Laporan Penelitian
LEMBAGA PENELITIAN DAN
PENGEMBANGAN BADAN WAKAF
INDONESIA (BWI) Bekerjasama dengan
LEMBAGA PENELITIAN UIN SYARIF
HIDAYATULLAH JAKARTA
Badan Wakaf Indonesia (BWI) Bekerjasama dengan
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2012
POTENSI WAKAF PRODUKTIF DI DKI JAKARTA
ii
Laporan Penelitian
POTENSI WAKAF PRODUKTIF
DI DKI JAKARTA
Tim Peneliti:
Dr. Amelia Fauzia
Emi Ilmiah, MA
Prof. Dr. Uswatun Hasanah
Badan Wakaf Indonesia (BWI)
Bekerjasama dengan
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2012
iii
RINGKASAN
Penelitian ini adalah studi mengenai potensi wakaf produktif di Jakarta. Penelitian
ini membahas 1) gambaran umum mengenai kondisi wakaf di Jakarta, 2) sejauh
mana pengelolaan aset tanah wakaf sudah diproduktifkan, dan 3) seberapa besar
potensi wakaf produktif dilihat dari potensi aset dan dari potensi nadzir.
Walaupun Jakarta memiliki potensi besar dari sisi geografis, demografis dan
ekonomi, namun studi ini melihat bahwa wakaf di Jakarta secara umum tidak jauh
berbeda dengan perkembangan wakaf di daerah lain di Indonesia, yaitu masih jauh
dari pengelolaan secara produktif. Terlebih lagi 87% dari total 5.661 tanah wakaf
(tahun 2008) di Jakarta dalam bentuk rumah ibadah yang bergantung dari dana
sedekah. Wakaf yang sudah masuk kategori produktif pun belum maksimal.
Penelitian ini merupakan studi kualitatif dengan pendekatan sosiologis dan
menggunakan metode studi kasus. Studi ini mengambil 24 sampel yang diseleksi
secara purposif, yaitu yayasan wakaf yang memiliki aset besar dan berpotensi untuk
dikembangkan secara produktif. Data didapat melalui wawancara mendalam dan
observasi dengan nadzir dan penerima manfaat wakaf. Studi ini menggunakan teori
modal sosial.
Studi ini menemukan empat tipelogi wakaf produktif: (1) aset besar dengan
potensi nadzir tinggi; (2) aset besar dengan potensi nadzir cukup; (3) aset kecil
dengan potensi nadzir tinggi, dan (4) potensi sangat rendah atau tidak
mengembangkan wakaf produktif. Studi ini menemukan bahwa perkembangan
iv
wakaf produktif sangat terkait dengan besarnya aset wakaf, kapasitas nadzir, dan
modal sosial seperti pemahaman dan kepercayaan (trust). Gerakan pengembangan
wakaf produktif harus mempertimbangan ketiga aspek tersebut.
v
PENGANTAR
Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran terkini tentang pengelolaan
tanah wakaf di Jakarta, kendala yang dihadapi, potensi yang dimiliki dan
kemungkinan untuk dimanfaatkan dan dikembangkan secara produktif atau –jika
sudah produktif bisa-- lebih produktif lagi.
Penelitian ini mengangkat tema wakaf produktif. Istilah “wakaf produktif”
bisa dianggap kurang tepat jika melihat konsep wakaf itu sendiri yang sebenarnya
adalah pengelolaan secara produktif suatu aset yang manfaatnya digunakan untuk
tujuan sosial dan kedermawanan. Konsep ini terlihat pada definisi wakaf dalam
kitab-kitab fikih dan juga dalam praktek. Misalnya pada masa Nabi Muhammad ada
wakaf kebun di Khaibar milik Umar yang hasil dari kebun tersebut diberikan untuk
sedekah kepada masyarakat miskin dan termasuk untuk membebaskan budak.1 Di
Mesir pada masa Mamluk banyak wakaf aset komersial seperti rumah, pertanian,
peternakan, dan budak, yang keuntungannya untuk sedekah sosial termasuk untuk
operasional lembaga pendidikan dan gaji guru di Mesir, bahkan untuk menyediakan
kiswah Ka’bah, dan mengurus jenazah di Mekkah dan Madinah.2 Walau dalam
prakteknya ada wakaf yang berupa aset bisnis komersial dan ada pula berupa aset
fasilitas umum3, bisa dikatakan bahwa konsep wakaf itu sendiri memang sudah
memiliki implikasi produktif.
1 Sahih Muslim, hadith no 4006.
2 Amelia Fauzia, “Faith and the State A History of Islamic Philanthropy in Indonesia”,
Disertasi doktoral, Universitas Melbourne, 2008, hal 52. 3 Doris Behrens-Abouseif, Egypt’s Adjustment to Ottoman Rule Institutions, Waqf and
Architecture in Cairo (16th
and 17th
Centuries), (Leiden: EJ Brill, 1994), h. 90.
vi
Akan tetapi perkembangan praktek wakaf di Indonesia –termasuk Asia
Tenggara-- tidaklah seproduktif seperti di dunia Islam, di mana mayoritas dalam
bentuk tanah dan mayoritas dipergunakan untuk masjid dan mushalla. Karena itulah
muncul gerakan untuk mengembangkan wakaf produktif. Gerakan ini menguat
setelah Reformasi dan dimotori oleh para akademisi Muslim.4 Pemikiran dan upaya
mengembangkan wakaf produktif terlihat juga diadopsi oleh Badan Wakaf
Indonesia5 serta Kementerian Agama RI.
6
Oleh karena itu istilah “wakaf produktif” harus dilihat dalam konteks usaha
pengarusutamaan (mainstreaming) pengelolaan wakaf ke arah yang produktif. Di
Indonesia bentuk wakaf produktif yang cukup konvensional dan dipraktekkan
sebelum masa Kolonial Belanda adalah wakaf tanah sawah yang hasil
keuntungannya untuk membiayai operasional masjid dan untuk tujuan sosial lain.7
Namun jumlahnya kecil dan mungkin tidak bertambah signifikan sejak masa
4 Salah satu akademisi yang cukup aktif adalah Uswatun Hasanah, profesor kajian Islam dari
Universitas Indonesia, yang merupakan salah satu perumus Undang-undang Wakaf dan pembentukan
Badan Wakaf Indonesia. 5 Agustus 2008 BWI mencanangkan gerakan wakaf produktif dan juga seminar wakaf
produktif. Selain itu, peraturan BWI dan publikasi BWI didominasi dengan perspektif wakaf
produktif. Misalnya, Suparman Ibrahim dan Nani Al Muin, "Potensi Memproduktifkan Tanah Wakaf
di Indonesia", Jurnal Al-Awqaf vol 1V no 02 Juli 2011, h. 1-18; Uswatun Hasanah, “Wakaf Produktif
untuk Perumahan Rakyat”, Website Badan Wakaf Indonesia, 27 Mei 2011, URL:
http://bwi.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=771%3Awakaf-produktif-untuk-
perumahan-rakyat&catid=27%3Aopini&Itemid=137&lang=in ; “Mewujudkan Wakaf Produktif di
Indonesia” [Wawancara KH Tolchah Hasan], Website BWI, 01 Februari 2011,
http://pda.bwi.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=727%3Amewujudkan-wakaf-
produktif-di-indonesia&catid=1%3Aberitawakaf&Itemid=109&lang=ar; Tolchah Hasan, “Diskursus
Nazir Wakaf Produktif”, Website BWI, 16 September 2011,
http://bwi.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=828:diskursus-nazhir-wakaf-
produktif&catid=27:opini&Itemid=137&lang=ar; dan M. Cholil Nafis, “Reaktualisasi Ajaran
Wakaf”, dalam Website BWI,
http://bwi.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=637%3Areaktualisasi-ajaran-
wakaf&catid=27%3Aopini&Itemid=137&lang=in. 6 Lihat misalnya Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Direktorat Pemberdayaan
Wakaf, Model Pengembangan Wakaf Produktif, (Jakarta: Departemen Agama, 2008). 7 Untuk praktek tanah wakaf sawah pada masa kolonial, lihat Fauzia, Faith and the State, h.
105.
vii
kolonial. Karena itu, upaya mainstreaming dan pemberdayaan harus dilakukan. Dan
penelitian ini adalah salah satu dari upaya di atas untuk mencari gambaran empiris
untuk menjadi bahan pertimbangan kebijakan.
Penelitian ini memperlihatkan bahwa kondisi wakaf dan perkembangan
wakaf produktif di Indonesia–dan khususnya di DKI Jakarta--masih belum
maksimal. Sebenarnya di lihat dari sisi potensi aset, wakaf di Indonesia tidak kalah
dari negara Islam lainnya, yaitu 590 trilyun rupiah (dihitung pada tahun 2004).
Namun, aset fisik atau materi bukanlah satu-satunya penentu berkembangnya wakaf
sehingga menjadi produktif. Penelitian ini melihat adanya faktor sosial kultural
(dalam penelitian ini disebut modal sosial) yang membentuk dan mempengaruhi
praktek wakaf di Indonesia, yaitu terkait norma sosial keagamaan, rigiditas dan
tekstualitas dalam memahami dan mempraktekkan fikih, dan kuatnya orientasi ritual
dibandingkan orientasi sosial-ekonomi dalam wakaf. Semua ini termanifestasi tidak
saja dalam bentuk dan pemanfaatan wakaf, tetapi juga dalam pemahaman pemberi
wakaf (wakif), pengelola (nadzir), pengguna wakaf (mauquf alaih), dan juga publik
secara umum. Selain itu, administrasi perwakafan juga belum tertata baik, akibat
lemahnya birokrasi dan juga akibat pemahaman dan orientasi ritual yang disebut di
atas.
Karena itu, perkembangan wakaf di Indonesia ke arah produktif belum
menunjukkan hasil yang signifikan. Intervensi sosial keagamaan (seperti
dikeluarkanya fatwa wakaf uang oleh Majlis Ulama Indonesia tahun 2002),
intervensi birokrasi (seperti diresmikannya Undang-Undang Wakaf tahun 2004,
dibentuknya Direktorat Wakaf tahun 2006, dan Badan Wakaf Indonesia tahun 2007),
viii
perlu didorong oleh gerakan pemberdayaan dan perubahan paradigma masyarakat
atas wakaf, yang lebih berorientasi ritual menuju orientasi sosial ekonomi).
Laporan ini telah memotret lebih dekat realita pengelolaan wakaf di
Indonesia khususnya di wilayah Jakarta. Kami berharap laporan ini dapat menjadi
bahan masukan bagi semua pihak dalam membuat kebijakan dan menyusun program
yang diperlukan untuk pengelolaan dan pengembangan tanah wakaf yang lebih baik
di Indonesia.
Wallah a’lam bi al-shawab
Jakarta, September 2012
Dr. Amelia Fauzia
Ketua tim peneliti
ix
UCAPAN TERIMA KASIH
Penelitian ini merupakan kerjasama antara Badan Wakaf Indonesia dengan Lembaga
Penelitian Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Penelitian ini
tidak akan dapat dilakukan dan diselesaikan dengan baik tanpa bantuan dan
dorongan dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini kami ingin mengucapkan
terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. KH. Tolchah Hasan, ketua Badan Wakaf Indonesia, yang telah
memberi dorongan dan senantiasa mengingatkan untuk selalu melakukan studi
terkait wakaf, dan Dr. Jajat Burhanudin, ketua Lembaga Penelitian, yang telah
memberi dukungan dan menfasilitasi penelitian ini,
2. Prof. Dr. Uswatun Hasanah, Emi Ilmiah, MA selaku tim peneliti; Nany Al-Muin,
M.Ag, Habibi Zaman, M.Ag, dan Arief Rakhmadi, M.Si selaku asisten peneliti,
yang telah memberi masukan, mencari data, dan menuliskan laporan,
3. Tim pewawancara, Dida Nuraida, S.Hum, Nurul Roaz Al-Rasyid, Soraya dan
Dewi Maryam, yang telah melakukan wawancara dan observasi dengan sangat
gigih dan tak kenal lelah.
4. Prof. Dr. Suparman dan Abdul Qadir, SH, MA dari BWI, Hj. Esa Aisyah, SE,
MM., Ibu Susi Sustiati, S.sos, MM, dan Marsimin, S.Sos, MM dari Kanwil
Kementerian Agama DKI, yang telah membantu memberikan data-data terkait
wakaf,
5. Staf Badan Wakaf Indonesia dan staf Lembaga Penelitian UIN Jakarta,
x
6. Dan yang tak kalah penting adalah para narasumber yang telah kami
wawancarai, baik selaku nadzir, wakif, penerima manfaat, serta tokoh
masyarakat di yayasan wakaf yang kami kunjungi (nama-nama responden kami
tuliskan pada daftar wawancara dalam Daftar Pustaka). Tanpa kesediaannya sulit
bagi kami melakukan penelitian ini.
Atas semua kebaikan, dukungan, dan bantuan, semoga Allah swt yang akan
membalasnya.
Jakarta, September 2012
Dr. Amelia Fauzia (ketua tim peneliti)
xi
DAFTAR ISI
Ringkasan ........................................................................................................ iii
Pengantar ........................................................................................................ v
Ucapan Terima Kasih ..................................................................................... ix
Daftar Isi ......................................................................................................... xi
I. PENDAHULUAN .................................................................................... 1
A. Latar Belakang ..................................................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ................................................... 3
C. Tujuan dan Manfaat ............................................................................. 4
D. Metodologi Penelitian .......................................................................... 5
E. Kerangka Teori ..................................................................................... 8
F. Sistematika Penulisan ........................................................................... 9
II. WAKAF PRODUKTIF DAN MODAL SOSIAL ................................... 10
A. Wakaf Produktif dan Prakteknya di Indonesia ................................... 12
B. Wakaf Produktif dan Keterkaitannya dengan Modal Sosial .............. 19
III. DKI JAKARTA: POTRET SOSIAL, EKONOMI DAN PERWAKAFAN 31
A. Latar Belakang Sosial, Ekonomi dan Keagamaan di Jakarta ............. 31
B. Gambaran Umum Wakaf di Jakarta .................................................... 37
IV. PROFIL WAKAF PRODUKTIF DI DKI JAKARTA............. ................ 46
Kelompok Pertama: Aset Besar Potensi Nadzir Tinggi:
1. Yayasan Madrasah Ad-Dakwah .......................................................... 48
2. Yayasan Shirathul Rahman ................................................................. 56
3. Yayasan Masjid Al Mukarromah ........................................................ 62
4. Yayasan Husnayain (Masjid Abu Bakar Ash-Shiddiq) ...................... 67
5. Yayasan Darul Azkar .......................................................................... 73
6. Yayasan Nurul Falah Tanah Kusir ...................................................... 79
7. Masjid Nurul Falah ............................................................................. 85
8. Masjid Al-Falah .................................................................................. 90
xii
Kelompok Kedua: Aset Besar Potensi Nadzir Cukup:
9. Yayasan Keramat Payungan Hidayatullah .......................................... 96
10. Yayasan Wakaf Masjid Al-Barkah ..................................................... 101
11. Masjid Al-Muhtar ................................................................................ 106
12. Yayasan Masjid Al-Birru .................................................................... 111
13. Yayasan Al- Asyirostusyafi’iyah ........................................................ 116
14. Masjid Jami Darussalamah ................................................................. 122
15. Masjid Al-Hidayah .............................................................................. 127
16. Masjid Al-Firdaus ............................................................................... 133
17. Yayasan Darul Ulum ........................................................................... 138
Kelompok Ketiga: Aset Kecil Potensi Nadzir Tinggi
18. Masjid Al-Munawwar ......................................................................... 146
19. Masjid Al- Abraar ............................................................................... 153
20. Yayasan Masjid Baiturrahman ............................................................ 159
21. Yayasan Nur Assailina (Ma’had Al-Islam) ......................................... 163
Kelompok Keempat: tidak memungkinkan dikembangkan wakaf produktif:
22. Masjid Darussalam Al-Amin ............................................................. 169
23. Masjid Al-Muflihun ............................................................................ 173
24. Masjid Al-Inayah ................................................................................ 176
V. ANALISIS POTENSI WAKAF PRODUKTIF DI DKI JAKARTA ...... 181
A. Aset Wakaf, Pemanfaatan dan Pengelolaannya ................................... 183
B. Pengetahuan Nazir tentang Wakaf Produktif ....................................... 201
C. Latar Belakang Pendidikan, Pekerjaan
dan Pengalaman Organisasi Nadzir ...................................................... 205
D. Respon Masyarakat terhadap Wakaf Produktif .................................... 207
E. Kendala dalam Pengembangan Wakaf Produktif ................................. 209
VI. PENUTUP................................................................................................. 213
Lampiran ......................................................................................................... 222
Daftar Pustaka ................................................................................................ 238
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1. Jumlah Tanah Wakaf di DKI Jakarta dengan Luas di atas 1000m2
Berdasarkan Data Tahun 200 ........................................................ 6
Tabel 3.1. Penduduk Berumur 5 Tahun Keatas Menurut Pendidikan
Tertinggi yang Ditamatkan Provinsi DKI Jakarta ........................ 34
Tabel 3.2. Sebaran Penduduk Muslim Provinsi DKI Jakarta ......................... 35
Tabel 3.3. Total Lokasi dan Luas Tanah Wakaf Propinsi DKI Jakarta .......... 38
Tabel 3.4. Laporan Perkembangan Sertifikasi Tanah Wakaf Kantor
Wilayah Departemen Agama Provinsi DKI Jakarta Tahun 2008 39
Tabel 3.5. Penggunaan Aset Wakaf Tahun 2008 ............................................ 40
Tabel 3.6. Laporan Perkembangan Kegunaan Sertifikasi Tanah Wakaf
Menurut Wilayah Tahun 2008 ..................................................... 41
Tabel 3.7. Masjid di Jakarta yang Berdiri Bukan di atas Tanah Wakaf
Tahun 2012 ................................................................................... 43
Tabel 5.1. 24 Aset Wakaf Menurut Sebaran Wilayah ................................... 181
Tabel 5.2. Persentase yayasan wakaf dilihat dari sisi potensi pengembangan
wakaf produktif ............................................................................ 182
Tabel 5.3 Aset Wakaf Menurut Peruntukkan ................................................ 184
Tabel 5.4 Aset Wakaf Menurut Perkiraan Nilai Aset ..................................... 188
Tabel 5.5 Aset Wakaf Menurut Total Luas Lahan, Lahan Digunakan dan
Sisa Lahan .................................................................................... 190
Tabel 5.6 Aset Wakaf Menurut Unit Bisnis ................................................... 192
Tabel 5.7 Aset Wakaf Menurut Managemen dan Organisasi Wakaf ............ 199
Tabel 5.8 Aset Wakaf Menurut Pendidikan, Pekerjaan dan Pengalaman
Organisasi Nadzir.......................................................................... 205
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Modal Sosial Nadzir .................................................................. 26
Gambar 4.1.1 Papan plang tanah wakaf masjid Ad-Da’wah .......................... 50
Gambar 4.1.2. Gedung tiga lantai, sarana belajar mengajar yayasan
Ad-Dakwah ................................................................................... 51
Gambar 4.1.3. Pembangunan gedung sekolah Yayasan Ad-Dakwah ............. 52
Gambar 4.1.4. H. Abdul Mubin, S. Ag ........................................................... 54
Gambar 4.2.1 Kompleks Sekolah Ibtidaiyah yayasan Shirathul Rahman ...... 57
Gambar 4.2.2. Tampak lahan kosong ditanami aneka sayur-mayur ............... 58
Gambar 4.2.3. Sebagian lagi, lahan kosong ini berupa rawa-rawa ................. 59
Gambar 4.3.1. Masjid Al Mukarromah, tampak depan .................................. 63
Gambar 4.3.2. Masjid Al Mukarromah, lantai 1 dalam tahap proses
pembangunan ................................................................................ 64
Gambar 4.3.3. Diatas lahan seluas 1000 m2 ini, rencananya akan dibangun
gedung serba guna......................................................................... 65
Gambar 4.4.1. Masjid Abu Bakr Ash-Shidq, tampak depan .......................... 68
Gambar 4.4.2. Lahan kosong Al-Husnayain seluas 1000 m2 ......................... 69
Gambar 4.4.3. Gedung Sekolah Al-Husnayain dua lantai .............................. 70
Gambar 4.4.4. Unit Usaha Al-Husnayain ....................................................... 71
Gambar 4.5.1. Masjid Darul Adzkar, tampak depan ...................................... 74
Gambar 4.5.2. Ruang serba guna, salah satu unit bisnis yayasan ................... 75
Gambar 4.5.3. Masjid Darul Adzkar, tampak depan terlihat terawat dengan
baik ................................................................................................ 76
Gambar 4.5.4. Lembaga pendidikan Al-Adzkar ............................................. 77
Gambar 4.6.1. Masjid Nurul Falah, tampak depan ......................................... 79
Gambar 4.6.2. lahan kosong tampak sebelah kanan masjid Nurul Falah ....... 81
Gambar 4.6.3. pembangunan gedung BMT Nurul Falah................................ 82
Gambar 4.7.1. Gapura depan Masjid Nurul Falah Karang Tengah ................ 86
Gambar 4.7.2. Masjid Nurul Falah tampak depan .......................................... 87
xv
Gambar 4.7.3. Tampak belakang masjid Nurul Falah yang masih bisa
dimanfaatkan ................................................................................. 87
Gambar 4.7.4. Pembagunan gedung serbaguna masjid Nurul Falah .............. 88
Gambar 4.8.1. Masjid Nurhidayatullah, tampak depan .................................. 97
Gambar 4.8.2. Masjid Nurhidayatullah, tampak dalam .................................. 98
Gambar 4.8.3. Sisa lahan seluas 3000 m2, berupa lahan belukar tak terawat 99
Gambar 4.9.1. Kondisi sekolah yang memprihatinkan ................................... 102
Gambar 4.9.2. Masjid Al Barkah, tampak depan ............................................ 104
Gambar 4.10.1. Bagunan Masjid Al-Muhtar tampak depan ........................... 107
Gambar 4.10.2. Lahan kosong seluas 1900 m2 .............................................. 109
Gambar 4.11.1. Masjid Al-Birru Tampak Depan ........................................... 112
Gambar 4.11.2. Bangunan yang disewakan diatas tanah wakaf ..................... 113
Gambar 4.11.3. Bangunan yang disewakan diatas tanah wakaf ..................... 114
Gambar 4.11.4. Bangunan yang disewakan diatas tanah wakaf ..................... 114
Gambar 4.12.1. Unit bisnis, lahan parkir 24 jam bagi karyawan sekitar
perkantoran dan mall..................................................................... 118
Gambar 4.12.2. Unit bisnis, kantin bagi pelajar dan masyarakat umum ........ 119
Gambar 4.12.3. Bangunan Sekolah Al Asyirotussyafi’iyah ........................... 120
Gambar 4.13.1. Masjid Darussalamah tampak depan ..................................... 123
Gambar 4.13.2. Masjid Darussalamah, tampak samping................................ 123
Gambar 4.13.3. Lahan kosong, tampak depan ................................................ 124
Gambar 4.14.1. Masjid Jami Al Hidayah, tampak depan ............................... 128
Gambar 4.14.2. Prasasti peresmian oleh Probosutedjo ................................... 129
Gambar 4.14.3. Masjid Al-Hidayah lantai 2, bagian dalam ........................... 130
Gambar 4.14.4 Masjid Al Hidayah lantai 1, .................................................. 131
Gambar 4.14.5. Sisa lahan tanah wakaf untuk area parkir .............................. 131
Gambar 4.15.1. Masjid Al-Firdaus, tampak depan ......................................... 134
Gambar 4.15.2. Sekolah SMK Al-Firdaus tampak depan .............................. 135
Gambar 4.15.3. Sekolah dan lahan kosong yang tersisa sekitar 1000 m2 ...... 136
Gambar 4.16.1. Yayasan Darul Ulum, tampak depan .................................... 140
Gambar 4.16.2. Lorong Sekolah ..................................................................... 141
xvi
Gambar 4.16.3. Lahan kosong Yayasan Darul Ulum seluas 2.000 m2 .......... 142
Gambar 4.17.1. Tampak sisa lahan yang belum dimanfaatkan ...................... 148
Gambar 4.17.2. Bangunan masjid Al-Munawwar dua lantai ......................... 149
Gambar 4.17.3. Masjid Al-Munawwar, tampak dalam ................................. 151
Gambar 4.18.1. Masjid Al Abraar Tampak Depan ......................................... 154
Gambar 4.18.2. Bangunan masjid Al Abroor dua lantai................................ 155
Gambar 4.18.3. Lahan kosong untuk pendirian klinik.................................... 157
Gambar 4.19.1. Masjid Baiturrahman Tampak Depan ................................... 160
Gambar 4.19.2. Lahan seluas 1600 m2 rencananya unit-unit bisnis .............. 161
Gambar 4.20.1. Yayasan Nur Assailina, tampak depan ................................. 164
Gambar 4.20.2. Bangunan sekolah ................................................................. 166
Gambar 4.20.3. Lahan kosong yayasan Nur Assailina ................................... 167
1
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Potensi wakaf di Indonesia sangat besar, diperkirakan mencapai mencapai
1,085 triliun rupiah1. Akan tetapi masih sedikit sekali yang dimanfaatkan untuk
usaha-usaha yang bersifat produktif. Wakaf produktif adalah wakaf yang
berorientasi untuk meningkatkan nilai ekonomi aset wakaf. Ini artinya bagaimana
aset wakaf dapat memberi manfaat tidak hanya bagi kebutuhan langsung institusi
pengelola dan masyarakat, tapi juga bisa memproduksi barang dan jasa. Dengan
wakaf produktif diharapkan institusi pengelola bisa memperluas fungsi wakaf
pada nilai-nilai yang sifatnya ekonomis, seperti pemanfaatan tanah wakaf untuk
pembuatan gedung perkantoran, ruko, swalayan, pabrik, dan kontrakan. Atau bisa
juga keuntungan pemanfaat aset wakaf itu mampu menghasilkan pelayanan jasa,
seperti angkutan kota (angkot), jasa travel, dan jasa pendidikan. Perluasan manfaat
aset wakaf produktif yang semacam ini walaupun belum begitu populer, karena
umumnya wakaf masih dikelola dengan cara yang masih sederhana, tetapi
sebagiannya telah dipraktekkan terutama oleh beberapa institusi wakaf yang ada
di perkotaan, misalnya memanfaatkan lahan wakaf kosong di dekat area masjid
untuk bangunan kantor bank, lahan lapak/pedagang kaki lima, dan gedung
pernikahan.
Institusi wakaf di perkotaan berpotensi untuk memanfaatkan aset yang ada
untuk wakaf produktif. Jumlah aset wakaf di Jakarta yang terdata secara
1 Dengan perkiraan NJOP per meter adalah Rp. 500.000, yaitu angka di tengah-tengah
2
administratif kurang lebih berjumlah 5.6612 lokasi tanah wakaf. Umumnya masih
digunakan manfaatnya secara langsung dan bersifat sosial. Misalnya, aset wakaf
dalam bentuk tanah dikelola nadzir untuk membangun masjid atau musola, ada
yang digunakan untuk pemakaman umum dan ada juga yang dibangun untuk
pendidikan, seperti sekolah dan majelis taklim. Dari segi pengelolaannya itu
terlihat bahwa wakaf umumnya masih diperuntukkan manfaatnya secara sosial.
Walaupun itu memang bisa dibenarkan sebagai upaya pemenuhan
kebutuhan sosial keagamaan, tetapi gagasan perlunya dilakukan perluasan nilai
aset hingga menjadi wakaf produktif sangat mungkin dilakukan di masyarakat
perkotaan.
Di Jakarta, misalnya, tanah wakaf tentu saja memiliki nilai ekonomi yang
tinggi sehingga bisa menjadi wakaf produktif. Manfaat yang bisa diambil tentu
saja tidak hanya bersifat sosial, tapi juga bermanfaat untuk membuka lahan kerja
baru jika dimanfaatkan untuk membuka home industry misalnya. Karena itu,
disamping penting dilakukan pemetaan potensi ekonomi apa yang bisa
dikembangkan pada tanah wakaf tertentu di Jakarta, juga perlu ditelusuri masalah
utama mengapa pengelolaan wakaf produktif masih sedikit dilakukan.
Masalah utama yang mudah saja ditemukan adalah soal pengetahuan dan
pemahaman tentang wakaf. Selama ini wakaf masih difahami sebagai barang yang
diberikan oleh si wakif untuk kepentingan yang pahalanya terus mengalir tanpa
batas waktu. Nadzir atau pengelola wakaf itu juga memaknai pengelolaan wakaf
secara syar’i dan sederhana layaknya sedekah. Artinya, antara pengetahuan
2 Berdasarkan data 2008 dan 2010 yang dikeluarkan oleh Kanwil Kementerian Agama
DKI Jakarta dan juga oleh Direktorat Wakaf Kementerian Agama. Kelihatannya tidak ada
pembaruan data pada tahun 2010, sehingga data yang ada persis sama dengan data 2008.
3
tentang apa itu wakaf di kalangan masyarakat dan pengelolaan wakaf oleh nadzir
diduga masih saling berhubungan untuk melahirkan model pengelolaan wakaf
yang tidak produktif. Oleh karena itu, pengetahuan, dan pengelolaan tentang
wakaf produktif di masyarakat dan nadzir perlu ditelusuri seperti apa
perkembangannya.
Masalah lain adalah bagaimana membangun trust masyarakat bahwa wakaf
produktif itu tidak melanggar hukum Islam. Karena adanya alasan terikat oleh
peruntukkan wakaf yang dimaksudkan oleh wakif, masyarakat tidak yakin bahwa
pengelolalaan wakaf akan bisa diperluas fungsinya. Ketidakyakinan ini
mempengaruhi trust masyarakat bahwa wakaf bisa diluaskan fungsinya menjadi
bernilai ekonomis. Trust masyarakat akan wakaf produktif berarti memiliki kaitan
dengan pengetahuan mereka tentang norma-norma yang berkaitan dengan wakaf.
Jika norma tentang wakaf itu merujuk pada hadis Nabi yang mengartikan wakaf
dengan ‘menahan pokoknya dan hanya memanfaatkan buah-nya, maka wakaf
produktif memiliki dasar hukum yang jelas. Trust masyarakat tentang
diperbolehkannya wakaf produktif berarti memiliki kaitan dengan sumber hukum
Islam yang mereka yakini.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Penelitian ini dibatasi pada subyek wakaf yang ada di wilayah DKI Jakarta
dengan fokus pada kajian kelembagaaan yayasan wakaf. Penelitian ini dibatasi
pada melihat pengelolaan wakaf pada masa kontemporer.
Pertanyaan dari penelitian ini adalah bagaimanakah potensi wakaf
produktif di Jakarta, seperti apakah gambaran pengelolaannya dan bagaimana
4
tanah wakaf tersebut dapat diproduktifkan. Untuk mendapatkan gambaran
lengkapnya, berikut dijelaskan dengan sub-sub pertanyaan, yaitu: (1)
Bagaimanakah kondisi terakhir aset tanah wakaf di Jakarta? Bagaimanakah
pengelolaannya? (2) Bagaimanakah pemahaman nadzir terhadap wakaf produktif?
Seberapa besar kemampuan nadzir dalam mengembangkan wakaf produktif. (3)
Jenis wakaf produktif seperti apa yang strategis untuk diterapkan sesuai dengan
potensi wakaf yang dimiliki, dan (4) Bagaimanakah respon dan tingkat
kepercayaan (modal sosial) masyarakat sekitar terhadap pengembangan wakaf
produktif
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Memetakan potensi wakaf produktif di
Jakarta berdasarkan letak geografis, peruntukkan, nilai aset yang dimiliki,
sumberdaya manusia dan bagaimana wakaf tersebut dikelola. (2) Mengetahui
pemahaman Nazhir dan atau pengelola lainnya tentang wakaf produktif. (3)
Mengetahui tingkat posibilitas nadzir dalam pengembangan wakaf produktif. (4)
Mengetahui respon dan tingkat kepercayaan masyarakat sekitar terhadap
pengembangan wakaf produktif, dan (5) Menganalisa jenis wakaf produktif
seperti apa yang cocok diterapkan sesuai dengan potensi wakaf yang ada
Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini diantaranya: (1)
Melengkapi data based Badan Wakaf Indonesia. (2) Memberikan gambaran
tentang situasi dan kondisi terakhir tanah wakaf di Jakarta. (3) Memberikan
gambaran tentang pengelolaan wakaf produktif di Jakarta. (4) Memberikan
gambaran tentang potret nadzir di Jakarta, dan (5) Sebagai bahan acuan bagi
5
lembaga wakaf, lembaga studi, pemerintah, perusahaan dan siapa saja yang
concern dalam hal pengembangan wakaf produktif
D. Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang meliputi kajian
lapangan dan pustaka. Penelitian ini juga menggunakan pendekatan sosiologis
dalam menganalisa data dan penyusunan laporan. Penelitian lapangan akan
dilakukan di 24 tanah wakaf di Jakarta sebagai studi kasus. Studi kasus ini
digunakan karena keterbatasan untuk melakukan penelitian secara mendalam ke
seluruh tanah wakaf di DKI Jakarta ini yg pada tahun 2008 berjumlah 5.661.
Pemilihan DKI Jakarta tentu saja berdasarkan alasan bahwa tanah di
Jakarta bernilai tinggi sehingga berpotensi untuk diproduktifkan. Sementara
masyarakat yang tinggal di Jakarta adalah masyarakat urban yang diasumsikan
lebih bisa menerima konsep wakaf produktif. Selanjutnya, sebagai pusat transaksi
bisnis dan ekonomi, tanah wakaf di Jakarta memiliki tingkat kemungkinan yang
tinggi untuk dikembangkan menjadi wakaf produktif.
Metode Pemilihan Sampel
Untuk mendapatkan gambaran yang utuh mengenai wakaf produktif,
penelitian menggunakan metode pemilihan sampel yang mempertimbangkan (1)
validitas data yayasan/lembaga wakaf dan (2) wakaf yang berpotensi untuk
dikembangkan sebagai wakaf produktif.
Jumlah tanah wakaf di DKI Jakarta menurut data Kanwil Kementerian
Agama DKI per tahun 2008 adalah 5.661. Tahun 2010 belum ada perbaharuan
6
data ini dan yang dipublikasikan oleh Direktorat Wakaf Kementerian Agama
adalah data tahun 2008.3 Karena database tahun 2008 (yang memuat besaran sisa
lahan dan alamat lengkap lokasi wakaf) tidak berhasil didapat di awal
penelitian,pengambilan sampel atau kasus untuk wakaf produktif kami
menggunakan database milik tim Fakultas Ekonomi UIN Jakarta yang pernah
melakukan penelitian dan verifikasi 1301 tanah wakaf di DKI Jakarta pada tahun
2006. Kelebihan database ini adalah ada data yang lengkap menyangkut alamat,
nama nadzir, dan kelebihan sisa lahan wakaf yang belum termanfaatkan. Walau
ternyata di lapangan kami temui bahwa luas lahan banyak yang sudah kurang
valid apalagi terkait sisa lahan.
Dari 1301 tanah wakaf tersebut, yang yang memiliki luas tanah minimal
1.000m2, ada 108 lokasi dengan sebaran sebagaimana dapat dilihat di bawah ini:
Tabel 1.1.
Jumlah Tanah Wakaf di DKI Jakarta dengan Luas di atas 1000m2
Berdasarkan Data Tahun 2006
Wilayah
Jumlah
Tanah
Wakaf
Tanah
Wakaf dg Sisa
Lahan >1000m2
Rencana
sampel
(20%)
Sampel
yang
terpilih
Jakarta Utara 249 24 5 3
Jakarta Pusat 182 11 2 1
Jakarta Timur 337 28 6 4
Jakarta Selatan 295 31 6 12
Jakarta Barat 254 14 3 4
Total 1301 108 22 24
3 Dan saat ini sedang dilakukan verifikasi dan pembaruan database oleh Kanwil
Kementerian Agama DKI Jakarta.
7
Dari jumlah 108 tersebut diatas, ditarik sampel penelitian sebesar 20% sehingga
didapatkan 22 tanah wakaf sebagai unit analisis sampel.
Unit analisis sampel ditarik dengan menggunakan metode purposif, dengan
tahapan sebagai berikut: (1) Peneliti mengumpulkan informasi tentang kondisi
terkini ke-108 tanah wakaf di Jakarta dimaksud diatas. Pengumpulan data ini
dilakukan dengan menggunakan telephone dan observasi langsung. (2)
Mengumpulkan informasi berupa jumlah aset, kondisi bangunan dan managemen
pengelolaan. (3) Memilih 24 sampel yang memenuhi kriteria. 4) Observasi dan
melakukan wawancara mendalam.
Adapun kriteria tanah wakaf sebagai unit analisis sampel adalah: (1)
Memiliki sertifikat wakaf; (2) Memiliki luas tanah lebih dari 1000 m2; (3)
Memiliki kelebihan bangunan diatas 1000 m2, dan (4) Peruntukan tanah wakaf
selain pemakamanan.
Namun hasil observasi dan pencarian data awal menunjukkan bahwa data
yang didapat banyak yang tidak sesuai lagi, misalnya nadzir sudah meninggal,
peruntukan wakaf ternyata kuburan, dan sisa lahan banyak yang hanya tinggal
ratusan meter. Jadi real tanah wakaf yang dilakukan observasi lebih dari 30 lahan,
dan yang dilakukan wawancara mendalam adalah sebanyak 24.
Metode Mengumpulkan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui pencatatan aset
tanah wakaf didukung oleh dokumen-dokumen yang diperlukan, observasi dan
wawancara mendalam. Observasi dilakukan untuk melihat langsung kondisi fisik
8
dan letak geografis tanah wakaf. Sementara wawancara mendalam dilakukan
untuk mengetahui pengetahuan nadzir tentang wakaf produktif. Wawancara
dilakukan juga untuk mengetahui tingkat kepercayaan masyarakat terhadap
pengembangan wakaf produktif dan juga mengetahui analisa pelaku ekonomi
lokal terhadap potensi ekonomi seperti apa yang bisa dikembangkan pada tanah
wakaf tersebut. Untuk itu wawancara primer dilakukan kepada nadzir dan
penerima manfaat wakaf (mauquf alaih). Dalam beberapa kasus, dilakukan
wawancara kepada wakif. Tokoh lokal juga diwawancarai dalam kapasitas sebagai
tokoh lokal, pelaku bisnis, dan ada juga yang sebagai kapasitas mauquf alaih.
Beberapa lokasi wawancara dengan pihak lain seperti tokoh masyarakat
dilakukan, khususnya di tempat yang informasinya sangat minim. Seluruh hasil
wawancara yang merupakan data primer dan hasil penelitian dari data sekunder
akan diolah dan dianalisa menggunakan teori funsionalisme dan modal sosial.
Hasil penelitian ini akan disajikan secara deskriptif analitis.
E. Kerangka Teori
Kerangka teori yang dibangun dalam penelitian ini berpusat pada konsep
tentang wakaf produktif, potensi serta pengelolaannya, dan modal sosial. Dalam
definisi fikih klasik tidak ada istilah wakaf produktif. Istilah ini baru dan
berkembang di Indonesia karena terkait gerakan untuk memproduktifkan wakaf.4
Untuk melihat potensi wakaf di Jakarta, penelitian ini menggunakan analisis
4 Lihat pengantar laporan.
9
sosiologi, khususnya funsionalisme Durkheim, dan teori modal sosial (social
capital). Detail kerangka teori dipaparkan pada Bab 2 laporan.
F. Sistematika Penulisan
Laporan ini terdiri dari enam bab. Bab Pendahuluan berisi latar belakang
masalah dan pengantar mengenai metodologi penelitian. Bab 2 berjudul “Wakaf
Produktif dan Modal Sosial” berisi paparan mengenai kerangka teori yang
menjadi landasan pijak penelitian. Pembahasan mengenai DKI Jakarta dari sisi
social, ekonomi, maupun wakaf dituliskan pada Bab 3. Temuan penelitian
dituliskan pada Bab 4 dan 5. Penulisan Bab 4 lebih banyak mendeskripsikan profil
wakaf produktif yang dibagi menjadi tiga kelompok wakaf yang potensial untuk
diproduktifkan. Sedangkan Bab 5 menganalisis wakaf produktif di Jakarta.
Analisa ini juga mengangkat hal-hal yang menjadi kendala bagi perkembangan
wakaf. Laporan diakhiri dengan penutup berupa kesimpulan dan saran. Laporan
dilengkapi dengan daftar pustaka dan juga lampiran-lampiran.
10
II
WAKAF PRODUKTIF DAN MODAL SOSIAL
Bab ini menjelaskan dua hal, yaitu: pertama, mengenai wakaf produktif
dari sisi definisi dan penerapannya di Indonesia, dan kedua, mengenai keterkaitan
wakaf produktif dengan modal sosial. Pembahasan pertama memaparkan sejauh
mana pemahaman mengenai wakaf dari beberapa madzhab menjadi acuan
berkembangnya wakaf di Indonesia. Sedangkan pembahasan kedua menyorot
tentang tata kelola dan perkembangan wakaf dilihat dari sudut pandang modal
sosial, khususnya trust (kepercayaan).
Bab ini secara umum melihat bahwa terjadi perbedaan antara definisi
wakaf yang memang sudah mengandung unsur pemanfaatan produktif dengan
prakteknya di Indonesia yang lebih banyak menjadi aset tidak produktif. Praktek
wakaf di Indonesia ini merupakan hasil dari pola pikir masyarakat, pemahaman
fikih, serta kondisi sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia.
Dilihat dari sisi produktivitas aset, wakaf dapat dibagi dalam dua kategori.
Pertama, aset wakaf yang dimanfaatkan untuk kegiatan sosial keagamaan dan
pendidikan, seperti tanah untuk masjid dan sekolah, dan kedua, aset wakaf yang
dimanfaatkan untuk kegiatan bisnis dan investasi. Wakaf jenis pertama biasanya
menggantungkan diri pada sedekah masyarakat untuk biaya operasionalnya.
Misalnya, ada tanah wakaf yang diatasnya dibangun sebuah masjid. Masjid ini
membutuhkan sumbangan masyarakat untuk biaya operasional pemeliharaan.
Sedangkan wakaf jenis kedua bentuknya adalah aset yang dikelola untuk
11
menghasilkan keuntungan, misalnya sawah dan hotel, dimana keuntungan dari
pengelolaannya diberikan untuk kesejahteraan sosial termasuk diantaranya untuk
membiayai operasional sekolah dan masjid. Wahbah Al-Zuhaili menyebut tipe
pertama sebagai wakaf yang langsung bisa dipergunakan oleh masyarakat dan tipe
kedua wakaf investasi yang manfaaatnya baru didapat setelah asetnya dikelola
secara ekonomi-bisnis.12
Di Indonesia justru yang tipe pertama ini yang mengemuka. Islam masuk
ke Nusantara dan berkembang kuat sejak abad ke 13 masehi dengan penguatan
kerajaan-kerajaan Islam yang dapat bertahan sampai abad ke 19.13
Jika dilihat dari
pertumbuhan masjid yang sudah cukup tersebar sejak abad ke 13 dan cukup cepat,
ternyata status masjid itu belum tentu berdiri di atas tanah wakaf, dan bangunan
masjid itu juga belum tentu berstatus wakaf.14
Dan wakaf di Indonesia sejak awal
didominasi oleh wakaf dalam bentuk tanah dan diperuntukkan untuk dibangun
masjid.15
Kenyataan ini menunjukkan bahwa dominasi pemahaman fikih wakaf yang
berkembang di Indonesia sangat berorientasi ibadah, dan sosial, dan karenanya
wakaf tipe kedua yang berorientasi pada bisnis dan investasi tidak berkembang.
Hal ini salah satunya karena kuatnya unsur kehati-hatian dalam pengelolaan aset
wakaf (dan akibatnya aset wakaf malah tidak dikembangkan). Hal lain adalah
karena kuatnya doktrin mengenai amal ibadah pendirian masjid yang akan
12
Lihat Wahbah ibn Mustafā al-Zuhaylī, al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuhū, 4th
Edition, vol.
10, 7600. 13
Amelia Fauzia, “Faith and the State a History of Islamic Philanthropy in Indonesia,”
disertasi, Universitas Melbourne, 2008. Lihat bab 3, tentang awal mula perkembangan zakat,
sedekah dan wakaf di Nusantara. 14
Ibid. 15
Rachmad Djatnika, “Les Biens De Mainmorte (Wakaf) A Java-Est” (PhD diss., École
des Hautes Études et Sciences Sociales Paris, 1982), 77-108.
12
mendatangkan pahala bagi penyumbangnya tanpa henti walaupun penyumbang
sudah meninggal dunia.
Akibat dominasi fikih juga terlihat pada lemahnya pengadministrasian
wakaf. Upaya untuk melakukan pencatatan wakaf baru dilakukan oleh pemerintah
kolonial Belanda pada tahun 190516
itu pun lebih banyak karena menghidari
perselisihan terkait tanah yang banyak ditemui di masyarakat akibat wakaf yang
tidak dicatat dengan baik.
