatnya, dan lain sebagainya.
Karena yang mengasuransikan objek itu adalah tertanggung, maka dia harus
mempunyai hubungan langsung atau tidak langsung dengan objek asuransi
tersebut. Dikatakan ada hubungan langsung apabila tertanggunga memiliki harta
kekayaan sendiri, jiwa atau raga yang menjadi objek asuransi, dikatakan ada
hubungan tidak langsung apabila tertanggung hanya mempunyai kepentingan atas
objek asuransi. Tertanggung harus dapat membuktikan bahwa dia adalah benar
sebagai pemilik atau mempunyai kepentingan atas objek asuransi.
4) Kausa yang halal (legal cauce)
Maksudnya adalah isi perjanjian itu tidak dilarang undang-undang, tidak
bertentangan dengan ketertiban umum, dan tidak berkepentingan dengan
kesusilaan. Contoh asuransi yang berkausa tidak halal adalah mengasuransikan
benda yang dilarang undang-undang untuk diperdagangkan, mengasuransikan
25
benda, tetapi tertanggung tidak mempunyai kepentingan, jadi hanya spekulasi yang
sama dengan perjudian.
Bedasarkan kausa yang halal itu, tujuan yang hendak dicapai olehtertanggung
dan penanggung adalah beralihnya resiko atas objek asuransi yang diimbangi
dengan pembayaran premi. Jadi, kedua belah pihak berprestasi, tertanggung
berkewajiban membayar premi, penanggung menerima peralihan resiko atas objek
asuransi. Jika premi dibayar, maka resiko beralih, atau sebaliknya jika premi tidak
dibayar, maka resiko tidak beralih.
Kewajiban pokok tertanggung adalah membayar premi. Sejak premi dibayar,
asuransi berjalan dalam arti atas benda yang diasuransikan beralih pada
penanggung. Namun, asuransi yang diadakan itu dapat menjadi batal apabila
tertanggung melalaikan kewajiban lain yang sangan esensial, yaitu kewajiban
pemberitahuan kepada penanggung mengenai keadaan benda yang diasuransikan.
Setiap pemberitahuan yang salah atau tidak benar, atau penyambunyian hal-hal
yang diketahui oleh tertanggung walaupun dengan itikad baik, sehingga seandainya
penanggung setelah mengetahui keadaan sebenarnya tidak akan mengadakan
asuransi itu, atau dengan syarat-syarat yang demikian itu, mengakibatkan asuransi
itu batal.7
Pasal 251 menentukan sah tidaknya asuransi yang dibuat oleh penanggung
dan tertanggung. Pasal 251 bertujuan untuk melindungi penanggung dari perbuatan
tertanggung yang akan merugikannya. Karena adanya pemberitahuan yang benar
7 Ibid pasal 251 KUHD
26
tentang benda yang diasuransikan terhadap resiko yang dihadapi, penanggung
dapat menentukan sikap apakah akan mengadakan asuransi atu tidak.
2. Polis
Polis merupakn bukti yang sah dan penting sebagai pembuktian adanya
perjanjian asuransi, tetapi bukan syarat mutlak bagi para nasabah, kecuali dalam
pertanggungan tertentu, karena ada dokumen lain yang bisa digunakan sebagi
pembuktian adanya perjanjian asuransi.
1. Syarat dan janji khusus
Menurut ketentuan Pasal 256 KUHD, setiap polis kecuali mengenai asuransi
jiwa, harus memuat syarat-syarat sebagai berikut:
a) Hari dan tanggal pembuatan perjanjian asuransi.
b) Nama tertanggung, untuk diri sendiri atau pihak ketiga.
c) Uraian yang jelas mengenai benda yang diasuransikan.
d) Jumlah yang diasuransikan.
e) Bahaya-bahaya yang ditanggung oleh penanggung.
f) Saat bahaya mulia berjalan dan berahir yang menjadi tanggungan penanggung.
g) Premi asuransi.
h) Umumnya keadaan semua yang perlu diketahui oleh penanggung dan segala
janji-janji khusus yang diadakan oleh para pihak.
27
Disamping syarat-syarat khusus tersebut, dalam polis harus dicatumkan juga
berbagai asuransi yang diadakan lebih dahulu, dengan ancaman batal jika tidak
dicantumkan. Berbagai asuransi yang dimaksud adalah sebagai berikut:
a. Reasuransi.
b. Asuransi rangkap.
c. Asuransi insolvabilitas.
d. Asuransi kapal yang sudah berangkat berlayar.
e. Asuransi kapal yang belum tiba di tempat tujuan.
f. Asuransi atas keuntungan yang diharapkan.
