Prevalensi komorbid penyakit pembuluh retina pada pasien glaukoma di
sebuah pusat pendidikan kesehatan
Latar Belakang:
Pasien dengan berbagai kelainan retina dan yang telah menjalani prosedur dan operasi
retina memiliki peningkatan risiko mengalami hipertensi okuler dan glaukoma.
Epidemiologi mengenai komorbid penyakit pembuluh retina pada pasien glaukoma masih
belum banyak diketahui. Penelitian ini mengevaluasi prevalensi komorbid penyakit
pembuluh retina pada populasi yang terdiri dari lima tipe pasien glaukoma. Metode:
penelitian longitudinal, retrospektif dilakukan menggunakan dokumen International
Classification of Disease (ICD-9) tahun 2003 hingga 2010 di sebuah pusat pendidikan
kesehatan. Pasien diklasifikasikan sebagai penderita glaukoma sudut terbuka primer atau
primary open-angle glaucoma (POAG), glaukoma sudut terbuka tekanan rendah atau low
tension open-angle glaucoma (NTG), glaukoma sudut terbuka pigmentasi, glaukoma
sudut tertutup kronik atau chronic-angle closure glaucoma (CACG), atau glaukoma
pseudoeksfoliasi atau pseudoexfoliation glaucoma (PXG) jika memiliki paling sedikit
tiga kunjungan klinik dengan kode ICD-9 yang sama. Pasien diklasifikasikan memiliki
faktor komorbid penyakit pembuluh retina jika memiliki dua kunjungan klinik dengan
kode yang sama. Variabel dianalisa menggunakan independent t-test, , χ2 test, analisa
varian, atau uji eksak fisher.
Hasil:
Total 5,154 pasien mengalami glaukoma, dan 14.8% dari mereka mempunyai komorbid
penyakit pembuluh retina. Prevalensi komorbid penyakit pembuluh retina lebih tinggi
pada pasien dengan POAG (15.7%) daripada pasien dengan NTG (10.7%), PXG (10.1%),
atau glaukoma sudut terbuka pigmentasi (3.7%; P,0.05). Dua ratus dua pasien menderita
retinopati diabetik, dengan pasien POAG (4.5%) memiliki prevalensi lebih tinggi
daripada pasien dengan CACG (1.4%) atau PXG (0.6%; P,0.001). Terdapat 297 pasien
dengan degenerasi makula, baik pasien POAG (2.0%) dan PXG (2.9%) mempunyai
prevalensi lebih tinggi untuk mengalami degenerasi makula noneksudatif dari pasien
dengan CACG (0%; P,0.01). Pasien dengan komorbid penyakit pembuluh retina memiliki
prevalensi kebutaan dan daya tajam penglihatan sangat rendah (low vision) daripada
mereka tanpa faktor komorbid tersebut (1.97% banding 1.02%, P=0.02).
Kesimpulan:
Prevalensi komorbid penyakit pembuluh retina yang tinggi dan peningkatan sebanyak
hampir dua kali lipat terjadinya kebutaan dan low vision pada populasi ini menunjukkan
oftamologis perlu menentukan apakah pasien memiliki etiologi multipel terhadap
hilangnya penglihatan yang mereka alami. Semakin tinggi prevalensi penyakit pembuluh
retina tertentu pada pasien POAG mungkin merupakan cerminan proses patofisiologis
yang membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut.
Kata kunci: frekuensi glaukoma, frekuensi retina, komorbid penyakit pembuluh retina,
prevalensi glaukoma, prevalensi penyakit retina
Pendahuluan
Glaukoma dan berbagai penyakit pembuluh retina merupakan penyebab utama hilangnya
penglihatan di dunia. Banyak penyakit pembuluh retina dikaitkan dengan terjadinya
berbagai tipe glaukoma. Kondisi iskemik seperti oklusi vena retina sentral atau oklusi
cabang vena retina, oklusi arteri retina sentral atau cabang, keganasan, dan retinopati
diabetik proliferatif dihubungkan dengan glaukoma neovaskuler.1 Berbagai tipe uveitis,2-5
termasuk penyakit Behcet,6 sarkoidosis,4 sifilis,4 Fuchs iridosiklitis,4 dan artritis reumatoid
juvenil4 merupakan penyebab glaukoma sekunder.
