BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Plexus brachialis adalah anyaman serat saraf yang berjalan dari tulang belakang C5-T1,
kmeudian melewati bagian leher dan ketiak, dan akhirnya ke seluruh lengan (atas dan
bawah). Serabut saraf yang ada akan didistribusikan ke berberapa bagian lengan. Trauma
pleksus brakialis sering terjadi pada penarikan lateral yang dipaksakan pada kepala dan leher,
selama persalinan bahu pada presentasi verteks atau bila lengan diekstensikan berlebihan
diatas kepala pada presentasi bokong serta adanya penarikan berlebihan pada bahu.
Luka pada pleksus brakialis mempengaruhi saraf memasok bahu, lengan lengan bawah, atas
dan tangan, menyebabkan mati rasa, kesemutan, nyeri, kelemahan, gerakan terbatas, atau
bahkan kelumpuhan ekstremitas atas. Meskipun cedera bisa terjadi kapan saja, banyak cedera
pleksus brakialis terjadi selama kelahiran. Bahu bayi mungkin menjadi dampak selama proses
persalinan, menyebabkan saraf pleksus brakialis untuk meregang atau robek. Klasifikasi
trauma fleksus brakialis dibedakan menjadi dua yaitu paralisis erb-duchene dan paralysis
klumpke.
1
BAB II
PEMBAHASAN
II.1 Anatomi Plexus Brachialis
Ramus anterior saraf spinal C5 sampai T1 bergabung membentuk pleksus brakialis. C5 dan
C6 berbgabung membentuk trunk superior, C7 membentuk trunk medial, dan C8 dan T1
bergabung membentuk trunk inferior. Cord medial merupakan divisi anterior dari trunk
inferior. Divisi anterior yang berasal dari upper dan middle trunk membentuk cord
lateral.Divisi posterior berasal 3 trunk membentuk posterior cord. Dari ketiga cord tersebut
keluar cabang saraf yang menginervasi anggota gerak atas antara lain n muskulokutaneus
berasal dari cord lateral, n medianus berasal dari cord lateral dan medial, n radialis dari cord
posterior, n aksilaris dari cord posterior dan n ulnaris dari cord medial.
Long thorasic dan dorsal scapular berasal langsung dari root saraf spinal. Hanya n
suprascapular (C5 C6) yang berasal dari trunk.
Saraf spinal keluar dari foramina vertebralis dan melewati scalenus anterior dan medial,
kemudian antara klavikula dan rusuk pertama didekat coracoid dan caput humerus. Pleksus
pada bagian praosimal bergabung di prevertebral dan oleh axillary sheath di mid arm.
II.2 Definisi
Pengertian fleksus brachialis dan trauma fleksus brachialis
Fleksus brakialis adalah sebuah jaringan saraf tulang belakang yang berasal dari
belakang leher, meluas melalui aksila (ketiak), dan menimbulkan saraf untuk ekstremitas
atas. Pleksus brakialis dibentuk oleh penyatuan bagian dari kelima melalui saraf servikal
kedelapan dan saraf dada pertama, yang semuanya berasal dari sumsum tulang belakang.
2
Serabut saraf akan didistribusikan ke beberapa bagian lengan. Jaringan saraf
dibentuk oleh cervical yang bersambungan dengan dada dan tulang belakang urat dan
pengadaan di lengan dan bagian bahu.
Trauma lahir pada pleksus brakialis dapat dijumpai pada persalinan yang
mengalami kesukaran dalam melahirkan kepala atau bahu. Pada kelahiran presentasi verteks
yang mengalami kesukaran melahirkan bahu, dapat terjadi penarikan balik cukup keras ke
lateral yang berakibat terjadinya trauma di pleksus brakialis. Trauma lahir ini dapat pula
terjadi pada kelahiran letak sungsang yang mengalami kesukaran melahirkan kepala bayi.
Gejala klinis trauma lahir pleksus brakialis berupa gangguan fungsi dan posisi otot
ekstremitas atas. Gangguan otot tersebut tergantung dari tinggi rendahnya serabut syaraf
pleksus braklialis yang rusak dan tergantung pula dari berat ringannya kerusakan serabut
syaraf tersebut. Paresis atau paralisis akibat kerusakan syaraf perifer ini dapat bersifat
temporer atau permanen. Hal ini tergantung kerusakan yang terjadi pada serabut syaraf di
pangkal pleksus brakialis yang akut berupa edema biasa, perdarahan, perobekan atau
tercabutnya serabut saraf.
