Download doc - presoaks rm

Transcript

STATUS PENDERITA

I. ANAMNESA

A. Identitas Pasien

B. Keluhan Utama

Kelmehan lengan dan tungkai sebelah kiri

C. Riwayat Penyakit Sekarang

Sejak 3 hari setelah pasien dirawat di bagian Obsgyn dengan post

partus spontan dengan PEB HELLP Syndrome, 1 hari selanjutnya pasien

mengeluhkan lengan dan tungkai sebelah kiri terasa lemah secara

mendadak, saat pasien terbangun dari tidur. Rasa lemah pada lengan dan

tungkai kiri dirasakan semakin memberat. Pada pasien timbul bicara pelo

setelah terjadi kelemahan anggota gerak. Pasien tidak mual, tidak muntah,

tidak ada kejang, tidak disertai penurunan kesadaran, tidak ada rasa

gringingan, tidak ada pandangan kabur, tidak ada pandangan dobel, tidak

ada demam, tidak ada penurunan intelektual. Pasien tidak pernah jalan

diseret sebelumnya. BAB 1 kali sehari, konsistensi kenyal lunak, lendir

darah (-), BAK 5 kali sehari,@ ½ -1 gelas belimbing. tidak disertai nyeri,

tidak disertai panas, tidak ada anyang-anyangan.

D. Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat Trauma : disangkal

Riwayat Hipertensi : (+) sejak 10 tahun yang lalu

Riwayat DM : disangkal

Riwayat Penyakit Jantung : disangkal

Riwayat Alergi obat/makanan : disangkal

Riwayat Asma : disangkal

Riwayat Mondok : disangkal

E. Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat Hipertensi : (+) pada bapaknya

Riwayat DM : disangkal

Riwayat Penyakit Jantung : disangkal

Riwayat Alergi : disangkal

Riwayat Asma : disangkal

F. Riwayat Kebiasaan dan Gizi

Pasien makan tiga kali sehari dengan sepiring nasi dan lauk pauk berupa

daging, tahu, tempe, telur, dan sayur.

Riwayat Merokok : disangkal

Riwayat minum alkohol : disangkal

Riwayat Olahraga : (-)

G. Riwayat Sosial Ekonomi

Pasien adalah seorang ibu dari 2 orang anak. Ia tinggal bersama suami

dan keluarga anaknya di Kadipolo, Banjarsari, Surakarta. Bekerja sebagai

buruh buruh. Penderita mondok di RSDM dengan menggunakan biaya

sendiri.

II. PEMERIKSAAN FISIK

A. Status Generalis

Keadaan umum sakit sedang, Compos Mentis E4V5M6, gizi kesan cukup

B. Tanda Vital

Tekanan darah : 170/100 mmHg

Nadi : 88x/ menit, isi cukup, irama teratur, simetris

Respirasi : 18 x/menit, irama teratur, tipe thoracoabdominal

Suhu : 36,70C per aksiler

C. Kulit

Warna sawo matang, pucat (-), ikterik (-), petechie (-), venectasi (-),

spider naevi (-), striae (-), hiperpigmentasi (-), hipopigmentasi (-).

D. Kepala

2

Bentuk mesocephal, kedudukan kepala simetris, luka (-), rambut hitam

beruban, tidak mudah rontok, tidak mudah dicabut, atrofi otot (-).

E. Mata

Conjunctiva pucat (+/+), sklera ikterik (-/-), refleks cahaya langsung

dan tak langsung (+/+), pupil isokor (3 mm/ 3mm), oedem palpebra (-/-),

sekret (-/-)

F. Hidung

Nafas cuping hidung (-), deformitas (-), darah (-/-), sekret (-/-)

G. Telinga

Deformitas (-/-), darah (-/-), sekret (-/-)

H. Mulut

Bibir kering (-), sianosis (-), lidah kotor (-),lidah simetris, lidah tremor (-),

stomatitis (-), mukosa pucat (+), gusi berdarah (-), papil lidah atrofi (-)

I. Leher

Simetris, trakea di tengah, step off (-), JVP (R+3) ,limfonodi tidak

membesar, nyeri tekan (-), benjolan (-)

J. Thoraks

a. Retraksi (-)

b. Jantung

Inspeksi : Ictus Cordis tidak tampak

Palpasi : Ictus Cordis tidak kuat angkat

Perkusi : konfigurasi jantung kesan tidak melebar

Auskultasi : Bunyi jantung I dan II intensitas normal, reguler,

bising (-)

Inspeksi : pengembangan dada kanan = kiri, gerakan

paradoksal (-)

Palpasi : fremitus raba kanan = kiri

Perkusi : sonor seluruh lapang paru

Auskultasi : suara dasar ( vesikuler / vesikuler ),RBH (-), RBK (-)

K. Abdomen

Inspeksi : dinding perut sejajar dinding dada

3

Auskultasi : peristaltik (+) normal

Perkusi : tympani

Palpasi :supel, nyeri tekan (-), hepar tidak teraba, bruit (-) dan lien

tidak teraba

L. Ekstremitas

Oedem Akral dingin

M. Status Psikiatri

Deskripsi Umum

1. Penampilan : Perempuan, tampak sesuai umur, berpakaian rapi, ,

perawatan diri baik

2. Kesadaran : Kuantitatif : compos mentis

Kualitatif : tidak berubah

3. Perilaku dan Aktivitas Motorik : normoaktif

4. Pembicaraan : koheren, menjawab pertanyaan

5. Sikap Terhadap Pemeriksa : Kooperatif, kontak mata cukup

Afek dan Mood

- Afek : Appropiate

- Mood : normal

Gangguan Persepsi

- Halusinasi (-)

- Ilusi (-)

Proses Pikir

- Bentuk : realistik

- Isi : waham (-)

- Arus : koheren

Sensorium dan Kognitif

- Daya Konsentrasi : baik

- -+ +

4

- Orientasi : Orang : baik

Waktu : baik

Tempat : baik

- Daya Ingat : Jangka pendek : baik

Jangka panjang : baik

Daya Nilai : Daya nilai realitas dan sosial baik

Insight : Baik

Taraf Dapat Dipercaya : Dapat dipercaya

N. Status Neurologis

Kesadaran : GCS E4V5M6

Fungsi Luhur : dalam batas normal

Fungsi Vegetatif : IV line dan DC

Fungsi Sensorik

- Rasa Ekseteroseptik Lengan Tungkai

Suhu ( + / + ) ( + / + )

Lengan Tungkai

Nyeri ( + / + ) ( + / + )

Rabaan ( + / + ) ( + / + )

- Rasa Propioseptik Lengan Tungkai

Rasa Getar ( + / + ) ( + / + )

Rasa Posisi ( + / + ) ( + / + )

Rasa Nyeri Tekan ( + / + ) ( + / + )

Rasa Nyeri Tusukan ( + / + ) ( + / + )

Fungsi Motorik dan Reflek :

Atas Tengah

Bawah

Ka/ki ka/ki ka/ki

a. Lengan

- Kekuatan 5 / 0 5 / 0 5 / 0

- Tonus n / ↑ n / ↑ n / ↑

- Reflek Fisiologis

5

Reflek Biseps +2/+3

Reflek Triseps +2/+3

- Reflek Patologis

Reflek Hoffman -/ -

Reflek Tromner -/ -

Atas Tengah

Bawah

Ka/ki ka/ki ka/ki

b. Tungkai

- Kekuatan 5 / 1 5 / 1 5 / 1

- Tonus n/ ↑ n / ↑ n / ↑

- Klonus

Lutut - / -

Kaki - / -

- Reflek Fisiologis

Reflek Patella +2/+3

Reflek Achilles +2/+3

- Reflek Patologis

Reflek Babinsky - / -

Reflek Chaddock - / -

Reflek Oppenheim - / -

Reflek Schaeffer - / -

Reflek Rosolimo - / -

c. Reflek Kulit

- Reflek Dinding Perut (+/+)

Nervus Cranialis

N. II, N.III : Reflek Cahaya (+/+), Pupil Isokor (3 mm/ 3mm)

N.III, N.IV, N.VI : dalam batas normal

N. VII : parese N.VII UMN

6

N. XII : parese N.XII UMN

Range of Motion (ROM)

NECKROM Pasif ROM Aktif

Fleksi 0-700 0-700

Ekstensi 0-400 0-400

Lateral bending kanan 0-600 0-600

Lateral bending kiri 0-600 0-600

Rotasi kanan 0-900 0-900

Rotasi kiri 0-900 0-900

Ekstremitas Superior ROM pasif ROM aktif Dextra Sinistra Dextra Sinistra

Shoulder Fleksi 0-900 0-900 0-900 00

Ekstensi 0-300 0-300 0-300 00

Abduksi 0-1800 0-1800 0-1800 00

Adduksi 0-450 0-400 0-450 00

External Rotasi 0-450 0-450 0-450 00

Internal Rotasi 0-550 0-550 0-550 00

Elbow Fleksi 0-800 0-800 0-800 00

Ekstensi 5-00 5-00 5-00 00

Pronasi 0-900 0-900 0-900 00

Supinasi 900-0 900-0 900-0 00

Wrist Fleksi 0-900 0-900 0-900 00

Ekstensi 0-700 0-700 0-700 00

Ulnar deviasi 0-300 0-300 0-300 00

Radius deviasi 0-200 0-200 0-200 00

Finger MCP I fleksi 0-500 0-500 0-500 00

MCP II-IV fleksi 0-900 0-900 0-900 00

DIP II-V fleksi 0-900 0-900 0-900 00

PIP II-V fleksi 0-1000 0-1000 0-1000 00

MCP I ekstensi 0-00 0-00 0-00 00

TRUNK ROM aktif ROM pasif

Fleksi 0-300 0-300

Ekstensi 100-0 100-0Rotasi 0-100 0-100

Ekstremitas Inferior ROM aktif ROM PasifDextra Sinistra Dextra Sinistra

7

Hip Fleksi 0-120 00 0-120 0-120Ekstensi 0-30 00 0-30 0-30Abduksi 0-45 00 0-45 0-45Adduksi 30-0 00 30-0 30-0Eksorotasi 0-45 00 0-45 0-45Endorotasi 0-35 00 0-35 0-35