Retinitis pigmentosa dihubungkan dengan glaukoma sudut terbuka dan sudut tertutup
primer.7 Pasien dengan ablasio retina memiliki persentase hipertensi okuler dan glaukoma
lebih tinggi dibandingkan dengan populasi umum.8 Pasien yang menjalani prosedur dan
operasi pembuluh retina berisiko tinggi mengalami peningkatan tekanan intraokuler
(TIO). Injeksi steroid intravitreal, terutama triamsinolon asetonid intravitreal,
dihubungkan dengan peningkatan tekanan intraokuler pada hampir 50% pasien, yang
membutuhkan penatalaksanaan dengan obat topikal dan, dalam hal tertentu operasi.9,10
Fotokoagulasi panretina dikaitkan dengan peningkatan TIO11 dan glaukoma sudut tertutup
akut.12,13 Penelitian mengenai injeksi anti hormon pertumbuhan endotelial dan vaskuler
intravitreal menunjukkan adanya hubungan dengan peningkatan TIO yang terus
menerus14 dan membutuhkan medikasi topikal dan dalam hal tertentu operasi glaukoma.15
operasi vitreoretina16 termasuk vitrektomi sederhana17 (contoh, vitrektomi tanpa gas,
scleral buckle, atau minyak silikon) dan vitrektomi kompleks,17,18 dihubungkan dengan
peningkatan TIO dalam waktu 24 jam pertama setelah operasi. Sebagai tambahan,
vitrektomi dengan minyak silikon19 dan vitrektomi tanpa minyak silikon20,21 dikaitkan
dengan terjadinya glaukoma.
Penelitian menyimpulkan adanya risiko peningkatan TIO dan glaukoma pada pasien
dengan penyakit pembuluh retina dan pada pasien postoperatif atau post-prosedur
pembuluh retina tertentu. Prevalensi komorbid penyakit pembuluh retina pada pasien
dengan glaukoma tidak banyak diketahui. Prevalensi komorbid penyakit pembuluh retina
dapat membantu dokter menentukan apakah hilangnya penglihatan pasien disebabkan
oleh glaukoma atau bersifat multifaktorial dengan keterlibatan penyakit lainnya.
Penelitian ini mencari prevalensi berbagai penyakit pembuluh retina pada kelompok
pasien dengan lima tipe glaukoma yang berbeda pada satu pusat pendidikan kesehatan.
Bahan dan metode
Sebuah penelitian retrospektif telah dilakukan di satu pusat pendidikan kesehatan
menggunakan Klasifikasi Penyakit secara International (ICD-9) dan catatan tagihan
prosedur terminologi terkini mulai 1 Juni 2003 hingga 30 November 2010. Semua pasien
berusia 40 tahun atau lebih pada saat pemeriksaan klinis mereka terakhir dan
diklasifikasikan menggunakan catatan tagihan ICD-9 sebagai penderita glaukoma sudut
terbuka primer (POAG [365.11]), glaukoma sudut terbuka tekanan rendah/normal (NTG
[365.12]), glaukoma sudut terbuka pigmentasi (365.13), glaukoma sudut tertutup kronik
(CACG [365.23]), atau glaukoma pseudoeksfoliasi (PXG [365.52]). Penelitian ini tidak
mengikutsertakan pasien suspek glaukoma (365.0-365.04) agar dapat berfokus pada
kerusakan akibat glaukoma. Pasien dengan glaukoma neovaskular (365.63) dieksklusi
karena terbukti adanya asosiasi antara glaukoma neovaskular dan retinopati diabetik,
CRVO, berbagai keganasan okuler, dan sindrom iskemik okuler.22 Pasien dikatakan
memiliki komorbid penyakit pembuluh retina berdasarkan kode pada ICD-9 untuk
kerusakan dan ablasio retina (361.0-361.9), penyakit pembuluh retina lain (362.0-362.9),
atau inflamasi korioretina, kerusakan dan penyakit koroid lainnya (363.0-363.9). Human
Subject Research Office of University of Miami Institutional Review Boards telah
menyetujui penelitian ini. Penelitian ini dilakukan sesuai dengan Deklarasi Helsinki.