Sesuai dengan tinggi rendahnya pangkal serabut saraf pleksus brakialis, trauma
lahir pada saraf tersebut dapat dibagi menjadi paresis/paralisis (1) paresis/paralisis Duchene-
Erb (C.5-C.6) yang tersering ditemukan (2) paresis/paralisi Klumpke (C.7.8-Th.1) yang
jarang ditemukan, dan (3) kelumpuhan otot lengan bagian dalam yang lebih sering ditemukan
dibanding dengan trauma Klumpke.
Anatomi dari anyaman ini, dibagi menjadi : Roots, Trunks, Divisions, Cords, dan
Branches maka cedera di masing-masing level ini akan memberikan cacat/trauma yang
berbeda-beda.
1. Roots : berasal dari akar saraf di leher dan thorax pada level C5-C8, T1
2. Trunks : dari Roots bergabung menjadi 3 thrunks
3. Divisions : dari 3 thrunks masing-masing membagi 2 menjadi 6 division
4. Cords : 6 division tersebut bergabung menjadi 3 cords
5. Branches : cords tersebut bergabung menjadi 5 branches, yaitu : n.musculocutaneus,
n.axilaris,n.radialis,n. medianus, dan n.ulnaris
Trauma pada pleksus brakialis yang dapat menyebabkan paralisis lengan atas
dengan atau tanpa paralisis lengan bawah atau tangan, atau lebih lazim paralisis dapat terjadi
pada seluruh lengan. Trauma pleksus brakialis sering terjadi pada penarikan lateral yang
dipaksakan pada kepala dan leher, selama persalinan bahu pada presentasi verteks atau bila
3
lengan diekstensikan berlebihan diatas kepala pada presentasi bokong serta adanya penarikan
berlebihan pada bahu.
Luka pada pleksus brakialis mempengaruhi saraf memasok bahu, lengan lengan
bawah, atas dan tangan, menyebabkan mati rasa, kesemutan, nyeri, kelemahan, gerakan
terbatas, atau bahkan kelumpuhan ekstremitas atas. Meskipun cedera bisa terjadi kapan saja,
banyak cedera pleksus brakialis terjadi selama kelahiran. Bahu bayi mungkin menjadi
dampak selama proses persalinan, menyebabkan saraf pleksus brakialis untuk meregang atau
robek. Secara garis besar macam-macam plesksus brachialis yaitu :
a. Paralisis Erb-Duchene
Kerusakan cabang-cabang C5 – C6 dari pleksus brakialis menyebabkan
kelemahan dan kelumpuhan lengan untuk fleksi, abduksi, dan memutar lengan keluar serta
hilangnya refleks biseps dan morro. Gejala pada kerusakan fleksus ini, antara lain hilangnya
reflek radial dan biseps, refleks pegang positif. Pada waktu dilakukan abduksi pasif, terlihat
lengan akan jatuh lemah di samping badan dengan posisi yang khas.
Pada trauma lahir Erb, perlu diperhatikan kemungkinan terbukannya pula serabut
saraf frenikus yang menginervasi otot diafragma. Secara klinis di samping gejala kelumpuhan
Erb akan terlihat pula adanya sindrom gangguan nafas. Terjadi waiters-tip position yaitu
rotasi medial pada sendi bahu menyebabkan telapak tangan mengarah ke posterior.
Lesi pada kelumpuhan Erb terjadi akibat regangan atau robekan pada radiks
superior pleksus brachialis yang mudah mengalami tegangan ekstrim akibat tarikan kepala ke
lateral, sehingga dengan tajam memfleksikan pleksus tersebut ke arah salah satu bahu.
Mengingat traksi dengan arah ini sering dilakukan untuk melahirkan bahu pada presentasi
verteks yang normal, paralisis Erb dapat tejadi pada persalinan yang terlihat mudah. Karena
itu, dalam melakukan ekstraksi kedua bahu bayi, harus berhati-hati agar tidak melakukan
flaksi lateral leher yang berlebihan. Yang paling sering terjadi, pada kasus dengan persentasi
kepala, janin yang menderita paralisis ini memiliki ukuran khas abnormal yang besar, yaitu
denga berat 4000 gram atau lebih.
