iv
ABSTRAK
Kahendri. NIM 11140450000086. PEMBAGIAN KEKUASAAN NEGARA
MENURUT QANUN ASASI NII DAN UNDANG – UNDANG DASAR 1945.
Program Studi Hukum Tata Negara (Siyasah), Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1441 H/2019 M. 85 halaman.
Studi ini bertujuan untuk menjelaskan konsep pembagian kekuasaan negara
yang terdapat dalam Qanun Asasi NII dan Undang – undang Dasar 1945 serta
mengkomparasikan konsep pembagian kekuasaan yang dianutoleh keduanya. Secara
teoritis pembagian kekuasaan negara menurut teori Trias Politica,pemisahan
kekuasaan negara terbagi dalam tiga poros kekuasaan yakni legislatif (membuat
undang-undang), eksekutif (menjalankan undang-undang) dan yudikatif (mengadili
undang-undang).
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode
penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan perbandingan (Comparative
approach)dan dilakukan dengan menggunakan penelitian studi pustaka (library
research). Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini ada dua macam:
pertama, data Primer dalam penelitian ini adalah Qanun Asasi NII dan UUD 1945.
Kedua, data sekunderdalam penelitian ini adalah segala jenis publikasi yang berkaitan
dengan judul baik itu berupa buku-buku, kitab-kitab fikih dan jurnal yang berkaitan
dengan judul skripsi ini. Analisis data menggunakan analisis isi (content analysis)
dengan mengkategorisasikan data–data, kemudian di deskripsikan untuk didapatkan
perbandingannya.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konsep pembagian kekuasaan negara
yang dianut keduanya adalah sama-sama mengacu pada model ketatanegaraan
modern, yakni pembagian kekuasaan yang di delegasikan dalam bentuk lembaga-
lembaga negara. akan tetapi dalam penamaan nama lembaga-lembaga negara
keduanya berbeda. Dalam Qanun Asasi NII pendelegasian kekuasaan terbagi atas
Majelis Syuro (legislatif), Imam (eksekutif), Mahkamah Agung (yudikatif) sedangkan
dalam UUD 1945 pasca amandemen pembagian kekuasaan terbagi atas Majelis
Permusyawaratan Rakyat (Legislatif), Presiden (Eksekutif), MA dan MK (Yudikatif),
dan BPK (Pengawasan).
Kata Kunci: Pembagian Kekuasaan Negara, Qanun Asasi NII, UUD 1945,
Ketatanegaraan.
Pembimbing : Dr. H. Rumadi, M.Ag
Daftar Pustaka : 1971 – 2018
v
KATA PENGANTAR
Syukur al-hamdulillah, penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT yang telah
memberikan kesehatan dan kesempatan kepada penulis sehingga dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan judul : “Pembagian Kekuasaan Negara Menurut
Qanun Asasi NII dan UUD 1945”. Shalawat beriring salam kepada junjungan kita
baginda Nabi Muhammad SAW yang telah membawa Agama Islam sebagai pedoman
bagi umatnya.
Dalam proses penyelesaian skripsi ini penulis memperoleh bimbingan dan
dukungan dari berbagai pihak, maka dari itu penulis tidak lupa mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang terlibat, terutama kepada :
1. Bapak Dr. Ahmad Tholabi, M.A., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Ibu Sri Hidayati, M.Ag., Ketua Program Studi Hukum Tata Negara (Siyasah)
dan Ibu Dr. Masyrofah, M.Si., Sekretaris Program Studi Hukum Tata Negara
(Siyasah) Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang
telah banyak membantu dan membimbing selama perkuliahan.
3. Bapak Dr. H. Rumadi, M.Ag., Dosen Pembimbing yang telah banyak
meluangkan waktunya dalam memberikan bimbingan dan arahan yang sangat
berguna bagi penulis dalam menyusun Skripsi ini.
4. Pimpinan dan pegawai perpustakaan, baik perpustakaan fakultas maupun
perpustakaan utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan
fasilitas untuk pengadaan studi pustaka.
5. Bapak Dr. Khamami Zada, SH., M.A., MDC., Dosen Pembimbing Akademik
yang telah banyak meluangkan waktunya dalam memberikan bimbingan dan
arahan yang sangat berguna selama penulis menempuh perkuliahan.
6. Kedua orang tua penulis yang terkasih, Ibunda Kartinah dan Ayahanda
Warnadi yang tiada lelah memberikan dukungan serta doa-doa yang selalu
dipanjatkan buat penulis. Penulis sangat bangga meski berlatar belakang
vi
sebagai buruh tani, tapi Ayahanda dan Ibunda selalu mendukung penulis
dalam meraih pendidikan hingga jenjang perkuliahan. Serta Kakakku Sunardi
beserta Istri dan Adikku Nia Trisnawati yang telah mendukung dan
memotivasi kepada penulis hingga saat ini.
7. Teman-teman seperjuangan keluarga besar HTN angkatan 2014 yang telah
menemani perjalanan penulis selama dibangku perkuliahan, terutama Angga
Anjaya yang telah banyak membantu dalam pencarian sumber referensi
sebagai bahan penulisan Skripsi ini.
8. Keluarga besar Permai-Ayu DKI Jakarta yang telah mengajarkan arti
kekeluargaan selama berproses di tanah rantau, serta telah menjadi tempat
belajar menambah pengetahuan yang tidak di dapat dibangku perkuliahan,
terutama mengajarkan akan pengabdian sebagai mahasiswa kepada tanah
kelahiran.
9. Keluarga besar IRMAFA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang ikut andil
dalam menemani penulis di tanah rantau dan banyak mengajarakan ilmu –
ilmu yang bermanfaat bagi penulis.
Penulis hanya bisa mengucapkan banyak terima kasih yang tak terhingga,
semoga Allah SWT akan membalas kebaikan, dan kasih sayang kepada kalian semua
yang sudah membantu penulis selama ini. Amin.
Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan sebagai bentuk
khazanah ilmu pengetahuan serta wawasan bagi siapa saja yang membaca hasil
penellitian ini.
Jakarta, 22 Oktober 2019
Penulis
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
PERSETUJUAN PEMBIMBING……………………………………..…………….i
LEMBAR PENGESHAN PENGUJI…………………………………………….....ii
LEMBAR PERNYATAAN………………………………………………………...iii
ABSTRAK…………………………………………………………………………...iv
KATA PENGANTAR……………………………………………………….………v
DAFTAR ISI…………………………………………………………………...…...vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang……………………………………...…………………………1
B. Identifikasi dan Perumusan Masalah………………………………....……….3
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………………………………………….…….3
D. Review Studi Terdahulu…...…………………………………….……………4
E. Metode Penelitian…………………………………………………….…….…6
F. Sistematika Penulisan…………………………………………………………8
BAB II NEGARA DAN KEKUASAAN
A. Konsepsi Negara………………………………………………………………9
B. Teori Pembagian Kekuasaan…………………………………………...……15
C. Sejarah Pembagian Kekuasaan Negara Dalam Islam……………..…………19
BAB III KEKUASAAN NEGARA DALAM QANUN ASASI NII
DAN UUD 1945
A. Sejarah Pembentukan UUD 1945 dan Qanun Asasi NII………………….....25
viii
B. Kedaulatan dalam UUD 1945 dan Qanun Asasi NII…………………….…..36
C. Tujuan Bernegara Dalam UUD 1945 dan Qanun Asasi NII……………..….37
D. Mekanisme Pemilihan Kepala Negara di Indonesia dan NII…………..…....39
E. Fungsi dan Wewenang Lembaga-Lembaga Negara Yang Terdapat di
Indonesia dan NII……………………………………………………………41
BAB IV KOMPARASI KONSEP PEMBAGIAN KEKUASAAN NEGARA
DALAM QANUN ASASI NII DAN UUD 1945
A. Komparasi Pembagian Kekuasaan Negara dalam Qanun Asasi NII
dan UUD 1945………………………………………………………...……..58
B. Tabel Perbandingan Konsep Pembagian Kekuasaan Negara
dalam Qanun Asasi NII dan UUD 1945….………………………………….62
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan……………..……………………………………………………64
B. Saran…………………………………………………………………………66
DAFTAR PUSTAKA……………………...………………………………..………68
LAMPIRAN…………………………………………………………………….......71
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam Islam mengenai kewajiban mendirikan negara memang tidak
dijelaskan secara eksplisit dalam nash al - Qur‟an maupun hadits, akan tetapi
dalam prakteknya dunia Islam telah mempraktekannya. Rasulullah sendiri telah
mempraktekan tugas kenegaraan yaitu ketika di Madinah. masyarakat yang
dipimpin oleh Rasulullah SAW di Madinah pada saat itu bukan hanya masyarakat
agama, melainkan masyarakat politik yang muncul sebagai manifestasi dari suku-
suku bangsa Arab, disitu Rasulullah sebagai pemimpinnya. Itulah sebabnya,
dalam Piagam Madinah, beliau diakui sebagai pemimpin tertinggi, yang berarti
pada saat itu pemegang semua kekuasaan, yakni kekuasaan eksekutif, legislatif,
maupun yudikatif. Karena hal itu, segala urusan semuanya bertumpu pada satu
kekuasaan yakni Rasulullah SAW. Rasulullah SAW barulah membagi
kekuasaannya kepada para sahabat untuk bertindak sebagai hakim setelah
wilayah kekuasaan Islam itu meluas.1
Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, dalam sejarah pemerintahan Islam,
kekuasaan tertinggi adalah ditangan khalifah. Khalifah yang mengatur segala
urusan pemerintahan, yang meliputi seluruh kewenangan dalam pemerintahan.
Akan tetapi dalam mengurusi pemerintahannya seorang khalifah dibantu oleh
lembaga – lembaga yang ada dibawahnya.2 Pembagian kekuasaan mulai
terperinci, sesuai fungsinya lembaga tersebut dapat dikelompokan menjadi tiga
1 Jaenal Arifin, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia,
(Jakarta: Fajar Interpratama Offset, Cet. 1, 2008), h. 170.
2 Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah Doktrin Dan Pemikiran Politik
Islam, (Jakarta: Erlangga , 2008), h. 308
2
lembaga, yaitu : (1) majelis taqnin (lembaga legislatif), (2) majelis tanfiz (lembaga
eksekutif), dan (3) majelis qada‟i (lembaga yudikatif).3
Sebagaimana yang telah dipraktekan Nabi di Madinah dan para sahabat,
secara implisit hal itu membuktikan bahwa dalam Islam telah mempraktekan
tugas kenegaraan, penegakan hukum serta melakukan pembagian kekuasaan, guna
tercapainya kemaslahatan bersama dalam usaha menciptakan pemerintahan yang
adil dan sejahtera.
Beralih ke Indonesia yang mayoritas beragama Islam, pada awal
kemerdekaan terdapat kelompok Islam yang menginginkan berdirinya Negara
islam di Indonesia. Kelompok ini diketuai oleh Sekarmadji Maridjan
Kartosuwirjo. Kartosuwirjo yang memproklamasikan berdirinya Negara Islam
Indonesia (NII) pada tanggal 7 Agustus 1949 di desa Cisampah, kecematan
Cilugalar, kawadanan Cisayong. Pada saat itu Kartosuwirjo juga telah membentuk
kabinetnya yang baru. Pemberontakan ini berawal dari memuncaknya kekecewaan
atas perjanjian KMB (Komisi Meja Bundar) yang melahirkan Republik Indonesia
Serikat (RIS). Menurut golongan ini dengan dibentuknya RIS sama saja Indonesia
“dimasukkan kedalam kebun binatang modern, yang bernamakan Republik
Indonesia Serikat (RIS).”4 Negara Islam Indonesia bentukan Kartosuwiryo pun
sudah mempunyai Konstitusi sebagai landasan negaranya yang disebut dengan
Qanun Asasi. Dalam Qanun Asasi ditegaskan bahwa al – Qur‟an dan Hadits
Shahih sebagai hukum tertinggi.5 Dapat kita simpulkan bahwa konsep negara
yang hendak dibangun NII merupakan konsep negara Islam, karena selain dari
nama negara yang jelas mencantumkan Islam secara tegas juga dalam
konstitusinya dilandaskan pada hukum Islam.
3Abdul Muin Salim, Fiqh Siyasah; Konsepsi Politik Dalam Al – Quran (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2002), h. 295.
4M.H. Budi Santoso, Darul Islam Pemberontakan Di Jawa Barat (Bandung : PT. Dunia
Pustaka Jaya,2013), h. 34
5 M.H. Budi Santoso, Darul Islam Pemberontakan Di Jawa Barat, h. 32
3
Dengan melihat latar belakang yang dipaparkan diatas, bahwa dalam
pemerintahan Islam sudah mengenal pemisahan kekuasaan. Penulis terdorong
untuk melakukan penelitian dan pembahasan lebih dalam, perihal model
pembagian kekuasaan Negara seperti apa yang terdapat dalam konstitusi Qanun
Asasi NII dan UUD 1945 yang bertujuan tercapainya sebuah kemaslahatan
bersama untuk mewujudkan sebuah negara yang sejahtera. Penulis
menuangkannya dalam bentuk skripsi yang berjudul “PEMBAGIAN
KEKUASAAN NEGARA MENURUT QANUN ASASI NII DAN UUD 1945.”
B. Identifikasi dan Perumusan Masalah
Untuk memahami permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini, maka
penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana konsep pembagian kekuasaan negara dalam Qanun Asasi
Negara Islam Indonesia dan UUD 1945 ?
2. Bagaimana analisis perbandingan konsep pembagian kekuasaan
Negara dalam Qanun Asasi Negara Islam Indonesia dan UUD 1945 ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka tujuan penelitan yang hendak
dicapai adalah :
1. Mendeskripsikan dan Memahami konsep Pembagian Kekuasaan negara
yang terdapat dalam konstitusi Qanun Asasi NII dan UUD 1945
2. Mengkomparasikan Konsep Pembagian Kekuasaan Negara yang terdapat
dalam konstitusi Qanun Asasi NII dan UUD 1945
Adapun manfaat – manfaat yang bisa diperoleh dari penelitian ini:
1. Manfaat Teoritis :
a. Mengetahui dan mendapatkan gambaran tentang Konsep
Pembagian Kekuasaan Negara Dalam Perspektif FIQH
Siyasah (Qanun Asasi NII dan UUD 1945 )
4
b. Mengetahui persamaan dan perbedaan konsep pembagian
kekuasaan negara yang terdapat dalam Qanun Asasi NII dan
UUD 1945.
2. Manfaat Praktis :
a. Sebagai salah satu sumbangan pemikiran untuk perkembangan
ilmu pengetahuan bagi para akademisi dan peneliti hukum,
khususnya dalam lingkup tata negara yang lebih khusus pada
kajian pembagian kekuasaan tentang isu - isu negara Islam.
b. Untuk menambah bahan masukan referensi di dalam
pengembangan ilmu pengetahuan hukum Tata Negara, dalam
wilayah pembagian kekuasaan negara Islam.
c. Untuk dijadikan bahan masukan dan acuan bagi para praktisi
ketatanegaraan dalam lingkup pemisahan / pembagian
kekuasaan negara.
D. Review Studi Terdahulu
untuk memberikan informasi bahwa penelitian yang diangkat oleh peneliti
ini berbeda dengan kajian – kajian terdahulu, maka peneliti perlu memaparkan
kajian terdahulu. adapun kajian – kajian terdahulu berkaitan dengan judul yang
peneliti angkat. peneliti menemukan beberapa karya,diantaranya :
1. Tesis Robitul Firdaus yang berjudul “Pemisahan Kekuasaan dan
Organisasi Negara dalam Pemerintahan Islam (Studi Komparatif
Terhadap Dustur Al – Islamy Hizbut Tahrir dan Qanun Asasi NII)”
(Skripsi S2 Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga,
Yogyakarta, 2010). Dalam rumusan masalah karyanya membahas tentang
bagaimana teori pemisahan kekuasaan dalam sistem pemerintahan Islam
yang ingin di desain oleh HT dan NII sebagaimana yang tertuang dalam
Dustur al – Islamy dan Qanun Asasi yang mereka pegangi, dan mencari
landasan (manhajul fikri) yang digunakan oleh Hizbut Tahrir dan Negara
Islam Indonesia (NII) dalam merumuskan pemerintahan yang mereka
5
susun, serta membahas tentang Bagaimana konstektualisasi sistem
pemerintahan HT dan NII tersebut ditinjau dari perspektif sistem
pemerintahan modern maupun Fiqh Siyasah.
2. Skripsi Angga Anjaya yang berjudul “Konsep Lembaga Negara Islam
(Studi Komparatif Hizbut Tahrir dan Negara Islam Indonesia),” (Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah tahun 2018). Dalam rumusan
masalah karyanya menjelaskan terkait bagaimana konsep lembaga negara
yang hendak dijalankan oleh Hizbut Tahrir dan Negara Islam, serta
mengkomparasikan konsep lembaga negara seperti apa yang hendak
dijalankan oleh keduanya.
3. Karya Al Chaidar, “Pengantar Pemikiran Politik Proklamator Negara
Islam Indonesia S.M. Kartosuwirjo, Mengungkp Manipulasi Sejarah
Darul Islam/DI-TII Semasa Orde Lama dan Orde Baru”. Jakarta: Darul
Falah, 1999.
Buku ini menjelaskan tentang biografi Kartosuwirjo, latar belakang
pemikiran Kartosuwirjo,perjalanan politik Kartosuwirjo aktivitas
pergerakan, gagasan Revolusi menuju pembentukan Darul Islam (NII)
sampai memproklamirkan Negara Islam Indonesia, gugurnya sang Imam
Kartosuwirjo dan kelanjutan Negara Islam Indonesia.
4. Karya Sandhi Prakoso, “Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia
Setelah Perubahan Undang – Undang Dasar Negara Republik
IndonesiaTahun 1945 Dengan Kekuasaan Presiden Amerika Serikat,”
(Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta 2011 ).
Dalam rumusan masalah karyanyamembahas terkait apa persamaan
dan perbedaan kekuasaan presiden Republik Indonesia setelah amandmen
dengan Presiden Amerika Serikat dan apa kelebihan dan kekurangan
kekuasaan presiden Republik Indonesia setelah amandemen dengan
kekuasaan Presiden Amerika Serikat .
5. karya Holk H. Dengel “Kartosuwirjo Kampf um einen islamischen Staat
Indonesien.” diterjemahkan oleh Tim Pustaka Sinar Harapan, “Darul
6
Islam-NII dan Kartosuwirjo, Angan – Angan yang Gagal.” (Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1995).
Karya riset ini menguraikan tentang perjalanan usaha untuk
mendirikan suatu negara Islam Indonesia oleh kartosuwirjo pada awal
pergerakan kebangkitan nasional, masa kolonialisme, hingga berakhirnya
Negara Islam Indonesia.
Perbedaan diantara karya – karya diatas dengan apa yang peneliti teliti jika
dilihat dari judul dan rumusan masalah yang akan diangkat jelas berbeda. Meski
ada beberapa kesamaan terkait permasalahan yang akan diteliti dengan Thesis
karya Robitul Firdaus yang berjudul “Pemisahan Kekuasaan dan Organisasi
Negara dalam Pemerintahan Islam (Studi Komparatif Terhadap Dustur Al –
Islamy Hizbut Tahrir dan Qanun Asasi NII).” Adapun perbedaan anatara karya
Robitul Firdaus dengan apa yang akan diteliti oleh peneliti terletak pada objek
yang diperbandingkan dan juga isi rumusan masalah yang akan diangkat. Peneliti
membandingkan antara Qanun Asasi NII dan UUD 1945 dalam pemisahan
kekuasaan negara, dan dalam rumusan masalahnya peneliti mengangkat dua
permasalahan, yang pertama, Bagaimana konsep pembagian kekuasaan negara
dalam Qanun Asasi Negara Islam Indonesia dan UUD 1945. kedua, Bagaimana
analisis perbandingan konsep pembagian kekuasaan Negara dalam Qanun Asasi
NII (Negara Islam Indonesia) dan UUD 1945.
E. Metode Penelitian
Untuk mendapatkan data dalam proses penelitian, peneliti menggunakan
metode kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan metode untuk mengeksplorasi
dan memahami makna yang oleh sejumlah individu atau sekelompok orang,
dianggap berasal dari masalah sosial atau kemanusiaan.6
Adapun pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan
pendekatan perbandingan (comparative approach). Jenis penelitian ini merupakan
perbandingan hukum, yaitu membangun pengetahuan umum mengenai hukum
6John W.Cresswell. Research Design Qualitative, Quantiitative, and Mixed Methods
Approaches, Penerjemah Achmad Fawaid, Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif,
dan Mixed, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 4
7
positif dengan membandingkan sistem hukum di suatu negara dengan sistem
hukum di negara lain.7pendekatan perbandingan diilakukan dengan mengadakan
studi perbandingan hukum,8 guna mendiskripsikan perbedaan dan persamaan dari
objek hukum yang diteliti. Sehingga dalam penelitian inimenggunakan jenis alat
pengumpulan data berupa studi dokumen atau bahan pustaka (Library Research).9
1. Sumber Data
Sumber – sumber penelitian dalam penelitian ini dapat dibedakan menjadi
data primer dan data sekunder. Data primer dalam penelitian ini adalah dokumen
UUD 1945 dan Qanun Asasi Negara Islam Indonesia yang termuat dalam buku
karya Abdul Munir Mulkhan dan Bilveer Singh dengan judul “Demokrasi
Dibawah Bayangan Mimpi N-11, Dilema Politik Islam Dalam Peradaban
Modern” yang diterbitkan oleh Kompas. Adapun data sekunder yang digunakan
dalam penelitian ini ialah berupa buku – buku yang berkaitan dengan negara
Republik Indonesia dan Negara Islam Indonesia bentukan Kartosoewirjo untuk
dijadikan rujukan dalam melakukan penelitian ini, ataupun berupa artikel maupun
jurnal – jurnal yang masih berkaitan dengan judul penelitian.