Knee Fleksi 0-135 00 0-135 0-135Ekstensi 0-0 00 0-0 0-0

Ankle Dorsofleksi 0-20 00 0-20 0-20Plantarfleksi 0-50 00 0-50 0-50Eversi 0-5 00 0-5 0-5Inversi 0-5 00 0-5 0-5

Manual Muscle Testing (MMT)

NECK Fleksor M. Strenocleidomastoideus : 5

Ekstensor : 5

Ekstremitas Superior Dextra SinistraShoulder Fleksor M Deltoideus anterior 5 0

M Biseps 5 0Ekstensor M Deltoideus anterior 5 0

M Teres mayor 5 0Abduktor M Deltoideus 5 0

M Biceps 5 0Adduktor M Lattissimus dorsi 5 0

M Pectoralis mayor 5 0Internal Rotasi

M Lattissimus dorsi 5 0M Pectoralis mayor 5 0

Eksternal Rotasi

M Teres mayor 5 0M Infra supinatus 5 0

Elbow Fleksor M Biceps 5 0M Brachialis 5 0

Ekstensor M Triceps 5 0Supinator M Supinator 5 0Pronator M Pronator teres 5 0

Wrist Fleksor M Fleksor carpi radialis

50

Ekstensor M Ekstensor digitorum

5 0

8

Abduktor M Ekstensor carpi radialis

50

Adduktor M ekstensor carpi ulnaris

50

Finger Fleksor M Fleksor digitorum 5 0Ekstensor M Ekstensor

digitorum5

0

Ekstremitas inferior Dextra SinistraHip Fleksor M Psoas mayor 5 0

Ekstensor M Gluteus maksimus 5 0Abduktor M Gluteus medius 5 0Adduktor M Adduktor longus 5 0

Knee Fleksor Harmstring muscle 5 0Ekstensor Quadriceps femoris 5 0

Ankle Fleksor M Tibialis 5 0Ekstensor M Soleus 5 0

Status Ambulasi

Dependent

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG

A. Laboratorium Darah

Pemeriksaan tanggal 20 Juni 2015

Hb : 10,8 gr/dl

Hct : 36 %

AE : 4,51 x 106 µL

AT : 148 x 103 µL

9

AL : 13,1 x 103 µL

Gol. Darah : O

PT : 10,5 detik

APTT : 35,1

INR : 0,790

GDS : 102 mg/dl

SGOT : 98 u/L

SGPT : 60 u/L

Albumin : 2,5 gr/dL

Ureum : 85 mg/dl

LDH : 1675 u/L

Creatinin : 2,1 mg/dl

Kalium : 4,1 mmol/l

Natrium : 133 mmol/l

Chlorida : 106 mmol/l

HBsAg : nonreactive

Protein kualitatif : +3

Pemeriksaan tanggal 22 Juni 2015

Hb : 8,2 gr/dl

Hct : 27 %

AE : 3,37 x 106 µL

AT : 173 x 103 µL

AL : 16,3 x 103 µL

GDS : 73 mg/dl

SGOT : 31 u/L

SGPT : 31 u/L

Albumin : 1,9 gr/dL

Ureum : 92 mg/dl

Creatinin : 2,1 mg/dl

Kalium : 4,3 mmol/l

Natrium : 129 mmol/l

10

Chlorida : 102 mmol/l

B. Pemeriksaan Radiologis CT-Scan Kepala Tanpa Kontras (22 Juni 2015)

Tak tampak lesi hipo/iso/hiperdens di brain parenchim

Tak tampak midline shifting

Sulci dan gyri normal

System ventrikel dan sisterna normal

Pons, cerebellum dan cerebellopontine angle normal

Tak tampak kalsifikasi abnormal

Tampak deviasi septum nasi ke kanan sebesar 13 derajad

Orbita, sinus paranasalis dan mastoid kanan dan kiri normal

Craniocerebral space tak tampak melebar

Calvaria intak

Tak tampak osteodestruksi

Kesimpulan:

1. Tak tampak infark, perdarahan maupun massa intracranial

2. Deviasi sepum nasi ke kanan

11

12

IV. ASSESMENT

Klinis : Hemiparese Sinistra, Disartria

Topis : Capsula Interna dextra, Subkorteks cerebri dextra

Etiologi : Suspek stroke non hemoragik, PEB HELLP Syndrome

V. PENATALAKSANAAN

Terapi Medikamentosa :

1. O2 2 lpm

2. Infus RL 12 tpm

3. Injeksi citicoline 250 mg/12jam

4. Injeksi Vitamin B1 1 ampu/8jam

5. Aspilet 1 x 80 mg

6. MgSO4 40 gram

VI. DAFTAR MASALAH

Problem Medis : Hemiparesei Sinistra

Disartria

PEB HELP Syndrome

Problem Rehabilitasi Medik

1. Fisioterapi : Pasien tidak dapat menggerakkan anggota gerak sisi

kiri

2. Terapi wicara : Gangguan dalam artikulsi

3. Okupasi Terapi : Gangguan dalam melakukan aktivitas fisik sehari-

hari (Activity Daily Living (ADL)

4. Sosiomedik : Memerlukan bantuan untuk melakukan aktivitas

sehari-hari

5. Ortesa-protesa : Keterbatasan mobilisasi

6. Psikologi : Beban pikiran keluarga dalam menghadapi penyakit

penderita

13

Rehabilitasi Medik:

1. Fisioterapi :

a. Strengthening exercise untuk melatih kekuatan otot dan

mencegah atropi otot-otot

b. Positioning dan turning (rubah posisi tiap 2 jam) untuk

cegah ulkus dekubitus

c. ROM exercise aktif dan pasif

2. Terapi wicara : merangsang komunikasi tanpa

tekanan yang membuat frustasi dan berangsu-angsur membimbing

pasien untuk memberikan respon dan permohonan

3. Okupasi terapi : melatih keterampilan dalam

melakukan aktivitas sehari-hari

4. Sosiomedik :

a. Motivasi dan edukasi keluarga

tentang penyakit penderita

b. Motivasi dan edukasi keluarga

untuk membantu dan merawat penderita dengan selalu berusaha

menjalankan program di RS dan Home program

5. Ortesa-Protesa : memfasilitasi ambulasi dengan

pembuatan crutch/walker

6. Psikologi : Psikoterapi suportif untuk mengurangi

kecemasan keluarga

VII. IMPAIRMENT, DISABILITY, DAN HANDICAP

Impairment : Hemiparese sinistra, disartria, PEB HELLP Syndrome

Disability : Penurunan fungsi anggota gerak

Handicap : Keterbatasan dalam aktivitas sehari-hari dan kegiatan sosial

yang terhambat

VIII. TUJUAN

Jangka Pendek

a. Perbaikan keadaan umum

b. Mencegah terjadinya komplikasi akibat tirah baring lama.

14

Jangka Panjang

a. Mengurangi impairment, disabilitas, dan handicap yang dialami pasien

b. Meningkatkan dan memelihara kekuatan otot

c. Meningkatkan dan memelihara ROM

d. Meningkatkan ADL

e. Mengatasi masalah psikososial yang timbul akibat penyakit yang

diderita pasien

IX. PROGNOSIS

Ad vitam : bonam

Ad sanam : dubia et bonam

Ad fungsionam : dubia et bonam

15

TINJAUAN PUSTAKA

A. STROKE

I. Definisi

Stroke adalah disfungsi neurologis yang umum dan timbul secara

mendadak sebagai akibat dari adanya gangguan suplai darah ke otak dengan

tanda dan gejala sesuai dengan daerah otak yang terganggu (WHO, 1989).

Stroke adalah gangguan fungsi otak yang mengakibatkan defisit

neurologik fokal maupun global,yang timbul secara mendadak (akut),

berlangsung selama lebih dari 24 jam (atau terkadang berakhir dengan

kematian sebelum 24 jam), yang disebabkan oleh gangguan peredaran darah

otak (Islam, 1997)

II. Etiologi

Penyebab stroke antara lain adalah aterosklerosis (trombosis),

embolisme, hipertensi yang menimbulkan perdarahan intraserebral dan ruptur

aneurisme sakular. Stroke biasanya disertai satu atau beberapa penyakit lain

seperti hipertensi, penyakit jantung, peningkatan lemak dalam darah, diabetes

mellitus atau penyakit vascular perifer.

