BAB I
PRESENTASI KASUS
I. Identitas Pasien
Nama : Tn. S
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Umur : 55 Tahun
Alamat : Kp. Gabus Tengah RT 02/01 Ds. Srimukti Bekasi Utara
Pekerjaan : Pedagang
Agama : Islam
Tgl. Masuk : 9 Juli 2013
Tgl. Pemeriksaan : 9 Juli 2013
II. Anamnesis
Anamnesis dilakukan dengan Alloanamnesis dan Autonamnesis
Keluhan Utama
Os mengeluh bengkak di seluruh badan sejak 2 bulan SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Kabupaten Bekasi dengan keluhan bengkak
di seluruh badan sejak 2 bulan SMRS. Bengkak awalnya dirasakan pada
tangan dan kaki yang lama kelamaan menjalar ke mata dan bengkak
dirasahakan makin parah. Bengkak pada mata sering dirasakan saat pagi hari.
Pasien juga mengeluh sulit buang air kecil sejak 1 bulan SMRS. Buang air
kecil dirasakan sakit dan pasien mengaku dalam satu hari pengeluaran urin
hanya kurang lebih 1 gelas aqua. Pasien mengaku urinnya sedikit berbusa.
Sejak 10 hari yang lalu pasien mengeluh nafsu makan berkurang dan pasien
sering memuntahkan kembali makanannya. Pasien mengeluh sakit pinggang
1
sejak 3 hari yang lalu dan pasien juga mengeluh sesak nafas sejak 3 hari yang
lalu. Pasien tidak mengeluh adanya demam.
Pasien mengaku sering mengkonsumsi obat-obatan warung sebelumnya.
Pasien juga mengaku selama sakit tidak pernah berobat ke dokter maupun
rumah sakit. Keluarga pasien berinisiatif dengan memberikan obat-obatan
herbal untuk mengatasi bengkak tetapi tidak ada perubahan.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengaku memiliki riwayat tekanan darah tinggi.
Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien mengaku tidak ada anggota keluarga yang mengalami sakit seperti
yang pasien alami sekarang.
III. Pemeriksaan Fisik
- Kesadaran : Composmentis
- GCS : E4M6V5
- Keadaan umum : Tampak sakit sedang
- Tekanan darah : 120/70 mmHg
- Nadi : 98 x / menit
- Pernapasan : 26 x / menit
- Suhu : 36,9°C
- Tinggi Badan : 168 cm
- Berat Badan : 60 kg
KEPALA
- Bentuk : Normal, simetris
- Rambut : Hitam, tidak mudah dicabut
- Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil
isokor kanan = kiri, refleks cahaya (+)
2
- Telinga : Bentuk normal, simetris, membran timpani intak, tidak
ada sekret yang keluar
- Hidung : Bentuk normal, septum di tengah, tidak deviasi
- Mulut : Bibir tidak sianosis, lidah tidak kotor, tidak hiperemis,
tidak ada nyeri menelan, tonsil T1-T1.
LEHER
- Bentuk normal, tidak ada deviasi trakhea, tidak ada pembesaran kelenjar
tiroid dan KGB, tidak ada massa, warna sama dengan kulit di sekitarnya.