Pada aasuransi tertentu, selain syarat-syarat khusus yang dimuat tadi, dalam
polisnya harus dimuat juga ketentuan tambahan, yaitu ketentuan pasal berikut:
1) Pasal 299 KUHD tentang Asuransi Hasil pertanian:
Letak dan batasan tanah-tanah dan hasilnya diasuransikan dan
Pemakaiannya.
2) Pasal 287 KUHD tentang Asuransi Kebakaran:
Letak dan perbatasan benda yang diasuransikan.
Pemakaiannya.
Sifat pemakaian gedung yang berbatasan sekadar itu berpengaruh pada
asuransi.
Hanya benda yang diasuransikan.
Letak dan perbatasan gedung dan tempat di mana terdapat, tersimpan, dan
tertimbun benda bergerak yang diasuransikan.
3) Pasla 592 KUHD tentang Asuransi Penganangkutan Laut dan Perbudakan:
28
Nama nahkoda, nama kapal dengan menyebutkan jenisnya, dan pada asuransi
kapalnya menyebutkan kapal itu dari kayu cemara atau pernyataan tidak
mengetahui keadaan itu.
Tempat barang dimuat atau harus dimuat.
Pelabuhan pemberangkatan.
Pelabuhan pemuatan atau pembongkaran.
Pelabuhan yang dimasuki kapal.
Tempat bahaya mulai perjalanan untuk tanggungan penanggung.
Nilai kapal yang diasuransikan.
2. Hari dan tanggal pembuatan asuransi
Pentingnya penanggalan ini adalah untuk menentukan saat dimulai berlaku
asuransi. Selain itu, juga untuk mengetahui asuransi yang terjadi lebih dahulu dalam
hal terjadi asuransi rangkap seperti yang ditentukan dalam pasal 277, pasal 278,
dan pasal 279 KUHD. Dalam hal ini penting terjadi karena pristiwa (evenemen) yang
menimbulkan kerugian, yaitu penanggung yang mana berkewajiban membayar ganti
kerugian.
3. Nama tertanggung untuk diri sendiri atau pihak ketiga
Hal ini penting dalam hubungan ketentuan pasal 264 dan 267 KUHD. Apabila
asuransi diadakan untuk diri sendiri atau kepentingan pihak ketiga, maka hal ini
harus dinyatakan dalam polis. Apabila tidak dinyatakan, maka asuransi dianggap
untuk diri sendiri. Apabila tidak ada kepentingan, maka asuransi tidak mempunyai
kekuatan berlaku, penanggung tidak berkewajiban membayar ganti kerugian.8
8 Ibid Pasal 250 KUHD
29
4. Urain mengenai objek asuransi
Dalam uraian ini menunjuk kepada sejumlah uang. Perhitungan sejumlah uang
tersebut erat sekali hubungannya dengan nilai benda sesungguhnya dalam setiap
asuransi. Dari jumlah uang asuransi itu dapat diketahui apakah asuransi itu:
a) Di bawah nilai benda (under insurance);
b) Sama dengan nilai benda (full insurance);
c) Di atas nilai benda sesungguhnya (over insurance).
Jumlah yang diasuransikannmerupakan jumlah maksimal ganti kerugian yang
harus dibayar oleh penanggung jika terjadi evenemen yang menimbulkan kerugian
total.
5. Bahaya (evenemen) yang ditanggung
Bahaya atau peristiwa yang menjadi tanggungan penanggung harus
dinyatakan dengan jelas dan tegas. Jika diperjanjikan dengan klausula, harus tegas
dengan klausula apa, sehingga jelas sampai di mana batas tanggung jawab
penanggung. Penanggung hanya bertanggung jawab terhadap bahaya (evenemen)
yang telah dicantumkan di dalam polis.
6. Saat bahaya mulai berjalan dan berakhir
Saat bahaya mulai berjalan dan berakhir adalah jangka waktu asuransi itu
diadakan. Jangka waktu tersebut dapat berupa:
a. Dari tanggal dan waktu tertentu sampai tanggal dan waktu tertentu pula,
misalnya dari tanggal 1 januari 1998 pukul 12.00siang sampai 1 januari 1999
pukul 12.00 siang.
30
b. Dari tempat ketempat, misalnya dari gedung ke gedung (from warehouse to
warehouse);
c. Dari kapal di tempat dermaga sampai di dermaga pelabuhan tujuan.
Cara demikian ini penting untuk mengetahui apakah peristiwa yang terjadi itu
masih dalam tanggungan penanggung atau tidak.