Pasien diikutsertakan dalam penelitian jika mereka memiliki paling sedikit tiga
pemeriksaan klinis yang sama dengan diagnosis glaukoma berdasarkan ICD-9, dan
mendapatkan perawatan berkelanjutan di klinik oftamologi lebih dari 2 tahun. Setiap
pasien dikategorikan memiliki satu tipe glaukoma untuk memastikan bahwa setiap tipe
penyakit glaukoma terdiri dari pasien yang unik. Pasien dieksklusi jika mereka memenuhi
kriteria diagnosis untuk lebih dari satu jenis glaukoma (paling sedikit tiga pemeriksaan
klinis selama lebih dari 2 tahun untuk setiap diagnosis glaukoma).
Pasien dikategorikan memiliki komorbid penyakit pembuluh retina jika mereka
paling sedikit melakukan dua kunjungan pada tanggal berbeda dengan penyakit retina
yang sama berdasarkan ICD-9. Kami tidak membedakan tipe kunjungan (kunjungan
klinik, unit gawat darurat oftamologi, operasi, atau pelaksanaan prosedur). Pasien
dikategorikan mengalami kebutaan dan low vision (ICD-9 369) jika pasien dalam dua
kunjungan dinyatakan dengan kode 369 ICD-9. Tidak seperti populasi dengan komorbid
penyakit retina, kami tidak mengharuskan pasien melakukan dua kunjungan yang
dihubungkan dengan kode ICD-9 (bertempat dua desimal) spesifik yang sama untuk
kebutaan dan low vision.
Beberapa kode vitreoretinal ICD-9 dieksklusi karena analisis terdahulu
mengungkapkan bahwa tidak ada pasien dengan diagnosis berikut ini: abses vitreous
(360.04), panuveitis (360.12), atau edema papil (377.00-377.04). Empat pasien neuritis
optik (377.3), sebelas pasien atropi optik (377.1), dan sebelas pasien dengan kelainan
saraf optik lainnya (377.4) dieksklusi.
Analisis statistik dilakukan menggunakan versi 10 JMP (SAS Institue Inc, Cary,
NC, USA). Variabel kategori dianalisa menggunakan uji χ2 atau Fisher. Variabel
berkelanjutan dianalisa menggunakan uji t independen, analisa varian (ANOVA), atau
post hoc test dengan perbedaan yang kurang signifikan.
Hasil
Total 5,154 pasien memenuhi kriteria glaukoma, dengan mayoritas
pasien mengalami POAG (n=4,171, 80.9%) dan 2,142 (41,6%) dalam waktu paling tidak
5 tahun. Tujuh ratus enam puluh dari pasien glaukoma ini memiliki diagnosis penyakit
retina, dan 35 dari mereka mempunyai kategori multipel untuk diagnosis penyakit retina
(contoh, baik diagnosis ablasio retina maupun penyakit retina lainnya). Secara
keseluruhan, prevalensi komorbid penyakit pembuluh retina pada populasi pasien
glaukoma sebanyak 14.8% (760/5,154). Prevalensi ablasio retina 0.99% (ICD-9 361.xx,
51/5,154), prevalensi kelainan pada koroid 0.33% (ICD-9 363.xx, 17/5,154), dan
prevalensi kelainan pada badan vitreus 0.83% (ICD-9 379.2x, 43/5,154).
Karakteristik pasien glaukoma dengan dan tanpa komorbid penyakit retina
disajikan pada tabel 1. Secara keseluruhan, pada penelitian ini terdapat lebih banyak
perempuan (2,906, 56.3%) daripada laki-laki (2,248, 43.7%). Tidak ada perbedaan rasio
komorbid penyakit retina antara laki-laki dan perempuan (P=0.29, uji χ2). Pasien
glaukoma dengan komorbid penyakit retina berusia lebih tua daripada pasien tanpa
penyakit retina (usia rata-rata 75.4 tahun banding 73.1 tahun, P, 0.0001, uji t independen).