THORAKS
- Inspeksi : Bentuk dada kanan = kiri simetris, pergerakan napas
kanan = kiri, iktus kordis tampak
- Palpasi : Fremitus vokal dan fremitus taktil kanan = kiri, iktus
kordis teraba di sela iga V garis midclavicula kiri, tidak terdapat thrill
- Perkusi : Paru → Sonor pada kedua lapang paru
→ Batas paru hati: sela iga VI garis midklavikularis
dextra
Jantung → Batas atas: sela iga III garis sternalis dextra
→ Batas kanan: sela iga V garis parasternalis
dextra
→ Batas kiri: sela iga VI garis axillaris anterior
sinistra
- Auskultasi : Paru → Pernapasan vesikuler, rhonki +/+, wheezing -/-
Jantung → Bunyi jantung I-II murni, reguler
ABDOMEN
- Inspeksi : Perut datar simetris, umbilikus tidak menonjol
- Auskultasi : Bising usus terdengar, dalam batas normal
- Perkusi : terdengar timpani di seluruh kuadran abdomen, shifting
dullness (-)
3
- Palpasi : tidak terdapat nyeri tekan maupun lepas, lien dan hepar
tidak membesar, tes undulasi negative, ballottement in toto negative
GENITALIA
Tidak terdapat kelainan, skrotum tidak membesar
EKSTREMITAS
- Superior : Akral hangat, tidak sianosis, terdapat edema pada kedua
tangan, tidak ikterik. CRT < 2”
- Inferior : Akral hangat, terdapat edema pada kedua kaki, tidak
terdapat sianosis, tidak terdapat ikterik. CRT < 2”
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium
Darah Rutin Tgl ( 09 -0 7 -2013)
Hemoglobin : 15,0 g/dl (14,0-16,0)
Leukosit : 5.700 103/µl (3,5-10,0)
LED : 5 mm/jam (< 20)
Basofil : 0 % (0)
Eosinofil : 1 % (0-3)
Batang : 1 % (2-6)
Segmen : 79 % (50-70)
Limfosit : 17 103/µl (1,0-5,0)
Monosit : 2 103/µl (0,1-1,0)
4
Eritrosit : 5,0 103/µl (3,8-5,8)
Hematokrit : 45,2 % (35,0-55,0)
Trombosit : 124 (duplo) 103/µl (150-400)
Kimia Darah
Protein Total : 4,6 g/100ml (6,6-8,7)
Albumin : 2,5 g/dl (3,4-4,8)
Globulin : 2,1 g/dl (1,3-2,7)
Gula Darah Sewaktu : 81 mg/dl (<170)
SGOT : 120 U/l (P: < 38, W: < 32)
SGPT : 90 U/l (P: < 41, W: < 31)
Ureum : 74 mg/dl 15-45
Creatinin : 0,8 mg/dl P: 0,7-1,2 ; W: 0,5-0,9
Urin
Warna : Kuning
Kejernihan : Jernih
Berat jenis : 1.025
Leukosit Esterase : - (negative)
Nitrit : - (negative)
Eritrosit : -
Protein : +3 (negative)
5
Glukosa : - (negative)
Keton : - (negative)
Urobilinogen : 0,3
Bilirubin : -
Leukosit : 1-2
Eritrosit : 0-1
Epitel : +
FOTO THORAKS
Kesan : Kardiomegali, efusi pleura
Resume:
Pasien laki-laki 55 tahun datang ke IGD RSUD Kabupaten Bekasi dengan
keluhan bengkak di seluruh badan sejak 2 bulan SMRS. Bengkak awalnya dirasakan
pada tangan dan kaki yang lama kelamaan menjalar ke mata dan bengkak dirasahakan
makin parah. Bengkak pada mata sering dirasakan saat pagi hari.
6
Pasien juga mengeluh sulit buang air kecil sejak 1 bulan SMRS. Buang air kecil
dirasakan sakit dan pasien mengaku dalam satu hari pengeluaran urin hanya kurang
lebih 1 gelas aqua. Pasien mengaku urinnya sedikit berbusa. Sejak 10 hari yang lalu
pasien mengeluh nafsu makan berkurang dan pasien sering memuntahkan kembali
makanannya. Pasien mengeluh sakit pinggang sejak 3 hari yang lalu dan pasien juga
mengeluh sesak nafas sejak 3 hari yang lalu
Pada pemeriksaan fisik didapatkan pasien tampak sakit sedang. Ditemukan edema
pada ekskremitas superior, inferior, dan pada palpebra.
Pada pemeriksaan Laboratorium darah didapatkan penurunan albumin : 2.5 g/dl,
peningkatan SGOT : 120 U/I dan SGPT : 90 U/I. Pada pemeriksaan urin lengkap
ditemukan protein : +3. Pada foto Thorax pasien terdapat kardiomegali serta kesan
efusi pleura.
Diagnosis Klinis : Hipoalbuminemia ec susp Sindroma Nefrotik
Diagnosis Banding :
- CHF
- Acute Renal Failure
- Pneumonia
Rencana Pemeriksaan :
- Cek Kadar Kolesterol darah
- Cek ASTO
Penatalaksanaan
Non-farmakologis:
- Tirah baring
- Diet tinggi albumin putih telur
Farmakologis:
7
- IVFD Asering 500cc/24 jam
- Oksigen 2 liter/menit
- Ranitidine 1 amp/12 jam
- Ceftriaxone 1g/12 jam
- Vitamin Albumin 2x1
- Captopril 1x 12.5 mg
Follow up:
Tanggal 10 Juli 2013
Keluhan :
Pasien mengeluh masih bengkak pada tangan dan kaki, bengkak pada palpebra (-). Pasien
juga masih mengeluh sulit buang air kecil dan volume urin sebesar 1 gelas aqua per hari
dengan urin masih berwarna merah gelap.