7. Premi asuransi
Ketentuan ini menyatakan kepastian besarnya jumlah premi yang harus
dibayar oleh tertanggung. Besarnya ditentukan oleh persentase dari jumlah asuransi
ditambah dengan biaya-biaya lain, misalnya biaya meterai dan biaya pialang. Cara
pembayaranya bisa dibayar lebih dahulu, sedangkan pada asuransi jiwa biasanya
dibayar secara bulanan.
8. Semua keadaan dan syarat-syarat khusus
Termasuk dalam uraian butir ini misalnya mengenai benda asuransi apakah ada
dibebani hak tanggungan (hipotik), fiducia, jika terjadi peristiwa (evenemen) yang
menimbulkan kerugian, penanggung dapat berhadapan dengan siapa, pemilik atau
memegang hak tanggungan, fiducia. Demikian juga mengenai syarat khusus
lainnya, premi dibayar asuransi berjalan, premi tidak berjalan asuransi tidak berjalan.
A. Jenis polis
Dalam praktek asuransi setiap perusahaan asuransi telah menyusun polisnya
masing-masing dalam syarat-syarat dan klausula-klausula tertentu. Dalam syarat-
syarat dan klausula-klausula tertentu yang dicatumkan dalam polis timbullah
bermacam-macam jenis polis yang berada antara satu dengan yang lain, bahkan
31
menunjukkan persaingan antara sesame penanggung. Demikian juga tertanggung,
yang merasa sulit memilih perusahaan asuransi yang mana yang akan dijadikan
penanggung karena masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan.
Berdasarkan syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam polis ada 3 (tiga) jenis polis
yang dikenal, yaitu polis maskapai, polis bursa, dan polis Lloyds.
1. Polis maskapai
Dinamakan polis maskapai karena polis ini dibuat dan diterbitkan oleh
maskapai-maskapai asuransi. Selain syarat-syarat yang diharuskan oleh undang-
undang, polis maskapai memuat beberapa ketentuan khusus yang berlaku bagi
maskapai yang menciptakan syarat-syarat tersebut. Dalam operasi kerjanya
perusahaan asuransi yang menggunakan polis maskapi ini banyak mengalami
kesulitan, sehingga lambat laun polis maskapai ini di tinggalkan dan orang mulai
mengarah pada pembuatan dan penggunaan polis seragam.
2. Polis bursa
Polis ini mempunyai syarat-syarat seragamdan digunakan pada bursa
asuransi. Ada 2 (dua) macam polis bursa, yaitu polis bursa Amsterdam polis bursa
Rotterdam. Kedua polis ini digunakan pada asuransi penggangkutan laut dan
asuransi kebakaran. Kedua polis ini dinamakan demikian karana polis bursa
Amsterdam digunakan di bursa asuransi Amsterdam, sedangkan polis bursa
Rotterdam digunakan di bursa asuransi Rotterdam.
Polis-polis ini masih terus dikembangkan dengan menambah syarat-syarat
yang diseragamkan itu secara berurutan dengan diberi nomer urut dan dicetak.
Apabila syarat tambahan itu belum tercetak dalam dalam polis dan akan
32
ditambahkan di polis bursa, maka syarat tersebut tersebut harus dilampirkan pada
polis bursa yang bersangkutan, atau dinyatakan secara khusus dalam polis yang
bersangkutan bahwa syarat itu berlaku juga bagi asuransi yang diliputi polis
tersebut.
Dalam dunia usaha asuransi Indonesia dewasa ini, polis-polis standar yang
demikian itu digunakan oleh perusahaan asuransi. Di samping itu, Dewan Asuransi
Indonesia (DAI) juga telah menetapkan polis standar untuk asuransi kebakaran dan
asuransi kendaraan bermotor.
3. Polis Lloyds
Polis yang digunakan di bursa Lloyds London. Polis ini telah dikembangkan
tersendiri di bawah merek Lioyds dan hanya di gunakan oleh perusahaan asuransi
yang menjadi anggota the Lloyds corporation. Polis Lloyds digunakan untuk asuransi
pengankutan laut,asuransi kebakaran, dan asuransi terhadap bahaya-bahaya
lain.polis ini untuk asuransi pengankutan laut diakui oleh Merine Insurace Act 1906.
Selain penggolongan diatas, ada lagi penggolongan polis menurut sifat
berlakunya asuransi. Atas dasar ini dikenal 2 (dua) golongan polis, yaitu polis
perjalanan (voyage policy) dan polis waktu (time policy).
a) Polis perjalanan (voyage policy)
Polis ini untuk asuransi 1 (satu) perjalanan atau 1 (satu) pelayaran tertentu
saja, misalnya dari tanjung Priok ke Bawean. Berapa hari perjalanan itu dilakukan
tidak jadi masalah, kecuali jika perjalanan atau pelayaran itu dihentikan dapat
mengakibatkan batalnya asuransi. Tidak termasuk pengertian dihentikan atau
diputuskan apabila penghentian itu sebagian dari perjalanan, misalnya dari Tanjung
33
Priok ke Ujungpandang.Singgahnya kapal di Tanjung Perak bukanlah termasuk
penghentian perjalanan.
b) Polis waktu (time policy).