Penanganan pada kerusakan fleksus ini, antara lain meletakkan lengan atas dalam
posisi abduksi 900 dalam putaran keluar, siku dalam fleksi 900 dengan supinasi lengan bawah
dan ekstensi pergelangan tangan, serta telapak tangan menghadap depan. Kerusakan ini akan
sembuh dalam waktu 3-6 bulan. Penanganan terhadap trauma pleksus brakialis ditujukan
untuk mempercepat penyembuhan serabut saraf yang rusak dan mencegah kemungkinan
komplikasi lain seperti kontraksi otot. Upaya ini dilakukan antara lain dengan jalan
4
imobilisasi pada posisi tertentu selama 1 – 2 minggu yang kemudian diikuti program latihan.
Pada trauma ini imobilisasi dilakukan dengan cara fiksasi lengan yang sakit dalam posisi
yang berlawanan dengan posisi karakteristik kelumpuhan Erb.
b. Paralisis Klumpke
Kerusakan cabang-cabang C7 – Th1 pleksus brakialis menyebabkan kelemahan
lengan otot-otot fleksus pergelangan, maka bayi tidak dapat mengepal. Secara klinis terlihat
refleks pegang menjadi negatif, telapak tangan terkulai lemah, sedangkan refleksi biseps dan
radialis tetap positif. Jika serabut simpatis ikut terkena, maka akan terlihat sindrom Horner
yang ditandai antara lain oleh adanya gejala prosis, miosis, enoftalmus, dan hilangnya
keringat di daerah kepala dan muka homolateral dari trauma lahir tersebut. Penanganan pada
kerusakan fleksus brachialis adalah melakukan fisioterapi. Kerusakan akan sembuh dalam
waktu 3-6 minggu. Ibu dari bayi harus diingatkan agar berhati-hati ketika mengangkat bayi
sehingga trauma tidak bertambah parah. Dalam minggu pertama, membalut lengan untuk
mengurangi rasa nyeri. Bila ibu dapat merawat bayinya dan tidak ada masalah lain, bayi bisa
dipulangkan dan menganjurkan ibu untuk kunjungan ulang 1minggu lagi untuk melihat
kondisi bayi dan latihan pasif. Melakukan tindak lanjut setiap bulan dan menjelaskan bahwa
sebagian besar kasus sembuh 6-9 bulan.
c. Paralisis otot lengan bagian dalam
Kerusakan terjadi pada serabut pleksus brakialis lebih luas dan lebih dalam, yang
berakibat fungsi ekstremitas atas akan hilang sama sekali. Ekstremitas atas akan terkulai
lemah, sedangkan semua refleks otot menghilang. Pada keadaan ini sering dijumpai adanya
defisit sensoris pada lengan. Pada kasus trauma pleksus brakialis, pemeriksaan radiologik
dada dan lengan atas dapat dianjurkan untuk menyingkirkan kemungkinan adanya fraktur
klavikula atau fraktur lengan atas, di samping untuk mencari komplikasi lain seperti
kelumpuhan otot diafragma.
Prognosis trauma pleksus brakialis tergantung pada berat ringannya trauma
tersebut. Pada trauma ringan berupa edema atau perdarahan kecil dan tidak terdapat
kerusakan serabut saraf, maka gangguan fungsi lengan hanya bersifat sementara. Fungsi otot
akan kembali normal dalam beberapa hari setelah edema atau perdarahan lokal hilang. Pada
trauma lahir yang lebih berat, yang menyebabkan rusaknya atau tercabutnya serabut saraf dan
rusaknya selaput saraf, secara klinis akan dapat menimbulkan paralisis yang menetap. Pada
kasus demikian perlu dilakukan pemeriksaan neurologik. Usaha pengobatan fisioterapi atau
tindakan operatif terhadap kerusakan berat serabut saraf ini, agaknya belum menunjukkan
5
hasil yang memuaskan. Paralisis ini bersifat sementara. Ada empat jenis cedera pleksus
brakialis:
a. Avulsion, jenis yang paling parah, di mana saraf rusak di tulang belakang;
b. Pecah, di mana saraf robek tetapi tidak pada lampiran spinal;
c. Neuroma, di mana saraf telah berusaha untuk menyembuhkan dirinya sendiri, tetapi
jaringan parut telah berkembang di sekitar cedera, memberi tekanan pada saraf dan
mencegah cedera saraf dari melakukan sinyal ke otot-otot.
d. Neurapraxia atau peregangan, di mana saraf telah rusak tetapi tidak robek. Neurapraxia
adalah jenis yang paling umum dari cedera pleksus brakialis.