2. Analisis Data
Dalam melakukan analisis data ini dengan menaganalisis isi (Content
Analysist) dan mengelompokan data – data yang diperoleh. Kemudian data – data
dideskripsikan guna tahap selanjutnya dibandingkan dengan data – data lain
secara sistematis dan menyeluruh. Dari data - data ini barulah diperoleh
penjelasan tentang konsep pembagian kekuasaan negara yang terdapat dalam
konstitusi UUD 1945 dan Qanun Asasi Negara Islam Indonesia untuk
mengetahui hasil perbandingannya.
7Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Arifin, Metode Penelitian Hukum, (Ciputat:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 32
8Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Edisi Revisi, (Jakarta : Prenadamedia Group,
2005), h. 172
9Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 2010), h. 21
8
F. Sistematika Penulisan
Dalam memudahkan penyusunan Skripsi ini dan untuk memberikan
gambaran isi dengan jelas mengenai pokok pembahasan, penulis menyusun
Skripsi ini dalam beberapa bab dengan sistematika penulisan sebagi berikut:
Bab I, Pendahuluan, dalam bab ini dibahas latar belakang, identifikasi
masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
metode penelitian, studi terdahulu, dan sistematika penulisan.
Bab II, Negara dan kekuasaan, dalam bab ini dibahas konsepsi negara,
Teori pembagian kekuasaan, teori legitimasi kekuasaan, dan sejarah pembagian
kekuasaan negara dalam islam.
Bab III, Pembagian kekuasaan Negara dalam UUD 1945 dan Qanun
Asasi, dalam bab ini dibahas sejarah pembentukan UUD 1945 dan Qanun Asasi,
bentuk kedaulatan dalam UUD 1945 dan Qanun Asasi, tujuan bernegara,
Mekanisme pemilihan kepala negara di Indonesia dan NII, fungsi dan wewenang
lembaga – lembaga negara dalam UUD 1945 dan Qanun Asasi.
Bab IV, Analisis Perbandingan konsep pembagian kekuasaan negara
Republik Indonesia dengan Negara IslamIndonesia, dalam bab ini dibahas analisis
perbandingan konsep pembagian kekuasaan negara dijalankan oleh keduanya.
Bab V, Penutup, bab ini disajikan kesimpulan dan saran dari hasil
penelitian.
9
BAB II
NEGARA DAN KEKUASAAN
A. Konsepsi Negara
1. Pengertian Negara
Pada dasarnya para ahli ketatanegaraan masih memberikan pengertian
yang beraneka ragam mengenai negara, baik dipandang dari sudut kedaulatan
(kekuasaan) maupun negara dinilai dari sudut peraturan – peraturan (hukum).
Aristoteles (384 – 322 SM), salah seorang negara dan hukum zaman Yunani
misalnya, memberikan pengertian negara, yaitukekuasaan masyarakat
(persekutuan daripada keluarga dan desa), yang bertujuan untuk mencapai
kebaikan yang tertinggi bagi umat manusia.1
Sementara Marsilius (1280 - 1317), seorang pemikir negara dan hukum
abad pertengahan memandang, negara sebagai suatu badan atau organisme yang
mempunyai dasar – dasar hidup dan mempunyai tujuan tertinggi, yaitu
menyelenggarakan dan mempertahankan perdamaian.2
Ibnu Khaldun (1332 - 1406), sebagai seorang pemikir Islam tentang
masyarakat dan negara, merumuskan bahwa negara adalah masyarakat yang
mempunyai wazi‟ dan mulk, yaitu memiliki kewibawaan dan kekuasaan.3
sedangkan Al-Mawardi (W.1058), seorang pemikir politik pada masa klasik
mengemukakan bahwa negara adalah sebuah lembaga politik sebagai pengganti
fungsi kenabian guna melaksanakan urusan agama dan mengatur urusan dunia.4
Pendapat demikian juga sejalan dengan Al-maududi (W.1979), yang juga seorang
1G.S.Diponalo, Ilmu Negara, jilid 1 , (Jakarta: Balai Pustaka, 1975), h. 23
2Soehino, Ilmu Negara, (Yogyakarta: Liberty, 1980), h. 64
3Deliar Nur, Pemikiran Politik Di Negara Barat, (Jakarta: Rajawali Press, 1982), h. 54
4Al – Mawardi, Al-Ahkamus Sulthaniyah wal-Wilaayatuddiniyah, diterjemahkan oleh
Abdul Hayyie al-Khatani, Kamaluddin Nurdin dengan judul Hukum Tata Negara dan
Kepemimpinan dalam Takaran Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), h. 15
10
pemikir politik Islam dan pembaharu dalam dunia Islam. Ia mengatakan bahwa,
negara merupakan sebuah lembaga politik yang mempunyai fungsi keagamaan.5
Selain yang dikemukakan diatas, para sarjana dan pemikir ketatanegaraan
abad ke-20 seperti Logemen, juga mengatakan bahwa negara adalah suatu
organisasi kemasyarakatan yang bertujuan dan dengan kekuasaannya mengatur
dan mengurus suatu masyarakat tertentu.6
Demikian pula Mac. Ivar merumuskan, negara sebagai suatu asosiasi yang
menyelenggarakan penertiban di dalam suatu masyarakat dalam suatu wilayah
yang berdasarkan pada sistem hukum yang diselenggarakan oleh suatu
pemerintahdengan maksud memberikan kekuasaan memaksa.7
Sementara H.J Laski, seorang pemikir negara dan hukum zaman
berkembangnya teori kekuasaan abad ke-20, juga mengatakan bahwa negara
adalah suatu masyarakat yang di integrasikan karena mempunyai wewenang yang
bersifat memaksa dan secara sah lebih agung daripada individu atau kelompok
yang merupakan bagian dari masyarakat itu. masyarakat merupakan negara yang
harus ditaati baik oleh individu maupun oleh asosiasi – asosiasi, ditentukan oleh
suatu wewenang yang bersifat memaksa dan mengikat.8
Menurut Inu Kencana yang mengutip pendapat Sumantri, “Negara adalah
suatu organisasi kekuasaan, oleh karenanya dalam setiap organisasi yang bernama
negara, selalu kita jumpai adanya organ atau alat perlengkapan yang mempuyai
kemampuan untuk memaksakan kehendaknya keapada siapapun yang bertempat
tinggal didalam wilayah kekuasaannya.”9
5Abu A‟la Al-Maududi, Al-Khilafah wa Al-Mulk diterjemahkan oleh Muhammad Bakir
dengan judul, Khilafah dan Kerajaan, (Bandung: Mizan, Cet. 4, 1996), h. 104
6Mukhtar Affandi, Ilmu – Ilmu Kenegaraan, (Bandung: Alumni, 1971), h. 93
7Mac. Ivar, Negara Modern, (Jakarta: Aksara Baru, 1984), h. 28
8Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara,ed. Revisi, (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2015), h. 56
9Inu Kencana Syafiie, Pengantar Ilmu Pemerintahan, (Bandung: PT. Refika Aditama,
Cet. 3 2005), h. 78 - 79
11
Ditinjau dari sudut hukum tatanegara, negara itu adalah suatu organisasi
kekuasaan, dan organisasi itu merupakan tatakerja daripada alat - alat
perlengkapan negara yang merupakan suatu keutuhan, tatakerja mana melukiskan
hubungan serta pembagian tugas dan kewajiban antara masing – masing alat
perlengkapan negara itu untuk mencapai suatu tujuan yang tertentu.10
Perbedaan pemikiran mereka mengenai konsep negara tersebut disebabkan
oleh beberapa aspek, seperti perbedaan sudut pandang mereka dalam melihat
konsepsi negara. perbedaan lingkungan dimana mereka hidup, perbedaan situasi
zaman dan kondisi politik yang mempengaruhi pemikiran mereka, serta pengaruh
keyakinan keagamaan yang dianutnya, menjadi faktor akan perbedaan persepsi
mereka dalam melihat negara itu sendiri.
2. Fungsi Negara
Fungsi negara yang pertama dikenal adalah lima fungsi yang
diperkenalkan di Perancis pada abad ke-XVI dengan latarbelakang pemerintahan
yang masih diktator. Ke-Lima fungsi tersebut ialah11
:
1. Fungsi Diplomatic;
2. Fungsi Derfencie;
3. Fungsi Financie;
4. Fungsi Justicie; dan
5. Fungsi Policie;
Fungsi negara mengalami perkembangan, mengenai fungsi negara dalam
menjalankan roda pemerintahan dapat dilihat melalui pemikiran para ahli. John
lock misalnya, dalam kutipan Soetomo mengemukakan bahwa pada dasarnya
fungsi negara itu dapat diamati pada tiga hal yaitu, 1) fungsi legislasi, yakni
fungsi membuat undang – undang dan peraturan, 2) fungsi Eksekutif, yakni
10
Soehino, Ilmu Negara, h. 149
11Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara,ed. Revisi, h. 221
12
fungsi untuk melaksanakan peraturan, dan 3) fungsi federatif, yakni fungsi untuk
mengurusi urusan luar negeri dan urusan perang dan damai.12
Pandangan diatas menegaskan bahwa menurut John Lock fungsi mengadili
merupakan bagian dari tugas Eksekutif. Teori John Locke tersebut kemudian
disempurnakan oleh Montesquieu dengan membagi negara itu kedalam tiga fungsi
yaitu, 1) fungsi legislasi, membuat undang – undang. 2) fungsi eksekutif,
melaksanakan undang – undang, dan 3) fungsi Yudikatif, untuk mengawasi agar
semua peraturan ditaati (fungsi mengadili) , yang lebih populer dengan sebutan
teori trias politika.13
Fungsi federasi dalam pandangan Montesquieu dimasukan menjadi satu
dengan fungsi eksekutif, dan fungsi mengadili dijadikan fungsi yang berdiri
sendiri. Hal ini dapat dipahami karena tujuan Montesquieu dalam
memperkenalkan trias politika adalah untuk kebebasan berpolitik yang hanya
dapat dicapai dengan kekuasaan mengadili (lembaga yudikatif yang berdiri
sendiri).
Terlepas dari pandangan diatas, Rousseau yang juga salah seorang ahli
ketatanegaraan mengatakan bahwa fungsi utama sebuah negara yang paling
menonjol adalah fungsi melaksanakan pemerintahan atau melaksanakan undang –
undang.14
Fungsi melaksanakan pemerintahan atau undang – undang sebagaimana
yang dimaksudkan Rousseau tersebut, dalam perkembangannya, masyarakat tidak
mungkin melaksanakan pemerintahan, melainkan hanya sebagai pemegang
kedaulatan. Dalam hubungan ini rakyat menyerahkan hak tersebut kepada
penguasa dalam rangka melaksanakan fungsi pemerintahan atau melaksanakan
undang – undang. Jalan pikiran demikian dapat dipahamai karena pemerintahan
merupakan suatu badan di dalam negara yang tidak berdiri sendiri, melainkan
12Soetomo, Ilmu negara (Surabaya: Usaha Nasional, 1986), h. 37
13
Soetomo, Ilmu negara, h. 37 lihat juga Moh. Kusnardi dan Bintan R Saragih, Ilmu
Negara, h. 222
14
Muchsan, Sistem Pengawasan Terhadap pemerintah dan Peradilan Tata Usaha Negara
di Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1996), h. 1
13
bertumpuk kepada kedaulatan rakyat. Dan pemerintahan yang ideal adalah
pemerintahan atau penguasa yang dalam melaksanakan fungsinya harus dapat
memahami kehendak dan aspirasi rakyatnya. Dalam pengertian lain bahwa ada
suatu kewajiban bagi penguasa untuk selalu mengupayakan agar kepentingan
umum (rakyat) terpenuhi.
Pandangan diatas sejalan dengan pemikiran Mr. R. Kranenburk, yang
mengemukakan bahwa negara pada hakikatnya adalah suatu organisasi kekuasaan
yang dibangun oleh sekelompok manusia yang disebut bangsa dengan
berkesadaran untuk membangun suatu organisasi. Organisasi yang dibangun itu
bertujuan untuk memelihara kepentingan manusia tersebut.15
Dari perspektif ini,
nampak dengan jelas, bahwa fungsi negara adalah menyelenggarakan kepentingan
bersama dari anggota kelompok yang disebut bangsa.
Jika pandangan itu kemudian dikaitkan dengan teori – teori kenegaraan,
dapat ditemukan beberapa fungsi negara yang bersifat universal, yaitu adanya
kewajiban suatu negara untuk mewujudkan kepentingan masyarakat atau yang
lebih tepat dikatakan kepentingan umum, tanpa melihat kepada bentuk, sistem
pemerintahan yang dibangun oleh negara yang bersangkutan. Fungsi negara yang
dimaksud yakni:
Pertama, fungsi reguler (reguler function) atau fungsi pengaturan. Setiap
negara harus melaksanakan fungsi utamanya, yaitu pengaturan yang merupakan
motor penggerak bagi jalannya roda pemerintahan. Dalam arti, tanpa adanya
pelaksanaan fungsi tersebut akibatnya secara langsung dirasakan oleh masyarakat
keseluruhan.16
Fungsi regular ini meliputi:
1) Fungsi politik (politik function ). Fungsi ini merupakan kewajiban negara
yang pertama kali muncul setelah negara tersebut lahir. Aspek yang
termasuk dalam fungsi ini adalah: pertama, pemeliharaan ketenangan dan
ketertiban. Tujuan dari pelaksanaan fungsi ini adalah dalam rangka
15
Muchsan, Sistem Pengawasan Terhadap pemerintah dan Peradilan Tata Usaha Negara
di Indonesia, h. 2
16
H. Bohari, Hukum Anggaran Negara , (Jakarta: Raja Grafindo Persada 1992), h. 6-7
14
menanggulangi tindakan baik secara preventif (mengurangi /
menghilangkan) maupun secara represif (menekan) terhadap gangguan
yang berasal dari masyrakat itu sendiri, kedua, pertahanan dan keamanan
(security). Pelaksanaan fungsi ini diperuntukan terhadap ancaman dan
agresi dari pihak luar yang membahayakan eksistensi negara itu sendiri.
2. Fungsi diplomatik, (diplomatical function). Sebagai manusia tidak
mungkin bisa hidup tanpa berhubungan dengan manusia lain,
demikian pula halnya dengan negara. negara tidak akan dapat hidup
secara sempurna tanpa berhubungan dengan negara yang lain. Inilah
yang merupakan hakikat dari fungsi diplomatik. Negara berhubungan
dengan negara lain atas dasar persahabatan yang bertanggung jawab ,
bukan atas dasar penjajahan. Masing – masing negara akan saling
menghormati kedaulatan masing – masing pihak, sehingga dapat
dihindari terjadinya exsploitasi kepentingan.
3. Fungsi yuridis (legal function). Dalam pelaksanaan fungsinya, negara
harus dapat menjamin adanya rasa keadilan dalam masyarakat . dalam
konteks ini negara berkewajiban untuk mengatur tata cara bernegara
dan bermasyarakat, supaya dapat terhindari dari adanya konfli –
konflik yag terjadi di dalam masyarakat. Setelah permasalahan yang
terjadi dalam masyarakat, maupun negara itu sendiri harus dapat
dikembalikan pada hukum yang berlaku, dan segala tindakan
pemerintahan harus berlandaskan atas aturan main yang sudah diatur
oleh kaidah – kaidah hukum.
4. Fungsi administrasi (administrative functional), fungsi ini
mengharuskan agar negara berkewajiban menata birokrasinya, demi
mewujudkan tujuan sebuah negara. penataan birokrasi dimaksud bukan
atas dasar kemauan negara semata – mata, akan tetapi selalu bersumber
pada aturan hukum yang telah ditetapkan sebelumnya.17
17Muchsan, Sistem Pengawasan Terhadap pemerintah dan Peradilan Tata Usaha Negara
di Indonesia, h. 3
15
Kedua, fungsi pembangunan (developing function). Pembangunan pada
hakikatnya merupakan perubahan yang terencana, dilakukan secara terus menerus
untuk menuju pada suatu perbaikan yang telah ditetapkan sebelumnya. Tujuan
negara dimaksud tercantum dalam pembukaan Undang – Undang Dasar 1945,
secara tegas dikemukakan bahwa “untuk melindungi segenap bangsa Indonesia
serta seluruh tumpa darah Indonesia untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.18
B. Teori Pembagian Kekuasaan Negara
Dalam suatu Negara atau masyarakat selalu terdapat orang – orang atau
badan – badan yang memegang kekuasaan. Orang – orang dan badan – badan itu,
berdasarkan pembagian kekuasaan bekerjasama untuk mencapai tujuan yang
sama. Pembagian kekuasaan berarti bahwa orang – orang dan badan – badan itu
masing – masing, dalam rangka tujuan yang sama itu, mempunyai kekuasaan –
kekuaasaan tertentu. Kekuasaan yang dibagikan kepada seorang atau badan harus
dijalankan dan kewajiban menjalankan kekuasaan itu disebut: tugas (fungsi) dan
hak – hak yang berdasarkan tugas itu disebut: wewenang. Dengan demikian dapat
kita pahami dengan sederhana bahwa tugas dan wewenang itu gejala dari
kekuasaan.19
Sebelum adanya ide pemisahan kekuasaan yang ditawarkan Montesquieu,
negara – negara di Eropa seperti Perancis , kekuasaan itu terpusat pada satu
kekuasaan yaitu di tangan raja. Kekuasaan besar yang dimiliki raja itu
memungkinkan baginya untuk bertindak sewenang – sewenang. Oleh karena itu,
kritik keras datang dari para sarjana hingga munculnya gagasan untuk pemisahan
kekuasaan dalam menjalankan pemerintahan. Gagasan ini berguna agar kekuasaan
18
Usman, Negara dan Fungsinya, al-daulah vol.4/no.1/ juni 2015 artikel diakses pada 22
juni 2019 dari http://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/al_daulah/article/view/1506
19
Kusumadi Pudjosewojo, Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2001), h. 112
16
yang ada tidak cenderung mengarah kepada sistem yang otoriter atau kekuasaan
hanya terpusat pada satu orang ataupun kelompok.20
Prof. Jenings21
membedakan antara pemisahan kekuasaan dalam arti
materiil (separation of powers) dan pemisahan kekuasaan secara formil (division
of power). Menurutnya pemisahan kekuasaan dalam arti materiil, yaitu pembagian
kekuasaan itu dipertahankan dengan tegas dalam tugas – tugas kenegaraan yang
dengan jelas memperlihatkan adanya pemisahan kekuasaan itu pada tiga bagian:
legislatif, eksekutif, dan yudikatif (separation of powers). Sedangkan yang
dimaksud dengan pemisahan kekuasaan dalam arti formal ialah jika pembagian
kekuasaan antara tiga bagian kekuasaan (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) itu
tidak dipertahankan dengan tegas dalam tugas - tugas kenegaraan (division of
power).
Kekuasaan dalam negara dapat dibagi dalam dua cara, yaitu : Pertama,
secara vertikal, yakni pembagian kekuasaan dalam beberapa tingkat
pemerintahan. Memiliki pengertian pembagian kekuasaan secara territorial yang
dapat dilihat dalam bentuk negara kesatuan, negara federal, ataupun negara
konfederasi. Kedua, yaitu pembagian kekuasaan menurut fungsinya secara
horizontal yang menunjukkan adanya pembedaan fungsi – fungsi pemeriintahan
yang bersifat legislatif, eksekutif, dan yudikatif.22
Pembagian kekuasaan secara horizontal lebih dikenal konsep Trias
Politika yang merupakan ide dari montesquieu. Dalam Trias Politika kekuasaan
negara terdiri atas tiga macam, yakni : kekuasaan Legislatif atau kekuasaan
membentuk undang–undang; dan kekuasaan Eksekutif atau kekuasaan
melaksanakan undang – undang ; dan Yudikatif atau kekuasaan mengadili atas
20
Kacung Marijan, Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demookrasi Pasca Orde Baru,
(Jakarta: Kencana, 2011) h. 19
21
C.S.T. Kansil, Sistem Pemerintahan Indonesia, (Jakarta: Aksara Baru, Cet. V, 1985),
h. 14
22
Miriam Budiardjo, Dasar – Dasar Ilmu Politik, (Jakarta : PT Gramedia Pustaka utama,
2015), h. 267
17
pelanggaran undang – undang.23
TriasPolitika juga merupakanprinsipnormatif agar
kekuasaan-kekuasaanpemerintahantersebuttidakberadadalamsatu orang yang
samagunamenghindari penyalahgunaan wewenang.24
Konsep pembagian kekuasaan ini kemudian diterapkan dalam
kelembagaan negara. Setiap lembaga Negara mewakili salah satu dari cabang
kekuasaan legislative, eksekutif, ataupun yudikatif. Dalam rancangan
kelembagaan negara itu adalah melakukan pembagian dan pemisahan terhadap
lembaga–lembaga yang memiliki kekuasaan.25
Rancangan kelembagaan negara ini
memungkinkan agar masing – masinglembaga negara bertindak berdasarkan
fungsinya masing – masing.