III. Jenis Stroke

1. Klasifikasi Berdasarkan Penyebab

a. Stroke Iskemik

Pada stroke iskemik, aliran darah ke otak terhenti karena

aterosklerosis atau bekuan darah yang telah menyumbat suatu pembuluh

darah.. Pada stroke iskemik, penyumbatan bisa terjadi di sepanjang jalur

arteri yang menuju ke otak. Misalnya suatu ateroma (endapan lemak) bisa

terbentuk di dalam arteri karotis sehingga menyebabkan berkurangnya

aliran darah. Keadaan ini sangat serius karena setiap arteri karotis dalam

keadaan normal memberikan darah ke sebagian besar otak. Endapan

lemak juga bisa terlepas dari dinding arteri dan mengalir di dalam darah,

kemudian menyumbat arteri yang lebih kecil.

16

b. Stroke Hemoragik

Pendarahan di antara bagian dalam dan luar lapisan pada

jaringan yang melindungi otak (subarachnoid hemorrhage). Terdapat

dua jenis utama pada stroke yang mengeluarkan darah : (intracerebral

hemorrhage dan (subarachnoid hemorrhage. Gangguan lain yang

meliputi pendarahan di dalam tengkorak termasuk epidural dan

hematomas subdural, yang biasanya disebabkan oleh luka kepala.

Gangguan ini menyebabkan gejala yang berbeda dan tidak

dipertimbangkan sebagai stroke.

c. Serangan Iskemik Sesaat (TIA)

Serangan Iskemik Sesaat (Transient Ischemic Attacks, TIA)

adalah gangguan fungsi otak yang merupakan akibat dari

berkurangnya aliran darah ke otak untuk sementara waktu. TIA lebih

17

banyak terjadi pada usia setengah baya dan resikonya meningkat

sejalan dengan bertambahnya umur. Kadang-kadang TIA terjadi pada

anak-anak atau dewasa muda yang memiliki penyakit jantung atau

kelainan darah.

Penyebabnya biasanya karena serpihan kecil dari endapan

lemak dan kalsium pada dinding pembuluh darah (ateroma) bisa

lepas, mengikuti aliran darah dan menyumbat pembuluh darah kecil

yang menuju ke otak, sehingga untuk sementara waktu menyumbat

aliran darah ke otak dan menyebabkan terjadinya TIA. Gejala TIA

terjadi secara tiba-tiba dan biasanya berlangsung selama 2-30 menit,

jarang sampai lebih dari 1-2 jam, tergantung kepada bagian otak mana

yang mengalami kekuranan darah. Jika mengenai arteri yang berasal

dari arteri karotis, maka yang paling sering ditemukan adalah

kebutaan pada salah satu mata atau kelainan rasa dan kelemahan. Jika

mengenai arteri yang berasal dari arteri vertebralis, biasanya terjadi

pusing, penglihatan ganda dan kelemahan menyeluruh.

Gejala-gejala yang sama akan ditemukan pada stroke, tetapi

pada TIA gejala ini bersifat sementara dan reversibel. Tetapi TIA

cenderung kambuh; penderita bisa mengalami beberapa kali serangan

dalam 1 hari atau hanya 2-3 kali dalam beberapa tahun. Sekitar

sepertiga kasus TIA berakhir menjadi stroke dan secara kasar separuh

dari stroke ini terjadi dalam waktu 1 tahun setelah TIA.

IV. Faktor Resiko

a. Hipertensi. Kenaikan tekanan darah 10 mmHg saja dapat meningkatkan

resiko terkena stroke sebanyak 30%. Merupakan faktor yang dapat

diintervensi.

b. Arteriosklerosis, hiperlipidemia, merokok, obesitas, diabetes melitus, usia

lanjut, penyakit jantung, penyakit pembuluh darah tepi, hematokrit tinggi,

dan lain-lain.

c. Obat-obatan yang dapat menimbulkan addiksi (heroin, kokain, amfetamin)

dan obat-obatan kontrasepsi, dan obat-obatan hormonal yang lain,

terutama pada wanita perokok atau dengan hipertensi.

18

d. Kelainan-kelainan hemoreologi darah, seperti anemia berat, polisitemia,

kelainan koagulopati, dan kelainan darah lainnya.

e. Beberapa penyakit infeksi, misalnya lues, rematik (SLE), herpes zooster,

juga dapat merupakan faktor resiko walaupun tidak terlalu tinggi

frekuensinya

V. Patofisiologi

1. Trombosis (penyakit trombo - oklusif) merupakan

penyebab stroke yang paling sering. Arteriosclerosis serebral dan

perlambatan sirkulasi serebral adalah penyebab utama trombosis selebral.

Tanda-tanda trombosis serebral bervariasi, sakit kepala adalah awitan yang

tidak umum. Beberapa pasien mengalami pusing, perubahan kognitif atau

kejang dan beberapa awitan umum lainnya. Secara umum trombosis

serebral tidak terjadi secara tiba-tiba, dan kehilangan bicara sementara,

hemiplegia atau parestesia pada setengah tubuh dapat mendahului awitan

paralysis berat pada beberapa jam atau hari.

Proses aterosklerosis ditandai oleh plak berlemak pada pada lapisan intima

arteria besar. Bagian intima arteria sereberi menjadi tipis dan berserabut ,

sedangkan sel – sel ototnya menghilang. Lamina elastika interna robek dan

berjumbai, sehingga lumen pembuluh sebagian terisi oleh materi sklerotik

tersebut. Plak cenderung terbentuk pada percabangan atau tempat – tempat

yang melengkung. Trombi juga dikaitkan dengan tempat – tempat khusus

tersebut. Pembuluh – pembuluh darah yang mempunyai resiko dalam

urutan yang makin jarang adalah sebagai berikut : arteria karotis interna,

vertebralis bagian atas dan basilaris bawah. Hilangnya intima akan

membuat jaringan ikat terpapar. Trombosit menempel pada permukaan

yang terbuka sehingga permukaan dinding pembuluh darah menjadi kasar.

Trombosit akan melepasakan enzim, adenosin difosfat yang mengawali

mekanisme koagulasi. Sumbat fibrinotrombosit dapat terlepas dan

membentuk emboli, atau dapat tetap tinggal di tempat dan akhirnya seluruh

arteria itu akan tersumbat dengan sempurna

2. Embolisme. Penderita embolisme biasanya lebih muda

dibanding dengan penderita trombosis. Kebanyakan emboli serebri berasal

19

dari suatu trombus dalam jantung, sehingga masalah yang dihadapi

sebenarnya adalah perwujudan dari penyakit jantung.  Setiap bagian otak

dapat mengalami embolisme, tetapi embolus biasanya embolus akan

menyumbat bagian – bagian yang sempit.. tempat yang paling sering

terserang embolus sereberi adalah arteria sereberi media, terutama bagian

atas.

3. Perdarahan serebri : perdarahan serebri termasuk

urutan ketiga dari semua penyebab utama kasus GPDO (Gangguan

Pembuluh Darah Otak) dan merupakan sepersepuluh dari semua kasus

penyakit ini. Perdarahan intrakranial biasanya disebabkan oleh ruptura

arteri serebri. Ekstravasasi darah terjadi di daerah otak dan /atau

subaraknoid, sehingga jaringan yang terletak di dekatnya akan tergeser dan

tertekan. Darah ini mengiritasi jaringan otak, sehingga mengakibatkan

vasospasme pada arteria di sekitar perdarahan. Spasme ini dapat menyebar

ke seluruh hemisper otak dan sirkulus wilisi. Bekuan darah yang semula

lunak menyerupai selai merah akhirnya akan larut dan mengecil. Dipandang

dari sudut histologis otak yang terletak di sekitar tempat bekuan dapat

membengkak dan mengalami nekrosis.

VI. DIAGNOSA

Stroke adalah suatu keadaan emergensi medis. Setiap orang yang

diduga mengalami stroke seharusnya segera dibawa ke fasilitas medis untuk

evaluasi dan terapi. Pertama-tama, dokter akan menanyakan riwayat medis

pasien jika terdapat tanda-tanda bahaya sebelumnya dan melakukan

pemeriksaan fisik. Jika seseorang telah diperiksa seorang dokter tertentu, akan

menjadi ideal jika dokter tersebut ikut berpartisipasi dalam penilaian.

Pengetahuan sebelumnya tentang pasien tersebut dapat meningkatkan ketepatan

penilaian.

Hanya karena seseorang mempunyai gangguan bicara atau kelemahan

pada satu sisi tubuh tidaklah sinyal kejadian stroke. Terdapat banyak

kemungkinan lain yang mungkin bertanggung jawab untuk gejala ini. Kondisi

lain yang dapat serupa stroke meliputi:

20

Tumor otak

Abses otak (kumpulan nanah di dalam otak karena bakteri atau jamur)

Sakit kepala migrain

Perdarahan otak baik secara spontan atau karena trauma

Meningitis atau encephalitis

Overdosis karena obat tertentu

Ketidakseimbangan calcium atau glukosa dalam tubuh dapat juga

menyebabkan perubahan sistem saraf yang serupa dengan stroke.

Pada evaluasi stroke akut, banyak hal akan terjadi pada waktu yang

sama. Pada saat dokter mencari informasi riwayat pasien dan melakukan

pemeriksaan fisik, perawat akan mulai memonitor tanda-tanda vital pasien,

melakukan tes darah dan melakukan pemeriksaan EKG ( elektrokardiogram).

Bagian dari pemeriksaan fisik yang menjadi standar adalah

penggunaan skala stroke. The American Heart Association telah

mempublikasikan suatu pedoman pemeriksaan sistem saraf untuk membantu

penyedia perawatan menentukan berat ringannya stroke dan apakah intervensi

agresif mungkin diperlukan.