Namun bukan berarti tipe wakaf kedua tidak ada sama sekali. Studi
Rachmad Djatnika menemukan bahwa sejak abad ke 16 tipe wakaf “produktif”
sudah ada misalnya dalam bentuk tanah sawah. Tanah wakaf sawah ini dimiliki
oleh masjid. Artinya, hasil panen sawah tersebut uangnya diperuntukkan untuk
membiayai masjid. Tradisi wakaf tanah sawah ini terus berlangsung sampai
sekarang ini dan banyak ditemui di daerah Jawa Tengah.17
Untuk mengetahui akar penyebab mengapa “wakaf produktif” ini tidak
populer di Indonesia, di bawah ini akan dibahas fikih wakaf dari sisi hukum fikih
normatif dan juga prakteknya di Indonesia.
A. Wakaf Produktif: Definisi dan Prakteknya di Indonesia
Secara etimologis, kata wakaf berakar dari bahasa Arab “waqafa- yaqifu -
waqfan yang berarti berdiri tegak, menahan, lawan dari kata al-julus (duduk).18
Secara substantif, wakaf berarti menahan pokok harta dan mendermakan hasilnya
untuk tujuan kebaikan. Ini berarti bahwa manfaatnya bertahan lama, untuk
16
Fauzia, h. 108. 17
Ibid. h. 108. 18
al-Mu‘jam al-Wasit, vol. 2 (Cairo: Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyyah, t.t.), 1028.
13
penggunaan yang mubah dan dimaksudkan untuk mendapatkan keridhaan Allah
SWT.
Adapaun yurisdiksi di Indonesia pada UU No. 41/2004 menjelaskan bahwa
wakaf adalah perbuatan hukum orang yang berwakaf (wāqif) untuk memisahkan
dan atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan
selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna
keperluan ibadah dan atau kesejahteraan umum menurut syariah.
Pada dasarnya wakaf dalam Islam secara substantif memiliki makna
produktif, dalam arti dapat menghasilkan. Hal ini adalah karena harta wakaf akan
mampu memenuhi tujuannya apabila telah menghasilkan, dimana hasilnya
dimanfaatkan sesuai dengan peruntukannya (mauquf alaih). Namun kenyataan di
lapangan masih saja banyak aset-aset wakaf yang kurang produktif dan kurang
atau tidak mampu melaksanakan tujuannya sebagai salah satu pilar pemberdayaan
umat. Di Indonesia, hampir semua wakaf bentuknya adalah wakaf tanah, dan
mayoritas peruntukannya adalah untuk masjid. Dan karenanya banyak tanah
wakaf yang terlantar karena belum ada dana untuk mendirikan masjid.
Munculnya ketimpangan antara das sollen dan das sein, antara teori
dengan praktek sehingga wakaf tidak produktif dipahami dari beberapa hal, di
antarnya adalah karena pemahaman mengenai wakaf yang tidak komprehensif.
Permasalahan pokok lainnya adalah terkait dengan fungsi dan kapasitas tatakelola
yang tidak profesional pada diri seorang nadzir, sehingga tidak memiliki visi dan
misi yang aplikatif.
14
Di Indonesia pengaruh madzhab Syafi’i berakar sangat kuat dalam
membentuk praktek wakaf yang secara tidak langsung menjadi salah satu faktor
pendorong ke arah kejumudan. Hal ini bisa dilihat bahwa madzhab Imam Syafi’i –
dibanding madzhab hukum Islam lainnya—cenderung strik dan sangat hati-hati.
Madzhab Hanafi yang besumber pada Imam Abu Hanifah (w. 150 H.)
menjelaskan bahwa wakaf berarti menahan pokok harta sebagai kepemilikan
orang yang berwakaf, namun mendermakan nilai manfaat harta tersebut, seperti
laiknya posisi barang pinjaman (‘ariyah).19
Dalam catatan otoritatif mazhab ini20
,
justru obyek wakaf tidak hanya terbatas pada orang lain dan orang fakir, namun
juga melingkupi wakaf untuk diri si pewakaf sendiri. Ini menunjukkan bahwa
dalam mazhab Abu Hanifah, konsepsi alokasi wakaf cenderung bersifat tidak
ketat. Pengertian ‘jalan Allah’ diartikan dengan kemanfaatan yang cukup
luas.Pemahaman wakaf yang ditawarkan Abu Hanifah sebenarnya berimplikasi
pada lenyapnya status kepemilikan pewakaf atas harta yang diwakafkan.
Adapun Mazhab Malikiyah memaknai wakaf berarti penahanan suatu
benda dari ber-tasarruf (bertindak hukum, seperti memperjual-belikannya)
terhadap benda yang dimiliki serta benda itu tetap dalam pemilikan si wakif, dan
memproduktifkan hasilnya untuk keperluan kebaikan. Dalam pemahaman ulama
Mālikiyyah, wakaf terjadi ketika pemilik menahan pokok harta dari
kepemilikannya kemudian menyerahkan hasil pengelolaan harta tersebut untuk
19
Al-Zabīdi dengan tegas mengatakan inilah pengertian secara langsung disebut Abū
Hanīfah. ق بالمنفعة بمنزلة العارية Lihat Abū Bakr ibn ‘Alī ibn .حبس العين على حكم ملك الواقف والتصد
Muhammad al-Haddād al-Zabīdi, al-Jawharah al-Nayyirah, vol. 1 (Cairo: Matba‘at al-
Khayriyyah, 1322 H.), 333. 20
Muhammad Amīn ibn ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Azīz ‘Ābidīn, Radd al-Muhtār ‘alā al-Durr
al-Mukhtār, vol. 4 (Beirut: Dār al-Fikr, 1992), 337.
15
kedermawanan. Sementara hak kepemilikannya atas harta itu tidak lenyap, meski
itu dalam waktu tertentu saja.
Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal sendiri menjelaskan wakaf
berupa penahanan harta dari ber-tasarruf dan menyedekahkan hasilnya serta
berpindahnya kepemilikan dari orang yang berwakaf kepada orang yang
menerima wakaf dan tidak boleh bertindak sekehendak hati dari mauquf alaih.
Mayoritas ulama sendiri bersepakat bahwa wakaf diartikan sebagai
aktivitas dalam ruang lingkup ‘menahan’ harta yang bermanfaat, dengan menjaga
pokok hartanya. Status harta itu bukan lagi kepemikikan si pewakaf atau
keturunannya yang berarti mereka tidak memiliki ‘hak pengelolaan dan
derivatnya’ (al-tasarruf). Sementara obyek dari pemasukan adalah hal yang
mubah, filantrofis, dan kebajikan dengan didasari niat untuk mendekati Allah
SWT.21
Mengenai wakaf, masyarakat Islam Indonesia mengikuti madzhab Syafi’i
dalam hal ikrar wakaf, harta yang boleh diwakafkan, kedudukan harta setelah
diwakafkan, peruntukan harta wakaf, mengenai boleh tidaknya tukar menukar
harta wakaf, dan nadzir dalam wakaf.
Selain itu, banyak masyarakat menganggap bahwa niatan dan pernyataan
lisan bahwa mereka mewakafkan sesuatu sudah dianggap cukup kuat, terlebih lagi
wakaf tersebut dipercayakan kepada perorangan maupun lembaga yang mereka
anggap amanah. Mengenai ikrar wakaf, masyarakat hanya berhenti pada
pernyataan lisan karena menurut madzhab Syafi’i pernyataan lisan sudah cukup
21
Ibid, h., 7599.
16
dianggap sah. Hal ini menjadi kebiasaan yang akhirnya mengabaikan prosedur
administratif. Dampaknya adalah bahwa banyak wakaf yang tidak tercatat dan
juga tidak dikelola dan prakteknya wakaf tanah ini seperti benda mati.
UU No. 5 tahun 1960 dan peraturan Pemerintah No. 28 tahun 1977 telah
menegaskan bahwa pencatatan merupakan bagian dari sahnya wakaf untuk
mengantisipasi lemahnya administrasi dan hilangnya wakaf.
Terkait harta yang boleh diwakafkan, umat Islam Indonesia juga mengacu
kepada madzhab Syafi’i. Menurut pandangan Syafi’iyyah, harta yang diwakafkan
akan sah apabila memenuhi syarat: (1) benda harus bernilai guna dan tidak sah
hukumnya mewakafkan sesuatu yang bukan benda. Pada dasawarsa saat ini, syarat
tersebut berimplikasi pada banyaknya aset non-benda yang tidak bisa dikelola
menjadi wakaf, seperti hak cipta (properti right), hak lewat, dan hak pakai .22
Persyaratan kedua adalah (2) benda yang diwakafkan adalah benda tetap atau
benda bergerak yang dibenarkan untuk diwakafkan. Madzhab Syafi’i dan
mayoritas ulama’ melihat bahwa harta yang bisa diwakafkan dilihat dari
kekekalan fungsi atau manfaat dari harta tersebut baik dari harta tetap maupun
yang bergerak ataupun barang milik bersama.23
Walaupun demikian, sebagian
masyarakat Indonesia memiliki keyakinan kuat bahwa wakaf identik dengan
wakaf harta benda tak bergerak khususnya tanah dan bangunan. Tentunya hal ini
selain dipengaruhi oleh fikih madzhab Syafii, juga budaya lokaldi mana
masyarakat cenderung patuh terhadap tokoh Muslim lokal untuk mempraktekkan
22
Pendapat demikian didasarkan atas maksud wakaf yang poin pokoknya adalah
mengambil manfaat benda yang diwakafkan serta mengharapkan pahala atas wakaf tersebut. 23
Asy Syarbini dalam Direktorat Jenderal Islam dan Penyelenggaraan Haji, Panduan
pemberdayaan Tanah Wakaf produktif Strategis di Indonesia, Proyek Peningkatan Zakat dan
Wakaf (Jakarta: Departemen Agama RI, 2003), 376.
17
ajaran agama, dan menghindari praktek yang dianggap tidak popular. Hal tersebut
berimplikasi negative mempengaruhi proses sosialisasi konsep wakaf bergerak
seperti wakaf tunai, terlebih konsep ini tidak populer dalam fikih Syafii. ,
Persyaratan selanjutnya adalah (3) benda yang diwakafkan harus tertentu
(diketahui), dan bisa dikuantifikasi jumlahnya. Mewakafkan tanpa menyebut
jumlah definitif dianggap tidak sah. Dan terakhir (4) benda yang diwakafkan
adalah milik tetap wakif. Tidak sah hukumnya apabila mewakafkan benda yang
belum menjadi miliknya, walaupun pada saatnya benda atau barang itu menjadi
miliknya, misalnya mewakafkan uang yang masih dalam arisan dan lain
sebagainya.
Dalam hal kedudukan harta setelah diwakafkan, mayoritas Muslim
Indonesia juga mengikuti pandangan madzhab Syafi’i. Di sini, status kepemilikan
wakaf adalah milik Allah atau milik umat Islam. Konsekuensinya wakif tidak
dapat menarik kembali harta atau benda yang telah diwakafkan, begitu tidak dapat
membelanjakan benda tersebut yang dapat mengakibatkan perpindahan hak milik.
Benda atau harta yang telah diwakafkan tidak dapat dijual, dagadaikan,
dihibahkan ataupun diwariskan.
Mengenai peruntukan harta wakaf, umat Islam Indonesia memberikannya
kepada dua golongan: pertama, wakaf yang ditujukan kepada keluarga atau orang
tertentu (wakaf ahli) yang ditunjuk oleh wakif, 24
dan kedua, wakaf yang
diperuntukkan kepada umat Islam (wakaf khairi).
24
Mengenai problematika dari wakaf ahli ini dapat dilihat pada buku Ahmad Azhar
Baasyir, Hukum Islam Tentang Wakaf, Ijarah, dan Syirkah (Bandung: Al-Ma’arif, 1987), 34.
18
Terkait dengan diperbolehkan atau tidaknya pertukaran harta wakaf,
mayoritas umat Islam Indonesia juga berpegangan pada pandangan Madzhab
Syafi’i Bahwa harta wakaf tidak boleh ditukar dengan pertimbangan apapun. Hal
ini berbeda sekali dengan pandangan Imam bin Hambal yang memperbolehkan
menjual harta wakaf untuk mendapatkan harta atau benda wakaf yang lain atas
pertimbangan pengembangan dan kemaslahatan sesuai tujuan wakaf. Dalam
rangka mendayagunakan wakaf, UU Wakaf no 41 tahun 2004 dan peraturan
Badan Wakaf Indonesia telah menetapkan kebolehan pertukaran harta benda
wakaf.
Persoalan terakhir yang jamak dijumpai dalam persoalan wakaf ini adalah
mengenai posisi dan kemampuan nadzir. Sering dijumpai dalam pengelolaan
wakaf, seorang wakif memberikan kepercayaan kepada tokoh agama dalam hal ini
bisa disebut kyai, ustadz, buya, datuk, ajengan dan lain-lain. Kebiasaan dan
kepercayaan bahwa harta atau benda wakaf harus dikelola oleh tokoh agama
menjadi persoalan tersendiri, karena pada kenyataannya tidak semua tokoh yang
diberikan tanggungjawab pengelolaan harta wakaf tersebut mumpuni dalam
mengelola dan mengembangkan wakaf.
Dari penjelasan di atas dapat dilihat bahwa pemahaman atas fikih wakaf
menjadi faktor penting yang menghambat perkembangan dan tatakelola wakaf
kearah produktif Oleh karenanya ulama dan para pemegang kebijakan perlu duduk
bersama dan bersepaham mengenai aplikasi fikih wakaf. Monzer Kahf dalam hal
ini mendorong adanya kesepakatan pengampu kebijakan dan ulama terkait 6 isu
untuk dapat merevitalisasi praktek wakaf. Enam hal itu sebenarnya adalah unsur-
19
unsur terkait wakaf, yaitu (1) the principle of perpetuity versus temporality; (2)
waqf of usufructs and financial right; (3) public waqf versus posterity or private
waqf; (4) waqf management; (5) the ownership of waqf and its legal entity, dan (6)
the special condition of the waqf founder. 25
Hal lain yang menghambat produktivitas wakaf adalah kemampuan
pengelola wakaf yang belum profesional. Dalam hal ini pengembangan sangat
tergantung bukan pada faktor aset materi tetapi pada aset atau modal sosial yaitu
pemahaman dan dukungan masyarakat, dan tata kelola kelembagaan. Di bawah ini
akan dibahas keterkaitan antara “wakaf produktif” dan modal sosial.
B. Wakaf Produktif dan Keterkaitannya dengan Modal Sosial
Tumbuh dan berkembangnya wakaf di Indonesia sangat dipengaruhi oleh
kondisi sosial, ekonomi dan politik.26
Perkembangan institusi Islam seperti zakat,
sedekah, dan wakaf, tidak bisa dilepaskan dari faktor masyarakat dan pegiatnya.
Misalnya, doktrin atau ajaran tentang wakaf yang sama dipahami dan
dipraktekkan berbeda di masyarakat Muslim Indonesia dan di Timur Tengah. Di
Timur Tengah, doktrin yang sama bisa menghasilkan perkembangan wakaf yang
betul-betul produktif dan bisa membiayai kesejahteraan masyarakat, sedangkan di
Indonesia tidak demikian. Ini artinya, faktor masyarakat atau sosial tidak bisa
25
Monzer Kahf, “Toward the Revival of Awqāf, a Few Fiqhi Issues to Reconsider”,
Paper presented at the Harvard Forum on Islamic Finance and Economics, Oktober, 1 1999.
Harvad University, USA
. http://monzer.kahf.com/papers/english/FIQHI_ISSUES_FOR_REVIVAL_OF_waqf.pdf
(diakses pada tanggal 1 september 2012) 26
Fauzia, “Faith and the State.”
20
dikesampingkan. Masyarakat dan pengelola wakaf itu sendiri harus dianggap
sebagai modal penting berkembang atau tidaknya suatu wakaf. Inilah yang
dikatakan sebagai modal sosial. Bahwa perkembangan suatu insitusi tidak hanya
terkait pada modal ekonomi yang berupa aset tapi juga terkait pada modal sosial
yaitu potensi manusia pengelola dan masyarakat itu sendiri.
Oleh karena itu, bagian ini akan membahas mengenai modal sosial, dan
berargumen bahwa perkembangan wakaf dan keberhasilan tatakelolanya banyak
dipengaruhi oleh modal sosial.
Tanpa adanya modal sosial yang kuat, pengelolaan wakaf banyak menemui
hambatan baik secara sosiologis maupun manajemen yang pada akhirnya
mempengaruhi tingkat keberhasilan pengelolaan lembaga wakaf itu sendiri.
Modal sosial di sini merujuk pada sisi manusia sebagai pengelola suatu institusi,
dan kultur masyarakat sebagai pengguna atau pemanfaat wakaf. Keberhasilan dan
perkembangan suatu lembaga akan dipengaruhi oleh siapa pengelolanya. Dan
begitu juga, akan dipengaruhi oleh bagaimana pola pikir masyarakatnya.
Konstruk kajian modal sosial memandang bahwa kualitas tata kelola
kelembagaan mempengaruhi kualitas jejaring dan kualitas output yang dihasilkan.
Apabila kualitas kelembagaannya buruk, buruk juga pencapaian yang diinginkan
lembaga tersebut.
Dalam hal ini, modal sosial yang terkait dengan wakaf ada dua. Pertama
yaitu modal sosial yang merujuk pada kapasitas manusianya (human resources).
Seperti diketahui, aset wakaf diberikan oleh wakif (orang yang berwakaf) untuk
dipercayakan kepada nadzir (pengelola) wakaf untuk menjaga dan mengelola
21
wakaf itu supaya bisa terus mendatangkan manfaat. Kapasitas manusia ini juga
termasuk pemahaman dan dukungan dari masyarakat sebagai penerima manfaat
wakaf yang secara tidak langsung mengkonstruksi wakaf seperti apa yang bisa
diterima oleh masyarakat.
Kedua, modal sosial yang merujuk pada dukungan dalam bentuk
kepercayaan (trust). Kepercayaan ini sudah ada misalnya dalam proses
penunjukan nadzir, di mana wakif akan menunjukkan seseorang yang bisa amanah
untuk mengelola wakafnya. Selain dari wakif, trust juga harus ada antar para
nadzir (untuk nadzir kelompok dan lembaga). Yang terakhir trust juga ada dalam
bentuk kepercayaan dari masyarakat yang menilai kinerja nadzir. Kepercayaan
masyarakat ini akan naik turun sejalan dengan baik tidaknya kinerja nadzir.
Dalam masyarakat tradisional yang memiliki komunalisme tinggi seperti di
Indonesia, trust terhadap individu bisa didapat dari status seseorang, apakah itu
status yang didapat dari masyarakat, maupun status yang didapat dari pekerjaan.
Rata-rata wakif mempercayakan pengelolaan wakaf kepada mereka yang memiliki
status keagamaan, misalnya ulama, atau juga tokoh masyarakat, atau juga
kerabat/keluarga. Pemilihan ini berdasarkan pandangan bahwa orang-orang
tersebut, khususnya yang memiliki moralitas tinggi, akan mengelola aset wakaf
secara baik dan amanah. Teori modal sosial dan trust juga menunjukkan hal
tersebut.27
Praktek pengelolaan wakaf sudah memiliki modal sosial namun selama ini
tidak disadari. Modal sosial itu terbentuk dari keinginan wakif untuk berbuat baik
27
Stephen Macedo, “The Constitution, Civic Virtue, and Civil Society: Social Capital as
Substantive Morality,” Fordam Law Review, Vol. 69, Issue 5 (2001): 1582,
22
dan mewakafkan asetnya untuk kepentingan social, dan juga dari penunjukkan
nadzir yang mengelola wakaf. Dalam praktek wakaf ada unsur derma (giving) dan
timbal balik kebaikan (resiprositas), dan juga kepercayaan. Hal inilah yang
sebenarnya dalam kaca mata Putnam menjadi modal sosial yang mengikat wakaf
sehingga berkembang di masyarakat.28
Terbentuknya trust merupakan indikasi dari potensi kesiapan lembaga
wakaf untuk mampu bekerjasama satu sama lain dalam mengelola dan
mengembangkan aset wakaf.29
Melalui trust kumpulan orang dalam lembaga
wakaf, dan antar lembaga wakaf dapat bekerjasama secara lebih efektif karena ada
kesediaan diantara mereka untuk menempatkan kepentingan lembaga wakaf
secara luas di atas kepentingan individu.30
Terciptanya saling percaya yang tinggi (high trust) dalam suatu komunitas
juga meningkatkan partisipasi masyarakat dalam berbagai ragam bentuk dan
dimensi, terutama dalam konteks membangun kemajuan bersama. Dalam hal ini
petensi ini dapat dikorelasikan juga bagi pengembangan aset dan lembaga
wakaf.31
Sebaliknya, kehancuran rasa saling percaya akan mengundang berbagai
bentuk masalah serius. Masyarakat yang kurang memiliki perasaan saling percaya
sulit menghindari berbagai situasi kerawanan sosial dan ekonomi. Dalam Islam,
28
Lihat Robert D. Putnam, Bowling Alone: The Collapse and Revival of American
Community (New York: Simon & Schuster, 2000), 3-22. 29
B. Rothstein and D. Stolle, How Political Institutions Create and Destroy Social
Capital: An Institutional Theory of Generalized Trust (2002): 4. 30
Lihat Fukuyama dalam Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity yang
mengkaji manfaat trust dalam lembaga. Francis Fukuyama, Trust: The Social Virtues and the
Creation of Prosperity (NewYork: The Free Press, 1995). 31
D. Gambetta, “Trust: Making and Breaking Cooperative Relations,” In Foundation of
Social Capital, ed. Elinor Ostrom and T.K. Ahn (Massachusetts: Edward Elgar Publishing
Limited, 2003), 213-237.
23
konsep saling percaya bisa dilihat dari konsep amanah dan juga tidak berburuk
sangka (husn al-zann).32
Mengingat begitu penting trust dalam lembaga wakaf, menjadikan
lembaga tersebut mestinya mencari formula penting bagi terciptanya trust di
organisasinya tersebut. Dalam menanamkan nilai, sebuah lembaga harus mengerti
apa yang mendorong nilai-nilai di masyarakat. Lembaga juga harus mengerti dan
mengetahui di mana nilai diciptakan dan di mana dihancurkan. Di samping tetap
memeliharta trust, sebuah institusi harus membangun sebuah kultur nilai (value
culture). Value culture merupakan sesuatu yang memungkinkan semua orang
dalam sebuah lembaga mempunyai pandangan yang sama bahwa misi utama
lembaga wakaf adalah menjaga, mengelola dan mengembangkan amanat wakaf
yang telah diberikan sehingga aset dan tatakelolanya berkembang baik.33
Dalam lembaga wakaf, terdapat nadzir yang menduduki posisi strategis.
Karena itu fokus modal sosial yang utama ada pada kualitas nadzir itu sendiri.
Untuk itu sudah semestinya seorang nadzir memperhatikan elemen pembentuk
kepercayaan masyarakat (trust). Kepercayaan masyarakat atas nadzir akan muncul
seiring dengan adanya kapasitas kemampuan nadzir dalam mengelola, memelihara
komitmen, melaksanakan apa yang dikatakan, serta menginspirasi orang lain.
Keseluruhan ide yang digagasnya menjadi seseorang yang layak dipercaya, baik
32
QS. Al- Hujarāt: 12 Tafsir ayat ini menekankan bahwa buruk sangka adalah sifat yang
harus dijauhi. Lihat Abu al-Fida’ Isma’īl ibn Kathīr Al-Damshiqi Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur’ān al-
‘Azīm Juz VII (Dār al- Taybah li al-Nasr wa al-Tawzī‘, 1999), 377. 33
Untuk melihat bagaimana value culture itu penting, lihat Yuswohadi, Bembi Dwi
Indrio, dan Sunarto Ciptoharjono (ed.), Hermawan Kartajaya on Marketing (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2004), 644.
24
bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Adapun prinsip kunci mewujudkan trust
pada level ini adalah kredibilitas.34
Setidaknya terdapat empat hal yang harus diperhatikan untuk mewujudkan
kualitas personal nadzir yang kredibel, diantaranya adalah integritas (integrity),
niat (intent), kapabilitas (capability), dan hasil (result).35
Untuk mengembangkan
integritas seseorang harus memiliki nilai-nilai jujur,36
dan adil.37
Sifat-sifat ini
penting dalam mengelola dan mengembangkan aset wakaf. Seorang nadzir harus
memiliki komitmen melaksanakan tugas, agenda atau kesepakatan. Komitmen
yang dibuat harus rasionalitas dan dengan persiapan matang; menjaga sebuah
kepercayaan dengan bersikap amanah;38
selalu memiliki kesiapan menerima
segala kebaikan yang diterima dengan bentuk evaluasi dan peningkatan kinerja;
melandasi semua aktifitas usaha atas dasar ibadah.
Untuk memelihara niat (intent) supaya sesuai koridor, seorang nadzir harus
bekerja dengan cara yang legal, baik menurut peraturan hukum positif maupun
34
Seseorang dianggap kredibel apabila kualitas pribadinya dapat dipercaya. Orang yang
kredibel harus memegang komitmen yang dibuatnya, memiliki integritas, tidak melakukan
kebohongan dan siap bertanggungjawab apabila melakukan suatu kesalahan. Salah satu indikator
seseorang dianggap kredibel adalah selalu menjaga ucapannya selaras dengan perbuatan yang
dilakukan. Lihat Budhi Wibowo, Dibenci tetapi Dirindu Sukses sebagai Perantara (Jakarta: Elex
Media Komputindo, 2010), 26-27. 35
Stephen m. R. Covey, The Speed of Trust: The One Thing That Changes Everything,
43-109. 36
Konsep dan praktek jujur dalam Islam dapat dilihat dari banyak hadith dan sirah
Nabawi. Diantaranya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Tirmidhi dari Sufyan Athauri, dari Abi
Hamzah, dari Hasan Basri, dari Abī Sa’id berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Seorang
pedagang yang jujur dan amanah bersama-sama dengan para nabi, orang-orang yang jujur dan para
syuhada." hadīth hasan. (Abu al-Fida’ Isma’īl ibn Kathīr Al-Damshiqi, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Azīm.
[Beirut: Dār al-Fikr. 1997], 355). 37
Dalam al- Qur’ān perintah berbuat adil dapat ditelusurui dalam Q.S. Nisā’ (4) : 58, Q.S.
al-Māidah (5): 8, Q.S. al-An'ām (6): 152, Q.S. al-A'rāf (7): 29 dan 85, Q.S. Hūd (11): 84-85, Q.S.
al-Isrā'(17): 35, Q.S. al- Anbiyā (21): 112, Q.S. al-Rahmān (55): 9, Q.S. al-Mutaffifīn (83): 1-3,
Q.S. al-Talāq (65): 2. 38
Konsep amanah dalam Islam dapat dijumpai dalam al-Qur’ān surat al- Anfāl ( 8) :27:
Q.S. al-Mu’minūn (23) : 8 dan 11; Q.S. al- Ahzāb (33):72; Q.S. Fātir (35): 32 dan 35.
25
menurut syar’i (agama),39
berbuat dengan penuh ketulusan dan kepedulian,
memastikan segala ketulusan niat tersebut berjalan dengan baik, memastikan
bahwa antara yang ada dalam gagasan itu sesuai dengan realitas kenyataan di
lapangan, mencari jalan keluar yang saling menguntungkan.
Adapun supaya nadzir capable, dirinya harus bekerja cerdas sesuai dengan
kemampuan yang maksimal. Dalam ajaran Islam, segala sesuatu harus dilakukan
secara benar, tertib, dan teratur. Proses-prosesnya harus diikuti dengan baik.
Selalu menciptakan proses, hasil kerja yang berkualitas, dan bekerja secara
profesional sesuai dengan kemampuan dan keahliannya ini adalah selayaknya
menjalankan konsep amanah yang dicontohkan dan juga diamanatkan oleh Nabi
Muhammad. Bahkan Nabi Muhammad pernah menyatakan bahwa bumi akan
kacau dan kiamat jika tidak ada amanah.40
Poin terakhir yang harus diperhatikan dalam membentuk trust pada diri
nadzir adalah aspek hasil (results). Hasil memiliki hubungan yang erat dengan
trust, karena dengan hasil yang baik, seorang nadzir dikenal dan dinilai memiliki
kecakapan, keahlian dan dedikasi kerja yang baik sehingga tetap dipercaya. Hasil
yang optimal akan menunjukkan rekam jejak yang baik, seorang yang memiliki
hasil kerja positif akan memberi pengaruh yang baik kepada orang lain. Seorang
nadzir yang memiliki hasil kerja (results) yang baik akan menghabiskan waktunya
dengan sesuatu kegiatan yang membawa manfaat dan tidak berbuat dengan
perkara yang sia sia. Ia akan menyelesaikan segala tanggungjawab dan tugas
39
Dalam ajaran Islam seorang muslim diperintahkan untuk selalu berbuat sesuai aturan,
dan tidak melanggar ketentuan, seperti dijelaskan dalam Q.S. al-Baqarah (2): 188, Q.S. al-
Nisa’(4): 29-30 dan 161, Q.S. al-Taubah (9): 34. 40
Muhammad bin Ismaī‘īl al-Bukhāri, Sahīh al-Bukhārī, dalam Maktabah Al-Shāmilah
(Riyad: Dār al-Salām, 1419 H), hadis ke 59.
26
yang diberikan kepadanya dengan tidak hanya sekedar mengerjakan kewajiban
dan tugas, tetapi juga melakukan sebuah evaluasi menyeluruh untuk peningkatan
kinerja.
Dalam lembaga wakaf, kemampuan nadzir dan tim yang bertugas
mengelola dan mengembangkan wakaf membentuk modal sosial baik di internal
maupun eksternal yang mampu mengubah tatakelola lembaga wakaf menjadi
lebih unggul.
Berikut adalah ciri-ciri yang harus dimiliki nadzir dilihat dari kerangka
modal sosial: (1) memiliki keunggulan pendidikan; (2) memiliki kemampuan
manajerial yang baik; (3) memiliki jaringan luas; (4) memiliki karakter
kepemimpinan yang transformatif; dan (5) mempunyai pengetahuan mapan
mengenai wakaf produktif.
Gambar 2.1. Modal Sosial Nadzir
27
Di bawah ini akan dijelaskan lima karakteristik modal sosial yang harus
dimiliki oled nadzir wakaf.
Pendidikan yang dimiliki oleh nadzir melahirkan profesionalisme sehingga
menjadi subjek penggerak pengelolaan lembaga wakaf yang baik. Dengan
pendidikan yang baik, seorang nadzir diharapkan memiliki kualitas pengetahuan,
memahami arti pentingnya tekhnologi, dan memiliki keterampilan teknis dan
kecakapan yang memadai mengenai wakaf. Nadzir yang memiliki pendidikan
bagus juga diharapkan mempunyai kemampuan kewirausahaan, yang menjadi
salah satu pilar roda pengembangan ekonomi pada sebuah lembaga saat ini
sehingga mampu bertahan dan berkembang. Pentingnya pendidikan juga dipahami
karena ia dapat meningkatkan daya saing yang menjadi syarat eksistensi dari
banyaknya persaingan era sekarang.41
Kemampuan manajerial yang baik pada diri nadzir memiliki manfaat bagi
lembaga wakaf yang ia pimpin, karena organisasi yang baik membutuhkan kinerja
yang juga baik sehingga organisasi menjadi efektif. Kemampuan manajerial
membawa organisasi memiliki kepastian perencanaan program kerja dan praktek
manajemen yang ditentukan. Hal ini tentunya juga berdampak pada terlaksananya
program lembaga wakaf, dan pencapaian-pencapaian yang diinginkan.42
Adapun pentingnya jaringan adalah karena ia dapat memfasilitasi
terjadinya komunikasi dan interaksi yang baik, memungkinkan tumbuhnya trust
41
Saat ini beberapa negara mengembangkan knowledge-based economy (KBE), yang
mensyaratkan dukungan manusia berkualitas. Lihat Mohammad Ali, Pendidikan untuk
Pembangunan Nasional: Menuju Bangsa Indonesia yang Mandiri dan berdaya SaingTinggi
(Jakarta: Grasindo, 2009), 282. 42
Untuk mengetahui pentingnya manajemen dan manjerial lihat Hessel Nogi S
Tangkilisan, Manajemen Publik, ed. Yovita Hardiwati (Jakarta: Grasindo Gramedia Widiasarana
Indonesia, 2005), 163.
28
dan memperkuat jalinan kerjasama. Salah satu ciri masyarakat atau komunitas
yang sehat adalah memiliki jaringan-jaringan yang kuat dan kokoh. Jalinan inter-
relasi yang kental tersebut dapat berbentuk formal maupun informal.43
Jaringan
sosial yang erat mampu memperkuat perasaan kerjasama para anggotanya serta
manfaat-manfaat dari partisipasinya itu.44
Selain itu, jaringan yang luas juga
sangat dibutuhkan oleh nadzir karena bermanfaat untuk: (1) menemukan
sumberdaya penunjang atau spesialisasi bagi terciptanya efektifitas usaha dan
efektifitas program lembaga wakaf; (2) efesiensi pengeluaran sehingga biaya-
biaya transaksi dapat ditekan; dan (3) terciptanya usaha yang fleksibel karena
memiliki banyak jaringan yang dapat dipercaya.45
Untuk itu seorang nadzir perlu
memperhatikan faktor jaringan bagi lembaganya. Manfaat utama jaringan dalam
lembaga wakaf adalah membantu penghimpunan wakaf, membantu berjalannya
bisnis yang dikelola oleh wakaf, dan mendorong terbentuknya trust.
Adapun nadzir yang memiliki karakteristik kepemimpinan yang bersifat
transformatif memiliki ciri-ciri antara lain: (1) memiliki kharisma, (2) senantiasa
menghadirkan stimulasi intelektual yaitu selalu membantu dan mendorong para
pengikutnya untuk mengenali ragam persoalan dan cara-cara untuk
memecahkannya; (3) memiliki perhatian dan kepedulian terhadap setiap
anggotanya untuk melakukan hal yang terbaik bagi dirinya sendiri dan
43
Jenny Onyx dan Paul Bullen “Measuring Social Capital in Five Communities,” Journal
of Applied Behavioral Science, vol. 36, no. 23(2000): 23-42. 44
Dalam Islam terdapat ajaran yang merujuk pada penguatan jaringan (hubungan), yaitu
konsep persaudaraan (ikhwah) yang memiliki dimensi luas karena cakupannya sudah tidak
memandang pertalian darah sebagai satu-satunya gagasan persaudaraan. Lihat Tantawī, “Al-Tafsīr
Al-Wasīt,” Mauqi’ Al-Tafāsir, t.t, 3937. 45
Lihat pentingnya jaringan dalam usaha pada Muhammad Ismail Yusanto dan
Muhammad Karebet Widjajakusuma, Menggagas Bisnis Islami (Jakarta: Gema Insani Press,
2002), 97.
29
komunitasnya; (4) senantiasa memberikan motivasi yang memberikan inspirasi
bagi anggotanya; (5) berupaya meningkatkan kapasitas para pengikutnya agar bisa
mandiri, tidak selamanya tergantung pada pemimpin, dan lebih banyak
memberikan contoh ketimbang berbicara (keteladanan). 46
Karakter terakhir dari modal sosial nadzir adalah pengetahuan nadzir
tentang wakaf. Seorang nadzir perlu memiliki pengetahuan terkait wakaf
(misalnya regulasi) dan juga memiliki wawasan yang luas. Dengan modal ini,
nadzir mampu membuat kebijakan yang tepat bagi kemajuan lembaga wakaf yang
dikelolanya.
Selain perlunya trust yang kuat pada internal lembaga wakaf dan
nadzirnya, trust juga perlu dimiliki masyarakat luas. Bagaimanapun
masyarakatlah yang kemudian memonitor dan menikmati hasil berkembangnya
lembaga wakaf. Ada beberapa langkah langkah yang perlu diambil nadzir untuk
menciptakan kepercayaan masyarakat kepadanya dan kepada lembaga yang
dikelolanya, yaitu (1) menjaga aset wakaf serta mengembangkannya dengan
memperhatikan kelayakan investasi serta kehati-hatian atas resiko investasi yang
ditimbulkan; (2) menghindari penyalahgunaan aset wakaf; (3) melakukan
distribusi hasil aset wakaf tepat sasaran; (4) memperhatikan dan menjalankan
budaya organisasi yang telah ditentukan oleh wakif dan tim; (5) mensosialisaikan
wakaf kepada khalayak umum dengan menunjukkan kualitas pelayanan dan
pengelolaan yang sudah dibuktikan dengan baik; dan (6) menciptakan sistem
46
lihat Habibi Zaman Riwan Ahmad, Membangun Ekonomi Pesantren, Analisis Modal
Sosial (Jakarta: Gaung Persada Press, 2012), 143.
30
pelaporan atas aset wakaf yang komprehensif, yang dapat diakses oleh khalayak
umum.
Dari semua pembahasan mengenai modal sosial dan keterkaitannya dengan
wakaf tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa modal sosial bermanfaat bagi
penguatan lembaga wakaf dalam tatakelola. Modal sosial yang kuat dapat
mempengaruhi image masyarakat luas pada lembaga wakaf sehingga terbentuklah
kepercayaan yang mendukung bagi tercipta dan berkembangnya pengelolaan
wakaf yang lebih terorganisir dan modern.
31
III
DKI JAKARTA: POTRET SOSIAL EKONOMI DAN PERWAKAFAN
Bab ini akan membahas sekilas tentang potret sosial ekonomi dan perwakafan
di DKI Jakarta berdasarkan yang kondisi geografis dan demografis Jakarta, hal ini
penting untuk memberikan konteks mengapa Jakarta merupakan tempat yang
strategis dan menjanjikan bagi perkembangan wakaf produktif di tanah air. Dalam
bab ini juga akan dibahas kondisi terkini perwakafan di DKI Jakarta berdasarkan
data yang dirilis oleh Kantor Wilayah Kementerian Agama Republik Indonesia
Provinsi DKI Jakarta tahun 2008.
A. Latar Belakang Sosial, Ekonomi dan Keagamaan Jakarta
Kondisi Geografis
Jakarta merupakan rumah bagi 9.607.787 jiwa penduduknya. Memiliki luas
daratan 661,52 km2, Jakarta berbatasan dengan laut Jawa disebelah Selatan;
Kabupaten/Kota Bekasi disebelah Timur; Kabupaten/Kota Bogor dan Depok
disebelah Selatan; serta Kabupaten/Kota Tangerang disebelah Barat.
Provinsi DKI Jakarta terbagi menjadi 5 wilayah Kota administrasi dan satu
Kabupaten administratif, yakni: Kota administrasi Jakarta Pusat dengan luas 47,90
km2, Jakarta Utara dengan luas 142,20 km2, Jakarta Barat dengan luas 126,15
km2, Jakarta Selatan dengan luas 145,73 km2, dan Kota administrasi Jakarta
32
Timur dengan luas 187,73 km2, serta Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu
dengan luas 11,81 km247
.
Sebagai ibukota negara, Jakarta memiliki kedudukan khusus di Indonesia.
Ia menjadi barometer segala dinamika politik, ekonomi dan sosial yang terjadi di
Indonesia.
Sebagai pusat perekonomian, Jakarta memiliki Bandara Internasional
Soekarno Hatta dan Pelabuhan Tanjung Priok sebagai jalur utama pintu masuk
perdagangan antar pulau dan perdagangan internasional. Maka tak heran jika
perekonomian bertumpu di Jakarta. Terpusatnya kegiatan, ekonomi, bisnis dan
perdagangan berdampak pada 70% peredaran uang berada di kota ini. Dengan
ditunjang dengan fasilitas terbaik di segala sektor seperti pendidikan, kesehatan,
kesenian, olahraga dan fashion, Jakarta menjadi satelit bagi kota-kota lain di
Indonesia dan menjadi dayatarik bagi setiap orang untuk tinggal dan berharap
mendapatkan penghidupan yang lebih baik di kota ini.
Sementara itu dalam hal nilai aset tanah, tanah di Jakarta memiliki nilai
jual yang lebih tinggi. Hal ini dapat dilihat dari NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) di
DKI Jakarta mulai dari Rp.1000.000 sampai dengan 32 juta rupiah berdasarkan
list yang dimuat oleh Dirjen Pajak RI, Lebih detail dapat dilihat di
http://njop.pajak.go.id/. Hal ini menunjukkan bahwa satu meter tanah di Jakarta
memiliki nilai jual tinggi dibandingkan dengan harga tanah di tempat lain. Hal ini
juga yang menyebabkan perkiraan nilai aset wakaf pada masing-masing tanah
wakaf dalam penelitian ini berkisar diatas 1 milyar.
47
Sumber : Perda No 1 Tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Daerah Tahun 2007-2012
33
Selain sebagai pusat perekonomian, Jakarta juga merupakan pusat
pemerintahan. Semua lembaga tinggi negara, istana negara dan kantor
pemerintahan berada di kota ini. Hal berimplikasi kepada seluruh kebijakan
nasional dan kebijakan politik lahir dikota ini. Sebagai konsekwensinya, Jakarta
menjadi barometer bagi dinamika dinamika politik, ekonomi dan sosial di negara
ini.
Kondisi Demografis
Penduduk Jakarta datang dari berbagai suku, etnis dan kultur yang
berbeda. Suku Jawa (35%), Betawi (28%) dan Jawa (15%) merupakan populasi
terbesar yang tinggal di Jakarta. Sementara merujuk pada agama yang dianut,
mayoritas penduduk Jakarta adalah Muslim (85.4%) diikuti oleh Kristen (7.5%)
dan Katolik (3.2%). Dengan sifat penduduknya yang heterogen ini menjadikan
Jakarta sebagai kota yang cukup terbuka dan menuntut toleransi yang tinggi
diantara penduduknya.
Begitupun dengan latar belakang pendidikan penduduknya, mayoritas
warga Jakarta adalah masyarakat terpelajar dimana jumlah penduduk yang
mengenyam sekolah tinggi cukup banyak. Sebagaimana tergambar dalam table
dibawah ini dapat diketahui bahwa penduduk Jakarta sebagian besar telah
mengenyam pendidikan sampai setingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) atau
pun sederajat.
34
Tabel 3.1. Penduduk Berumur 5 Tahun Keatas Menurut Pendidikan Tertinggi
yang Ditamatkan Provinsi DKI Jakarta
Pendidikan tertinggi yang ditamatkan Jumlah
1 Tidak/Belum Pernah Sekolah 249,786*
2 Tidak/Belum Tamat SD 1,136,234
3 SD/MI/Sederajat 1,563,662
4 SLTP/MTs/Sederajat 1,675,833
5 SLTA/MA/Sederajat 2,653,635
6 SM Kejuruan 368,705
7 Diploma I/II 76,519
8 Diploma III 293,498
9 Diploma IV/Universitas 678,454
10 S2/S3 78,520
11 Tidak Terjawab 3,117
Jumlah 8,777,963
Sumber: Data Sensus Penduduk 2010 - Badan Pusat Statistik Republik Indonesia * Penduduk yang tidak bersekolah sebagian besar usia lanjut.
Ketiga faktor diatas diyakini menjadikan warga Jakarta lebih terbuka dan
terbiasa dalam merespon ide-ide inovatif dan kreatif. Begitupun dengan konsep
wakaf produktif, bagi warga Jakarta konsep ini relative baru. Meskipun sejarah
mencatat bahwa wakaf produktif sudah dijalankan sejak masa Rasulullah, bagi
warga Jakarta, konsep ini baru dikenal kembali. Hal ini karena bentuk
pengembangan dan pemanfaatannya yang disesuaikan dengan konteks kekinian
35
semisal wakaf melalui uang tunai dan atau saham, mengunakan tanah wakaf untuk
bangunan hotel, apartemen dan mall, kesemuanya tidak ada pada zaman
Rasulullah.
Sosial Keagamaan
Penduduk Muslim tersebar secara merata di 6 wilayah pemerintahan DKI,
jumlah terbesar dapat ditemui di Jakarta Timur, Jakarta Selatan dan Jakarta Barat.
Tabel 3.2.
Sebaran Penduduk Muslim Provinsi DKI Jakarta
Nama Kabupaten/Kota
Total Jumlah
Penduduk
Jumlah Penduduk
Muslim
%
1 Kepulauan Seribu 21,082 21,009 100
2 Kodya Jakarta Selatan 2,062,232 1,896,152 92
3 Kodya Jakarta Timur 2,693,896 2,416,360 90
4 Kodya Jakarta Pusat 902,973 752,465 83
5 Kodya Jakarta Utara 1,645,659 1,311,198 80
6 Kodya Jakarta Barat 2,281,945 1,803,612 79
Total 9,607,787 8,200,796
Sumber: Kanator Wilayah Kementerian Agama Provinsi DKI Jakarta 2008
Dalam hal keagamaan, Jakarta menjadi poros bagi dinamika sosial
keagamaan yang terjadi di tanah air. Keberagamaan atau religiusitas masyarakat
Jakarta terbilang cukup tinggi. Saat ini di Jakarta, mudah ditemui orang
perempuan berjilbab yang fashionable di pusat-pusat perbelanjaan (mall), kampus,
36
sekolah, bank dan perkantoran. Mereka menggunakan identitas keislamannya
dengan rasa percaya yang tinggi. Fenomena ini tidak kita dapati pada awal tahun
90’an, dimana identitas keislaman seseorang tidak boleh di munculkan di ruang
publik. Pada masa itu, perempuan berjilbab tidak bisa bermimpi untuk bisa
bekerja di bank atau menjadi presenter di televisi.
