PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASIDALAM KASUS PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP
(Studi Kasus Perdagangan Limbah Medis Rumah Sakit Saiful Anwar Malang Oleh Tersangka Daryono, S.K.M, M. Kes Dkk)
I. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Lingkungan hidup merupakan aset penting bagi terlaksananya proses
pembangunan. Dengan posisi lingkungan hidup sebagai reservoir terjadinya
berbagai proses ekologi yang merupakan satu kesatuan yang mantap dimana
proses tersebut merupakan mata rantai atau siklus penting yang menentukan
daya dukung lingkungan hidup terhadap pembangunan. Lingkungan dan
pembangunan merupan dua hal yang saling terkait sehingga kajian terhadap
permasalahan lingkungan dan pembangunan memiliki sifat interdependensi yang
berimplikasi sulitnya memperlakukan permasalahan lingkungan sebagai sektor
yang terisolasi dalam dunia tersendiri.
Pemanfaatan lingkungan oleh manusia dangan melakukan pengolahan
terhadap alam beserta segala isinya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Kebutuhan hidup merupakan salah satu dari dimensi kualitas
kehidupan. Kualitas kehidupan tersebut yang menjadi salah satu tolok ukur
pembangunan. Dengan aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh manusia dalam
pemenuhan kebutuhan hidupnya tersebut, manusia menghasilkan suatu end
product, by-product dan waste product. End-product adalah segala sesuatu
yang diinginkan oleh manusia untuk dipenuhi sebagai kebutuhan hidupnya, by-
product merupakan segala sesuatu yang terjadi dengan sendirinya selama
proses pemenuhan kebutuhan hidup manusia dan waste product adalah sisa
atau limbah yang dihasilkan dari rangkaian pemenuhan kebutuhan hidup
manusia. Seluruh hasil dari proses pemenuhan kebutuhan hidup manusia
tersebut dapat menjadi bahan pencemar terhadap lingkungan hidup manusia.
Oleh karena itu maka proses pembangunan seharusnya didahului oleh
perencanaan dengan analisis tentang manfaat-manfaat yang dapat dicapai dari
pelaksanaan proses pembangunan tersebut. Hal tersebut selaras dengan isu
global saat ini dalam pelaksanaan pembangunan yaitu tentang konsep
pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Menurut Bruntland
dalam Supardi (1994), menyatakan bahwa pembangunan yang berkelanjutan
didefinisikan sebagai pembangunan untuk memenuhi kebutuhan sekarang tanpa
mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi
kebutuhan hidup mereka.
Dalam pemenuhan kebutuhan terhadap kesehatan, masyarakat saat ini tidak
dapat lepas dari keberadaan pusat pelayanan kesehatan publik berupa rumah
sakit. Rumah sakit selain berfungsi sebagai sarana bagi manusia dalam
mendapatkan pelayanan di bidang kesehatan, namun dalam pelaksanaan
berbagai kegiatan fungsionalnya tersebut juga memberikan ekses tersendiri bagi
lingkungan berupa limbah.
Seiring dengan kemajuan Ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang
kedokteran, ada dampak positif yang ditimbulkandi dunia medis berupa
penggunaan peralatan medis yang canggih disukung metode pemeriksaan
secara biokimia untuk melakukan berbagai diagnosa terhadap elemen tubuh
manusia. Namun, dampak negatifnya adalah bahan-bahan berupa zat-zat kimia
atau bahan obat-obatan dan bahan radioaktif (bahan pencemar) yang
digunakan dalam proses medis tersebut terlepas ke alam sekitarnya. Ditambah
lagi konsekuensi rumah sakit sebagai pusat layanan medis selalu bersentuhan
dengan resiko penyebaran sumber penyakit dari para pengguna jasanya dalam
hal ini adalah orang-orang yang menderita penyakit. Oleh karena itu dalam
pelaksanaan operasional kerjanya, rumah sakit selalu harus memilik tatanan
kerja, prosedur kerja tetap dan aturan lainnya yang harus dipatuhi oleh pihak-
pihak yang berkompeten di dalamnya. Tujuan dari semua itu adalah untuk
mencegah terjadinya permasalahan yang diakibatkan aliran bahan-bahan
pencemar dimaksud. Dalam hal ini pemerintah telah memberikan regulasi
khusus yaitu Keputusan Menteri Kesehatan RI No. : 1204/Menkes/SK/X/2004
tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit.
Berdasarkan hasil studi oleh negara-negara maju, dinyatakan tentang
bagaimana gawatnya limbah rumah sakit dapat dibayangkan dari berapa jumlah
limbah yang dihasilkan suatu rumah sakit setiap tahunnya. Di Negara maju rata-
rata 3,8 kg limbah per tempat tidur per hari atau sampai 25.000 ton per tahun
(8,11); dan setiap 4 kg limbah rumah sakit maka 1 kg-nya pasti infeksius,
sebagaimana pernyataan yang ditulis Alvim-Ferraz MC, Afonso SA dalam
bukunya Incineration of different types of medical wastes: emission factors for
particulate matter and heavy metals tahun 2003.
2
Limbah yang dihasilkan dari kegiatan medis di rumah sakit bukan berarti tidak
memiliki nilai ekonomis, limbah medis seperti bekas botol infus, selang infus,
spuit (alat suntik) dan botol obat-obatan tenyata dapat dijadikan sebagai bahan
komoditas, namun tentu saja melalui prosedur-prosedur yang telah ditetapkan
sesuai peraturan yang berlaku. Komersialisasi limbah medis yang hanya
berorientasi terhadap nilai ekonomis tanpa memperhatikan aspek lingkungan
tentunya tidak dapat dibenarkan.