Doktrin Trias Politika pertama kali dikemukakan oleh John Locke (1631 -
1704) baru kemudian seorang filusuf perancis, Charles Louis de Secondat Baron
de la Brede Et la Montesquieu (1689 - 1755),26
pada tahun 1748 dalam bukunya L
‟Esprit des Lois mengemukakan hal yang hampir mirip dengan yang dikemukakan
oleh John Locke namun terdapat perbedaan dalam kekuasaan yudikatif. Menurut
John Locke kekuasaan yudikatif termasuk kedalam kekuasaan eksekutif, oleh
karena itu konsep pemisahan John Locke hanya membagi kekuasaan dalam ketiga
hal berikut, yaitu : kekuasaan legislative, kekuasaaneksekutif , dan kekuasaan
federative (kekuasaan menjaga keamanan negara dalam hubungan dengan negara
lain). Namun menurut Montesquieu ,kekuasaan yudikatif lebih penting karena
kebebasan lembaga peradilan dapat menjamin ataupun mempertaruhkan
kemerdekaan dan hakasasi manusia.
Doktrin yang dikemukakanoleh John Locke maupun Montesquieu pada
masanya hanya ditafsirkan sebagai pemisahan kekuasaan (separations of
powers).27
Konsep pemisahan kekuasaan ini kemudian berkembang menjadi
23
Miriam Budiardjo, Dasar – Dasar Ilmu Politik, h. 281
24
Miriam Budiardjo, Dasar – Dasar Ilmu Politik, h. 281-182
25
Kacung Marijan, Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde Baru, h.
19 26
Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik, Tokoh – Tokoh Ahli Pikir Tentang Negara dan
Hukum dari Zaman Yunani Kuno Sampai Abad 20, (Bandung: Nuansa, 2010), h. 186
18
pembagian kekuasaan (division of powers). Konsep Negara kesejahteraan
(Welfare State) semakin berkembang, menurut konsep ini pemerintah bertanggung
jawab atas kesejahteraan umum. Dalam hal ini negara dipandang sebagai alat
untuk mencapai tujuan bersama (negara sejahtera), sehingga hal ini
mengakibatkan fungsi kekuasaan negara pun mengalami perkembangan melebihi
dari tigacabang kekuasaan dalam Trias Politika. Oleh sebab itu keadaan tersebut
ada kecenderungan untuk menafsirkan konsep pemisahan kekuasaan (separation
of powers) yang diartikan bahwa hanya hawa fungsi pokok sajalah yang
dibedakan menurut sifatnya yang kemudian diserahkan kepada badan yang
berbeda (distinct hands), tetapi untuk selebihnya kerjasama diantara fungsi –
fungsi tersebut tetap diperlukan untuk kelancaran organisasi.28
Tidak ada bedanya ketika menyebut pemisahan kekuasaan (separation of
powers) atau pembagian kekuasaan (division of powers) dua penyebutan ini sama
– sama merujuk kepada TriasPolitika , hanya saja mengalami sedikit perbedaan
makna, yakni untuk masa awal doktrin Trias Politika dikemukakan dan ketika
konsep kenegaraan mengalami perkembangan sebagaimana yang telah dijelaskan
sebelumnya G. Marshall, sebagaimana yang dikutip oleh Jimly Asshiddiqie,29
menggunakan sebutan pemisahan kekuasaan (separations of powers) dengan
membedakan ciri – cirinya dalam lima aspek , yaitu,: differentiation ; legal
incompatibility of office holding; isolation, immunity, independency ; checks and
balances; coordinate status and lack of accountability.Jimly Asshiddiqie
menjelaskan lebih lanjut mengenai kelima aspek tersebut, menurutnya , pertama,
doktrin pemisahan kekuasaan (separation of power) itu bersifat membedakan
fungsi – fungsi kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudisial. Kedua, menghendaki
orang yang menduduki jabatan di lembaga legislatif tidak oleh merangkap jabatan
diluar cabang legislatif
27
Miriam Budiardjo, Dasar – DasarIlmu Politik, h. 282
28
Miriam Budiardjo, Dasar – Dasar Ilmu Politik, h.286
29
Jimly Asshiddiqie ,Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta : RajawaliPers, 2013),
h. 289 – 290
19
. Ketiga, masing – masing organ tidak boleh turut campur atau melakukan
intervensi terhadap kegiatan organ yang lain. Keempat, adanya prinsipCheck and
Balances, setiap cabang mengendalikan dan mengimbangi kekuatan cabang –
cabang kekuasaan yang lain. Kelima, prinsip koordinasi dan kesederajatan.
C. Sejarah Pembagian Kekuasaan Negara Dalam Islam
1. Periode Nabi
Negara dan pemerintahan yang pertama dalam sejarah Islam terkenal
dengan negara Madinah. Pada saat itu kekuasaan terpusat pada Nabi Muhammad
SAW, pandangan ini tertuju pada saat beliau mulai menetap di Yastrib. Kota ini
kemudian berganti nama menjadi Madinat al – Nabi, dan populer disebut dengan
Madinah. Kajian terhadap negara dan pemerintahan ini dapat diamati dengan
menggunakan dua pendekatan. Pertama, melalui pendekatan normatif Islam yang
menekankan pelacakan nash – nash al – Qur‟an dan Sunnah Nabi yang
mengisyaratkan adanya praktek – praktek pemerintahan yang dilakukan oleh
Nabi. Kedua, melalui pendekatan deskriptif-historis dengan mengidentikkan
terhadap tugas – tugas yang dilakukan oleh Nabi dibidang muamalah sebagai
tugas – tugas negara dan pemerintahan. Hal ini juga diukur dari sudut pandang
teori - teori politik dan ketatanegaraan.
Terbentuknya Negara Madinah berawal dari perkembangan penganut Nabi
yang menjelma menjadi suatu kelompok sosial dan juga bisa dikatakan
mempunyai kekuatan politik riil pada pasca periode Mekkah di bawah pimpinan
Nabi tersebut. Pada periode Mekkah pengikut nabi masih sangat sedikit dan
belum menjadi suatu komunitas yang mempunyai daerah kekuasaan yang
berdaulat. Pada saat itu masih merupakan komunitas yang sangat kecil yang
lemah dan tertindas, sehingga pada saat itu belum mampu tampil menadi
kelompok sosial penekan terhadap kelompok mayoritas yang berkuasa. Pada saat
itu yang berkuasa didaerah mekkah adalah suku Quraisy, yang masyarakatnya
homogen. Akan tetapi setelah nabi hijrah ke Madinah, posisi Nabi dan umatnya
mengalami perubahan besar di kota tersebut, mereka mempunyai kedudukan yang
lumayan baik dan merupakan umat yang kuat. Pada saat itulah nabi menjadi
kepala masyarakat, yang akhirnya merupakan suatu negara. Negara yang termasuk
20
dalam pemerintahan beliau meliputi Semenanjung Arabia. Sehingga pada saat itu
nabi Muhammad saw. tidak hanya menjadi Rasul tetapi juga bertindak sebagai
kepala Negara.30
Perubahan yang dialami Nabi dan pengikutnya sehingga sampai menjadi
kelompok sosial yang mempunyai kekuatan sosial politik, hal ini berawal dari
beberapa peristiwa penting. Pada tahun 621 M dan 622 M Nabi memperoleh
dukungan moral dan politik dari sekelompok orang Arab (suku Aus dan Khazraj)
di Kota Yastrib yang menyatakan diri masuk Islam. Dalam peristiwa ini mereka
tidak hanya menerima Islam sebagai agama mereka, tetapi mereka juga berbaiat
kepada Nabi. Dalam baiat di tahun 621 M, dikenal dengan baiat Aqabah Pertama,
mereka berikrar bahwa mereka tidak akan menyembah tuhan selain Allah, akan
meninggalkan segala perbuatan jahat dan akan menaati Rasulullah dalam segala
hal yang benar. kemudian pada baiat tahun 622 M, dikenal dengan Baiat Aqabah
Kedua, mereka berjanji akan melindungi Nabi sebagaimana melindungi keluarga
mereka dan akan mentaati beliau sebagai pemimpin mereka. Nabi juga dalam
kesempatan itu berjanji akan berjuang bersama mereka baik untuk berperang
maupun untuk perdamaian.31
Peristiwa tersebut menunjukkan bahwa antara Nabi dan penduduk
Madinah telah melakukan diplomasi perjanjian. Karena kedua belah pihak antara
Nabi dan masyarakat Madinah telah terjadi kesepakatan agar saling menjaga dan
melindungi keselamatan bersama. Dalam baiat Aqabah kedua tergambar pula
adanya penyerahan kekuasaan diri dari peserta baiat kepada Nabi yang mereka
sepakati menjadikannya sebagai pemimpin mereka. Karena itu peristiwa baiat
aqabah kedua dianggap sebagai awal bagi pembentukan Negara Islam.32
Dengan demikian, bukti – bukti historis dan karya nyata Nabi tersebut,
menunjukkan bahwa secara nyata beliau selain menata hubungan manusia dengan
30
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspek,Jilid I, (Jakarta: UI Press, 1986),
h. 92
31
J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1994), h. 79
32
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara , Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta:
UI Press, 1990), h. 9
21
tuhannya (hablun min Allah), beliau juga menata hubungan antar sesama manusia
(hablun min al-nas). Tujuan Nabi dalam hablun min al – nas masyarakat Madinah
adalah untuk meredam dan menetralisir kekuasaan kelompok – kelompok yang
sering berujung pada konflik, dan juga untuk membimbing mereka untuk hidup
rukun dan mampuh gotong royong sesama masyarakat Madinah.
1. Periode SetelahNabi
Sepeninggal Nabi Muhammad SAW, wilayah kekuasaan Islam semakin
meluas sehingga permasalahan kenegaraan pun semakin kompleks, hal ini
kemudian menghendaki adanya sistem pemerintahan yang kompleks pula. Pada
periode setelah wafatnya Nabi mulai terjadi proses pelembagaan serta
implementasi pembagian kekuasaan sudah mulai terjadi, yakni dapat kita lihat
pada masa khulafaur rasyidin. Pada masa itu kekuasaan eksekutif dipegang oleh
seorang khalifah, kekuasaan legislatif dipegang oleh Majelis Syuro, dan
kekuasaan yudikatif dipegang oleh Qadhi atau hakim. Pada masa Khulafaur
Rasyidin, khalifah (eksekutif) pertama dalam negara Islam adalah Abu Bakar.
Sedangkan Majelis Syuro (legislatif) berisi tokoh-tokoh kaum Anshar dan
Muhajirin.
Kemudian, pada masa khalifah kedua, yaitu Umar Bin Khattab pembagian
kekuasaan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif diperinci. Pada masa ini juga,
Umar Bin Khattab memisahkan antara kekuasaan eksekutif dengan yudikatif,
dengan didirikannya lembaga pengadilan, bahkan didaerah - daerah.33
Umar bin
khatab juga yang pertama kali menunjuk seorang hakim khusus mengadili harta
kekayaan.34
lebih rinci konsep pembagian kekuasaan di zaman Khulafa al-
Rasyidun, :35
terbagi atas a) Ulil Amri (Pelaksana Undang – undang) ; b) Qadhi
Syuraih (Pelaksana Peradilan); c) Majelis Syura (Parlemen); dan d) Ahlul Halli
Wal „Aqdi (Dewan Pertimbangan).
33
Ali Sodiqin dkk, Sejarah Peradaban Islam Dari Masa Klasik Hingga Modern,
(Yogyakarta : LESFI, Cet. 1 2003), h. 87
34
A. Djazuli, Fiqh Siyasah Implementasi Kemaslahatan Umat Dalam Rambu – Rambu
Syariah, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, Cet. 2, 2003), h.19
35
Inu Kencana Syafi‟ie, Ilmu Pemerintahan dan Al – Qur‟an, (Jakarta: Bumi
Aksara,1995), h. 133
22
Pendirian lembaga – lembaga pemerintahan terus mengalami
perkembangan hingga masa dinasti – dinasti. Pada masa dinasti Umayyah
misalnya pendirian lembaga, pengembangan lembaga yang sudah ada sebelumnya
dan perangkat baru pemerintahan dilakukan setelah melihat atau mendengar
pengalaman negara –negara lain yang sudah lebih mapan dalam tata laksana
pemerintahan semisal pola – pola pemerintahan dari kerajaan Byzantin yang
banyak diadopsi oleh Mu‟awiyah.36
Kekhalifahan pada dinasti Umayyah misalnya
telah membentuk lima macam kepaniteraan : urusan korespondensi, urusan pajak,
urusan angkatan bersenjata, urusan kepolisian dan urusan peradilan.37
Meskipun sistem pemerintahannya berganti dari masa Khulafa al-
Rasyidun ke masa dinasti, kepala negara sebagai pemegang kekuasaan eksekutif
masih disebut Khalifah, sehingga dalam sejarah modern, telah menjadi kebiasaan
untuk memandang masyarakat politik kaum muslim abad pertengahan secara
keseluruhan sebagai Kekhalifahan.38
Istilah Khalifah berasal dari bahasa Arab Khalafa, yang berarti datang
setelah atau menggantikan. Menurut Catatan Mujar Ibnu Syarif dan Khamami
Zada, istilah Khalifah pertama kali muncul di Arab pra-Islam berdasarkan riwayat
prasasti Arab abad ke – 6 M, yang maknanya mengarah kepada semacam raja.39
Lebih lanjut dijelaskan bahwa yang pertama kali mendapat gelar Khalifah adah
Abu Bakar, dan gelar itu diberikan secara spontanitas setelah beliau terpilih
sebagai pengganti Nabi di Tsaqifah Bani Sa‟idah. Namun gelar Khalifah ini hanya
identik dikalangan umat Islam Sunni.
Umat Islam yang berpaham Syiah menggunakan istilah gelar Imam untuk
menyebut pemegang kekuasaan eksekutifnya. Sehingga untuk sistem
pemerintahan Syiah seringkali digunakan kata Imamah. Kata Imam dalam kosa
36
Munawir Sjadzali, Islam dan Tatanegara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta:
Penerbit Universitas Indonesia, 2011), h. 37
37
Munawir Sjadzali, Islam dan Tatanegara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, h. 38
38
Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik
Islam, h. 227
39
Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik
Islam, h. 227-228
23
kata bahasa Arab berasal dari kata Amma yang memiliki arti, maju ke depan,
menuju arah tertentu, memberi petunjuk dan bimbingan, menjadi pemimpin, dan
menjadi suri teladan.40
Pada awalnya, Imamah dan Khalifah adalah suatu istilah
yang netral untuk menyebut sebuah negara.41
Dalam ketatanegaraan Islam juga dikenal dengan istilah Wazir sebagai
pembantu Khalifah. Wazir atau juga dikenal dengan jabatan Wizarah merupakan
suatu lembaga negara yang memiliki peran peenting dalam ketatanegaraan Islam.
Pada masa Rasulullah, Abu Bakar dan Umar merupakan Wazir beliau. Pada masa
Abu Bakar, Umar juga mendapat sebutan Wazir Abu Bakar. Barupada masa
dinasti Umayyah sebutan Wazir diberikan untuk pembantu dan penasihat
Khalifah, bahkan Wizarah merupakan pangkat paling tinggi yang memiliki
wewenang dalam pengawasan umum, pengawasan departemen kemiliteran hingga
membagi gaji militer.42
Wazir baru dilembagakan sebagai lembaga negara pada
masa Abbasiyah.43
Di masa Abbasiyah juga jabatan Wizarah terbagi menjadi
Wizarah Tanfidz (Wazir melaksanakan keputusan – keputusan Khalifah) dan
Wizarah Tafwid (Wazir diutus untuk melaksanakan tugas – tugas Khalifah)44
Persoalan pengangkatan Khalifah, banyak dari yuris Islam yang menunjuk
ke peristiwa Tsaqifa Bani Sa‟idah untuk dijadikan pedoman. Kejadian
diangkatnya Abu Bakar sebagai Khalifah itu dirumuskan tentang adanya lembaga
perwakilan (Parlemen) di dalam pemerintahan Islam. Lembaga perwakilan ini
40
Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik
Islam, h. 233
41
Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik
Islam, h. 211
42
Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik
Islam, h. 310
43
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, h. 37-38
44
Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik
Islam, h. 311
24
memiliki beberapa sebutan diantaranya, Ahl al – „Aqdwa al – hall,45
Ahl al – Hall
wa al – „aqd, danAhl–Syuro.46
45
Al Mawardi, Al – Ahkam Al-Shulthaniyah, Penerjemah Khalifurrahman dan
Fathurraahman, Ahkam Shulthaniyah: Sistem Pemerintahan Khilafah Islam, (Jakarta: Qisthi Press,
2015), h. 12
46
H.A Djazuli, Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu – rambu
Syariah, (Jakarta: Kencana, cet 5,2013), h. 76
25
BAB III
KEKUASAAN NEGARA DALAM UUD 1945 DAN QANUN ASASI
A. Sejarah Pembentukan UUD 1945 dan Qanun Asasi NII
1. Sejarah Pembentukan UUD 1945 dan Qanun Asasi NII
Indonesia menganut sistem pemerintahan demokrasi berdasarkan Pancasila.
Pancasila merupakan paham demokrasi yang selaras dengan kepribadian bangsa
Indonesia yang digali dari tata nilai sosial budaya sendiri. Pancasila dijadikan
sebagai landasan dasar Indonesia oleh Founding Father, guna menjadikannya
sebagai norma dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pada masa kolonial, ketika pemerintah Jepang membentuk sebuah
lembaga yang dalam bahasa Jepang disebut dengan dokuritsu jumbi choosakai
atau dalam bahasa Indonesia yang bermakna Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang beranggotakan 62 orang. BPUPKI
diketuai oleh DR. Radjiman Wideoningrat dan wakilnya R. Pandji Soeroso dan
Ichibangase (asal jepang). BPUPKI memiliki tugas membuat rancangan dasar
negara dan membuat UUD. Sidang pertama BPUPKI dilaksanakan pada tanggal
29 – 31 Mei 1945 dan 1 Juni 1945. Dalam sidang ini merumuskan tentang dasar
negara Indonesia. Adapun usulan – usulan dari anggota BPUPKI yang menjadi
rumusan dasar negara diantaranya sebagai berikut:
1. Muhammad Yamin mengusulkan gagasan dasar negara pada tanggal 29
Mei 1945.1 Gagasan dasar negara yang dikemukakan sebagai berikut:
1) Ketuhanan yang Maha Esa;
2) Kebangsaan Persatuan Indonesia;
3) Rasa kemanusiaan yang adil dan beradab;
4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan dan perwakilan;
5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
1Matroji, Sejarah, (Jakarta: Erlangga, 2009), h. 35
26
2. Soepomo mengusulkan gagasan dasar negara pada tanggal 31 Mei 1945.
Gagasan dasar negara yang dikemukakan sebagai berikut:
1) Persatuan;
2) Kekeluargaan;
3) Keseimbangan lahir batin;
4) Musyawarah;
5) Keadilan rakyat.
3. Soekarno mengusulkan gagasan dasar negara pada tanggal 1 Juni 1945.2
Gagasan dasar negara yang dikemukakan sebagai berikut:
1) Nasionalisme atau kebangsaan Indonesia;
2) Internasionalisme dan perikemanusiaan;
3) mufakat atau demokrasi;
4) kesejahteraan sosial;
5) Ketuhanan yang berkebudayaan.
Soekarno juga mengusulkan jika seandainya peserta sidang tidak
menyukai angka 5, maka ia menawarkan angka 3, yaitu Tri Sila yang terdiri atas
(1) Sosio-Nasionalsime, (2) Sosio-Demokrasi, dan (3) Ketuhanan Yang Maha
Esa. Soekarno juga menawarkan angka 1 yaitu Eka Sila yang berisi asas Gotong-
Royong.3
Sidang BPUPKI yang dilaksanakan pada kurun waktu 29 Mei 1945 hingga
1 Juni 1945 belum menetapkan ketiga usulan rumusan dasar negara tersebut
menjadi sebuah dasar dalam negara Indonesia. Pada saat itu pula dibentuk panitia
yang beranggota sembilan orang yang dikenal dengan sebuah „Panitia Sembilan‟
yang diketuai oleh Ir. Soekarno dan Anggota – anggotanya yaitu, H. Agus Salim,
Mr. Ahmad Soebardjo, Mr. M Yamin, Drs. Mohammad Hatta, Mr. AA. Maramis,
Kyai. H. Wachid Hasyim, Abdul Kahar Muzakkir, Abikusno Tjokrosoejoso.