Polis ini dibuat untuk asuransi yang berjangka waktu tertentu, missal 1 (satu)
tahun. Penentuan jangka waktu harus tepat menurut tanggal dan jam dimulai dan
diakhiri. Misalnya mulai dari tanggal 1 (satu) januari 2000 pukul 12.00 tengah hari
sampai tanggal 1 (satu) januari tahun 2001 pukul 12.00 tengah hari. Polis berjangka
waktu tertentu biasanya digunakan pada asuransi kebakaran.
B. Pembuatan dan penyerahan polis
Apabila asuransi diadakan langsung antara tertanggung dan penanggung,
maka polis haris ditanda tangani dan diserahkan oleh penanggung dalam tempo 24
(dua puluh empat) jam setelah permintaan, kecuali karena ketentuan undang-
undang ditentukan tenggang waktu yang lebih lama. Berdasarkan ketentuan
tersebut, maka pembuatan polis adalah penaggung atas permintaan tertanggung
sesuai dengan fungsinya sebagai bukti tertulis bagi kepentingan tertanggung.
Dalam prektek asuransi, penanggung adalah perusahaan yang mencari
keuntungan dengan cara mengambil alih resiko dari tertanggung dan menerima
sejumlah premi sebagai imbalan. Untuk itu, penanggung membuat polis yang bentuk
dan isinya sudah ditentukan (standard policy) serta dicetak. Dalam polis dimuat
syarat dan janji-janji khusus tertentu. Kemudian, polis tersebut disodorkan kepada
tertanggung yang berminat mengadakan asuransi agar diteliti dan dipahami isinya.
Apabila tertanggung setuju,penanggung akan menyelesaikan dan menandatangai
34
polis kemudian diserahkan kepada tertanggung.akan tetapi, apabila tertanggung
tidak setuju, dia tidak perlu mengadakan perjanjian asuransi dengan penanggung.
Dalam praktek asuransi dapat terjadi bahwa calon tertanggung ketika
mengadakan asuransi tidak begitu cermat mempelajari syarat-syarat danji-janji
khusus yang telah ditentukan dalam polis oleh penanggung. Setelah asuransi
diadakan dan terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian, barulah tertanggung
sadar bahwa ketika mengajukan klaim gangi kerugian dia mengalami kesulitan
karena dalam polis ada syarat atau janji khusus yang membatasi tanggung jawab
penanggung (eksonerasi). Tertanggung selama asuransi berjalan sampai terjadinya
peristiwa, lalai membaca dam memahami isi polis.
Apabila asuransi diadakandengan perantara pialang asuransi, maka polis
yang sudah ditanda tangani penanggung harus diserahkan dalam waktu 8 (delapan)
hari setelah dibuat perjanjian asuransi. Berdasarkan ketentuan pasal ini, jangka
waktu 8 (delapan) hari itu dihitung sejak kesepakatan pialang asuransi dan
penanggung, bukan sejak polis ditanda tangani oleh penanggung. Mungkin polis
baru ditanda tangani penanggung berapa hari setelah terjadi kesepakatan asuransi.
Dalam beberapa hari yang tersisa itu, pialang harus sudah menyerahkan polis
kepada tertanggung.
Dalam prakek asuransi, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan
perantara pialang didahului pembuatan nota penutupan (cover note) sebagai bukti
sudah tercapainya kesepakatan asuransi. Atas dasar inibaru dibuat polis oleh
penanggung. Antara pembuatan nota penutupan dan penandatangananpolis
terdapat jangka waktu. Makin cepat dilakukan, maka makin singkat jangka waktu
35
tersebut. Sehingga makin kecil kemungkinanterjadi keterlambatan penyerahan polis
oleh penanggung atau pialang.
Apabila ada kelalaian penyerahan polis dalam tenggang waktuyang telah
ditantukan, maka penanggung untuk kepentingan tertanggung wajib mengganti
kerugianyang mungkin timbul dari kelalaian itu.9 Ketentuan ini bergantung juga pada
praktek pelaksanaan pasal 256 dan pasal 260 KUHD. Artinya, apabila dalam
prekteknya, ketentuan dalam pasal tersebut tidak diikuti, dan yang diikuti adalah
ketentuan waktu yang diperjanjikan, maka ganti kerugian yang mungkin timbul itu
pun tergantung juga pada ketentuan waktu yang diperjanjikan.