Pasca reformasi 1998, tingkat partisipasi masyarakat Indonesia secara
umum dan masyarakat Jakarta secara khusus terhadap aktifitas keagamaan
meningkat tinggi. Hal ini terlihat dari hal-hal yang kasat mata seperti
meningkatnya jumlah masyarakat yang mengenakan busana muslim, maraknya
partai politik Islam, berjamurnya perbankan syariah, meningkatnya tayangan
program TV yang bernuansa Islam, maraknya lembaga-lembaga zakat dan
kemanuasiaan bernuansa Islam dan peningkatan penyediaan fasilitas masjid atau
musholla di gedung-gedung perkantoran dan mall. Perubahan juga terjadi pada
hal-hal yang tidak kasat mata, seperti meningkatnya rasa percaya masyarakat
kelas menengah terhadap sekalah-sekolah Islam, meningkatnya perolehan dana
zakat, infak dan sedekah, tingginya minat masyarakat terhadap produk-produk
syariah dan tingginya minat masyarakat terhadap tren fashion muslim. Dari
paparan diatas dapat disimpulkan bahwa fenomena tersebut diatas merupakan
indikasi tingginya tingkat religiousitas masyarakat Jakarta.
Dapat dikatakan bahwa pengembangan wakaf produktif memiliki masa
depan cerah jika di kelola dengan baik. Dinamika sosial, ekonomi, politik dan
keagamaan di Jakarta merupakan modal sosial yang besar bagi berkembangnnya
potensi wakaf produktif di Indonesia.
37
B. Gambaran Umum Wakaf di Jakarta
Sebagai sebuah kota dengan mayoritas penduduk Muslim, Jakarta juga
memiliki sejarah perwakafan yang panjang. Jakarta menempati urutan ke 16
dalam hal jumlah lokasi aset wakaf diantara 33 provinsi di Indonesia. Angka ini
terbilang cukup baik mengingat tanah di Jakarta relatif lebih mahal dibandingkan
tanah di propinsi lain dan sebagian besar sudah habis terpakai oleh kantor-kantor
pemerintahan, pusat bisnis dan perumahan penduduk.
Data yang dimiliki oleh Kantor Wilayah Kementerian Agama DKI Jakarta
tahun 2008 dan juga menjadi data yang dirilis oleh Direktorat Wakat Kementerian
Agama tahun 2010 menyebutkan total luas tanah wakaf di Jakarta mencapai
9.353.537.662 m2. Ini berarti 14% dari total luas daratan Jakarta adalah tanah
wakaf. Aset tanah ini terdapat di 5.661 lokasi yang tersebar di lima kota wilayah
administrasi (dalam laporan ini wilayah Kepulauan Seribu masuk kedalam
wilayah administrasi Jakarta Utara).
Dari tabel dibawah ini dapat dilihat wakaf tersebar dengan cukup merata di
tiga wilayah kota yakni Jakarta Timur, Jakarta Selatan dan Jakarta Barat. Lokasi
aset wakaf sebagian besar terkonsentrasi di Jakarta Timur sebesar 28 % dan
Jakarta Selatan mencapai 27%.
Meskipun demikian, luas tanah wakaf terbesar berada di Jakarta Timur
yaitu mencapai 81%. Hal ini sejalan dengan sebaran penduduk Muslim di tiap
wilayah administratif kota seperti dapat dilihat pada tabel demografi (Tabel 3.2).
38
Tabel 3.3.
Total Lokasi dan Luas Tanah Wakaf Propinsi DKI Jakarta
No. Kota
Administrasi
Total % %
Lokasi Luas M2 lokasi luas
1 Jakarta Timur 1,558 7,606,097 28 81
2 Jakarta Selatan 1,506 963,744
27 10
3 Jakarta Barat 1,028 330,480
18 4
4 Jakarta Utara 853 248,030
15 3
5 Jakarta Pusat 716 209,593
13 2
Jumlah 5,661 9,357,945 100 100
Sumber: Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi DKI Jakarta 2008
Aset Wakaf Berdasarkan Sertifikasi Tanah Wakaf
Berdasarkan status sertifikat wakaf, sekitar 74% dari aset wakaf yang ada
telah bersertifikat. Sayangnya luas tanah wakaf yang sudah bersertifikat hanya
18% dari total luas aset wakaf di DKI Jakarta. Hal ini berarti, sekitar 82 % luas
aset wakaf yang tersebar di 1950 lokasi belum bersertifikat. Angka ini sebagian
besar terkonsentrasi di Jakarta Timur mencapai luas 7.286.118m2 di 593 lokasi
wakaf.
Sementara aset wakaf yang telah bersertifikat terkonsentrasi di Jakarta
Selatan dengan luas tanah mencapai 666,409 di 1.160 lokasi. Belum diketahui
mengapa lokasi aset wakaf bersertifikat sebagian besar terdapat di Jakarta Selatan,
apakah hal tersebut di sebabkan oleh birokrasi dan pelayanan di wilyah ini lebih
39
bagus, ataukah tingkat kesadaran nadzir lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah
lainnya di Jakarta. masih harus dicari lebih jauh lagi.
Tabel 3.4.
Laporan Perkembangan Sertifikasi Tanah Wakaf
Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi DKI Jakarta Tahun 2008
Kota
Administrasi
Jumlah Sudah bersertifikat
Sudah ada AIW/APAIW Belum
Sudah didaftar
BPN
Belum didaftar BPN Bersertifikat
Lokasi Luas (m2) Lokasi Luas (m2) Lokasi Luas (m2) Lokasi Luas (m2) Lokasi Luas (m2)
Jakarta Selatan 1,506 963,744 1,160 666,409 2 434 344 296,901 346 297,335
Jakarta Timur 1,558 7,606,097 965 371,057 0 0 593 7,286,118 593 7,286,118
Jakarta Barat 1,028 330,480 775 282,039 54 6,832 199 41,609 253 48,441
Jakarta Utara 853 248,030 679 192,593 112 43,514 62 11,923 174 55,437
Jakarta Pusat 716 205,186 593 171,123 45 19,953 78 18,517 584 202,090
Jumlah 5,661 9,353,538 4,172 1,683,221 213 70,733 1,276 7,655,070 1,950 7,889,422
Sumber: Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi DKI Jakarta
Pemanfaatan Aset Wakaf
Sementara itu, berdasarkan penggunaan aset wakaf, musholla menempati urutan
pertama (51%), diikuti oleh masjid (32%), madrasah/sekolah (8.7%), makam (0.3)
dan sosial/lain-lain (0.1).
40
Tabel 3.5.
Penggunaan Aset Wakaf Tahun 2008
Penggunaan Lokasi Luas M2 %
Lokasi Luas M2
1 Langgar/Musholla 2,892 478,233 51.1 5.1
2 Masjid 1,813 988,126 32.0 10.6
3 Madrasah/Sekolah 492 384,230 8.7 4.1
4 Kuburan/Makam 17 27,890 0.3 0.3
5 Sosial/lain-lain 447 7,479,465 0.1 79.9
Total 5,661 9,357,945 92 100 Sumber: Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi DKI Jakarta
Meskipun begitu, penggunaan untuk sosial/lain-lain ini menggunakan luas
aset wakaf yang paling besar mecapai 7.479.465 m2 atau sekitar 79.9% dari total
luas aset wakaf di DKI Jakarta.
Dari data yang kami peroleh, Kantor Wilayah Kementerian Agama
Provinsi DKI Jakarta mengkategorikan penggunaan aset wakaf mencakup kategori
empat M yaitu; masjid, musholla, madrasah dan makam. Sementara di luar itu
dimasukkan dalam katergori sosial/lain-lain. Data yang kami peroleh,
pemanfaatan dengan kategori lain-lain ini mencakup yayasan pendidikan,
pesantren, sekolah taman kanak-kanak dan ada dua wakaf yang jelas menyebutkan
wakaf produktif sebagai peruntukkannya.
Adapun penggunaan aset wakaf berdasarkan persebaran wilayah seperti
terlihat pada table 3.6 dibawah ini, jumlah masjid yang berdiri diatas tanah wakaf
banyak terdapat di Jakarta Timur dan Jakarta Selatan. Begitupun dengan
musholla, madrasah, makam dan juga untuk kategori sosial.
41
Data dibawah ini menunjukkan jumlah lokasi dan luas aset wakaf sebagian
besar berada di Jakarta Timur dan Barat. Hal ini berbanding lurus dengan jumlah
populasi penduduk di wilayah itu yang mencapai 92 dan 90 persen (lihat table
3.2).
Berdasarkan data diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa aset wakaf yang
tersebar di DKI Jakarta ini dimaksudkan peruntukkannya dalam rangka memenuhi
kebutuhan akan rumah ibadah di wilayah tersebut, maka tak heran jika sebagian
besar aset wakaf diperuntukkan untuk bangunan masjid, musholla, madrasah dan
makam.
Tabel 3.6.
Laporan Perkembangan Kegunaan Sertifikasi Tanah Wakaf
Menurut Wilayah Tahun 2008
Kota
Administrasi
Masjid Musholla
Madrasah/Sekol
ah
Makam Sosial/lain-lain Total
Lokasi Luas M2 Lokasi Luas M2
Lok
asi
Luas M2
Loka
si
Luas
M2
Lokasi Luas M2
Total
Lokasi
Total
Luas M2
Jakarta Timur 470 254,850 814 113,533 164 117,542 10 100 100 7,120,072 1,558
7,606,09
7
Jakarta Selatan 412 334,629 772 201,181 138 141,216 5 24,800 179 261,918 1,506 963,744
Jakarta Barat 363 155,566 513 75,112 96 74,486 2 2,990 54 22,326 1,028 330,480
Jakarta Utara 254 105,939 486 59,007 60 34,123 0 0 53 48,962 853 248,030
Jakarta Pusat 314 137,141 307 29,400 34 16,864 0 0 61 26,188 716 209,593
42
Jumlah 1,813 988,126 2,892 478,233 492 384,230 17 27,890 447 7,479,465 5,661
9,357,94
5
Sumber: Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi DKI Jakarta
Akan tetapi, data ini tidak menunjukkan bahwa jumlah masjid di satu
wilayah lebih besar dengan wilayah lain. Hal ini disebabkan oleh banyaknya
masjid yang juga berdiri diatas bukan tanah wakaf. Masjid-masjid ini tidak masuk
terhitung kedalam data ini karena statusnya bukan tanah wakaf.
Masjid dibangun bukan diatas tanah wakaf
Sebuah studi yang dilakukan oleh Amelia Fauzia mengenai status wakaf
masjid dan mushalla di Indonesia memperlihatkan fenomena yang cukup
mengangetkan, bahwa 294,020 (atau 41%) masjid/mushalla berdiri di atas tanah
non wakaf. Di Jakarta persentase lebih kecil yaitu 33% atau sekitar 2.831
masjid/mushalla yang berdiri di atas tanah non wakaf.48
Fenomena ini memperlihatkan bahwa kesadaran masyarakat di Indonesia
termasuk juga di Jakarta untuk mendirikan masjid di atas tanah wakaf masih
kurang. Dan sepertinya kesadaran untuk mempertimbangkan status tanah dan
termasuk izin pendirian bangunan masih rendah. Padahal, persoalan tanah dan izin
48
Amelia Fauzia, “Fenomena Masjid di atas Tanah Bukan Wakaf: Sebuah Kajian
Empiris,” Website Badan Wakaf Indonesia,
http://bwi.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1008%3Afenomena-masjid-di-
atas-tanah-bukan-wakaf-sebuah-kajian-empiris-3-
habis&catid=27%3Aopini&Itemid=137&lang=ar.
43
mendirikan bangunan dalam berbagai kasus, masjid/musholla yang berdiri diatas
tanah non wakaf telah menimbulkan konflik sosial yang berkepanjangan.
Untuk kasus DKI Jakarta, masjid/mushalla di atas berdiri di atas tanah milik
perseorangan atau yayasan, milik pengembang perumahan, atau milik pemerintah.
Tabel 3.7.
Masjid di Jakarta yang Berdiri Bukan di atas Tanah Wakaf Tahun 2012
NO NAMA MASJID ALAMAT STATUS TANAH MILIK
1 Masjid Istiqlal Jakarta Pusat Aset Pemda DKI
2 Masjid Kubah Emas
Dian Al-Mahri Jl. Meruyung Raya, Limo, Depok
Yayasan Keluarga Dian al-
Mahri
3 Masjid Pondok Indah Jl. Sultan Iskandar Muda Pd Indah PT Metropolitan Jakarta
4 Masjid Agung Sunda Kelapa Jl. Taman Sundakelapa 16 Menteng Pengelolaan dalam aset Pemda
DKI
5 Masjid At-Tin Taman Mini Indonesia Indah Jaktim Yayasan kel. Alm. Ibu Tien
Soeharto
6 Masjid Agung Al-Azhar Kebayoran Baru Jakarta Selatan Yayasan pend Islam Al-Azhar
Jaksel
7 Masjid At-Taqwa Ps Minggu Jl.Poltangan II 45 Ps Minggu Aset pemda dki jakarta selatan
8 Masjid Jakarta Islamic Center Jl. Koeja, JIC Jakarta Pusat Aset Pemda DKI
9 Mesjid Jami' Bintaro Sector 1. Bintaro Jaya,
Jaksel Pengembang Bintaro jaya
10 Masjid Al-Bina Senayan Komp Gelora Bung Karno Senayan Pemda DKI
11 Masjid Al-I’Tisham Dukuh Atas, Jakarta Pusat Bank Negara Indonesia (BNI)
12 Masjid Baitul Ihsan BI Jl. Merdeka Raya Komplek BI Bank Indonesia (BI)
13 Masjid Akbar Kemayoran Jl. Benyamin Sueb Blok Boing Jak-
pus Pemda DKI
14 Masjid al-Musyawarah Kota Satelit Kelapa Gading PT Sumericon Agung
15 Masjid Ni’matul Ittihad Pondok Pinang Pemda DKI
16 Masjid Cut Mutia Jln. Cut Mutia, kp. Melayu Jaktim Gedung dan tanah pemda
44
Sumber: Amelia Fauzia, “Fenomena masjid”
Walaupun dari sisi status tanah masjid-masjid besar di atas berdiri di atas tanah
bukan wakaf, namun harus diakui bahwa masjid-masjid tersebut dikelola dengan
baik. Bahkan beberapa dikelola secara profesional, seperti masjid Agung Al-
Azhar, sehingga mampu mengembangkan unit bisnis yang menguntungkan dan
menjadi tempat aktivitas budaya Islam yang inovatif dan modern.
Bisa dikatakan bahwa kasus masjid-masjid yang didirikan diatas tanah non
wakaf ini memiliki modal sosial yang tinggi sehingga pengurusnya bisa mengelola
aset yang ada secara profesional, tidak hanya menghasilkan dari sisi ekonomi tapi
juga sosial dan budaya, yang memberi kontribusi positif bagi masyarakat Muslim
Indonesia.
Pengelolaan masjid yang berdiri di atas tanah non wakaf di Jakarta
memperlihatkan bahwa managemen dan kapasitas pengelola atau modal sosial
menjadi faktor penting dalam pengembangan suatu lembaga keagamaan. Status
kepemilikan tanah sementara ini tidak menjadi persoalan serius yang menghambat
pengelolaan masjid. Walau tentunya kepastian hukum seperti yang dimiliki tanah
17 Masjid Darul Adzkar Karang Tengah Lebak Bulus Jak-
Sel Yayasan Darul Adzkar
18 Masjid Bani Umar Bintaro, Jaksel Yayasan Kel. Umar Wirahadi
Kusuma
19 Masjid At-Tawab Ciledug Larangan Indah Ciledug Pengembang Larangan Indah
20 Masjid Al-Falah Bona Indah Cilandak, Lebak Bulus Pengembang Bona Indah
21 Masjid Al-Hikmah (Sarinah) Sarinah, Thamrin, Jak-pus Pengembang PT Sarinah
45
wakaf secara teori bisa menyumbangkan lebih banyak keleluasaan dalam hal
pengembangan.
Dari pemaparan bab ini, dapat disimpulkan bahwa Jakarta memiliki
potensi yang tinggi untuk pengembangan wakaf produktif. Potensi ini tidak hanya
dari sisi modal aset yang bernilai ekonomi, tapi juga modal sosial yang besar bagi
pengembangan wakaf produktif. Apakah wakaf di Jakarta sudah dikelola secara
profesional dan memiliki modal sosial yang tinggi untuk pengembangan wakaf
produktif? Bab selanjutnya akan memaparkan potensi wakaf produktif di Jakarta
dengan melihat profil sampel beberapa yayasan atau lembaga wakaf di Jakarta.
46
IV
PROFIL
POTENSI WAKAF PRODUKTIF DI DKI JAKARTA
Bab ini membahas temuan penelitian mengenai potensi wakaf produktif di Jakarta
berupa profil sebanyak 24 yayasan yang menjadi studi kasus wakaf produktif di
Jakarta. Di setiap profil, kami menampilkan sejarah singkat tanah wakaf,
gambaran tanah wakaf saat ini, pengelolaannya, persoalan-persoalan yang biasa
dihadapi dan rencana pengembangan tanah tersebut. Profil dilengkapi dengan
gambaran mengenai nadzir dan harapan mereka terhadap pengembangan wakaf
produktif dan ditutup dengan kesimpulan dan saran yang dirangkum oleh tim
peneliti.
Bab ini dibagi kedalam empat sub-bab berdasarkan hasil temuan yaitu
empat kelompok potensi wakaf produktif. Potensi ini didapatkan dari analisis
potensi aset tanah wakaf dan potensi nadzir. Yang dimaksud dengan aset tanah
wakaf merujuk pada sisa lahan tanah wakaf yang belum digunakan, letak
geografis tanah dan manajemen pengelolaan. Sementara potensi nadzir, merujuk
pada pemahaman nadzir tentang wakaf produktif, gaya kepemimpinan, jaringan
kerja dan tingkat kepercayaan masyarakat.
Adapun empat kelompok potensi wakaf produktif itu adalah sebagai
berikut:
47
Kelompok pertama adalah profil tanah wakaf dengan aset besar dan potensi
nadzir tinggi.
Kelompok kedua yaitu profil tanah wakaf dengan aset besar dan potensi nadzir
cukup.
Kelompok ketiga yaitu profil tanah wakaf dengan aset kecil dan potensi nadzir
tinggi.
Kelompok keempat yaitu profil wakaf yang tidak bersedia ataupun tidak
memungkinkan untuk mengembangkan wakaf produktif
A. PROFIL KELOMPOK PERTAMA: ASET BESAR DENGAN
POTENSI NADZIR TINGGI
Kelompok pertama ini terdiri dari delapan yayasan wakaf, yaitu (1)
Yayasan Madrasah Ad-Dakwah, (2) Yayasan Shirathul Rahman, (3) Yayasan
Masjid Al Mukarromah, (4) Yayasan Husnayain (Masjid Abu Bakar Ash-
Shiddiq), (5) Yayasan Darul Azkar, (6) Yayasan Nurul Falah Tanah Kusir, (7)
Masjid Nurul Falah, (8) Masjid Al-Falah. Kelompok ini mewakili tanah wakaf
dengan aset besar dan potensi nadzir besar.
Mereka dikelompokkan dalam kelompok yang memiliki aset besar karena
selain memiliki lokasi yang strategis, mereka memiliki sisa lahan yang cukup luas
berkisar antara 4.000m2 sampai dengan 1.500 m2, hanya satu lokasi yang
memiliki sisa lahan dibwah 1000 m2 yaitu masjid Al-Falah yang memiliki luas
660 m2. Dari kedelapan lokasi wakaf, kesemuanya memiliki unit bisnis. Sebagian
48
besar berupa gedung serbaguna, sebagain lain berupa sekolah, ruko, koperasi dan
Kantor Jasa Keuangan Syariah (KJKS). Hanya satu lokasi yang tidak memiliki
unit bisnis, karena masih dalam tahap pembangunan gedung. Pembangunannya
sudah mencapai 70% dari yg direncanakan. Nadzir dalam kelompok ini memiliki
jejak rekam yang baik dalam pengelolaan aset wakaf. Begitupun dilihat dari latar
belakang pendidikan, pengalaman organisasi, personalitas dan gaya
kepemimpinannya. Dalam profil ini kami tidak membahas secara detail jaringan
yang mereka miliki. Kuat lemahnya jaringan dilihat dari baik buruknya
pengelolaan aset wakaf yang mereka kelola selama ini. Untuk itu mereka
dikategorikan sebagai nadzir dengan potensi tinggi.
Berikut profil delapan yayasan wakaf tersebut.
1. YAYASAN MADRASAH AD-DAKWAH, JAKARTA BARAT
a. Profil Tanah Wakaf
Nama : Yayasan Madrasah Ad-Dakwah
Alamat : Yayasan ini tersebar di tiga tempat berbeda:
1. Jl. Madrasah Tanah Koja Kelurahan Duri Kosambi,
Cengkareng, Jakarta Barat
2. Jl. Duri Kosambi Raya no. 53. Kelurahan Duri Kosambi,
Cengkareng, Jakarta Barat
3. Kelurahan Gondrong, Cipondoh Tangerang
Peruntukkan : Masjid dan lembaga pendidikan
Luas tanah wakaf : Total 7.741 m2
Lahan dipergunakan : Total 3.600 m2
49
Sisa Lahan : Total 4.141 m2
No Alamat Luas Tanah Wakaf Lahan Digunakan Sisa Lahan
1 Jl. Tanah Koja 4.027 m2 1.500 m2 2.927 m2
2 Jl. Duri Kosambi Raya 1.700 m2 1.400 m2 300 m2
3 Kelurahan Gondrong 2.014 m2 1.100 m2 914 m2
Total 7.741 m2 3.600 m2 4.141 m2
Yayasan ini memiliki tiga sertifikat tanah wakaf, yaitu:
No Alamat No Sertifikat Tanah Wakaf
1 Jl. Tanah Koja 09.03.01.04.1.01163
2 Jl. Duri Kosambi Raya 09.03.01.04.1.01241
3 Kelurahan Gondrong 10.25.02.05.1.00803
Total Perkiraan Nilai Aset : 48 Milyar Rupiah
Sejarah Singkat
Yayasan Ad-Dakwah tersebar di tiga lokasi. Lokasi yang pertama, seluas
4.027 m2 adalah terletak di jalan Tanah Koja, Duri Kosambi Jakarta Barat. Tanah
wakaf berasal dari masyarakat sekitar yang dipercayakan pengelolaannya kepada
H. Muhammad Zen sebagai Nadzir. Figur seorang H. Muhammad Zen bagi
masyarakat Duri Kosambi merupakan tokoh masyarakat yang soleh dan dapat
dipercaya. Atas dukungan masyarakat pula, dibangunlah diatas tanah tersebut
sekolah Madrasah Ibtida’iyah dan Madrasah Tsanawiyah.
50
Tahun 1980an, H. Muhammad Zen meninggal dunia, nadzir untuk tanah
wakaf di jalan tanah Koja kemudian berpindah kepada sang anak H. Abdul
Mubin. Setelah wafatnya H. Muhammad Zen, para ahli waris sepakat untuk
mewakafkan sebidang tanah seluas 1.700 m2 yang terletak di Jl. Duri Kosambi
Raya untuk pembangunan masjid dan sekolah. Tanah wakaf ini atas nama H.
Muhammad Zen sebagai wakif dan H. Abdul Mubin sebagai nadzir.
Atas dukungan masyarakat setempat, yayasan ini berkembang dengan baik
dan masih terus melanjutkan pengembangannya sampai ke Cipondoh Tangerang.
Gambar 4.1.1 Papan plang tanah wakaf masjid Ad-Da’wah
Gambaran Terkini Tanah Wakaf
Sepeninggal H. M. Zen, posisi nadzir berpindah kepada anaknya yang
bernama H. Abdul Mubin. Sama seperti ayahnya, dibawah kepemimpinannya,
tanah wakaf yayasan ini berkembang mencapai total 7.741 m2 yang tersebar di
tiga wilayah. Ketiga tanah wakaf ini dipergunakan sesuai peruntukannya sebagai
lembaga pendidikan yang didalamnya terdapat bangunan masjid dan gedung
51
sekolah terdiri dari madrasah ibtidaiyah, tsanawiyah dan gedung Sekolah
Menengah Pertama (SMP).
Berada di tengah pemukiman penduduk, ketiga tanah wakaf ini juga
berdekatan dengan kantor pemerintahan setempat dan juga pusat bisnis dan
ekonomi seperti pasar dan ruko (rumah toko). Khusus untuk yang berlokasi di Jl.
Duri Kosambi Raya, letaknya berbatasan dengan Garuda Indonesia Training
Center (GITC).
Gambar 4.1.2. Gedung tiga lantai, sarana belajar mengajar yayasan Ad-Dakwah
Saat ini yayasan belum memiliki donatur tetap. Pengelolaan yayasan ini
masih mengandalkan pendapatan dari sumbangan siswa, sementara masjid
mengandalkan sumbangan dari jamaah Jumat yang datang. Adapun penggunaan
dana sumbangan tersebut habis untuk kepentingan perawatan gedung, membayar
gaji guru dan pegawai, dan operasional kegiatan seperti listrik dan telepon.
Sesekali mereka mendapatkan sumbangan dari masyarakat dan pemerintah namun
hal tersebut lebih bersifat insidental seperti perayaan hari besar Islam dan kegiatan
52
Ramadhan. Tentu saja dana-dana tersebut habis terdistribusi untuk kepentingan
kegiatan-kegiatan.
Pihak yayasan juga belum memiliki unit usaha yang keuntungannya dapat
dipergunakan untuk pengembangan yayasan. Hal ini dikarenakan baik nadzir
maupun pengurus hanya fokus untuk mengembangkan sektor pendidikan dan
belum memiliki pengetahuan dan perspektif yang lain yang lebih bersifat profit
dan menguntungkan secara ekonomi. Dalam hal sumber daya manusia,
kebanyakan dari mereka adalah berlatar pendidikan guru dan pegawai
administrasi, tidak ada satu divisi yang dikhususkan untuk mengembangkan sektor
ekonomi. Padahal, jika dilihat dari sejarahnya, yayasan ini mengalami
perkembangan yang cukup baik.
Gambar 4.1.3. Pembangunan gedung sekolah Yayasan Ad-Dakwah
53
b. Profil Nadzir
Nama : H. Abdul Mubin, S. Ag
TTGL : Jakarta 10 Juni 1946
Alamat : Jl. Raya Duri kosambi Rt 03/01
Duri Kosambi, Cengkareng Jakarta Pusat
Telephone : 021-6198514
Pendidikan : Sarjana Strata 1
Pekerjaan : Pensiun Pegawai Negeri Sipil (PNS)
Like father like son, H. Abdul Mubin, S. Ag merupakan anak dari H.
Muhammad Zen yaitu wakif pertama cikal bakal yayasan Ad-Dakwah. Sama
seperti ayahnya, H. Abdul Mubin mendapatkan kepercayaan yang besar dari
masyarakat untuk mengembangkan syiar Islam di wilayahnya. Maka tak heran
jika ia memegang peranan penting dalam pengembangan yayasan Ad-Dakwah.
Selain sebagai nadzir, dia juga berperan sebagai pemimpin, tokoh masyarakat dan
guru bagi masyarakat Cengkareng.
Kepercayaan masyarakat yang besar kepadanya dapat dilihat dari
bertambahnya jumlah tanah wakaf yang dipercayakan masyarakat untuk dikelola
olehnya. Tak hanya itu, H Abdul Mubin juga memiliki hubungan baik dengan
pejabat pemerintahan setempat. Hal ini dapat dilihat dari beberapa dana
pemerintahan yang masuk untuk mendukung pengembangan yayasan Ad-Dakwah
ini.
54
Perspektif H Abdul Mubin, tentang wakaf produktif sudah sangat maju, ini
bisa dilihat dari pernyataannya yang membolehkan investasi di atas tanah wakaf
dapat berasal dari mana saja meskipun berasal dari non-muslim selama keduanya
bersepakat untuk meggunakannya untuk kepentingan masyarakat luas. Dan dia
percaya bahwa wakaf produktif haruslah digalakkan untuk sebesar besarnya
kepentingan umat.
Gambar 4.1.4. H. Abdul Mubin, S. Ag tampak menerima souvenir dari pewawancara dari
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta berupa buku-buku dan informasi wakaf dari Badan
Wakaf Indonesia
Pemikirannya ini tidak semata-mata miliknya sendiri melainkan juga
pengurus yayasan dan staf pengajar di sekolah tersebut. Sebagaimana juga diamini
oleh Furqon. S. Ag, yang ditemui secara terpisah. Furqon menyatakan bahwa unit
usaha seperti balai kesehatan, mini market, ruko, BMT dan anjungan ATM
merupakan alternatif pilihan bagi pengembangan wakaf produktif di yayasan Ad-
55
Dakwah. Selain tentunya pengembangan pendidikan tinggi juga perlu dipikirkan
mengingat pendidikan tinggi yang ada saat ini, lokasinya cukup jauh bagi
masyarakat sekitar.
c. Kesimpulan dan Saran
Tanah wakaf yang strategis, nadzir sekaligus pemimpin yang cakap dan
mendapatkan kepercayaan dari masyarakat luas serta perspektif wakaf yang
modern menjadikan yayasan Ad-Dakwah memiliki potensi tinggi untuk
dikembangkan pemanfaatan wakafnya. Tidak hanya terhenti bagi pengembangan
pendidikan tetapi dapat diarahkan kepada kegiatan ekonomi dan bersifat profit.
Kendala yang dihadapi oleh yayasan ini adalah belum ada divisi atau
personel yang memikirkan kearah sana. Dengan bantuan dan arahan Badan Wakaf
Indonesia (BWI), diharapkan yayasan ini bisa berkembang lebih baik dan
keuntungan dari pemanfaatan tanah wakafnya dapat memberikan kemaslahatan
yang lebih besar dan lebih luas bagi ummat dan bangsa ini.
56
2. YAYASAN SHIRATUL RAHMAN JAKARTA BARAT
A. Profil Tanah Wakaf
Nama :Yayasan Shirathul Rahman
Alamat : Jl. Darmawanita IV No. 2E RT10/01, Rawabuaya,
Cengkareng, Jakarta Barat
Peruntukan : Lembaga Pendidikan
Luas Tanah Wakaf : Total 3.595 m2
No Peruntukkan Luas tanah No Sertifikat
1 Bangunan sekolah 730 m2 09.03.01.05.7.02105
2 Lahan kosong 2.865 m2 09.03.01.01.1.02110
Total Perkiraan Nilai Aset : 3.759.500.000 Rupiah
Sejarah Singkat
Yayasan Shirathul Rahman dibangun diatas tanah wakaf H. Usman Perak
seluas 580 m2. Awalnya tanah ini digunakan sebagai tempat kegiatan majlis
taklim. Karena satu dan lain hal, kegiatan ini dipindahkan ke masjid terdekat.
Selanjutnya dibangunlah sekolah madrasah Ibtidaiyah di atas lahan kosong ini dan
berkembang baik sampai hari ini. Yayasan ini terus berkembang hingga mencapai
total luas lahan sebesar 3.594 m2 yang berada di tiga tempat yang berbeda.
57
Gambaran Terkini Tanah Wakaf
Yayasan ini memiliki total luas tanah wakaf sebesar 3.595 m2. Berupa
bangunan sekolah, rumah toko (ruko) dan lahan kosong yang masing masing
berada di wilayah yang berbeda.
1) Sekolah Ibtidaiyah Shirathul Rahman
Sekolah ini bangun diatas tanah wakaf seluas 580 m2 yang diwakafkan
oleh H. Usman Perak. Tanah wakaf ini tidak memiliki sisa lahan, semuanya habis
untuk bangunan sekolah. Sumbangan siswa diperuntukkan bagi operasional
sekolah, perawatan dan membayar gaji guru dan pegawai. Dengan NJOP senilai
Rp. 2.000.000 per meter persegi, total nilai aset tanah dan bangunan sekolah
mencapai 2.9 miliyar rupiah.
Gambar 4.2.1 Kompleks Sekolah Ibtidaiyah yayasan Shirathul Rahman
58
2) Rumah Toko (Ruko)
Rumah toko milik yayasan ini didirikan diatas tanah seluas 150 m2
merupakan tanah wakaf dari pejabat kelurahan setempat. Ruko ini berada di
pinggir jalan raya dan disewakan seharga 20 juta pertahunnya. Hasil dari
penyewaan ruko ini di peruntukkan untuk menambah gaji guru dan pegawai,
membantu biaya operasional sekolah dan memberikan beasiswa bagi pelajar
Shirathul Rahman yang tidak mampu. Sehingga total lahan yang telah digunakan
adalah untuk sekolah dan ruko adalah 730 m2.
3) Lahan Kosong
Adapun sisa lahan seluas 2.865 m2 masih merupakan lahan kosong yang
diwakafkan oleh H. As’ad bin H. Ja’far yang diikrarkan kepada KH. Makmun.
Wakif dalam hal ini merupakan orang tua dari H. Ahmad Azhari sang nadzir. Saat
ini lahan tersebut digunakan untuk menanam aneka sayuran yang dapat
dikonsumsi untuk kebutuhan sehari-hari pihak pengelola yayasan. Untuk lahan
kosong ini, perkiraan total aset mencapai Rp. 859.500.000,-
Gambar 4.2.2. Tampak lahan kosong ditanami aneka sayur mayur
59
Gambar 4.2.3. Sebagian lagi, lahan kosong ini berupa rawa-rawa
Sedianya lahan ini dimaksudkan untuk pembangunan sarana pendidikan
sebagai kelanjutan dari pembangunan yang sudah ada, yaitu bangunan sekolah
tingkat Tsanawiyah, Aliyah dan perguruan tinggi. Akan tetapi hal tersebut
terkendala oleh ketiadaan sumberdaya manusia dan sumber dana pihak pengelola.
b. Profil Nadzir
Nama : H. Ahmad Azhari
TTGL : Jakarta, 11 Maret 1954
Alamat : Jl. Darmawanita IV No. 2E RT 10/01 Rawabuaya, Cengkareng,
Jakarta Barat
Telepon : 02195634968
Pendidikan : Lulusan pesantren Annida Al Islamy di Bekasi dan pernah kuliah
di sebuah universitas di Tangerang jurusan pendidikan.
Pekerjaan : Guru
60
H. Ahmad Azhari adalah sosok nadzir yang cukup berpendidikan
meskipun tidak sampai menyelesaikan sarjana di salah satu perguruan tinggi di
Tanggerang, dia memiliki pengetahuan dan pengalaman yang cukup lama di
pondok pesantren Annida Al Islamiy pimpinan KH. Muhajirin di Bekasi.
Keterlibatan Azhari pada pesantren ini yang menjadi alasan wakif dan masyarakat
sekitar mempercayakan H. Ahmad Azhari sebagai nadzir di yayasan Shirathul
Rahman. Selain itu, Azhari juga dipercaya untuk menjadi nadzir bagi tanah wakaf
berupa masjid Al-Khoirot yang berada tak jauh dari yayasan Shiratul Rahmaan
ini. Hal ini cukup menjadi bukti bahwa kepribadian dan kepemimpinan H. Ahmad
Azhari mendapatkan kepercayaan dan sambutan yang baik dari masyarakat luas.
Pemahaman Azhari sendiri terhadap hukum perwakafan baik secara fikih
klasik maupun pemikiran kontemporer cukup baik. Hal ini dipraktekkan meski
masih terbatas dilingkungan yayasannya dimana keuntungan dari hasil tanah
wakaf dapat digunakan sebagai subsidi silang bagi operasional dan pemeliharaan
sekolah, tak jarang keuntungan tersebut juga digunakan untuk membayar gaji guru
dan pegawai sekaligus memberikan beasiswa bagi pelajar yang tak mampu.
c. Kesimpulan dan Saran
Pada kasus ini kita bisa belajar, bahwa ruko yang hanya berdiri diatas tanah seluas
150 meter persegi ini, telah memberikan dampak yang signifikan bagi
keberlanjutan pengembangan yayasan Shirathul Rahman. Dari sini kita dapat
61
melihat bahwa sekecil apapun sumbangan yang berbentuk wakaf jika di
pergunakan untuk hal-hal yang bersifat produktif memberikan manfaat yang besar
dan bersifat jangka panjang bagi kemaslahatan masyarakat sekitar.
Yayasan wakaf ini dapat menjadi best practice bagi kampanye dan
sosialisasi keberhasilan pengelolaan wakaf produktif yang mungkin bisa
diterapkan di tempat lain di kota besar di Indonesia.
62
3. YAYASAN MASJID AL MUKARROMAH JAKARTA UTARA
a. Profil Tanah Wakaf
Nama : Yayasan Masjid Al Mukarromah
Alamat Alamat : Jl. Mangga no. 2, Rt 02/08, Koja Jakarta Utara
Peruntukan : Masjid dan Lembaga pendidikan
Luas Tanah Wakaf : total 3.008 m2
Lahan Dipergunakan : 1.000 m2
Sisa Lahan : 2.000 m2
No Sertifikat : No. 16 tahun 1993
Total Perkiraan Nilai Aset : 15 Milyar
Sejarah Singkat
Wilayah ini dahulunya adalah rawa-rawa yang ditimbun oleh pemerintah, dalam
hal ini dikuasakan oleh Badan Penguasa Pelabuhan (BPP). Tahun 1975,
pemerintah menyerahkan tanah seluas 3008 m2 kepada masyarakat yang diwakili
oleh H. Zakoni, tokoh masyarakat setempat untuk dijadikan masjid dan fasilitas
umum lainnya. Sehingga status awal tanah ini merupakan hibah dari pemerintah.
Pembangunan masjid ini sendiri baru dimulai tahun 1998.
Pada tahun 2008, H. Zarkoni meninggal dunia, padahal dalam struktur
kepengurusan yang bersangkutan bertindak sebagai ketua Nadzir. Kantor Urusan
Agama setempat memiliki inisiatif untuk menerbitkan sertifikat atas tanah hibah
pemerintah ini dengan menggunakan nama H. Zarkoni sebagai yang mewakafkan.
63
Pada tahun 2000, sertifikat wakaf ini diterbitkan dengan menunjuk H. Syaifuddin,
AH. MG sebagai ketua Nadzir.
Gambaran Terkini Tanah Wakaf
Masjid Al Mukarromah dibangun diatas tanah seluas 1000 m2 dari total luas tanah
wakaf 3008 m2. Sampai hari ini, masjid ini masih dalam proses pembangunan.
Masjid Al-Mukarromah yang dibangun tiga lantai ini terlihat begitu megah. Lantai
1 ditujukan untuk pembangunan unit bisnis dan fasilitas umum seperti koperasi,
perpustakaan, klinik dan apotik, sedangkan lantai 2 dan 3 untuk tempat ibadah.
Gambar 4.3.1. Masjid Al Mukarromah, tampak depan
64
Pembangunan Masjid ini diperkirakan telah menelan biaya sekitar 7
Milyar. Pengurus mengandalkan pembiayaan pembangunannya berasal dari dana
zakat, infak dan sedekah mayarakat. Sebagian didapat dari sponor dan investor.
Gambar 4.3.2. Masjid Al Mukarromah, lantai 1 dalam tahap proses pembangunan
Pengelolaan Masjid Al Mukarromah dilakukan secara kelembagaan, dan
dikelola oleh pengurus dengan latar belakang pengalaman organisasi yang cukup
baik, sehingga alur keluar masuk dana yayasan masjid Al Mukarromah ini
dilaporkan setiap tiga bulan sekali. Hasil dari pendapatan (dana masuk) masjid ini
sebagian besar habis terpakai untuk pembangunan masjid, selebihnya untuk biaya
operasional dan perawatan masjid.
65
Gambar 4.3.3 Diatas lahan seluas 1.000 m2 ini rencananya akan dibangun
gedung serba guna
Sementara sisa lahan seluas 2.000 m2, rencananya akan dibangun gedung
serbaguna untuk disewakan, dan lembaga pendidikan. Ke depan, hasil dari unit
bisnis yang saat ini sedang dibangun akan diperuntukkan bagi peningkatan
kesejahteraan masyarakat sekitar dan pemberian beasiswa pendidikan bagi warga
yang tidak mampu.
b. Profil Nadzir
Nama : H. Syaifuddin, AH. MG
TTGL : Payakumbuh, 12 April 1940
Alamat : Jl. Dukuh No. 44 A RT 01/17 Legoa, Koja, JAKUT
66
Pendidikan : Akademi Meteorologi dan Geofisika Jakarta, 1964
Pekerjaan : Wiraswasta
Pengalaman Organisasi : Dewan Masjid Indonesia, Himpunan Haji JAKUT
Tanah wakaf ini memiliki nadzir dalam bentuk kelompok. Dalam hal ini
bertindak sebagai ketua nadzir adalah H. Syaifuddin, AH. MG. Latar belakangnya
sebagai wiraswasta dengan pendidikan yang cukup tinggi dan aktif di organisasi,
membuat H. Syaifuddin memiliki pandangan yang cukup baik tentang
pemanfaatan tanah wakaf secara produktif. Meskipun tidak mengetahui secara
persis apa dan bagaimana wakaf produktif, ide dan semangat H Syaifuddin dan
anggota nadzir lainnya sudah sejalan dengan prinsip-prinsip pengelolaan wakaf
secara produktif.
c. Kesimpulan dan Saran
Yayasan masjid Al-Mukarromah telah melewati tahapan selangkah lebih maju
dalam hal pengembangan wakaf produktif dibandingkan dengan masjid di Jakarta
pada umumnya. Penggunaan lahan wakaf untuk orientasi ekonomi telah
memasuki wilayah kesadaran kolektif para nadzir dan pengurus masjid. Tinggal
nanti pemanfaatannya yang perlu diawasi apakah sesuai dengan prinsip prinsip
keadilan, transparan dan akuntabel.
67
4. YAYASAN HUSNAYAIN (MASJID ABU BAKAR ASH-SHIDDIQ)
JAKARTA TIMUR
a. Profil Tanah Wakaf
Nama : Yayasan Husnayain
Alamat : Jl. Kalisari, Gg. LAPAN 1 Rt 09/01, Pekayon, Pasar
Rebo, Jakarta Timur
Peruntukan : Islamic Center
Luas Tanah Wakaf : 6.524 m2
Lahan Dipergunakan : 5.000 m2
Sisa Lahan : 1.524 m2
No Sertifikat Wakaf : No. 213 AIW/PPAIW: W2/32/91
Total Perkiraan Nilai Aset : 20 Milyar
Sejarah Singkat
Berawal dari hubungan baik antar KH. Cholil Ridwan semasa kuliah di
Madinah dengan seorang dermawan bernama Asmuni yang tengah melaksanakan
ibadah haji, diwakafkanlah tanah seluas 7.000 m2 pada tahun 1976 yang
diperuntukkan sebagai pusat kajian dan kebudayaan Islam. Pada tahun 1986,
berdiri sebuah yayasan di atas tanah tersebut yang dikenal dengan nama yayasan
Dwi Bahagia. Selanjutnya Dwi Bahagia berganti nama menjadi Yayasan
Husnayain.
68
Gambar 4.4.1. Masjid Abu Bakr Ash-Shidq, tampak depan
Gambaran Terkini Tanah Wakaf
Dengan luas tanah mencapai 7.000 m2, yayasan ini berkembang dengan
pesat di bawah kepemimpinan KH. Cholil Ridwan, Lc. Berada di Timur Jakarta,
yayasan ini menempati lokasi strategis di tengah perumahan warga, pusat
perniagaan dan pusat perkantoran. Sisa lahan 1.000 m2 sementara digunakan
untuk lahan parkir. Di atas tanah wakaf tersebut telah berdiri lembaga pendidikan,
lembaga dakwah, fasilitas pelayanan masyarakat dan unit-unit usaha.
69
Gambar 4.4.2. Lahan kosong Al-Husnayain seluas 1.000 m2
Lembaga pendidikan Al-Husnayain meliputi Taman Kanak-kanak, SD,
SMP, SMU, Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi dan Pesantren Husnayain. Sebagai
lembaga Dakwah, yayasan ini mensuplay kebutuhan penceramah dan khotib yang
siap ditempatkan di berbagai daerah di seluruh Indonesia, mengadakan kegiatan
keagamaan seperti peringatan hari besar Islam, siraman rohani dan lain
sebagainya.
70
Gambar 4.4.3. Gedung Sekolah Al-Husnayain dua lantai
Di atas tanah ini juga di kembangkan unit-unit bisnis meliputi klinik,
rumah sakit, apotik, kantin, kios dan Alfamart, layanan ATM dan lain sebagainya.
Selain itu yayasan ini juga mengembangkan bisnis konsultasi keagamaan,
psikologi dan ekonomi Islam, layanan zakat infak, sedekah yang dikelola secara
profesional.
Dengan didukung sumber daya manusia yang memadai, yayasan ini
berkembang dengan sangat baik. Pembiayaan operasional yayasan ini
mengandalkan dana masyarakat yang dihimpun secara professional melalui unit-
unit usaha yang dikembangkan dan juga memanfaatkan jaringan timur tengan KH.
Cholil Ridwan, Lc.