II.3 Etiologi
Ada banyak kemungkinan penyebab lesi pleksus brakialis. Trauma adalah penyebab yang
paling sering, selain itu juga kompresi lokal seperti pada tumor, idiopatik, radiasi, post
operasi dan cedera saat lahir.
Etiologi trauma fleksus brakhialis pada bayi baru lahir. Trauma fleksus brakhialis pada
bayi dapat terjadi karena beberapa faktor antara lain:
1) Faktor bayi sendiri : makrosomia, presentasi ganda, letak sunsang, distosia bahu,
malpresentasi, bayi kurang bulan
2) Faktor ibu : ibu sefalo pelvic disease (panggul ibu yang sempit), umur ibu yang sudah tua,
adanya penyulit saat persalinan
3) faktor penolong persalinan : tarikan yang berlebihan pada kepala dan leher saat menolong
kelahiran bahu pada presentasi kepala, tarikan yang berlebihan pada bahu pada presentasi
bokong.
II.4 Patofisiologi
Bagian cord akar saraf dapat terjadi avulsi atau pleksus mengalami traksi atau kompresi.
Setiap trauma yang meningkatkan jarak antara titik yang relatif fixed pada prevertebral fascia
dan mid fore arm akan melukai pleksus.
6
Traksi dan kompresi dapat juga menyebabkan iskemi, yang akan merusak pembuluh darah.
Kompresi yang berat dapat menyebabkan hematome intraneural, dimana akan menjepit
jaringan saraf sekitarnya.
Bagian cord akar saraf dapat terjadi avulsi atau pleksus mengalami traksi atau
kompresi. Setiap trauma yang meningkatkan jarak antara titik yang relatif fixed pada
prevertebral fascia dan mid fore arm akan melukai pleksus.
Traksi dan kompresi dapat juga menyebabkan iskemi, yang akan merusak pembuluh
darah. Cedera pleksus brakialis dianggap disebabkan oleh traksi yang berlebihan diterapkan
pada saraf. Cedera ini bisa disebabkan karena distosia bahu, penggunaan traksi yang
berlebihan atau salah arah, atau hiperekstensi dari alat ekstraksi sungsang. Mekanisme ukuran
panggul ibu dan ukuran bahu dan posisi janin selama proses persalinan untuk menentukan
cedera pada pleksus brakialis. Secara umum, bahu anterior terlibat ketika distosia bahu,
namun lengan posterior biasanya terpengaruh tanpa adanya distosia bahu. Karena traksi yang
kuat diterapkan selama distosia bahu adalah mekanisme yang tidak bisa dipungkuri dapat
menyebabkan cedera, cedera pleksus brakialis
Kompresi yang berat dapat menyebabkan hematome intraneural, dimana akan
menjepit jaringan saraf sekitarnya.
II.5 Klasifikasi Lesi
1. Lesi Upper Plexus
Erb-Duchenne Paralysis (C5 C6)
Kelemahan atau paralisis pada bahu dan bicep, kadang disertai trauma pada root C7 yang
menyebabkan
paralisa lengan bawah.
2. Lesi Lower Plexus
Dejerine-Klumpke’s Paralysis (C8 T1)
7
Kadang disertai kerusakan root C7, paralisis pada otot intrisik tangan dan fleksor jari yang
menyebabkan kehilangan fungsi tangan dan lengan bawah. Sering terjadi sympathetic palsy –
Horner’s syndrome
3. Lesi Total Brachial
Erb-Klumpke Paralysis (C5 – T1)
Komplet paralisis dan anestesi dari lengan
4. Lesi Posterior Cord
Mengenai root C5 C6 C7 C8, paralisis pada deltoid, ekstensor elbow, ekstensor wrist,
extensor fingers.
II.6 Gambaran Klinis
Terdapat riwayat trauma yang melibatkan ekstensi servikal, rotasi, lateral bending, dan
depresi atau hiperabduksi dari bahu. Pasien juga mengeluhkan kelemahan, kehilangan
sensori, parasetesia pada lengan.
Mekanisme trauma dapat berupa tarikan, luka tembus, hantaman atau kompresi
Pemeriksaan dilakukan pada tulang leher, bahu, kalvikula, skapula serta sendi untuk luas
gerak sendi, alignment, dan tender point.