9 Ibid pasal 261 KUHD
36
BAB III
SANKSI HUKUM KETIKA PERUSAHAAN ASURANSI MELAKUKAN
TINDAKAN WANPRESTASI
1. Pembinaan dan pengawasan
1.1. Lingkup pembinaan dan pengawasan
Pembinaan dan pengawasan terhadap perusahaan perasuransian dilakukan
oleh mentri keuangan. Setiap perusahaan perasuransian wajib memelihara
kesehatan keuangan serta melakukan usaha sesuai dengan prinsip-prinsip asuransi
yang sehat. Dalam pasal 11 ayat (1) undang-undang nomer 2 tahun 1992 ditentukan
bahwa pembinaan dan pengawasan terhadap usaha perasuransian meliputi:
a. Kesehatan keuangan bagi perusahaan asuransi kerugian, perusahaan
asuransi jiwa, dan perusahaan reasuransi yang terdiri dari:
1) Batas tingkat solvabilitas
2) Retensi sendiri
3) Reasuransi
4) Investasi
5) Cadangan teknik
6) Ketentuan lain yang berhubungan dengan kesehatan keuangan
b. Penyelenggaraan usaha yang terdiri dari:
1) Syarat polis asuransi
2) Tingkat premi
3) Penyelesaian klaim
37
4) Persyaratan keahlian di bidang perasuransian
5) Ketentuan lain yang berhubungan dengan penyelenggaraan usaha
Batas tingkat solvabilitas merupakan tolak ukur kesehatan keuangan
perusahaan asuransi dan reasuransi. Batas tingkat sovabilitas ini merupakan selisih
antara kekayaan terhadap kewajiban, yang perhitungannya didasarkan pada cara
perhitungan tertentu sesuai dengan sifat usaha asuransi. Dalam hal ini merupakan
bagian pertanggungjawaban yang menjadi beban atau tanggung jawab sendrisesuai
dengan tingkat kemampuan keuangan perusahaan asuransi atau perusahaan
reasuransi yang bersangkutan.
Reasuransi merupakan bagian asuransi yang dipertanggungkan ulang pada
perusahaan asuransi lain atau perusahaan reasuransi. Dalam hubungannya dengan
investasi, yang akan diatur adalah kebijaksanaan investasi perusahaan asuransi
kerugian, perusahaan asuransi jiwa, dan perusahaan reasuransidalam menentukan
investasinya pada jenis investasi yang aman dan produktif. Sesuai dengan sifat
usaha asuransi dimana timbulnya beban kewajiban tidak menentu, maka
perusahaan asuransi kerugian, perusahaan asuransi jiwa, dan perusahaan
reasuransivperlu membentuk dan memelihara cadangan diperlukan berdasarkan
pertimbangan teknis asuransi dan dimaksudkan untuk menjaga agar perusahaan
yang bersangkutan dapat memenuhi kewajiban kepada pemegang polis.
1.2. Pemeriksaan berkala
38
Dalam melakukan pembinaan dan pengawasan, menteri keuangan melakukan
pemeriksaan berkala atau setiap waktu apabila diperlukan terhadap usaha
perasuransian. Setiap perusahaan perasuransian wajib memperluhatkan buku,
catatan, dokumen, dan laporan-laporan, serta memberikan keterangan yang
diperlukan dalam rangka pemeriksaan yang dimaksud di atas (pasal 15 undang-
undang nomer 2 tahun 1992).pemeriksaan yang dimaksud adalah meneliti secara
langsung kebenaran laporan yang disampaikan oleh perusahaan, baik sesuai
dengan ketentuan undang-undang. pemeriksaan dimaksud dapat dilakukan secara
berkalamaupun setiap saat apabila diperlukan dengan tujuan agar perlindunagan
terhadap masyarakat dapat dijamin dan penyimpangan yang terjadi pada
perusahaan dapat diketahui.
Setiap perusahaan asuransi kerugian, perusahaan asuransi jiwa, perusahaan
reasuransi, perusahaan pialang asuransi, dan perusahaan pialang reasuransiwajib
menyampaikan neraca dan perhitungan laba rugi perusahaan berserta
penjelasannya kepada menteri keuangan,dan setiap perusahaan perasuransian
wajib menyampaikan laporan oprasionalnya kepada menteri keuangan. Setiap
perusahaan asuransi kerugian, perusahaan asuransi jiwa dan perusahaan
reasuransi wajib mengumumkan neraca dan perhitungan laba rugi dalam surat
kabar harian di Indonesia yang memiliki peredaran yang luas.