Pemeriksaan :
T: 110/80 mmHg, N: 80x/m, R: 24x/m, S: 36,4 oC
Mata : palpebra edema (-), konjungtiva anemis -/-, sclera ikterik -/-
Leher: KGB tidak teraba
Thorax : Cor : iktus kordis teraba, tidak terdapat thrill
batas atas : ICS II linea sternalis dextra
Batas kanan: ICS V linea parasternalis dextra
Batas kiri : ICS VI linea Axillaris sinistra
BJ I = BJ II murni, reguler
Pulmo : sonor pada kedua lapang paru, bunyi nafas vesicular, rhonki +/+
wheezing -/-
Abdomen : dalam batas normal
8
Genitalia : dalam batas normal
Ekskremitas : terdapat edema pada kedua kaki dan tangan
Hasil Lab : (10 Juli 2013)
Protein Total : 4,1 g/dl
Albumin : 2,3 g/dl
Globulin : 1,8 g/dl
Tanggal 11 Juli 2013
Pasien pulang paksa
Prognosis
Quo ad vitam : Dubia Ad Bonam
Quo ad functionam : Dubia Ad Bonam
Quo ad sanationam : Dubia Ad Bonam
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Sindroma nefrotik merupakan salah satu manifestasi klinik glomerulonefritis
(GN) ditandai dengan edema anasarka, proteinuria masif ≥ 3,5 g/hari, hipoalbuminemia <
3,5 g/dl, hiperkolesterolemia, dan lipiduria. Pada proses awal atau SN ringan untuk
menegakkan diagnosis tidak semua gejala tersebut harus ditemukan. Proteinuria masif
merupakan tanda khas SN, tetapi pada SN berat yang disertai kadar albumin serum
rendah ekskresi protein dalam urin juga berkurang.1
2.2 Etiologi
Sindrom nefrotik dapat disebabkan oleh GN primer dan sekunder akibat infeksi,
keganasan, penyakit jaringan penghubung (connective tissue disease), obat atau toksin,
dan akibat penyakit sistemik yang tercantum pada tabel 1.
Glomerulonefritis primer atau idiopatik merupakan penyebab SN yang paling
sering. Dalam kelompok GN primer, GN lesi minimal, glomerulosklerosis fokal
segmental, GN membranosa, dan GN membranoproliferatif merupakan kelainan
histopatologik yang sering ditemukan. Dari 387 biopsi ginjal pasien SN dewasa yang
dikumpulkan di Jakarta antara tahun 1990-1999 dan representative dilaporkan, GNLM
didapatkan pada 44,7%, GNMsP 14,2%, GSFS pada 11,6 %, GNMP pada 8,0% dan
GNMN pada 6,5%.1
10
Tabel 1. Klasifikasi dan Penyebab Sindrom Nefrotik
Glomerulonefritis primer :
1. GN Lesi Minimal (GNLM)
2. Glomerulosklerosis fokal (GSF)
3. GN membranosa (GNMN)
4. GN membranoproliperatif (GNMP)
5. GN proliferative lain
Glomerulonefritis sekunder akibat infeksi :
1. HIV, Hepatitis, Virus B dan C
2. Sifilis, malaria, skistosoma
3. TB, lepra
Keganasan :
Adenokarsinoma paru, payudara, kolon, limfoma Hodgkin, myeloma multiple, dan
karsinoma ginjal
Penyakit jaringan penghubung :
Lupus eritematosus sistemik, arthritis rheumatoid, MCTD (mixed connective tissue
disease)
Efek Obat dan Toksin :
Obat NSAID, preparat emas, penisilinamin, probenesid, air raksa, kapropril, heroin
Lain-lain :
DM, amiloidosis, pre-eklampsia rejeksi allograf kronik, refluks vesikoureter, atau
sengatan lebah.