71
Gambar 4.4.4 Unit Usaha Al-Husnayain
b. Profil Nadzir
Nama : KH. A. Cholil Ridwan, Lc
Alamat : Jl. LAPAN Gg. SMP 184 no. 1 Pekayon, Cijantung,
Jakarta Timur
Telepon : 0816882911
Email : [email protected]
Pendidikan : Universitaas Islam Jami’ah Islamiyah Madinah
Pekerjaan : Ketua MUI Pusat/Pembina Yayasan Husnayain
Pengalaman Organisasi : Majlis Ulama Indonesia, Dewan Dakwah Indonesia
KH. Ahmad Cholil Ridwan merupakan, tokoh, ulama dan cendikiawan
Muslim Indonesia. Kiprahnya di dunia dakwah dan pendidikan sudah sampai ke
penjuru dunia.
72
Selain itu, KH. Cholil Ridwan semenjak muda dikenal sebagai sosok yang
aktif di berbagai organisasi kemasyarakatan seperti Pelajar Islam Indonesia (PII),
Persatuan Pelajar Indonesia Saudi Arabia (PPI), BKsPPI (Badan Kerjasama
seluruh Pondok Pesantren di Indonesia), Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII),
dan saat ini menjabat sebagai salah satu ketua Majlis Ulama Indonesia (MUI)
pusat sampai dengan 2015.
c. KESIMPULAN DAN SARAN
Yayasan Husnayain merupakan salah satu best practice bagi keberhasilan
pemanfaatan aset wakaf secara produktif di Indonesia. Dengan sumberdaya
manusia yang handal, manajemen dan kepimpinan yang baik, yayasan ini masuk
ke sebuah dunia dimana pendidikan dan keagamaan menjadi industri dan
komoditas perdagangan yang menjanjikan dan disambut baik kehadirannya oleh
masyarakat, tinggal bagaimana kita mengukur bahwa apa yang dihasilkan oleh
yayasan ini sebanding dengan apa yang dikembalikan kepada masyarakat dan
memberikan dampak positif bagi pengembangan manusia Indonesia.
73
5. YAYASAN DARUL AZKAR JAKARTA SELATAN
a. Profil Tanah Wakaf
Nama : Yayasan Darul Azkar
Alamat : Jl Raya Karang Tengah No.30 A, Lebak Bulus-
Jakarta Selatan 12440
Peruntukan : Masjid dan Lembaga pendidikan
Luas Tanah Wakaf : 12.000 m2
Lahan Dipergunakan : 8.000 m2
Sisa Lahan : 4.000 m2
No Sertifikat : No. 21, 25 Agustus 2004
Total perkiraan nilai aset : 92 Milyar
Sejarah Singkat
Sejarah dari tanah wakaf yayasan Darul Azkar adalah berawal dari
keinginan wakif mewakafkan tanah untuk dijadikan sarana fasilitas sosial-dakwah
dan pendidikan. Maka didirikanlah bangunan sekolah dan masjid untuk
mewujudkan niat tersebut. Adalah H. Murtani, selaku wakif, membeli sebidang
tanah di daerah Karang Tengah sebagai salah satu wujud mimpi beliau untuk
membangun masjid. Maka, setelah pembelian tanah usai, sebuah bangunan masjid
didirikan, bernama Darul Azkar, untuk kemudian diwakafkan kepada masyarakat
yang diwakili oleh putra beliau, Bapak Mudjaidi.
74
Awal peruntukan tanah wakaf tersebut adalah untuk dijadikan masjid dan
sekolah, dan dapat pula digunakan untuk kepentingan bersama warga.
Gambar 4.5.1. Masjid Darul Adzkar, tampak depan
Gambaran Terkini Tanah Wakaf
Tanah wakaf yayasan Darul Azkar memiliki lokasi strategis karena pada
bagian muka berbatasan langsung jalan raya Karang Tengah, perumahan elit,
pertokoan dan perkantoran, bagian samping kanan-kiri juga bersinggungan
langsung dengan pertokoan dan perkantoran. Sementara bagian belakang
berbatasan dengan perumahan warga.
Sisa lahan masih cukup besar. Sebagian besar di peruntukan untuk
parkiran, dan juga terdapat 4.000 m2 yang direncanakan dibangun SMP. NJOP
75
dari tanah wakaf diperkirakan mencapai Rp. 3.000.000/m2. Sementara perkiraan
nilai aset bangunan, Rp. 5.000.000 dikalikan dengan jumlah luas bangunan. Untuk
bangunan per meter sendiri mencapai angka sekitar Rp. 3.000.000/m2.
Di tanah wakaf yayasan Darul Adzkar berdiri masjid, bangunan sekolah
dan ruang serba guna. Lembaga pendidikan ditangani pihak yayasan yang terdiri
dari sekolah taman kanak-kanak dan sekolah dasar. Sementara pengelolaan ruang
serba guna dilimpahkan kepengurusannya kepada pengurus masjid. Ruang
Serbaguna ini biasanya disewakan untuk keperluan acara dan perkawinan.
Meskipun terkesan beda manajemen namun semuanya berada di bawah
wewenang dan pengawasan nadzir.
Gambar 4.5.2. Ruang serba guna, salah satu unit bisnis yayasan
76
Terkait pendapatan dari hasil tanah wakaf, kebanyakan diperuntukkan
untuk membiayai biaya operasional sekolah, membayar gaji guru. Sementara
pemasukan dari penggunaan ruang serbaguna diperuntukan untuk biaya
pengelolaan masjid, dan karyawan. Selain itu setiap bulan Ramadahan banyak
mendapat sumbangan. Yasayasan ini menerima sumbangan-sumbangan tersebut
selama tidak mengikat. Pembangunan awal masjid berasal dari dana pribadi wakif
sendiri, dan tidak ada investasi dari pihak manapun.
Gambar 4.5.3 Masjid Darul Adzkar, tampak depan terlihat terawat dengan baik
Warga sekitar sangat mendukung upaya yang dilakukan nadzir untuk
pengembangan tanah wakaf. Begitupun Nadzir dan pihak yayasan, terus berusaha
untuk mengembangkan tanah wakaf seproduktif mungkin. Mereka memiliki
77
rencana untuk membangun restoran waralaba, namun masih dalam tahap
pembicaraan dan belum ada kepastian kapan realisasinya. Nadzir sendiri tidak
keberatan jika ada investasi dari luar untuk mengembangkan lahan wakaf, asalkan
masih sesuai dan hasilnya kembali pada yayasan untuk dimanfaatkan seluasnya
bagi masyarakat.
Gambar 4.5.4 Lembaga pendidikan Al-Azkar,
termasuk lembaga pendidikan bagi kelas menengah ke atas
b. Profil Nadzir
Nama : Mudjaidi Maulana Syarif
Alamat : Jl. H. Baun No. 40 Lebak Bulus, Jakarta Selatan
Telepon : 08121335511
Pendidikan : Akademi Perhotelan
Pekerjaan : Wiraswasta
Pengalaman Organisasi : Yayasan Warga Betawi
78
Mudjaidi Maulana Syarif adalah seorang pengusaha. Dipercayakan sang
bapak H. Murtani, untuk menjadi nadzir atas tanah wakaf yang diniatkan untuk
pembangunan masjid dan lembaga pendidikan. Selain sebagai nadzir, Mudjaidi
merupakan pimpinan pengurus yang dipercaya untuk mengelola dan
mengembangkan yayasan Darul Azkar. Pengetahuan Mudjaidi tentang wakaf
sudah sangat baik, meskipun secara dasar keilmuan tidak ada menempuh
pendidikan terkait perwakafan. Posisinya sebagai nadzir sekaligus pimpinan
yayasan membuatnya memiliki pengaruh yang besar terhadap perkembangan
yayasan ini. Saat ini tanah wakaf dikelola dengan menerapkan prinsip-prinsip
modern dan profesional dan telah dimanfaatkan dengan sangat baik.
c. Kesimpulan dan Saran
Darul Azkar, merupakan contoh pemanfaatan lahan tanah wakaf yang
dikelola dengan baik. Hal ini karena nadzir berasal dari kalangan terpelajar dan
tergolong mampu secara ekonomi. Sehingga tidak menggantungkan hidupnya dari
memanfaatkan lahan tanah wakaf sebagaimana terjadi di tempat lain.
Darul Azkar memiliki potensi wakaf produktif tinggi karena letaknya yang
sangat strategis, memiliki kualiatas nadzir yang baik dan telah menerapkan sistem
pengelolaan secara modern. Hendaknya potensi ini bisa disambut baik oleh
berbagai pihak untuk bisa menginvestasikan dana untuk mengembangkan tanah
wakaf ini. Restoran waralaba, anjungan ATM merupakan alternatif investasi yang
menarik yang bisa dikembangkan sesuai dengan kondisi geografis tanah wakaf
ini.
79
6. YAYASAN NURUL FALAH TANAH KUSIR JAKARTA SELATAN
a. Profil Tanah Wakaf
Nama : Yayasan Nurul Falah
Alamat : Jl. Madrasah Rt 01/12, Bintaro, Pesanggrahan,
Jakarta Selatan
Peruntukan : Masjid
Luas tanah wakaf : 3.200 m2
Lahan dipergunakan : 900 m2
Sisa lahan : 2.300 m2
Total perkiraan nilai aset : 22 Milyar
Gambar 4.6.1. Masjid Nurul Falah, tampak depan
80
Sejarah Singkat
Tahun 1969, H. Harun, tokoh masyarakat setempat mewakafkan tanah
seluas 300 m2 untuk pembangunan Masjid. Tahun 1989, tanah tersebut tergusur
untuk pelebaran jalan. Untuk itu pemerintah menggantinya dengan tanah yang
terletak tak jauh dari tanah wakaf asal seluas 1.000 m2. Tanah wakaf ini terus
berkembang menjadi 3.200 m2 di tahun 2012 ini. Sebagian merupakan wakaf dari
warga sekitar, sebagian dibeli oleh pihak yayasan dengan dana berasal dari zakat,
infak dan sedekah masyarakat.
Gambaran Terkini Tanah Wakaf
Terletak dipinggir jalan utama Tanah Kusir, Jakarta Selatan, tanah wakaf
yayasan Nurul Falah menempati lokasi yang sangat strategis. Dengan luas
mencapai 3.200 m2, tanah wakaf terdiri dari bangunan masjid, 3 buah ruang kelas
untuk Taman Kanak-Kanak dan ruang serbaguna, seluruhnya seluas 900 m2.
Sehingga masih tersisa lahan kosong mencapai 2.300 m2.
Karena terus mengalami perluasan, proses sertifikasi tanah wakaf ini
menjadi bertingkat. Tercatat ada 5 bidang tanah yang harus memiliki sertifikat,
tiga diantaranya telah rampung sementara dua bidang tanah masih menunggu
proses Badan Pertanahan Negara (BPN) Jakarta, dengan rincian yang telah
bersertifikat sebagai berikut:
No Luas tanah No sertifikat
1 2.7008 m2 no. 4, tahun 2000
2 384 m2 no. 10, tahun 1994
3 312 m2 no. 11, tahun 2005
81
Gambar 4.6.2. lahan kosong tampak sebelah kanan masjid Nurul Falah
Yayasan ini mengandalkan dana zakat, infak, sedekah dan wakaf
masyarakat untuk memenuhi kebutuhan operasional, perawatan bangunan dan
pelaksanaan program kegiatan. Selain itu dana juga didapat melalui penyewaan
ruang serba guna untuk umum. Tercatat saat ini yayasan ini memiliki 29 orang
pegawai yang terdiri dari pegawai kesekretariatan, bagian kebersihan dan
keamanan yang mendapatkan gaji setiap bulannya.
Meski begitu, semua data keuangan sudah menggunakan sistem akutansi
dimana selalu ada laporan keuangan setiap tahunnya. Hal ini menunjukkan
yayasan ini terbilang modern dalam sisi manajemen dan pengelolaannya.
Perencanaan kegiatan dan fundraising semua dirancang dalam agenda tahunan
yayasan.
Untuk program fundraising misalnya, yayasan Nurul Falah mencanangkan
wakaf melalui uang. Yayasan menawarkan kepada masyarakat untuk bisa
berwakaf melalui uang. Uang yang didapat kemudian digunakan untuk pembelian
82
tanah yang kemudian diwakafkan kepada yayasan Nurul Falah. Strategi lainnya
yang diterapkan adalah dengan mengefektifkan jaringan dan melalui hubungan
kekerabatan dan pertemanan para nadzhir.
Yayasan memiliki rencana mendirikan gedung 4 lantai. Gedung ini akan
digunakan untuk pengembangan unit bisnis yayasan diantaranya pembangunan
gedung serba guna beserta lahan parkirnya, perpustakaan, klinik kesehatan,
lembaga pendidikan dan Baitul Mal wa Tamwil (BMT). Rencana ini sudah masuk
dalam agenda pengembangan yayasan. Hanya saja pembangunannya masih
terkendala dana yang sampai saat ini masih dalam proses pengumpulan.
Gambar 4.6.3. pembangunan gedung BMT Nurul Falah
83
b. Profil Nadzir
Nama : Syahrir Tanjung
TTGL : Pematang Siantar, 17 Januari 1944
Alamat : Jl. Madrasah Rt 01/12, Bintaro, Pesanggrahan,
Jakarta Selatan
Telepon : 08161908251
Email : [email protected]
Pendidikan : S2 Universitas Gadjah Mada
Pekerjaan : Dosen Universitas Indonesia, Dosen Universitas
Muhammadiyah Jakarta & Komisioner Harta
Harta Insan Karimah (HIK)
Pengalaman Organisasi : Pernah menjabat sebagai Ketua Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI)
Syahrir Tanjung adalah salah satu nadzir untuk tanah wakaf yayasan Nurul
Falah, Tanah Kusir, Jakarta Selatan ini. Dengan latar belakang pendidikan yang
cukup tinggi, Syahrir mampu mengelola dan mengembangkan tanah wakaf yang
awalnya hanya seluas 300 m2 menjadi 3.200 m2. Tentu saja ia tidak bekerja
sendiri, ada nadzir lain yang juga memiliki visi dan misi yang sama dalam
pengembangan tanah wakaf ini.
Dalam sistem organisasinya, yayasan ini terdiri dari dewan pembina,
dewan pengawas, pengurus dan pengelola. Seluruh keputusan diambil dengan cara
musyawarah dan mufakat. Kepengurusan yayasan ini memiliki visi dan misi yang
84
sama yaitu memajukan yayasan ini agar lebih bisa bermanfaat untuk masyarakat
miskin.
Tentang wakaf produktif, mereka tidak terlalu memahami secara detil
prosedur dan prinsipnya, akan tetapi semangat dari wakaf produktif dapat
dipahami dan diterima sangat terbuka. Sebagai buktinya, dibawah kepemimpinan
Syahrir Tanjung, yayasan diarahkan untuk pengembangan produktifitasi tanah
wakaf.
c. Kesimpulan dan Saran
Yayasan Nurul Falah, Tanah Kusir, Jakarta Selatan merupakan satu contoh
yang baik di mana tanah wakaf dikelola dengan professional dan terus
mendapatkan perhatian untuk terus dikembangkan.
Lokasi strategis, latar belakang pendidikan yang tinggi, nadzir yang
memiliki wawasan dan visi kedepan, kepengurusan yang memiliki visi dan misi
yang sama, manajemen yang professional merupakan kombinasi yang sempurna
untuk pengembangan wakaf produktif.
Yayasan Nurul Falah ini bisa dijadikan contoh bagi nadzir yang lain untuk
bisa belajar bagaimana bisa menerapkan manajemen yang modern dalam
pengelolaan tanah wakaf dan melakukan fundraising untuk pengembangan aset
tanah wakaf salah satunya adalah penerapan sistem pelaporan keuangan yang
akuntabel dan transparan. Hal ini sangat penting untuk meraih kepercayaan publik
yang lebih besar.
85
7. MASJID NURUL FALAH JAKARTA SELATAN
a. Profil Tanah Wakaf
Nama : Masjid Nurul Falah
Alamat : Jl. Karang Tengah Raya no. 24, Rt 03/03, Lebak
Bulus, Cilandak, Jakarta Selatan
Peruntukan : Masjid dan Lembaga Pendidikan
Luas tanah wakaf : 2.650 m2
Lahan dipergunakan : 1.929 m2
Sisa lahan : 1.650 m2
Total perkiraan nilai aset : > 10 Milyar
Sejarah Singkat
Berawal dari tanah wakaf keluarga H. Nawi seluas 500 m2 pada tahun 1952, tanah
wakaf ini kemudian berkembang menjadi 2.650 m2. Pengembangan dilakukan
dengan membeli tanah masyarakat di sekitar masjid yang kemudian diwakafkan
kembali atas nama H. Nawi. Adapun dana untuk pembebasan tanah masyarakat
tersebut berasal dari dana zakat, infak dan sedekah masyarakat dan juga berasal
dari para donatur tidak tetap. Diatas lahan seluas 1.929 m2 kini berdiri megah
masjid Nurul Falah dan masih menyisakan lahan kosong seluas 1650 m2.
86
Gambar 4.7.1. Gapura depan Masjid Nurul Falah Karang Tengah
Gambaran Terkini Tanah Wakaf
Masjid Nurul Falah terletak di selatan Jakarta tepatnya di Jl. Karang
Tengah Raya Lebak Bulus. Berdiri diatas tanah seluas 1.929 m2, bangunan masjid
terlihat begitu megah dan indah.
Letaknya yang strategis di pinggir jalan raya, membuat masjid ini menjadi
pilihan bagi siapa saja yang ingin beristirahat sejenak melepas kepenatan dari
macetnya ibu kota.
Bangunan masjid juga dilengkapi dengan sekretariat pengurus masjid yang
juga sekaligus berfungsi sebagai kantor koperasi Maslahah Ummat, Lembaga
Santunan Kematian dan Kelompok Bimbingan Ibadah Haji dan Umroh.
87
Gambar 4.7.2. Masjid Nurul Falah tampak depan
Gambar 4.7.3. Tampak belakang masjid Nurul Falah yang masih bisa dimanfaatkan
Saat ini masjid Nurul Falah tengah membangun 2 lantai gedung serbaguna yang
akan disewakan untuk umum. Diharapkan hasil dari penyewaan ini dapat
digunakan untuk pengembangan yayasan ini.
88
Gambar 4.7.4. Pembangunan gedung serbaguna masjid Nurul Falah
Dengan (Nilai Jual Objek Pajak) NJOP senilai 4.000 juta rupiah per meter
persegi, nadzir memperkirkan aset tanah wakaf ini mencapai lebih dari 10 milyar
rupiah.
Pengelolaan masjid masih dilakukan secara sederhana di mana arus keluar
masuk dana yang berasal dari masyarakat diumumkan pada setiap kesempatan
sholat Jum’at. Meskipun begitu, di bawah kepemimpinan sang nadzir, yayasan ini
optimis untuk bisa mengembangkan dan memanfaatkan aset tanah wakaf ini
menjadi lebih produktif.
89
b. Profil Nadzir
Nama : Drs. H. Ahmad Sarnubi
TTGL : Jakarta, 05 Februari 1952
Alamat : Jl. Karang Tengah Raya no. 24, Rt 03/03, Lebak Bulus,
Cilandak, Jakarta Selatan
Telepon : 021-7655845/08161354745
Pendidikan : IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta 1976
Pekerjaan : Pensiunan PNS
Pengalaman Organisasi: Karang Taruna, IPNU (Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama),
PMII (Persatuan Mahasiswa Indonesia)
Drs. H. Ahmad Sarnubi merupakan pensiunan PNS. Lulus dari IAIN
Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 1976, H. Sarnubi dipercaya menjadi nadzir
pada tanah wakaf seluas 2.650 m2 ini. Menurut beliau, tugas daripada nadzir tidak
hanya menjaga dan merawat gedung masjid, tapi lebih dari itu yaitu mengelola
dan mengembangkannya agar lebih bisa bermanfaat lebih bagi ummat Islam.
Drs. H Sarnubi terlihat cukup profesional dan memiliki kepemimpinan
yang baik dalam memimpin yayasan dan mengelola aset tanah wakaf ini
sebagaimana diamini oleh Drs. Choiruddin yang juga tokoh masyarakat setempat
dalam wawancara terpisah. Hal ini terlihat dari semakin berkembangnya aset
tanah wakaf dan juga unit-unit bisnis yang sedang dikembangkan. Seperti
pembangunan gedung serbaguna, pengelolaan koperasi, lembaga santunan
90
kematian dan penyediaan bimbingan ibadah haji dan umroh. Unit-unit tersebut
diharap bisa memenuhi kebutuhan masyarakat sekaligs sebagai sumber dana bagi
pengembangan tanah wakaf yang dikelolanya.
c. Kesimpulan dan Saran
Dari sini dapat kita lihat bahwa nadzir yang baik sangat menentukan baik
buruknya pengelolaan dan pengembangan aset tanah wakaf. Untuk contoh kasus
Nurul Falah ini, meski dengan pengelolaan yang sederhana dan pemahaman yang
terbatas mengenai wakaf produktif, potensi nadzir sangat menentukan karena ia
memiliki semangat dan cita-cita yang besar untuk pengembangan wakaf.
Untuk itu perlu ada arahan, bimbingan dan dukungan dari pihak terkait
dalam hal ini Badan Wakaf Indonesia, terhadap nadzir semisal H. Ahmad Sarnubi
ini, sehingga bisa menjadi contoh positif bagi nadzir lainnya.
8. YAYASAN MASJID AL-FALAH JAKARTA SELATAN
a. Profil Tanah Wakaf
Nama : Masjid Al-Falah
Alamat : Mampang Prapatan I, Jakarta Selatan
Peruntukan : Masjid dan Sekolah
Luas tanah wakaf : 1.660 m2
Lahan dipergunakan : 1.000 m2
Sisa lahan : 660 m2
Perkiraan nilai aset wakaf : 30 Milyar
91
Sejarah Singkat
Bangunan masjid ini awalnya adalah sebuah mushalla yang bernama Musholla
Hasan. Adanya kebutuhan masyarakat akan masjid untuk dipergunakan shalat
Jum’at, maka pada tahun 1950an masyarakat bergotong royong mengumpulkan
dana untuk membangun sebuah masjid dari mushalla ini. Masjid ini dinamakan
Al-Ittihad, yang berarti persatuan, yang digunakan sebagai bentuk apresiasi
kepada jamaah yang memiliki latar belakang beragam terdiri dari unsur TNI
(Tentara Nasional Indonesia), Masyumi dan NU (Nahdlatul Ulama). Sebelum
tahun 1960an, nama ini berganti lagi menjadi Masjid Al-Falah yyang berarti
kemenangan.
Gambaran Terkini Tanah Wakaf
Lokasi yayasan masjid al-Falah ini cukup strategis karena hanya berjarak 100
meter dengan pasar Mampang. Diatas tanah wakaf ini terdapat bangunan masjid,
aula, dan koperasi. Penggunaan Aula masjid Al-Falah diperuntukkan untuk rapat,
pengajian dan kebutuhan masyarakat. Selain itu aula juga digunakan sebagai TPA
bagi 150 santri yang mengaji di masjid ini setiap harinya. Selanjutnya
pembangunan Aula ini merupakan bagian dari optimalisasi wakaf, yang biaya
pembangunanya diambil dari dana infak, sedekah, maupun wakaf. Nantinya aula
ini bisa dimanfaatkan untuk acara perkawinan dan seminar yang diselenggarakan
oleh kecamatan maupun kelurahan sehingga hasil masukkannya menjadi sedekah
yang akan dipergunakan untuk operasional masjid.
92
Yayasan masjid Al-Falah memiliki sisa lahan yang kurang 40 persen dari
penggunaan lahan yang ada. Akan tetapi sisa lahan yang ada sering dipergunakan
untuk shalat hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Sementara sehari-hari, lahan yang
tersisa saat ini dipergunakan sebagai tempat parkiran bagi 10 buah mobil warga
sekitar. Hasil sewa parkiran ini dipergunakan yayasan untuk operasional
kebutuhan masjid dan yayasan.
Yayasan masjid Al-Falah memiliki sebuah gedung baru. Saat ini lantai satu
gedung baru tersebut dipergunakan untuk penitipan sepatu, dan lantai atas
digunakan untuk Kantor Jasa Keuangan Syariah (KJKS) bekerjasama dengan
Bank Muamalat.
Bank Muamalat memberikan kepercayaan kepada yayasan Al-Falah sebagai
rekan bisnis melalui sistem bagi hasil 10 persen dari investasi dana zakat infak
dan sedekah nasabah KJKS Al Falah. Setiap tahunnya rata-rata yayasan Al-Falah
mendapatkan sekitar 100 sampai dengan 200 juta bagi hasil dari kerjasama ini.
Dana ini dikelola dan digunakan untuk bantuan bagi orang yang membutuhkan.
Biasanya untuk usaha dan diutamakan untuk orang dhuafa dan masyarakat
ekonomi lemah. Tujuan dari kerjasama antara yayasan Al-Falah dengan Bank
Muamalat adalah untuk memberdayakan ekonomi masyarakat umum.
Masjid Al-Falah terbuka selama 24 jam. Masjid ini tidak hanya berfungsi
untuk tempat shalat saja, akan tetapi bisa dipergunakan oleh warga yang ingin
bermalam, beristirahat dan yang membutuhkan kamar kecil, artinya untuk
kebutuhan sosial masyarakat. Pengurus berpendapat bahwa masjid bukanlah
museum yang hanya bisa dikunjungi dalam waktu-waktu tertentu. Akan tetapi
93
masjid haruslah menjadi pusat kegiatan, tidak hanya ibadah maghdoh akan tetapi
tersentral untuk ibadah-ibadah sosial yang lain.
Pemanfaatan masjid ini cukup baik dan aktif artinya tidak pernah ada
keberatan dari kalangan masyarakat sekitarnya malah mereka sangat antusias
dengan kehadiran masjid ini. Kegiatan majis taklim yang dilaksanakan di masjid
ini selalu dipenuhi peserta dari masyarakat sekitar. Pengelolaan yang baik dari
masjid ini mengantarkan masjid ini terpilih pada tahun 2011 menjadi masjid
percontohan diantara 11 masjid yang ada se-DKI Jakarta. Meski tidak disebutkan
menempati peringkat ke berapa, hal ini telah menjadi kebanggaan tersendiri bagi
masjid Al-Falah atas prestasi yang telah dicapai.
Hasil dari pemanfaatan aset wakaf ini mencapa1 167 juta rupiah setiap tahun
(dana ini diluar aset KJKS). Seluruh hasil yang didapat dipergunakaan untuk
kegiatan masjid, membayar staf keamanan dan kebersihan dan kegiatan sosial
lainnya. Masyarakat menyambut baik investasi yang datang dari luar. Saat ini
yayasan sedang merencanakan pelayanan ambulan dan mobil jenazah gratis bagi
masyarakat sekitar.
b. Profil Nadzir
Nama : H. Hulaimi
Usia : 47 tahun
Alamat : Mampang Prapatan I, Jakarta Selatan
Telepon : 021-7985565 /08161414552
94
Masjid ini di kelola oleh nadzir kelompok yang diketua oleh H. Hulaimi yang
menggantikan nadzir sebelumnya yaitu H. Alwi Usman yang telah meninggal
dunia sejak tahun 2004. H. Hulaimi sendiri merupakan anak keturunan dari wakif.
Meskipun begitu menurut pengakuannya, penunjukan nadzir selalu berdasarkan
musyawarah masjid atau dikenal dengan MUMES. Pada tahun 2010, H. Hulaimi
terpilih kembali sebagai nadzir sekaligus ketua masjid sampai dengan tahun 2015.
Dibawah kepemimpinannya, masjid ini dikelola dengan sangat baik mulai
dari pemanfaatan aset wakaf untuk penyewaan aula, penitipan sepatu, penyewaan
lahan parkir sampai dengan KJKS. Pemahaman H. Hulaimi tentang wakaf
produktif tidak mendalam. Ia tidak pernah belajar khusus, namun cukup sering
mendengar istilah wakaf produktif. Untuk H. Hulaimi wakaf produktif berarti
memaksimalkan aset wakaf untuk menghasilakan secara ekonomi sebagai
pemasukan bagi masjid. Makna produktif juga dipahami sebagai wakaf yang telah
memberi manfaat sosial bagi masyarakat yaitu berupa syiar Islam. Produktifitas
dalam arti sosial juga diperhitungkan, bukan hanya produktifitas ekonomi saja.
c. Kesimpulan dan Saran
Masjid Al-Falah merupakan masjid yang sudah merasakan langsung manfaat
wakaf produktif melalui penyewaan aula, penyewaan lahan parkir, penitipan
sepatu dan Kantor Jasa Keuangan Syariah. Sisa lahan yang tak terlalu luas
menyebabkan pemanfaatan wakaf produktif haruslah diupayakan dengan cara
yang lain seperti memaksimalkan aset yang sudah ada. Adapun pembangunan
gedung baru tidak dimungkinkan mengingat lahan yang terbatas.
95
B. PROFIL KELOMPOK KEDUA: ASET BESAR DENGAN POTENSI
NADZIR CUKUP
Kelompok kedua ini terdiri 9 yayasan wakaf, yaitu (1) Yayasan Keramat
Payungan Hidayatullah, (2) Yayasan Wakaf Masjid Al-Barkah, (3) Masjid Al-
Muhtar, (4) Yayasan Masjid Al-Birru, (5) Yayasan Al- Asyirostusyafi’iyah, (6)
Masjid Jami Darussalamah, (7) Masjid Al-Hidayah, (8) Masjid Al-Fidaus, dan (9)
Yayasan Darul Ulum. Kelompok ini mewakili tanah wakaf dengan aset besar dan
potensi nadzir cukup.
Kelompok ini memiliki lokasi geografis yang cukup strategis dengan 7
lokasi memiliki luas lahan diatas 1.000 m2. Sementara dua lokasi masing-masing
memiliki sisa lahan seluas 200 m2 dan 500 m2. Karena letaknya di tengah kota
dan memiliki total nilai aset besar, keduanya masuk kedalam aset wakaf besar.
Dalam kelompok ini sebagian memiliki unit bisnis, sebagian lain tidak.
Kelompok ini terdiri atas nadzir yang memiliki potensi cukup. Nadzir pada
kelompok ini tidak sebagus nadzir pada kelompok pertama, dalam hal pengelolaan
wakaf misalnya mereka cendrung mengelola aset wakaf apa adanya. Beberapa
diantara mereka memiliki kecendrungan gaya kepemimpinan yang otoriter,
sebagian lain terlalu lemah dan cenderung tidak memiliki inisiatif dalam
pengeloaan aset wakaf mereka. Meskipun begitu, mereka menerima dengan baik
konsep wakaf produktif dan beberapa sudah ada yang mempraktekkannya. Hal
tersebut sudah bisa menjadi modal sosial bagi pengembangan wakaf produktif.
Untuk itu mereka masuk dalam kelompok kedua dengan kategori potensi cukup.
Di bawah ini detail profil mereka.
96
9. YAYASAN KERAMAT PAYUNGAN HIDAYATULLAH
JAKARTA TIMUR
a. Profil Tanah Wakaf
Nama : Yayasan Keramat Payungan Hidayatullah
Alamat : Jl. Raya Cipayung Rt. 04/02, Pasar Rebo
Jakarta Timur
Peruntukan : Masjid dan Pendidikan
Luas tanah wakaf : 5.269 m2
Lahan dipergunakan : 2.000 m2
Sisa lahan : 3.269 m2
No sertifikat wakaf : No 1 tahun 1999
Total perkiraan nilai aset : 10 Milyar Rupiah
Sejarah Singkat
Yayasan ini didirikan pada tahun 1994 diatas tanah wakaf bapak Rimin bin
Bimun. Adapun nama Yayasan Keramat Payungan Hidayatullah merujuk pada
sejarah tanah wakaf ini yang konon katanya dahulu kala ditemukan payung dan
benda keramat diatas tanah ini. Dengan berbadan hukum yayasan, sedianya diatas
tanah wakaf ini akan dibangun Islamic Center yang sumber pendanaannya berasal
dari Dubai. Di komplek ini rencananya akan dibangun pusat pendidikan, asrama
yatim, gedung serba guna dan lain sebagainya layaknya pusat pengembangan
Islam. Karena satu dan lain hal, sampai hari ini cita-cita tersebut tidak pernah
terealisasi.
97
Gambaran Terkini Tanah Wakaf
Terletak di wilayah pemukiman padat penduduk, tanah wakaf ini terbilang
strategis, karena berada di depan jalan raya yang dilewati angkutan umum. Tanah
ini juga berdampingan dengan perumahan Jasa Marga dan lembaga pendidikan
seperti SMP 64 Cipayung dan SD Islam Cipayung dan mudah diakses melalui
TOL Jagorawi.
Meski berbadan hukum yayasan, saat ini diatas tanah wakaf berdiri satu
buah bangunan Masjid Nurhidayatullah dua tingkat seluas kurang lebih 1.000 m2
dan bangunan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) kurang lebih 1.000 m2. Selain
itu terdapat tujuh makam tua terdiri dari makam bapak Rimin bin Bimun dan
keturunannya. Untuk biaya pemeliharaan gedung, pengurus masjid mengandalkan
dari pemasukan infak yang berasal dari masyarakat sekitar. Sementara PAUD
sendiri masih dikelola secara tradisional dan menunjukkan perkembangan yang
memprihatinkan.
Gambar 4.8.1. Masjid Nurhidayatullah, tampak depan
98
Gambar 4.8.2. Masjid Nurhidayatullah, tampak dalam
Menyisakan sekitar 3.000 m2 lahan kosong, tanah wakaf ini pernah
masuk dalam Ensiklopedi Sejarah Kebudayaan Masyarakat DKI Jakarta.
Sayangnya, sampai saat ini belum ada dari pihak pemerintah ataupun swasta yang
melirik tanah ini untuk dikembangkan. Padahal, menurut pihak nadzir, total aset
tanah dan bangunan diperkirakan mencapai 10 milyar dengan menghitung NJOP
tanah di wilayah ini mencapai Rp. 800.000 m2.
99
Gambar 4.8.3. Sisa lahan seluas 3.000 m2, berupa lahan belukar tak terawat
b. Profil Nadzir
Nama : KH. Zaenuddin
TTGL : Jakarta 11 April 1940
Alamat : Gg. Musholla Fathul Ulum rt 003/02 Munjul Cipayung
Jakarta Timur
Pendidikan : Sekolah Rakyat
Pekerjaan : Wirausaha
KH. Zaenuddin merupakan tokoh masyarakat yang cukup disegani di
wilayahnya. Meski sang nadzir tinggal di wilayah yang berbeda dengan tanah
wakaf ini, saran dan pendapat beliau masih menjadi rujukan utama bagi
pengembangan tanah wakaf ini. Secara personal, sang nadzir memiliki visi yang
100
baik tentang pengembangan tanah wakaf untuk sektor pendidikan. Hanya saja,
faktor usia dan kurangnya wawasan tentang manajemen yang profesional
menyebabkan beliau tidak dapat berbuat banyak untuk mengembangkan tanah
wakaf ini.
Sementara itu pengurus yang dalam hal ini diwakili oleh bapak S. Nurdin,
yang juga masih merupakan anak keturunan dari wakif, menempatkan sang nadzir
sebagai tokoh sentral. Sehingga inisiatif untuk pengembangan yayasan ini hampir
tidak ada. S. Nurdin sendiri merupakan sarjana dan berprofesi sebagai karyawan
swasta dan menjadi bagian dari pengurus masjid Nurhidayatullah ini. Meski
begitu, baik nadzir maupun pengurus dibawahnya menyambut baik inisiasi dari
berbagai pihak untuk bisa mengembangkan yayasan ini dan keluar dari situasi
yang stagnan ini.
c. Kesimpulan dan Saran
Dari data yang kami paparkan diatas, terlihat bahwa yayasan ini berdiri
diatas tanah wakaf yang memiliki potensi untuk di produktifkan. Selain memiliki
sisa lahan yang cukup luas, letak tanah wakaf ini juga berada di lokasi yang sangat
strategis.
Sayangnya, meski sudah berbadan hukum yayasan, pengelolaannya jauh
dari cita cita awal pendirian yayasan ini. Pengelolaan yang apa adanya ini,
dikarenakan sedari awal sang pendiri hanya mengandalkan janji pihak ketiga
untuk pengembangan yayasan ini. Sementara, tidak ada inisiatif dari nadzir
maupun pengurus lain untuk lebih mengembangkan yayasan ini. Sehingga lebel
101
yayasan pada tanah wakaf ini baru sebatas nama, dan jauh dari fungsi yayasan
yang seharusnya. Hal lain bisa jadi dikarenakan sang nadzir yang sudah sepuh.
Padahal, nadzir, pengurus maupun masyarakat sekitar sudah merespon
sangat baik untuk dikembangkannya tanah wakaf ini. Dalam hal ini mereka dalam
posisi menunggu pihak ketiga baik pemerintah maupun swasta untuk lebih bisa
memanfaatkan tanah wakaf ini kearah yang lebih produktif. Tentu saja Badan
Wakaf Indonesia (BWI) diharapkan menjadi institusi pertama yang dapat
memfasilitasi dan membuka pintu bagi yayasan ini untuk bisa dikembangkan.
Sehingga manfaatnya lebih bisa dirasakan bagi masyarakat sekitar.
10. YAYASAN WAKAF MASJID AL-BARKAH, JAKARTA SELATAN
a. Profil Tanah Wakaf
Nama : Yayasan Wakaf Masjid al-Barkah
Alamat : Jl. Kemang Bangka Rt 02/04, Bangka,
Mampang Prapatan, Jakarta Selatan
Peruntukan : Masjid, Madrasah dan Makam
Luas tanah wakaf : 5.000 m2
Lahan dipergunakan : 4.500 m2
Sisa lahan : 500 m2
No sertifikat : No. 21 tahun 1989
Total perkiraan nilai aset : 20 milyar Rupiah
102
Sejarah Singkat
Masjid Al-Barkah didirikan sejak tahun 1818 pada zaman Belanda. Pada
tahun 1989, tanah ini sah dicatatkan dalam sertifikat wakaf atas nama H. Okib bin
Naisin sebagai wakif sekaligus nadzir. Setelah wafat, H. Okib digantikan oleh
putranya KH. Abdul Shomad Naisin. Setelah KH Abdul Shomad meninggal,
belum ada pergantian nadzir secara resmi akan tetapi kepengurusan diteruskan
oleh putranya H. Nashir bin Abdul Shomad Naisin.
Selain masjid, di atas tanah wakaf ini juga berdiri sekolah atas nama
yayasan Saadatul Muslimin. Pada awal pendiriannya, sekolah ini memiliki jurusan
SMK, SMA, SMP dan Madrasah Ibtidaiyah dengan jumlah siswa yang cukup
besar. Seiring waktu, jumlah siswa terus menurun, hingga sampai dengan tahun
2000 manajemen sekolah hanya menerima Madrasah Ibtidaiyah saja dengan total
jumlah total sebanyak 200 siswa.
Gambar 4.9.1. Kondisi sekolah yang memprihatinkan
103
Gambaran Terkini Tanah Wakaf
Tanah wakaf masjid Al-Barkah dan yayasan Madrasah Sa’adatul Muslimin
sangatlah strategis. Terletak di jantung kota Jakarta Selatan, masjid ini dapat
dengan mudah di jangkau dengan transportasi umum. Letaknya yang dekat
dengan gedung perkantoran, gedung kelurahan dan pasar tradisional Kemang,
menjadikan masjid ini sebagai tempat singgah dan istirahan bagi masyarakat
umum.
Luas tanah keseluruhan yayasan madrasah Saadatul Muslimin dan masjid
Al-Barkah senilai 5.000 m2 sebagian besar habis terpakai untuk bangunan masjid
sekitar dan sekolah. Sedangkan sisa lahan dari seluruh total tanah wakaf ini sekitar
500 m-2, sisa lahan ini pun habis terpakai untuk lahan parkir.
Sayangnya, meski berada di jalur strategis dan merupakan tempat singgah
bagi masyarakat umum, tanah dan bangunan wakaf ini terlihat tidak terawat
dengan kondisi bangunan yang hancur di sana-sini, kotor dan kumuh, tempat ini
terlihat begitu meyedihkan. Padahal masjid ini juga digunakan bagi warga sekitar
untuk mengadakan pertemuan warga, resepsi pernikahan dan lain sebagainya.
Akan tetapi, karena manajemen pengelolaan masih sangat tradisional,
masyarakat hanya dihimbau untuk berinfak sekedarnya dan tidak ada aktifitas
yang bersifat profit yang keuntungannya digunakan untuk perbaikan
pembangunan gedung. Begitupun dengan pengelolaan madrasah. Sumbangan
siswa habis terpakai untuk membayar gaji guru dan operasional sekolah.
104
Gambar 4.9.2. Masjid Al Barkah, tampak depan
b. Profil Nadzir
Nama : KH. Abdul Shomad Naisin
TTGL : Jakarta, 7 November 1940
Alamat : Jl. Al-Barkah no 1, Bangka, Mampang Prapatan,
Jakarta Selatan
Pendidikan : Sarjana Muda
Pekerjaan : Pensiun Kementerian Agama RI
KH. Abdul Shomad Naisin merupakan bapak dari H. Nashir, pengelola
dan pengurus masjid dan yayasan Al Barkah. Tidak banyak cerita yang bisa kami
gali tentang sosok KH. Abdul Shomad Naisin karena yang bersangkutan telah
wafat. H. Nashir, selaku anak lebih mengarahkan keterangannya pada sulitnya
105
mencari dana untuk membayar tukang dan membeli bahan bangunan untuk
perbaikan masjid dan madrasah. Dan ia mengaku sampai hari ini belum ada dana
dari pihak pemerintah untuk perbaikan dan pembangunan bangunan masjid dan
madrasah ini.
c. Kesimpulan dan Saran
Yayasan Masjid Al-Barkah adalah contoh dari tanah wakaf yang tidak
dikelola baik. Meski terletak di daerah perkotaan padat penduduk dan memiliki
nilai ekonomi tinggi. Tanah wakaf ini seolah hilang tergerus zaman dan seolah
tanpa manfaat.
Kondisi ini akibat lemahnya kepemimpinan sang nadzir. Posisi nadzir
yang turun termurun menyebabkan tanah ini seolah sebagai beban bagi ahli
warisnya, sementara biaya operasional dan perawatan gedung tentulah tidak
murah. Hal ini jelas membuat nadzir lelah dan tidak dapat berfikir untuk
mengembangkannya ke arah yang lebih produktif. Nadzir hanya mampu
memikirkan bagaimana biaya operasional setiap bulannya dapat dipenuhi.
Padahal, masjid ini juga digunakan warga untuk resepsi perkawinan,
perkumpulan warga dan rapat rapat pengurus RT dan RW. Jika saja potensi ini di
kelola secara professional dengan menerapkan kebijakan sewa, hal ini dapat
memberikan nilai ekonomi yang tinggi bagi tanah wakaf tersebut.
Letaknya yang di pinggir jalan dan merupakan tempat singgah bagi
masyarakat yang datang dari berbagai penjuru kota, semestinya dapat dijadikan
106
peluang bisnis bagi pengembangan wakaf produktif. Dengan NJOP sekitar
6.000.000 per m2, seharusnya tanah wakaf ini dapat bernilai tinggi.
Profil tanah wakaf ini merupakan contoh tidak bagus bagi manajemen
pengembangan tanah wakaf di Indonesia khususnya Jakarta. Jika ada pihak yang
berwenang yang dapat mengambil alih pengelolaannya dan berani berinvestasi
untuk melakukan perubahan total bagi tanah wakaf ini, kami percaya tanah wakaf
ini dapat di produktifkan dan memberikan keuntungan yang besar bagi masyarakat
sekitar.
11. MASJID AL-MUHTAR JAKARTA TIMUR
a. Profil Tanah Wakaf
Nama : Masjid Al-Muhtar
Alamat : Jl. Raya Tanah Malaka, RT 04/08, Munjul,
Cipayung, Jakarta Timur
Peruntukan : Masjid
Luas tanah wakaf : 2400 m2
Lahan dipergunakan : 437 m2
Sisa lahan : 1900 m2
No sertifikat wakaf : No. 59. AIW/PPAIW W2A/50/4/XII/1990
Perkiraan total nilai aset : Satu milyar rupiah
107
Sejarah Singkat
Tanah ini merupakan wakaf dari H. Muhtar Zakariya, mantan pejabat di
kantor walikota Jakarta Selatan pada tahun 1990. Di atas tanah ini, pada tahun
1993 dibangun masjid yang diberi nama masjid Al-Mukhtar sesuai dengan nama
sang wakif. Tanah wakaf ini merupakan kepemilikian perseorangan dan dikelola
dibawah yayasan keluarga besar H. Nashir yang merupakan anak dari H. Muhtar
Zakariya. Sejak awal pendiriannya keluarga besar menunjuk Muhdar sebagai
nadzir resmi dari keluarga. Muhdar sendiri merupakan mantan sopir pribadi
keluarga tersebut selama puluhan tahun. Setelah H. Zakaria meninggal, segala hal
yang berhubungan dengan pengelolaan tanah wakaf ini secara resmi dipercayakan
kepada Muhdar.
Gambar 4.10.1. Bagunan Masjid Al-Muhtar tampak depan
108
Gambaran Terkini Tanah Wakaf
Tanah wakaf ini terletak di daerah perkampungan penduduk. Meski begitu
tanah wakaf ini memiliki akses yang sangat strategis karena dilalui oleh angkutan
umum. Selain itu masjid ini juga diapit oleh perumahan penduduk, sebelah kiri
berdekatan dengan Malaka Residence, sebelah depan berdekatan perumahan
Malaka Grand, dari posisi sebelah belakang berdekatan dengan Komplek Polri.