Pemeriksaan neurologis meliputi pemeriksaan motorik, pemeriksaan sensorik dan reflek
tendon dalam
Pemeriksaan sensorik dapat berupa light touch sensation, pinprick sensation, 2-point
discrimination, vibrasi dan proprioseptif
Evaluasi juga dilakukan untuk memeriksa joint instability, dan winging skapula, pola atrofi
otot dibandingkan dengan sisi yang sehat, tanda-tanda sindrom Horner, serta pemeriksaan
untuk spinal cord dan brain injury.
8
II.7 Diagnosa Banding
Guilain-Barre Syndrome
Multiple Sclerosis
Spinal Cord Injury
Traumatic Brain Injury
II.8 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Radiografi
1. Foto vertebra servikal untuk mengetahui apakah ada fraktur pada vertebra servikal
2. Foto bahu untuk mengetahui apakah ada fraktur skapula, klavikula atau humerus.
3. Foto thorak untuk melihat disosiasi skapulothorak serta tinggi diafragma pada kasus
paralisa saraf phrenicus.
EMG – NVC
1. Pemeriksaan NCV untuk mengetahui system motorik dan sensorik, kecepatan hantar saraf
serta latensi distal.
SNAPs (sensory nerve action potentials) berguna untuk membedakan lesi preganglionic atau
lesi postganglionic. Pada lesi postganglionic, SNAPs tidak didapatkan tetapi positif pada lesi
preganglionic.
2. Pemeriksaan EMG dengan jarum pada otot dapat tampak fibrilasi, positive sharp wave
(pada lesi axonal), amplitudo dan durasi.
SSEP (Somatosensory evoked potensials)
Berguna untuk membedakan lesi proksimal misalnya pada root avulsion
MRI dan CT SCAN
Untuk melihat detail struktur anatomi dan jaringan lunak saraf perifer.
9
II.9 Penatalaksanaan
BEDAH
Regangan dan memar pada pleksus brakialis diamati selama 4 bulan, bila tidak ada
perbaikan, pleksus harus dieksplor. Nerve transfer (neurotization) atau tendon transfer
diperlukan bila perbaikan saraf gagal.
1. Pembedahan Primer
Pembedahan dengan standart microsurgery dengan tujuan memperbaiki injury pada plexus
serta membantu reinervasi. Teknik yang digunakan tergantung berat ringan lesi.
1. Neurolysis : Melepaskan constrictive scar tissue disekitar saraf.
2. Neuroma excision : Bila neuroma besar, harus dieksisi dan saraf dilekatkan kembali
dengan teknik end-to-end atau nerve grafts
3. Nerve grafting: Bila “gap” antara saraf terlalu besar, sehingga tidak mungkin dilakukan
tarikan. Saraf yang sering dipakai adalah n suralis, n lateral dan medial antebrachial
cutaneous, dan cabang terminal sensoris pada n interosseus posterior
4. Neurotization : Neurotization pleksus brachialis digunakan umumnya pada kasus avulsi
pada akar saraf spinal cord. Saraf donor yang dapat digunakan : hypoglossal nerve, spinal
accessorynerve,phrenic nerve, intercostal nerve, long thoracic nerve dan ipsilateral C7 nerve.
Intraplexual neurotization menggunakan bagian dari root yang masih melekat pada spinal
cord sebagai donor untuk saraf yang avulsi.
2. Pembedahan Sekunder
Tujuan untuk meningkatkan seluruh fungsi extremitas yang terkena. Ini tergantung saraf yang
terkena. Prosedurnya berupa tendon transfer, pedicled muscle transfers, free muscle transfers,
joint fusions and rotational, wedge or sliding osteotomies.
10
REHABILITASI PASKA TRAUMA PLEKSUS BRAKIALIS
Paska operasi Nerve repair dan graft.
Setelah pembedahan immobilisasi bahu dilakukan selama 3-4 minggu. Terapi rehabilitasi
dilakukan setelah 4 minggu paska operasi dengan gerakan pasif pada semua sendi anggota
gerak atas untuk mempertahankan luas gerak sendi. Stimulasi elektrik diberikan pada minggu
ketiga sampai ada perbaikan motorik. Pasien secara terus menerus diobservasi dan apabila
terdapat tanda-tanda perbaikan motorik, latihan aktif bisa segera dimulai. Latihan
biofeedback bermanfaat bagi pasien agar otot-otot yang mengalami reinnervasi bisa
mempunyai kontrol yang lebih baik.