Penyebab sekunder akibat infeksi yang sering dijumpai misalnya pada GN pasca
infeksi streptococcus atau infeksi virus hepatitis B, akibat obat misalnya obat
antiinflamasi non-steroid atau preparat emas organic, dan akibat penyakit sistemik
misalnya lupus eritematosus dan DM. 1
11
2.3 Patofisiologi
2.3.1 Hipoalbuminemia
Konsentrasi albumin plasma ditentukan oleh asupan protein, sintesis albumin dan
kehilangan protein melalui urin (Harrison). Pada SN hipoalbuminemia disebabkan oleh
proteinuria masif akibat penurunan tekanan onkotik plasma. Untuk mempertahankan
tekanan onkotik plasma maka hati berusaha meningkatkan sintesis albumin. Peningkatan
sintesis albumin hati tidak berhasil menghalangi timbulnya hipoalbuminemia. Diet tinggi
protein dapat meningkatkan sintesis albumin hati, tetapi dapat mendorong peningkatan
ekskresi albumin melalui urin. Hipoalbuminemia dapat pula terjadi akibat peningkatan
reabsorbsi dan katabolisme albumin oleh tubulus proksimal. 1
2.3.2 Edema
Edema pada SN dapat dijelaskan dengan teori underfill dan overfill. Teori
underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia mengakibatkan penurunan tekanan
onkotik plasma sehingga cairan bergeser dari intravaskuler ke jaringan interstisium dan
terjadi edema. Akibat penurunan tekanan onkotik plasma dan bergesernya cairan plasma
maka terjadi hipovolemia. Kemudian mengakibatkan stimulasi rennin-angiotensin-
aldosteron dan system saraf simpatis dan melepaskan vasopressin (antidiuretic hormone).
Hal tersebut mengakibatkan terjadinya retensi natrium dan air, yang kemudian akan
tersimpan di volume intravascular dan memicu kebocoran cairan dari intravascular ke
interstitium 2
Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium adalah defek renal utama.
Retensi natrium oleh ginjal menyebabkan cairan ekstraseluler meningkat sehingga terjadi
edema. Penurunan laju filtrasi glomerulus akibat kerusakan ginjal akan menambah retensi
natrium dan edema. Kedua mekanisme tersebut ditemukan secara bersamaan pada pasien
SN. Faktor seperti asupan natrium, efek diuretic atau terapi steroid, derjata gangguan
fungsi ginjal, lesi glomerulus, dan keterkaitan dengan penyakit jantung dan hati akan
menentukan mekanisme mana yang lebih berperan.2
12
2.3.3 Proteinuria
Proteinuria disebabkan oleh peningkatan permeabilitas kapiler terhadap protein
akibat kerusakan glomerulus. Dalam keadaan normal membrane basal glomerulus (MBG)
mempunyai mekanisme penghalang untuk mencegah kebocoran protein. Mekanisme
penghalang pertama berdasarkan ukuran molekul (size barrier) dan yang kedua
berdasarkan muatan listrik (charge barrier). Pada SN kedua mekanisme pertahanan
tersebut ikut terganggu. Selain itu konfigurasi molekul protein juga menentukan lolos
tidaknya protein melalui MBG. 1
2.4 Komplikasi Pada SN
2.4.1 Keseimbangan Nitrogen
Proteinuria masif pada SN akan menyebabkan keseimbangan nitrogen menjadi
negative. Penurunan massa otot sering ditemukan tetapi gejala ini tertutup oleh geja;la
edema anasarka dan baru tampak setelah edema menghilang. Kehilangan massa otot
sebesar 10-20% dari massa tubuh tidak jarang dijumpai pada SN. 1
2.4.2 Hiperlipidemia
Hiperlipidemia merupakan keadaan yang sering menyertai SN. Kadar kolesterol
umumnya meningkat sedangkan trigliserid bervariasi dari normal sampai sedikit
meninggi. Peningkatan kadar kolesterol disebabkan meningkatnya LDL, lipoprotein
utama pengangkut kolesterol. Kadar Trigliserid yang tinggi dikaitkan dengan peningkatan
VLDL. Selain itu ditemukan juga peningkatan IDL dan lipoprotein, sedangkan HDL
cenderung normal atau rendah. Mekanisme hiperlipidemia pada SN dihubungkan dengan