Skor Stroke (Djoenaidi,1988) Skor stroke hemoragik dan non-hemoragik

Tanda/Gejala SkorT.I.A. sebelum serangan 1Permulaan serangan

Sangat mendadak (1-2 menit) Mendadak (beberapa menit - 1 jam) Pelan-pelan (beberapa jam)

6.56.51

Waktu serangan Waktu kerja (aktivitas) Waktu istirahat/duduk/tidur Waktu bangun tidur

6.511

Sakit kepala waktu serangan Sangat hebat Hebat Ringan Tak ada

107.510

Muntah Langsung habis serangan Mendadak (beberapa menit - jam) Pelan-pelan (1 hari atau lebih)

107.51

21

Tak ada 0Kesadaran

Hilang waktu serangan (langsung) Hilang mendadak (beberapa menit - jam) Hilang pelan-pelan (1 hari atau lebih) Hilang sementara kemudian sadar pula (sepintas) Tak ada

1010110

Tekanan darah Waktu serangan sangat tinggi (> 200/110) Waktu MRS sangat tinggi (> 200/110) Waktu serangan tinggi (> 140/110 - < 200/110) Waktu MRS tinggi (> 140/110 - < 200/110) Tekanan darah tinggi tak terkontrol

7.57.511

7.5Tanda rangsangan selaput otak

Kaku kuduk hebat Kaku kuduk ringan Tak ada

1050

Fundus okuli Perdarahan subhyaloid Perdarahan retina (flame shaped) Normal

17.50

Pupil Isokor Anisokor Pinpoint kanan Midriasis kanan dan kiri Kecil + reaksi lambat Kecil + reaktip

0

10101010

Skor Total :

Bila skor > 20 termasuk stroke hemoragik, skor < 20 termasuk stroke non-

hemoragik. Ketepatan diagnostik dengan sistim skor ini 91.3% untuk stroke

hemoragik, sedangkan pada stroke non-hemoragik 82.4%. Ketepatan diagnostik

seluruhnya 87.5%

Terdapat batasan  waktu yang sempit untuk menghalangi suatu stroke

akut dengan obat untuk memperbaiki suplai darah yang hilang pada bagian

otak. Pasien  memerlukan evaluasi yang sesuai dan stabilisasi sebelum obat

penghancur bekuan darah apapun dapat digunakan.

22

VII. Pemeriksaan penunjang

Computerized tomography (CT scan): untuk membantu menentukan

penyebab seorang terduga stroke, suatu pemeriksaan sinar x khusus yang

disebut CT scan otak sering dilakukan. Suatu CT scan digunakan untuk

mencari perdarahan atau massa di dalam otak, situasi yang sangat berbeda

dengan stroke yang memerlukan penanganan yang berbeda pula. CT  Scan

berguna  untuk  menentukan:  

 jenis  patologi  

lokasi  lesi  

ukuran  lesi  

menyingkirkan  lesi  non  vaskuler  

MRI scan: Magnetic resonance imaging (MRI) menggunakan

gelombang magnetik untuk membuat gambaran otak. Gambar yang dihasilkan

MRI jauh lebih detail jika dibandingkan dengan CT scan, tetapi ini bukanlah

pemeriksaan garis depan untuk stroke. jika CT scan dapat selesai dalam

beberapa menit, MRI perlu waktu lebih dari satu jam. MRI dapat dilakukan

kemudian selama perawatan  pasien jika detail yang lebih baik diperlukan

untuk pembuatan keputusan medis lebih lanjut. Orang dengan peralatan medis

tertentu (seperti, pacemaker) atau metal lain di dalam tubuhnya, tidak dapat

dijadikan subyek pada daerah magneti kuat suatu MRI.

Metode lain teknologi MRI: suatu MRI scan dapat juga digunakan

untuk secara spesifik melihat pembuluh darah secara non invasif (tanpa

menggunakan pipa atau injeksi), suatu prosedur yang disebut MRA (magnetic

resonance angiogram). Metode MRI lain disebut dengan diffusion weighted

imaging (DWI) ditawarkan di beberapa pusat kesehatan. Teknik ini dapat

mendeteksi area abnormal beberapa menit setelah aliran darah ke bagian otak

yang berhenti, dimana MRI konvensional tidak dapat mendeteksi stroke sampai

lebih dari 6 jam dari saat terjadinya stroke, dan CT scan kadang-kadang tidak

dapat mendeteksi sampai 12-24 jam. Sekali lagi, ini bukanlah test garis depan

untuk mengevaluasi pasien stroke.

23

Computerized tomography dengan angiography: menggunakan zat

warna yang disuntikkan ke dalam vena di lengan, gambaran pembuluh darah di

otak dapat memberikan informasi tentang aneurisma atau arteriovenous

malformation. Seperti abnormalitas aliran darah otak lainnya dapat dievaluasi

dengan peningkatan teknologi canggih, CT angiography menggeser angiogram

konvensional.

Conventional angiogram: suatu angiogram adalah tes lain yang

kadang-kadang digunakan untuk melihat pembuluh darah. Suatu pipa kateter

panjang dimasukkan ke dalam arteri (biasanya di area selangkangan) dan zat

warna diinjeksikan sementara foto sinar-x secara bersamaan diambil. Meskipun

angiogram memberikan gambaran anatomi pembuluh darah yang paling detail,

tetapi ini juga merupakan prosedur yang invasif dan digunakan hanya jika

benar-benar diperlukan. Misalnya, angiogram dilakukan setelah perdarahan jika

sumber perdarahan perlu diketahui dengan pasti. Prosedur ini juga kadang-

kadang dilakukan untuk evaluasi yang akurat kondisi arteri carotis ketika

pembedahan untuk membuka sumbatan pembuluh darah dipertimbangkan

untuk dilakukan.

Carotid Doppler ultrasound: adalah suatu metode non-invasif (tanpa

injeksi atau penempatan pipa) yang menggunakan gelombang suara untuk

menampakkan penyempitan dan penurunan aliran darah pada arteri carotis

(arteri utama di leher yang mensuplai darah ke otak)

Tes jantung: tes tertentu untuk mengevaluasi fungsi jantung sering

dilakukan pada pasien  stroke untuk mencari sumber emboli. Echocardiogram

adalah  tes dengan gelombang suara yang dilakukan dengan menempatkan

peralatan microphone pada dada atau turun melalui esophagus (transesophageal

achocardiogram) untuk melihat bilik jantung. Monitor Holter  sama dengan

electrocardiogram (EKG), tetapi elektrodanya tetap menempel pada dada

selama 24 jam atau lebih lama untuk mengidentifikasi irama jantung yang

abnormal.

Tes darah: tes darah seperti sedimentation rate dan C-reactive protein

yang dilakukan untuk mencari tanda peradangan yang dapat memberi petunjuk

adanya arteri yang mengalami peradangan. Protein darah tertentu yang dapat

24

meningkatkan peluang terjadinya stroke karena pengentalan darah  juga diukur.

Tes ini dilakukan untuk mengidentifikasi penyebab stroke yang dapat diterapi

atau untuk membantu mencegah perlukaan lebih lanjut. Tes darah screening

mencari infeksi potensial, anemia, fungsi ginjal dan abnormalitas elektrolit

mungkin juga perlu dipertimbangkan.

VIII.TATALAKSANA

A. Medikamentosa

Tissue plasminogen activator (TPA)

Terdapat peluang untuk menggunakan alteplase (TPA) sebagai obat

pembasmi bekuan darah untuk memecahkan bekuan darah penyebab stroke.

Makin awal obat tersebut diberikan, makin baik hasilnya dan makin

berkurangnya potensi komplikasi perdarahan dalam otak.

Pedoman American Heart Association yang terbaru

merekomendasikan jika obat ini digunakan, TPA harus diberikan dalam 3

jam setelah pertama kali munculnya gejala. Normalnya, TPA diinjeksikan

ke dalam vena pada lengan. Batas waktu pemakaian dapat diperpanjang

sampai 6 jam jika diberikan dalam tetesan langsung ke pembuluh darah

yang tersumbat. Ini biasa dilakukan oleh seorang ahli radiologi intervensi,

dan tidak semua rumah sakit mempunyai akses terhadap teknologi ini.

Untuk stroke sirkulasi bagian bawah yang melibatkan sistem

vertebrobasilar, batas waktu terapi dengan TPA dapat diperpanjang hingga

lebih lama sampai 18 jam.

Heparin dan aspirin

Obat-obat untuk darah yang kental (antikoagualan; seperti, heparin)

juga kadang-kadang digunakan untuk menerapi pasien stroke dengan

harapan terjadi peningkatan pemulihan pasien. Namun tidaklah jelas,

apakah penggunaan antikoagulan memperbaiki hasil akhir pengobatan

stroke atau secara sederhana membantu mencegah stroke berikutnya

(subsequent stroke). pada pasien tertentu, aspirin diberikan setelah

25

munculnya stroke benar-benar memberikan efek pemulihan yang walaupun

kecil tapi terukur. Dokter yang menerapi akan menentukan obat-obatan

yang digunakan berdasasrkan kebutuhan spesifik pasien

Mengelola masalah medis lainnya

Pengontrolan tekanan darah tinggi dan kolesterol merupakan kunci

untuk mencegah kejadian stroke di masa dtang. Pada Transient Ischemic

Attack (TIA), pasien mungkin diberikan obat meskipun tekanan darah dan

kadar kolesterolnya masih bisa diterima. Pada stroke akut, tekanan darah

akan dikontrol dengan ketat untuk mencegah kerusakan lebih lanjut.