Paska operasi free muscle transfer
Setelah transfer otot, ekstremitas atas diimobilisasi dengan bahu abduksi 30, fleksi 60 dan
rotasi internal, siku fleksi 100. Pergelangan tangan posisi neutral, jari-jari dalam posisi fleksi
atau ekstensi tergantung jenis rekonstruksinya.
Ekstremitas dibantu dengan arm brace dan cast selama 8 minggu, selanjutnya dengan sling
untuk mencegah subluksasi sendi glenohumeral sampai pulihnya otot gelang bahu.
Statik splint pada pergelangan tangan dengan posisi netral dan ketiga sendi-sendi dalam
posisi intrinsik plus untuk mencegah deformitas intrinsik minus selama rehabilitasi.
Dilakukan juga latihan gerak sendi gentle pasif pada sendi bahu, siku dan semua jari-jari,
kecuali pada pergelangan tangan.
Pemberian elektro stimulasi pada transfer otot dan saraf yang di repair dilakukan pada target
otot yg paralisa seperti pada otot gracilis, tricep brachii, supraspinatus dan infraspinatus.
Elektro stimulasi intensitas rendah diberikan mulai pada minggu ketiga paska operasi dan
tetap dilanjutkan sampai EMG menunjukkan adanya reinervasi.
Enam minggu paska operasi selama menjaga regangan berlebihan dari jahitan otot dan
tendon, dilakukan ekstensi pergelangan tangan dan mulai dilatih pasif ekstensi siku. Sendi
metacarpal juga digerakkan pasif untuk mencegah deformitas claw hand.
Ortesa fungsional digunakan untuk mengimobilisasi ekstremitas atas. Dapat digunakan tipe
airbag (nakamura brace) untuk imobilisasi sendi bahu dan siku.
11
Sembilan minggu paska operasi, ortesa airbag dilepas dan ortesa elbow sling dipakai untuk
mencegah subluksasi bahu.
Setelah Reinervasi
Setelah EMG menunjukkan reinervasi pada transfer otot, biasanya 3 - 8 bulan paska operasi,
EMG biofeedback dimulai untuk melatih transfer otot menggerakkan siku dan jari.
Teknik elektromiografi feedback di mulai untuk melatih otot yang ditransfer untuk
menggerakkan siku dan jari dimana pasien biasanya kesulitan mengkontraksikan ototnya
secara efektif.
Pada alat biofeedback terdapat level nilai ambang yang dapat diatur oleh terapis atau pasien
sendiri. Saat otot berkontraksi pada level ini, suatu nada berbunyi, layar osciloskop akan
merekam respons ini. Level ini dapat diatur sesuai tujuan yang akan dicapai.
Lempeng elektroda ditempelkan pada otot, kemudian pasien diminta untuk mengkontraksikan
ototnya. Pada saat permulaan biasanya EMG discharge sulit didapatkan, tetapi dengan latihan
yang kontinu, EMG discharge otot akan mulai tampak.
Latihan EMG biofeedback dilakukan 4 kali seminggu dan tiap sesi selama 10 - 70 menit, dan
latihan segera dihentikan bila ada tanda-tanda kelelahan..
Efektivitas latihan biofeedback tidak dapat dicapai bila pasien tidak mempunyai motivasi dan
konsentrasi yang cukup.
Reedukasi otot diindikasikan saat pasien menunjukkan kontraksi aktif minimal yang tampak
pada otot dan group otot. Tujuan reedukasi otot untuk pasien adalah mengaktifkan kembali
kontrol volunter otot. Ketika pasien bekerja dengan otot yang lemah, intensitas aktivitas
motor unit dan frekuensi kontraksi otot akan meningkat. Waktu sesi terapi seharusnya pendek
dan dihentikan saat terjadi kelelahan dengan ditandai penurunan kemampuan pasien
mencapai tingkat yang diinginkan.
Pemanasan, ultrasound diatermi, TENS, interferensial stimulasi, elektro stimulasi dapat
dipergunakan sesuai indikasi. Dilakukan juga penguatan otot-otot leher dan koreksi imbalans
otot-otot ekstremitas atas.
12
Terapi Okupasi
Terapi okupasi terutama diperlukan untuk :
Memelihara luas gerak sendi bahu, membuat ortesa yg tepat untuk membantu fungsi tangan,
siku dan lengan, mengontrol edema defisit sensoris.
Melatih kemampuan untuk menulis, mengetik, komunikasi.