peningkatan sintesis lipid dan lipoprotein hati, dan menurunnya katabolisme. Semula
diduga hiperlipidemia merupakan hasil stimulasi non-spesifik terhadap sintesis protein
oleh hati. Karena sintesis protein tidak berkorelasi dengan hiperlipidemia disimpulkan
bahwa hiperlipidemia tidak langsung diakibatkan oleh hipoalbuminemia. Hiperlipidemia
dapat ditemukan pada SN dengan kadar albumin mendekati normal dan sebaliknya pada
pasien dengan hipoalbuminemia kadar kolesterol dapat normal. 1
13
Tingginya kadar LDL pada SN disebabkan peningkatan sintesis hati tanpa
gangguan katabolisme. Peningkatan sintesis hati dan gangguan konversi VLDL dan IDL
menjadi LDL menyebabkan kadar VLDL tinggin pada SN. Menurunnya aktivitas enzim
LPL (lipoprotein lipase) diduga merupakan penyebab berkurangnya katabolisme VLDL
pada SN. Peningkatan sintesis lipoprotein hati terjadi akibat tekanan onkotik plasma atau
viskositas yang menurun. Penurunan kadar HDL pada SN diduga akibat berkurangnya
aktivitas enzim LCAT (lecithin cholesterol acyltransferase) yang berfungsi katalisasi
pembentukan HDL. Enzim ini juga berperan mengangkut kolesterol dari sirkulasi menuju
hati untuk katabolisme. Penurunan aktivitas enzim tersebut diduga terkait dengan
hipoalbuminemia yang terjadi pada SN.1
2.4.3 Hiperkoagulasi
Komplikasi tromboemboli sering ditemukan pada SN akibat peningkatan
koagulasi intravascular. Mekanisme hiperkoagulasi pada SN cukup kompleks meliputi
peningkatan fibrinogen, hiperagregasi trombosit dan penurunan fibrinolisis. Gangguan
koagulasi yang terjadi disebabkan peningkatan sintesis protein oleh hati dan kehilangan
protein melalui urin. 1
2.4.4 Metabolisme Kalsium dan Tulang
Vitamin D merupakan unsure penting dalam metabolism kalsium dan tulang pada
manusia. Vitamin D yang terikat protein akan diekskresikan melalui urin sehingga
menyebabkan penurunan kadar plasma. Kadar 25(OH)D dan 1,25(OH)2D plama juga
ikut menurun sedangkan kadar vitamin D bebas tidak mengalami gangguan 1
2.4.5 Infeksi
Sebelum era antibiotic, ifeksi sering merupakan penyebab kematian pada SN
terutama oleh organism berkapsul. Infeksi pada SN terjadi akibat defek imunitas
humoral, selular, dan gangguan system komplemen. Penurunan IgG, IgA, dan gamma
globulin sering dijumpai pada pasien SN oleh karena sintesis yang menurun atau
katabolisme yang meningkat dan bertambah banyaknya yang terbuang melalui urin.
Jumlah sel T dalam sirkulasi berkurang yang menggambarkan gangguan imunitas selular.
14
Hal ini dikaitkan dengan keluarnya transferring dan zinc yang dibutuhkan oleh sel T agar
dapat berfungsi dengan normal. 1
2.4.6 Gangguan Fungsi Ginjal
Pasien SN mempunyai potensi untuk mengalami gagal ginjal akut melalui
berbagai mekanisme. Penurunan volume plasma dan atau sepsis sering menyebabkan
timbulnya nekrosis tubular akut. Mekanisme lain yang diperkirakan menjadi penyebab
gagal ginjal akut adalah terjadinya edema intrarenal yang menyebabkan kompresi pada
tubulus ginjal. 1
Sindrom nefrotik dapat progresif dan berkembang menjadi PGTA. Proteinuria
merupakan faktor resiko penentu terhadap progesivitas SN. Progresivitas kerusakan
glomerulus, perkembangan glomerulosklerosis, dan kerusakan tubulointerstisium
dikaitkan dengan proteinuria. Hiperlipidemia juga dihubungkan dengan mekanisme
terjadinya glomerulosklerosis dan fibrosis tubulointerstisium pada SN, walaupun peran
terhadap progresivitas penyakitnya belum diketahui secara pasti. 1
2.5 Tanda dan Gejala
Gejala pertama yang muncul meliputi anorexia,rasa lemah, urin berbusa
(disebabkan oleh konsentrasi urin yang tinggi). Retensi cairan menyebabkan sesak nafas
(efusi pleura), oligouri, arthralgia, ortostatik hipotensi, dan nyeri abdomen (ascites).