2Matroji, Sejarah, h. 35
3Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan, Pendidikan Pancasila Untuk
PerrguruanTinggi, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan
KEMENRISTEKDIKTI, Cet. 1, 2016) h.52 diakses pada tanggal 8 Oktober dari
http://lab.pancasila.um.ac.id/e-book-buku-pendidikan-pancasila-ristekdikti/
27
Panitia sembilan yang diketuai oleh Ir. Soekarno pada tanggal 22 Juni
1945 berhasil merumuskan naskah rancangan pembukaan UUD yang kemudian
dikenal dengan piagam jakarta (Djakarta Center) yang berisi sebagai berikut:
1) Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syari‟at Islam bagi pemeluk –
pemeluknya;
2) Kemanusiaan yang adil dan beradab;
3) Persatuan Indonesia;
4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebjaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan;
5) Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.4
Akan tetapi pada malam menjelang 18 Agustus 1945, Mohammad Hatta
menerima pesan bahwa Indonesia Timur tidak mau masuk kedalam negara
kesatuan RI kecuali tujuh kata yang berada di sila ketuhanan itu dihapus. Alasan
mendasar tentang itu karena terkesan bahwa, tujuh kata itu memberi kedudukan
istimewa kepada salah satu agama (Islam) dalam kondisi masyarakat yang plural
agama.
Pagi – pagi tanggal 18 Agustus 1945, Hatta memanggil empat tokoh Islam
dan membicarakan hal itu. atas kesepakatan mereka Hatta kemudian
mengusulkan pencoretan tujuh kata itu dalam sidang Pleno Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI).5 dalam rangka menjaga keutuhan negara, usulan
tersebut disetujui.
Selanjutnya dalam rangka menjaga keutuhan negara dengan berbagai
pertimbangan yang mencakupi keragaman suku bangsa, agama dan budaya yang
hidup di Indonesia. Tujuh kata tadi dihapuskan dan dikeluarkan peraturan
Presiden atau PP No. 12 tahun 1968 tertanggal 13 April 1968 mengenai rumusan
dasar negaa Indonesia, dikemukakan rumusan Pancasila yang benar dan sah
adalah rumusan yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 yang disahkan oleh
PPKI tanggal 18 Agustus 1945 dengan rumusan sebagai berikut:
1) Ketuhana yang Maha Esa;
4Budiyanto, Hakikat Bangsa dan Negara, Pendidikan Kewarganegaraan, (Jakarta:
Erlangga, 2014), h. 96
28
2) Kemanusiaan yang adil dan beradab;
3) Persatuan Indonesia;
4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan;
5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Alasan Pancasila dijadikan sebagai tujuan negara antara lain sebagai berikut:
1) Hasil berpikir / pemikiran para leluhur bangsa Indonesia;
2) Dianggap sebagai norma dan nilai – nilai yang paling benar dan sesuai
bagi bangsa Indonesia.
Pancasila memiliki fungsi utama sebagai berikut:
1) Pandangan hidup bangsa;
2) Dasar negara Indonesia ;
3) Cerminan jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia.
a. Berlakunya UUD 1945
Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus
1945 merupakan perwujudan niat dan tekad rakyat Indonesia untuk melepaskan
diri dari belenggu penjajahan. Sebagai besar rakyat Indonesia dapat dengan cepat
menanggapi makna proklamasi kemerdekaan itu, kecepatan tanggapan itu dapat
dilihat antara lain dari timbulnya gerakan spontan rakyat yang memandang
proklamasi kemerdekaan. Berikut ini tindakan heroik yang mendukung
proklamasi kemerdekaan:
1) Tindakan heroik dari Yogyakarta. Perebutan kekuasaan dimulai pada
tanggal 26 September 1945 para pegawai pemerintah dan perusahaan yang
dikuasai Jepang mengadakan aksi pemogokan. Mereka memaksa pihak
Jepang untuk menyerahkan semua kantor mereka kepada orang Indonesia.
Tindakan itu diperkuat oleh pengumuman Komite Nasional Indonesia
daerah Yogyakarta yang menegaskan kekuasaan di daerah itu telah berada
ditangan pemerintah RI;
2) Tindakan Heroik dari Semarang;
3) Tindakan Heroik dari Makassar;
29
4) Tindakan Heroik dari Sumbawa;
5) Tindakan Heroik dari Bali;
6) Tindakan Heroik dari Aceh;
7) Tindakan Heroik dari Palembang;
8) Tindakan Heroik dari Kalimantan.
Tindakan heroik itu mendorong Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
untuk mengesahkan Undang – undang Dasar, memilih Presiden dan membentuk
lembaga kenegaraan. Sehari setelah proklamasi, tepatnya pada tanggal 18 Agustus
1945, PPKI mengadakan rapat pleno di Pejambon Jakarta. Rapat dihadiri 27 orang
anggota yang dipimpin oleh Soekarno dan Hatta. Rapat tersebut menghasilkan dua
keputusan penting, yaitu pengesahan UUD 1945 dan Pemilihan Presiden beserta
Wakilnya.
Sebelum rapat pleno dimulai Soekarno dan Hatta meminta kesediaan Ki
Bagus Hadikusumo, KH. Wahid Hasyim, Mr. Kasman Singodimedjo dan Teuku
Mohammad Hassal untuk untuk membahas masalah rancangan pembukaan
undang – undang dasar. Masalah itu terutama mengenai kalimat “Ketuhanan
dengan menjalankan Syari‟at Islam bagi pemeluk - pemeluknya” diganti menjadi
“Ketuhanan yang Maha Esa” dengan tujuan agar tidak ada keberatan dari pemeluk
– pemeluk agama lain. Selanjutnya, dilakukan rapat membahas rancangan
pembukaan dan undang – undang dasar yang telah disiapkan BPUPKI. Di dalam
rapat itu diputuskan bahwa rancangan UUD 1945 menjadi Undang – Undang
Dasar Republik Indonesia. Dengan pengesahan UUD 1945 itu, Indonesia
memiliki landasan hidup bernegara.
b. Memilih Presiden dan Wakil Presiden
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden berlangsung secara spontan
setelah disahkannya UUD 1945. Ketika Soekarno meminta sidang untuk
membahas pasal III dalam aturan peralihan, Otto Iskandardinata megusulkan agar
pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dilakukan secara aklamasi. Otto
Iskandardinata mengajukan Ir. Soekarno menjadi Presiden dan Mohammad Hatta
menjadi Wakil Presiden. Rapat langsung menyetujui kedua tokoh itu.
30
Pengangkatan Soekarno sebagai Presiden RI dan Hatta sebagai Wakil
Presiden RI diiringi oleh lagu Indonesia Raya yang dinyanyikan oleh peserta rapat
secara spontan. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara aklamasi dan cepat
itu menunjukkan betapa para anggota PPKI menyadari kepentingan nasional dan
persatuan bangsa. Dengan terpilihnya Presiden dan Wakil Presiden itu, Indonesia
memiliki lembaga pemerintahan sendiri.
Dalam kata penutup rapat pada hari itu, Presiden Soekarno menyatakan
bahwa sejak tanggal 18 Agustus 1945, bangsa Indonesia memperoleh landasan
kehidupan bernegara yang dikenal sebagai Undang – Undang Dasar 1945
mengandung dasar negara Pancasila. Berarti, rumusan Pancasila yang otentik
adalah rumusan yang termuat dalam pembukaan Undang – Undang Dasar 1945.
Sedangkan rumusan dasar negara yang diajukan BPUPKI dan Panitia Sembilan
hanyalah merupakan konsep.6
2. Sejarah Pembentukan Qanun Asasi NII
Pasca kemerdekaan Republik Indonesia dibidang poitik, sepanjang hal itu
menyangkut perjuangan untuk mendirikan Negara Islam, terutama pada masa
pasca kemerdekaan dan Demokrasi liberal ketika itu, umat Islam bersatu untuk
membuat gagasan tersebut berhasil. sementara itu, perkembangan partai politik
Islam Masyumi yang berjalan dengan sistem alokasi peran dan kekuasaan yang
tidak memuaskan sebelah pihak, dalam sejarah telah dianggap sebagai faktor
perpecahan. Hal ini terlihat jelas pada kasus keluarnya PSII, dan NU dari
Masyumi .
Sementara itu NU yang telah mengubah dirinya sebagai partai politik pada
periode Demokrasi Terpimpin, NU tampil sebagai partner pemerintahan dalam
pembangunan politik nasional dan mulai meninggalkan prinsip-prinsip yang ada
pada partai-partai Islam lainnya. Hal ini dapat kita lihat dari Kesediaan NU untuk
6Matroji. Sejarah, h. 22 – 25
31
menyuarakan perjuangan suci Darul Islam sebagai bughat (pemberontak) dan
menerima Nasakom (Nasionalisme, agama dan Komunisme).7
Selama masa Demokrasi Terpimpin dibawah Soekarno, artikulasi
formalistik gagasan dan praktik politik Islam, terutama gagasan Islam sebagai
dasar ideologi negara, mulai menunjukan implikasi-implikasi bawaannya yang
lebih negatif. Kecuali NU, yang segera mengarahkan kembali orientasi politiknya
dan menerima politiknya Soekarno, kekuatan politik Islam turun drastis. Para
pemimpin Masyumi khususnya, yang sejak awal diskursus ideologi di Indonesia
dipandang sebagai pendukung sejati gagasan Negara Islam, dijebloskan ke dalam
penjara karena oposisi mereka terhadap rezim yang terus berkelanjutan. dan
akhirnya Soekarno membubarkan Masyumi pada tahun 1960 dengan alasan
bahwa beberapa pemimpin utamanya (seperti M. Natsir, Sjafruddin
Prawiranegara) terlibat dalam pemberontakan PRRI. Sepeninggal Masyumi ,
politik Islam yang berlangsung adalah politik penyesuaian diri. Diantara partai-
partai Islam di Indonesia, ada tiga partai diantaranya, : NU, PSII dan Perti berhasil
bertahan hidup selama periode Demokrasi Terpimpin. Keberhasilan partai-partai
ini bertahan karena mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan-tuntutan
Demokrasi Terpimpin seperti yang dikehendaki Presiden Soekarno.
Melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Dewan konstituante dibubarkan, dan
Presiden mendekritkan berlakunya kembali UUD 1945. Dengan dekrit itu,
otomatis persoalan Piagam Jakarta terungkit kembali . untuk itu, Presiden
memutuskan bahwa Piagam Jakarta mempunyai hubungan kesejarahan khusus
dengan Undang-Undang Dasar (UUD), karenanya dianggap sebagai suatu bagian
integral dari UUD itu sendiri
Disinilah “politik kekuatan akan mayoritas” dari kalangan minoritas yang
ademokratis ikut memainkan peran. Keprihatinan terhadap kemungkinan bahwa
kelompok Islam akan memenangkan pemilihan umum menyebabkan para
pemimpin dan aktivis kelompok nasionalis meninjau kembali strategi mereka
berkenaan dengan penyelenggaraan pemilihan umum. Dalam hal ini, salah satu
7 Al Chaidar, Pengantar Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia S.M.
Kartosuwirjo, Mengungkp Manipulasi Sejarah Darul Islam/DI-TII Semasa Orde Lama dan Orde
Baru, (Jakarta: Darul Falah, 1999), h. 99
32
pilihan yang paling memadai adalah menunda waktu penyelenggaran pemilihan
umum. Seperti dinyatakan A.R. Djokoprawiro dari Partai Indonesia Raya (PIR),
strategi partainya adalah “menunda pemilihan umum sampai posisi para
pendukung Pancasila lebih kuat.” Pemimpin-pemimpin seperti Soekarno, yang
saat itu kepala Negara, berusaha keras mempengaruhi diskursus politik Negara
untuk mendukung politik yang sudah di-“dekonfessionalisasi”. Pada tanggal 27
Januari 1953, dalam safari politiknya di Amuntai (sebelah selatan Kalimantan
yang komunitas Muslimnya kuat), ia mengingatkan pada pendengarnya akan
pentingnya upaya mempertahankan Indonesia sebagai Negara kesatuan nasional.
“Negara yang kita inginkan,” katanya, “Adalah sebuah Negara nasional yang
mencakup seluruh Indonesia. Jika kita mendirikan Negara yang didasarkan atas
Islam, beberapa wilayah yang penduduknya bukan Muslim seperti: Maluku, Bali,
Flores, Timor, Kepulauan Kai, dan Sulawesi, akan melepaskan diri.8 dan Irian
Barat , yang belum menjadi bagian dari wilayah Indonesia, akan tidak mau
menjadi bagian dari Republlik.” Beginilah cara Soekarno merayu rakyat.
Ketika pesta demokrasi yang pertama berlangsung (1955) kelompok Islam
hanya menguasai 43,5% kursi di Parlemen membuat mereka sulit untuk segera
memutuskan apakah mereka akan terus mendesakkan gagasan Islam sebagai dasar
ideologi Negara atau tidak. Para politisi Islam menghadapi dilema berat antara
agama dan politik. Secara keagamaan , seperti ditunjukkan oleh salah seorang
pemimpin mereka, mereka digerakkan oleh kewajiban transendental untuk
menghadirkan watak holistic Islam ke dalam realitas. Secara politis, bagaimana
pun mereka tetap harus menunjukkan bahwa mereka adalah politisi-politisi yang
tidak mengingkari janji mereka dalam kampanye. Setidaknya-tidaknya, sementara
pada akhirnya akan menerima Pancasila sebagai ideologi negara, upaya mendesak
dijadikannya Islam sebagai ideology Negara berfungsi sebagai alat tawar
menawar politik untuk memenangkan tujuan –tujuan politik yang lebih kecil
8 Al Chaidar, Pengantar Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia S.M.
Kartosuwirjo, Mengungkp Manipulasi Sejarah Darul Islam/DI-TII Semasa Orde Lama dan Orde
Baru, h. 100
33
(yakni dilegalisasikannya kembali Piagam Jakarta dan Islam sebagai agama
negara ).
Islam Modern mencapai puncak-puncak baru. Pada tahun 1923
sekelompok pedagang mendirikan Persatuan Islam (Persis) di Bandung. Pada
tahun 1924 seorang Tamil kelahiran Singapura bernama A. Hassan (lahir tahun
1887) yang beribukan orang Jawa bergabung dengan organiassi
tersebut.pembelaannya yang gigih terhadap doktrin-doktrin Islam Modern,
kecamannya terhadap segala sesuatu yang berbau takhayul (yaitu banyak dari apa
yang diterima sebagai Islam yang sebenarnya oleh kaum Muslim lokal),
perlawanannya yang berapi-api terhadap nasionalisme dengan alasan bahwa
nasionalisme telah memecah belah kaum Muslim daerah yang satu dengan daerah
lainnya, semuanya itu membenarkan. julukan organisasi tersebut, yaitu : Persis
(yang dalam bahasa Belanda Precies, yaitu tepat ). Hal ini mengakibatkan
keluarnya banyak anggota kelompok ini yang lebih moderat, ; pada tahun 1926
mereka mendirikan organisasi tersendiri yang bernama permufakatan Islam.
Pada tanggal 4 Agustus 1949 disusun delegasi Indonesia yang akan
mengikuti perundingan-perundingan dengan Belanda di Den Haag selama
Konferensi Meja Bundar (KMB). Bertepatan dengan itu Mohammad Hatta
menyarankan kepada Mohammad Natsir untuk mengadakan hubungan dengan
Kartosuwirjo, agar Kartosuwirjo menghentikan semua permusuhan terhadap
Angkatan Bersenjata Republik. Kemudian M. Natsir menugaskan A. Hassan,
seorang pemimpin Persis yang juga mengenal Kartosuwirjo untuk menyampaikan
surat yang dibuat oleh M. Natsir dengan menggunakan kertas surat hotel, surat
tersebut tidak dianggap sebagai surat resmi, dan ditahan selama tiga hari sebelum
diteruskan kepada Kartosuwirjo.
Pada tanggal 6 Agustus 1949 Mohammad Hatta berangkat ke Den Haag
untuk mengikuti Konferensi Meja Bundar yang dimulai 12 hari kemudian.
Kejadian ini bagi Kartosuwirjo merupakan pertanda untuk bertindak, karena
dengan keberangkatan M. Hatta ke Holland baginya terdapat “vacuum of power”,
34
tetapi tentunya Kartosuwirjo juga bermaksud untuk menghadapkan M. Hatta pada
suatu fait accompli sebelum KMB di Den Haag dimulai.9
Kemudian Kartosuwirjo sekali lagi mempertegas perlunya berdiri Negara
Islam Indonesia dengan mengeluarkan Maklumat Pemerintah NII No.II/7 yang
berbunyi:
Bismillahirrahmanirrahim
MAKLOEMAT PEMERINTAH
Negara Islam Indonesia No.II/7
Sjahdan, maka perdjoeangan kemerdekaan nasional, jang dimoeliakan
dengan Proklamasi berdirinja Repoeblik Indonesia 17 Agoestoes 1945, soedahlah
mengachiri riwajatnja. orang boleh memberi tafsir jang moeloek2, jang
memboeboeng tinggi menemboes angkasa; orang boleh tjari lagi alasan2 yang
lebiih litjin, lebih juridis, lebih staasrechtelijik, lehin volkenrechtelijik; tetapi
meski diputar balik betapa poela, dengan lakoe jang serong dan alasan jang
tjurang sekalipoen, orang tak koeasa membalik hitam menjadi poetih, bathil
menjadi haq, haram menjadi halal.........sepandai-pandai manoesia bersilat,
tidaklah ia koeasa membalik Timoer menjadi Barat!
Setinggi-tinggi bangau terbang, kembali kekoebangan joega. Maka
Repoeblik djatoeh poela kepada tingkatan sebeloem proklamasi; kembali pada
pokok-pangkal pertama, di tangan moesoeh, ditangan pendjadjah.
Alhamdulillah, pada saat kossong (vacuum), saat dimana tiada kekoeasaan,
dan pemerintahan jang bertangggoeng djawab (gezags en regringsvacuum), maka
pada saat jang kritis (membahajakan) dan psychologisch lemah itoelah Oemat
Islam Bangsa Indonesia memberanikan dirinja menjatakan sikap dan pendirianja
jang djelas-tegas, kepada seloeroeh doenia: Proklamasi berdirinja Negara Islam
Indonesia , 7 Agoestoes 1949.
Pada saat itoe, maka automatis (dengan sendirinja) perdjoeangan
kemerdekaan Indonesia beralih arah, bentoek, sifat, tjorak dan toedjoeannja,
mendjadilah: perdjoeangan Islam Indonesia.10
9 Al Chaidar, Pengantar Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia S.M.
Kartosuwirjo, Mengungkp Manipulasi Sejarah Darul Islam/DI-TII Semasa Orde Lama dan Orde
Baru, h. 101
35
Setelah bermusyawarah dengan petinggi-petinggi Dewan Imamah dan
semua unsur-unsur yang terkait dalam wadah T.I.I., maka dengan kebulatan tekad
bersama untuk menerima Kurnia Allah Yang Maha Besar akan lahirnya Negara
Islam Indonesia, maka pada tanggal 12 Syawal 1368/7 Agustus 1949 dikampung
Cisampang, desa Cidugaleuin, kecamatan Leuwisari Tasikmalaya,
diproklamasikannya Negara Islam Indonesia. Yang ditanda tangani oleh
Kartosuwirjo sendiri atas nama umat Islam Bangsa Indonesia.11
Selengkapnya
teks Proklamasi NII adalah sebagai berikut:
PROKLAMASI
Berdirinja:
NEGARA ISLAM INDONESIA12
Bismillahirrahmanirrahim
Asyhadue anla ilaha illa‟llah wa asyhadu anna
Moehammadu‟r Rasulullah
Kami, Umat Islam Bangsa Indonesia
MENYATAKAN:
Berdirinya “NEGARA ISLAM INDONESIA”
Maka hukum yang berlaku atas
Negara Islam Indonesia itu, ialah:
HUKUM ISLAM
Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!
Atas nama Umat Islam Bangsa Indonesia
10 Al Chaidar, Pengantar Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia S.M.
Kartosuwirjo, Mengungkp Manipulasi Sejarah Darul Islam/DI-TII Semasa Orde Lama dan Orde
Baru, h. 102
11
Al Chaidar, Pengantar Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia S.M.
Kartosuwirjo, Mengungkap Manipulasi Sejarah Darul Islam/DI-TII Semasa Orde Lama dan Orde
Baru, h. 102
12
Abdul Munir Mulkhan dan Bilveer Singh, Demokrasi di Bawah Bayangan Mimpi N-
11, Dilema Politik Islam Dalam Peradaban Modern, (Jakarta: Kompas, 2011), h. 307
36
Imam Negara Islam Indonesia
Ttd.
(S.M. KARTOSUWIRJO)
MADINAH-INDONESIA,
12 Syawal 1368 H / 7 Agustus 1949 M
Kartosuwirjo sebelumnya telah merealisasikan gambaran tentang sebuah
Negara Islam , ketika pada bulan mei 1948 membentuk Dewan Imamah, begitu
pula Undang-Undang Dasar Negara Islam Indonesia (Qanun Asasi) disertakan
penjelasan singkat yang terdiri atas sepuluh pokok yang konsepnya telah disusun
pada bulan Agoestoes 1948. Maka dengan demikian secara formal telah
mendirikan Negara Islam. 13
2. Dasar Negara menurut Qanun Asasi NII
Dasar negara atau juga pandangan hidup bangsa yang dijadikan cerminan
jiwa dan kepribadian bangsa Dalam Qanun Asasi ialah berdasarkan pada nilai-
nilai Islam. Dapat kita lihat sendiri dalam Qanun Asasi Sebagaiamana yang
termaktub dalam pasal 2 “dasar dan hukum yang berlakunya di Negara Islam
Indonesia adalah Islam”. Dapat kita simpulkan bahwa dasar negara NII ialah
didasarkan pada nilai-nilai Islam (al-Qur‟an dan Sunnah).