Pasien dengan komorbid penyakit retina, pasien PXG berusia lebih tua daripada pasien
POAG, NTG, atau CACG (usia rata-rata 83.1 tahun banding 73.7-75.2 tahun, P, 0.05,
ANOVA dan uji post hoc dengan perbedaan kurang signifikan). Tidak terdapat perbedaan
pada usia rata-rata antara pasien dengan PXG dan mereka dengan glaukoma pigmentasi
sudut terbuka (83.1 tahun banding 73.8 tahun, P.0.05, uji eksak fisher). Tidak ditemukan
perbedaan pada usia rata-rata antara POAG, NTG, glaukoma pigmentasi sudut terbuka,
dan pasien CACG dalam hal komorbid penyakit retina (P.0.05, ANOVA).
Kami kemudian menanyakan pasien dengan tipe glaukoma seperti apa yang
paling mungkin mempunyai komorbid penyakit pembuluh retina. Tabel 2 dan Grafik 1
menyajikan proporsi pasien dengan komorbid penyakit retina berdasarkan tipe glaukoma.
Proporsi pasien POAG dengan komorbid penyakit retina lebih besar (15.7%) daripada
pasien NTG (10.7%, P=0.014, uji χ2), pasien PXG (10.1%, P=0.008, uji χ2), dan pasien
glaukoma pigmentasi sudut terbuka (3.7%, P=0.013, uji eksak fisher). Tidak terdapat
perbedaan lain mengenai proporsi komorbid penyakit retina diantara tipe glaukoma
(P.0.05, uji χ2, uji eksak fisher).
Tabel 1 Usia dan jenis kelamin pasien dengan dan tanpa komorbid penyakit
pembuluh retina
Pasien glaukoma dengan
komorbid penyakit retina
(n=760)
Pasien glaukoma tanpa
komorbid penyakit retina
(n=4,394)
Usia, tahun (%)*
40-49
50-59
60-69
70-79
80-89
≥90
Rata-rata
Jenis kelamin, n (%)
Perempuan
Laki-laki
16 (2.1)
65 (8.6)
161 (21.2)
221 (29.1)
229 (30.1)
68 (8.9)
75.4±11.5
419 (55.1)
341 (44.9)
160 (3.6)
481 (10.9)
1,013 (23.1)
1,334 (30,4)
1,127 (25.6)
279 (6.3)
73.1±11.8
2,487 (56.6)
1,907 (43.4)
Catatan: *usia pada kunjungan terakhir
Kami kemudian menganalisa tipe penyakit pembuluh retina apa yang paling
sering ditemukan pada pasien glaukoma. Tabel 3-6 menyajikan jumlah pasien beserta
masing-masing diagnosis. Diagnosis yang paling sering termasuk degenerasi sistoid
makula (125); degenerasi makula senilis noneksudatif (94), degenerasi makula senilis
tidak terspesifikasi (89), latar belakang retinopati diabetik (82), dan retinopati diabetik
proliferatif (78), seperti dilihat pada bagan 2.
Kami kemudian menanyakan apakah terdapat hubungan antara subtipe glaukoma
dan retinopati diabetik, degenerasi makula terkait usia (age-related macular
degeneration, AMD), dan oklusi vaskuler retina, yang merupakan tiga diagnosis paling
sering dari komorbid penyakit retina. Dua ratus tiga puluh satu pasien glaukoma
menderita diabetes melitus dengan manifestasi oftalmik (ICD-9 250.5–250.53, 362.01–
362.07), yang mana dua ratus dua menderita penyakit retinal terkait diabetes (ICD-9
362.01–362.07). Prevalensi penyakit retinal terkait diabetes pada pasien glaukoma pada
penelitian ini ialah 3.92% (201/5,154). Lima puluh enam pasien melakukan kunjungan
hanya untuk retinopati diabetik proliferatif dan 139 pasien melakukan kunjungan untuk
retinopati diabetik nonploriferatif atau tipe background. Dua puluh dua melakukan
kunjungan karena kedua kategori penyakit tersebut. Pasien POAG memiliki prevalensi
komorbid retinopati diabetik lebih tinggi (4.5%) daripada pasien CACG (1.4%, P=0.013,
uji eksak fisher) atau pasien PXG (0.6%, P,0.001, uji eksak fisher). Tidak ada perbedaan
pada usia rata-rata antara POAG, CACG, dan pasien PXG dengan pasien retinopati
diabetik (P.0.05, ANOVA).