Pada pasien dengan diabetes, kadar gula darah (glukosa) sering

meningkat setelah stroke. pengendalian kadar glukosa pada pasien ini dapat

meminimalkan ukuran stroke. akhirnya, oksigen dapat diberikan kepada

pasien stroke jika memang diperlukan.

B. Rehabilitasi

Jika seorang pasien tidak lagi menderita sakit akut setelah suatu

stroke, staf perawatan kesehatan memfokuskan pada pemaksimalan

kemampuan fungsi pasien. Hal ini sering dilakukan di rumah sakit

rehabilitasi atau area khusus di rumah sakit umum. Rehabilitasi juga dapat

bertempat di fasilitas perawat.

Proses rehabilitasi dapat meliputi beberapa atau semua hal di bawah ini:

1. Terapi bicara untuk belajar kembali berbicara dan menelan

2. Terapi okupasi untuk mendapatkan kembali ketangkasan lengan dan

tangan

3. Terapi fisik untuk memperbaiki kekuatan dan kemampuan berjalan, dan

4. Edukasi keluarga untuk memberikan orientasi kepada mereka dalam

merawat orang yang mereka cintai di rumah dan tantangan yang akan

mereka hadapi.

Berikut ini merupakan pedoman dasar rehabilitasi pasien pasca stroke:

Hari 1-3 (di sisi Kurangi penekanan pada daerah yang

26

tempat tidur) sering tertekan (sakrum, tumit)

Modifikasi diet, bed side, positioning

Mulai PROM dan AROM

Hari 3-5 o Evaluasi ambulasi

o Beri sling bila terjadi

subluksasi bahu

Hari 7-10 Aktifitas berpindah

Latihan ADL:

perawatan pagi hari

Komunikasi, menelan

2-3 minggu o Team/family

planning

o Therapeuthic

home evaluation

3-6 minggu Home

program

Indepen

dent ADL, tranfer, mobility

10-12 minggu o F

ollow up

o R

eview functional abilities

Ketika seorang pasien stroke telah siap untuk pulang ke rumah,

seorang perawat sebaiknya datang ke rumah selama periode waktu tertentu

sampai keluarga terbiasa dengan merawat pasien dan prosedur untuk

memberikan bermacam obat. Terapi fisik dapat dilanjutkan di rumah.

27

Pada akhirnya pasien biasa ditinggalkan di rumah dengan satu atau

lebih orang yang menjaganya, yang sekarang mendapati hidupnya telah

sangat berubah. Merawat pasien stroke di rumah dapat sangat mudah atau

sangat tidak mungkin. Pada waktunya, ini akan menjadi jelas bahwa pasien

harus ditempatkan pada fasilitas perawatan yang terlatih karena perawatan

yang sesuai tidak dapat diberikan di rumah walaupun keluarga bermaksud

baik untuk merawatnya.

Macam-macam rehabilitasi fisik yang dapat diberikan adalah :

1. Bed exercise

a) Positioning

b) Range of movement

c) Breathing

d) Bridging

2. Latihan duduk

3. Latihan berdiri

4. Latihan mobilisasi

5. Latihan ADL (activity daily living)

1. Bed Exercise

Latihan Positioning (Penempatan) yang meliputi :

Berbaring telentang

Gerakan menekuk dan meluruskan tangan

2. Latihan mobilisasi

3. Latihan pindah

dari kursi roda ke mobil

4. Latihan berpakaian

5. Latihan membaca

6. Latihan mengucapkan huruf A,I,U,E,O

28

IX. Komplikasi

Komplikasi pada stroke sering terjadi dan menyebabkan gejala klinik stroke

menjadi semakin memburuk. Tanda-tanda komplikasi harus dikenali sejak dini

sehingga dapat dicegah agar tidak semakin buruk dan dapat menentukan terapi

yang sesuai.

Komplikasi pada stroke yaitu:

a. Komplikasi Dini (0-48 jam pertama):

1) Edema serebri: Merupakan komplikasi yang umum terjadi, dapat

menyebabkan defisit neurologis menjadi lebih berat, terjadi peningkatan

tekanan intrakranial, herniasi dan akhirnya menimbulkan kematian.2

2) Abnormalitas jantung: Kelaianan jantung dapat menjadi penyebab, timbul

bersama atau akibat stroke,merupakan penyebab kematian mendadak

pada stroke stadium awal.sepertiga sampai setengah penderita stroke

menderita gangguan ritme jantung.2,3

3) Kejang: kejang pada fase awal lebih sering terjadi pada stroke hemoragik

dan pada umumnya akan memperberat defisit neurologis.2

4) Nyeri kepala

5) Gangguan fungsi menelan dan asprasi

b. Komplikasi jangka pendek (1-14 hari pertama):

1) Pneumonia: Akibat immobilisasi yang lama.2 merupakan salah satu

komplikasi stroke pada pernafasan yang paling sering, terjadi kurang lebih

pada 5% pasien dan sebagian besar terjadi pada pasien yang menggunakan

pipa nasogastrik.4

2) Emboli paru: Cenderung terjadi 7-14 hari pasca stroke, seringkali pada saat

penderita mulai mobilisasi.2

3) Perdarahan gastrointestinal: Umumnya terjadi pada 3% kasus stroke. Dapat

merupakan komplikasi pemberian kortikosteroid pada pasien stroke.

Dianjurkan untuk memberikan antagonis H2 pada pasien stroke ini.

4) Stroke rekuren

5) Abnormalitas jantung

29

6) Deep vein Thrombosis (DVT)

7) Infeksi traktus urinarius dan inkontinensia urin

c. Komplikasi jangka panjang

1) Stroke rekuren

2) Abnormalitas jantung

3) Kelainan metabolik dan nutrisi

4) Depresi

5) Gangguan vaskuler lain: Penyakit vaskuler perifer.

Tata Cara Rehabilitasi Medik Stroke yang Lain

www.rah.sa.gov.au/physio/physio.php

30

www.oakridgesphysio.com/physiotherapy.htm

Perhatian utama rehabilitasi adalah evaluasi potensi perkembangan pasien

dengan rehabilitasi yang intensif. Tujuan dari rehabilitasi harus realistis dan fleksibel

sebab status neorologis dari pasien dan derajat kelainan biasanya berubah seiring

waktu. Hal terbaik didapatkan jika pasien dan keluarga berpartisipasi dalam

mencapai tujuan rehabilitasi.

Evaluasi Penderita Stroke dari Segi Rehabilitasi Medik

Tujuan rehabilitasi medik adalah tercapainya sasaran fungsional yang

realistik dan untuk menyusun suatu program rehabilitasi yang sesuai dengan sasaran

tersebut.

Pemeriksaan penderita meliputi empat bidang evaluasi:10

1.      Evaluasi neuromuskuloskeletal

Mencakup evaluasi neurologi secara umum dengan perhatian khusus pada:

        Tingkat kesadaran

        Fungsi mental termasuk intelektual.

        Kemampuan bicara.

        Nervus kranialis.

        Pemeriksaan sensorik.

        Pemeriksaan fungsi persepsi.

        Pemeriksaan motorik

        Pemeriksaan gerak sendi.

        Pemeriksaan fungsi vegetatif.

2.      Evaluasi medik umum

Mencakup sistem kardiovaskuler, sistem pernapasan, sistem endokrin serta

sistem saluran urogenital.

3.      Evaluasi kemampuan fungsional

Meliputi kegiatan sehari-hari (AKS) seperti makan dan minum, mencuci,

kebersihan diri, transfer dan ambulasi. Untuk setiap jenis aktivitas tersebut

ditentukan derajat kemandiriaan dan ketergantungan penderita juga kebutuhan

alat bantu.

4.      Evaluasi psikososial-vokasional

31

Mencakup faktor psikologis, vokasional dan aktifitas rekreasi, hubungan dengan

keluarga, sumber daya ekonomi dan sumber daya lingkungan Evaluasi

psikososial dapat dilakukan dengan menyuruh penderita mengerjakan suatu hal

sederhana yang dapat dipakai untuk penilaian tentang kemampuan mengeluarkan

pendapat, kemampuan daya ingat dan orientasi.

Program Rehabilitasi Medik pada Penderita Stroke 1

o       Fase awal/akut:

Tujuannya adalah untuk mencegah komplikasi sekunder dan melindungi fungsi

yang tersisa. Program ini dimulai sedini mungkin setelah keadaan umum

memungkinkan dimulainya rehabilitasi. Hal-hal yang dapat dikerjakan adalah

proper bed positioning, latihan luas gerak sendi, stimulasi elektrikal dan begitu

penderita sadar dimulai penanganan masalah emosional.

o       Fase lanjutan:

Tujuannya adalah unyuk mencapai kemandirian fungsional dalam mobilisasi

dan aktifitas kegiatan sehari-hari (AKS). Fase ini dimulai pada waktu penderita

secara medik telah stabil. Biasanya penderita dengan stroke trombotik atau

embolik, biasanya mobilisasi dimulai pada 2-3 hari setelah stroke. Penderita

dengan perdarahan subarakhnoid mobilisasi dimulai 10-15 hari setelah stroke.