Menggunakan teknik-teknik untuk aktivitas sehari-hari, termasuk teknik menggunakan satu
lengan, menggunakan peralatan bantu serta latihan penguatan dengan mandiri.
Terapi Rekreasi
Terapi ini sebagai strategi dan aktivitas kompensasi sehingga dapat menggantikan berkurang
dan hilangnya fungsi ekstremitas.
Ortesa pada paska Trauma Pleksus Brakialis
Pada umumnya penderita dengan injury pleksus brakialis akan menggunakan lengan disisi
kontralateral untuk beraktivitas. Pada beberapa kasus, penderita memerlukan kedua tangan
untuk melakukan aktivitas yang lebih kompleks. Untuk itu orthosis didesain sesuai kebutuhan
penderita
Orthosis untuk penderita injury pleksus brakialis dibuat terutama untuk mensuport bagian
bahu dan siku
13
Sedangkan untuk prehension tangan, umumnya terbatas pada metode kontrolnya sehingga
tidak banyak didesain. Beberapa orthosis digerakkan menggunakan sistem myoelektrik,
sehingga penderita mampu melakukan gerakan pada pergelangan tangan dan pinch pada jari-
jarinya
Orthosis ini dapat membantu penderita paska trauma untuk melakukan aktivitas sehari-hari
seperti makan dan minum dari gelas atau botol, menyisir rambut, menggosok gigi, menulis
menggambar, membuka dan menutup pintu, membawa barang-barang.
14
II.10 Komplikasi
a. Kontraksi otot yang abnormal (kontraktur)atau pengencangan otot-otot, yang mungkin
menjadi permanen pada bahu, siku atau pergelangan tangan
b. Permanen, parsial, atau total hilangnya fungsi saraf yang terkena, menyebabkan
kelumpuhan lengan atau kelemahan lengan
15
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Plexus brachialis adalah anyaman serat saraf yang berjalan dari tulang belakang C5-T1,
kmeudian melewati bagian leher dan ketiak, dan akhirnya ke seluruh lengan (atas dan
bawah). Serabut saraf yang ada akan didistribusikan ke berberapa bagian lengan. Trauma
pleksus brakialis sering terjadi pada penarikan lateral yang dipaksakan pada kepala dan leher,
selama persalinan bahu pada presentasi verteks atau bila lengan diekstensikan berlebihan
diatas kepala pada presentasi bokong serta adanya penarikan berlebihan pada bahu.
Luka pada pleksus brakialis mempengaruhi saraf memasok bahu, lengan lengan bawah,
atas dan tangan, menyebabkan mati rasa, kesemutan, nyeri, kelemahan, gerakan terbatas, atau
bahkan kelumpuhan ekstremitas atas. Meskipun cedera bisa terjadi kapan saja, banyak cedera
pleksus brakialis terjadi selama kelahiran. Bahu bayi mungkin menjadi dampak selama proses
persalinan, menyebabkan saraf pleksus brakialis untuk meregang atau robek. Klasifikasi
trauma fleksus brakialis dibedakan menjadi dua yaitu paralisis erb-duchene dan paralysis
klumpke.
16
DAFTAR PUSTAKA
Chusid J.G., Neuroanatomi korelatif dan Neurologi fungsional, Bagian satu, Gadjah
mada University Press, 1990, p. 208 – 26.
Churchill Livingstone, NewYork, 1986, p. 430 – 7.
deGroot J., ed : Sandy Qlintang, dr., Neuroanatomi korelatif, edisi 21, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta, 1997, p. 300 – 5.
Hein, H.A., Brachial Plexus Palsy : A Perspective on C urrent Management, available
from: www.virtualhospital.com , last updated : September 2003.
http://id.wikipedia.org/wiki/Plexus_brachialis.
Knecht C.D., Raffe M.R., Disease of the Brachial Plexus in : Textbook of Small
Animal Orthophaedics, available from: www.inviso.com , taken on January 29, 2005.
Lindsay, K.W., The Brachial Plexus Sindrome in : Neurology and Neurosurgery
illustrated.
Mardjono, M. Sidharta, P. 2008. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: PT. Dian Rakyat.
Netter, F.H; Interactive Atlas of Clinical Anatomy, DxR Development Group Inc.
1997-1998.
Shenaq S.M., Hand, Brachial Plexus Surgery, available from : www.emedicine.com ,
last updated : October 7, 2002, taken on January 29, 2005
17