Terungkapnya kasus perdagangan limbah medis yang dilakukan oknum
Rumah Sakit Dr. Saiful Anwar (RSSA) Malang oleh penyidik Subbag Reskrim
Polwil Malang pada tanggal 11 Desember 2008 sontak menyita perhatian publik
baik lokal Malang maupun nasiona melalui pemberitaan di media massa. Dari
pengungkapan kasus tersebut didapatkan fakta bahwa oknum RSSA yaitu
Daryono, S. K. M. M. Kes selaku Kepala Instalasi Penyehatan Lingkungan (IPL)
RSSA dan stafnya Rudy Sutijo Pramono selaku Koordinator Pengelolaan Limbah
Padat pada IPL RSSA telah melakukan praktek penjualan limbah medis infeksius
RSSA untuk kepentingan pribadinya. Kedua oknum tersebut tidak menjalankan
tanggung jawabnya yang seharusnya untuk melakukan pengelolaan limbah
sesuai prosedur namun justru menyalahgunakan kewenanganannya.
Latar belakang penulis sebagai KBO Reskrim Polresta Malang pada saat
pengungkapan kasus tersebut terlibat dalam proses penyelidikan gabungan
beserta para penyidik Subbag Reskrim Polwil Malang dikarenakan terungkapnya
kasus tersebut berawal dari adanya informasi masyarakat kepada Kapolwil
Malang dan Kapolresta Malang melalui surat tertulis. Namun proses penyidikan
terhadap perkara dimaksud selanjutnya dilakukan oleh penyidik Subbag Reskrim
Polwil Malang.
Fenomena perdagangan limbah medis secara ilegal tersebut menjadi
menarik disebabkan masih jarangnya pengungkapan kasus serupa bahkan di
Polda Jatim pun belum pernah ada kesatuan yang menangani kasus serupa.
Disamping itu, proses penetapan tersangka yang hanya menyentuh Tersangka
Daryono, S. K. M. M. Kes selaku Kepala Instalasi Penyehatan Lingkungan (IPL)
RSSA dan stafnya Rudy Sutijo Pramono selaku Koordinator Pengelolaan Limbah
Padat pada IPL RSSA oleh penyidik Subbag Reskrim Polwil Malang juga
menarik untuk dianalisa mengingat sebenarnya terdapat fakta hukum yang dapat
menjerat Direktur RSSA yang pada saat terjadinya kasus tersebut sedang dijabat
oleh Dr. Pawik Supriadi-saat ini menjabat sebagai Kepala Dinas Kesehatan
3
Propinsi Jawa Timur-sebagai tersangka pula dalam kasus itu, namun faktanya
tidak demikian dimana justru Dr. Pawik Supriadi seolah tak tersentuh oleh hukum
dengan hanya dijadikan saksi dalam perkara dimaksud. Oleh karena menjadi
daya tarik sendiri bagi penulis untuk menganalisis lebih jauh tentang proses
penyidikan kasus tersebut khususnya dalam hal pembuktiannya sehubungan
dengan dikategorikannya kasus dimaksud sebagai kasus tindak pidana
lingkungan hidup serta lebih jauh lagi terkait dengan pertanggungjawaban pidana
korporasi dalam perkara dimaksud.
2. Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, permasalahan yang akan
dibahas dalam penulisan ini adalah ”Bagaimana upaya pembuktian tindak pidana
lingkungan hidup dalam kasus pencemaran lingkungan hidup beserta
pertanggungjawaban pidana korporasinya (dengan studi kasus perdagangan
limbah medis RSSA Malang oleh tersangka Daryono, S.K.M, M. Kes Dkk) ?
3. Persoalan-persoalan
a. Bagaimana proses terjadinya perdagangan limbah medis RSSA oleh
tersangka Daryono, S.K.M, M. Kes Dkk ?
b. Bagaimana ketentuan normatif berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku tentang pengelolaan limbah medis rumah sakit ?
c. Bagaimana upaya penyidik Subbag Reskrim Polwil Malang dalam melakukan
pembuktian kasus perdagangan limbah medis RSSA ?
d. Bagaimana penerapan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam kasus
perdagangan limbah medis RSSA oleh tersangka Daryono, S.K.M, M. Kes
Dkk ?
II. PEMBAHASAN
1. Posisi Kasus Tersangka Daryono, S.K.M, M. Kes Dkk
Penyidik gabungan Subbag Reskrim Polwil Malang dan Sat Reskrim Polwil
Malang mulai melakukan penyelidikan terhadap dugaan kasus perdagangan
limbah medis RSSA sejak tanggal 15 September 2008 berdasarkan laporan
masyarakat melalui surat a.n. SUPENO (anonim) kepada Kapolwil Malang dan
Kapolresta Malang. Setelah melakukan proses obsevasi sasaran penyelidikan,
penyidik melakukan undercover buy limbah medis kepada tersangka Daryono
dan Rudy. Dalam undercover buy tersebut, penyidik berhasil membeli limbah
medis berupa : 1) 57,5 kg botol infus dengan harga Rp. 9000,- per kg; 2)
50 kg botol obat-obatan dengan harga Rp. 400,- per kg; 3) 60 kg selang
4
infus dengan harga 2000,- per kg; dan 4) 29 kg spuit tanpa jarum
dengan harga 5.500,- per kg. Limbah medis berupa botol infus, selang
infus dan spuit tersebut sebelum dijual kepada para pembelinya, hanya
dibersihkan dengan cara merendamnya ke dalam larutan air dengan
kaporit selama kurang lebih tiga menit, sedangkan limbah medis berupa
botol obat-obatan tidak dibersihkan sama sekali.