Program pada fase ini meliputi :

1. Fisioterapi

a.       Stimulasi elektrikal untuk otot-otot dengan kekuatan otot (kekuatan 2

kebawah)

b.      Diberikan terapi panas superficial (infra red) untuk melemaskan otot.

c.       Latihan gerak sendi bisa pasif, aktif dibantu atau aktif tergantung dari

kekuatan otot.

d.      Latihan untuk meningkatkan kekuatan otot.

e.       Latihan fasilitasi / redukasi otot

f.        Latihan mobilisasi.

2. Okupasi Terapi (aktifitas kehidupan sehari-hari/AKS)

32

Sebagian besar penderita stroke dapat mencapai kemandirian dalam

AKS, meskipun pemulihan fungsi neurologis pada ekstremitas yang terkena

belum tentu baik. Dengan alat Bantu yang disesuaikan, AKS dengan

menggunakan satu tangan secara mandiri dapat dikerjakan. Kemandirian

dapat dipermudah dengan pemakaian alat-alat yang disesuaikan.

3. Terapi Bicara

Penderita stroke sering mengalami gangguan bicara dan komunikasi.

Ini dapat ditangani oleh speech therapist dengan cara:

         Latihan pernapasan ( pre speech training ) berupa latihan napas,

menelan, meniup, latihan gerak bibir, lidah dan tenggorokan.

         Latihan di depan cermin untuk latihan gerakan lidah, bibir dan

mengucapkan kata-kata.

         Latihan pada penderita disartria lebih ditekankan ke artikulasi

mengucapkan kata-kata.

         Pelaksana terapi adalah tim medik dan keluarga.

4. Ortotik Prostetik

Pada penderita stroke dapat digunakan alat bantu atau alat ganti dalam

membantu transfer dan ambulasi penderita. Alat-alat yang sering digunakan

antara lain : arm sling, hand sling, walker, wheel chair, knee back slap, short

leg brace, cock-up, ankle foot orthotic (AFO), knee ankle foot orthotic

(KAFO).

5. Psikologi

Semua penderita dengan gangguan fungsional yang akut akan

melampaui serial fase psikologis, yaitu: fase shok, fase penolakan, fase

penyesuaian dan fase penerimaan. Sebagian penderita mengalami fase-fase

tersebut secara cepat, sedangkan sebagian lagi mengalami secara lambat,

berhenti pada salah satu fase, bahkan kembali ke fase yang telah lewat.

Penderita harus berada pada fase psikologis yang sesuai untuk dapat

menerima rehabilitasi.

6. Sosial Medik dan Vokasional

33

Pekerja sosial medik dapat memulai bekerja dengan wawancara

keluarga, keterangan tentang pekerjaan, kegemaran, sosial, ekonomi dan

lingkungan hidup serta keadaan rumah penderita.

Prognosis

Faktor-faktor yang mempengaruhi prognosis yaitu :

1. Saat mulainya rehabilitasi medik, program dimulai kurang dari 24 jam maka

pengembalian fungsi lebih cepat. Bila dimulai kurang dari 14 jam maka

kemampuan memelihara diri akan kembali lebih dahulu.

2. Saat dimulainya pemulihan klinis, prognosis akan lebih buruk bila ditemukan

adanya : 1-4 minggu gerak aktif masih nol (negatif); 4-6 minggu fungsi tangan

belum kembali dan adanya hipotonia dan arefleksia yang menetap.

B. PEB HELLP SYNDROME

I. Pengertian

Preeklamsia berat adalah preeklamsia dengan tekanan darah sistolik

≥160mmHg dan tekanan darah sistolik ≥110 mmHg disertai dengan proteinuria

lebih 5g/24jam.

Eklamsia merupakan kasus akut pada penderita preeklamsi, yang disertai dengan

kejang menyeluruh dan koma.

Sindroma HELLP ialah preeklamsia-eklamsia disertai timbulnya hemolisis,

peningkatan enzim hepar, disfungsi hepar, dan trombositopenia. H (Hemolisis)

EL (Elevated Liver Enzyme), LP (Low Platelete Count).

II. Patofisiologi :

preeklamsia – eklamsia

Vasokonstriksi merupakan dasar patogenesis PE-E. Vasokonstriksi

menimbulkan peningkatan total perifer resisten dan menimbulkan hipertensi.

34

Adanya vasokonstriksi juga akan menimbulkan hipoksia pada endotel

setempat, sehingga terjadi kerusakan endotel, kebocoran arteriole disertai

perdarahan mikro pada tempat endotel. Selain itu Hubel (1989) mengatakan

bahwa adanya vasokonstriksi arteri spiralis akan menyebabkan terjadinya

penurunan perfusi uteroplasenter yang selanjutnya akan menimbulkan

maladaptasi plasenta. Hipoksia/ anoksia jaringan merupakan sumber reaksi

hiperoksidase lemak, sedangkan proses hiperoksidasi itu sendiri memerlukan

peningkatan konsumsi oksigen, sehingga dengan demikian akan mengganggu

metabolisme di dalam sel. Peroksidase lemak adalah hasil proses oksidase

lemak tak jenuh yang menghasilkan hiperoksidase lemak jenuh. Peroksidase

lemak merupakan radikal bebas. Apabila keseimbangan antara peroksidase

terganggu, dimana peroksidase dan oksidan lebih dominan, maka akan timbul

keadaan yang disebut stess oksidatif. Pada PE-E serum anti oksidan kadarnya

menurun dan plasenta menjadi sumber terjadinya peroksidase lemak.

Sedangkan pada wanita hamil normal, serumnya mengandung transferin, ion

tembaga dan sulfhidril yang berperan sebagai antioksidan yang cukup kuat.

Peroksidase lemak beredar dalam aliran darah melalui ikatan lipoprotein.

Peroksidase lemak ini akan sampai kesemua komponen sel yang dilewati

termasuk sel-sel endotel yang akan mengakibatkan rusaknya sel-sel endotel

tersebut. Rusaknya sel-sel endotel tersebut akan mengakibatkan antara lain :

1. adhesi dan agregasi trombosit.

2. gangguan permeabilitas lapisan endotel terhadap plasma.

3. terlepasnya enzim lisosom, tromboksan dan serotonin sebagai akibat dari

rusaknya trombosit.

4. produksi prostasiklin terhenti.

5. terganggunya keseimbangan prostasiklin dan tromboksan.

6. terjadi hipoksia plasenta akibat konsumsi oksigen oleh peroksidase lemak

III. Sindrom HELLP

Patogenesis sindrom HELLP sampai sekarang belum jelas. Yang

ditemukan pada penyakit multisistem ini adalah kelainan tonus vaskuler,

35

vasospasme, dan kelainan koagulasi. Sampai sekarang tidak ditemukan faktor

pencetusnya. Sindrom ini kelihatannya merupakan akhir dari kelainan yang

menyebabkan kerusakan endotel mikrovaskuler dan aktivasi trombosit

intravaskuler; akibatnya terjadi vasospasme, aglutinasi dan agregasi trombosit

dan selanjutnya terjadi kerusakan endotel. Hemolisis yang didefinisikan

sebagai anemia hemolitik mikroangiopati merupakan tanda khas. Sel darah

merah terfragmentasi saat melewati pembuluh darah kecil yang endotelnya

rusak dengan deposit fibrin. Pada sediaan apus darah tepi

ditemukan spherocytes, schistocytes, triangular cells dan burr

cells.Peningkatan kadar enzim hati diperkirakan sekunder akibat obstruksi

aliran darah hati oleh deposit fibrin di sinusoid. Obstruksi ini menyebabkan

nekrosis periportal dan pada kasus yang berat dapat terjadi perdarahan

intrahepatik, hematom subkapsular atau ruptur hati. Nekrosis periportal dan

perdarahan merupakan gambaran histopatologik yang paling sering

ditemukan.

Trombositopeni ditandai dengan peningkatan pemakaian dan atau

destruksi trombosit. Banyak penulis tidak menganggap sindrom HELLP

sebagai suatu variasi dari disseminated intravascular coagulopathy (DIC),

karena nilai parameter koagulasi seperti waktu prothrombin (PT), waktu

parsial thromboplastin (PTT), dan serum fibrinogen normal. Secara klinis

sulit mendiagnosis DIC kecuali menggunakan tes antitrombin III,

fibrinopeptide-A, fibrin monomer, D-Dimer, antiplasmin, plasminogen,

prekallikrein, dan fibronectin. Namun tes ini memerlukan waktu dan tidak

digunakan secara rutin.Semua pasiensindrom HELLP mungkin mempunyai

kelainan dasar koagulopati yang biasanya tidak terdeteksi.

IV. Epidemiologi dan faktor resiko

a. Epidemiologi

36

Sindrom HELLP terjadi pada 2-12% kehamilan. Sebagai

perbandingan, preeklampsi terjadi pada 5-7% kehamilan.

Superimposed sindrom HELLP berkembang dari 4-12% wanita preeklampsi

atau eklampsi. Tanpa preeklampsi, diagnosis sindrom ini sering terlambat.

Sindrom HELLP dapat timbul pada masa postpartum. Sibai

melaporkan dalam penelitian 304 pasien sindrom HELLP, 95 pasien (31%)

hanya bermanifestasi saat postpartum. Pada kelompok ini, saat terjadinya

berkisar dari beberapa jam sampai 6 hari, sebagian besar dalam 48 jam

postpartum. Selanjutnya 75 pasien (79%) menderita preeklampsi sebelum

persalinan, 20 pasien (21%) tidak menderita preeklampsi baik antepartum

maupun postpartum.

b. Faktor resiko

Faktor risiko sindrom HELLP berbeda dengan preeklampsi (Tabel 1).