B. Kedaulatan dalam UUD 1945 dan Qanun Asasi NII
Ditinjau dari sudut hukum tatanegara, negara merupakan suatu organisasi
kekuasaan, dan organisasi itu merupakan tatakerja daripada alat - alat
perlengkapan negara yang merupakan suatu keutuhan, tatakerja mana melukiskan
hubungan serta pembagian tugas dan kewajiban antara masing – masing alat
13 Holk H. Dengel, Darul – Islam: Kartosoewirjo Kampf um einen islamischen Staat
Indonesien. Penerjemah Tim Pustaka sinar Harapan, Darul Islam-NII dan Kartosoewirjo Langkah
Perwujudan Angan – Angan Yang Gagal, (Jakarta : Pustaka Sinar harapan,1995) h. 104
37
perlengkapan negara itu untuk mencapai suatu tujuan yang tertentu.14
Suatu
negara pastilah dipimpin oleh pemegang kekuasaan.
1. Sumber kedaulatan dalam UUD 1945
Dapat kita amati Pasca amandemen, UUD 1945 menjadi pemegang
kedaulatan rakyat, yang dalam praktiknya dibagikan kepada lembaga-lembaga
dengan pemisahan kekuasaan yang jelas dan tegas. Dibidang legislatif terdapat
MPR, DPR dan DPD; dibidang eksekutif terdapat Presiden dan Wakil Preiden
serta perpanjangannya; dibidang Yudikatif terdapat Mahkamah Agung,
Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial; serta dibidang pengawasan
keuangan ada BPK.15
2. Sumber kedaulatan menurut Qanun Asasi
Sedangkan dalam Qanun Asasi jika dicermati, sebagaimana yang tertuang
dalam pasal (1) yang berbunyi “Negara Islam Indonesia adalah negara kurnia
Allah Subhanahu wa Ta‟ala kepada bangsa Indonesia.” Dengan demikian
jelaslah teori yang dapat dipakai adalah teori kedaulatan Tuhan. sehingga dapat
kita simpulkan bahwa menurut Qanun Asasi sumber kedaulatan ada ditangan
Tuhan (yakni Allah SWT) yang kemudian diamanatkan kepada bangsa
Indonesia untuk dijalankan dalam bentuk negara.16
C. Tujuan Bernegara dalam UUD NRI 1945 Dan Qanun Asasi NII
1. Tujuan Bernegara Indonesia
Mengetahui tujuan bernegara atau tujuan Nasional merupakan hal
mendasar dalam menganalisis negara sebagai suatu kesatuan (ganzheit).Tujuan
bernegara didalam sistem feodal adalah penguasaan atas tanah. Dapat kita
simpulkan bahwa menurut sistem feodal dari tujuan bernegara ialah untuk
14
Soehino, Ilmu Negara, (Yogyakarta : Liberty, 1980), h. 149
15
A.M. Fatwa, Potret Konstitusi Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta: PT Kompas
Media Nusantara, 2009), h. 11
16
Abdul Munir Mulkhan dan Bilveer Singh, Demokrasi di Bawah Bayangan Mimpi N-
11, Dilema Politik Islam Dalam Peradaban Modern, h. 311
38
menjaga kekayaan atau pemupukan kekayaan (rijkdom). Sedangkan menurut cara
pandang demokrasi modern semenjak Rousseau, maka tujuan bernegara ialah
persamaan dan kebebasan.
Akan tetapi tujuan bernegara Indonesia tidak bisa menggunakan sudut
pandang keduanya, tujuan bernegara Indonesia menggunakan konsep lebih tua
dari negara hukum (modern) ialah konsep bahwa negara bertujuan untuk
memenuhi kepentingan umum atau res publica. Hal ini dibakukan dalam bentuk
negara republik, sehingga kita dapat berasumsi bahwa setiap negara yang
berbentuk republik adalah untuk kepentingan umum.
Didalam aline keempat Pembukaan UUD 1945 dirumuskan unsur – unsur
masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila tersebut secara dinamis dan
tidak terminal utopis. Unsur – unsur tersebut ialah:
a. melindungi seluruh bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
(wilayah);
b. memajukan kesejahteraan umum;
c. mencerdaskan kehidupan bangsa; dan
d. ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan perdamaian abadi ,
kemerdekaan, dan keadilan sosial.17
Dengan demikian untuk terciptanya “masyarakat adil dan makmur”
berdasarkan pancasila ialah secara ketatanegaraan itu terselenggaranya keempat
unsur tersebut secara dinamis dan berkelanjutan, dalam pelaksanaannya hal ini
kemudian demi tercapainya tujuan itu maka dituangkanlah dalam bentuk Garis
Besar Haluan Negara, undang – undang atau peraturan – peraturan.
2. Tujuan Bernegara NII
Visi dari berdirinya Negara Islam Indonesia itu sendiri dapat kita lihat
dalam Qanun Asasi NII berikut:
“Mencari dan mendapatkan mardhotillah, yang merupakan hidup didalam
suatu ikatan dunia baru, yakni Negara islam Indonesia yang merdeka”.
17
C.S.T.Kansil dan Christine S.T.Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia 2,
(Jakarta: Rineka Cipta, ed. Revisi, 2003), h. 73-74
39
Maka setiap pergerakan yang dilakukan NII baik itu secara politik maupun
militer adalah untuk mendirikan suatu negara islam dalam nation-state dengan
nama Negara Islam Indonesia. Kewajiban untuk mendirikan suatu negara Islam
ini juga semakin dipertegas dengan kalimat, “maka umat islam tidak lupa pula
kepada kewajibannya membangun dan menggalang suatu negara islam yang
merdeka, suatu kerajaan Allah yang dilahirkan diatas dunia , ialah syarat dan
tempat untuk mencapai keselamatan tiap -–tiap manusia dan seluruh umat islam,
dilahir maupun di batin, di dunia hingga diakhirat kelak.” Kalimat tersebut tegas
dinyatakan dalam alinea ke V muqadimah Qanun Asasi NII.
Tujuan Negara Islam Indonesia yang merdeka itu untuk “mewujudkan
amal perbuatan yang nyata, dari tiap – tiap warga negara di daerah – daerah ,
dimana mulai dilaksanakan hukum – hukum islam, ialah hokum Allah dan Sunnah
Nabi.” Tujuan itu tertera jelas dalam alineia ke-VI Qanun Asasi NII, redaksi
lengkapnya sebagai berikut:
“kiranya dengan tolong menolong dan karunia Ilahi, Qanun Asasi yang
sementara ini menjadi pedoman kita, melakukan bakti suci kepada “Azza wa
Jalla, dapatlah mewujudkan amal perbuatan yang nyata, dari tiap – tiap warga
negara di daerah – daerah, dimana mulai dilaksanakan hukum – hukum islam,
ialah hukum Allah dan Sunnah Nabi.”18
D. Mekanisme Pemilihan Kepala Negara Indonesia Dan NII
Suatu negara tidak bisa dikatakan sebagai negara jika tidak adanya kepala
negara, sebagaimana yang dijelaskan dalam Ilmu Negara, karena suatu negara
harus memiliki tiga unsur yakni adanya rakyat, adanya wilayah, dan pemerintahan
yang berdaulat. Maka dapat disimpulkan bahwa ketika tiga unsur tersebut tidak
dilengkapi belum bisa dikatakan sebagai negara. Dalam setiap konstitusi negara
harus mengatur hal ini, begitupun UUD 1945 dan Qanun Asasi.
1. Sistem pemilihan kepala Negara menrut UUD 1945
a. Sebelum Amandemen
18 Abdul Munir Mulkhan dan Bilveer Singh, Demokrasi di Bawah Bayangan Mimpi N-
11, Dilema Politik Islam Dalam Peradaban Modern, h. 310-311
40
Dalam rangka mempertegas sistem presidensiil dan sebagai negara Demokratis,
sistem pemilihan Presiden dalam UUD tahun 1945 diatur dalam pasal 6A.
Ketentuan dalam pasal 6 A terdiri atas lima ayat dan memuat ketentuan yang
mengatur mekanisme pemilihan Presiden dan Wakil Presiden sebagai perubahan
atas ketentuan pasal 6 ayat (2) yang terdahulu. Dalam ketentuan terdahulu
tersebut ditetapkan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat dengan suara yang terbanyak. setelah Amandemen
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden diubah menjadi dilakukan oleh rakyat
secara langsung melalui pemilihan umum. Pemilihan umum tersebut adalah
sebagaimana dimaksud dalam pasal 22E ayat (2), yaitu bahwa pemilihan umum
diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah.
Ketentuan pasal 6 A terdiri atas lima ayat sebagai berikut:
Ayat (1) : Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara
langsung oleh rakyat.
Ayat (2) : Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh Partai
Politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum.
Ayat (3) : Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara
lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan
sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari
setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil
Presiden.
Ayat (4) : dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden
terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua
dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang
memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
Ayat (5) : tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih
lanjut diatur dalam undang – undang..
2. Sistem pemilihan kepala Negara menrut Qanun Asasi NII
Sistem pemilihan kepala negara (Imam) dalam Qanun Asasi diatur dala Pasal 12
yang terdiri dari 3 ketentuan:
41
Ayat (1): memuat tentang, Imam negara Islam Indonesia ialah orang indonesia
asli yang beragama Islam dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya.
Ayat (2): Imam dipilih oleh Majelis Syuro dengan suara paling sedikit 23 daripada
seluruh anggota.
Ayat (3): jika hingga dua kali berturut-turut dilakukan pemilihan umum itu,
dengan tidak mencukupi ketentuan diatas (Bab IV, pasal 12 ayat (2)), maka
keputusan diambil menurut suara yang terbanyak dalam pemilihan yang
ketiganya.
E. Fungsi dan Wewenang Lembaga - Lembaga Negara Yang Terdapat
Di Indonesia dan NII
1. Fungsi dan Wewenang Lembaga - Lembaga Negara menurut UUD
1945
a. Pembagian kekuasaan negara dalam UUD 1945 sebelum amandemen
Sebelum amandemen UUD 1945 struktur ketatanegaraan Indonesia : UUD
1945 merupakan hukum tertinggi, kemudian kedaulatan rakyat dan sepenuhnya
diserahkan kepada MPR sebagai lembaga tertinggi, kemudian MPR
mendistribusikan kekuasaannya kepada lima lembaga tinggi Negara yang sejajar
kedudukanya, Presiden,BPK DPA, DPR, MA.19
Adapun rincian dari tugas dan
wewenang masing – masing lembaga yaitu:
a) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
Mengenai pengaturan lembaga MPR dalam UUD 1945 diatur dalam BAB
II pasal II dan III tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat. Didalamnya memuat
ketentuan:
Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota – anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, ditambah dengan utusan – utusan dari daerah – daerah dan
golongan – golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan undang – undang.
MPR bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibu kota negara. Segala
19
Abu Thamrin dan Nur Habibi Ihya, Hukum Tata Negara, (Jakarta: Lembaga Penelitian
Uin Syarif Hidayatullah, 2010), h.112
42
putusan MPR ditetapkan dengan suara terbanyak. MPR juga menetapkan Undang
– undang dasar dan garis – garis besar daripada haluan negara.
b) Presiden
Mengenai ketentuan dan pengaturan Presiden dan Wakil Presiden terdapat
dalam UUD 1945 bab III pasal 4, 5,6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, dan pasal 15
tentang kekuasaan pemerintahan negara, didalamnya memuat: bahwa Presiden
Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintah menurut undang – undang
dasar. Dalam melakukan kewajibannya, Presiden dibantu oleh satu orang Wakil
Presiden. Presiden memegang kekuasaan membentuk undang – undang dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Presiden menetapkan peraturan
pemerintah untuk menjalankan undang – undang sebagaimana mestinya. Presiden
ialah orang indonesia asli. Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis
Perwakilan Rakyat dengan suara terbanyak. Presiden dan Wakil Presiden
memegang jabatannya selama masa lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih
kembali. Jika Presiden mangkat, berhenti, atau tidak dapat melakukan
kewajibannya dalam masa jabatannya, ia diganti oleh Wakil Presiden sampai
habis waktunya. Sebelum memangku jabatannya, Presiden dan Wakil Presiden
bersumpah menurut agama ,atau berjanji dengan sungguh - sungguh dihadapan
Majelis Perwakilan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat. Presiden memegang
kekuasaan tertinggi atas angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara.
Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang ,
membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain. Presiden menyatakan
keadaan bahaya. Syarat – syarat dan akibat keadaan bahaya ditetapkan dengan
undang – undang. Presiden mengangkat duta dan konsul serta menerima duta
negara lain. Presiden memberi grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi. Presiden
memberi gelaran, tanda jasa, dan lain – lain tanda kehormatan.
c) DPA
Pengaturan Dewan Pertimbangan Agung terdapat dalam BAB IV tentang
Dewan Pertimbangan Agung Pasal 16 UUD 1945, didalamnya memuat ketentuan
bahwa: Susunan Dewan Pertimbangan Agung ditetapkan dengan undang –
43
undang. Dewan ini berkewajiban memberi jawaban atas pertanyaan Presiden dan
berhak mengajukan usul kepada pemerintah.
d) Dewan Perwakilan Rakyat
Pengaturan DPR terdapat dalam BAB VII tentang Dewan Perwakilan
Rakyat pasal 19, 20, 21, 22 UUD 1945 memuat sebagai berikut:
Susunan DPR ditetapkan dengan undang – undang. DPR bersidang
sedikitnya sekali dalam setahun. Tiap – tiap undang - undang menghendaki
persetujuan DPR. Sesuatu rancangan undang – undang tidak mendapat
persetujuan DPR, maka rancangan tadi tidak boleh dimajukan lagi dalam
persidangan DPR masa itu. Anggota – anggota DPR berhak mengajukan
rancangan undang - undang. Jika rancangan itu, meskipun disetujui oleh DPR ,
tidak disahkan oleh Presiden, maka rancangan tadi tidak boleh dimajukan lagi
dalam persidangan DPR masa itu. Dalam hal – ihwal kegentingan yang memaksa ,
Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang –
undang. Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan DPR dalam
persidangan yang berikut. Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan
pemeerintah itu harus dicabut.
e) Badan Pemeriksa Keuangan
Ketentuan yang mengatur adanya Badn Pemeriksa Keuangan terdapat dalam Bab
VIII pasal 5, didalamnya berisi ketentuan:
untuk memeriksa tanggung jawab tentag keuangan negara diadakan suatu
Badan Pemeriksa Keuangan, yang peraturannya ditetapkan dengan undang –
undang. Hasil pemeriksaan itu diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
f) Mahkamah Agung (MA)
Pengaturan lembaga MA diatur dengan UUD 1945 dalam bab IX tentang
Kekuasaan Kehakiman pasal 24 dan 25 UUD 1945 yang memuat bahwa:
Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain
– lain badan kehakiman menurut undang – undang. Susunan dan kekuasaan badan
– badan kehakiman itu diatur dengan undang – undang.
b. Pembagian Kekuasaan Negara dalam UUD 1945 sesudah amandemen
44
Sesudah amandemen susunan lembaga negara mengalami perubahan yang
banyak, adapun aspek perubahannya seperti lembaga Dewan Pertimbangan Agung
(DPA) yang telah dihapuskan dan penambahan Badan Pengawas Keuangan
(BPK), serta mengalami penambahan pada lembaga kehakiman, yaitu Mahkamah
Konstitusi (MK) dan Komisi Yudisial (KY). kemudian dalam lembaga legislatif
mengalami penambahan yakni Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Struktur ketatanegaraan Indonesia setelah amandemen: UUD 1945
merupakan hukum tertinggi, kedaulatan ditangan rakyat dan sepenuhnya
dijalankan menurut UUD. Kemudian UUD memberikan kekuasaan tersebut
kepada delapan lembaga tinggi negara dengan kedudukan sejajar antara satu
dengan yang lainnya, yaitu Presiden, MPR, DPR, DPD, BPK, MA, MK, KY.
Dengan MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara, maka Indonesia tidak
lagi mempraktekan pembagian kekuasaan (distribution of power atau Division of
Power ). setelah amandemen UUD 1945 di Negara Republik Indonesia mulai
menganut pemisahan kekuasaan negara (Separation of power) bersifat horizontal,
dalam artian kekuasaan yang ada pada masing – masing lembaga negara dipisah –
pisah sesuai dengan kewenangannya masing – masing. Akan tetapi terdapat check
and balances antar lembaga negara.20
Adapun rincian dari tugas dan wewenang
dari seluruh lembaga negara Indonesia sebagai berikut:
a) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
Pengaturan MPR diatur dalam bab II tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat
pasal 2, pasal 3 UUD 1945, yang mengatur meliputi:
MPR terdiri atas anggota – anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih
melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang – undang. MPR
bersidang sedikitnya sekali dalam limatahun di ibu kota negara. Segala putusan
MPR ditetapkan dengan suara terbanyak. MPR berwenang mengubah dan
menetapkan undang – undang dasar. MPR melantik Presiden dan / atau Wakil
Presiden. MPR hanya dapat memberhentikan Presiden dan/ atau Wakil Presiden
dalam Masa jabatannya menurut undang – undang dasar.
20
Abu Thamrin dan Nur Habibi Ihya, Hukum Tata Negara, h. 118
45
b) Presiden
Pengaturan mengenai Presiden diatur dalam bab III tentang Kekuasaan
Pemerintah pasal 4, 5,6 ,6A ,7 , 7 B , 7C , 8 ,9 ,10 , 11 , 12 , 13 , 14 , 15 ,dan 16
UUD 1945. Didalamnya memuat ketentuan mengenai:
Presiden RI memegang kekuasaan pemerintahan menurut undang –
undang dasar. Dalam melakukan kewajibannya, Presiden dibantu oleh sau orang
Wakil Presiden. Presiden berhak mengajukan, menetapkan rancangan undang –
undang kepada DPR. Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk
menjalankan undang – undang sebagaimana mestinya. Calon Presiden dan Calon
Wakil Presiden harus warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah
menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah
mengkhianati negara, serta Mampu secara rohani dan jasmani untuk
melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Syarat –
syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan
undang – undang.
Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung
oleh rakyat. Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai
politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan
pemilihan umum. Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan
suara lebih dari limapuluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum
dengan sedikitnya dua puluh persen suara setiap provinsi yang tersebar di lebih
dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil
Presiden.
Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih,
dua pasangna calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam
pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang
memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur
dalam undang – undang. Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama
lima tahun , dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang bersama,
hanya untuk satu kali masa jabatan.
46
Presiden dan / atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam Masa
jabatannya oleh MPR atas usul DPR , baik apabila terbukti telah melakukan
pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan,
tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela Maupun apabila terbukti tidak
lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden. Usul
pemberhentian Presiden dan / atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh DPR
kepada MPR hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada
Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili dan memutus pendapat DPR
bahwa Presiden dan / atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum
berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat
lainnya, atau perbuatan tercela; dan / atau pendapat bahwa Presiden dan atau
Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan atau Wakil
Presiden. Pendapat DPR bahwa Presiden dan / atau Wakil Presiden telah
melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat
sebagai Presiden dan / atau Wakil Presiden adalah dalam rangka pelaksanaan
fungsi pengawasan DPR. Pengajuan permintaan DPR kepada MK hanya dapat
dilakukan dengan dukungan sekurang – kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR
yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang – kurangnya 2/3
dari jumlah anggota DPR. MK wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan
seadil – adilnya terhadap pendapat DPR tersebut paling lama sembilan puluh hari
setelah permintaan DPR itu diterima oleh MK. Apabila MK memutuskan bahawa
Presiden / Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya,
atau perbuatan tercela; dan / atau terbukti bahwa Presiden dan atau Wakil
Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden,
DPR menyelenggarakn sidang paripurna untuk neberuskan usul pemberhentian
Presiden dan / atau Wakil Presiden kepada MPR. MPR wajib menyelenggarakan
sidang untuk memutuskan usul DPR tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak
MK menerima usul tersebut.
47
Keputusan MPR atas usul pemberhentian Presiden dan / atau Wakil
Presiden harus diambil dalam rapat paripurna MPR yang dihadiri oleh sekurang -
kurangnya 3/ 4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang – kurangnya 3 / 4
dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan Wakil Presiden diberi
kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna MPR. Presiden
tidak dapat membekukan dan / atau membubarkan DPR.Jika Presiden mangkat,
berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam
masajabatannya, ia digantikan oleh wakil Presiden sampai habis masajabatannya.
Dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden, selambat – lambatnya dalam waktu
enam puluh hari, MPR menyelenggarakan sidang untuk memilih Wakil Presiden
dari dua calon yang diusulkan oleh Presiden. Jika Presiden dan / atau Wakil
Presiden mangkat, berhenti, atau diberhentikan, atau tidak dapat melakukan
klewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, pelaksanaan tugas
kepresidenan adalah mentri luar negeri, menteri dalam negeri, dan menteri
pertahanan secara bersama– bersama. Selambat – lambatnya tiga puluh hari stelah
itu , MPR menyelenggarakan sidang untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden
dari pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai
politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil
Presiden meraih suara terbanyak pertama dan kedua sebelumnya, sampai berakhir
Masa jabatannya. Sebelum memangku jabatannya, Presiden dan Wakil Presiden
bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguh – sungguh di hadapan
MPR serta DPR. Jika MPR atau DPR tidak dapat mengadakan sidang, Presiden
dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama , atau berjanji dengan sungguh –
sungguh dihadapan pimpinan MPR dengan disaksikan oleh pimpinan MA.
Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas angkatan Darat, Angkatan
Laut, dan Angkatan Udara. Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang,
membuat perdamaiandan perjanjian dengan negara lain. Presiden dalam membuat
perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar
bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan / atau
mengharuskan perubahan atau pembentukan undang – undang harus dengan
persetujuan DPR. Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasioal diatur
48
dengan undang – undang. Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat – syarat
dan akibat keadaan bahaya ditetapkan undang – undang. Presiden mengangkat dua
konsul. Dalam hal mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan DPR.
Presiden menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan
pertimbangan DPR. Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan
memperhatikan pertimbangan MA. Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan
memperhatikan pertimbangan DPR. Presiden memberi gelar, tanda jasa, dan lain –
lain tanda kehormatan yang diatur dengan undang – undang. Presiden membentuk
suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan
kepada Presiden, yang selanjutnya diatur denga undang – undang.
c) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
Pengaturan mengenai DPR diatur dalam bab VII tentang Dewan
Perwakilan Rakyat pasal 19, 20, 21, 22 A, dan pasal 22B UUD 1945, didalamnya
memuat ketentuan tentang:
Anggota DPR dipilih melalui pemilihan umum. Susunan DPR diatur
dengan undang – undang. DPR bersidang sedikitnya sekali dalam setahun. DPR
memegang kekuasaan membentuk undang- undang. Setiap rancangan undang –
undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Jika
rancangan undang – undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan
undang – undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu.
Presiden megesahkan rancangan undang – undang yang telah disetujui
bersamauntuk menjadi udang – undang. Dalam hal rancangan undang – undang
yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu
tiga puluh hari semenjak rancangan undang – undang tersebur disetujui,
rancangan undang – undang tersebut sah menjadi undang – undang dan wajib
diundangkan. DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi
pengawasan.
Dalam melaksanakan fungsinya selain hak yang diatur dalam pasal –pasal
lain undang – undang dasar ini, DPR mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan
hak menyatakan pendapat. Selain hak yang diatur dalam pasal – pasal lain undang
49
– undang dasar ini, setiap anggota DPR mempunyai hak mengajukan pertanyaan ,
menyampaikan, usul pendapat, serta hak imunitas. Ketentuan lebih lanjut tentang
hak DPR dan hak anggota DPR diatur dalam undang – undang. Anggota DPR
berhak mengajukan usul rancangan undang - umdang. Jika rancangan itu,
meskipun disetujui oleh DPR , tidak disahkan Presiden , Maka rancangan tadi
tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu. Dalam hal- ihwal
kegentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah
sebagai pengganti undang – undang. Peraturan pemerintah itu harus mendapat
persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut. Jika tidak mendapat
persetujuan, makaperaturan pemerintah itu harus dicabut. Ketentuan lebih lanjut
tentang cara pembentukan undang – undag diatur dengan undang – udang.
Anggota DPR dapat diberhentikan dari jabatannya, yang syarat – syarat dan tata
caranya diatur dalam undang – undang.
d) Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
Ketentuan mengenai Dewan Perwakilan Daerah diatur dalam bab VIIA
Dewan Perwakilan Daerah pasal 22C, 22D UUD 1945, didalamnya memuat
ketentuan tentang:
Anggota DPD dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum.
Anggota DPD dari setiap provinsi jumlahnya sama dan jumlah seluruh anggota
DPD itu tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota DPR. DPD bersidang
sedikitnya sekali dalam setahun. Susunan dan kedudukan DPD diatur dengan
undang – undang. DPD dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang –
undang yang berkaitan dengan otonomi daerah , hubungan pusat dengan dan
daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan
pertimbangan keuangan pusat dan daerah.
DPD ikut membahas rancangan undang – undang yang berkaitan dengan
otonomi daerah ; hubungan pusat dan daerah ; pembentukan, pemekaran ,dan
penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta ,memberikan
50
pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang – undang anggaran pendapatan
dan belanja negara dan rancangan undang – undang yang berkaitan dengan pajak,
pendidikan, dan agama. DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan
undang – undang mengenai : otonomi daerah; pembentukan, pemekaran, dan
penggabungan daerah; hubungan pusat dan daerah; pengelolaan sumber daya alam
dan sumber daya ekonomi lainnya; pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja
negara, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya
itukepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindak lanjuti. Anggota DPD
dapat diberhentikan dari jabatannya, yang syarat - syarat dan tata caranya diatur
dalam undang – undang.
e) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
Ketentuan mengenai Badan Pemeriksa Keuangan terdapat dalam bab
VIIIA tentang Badan Pengawas Keuangan pasal 23 E, 23 F, dan 23G UUD 1945,
didalamnya memuat ketentuan :
Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan
negara diadakan suatu BPK yang bebas dan mandiri. Hasil pemeriksaan keuangan
negara diserahkan kepada DPR, DPD , dan DPRD, sesuai dengan kewenangannya
.Hasil pemeriksaan keuangan tersebut ditindak lanjuti oleh lembaga perwakilan
dan / atau badan sesuai dengan undang – undang. Anggota BPK dipilih oleh DPR
dengan memperhatikan pertimbangan DPD dan diresmikan Presiden. Pimpinan
BPK dipilih dari dan oleh anggota. BPK berkedudukan di ibu kota negara dan
memiliki perwakilan disetiap provinsi. Ketentuan lebih lanjut mengenai BPK
diatur dengan undang – undang.
f) MahkamahAgung (MA)
Ketentuan yang mengatur Mahkamah Agung terdapat dalam bab IX
tentang Kekuasaan Kehakiman pasal 24 A UUD 1945, didalamnya memuat
ketentuan :
MA berwenang mengadili pada tingkat kasasi , menguji peraturan
perundang – undangan dibawah undang – undang terhadap undang – undang, dan
mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undag – undang. Hakim
51
Agung harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil,
profesional, dan berpengalaman dibidang hukum. Calon Hakim Agung diusulkan
Komisi Yudisial kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya
ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden. Ketua dan wakil ketua Mahkamah
Agung dipilih dari dan oleh Hakim Agung. Susunan, kedudukan , keanggotaan,
dan hukum acara MA serta badan peradilan dibawahnya diatur dengan undang –
undang.
g) Komisi Yudisial (KY);
Ketentuan yang mengatur tentang Mahkamah Konstitusi terdapat dalam
bab IX tentang Kekuasaan kehakiman pasal 24B, didalamnya memuat ketentuan:
KY bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim
agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Anggota KY harus
mempunyai pengetahuan dan pengalaman dibidang hukum serta memiliki
integritas dan kepribadian yang tidak tercela. Anggota KY diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan DPR. Susunan, kedudukan, dan
keanggotaan KY diatur dengan undang – undang.
h) Mahkamah Konstitusi
Ketentuan yang mengatur tentang Mahkamah Konstitusi terdapat dalam
bab IX tentang Kekuasaan kehakiman pasal 24C, didalamnya memuat ketentuan:
MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji undang – undang terhadap undang –
undang dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh undang – undang dasar, memutus pembubaran
partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. MK wajib
memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh
Presiden dan / atau Wakil Presidenmenurut undang – undang dasar. MK
mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh
Presiden yang diajukan masing – masingtiga orang oleh MA, tiga orang oleh
DPR, dan tiga oleh Presiden. Ketua dan Wakil ketua MK dipilih dari dan oleh
52
hakim konstitusi. Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian
tidak tercela, adil, negarawan yang mengusai konstitusi dan ketatanegaraan , serta
tidak merangkap sebagai pejabat negara. Pengangkatan dan pemberhentian hakim
konstitusi, hukum acara, serta ketentuan lainnya tentang MK diatur dengan
undang – undang.
Penyelenggaraan negara di zaman modern semakin komplek dan kadang –
kadang sangat spesifik, maka diperlukan organ – organ baru di luar ketiga jenis
kekuasaan klasik (trias politica). Inilah yang kemudian mendorong munculnya
komisi – komisi negara, agen-agen administratif atau lembaga-lembaga
penyelenggaraan kekuasaan yang tidak lagi bisa dikategorikan berdasarkan
pembagian tiga wilayah kekuasaan negara (trias politica).21
Kebutuhan membentuk organ – organ sampiran negara di luar kerangka
trias politica di Indonesia berkaitan dengan berlangsungnya proses transisi
menuju demokrasi, dari rezim otoritarian lama. Pembentukan sejumlah komisi
negara menunjukkan adanya kebutuhan menanggulangi masalah – masalah
transisi tersebut. Jika di cermati masa transisi menuju demokrasi pasca
otoritarianisme seperti identik dengan proses “reinventing the State (pembentukan
kembali negara). semangat “reinvensi” ini berlangsung bersama dengan
diselenggarakannya amandemen UUD 1945 selama periode 1999 – 2000.22
Lembaga-lembaga sampiran (state auxiliary agencies ) pada prinsipnya
berfungsi sebagai penunjang-penunjang tambahan untuk perbantuan dalam rangka
menyampiri fungsi utama penyelenggaraan kekuasaan negara dengan tugas-tugas
baru. Penyampiran fungsi ini tidak bisa dimasukan dalam kategori pembagian
kekuasaan (trias politika) sebagaimana teori yang digagas oleh Montesquieu pada
abad ke-17/18.23
21
Sholeh Amin , Jurnal Ketatanegaraan, Organ-organ Sampiran Negara Di Indonesia,
(Jakarta: Lembaga Pengkajian MPR RI, volume 11/okt.2018), h. 72
22
Sholeh Amin , Jurnal Ketatanegaraan, Organ-organ Sampiran Negara Di Indonesia,
h. 75
23
Sholeh Amin , Jurnal Ketatanegaraan, Organ-organ Sampiran Negara Di Indonesia,
h. 73
53
Jimly Asshidiqie menamakan state auxiliary agencies atau Independent
supervisory bodies, yaitu “lembaga - lembaga yang menjalankan fungsi campuran
(mix function) antara fungsi regulatif, administratif, dan fungsi penghukuman
yang biasanya dipisahkan tetapi justru dilakukan secara bersamaan oleh lembaga
– lembaga baru tersebut”.24
Sholeh Amin dalam Karyanya mengutip pendapatTriwulan dan Widodo
(2011), menurutnya organ – organ sampiran negara secara umum dibedakan
menjadi tiga kategori. Ketiga kategori itu adalah komisi negara independen ( 16
organ), komisi negara eksekutif (40 organ), dan lembaga-lembaga non-kementrian
(94 organ). Ini perkembangan sampai 2010. Selama delapan tahun terakhir, 2010–
2018, belum ada data tentang berapa OSN baru yang dibentuk25
Dari segi fungsinya , lembaga-lembaga negara tersebut, ada yang bersifat
utama atau primer, dan ada pula yang bersifat sekunder atau penunjang (auxiliary)
. sedangkan dari segi hierarkinya, lembaga-lembaga negara itu dapat dibedakan
dalam tiga lapis. Organ lapis pertama dapat disebut sebagai lembaga tinggi negara
(Presiden dan Wakil Presiden, DPR, DPD, MPR, MK, MA, dan BPK). organ lapis
kedua disebut sebagai lembaga negara saja atau lembaga negara penunjang yang
independen = Independent regulatory agencies (Kementrian Negara, TNI,
kepolisian Negara, KY, KPU, BI, DPP, dan Kejaksaan),26
sedangkan organ lapis
ketiga merupakan lembaga negara penunjang di bawah presiden atau Executive
Branch Agencies (organ konstitusi yang termasuk kategori lembaga negara yang
sumber kewenangannya dapat berasal peraturan perundang – undangan dibawah
UU maupun dari regulator atau pembentuk peraturan dibawah UU lainnya).27
24
Jimly Ashiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,
(Jakarta: Konstitusi Press,2006), h. 8
25
Sholeh Amin , Jurnal Ketatanegaraan, Organ-organ Sampiran Negara Di Indonesia,
h. 77
26
W.M.Herry Susilowati, Jurnal Ketatanegaraan, Keberadaan Lembaga Negara Utama
dan Penunjang Menurut UUD NRI Tahun 1945, (Jakarta: Lembaga Pengkajian MPR RI, volume
11/okt.2018), h. 46-47
27
W.M.Herry Susilowati, Jurnal Ketatanegaraan, Keberadaan Lembaga Negara Utama
dan Penunjang Menurut UUD NRI Tahun 1945, h. 49
54
2. Fungsi dan Wewenang Lembaga Negara dalam Qanun Asasi NII
DI/TII atau sering disebut Negara Islam Indonesia merupakan gerakan
untuk mendirikan Negara Islam di Indonesia, Gerakan ini dipimpin oleh
Kartosoewirjo yang menjabat sebagai Imam Negara, Konsep lembaga negara
menurut NII termaktub dalam Qanun Asasi NII. Qanun Asasi Negara Islam
Indonesia setidaknya mengatur enam lembaga negara yaitu: Majelis syuro, Dewan
Syuro, Imam, Dewan Fatwa , dewan Imamah, dan Mahkamah Agung.
a. Majelis syuro
Ketentuan yang mengatur mengenai Majelis Syuro ini diatur dalam BAB
I pasal 3 dan Bab II pasal 4, pasal 5 dan pasal 34:
Dalam Qanun Asasi ini lembaga tertinggi negara dipegang oleh lembaga
Majelis Syuro. Majeslis Syuro mempunyai wewenang yang besar dalam membuat
hukum dalam Negara Islam Indonesia.
Lembaga majelis Syuro diisi oleh wakil – wakil rakyat dan juga utusan
golongan. Anggota – anggota pengisi jabatan majelis Syuro inilah yang nantinya
melakukan sidang – sidang. Majelis syuro bersidang paling sedikit sekali dalam
setahun. Keputusan dalam Majelis Syuro diambil dengan suara terbanyak. Sidang
dianggap sah jika memenuhi quorum 2/3 dari jumlah anggota yang hadir.Jika
kurang dari itu harus diadakan sidang berikutnya. Dalam tempo empat belas (14)
hari .bila tidak memenuhi Quorum juga, maka harus diadakan sidang berikutnya
dalam tempo empat belas hari (14). Bila sidang yang ketiga kalinya juga tidak
memenuhi quorum , maka sidang dianggap sah. Sidang untuk mengubah Qanun
Asasi harus dihadiri 2/3 dari jumlah anggota dan keputusan harus diambil dengan
sekurang – kurangnya setengah dari jumlah anggota yang hadir. Majelis Syuro
memiliki wewenang untuk mengubah Qanun Asasi, dan membuat garis – garis
besar haluan negara.
Jika terjadi keadaan memaksa, hak majelis syuro dapat beralih kepada
Imam dan dewan Imamah. Dalam Qanun Asasi tidak menyebutkan perihal
keadaan memaksa tersebut. Qanun Asasi hanya menyebutkan “jika keadaan
memaksa…” hal ini diatur dalam pasal 3 ayat 2.
b. Dewan Syuro
55
Ketentuan yang mengatur mengenai Dewan Syuro terdapat dalam BAB III
pasal 6 , 7, 8 dan pasal 9 Qanun Asasi.
Dalam passal 6 ayat 1 menyebutkan bahwa, “susunan Dewan Syuro
ditetapkan dengan undang - undang .”Adapun aturan mengenai pengisian jabatan
Dewan Syuro ini tidak diatur dalam Qanun Asasi.
Dewan Syuro adalah Badan Pekerja daripada Majelis Syuro dan memiliki
tugas: menyelesaikan segala keputusan Majelis Syuro; dan melakukan segala
sesuatu sebagai Wakil Majelis Syuro menghadapi pemerintah, selainnya yang
berkenaan dengan prinsip. Dewan Syuro bersidang sedikitnya sekali dalam tiga
bulan .setiap undang – undang menghendaki persetujuan Majelis Syuro. Jika
undang – undang tersebut tidak mendapatkan persetujuan Majelis Syuro, undang
– undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam siding Dewan syuro masa itu.
Anggota Dewan Syuro mempunyai hak mengajukan rancangan undang –
undang. Jika rancangan undang – undang tersebut disetujui oleh Dewan Syuro
namun tidak disahkan oleh Imam, rancangan undang – undang itu tidak boleh
diajukan lagi dalam siding Dewan Syuro masa itu. Tiap – tiap undang – undang
menghendaki persetujuan Dewan Syuro.
Dalam hal ikhwal kepentingan yang memaksa, Imam berhak menetapkan
peraturan – peraturan pemerintah sebagai undang – undang atas persetujuan
Dewan Syuro. Jika tidak mendapat persetujuan dari Dewan Syuro peraturan
pemerintah harus dicabut.
Secara kelembagaan didalam Qanun Asasi, Majelis Syuro dan Dewan
Syuro merupakan lembaga legislatif, Lembaga tersebut secara tegas juga
dinyatakan oleh Qanun Asasi sebagai lembaga perwakilan yang diisi oleh wakil
rakyat dan juga utusan – utusan golongan.
c. Imam
Dalam Qanun Asasi ini untuk cabang – cabang kekuasaan eksekutif
dipegang oleh Imam, sebagaimana diatur oleh Qanun Asasi BAB IV tentang
kekuasaan negara pasal 9, pasal 10, pasal 11, pasal 12, pasal 13, pasal 15, pasal
16, pasal 17, pasal 18, pasal 19, dan pasal 20. Seorang Imam harus orang
Indonesia asli dan beragama islam yang taat (pasal 12 ayat 1). Seorang Imam
56
dipilih oleh Majelis Syuro dengan suara paling sedikit 2/3 daripada seluruh
anggota. Jika hingga dua kali berturut – turut dilakukan pemilihan, dengan tidak
mencukupi ketentuan suara paling sedikit 2/3 dari seluruh anggota, maka
keputusan diambil menurut suara yang terbanyak dalam pemilihan yang
ketiganya.
Imam memiliki beberapa wewenang, seperti: memegang kekuasaan
tertinggi atas seluruh angkatan perang; menyatakan keadaan berbahaya;
mengangkat duta dan konsul; menerima duta negara lain; memberi amnesti;
abolisi; grasi dan rehabilitasi; memberi gelar, tanda jasa, tanda kehormatan, dan
lain – lainnya. Imam juga mempunyai wewenang yang berurusan dengan
wewenang lembaga legislative seperti : menetapkan peraturan pemerintah sebagai
pengganti undang – undang (dalam ikhwal kegentingan yang memaksa);
membentuk undang – undang dengan persetujuan Majelis Syuro; menetapkan
peraturan pemerintah untuk menjalankan undang – undang; serta dengan
persetujuan Majeliss Syuro menyatakn perang, membuat perjanjian / perdamaian
dengan negara lain.
d. Dewan Fatwa
Dalam Qanun Asasi juga mengatur tentang suatu lembaga yang memiliki
fungsi sebagai lembaga yang memberikan masukan kepada imam untuk dijadikan
pertimbangan oleh imam sebelum mengambil suatu keputusan, hal yang mengatur
ketentuan lembaga ini terdapat dalam bab V pasal 21. Lembaga tersebut bernama
Dewan fatwa terdiri dari seorang Mufti, sebanyak – banyaknya 7 orang.Dewan ini
berkewajiban memberikan jawaban atas pertanyaan Imam dan berhak mengajukan
usul kepada pemerintah.
e. Dewan Imamah
Dewan Imamah merupakan suatu lembaga kabinet yang berada dibawah
imam ,ketentuan mengenai lembaga ini diatur dalam BAB VI Qanun Asasi pasal
22. Imam menetapkan peraturan pemerintah setelah berunding dengan Dewan
Imamah ini. Dewan Imamah ini terdiri dari Imam dan kepala – kepala majelis.
Anggota – anggota Dewan Imamah diangkat dan diberhentikan oleh Imam.
Lembaga Dewan Imamah ini bertanggung jawab kepaada Imam dan Majelis
57
Syuro. Jika trerjadi sesuatu hal yang menyebabkan Imam berhalangan melakukan
kewajiban – kewajibannya, imam akan menunjuk dari salah seorang Dewan
Imamah unutuk dijadikan sebagai wakil sementara. Namun dalam keadaan –
keadaan yang amat memaksa, Dewan Iamamah harus selekas mungkin bersidang
untuk memutuskan siapa wakil Imam sementara.
f. Mahkamah Agung
Dalam Qanun Asasi ini untuk kekuasaan yudikatif dipegang oleh suatu
lembaga yang bernama Mahkamah Agung. Qanun Asasi mengaturnya dalam
pasal 25 dan pasal 26. mengenai fungsi, tugas, maupun pengisian jabatan lembaga
Mahkamah Agung ini tidak disebutkan secara jelas di dalam Qanun Asasi. Qanun
Asasi hanya menyebutkan, “Fungsi kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan badan – badan hakim lainnya menurut undang – undang.”kalimat
tersebut dapat dijumpai dalam pasal 25 ayat 1. Begitu juga dengan susunan dan
kekuasaan badan kehakiman diatur dengan undang – undang (pasal 25 ayat
2).Serta didalam pasal 26 juga hanya mencantumkan, “Syarat – syarat untuk
menjadi dan untuk diperhatikan sebagai hakim diatur dengan undang – undang.”