Seratus dua puluh delapan pasien glaukoma didiagnosa oklusi vaskuler retina,
dengan empat pasien mengalami oklusi arteri sentral atau cabang, 124 pasien mengalami
CRVO atau BRVO, dan dua pasien menderita baik oklusi arteri maupun vena. Tidak
ditemukan perbedaan prevalensi oklusi vaskuler retina berdasarkan tipe glaukoma (0%-
2.9%, P.0.05, uji eksak fisher). Perbedaan juga tidak ditemukan pada prevalensi oklusi
vena retina berdasarkan tipe glaukoma (0%-2.9%, P.0.05, uji eksak fisher). Total 297
pasien glaukoma didiagnosis degenerasi makula (eksudatif, noneksudatif, tidak
terspesifikasi)
Tabel 2. Prevalensi komorbid penyakit retina berdasarkan tipe glaukoma
POAG
(n=4,171)
NTG
(n=336)
PG (n=54) CACG
(n=277)
PXG
(n=316)
Pasien dengan 656 36 (10.7%) 2 (3.7%) 34 (12.3%) 32 (10.1%)
komorbid
penyakit retina
Pasien tanpa
komorbid
penyakit retina
(15.7%)
3,515
(84,3%)
300
(89.3%)
52 (96.3%) 243 (87.7%) 284
(89.9%)
atau degenerasi sistoid makula), dengan 84 pasien hanya mengalami AMD noneksudatif,
37 pasien AMD eksudatif, dan sepuluh pasien mengalami baik AMD eksudatif maupun
noneksudatif. Prevalensi AMD noneksudatif 1.6% (84/5,154) dan prevalensi MAD
eksudatif 0.91% (47/5,154). Pasien dengan AMD eksudatif dan noneksudatif
diikutsertakan dalam penghitungan prevalensi untuk AMD eksudatif karena memiliki
kedua diagnosis dapat mencerminkan adanya progresi dari AMD noneksudatif ke AMD
eksudatif. Pasien POAG dan PXG memiliki prevalensi AMD noneksudatif lebih tinggi
dibandingkan dengan pasien CACG (2.0% banding 0%, P=0.009 dan 2.9% banding 0%,
P=0.004, uji eksak fisher). Tidak ada perbedaan rata-rata usia antara pasien POAG dan
PXG dengan AMD noneksudatif (84.9 banding 86.3, P.0.05, uji t). Tidak ada perbedaan
prevalensi AMD eksudatif berdasarkan tipe glaukoma (0%–1.5%, P.0.05, uji eksak
fisher).
Terakhir, kami memeriksa kebutaan dan low vision untuk menentukan jika pasien
glaukoma dengan komorbid penyakit retina memiliki prevalensi kehilangan penglihatan
berat yang lebih tinggi. Pasien glaukoma dengan komorbid penyakit retina memiliki
prevalensi hilangnya penglihatan berat dibandingkan mereka tanpa penyakit retina
(1.97% banding 1.02%, P=0.02, uji χ2, bagan 3).
Bagan I Prevalensi komorbid penyakit retina berdsarkan tipe glaukoma. Pasien POAG
(15.7%) mempunyai prevalensi komorbid penyakit retina lebih tinggi dari pasien NTG
(10.7%), PXG (10.1%), dan PG (3.7%).
Catatan: P<0.05, uji X2
Singkatan: POAG, Glaukoma sudut terbuka primer; NTG, glaukoma sudut terbuka
tekanan rendah, PXG, glaukoma pseudoeksfoliasi
Diskusi
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengestimasi prevalensi penyakit retina pada
populasi terdiri dari pasien glaukoma pada satu pusat pendidikan kesehatan di Amerika
Serikat dan untuk menentukan apakah terdapat hubungan antara tipe glaukoma tertentu
dengan komorbid penyakit pembuluh retina yang paling sering. Penelitian ini didasarkan
catatan tagihan dan bukan ulasan grafik, sehingga data klinis dan laboratorium seperti
TIO, berat masa indeks, dan hemoglobin terglikosilasi tidak tersedia. Kekuatan pada
penelitian ini termasuk jumlah pasien glaukoma yang besar yang semuanya melakukan
kunjungan ulangan dalam jangka waktu yang panjang.