Berdasarkan hasil penyelidikan tersebut, selanjutnya penyidik Subbag
Reskrim Polwill Malang meningkatkan status penanganan kasus
dimaksud ke tahap penyidikan dengan tersangka utama Daryono dan
Rudy. Pasal yang dipersangkakan dalam perkara dimaksud adalah pasal
43 ayat (1) UU RI No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup (UUPLH), yaitu “Barang siapa yang dengan melanggar ketentuan
perundang-undangan yang berlaku, sengaja melepaskan atau membuang zat,
energi, dan/atau komponen lain yang berbahaya atau beracun masuk di atas
atau ke dalam tanah, ke dalam udara atau ke dalam air permukaan, melakukan
impor, ekspor, memperdagangkan, mengangkut, menyimpan bahan tersebut,
menjalankan instalasi yang berbahaya, padahal mengetahui atau sangat
beralasan untuk menduga bahwa perbuatan tersebut dapat menimbulkan
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup atau membahayakan
kesehatan umum atau nyawa orang lain, diancam dengan pidana penjara
paling lama enam tahun dan denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga
ratus juta rupiah)”.
Terhadap limbah medis yang berhasil dibeli saat undercover buy tersebut,
telah dilakukan penyitaan dan dilakukan pemeriksaan di Labfor Polri Cabang
Surabaya dengan hasil yang menyatakan bahwa limbah medis RSSA
tersebut termasuk dalam kategori limbah bahan berbahaya dan beracun
(B3) sebagaimana ketentuan PP RI No. 85 tahun 1999 tentang Perubahan
atas PP RI No. 18 tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah B3. Barang bukti
lain yang disita penyidik adalah : 1) 1 lembar daftar penjualan sampah daur
ulang di TPS dan Insinerator RSSA; dan 2) 1 lembar Surat Keterangan Angkut
Barang Bekas RSSA. Disamping itu, Tersangka Daryono menerangkan kepada
penyidik bahwa perbuatannya memperdagangkan limbah dimaksud dilakukan
atas perintah lesan Dr. Pawik Supriadi bahkan sebagian uang hasil penjualan
limbah tersebut juga masuk ke “kantong pribadi” Dr. Pawik Supriadi, namun
hingga kini Dr. Supriadi belum pernah dilakukan pemeriksaan sebagai
5
tersangka oleh penyidik Subbag Reskrim Polwil Malang. Tahap penyidikan
perkara dimaksud sampai dengan saat ini yaitu bahwa perkara dimaksud
sudah dinyatakan lengkap hasil penyidikannya oleh JPU Kejari Malang dan
terhadap Tersangka Daryono dan Rudy beserta barang buktinya telah
dilakukan penyerahan oleh penyidik Subbag Reskrim Polwil Malang kepada
JPU Kejari Kota Malang.
Berdasarkan hasil wawancara tertutup penulis dengan salah satu penyidik
perkara dimaksud, didapatkan fakta bahwa tidak dilakukannya pemeriksaan Dr.
Pawik Supriadi tersebut dikarenakan adanya beberapa alasan sebagai berikut :
a. Sebenarnya terhadap Dr. Pawik Supriadi telah ditetapkan sebagai
tersangka dalam perkara dimaksud dan telah dilakukan pemanggilan
sebagai tersangka, namun dikarenakan Dr. Pawik Supriadi “menghadap”
kepada salah satu atasan penyidik tersebut dan selanjutnya atasan
penyidik tersebut memerintahkan kepada penyidik untuk tidak melakukan
pemeriksaan terhadap Dr. Pawik Supriadi sebagai tersangka dalam
perkara dimaksud melainkan sebagai saksi. Penetapan status tersangka
kepada Dr. Pawik dimaksud hanya sebatas pemahaman penyidik tentang
pertanggungjawaban pidana secara perseorangan.
b. Alat bukti yang dimiliki penyidik untuk menjerat Dr. Pawik Supriadi sebagai
tersangka hanya berupa keterangan tersangka, yaitu keterangan
Tersangka Daryono.
b. Penyidik tidak memahami tentang pertanggungjawaban pidana korporasi
dalam perkara tindak pidana pencemaran lingkungan hidup.
2. Ketentuan Pengelolaan Limbah Medis
Ketentuan perundang-undangan di Indonesia yang mengatur secara
khusus tentang pengelolaan limbah medis rumah sakit adalah Keputusan
Menteri Kesehatan RI No. : 1204/Menkes/SK/X/2004 tentang Persyaratan
Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit. Dalam poin IV. A peraturan dimaksud,
dijelaskan tentang definisi dan kategorisasi tentang limbah rumah sakit secara
umum dan spesifik. Limbah rumah sakit didefinisikan sebagai semua limbah
yang dihasilkan dari kegiatan rumah sakit dalam bentuk padat, cair, dan gas,
yang secara lebih lanjut diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Limbah padat rumah sakit adalah semua limbah rumah sakit yang
berbentuk padat sebagai akibat kegiatan rumah sakit yang terdiri dari
limbah medis padat dan non-medis.