Selain kewajiban-kewajiban tersebut, setiap perusahaan asuransi jiwa wajib
menyampaikan laporan investasi kepada menteri keuangan. Bentuk, susunan dan
jadwal penyampaian laporan serta pengumuman neraca dan perhitungan laba rugi
39
perusahaan ditetapkan oleh menteri keuangan (pasal 16 undang-undang nomer 2
tahun 1992).
1.3. Terjadi pelanggaran
Dalam hal terdapat pelanggaran terhadap ketentuan dalam undang-undang ini
atau peraturan pelaksanannya. Menteri keuangan dapat melakukan tindakan berupa
pemberian peringatan, pembatasan kegiatan usaha, atau pencabutan izin uasaha.
Tindakan tersebut ditetapkan dengan tahapan pelaksanaan sebagai berikut:
a) Pemberian peringatan
b) Pembatasan kegiatan usaha
c) Pencabutan izin usaha
Sebelum pencabutan izin usaha, menteri keuangan dapat memerintahkan
perusahaan yang bersangkutan untuk menyusun rencana dalam rangka mengatasi
pemyebab dari pembatasan kegiatan usahanya.
keputusan mengenai pemberian peringatan, pembatasan kegiatan usaha, dan
pencabutan izin merupakan terhadap tindakan yang dapat diberlakukan pada
perusahaan yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang.
Dalam hal tertentu, menteri keuangan dapat mendengar pendapat pihak-pihak yang
diperlukan. Tahapan tindakan yang dilakukan merupakan urutan yang harus dilalui
sebelum dilakukan pencabutan izin usaha.
1.4. Pencabutan izin usaha dan kepailitan
40
Dalam hal tindakan untuk memenuhi rencana mengatasi penyebab dari
pembatasan kegiatan usaha telah dilaksanakan, dan apabila pelaksanaan tersebut
dapat disimpulkan bahwa perusahaan yang bersangkutan tidak mampu atau tidak
bersedia menghilangkan hal-hal yang menyebabkan pembatasan, maka menteri
keuanganmencabut izin usaha perusahaan. Pencabutan izin usaha diumumkan oleh
menteri keuangan dalam surat kabar harian di Indonesia yang memiliki peredaran
yang luas. Akan tetapi, apabila perusahaan telah berhasil melakukan dalam rangka
mengatasi penyebab dari pembatasan kegiatan usahanya dalam jangka waktu 4
(empat) bulan, maka perusahaan yang bersangkutan dapat melakukan usahanya
kembali (pasal 19 undang-undang nomer 2 tahun 1992).
Apabila perusahaan asuransi telah dicabut izin usahanya, maka kekayaan
perusahaan tersebut peerlu dilindungi agar para pemegang polis tetap dapat
memperoleh haknya secara proposional. Untuk melindungi kepentingan para
pemegang polis tersebut, menteri keuangan diberi wewenang berdasarkan undang-
undang ini untuk meminta pengadilan agar perusahaan asuransi yang bersangkutan
dinyatakan pailit, sehingga kekayaan perusahaan tidak dipergunakan untuk
kepentingan pengurus atau pemilik perusahaan tanpa menghidahkan kepentingan
para pemegan polis.
Selain itu, dengan adanya kewenangan untuk mengajukan pemerintaan pailit
tersebut, maka menteri keuangan dapat mencegah berlangsungnya kegiatan tidak
sah dari perusahaan yang telah dicabut izin usahanya, sehingga kemungkinan
41
terjadi kerugian yang lebih luas pada masyarakat dapat dihindarkan. Dalam hal
terjadi kepailitan, pemegang polis mempunyai hak utama, artinya hak pemegang
polis mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari pada hak pihak-pihak lain, kecuali
dalam hal kewajiban untuk negara, sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
2. Sanksi Administratife Dan Pidana
2.1. Sanksi administratif
Setiap perusahaan perasuransian yang tidak memenuhi ketentuan dalam
peraturan pemerintah nomer 73 tahun 1992 tentang penyelenggaraan usaha
perasuransian serta peran pelaksanaanya yang berkenaan dengan :
a) Perizinan usaha.
b) Kesehatan keuangan.
c) Penyelenggaraan usaha.
d) Penyampaian laporan.
e) Pengumuman neraca dan penghitungan laba rugi atau tentang pemeriksaan
langsung.
Dikenakan sanksi peringatan, sanksi pembatasan kegiatan usaha dan sanksi
pencabutan izin usaha.10
10
Pasal 37 PP No. 73 Tahun 1992
42
a) Perusahaan asuransi atau perusahaan reasuransi yang tidak menyampaikan
laporan keuangan tahunan dan laporan oprasional tahunan dan atau tidak
mengumumkan neraca dan perhitungan laba rugi, sesuai dengan jangka waktu
yang ditetapkan, dikenakan denda administratif Rp 1.000.000,00 (satu juta
rupiah) untuk setiap hari keterlambatan.
b) Perusahaan pialang asuransi atau perusahaan pialang reasuransi yang tidak
menyampaikan laporan keuangan tahunan dan laporan oprasional tahunan
sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan dikenakan denda administratif Rp
500.000,00 (rima ratus ribu rupiah) untuk setiap hari keterlambatan.