Karena pemerintah Negara Islam Indonesia menyatakan dirinya berada
dalam keadaan perang. Maka tidak ada undang – undang yang dilahirkan untuk
menjelaskan lebih lanjut mengenai tugas – tugas lembaga Negara secara detail.
Oleh karena itu ,belum ada aturan yang jelas juga untuk menjelaskan secara lebih
rinci tentang lembaga kehakiman.
58
BAB IV
KOMPARASI KONSEP PEMBAGIAN KEKUASAAN NEGARA
DALAM QANUN ASASI NII DAN UUD 1945
A. Konsep Pembagian Kekuasaan Negara dalam Qanun Asasi NII dan
UUD 1945
Dalam Qanun Asasi NII Dari pemaparan diatas mengenai konsep
pembagian kekuasaan negara yang di delegasikan pada lembaga – lembaga negara
utama, yakni lembaga negara yang memegang cabang kekuasaan eksekutif,
legislatif, dan yudikatif, yang termaktub dalam Qanun Asasi NII dan UUD 1945.
Setelah dicermati mengenai konsep pembagian kekuasaan negara yang
termaktub dalam kedua konstitusi tersebut akan didapati persamaan dan
perbedaan. Secara umum, keduanya mengusung konsep ketatanegaraan modern
dengan adanya pembagian kekuasaan negara kedalam lembaga – lembaga negara.
Dalam Qanun Asasi bentuk Negara yang diusung berbentuk Jumhuriyah
(Republik) NII Instansi tertinggi Negara ditempati oleh Majelis Syuro , hanya
dalam keadaan genting hak tersebut dialihkan kepada Imam dan Dewan Imamah.1
Bila sudah beralih ke tangan Imam maka kekuasaan kemudian terpusat ditangan
Imam yang harus orang Indonesia dan beragama Islam. Secara jelas pemerintahan
yang hendak diusung oleh NII adalah sistem pemerintahan parlementer dan bisa
juga seperti yang diterapkan pada masa orde baru di Indonesia dengan meletakan
posisi parlemen pada posisi kekuasaan tertinggi. hasil analisis ini mengacu dengan
adanya Dewan Imamah yang dalam system parlementer ialah Dewan Kabinet . di
dalam Qanun Asasi NII pada pasal 22 ayat 4 jelas menerangkan bahwa Dewan
Imamah bertanggung jawab kepada imam dan Majelis Syuro.
Menurut H. Dengel Konstitusi yang dirancang oleh Negara Islam
Indonesia sangat mirip dengan Undang – Undang Dasar 1945 (sebelum
amandemen). Dari pandangan Holk H. Dengel ini dapat diambil suatu gambaran
1Holk H. Dengel, Darul – Islam: Kartosoewirjo Kampf um einen islamischen Staat
Indonesien. Penerjemah Tim Pustaka sinar Harapan, Darul Islam-NII dan Kartosoewirjo Langkah
Perwujudan Angan – Angan Yang Gagal, (Jakarta : Pustaka Sinar harapan,1995), h. 112
59
ketika Republik Indonesia menggunakan UUD 1945 sebelum amandemen
meletakan kekuasaan tertinggi ditangan Majelis permusyawaratan Rakyat. Bagian
lain yang juga menurut Holk H. Dengel juga sama dengan yang diatur dengan
UUD 1945 dengan melihat fungsi Dewan Fatwa yang mirip dengan Dewan
Pertimbangan Agung (DPA) di UUD 1945, akan tetapi Dewan Fatwa terdiri dari
seorang Mufti Besar dan beberapa Mufti yang lain sebanyak 7 orang.2
Pengangkatan dan pemberhentian anggota – anggota itu dilakukan oleh Imam .
sebagaimana yang diatur oleh “Qanun Asasi” Dewan Fatwa berkewajiban
memberikan jawaban atas pertanyaan Imam dan berhak mengajukan usul kepada
pemerintah (Pasal 21 Qanun Asasi). Selain itu, Dewan Syuro juga memiliki fungsi
yang hampir mirip dengan Dewan Perwakilan Rakyat.
Meskipun dalam kebanyakan peraturan memiliki banyak kemiripan
dengan Undang – undang Dasar 1945 , namun ada sedikit perbedaan terlihat pada
aturan mengenai pengangkatan Wakil Imam sementara jika Imam berhalangan
melaksanakan kewajibannya. Dalam Qanun Asasi, menjelaskan mesti adanya
sidang di Dewan Imamah jika amat memaksa untuk megangkat wakil imam
sementara (Pasal 13 ayat 3).
Berhubung tidak ada parlemen, semua peraturan Negara Islam Indonesia
dikeluarkan oleh komandemen teretinggi, yaitu Dewan Imamah yang dulu, dalam
bentuk Maklumat yang ditandatangani oleh Imam dan kemudian dibagi – bagikan.
Menurut keterangan Kartosoewirjo, Komandemen tertinggi setelah proklamasi
NII pada bulan Agustus 1949, terdiri dari anggota – anggota sebagai berikut:
Imam dan Panglima tertinggi – S.M.Kartosoewirjo
Wakil Imam dan Komandan Divisi – Kamran
Madjelis Keuangan - Oedin Kartasasmita, setelah meninggal
diganti oleh Soelaiman Purnama
2Holk H. Dengel, Darul – Islam: Kartosoewirjo Kampf um einen islamischen Staat
Indonesien. Penerjemah Tim Pustaka sinar Harapan, Darul Islam-NII dan Kartosoewirjo Langkah
Perwujudan Angan – Angan Yang Gagal, h. 112-113
60
Madjelis Penerangan – toha Arsjad, setelah meninggal tahun 1952 /
1953 tidak ada gantinya
Madjelis Pertahanan – R.Oni setelah meninggal tahun 1952/1953
tidak ada penggantinya.
Madjelis Kehakiman – Gozali Tusi, setelah tertawan tidak ada
gantinya.
Madjelis Luar Negeri – Sanusi Partawidjaja, setelah dihukum mati,
tugas ini diambil alih oleh Kartosoewirjo.
Madjelis Dalam Negeri – dirangkap oleh Sanusi Partawidjaja,
setelah dihukum mati diambil alih oleh Kartosuwirjo.
Oleh karena itu lembaga negara seperti Dewan Fatwa dan Majelis Syuro
tidak pernah berfungsi, karena selama masa Negara Islam Indonesia Kartosuwirjo
memegang pimpinan politik, begitu juga pimpinan militer, dan tak mempunyai
seorang penasihat ataupun membolehkan adanya penasihat.3
Sedangkan dalam UUD 1945 pasca amandemen dalam pembagian
kekuasaan negara terbagi atas empat bagian. Dalam kekuasaan Legislatif
(Pembuat undang-undang) dijalankan oleh MPR, DPR dan DPD, kekuasaan
Eksekutif (menjalankan undang-undang) diberikan kepada Presiden dan wakil
Presiden, kemudian dalam bidang Yudikatif (mengadili) dipegang oleh
Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi beserta Komisi Yudisial dan kekuasaan
pengawasan dijalankan oleh Badan Pengawas Keuangan.4
Setelah amandemen UUD 1945, terdapat indikasi kecenderungan menguatnya
sistem pemerintahan yang dianut adalah sistem pemerintahan Presidensil. Hal ini
dapat kita amati pasal demi pasal dalam UUD 1945 sebagai berikut:
3Holk H. Dengel, Darul – Islam: Kartosoewirjo Kampf um einen islamischen Staat
Indonesien. Penerjemah Tim Pustaka sinar Harapan, Darul Islam-NII dan Kartosoewirjo Langkah
Perwujudan Angan – Angan Yang Gagal, h. 113
4 A.M. Fatwa, Potret Konstitusi Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta: PT Kompas
Media Nusantara, 2009), h. 11
61
1. Presiden adalah kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan.
Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat dalam
satu paket (pasal 6A ayat (1) UUD 1945).
2. Kabinet atau menteri diangkat olehh Presiden dan bertanggung jawab
kepada Presiden (Pasal 17 ayat (2) UUD 1945).
3. Parlemen terdiri atas dua bagian (bikameral), Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Para anggota Dewan
merupakan anggota MPR (Pasal 2 ayat (1) UUD 1945).
4. DPR memiliki kekuasaan legislatif dan kekuasaan mengawasi jalannya
pemerintahan (Pasal 20A ayat (1) UUD 1945).
5. Kekuasaan yudikatif dijalankan oleh Mahkamah Agung dan badan
peradilan dibawahnya (Pasal 24 ayat (2) UUD 1945).
Namun terdapat juga unsur – unsur dari sistem pemerintahan parlementer
dan melakukan pembaharuan untuk menghilangkan kelemahan – kelemahan yang
ada dalam sistem presidensil. Beberapa variasi sistem presidensil di Indonesia
adalah sebagai berikut;
1. Presiden sewaktu – waktu dapat diberhentikan oleh MPR atas usul dari
DPR. Jadi, DPR tetap memiliki kekuasaan mengawasi presiden meskipun
secara tidak langsung (Pasal 7A UUD 1945).
2. Presiden dalam mengangkat pejabat negara perlu pertimbangan atau
persetujuan dari DPR (misal Pasal 24A ayat (3) UUD1945).
3. Presiden dalam mengeluarkan kebijakan tertentu perlu pertimbangan atau
persetujuan dari DPR (misal Pasal 11 ayat (1) dan (2), Pasal 13 ayat (2)
dan (3) UUD 1945).
4. Parlemen diberi kekuasaan yang lebih besar dalam hal membentuk undang
– undang dan hak budget (anggaran) (Pasal 20, dan 21 UUD 1945).
Dengan demikian sistem pemerintahan Indonesia berdasarkan UUD 1945 setelah
amandemen, terdapat penguatan pada sistem presidensiil namun terdapat nuansa
parlementernya.5 Pasca amandemen lembaga Independent juga mulai menjamur.
5 W.M.Herry Susilowati, Jurnal Ketatanegaraan, Keberadaan Lembaga Negara Utama
dan Penunjang Menurut UUD NRI Tahun 1945, (Jakarta: Lembaga Pengkajian MPR RI, volume
11/okt.2018), h. 41-42
62
Namun hadirnya lembaga independen ini hanya sebatas lembaga penunjang
negara tidak termasuk dalam golongan lembaga delegasi pembagian kekuasaan
negara, karena pada LNI terdapat penyimpangan ketiga kekusasaan, yakni adanya
penggabungan ketiga fungsi kekuasaan tersebut (quasi legislatif, eksekutif dan
yudikatif).
Sedangkan dalam Qanun Asasi jika dicermati, sebagaimana yang tertuang
dalam pasal (1) yang berbunyi “Negara Islam Indonesia adalah negara kurnia
Allah Subhanahu wa Ta‟ala kepada bangsa Indonesia.” Dengan demikian jelaslah
teori yang dapat dipakai adalah teori kedaulatan Tuhan. sehingga dapat kita
simpulkan bahwa menurut Qanun Asasi sumber kedaulatan ada ditangan Tuhan
(yakni Allah SWT) yang kemudian diamanatkan kepada bangsa Indonesia untuk
dijalankan dalam bentuk negara. Adapun dalam menjalankan pemerintahan,
dalam Qanun Asasi kekuasaan dibagi-bagi dalam bentuk lembaga-lembaga
negara. seperti Dibidang legislatif terdapat Majelis Syuro, beserta Dewan Syuro;
dibidang eksekutif terdapat Imam, dan dibidang Yudikatif terdapat Mahkamah
Agung.
Meski dalam soal penamaan kepala negara menggunakan sebutan Imam,
akan tetapi sistem pemerintahan yang termaktub dalam konstitusi Qanun Asasi
NII berbeda dengan model pemerintahan Syiah yang digagas oleh Ayatullah
Khomeini yang didasarkan pada doktrin Imamah dalam Syiah Imamiyah.
Dalam pemerintahan Syiah Imamiyah menggunakan sistem pemerintahan yang
dikenal dengan sebutan Wilayatuh Faqih.6
A. Tabel Perbandingan Konsep Pembagian Kekuasaan Negara dalam
Qanun Asasi NII dan UUD 1945
Tabel Perbandingan
Qanun Asasi NII UUD 1945
Bentuk Negara Jumhuriyah (Republik) Republik
6Abd. Kadir, Jurnal Politik Profetik, Syiah dan Politik: Studi Republik Islam Iran (Balai
Litbang Agama Makassar Volume 5 Nomor 1 Tahun 2015),h.9 artikel diakses pada 27 Agustus
2019 dari http://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/jpp/article/view/820
63
Kedaulatan
Negara
Kedaulatan Tuhan (Allah
SWT.)
Kedaulatan Rakyat (diwakilkan
kepada MPR)
Dasar Negara Islam (al-Qur‟an dan
Sunnah)
Pancasila
Sistem
Pemerintahan
Parlementer
Presidensiil
Delegasi
Pembagian
Kekuasaan
Negara
kedalam
bentuk
Lembaga
Negara
Legislatif
- Majelis Syuro
- Dewan Syuro
- Dewan Imamah
Eksekutif
- Imam
Yudikatif
- Mahkamah Agung
Sebelum amandemen
- Legislatif
- Majlis Permusyawaratan
Rakyat
- Dewan Perwakilan Rakyat
Eksekutif
- Presiden
Yudikatif
- Mahkamah Agung
Sesudah amandemen
- Legislatif
- Majlis Permusyawaratan
Rakyat
- Dewan Perwakilan Rakyat
- Dewan Perwakilan Daerah
Eksekutif
- Presiden
Yudikatif
- Mahkamah Agung
- Mahkamah Konstitusi
- Komisi Yudisial
Pengawasan
- Badan Pengawas Keuangan
64
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah dipaparkan maka dapat disimpulkan
dua hal sebagai jawaban pertanyaan penelitian yang termaktub dalam Bab I.
Kesimpulan dimaksud, sebagai berikut:
1. Konsep Pembagian Kekuasaan dalam Qanun Asasi NII dan UUD 1945
Pembagian kekuasaan negara dalam Qanun Asasi NII didelegasikan dalam
bentuk lembaga – lembaga negara utama, yakni:
a) Majelis Syuro;
b) Dewan Syuro;
c) Imam;
d) Dewan Fatwa;
e) Dewan Imamah;
f) Mahkamah Agung.
Dengan rincian bidang Legislatif atau kekuasaan pembuat undang-undang
di pegang oleh Majelis Syuro, bidang Eksekutif atau kekuasaan menjalankan
undang-undang dipegang oleh seorang kepala negara yang dalam Qanun Asasi
disebut dengan seorang Imam, dan dibidang Yudikatif atau kekuasaan
mengadili undang-undang dipegang oleh Mahkamah Agung.
Sedangkan konsep pembagian kekuasaan menurut UUD 1945, kekuasaan
negara didelegasikan dalam bentuk lembaga-lembaga negara utama, yakni:
Sebelum amandemen
a) Majelis Permusyawaratan Rakyat;
b) Presiden;
c) Dewan Pertimbangan Agung;
d) Dewan Perwakilan Rakyat;
e) Badan Pemeriksa Keuangan;
f) Mahkamah Agung.
65
Sesudah amandemen
a) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR);
b) Presiden;
c) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR);
d) Dewan Perwakilan Daerah (DPD);
e) Mahkamah Agung (MA);
f) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK);
g) Mahkamah Konstitusi (MK);
h) Komisi Yudisial (KY).
Dengan rincian dalam UUD 1945 bidang Legislatif atau kekuasaan
pembuat undang-undang di pegang oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR),
bidang Eksekutif atau kekuasaan menjalankan undang-undang dipegang oleh
seorang kepala negara yang dalam UUD 1945 disebut dengan Presiden, dan
dibidang Yudikatif atau kekuasaan mengadili Undang-undang dipegang oleh
Mahkamah Agung. Namun setelah amandemen dalam UUD 1945 terdapat
penambahan kekuasaan, yakni bidang kekuasaan Pengawasan yang di jalankan
oleh Badan Pengawas Keuangan (BPK).
2. Analisis perbandingan menunjukkan adanya aspek persamaan dan
perbedaan antara konsep pembagian kekuasaan yang terdapat dalam
Qanun Asasi NII dan UUD 1945, sebagai berikut:
a. Persamaan
Baik dalam Qanun Asasi dan UUD 1945 keduanya sama-sama
mendelegasikan kekuasaan dalam bentuk lembaga-lembaga Negara yang masing-
masing mewakili tiap-tiap kekuasaan (Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif).
pemerintahan yang hendak diusung oleh NII sama seperti dalam UUD 1945
sebelum amandemen, tepatnya pada masa orde baru dengan meletakan posisi
parlemen (Majelis Syuro dan MPR) pada posisi kekuasaan tertinggi. fungsi
Dewan Fatwa yang terdapat dalam Qanun Asasi mirip dengan Dewan
Pertimbangan Agung (DPA) di UUD 1945 sebelum Amandemen. Terkait lama
jabatan seorang Kepala Negara dalam Qanun Asasi sama seperti dalam UUD
66
1945 sebelum amandemen (orde baru) yaitu tidak ada kejelasan mengenai batas
lama jabatan seorang kepala Negara hal ini .
b. Perbedaan
Dalam Qanun Asasi Lembaga Tertinggi Negara berada di tangan Legisatif
(Majelis Syuro) sehingga dapat disimpulkan bahwa Negara yang akan diusung
menggunakan sistem parlementer, sedangkan dalam UUD 1945 pasca amandemen
tidak dikenal lagi dengan lembaga tertinggi negara melainkan hanya lembaga
tinggi Negara/lembaga negara utama dan Kepala Negara (Presiden) . Mengenai
lama jabatan seorang kepala Negara (Imam) dalam Qanun Asasi tidak ada
kejelasan mengenai itu, sehingga memungkinkan adanya kepemimpinan seumur
hidup, sedangkan dalam UUD 1945 pasca amandemen lama jabatan Kepala
Negara mulai dibatasi menjadi 5 tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali
dalam jabatan yang sama, hanya untuk sekali masa jabatan (Pasal 7). Pada Qanun
Asasi aturan mengenai pengangkatan Wakil Imam sementara jika Imam
berhalangan melakukan kewajibannya, harus diadakan sidang di Dewan Imamah
jika amat memaksa untuk mengangkat Wakil Imam sementara (Pasal 13 ayat 3).
Sedangkan dalam UUD 1945 jika kepala Negara (Presiden) mangkat, berhenti
diberhentikan, atau tidak bisa melaksanaka kewajibannya dalam masa jabatannya,
ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya (pasal 8 ayat 1).
B. Saran
Menurut Pembahasan yang sudah dilakukan, penulis bisa memberikan
beberapa saran sebagai berikut:
1. Kepada pemerintah diharapkan agar melakukan kajian mengenai
pembagian kekuasaan negara, terutama untuk pembagian kekuasaan yang
diterapkan di negara muslim.
2. Kepada kampus – kampus agar memperbanyak literatur-literatur yang
membahas konsep pembagian kekuasaan, terutama untuk kampus
Universitas Islam Negeri (UIN).
3. Kepada para mahasiswa yang hendak melakukan penelitian, agar bisa
meneliti tentang pembagian kekuasaan negara yang diterapkan dalam
67
negara muslim untuk memperkaya literatur mengenai pembagian
kekuasaan negara islam.
4. Pembaca atau yang ingin meneliti mengenai konsep pembagian
kekuasaan negara yang diterapkan di negara muslim, agar melakukan
penelitian yang lebih mendalam lagi.
68
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Arifin, Jaenal, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia.
Jakarta: Fajar Interpratama Offset, 2008. Cet. 1.
Anjaya, Angga. Konsep Lembaga Negara Islam (Studi Komparatif Hizbut Tahrir
dan Negara Islam Indonesia). Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah tahun 2018.
Ahmadi, Fahmi Muhammad dan Jaenal Arifin, Metode Penelitian Hukum. Ciputat:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.
Affandi , Mukhtar, Ilmu – Ilmu Kenegaraan. Bandung: Alumni, 1971.
Al-Chaidar, Pengantar Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia
S.M. Kartosuwirjo, Mengungkap Manipulasi Sejarah Darul Islam/DI-TII
Semasa Orde Lama dan Orde Baru.Jakarta: Darul Falah, 1999.
Asshiddiqie, Jimly.PengantarIlmuHukum Tata Negara. Jakarta : RajawaliPers,
2013.
--------------, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi.
Jakarta: Konstitusi Press, 2006.
Busro, Abu Daud , Ilmu Negara. Jakarta: PT Bumi Aksara, 2010, Ed.1. Cet. 7.
Budiyanto, Hakikat Bangsa dan Negara, Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta:
Erlangga, 2014.
Budiardjo, Miriam, Dasar – Dasar Ilmu Politik, Jakarta : PT Gramedia Pustaka
utama, 2015.
Djazuli, A, Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu –
rambu Syariah. Jakarta: Kencana, 2013. Cet. 5.
Diponalo, G.S. Ilmu Negara, jilid 1. Jakarta: Balai Pustaka, 1975.
Firdaus, Robitul. Pemisahan Kekuasaan dan Organisasi Negara dalam
Pemerintahan Islam (Studi Komparatif Terhadap Dustur Al – Islamy
Hizbut Tahrir dan Qanun Asasi NII). Skripsi S2 Pasca Sarjana
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2010.