Dalam laporan Sibai dkk (1986), pasien sindrom HELLP secara bermakna

lebih tua (rata-rata umur 25 tahun) dibandingkan pasien preeklampsi-

eklampsi tanpa sindrom HELLP (rata-rata umur 19 tahun). lnsiden sindrom

ini juga lebih tinggi pada populasi kulit putih dan multipara.

Sindrom ini biasanya muncul pada trimester ke tiga, walaupun pada

11% pasien muncul pada umur kehamilan <27 minggu, pada masa

antepartum sekitar 69% pasien dan pada masa postpartum sekitar 31%. Pada

masa post partum, saat terjadinya khas, dalam waktu 48 jam pertama post

partum.

37

Tabel 1. Faktor resiko

V. Manifestasi klinis.

Pasien sindrom HELLP dapat mempunyai gejala dan tanda yang

sangat bervariasi, dari yang bernilai diagnostic sampai semua gejala dan

tanda pada pasien preeklampsi-eklampsi yang tidak menderita sindrom

HELLP.

Sibai (1990) menyatakan bahwa pasien biasanya muncul dengan

keluhan nyeri epigastrium atau nyeri perut kanan atas (90%), beberapa

mengeluh mual dan muntah (50%), yang lain bergejala seperti infeksi virus.

Sebagian besar pasien (90%) mempunyai riwayat malaise selama beberapa

hari sebelum timbul tanda lain.

Dalam laporan Weinstein, mual dan/atau muntah dan nyeri

epigastrium diperkirakan akibat obstruksi aliran darah di sinusoid hati, yang

dihambat oleh deposit fibrin intravaskuler. Pasien sindrom HELLP biasanya

menunjukkan peningkatan berat badan yang bermakna dengan udem

menyeluruh. Hal yang penting adalah bahwa hipertensi berat (sistolik160

mmHg, diastolic 110 mmHg) tidak selalu ditemukan. Walaupun 66% dari

112 pasien pada penelitian Sibai dkk (1986) mempunyai tekanan darah

diastolic 110 mmHg, 14,5% bertekanan darah diastolic 90 mmHg.

38

VI. Diagnosis.

Kriteria diagnosis

Tiga kelainan utama pada sindrorn HELLP berupa hemolisis,

peningkatan kadar enzim hati dan jumlah trombosit yang rendah. Banyak

penulis mendukung nilai laktat dehidrogenase (LDH) dan bilirubin agar

diperhitungkan dalam mendiagnosis hemolisis. Derajat kelainan enzim hati

harus didefinisikan dalam nilai standar deviasi tertentu dan nilai normal di

masing-masing rumah sakit.

1. Hemolisis

Kelainan apusan darah tepi

Total bilirubin > 1,2 mg/dl

Laktat dehidrogenase (LDH) > 600 U/L

2. Peningkatan fungsi hati

Serum aspartate aminotransferase (AST) > 70 U/L

SGPT > 50 U/L

3. Jumlah trombosit yang rendah

Hitung trombosit < 100.000/mm

VII. Diagnosis banding

Pasien sindrom HELLP dapat menunjukkan tanda dan gejala yang

sangat bervariasi, yang tidak bernilai diagnostic pada preeklampsi berat.

Akibatnya sering terjadi salah diagnosis, diikuti dengan kesalahan pemberian

obat dan pembedahan.

Diagnosis banding pasien sindrom HELLP meliputi:

1. Penyakit yang berhubungan dengan kehamilan :

39

Benigna trombositopenia dalam kehamilan

Acute Fatty Liver of Pregnancy (AFLP)

2. Penyakit infeksi dan inflamasi, tidak berhubungan dengan kehamilan :

Hepatitis

Kolangitis

Kolesistisis

Gastritis

Ulkus gaster

Pankreatitis akut

Infeksi saluran kemih bagian atas

3. Trombositopenia

ITP

Defisiensi asam folat

SLE

VIII. Klasifikasi

a. Klasifikasi berdasarkan jumlah kelainan.

Dalam sistem ini, pasien diklasifikasikan sebagai sindrom HELLP

parsial (mempunyai satu atau dua kelainan) atau sindrom HELLP total

(ketiga kelainan ada). Wanita dengan ketiga kelainan lebih berisiko

menderita komplikasi seperti DIC, dibandingkan dengan wanita dengan

sindrom HELLP parsial. Konsekuensinya pasien sindrom HELLP total

seharusnya dipertimbangkan untuk bersalin dalam 48 jam, sebaliknya

yang parsial dapat diterapi konservatif.

b. Klasifikasi berdasarkan jumlah trombosit.

Berdasarkan kadar trombosit darah, maka sindroma HELLP

diklasifikasikan dengan nama “ klasifikasi Mississippi “

40

1. kelas I

kadar trombosit ≤ 50.000/ml

LDH ≥600 IU/l

AST dan atau ALT ≥40IU/l

2. Kelas II

Kadar trombosit antara >50.000 ≤100.000/mm

LDH ≥600 IU/l

AST dan atau ALT ≥40IU/l

3. Kelas III

Kadar trombosit antara >100.000 ≤150.000/mm

LDH ≥600IU/l

AST dan atau ALT ≥40IU/l

Klasifikasi ini telah digunakan dalam memprediksi kecepatan

pemulihan penyakit pada post partum, keluaran maternal dan

perinatal.Sindrom HELLP kelas I berisiko morbiditas dan mortalitas ibu

lebih tinggi dibandingkan pasien kelas II dan kelas III.

IX. Penatalaksanaan.

Pasien sindrom HELLP harus dirujuk ke pusat pelayanan kesehatan

tersier dan pada penanganan awal harus diterapi sama seperti pasien

preeklampsi. Prioritas pertama adalah menilai dan menstabilkan kondisi ibu,

khususnya kelainan pembekuan darah.

Pasien sindrom HELLP harus diterapi profilaksis MgSO untuk

mencegah kejang, baik dengan atau tanpa hipertensi. Bolus 4-6 g MgSO 20%

41

sebagai dosis awal, diikuti dengan infus 2 g/jam. Pemberian infus ini harus

dititrasi sesuai produksi urin dan diobservasi terhadap tanda dan gejala

keracunan MgSO Jika terjadi keracunan, berikan 10-20 ml kalsium glukonat

10% iv.

Terapi anti hipertensi harus dimulai jika tekanan darah menetap >

160/110 mmHg di samping penggunaan MgSO Hal ini berguna menurunkan

risiko perdarahan otak, solusio plasenta dan kejang pada ibu. Tujuannya

mempertahankan tekanan darah diastolik 90 - 100 mmHg. Anti hipertensi

yang sering digunakan adalah hydralazine (Apresoline) iv dalam dosis kecil

2,5-5 mg (dosis awal 5 mg) tiap 15-20 menit sampai tekanan darah yang

diinginkan tercapai. Labetalol, Normodyne dan nifedipin juga digunakan dan

memberikan hasil baik. Karena efek potensiasi, harus hati-hati bila nifedipin

dan MgSO4 diberikan bersamaan. Diuretik dapat mengganggu perfusi

plasenta sehingga tidak dapat digunakan.

Langkah selanjutnya ialah mengevaluasi kesejahteraan bayi dengan

menggunakan tes tanpa tekanan, atau profil biofisik, biometri USG untuk

menilai pertumbuhan janin terhambat. Terakhir, harus diputuskan apakah

perlu segera mengakhiri kehamilan. Amniosentesis dapat dilakukan pada

pasien tanpa risiko perdarahan. Beberapa penulis menganggap sindrom ini

merupakan indikasi untuk segera mengakhiri kehamilan dengan seksio

sesarea, namun yang lain merekomendasikan pendekatan lebih konservatif

untuk memperpanjang kehamilan pada kasus janin masih immatur.

Perpanjangan kehamilan akan memperpendek masa perawatan bayi di

NICU (Neonatal Intensive Care Unit), menurunkan insiden nekrosis

enterokolitis, sindrom gangguan pernafasan. Beberapa bentuk terapi sindrom

HELLP yang diuraikan dalam literatur sebagian besar mirip dengan

penanganan preeklampsi berat.

Jika sindrom ini timbul pada saat atau lebih dari umur kehamilan 35

minggu, atau jika ada bukti bahwa paru janin sudah matur, atau janin dan ibu

dalam kondisi berbahaya, maka terapi definitif ialah mengakhiri kehamilan.

Jika tanpa bukti laboratorium adanya DIC dan paru janin belum matur, dapat

42

diberikan 2 dosis steroid untuk akselerasi pematangan paru janin, dan

kehamilan diakhiri 48 jam kemudian. Namun kondisi ibu dan janin harus

dipantau secara kontinu selama periode ini.

Goodlin meneliti bahwa terapi konservatif dengan istirahat dapat

meningkatkan volume plasma. Pasien tersebut juga menerima infus albumin

5 atau 25%; usaha ekspansi volume plasma ini akan menguntungkan karena

meningkatkan jumlah trombosit. Thiagarajah meneliti bahwa peningkatan

jumlah trombosit dan enzim hati juga bisa dicapai dengan pemberian

prednison atau betametason.