Pengenaan denda administratif berakhir pada saat pembayaran denda kantor
kebendaharaan dank as Negara yang diikuti dengan penyampaian laporan
keuangan tahunan dan atau laporan oprasional tahunan dan atau pengumuman
neraca dan pengitungan laba rugi yang dimaksud dalam pasal 38 selambat-
lambatnya dalam 2 (hari) hari kerja. Dalam hal laporan keuangan tahunan dan atau
laporan oprasional tahunan telah disampaikan dan atau neraca dan penghitungan
laba rugi telah diumumkan, tetapi perusahaan yang bersangkutan belum membayar
denda administratif, denda tersebut dinyatakan sebagai hutang kepada Negara yang
harus dicantumkan dalam neraca perusahaan yang bersangkutan.
Perusahaan perasuransian yang telah dikenakan denda 90 (sembilan puluh)
hari keterlambatan, tetapi belum juga menyampaikanlaporan sebagaimana yang
dimaksud dalam pasal 38, dengan tidak membebaskan kewajiban membayar denda
yang telah dikenakan untuk jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari yang dimaksud,
43
dikenakan sanksi pembatasan kegiatan usaha.11 Sanksi pembatasan kegiatan
usaha tersebut berlaku sejak tanggal ditetapkan untuk jangka waktu 12 (dua belas)
bulan.
Dalam hal mentri keuangan menilai diperlukan suatu rencana dari sanksi
pembatasan kegiatan usaha, pada saat penetapan pembatasan kegiatan usaha
mentri keuangan dapat memerintahkan penyusunan rencana kerja yang harus
disampaikan kepada mentri dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan, dalam
hal perusahaan perasuransian dapat mengatasi penyebab dari sanksi pembatasan
usaha dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, mentri keuangan akan mencabut
sanksi tersebut.
Akan tetapi, apabila perusahaan perasuransian tidak mengatasi penyebab dari
sanksi pembatasan kegiatan usaha dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan atau
dari rencana kerja tersebut diatas dalam jangka waktu sampai berakhir sanksi
pembatasan kegiatan usaha, disimpulkan bahwa perusahaan tidak mampu atau
tidak bersedia mengatasi penyebab dari sanksi dimaksud, mentri keuangan
mencabut izin usaha perusahaan yang bersangkutan.
2.2. Sanksi pidana
Sanksi pidana dikenakan pada kejahatan perasuransian yang diatur dalam
Undang-Undang nomer 2 tahun 1992 sebagai berikut :
a. Terhadap pelaku utama
11
Ibid pasal 39-40
44
Orang yang menjalankan atau menyuruh menjalankan usaha peresuransian
tanpaizin usaha, menggelapkan premi asuransi, menggelapkan dengan cara
mengalihkan, meminjamkan, dan atau menggunakan tanpa hak kekayaan
perusahaan asuransi kerugian atau perusahaan asuransi jiwa atau perusahaan
reasuransi, diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun
dan denda paling banyak Rp 2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta).
b. Terhadap pelaku pembantu
Orang yang menerima, menadah, membeli, atau mengagunkan, atau menjual
kembali kekayaan perusahaan hasil penggelapan dengan cara tersebut di atas yang
diketahuinya bahwa barang tersebut adalah kekayaan perusahaan asuransi
kerugian atau perusahaan asuransi jiwa atau perusahaan reasuransi, diancam
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dangan denda paling banyak Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
c. Terhadap pemalsu dokumen
Orang yang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama melakukan pemalsuan
atas dokumen perusahaan asuransi kerugian atau perusahaan asuransi jiwa atau
perusahaan reasuransi, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dengan denda paling banyak Rp 250.000.000.00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
Apabila tindak pidana yang dimaksud dalam pasal 21 undang-undang nomer 2
tahun 1992 dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, atau badan usaha
yang bukan merupakan badan hukum, maka tuntutanya dilakukan terhadap badan
45
tersebut, atau terhadap mereka yang memberikan perintah untuk melakukan tidak
pidana itu, atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam melakukan tindak pidana
itu maupun terhadap kedua-duanya.12
3. Kewajiban Perusahaan Asuransi
Berkaitan dengan pengertian ganti kerugian ini diatur dalam KUH Perdata
“ganti kerugian karena tidak dipenuhinya suatu perjajian, barulah mulai kewajiban
apabila debitur setelah dinyatakan lalai memenuhi perjajiannya, tetap melalaikannya,
atau sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau
dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampauikannya”.13 Yang dimaksud
dengan ganti kerugian itu adalah ganti kerugian yang timbul karena debitur
melakukan wanprestasi.