6
b. Limbah medis padat adalah limbah padat yang terdiri dari limbah
infeksius, limbah patologi, limbah benda tajam, limbah farmasi, limbah
sitotoksis, limbah kimiawi, limbah radioaktif, limbah kontainer bertekanan,
dan limbah dengan kandungan logam berat yang tinggi.
c. Limbah padat non-medis adalah limbah padat yang dihasilkan dari
kegiatan di rumah sakit di luar medis yang berasal dari dapur, perkantoran,
taman, dan halaman yang dapat dimanfaatkan kembali apabila ada
teknologinya.
d. Limbah cair adalah semua air buangan termasuk tinja yang berasal dari
kegiatan rumah sakit yang kemungkinan mengandung mikroorganisme,
bahan kimia beracun dan radioaktif yang berbahaya bagi kesehatan.
e. Limbah gas adalah semua limbah yang berbentuk gas yang berasal dari
kegiatan pembakaran di rumah sakit seperti insinerator, dapur,
perlengkapan generator, anastesi, dan pembuatan obat citotoksik.
f. Limbah infeksius adalah limbah yang terkontaminasi organisme patogen
yang tidak secara rutin ada di lingkungan dan organisme tersebut dalam
jumlah dan virulensi yang cukup untuk menularkan penyakit pada manusia
rentan.
g. Limbah sangat infeksius adalah limbah berasal dari pembiakan dan stock
bahan sangat infeksius, otopsi, organ binatang percobaan dan bahan lain
yang telah diinokulasi, terinfeksi atau kontak dengan bahan yang sangat
infeksius.
h. Limbah sitotoksis adalah limbah dari bahan yang terkontaminasi dari
persiapan dan pemberian obat sitotoksis untuk kemoterapi kanker yang
mempunyai kemampuan untuk membunuh atau menghambat pertumbuhan
sel hidup.
Berdasarkan keterangan ahli di bidang kesehatan dari Dinas Kesehatan
Kota Malang dan ahli di bidang lingkungan hidup dari Bapedal Kota Malang
yang diperiksa oleh penyidik didapatkan fakta bahwa limbah RSSA yang
diperdagangkan oleh tersangka Daryono dan Rudy termasuk dalam kategori
limbah medis padat yang bersifat infeksius dan patologis dikuatkan lagi dengan
hasil pemeriksaan Labfor bahwa limbah dimaksud termasuk dalam kategori B3.
Berdasarkan ketentuan Menteri Kesehatan tersebut, limbah medis RSSA
yang sebagaimana yang diperdagangkan tersangka Daryono dan Rudy
seharusnya dilakukan pengelolaan dengan cara melakukan minimasi limbah
7
yaitu upaya yang dilakukan rumah sakit untuk mengurangi jumlah limbah yang
dihasilkan dengan cara mengurangi bahan (reduce), menggunakan kembali
limbah (reuse) dan daur ulang limbah (recycle). Namun hal tersebut harus
dilakukan oleh instansi yang yang sudah mendapat ijin dari Menteri Negara
Lingkungan Hidup. Sedangkan dalam kasus ini RSSA bukan termasuk instansi
dimaksud.
Pengelolaan terhadap limbah infeksius dan benda tajam sesuai ketentuan
Menteri Kesehatan dimaksud adalah sebagai berikut :
a. Limbah yang sangat infeksius seperti biakan dan persediaan agen
infeksius dari laboratorium harus disterilisasi dengan pengolahan panas dan
basah seperti dalam autoclave sedini mungkin. Untuk limbah infeksius
yang lain cukup dengan cara disinfeksi.
b. Benda tajam harus diolah dengan insinerator bila memungkinkan, dan
dapat diolah bersama dengan limbah infeksius lainnya. Kapsulisasi juga
cocok untuk benda tajam.
c. Setelah insinerasi atau disinfeksi, residunya dapat dibuang ke tempat
pembuangan B3 atau dibuang ke landfill jika residunya sudah aman.
3. Pembuktian Kasus Perdagangan Limbah Medis RSSA
Teknis pembuktian yang dilakukan oleh penyidik Subbag Reskrim Polwil
Malang dalam penyidikan kasus perdagangan limbah medis RSSA mengacu
pada ketentuan sistem pembuktian yang dianut KUHAP, yaitu harus
terpenuhinya minimum dua alat bukti yang sah guna membuktikan kesalahan
seorang terdakwa (prinsip batas minimum pembuktian) yang secara implisit
disebutkan dalam pasal 183 KUHAP.
Dalam perkara tindak pidana terdapat beberapa aspek yang harus
diperhatikan guna menentukan indikasi terjadinya peristiwa yang dikategorikan
sebagai pencemaran atau perusakan lingkungan hidup maupun yang
membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang lain, yaitu : aspek
kejadian atau prosesnya, aspek penyebab atau pelakunya dan aspek
akibatnya.
Berdasarkan sistem pembuktian menurut KUHAP dan dengan
memperhatikan aspek-aspek indikasi tindak pidana lingkungan hidup, maka
langkah-langkah yang telah ditempuh oleh penyidik Subbag Reskrim dalam
pembuktian perkara dimaksud dilakukan sesuai dengan teknis dan taktis
8
penyidikan fungsi Reskrim Polri yang disesuaikan dengan karakteristik tindak
pidana lingkungan hidup itu sendiri, yaitu sebagai berikut :
a. Tahap Penyidikan (Pra Penyidikan-Penyidikan-Pasca Penyidikan)
Pada tahap ini penyidik telah melakukannya dengan maksimal mulai proses
observasi, undercover buy sampai dengan penindakan (upaya paksa).
Sehingga taraf penyelidikan dapat ditingkatkan ke taraf penyidikan.