Masjid ini juga bersebelahan dengan sekolah Madrasah Tsanawiyah (MTs)
Cipayung.
Memiliki total luas tanah wakaf 2.400 m2, tanah ini baru digunakan
sebesar 500 m2 untuk bangunan masjid Al-Muhtar. Bangunan masjid dua lantai
ini didesain khusus. Lantai atas dipergunakan untuk ritual keagamaan seperti
sholat dan pengajian, sementara lantai bawah dimaksudkan sebagai aula tempat
kegiatan kegiatan sosial. Sisa lahan sebesar 1.900 m2, tampak kosong dan
dibiarkan tanpa perawatan. Sementara ini hanya dijadikan lahan bercocok tanam
dan beternak bagi Muhdar sang pengelola dan tempat parkir mobil bagi warga
sekitar. Adapun biaya operasional dan perawatan mengandalkan sedekah yang
berasal dari masyarakat sekitar.
Karena sifatnya milik keluarga, tentu saja Muhdar sebagai nadzir tidak
memiliki peran strategis dalam pengembangan tanah wakaf ini. Meskipun begitu
tercatat pernah ada rencana kerjasama yang di-inisiasi oleh yayasan keluarga besar
H. Nashir (anak dari wakif) berupa rancangan kerjasama di bidang pendidikan
oleh tiga yayasan. Karena satu dan lain hal, sampai hari ini kerjasama tersebut
tidak terealisasi.
109
Gambar 4.10.2. Lahan kosong seluas 1.900 m2
b. Profil Nadzir
Nama : Muhdar
Alamat : Jl. Raya Malaka RT 04/08, Munjul, Cipayung, Jakarta
Timur
Pendidikan : Sekolah Menengah Atas (SMA)
Pekerjaan : Wiraswasta
Muhdar adalah laki-laki sederhana yang mengabdikan hidupnya sebagai
sopir pribadi keluarga mantan pejabat dalam hal ini wakif. Atas loyalitasnya,
Muhdar dipercaya untuk mengurus tanah wakaf milik keluarga yang terletak di
desa Munjul, Cipayung Jakarta Timur. Tidak banyak yang bisa dilakukan Muhdar
110
untuk pengembangan tanah wakaf ini disamping latar belakang pendidikan dan
pengalamannya yang terbatas, hal ini juga dikarenakan pengelolaan sepenuhnya
berada di pihak H. Nashir selaku anak dari sang wakif.
c. Kesimpulan dan Saran
Tanah wakaf Masjid Al-Muhtar merupakan contoh tanah wakaf pribadi
yang pengembangan dan pemanfaatannya sangat bergantung pada perhatian dan
keinginan kuat dari pihak keluarga. Sampai hari ini, sepertinya belum ada
perhatian khusus dari pihak keluarga untuk lebih memanfaatkan tanah wakaf
tersebut ke arah yang lebih produktif. Sementara sang Nadzir memainkan peran
yang sangat terbatas dan jika boleh dibilang hanya sebagai penunggu bangunan
masjid.
Meskipun demikian, lokasi yang strategis dan sisa lahan yang cukup besar
di tengah-tengah minimnya lahan di ibu kota dapat menjadi nilai lebih bagi tanah
wakaf model ini. Harus ada pihak yang berani mengambil inisiatif memanfaatkan
potensi strategis tanah wakaf ini sehingga manfaatnya bisa dirasakan langsung
oleh masyarakat sekitar.
111
12. YAYASAN MASJID AL-BIRRU JAKARTA SELATAN
a. Profil Tanah Wakaf
Nama : Masjid Al-Birru
Alamat : Jl. Desa Putra Rt.02/17 Srengseng Sawah,
Jagakarsa, Jakarta Selatan
Peruntukan : Lembaga pendidikan
Luas tanah wakaf : 2.166 m2
Lahan dipergunakan : 866 m2
Sisa lahan : 1.300 m2
No sertifikat wakaf : No w.3.a/201/I, 24 Januari 1994
Total perkiraan nilai aset : 3 milyar
Sejarah Singkat
Tanah yang kini berdiri masjid Al-Birru pada awalnya adalah tanah wakaf
dari Departemen Kesehatan (kini Kementrian Kesehatan). Nadzir, bapak
Zainuddin sendiri adalah tercatat hanya nadzir bagi tanah saja, tidak lebih. Kala
tanah tersebut disengketakan oleh pihak ABRI (kini TNI) bapak Zainuddin adalah
perwakilan masyarakat yang turut mempertahankan dari penguasaan oleh ABRI.
Setelah konflik sengketa itu usai, Departemen Kesehatan pun kemudian
mempercayakan penguasaan tanah kepada Bapak Zainuddin dengan status nadzir
wakaf.
Pemerintah melalui Departemen Kesehatan mewakafkan lahan tersebut
dengan kepentingan bagi pengembangan kemaslahatan yang dapat diperoleh oleh
112
masyarakat. Kini, di atas lahan wakaf tersebut, telah berdiri masjid Al-Birru,
untuk mewujudkan mimpi dan tujuan wakaf.
Gambaran Terkini Tanah Wakaf
Secara model pengelolaan, tanah wakaf yang berada di bilangan Srengseng
Sawah ini masih dapat diklasifikasikan sebagai model organisasi sederhana.
Pengelolaan wakaf ini dilakukan secara kekeluargaan. Posisi nadzir yaitu bapak
M. Zainudin merupakan ketua yayasan. Ia dibantu oleh Lukman Hakim yaitu
anaknya untuk mengelola tanah wakaf ini.
Gambar 4.11.1. Masjid Al-Birru Tampak Depan
Tanah wakaf masjid Al-Birru berbatasan langsung dengan perumahan
warga, sementara bagian muka masjid berbatasan dengan jalan raya. Bagian
belakang Masjid berbatasan dengan komplek perumahan ABRI. Jarak lokasi
113
Masjid dengan pusat-pusat bisnis, perkantoran, dan pusat perdagangan (pasar)
berjarak sekitar 2 km. Sisa lahan yang belum dipergunakan ada sekitar 1.300 m2
dari 2.166 m2, dengan NJOP tanah diperkirakan bernilai Rp. 2.000.000,-. per
meter persegi.
Pengelolaan tanah wakaf juga masih bersifat tradisonal, semua kegiatan
terpusat di nadzir yang sekaligus menjabat sebagai ketua yayasan. Di kawasan
masjid Al-Birru hanya terdapat TK (Taman kanak-kanak) dan beberapa bangunan
kontrakan yang disewakan.
Bagunan ini dibangun atas inisiatif dan investasi harta pribadi sang nadzir.
Untuk membangun kontrakan ini sang nadzir mengusahakannya dengan menjual
mobil, motor dan harta lainnya. Karena alasan tersebut, seluruh pendapatan dari
TK dan sewa kontrakan diperuntukkan sepenuhnya bagi keperluan operasional
masjid dan TK dan untuk memenuhi kebutuhan keluarga nadzir. Adapun untuk
warga sekitar, biasanya tidak secara otomatis bisa menikmati hasil tanah wakaf
melainkan jika ada permintaan atau kegiatan-kegiatan tertentu.
Gambar 4.11.2. Bangunan yang disewakan diatas tanah wakaf
114
Gambar 4.11.3. Bangunan yang disewakan diatas tanah wakaf
Gambar 4.11.4 Bangunan yang disewakan diatas tanah wakaf
Pemanfaatan aset wakaf bagi keperluan produktif dapat diterima dengan
baik oleh nadzir, meski nadzir dan mauquf ‘alaih tidak terlalu mengetahui pola
pengelolaannya secara teknis, namun dukungan untuk pemanfaatan aset wakaf
115
bagi usaha produktif tercermin dari keinginan kedua pihak tersebut untuk
mengembangkannya. Tentu hal ini dengan syarat, seluruh hasil yang didapat
dikembalikan kepada masyarakat sekitar.
Baik nadzir dan pihak keluarganya tidak keberatan seandainya ada
investor yang berkeinginan untuk mengembangkan aset wakaf, asalkan unit-unit
bisnis yang ada masih sesuai dengan kapasitas nadzir untuk pengelolaannya dan
dapat bermanfaat bagi warga-warga sekitar.
b. Profil Nadzir
Nama : M. Zainuddin
Alamat : Jl. Desa Putra Rt.02/17 Srengseng Sawah,
Jagakarsa, Jakarta Selatan
Telepon : 021-98284414
Pendidikan : SLTP YKP
Pekerjaan : Pensiunan ABRI
Pengalaman organisasi : Anggota Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
Selain sebagai nadzir, M Zainuddin bertindak selaku ketua yayasan masjid
Al-Birru. Perannya sebagai nadzir dan ketua yayasan membuatnya menjadi satu
satunya orang yang dapat mengambil keputusan. Tentu saja hal ini tidaklah sehat,
karena aset tanah wakaf yang dikelolanya bukan milik keluarga. Bahkan, seiring
dengan semakin uzurnya usia, pengelolaan sehari-hari diserahkan kepada sang
anak yang bernama Lukman Hakim.
116
c. Kesimpulan dan Saran
Masjid Al-Birru merupakan contoh lain dari praktek pemanfaatan tanah
wakaf. Diatas tanah ini, nadzir membangun unit usaha dengan menginvestasikan
harta pribadinya. Sehingga dalam pemanfaatannya, selain untuk perawatan
masjid, sang nadzir dan keluarganya merasa berhak untuk menikmatinya. Dalam
hal ini tujuan agar tanah wakaf dapat bermanfaat bagi kepentingan ummat dalam
arti yang lebih luas belumlah tercapai. Harus ada upaya yang serius oleh pihak
yang berkepentingan melakukan pembinaan terhadap nadzir, pengurus dan pihak
keluarga tentang esensi dari pemanfaatan wakaf bagi kepentingan masyarakat
luas.
13. YAYASAN Al- ASYIROSTUSYAFI’IYAH JAKARTA SELATAN
a. Profil Tanah Wakaf
Nama : Yayasan Al-Asyirotusyafi’iyah
Alamat : Jl. KH. Syafii Hadzami No. 40 Rt 09/06
Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, 12240
Peruntukan : Lembaga pendidikan
Luas tanah wakaf : 3.700 m2
Lahan dipergunakan : 2.700 m2
Sisa lahan : 1.000 m2
Total perkiraan nilai aset : 20 milyar
117
Sejarah Singkat
Sejarah tanah wakaf Al-Asyirotusafiiyah berasal dari pemilik tanah
(wakif) yang bernama H. Hafidz, yang juga merupakan orang asli Kebayoran. H.
Hafidz mencari orang yang dapat dipercaya untuk mengurus tanah tersebut. Atas
rekomendasi dari KH. Syukron Makmun yang merupakan pimpinan pondok
pesantren Darul Rahman, H. Hafidz meminta KH Syafii Hadzami untuk menjadi
nadzir sekaligus mengelola tanah wakaf tersebut. Tahun 1975 berdirilah pondok
pesantren Al-Asyirotussyafiiyah di atas tanah wakaf ini. Yayasan
menyelenggarakan pendidikan mulai dari tingkat kanak kanak sampai tingkat
aliyah.
Tahun 2006, KH. Syafii Hadzami berpulang. Berdasarkan hasil
musyawarah, posisi beliau sebagai nadzir kemudian digantikan oleh putra tertua,
H. Khudori. Kini, dengan usia yang tak muda lagi dan ditambah faktor kesehatan
yang semakin menurun, H. Khudori tidak dapat lagi mengemban amanat menjadi
Nadzir sekaligus pengelola yayasan. Maka berdasarkan hasil musyawarah
pengurus, diangkatlah H. Miftahurahmat sebagai nadzir baru menggantikan posisi
H. Khudori. Terpilihnya beliau sebagai nadzir baru merupakan keputusan
musyawarah bersama, karena bentuk dari pengelolaan tanah wakaf telah
berbentuk lembaga sehingga segenap keputusan diselesaikan secara musyawarah,
bukan atas keputusan individu semata.
Gambaran Terkini Tanah Wakaf
Peruntukan tanah wakaf diperuntukan untuk kepentingan pendidikan, dan
118
hasilnya dapat digunakan untuk kepentingan bersama. Pihak nadzir sendiri belum
dapat menunjukan dokumen terkait tanah wakaf, namun berdasarkan pengakuan
sertifikat tanah sudah lengkap.
Luas tanah sekitar 3.700 m2. Di depan tanah wakaf berbatasan langsung
dengan jalan raya dan perkantoran, pusat perbelanjaan. Samping kanan-kiri serta
bagian belakang berbatasan dengan pertokoan dan rumah warga.
Jarak tanah wakaf dengan pusat bisnis seperti Mall Gandaria City,
perkantoran dan pasar sangat dekat, hanya sekitar beberapa ratus meter saja. Sisa
lahan tanah wakaf yang masih kosong diperkirakan sekitar 1.000 m2 lagi.
Sayangnya baik nadzir maupun mauquf alaih tidak mengetahui secara persis dari
NJOP tanah tersebut
Gambar 4.12.1. Unit bisnis, lahan parkir 24 jam bagi karyawan sekitar
perkantoran dan mall
119
Gambar 4.12.2. Unit bisnis, kantin bagi pelajar dan masyarakat umum
Beberapa unit bisnis telah dikembangkan seperti kantin dan juga
penyewaan tempat parkir untuk karyawan-karyawan yang bekerja di sekitar tanah
wakaf. Manajemen pengelolaan tanah wakaf telah dikembangkan menurut kaidah
organisasi modern dengan membentuk yayasan.
Pemanfaatan tanah wakaf digunakan untuk biaya operasional, honor
karyawan serta beasiswa bagi santri-santri yang mendapatkan pendidikan gratis di
pesantren. Hasil dari tanah wakaf kembali kepada yayasan dan digunakan untuk
keperluan-keperluan di atas. nadzir tidak memiliki peran signifikan dalam
penentuan kebijakan arah pengembangan yayasan, karena semua harus melalui
mekanisme musyawarah dan atas persetujuan badan pendiri.
120
Gambar 4.12.3. Bangunan Sekolah Al-Asyirotussyafi’iyah
Selama aset wakaf dikelola oleh yayasan, tidak ada pengaduan ataupun
keberatan dari pihak warga. Nadzir dan mauquf alaih sendiri baru mendengar
terminologi wakaf produktif. Sementara ini nadzir tidak ingin mengambil
kebijakan apapun terkait wakaf termasuk wakaf produktif tanpa adanya
persetujuan dari pihak lembaga.
b. Profil Nadzir
Nama : H. Miftahurahmat
Usia : 37 tahun
Alamat : Jl. Hutan Kayu No. 104 D Jakarta Timur
Telepon : 021- 98613054
Pendidikan : Akademi manajemen Jayabaya
Pekerjaan : Pegawai Swasta
121
H. Miftahurahmat adalah cucu dari KH. Syafii Hadzami. Keberadaannya
sebagai nadzhir lebih karena faktor keturunan. H. Miftahurrahmat sendiri tidak
memiliki kewenangan besar dalam pengembangan aset wakaf. Semua diputuskan
secara musyawarah bersama pengurus yayasan.
Pihak pengurus yang diwawancarai secara terpisah menyatakan,
menyambut baik pengembangan wakaf produktif. Hanya perlu diskusi lebih lanjut
mekanismenya. Melihat potensi yang dimiliki yayasan ini yakni menyediakan
lahan parkir bagi karyawan perkantoran disekitarnya, pengembangan pemanfaatan
aset wakaf bisa dengan menyediakan lahan parkir bertingkat yang dikelola secara
profesional. Tentu saja hal ini akan memerlukan nilai investasi yang tidak sedikit.
c. Kesimpulan dan Saran
Melihat letaknya yang strategis yang diapit oleh pertokoan, perkantoran
dan mall besar, seharusnya tanah wakaf ini memiliki nilai investasi yang tinggi
dan menjanjikan untuk diprofitkan. Hanya saja butuh dana yang besar jika ada
pihak yang serius ingin mengembangkan wakaf produktif di atas lahan wakaf ini.
Dengan nadzhir dan pengurus yang memiliki latar belakang pendidikan baik dan
bisa menerima konsep wakaf produktif dengan baik, hal ini membuat nilai plus
bagi tanah wakaf ini untuk dikembangkan.
Sementara pihak yayasan membuka unit bisnis berupa kantin yang terbuka
untuk pelajar dan masyarakat umum dan berupa penyediaan lahan parkir motor 24
jam bagi karyawan perkantoran dan pengunjung mall. Jika ada pihak yang mau
122
berinvestasi, mengembangkan lahan parkir bertingkat yang di kelola secara
professional merupakan satu ide yang patut di coba.
14. MASJID JAMI DARUSSALAMAH JAKARTA SELATAN
a. Profil Tanah Wakaf
Nama : Masjid Jami Darussalamah
Alamat : Jl. Rengas Raya Rt 11/11, Bintaro,
Pesanggrahan, Jakarta Selatan
Peruntukan : Masjid
Luas tanah wakaf : 3.200 m2
Lahan dipergunakan : 2.000 m2
Sisa lahan : 1.200 m2
Total perkiraan nilai aset : 2 milyar
Sejarah Singkat
Tahun 1992, H. Daih mewakafkan tanah seluas 900 m2 untuk dibangun
sebuah masjid. Atas dananya pula berdirilah masjid Jam’i Darussalamah.
Kesalehan sang bapak menjadi teladan bagi H. Idup, anak dari H. Daih. Maka
kemudian, masih di areal yang sama, H. Idup mewakafkan 2.300 m2. Sehingga
total tanah wakaf Masjid Jami Darussalamah mencapai 3.200 m2. Dengan
peruntukkan bagi bangunan masjid dan lembaga pendidikan Islam
123
Gambar 4.13.1. Masjid Darussalamah tampak depan
Gambar 4.13.2. Masjid Darussalamah, tampak samping
124
Gambaran Terkini Tanah Wakaf
Dengan luas mencapai 3.200 m2, tanah wakaf ini hanya terdiri dari
bangunan masjid seluas 2.000 m2 dan tower pemancar milik PT Telkom. Masjid
Darussalamah tampak megah di tengah pemukiman warga Bintaro sektor 1. Selain
pemukiman warga, tanah wakaf ini sangat dekat dengan pusat bisnis, perkantoran
dan Mall Bintaro Plaza, di Selatan Jakarta.
Gambar 4.13.3 Lahan kosong, tampak depan
Pengelolaan yayasan masih sangat tradisional dan sederhana. Pencatatan
pemasukan dan pengeluaran dilakukan dengan sangat sederhana, dan dilaporkan
secara lisan pada kesempatan sholat Jumat setiap bulan. Selain dana masyarakat,
pengurus juga mendapat pemasukkan dari sewa lahan kosong untuk alat pemancar
oleh PT Telkom. Sewa menyewa ini akan habis masa kontraknya dalam dua tahun
125
kedepan. Seluruh pemasukan baik yang berasal dari masyarakat maupun hasil
sewa habis digunakan untuk operasional, perwatan dan perbaikan masjid.
b. Profil Nadzir
Nama : H. Mukhtar
TTGL : Jakarta, 09 Agustus 1957
Alamat : Jl. Rengas Raya Rt 11/11, Bintaro, Pesanggrahan,
Jakarta Selatan
Telepon : 081319545718
Pendidikan : Pesantren Gontor
Pekerjaan : Pembina PONPES Al-Amanah Al-Gontory
Pondok Aren
Pengalaman Organisasi : Ketua RT, Ketua RW
H. Muktar adalah cucu dari sang wakif, H Daih. H. Mukhtar diangkat
menjadi Nadzir menggantikan H. Najih, sang kakak yang meninggal pada tahun
2001. Sistem pengangkatan nadzir dilakukan secara turun temurun oleh ahli waris
sang wakif.
Dengan latar belakang pesantren Gontor, H. Mukhtar bercita-cita
membangun sebuah lembaga pendidikan Islam di kawasan tersebut. Hal ini bukan
saja karena amanat sang kakek akan tetapi juga dikarenakan lembaga pendidikan
berbasis agama Islam sangat sedikit dapat ditemui di kawasan tersebut. Mimpi ini
masih terkendala dana dan sumberdaya manusia.
126
c. Kesimpulan dan Saran
Tidak ada yang salah dalam penunjukkan pengelolaan yang diwariskan
secara turun temurun. Akan tetapi hal tersebut bisa menjadi kendala untuk
pengelolaan tanah wakaf dan yayasan yang dipimpinnya jika tidak didukung oleh
sumberdaya manusia yang baik.
Dalam kasus ini, pengelolaan tanah wakaf sudah melewati tiga generasi,
akan tetapi terlihat stagnan dan cenderung hanya meneruskan apa yang sudah
dilakukan para pendahulunya yakni mengelola masjid. Padahal, wilayah di mana
tanah wakaf ini berada sangat strategis. Selain penyewaan tanah wakaf kepada
pihak komersil, semestinya tidak terlalu sulit untuk memproduktifkan tanah wakaf
ini mengingat lahan kosong yang tersedia cukup luas.
Dengan bantuan pihak ketiga semisal investor dan penerapan sistem
manajemen yang professional. Tanah wakaf ini sangat menjanjikan untuk di
produktifkan.
127
15. MASJID AL-HIDAYAH JAKARTA TIMUR
a. Profil Tanah Wakaf
Nama : Masjid Al-Hidayah
Alamat : Jl. Sunan Giri no. 5, Rawamangun Jakarta Timur
Peruntukan : Masjid
Luas tanah wakaf : 1.200 m2
Lahan dipergunakan : 1.000 m2
Sisa lahan : 200 m2
No. sertifikat : No. 72 tahun 1992)
Total perkiraan nilai aset : 5 milyar
Sejarah Singkat
KH. Muslih mewakafkan tanah seluas 1.200 m2. Atas bantuan masyarakat
sekitar berdirilah bangunan masjid di atas tanah seluas 1.000 m2. Selanjutnya atas
bantuan donatur utama bapak Probosutedjo, pengusaha nasional mewakili
Yayasan Amal Muslim Pancasila milik H. M. Soeharto, masjid ini dibangun ulang
menjadi dua lantai. Kini masjid al-Hidayah berdiri megah di tengah kota di Timur
Jakarta.
128
4.14.1. Masjid Jami Al Hidayah, tampak depan
Masjid ini berada dalam pengelolaan nadzir perseorangan, pengelolaannya
masuk dalam bagian pengelolaan yayasan pendidikan Diponegoro milik keluarga
keturunan KH. Muslih yang berada tepat di samping masjid.
Yayasan Diponegoro merupakan yayasan milik keturunan KH. Muslih,
Tanah dari yayasan ini bukan merupakan tanah wakaf melainkan milik keluarga
besarnya. Yayasan ini mengelola pendidikan setingkat Sekolah Menengah
Pertama (SMP), Sekolah Menengah Umum (SMU), Sekolah Menengah Kejuruan
(SMK) dan Universitas.
129
Gambar 4.14.2. Prasasti peresmian oleh Probosutedjo
Gambaran Terkini Tanah Wakaf
Berada di jalan protokol Rawamangun Jakarta Timur, masjid ini dilalui
oleh berbagai macam angkutan umum mulai gedung gedung perbankan seperti
dari angkot sampai dengan Trans Jakarta. keberadaannya mudah dikenali karena
bangunan masjid terlihat indah dan megah. Selain itu sangat dekat dengan pusat
perkantoran, pusat pertokoan, pusat perbankan dan pasar Rawamangun.
130
Gambar 4.14.3. Masjid Al-Hidayah lantai 2, bagian dalam
Manajemen pengelolaan mulai dari pendanaan, biaya perawatan, listrik,
air, sampai dengan honor pengurus harian ditanggung oleh pihak yayasan di mana
dana ini di ambil dari infak setiap siswa sebesar Rp. 60.000 setiap bulannya.
Sebagai kompensasi, pihak yayasan menggunakan fasilitas masjid sebagai bagian
dari fasilitas belajar mengajar. Lantai dua digunakan untuk kepentingan ibadah
dan lantai satu untuk seminar, pelatihan, diskusi dan lain sebagainya.
131
Gambar 4.14.4 Masjid Al Hidayah lantai 1,
tampak siswa-siswi sekolah Diponegoro tengah mengikuti pelatihan
Dengan perkiraan Nilai Jual Objek Pajak (NIOP) tanah saat ini,
diperkiraan total aset tanah wakaf ini mencapai 5 miliar rupiah. Tidak ada lahan
yang tersisa dari tanah wakaf ini, sekitar 200 meter lahan yang ada sudah habis
digunakan untuk fasilitas parkir.
Gambar 4.14.5. Sisa lahan tanah wakaf untuk area parkir
132
b. Profil Nadzir
Nama : Ir. Adji Pamungkas
Alamat : Jl. Sunan Giri no. 5, Rt. 08/015, Rawamangun
Jakarta Timur
Telepon : 08159485555
Pendidikan : S1
Pekerjaan : Wiraswasta/Pengusaha
Ir. Adji Pamungkas adalah keturan dari KH. Muslih, wakif dari tanah
wakaf masjid Al-Hidayah. Bertindak sebagai nadzir sekaligus pimpinan yayasan
Dipenegoro, Ir. Adji pamungkas juga berprofesi sebagai pengusaha.
Meski memiliki pemahaman yang terbatas tentang wakaf produktif, ada cukup
semangat untuk lebih mengembangkan pemanfaatan tanah wakaf ini. Bapak Adji
bercita-cita untuk memanfaatkan lantai satu masjid untuk bisa dikomersialkan
semisal disewakan untuk umum dan membangun sejenis koperasi atau BMT yang
dikelola oleh pengurus masjid. Hasil dari keuntungannya dipergunakan untuk
peningkatan ekonomi masyarakat sekitar. Menurutnya yang dibutuhkan saat ini
adalah sistem IT (informasi dan teknologi) dan sistem finansial yang baik
sehingga idenya ini bisa didukung oleh manajemen yang baik.
c. Kesimpulan dan Saran
Dari kasus ini terlihat seperti ada hubungan simbiosis mutualisme yang
dibangun oleh Bapak Adji selaku nadzir dan pengelola yayasan. Hanya saja
133
simbiosis ini cenderung lebih menguntungkan pihak yayasan. Karena pihak
yayasan mengunakan fasilitas masjid sebagai bagian dari fasilitas sekolah. Hal ini
sah saja, karena baik masjid maupun yayasan masih berada dalam pengelolaan
milik keluarga besar KH. Muslih.
Padahal dengan infak sebesar Rp. 6o.ooo per kepala perbulan, seharusnya
dana ini bisa dikelola dan dikembangkan pemanfaatannya. Dana ini semestinya
dapat diupayakan untuk dikelola agar bisa dikembangkan ke arah yang lebih
produktif. Begitupun dengan penggunaan fasilitas masjid, jika dapat di
komersilkan dan dibuka untuk umum hal tersebut merupakan langkah strategis
bagi pengembangan aset tanah wakaf tersebut.
16. MASJID AL-FIRDAUS JAKARTA BARAT
a. Profil Tanah Wakaf
Nama : Masjid Al-Firdaus
Alamat : Jl. Peta Utara Rt 01/06, Pegadungan,
Kali Deres, Jakarta Barat
Peruntukan : Masjid
Luas tanah wakaf : 3.553 m2
Lahan dipergunakan : 2.550 m2
Sisa lahan : 1.003 m2
No sertifikat : No. 09.03.06.04.08935)
Total perkiraan nilai aset : 5 milyar
134
Sejarah Singkat
Tanah wakaf seluas 3.553 m2 ini dahulunya adalah area persawahan.
Tanah ini kemudian dibeli dan dibangun sebuah masjid oleh seorang non-Muslim
beragama Budha pemilik Rumah Duka Jabar Agung. Pemberian tanah ini
difasilitasi oleh Bapak Syamsudin, yang bekerja sebagai tukang sapu di rumah
duka di atas. Di atas tanah ini pemilik rumah duka tersebut mendirikan sebuah
masjid. Adapun dana perbaikan masjid juga diperoleh dari partisipasi masyarakat.
Awalnya sang pemilik rumah duka itu ingin mengelola sendiri masjid Al-Firdaus,
akan tetapi pihak lurah dan camat setempat keberatan. Maka pada tahun 1985
bersamaan dengan peresmian masjid Al-Firdaus, ditunjuklah H. Asnawi, tokoh
masyarakat setempat untuk menjadi nadzir dan pengelola tanah wakaf ini.
Gambar 4.15.1 Masjid Al-Firdaus, tampak depan
135
Gambaran Terkini Tanah Wakaf
Kini, di atas tanah wakaf seluas kurang lebih 3.553 m2, telah berdiri
bangunan masjid dan sekolah menengah kejuruan (SMK). Semenjak awal
didirikan, tanah wakaf ini memang diniatkan bagi pembangunan masjid dan
kegiatan umat pada umumnya. Niat awal itu hingga kini terus dipertahankan,
meskipun jaman terus berubah. Hal ini ditekankan oleh Nadzir, bapak H. Asnawi
Mursan.
Gambar 4.15.2. Sekolah SMK Al-Firdaus tampak depan
Di atas tanah seluas 2.550 m2, berdiri bangunan masjid dan sekolah SMK
Al-Firdaus. Tanah wakaf ini berlokasi di jalan Peta Utara RT 01 RW 06 kelurahan
Pegadungan, Kecamatan Kalideres Jakarta Barat 11830, dan terletak sangat dekat
dengan Kantor Urusan Agama (KUA) dan kelurahan Pegadungan.
136
Gambar 4.15.3. Sekolah dan lahan kosong yang tersisa sekitar 1.000 m2
Luasnya lahan yang tersisa dari tanah wakaf, sekitar kurang lebih 1.000m2,
membuat masjid Al-Firdaus memiliki potensi pengembangan yang cukup tinggi,
terutama ditilik dari sektor ekonomi produktif. Untuk sementara ini,
pengembangan tanah wakaf selain untuk kegiatan masjid juga didirikan fasilitas
pendidikan (SMK) yang pendanaannya bersumber dari bantuan perseorangan.
Biaya operasional dan perawatan masjid mengandalkan dana zakat, infak dan
sedekah masyarakat, sementara sumbangan siswa habis untuk menggaji guru.
137
b. Profil Nadzir
Nama : H. Asnawi Mursan
Alamat : Jl. Peta Utara Rt 01/06, Pegadungan,
Kali Deres, Jakarta Barat
Telepon : 021-5402047
Pendidikan : S1 Tarbiah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pekerjaan : Pensiunan Guru SMP 169
H. Asnawi Mursan, adalah nadzir dari tanah wakaf ini karena ia adalah
tokoh masyarakat setempat. Sebenarnya nadzir ini berbentuk kelompok, akan
tetapi hal tersebut hanya untuk memenuhi persyaratan saja, pada prakteknya, ia
adalah pengambil keputusan tunggal dengan dibantu anak-anaknya yang bertindak
sebagai sekretaris dan bendahara yayasan.
Selaku nadzir ia berpendapat bahwa pengembangan tanah wakaf di daerah
tersebut lebih bagus dititikberatkan pada peningkatan kualitas SDM. Hal ini tidak
terlepas dari latar belakang beliau yang seorang pengajar di guru SMP 169. H.
Asnawi sendiri sangat mendukung jika ada investor yang tertarik untuk
mengembangkan pendidikan di tanah wakaf tersebut.
c. Kesimpulan dan Saran
Dari tanah wakaf ini kita bisa mengambil pelajaran bahwa tanah wakaf
dapat berasal dari seorang non-Muslim. Terlepas dari motivasi apa sang wakif
138
membeli tanah dan membangunkan masjid untuk masyarakat, wakafnya dapat
diterima dengan baik oleh masyarakat setempat.
Dari sini juga kita bisa mengetahui bahwa kecenderungan nadzir untuk
bekerja sendiri lebih dominan. Meski di atas kertas nadzir dari tanah wakaf ini
adalah berbentuk kelompok, pada prakteknya tidaklah demikian. Bahkan
pengelolaan wakaf menjadi pengelolaan keluarga di mana keputusan tunggal
diambil oleh sang nadzir dan pengelolaannya dibantu anak-anak sang nadzir.
Padahal tanah wakaf ini bukanlah berasal dari wakaf keluarga.
Terlepas dari manajemen pengelolaan yang masih perlu dibenahi, perlu
ada arahan dan pengawasan yang dilakukan oleh pihak berwenang untuk
pengembangan tanah wakaf ini. Masyarakat juga diharapkan berpartisipasi aktif
untuk pengembangan dan pemanfaatan tanah wakaf ini.
17. YAYASAN DARUL ULUM JAKARTA BARAT
a. Profil Tanah Wakaf
Nama : Yayasan Darul Ulum
Alamat : Jl. Madrasah Rt 02/01, Kali Deres, Jakarta Barat
Peruntukan : Sosial dan Dakwah
Luas tanah wakaf : 5.015 m2
Lahan dipergunakan : 3.015 m2
Sisa lahan : 2.000 m2
No sertifikat : No. 09.03.06.05.1.01067
Total perkiraan nilai aset : 2 milyar
139
Sejarah Singkat
Tanah seluas kurang lebih 5.015 m2 diberikan oleh orang tua dari nadzir,
Bapak H. Hamzah, untuk kepentingan sosial dakwah masyarakat. Sempat terjadi
kasus di mana pada saat Gubernur Ali Sadikin menjabat, sekolah tempat nadzir H.
Hamzah mengajar akan digusur untuk pelebaran jalan. Terjadi penolakan yang
kemudian membuahkan hasil dibangunnya kembali sekolah oleh pemerintah DKI
Jakarta di atas lahan tanah wakaf ini.
Walaupun secara legal tanah itu berstatus kepemilikannya orang tua dari
H. Hamzah, namun peruntukkan tanah tersebut sepenuhnya dikembalikan bagi
masyarakat umum. Hingga kini, pengelolaan tanah wakaf dilakukan oleh keluarga
H. Hamzah, dengan alasan ada kekhawatiran pengelolaan akan melenceng dan
disalahgunakan bagi kepentingan yang tidak benar jika pengelolaan diberikan
kepada pihak luar.
Gambaran Terkini Tanah Wakaf
Berlokasi di Jalan Peta Selatan no. 48 RT 09 RW 01 Kelurahan Kali
Deres, Kecamatan Kali Deres Jakarta Barat, tanah seluas 5015 m2 didirikan
sekolah dan aula, yang peruntukkannya adalah untuk ibadah Jumat dan hari raya
Ied. Sehingga kini, dengan adanya bangunan sekolah dan aula tersebut,
menyisakan tanah wakaf seluas kurang lebih 2.000 m2.
140
Gambar 4.16.1 Yayasan Darul Ulum, tampak depan
Tanah wakaf dikelola oleh yayasan yang dikepalai oleh H. Hamzah.
Sementara ini bangunan sekolah telah berkembang dengan menyediakan
pendidikan dari tingkat Taman Kanak-Kanak, Madrasah Ibtidaiyah, hingga SMP.
Posisi yayasan sendiri sangat berdekatan dengan pasar tradisional, dengan jarak
kurang lebih 150 meter.
Yayasan Darul Ulum, dengan potensinya yang cukup besar – ditilik dari
luasnya lahan tersisa untuk pengembangan lebih lanjut – memiliki pengalaman
sengketa cukup pelik. Pernah suatu waktu ada pihak yang berusaha merebut
kepemilikan lahan bagi kepentingan pribadi. Ancaman itu bahkan ditujukan
kepada mauquf alaih Bapak Sudrajat yang juga anak dari bapak H. Hamzah, yang
saat itu berniat membangun masjid di lahan kosong. Lebih lanjut, sengketa
tersebut disertai dengan ancaman akan memasukkan Bapak Sudrajat ke balik bui
141
jika rencana pembangunan masjid direalisasikan. Namun konflik ini berhasil
diselesaikan.
Gambar 4.16.2. Lorong Sekolah
Biaya operasional sekolah diambil dari SPP murid. Bahkan beberapa kali
Bapak Sudrajat harus menutupi dari dana pribadinya, seperti untuk perbaikan
fasilitas dan pembiayaan sekolah murid. Kebijakan ini diambil karena
mempertimbangakan agar murid tidak lantas beralih ke institusi pendidikan lain
yang lokasinya berdekatan dengan sekolah Yayasan Darul Ulum.
Satu hal yang dapat dijadikan pertimbangan positif, bahwa dengan luasnya
lahan tanah masih terbuka peluang pemanfaatan bagi kegiatan usaha yang sifatnya
produktif, yang nantinya akan dikembalikan sepenuhnya bagi kepentingan umat
dan masyarakat setempat.
142
Kendala yang terbesar untuk pengembangan wakaf ini adalah terkait
modal. Beberapa peluang kegiatan produktif pernah diusulkan oleh Bapak
Sudrajat seperti pembangunan lapangan futsal. Namun hal tersebut tidak dapat
terwujud. Selain terdapat persoalan keterbatasan dana, tanah yang tersedia
bukanlah tanah yang rata. Upaya meratakan tanah dengan gerobak belum selesai
dilakukan walau sudah berjalan 4 tahun. Selain hal teknis, ada pula persoalan
ketidaksamaan visi dengan pihak lain sekitar yayasan.
Gambar 4.16.3. Lahan kosong Yayasan Darul Ulum seluas 2.000 m2
H. Hamzah memiliki keinginan untuk membangun masjid, karena aula
yang ada sudah tidak mampu lagi menampung jamaah Jumat dan Ied. Namun,
lagi-lagi permasalahan dana mengemuka. H. Hamzah menginginkan jikalau ada
143
investor yang tertarik untuk mengembangkan lahan wakaf, maka akan
diperuntukkan bagi pengembangan sekolah terlebih dahulu.
b. Profil Nadzir
Nama : H. Hamzah
Usia : 72 tahun
Alamat : Jl. Madrasah RT 02/01 Kali Deres, Jakarta Barat
Telepon : 021-5406433
Pendidikan : MA (Madrasah Aliyah)-Senen-Tanah Tinggi
Pekerjaan : Pensiunan guru dan Ketua Yayasan Darul Ulum
Pengalaman Organisasi : Pelajar Islam Indonesia (PII), Kesatuan Aksi
Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI)
H. Hamzah adalah nadzir tanah wakaf yang dipercayakan ayahnya.
Semasa muda H. Hamzah adalah aktifis Pelajar Islam Indonesia (PII). Di kalangan
masyarakat, H Hamzah dikenal sangat tegas dan pemberani. Dia menuntut untuk
dibangunkan sekolah yang tergusur untuk pembangunan jalan. Malah sempat
masuk penjara untuk kasus ini. Atas kegigihannya, pemerintah setempat memilih
mengalah mengingat penggaruh H. Hamzah di masyarakat sangat itu sangatlah
besar.
Saat ini usia H. Hamzah sudah sepuh, akan tetapi masih bisa
berkomunikasi dengan baik saat wawancara ini dilakukan. Dalam mengelola
yayasan, H. Hamzah dibantu sang anak yaitu Sudrajat, M.Pd. Sudrajat adalah
144
Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang dipercaya H. Hamzah untuk mengurus,
mengelola dan mengembangkan Yayasan Darul Ulum ini.
Akan tetapi konflik keluarga yang terjadi antara H. Hamzah dan adik-adik
nya dalam memperebutkan pengelolaan tanah wakaf ini merupakan kendala
terbesar bagi yayasan untuk dapat berkembang lebih baik.
c. Kesimpulan dan Saran
Yayasan Darul Ulum memiliki sisa luas tanah yang cukup besar sekitar
2.000 m2. Ditengah kota Jakarta yang semakin sulit mencari ruang kosong dengan
harga tanah yang semakin melambung, tanah seluas ini tentulah menjadi aset
penting bagi yayasan untuk bisa lebih berkembang.
Sementara sang nadzir semakin sepuh, asetnya yang besar --berupa
lembaga pendidikan mulai Taman Kanak-Kanak (TK) sampai Sekolah Menengah
Pertama (SMP)-- juga menjadi daya tarik bagi keturunan sang wakif untuk
memperebutkan hak pengelolaannya. Hal ini menjadi konflik yang tak kunjung
selesai sampai hari ini.
Dari kasus ini kita bisa lihat bahwa, meskipun ada sisa lahan yang cukup
luas dan faktor nadzir dan keturunannya yang memiliki pemahaman yang baik
tentang bagaimana memproduktifkan tanah wakaf, hal ini tidaklah cukup.
Perebutan kekuasaan diantara keluarga besar keturunan wakif (ayahanda Bapak H.
Hamzah) menjadi kendala yang signifikan bagi pengembangan dan pemanfaatan
tanah wakaf.
145
Untuk itu perlu ada mediasi dan keputusan tegas dari pejabat berwenang
memfasilitasi penyelasaian konflik ini. Sehingga tanah ini bisa memberikan
manfaat lebih besar kepada masyarakat sekitar dan bukan kepada orang perorang.
C. PROFIL KELOMPOK KETIGA: ASET KECIL DENGAN
POTENSI NADZIR TINGGI
Kelompok kedua ini terdiri empat yayasan wakaf, yaitu (1) Masjid Al-
Munawwar, (2) Masjid Al-Abraar, (3) Yayasan Masjid Baiturrahman, dan (4)
Yayasan Nur Assailina (Ma’had Al-Islam). Kelompok ini mewakili tanah wakaf
dengan aset kecil dengan potensi nadzir tinggi.
Meski keempat lokasi aset wakaf ini menempati lokasi yang strategis dan
mudah dijangkau, sisa lahan yang mereka miliki sangat terbatas. Tiga diantara
mereka memiliki sisa lahan maksimal 1.000m2, sementara satu lokasi wakaf
memiliki luas 840 m2. Itulah mengapa mereka dikategorikan memiliki aset kecil.
Dua dari dari ke lima lokasi ini memiliki unit bisnis.
Namun demikian yayasan wakaf ini memiliki nadzir dengan semangat dan
motivasi kuat untuk mengembangkan wakaf produktif. Pada kelompok ini,
kapasitas potensi nadzir lebih besar ketimbang aset yang mereka kelola. Dibawah
ini profil keempat yayasan tersebut.
146
18. MASJID AL-MUNAWWAR JAKARTA SELATAN
a. Profil Tanah Wakaf
Nama Alamat : Jl. Pancoran Barat IV C, RT 013/01, Pancoran,
Jakarta Selatan
Peruntukan : Masjid
Luas tanah wakaf : 3.600 m2
Lahan dipergunakan : 2.600 m2
Sisa lahan : 1.000 m2
No sertifikat : No. 7798, tahun 1992
Total perkiraan nilai aset : 5 milyar
Sejarah Singkat
Sekitar tahun 1945, tidak ada masjid yang dapat digunakan oleh warga
sekitar Pancoran untuk shalat Jum’at. Mereka harus pergi ke daerah yang cukup
jauh di sekitar Menteng Dalam. Karena adanya inginan untuk memiliki rumah
ibadah yang dekat dan nyaman di sekitar Pancoran itu, warga mendekati tuan
Guru Hamzah, Guru Jimmi dan Guru Mahmud untuk mewakafkan tanah mereka
untuk membangun sebuah masjid pada tahun 1945. Sebutan ‘tuan guru’ pada saat
itu merujuk pada seseorang dengan ilmu pengetahuan agama yang dalam dan
memiliki cukup banyak murid yang belajar agama kepada mereka. Ketiga orang
ini mewakafkan tanah dengan luas total 3.600 m2. Dan tanah ini sampai sekarang
dimanfaatkan warga.
147
Pada tahun 1975, masing-masing keturunan dari ketiga wakif di atas
menyerahkan wakaf tersebut secara resmi di depan warga. Saat itu Guru Hamzah
dan Guru Jimmi telah meninggal dunia, sementara Guru Mahmud sudah sangat
sepuh. Selanjutnya dalam kurun waktu tahun 1978-1985, kepengurusan sertifikat
wakaf dilakukan oleh tim yang terdiri dari tokoh masyarakat setempat yaitu Guru
Mahmud, KH. Salim Mahmud, KH. Abdul Wahab dan Ali Nurdin selaku
sekretaris tim dan sekretaris pribadi KH Salim Mahmud.
Tujuan awal diserahkan tanah wakaf ini semula hanya untuk pembangunan
masjid dan kompleks makam keluarga wakif. Seiring perkembangan zaman,
pemanfaatannya melampaui tujuan awal.
Gambaran Terkini Tanah Wakaf
Masjid Al-Munawwar berdiri di atas tanah seluas 2.000 m2 yang terletak
di tengah pemukiman warga. Selain bangunan masjid ada tanah seluas 600 m2
yang digunakan untuk kompleks makam ahli waris para wakif. Sedangkan sisa
lahan seluas 1.000 m2, saat ini masih kosong dan sementara digunakan sebagai
lahan parkir.
148
Gambar 4.17.1. Tampak sisa lahan yang belum dimanfaatkan
Masjid Al-Munawwar, menjadi tempat yang menyenangkan bagi warga
sekitar maupun warga Jakarta lain yang secara kebetulan melintas untuk
melaksanakan shalat ataupun sekedar melepas lelah. Hal ini karena Masjid
dibangun dengan sangat nyaman dan sangat mudah untuk diakses karena letaknya
yang berada di pinggir jalan raya yang biasa dilewati oleh angkutan kota. Letak
tanah wakaf ini sendiri berada di tengah kota di Selatan Jakarta. Selain
pemukiman warga, daerah sekitar Pancoran ini kini juga dipadati oleh perumahan
elit, perkantoran, rumah toko (ruko), restoran dan fasilitas umum lainnya dengan
NJOP antara 10 juta hingga 15 juta rupiah per meter persegi.