Untuk tanda dan gejala yang lain timbul akibat komplikasi dari sindromnefrotik.3
2.6 Diagnosis
Diagnose SN dibuat berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan laboratorium
berupa proteinuria massif >3,5 g/1,73 m2 luas permukaan tubuh/hari), hipoalbuminemia
<3 g/dl, edema, hiperlipideia, lipiduria, dan hiperkoagulabilitas. Pemeriksaan tambahan
seperti venerologi diperlukan untuk menegakkan diagnose thrombosis vena yang dapat
terjadi akibat hiperkoagulabilitas. Pada SN primer untuk menentukan jenis kelainan
histopatologi ginjal yang menentukan prognosis dan respon terhadap terapi, diperlukan
biopsi ginjal 1,3
15
Keberadaan albumin dalam urin dapat dideteksi dengan tes dipstick pada sample
urin. Pertama tama sampel urin ditampung pada wadah khusus. Kemudian dimasukkan
sebuah kertas strip yang dinamakan dipstick pada urin tersebut, kertas strip tersebut
kemudian akan berubah warna ketika terdapat protein di dalam urin. 3
2.7 Penatalaksanaan
Tata laksana sindrom nefrotik dibedakan atas pengobatan dengan imunosupresif
dan atau imunomodulator, dan pengobatan suportif atau simtomatik. Penatalaksanaan ini
meliputi terapi spesifik untuk kelainan dasar ginjal atau penyakit penyebab (pada SN
sekunder), mengurangi atau menghilangkan proteinuria, memperbaiki hipoalbuminemia,
serta mencegah dan mengatasi penyulit. 1,4
2.7.1 Terapi Kortikosteroid 1,2,3,4
Nefropati lesi minimal dan nefropati membranosa adalah dua kelainan yang
memberikan respon terapi yang baik terhadap steroid.Pengobatan dengan kortikosteroid
dibedakan antara pengobatan inisial dan pengobatan relaps.
Regimen penggunaan kortikosteroid pada SN bermacam-macam, di antaranya
pada orang dewasa adalah prednison/prednisolon 1-1,5 mg/kg berat badan/hari selama 4
– 8minggu diikuti 1 mg/kg berat badan selang 1 hari selama 4-12 minggu, tapering di 4
bulan berikutnya.Sampai 90% pasien akan remisi bila terapi diteruskan sampai 20-24
minggunamun 50% pasien akan mengalami kekambuhan setelah kortikosteroid
dihentikan.
Respon klinis terhadap kortikosteroid dapat dibagi menjadi remisi lengkap, remisi
parsial dan resisten.Dikatakan remisi lengkap jika proteinuria minimal (< 200 mg/24
jam), albumin serum >3 g/dl, kolesterol serum < 300 mg/dl, diuresis lancar dan edema
hilang. Remisi parsial jika proteinuria<3,5 g/hari, albumin serum >2,5 g/dl, kolesterol
serum <350 mg/dl, diuresis kurang lancar dan masih edema. Dikatakan resisten jika klinis
dan laboratoris tidak memperlihatkan perubahan atau perbaikan setelah pengobatan 4
bulan dengan kortikosteroid.
16
2.7.2 Terapi suportif/simtomatik 1,2,3,4
Proteinuria
ACE inhibitor diindikasikan untuk menurunkan tekanan darah sistemik dan
glomerular serta proteinuria. Obat ini mungkin memicu hiperkalemia pada pasien dengan
insufisiensi ginjal moderat sampai berat.Restriksi protein tidak lagi direkomendasikan
karena tidak memberikan progres yang baik.
Edema
Diuretik hanya diberikan pada edema yang nyata, dan tidak dapat diberikan SN
yang disertai dengan diare, muntah atau hipovolemia, karena pemberian diuretik dapat
memperburuk gejala tersebut.Pada edema sedang atau edema persisten, dapat diberikan
furosemid dengan dosis 1-3 mg/kg per hari.Pemberian spironolakton dapat ditambahkan
bila pemberian furosemid telah lebih dari 1 minggu lamanya, dengan dosis 1-2 mg/kg per
hari.Bila edema menetap dengan pemberian diuretik, dapat diberikan kombinasi diuretik
dengan infus albumin.Pemberian infus albumin diikuti dengan pemberian furosemid 1-2
mg/kg intravena.Albumin biasanya diberikan selang sehari untuk menjamin pergeseran
cairan ke dalam vaskuler dan untuk mencegah kelebihan cairan (overload).Penderita yang
mendapat infus albumin harus dimonitor terhadap gangguan napas dan gagal jantung.