Pemeriksaan terhadap para saksi, ahli dan tersangka serta didukung
dengan hasil pemeriksaan Labfor terhadap barang bukti secara
keseluruhan membentuk keterkaitan yang menjadikan perkara dimaksud
cukup bukti memenuhi unsur-unsur dalam pasal yang dipersangkakan,
yaitu pasal 43 ayat (1) UUPLH.
b. Proses Pengumpulan Alat Bukti dan Barang Bukti
1) The Prime Facie & ABIDI BASIAKMO
Pada proses ini penyidik telah mendapatkan fakta-fakta yang lengkap
dan kuat yang kemudian dituangkan dalam berkas perkara tersangka
Daryono dan Rudy. Proses Pulbaket (pengumpulan bahan-bahan
keterangan) juga dilakukan sesuai teknis penyelidikan yang
profesional melalui observasi selama kurang lebih tiga bulan sampai
dengan pelaksaan undercover buy, sehingga lengkaplah informasi
tentang fakta-fakta yang diperoleh penyidik, yaitu : kasus apa yang
sedang terjadi (A=Apa) adalah tindak pidana lingkungan hidup;
tempus delictie (BI=Bilamana) adalah sejak tahun 2004 sampai
dengan terungkapnya kasus tersebut; locus delictie (DI=Dimana)
adalah di RSSA Malang; modus operandi (BA=Bagaimana) dengan
cara memperdagangkan limbah medis infeksius; tersangka pelaku
tindak pidana (SI=Siapa) adalah Daryono dan Rudy; akibat dan korban
(AK=Akibat dan Korban) dalam hal ini terkait pasal 43 ayat (1)
termasuk kategori delik formil maka belum terjadi akibat dan belum
ada korban; dan motif tersangka melakukan tindak pidana (MO=Motif)
adalah untuk mendapatkan keuntungan materi secara pribadi.
2) Penentuan Alat-Alat Bukti dan Barang Bukti yang Relevan
Alat-alat bukti yang didapat oleh penyidik untuk digunakan dalam
pembuktian di persidangan (vide pasal 184 ayat (1) KUHAP) berupa
keterangan saksi sebanyak 4 orang, keterangan ahli sebanyak 2
orang, alat bukti surat berupa 1 lembar daftar penjualan sampah daur
9
ulang di TPS dan Insinerator RSSA dan 1 lembar Surat Keterangan
Angkut Barang Bekas RSSA serta surat hasil pemeriksaan barang
bukti oleh Labfor Polri, alat bukti petunjuk berupa kesesuain
keterangan para saksi dengan tersangka serta alat bukti terdakwa
yang pada tahap penyidikan adalah keterangan tersangka Daryono
dan Rudy.
Sedangkan barang bukti yang didapat telah memiliki relevansi
terhadap perkara yang sedang dilakukan penyidikan.
3) The Chain of Custody (The Continous of Evidence Sampling)
Pada proses ini telah dilakukan kegiatan penanganan barang bukti
sesuai dengan prosedur yang berlaku mulai proses olah TKP,
penyitaan, pengambilan sampel untuk pemeriksaan Labfor,
pembungkusan/penyegelan dan penyimpanan barang bukti yang
keseluruhannya tertuang dalam Berita Acara “pro justitia”. Sehingga
mata rantai proses penanganan barang bukti dapat dijamin kualitasnya
dalam proses pembuktian kasus dimaksud.
Dengan bukti-bukti yang telah diupayakan secara maksimal oleh penyidik
dalam kasus perdagangan limbah medis tersebut, diharapkan tidak terjadi
kendala dalam proses pembuktiannya di dalam persidangan nantinya. Namun
tetap perlu diwaspadai terhadap karakteristik tindak pidana lingkungan hidup
terkait dengan proses penyimpan barang bukti oleh penyidik mengingat bahan
pencemar (pollutant) berupa zat-zat kimia maupun bahan radioaktif serta
material infeksius berupa kuman, bakteri, jamur bahkan virus yang terkandung
dalam barang bukti memiliki resiko cepat berubah bahkan cepat hilang
ditambah adanya resiko sumber penyakit yang mungkin menyebar dari barang
bukti dimaksud sehingga memerlukan penanganan secara khusus dan tepat.
4. Analisis Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
Berdasarkan analisis penulis terhadap posisi kasus dimaksud, maka
penulis berpendapat bahwa dalam perkara dimaksud telah terjadi tindak pidana
korporasi, sehingga terhadap Dr. Pawik Supriadi selaku Direktur RSSA Malang
saat itu (saat ini menjabat sebagai Kadinkes Provinsi Jatim) maupun RSSA
Malang (badan usaha milik Pemprov Jatim) sendiri dalam kapasitas keduanya
sebagai satu kesatuan korporasi seharusnya dapat dikenai
pertanggungjawaban pidana korporasi. Adanya pertanggungjawaban pidana
korporasi dimaksud juga bermanfaat dalam menutupi kelemahan alat bukti
10
yang dimiliki penyidik untuk menjerat Dr. Pawik Supriadi sebagai tersangka
dalam perkara dimaksud dalam rangka mempertanggungjawabkan pidana
secara perseorangan dikarenakan alat bukti yang ada hanya berupa
keterangan Tersangka Daryono. Selanjutnya penulis akan menguraikan
analisis pertanggungjawaban pidana korporasi dalam perkara dimaksud
berdasarkan UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
(UUPLH) dan UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (UUPPLH). Analisis berdasarkan UUPLH dimaksudkan
dengan pertimbangan bahwa analisis tersebut seyogyanya dapat digunakan
ketika masih berlakuknya UUPLH dimaksud khususnya saat pelaksanaan
penyidikan perkara dimaksud oleh penyidik Subbag Reskrim Polwil Malang
(bukan saat ini karena UUPLH sudah tidak berlaku mengingat adanya azas
Lex posteriori derogat Lex inferiori). Sedangkan analisis berdasarkan UUPPLH
dimaksudkan manakala penyidik Subbag Reskrim Polwil Malang hendak
melakukan penyidikan lanjutan terhadap perkara dimaksud dengan melakukan
splitsing terhadap berkas perkara Dr. Pawik Supriadi dalam posisi sebagai