149
Gambar 4.17.2. Bangunan masjid Al-Munawwar dua lantai
Selain kegiatan rutin peribadatan, masjid ini biasa menggelar pengajian
rutin mingguan dan bulanan, perayaan hari besar Islam dan santunan bagi anak
yatim dan masyarakat miskin. Adapun dana operasional kegiatan dan perawatan
masjid sepenuhnya bersumber dari dana zakat, infak dan sedekah warga Jakarta.
Saat ini, sedang dibangun gedung serba guna yang akan disewakan untuk
kepentingan resepsi pernikahan ataupun ruang pertemuan. Hasil dari penyewaan
ini nantinya digunakan untuk menunjang kegiatan sosial masjid dan memperkuat
organisasi kepemudaan masjid Al-Munawwar. Akan tetapi pembangunan gedung
itu bukan tanpa tantangan. Sejumlah tokoh masyarakat dan juga ahli waris wakif
merasa keberatan jika rumah ibadah dicampur-aduk dengan kegiatan ekonomi.
Mereka khawatir hal tersebut akan mengganggu kekhusukkan beribadah.
150
b. Profil Nadzir
Nama : Drs. Ali Nurdin, MM
TTGL : Jakarta, 3 Januari 1956
Alamat : Jl. Pancoran Barat IV C, RT 013/01,
Pancoran, Jakarta Selatan
Telepon : 0817790633
Pendidikan : S2, STIE tahun 1997
Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil Kementerian Agama RI
Pengalaman organisasi : Keluarga Mahasiswa Betawi (KMB)
Drs. Ali Nurdin, MM merupakan tokoh masyarakat yang cukup disegani
oleh warga sekitar. Ali berkesempatan mengenyam pendidikan sarjana di IAIN
dan menyelesaikan strata 2 di STIE tahun 1997. Semasa kuliah Ali aktif di
organisasi kepemudaan dan kedaerahan. Pekerjaannya sebagai pegawai negeri
sipil Kementerian Agama RI dan pengalamannya di berbagai organisasi
kemasyarakatan menjadikannya sebagai orang yang memiliki jaringan yang cukup
luas.
151
Gambar 4.17.3. Masjid Al-Munawwar, tampak dalam gambar,
Sosok Ali Nurdin tengah menerima souvenir dari tim peneliti
Menurut H.M. Hasan, seorang warga dan tokoh masyarakat setempat yang
kami wawancarai secara terpisah, Ali dikenal sebagai asisten pribadi KH. Salim
Mahmud selama puluhan tahun. Kedekatannya dengan tokoh alim ulama
menjadikan Ali dikenal sebagai ahli agama.
Begitupun dengan pemahamannya tentang persoalan wakaf dan
pentingnya pemanfaatan aset wakaf untuk diarahkan ke hal-hal yang produktif
berbeda dari kebanyakan pengurus masjid lainnya. Hal inilah yang membuat Ali
bertahan untuk terus melanjutkan pembangunan gedung serba guna meski
mendapat tentangan dari tokoh masyarakat lainnya. Ali sendiri sangat senang jika
ada pihak yang dapat berinvestasi jangka panjang di kompleks tanah wakaf masjid
Al-Munawwar. Menurut Ali, tanah wakaf yang cukup luas akan sangat baik jika
152
dibuat kompleks pertokoan, perkantoran, apartemen bahkan apartemen hotel yang
keuntungan dari hasil tanah wakaf tersebut dapat digunakan untuk kepentingan
umat.
Saat ini selain sebagai PNS, kegiatan keagamaan Ali Nurdin diisi dengan
memberikan ceramah agama, menjadi khotib di sejumlah masjid, dan salah satu
pembina organisasi masa yang di kenal dengan KMB (Keluarga Mahasiswa
Betawi).
c. Kesimpulan dan Saran
Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa lokasi yang strategis dan
pemahaman yang baik oleh nadzir tentang wakaf produktif menjadi modal utama
bagi pengembangan aset tanah wakaf ke arah yang lebih bernilai produktif. Meski
ada kekurangan, sosok nadzir yayasan wakaf ini memegang peranan kunci bagi
keberhasilan pengembangan aset tanah wakaf.
Untuk itu perlu ada upaya lebih dari Badan Wakaf Indonesia dan atau
instansi terkait untuk bisa memberikan pencerahan dan sosialisasi yang baik
terhadap tokoh masyarakat maupun masyarakat umum dalam hal memberikan
pemahaman yang memadai dan arahan yang tepat mengenai wakaf produktif dan
dampaknya yang besar bagi kemaslahatan ummat.
153
19. MASJID AL-ABRAAR JAKARTA PUSAT
a. Profil Tanah Wakaf
Nama : Yayasan Masjid Al-Abraar
Alamat : Jl. Danau Tondano no. 10 B, Bendungan Hilir,
Tanah Abang, Jakarta Pusat
Peruntukan : Masjid
Luas tanah wakaf : 2.100 m2
Lahan dipergunakan : 1.100 m2
Sisa lahan : 1.000 m2
No sertifikat : No. 09.01.06.01.1.00027
Total perkiraan nilai aset : 10 milyar
Sejarah Singkat
Dimulai dengan sebuah mimpi mendirikan masjid yang mampu menaungi
warga di daerah Pejompongan, Bendungan Hilir, maka pada pertengahan tahun
1960-an berkumpullah warga untuk mendiskusikan pendiriannya. Kemudian
berdirilan masjid yang dinamakan Al-Abraar di atas tanah wakaf seluas 2.100 m2.
Pendirian masjid atas prakarsa warga ini kemudian berkembang dengan
pembangunan, renovasi, dan pengembangan di beberapa sektor, misalnya
pemanfaatan tanah wakaf seluas 1.100 m2 untuk pembangunan perluasan masjid,
pengembangan area masjid menjadi 2 lantai; di mana lantai 1 digunakan untuk
154
kegiatan TPA (Taman Pendidikan Al-Quran) di sore hari, serta ruang sekretariat
pengurus masjid.
Pembangunan, pengembangan, dan renovasi masjid ini banyak bertumpu
pada dana swadaya masyarakat sekitar. Hal ini memperlihatkan bahwa masyarakat
setempat dan pengurus masjid Al-Abraar memiliki modal sosial yang tinggi.
Gambar 4.18.1. Masjid Al Abraar tampak depan
Tanah di mana masjid Al-Abraar berdiri ini, di awal pendiriaannya
merupakan tanah/aset milik pemerintah daerah DKI Jakarta. Namun setelah proses
dan pengusulan pendirian masjid ini bergulir, diputuskan bahwa hak kepemilikan
tanah tersebut diberikan kepada masyarakat setempat, melalui nadzir yang
berbentuk kelompok. Proses pengalihan hak milik ini berlangsung cukup
155
kompleks dikarenakan adanya kekhawatiran kelak di kemudian hari anak-
keturunan dari para nadzir saling bersengketa menuntut hak atas tanah tersebut.
Maka sebagai solusinya, sebagaimana dituturkan oleh Bapak Sanusi
sebagai salah satu nadzir tanah wakaf, tanah tersebut dikukuhkan posisinya
sebagai milik pemerintah daerah, baru kemudian diwakafkan kepada nadzir
kelompok warga masyarakat. Hingga kini, peruntukkan tanah wakaf tersebut
masih berfungsi sebagai pusat kegiatan dakwah.
Gambaran Terkini Tanah Wakaf
Terdiri dari 2 lantai, masjid Al-Abraar berdiri di atas tanah wakaf seluas
2.100 m2
dengan luas bangunan mencapai kurang lebih 1.100 m2. Diperkirakan
nilai aset tanah wakaf mencapai Rp. 10.000.000 per meter persegi berdasarkan
perkiraan dari nadzir bapak Sanusi.
Gambar 4.18.2 Bangunan masjid Al Abroor dua lantai
156
Masjid Al-Abraar sendiri berbatasan secara langsung dengan sebuah
lapangan besar di sisi kanan masjid, di mana di lapangan tersebut banyak
pedagang mikro yang menjual jajanan makanan. Masjid ini terletak di pinggir
jalan. Sebelah depan dan belakang masjid bersinggungan langsung dengan area
perumahan penduduk dengan tingkat kesejahteraan yang terlihat berbeda jika
diukur dari ukuran rumahnya. Perumahan yang sebelah depan masjid berukuran
lebih besar dibanding yang belakang.
Untuk mendukung kegiatan operasional masjid, pendapatan terbesar
berasal dari sumbangan infak warga dan jamaah masjid. Pendapatan tersebut lalu
dipergunakan untuk menggaji marbot dan kegiatan operasional masjid lainnya,
seperti perawatan bangunan.
Pengurus pernah berusaha mendirikan koperasi sebagai salah satu
alternatif moda pemasukan, namun tidak dapat berkembang karena kalah bersaing
dengan pasar Benhil (Bendungan Hilir) dan pedagang mikro yang berjualan tak
jauh dari masjid Al-Abraar.
Masjid Al-Abraar memiliki fasilitas ambulan gratis untuk dipergunakan
sewaktu-waktu bagi masyarakat sekitar yang tidak mampu. Terkait
pengembangan aset wakaf untuk keperluan produktif, baik nadzir maupun mauquf
alaih sama-sama mendukung meski dengan bentuk yang berbeda. Bapak Sanusi
cenderung berpikir untuk mendirikan klinik kesehatan di belakang masjid,
sementara bapak Zaenuddin condong pada kegiatan produktif jual-beli di sekitar
157
masjid. Kedua pihak mendukung jika ada donatur yang berkeinginan untuk
mengembangkan aset tanah wakaf untuk kegiatan yang sifatnya produktif.
Gambar 4.18.3 Lahan kosong untuk pendirian klinik
b. Profil Nadzir
Nama : Sanusi
TTGL : 67 tahun
Alamat : Jl. Danau Linboto Gg. Kabin No. 08 RT 21/04,
Bendungan Hilir, Tanah Abang, Jakarta Pusat
Telepon : 021-5742341
Pendidikan : D2 Pendidikan
Pekerjaan : Pensiunan Guru SD
Pengalaman organisasi : Pelajar Islam Indonesia (PII), Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI)
158
Sanusi adalah pensiunan guru SD yang mendedikasikan hidupnya sebagai
pengurus masjid sejak tahun 1973. Sanusi dipercaya masyarakat untuk menjadi
nadzir tanah wakaf masjid Al-Abraar bersama beberapa orang lainnya. Hanya
saja, semua nadzir telah meninggal, tinggal Sanusi yang masih hidup. Saat ini ia
tengah mengajukan struktur nadzir baru ke (Badan Wakaf Indonesia) BWI.
Pengetahuan Sanusi tentang wakaf terbilang standar. Meski demikian Sanusi
sadar betul akan pentingnya pengembangan wakaf produktif bagi kepentingan
masyarakat banyak. Untuk itu dia sangat mendukung sekecil apapun usaha ke arah
sana. Sanusi sendiri pernah mencoba mendirikan koperasi tetapi gagal karena
tidak mampu menjalankannya. Dalam waktu dekat, atas dukungan masyarakat
sekitar, Sanusi berniat mendirikan klinik kesehatan di atas lahan kosong tanah
wakaf tersebut.
c. Kesimpulan dan Saran
Dari kasus ini dapat disimpulkan bahwa seorang nadzir yang sederhana
seperti Sanusi, sesungguhnya sudah melakukan praktek-praktek pemanfaatan
tanah wakaf secara produktif meskipun belum mengerti betul mengenai konsep
wakaf produktif.
Dengan letaknya yang strategis dekat dengan pasar dan pedangan sektor
riil, konsep mendirikan koperasi sebenarnya sudah tepat, hanya saja sumber daya
nadzir tidak memungkinkan sehingga usaha tidak berjalan.
159
Untuk itu, Badan Wakaf Indonesia bisa memfasilitasi mempertemukan
pengurus masjid kepada pihak-pihak yang dipandang mampu membantu nadzir ini
mewujudkan mimpi-mimpinya, memanfaatkan aset tanah wakaf bagi
kesejahteraan masyarakat sekitar.
20. YAYASAN MASJID BAITURRAHMAN JAKARTA UTARA
a. Profil Tanah Wakaf
Nama : Yayasan Masjid Baiturrahman
Alamat : Jl. Pelumpang Semper no 13. RT 01/03
Rawabadak Selatan, Koja, Jakarta Utara
Peruntukan : Masjid
Luas tanah wakaf : 1.600 m2
Lahan dipergunakan : 840 m2
Sisa lahan : 840 m2
Total perkiraan nilai aset : 2 milyar
Sejarah Singkat
Asalnya tanah ini merupakan empang yang ditimbun oleh pemerintah
menjadi lahan pemukiman, sehingga status tanah ini awalnya hanya hak guna
pakai. Kebutuhan masyarakat akan rumah ibadah memaksa mereka mendesak
pemerintah untuk menghibahkan tanah tersebut untuk dibangun masjid. Maka
dibuatlah skenario bahwa pemerintah provinsi DKI Jakarta menghibahkan tanah
160
ini kepada bapak Abdurrahman, tokoh masyarakat setempat untuk kemudian di
wakafkan bagi pembangunan masjid. Adapun nadzir dipercayakan kepada H.
Abdul Wahab dengan posisinya sebagai ketua nadzir. Menurut pengurus yayasan,
lahan ini telah di daftarkan ke notaris untuk dibuat sertifikat tanah wakaf.
Gambaran Terkini Tanah Wakaf
Masjid Baiturrahman merupakan masjid besar yang terletak di Utara
Jakarta. Masjid dua lantai ini relatif baru selesai pembangunannya pada tahun
2012 dan terletak di wilayah padat penduduk. Pengelolaan masjid dilakukan
dengan organisasi yang lumayan apik, di mana ada perangkat ketua, sekretaris dan
lain sebagainya.
Gambar 4.19.1. Masjid Baiturrahman tampak depan
Biaya operasional dan perawatan masjid mengandalkan dana dari
masyarakat. Meski begitu, masjid ini memiliki donatur tetap diantaranya adalah
H. Abdul wahab dan H. Ismail beserta keluarga besar mereka.
161
Total luas tanah wakaf ini mencapai 1.600 m2 dan setengahnya telah
dipakai untuk bangunan masjid, sementara sisanya masih kosong. Di belakang
masjid terdapat rumah-rumah yang disewakan.
Disamping mendapatkan dana dari masyarakat dan donatur tetap, biaya
operasional dan perawatan masjid plus untuk menggaji pengurus mengandalkan
dari hasil sewa rumah kontrakan ini.
Gambar 4.19.2. Lahan seluas 1.600 m2 rencananya unit-unit bisnis
Nadzir sudah merencanakan rumah-rumah kontrak ini akan ditertibkan dan
dibangun unit-unit bisnis. Namun hal ini masih terkendala karena kasihan
terhadap penghuni rumah sewa. Selain itu, pembangunan unit-unit bisnis juga
diperkirakan memerlukan biaya yang tidak sedikit.
162
b. Profil Nadzir
Nama : Abdul Khafif Khalili, M. HI (Anggota nadzir)
TTGL : Bangkalan 10 Mei 1966
Alamat : Jl. Pelumpang Semper no 13. RT 01/03
Rawabadak Selatan, Koja, Jakarta Utara
Pendidikan : S2, Institut Kyai Hasyim Asy’ari (IKAHA),
Jombang Jawa Timur
Pekerjaan : Wiraswasta
Pengalaman organisasi : Partai Kebangkitan Umat Daerah Jawa Timur
Abdul Khafif Khalili, M. HI merupakan nadzir dalam ponsisinya sebagai
anggota. Adapun jabatan ketua nadzir dipercayakan kepada H. Abdul Wahab.
Meskipun begitu, Khafif lah yang bertanggung jawab terhadap terhadap arah dan
kebijakan kepengurusan yayasan. Khafif sendiri belum memiliki pemahaman
yang memadai tentang wakaf produktif. Akan tetapi dia menyambut baik setiap
inisiatif yang dilakukan untuk kemaslahatan umat. Contoh kecilnya adalah ia
setujua dan melakukan pemanfaatan lahan masjid untuk rumah petakan yang
hasilnya dikembalikan untuk kepentingan masjid dan masyarakat sekitar.
c. Kesimpulan dan Saran
Kasus tanah yang berasal dari hibah pemerintah hendaknya mendapat
perhatian serius dari Badan Wakaf Indonesia (BWI) dari sisi hukum agar ke
depannya tidak menimbulkan masalah.
163
Selanjutnya, BWI harus melihat sosok Abdul Khafif dan nadzir lain
semisal khafif ini sebagai aset bagi pengembangan wakaf produktif di Indonesia.
Untuk itu perlu diberikan pemahaman, arahan, dukungan yang kuat kepada
nadzir-nadzir yang memiliki potensi mengembangkan wakaf produktif.
21. YAYASAN NUR ASSAILINA (MA’HAD AL-ISLAM)
JAKARTA SELATAN
a. Profil Tanah Wakaf
Nama : Yayasan Nur Assailina
Alamat : Jl. Warung Silah, Gudang Baru Rt 01 Rw 05,
Jagakarsa, Jakarta Selatan
Peruntukan : Masjid dan Lembaga pendidikan
Luas tanah wakaf : 2.500 m2
Lahan dipergunakan : 1.500 m2
Sisa lahan : 1.000 m2
No sertifikat : No. 1186 16 Juni 1992
Total perkiraan nilai aset : 4 milyar
Sejarah Singkat
Wakaf ini berawal dari adanya keprihatinan atas minimnya fasilitas
pendidikan agama di sekitar daerah ini. Lembaga pendidikan agama yang bagus
pun adanya di daerah Ciganjur yang cukup jauh hingga sulit diakses oleh anak-
164
anak sekitar.
Pertemuan wakif dengan KH Abdul Rajak Khaidir pada pertengahan 1973
melalui serangkaian pertemuan diskusi membuahkan kesepakatan bahwa KH
Abdul Rajak Khaidir akan bertindak sebagai nadzir, dan mengurus sebidang tanah
untuk dapat dimanfaatkan sepenuhnya bagi keperluan pendidikan di kampung
tersebut. Tak lama kemudian, pada 1976, madrasah didirikan.
Gambar 4.20.1 Yayasan Nur Assailina, tampak depan
Gambaran Terkini Tanah Wakaf
Dengan luas tanah wakaf mencapai 2.500 m2
dan sisa lahan yang tersisa
sekitar 1.000 m2 membuat wakaf tersebut memiliki potensi pengembangan yang
cukup besar. Didukung oleh surat-surat yang lengkap dan resmi, Ma’had Al-Islam
telah resmi terdaftar di Kementrian Agama. Hal ini turut dibuktikan dengan ikut
sertanya pengurus Yayasan pada pelatihan yang diadakan oleh Kementrian
Agama. Saat ini sertifikat yang asli masih terdapat pada pengurus yayasan yang
165
lama, meski kemudian nadzir tidak dapat mengetahui keberadaan sertifikat
tersebut.
Letak tanah wakaf ini berada di pinggir jalan yang di kelilingi rumah-
rumah warga. Areal tanah wakaf di bagian belakang berbatasan dengan kebun-
kebun, di bagian samping kanan dan kiri terdapat perumahan warga, di depan
terdapat masjid dan juga beberapa pertokoan-pertokoan. Jarak dengan pusat-pusat
bisnis, perkantoran sekitar 2-3 km yang berada di kisaran Lenteng Agung.
NJOP saat ini diperkirakan mencapai sekitar Rp. 1.050.000/m2 dan
perkiraan NJOP tanah berikut aset bangunannya adalah Rp. 1.500.000/m2. Di
tanah wakaf Ma’had Al-Islam belum terdapat unit bisnis apapun, dan manajemen
pengelolaan tanah wakaf masih bersifat tradisional. Pendapatan hasil dari tanah
wakaf diperuntukan bagi keperluan perawatan bangunan dan juga untuk
membayar honor karyawan.
Saat ini belum ada investasi dari pihak manapun terhadap tanah wakaf
tersebut, hanya pembangunan awal sekolah mendapatkan sokongan dana dari
yayasan asal Timur Tengah.
166
Gambar 4.20.2 Bangunan sekolah
Pengurus yayasan sangat berkeinginan mendirikan kios, seperti yang
disampaikan oleh nadzir. Pada 2013 mendatang direncanakan akan meminjam ke
bank untuk mendirikan unit-unit usaha. Nadzir sendiri tidak masalah dengan
adanya unit-unit usaha yang berkembang di tanah wakaf. Pihak yayasan pernah
memasukan proposal kerjasama ke salah satu kelompok usaha waralaba toko
modern, namun dikarenakan harus adanya penyertaan modal sekitar Rp.
300.000.000,- untuk membangun unit bisnis, rencana itupun batal. Mauquf ‘alaih-
- dalam wawancara yang dilakukan secara terpisah-- sebenarnya mengutarakan
keberatan jika ada unit bisnis di aset tanah wakaf tersebut, namun mengizinkan
dengan catatan keuntungan yang diperoleh dikembalikan lagi untuk kepentingan
masyarakat.
167
Gambar 4.20.3. Lahan kosong yayasan Nur Assailina
b. Profil Nadzir
Nama : H. Abdul Malih
Usia : 55 tahun
Alamat : Warung Silah, Gudang Baru Rt 01 Rw 05,
Jagakarsa, Jakarta Selatan
Telepon : 081398550962
Pendidikan : Pesantren Ashegaf, Bukit Duri
Pekerjaan : Pengurus Yayasan
Pengalaman organisasi : Nahdlatul Ulama
H. Abdul Malih adalah nadzir sekaligus pengurus yayasan Nur Assailina.
Dibawah kepemimpinannya, pengurus yayasan memiliki pemahaman yang sama
168
untuk mengembangkan aset tanah wakaf kearah yang lebih produktif. Beberapa
usaha telah coba dilakukan mulai pembuatan proposal sampai dengan meminjam
dana dari pihak ketiga, hanya saja usaha ini belum membuahkan hasil.
c. Kesimpulan dan Saran
Yayasan Nur Assailina berada di daerah pinggiran Jakarta selatan. Meskipun
begitu, lokasinya yang strategis dipinggir jalan dan berada di tengah pemukiman
warga menjadi satu modal bagi yayasan ini untuk bisa lebih berkembang.
Dari pihak nadzir dan pengurus yayasan juga sudah berfikir untuk
mengembangkan aset tanah wakaf ini melalui usaha waralaba. Meski demikian
yayasan ini perlu mendapatkan arahan dan bimbingan mengingat belum semua
unsur termasuk didalamnya mauquf alaih memahami konsep wakaf produktif.
169
D. PROFIL KELOMPOK KEEMPAT: YAYASAN WAKAF YANG
TIDAK BERSEDIA ATAU TIDAK MEMUNGKINKAN UNTUK
MENGEMBANGKAN WAKAF PRODUKTIF
Kelompok ini diwakili oleh 3 masjid yaitu (1) Masjid Darussalam Al-Amin.
(2) Masjid Al-Muflihun, dan (3) Masjid Al-Inayah. Meski masing-masing aset
wakaf ini memiliki sisa lahan yang belum digunakan, akan tetapi nadzir tak
menghendaki atau tidak memungkinkan untuk mengembangkan produktif dengan
berbagai alasan. Alasan yang paling mengemuka adalah terbatasnya lahan,
peruntukan lahan untuk pemakaman, dan tidak ingin menganggu kenyamanan dan
keindahan masjid. Meski begitu, ketiga nadzir menyambut positif pemanfaatan
lahan wakaf untuk dikembangkan kearah wakaf produktif. Di bawah ini profil
ketiga yayasan wakaf tersebut.
22. YAYASAN MASJID DARUSSALAM AL-AMIN JAKARTA UTARA
a. Profil Tanah Wakaf
Nama : Masjid Darussalam Al-Amin
Alamat : Jl Raya Kali Baru Timur Kosambi Raya No. 41
Rt/Rw 02/001 Kali Baru Cilincing Jakarta Utara
Peruntukan : Masjid dan Lembaga Pendidikan
Luas tanah wakaf : 1.000 m2
170
Lahan dipergunakan : 400 m2
Sisa lahan : 600 m2
Total perkiraan nilai aset : 3 milyar
Sejarah Singkat
Tahun 1960 pemerintah memiliki proyek PT DOK dan Perkapalan
Tanjung Priok. Untuk kepentingan proyek, penduduk Karya Bahari (sekarang
Pelita Bahari) direlokasi ke lokasi yang sekarang; plus dibangunkan masjid
sebagai fasilitas umum. Tahun 1968, edaran dari Kementrian Agama menghimbau
agar tanah ini diurus sertifikat wakafnya dengan bapak H. Imam, tokoh
masyarakat setempat sebagai wakif sekaligus nadzir.
Di masjid Darussalam Al-amin, jabatan ketua masjid dengan serta merta
menjabat sebagai nadzir wakaf. Tahun 1985 bapak H. Imam meninggal dunia, dan
kepengurusan masjid berganti ke Bapak H. Syarika Ali sebagai ketua masjid
(sekaligus nadzir) dan H. Hasanuddin sebagai sekretaris. Mengingat H. Syarika
Ali semakin sepuh, kepengurusan beralih ke H. Hasanuddin sebagai ketua pada
tahun 2011.
Gambaran Terkini Tanah Wakaf
Saat ini di atas tanah wakaf berdiri bangunan masjid dan 3 lokal kelas
yang digunakan untuk Taman Kanak-kanak. Total lahan yang dipergunakan
seluas 400 m2, sementara sisa lahan seluas 600 m2 berfungsi sebagai tempat
parkir dan dipergunakan untuk sholat Idul Fitri dan Idul Adha. Dengan NJOP
171
mencapai 950.000, tanah ini beserta bangunannya diperkirakan memiliki aset
senilai 3 milyar rupiah.
Belum ada unit bisnis di atas aset wakaf ini, dikarenakan beberapa alasan:
pertama, sisa lahan habis digunakan untuk parkir, upacara murid TK dan lahan
tambahan untuk shalat Idul Fitri dan Idul Adha. Kedua, pengurus khawatir
masyarakat belum bisa menerima konsep wakaf produktif, Ketiga, berkaca dari
pengelolaan di masjid lain, ada kekhawatiran jika pengurus tidak amanah, akan
menimbulkan efek negatif misalnya bisa saja uang “zakat menjadi uang jaket”.
Keempat, kurangnya sumberdaya manusia untuk mengelola wakaf produktif ini.
b. Profil Nadzir
Nama : H. Hasanuddin
TTGL : Jakarta, 31 Desember 1956
Alamat : Jl Raya Kali Baru Timur Kosambi Raya No. 41
Rt/Rw 02/00 Kali Baru Cilincing Jakarta Utara
Pendidikan : Sekolah Teknik Menengah STM) Perkapalan
Pekerjaan : Karyawan BUMN dari 1978-sekarang
Pada tahun 2011 H. Hasanuddin menjabat sebagai ketua nadzir
menggantikan K.H. Syarika Ali yang telah sepuh secara aklamasi. Pemilihan
nadzir dilakukan setiap lima tahun sekali. Sudah tiga kali pemilihan nadzir ini,
selalu dilakukan secara aklamasi. Meskipun H. Hasanuddin tidak mengeyam
172
pendidikan agama secara khusus, akan tetapi pemahaman yang bersangkutan
terhadapa konsep wakaf sangat baik.
Menurut H. Hasanuddin, wakaf adalah itu artinya berhenti, dalam arti
wakif dan ahlinya sudah tidak ada hak atas benda yang diwakafkan. Sementara
wakaf produktif sangat bagus untuk menunjang operasional masjid dan kegiatan
lainnya, termasuk bagian dari kemaslahatan. Untuk itu, dia berpendapat bahwa
sangat positif jika aset wakaf dapat diproduktifkan. Akan tetapi untuk kasus
masjid Al-Amin ini, pengurus telah memutuskan bahwa peluang untuk
memanfaatkan aset wakaf menjadi lebih produktif adalah sulit. Hal ini selain
karena lahan yang ada sangat minim juga karena beberapa pertimbangan ynag
telah dipaparkan di atas.
c. Kesimpulan dan Saran
Dari pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa wakaf produktif tidak
mungkin untuk dikembangkan mengingat terbatasnya lahan yang ada. Jikapun
dikembangkan untuk wakaf produktif, pengurus masih terkendala sumber daya
manusia dan khawatitran penolakan masyarakat terhadap pengembangan aset
wakaf ini.
173
23. MASJID AL-MUFLIHUN JAKARTA SELATAN
a. Profil Tanah Wakaf
Nama : Masjid Al-Muflihun
Alamat : Jl. Masjid Al-Muflihun RT 04/RW 10, Bintaro
Peruntukan : Masjid dan Pemakaman
Luas tanah wakaf : 4.000 m2
Lahan dipergunakan : Total 2.500 m2, (Masjid:700 m2, pemakaman:
1.800 m2)
Sisa lahan : 1.500 m2
Total perkiraan nilai aset : 3 milyar
Sejarah Singkat
Masjid ini adalah masjid tua begitu kira-kira penuturan nadzir masjid Al-
Muflihun menanggapi pertanyaan sejarah berdirinya masjid. Menurut penuturan
beliau, masjid Al-Muflihun ini telah didirikan ketika jaman penjajahan belanda,
berbarengan waktunya dengan pembangunan jalan kereta yang membelah kota
Batavia. Maka tak heran, masjid tersebut adalah salah satu masjid tertua di antara
masjid yang ada di lingkungan tersebut, dan termasuk satu dari masjid tertua di
Jakarta.
Ketika awal pendiriannya, tanah wakaf ini diniat dan ikhtiarkan untuk
pembangunan 2 (dua) sarana sosial, yaitu masjid dan pemakaman. Hingga kini,
bangunan masjid telah berdiri megah, serta juga sebagai areal pemakaman.
174
Sementara berdasarkan penuturan dari mauquf ‘alaih Bapak Abdul Rosyid, ada
kemungkinan area tanah wakaf ini diwakafkan oleh orang Arab, karena dulu
terdapat banyak keluarga arab yang bermukim di sekitar masjid. Namun untuk
kepastiannya, Bapak Abdul Rosyid tidak dapat menunjukkan bukti otentik yang
mendukung pernyataan tersebut.
Gambaran Terkini Tanah Wakaf
Dengan luas tanah 4.000 m2, area wakaf yang terletak di Kelurahan
Bintaro Kecamatan Pesanggrahan ini memiliki peruntukkan yang variatif.
Diantaranya adalah untuk kegiatan ibadah (masjid), masjlis taklim, TPA. Tanah
yang sisa adalah seluas 1.500 m2. Di dalam sertifikat wakaf, tertera peruntukkan
tanah wakaf adalah sebagai area masjid dan pemakaman. Bangunan kontrakan 3
pintu yang ada di sana hanya bersifat sementara dan secara hukum ditak
dibolehkan. Bangunan ini ke depan akan dihancurkan dan peruntukan tanah
dikembalikan menjadi area pemakaman.
Terletak di pinggir jalan Bintaro, tak jauh dari tanah kusir, masjid Al-
Muflihun telah memiliki struktur organisasi masjid yang cukup rapih, menyatu
dengan pengelolaan lahan pemakaman. Dengan aset tanah yang bernilai kurang
lebih Rp. 3.000.000.000, biaya operasional masjid dua tingkat ini banyak
bergantung pada sumbangan dana dari masyarakat.
Sumbangan biaya pengurusan pemakaman di masjid al-Muflihun hanya
dikenakan sebesar Rp. 1.500.000. Harga ini jauh lebih rendah dibandingkan
dengan biaya pengurusan pemakaman di Tanah Kusir yang mencapai Rp.
175
5.000.000. Oleh karena itu, keberadaan area pemakaman di daerah tersebut sangat
membantu masyarakat yang tidak mampu.
Perolehan operasional dan dana pembangunan serta pengembangan masjid
sepenuhnya berasal dari swadaya masyarakat dan biaya sewa bangunan sebanyak
tiga pintu. Hingga kini belum ada investor dari luar yang tertarik untuk
mengembangkan area tanah wakaf bagi usaha produktif.
Nadzir bapak Mahumet setuju jika peruntukkan tanah wakaf diberdayakan
bagi kegiatan usaha produktif. Namun untuk area masjid Al-Muflihun usaha
produktif yang tepat adalah untuk pengembangan area pemakaman. Hal ini tidak
terlepas dari posisi tanah wakaf yang cukup luas dan strategis untuk membantu
masyarakat, di mana biaya pemakaman di tanah kusir tidak terjangkau. Bahkan
dengan biaya yang cukup rendah sekalipun telah cukup banyak pengaduan yang
diterima pengurus. Maka dari itu, pengurus biasanya akan mengembalikan biaya
pemakaman kepada mereka yang kurang mampu.
b. Profil Nadzir
Nama : Bpk. Mahumet
Usia : 45 tahun
Alamat : Jl. Masjid Al-Muflihun RT 04/10 Bintaro
Telepon : 085691515289
Pendidikan : Sarjana Teknik
Pekerjaan : Swasta
176
Bapak Muhmet bukanlah nadzir aset wakaf ini, dia adalah ketua masjid Al-
Muflihun. Sang nadzir bapak H. Mughni telah meninggal dunia, dan belum diurus
penggantinya. Sebagai sarjana teknik pengetahuan Bapak Muhmet tentang wakaf
sangat sederhana, Bapak Muhmet menyakini bahwa tanah wakaf tidak dapat
diperjualbelikan dan harus sesuai peruntukkan. Untuk itu, aset wakaf masjid Al-
Muflihun tidak mungkin dikembangkan menjadi wakaf produktif karena
peruntukkan awalnya adalah untuk pemakaman.
c. Kesimpulan dan Saran
Dari pemaparan di atas jelas bahwa aset wakaf ini tidak dapat dikembangkan
terkendala pemahaman pengurus dan masyarakat sekitar bahwa wakaf harus
sesuai dengan peruntukkannya.
24. YAYASAN MASJID AL-INAYAH JAKARTA SELATAN
a. Profil Tanah Wakaf
Nama : Masjid Al-Inayah
Alamat : Jl. Moh. Kahfi RT 005/02 Desa Cipedak, Jak-sel
Peruntukan : Masjid dan Sekolah
Luas tanah wakaf : 2.000 m2
Lahan dipergunakan : 1.000 m2
Sisa lahan : 1.000 m2
No sertifikat : 09.04.09.06.00001
Total perkiraan nilai aset : 3.5 milyar
177
Sejarah Singkat
Adalah H. Tole, seorang tokoh masyarakat setempat, sang pemilik lahan
seluas tak kurang dari 2.000 m2, mewakafkan tanah kepemilikannya itu bagi
keperluan dakwah dan sosial. Meski di awal infrastruktur masjid belum terbangun,
namun atas swadaya masyarakat setempat bangunan masjid awal pun berhasil
didirikan. Masjid itu kemudian di namakan masjid Al-Inayah.
Kini, dengan pengembangan di beberapa sektor, serta keinginan untuk
lebih berperan bagi masyarakat, di tanah wakaf tersebut telah berdiri tidak hanya
masjid, namun juga bangunan TPA (Taman Pendidikan al-Quran) Bina Mutiara
sebagai salah satu wujud peran dan partisipasi aset wakaf bagi kemajuan
pendidikan agama di Desa Cipedak.
Gambaran Terkini Tanah Wakaf
Berdiri di atas tanah seluas 1.909 m2, masjid Al-Inayah dengan luas
bangunan tak kurang dari 900 m2 berikhtiar menjadi pusat kegiatan dakwah bagi
masyarakat sekitar. Perkiraan harga tanah di sekitar masjid tak kurang dari Rp.
3.500.000/m2. Hal ini membuat masjid Al-Inayah sebagai salah satu aset wakaf
yang cukup potensial, jika menilik masih banyaknya ruang pengembangan yang
tersedia.
Ditunjang dengan pengelolaan organisasi modern, serta struktur
kepengurusan dewan masjid yang lengkap, membuat pengembangan masjid Al-
178
Inayah berjalan tertata rapih. Hal ini ditunjukkan dengan adanya pembangunan
gedung TPA untuk kepentingan pelaksanaan pendidikan diniyah.
Terletak di jalan Moh. Kahfi RT 005/02 Desa Cipedak, Jakarta Selatan,
posisi masjid sangat dekat dengan fasilitas pendidikan lain sebagai penunjang
modal sosial aset wakaf. Adapun untuk nadzir, tercatat nadzir kelompok atas
nama Naing Nikin (ketua), Haji Hasan Kurniawan (Sekretaris), Nata Kusuma
(Bendahara), Haji Saih (Anggota), dan Suyono, S.Si. (Anggota)
Pengembangan tanah wakaf dari yang semula berperan untuk kegiatan
dakwah melalui pendirian masjid, kini dengan bantuan swadaya masyarakat
masjid Al-Inayah telah memiliki bangunan TPA. Dalam bangunan TPA ini
nantinya akan difungsikan untuk kegiatan pendidikan diniyah.
Peran serta masyarakat sekitar aset wakaf dalam pengembangan sangat
mempengaruhi posisi dan peran wakaf. Dengan adanya partisipasi yang tinggi dari
masyarakat sekitar dalam mendukung pembangunan dan pengembangan aset
wakaf tentu menjadikannya satu poin khusus dari sisi modal sosial. Terlebih lagi
masih tersisanya lahan yang cukup luas yaitu sekitar 1.000 m2.
b. Profil Nadzir
Nama : Agus Ridwan
Usia : 57 tahun
Alamat : Cipedak RT 08/RW 02 no 1
Telepon : 081513440747
179
Pendidikan :Tidak Sekolah Formal, Pesantren (setingkat Aliyah)
Purwodadi, Grobogan, Jawa Tengah
Pekerjaan : Wirausaha (Pedagang Sayur)
Agus Ridwan merupakan ketua masjid Al-Inayah untuk 3 periode sejak tahun
1997. Pemilihan bapak Agus merupakan hasil musyawarah pengurus dan
masyarakat sekitar. Latar belakang pendidikannya di pesantren di Jawa Tengah,
dianggap masyarakat sebagai orang yang cukup memiliki kemampuan agama dan
merupakan faktor yang bisa menjelaskan mengapa bapak Agus selalu terpilih
kembali menjadi ketua masjid.
Namun satu hal yang perlu diperhatikan, berdasarkan penuturan dari nadzir
masjid Al-Inayah Bapak Agus Ridwan, pengembangan aset wakaf tidak boleh
keluar dari peruntukkan wakaf, yaitu pendidikan dan dakwah. Lebih jauh,
ditegaskan bahwa sebagai nadzir Agus tidak mendukung pemanfaatan aset masjid
Al-Inayah untuk tujuan produktif karena khawatir akan mengotori lingkungan
masjid dan fasilitas yang ada.
c. Kesimpulan dan Saran
Dari profil ini, pengurus Al-Inayah tidak hendak mengembangkan asetnya
menjadi aset wakaf produktif kecuali untuk tujuan pendidikan. Wakaf produktif
dikhawatirkan akan menganggu kenyamanan dan keindahan masjid.
180
Demikian profil 24 lembaga wakaf produktif dan berpotensi untuk
dikembangkan lagi. Banyak hal dari 24 lembaga itu yang bisa dipelajari untuk
ditiru dan dijadikan model bagi pengembangan lembaga-lembaga wakaf di Jakarta
dan juga di tanah air tentunya. Walaupun demikian, lembaga-lembaga ini juga
tidak imun dari kendala. Bab 5 akan menganalisis produktivitas lembaga-lembaga
ini juga termasuk kendala yang dihadapi.
181
BAB V
ANALISIS
POTENSI WAKAF PRODUKTIF DI DKI JAKARTA
Bab ini memaparkan analisis mengenai wakaf produktif di Jakarta, dibagi
dalam tiga bagian: 1) pemanfaatan aset wakaf serta pengelolaannya, 2)
pemahaman dan pengetahuan nadzir mengenai wakaf produktif, dan 3) respon
masyarakat terkait wakaf produktif, konsep pengembangannya dan kendala yang
dihadapi.
Bab ini merujuk pada 24 yayasan yang telah diobservasi dan diwawancarai
yang tersebar di 5 wilayah Jakarta (nama yayasan wakaf beserta nama responden
bisa dilihat di lampiran). Bab ini akan melihat aspek-aspek penting yang bisa
menjadi potensi untuk perkembangan wakaf produktif, termasuk kendala-kendala
yang dihadapi yayasan wakaf yang tidak produktif untuk bisa menjadi bahan
analisis pengembangan wakaf produktif itu sendiri. Berikut adalah tabel 24
yayasan wakaf yang diteliti berdasarkan sebaran wilayah:
Tabel 5.1
24 Aset Wakaf Menurut Sebaran Wilayah
No Wilayah Jumlah
1 Jakarta Selatan 12
2 Jakarta Timur 4
3 Jakarta Barat 4
4 Jakarta Utara 3
5 Jakarta Pusat 1
Total 24
182
Dari data yang ada, penelitian ini menemukan empat kelompok yayasan
wakaf dilihat dari potensi pengembangan wakaf produktif, yaitu 1) potensi tinggi,
2) potensi sedang, 3) potensi kecil, dan 4) tidak berpotensi mengembangkan
wakaf produktif. Jika dibuat persentase maka dapat dilihat bahwa lembaga wakaf
yang memiliki potensi paling tinggi (aset besar dan kualitas nadzir tinggi) kira-
kira berjumlah 33%. Yang cukup banyak adalah yayasan wakaf yang memiliki
potensi produktif sedang (aset besar dan kualitas nadzir kecil) yaitu sebanyak
38%. Sedangkan yang potensinya kecil ada 17% lembaga wakaf. Dari lembaga2
yang cukup baik ini, ternyata ada juga sebanyak 13% yang tidak berpotensi untuk
pengembangan wakaf produktif. Kelompok yang terakhir ini rata-rata karena aset
kecil dan potensi nadzir kecil, selain itu karena memang nadzir tidak mau
mengembangkan wakaf yang dikelola dengan berbagai alasan.
Tabel 5.2
Persentase yayasan wakaf dilihat dari sisi potensi pengembangan wakaf produktif
Tipe/Potens
i Deskripsi % Kasus
Tinggi Aset besar dan kualitas nadzir
besar 33 % 8
Sedang Aset besar dan kualitas nadzir
kecil 38% 9
Kecil Aset kecil dan kualitas nadzir
besar 17% 4
Tidak
berpotensi
Tidak mengembangkan wakaf
produktif 13% 3
Total 100 24
183
%
A. Aset Wakaf, Pemanfaatan dan Pengelolaannya
Aset wakaf adalah harta benda yang diwakafkan oleh wakif dengan maksud
tertentu untuk digunakan bagi kepentingan bersama. Harta benda ini bisa dalam
bentuk tanah, bangunan, uang tunai, kendaraan, royalti dan lain sebagainya.
Sementara pemanfaatannya dapat dibagi dalam dua kategori yaitu produktif dan
tidak produktif.
Untuk kategori produktif, pemanfaatan aset wakaf paling sedikit memenuhi
setidaknya tiga nilai yaitu pertama memiliki nilai produksi, kedua memiliki nilai
ekonomis dan ketiga memiliki nilai manfaat. Contoh dari pemanfaatan ini seperti
perkebunan, peternakan, peternakan, industri pakaian, penyewaan lahan dan
gedung ruang serbaguna, rumah toko, kontrakan, restoran, makam yang dikelola
secara komersial, balai pengobatan, dan sekolah. Sementara pemanfaatan wakaf
yang tidak produktif adalah aset wakaf yang tidak memiliki nilai ekonomis.
Dalam penelitian ini, peruntukan wakaf di 24 lokasi seluruhnya untuk
kegiatan yang bersifat sosial seperti masjid, sekolah dan makam atau yang disebut
sebagai wakaf yang langsung dapat dimanfaatkan. Tidak ada yang sepenuhnya
hanya dalam bentuk wakaf produktif bisnis, Tapi, ada 11 diantara 24 wakaf sosial
di atas yang memiliki unit bisnis produktif yang dibangun di atas aset tanah
wakaf, seperti gedung serbaguna dan penyewaan lahan tanah wakaf. Di bawah
ini akan dijelaskan peruntukan dan pemanfaatan tanah wakaf tersebut.
184
1. Peruntukan dan Pemanfaatan Aset Wakaf
Tabel dibawah ini berisi informasi mengenai peruntukkan berdasarkan
amanat sang wakif. Dari 24 aset wakaf yang kami teliti, 12 diantaranya adalah
diperuntukkan untuk masjid saja, menyusul masjid dan lembaga pendidikan
sebanyak 5 lokasi, lembaga pendidikan saja, masjid dan makam, dan Islamic
center masing masing berada di dua lokasi dan satu lokasi diperuntukkan untuk
dakwah sosial. Untuk kategori dakwah sosial dan Islamic center pada realisasinya
juga terdapat masjid dan lembaga pendidikan.