Clark dkk. melaporkan tiga kasus sindrom HELLP yang dapat

dipulihkan dengan istirahat mutlak dan penggunaan kortikosteroid.

Kehamilan pun dapat diperpanjang sampai 10 hari, dan semua persalinan

melahirkan anak hidup, pasien-pasien ini mempunyai jumlah trombosit lebih

dari 100.000/mm atau mempunyai enzim hati yang normal. Dua laporan

terbaru melaporkan bahwa penggunaan kortikosteroid saat antepartum dan

postpartum menyebabkan perbaikan hasil laboratorium dan produksi urin

pada pasien sindrom HELLP.

Deksametason l0 mg/12 jam iv lebih baik dibandingkan dengan

betametason 12 mg/24 jam im, karena deksametason tidak hanya

mempercepat pematangan paru janin tapi juga menstabilkan sindrom HELLP.

Pasien yang diterapi dengan deksametason mengalami penurunan aktifitas

AST yang lebih cepat, penurunan tekanan arteri rata-rata (MAP) dan

peningkatan produksi urin yang cepat, sehingga pengobatan anti hipertensi

dan terapi cairan dapat dikurangi. Tanda vital dan produksi urine harus

dipantau tiap 6-8 jam. Terapi kortikosteroid dihentikan jika gejala nyeri

kepala, mual, muntah, dan nyeri epigastrium hilang dengan tekanan darah

stabil <160/110 mmHg tanpa terapi anti hipertensi akut serta produksi urine

sudah stabil yaitu >50 ml/jam.

43

Sindrom ini bukan indikasi seksio sesarea, kecuali jika ada hal-hal

yang mengganngu kesehatan ibu dan janin. Pasien tanpa kontraindikasi

obstetri harus diizinkan partus pervaginam. Sebaliknya, pada semua pasien

dengan umur kehamilan > 32 minggu persalinan dapat dimulai dengan infus

oksitosin seperti induksi, sedangkan untuk pasien < 32 minggu serviks harus

memenuhi syarat untuk induksi. Pada pasien dengan serviks belum matang

dan umur kehamilan < 32 minggu, seksio sesarea elektif merupakan cara

terbaik.

Transfusi trombosit diindikasikan baik sebelum maupun sesudah

persalinan, jika hitung trombosit < 20.000/mm. Namun tidak perlu diulang

karena pemakaiannya terjadi dengan cepat dan efeknya sementara. Setelah

persalinan, pasien harus diawasi ketat di ICU paling sedikit 48 jam. Sebagian

pasien akan membaik selama 48 jam postpartum; beberapa, khususnya yang

DIC, dapat terlambat membaik atau bahkan memburuk. Pasien demikian

memerlukan pemantauan lebih intensif untuk beberapa hari.

Penanganan sindrom HELLP post partum sama dengan pasien

sindrom HELLP anteparturn, termasuk profilaksis antikejang. Kontrol

hipertensi harus lebih ketat.

44

Tabel 3. Penanganan Sindrom HELLP

45

X. Komplikasi

a. Komplikasi terhadap ibu

Angka kematian ibu dengan sindrom HELLP mencapai 1,1%; 1-25%

berkomplikasi serius seperti DIC, solusio plasenta, adult respiratory distress

syndrome, kegagalan hepatorenal, udem paru, hematom subkapsular, dan

rupture hati.

b. Komplikasi terhadap bayi

Angka kematian bayi berkisar 10-60%, disebabkan oleh solusio plasenta,

hipoksi intrauterin, dan prematur. Pengaruh sindrom HELLP pada janin

berupa pertumbuhan janin terhambat (IUGR) sebanyak 30% dan sindrom

gangguan pernafasan (RDS).

C. DISARTRIA (GANGGUAN ARTIKULASI)

Untuk dapat mengucapkan kata sebaik-baiknya, sehingga bahasa yang

didengar dapat ditangkap dengan jelas dan tiap suku kata dapat terdengar secara

rinci, maka mulut, lidah, bibir, palatum mole dan pita suara serta otot-otot pernafasan

harus melakukan gerakan tangkas sesempurna-sempurnanya. Bila salah satu gerakan

tesebut di atas terganggu, timbullah cara berbahasa (verbal) yang kurang jelas. Pada

pidato ada kata-kata yang seolah-olah ”ditelan”, terutama pada akhir kalimat. Gejala

ini biasanya disebabkan oleh karena integrasi gerakan otot-otot pernafasan di dalam

mekanisme mengeluarkan kata-kata dalam kalimat tidak sempurna. Adakalanya lidah

atau mulut sakit karena adanya stomatitis sehingga lidah dan mulut tidak dapat

dibuka dan ditutupnya sebaik-baiknya. Juga dalam hal ini kata-kata tidak dapat

diucapkan sejelas-jelasnya. Soal pengucapan kata-kata secara jelas dan tegas

dinamakan artikulasi . Gangguan artikulasi dinamakan disartria Pada dasarnya

hanya cara mengucapkannya saja yang terganggu tetapi tatabahasanya baik. Pada

lesi UMN unilateral, sebagai gejala bagian hemiparesis, dijumpai disartria yang

46

ringan sekali. Dalam hal ini terbatasnya kebebasabn lidah bergerak ke satu sisi

merupakan sebab gangguan artikulasi. Disartria UMN yang berat timbul akibat lesi

UMN bilateral. Seperti pada paralisis pseudobulbaris. Di situ lidah sukar

dikeluarkan dan umumnya kaku untuk digerakkan ke segala jurusan. Orang awam

berpendapat bahwa lidahnya menjdi pendek. Pada disartria serebelar, kerja sama

gerak otot lidah, bibir, pita suara, dan otot-otot yang membuka dan menutup mulut

bersimpang siur, sehingga kelancaran dan kontinuitas kalimat yang diucapkan

sangat terganggu. Cara berbahasa penderita penyakit serebelum disebut eksplosif,

karena kata-kata yang dikeluarkan terputus-putus, suara dan nadanya berdentam.

Disartria pada penderita parkinson, disebabkan oleh gerak otot yang lamban dan

kaku. Sehingga cara berbahasanya lambat, monoton, lemah, dan menggetar.

Pada disartria LMN akan terdengar berbagai macam disartria tergantung pada

kelompok otot yang terganggu. Penderita dengan paralisis bulbaris di kenal sebagai

pelo. jika palatum mole lumpuh, disartria yang timbul bersifat sengau. Hal ini sering

dijumpai pada myastenia gravis . Penyakit-penyakit yang dapat membangkitkan

disartria LMN ialah poloneuritis, difteria, siringobulbi, distrofia muskulorum

progresiva, dan miastenia gravis.

Kelainan bawaan pada frenulum lingua bisa menimbulkan disartria juga.

Lafal S, T, R,L dan N dapat diucapkan jika ujung lidah bebas untuk bergerak. Jika

frenulum lingua mengikat lidah sampai ujungnya juga, maka disartria timbul.

Dengan jalan operasi, pada mana ujung lidah dibebaskan dari frenulum itu, disatria

akan hilang.

47

DAFTAR PUSTAKA

Anita, S. 2009. Rehabilitasi medik pada pasien stroke. http://

minpoems.blogspot.com

Arif, 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Medika Acisculapus

Chandra, 1994. Neurologi Klinik. Stroke, Surabaya: Bagian Ilmu Penyakit Syaraf

Fakultas Kedokteran Unair/ RSUD Dr Soetomo. Hal:29-31.

Chalela Julio A, MD., Smith Teresa L, MD. 1997.Cardiac Complication of

Stroke. Mayo clinic proc.

Chalela Julio A, MD., Smith Teresa L, MD.2000. Stroke-related pulmonary

complications and abnormal respiratory patterns. J Neurol sci.

Christopher Luzzio, MD. 2009. Posterior Cerebral Artery Srtoke.

http://www.emedicine.com/Posteriorcerebralstroke

Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, Hauth JC, Wenstrom KD.

Williams Obstetrics. 22nd ed. New York: McGraw-Hill, 2007

Daniel I Slater, MD., Sarah A Curtin, MD. 2009. Middle Cerebral Artery

Stroke.http://www.emedicine.com/Middlecerebralstroke

David A Wolk, Brett Cucchiara, and Scott E Kasner. Anterior serebral Artery

Stroke Syndromes.Neurology MedLink.2001.Smith Teresa L, MD. Medical

Complication of Stroke. A multicenter study, stroke 2000.

Goodnight SH, Hathaway WE. Disorders of Hemostasis and Thrombosis: A

Clinical Guide. 2nd ed. New York: McGraw-Hill, 2001: 234

Islam, M.S. 1997. Stroke. Surabaya: Universitas Airlangga. Hal:26

48

John MW., Jose B. 2001.Basilar Artery Stroke. Neurology MedLinkMansjoer,

Mahar Mardjono, Priguna Sidharta. 2004 Neurologi klinis dasar. Jakarta: Dian

Rakyat. Hal: 207-8.

Manuaba IBG, Manuaba IAC, Manuaba IBGF. Pengantar Kuliah Obstetri.

Jakarta: EGC, 2007: 417-419

PERDOSSI.2007. Guidline stroke.Jakarta: PERDOSSI. Hal: 47-50.

Saifuddin AB. Dalam Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Edisi Keempat.

Jakarta : BP – SP, 2008.

Scott JR, Gibbs RS, Karlan BY, Haney AF. Danforth’s Obstetrics and

Gynecology. 9th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2007: 22

49


Recommended