Kami memerlukan paling sedikit 2 tahun kunjungan ulang untuk dapat diikutsertakan
pada penelitian ini, dan 41.6% pasien dijumpai selama paling sedikit 5 tahun. Kami
menggunakan kumpulan data dari satu, pusat pelayanan kesehatan tersier dengan tujuan
menemukan pasien yang mengunjungi pusat pelayanan kesehatan yang sama untuk
pengobatan baik penyakit retina maupun glaukoma meskipun rasio prevalensi dapat
menunjukkan bias. Kelemahan penelitian ini termasuk disain restropektif, ketergantungan
pada kode ICD-9 tanpa menggunakan ulasan grafik untuk mengkonfirmasi diagnosis
pasien, kontrol kelompok yang minim, dan inklusi pasien dengan hanya lima tipe
glaukoma. Pasien glaukoma pada institusi ini dan yang juga mengunjungi dokter di luar
institusi karena penyakit retina tidak dimasukkan pada analisis kami. Pasien CACG dan
glaukoma sudut sempit mungkin berada pada risiko lebih tinggi untuk mengalami
komplikasi dari prosedur dilatasi, dan pemeriksaan fundus pada pasien ini mungkin
menjadi kurang optimal. Risiko dilatasi mungkin saja mengurangi diagnosis komorbid
penyakit retina pada populasi glaukoma ini. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk
mengevaluasi rasio prevalensi masing subtipe glaukoma dan untuk mengevaluasi
hubungan antara POAG dan penyakit retina spesifik dengan kontrol yang memiliki usia
dan jenis kelamin yang sesuai. Ulasan grafik yang rinci juga perlu dilakukan untuk
mengkonfirmasi hasil penelitian yang didasarkan pada data tagihan, selain itu data klinis
seperti TIO juga perlu dimasukkan.
Kami memilih POAG, NTG, CACG, glaukoma pigmentasi sudut terbuka, dan
PXG karena ini merupakan tipe glaukoma yang paling sering dijumpai di pusat
pendidikan kesehatan kami. Kami mengekslusi glaukoma neovaskular karena hubungan
antara diabetik retinopati proliferatif dan sindrom iskemik okuler sudah
didokumentasikan dengan baik.22 Kami mengidentifikasi pasien dengan paling sedikit
tiga pemeriksaan klinis dalam rentang waktu 2 tahun dengan diagnosis glaukoma yang
sama. Kami memilih kriteria inklusi untuk memaksimalkan akurasi diagnosis glaukoma,
untuk mengidentifikasi populasi glaukoma dengan perawatan ulangan selama bertahun-
tahun, dan untuk meminimalisir inklusi pasien glaukoma yang datang ke pusat kesehatan
ini hanya untuk mendapatkan second opinion. Pasien dengan penyakit pembuluh retina
perlu mendapatkan diagnosis yang sama pada dua kunjungan apa pun (klinis, prosedur,
atau unit gawat darurat).
Perlunya paling tidak dua kunjungan dengan diagnosis penyakit retina yang sama
diharapkan dapat mengurangi hasil positif palsu (inklusi) dan ketidakakuratan diagnosis
akibat kesalahan pengkodean atau dari evaluasi kunjungan dinyatakan negatif. Selain itu,
diagnosis tambahan tampak lebih konsisten seiring waktu karena pasien dengan penyakit
retina mungkin mengalami progres penyakit sehingga mengalami perubahan diagnosis
(contoh, dari retinopati diabetik nonproliferatif menjadi retinopati diabetik proliferatif.
Kami menentukan kriteria yang tidak begitu ketat untuk kebutaan dan low vision, (dua
kunjungan dengan kode 369 ICD-9 apa pun) karena diagnosis tersebut relatif jarang dan
penelitian ini lebih memperhatikan apakah pasien mengalami kehilangan penglihatan
berat dan bukan tingkatan spesifik dari hilangnya penglihatan yang berat (contoh, total,
hampir total, dalam).
Penelitian sebelumnya telah mengungkapkan bahwa pasien dengan penyakit
retina spesifik, operasi dan prosedur retina mengalami peningkatan insiden hipertensi
okuler dan glaukoma; meskipun begitu, tidak ada publikasi yang mengestimasi prevalensi
komorbid penyakit pembuluh retina di suatu populasi penderita glaukoma. Kami
menemukan rasio komorbid penyakit retina yang signifikan (14.8%) pada populasi
glaukoma ini. Pasien glaukoma dengan penyakit komorbid memiliki usia rata-rata yang
lebih tua daripada mereka tanpa komorbid penyakit retina. Rata-rata usia yang lebih tua
mungkin dikarenakan peningkatan usia merupakan faktor risiko untuk terjadinya berbagai
penyakit pembuluh retina. Tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin dan rasio
komorbid penyakit retina.