Dietetik
Jenis diet yang direkomendasikan ialah diet seimbang dengan protein dan kalori
yang adekuat. Kebutuhan protein anak ialah 1,5 – 2 g/kg, namun anak-anak dengan
proteinuria persisten yang seringkali mudah mengalami malnutrisi diberikan protein 2 –
2,25 g/kg per hari. Maksimum 30% kalori berasal dari lemak.Karbohidrat diberikan
dalam bentuk kompleks seperti zat tepung dan maltodekstrin.Restriksi garam tidak perlu
dilakukan pada SNSS, namun perlu dilakukan pada SN dengan edema yang nyata.
Infeksi
Penderita SN sangat rentan terhadap infeksi, yang paling sering ialah selulitis dan
peritonitis.Hal ini disebabkan karena pengeluaran imunoglobulin G, protein faktor B dan
D di urin, disfungsi sel T, dan kondisi hipoproteinemia itu sendiri.Pemakaian
imunosupresif menambah risiko terjadinya infeksi.Pemeriksaan fisis untuk mendeteksi
adanya infeksi perlu dilakukan.Selulitis umumnya disebabkan oleh kuman stafilokokus,
17
sedang sepsis dapa SN sering disebabkan oleh kuman Gram negatif.Peritonitis primer
umumnya disebabkan oleh kuman Gram-negatif dan Streptococcus pneumoniae sehingga
perlu diterapi dengan penisilin parenteral dikombinasikan dengan sefalosporin generasi
ke-tiga, seperti sefotaksim atau seftriakson selama 10-14 hari. Di Inggris, penderita SN
dengan edema anasarka dan asites masif diberikan antibiotik profilaksis berupa penisilin
oral 125 mg atau 250 mg, dua kali sehari sampai asites berkurang.
Hipertensi
Hipertensi pada SN dapat ditemukan sejak awal pada 10-15% kasus, atau terjadi
sebagai akibat efek samping steroid.Pengobatan hipertensi pada SN dengan golongan
inhibitor enzim angiotensin konvertase, calcium channel blockers, atau beta adrenergic
blockers.
Hipovolemia
Komplikasi hipovolemia dapat terjadi sebagai akibat pemakaian diuretik yang
tidak terkontrol, terutama pada kasus yang disertai dengan sepsis, diare, dan muntah.
Gejala dan tanda hipovolemia ialah hipotensi, takikardia, akral dingin dan perfusi buruk,
peningkatan kadar urea dan asam urat dalam plasma.
Tromboemboli
Risiko untuk mengalami tromboemboli disebabkan oleh karena keadaan
hiperkoagulabilitas. Selain disebabkan oleh penurunan volume intravaskular, keadaan
hiperkoagulabilitas ini dikarenakan juga oleh peningkatan faktor pembekuan darah antara
lain faktor V, VII, VIII, X serta fibrinogen, dan dikarenakan oleh penurunan konsentrasi
antitrombin III yang keluar melalui urin. Risiko terjadinya tromboemboli akan meningkat
pada kadar albumin plasma < 2 g/dL, kadar fibrinogen > 6 g/dL, atau kadar antitrombin
III < 70%. Pada SN dengan risiko tinggi, pencegahan komplikasi tromboemboli dapat
dilakukan dengan pemberian asetosal dosis rendah dan dipiridamol. Heparin hanya
diberikan bila telah terhadi tromboemboli, dengan dosis 50 U/kg intravena dan
dilanjutkan dengan 100 U/kg tiap 4 jam secara intravena. 2,3
Hiperlipidemia
Hiperlipidemia pada SN meliputi peningkatan kolesterol, trigliserida, fosfolipid
dan asam lemak. Kolesterol hampir selalu ditemukan meningkat, namun kadar
18
trigliserida, fosfolipid tidak selalu meningkat. Peningkatan kadar kolesterol berbanding
terbalik dengan kadar albumin serum dan derajat proteinuria. Keadaan hiperlipidemia ini
disebabkan oleh karena penurunan tekanan onkotik plasma sebagai akibat dari proteinuria
merangsang hepar untuk melakukan sintesis lipid dan lipoprotein, di samping itu
katabolisme lipid pada SN juga menurun. Hiperlipidemia pada SNSS biasanya bersifat
sementara, kadar lipid kembali normal pada keadaan remisi, sehingga pada keadaan ini
cukup dengan pengurangan diit lemak. Pengaruh hiperlipidemia terhadap morbiditas dan
mortalitas akibat kelainan kardiovaskuler pada anak penderita SN masih belum
jelas.Manfaat pemberian obat-obat penurun lipid seperti kolesteramin, derivat asam fibrat
atau inhibitor HMG-CoA reduktase (statin) masih diperdebatkan. 3
2.8 Prognosis
Sebelum era antibiotik, infeksi merupakan salah satu penyebab kematian tersering
pada SN.Pengobatan SN dan komplikasinya saat ini telah menurunkan morbiditas dan
mortalitas yang berhubungan dengan sindrom.Saat ini, prognosis pasien dengan SN
bergantung pada penyebabnya. Remisi sempurna dapat terjadi dengan atau tanpa
pemberian kortikosteroid.