tersangka dalam suatu kerangka pertanggungjawaban pidana korporasi atas
perkara dimaksud maupun sebagai analisis terhadap pembebanan
pertanggungjawaban pidana korporasi bagi RSSA Malang serta bagi
Tersangka Daryono dan Rudy pada saat penuntutan dan penjatuhan vonis
oleh hakim PN Malang-dikarenakan saat terjadinya pengadilan perkara
dimaksud sudah berlaku UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Analisis penerapan pertanggungjawaban
korporasi dimaksud adalah sebagai berikut :
a. Penerapan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam UU No. 23
Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) dapat
dianalisis sebagai berikut :
1) Dalam pasal 1 butir ke-24 UUPLH dinyatakan bahwa “Orang adalah
orang perseorangan, dan/atau kelompok orang, dan/atau badan
hukum”. Hal tersebut berarti bahwa terdapat ketentuan yang
menyatakan bahwa UUPLH menganut pendirian bahwa yang
menjadi subyek atau pelaku tindak pidana bukan hanya orang
perseorangan dan/atau kelompok orang (manusia atau natural
person), namun juga termasuk badan hukum (legal person). Artinya,
posisi Dr. Pawik Supriadi dapat dijadikan tersangka, baik dalam
11
kapasitas perorangan maupun kelompok orang, yaitu bersama
dengan Tersangka Daryono dan Rudy. Kapasitas Dr. Pawik Supriadi
bersama dengan Tersangka Daryono dan Rudy sebagai kelompok
orang termasuk dalam pengertian korporasi dalam hukum pidana
sebagaimana pendapat Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, SH, MH
dalam bukunya “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, 2007, hal.
45.
2) Dalam pasal 45 UUPLH dinyatakan bahwa “Jika tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Bab ini dilakukan oleh atau atas nama
suatu badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau
organisasi lain, ancaman pidana denda diperberat dengan
sepertiga”. Menurut pendapat penulis, posisi RSSA Malang dapat
dikategorikan termasuk dalam pengertian “organisasi lain”. Alat bukti
yang dapat digunakan untuk membuktikan bahwa tindak pidana yang
dilakukan oleh Tersangka Daryono, Tersangka Rudy dan Dr. Pawik
Supriadi adalah atas nama organisasi, dalam hal ini RSSA Malang,
yaitu : 1 lembar daftar penjualan sampah daur ulang di TPS dan
Insinerator RSSA; dan 2) 1 lembar Surat Keterangan Angkut Barang
Bekas RSSA. Alat bukti dimaksud membuktikan bahwa dalam
melakukan tindak pidana tersebut, para pelaku telah menggunakan
fasilitas RSSA Malang sehingga dengan kata lain pelaku bertindak
atas nama RSSA Malang dalam melakukan tindak pidana tersebut.
Fakta tersebut berarti bahwa benar telah terjadi tindak pidana
korporasi dalam perkara dimaksud.
3) Dalam pasal 46 ayat (2) UUPLH dinyatakan bahwa “Jika tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini, dilakukan oleh atau
atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau
organisasi lain, dan dilakukan oleh orang-orang, baik berdasar
hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, yang bertindak
dalam lingkungan badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan
atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana
dijatuhkan terhadap mereka yang memberi perintah atau yang
bertindak sebagai pemimpin tanpa mengingat apakah orang-orang
tersebut, baik berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan
lain, melakukan tindak pidana secara sendiri atau bersama-sama”.
12
Pasal ini mempertegas bahwa posisi Dr. Pawik Supriadi sangat layak
dijadikan tersangka dalam perkara dimaksud karena adanya fakta-
fakta yang memenuhi unsur-unsur dalam pasal dimaksud, khususnya
posisi Dr. Pawik Supriadi baik selaku yang memberi perintah untuk
melakukan tindak pidana dimaksud ataupun sebagai pemimpin dari
Tersangka Daryono dan Rudy.
4) Bagian terpenting dalam analisis pertanggungjawaban pidana
korporasi berdasarkan UUPLH yaitu terkait dengan penerapan
doctrine of strict liability (ajaran tanggung jawab mutlak)
sebagaimana yang dinyatakan dalam pasal 35 UUPLH, yaitu :
a) Pasal 35 Ayat (1) UUPLH : “Penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan yang usaha dan kegiatannya menimbulkan dampak
besar dan penting terhadap lingkungan hidup, yang
menggunakan bahan berbahaya dan beracun, dan/atau
menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun,
bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang
ditimbulkan, dengan kewajiban membayar ganti rugi secara
langsung dan seketika pada saat terjadinya pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan hidup”. Berdasarkan ketentuan
pasal 35 ayat (1) UUPLH tersebut, maka Tersangka Daryono
dan Rudy serta Dr. Pawik Supriadi, dalam kapasitas sebagai
kelompok orang (korporasi) dapat dibebani
pertanggungjawaban secara mutlak atas perbuatan yang telah
dilakukannya (actus reus) dengan dikuatkan adanya alat bukti
keterangan ahli di bidang kesehatan dari Dinas Kesehatan Kota
Malang dan ahli di bidang lingkungan hidup dari Bapedal Kota
Malang yang diperiksa oleh penyidik Subbag Reskrim Polwil
Malang yang menyatakan bahwa limbah RSSA yang
diperdagangkan oleh tersangka Daryono dan Rudy termasuk
dalam kategori limbah medis padat yang bersifat infeksius dan
patologis serta dikuatkan lagi dengan hasil pemeriksaan Labfor
bahwa limbah dimaksud termasuk dalam kategori B3.