Penelitian sebelumnya mengenai rasio komorbid penyakit pembuluh retina pada
pasien glaukoma belum ada. Meskipun begitu, penelitian epidemiologi dapat memberikan
informasi mengenai rasio penyakit tertentu di populasi umum. Penelitian ini dilakukan
pada populasi yang berbeda dan memiliki disain yang tidak sama, jadi pembanding pada
penelitian ini terbatas. Rasio retinopati diabetik pada penelitian ini konsisten dengan
penelitian epidemiologi di literatur oftamologi. Hasil mengindikasikan bahwa 3.4%
pasien glaukoma menderita retinopati diabetik dan 3.9% pasien menderita baik retinopati
diabetik atau diabetes dengan manifestasi oftalmik, hal itu konsisten dengan penelitian
sebelumnya yang memperkirakan prevalensi retinopati diabetik sebesar 3.4% pada orang
Amerika berusia lebih dari 40 tahun.23 Demikian, menggunakan kontrol historis yang
berasal dari penelitian epidemiologi, prevalensi retinopati diabetik tampaknya tidak
berbeda pada pasien glaukoma dan sampel skrining berbasis masyarakat.
Secara kontras, rasio oklusi vaskular pada penelitian ini lebih tinggi dari estimasi
prevalensi lainnya. Kami mengkombinasikan BRVO dan CRVO untuk prevalensi
kombinasi sebesar 2.4%. secara global, prevalensi tersebut diestimasi sebesar 3.77 per
1000 untuk BRVO dan 0.65 per 1000 untuk CRVO.24 prevalensi kami yang lebih tinggi
mungkin mencerminkan adanya bias atau mungkin mendemonstrasikan bahwa pasien
glaukoma memiliki prevalensi yang lebih tinggi daripada populasi umum. Glaukoma
sudut terbuka telah lama dikenal sebagia faktor risiko baik BRVO maupun CRVO.25,26
CRVO iskemik dapat berujung pada glaukoma neovaskular dan CACG, tapi penelitian ini
tidak mengikutsertakan glaukoma neovaskular, dan tidak terdapat perbedaan signifikan
secara statistik antara oklusi vena atau oklusi vaskular dengan tipe glaukoma yang diteliti.
Diagnosis CACG mungkin terlewatkan jika pasien tidak dilakukan pemeriksaan
gonioskopi. Jumlah pasien dengan oklusi vaskular yang sedikit juga membatasi kekuatan
statistik penelitian ini. Dari seluruh pasien penelitian, hanya tiga pasien PXG, lima NTG,
delapan CACG, dan 112 POAG yang mengalami oklusi vaskular.
Selain itu, hasil yang kami dapatkan mengenai prevalensi degenerasi makula
pada pasien glaukoma lebih rendah dari prevalensi dari penelitian sebelumnya. Sebuah
meta analisis pada tahun 2004 mengestimasi prevalensi AMD sebesar 6.12% untuk AMD
dini dan 1.02% untuk AMD neovaskular,27 yang lebih tinggi dari estimasi kami yaitu
2.5% baik untuk AMD eksudatif maupun noneksudatif, 1.6% untuk AMD noneksudatif,
dan 0.91% untuk AMD eksudatif. Di penelitian pada pasien Finlandia dengan POAG dan
PXG tahun 2008, prevalensi AMD 4.0%.28 Definisi AMD merupakan kunci yang
menentukan cara penghitungan rasio prevalensi, dan meta analisis tahun 2004
mendefinisikan AMD dini sebagai memiliki paling sedikit satu drusen dengan ukuran
125µm atau lebih.27 Rasio AMD yang lebih rendah pada penelitian ini mungkin
menunjukkan keterbatasan penggunaan kode ICD-9 tanpa ulasan grafik. Proporsi pasien
AMD noneksudatif dan pasien AMD eksudatif pada penelitian ini adalah 2.5% hingga
0.91%, yang berbeda dengan estimasi yang didokumentasikan secara baik bahwa 85%-
90% pasien AMD merupakan AMD noneksudatif. Data-data ini dapat mencerminkan
adanya bias dimana dengan absennya studi prospektif resmi terdahulu, drusen sebagai