Tabel 5.3
Aset Wakaf Menurut Peruntukkan
No Peruntukkan Jumlah
1 Masjid 12
2 Masjid dan Lembaga Pendidikan 5
3 Lembaga Pendidikan 2
4 Masjid dan Makam 2
5 Islamic Center 2
6 Dakwah Sosial 1
Total 24
Secara umum aset wakaf ini digunakan sesuai pemanfaatan dan bahkan
beberapa yang peruntukkan awalnya hanya untuk masjid saja, dalam realisasinya
mereka mengembangkan lembaga pendidikan seperti Taman pendidikan Al-
Quran, Taman kanak-kanak dan juga Sekolah Menengah Kejuruan. Sementara
khusus untuk aset wakaf Hidayatullah, pemanfaatannya baru sebatas masjid dan
Pendidikan Usia Dini (PAUD). Padahal pada awalnya tanah ini dimaksudkan
185
untuk dibangun Islamic Center, menurut pengurusnya, hal ini terjadi karena
terkendala pendanaan.
Peruntukkan aset wakaf yang keseluruhannya untuk masjid dan musholla
adalah fenomena umum yang terjadi pada masyarakat Indonesia. Sebagaimana
laporan Kantor Wilayah Kementrian Agama tahun 2008 menyebutkan
peruntukkan dan pemanfaatan aset wakaf di DKI Jakarta yang paling besar adalah
untuk musholla (51,1%), selanjutnya masjid (32,0%), sekolah (8,7%), makam
(0,3%) dan yayasan sosial (7,9%). Rumah ibadah merupakan peruntukan favorit
yaitu sebesar 83%. Fenomena ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya:
Pertama, pemahaman keagamaan yang tradisonal. Masyarakat Indonesia
memahami wakaf sebagai bagian dari kegiatan yang bersifat ibadah dimana wakaf
dianggap sebagai kebaikan yang sempurna dan diganjar pahala yang berlipat dan
tak akan putus meskipun si wakif telah meninggal dunia. Selain ibadah, wakaf
juga difahami sebagai kegiatan sosial dimana pemanfaatannya dapat dirasakan
oleh orang banyak. Sehingga wakaf dalam bentuk pemberian fasilitas lain yang
juga untuk kepentingan bersama seperti jembatan, jalan, rumah sakit dan lain
sebagainya diyakini sebagai bukan kewajiban mereka melainkan kewajiban
pemerintah.
Kedua, kebutuhan rumah ibadah. Sebagian besar aset wakaf berupa tanah
dalam penelitian ini diwakafkan di atas tahun 1980an. Dimana saat itu transportasi
masih sangat terbatas dan jumlah rumah ibadah masih sedikit. Sehingga untuk
bisa shalat Jum’at berjamaah , seseorang harus menempuh perjalanan kurang lebih
2 kilometer jauhnya. Hal ini tentu menjadi keprihatinan tersendiri bagi tokoh
186
agama setempat, maka tak heran sebagian besar wakif dalam penelitian ini adalah
tokoh agama dan tokoh masyarakat di daerahnya yang fokus pada peruntukan
rumah ibadah.
Ketiga, milik keluarga. Faktor yang ketiga adalah banyaknya masjid,
mushola dan makam milik keluarga. Dimana pada awalnya aset ini diwakafkan
dan dikhusukan penggunaannya untuk lingkungan keluarga saja.
Keempat, menjadi bagian dari pesantren atau yayasan pendidikan. Jumlah
sekolah dan yayasan pendidikan mencapai 9%. Bagi sekolah atau yayasan yang
memiliki lahan cukup luas dan jumlah murid banyak, penyediaan masjid dan
mushalla di lingkungan mereka adalah bagian dari fasilitas. Terlebih lagi bagi
pesantren, masjid merupakan bangunan yang wajib ada karena masjid pada
umumnya menjadi pusat kegiatan santri dan simbol eksistensi sebuah pesantren.
Kelima, beberapa responden dalam penelitian ini menyatakan wakaf yang
berorientasi profit dapat menimbulkan konflik dan perpecahan sehingga akan
menganggu kekhusukan beribadah. Di samping itu, wakaf jenis ini juga menuntut
keahlian khusus dan pengelolaan tersendiri, untuk mengantisipasi agar aset wakaf
tidak mengalami kerugian atau berkurang nilainya atau bahkan hilang. Alasan lain
adalah dikhawatirkan mengotori rumah ibadah. Mengotori dalam hal ini bisa
bermakna sesungguhnya ataupun bermakna kiasan. Makna ‘kotor’ dalam arti
kiasan sebagaimana disebutkan oleh salah satu responden yang menyatakan
bahwa kegiatan ibadah yang bercampur dengan uang akan mengotori makna
ibadah itu sendiri.
2. Nilai Aset Wakaf
187
Sebagian besar lokasi aset wakaf dalam penelitian ini, menempati lokasi yang
strategis karena berada di pinggir jalan utama yang dilewati oleh angkutan umum.
Sebagian lain berada di tengah pemukiman yang sangat mudah diakses oleh
masyarakat sekitar. Dan karena letaknya di wilayah perkotaan, sebagian besar
lokasi wakaf berdekatan dengan fasilitas publik seperti pasar, pertokoan,
perkantoran, kantor pemerintahan, sekolah dan juga mall.
Karena letaknya yang strategis itulah, aset wakaf dalam penelitian ini
memiliki nilai jual objek pajak (NJOP) yang cukup tinggi berkisar antara Rp. 1.5
Juta sampai dengan Rp. 15 Juta dan dengan sendirinya menjadikan aset wakaf
dalam penelitian ini bernilai tinggi. Perkiraan aset wakaf ini berdasarkan hitungan
yang dilakukan oleh nadzir sendiri dan sudah termasuk di dalamnya perkiraan
nilai aset tanah dan bangunan. Perkiraan total nilai aset dalam penelitian ini
berada dalam rentang 1 sampai dengan 92 milyiar rupiah.
Tabel dibawah ini, menunjukkan bahwa lima dari delapan aset wakaf pada
kelompok pertama memiliki perkiraan nilai aset wakaf yang paling tinggi di atas
20 milyar rupiah. Sementara tiga lainnya memiliki aset kurang dari 20 milyar
rupiah. Pada kelompok kedua, dua lokasi wakaf memiliki total perkiraan nilai aset
yang cukup besar mencapai 20 milyar rupiah sementara yaitu tujuh lainnya
memiliki total perkiraan nilai aset dibawah 20 milyar rupiah. Sementara pada
kelompok ketiga dan keempat perkiraan total nilai aset wakaf mulai dari dua
sampai dengan sepuluh milyar rupiah.
Sebagai catatan, perkiraan nilai aset bukanlah satu-satunya variabel yang
menentukan baik buruknya pengelolaan wakaf. Dalam penelitian ini,
188
pengelompokkan aset wakaf kepada empat kategori kelompok merujuk pada
beberapa variabel diantaranya sisa luas lahan, letak geografis, kapasitas nadzir,
dan dukungan masyarakat sekitar.
Nilai aset wakaf ini akan naik seiring dengan naiknya nilai jual objek pajak
di suatu wilayah. Nilai aset wakaf juga akan naik dengan sendirinya sesuai dengan
maksimalisasi pengelolaan dan pemanfaatan aset wakaf melalui pengembangan
unit-unit bisnis, sebagaimana yng dilakukan oleh sebelas aset wakaf dalam
penelitian ini.
Tabel 5.4
Aset Wakaf Menurut Perkiraan Nilai Aset
No Nama Wilayah Perkiraan
Nilai Aset
(Milyar)
Potensi Tinggi:
Aset Besar Potensi Nadzir Tinggi
1 Yayasan Darul Azkar Jakarta Selatan 92
2 Yayasan Madrasah Ad-Dakwah Jakarta Barat 48
3 Yayasan Shirathul Rahman Jakarta Barat 38
4 Masjid Al-Falah Jakarta Selatan 30
5 Yayasan Nurul Falah Tanah Kusir Jakarta Selatan 22
6
Yayasan Husnayain (Masjid Abu Bakar
Ash-Shiddiq) Jakarta Timur 20
7 Yayasan Masjid Al Mukarromah Jakarta Utara 15
8 Masjid Nurul Falah Jakarta Selatan 10
Potensi Sedang:
Aset Besar Potensi Nadzir Cukup
9 Yayasan Wakaf Masjid Al-Barkah Jakarta Selatan 20
10 Yayasan Al- Asyirostusyafi’iyah Jakarta Selatan 20
11 Yayasan Keramat Payungan Hidayatullah Jakarta Timur 10
12 Masjid Al-Hidayah Jakarta Timur 5
13 Masjid Al-Fidaus Jakarta Barat 5
14 Yayasan Masjid Al-Birru Jakarta Selatan 3
15 Masjid Jami Darussalamah Jakarta Selatan 2
16 Yayasan Darul Ulum Jakarta Barat 2
189
17 Masjid Al-Muhtar Jakarta Timur 1
Potensi Kecil:
Aset Kecil Potensi Nadzir Tinggi
18 Masjid Al- Abraar Jakarta Pusat 10
19 Masjid Al-Munawwar Jakarta Selatan 5
20 Yayasan Nur Assailina (Ma’had Al-Islam) Jakarta Selatan 4
21 Yayasan Masjid Baiturrahman Jakarta Utara 2
Tidak berpotensi/
Tidak mengembangkan wakaf produktif
22 Masjid Al-Inayah Jakarta Selatan 3.5
23 Masjid Darussalam Al-Amin Jakarta Utara 3
24 Masjid Al-Muflihun Jakarta Selatan 3
Dalam penelitian ini diketahui, rata-rata pemanfaatan aset wakaf mencapai
70%. Sisa lahan yang ada sebagian besar masih berupa lahan kosong. Tabel
berikut ini adalah data tentang total luas lahan, lahan yang sudah digunakan dan
sisa luas lahan. Dari tabel di bawah ini, dapat diketahui bahwa tujuh lokasi wakaf
memiliki sisa luas lahan mulai 2.000 m2 sampai dengan 4.141 m2. Sebagian besar
berada di wilayah Jakarta Selatan, sebagian kecil menyebar di Jakarta Timur, dan
Jakarta Barat.
190
Tabel 5.5
Aset Wakaf Menurut Total Luas Lahan, Lahan Digunakan dan Sisa Lahan
No Nama Wilayah
Total
Luas Lahan
M2
Lahan
Digunakan
M2
Sisa
LuasLahan
M2
Potensi Tinggi: Aset Besar Potensi Nadzir Tinggi
1 Yayasan Madrasah Ad-Dakwah Jakarta Barat 7741 3600 4141
2 Yayasan Darul Azkar Jakarta Selatan 12000 8000 4000
3 Yayasan Shirathul Rahman Jakarta Barat 3595 730 2865
4 Yayasan Nurul Falah Tanah Kusir Jakarta Selatan 3200 900 2300
5 Yayasan Masjid Al Mukarromah Jakarta Utara 3008 1000 2000
6 Masjid Nurul Falah Jakarta Selatan 2650 1929 1650
7
Yayasan Husnayain (Masjid Abu
Bakar Ash-Shiddiq) Jakarta Timur 6524 5000 1524
8 Masjid Al-Falah Jakarta Selatan 1660 1000 660
Potensi Sedang:
Aset Besar Potensi Nadzir Cukup
9
Yayasan Keramat Payungan
Hidayatullah Jakarta Timur 5269 2000 3269
10 Yayasan Darul Ulum Jakarta Barat 5015 3015 2000
11 Masjid Al-Muhtar Jakarta Timur 2400 437 1900
12 Yayasan Masjid Al-Birru Jakarta Selatan 2166 866 1300
13 Masjid Jami Darussalamah Jakarta Selatan 3200 2000 1200
14 Masjid Al-Fidaus Jakarta Barat 3553 2550 1003
15 Yayasan Al- Asyirostusyafi’iyah Jakarta Selatan 3700 2700 1000
16 Yayasan Wakaf Masjid Al-Barkah Jakarta Selatan 5000 4500 500
17 Masjid Al-Hidayah Jakarta Timur 1200 1000 200
Potensi Kecil:
Aset Kecil Potensi Nadzir Tinggi
18 Masjid Al-Munawwar Jakarta Selatan 3600 2600 1000
19 Masjid Al- Abraar Jakarta Pusat 2100 1100 1000
20
Yayasan Nur Assailina
(Ma’had Al-Islam) Jakarta Selatan 2500 1500 1000
21 Yayasan Masjid Baiturrahman Jakarta Utara 1600 840 840
Tidak berpotensi/
Tidak mengembangkan wakaf produktif
22 Masjid Al-Muflihun Jakarta Selatan 4000 2500 1500
23 Masjid Al-Inayah Jakarta Selatan 2000 1000 1000
24 Masjid Darussalam Al-Amin Jakarta Utara 1000 400 600
Dari tabel di atas, dapat dilihat sebagian besar aset wakaf dalam penelitian ini
memiliki sisa lahan diatas 1.000 m2. Hanya 5 dari 24 lokasi wakaf yang memiliki
191
sisa lahan dibawah 1.000 m2. Hal ini tentu menjadi nilai tersendiri mengingat
sulitnya mendapati lahan kosong dan mahalnya harga tanah di Jakarta. disamping
itu, dengan sisa lahan yang lebih besar, tentu memberikan banyak alternatif
pilihan bagi pemanfaatan wakaf produktif. Yayasan Shiraturrahman misalnya,
memiliki rumah toko (ruko) yang berada di pinggir jalan raya. Ruko ini dibangun
di atas tanah seluas 150 m2, dan disewakan seharga 20 juta pertahunnya. Sehingga
bisa dibayangkan jika terdapat tanah kosong seluas 1.500 m2, maka di atasnya
dapat dibangun sekitar 10 ruko, dengan total penghasilan sebesar 200 juta
pertahunnya.
3. Unit bisnis
Unit bisnis yang mungkin dikembangkan oleh para nadzir tentu tergantung
pada potensi lokasi tempat wakaf itu ada. Meskipun demikian, bagi lembaga
wakaf DKI Jakarta, tanah di manapun mereka berada, sangat mungkin untuk
dikembangkan. Pertimbangan-pertimbangan seperti umumnya tanah wakaf di
pinggir jalan, adanya keramaian di sekitar wakaf karena ada sekolah dan lain
sebagainya, serta luasnya tanah kosong yang menjadi aset tanah wakaf membuka
peluang besar bagi pengembangan wakaf produktif.
Dari 24 aset wakaf yang kami teliti, 11 diantaranya telah memiliki unit
bisnis. Jika mau mengaca pada apa yang telah dipraktekkan oleh lembaga wakaf
yang dijadikan sumber informasi pada penelitian ini, maka ada baiknya
menganalisis pilihan unit bisnis yang dikembangkannya.
192
Tabel 5.6
Aset Wakaf Menurut Unit Bisnis
No Nama Wilayah Unit Bisnis
1 Yayasan Darul Adzkar
Jakarta
Selatan Gedung sebaguna
2
Yayasan Nurul Falah Tanah
Kusir
Jakarta
Selatan Gedung sebaguna
3 Masjid Al-Hidayah Jakarta Timur Gedung sebaguna
4 Yayasan Shirathul Rahman Jakarta Barat Gedung sebaguna
5 Masjid Nurul Falah
Jakarta
Selatan
Gedung serbaguna, KBIH
(Kelompok Bimbingan Ibadah
Haji), Koperasi
6 Yayasan Masjid Baiturrahman Jakarta Utara Kontrakan rumah tinggal dan
7 Yayasan Masjid Al-Birru
Jakarta
Selatan
Kontrakan untuk usaha (toko
kelontong, pangkas rambut,
warung tegal)
8 Yayasan Al-Asyirostusyafi’iyah
Jakarta
Selatan
Sewa lahan parkir motor dan
Kantin
9 Yayasan Husnayain Jakarta Timur Ruko, Alfamart
10 Masjid Jami Darussalamah
Jakarta
Selatan Sewa lahan pemancar telkom
11 Masjid Al-Falah
Jakarta
Selatan
aula, sewa parkir mobil, kantor
jasa keuangan syariah (KJKS)
Berikut paparan pemilihan unit bisnis di atas.
a. Ruko (rumah toko)
Pilihan untuk mengembangkan tanah wakaf menjadi rumah toko adalah
karena dekat dengan pasar. Yayasan Shiratul Rahman memilih untuk membangun
ruko di tanah wakafnya adalah karena dekat dengan pasar, yakni hanya berjarak
50 meter saja.
b. Alfamart
Pengembangan jenis usaha ini dengan pertimbangan lokasi yang cukup
ramai dari pagi hingga malam. Yayasan Husnayain, Jakarta Timur, membuka
peluang bisnis ini karena di sekitar tanah wakafnya juga didirikan sekolah (SD,
SMP, SMA, SMU, STIE dan Pesantren), klinik dan rumah sakit.
193
c. Gedung Serbaguna/Aula
Pengembangan gedung serbaguna diminati oleh beberapa yayasan wakaf
karena manfaatnya bisa langsung dirasakan oleh masyarakat kota, misalnya untuk
penyelenggaraan resepsi pernikahan. Kondisi pemukiman padat masyarakat urban
mempersempit ruang terbuka bagi warga sehingga mempersulit mereka untuk
mengadakan hajatan besar. Yayasan Darul Azkar, Yayasan Masjid Nurul Falah,
Masjid Al-Falah Mampang dan Yayasan Nurul Falah Tanah Kusir yang
keempatnya berada di daerah Jakarta Selatan, melihat peluang bisnis sewa
gedung/aula ini untuk menjadi usaha mereka mengembangkan wakaf produktif.
d. Lahan Parkir
Dipilihnya usaha jasa parkir oleh lembaga wakaf adalah karena ingin
memanfaatkan lahan kosong yang mereka miliki untuk kemudian menghasilkan
layanan jasa perparkiran. Usaha seperti ini tentu saja mendatangkan keuntungan
yang banyak, apalagi jika dikelola secara lebih profesional. Yayasan Al-
Asyirostusyafi’iyah, Jakarta Selatan membuka bisnis ini mengingat lokasi yang
dekat dengan pusat perbelanjaan, perkantoran dan berbatasan langsung dengan
jalan raya. Luas 1.000m2 lahan kosong mereka itu diperuntukkan bagi parkir
kendaraan roda dua bagi pengunjung Mal Gancit (Gandaria City) dan pegawai
perkantoran dari Gandaria, Jakarta Selatan.
Lain halnya dengan masjid Al-Falah Mampang, sisa lahan seluas 600 m2,
mampu menampung 10 buah mobil warga sekitar yang memiliki mobil tetapi
tidak memiliki garasi. Hasil sewa lahan parkir mobil ini dipergunakan untuk
194
membiayai operasional masjid. Untuk masjid Al-Falah hasil pemanfaatan lahan
wakaf ini mencapai 167 juta rupiah pertahunnya diluar bagi hasil koperasi.
e. KBIH
Pembukaan layanan KBIH (Kelompok Bimbingan Ibadah Haji dan
Umrah) juga menjadi daya tarik tersendiri bagi pengembangan wakaf produktif
oleh yayasan/lembaga wakaf. Pengelolaan jasa layanan ini memang membutuhkan
kepercayaan yang tinggi masyarakat bahwa yayasan dipandang mampu
mengemban amanat untuk mengorganisir, membimbing, dan melayani para calon
haji dan umrah. Salah satu yayasan yang mengembangkan layanan jasa haji dan
umrah ini adalah yayasan Masjid Nurul Falah Lebak Bulus, Cilandak, Jakarta
Selatan. Selain KBIH, ia juga membuka layanan jasa aula serbaguna dan koperasi.
f. Kontrakan
Kontrakan ini dibuka untuk usaha seperti toko kelontongan, tukang cukur
rambut dan warteg (warung tegal). Atau, kontrakan itu disewakan untuk tempat
tinggal. Jenis yang pertama dilakukan oleh Yayasan Masjid Al-Birru Jakarta
Selatan, sedang yang jenis kedua dikembangkan oleh Yayasan Masjid
Baiturrahman Jakarta Utara.
g. Sewa Lahan untuk Pemancar
Masjid Jami Darussalamah, Bintaro Jakarta Selatan, menyewakan lahan
kosongnya untuk pemasangan alat pemancar PT. Telkom. Hasil dari sewa ini
digunakan untuk pemeliharaan dan pemugaran masjid
h. Kantin
195
Menyediakan kantin bagi pelajar dan santri merupakan pilihan
tepat bagi yayasan A-Asyirotusyafi’iyah yang terletak di wilayah Jakarta Selatan
ini. Selain melayani pelajar dan santri, kantin juga menjadi pilihan bagi karyawan
dan pekerja mall dan perkantoran sekitar yayasan.
i. Kantor Jasa Keuangan Syariah (KJKS)/Koperasi
Koperasi dan lembaga sejenisnya, juga merupakan pilihan yang mungkin
dikembangkan. Sebagaimana yang dilakukan masjid Darul Adzkar dan masjid Al-
Falah Mampang. Masjid Al-Falah bekerjasama dengan Bank Muamalat KJKS
melayani masyarakat kecil menengah ke bawah dalam hal simpan pinjam. Bgai
hasil yang dapat cukup besar mencapai 100 juta sampai dengan 200 juta rupiah
setiap tahunnya.
Kesembilan jenis unit bisnis yang dikembangkan oleh yayasan wakaf di atas
hanya merupakan model pengembangan bisnis saja. Model bisnis lainnya yang
memiliki nilai ekonomi mungkin bisa dikembangkan oleh masing-masing nadzir.
Kreatifitas, keberanian, jaringan dan feeling bisnis memang dibutuhkan ada bagi
para nadzir.
Alasan dikembangkannya unit bisnis bagi tiap lokasi sangat beragam, untuk
kasus rumah toko milik yayasan Shiraturrahman, inisiasi bukan datang dari nadzir
tetapi merupakan wakaf dari pemerintah setempat untuk membantu yayasan
tersebut memenuhi kebutuhan keuangannya. Pada kasus pengadaan gedung
serbaguna di dalam kompleks masjid dibeberapa lokasi aset wakaf, bisa jadi
inisiasi pembangunannya berasal dari dalam, bisa datang dari nadzir ataupun
pengurus lainnya, biasanya gedung serbaguna dibangun untuk memenuhi
196
kebutuhan masyarakat akan gedung pertemuan dan juga dimaksudkan sebagai
tambahan pemasukan untuk perawatan dan operasional masjid.
Sementara lahan parkir yang ada di komplek yayasan As-Shiratus Syafi’iyah
lebih merupakan karena kesempatan yang ada di mana pekerja dan pengunjung
pusat perbelanjaan Mall Gandaria City membutuhkan lahan parkir motor.
Kesimpulan yang bisa kita dapatkan adalah unit bisnis yang bisa
dikembangkan di atas aset wakaf bisa sangat beragam. Hal tersebut sangat
tergantung pada letak lokasi, kebutuhan pasar, dan dana yang tersedia. Sementara
inisiasi bisnis bisa datang dari pihak luar maupun pihak nadzir sendiri. Inisiasi
juga datang karena ada peluang dan kesempatan.
4. Sumber Pendanaan dan Pengelolaan aset wakaf
Seluruh aset wakaf yang berbentuk masjid bergantung pada dana zakat, infak
dan sedekah dari masyarakat sekitar. Penerimaan rutin didapat dari sedekah
jamaah shalat jum’at. Sebagian aset wakaf yang memiliki unit bisnis juga menjadi
sumber pemasukan tetap bagi pengelola. Sementara aset wakaf dalam bentuk
yayasan pendidikan, sumber pendapatan utama mereka berasal dari sumbangan
pendidikan dan pembangunan (SPP) siswa.
Pengelolaan keuangan masjid secara umum masih dilakukan dengan metode
sederhana yakni uang diterima, dicatat dan dilaporkan setiap minggu atau setiap
bulannya di depan jamaah masjid shalat Jumat. Demikian pula halnya dengan
lembaga pendidikan, sebagian besar masih menggunakan system keuangan
sederhana. bedanya adalah pada lembaga pendidikan, biasanya ada bagian khusus
197
yang menangani penerimaan dan pengeluaran uang. Untuk membedakan dengan
metode sebelumnya kami mengidentifikasinya sebagai metode semi professional.
Metode profesional dilakukan oleh yayasaan Nurul Falah Tanah Kusir
Jakarta Selatan. Yayasan ini dalam hal sumber pendapat juga mengandalkan dana
zakat dan sedekah dari masyarakat.
Akan tetapi yayasan ini juga mengembangkan wakaf melalui uang. Dimana
masyarakat ditawarkan untuk bersedekah yang sedekahnya akan digunakan untuk
pembebasan tanah dalam rangka pengembangan aset wakaf. Cara lain juga
digunakan dengan memanfaatkan jaringan pertemanan nadzir. Dalam hal
pencatatan dan penggunaan dana, yayasan ini memiliki staf keuangan khusus yang
bekerja mengatur keluar masuk uang setiap harinya. Mereka bekerja berdasarkan
standar sistem akutansi keuangan.
Adapun dalam hal pemanfaatan dana, sebagian besar nadzir mengatakan dana
yang didapat habis digunakan untuk biaya perawatan gedung, penambahan dan
perbaikan fasilitas gedung dan biaya operasional tetap seperti listrik, telepon, air,
gaji karyawan, gaji guru dan sedikit untuk beasiswa murid yang tidak mampu.
Menariknya, dana untuk beasiswa diperoleh dari hasil pengembangan unit
bisnis. Al-Shiraturrahman misalnya mampu memberikan beasiswa kepada murid
yang tidak mampu dari hasil penyewaan ruko. Sementara Al-Asyiratussayafi’iyah
memberikan beasiswa dari dana hasil sewa lahan parkir motor dan kantin. Bahkan
dari dana tersebut masih bisa untuk menambah gaji guru dan karyawan.
Dari pemaparan diatas jelas, sumber dana aset wakaf masih sangat
bergantung pada dana zakat dan sedekah yang berasal dari masyarakat. Kalaupun
198
ada yang menerapkan wakaf melalui uang sebagaimana yang dilakukan yayasan
Nurul Falah Tanah Kusir, sifatnya hanya inisiatif jangka pendek dalam rangka
memperluas tanah wakaf yang sudah ada. Sementara aset wakaf yang didalamnya
berupa lembaga pendidikan, mengandalkan dana iuran siswa. Sayangnya sumber
dana ini habis digunakan untuk operasional, perawatan dan perbaikan aset wakaf.
5. Manajemen dan Organisasi Pengelolaan Wakaf
Penelitian ini menemukan bahwa aset wakaf di Jakarta sebagian besar masih
dikelola secara tradisional (17 lokasi) dimana pencatatan dan pengeluaran dana
dilakukan secara sederhana dan cenderung tidak transparan. Adapun sistem
pelaporan sebagaimana telah dijelaskan di atas, memanfaatkan media shalat Jumat
untuk mengumumkan arus keluar masuknya dana. Sistem semi tradisional
biasanya dilakukan oleh yayasan wakaf yang memiliki sekolah dengan jumlah
siswa yang besar (7 lokasi) di mana dalam pengelolaannya ada pencatatan dan
pelaporan secara berkala dan dibawah pengawasan pimpinan atau kepala sekolah.
Sementara sistem profesional (4 lokasi) ditandai dengan sudah diterapkannya
sistem administrasi keuangan sesuai dengan prinsip-prinsip akutansi. Manajemen
ini hanya terdapat di kelompok pertama dimana mereka telah memiliki staf ahli
akuntansi dan atau melibatkan akuntan publik sebagaimana diungkap pada tabel
dibawah ini:
Tabel 5.7
Aset Wakaf Menurut Managemen dan Organisasi Wakaf
Kelompok
Manajemen Pengelolaan
Organisasi Wakaf
199
Tradisional Semi
Profesional Profesional Perorangan Kelompok
Potensi Tinggi:
Aset Besar Potensi Nadzir Tinggi 1
3
4
5
3
Potensi sedang:
Aset Besar Potensi Nadzir Cukup 7
2 -
7
2
Potensi Kecil;
Aset Kecil Potensi Nadzir Tinggi 2 2 -
1
3
Tidak berpotensi/:
Tidak mengembangkan wakaf produktif 3 - -
1
2
13 7
4
14
10
Sementara itu, organisasi pengelolaan wakaf saat ini didominasi oleh nazir
perseorangan (14) dan nadzir kelompok (10). Pemerintah melalui Badan Wakaf
Indonesia mendorong masyarakat untuk menerapkan model kelompok yang
kedua. Hal ini dimaksudkan untuk mendorong pengelolaan wakaf yang lebih
professional, akuntabel dan transparan dan menghindari pengelolaan aset wakaf
yang status quo dan gaya kepemimpinan yang otoriter.
Hal ini sebagaimana terjadi pada yayasan Darul Ulum, yayasan ini dikelola
dibawah managemen keluarga melalui nadzir perseorangan. Penunjukkan nadzir
secara langsung oleh nadzir sebelumnya, menimbulkan perselisihan dan
perpecahan diantara anak keturunan wakif. Masing-masing pihak merasa paling
berhak menjadi nadzir atas tanah wakaf tersebut. Kasus ini dapat menjadi contoh
bahwa pengelolaan aset wakaf melalui nadzir perseorangan cenderung melahirkan
gaya kepemimpinan yang otoriter.
Sayangnya, data di lapangan menunjukkan bahwa beberapa pengelolaan aset
wakaf melalui kelompok hanya untuk memenuhi persyaratan administrasi wakaf
saja, sementara pada kenyataannya aset wakaf dikelola berdasarkan pengelolaan
200
perseorangan sebagaimana dikemukakan oleh M. Zainuddin, nadzir masjid Al-
Birru dan Bapak Sanusi, nadzir masjid Al-Abraar.
Sementara itu, organisasi pengelolaan wakaf dalam penelitian ini tidak
menjadi faktor penentu bagi pengelolaan aset wakaf yang lebih baik. Data diatas
menunjukkan bahwa nadzir melalui perseorangan dan melalui kelompok terdapat
di masing-masing kategori kelompok aset wakaf.
Begitu juga dengan proses pengangkatan seorang nadzir, apakah melalui
proses penunjukan langsung (oleh wakif atau nadzir sebelumnya) atau melalui
proses musyawarah. Tidak memiliki dampak secara signifikan terhadap
keberhasilan pengelolaan aset wakaf.
Sebagaimana dapat dilihat pada kasus Darul Adzkar, yayasan ini dikelola
oleh nadzir perseorangan. Penggangkatannya sebagai nadzir karena faktor
keturunan. Sang nadzir sukses mengembangkan pemanfaatan tanah ini menjadi
lebih produktif. Ditempat lain Masjid Al-Barkah, dengan kondisi yang sama
mengalami kesulitan dalam menjaga, merawat apalagi mengembangkan aset
wakafnya.
Di tempat lain Masjid Al-Mukarromah di Jakarta Utara dan yayasan Nurul
Falah di Tanah Kusir yang dikelola secara kelompok juga sukses mengembangkan
tanah wakaf. Sementara yayasan Nur Assailina yang juga dikelola melalui
organisasi wakaf dalam bentuk kelompok, belum berhasil mengembangkan
pemanfaatan aset wakafnya. (detail sudah dijelaskan dalam profil di Bab IV).
Penelitian ini menemukan kapasitas personal nadzir sangat menentukan baik
buruknya aset wakaf dikelola. Sementara organisasi pengelolaan wakaf baik yang
201
dikelola secara prorangan maupun kelompok tidak memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap keberhasilan pengelolaan dan pengembangan aset wakaf.
B. Pengetahuan Nadzir Tentang Wakaf Produktif
Dalam pengelolaan wakaf, penelitian ini ingin mengungkap seberapa dalam
pengetahuan nadzir tentang wakaf produktif. Secara teori, yang dimaksud dengan
wakaf produktif adalah harta wakaf yang pengelolaannya memiliki nilai manfaat,
nilai ekonomi, dan nilai produksi. Wakaf produktif diyakini bisa lebih
menguntungkan bagi umat. Konsep wakaf produktif, dengan demikian, adalah
jukstaposisi dengan wakaf konsumtif --wakaf yang banyak membutuhkan dana
dalam pengelolaannya tapi sedikit mendatangkan uang. Penelitian ini
mengasumsikan bahwa pengelolaan wakaf memiliki kaitan dengan pengetahuan
nadzir tentang wakaf, khususnya tentang wakaf produktif.
Secara umum, para nazir tidak tahu apa itu wakaf produktif. Mereka, para
nazir yang menjadi informan penelitian ini, bisa memahami apa yang dimaksud
dengan wakaf produktif ketika terlibat wawancara dengan peneliti. Dari apa yang
ditemukan di lapangan, bisa disebutkan bahwa ada 2 (dua) kategori kelompok
terkait dengan pengetahuan nadzir tentang wakaf produktif. Pertama, meski
mereka tidak tahu wakaf produktif, tetapi secara serta merta tidak menolak apa
yang dimaksud dengan istilah ini. Kedua, walaupun mereka tidak mengenal istilah
wakaf produktif, tetapi pada prakteknya sudah menjalankan apa yang dimaksud
dengan wakaf produktif itu. Artinya, kelompok kedua ini sesungguhnya sudah
memiliki pengalaman dalam menjalankan wakaf produktif itu.
202
Para nadzir yang masuk dalam kelompok pertama tidak mengenal apa itu
wakaf produktif. Meski demikian, mereka tidak menolak pentingnya wakaf
produktif. Seperti yang dituturkan oleh Abdul Mubin S.Ag., nadzir Yayasan
Madrasah- Ad-Dakwah, Jakarta Barat. “Kalau memang untuk pengembangan sih
artinya saya sependapat dengan adanya wakaf produktif.Ttapi masih banyak juga
ditemukan wakaf yang tetap itu tidak dikembangkan artinya tidak produktif.”49
Pernyataan nadzir di atas menunjukkan bahwa konsep tentang wakaf
produktif untuk di daerah DKI Jakarta sudah cukup diketahui hanya karena belum
banyak yang mempraktekkannya saja. Dengan kata lain, para nadzir ini tidak
masalah dengan konsep wakaf produktif. Hal ini mengingat mereka berpegang
pada prinsip dari wakaf itu sendiri yakni harta yang dikelola untuk “membantu
orang-orang yang lemah, kaum dhuafa, dan mengentaskan kemiskinan.”50
Pengelolaan tanah wakaf di DKI Jakarta ini lebih banyak diperuntukkan
bagi masjid dan lembaga pendidikan. Meski belum diketahui apakah ada kaitan
ketidaktahuan mereka tentang wakaf produktif dengan praktek pengelolaan wakaf,
tapi memang tren pengelolaan wakaf masih berorientasi nirlaba, seperti untuk
pembangunan masjid dan sekolah-sekolah. Mungkin fakta tentang hal ini
memiliki hubungan dengan sejarah Islam yang menjadikan masjid sebagai pusat
pendidikan Islam, madrasah, dan tempat pengajian, selain sebagai sarana ibadah.
Oleh karena itu, banyak ditemukan di lapangan kalau tanah wakaf itu dibangun
masjid, maka umumnya didirikan pula madrasah, sekolah, atau TPA. Bila dihitung
dari data yang ada, 20 lembaga wakaf yang dijadikan sumber data, 18-nya adalah
49 Wawancara dengan Abdul Mubin S.Ag.
50 Wawancara dengan Abdul Mubin, S.Ag.
203
mengelola masjid dan sekolah, sementara 2 lembaga wakaf yang lainnya hanya
mengelola sekolah.
Diantara lembaga wakaf itu ada pula yang sudah mempraktekkan wakaf
produktif. Lembaga ini masuk pada kategori kelompok kedua sebagaimana
pembagian yang disebut diatas, yakni walaupun mereka tidak mengenal istilah
wakaf produktif, tetapi pada prakteknya sudah menjalankan apa yang dimaksud
dengan wakaf produktif itu. Diantara nadzir itu sebenarnya pernah ada yang
mengikuti kegiatan yang membahas soal wakaf produktif tetapi belum cukup
baginya mengantarkan informasi tentang apa yang dimaksud dengan wakaf
produktif itu. Seperti penuturan H. Ahmad Azhari, nadzir Shiratul Rahman,
Jakarta Barat.”Kalau wakaf produktif saya sudah pernah mendengar tapi belum
begitu jelas. Jadi wakaf produktif itu, wakaf yang ada digunakan untuk beberapa
keperluan, pendidikan, musyawarah.51
Pengalaman Azhari dalam mengelola wakaf produktif itu dimulai dengan
membangun ruko (rumah toko). Ia mengakui bahwa rumah toko yang dikelola
lembaga wakafnya merupakan unit bisnis yang menghasilkan pemasukan uang.
Dibangun di tanah seluas 150 meter persegi, ruko ini memberi masukkan bagi
lembaga wakafnya sebesar Rp. 20.000.000,- per tahun untuk sekali bayar sewa.
Uang dari hasil penyewaan ruko itu digunakan untuk menambah biaya kebutuhan
gedung lain yang ada dibawah kelola lembaga wakafnya, yaitu sekolah dan
masjid.
51
Wawancara dengan H. Ahmad Azhari
204
Tidak hanya Azhari dengan Shiratul Rahman-nya, lembaga wakaf lainnya
juga mengembangkan bentuk unit bisnis lainnya. Ada 11 lembaga wakaf,
termasuk Shiratul Rahman, yang membuka unit bisnis. Diantara kesembilan
lembaga dan unit bisnis lainnya itu adalah Yayasan Husnayain (ruko, alfamart),
Yayasan Darul Adzkar (gedung serba guna), Yayasan Nurul Falah Tanah Kusir
(gedung serba guna), Masjid Nurul Falah (gedung serbaguna, KBIH, Koperasi),
Yayasan Masjid Al-Birru (kontrakan), Yayasan Al-Asyirostusyafi’iyah (lahan
parkir, kantin), Masjid Jami Darussalamah (pemancar), Masjid Al-Hidayah (ruang
serbaguna), dan Yayasan Masjid Baiturrahman (Kontrakan), Masjid Al-Falah
(aula, KJKS dan sewa lahan parkir mobil).
Apa kira-kira yang bisa menjelaskan mengapa sebagian nadzir wakaf di
DKI Jakarta mau mengembangkan wakaf produktif? Jawaban yang mungkin
untuk pertanyaan itu adalah bisa dilihat pada konsep para nadzir tentang wakaf.
Bagi mereka, wakaf adalah “suatu benda yang bisa dimanafaatkan kepentingan
umum tetapi barang tersebut tidak berkurang”52, dan “dananya akan digunakan
untuk masjid dan kemaslahatan umat”53. Dengan begitu, selama wakaf produktif
tidak melanggar prinsip wakaf itu sendiri, maka pengembangan wakaf produktif
menurut para nazir adalah hal yang mungkin dilakukan.
Dari sini dapat diketahui bahwa pemahaman nadzir tentang wakaf produktif
masih rendah. Mereka tidak mengetahui secara jelas apa dan bagaimana wakaf
produktif. Adapun praktek wakaf produktif melalui unit bisnis seperti yang sudah
mereka lakukan bukan didasarkan pada pegetahuan mereka tentang pentingnya
52
H. Asnawi, Yayasan Masjid Al-Firdaus 53
H. Ali Nurdin, Yayasan Masjid Al-Munawwaroh
205
mengembangkan wakaf produktif. Melainkan inisiatif untuk mencari sumberdana
lain untuk memenuhi kebutuhan operasional dan perawatan aset wakaf yang sudah
mereka miliki. Disamping praktek sewa menyewa sudah merupakan bagian dari
kultur masyarakat kota.
C. Latar Belakang Pendidikan, Pekerjaan dan Pengalaman Organisasi
Nadzir
Data dari penelitian ini menunjukkan kapasitas dan kepemimpinan nadzirlah
yang seringkali menentukan berkembang atau tidaknya pemanfaatan aset wakaf.
Kapasitas di sini termasuk di dalamnya latar belakang pendidikan, jaringan yang
dimiliki dan kemampuan melakukan inovasi.
Tabel 5.8
Aset Wakaf Menurut Pendidikan, Pekerjaan dan Pengalaman Organisasi Nadzir
Kelompok Pendidikan Pekerjaan Organisasi
PT < PT Aktif Pensiun Aktif Tidak
Potensi Tinggi Aset Besar Potensi Nadzir Tinggi 8 0 6 2 5 3
Potensi Sedang: Aset Besar Potensi Nadzir Cukup 5 4 5 4 3 6
Potensi Kecil; Aset Kecil Potensi Nadzir Tinggi 4 0 2 2 4 0
Tidak berpotensi mengembangkan wakaf produktif 1 2 3 0 0 3
Total 18 6 16 8 12 12
24 24 24
Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa kelompok pertama memiliki potensi
nadzir tinggi karena sebagian besar dari para nadzir memiliki latar belakang
pendidikan tinggi, masih aktif bekerja dan memiliki pengalaman organisasi.
Sementara pada kelompok kedua, setengah dari nadzirnya lulusan setingkat
pendidikan Sekolah Menengah Atas, bahkan ada diantaranya lulusan Sekolah
Rakyat. Sementara dilihat dari aktifitas pekerjaan dan pengalaman organisasi,
206
nadzir pada kelompok ini setengahnya adalah pensiunan dan tidak memiliki
pengalaman keorganisasian. Pada kelompok ketiga, nadzir memiliki latar
pendidikan tinggi dan memiliki pengalaman organisasi. Sementara pada kelompok
terakhir, meski mereka masih aktif bekerja, para nadzir tidak memiliki pendidikan
tinggi dan tidak memiliki pengalaman organisasi.
Dari data diatas jelas bahwa kapasitas seorang nadzir sangat ditentukan
oleh pendidikan dan pengalaman organisasi. Keduanya merupakan instrumen
penting dalam melihat potensi seorang nadzir. Dengan latar belakang pendidikan
tinggi nadzir diasumsikan memiliki wawasan yang lebih luas mengenai berbagai
persoalan sosial, sementara pengalaman organisasi menunjukkan kapasitas nadzir
sebagai seorang pemimpin dan sekaligus menunjukkan kekuatan jaringan yang
dimilikinya. Keduanya menjadi modal penting dalam mengukur kapasitas nadzir
dalam hal gaya kepemimpinan, kemampuan berinovasi dan kekuatan jaringan
dalam mengelola aset wakaf.
Sementara status pekerjaan nadzir tidak memiliki pengaruh signifikan
dalam mengukur kapasitas potensi seorang nadzir, hal ini dapat dilihat pada
kelompok kedua dan keempat, pada kelompok kedua setengah nadzirnya adalah
pensiun dan setengahnya lagi aktif bekerja akan tetapi kapasitas nadzirnya tidak
sebagus kelompok pertama dan ketiga. Begitupun yang terjadi dengan kelompok
keempat meski semuanya tercatat memiliki pekerjaan tetap, kapasitas sang nadzir
dibawah rata-rata.
207
Dapat disimpulkan dari penelitian ini bahwa pendidikan, gaya
kepemimpinan dan jaringan seorang nadzir merupakan modal sosial yang penting
bagi seseorang dalam keberhasilan mengelola dan mengembangkan aset wakaf.
D. Respon Masyarakat Terhadap Wakaf Produktif
Keinginan untuk mengembangkan wakaf produktif juga tampak pada
masyarakat. Keinginan itu terlihat dari rencana pembangunan apa yang ingin
dikembangkan di sekitar tanah wakaf. Sebagai orang yang mendapatkan manfaat
dari adanya pengelolaan wakaf, atau dikenal dalam kamus fikih dengan istilah
mauquf alaih, meyakini bahwa wakaf produktif tidak bertentangan dengan ajaran
Islam. Seperti yang diungkap oleh Ahmad Muslim, seorang penerima manfaat
pada yayasan Masjid Al-Adzkaar, yang mengatakan
jika ada unit-unit bisnis yang datang tidak jadi masalah, karena masjid itu
bukan hanya digunakan untuk hal-hal ritual berbau ibadah, [namun] hal
yang memberdayakan umat, memberdayakan warga-warga yang kurang
mampu, itu salah satu fungsi masjid. BMT pernah ada [namun] vakum
lama, sampai sekarang belum ada lagi.
Keyakinan dibolehkannya wakaf produktif tentu saja berpegang pada norma
bahwa wakaf adalah untuk memberdayakan umat. Masjid yang didirikan di tanah
wakaf bisa menjadi sumber penghasilan bagi yayasan dan juga bisa dirasakan
manfaatnya bagi warga sekitar. Hal ini karena ada keyakinan bahwa saat ini
bangunan masjid bukan semata-mata tempat pelaksanaan ibadah ritual. Sekarang
banyak ditemukan masjid dibangun secara bertingkat, dengan maksud agar
penggunaannya bisa untuk shalat (di lantai atas) dan juga untuk ruang serbaguna
(di lantai dasar). Atas pengalaman melihat masjid-masjid seperti inilah para
208
informan dalam posisi sebagai penerima manfaat wakaf ini meyakini bahwa
wakaf produktif bisa dikembangkan, bahkan di masjid itu sendiri. Mereka yakin
bahwa usaha-usaha yang dilakukan arahnya adalah untuk bisa memenuhi
kebutuhan masyarakat.
Keyakinan seperti ini tentu saja menggambarkan adanya kepercayaan
(trust) masyarakat kepada nadzir. Artinya, warga masyarakat percaya bahwa
pengelolaan wakaf produktif pada akhirnya juga untuk kepentingan masyarakat.
Rasa percaya ini bahkan mengalami perluasan (extended) dengan menganggap
bahwa nadzir diperkenankan untuk mendatangkan investor yang mau
mengembangkan unit bisnis di lahan wakaf yang ada. Tentu saja keputusan yang
mungkin akan diambil disarankan melalui musyawarah nadzir yang
mengikutsertakan warga dan para sesepuh.