Disamping itu, posisi RSSA Malang selaku subyek atau pelaku
tindak pidana dimaksud juga turut dikenai pertanggungjawaban
secara mutlak karena termasuk dalam pengertian “kegiatan
13
usaha” dalam pasal 35 ayat (1) UUPLH tersebut. Besaran ganti
rugi tergantung dari pasal yang dipersangkakan serta
berdasarkan vonis hakim.
b) Pasal 35 ayat (2) UUPLH : “Penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan dapat dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika yang bersangkutan
dapat membuktikan bahwa pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup disebabkan salah satu alasan di bawah ini: a.
adanya bencana alam atau peperangan; atau b. adanya
keadaan terpaksa di luar kemampuan manusia; atau c. adanya
tindakan pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.”. Dalam
perkara dimaksud tidak terdapat fakta-fakta yang termasuk
dalam kategori unsur pasal 35 ayat (2) UUPLH tersebut
sehingga tidak ada “alasan pemaaf” bagi Tersangka Daryono,
Tersangka Rudy maupun Dr. Pawik Supriadi serta RSSA
Malang dalam melakukan perbuatan pidana pada perkara
dimaksud.
c) Pasal 35 ayat (3) UUPLH : “Dalam hal terjadi kerugian yang
disebabkan oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf c, pihak ketiga bertanggung jawab membayar ganti
rugi.”. Dalam perkara dimaksud, kerugian bukan disebabkan
pihak ketiga, justru disebabkan oleh pihak kesatu yaitu Dr.
Pawik Supriadi selaku yang memberi perintah dan pihak kedua
yaitu Tersangka Daryono dan Tersangka Rudy selaku yang
diberi perintah.
5) Berdasarkan analisis pasal 1 butir ke-24, pasal 35, pasal 45 dan
pasal 46 ayat (2) UUPLH tersebut diatas, maka penulis berpendapat
bahwa terhadap Dr. Pawik Supriadi maupun RSSA Malang dalam
kapasitas pertanggung jawaban pidana korporasi atas perkara
dimaksud dapat ditetapkan statusnya sebagai tersangka / pelaku
tindak pidana dengan penerapan pasal 43 ayat (1) UU RI No. 23
tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH).
14
b) Penerapan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam UU No. 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(UUPPLH) dapat dianalisis sebagai berikut :
1) Dalam pasal 1 butir ke-32 UUPPLH dinyatakan bahwa “Setiap orang
adalah orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbadan
hukum maupun yang tidak berbadan hukum”. Hal tersebut berarti
bahwa terdapat ketentuan yang menyatakan bahwa UUPPLH
menganut pendirian bahwa yang menjadi subyek atau pelaku tindak
pidana bukan hanya orang perseorangan (manusia atau natural
person), namun juga termasuk badan usaha, baik yang berbentuk
badan hukum maupun tidak berbadan hukum (legal person). Artinya,
menurut ketentuan tersebut, disamping posisi Dr. Pawik Supriadi
dapat dijadikan tersangka dalam kapasitas orang perseorangan
sebagaimana Tersangka Daryono dan Rudy, posisi RSSA Malang
juga dapat dijadikan sebagai subyek atau pelaku tindak pidana pada
perkara dimaksud dalam kerangka pertanggungjawaban pidana
korporasi karena RSSA Malang termasuk dalam kategori badan
usaha yang bentuknya tidak berbadan hukum.
2) Dalam pasal 88 UUPPLH dinyatakan bahwa “Setiap orang yang
tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3,
menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang
menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup
bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu
pembuktian unsur kesalahan.”. Berdasarkan ketentuan pasal
tersebut berarti bahwa UUPPLH menganut doctrine of strict liability
sehingga terhadap Tersangka Daryono, Tersangka Rudy, Dr. Pawik
Supriadi, baik dalam kapasitas orang perseorangan maupun sebagai
korporasi serta RSSA Malang sendiri yang juga sebagai korporasi
dapat secara mutlak dibebani pertanggungjawaban pidana
berdasarkan actus reus yang terbukti dari fakta-fakta hasil penyidikan
bahwa telah terjadi tindak pidana pencemaran lingkungan hidup
yang diakibatkan oleh perbuatan para pihak tersebut dalam
memperdagangkan limbah medis RSSA Malang. Sehingga dengan
berdasarkan pasal tersebut, unsur mens rea tidak perlu dibuktikan
lagi.
15
3) Dalam pasal 116 UUPPLH dinyatakan bahwa :
a) Ayat (1) : “Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan
oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan
sanksi pidana dijatuhkan kepada: a. badan usaha; dan/atau b.
orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana
tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan
dalam tindak pidana tersebut.”.
b) Ayat (2) : ”Apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang, yang
berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain
yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana
dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam
tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana
tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama.”.
Ketentuan pasal 116 UUPPLH dimaksud adalah terkait tentang
sistem pertanggungjawaban pidana korporasi yang dianut dalam
UUPLH yaitu memberlakukan pertanggungjawaban pidana korporasi,
baik terhadap pengurus maupun korporasi itu sendiri dimana
keduanya dianggap sebagai pelaku tindak pidana dan keduanya pula
yang harus memikul pertanggungjawaban pidana (Prof. Dr. Sutan
Remy Sjahdeini, SH, MH, dalam Pertanggungjawaban Pidana
Korporasi, 2007, hal. 59). Dalam perkara dimaksud berarti baik
terhadap Tersangka Daryono, Tersangka Rudy, Dr. Pawik Supriadi
dan RSSA Malang termasuk dalam kategori sebagai pelaku tindak
pidana dimaksud.