69
Fatwa, A.M., Potret Konstitusi Pasca Amandemen UUD 1945. Jakarta: PT Kompas
Media Nusantara, 2009.
H. Bohari, Hukum Anggaran Negara.Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1992.
H. Dengel, Holk,Darul – Islam: Kartosoewirjo Kampf um einen islamischen Staat
Indonesien. Penerjemah Tim Pustaka sinar Harapan, Darul Islam-NII dan
Kartosoewirjo Langkah Perwujudan Angan – Angan Yang Gagal.Jakarta
: Pustaka Sinar harapan,1995.
Kusnardi, Moh. dan Bintang Saragih, Ilmu Negara.Jakarta: Gaya Media Pratama,
2015. Cet. 7.
Kansil, C.S.T, Sistem Pemerintahan Indonesia. Jakarta: Aksara Baru, 1985. Cet. 5.
-------------- dan Christine S.T.Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia 2
ed. revisi. Jakarta: Rineka Cipta, 2003.
Mawardi, Al, Al-Ahkamus Sulthaniyah wal-Wilaayatuddiniyah, diterjemahkan oleh
Abdul Hayyie al-Khatani, Kamaluddin Nurdin dengan judul Hukum Tata
Negara dan Kepemimpinan dalam Takaran Islam. Jakarta: Gema Insani
Press, 2000.
--------------, Al – Ahkam al - Shulthaniyah, Penerjemah Khalifurrahman dan
Fathurraahman, Ahkam Shulthaniyah: Sistem Pemerintahan Khilafah
Islam. Jakarta: Qisthi Press, 2015.
Maududi, Abu A‟la Al, Al-Khilafah wa Al-Mulk diterjemahkan oleh Muhammad
Bakir dengan judul, Khilafah dan Kerajaan. Bandung: Mizan, 1996. Cet.
4.
Mac. Ivar, Negara Modern. Jakarta: Aksara Baru, 1984.
Marzuki, Peter Mahmud , Penelitian Hukum Edisi Revisi. Jakarta : Prenadamedia
Group, 2005.
Matroji, Sejarah. Jakarta: Erlangga, 2009.
Muchsan, Sistem Pengawasan Terhadap pemerintah dan Peradilan Tata Usaha
Negara di Indonesia. Yogyakarta: Liberty, 1996.
Marijan , Kacung, Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demookrasi Pasca Orde
Baru. Jakarta: Kencana, 2011.
Nur, Deliar, Pemikiran Politik Di Negara Barat. Jakarta: Rajawali Press, 1982.
70
Nasution, Harun, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspek Jilid 1.Jakarta: UI Press,
1986.
Pudjosewojo, Kusumadi, Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia. Jakarta:
Sinar Grafika, 2001
Prakoso, Sandhi. Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan
Undang – Undang Dasar Negara Republik IndonesiaTahun 1945 Dengan
Kekuasaan Presiden Amerika Serikat. Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret, Surakarta 2011.
Pulungan , J. Suyuthi, Fiqh Siyasah Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1994.
Ridwan ,Juniarso dan AchmadSodik, Tokoh – Tokoh Ahli PikirTentang Negara dan
Hukumdari Zaman YunaniKuno Sampai Abad 20. Bandung: Nuansa,
2010.
Syarif , Mujar Ibnu dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah Doktrin Dan Pemikiran
Politik Islam. Jakarta: Erlangga , 2008.
Salim , Abdul Muin, Fiqh Siyasah; Konsepsi Politik Dalam Al – Quran. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2002.
Santoso , M.H. Budi, Darul Islam Pemberontakan Di Jawa Barat. Bandung : PT.
Dunia Pustaka Jaya,2013.
Soekanto , Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 2010.
Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara , Ajaran, Sejarah dan Pemikiran.
Jakarta: UI Press, 1990.
Sodiqin, Ali, dkk, Sejarah Peradaban Islam Dari Masa Klasik Hingga Modern.
Yogyakarta : LESFI, 2003.
Syafi‟i, Inu Kencana, Ilmu Pemerintahan dan Al – Qur‟an. Jakarta: Bumi
Aksara,1995.
--------------, Pengantar Ilmu Pemerintahan. Bandung: PT. Refika Aditama, 2005.
Cet.3.
Soehino, Ilmu Negara. Yogyakarta : Liberty, 1980.
Soetomo, Ilmu negara. Surabaya: Usaha Nasional, 1986.
71
Thamrin, Abu dan Nur Habibi Ihya, Hukum Tata Negara.Jakarta: Lembaga
Penelitian Uin Syarif Hidayatullah, 2010.
Undang-undang Dasar 1945.
W.Cresswell, John. Research Design Qualitative, Quantiitative, and Mixed
Methods Approaches, Penerjemah Achmad Fawaid, Research Design
Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010.
JURNAL
Amin, Sholeh, Jurnal Ketatanegaraan, Organ-organ Sampiran Negara Di
Indonesia. Jakarta: Lembaga Pengkajian MPR RI, volume 11/okt.2018.
Susilowati, W.M.Herry, Jurnal Ketatanegaraan, Keberadaan Lembaga Negara
Utama dan Penunjang Menurut UUD NRI Tahun 1945, Jakarta:
Lembaga Pengkajian MPR RI, volume 11/okt.2018.
Data Website
Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan, Pendidikan Pancasila
Untuk PerrguruanTinggi. Jakarta: Direktorat Jenderal Pembelajaran dan
Kemahasiswaan KEMENRISTEKDIKTI, 2016. Cet. 1. diakses pada
tanggal 8 Oktober dari http://lab.pancasila.um.ac.id/e-book-buku-
pendidikan-pancasila-ristekdikti/
Kadir, Abd., Jurnal Politik Profetik, Syiah dan Politik: Studi Republik Islam Iran.
Balai Litbang Agama Makassar Volume 5 Nomor 1 Tahun 2015 artikel
diakses pada 27 Agustus 2019 dari http://journal.uin-
alauddin.ac.id/index.php/jpp/article/view/820
Usman, Negara dan Fungsinya, al-daulah vol.4/no.1/ juni 2015 artikel diakses
pada 22 JULI 2019 dari http://journal.uin-
alauddin.ac.id/index.php/al_daulah/article/view/1506
72
Lampiran
QANUN ASASI
NEGARA ISLAM INDONESIA89
Bismi‟llahi‟r-Rahmani‟r-Rahim
Inna Fatahna laka Fathan mubina
Muqaddimah
Sejak mula pertama Umat Islam berjuang, baik sejak masa kolonial
Belanda yang dulu maupun pada zaman pendudukan jepang, hingga pada zaman
Republik Indonesia, sampai pada saat ini, selama ini mengandung suatu maksud
yang suci, menuju suatu arah yang mulia, ialah “mencari dan mendapatkan
mardhotillah, yang merupakan hidup di dalam suatu ikatan dunia baru, yakni
Negara Islam Indonesia yang merdeka”.
Dalam masa Umat Islam melakukan wajibnya yang suci itu dengan
beraneka jalan haluan yang diikuti, maka diketahuinyalah beberapa jembatan yang
perlu dilintasi ialah jembatan pendudukan Jepang dan Kemerdekaan Kebangsaan
Indonesia.
Hampir juga kaki Umat Islam selesai melalui jembatan emas yang terakhir
ini, maka badai baru mendampar bahtera Umat Islam sehingga keluar dari daerah
Republik, terlepas dari tanggung jawab Pemerintahan Republik Indonesia.
Alhamdulillah, pasang dan surutnya air gelombang samudra tidak
sedikitpun mempengaruhi niat suci yang terkandung dalam kalbu Muslimin yang
sejati. Di dalam keadaan yang demikian itu, Umat Islam bangkit dan bergerak
89 Abdul Munir Mulkhan dan Bilveer Singh, Demokrasi di Bawah Bayangan Mimpi N-
11, Dilema Politik Islam dalam Peradaban Modern, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara), h.
309-322
73
mengangkat senjata, melanjutkan Revolusi Indonesia, menghadapi musuh, yang
senantiasa hanya ingin menjajah belaka.
Dalam masa Revolusi yang kedua ini, yang karena sifat dan coraknya
merupakan Revolusi Islam, keluar dan ke dalam maka Umat Islam tidak lupa pula
kepada waibnya membangun dan menggalang suatu Negara Islam yang Merdeka,
suatu Kerajaan Allah yang dilahirkan di atas dunia, ialah syarat dan tempat untuk
mencapai keselamatan tiap-tiap manusia dan seluruh Umat Islam, di lahir,
maupun batin, di dunia hingga akhirat kelak.
Kiranya dengan tolong dan Kurnia Ilahi, Qanun Asasi yang sementara ini
menjadi pedoman kita, Melakukan bakti suci kepada „Azza wa Jalla, dapatlah
mewujudkan amal perbuatan yang nyata , dari tiap-tiap warga negara di daerah
daerah, dimana dimulai dilaksanakan hokum-hukum Islam, ialah hukum Allah
dan Sunnah Nabi.
Mudah-mudahan Allah SWT melimpahkan Taufik dan HIdayah-Nya serta
tolong dan Kurnia-Nya atas seluruh negara dan Umat Islam Indonesia, sehingga
terjaminlah keselamatan Umat dan Negara daripada tiap-tiap bencana yang mana
pun juga. Amin!
“lau anna ahla‟l qura amanu wattaqaw lafatahna „alaihim barakatin min
as-sama‟i wa‟l arddli”.
Bab I
Negara, Hukum dan Kekuasaan
Pasal 1
1. Negara Islam Indonesia adalah Negara Kurnia Allah Subhanahu Wa
Ta‟ala kepada bangsa Indonesia.
74
2. Sifat negara itu Jumhuriyyah (Republik).
3. Negara menjamin berlakunya syari‟at Islam di dalam kalangan kaum
Muslimin.
4. Negara memberi keleluasan kepada pemeluk agama lainnya, di dalam
melakukan ibadahnya.
Pasal 2
1. Dasar dan hukum yang berlakunya di Negara Islam Indonesia adalah
Islam.
2. Hokum yang tertinggi adalah Al-Qur‟an dan Hadits sahih.
Pasal 3
1. Kekuasaan yang tertinggi membuat hokum, dalam Negara Islam
Indonesia, ialah Majelis Syuro (Parlemen).
2. Jika keadaan memaksa, hak Majelis Syuro boleh beralih kepada Imam dan
Dewan Imamah.
Bab II
Majelis Syuro
Pasal 4
1. Majelis Syuro terdiri atas wakil-wakil rakyat, ditambah dengan utusan
golongan-golongan menurut aturan yang ditetapkan dengan Undang-
undang.
2. Majelis Syuro bersidang sedikitnya sekali dalam satu tahun.
3. Siding Majelis Syuro dianggap sah jika 2/3 dari pada jumlah anggota
hadir.
4. Keputusan Majelis Syuro diambil dengan suara terbanyak.
5. Jika kuorum (ketentuan) yang tersebut diatas (Bab II, Pasal 4 ayat 3) tidak
mencukupi, maka sidang Majelis Syuro yang berikutnya harus diadakan
selambat-lambatnya 14 hari kemudian daripada sidang tersebut, dan jika
75
sidang Majelis Syuro yang kedua inipun tidak mencukupi kuorum diatas
(Bab II, Pasal 4 ayat 3), maka selambat-lambatnya 14 hari kemudian
daripadanya harus diadakan lagi sidang Majelis Syuro ketiga yang
dianggap sah, dengan tidak mengingati jumlah anggota yang hadir.
Pasal 5
Majelis Syuro menetapkan Qanun Asasi dan garis-garis besar haluan
negara.
Bab III
Dewan Syuro
Pasal 6
1. Susunan Dewan Syuro ditetapkan dengan Undang-undang.
2. Dewan Syuro bersidang sedikitnya sekali dalam 3 bulan.
3. Dewan Syuro itu adalah Badan Pekerja dari Majelis Syuro dan mempunyai
tugas kewajiban:
a. Menyelesaikan segala keputusan Majelis Syuro.
b. Melakukan segala sesuatu sebagai wakil Majelis Syuro
menghadapi Pemerintah, selainnya yang berkenaan dengan prinsip.
Pasal 7
Tiap-tiap undang-undang menghendaki persetujuan Dewan Syuro.
Pasal 8
76
1. Anggota Dewan Syuro berhak memajukan rencana undang-undang.
2. Jika sesuatu rencana Undang-undang tidak mendapat persetujuan Dewan
Syuro, maka rencana tidak boleh dimajukan lagi dalam sidang Dewan
Syuro itu.
3. Jika rencana itu meskipun disetujui oleh Dewan Syuro tidak disahkan oleh
Imam, maka rencana tadi tak boleh dimajukan lagi dalam sidang Dewan
Syuro masa itu.
Pasal 9
1. Dalam hal ikhwal kepentingan yang memaksa, Imam berhak menetapkan
peraturan Pemerintah sebagai pengganti Undang-undang.
2. Peraturan Pemerintah itu harus mendapatkan persetujuan Dewan Syuro
dalam sidang yang berikut.
3. Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan Pemerintah itu harus
dicabut.
Bab IV
Kekuasaan Pemerintahan Negara
Pasal 10
Imam Negara Islam Indonesia memegang kekuasaan Pemerintah menurut
Qanun Asasi, sepanjang Hukum Islam.
Pasal 11
77
1. Imam memegang kekuasaan membentuk Undang-undang dengan
persetujuan Majelis Syuro.
2. Imam menetapkan peraturan Pemerintah, setelah berunding dengan Dewan
Imamah untuk menjalankan Undang-undang sebagaimana mestinya.
Pasal 12
1. Imam Negara Islam Indonesia ialah orang Indonesia ialah orang Indoensia
asli yang beragama Islam dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya.
2. Imam dipilih oleh Majelis Syuro dengan suara paling sedikit 2/3 daripada
seluruh anggota.
3. Jika hingga dua kali berturut-turut dilakukan pemilihan itu, dengan tidak
mencukupi ketentuan diatas (Bab IV pasal 12, ayat 2), maka keputusan
diambil menurut suara yang terbanyak dalam pemilihan yang ketiganya.
Pasal 13
1. Imam melakukan kewajibannya, selama:
a. Mencukupi baiatnya;
b. Tiada hal-hal yang memaksa sepanjang Hukum Islam.
2. Jika karena sesuatu, maka Imam berhalangan melakukan kewajibannya,
maka Imam menunjuk salah seorang Dewan Imamah sebagai wakilnya
sementara.
3. Di dalam hal-hal yang amat memaksa, maka Dewan Imamah harus selekas
mungkin mengadakan sidang untuk memutuskan wakil Imam sementara,
daripada anggota-anggota Dewan Imamah.
Pasal 14
78
Sebelum melakukan wajibnya, Imam menyatakan bai‟at di hadapan
Majelis Syuro sebagai berikut:
“Bismi‟llahi-r-Rahmani‟r-Rahim.
Asyhadu anla ilaha illa‟llah wa asyhadu anna muhammada‟r Rasulu‟llah.
Wallahi (Demi Allah), saya menyatakan bai‟at saya, sebagai Imam Negara Islam
Indonesia, dihadapan sidang Majelis Syuro ini, dengan ikhlas dan suci hati dan
tidak karena sesuatu di luar kepentingan Agama dan Negara. Saya sanggup
berusaha melakukan kewajiban saya sebagai Imam Negara Indonesia, dengan
sebaik-baiknya dan sesempurna-sempurnanya sepanjang ajaran Agama Islam bagi
kepentingan Agama dan Negara.”
Pasal 15
Imam memegang kekuasaan yang tertinggi atas seluruh Angkatan Perang
Negara Islam Indonesia.
Pasal 16
Imam dengan persetujuan Majelis Syuro menyatakan perang, membuat
perdamaian /perjanjian dengan negara lain.
Pasal 17
Imam menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibat-akibat
keadaan bahaya, ditetapkan dengan Undang-undang.
Pasal 18
79
1. Imam mengangkat duta dan konsul;
2. Menerima duta negara lain.
Pasal 19
Imam member amnesty, abolisi, grasi dan rehabilitasi.
Pasal 20
Imam memberi gelar, tanda jasa dan lain-lainnya tanda kehormatan.
Bab V
Dewan Fatwa
Pasal 21
1. Dewan Fatwa terdiri dari seorang Mufti besar dan beberapa Mufti lainnya.
2. Dewan ini berkewajiban memberikan jawaban atas pertanyaan Imam dan
berhak mewujudkan usul kepada pemerintah. Pengangkatan dan
pemberhentian anggota-anggota itu dilakukan oleh Imam.
Bab VI
Dewan Imamah
Pasal 22
1. Dewan Imamah terdiri dari Imam dan kepala-kepala Majelis.
2. Anggota-anggota Dewan diangkat dan diberhentikan oleh Imam.
3. Tiap-tiap anggota Dewan Imamah bertanggung jawab atas kebaikan
berlakunya pekerjaan Majelisyang diserahkan kepadanya.
80
4. Dewan Imamah bertanggung jawab kepada Imam dan Majelis Syuro atas
kewajiban yang serahkan kepadanya.
Bab VII
Pembagian Daerah
Pasal 23
Pembagian daerah dalam Negara Islam Indonesia ditentukan menurut
Undang-undnag.
Bab VIII
Keuangan
Pasal 24
1. Anggaran pendapatan dan belanja ditetapkan tiap-tiap tahun dengan
Undang-undang. Apabila dewan Syuro tidak menyetujui anggaran yang
diusulkan pemerintah, maka Pemerintah menjalankan anggaran tahun yang
lalu.
2. Pajak dilenyapkan dan diganti dengan infaq. Segala infaq untuk
kepentingan negara berdasarkan Undang-undang.
3. Macam dan harga mata uang ditetapkan dengan undang-undang.
4. Hal keuangan negara selanjutnya diatur dengan Undang-undang.
5. Untuk memeriksa tanggung jawab tentang keuangan Negara diadakan
suatu Badan Pemeriksa Keuangan, yang peraturannya ditetapkan dengan
Undang-undang. Hasil pemeriksaan itu diberitahukan kepada Dewan
Syuro.
81
Bab IX
Kehakiman
Pasal 25
1. Fungsi kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan-
badan kehakiman lainnya menurut Undang-undang.
2. Susunan dan kekuasaan Badan Kehakiman itu diatur dengan Undang-
undang.
Pasal 26
Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diperhatikan sebagai Hakim
ditetapkan dengan Undang-undang.
Bab X
Warga Negara
Pasal 27
1. Yang menjadi warga negara adalah orang Indonesia asli dan orang-orang
bangsa lain yang disahkan dengan Undang-undang sebagai warga negara.
2. Syarat-syarat yang mengenai warga negara ditetapkan dengan Undang-
undang.
82
Pasal 28
1. Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hokum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hokum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya.
2. Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak
bagi kemanusiaan.
3. Jabatan-jabatan dan kedudukan-kedudukan yang penting dan bertanggung
jawab di dalam Pemerintahan, baik sipil, maupun militer, hanya diberikan
kepada Muslim.
Pasal 29
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, melahirkan pikiran dengan lisan
dan tulisan dan sebagainya, ditetapkan dengan Undang-undang.
Bab XI
Pertahanan Negara
Pasal 30
1. Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha
pembelaan Negara.
2. Tiap-tiap warga negara yang beragama Islam wajib ikut serta dalam
pertahanan Negara.
3. Syarat-syarat tentang pembelaan Negara diatur dengan Undang-undang.
Bab XII
83
Pendidikan
Pasal 31
1. Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib mendapat pengajaran.
2. Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran
Islam yang diatur dengan Undang-undang.
Bab XIII
Ekonomi
Pasal 32
1. Perikehidupan dan penghidupan rakyat diatur dengan dasar tolong-
menolong.
2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara., dan yang menguasai
hajat orang banyak, dikuasai oleh Negara.
3. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran
rakyat.
Bab XIV
Bendera dan Bahasa
Bendera Negara Islam Indonesia ialah Merah Putih ber-Bulan Bintang.
Bahasa Negara Islam Indonesia ialah Bahasa Indonesia.
84
Bab XV
Perubahan Qanun Asasi
Pasal 34
1. Untuk merubah Qanun Asasi harus sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah
anggota Majelis Syuro yang hadir.
2. Putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya setengah dari
pada jumlah seluruh anggota Majelis Syuro.
Cara Berputarnya Roda Pemerintahan
1. Pada umumnya roda pemerintahan NII berjalan menurut dasar yang
ditetapkan Qanun Asasi dan sesuai dengan Pasal 3 Qanun Asasi tadi,
sementara belum ada Parlemen (Majelis Syuro), segala Undang-undang
dalam dalam bentuk maklumat yang ditanda tangani oleh Imam.
2. Berdasarkan maklumat-maklumat Imam tadi, Majelis-majelis
(kementrian-kementrian) menurut pembagian tugas-kewajiban masing-
masing, membuat peraturan atau penjelasan untuk memudahkan
pelaksanaannya.
3. Juga dasar politik Pemerintahan NII ditentukan oleh Dewan Imamah.
4. Anggota-anggota Dewan Imamah pada waktu pembentukannya ialah:
S.M. Kartosuwirjo selaku Imam merangkap kepala Majelis
Pertahanan.
Sanoesi Partawidjaja selaku Kepala Majelis Dalam Negeri dan
Keuangan.
K.H. Gozali Tusi selaku Kepala Majelis Kehakiman.
Thoha Arsyad selaku Kepala Majelis Penerangan.