Ada berbagai jenis usaha yang direkomendasikan oleh warga. Diantaranya,
mauquf alaih Yayasan Darul Ulum, Jakarta Barat mengusulkan dibuatkan
penyewaan lapangan futsal, Yayasan Madrasah Ad-Dakwah mengusulkan
dibangun minimarket asalkan dibangun juga sekolah didekatnya, Yayasan Al-
Adzkar menginginkan dibukanya kembali lembaga keuangan mikro dalam bentuk
BMT yang sebelumnya pernah ada, dan lain sebagainya.
Masyarakat dalam hal ini direpresentasikan oleh mauquf alaih,
memberikan respon positif terhadap pengembangan wakaf produktif. Sama seperti
nadzir, hal tersebut juga bukan karena pemahaman mereka terhadap wakaf
produktif ini sudah cukup baik. Melainkan lebih kepada menjual jasa melalui
sistem sewa menyewa sudah banyak dilakukan orang dan sudah menjadi bagian
209
dari kultur masyarakat perkotaan. Jika hal tersebut dilakukan diatas tanah wakaf
menurut mereka tentu lebih baik karena akan memberikan tambahan dana
disamping kebutuhan masyarakat akan gedung serbaguna misalnya cukup tinggi.
E. Kendala dalam Pengembangan Wakaf Produktif
Kendala yang masih menjadi hambatan adalah tidak luasnya jaringan yang
mereka punya untuk mencari investor yang mau mengembangkan tanah wakafnya
itu. Beberapa responden dari yayasan wakaf yang diwawancarai mengeluhkan
sulitnya mencari donatur yang mau menanamkan sahamnya untuk membuka
bisnis di lingkungan tanah wakaf mereka.
Kendala lain yang diungkapkan oleh seorang responden yaitu bersumber
dari pihak internal itu sendiri, yakni adanya sesepuh masyarakat yang
berkeyakinan bahwa tanah wakaf tidak boleh dimanfaatkan untuk unit bisnis.
Menurutnya, kendala ini sebenarnya bisa dicarikan solusinya dengan cara
musyawarah antar warga. Dan keputusan yang mungkin akan berdampak pada
warga masyarakat memang biasanya dimusyawarahkan terlebih dahulu. Bisa jadi
penolakan sesepuh ini karena pengetahuan tentang wakaf produktif memang
masih minim dan belum mengerti apa itu yang dimaksud dengan pengelolaan
wakaf produktif.
Sementara itu, berdasarkan wawancara di tiga lokasi yang tidak
memungkinkan dikembangkannya wakaf peroduktif, kami mendapatkan
setidaknya menurut mereka ada 4 alasan terkendalanya pengembangan wakaf
produktif:
210
Pertama, cara berfikir merujuk pada fiqih klasik, di mana pemanfaatan
wakaf haruslah sesuai dengan peruntukannya dan sama sekali tidak bisa diubah.
Dalam kasus ini pengembangan aset produktif terkendala oleh keyakinan nadzir
dan masyarakat sekitar yang menghendaki pemanfaatan lahan kosong hanya boleh
untuk area pemakaman.
Kedua, nadzir tidak memiliki kapasitas untuk mengembangkan dan
menglola wakaf produktif. Padahal model pengelolaan wakaf produktif sangat
menuntut keahlian khusus dan pengelolaan yang profesional. Namun realitanya
sebagian besar nadzir tidak memiliki kemampuan tersebut.
Ketiga, keterbatasan lahan wakaf. Satu diantara empat yayasan wakaf yang
menyatakan tidak mungkin mengembangkan wakaf produktif beralasan bahwa
mereka tidak memiliki lahan sisa lagi. Sisa lahan yang ada biasanya sudah
digunakan untuk menampung jamaah shalat Idul Fitri dan Idul Adha dan
digunakan sebagai lokasi pemotongan kurban.
Keempat, adanya kekhawatiran jika pengembangan wakaf produktif akan
menimbulkan konflik kepentingan. Menurut sebagian nadzir, pengelolaan wakaf
seharusnya murni untuk ibadah, sebaiknya tidak dicampur adukkan dengan bisnis
dan uang. Jika sudah bercampur dengan uang, dikhawatirkan akan memicu
konflik kepentingan yang berakibat buruknya hunbungan sosial yang pada
akhirnya mengganggu kekhusukan ibadah.
Bab ini menganalisa 24 kasus yayasan wakaf dari pemanfaatan dan
pengelolaan aset, pemahaman nadzir dan masyarakat sekitar termasuk kendala-
211
kendala pengembangan wakaf produktif. Dari sini dapat dilihat bahwa walaupun
mayoritas wakaf adalah dalam bentuk sosial, ternyata pengelolaan yang bersifat
produktif sudah dilakukan oleh sebagian kecil wakaf yang ada. Pengelolaa ini
lebih banyak karena dorongan untuk mendapatkan tambahan dana untuk
operasional aset wakaf yang ada, dan bukanlah karena pemahaman yang
komprehensif mengenai wakaf produktif.
Latar belakang pendidikan, organisasi dan wawasan nadzir sangat berpengaruh
pada berkembang tidaknya yayasan wakaf dan pengelolaan yang produktif.
Sementara pekerjaan nadzir dan organisasi pengelolaan wakaf baik yang
dikelola secara perorangan maupun kelompok tidak memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap keberhasilan pengelolaan dan pengembangan aset wakaf.
Justru respon dan dorongan dari masyarakat secara tidak langsung memberi modal
sosial bagi pengembangan wakaf produktif.
Di Jakarta, model wakaf produktif yang paling tepat untuk dikembangkan
adalah berupa penyediaan jasa,dan penyediaan sewa bangunan dan lahan. Wakaf
di Jakarta sangat potensial untuk dikembangkan secara produktif karena tidak
hanya memiliki modal ekonomi yaitu aset yang bagus dan letaknya strategis,
tetapi juga memiliki modal sosial yang tinggi dilihat dari potensi nadzir serta
masyarakatnya. Walaupun saat ini belum ada upaya pengembangan yang
terstruktur, namun dengan potensi modal ekonomi dan potensi modal sosial yang
tinggi pengembangan wakaf ke arah produktif tidak akan sulit dilakukan.
212
222
VI
PENUTUP:
KESIMPULAN DAN SARAN
Jumlah lokasi tanah wakaf di Indonesia mencapai 415.980 lokasi dengan
luas wilayah mencapai 2.171.300.341.74 m2. Jika dikonversi ke dalam rupiah,
aset potensi wakaf ini sangat besar, diperkirakan minimal mencapai 1,085 triliun
rupiah.54
Di DKI Jakarta terdapat minimal 5.661 lokasi wakaf (atau 1.3% dari
total lokasi wakaf di Indonesia) dengan luas yaitu 9.357.945 m255
dan nilai sekitar
14 trilyun rupiah.56
Dengan potensi yang sedemikian besar, wakaf semestinya
dapat berkontribusi bagi persoalan bangsa terkait kesejahteraan dan perlindungan
terhadap masyarakat miskin.
Namun realita di lapangan menunjukkan bahwa potensi ini hanyalah
sekedar potensi yang tidak diberdayakan secara maksimal. Hampir semua wakaf
tanah di DKI Jakarta berorientasi pada wakaf untuk tujuan ibadah dan sosial
keagamaan yang berorientasi non-profit, bukanlah wakaf yang berorientasi
produktif. Dilihat dari peruntukannya, data tahun 2008 menunjukkan bahwa
54
Dengan perkiraan NJOP per meter adalah Rp. 500.000, yaitu angka di tengah-tengah 55
Perkembangan Sertifikasi Tanah Wakaf Per Propinsi seluruh Indonesia tahun 2010,
Direktorat Wakaf Kementrian Agama. Data 2010 ini sama dengan data tahun 2008. 56
Di Jakarta NJOP aset wakaf yang ditemukan adalah mulai dari 1,5 juta sampai 15 juta
rupiah. Perhitungan ini menggunakan angka minimal yaitu 1,5 juta rupiah dengan pertimbangan
adanya aset bangunan.
223
semua wakaf di Jakarta untuk tujuan non-profit di atas: untuk masjid/mushalla
(83,1%), madrasah/sekolah (8,7%), sosial (7,9%) dan makam (0,3%).57
Tentu saja wakaf ini memberi kontribusi besar dalam hal pemanfaatan
sosial. Namun secara ekonomi, mayoritas wakaf ini masih bergantung dari uang
zakat dan sedekah masyarakat untuk membiayai pengelolaannya. Usaha bidang
pendidikan yang banyak dilakukan, misalnya pendidikan usia dini, sekolah
formal, adalah bentuk usaha yang juga non-profit yang lebih mengutamakan
dakwah dan pelayanan sosial pendidikan. Karenanya walau sekolah-sekolah ini
menerima uang SPP atau pembayaran dari siswa, uang ini akan habis digunakan
untuk biaya operasional sekolah dan tidak bisa menghasilkan keuntungan yang
bisa disumbangkan lebih banyak lagi untuk kesejahteraan seperti halnya jika
dibuat unit bisnis.
Wakaf tipe ini sangat populer di Indonesia karena dapat dimanfaatkan
secara langsung (tidak perlu dikelola seperti aset hotel dan perkebunan) dan
karena didukung ajaran normatif yang sangat kuat pada masyarakat, khususnya
untuk mendirikan masjid dan mushalla.
Walaupun semua wakaf di Jakarta peruntukannya adalah wakaf sosial
yang bersifat non-profit, dan pemahaman masyarakat dan nadzir mengenai wakaf
produktif masih rendah, namun sebagian wakaf yang ada sudah memiliki unit
bisnis yang sifatnya profit. 11 dari 24 wakaf yang menjadi studi kasus dalam
penelitian ini adalah masjid yang memiliki unit bisnis seperti ruko, rumah
kontrakan, gedung pertemuan, dan koperasi. Keuntungan dari usaha ini sebagian
57
Laporan Perkembangan Kegunaan Sertifikasi Tanah Wakaf Kantor Wilayah
Departemen Agama Propinsi DKI Jakarta Tahun 2008.
224
dimanfaatkan untuk bantuan beasiswa, santunan dan membantu biaya operasional
masjid. Hal ini menjadi temuan penting yang bisa diambil sebagai model
pengembangan wakaf produktif di Jakarta.
Seberapa besar potensi wakaf produktif di Jakarta dilihat dari aset dan
nadzir? Studi ini menemukan empat tipologi wakaf terkait potensi wakaf
produktif. Pertama, potensi tinggi, yaitu wakaf yang memiliki aset besar dan
potensi nadzir tinggi. Kedua, potensi sedang, yaitu wakaf yang memiliki aset
besar dan potensi nadzir cukup. Ketiga, potensi kecil, yaitu wakaf yang memiliki
aset kecil dan potensi nadzir tinggi. Dan keempat adalah wakaf yang tidak
berpotensi untuk dikembangkan.
DKI Jakarta memiliki potensi wakaf produktif yang tinggi, karena 71%
dari wakaf yang ada termasuk kategori pertama dan kedua. Kategori ketiga
dengan potensi kecil berjumlah sekitar 17% saja. Dan sekitar 13% dari wakaf
yang ada di Jakarta tidak potensial atau sulit dikembangkan untuk wakaf produktif
lebih karena asset yang terbatas dan rigiditas nadzir serta masyarakat sekitar yang
bertahan pada paradigma wakaf yang konvensional.
Tingginya potensi pengembangan wakaf produktif ini berdasar pada pada
tiga hal yang saling terkait: (1) besarnya aset wakaf, (2) baiknya kapasitas nadzir,
dan (3) tingginya modal sosial. Dalam penelitian ini diketahui, rata-rata
pemanfaatan aset (tanah) wakaf mencapai 70 %. Sisa lahan yang ada sebagian
besar masih berupa lahan kosong. Namun aset bukanlah harga mati. Penelitian ini
menemukan bahwa kapasitas personal nadzir sangat menentukan baik buruknya
aset wakaf dikelola.
225
Kapasitas personal nadzir ini meliputi pemahaman tetang wakaf produktif,
latar belakang pendidikan dan pengalaman organisasi. Sementara ini, rata-rata
nadzir melakukan tugas kenadziran secara part-time. Hal ini ternyata tidak
memberikan pengaruh pada baik buruknya pengelolaan wakaf. Begitu juga, nadzir
kelompok atau perorangan tidak memberi pengaruh signifikan terhadap
keberhasilan pengelolaan dan pengembangan aset wakaf. Justru yang sangat
mempengaruhi adalah latar belakang pendidikan nadzir, pengalaman organisasi
atau network serta wawasannya, serta faktor modal sosial yaitu dukungan dan
kepercayaan masyarakat.
Modal sosial di sini diterjemahkan dengan dukungan masyarakat untuk
memproduktifkan wakaf, kepercayaan (trust) masyarakat pada yayasan wakaf,
dan termasuk kepada nadzir. Trust dalam banyak kasus menjadi ujung kunci
suksesnya pengelolaan wakaf dan munculnya unit-unit bisnis yang produktif.
Justru di DKI Jakarta modal sosial inilah yang telah mendorong wakaf produktif
yang dimiliki oleh masjid.
Walaupun pemahaman nadzir dan masyarakat tentang wakaf produktif
masih rendah, masyarakat sudah memberikan dorongan kepada nadzir untuk
mengelola aset wakaf secara produktif. Hampir 99% nadzir menyambut baik dan
mendukung semangat dan ide pengembangan wakaf produktif. Begitupun dengan
respon masyarakat, yang dalam hal ini direpresentasikan oleh mauquf ‘alaih,
sebagian besar dari mereka mendukung pemanfaatan wakaf produktif ini.
Adanya 11 wakaf yang sudah memiliki unit bisnis bukan didasarkan pada
pengetahuan mereka tentang pentingnya mengembangkan wakaf produktif,
226
melainkan atas inisiatif nadzir dan masyarakat untuk mencari sumber dana lain
untuk memenuhi kebutuhan operasional dan perawatan aset wakaf yang sudah
mereka miliki. Pengembangan wakaf produktif melalui praktek sewa menyewa
dipilih karena mudah dan sudah merupakan bagian dari kultur masyarakat kota.
Dari sini dapat dilihat bahwa –walaupun masih pada tahap yang
permulaan-- wakaf di DKI Jakarta sudah mulai masuk pada sektor ekonomi. Dan
ini adalah indikator baik menuju ke arah wakaf produktif. Wakaf produktif tidak
bisa terlepas dari sektor ekonomi dan memang harus masuk pada pergerakan
ekonomi masyarakat. Hal inilah yang terjadi pada perkembangan wakaf di dunia
Islam pada abad ke 16 dan 17, misalnya di Cairo. Di kota ini, hampir semua sektor
ekonomi, baik itu perdagangan, pertanian, sewa menyewa, pabrik makanan, toko-
toko, hotel, merupakan aset wakaf. Wakaf komersial dan industri ini berkembang
pesat, untuk membiayai wakaf sosial, fasilitas umum, dan kesejahteraan
masyarakat.58
Dan berkembangnya wakaf produktif di Singapura juga mengarah
pada aspek bisnis komersial yang memang menjadi ranah wakaf produktif agar
mendapatkan profit yang nantinya dimanfaatkan untuk bantuan sosial.
Model pengembangan wakaf produktif di Jakarta tidak harus memiliki
nilai produksi –misalnya perikanan, peternakan dan pertanian—yang sulit
mendapatkan lahan. Akan tetapi lebih dapat diarahkan pada penyediaan fasilitas
umum seperti gedung serbaguna, penyediaan jasa simpan pinjam seperti koperasi
syariah dan sewa lahan seperti sewa ruko dan lahan parkir. Ke depan, harus mulai
58
Doris Behrens-Abouseif, Egypt‘s Adjustment to Ottoman Rule Institutions, Waqf and
Architecture in Cairo (16th and 17th Centuries) (Leiden: EJ Brill, 1994), h. 90.
227
dipikirkan pemanfaatan aset wakaf untuk penyediaan fasilitas umum seperti hotel,
apartemen, pertokoan dan gedung perkantoran.
Kendala pengelolaan dan pengembangan wakaf produktif bisa disebabkan
faktor internal dan faktor external diantaranya: (1) pemahaman nadzir dan
masyarakat yang sangat berorientasi fikih yang menganggap wakaf harus sesuai
peruntukkan awal, dan tidak bisa dirubah. (2) Kekhawatiran akan timbulnya
perselisihan yang disebabkan oleh uang, (3) rendahnya kapasitas sumber daya
pengelola wakaf dalam bidang administrasi dan bisnis. Sementara dari faktor
eksternal adalah, (1) membutuhkan dana yang besar, (2) sulitnya mencari investor,
(3) tidak tersedianya lahan yang cukup.
Tentu saja potensi wakaf produktif yang tinggi di DKI Jakarta ini perlu
didorong dan difasilitasi agar gerakan ke arah wakaf produktif semakin
mengemuka. Di bawah ini beberapa saran untuk mendorong berkembangnya
wakaf produktif di DKI dan juga secara umum di Indonesia.
1. Sosialisasi dan edukasi mengenai tata kelola administrasi perwakafan yang
baik, serta pengelolaan wakaf yang akuntabel dan transparan kepada
masyarakat. Sosialisasi ini sebaiknya tidak melulu melalui seminar,
workshop, pelatihan, atau melalui media verbal seperti khutbah Jum’at dan
media tulis seperti majalah. Studi komparasi antar nadzir dengan melihat
langsung pengelolaan yang dianggap sukses lebih bisa memberikan
pengetahuan secara kongkret.
2. Pengarusutamaan (mainstreaming) serta advokasi (pemberdayaan) wakaf
produktif. Pengarus-utamaan ini harus dilakukan oleh Direktorat Wakaf
228
kementrian Agama (sampai ke kantor wilayah) dan juga Badan Wakaf
Indonesia dalam semua kegiatan mengenai wakaf. Pengarus-utamaan ini
harus mengarah pada tata kelola administrasi yang baik, merubah
pemahaman wakaf yang konvensional menjadi kontekstual, dan juga
membawa wakaf pada ranah bisnis dan ekonomi komersial.
3. Advokasi atau pemberdayaan terkait wakaf produktif. Pemberdayaan tidak
bisa dilakukan dengan cara memberikan modal begitu saja kepada yayasan
wakaf. Pola seperti ini sama sekali tidak efektif dan hanya akan membuang
anggaran, selain bisa membuka peluang korupsi. Advokasi harus
dilakukan dengan melakukan kerjasama tiga lembaga: lembaga non
pemerintah seperti lembaga swadaya masyarakat yang bergerak pada
bidang advokasi dan sudah terlatih melakukan pemberdayaan, lembaga
yang bergerak di bidang ekonomi dan bisnis, dan Badan Wakaf Indonesia
atau Kementrian Agama yang mensupervisi. Hanya yayasan wakaf yang
potensial yang bisa menjadi target group kegiatan ini.
4. Membuat blue print wakaf produktif. Pembuatan blue print ini harus
melibatkan semua stakeholder wakaf: perwakilan dari yayasan wakaf,
Kementrian Agama, Badan Wakaf Indonesia, ulama, pemerintah daerah,
lembaga ekonomi dan perdagangan, serta pelaku bisnis.
5. Membuat pilot project wakaf produktif yang serius dan dapat sustainable.
Pilot project ini merupakan salah satu bentuk advokasi yang bisa dilakukan
dengan kerjasama dengan lembaga penelitian dan pemberdayaan
masyarakat.
229
6. Mendorong terbentuknya forum silaturrahmi nadzir untuk menyediakan
wadah bagi mereka bertukar informasi, pengalaman dan jaringan.
7. Meningkatkan peran Badan Wakaf Indonesia agar memiliki kapasitas lebih
sehingga dapat menyediakan layanan konsumen (customer service).
Layanan ini dapat mencakup pelayanan sertifikat wakaf, konsultasi
mengenai segala hal yang berhubungan dengan wakaf, sampai pada
penyediaan data wakaf yang diperlukan masyarakat.
8. BWI juga diharapkan dapat memainkan peran penting dan strategis dengan
memediasi pihak-pihak yang berkonflik, mengambil alih pengelolaan aset
wakaf yang tidak efektif dan tidak mendapat dukungan masyarakat sekitar.
Sampai pada memfasilitasi pihak investor dan profesional dalam
pengembangan wakaf produktif di Indonesia.
Untuk jangka panjang pemerintah dan Badan Wakaf Indonesia harus
mendorong perubahan paradigma masyarakat terkait wakaf, dari yang tradisional
menuju wakaf yang modern, kontekstual, dan produktif. Pemahaman wakaf yang
kontekstual perlu terus disuarakan mulai dari tingkat pengambil kebijakan, tokoh
masyarakat, pengelola aset wakaf dalam hal ini nadzir, dan masyarakat umum
termasuk di dalamnya pengurus masjid.
Selain itu, penelitian-penelitian berupa action research yang mengarah
pada pengembangan wakaf produktif harus dilakukan. Misalnya, wakaf produktif
dalam bidang perdagangan, bidang saham, bidang sektor riil, dan bidang
perhotelan.
230
Terakhir, penelitian ini menemukan bahwa DKI Jakarta memiliki potensi
wakaf produktif yang cukup baik. Pilihannya ada pada kita semua, pada
masyarakat, pada pemerintah dan pada masyarakat Muslim, akankah potensi
wakaf produktif ini hanya akan menjadi potensi di atas kertas saja, atau dapat
benar-benar menjadi potensi riil sehingga slogan wakaf untuk kesejateraan
masyarakat bisa benar-benar terwujud.
Wallahu ‘A’lam bi Al-Shawab
231
232
Lampiran 1
PEDOMAN WAWANCARA NAZIR
PROFIL NADZIR
1. Nama, usia, latar belakang pendidikan, pekerjaan, organisasi, pengalaman
organisasi, kedudukan dalam masyarakat
2. Alamat lengkap, nomer telepon, handphone, email
3. Apakah menjadi nadzir untuk tanah wakaf lain? Berapa banyak, dimana
saja (sebutkan)
4. Apakah menjadi nadzir untuk harta benda wakaf lain selain tanah wakaf
(sebutkan, plus perkiraan nilainya)
5. Alasan dipilihnya anda sebagai nadzir
6. Bentuk nadzir (perseorangan, kelompok, lembaga)
7. Posisi nadzir dalam kelompok, lembaga (ketua, sekretaris, bendahara atau
anggota)
8. Sejauh mana peran nadzir dalam menentukan kebijakan pemanfaatan dan
hasil tanah wakaf
ASET TANAH WAKAF
1. Sejarah singkat tanah wakaf
2. Peruntukan tanah wakaf (siapa yg menentukan peruntukannya, apakah
pernah ada perubahan peruntukkan)
3. Akad pemanfaatan hasil harta wakaf (keluarga, masyarakat umum)
4. No sertifikat (minta copy dokumen terkait)
233
5. Luas tanah, berbatasan dgn apa (sisi kanan, kiri, depan belakang)
6. Letak tanah wakaf (perumahan, perkantoran, desa, kota dll)
7. Jarak lokasi tanah wakaf dengan pusat bisnis/perdagangan seperti pasar,
kantor, ruko dll
8. Sisa lahan yang bisa dipergunakan
9. NJOP tanah saat ini,
10. Perkiraan nilai asset tanah dan bangunan
11. Unit bisnis yang sudah ada (sebutkan) dan siapa dan bagaimana
pengelolaannya
12. Management pengelolaan tanah wakaf (tradisional, modern)
13. Pendapatan hasil dari tanah wakaf (usaha, zakat, infaq shodaqoh)
14. Pemanfaatan hasil tanah wakaf (biaya operasional, honor, investasi usaha
dll)
15. Apakah ada investasi (masyarakat, pengusaha/pemerintah/bank/lembaga
zakat) terhadap tanah wakaf tersebut.
PENGETAHUAN NADZIR
1. Pengetahuan anda terhadap hukum, jenis dan manfaat wakaf
2. Pengetahuan anda terhadap wakaf produktif
3. Tanggapaan anda terhadap wakaf produktif
KEPERCAYAAN TERHADAP NADZIR
1. Bagaimana hasil dari tanah wakaf ini dikelola dan dimanfaatkan
2. Bagaimana peran anda dalam pengelolaan tanah wakaf ini
234
3. Apakah pernah ada keberatan/komplain dari pihak wakif maupun mauquf
alaih terhadap pemanfaatan hasil tanah wakaf
4. Tanggapan anda memanfaatkan tanah wakaf ini untuk diproduktifkan
5. Menurut anda tanah wakaf ini dapat diproduktifkan dengan cara seperti
apa dan apa yang harus dilakukan dan faktor apa yang dibutuhkan agar
pengembangan tanah wakaf tersebut berjalan baik
6. Bagaimana pandangan anda Jika ada investasi dari luar misalnya
pengusaha/pemerintah/bank/lembaga zakat untuk mengembangkan unit
usaha ditanah wakaf ini.
235
PEDOMAN WAWANCARA MAUQUF ALAIH
PROFIL MAUQUF ALAIH
1. Nama, usia, latar belakang pendidikan, pekerjaan, organisasi,
pengalaman organisasi, kedudukan dalam masyarakat
2. Alamat lengkap, nomer telepon, handphone, email
3. Apakah menjadi nadzir untuk tanah wakaf lain dan atau harta wakaf
lain? Berapa banyak, dimana saja (sebutkan)
PENGETAHUAN MAUQUF ALAIH
1. Pengetahuan anda terhadap hukum, jenis dan manfaat wakaf
2. Pengetahuan anda terhadap wakaf produktif
3. Tanggapan anda terhadap wakaf produktif
KEPERCAYAAN MAUQUF ALAIH
1. Apakah anda tahu sejarah singkat tanah wakaf tsb (peruntukan,
pemanfaatan, luas tanah, alasan pemilihan Nadazir)
2. NJOP tanah saat ini dan perkiraan nilai asset tanah dan bangunan pada
tanah wakaf tersebut
3. Unit bisnis yang sudah ada (sebutkan) dan (siapa dan bagaimana
pengelolaannya)
4. Management pengelolaan tanah wakaf (tradisional, modern)
5. Pendapatan hasil dari tanah wakaf (usaha, zakat, infaq shodaqoh)
236
6. Pemanfaatan hasil tanah wakaf (biaya operasional, honor, investasi usaha
dll)
7. Apakah ada investasi (masyarakat, pengusaha/pemerintah/bank/lembaga
zakat) terhadap tanah wakaf tsb.
8. Tanggapan bapak terhadap nadzir tanah wakaf (personal, managerial,
jaringan)
9. Apakah anda tahu mengapa yang bersangkutan dipilih sebagai nadzir
10. Sejauh mana peran nadzir dalam menentukan kebijakan pemanfaatan dan
hasil tanah wakaf
11. Apakah pernah ada keberatan/komplain dari pihak wakif maupun mauquf
alaih terhadap pemanfaatan hasil tanah wakaf
12. Apakah anda setuju jika tanah wakaf tersebut diproduktifkan
13. Menurut anda tanah wakaf ini dapat diproduktifkan dengan cara seperti
apa dan apa yang harus dilakukan dan factor apa yang dibutuhkan agar
pengembangan tanah wakaf tersebut berjalan baik
14. Bagaimana pandangan anda Jika ada investasi dari luar misalnya
pengusaha/pemerintah/bank/lembaga zakat untuk mengembangkan unit
usaha ditanah wakaf ini.
237
LAMPIRAN 2
DAFTAR NAMA WAWANCARA WAKAF
No Nama Tempat Nadzir Mauquf Alaih
1 Masjid Al-Birru M. Zainuddin Muhammad Yunus
2 Mahad Al-Islam H. Abdul Malih H. Saman
3 Yayasan Darul Azkar Mudjaidi Maulana Syarif Ahmad Muslim
4 Yayasan Asyirotusafiiyah H. Miftahurahmat Hariri
5
Yayasan Husnayain Masjid Abu
Bakar KH. A. Cholil Ridwan, Lc Syamsudin
6 Yayasan Siratul Rahman H. Ahmad Azhari H. Nasrudin
7 Madrasah Ad-Da'wah H. Abdul Mubin HM, S.Ag Furqon S.Ag
8 Masjid Al-Mukaramah H. Syaifuddin, Ah.MG H.M Zein Ardini
9 Masjid Baiturrahman Ust. Abdul KhafiKhalili, M.Hi Drs. H. Abdul Wasi’ Sholeh
10 Masjid Nurul Falah Tanah Kusir Drs.H .Sahrir Tanjung, M.Ba Ir. Munadi
11 Masjid Darusalamah H. Mukhtar H. M. Yasin
12 Masjid Nurul Falah Lak Bulus Drs. H. Ahmad Sarnubi Drs. Choiruddin
13 Masjid Al-Munawar Drs.H Ali Nurdin, MM H. M hasan bin H muhyiddin
14 Masjid Darussalam Al-Amien H. Hasanuddin Untung Susohpati
15 Masjid Al-Fidausi H. Asnawi Mursan Syamsudin
16 Masjid Al-Inayah Agus Ridwan Hj. Saidah
17 Masjid Darul Ulum H. Hamzah Sudrajat, M.Pd
18 Masjid Al-Abrar Sanusi Zaenudin
19 Masjid Al-Muflihun Mahumet
20
Yayasan Wakaf Masjid Al-
Barkah KH. Abdul Shomad Naisin Yusuf
21
Yayasan Keramat Payungan
Hidayatullah KH. Zaenuddin Nurudin
238
22 Masjid Al-Muhtar Muhdar M. Muhammad
23 Masjid Al-Hidayah Ir. Adji Pamungkas M. Muhammad
24 Masjid Al-Falah H. Hulaimi Muhammad Ali Idris
239
LAMPIRAN 3
DAFTAR NAMA 24 ASET WAKAF
No Nama Wilayah Nama Nadzir
Total
Luas
Lahan
Lahan
Digunakan
Sisa
Luas
Lahan
Perkiraan
Nilai Aset Peruntukkan Realisasi
Pemanfaatan
Wakaf Produktif
M2 M2 M2 Milyar
Rupiah
Kelompok Pertama: Aset Besar Potensi Nadzir Tinggi
1 Yayasan Madrasah Ad-
Dakwah Jakarta Barat H. Abdul Mubin, Sag
7741 3600 4141 92
Masjid & Lembaga
Pendidikan Masjid & Sekolah Sekolah
2 Yayasan Shirathul
Rahman Jakarta Barat H. Ahmad Azhari
12000 8000 4000 48
Lembaga
Pendidikaan
Masjid & Lembaga
Pendidikan Ruko, Sekolah
3 Yayasan Masjid Al
Mukarromah Jakarta Utara H. Syaifuddin, AH. MG
3595 730 2865 38
Masjid & Lembaga
Pendidikan Masjid
Masih dalam tahap
pembangunan
gedung
4
Yayasan Husnayain
(Masjid Abu Bakar Ash-
Shiddiq)
Jakarta Timur KH. A. Cholil Ridwan,
LC 3200 900 2300 30 Islamic Center
Masjid & Lembaga
Pendidikan
Sekolah, Ruko,
Alfamart
5 Yayasan Darul Azkar Jakarta Selatan Mudjaidi Maulana Syarif 3008 1000 2000 22
Masjid & Lembaga
Pendidikan
Masjid & Lembaga
Pendidikan Gedung Serbaguna
6 Yayasan Nurul Falah
Tanah Kusir Jakarta Selatan Syahirir Tanjung
2650 1929 1650 20 Masjid
Masjid & Taman
Kanak-kanak
Gedung Serbaguna
& Taman Kanak-
kanak
7 Masjid Nurul Falah Jakarta Selatan Drs. H. Ahmad Sarnubi 6524 5000 1524 15 Masjid Masjid
Gedung Serbaguna,
KBIH, Koperasi
8 Masjid Al-Falah Jakarta Selatan H. Hulaimi
1660 1000 660 10 Masjid
Masjid, KJKS, Aula,
Taman Pendidikan Al-
Quran
KJKS, Aula, TPA,
Sewa Parkir Mobil
Kelompok Kedua: Aset Besar Potensi Nadzir Cukup
9 Yayasan Keramat
Payungan Hidayatullah Jakarta Timur KH. Zaenuddin
5269 2000 3269 20 Islamic Center
Masjid & Taman
Pendidikan Al-Quran
Pendidikan Usia
Dini
10 Yayasan Wakaf Masjid
Al-Barkah Jakarta Selatan
KH. Abdul Shomad
Naisin 5015 3015 2000 20
Masjid & Lembaga
Pendidikan Masjid & Sekolah
Sekolah Madrasah
Ibtidaiyah
240
11 Masjid Al-Muhtar Jakarta Timur Muhdar 2400 437 1900 10 Masjid Masjid
Taman Pendidikan
Alquran
12 Yayasan Masjid Al-Birru Jakarta Selatan M. Zainudin 2166 866 1300 5 Masjid
Masjid & Taman
Pendidikan Al-Quran Kontrakan
13 Yayasan Al-
Asyirostusyafi’iyah Jakarta Selatan H. Miftahurahmat
3200 2000 1200 5
Masjid & Lembaga
Pendidikan
Masjid , Sekolah,
Pesantren
Lahan Parkir,
Kantin, Sekolah
14 Masjid Jami Darussalamah Jakarta Selatan H. Mukhtar 3553 2550 1003 3 Masjid Masjid
Sewa lahan untuk
Pemancar Telkom
15 Masjid Al-Hidayah Jakarta Timur Ir. Adji Pamungkas 3700 2700 1000 2 Masjid Masjid & Sekolah Gedung Serbaguna
16 Masjid Al-Fidaus Jakarta Barat H. Asnawi 5000 4500 500 2 Masjid Masjid & Sekolah Sekolah
17 Yayasan Darul Ulum Jakarta Barat H. Hamzah 1200 1000 200 1 Sosial dan Dakwah Sekolah Sekolah
Kelompok Ketiga: Aset Kecil Potensi Nadzir Tinggi
18 Masjid Al-Munawwar Jakarta Selatan Drs. Ali Nurdin, MM 3600 2600 1000 10 Masjid dan Makam Masjid & Makam Tidak ada
19 Masjid Al- Abraar Jakarta Pusat Sanusi 2100 1100 1000 5 Masjid
Masjid & Taman
Pendidikan Al-Quran
Taman Pendidikan
Alquran
20 Yayasan Masjid
Baiturrahman Jakarta Utara
Abdul Khafif Khalili, M.
HI 2500 1500 1000 4 Masjid Masjid Kontrakan
21 Yayasan Nur Assailina
(Ma’had Al-Islam) Jakarta Selatan H. Abdul Malih
1600 840 840 2 Sekolah Sekolah Sekolah
Kelompok Keempat: Tidak Mengembangkan Wakaf Produktif
22 Masjid Darussalam Al-
Amin Jakarta Utara H. Hasanuddin
4000 2500 1500 3.5 Masjid
Masjid & Taman
Pendidikan Al-Quran
Taman Kanak-
kanak
23 Masjid Al-Muflihun Jakarta Selatan Mahumet 2000 1000 1000 3 Masjid dan Makam Masjid dan Makam Kontrakan
24 Masjid Al-Inayah Jakarta Selatan Agus Ridwan 1000 400 600 3 Masjid Masjid & Sekolah Sekolah
241
LAMPIRAN 4
PERKEMBANGAN SERTIFIKASI TANAH WAKAF PER PROVINSI SELURUH INDONESIA TAHUN 2010
NO. PROPINSI
JUMLAH TANAH WAKAF
S T A T U S
PROSENTASE
SERTIFIKAT
TANAH
WAKAF
Sudah
Bersertipikat
Belum
Bersertipikat
Belum Bersertipikat
Lokasi Luas M2 Dalam Proses
BPN
Dalam Prosos
KUA dan
Sudah ber
AIW/PAIW
Belum
AIW/PAIW
1 2 3 4 5 6 7 8 10 11
1 NANGGROE ACEH
DARUSSALAM
27,416
1,333,233,627.26
12,245
15,171
6,782
5,502
2,887 45
2 SUMATERA UTARA
16,084
32,293,815.00
7,497
8,587
1,721
4,400
2,466 47
3 SUMATERA BARAT
6,093
7,463,355.00
4,167
1,926
1,164
945
161 68
4 R I A U
7,897
97,448,625.81
2,761
5,136
1,242
295
3,599 35
5 JAMBI
6,316
14,801,083.98
4,153
2,163
74
2,090
- 66
6 SUMATERA SELATAN
8,513
2,854,715.96
3,605
4,908
1,567
2,040
1,301 42
7 BENGKULU
924
1,034,246.00
756
168
75
301
- 82
8 LAMPUNG
15,433
23,172,952.00
9,402
6,031
6,031
-
- 61
9 DKI JAKARTA
5,661
9,357,945.00
4,172
1,489
213
1,276
- 74
10 JAWA BARAT
70,749
116,662,017.81
45,401
25,348
-
25,348
- 64
11 JAWA TENGAH
96,874
82,009,136.22
78,942
17,932
8,378
6,308
3,246 81
242
12 YOGYAKARTA
7,359
2,485,518.00
6,715
644
289
321
55 91
13 JAWA TIMUR
74,429
58,239,272.20
54,193
20,236
4,926
15,310
- 73
14 BALI
1,217
1,899,343.00
1,076
141
32
45
64 88
15 NUSA TENGGARA
BARAT
11,793
83,060,488.00
7,635
4,158
3,589
569
- 65
16 NUSA TENGGARA
TIMUR
2,021
5,685,153.25
1,375
646
185
18
193 68
17 KALIMANTAN BARAT
5,123
29,059,836.00
2,062
3,061
1,007
4,116
- 40
18 KALIMANTAN TENGAH
2,502
40,988,556.66
1,768
734
53
165
516 71
19 KALIMANTAN
SELATAN
8,772
110,208,613.54
7,271
1,501
719
759
23 83
20 KALIMANTAN TIMUR
3,535
14,165,538.94
1,277
2,258
399
1,859
- 36
21 SULAWESI UTARA
897
1,457,963.00
310
587
55
532
- 35
22 SULAWESI TENGAH
3,197
5,782,021.00
1,874
1,323
664
612
47 59
23 SULAWESI SELATAN
9,356
14,476,007.00
5,748
3,608
1,892
1,716
- 61
24 SULAWESI TENGGARA
1,827
4,366,536.00
1,699
128
69
262
- 93
25 MALUKU
597
5,552,484.00
270
327
58
269
- 45
26 MALUKU UTARA
1,467
16,135,042.00
887
580
417
163
- 60
27 PAPUA
339
694,466.00
135
204
87
155
184 40
28 BANTEN
13,480
35,618,445.00
10,418
3,062
13,480
-
- 77
29 BANGKA BELITUNG
1,189
3,317,702.00
1,040
149
19
130
- 87
30 GORONTALO
1,878
4,537,827.11
769
1,109
194
915
- 41
243
31 SULAWESI BARAT
1,834
3,671,778.00
683
1,151
460
691
- 37
32 KEPULAUAN RIAU
925
9,026,093.00
281
644
162
404
78 30
33 PAPUA BARAT
283
540,138.00
67
216
54
-
- 24
J U M L A H
415,980
2,171,300,341.74
280,654
135,326
56,057
77,516
14,820 67
Jakarta, 5 Nopember 2010
Direktur Pemberdayaan Wakaf
Drs. H. Masyhudi,MM
Nip. 195107052006031001
244
LAMPIRAN 5
PERKEMBANGAN SERTIFIKASI TANAH WAKAF
PER PROVINSI SELURUH INDONESIA TAHUN 2006
NO. PROPINSI
JUMLAH TANAH WAKAF S T A T U S PROSENTASE
SERTIFIKAT
TANAH
WAKAF Lokasi Luas M2 Sertifikat Terdaftar di
BPN
Belum
Terdaftar
di BPN
Belum
AIW/PAIW
1 2 3 5 6 7 8 9 10
1 NANGGOE ACEH DARUSSALAM
27,511 64,176,332.00
13,919
88 47 13,457 51 %
2 SUMATERA UTARA
16,189 31,670,410.00
6,530
4,888 3,983 788 40 %
3 SUMATERA BARAT
5,314 6,546,488.00
4,273
1,119 22 (100) 80 %
4 R I A U
7,449 1,222,257.00
3,300
312 32 3,805 44 %
5 JAMBI
5,977 313,377,088.00
3,458
27 1,296 1,196 58 %
6 SUMATERA SELATAN
7,055 34,564,356.00
4,473
1,251 1,700 (369) 63 %
7 BENGKULU
3,976 9,381,617.00
1,650
2,212 - 114 41 %
8 LAMPUNG
21,144 23,172,952.00
9,943
5,803 - 5,398 47 %
9 DKI JAKARTA
6,767 9,581,510.00
5,036
1,714 117 (100) 74 %
245
10 JAWA BARAT
74,284 58,755,959.00
67,580 - 11,096 (4,392) 91 %
11 JAWA TENGAH
88,245 54,909,003.00
73,757
9,055 4,724 709 84 %
12 YOGYAKARTA
6,641 2,190,763.81
6,357
290 28 (34) 96 %
13 JAWA TIMUR
63,264 48,055,563.63
54,134
5,285 4,145 (300) 86 %
14 BALI
811 1,247,938.00
765
23 43 (20) 94 %
15 NUSA TENGGARA BARAT
11,304 84,821,936.00
6,891
369 76 3,968 61 %
16 NUSA TENGGARA TIMUR
1,232 4,672,084.98
1,154
117 24 (63) 94 %
17 KALIMANTAN BARAT
5,064 28,794,983.00
2,718
1,180 1,272 (106) 54 %
18 KALIMANTAN TENGAH
2,219 4,830,556.00
1,777
324 203 (85) 80 %
19 KALIMANTAN SELATAN
8,668 10,998,030.00
6,197 - - 2,471 71 %
20 KALIMANTAN TIMUR
2,523 3,711,692.00
1,630
13 101 779 65 %
21 SULAWESI UTARA
2,487 3,307,508.00
1,374
1,128 85 (100) 55 %
22 SULAWESI TENGAH
2,691 7,184,153.00
1,920
801 55 (85) 71 %
23 SULAWESI SELATAN
8,894 266,156,542.00
7,884
856 295 (141) 89 %
24 SULAWESI TENGGARA
2,158 4,562,396.00
1,699
69 262 128 79 %
25 MALUKU
1,906 29,066,523.00
968
988 - (50) 51 %
26 MALUKU UTARA
1,393 6,665,695.00
550
74 405 364 39 %
27 PAPUA
340 249,871,107.00
179
60 20 81 53 %
28 BANTEN
15,397 22,293,671.00
11,784
834 2,728 51 77 %
246
29 BANGKA BELITUNG
1,102 3,178,983.00
1,029
128 - (55) 93 %
30 GORONTALO
2,671 460,803,251.00
1,733
1,016 - (78) 65 %
J U M L A H
404,676 1,849,771,348.42
304,662
40,024 32,759 27,231 75
%
Jakarta, Desember 2006
Direktorat Pemberdayaan Wakaf
DR. Sumuran Harahap,M.Ag,MM,MH
NIP.1501912389
247
LAMPIRAN 6
Laporan Perkembangan Sertifikasi Tanah Wakaf
Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi DKI Jakarta
Tahun 2008
NO Kota Administrasi Jumlah
Sudah
bersertifikat
Sudah ada AIW/APAIW Belum
Sudah didaftar
BPN Belum didaftar BPN Bersertifikat
Lokasi Luas (m2) Lokasi Luas (m2) Lokasi Luas (m2) Lokasi Luas (m2) Lokasi Luas (m2)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
1 Jakarta Pusat 716 205,186 593 171,123 45 19,953 78 18,517 584 202,090
2 Jakarta Barat 1,028 330,480 775 282,039 54 6,832 199 41,609 253 48,441
3 Jakarta Timur 1,558 7,606,097 965 371,057 0 0 593 7,286,118 593 7,286,118
4 Jakarta Selatan 1,506 963,744 1,160 666,409 2 434 344 296,901 346 297,335
248
5 Jakarta Utara 853 248,030 679 192,593 112 43,514 62 11,923 174 55,437
Jumlah 5,661 9,353,538 4,172 1,683,221 213 70,733 1,276 7,655,070 1,950 7,889,422
LAMPIRAN 7
Laporan Perkembangan Kegunaan Sertifikasi Tanah Wakaf
Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi DKI Jakarta
Tahun 2008
No.
Kota Administrasi
Masjid Langgar/Musholla Madrasah/Sekolah Kuburan/Makam Sosial/lain-lain Letak Total
Keteran
gan Lokasi Luas M2 Lokasi Luas M2 Lokasi Luas M2 Lokasi Luas M2 Lokasi Luas M2 Strat
egis
Tdk
strategi
s
Tot
Lokasi Tot Luas M2
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
1
Jakarta
Pusat 314 137,141 307 29,400 34 16,864 0 0 61 26,188 0 0 716 209,593 0
2
Jakarta
Barat 363 155,566 513 75,112 96 74,486 2 2,990 54 22,326 0 0 1,028 330,480 0
3
Jakarta
Timur 470 254,850 814 113,533 164 117,542 10 100 100 7,120,072 0 0 1,558 7,606,097 0
4
Jakarta
Selatan 412 334,629 772 201,181 138 141,216 5 24,800 179 261,918 0 0 1,506 963,744 0
249
5
Jakarta
Utara 254 105,939 486 59,007 60 34,123 0 0 53 48,962 0 0 853 248,030
Jumlah 1,813 988,126 2,892 478,233 492 384,230 17 27,890 447 7,479,465 0 0 5,661 9,357,945 0