4) Dalam pasal 117 UUPPLH dinyatakan bahwa : “Jika tuntutan pidana
diajukan kepada pemberi perintah atau pemimpin tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf b, ancaman
pidana yang dijatuhkan berupa pidana penjara dan denda diperberat
dengan sepertiga.”. Pasal ini merupakan ketentuan tentang
persyaratan pemberatan hukuman pidana bagi pihak pemberi
perintah atau pemimpin dalam suatu tindak pidana, artinya dalam hal
ini terhadap Dr. Pawik Supriadi berpotensi dijatuhi pidana lebih berat
sepertiga dari ancaman pidana terhadap Tersangka Daryono
16
maupun Rudy jika nantinya terhadap Dr. Pawik Supriadi telah
ditetapkan statusnya sebagai tersangka dan diajukan ke pengadilan.
5) Dalam pasal 118 UUPPLH dinyatakan bahwa : “Terhadap tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf a,
sanksi pidana dijatuhkan kepada badan usaha yang diwakili oleh
pengurus yang berwenang mewakili di dalam dan di luar pengadilan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan selaku pelaku
fungsional.”. Pasal ini menyatakan tentang teknis sistem
pertanggungjawaban pidana korporasi apabila dijatuhkan kepada
badan usaha tertentu maka sanksi pidana bagi korporasi tersebut
diwakili oleh pengurus yang berwenang mewakili korporasi dimaksud
sehingga dalam perkara perdagangan limbah medis RSSA Malang
tersebut maka Dr. Pawik Supriadi selain dapat dijadikan tersangka
dalam kapasitas perorangan maupun korporasi, juga dapat mewakili
sebagai penerima sanksi pidana bagi RSSA Malang.
6) Berdasarkan analisis pasal 1 butir ke-32 dan pasal 88 UUPPLH,
maka dalam perkara dimaksud dapat diterapkan pasal 103 UUPLH,
yaitu : “Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 dan tidak
melakukan pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Pasal tersebut dapat
didakwakan terhadap Daryono dan Rudy pada saat persidangan
mengingat pasal yang dipersangkakan pada tahap penyidikan sudah
tidak berlaku. Demikian juga terhadap Dr. Pawik Supriadi, maka jika
akan dimulai penyidikan lanjutan atas perkara dimaksud, maka dapat
dipersangkakan pasal tersebut, baik dalam kapasitas perorangan
maupun korporasi. Begitu pun juga terhadap RSSA Malang selaku
badan usaha dapat dikenakan pasal tersebut.
III. KESIMPULAN
Tindakan tersangka Daryono dan Rudy yang melakukan perdagangan limbah
medis infeksius RSSA merupakan termasuk dalam kategori tindak pidana
lingkungan hidup sesuai dengan rumusan pasal 43 ayat (1) UUPLH. Dampak dari
perbuatan kedua tersangka tersebut terhadap lingkungan sekitar dan masyarakat
17
sungguh membahayakan dikarenakan pada limbah medis infeksius terdapat
kandungan kuman, bakteri bahkan virus yang merupakan sumber penyakit yang
membahayakan kesehatan manusia dan mengandung zat-zat kimia maupun bahan
radioaktif yang beresiko merusak lingkungan hidup.
Oleh karena itu diperlukan kontrol dari berbagai pihak yang terkait dalam upaya
pengelolaan limbah rumah sakit. Ketentuan berupa peraturan perundang-udangan
tidak akan berguna atau efektif manakala fungsi kontrol terhadapnya tidak
terlaksana. Dalam hal ini campur tangan pemerintah, masyarakat maupun elemen
Sistem Peradilan Pidana sangat dibutuhkan sehingga tidak terjadi lagi kasus-kasus
perdagangan limbah medis rumah sakit lainnya di kemudian hari.
Polri selaku penegak hukum yang memiliki wewenang penyidikan terhadap
tindak pidana lingkungan hidup harus dijalankan secara maksimal sehingga turut
memberikan sumbangsih dalam upaya pengelolaan lingkungan hidup. Dalam
menjalankan peran dimaksud perlu diperhatikan tentang karakteristik khusus dari
tindak pidana lingkungan hidup dimana dalam proses pembuktiannya melibatkan
sejumlah barang bukti yang mengandung bahan-bahan kimia dan sejenisnya serta
memerlukan teknis pembuktian yang akurat sehingga para pelaku tindak pidana
lingkungan hidup tidak dapat lolos dari jerat hukum.
Disamping itu, penyidik Polri seharusnya dapat melakukan penyidikan terhadap
suatu perkara secara lebih profesional dengan melakukan penyidikan terhadap
aspek pidana korporasi dalam suatu perkara tindak pidana lingkungan hidup.
Sehingga sebagaimana yang terjadi dalam perkara perdagangan limbah medis
RSSA Malang tersebut, dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana korporasi,
baik terhadap Dr. Pawik Supriadi selaku direktur RSSA Malang maupun terhadap
RSSA Malang sendiri. Pertanggungjawaban pidana secara korporasi tersebut
ditujukan agar pertanggungjawaban pidana tidak hanya dibebankan kepada orang
perseorangan sementara korporasinya sendiri tidak menanggung akibat dari actus
reus yang merugikan tersebut.
Jakarta, 20 Desember 2009Penulis
HANDIK ZUSENNO. MHS. 6877
18