Hanya sekitar 20 % pasien dengan glomerulosklerosis fokal mengalami remisi
proteinuria, 10 % lainnya membaik namun tetap proteinuria. Banyak pasien yang
mengalami frequent relaps, menjadi dependen-steroid, atau resisten-steroid. Penyakit
ginjal kronik dapat muncul pada 25-30 % pasien dengan glomerulosklerosis fokal
segmental dalam 5 tahun dan 30-40 % muncul dalam 10 tahun.
Orang dewasa dengan minimal-change nephropathymemiliki kemungkinan relaps
yang sama dengan anak-anak. Namun, prognosis jangka panjang pada fungsi ginjal
sangat baik, dengan resiko rendah untuk gagal ginjal.Pemberian kortikosteroid memberi
remisi lengkap pada 67% kasus SN nefropati lesi minimal, remisi lengkap atau
parsialpada 50% SN nefropati membranosa dan 20%-40% pada glomerulosklerosis fokal
segmental.Perlu diperhatikan efek samping pemakaian kortikosteroid jangka lama di
antaranya nekrosis aseptik, katarak, osteoporosis, hipertensi, diabetes mellitus.
Respon yang kurang terhadap steroid dapat menandakan luaran yang kurang baik.
Prognosis dapat bertambah buruk disebabkan (1) peningkatan insidens gagal ginjal dan
19
komplikasi sekunder dari SN, termasuk episode trombotik dan infeksi, atau (2) kondisi
terkait pengobatan, seperti komplikasi infeksi dari pemberian imunosupressive.Penderita
SN non relaps dan relaps jarang mempunyai prognosis yang baik, sedangkan penderita
relaps sering dan dependen steroid merupakan kasus sulit yang mempunyai risiko besar
untuk memperoleh efek samping steroid. SN resisten steroid mempunyai prognosis yang
paling buruk.
Pada SN sekunder, prognosis tergantung pada penyakit primer yang
menyertainya.Pada nefropati diabetik, besarnya proteinuria berhubungan langsung
tingkat mortalitas.Biasanya, ada respon yang baik terhadap blockade angiotensin, dengan
penurunan proteinuria, dan level subnefrotik.Jarang terjadi remisi nyata. Resiko penyakit
kardiovaskular meningkat seiring penurunan fungsi ginjal, beberapa pasienakan
membutuhkan dialisis atau transplantasi ginjal. Pada amiloidosis primer, prognosis tidak
baik, bahkan dengan kemoterapi intensif. Pada amiloidosis sekunder, remisi penyebab
utama, seperti rheumatoid arthritis, diikuti dengan remisi amiloidosis dan ini
berhubungan dengan SN. 1,2,3
DAFTAR PUSTAKA
20
1. Sudoyo, A. Setiyohadi, B. Alwi, I. Simadibrata, M. Setiadi, S. 2009. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid II Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam. P
999-1002
2. Fauci. Kasper. Braunwald. et all. 2009. Harrison’s Principles of Internal Medicine.
17th Edition. United States: McGraw-Hill Companies. P 1684-1685
3. U.S. Department of Health and Human Services. 2012. Nephrotic Syndrome in
Adults. NIH Publication No. 12-4624. United States: National Institutes of Diabetes
and Digestive and Kidney Disease.
4. Hull, RP. Goldsmith, DJA. 2008. Nephrotic Syndrome in Adults. British Medical
Journal 2008; 336:1185-9
21
Recommended