Ganti kerugian yang diatur dalam ketentuan pasal 1246 KUH Perdata terdiri
dari 3 (tiga) unsur yaitu antara lain :
a) Ongkos atau biaya-biaya yang telah dikeluarkan.
b) Kurugian karena kerusakan, kehilangan atas barang kepunyaan kreditur akibat
kelalaian debitur. Kerugian ini adalah sungguh-sungguh diderita.
c) Bunga atau keuntungan yang diharapkan karena debitur lalai, kreditur
kehilangan keuntungan yang diharapkannaya.
Ganti kerugian itu harus dihitung berdasarkan nilai uang. Jadi harus berupa
uang bukan berupa barang. 12
Abdulkadir Muhammad, Hukum Asuransi Indonesia, penerbit PT CITRA ADITYA BAKTI, bandung, 2015, h. 46. 13
Pasal 1243 KUH Perdata
46
Dalam ganti kerugian tidak senantiasa ketiga unsur tersebut di atas. Minimal
ganti kerugian itu adalah kerugian yang sesungguhnya diderita oleh debitur,
walaupun debitur telah melakukan wanprestasi diharuskan membayar ganti kerugian
kepada kreditur, akan tetapi undang-undang masih memberikan pembatasan-
pembatasan yaitu dalam hal ganti kerugian yang seharusnya dibayar oleh debitur
atas tuntutan kreditur.
Pembatasan-pembatasan itu sifatnya sebagai perlindungan undang-undang
terhadap debitur dari perbuatan sewenang-wenang pihak kreditur. Pembatasan-
pembatasan tersebut dapat dibaca dalam ketentuan yang diatur dalam pasal 1247
dan1248 KUH Perdata, sehingga terdapat 2 (dua) pembatasan kerugian antara lain :
a. Kerugian yang dapat diduga ketika membuat perjanjian.
b. Kerugian sebagai akibat langsung dari wanprestasi.
Kedua macam kerugian inilah yang harus dibayar oleh debitur kepada kreditur
sebagai akibat dari wanprestasi.
47
BAB IV
PENUTUP
1. Kesimpulan
1. Asuransi ialah perjajian antara 2 (dua) pihak yang bersangkutan, yang satu
sebagai penanggung dan satunya lagi sebagai tertanggung yang dibuktikan
dengan adanya polis. Penanggung berkewajiban menanggung kerugian
kepada tertanggung apabila mengalami kerugian, dan tertanggung
berkewajiban membayar premi yang sudah diperjanjikan dalam perjajian.
Sedangkan polis merupakan bukti yang sah dan digunakan bilamana
tertanggung mengalami kerugian. Dalam perjanjian asuransi sering dimuat
janji-janji khusus yang merumuskan dengan tegas dalam polis, yang lazim
disebut klausula asuransi. Maksud dari klausula tersebut adalah untuk
mengetahui batas tanggung jawab penanggung dalam membayar ganti
kerugian apabila terjadi kerugian. Jenis-jenis klausula asuransi itu ditentukan
oleh sifat objek asuransi, bayaha yang mengancam dalam setiap asuransi.
2. Dalam perjanjian asuransi jika perusahaan asuransi melakukan wanprestasi
bisa dijatuhi sanksi administratif dan sanksi pidana. Sanksi administratif berupa
sanksi peringatan, sanksi pembatasan kegiatan usaha dan pencabutan izin
usaha. Sedangkan sanksi pidana dikenakan pada kejahatan terhadap pelaku
utama, pelaku pembantu, dan terhadap pelaku pemalsu dokumen.
48
2. Saran
1. Masyarakat harus mengerti dan faham dengan pengaturan asuransi di
Indonesia,sehingga tahu tindakan yang harus dilakukan jika terjadi kerugian.
2. Diuraikan di atas, pemerintah harus tegas kepada perusahaan asuransi yang
melanggar undang-undang harus diberikan sanksi, agar perusahaan tidak
seenaknya membuat perjajian yang tidak sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang sudah ada.
49
DAFTAR BACAAN
Peter Muhmud marzuki, penelitian hukum, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas
Airlangga, Surabaya.
Abdulkadir Muhammad, hukum asuransi Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2011.
Undang-Udang Nomer 2, usaha perasuransian, 1992.
Buku ajar, hukum perikatan/perjanjian, Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra
Surabaya