penanda AMD dini mungkin tidak terdeteksi atau terdokumentasi, atau mungkin tidak
berujung pada rujukan ke spesialis retina yang lebih mungkin untuk mengkodekan
penyakit ini. Penjelasan lain untuk rendahnya rasio AMD, bahwa penelitian populasi
mungkin tidak bisa digeneralisasikan menjadi penelitian epidemiologi berbasis
komunitas. Sementara kita tidak memiliki informasi mengenai ras atau etnik peserta
penelitian, pusat pendidikan kesehatan ini berlokasi di negara terdiri dari 64.3% hispanik
atau latin berdasarkan US Sensus Bureau.29 Sudah lama diketahui bahwa ras Kaukasian
memiliki rasio AMD lebih tinggi dari Afrika Amerika, dan pada penelitian terbaru
mengajukan hipotesis bahwa glaukoma mungkin merupakan faktor protektif terhadap
perkembangan AMD, meskipun begitu, hipotesis ini perlu penelitian tambahan begitu
juga dengan penjelasan mekanisme secara biologis.
Ketika menganalisa perbedaan prevalensi antara komorbid penyakit retina dan
tipe glaukoma, kami juga mengevaluasi perbedaan rata-rata usia tipe-tipe glaukoma
karena usia diketahui merupakan faktor risiko baik untuk glaukoma dan berbagai
penyakit retina seperti AMD, aterosklerosis dan penyakit oklusi arteri retina, penyakit
oklusi vena retina, dan membran epiretina.31 Dari semua pasien dengan komorbid
penyakit retina, pasien PXG berusia lebih tua dari mereka dengan POAG, NTG dan
CACG, dan tidak terdapat perbedaan lain antara tipe glaukoma. Pasien POAG dengan
komorbid penyakit retina tidak berusia lebih tua dari pasien dengan tipe lain glaukoma.
Peningkatan risiko kehilangan penglihatan berat sebanyak hampir dua kali lipat
pada pasien dengan komorbid penyakit retina menunjukkan perlunya dokter untuk
melakukan pemeriksaan retina secara seksama, serta mempertimbangkan etiologi
multipel jika hasil pemeriksaan lapang pandang atau pemeriksaan nervus optikus tidak
sebanding dengan derajat kerusakan penglihatan. Pendekatan yang multidisiplin, berbasis
kelompok terhadap perawatan pasien dengan pemantauan yang sering tentunya
diindikasikan untuk pasien dengan risiko hilangnya penglihatan. Memahami prevalensi
komorbid penyakit retina pada pasien dengan tipe glaukoma tertentu dapat berujung pada
peningkatan kewaspadaan antara dokter spesialis mata. Penelitian lebih lanjut diperlukan
untuk mengevaluasi perawatan pasien glaukoma dengan komorbid penyakit retina.
Bagan 2. Diagnosis komorbid penyakit retina paling sering. Pasien dengan glaukoma, lima
diagnosis paling sering MD sistoid, MD noneksudatif, MD tidak terspesifikasi, background DR,
dan DR proliferatif.
Bagan 3 Prevalensi kebutaan dan low vision. Pasien glaukoma dengan komorbid penyakit retina
memiliki rasio kebutaan dan low vision lebih tinggi dari pasien glaukoma tanpa penyakit komorbid
retina (1.97% banding 1.02%).
Catatan: P=0.01, uji X2 .
Singkatan: CRD, Comorbid retinal disease
Acknowledgement (Pemberian Kredit)
Penulis mengucapkan terima kasih pada National Eye Institute (P30s EY022589 and
EY014801) dan sebuah akses tanpa retriksi oleh Research to Prevent Blindness Inc.
Penutup
Disclosure JFG: Pfizer, Inc. (Ownership). Data pendahuluan penelitian ini
dipresentasikan sebagai poster di pertemuan nasional Association for Research in Vision
and Ophthalmology di Orlando, FL, USA, May 2014. Penulis tidak melaporkan adanya
konflik pada penelitian ini.